bab ii tinjauan pustaka

advertisement
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian M. Lutfi Mustofa (2010) tentang etika pluralisme di
kalangan warga nahdliyin di Jawa Timur menyebutkan bahwa; (1) konsepsi NU
mengenai pluralisme keagamaan terkonstruksi dan tumbuh berkembang dalam
konteks sejarah dan sosialnya melalui proses dialektika teologis, ideologis, dan
sosio-kultural; (2) keterlibatan NU dalam mempromosikan dan memelihara nilainilai pluralisme keagamaan di Jawa Timur menampakkan gambaran yang
beraneka ragam, dari yang bersifat responsif, kontra produktif, dan pada elemen
terbesarnya bersikap diam (silent majority); (3) dampak psiko-sosial etika
pluralisme NU terhadap relasi-relasi internal maupun eksternal NU di Jawa
Timur, paling tidak dapat dirasakan dan disaksikan dari semakin menguatnya
kontestasi antara kelompok konservatif dan progresif. Pro-kontra pluralisme
keagamaan di dalam NU Jawa Timur, sekalipun tidak sepanas di dunia politik,
tetapi setidaknya hal ini telah menimbulkan keprihatinan pada kelompokkelompok minoritas dan marjinal akan ancaman melemahnya kekuatan civil
society yang selama ini telah dicontohkan oleh Gus Dur dan NU.
Ada tiga aspek yang menjadi fokus penelitian Mustofa, yaitu: (1) pertama,
konsepsi pluralisme keagamaan NU yang terelaborasi dalam konstitusi organisasi
maupun pemikiran komunitas nahdliyin; (2) bentuk-bentuk keterlibatan aktif NU
dalam mempromosikan dan memelihara nilai-nilai pluralisme keagamaan; (3)
dampak psiko-sosial etika pluralisme keagamaan NU dalam relasi-relasi internal
maupun eksternal komunitas nahdliyin.
Gagasan dan praktik pluralisme keagamaan di dalam NU memiliki akarakar ideologis dan teologis sangat jauh ke belakang, yang berakar pada
perkembangan pemikiran dan praktik keagamaan dalam sejarah masyarakat
muslim hingga pada masa-masa kenabian. Menurut Mustofa, dalam persoalan
pluralisme keagamaan tersebut bukan hanya berkaitan dengan akar-akar ideologis
dan teologis, tetapi telah berkembang menjadi salah satu elemen utama dari
wacana civil society yang berkaitan dengan posisi dan agenda politik NU pada
16
paroh terakhir 1990-an. Sebagai organisasi sosial-keagamaan, kiprah NU tidak
dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang secara baku
disusun
dalam
konstitusi
fiqh
maupun
teologinya,
termasuk
untuk
mempromosikan gagasan dan praktik pluralisme keagamaan. Meminjam istilah
Berger (1966), nilai-nilai dan norma-norma keislaman inilah yang dalam waktu
sangat lama merupakan faktor penting yang ikut membentuk realitas sosial
komunitas NU di Indonesia.
Hasil penelitian Umar dan Priyangga (2007) tentang pluralisme agama dan
paham keagamaan di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa pluralisme
agama dan paham keagamaan tidak menjadi kendala dalam menciptakan toleransi
kehidupan beragama baik antar umat beragama maupun intern umat beragama.
Menurut Umar dan Priyangga, hampir tidak pernah terjadi keributan dan konflik
akibat perbedaan agama dan paham keagamaan.
Dalam penelitiannya, Umar dan Priyangga menyimpulkan bahwa kerukunan
yang terjadi di kota Bandar Lampung, baik antar umat beragama dan intern umat
beragama (Islam) tidak terlepas dari peran Pemerintah Daerah Kota Bandar
Lampung, tokoh agama serta pemimpin Ormas Islam yang senantiasa membina
umat dalam bentuk dialog antar umat beragama dan dialog antar pemerintah
dengan umat beragama. Forum Aksi Sosial dan Kerjasama Antar Umat Beragama
Lampung (FASKAUBAL) yang dibentuk oleh pemerintah daerah untuk
menangani kerukunan antar umat beragama berperan besar dalam menciptakan
pluralisme keberagamaan dan hidup toleransi di Kota Bandar Lampung.
Kajian Syafru El Fauzi (2007) tentang Jemaat Ahmadiyah menunjukkan
bahwa kelompok keagamaan yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1925
hingga kini tidak pernah aman dari kritikan dan kecaman. Hal itu terlihat dari
respon
beberapa
ormas
Islam
terhadap
Jemaat
Ahmadiyah,
seperti
Muhammadiyah, NU dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Respon negatif
dari ormas-ormas Islam ini lebih bersifat teologis ketimbang sosiologis.
Sementara itu, kajian Iskandar Zulkarnain (2006) lebih menitikberatkan pada
gerakan organisasi Jemaat Ahmadiyah antara tahun 1920-1942.
Dari sudut pandang yang lain, Zaenuri (2009) meneliti konflik Jemaat
Ahmadiyah dengan masyarakat non Ahmadiyah. Dalam penelitiannya ditemukan
17
bahwa konflik yang terjadi antara Jemaat Ahmadiyah dan masyarakt non
Ahmadiyah di Lombok lebih disebabkan karena proses komunikasi yang tidak
efektif (komunikator, pesan dan metode), baik dari kalangan Jemaat Ahmadiyah
maupun dari masyarakat Lombok.
Penelitian yang terkait dengan pluralisme dan Jemaat Ahmadiyah ditulis
oleh Budiwanti (2009). Dalam tulisannya, Budiwanti mengatakan bahwa
pluralisme di Indonesia sudah runtuh melihat perlakuan masyarakat, ormas Islam
dan MUI kepada Jemaat Ahmadiyah. Menurut Budiwanti fatwa MUI tentang
Jemaat Ahmadiyah yang sesat menjadi legitimasi bagi organisasi Islam radikal
untuk menyerang Jemaat Ahmadiyah.
2.2. Pluralisme Keberagamaan
Pluralism adalah istilah kefilsafatan yang diadopsi dari Bahasa Inggris,
plural yang berarti jamak atau banyak dengan implikasi perbedaan, dan ism yang
berarti paham atau aliran. Dengan demikian, istilah pluralisme selengkapnya dapat
diartikan sebagai paham atau aliran kefilsafatan yang mengakui secara sungguhsungguh terhadap kenyataan bahwa terdapat banyak kelompok manusia yang
berbeda-beda dalam suatu negara, baik atas dasar etnis, ras, budaya, agama dan
kepercayaan.
Menurut The Oxford English Dictionary, seperti yang dikutip Abdillah
(2001) disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai: (1) suatu teori yang
menentang kekuasaan negara monolitis, dan mendukung desentralisasi dan
otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu
dalam masyarakat. Suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersamasama di antara sejumlah partai politik. (2) keberadaan atau toleransi keragaman
etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta
keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan
sebagainya. Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme politik,
sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atau
primordial.
Namun demikian, sebagaimana perhatian utama tesis ini adalah mengenai
agama dan interaksi antarkelompok keagamaan, maka istilah pluralisme akan
digunakan dalam konteks agama. Pluralisme keberagamaan di sini diartikan
18
sebagai gagasan atau paham yang mengandaikan: (1) kelompok keagamaan yang
berbeda-beda dapat berkoeksistensi di dalam satu masyarakat di bawah sistem
teologi dan hukum mereka sendiri, dan (2) tidak satu kelompok pun yang dapat
memonopoli terhadap keselamatan. Pluralisme di sini juga dibedakan dari
inklusivisme, karena keduanya memiliki kerangka paradigmatiknya sendiri dalam
melihat agama. Apabila inklusivisme meniscayakan pemahaman terhadap agama
lain dari segi adanya dimensi kesamaan substansi dan nilai, maka pluralisme
justru mengakui dan menegaskan adanya perbedaan-perbedaan. Pluralisme tidak
saja dibedakan dari inklusivisme, tetapi juga dibedakan dari subyektivisme,
relativisme, multikulturalisme, dan globalisme (Boase 2005, Rahman 2001).
Dengan kata lain, pluralisme hendak membangun pemahaman mengenai
agama-agama itu sebagaimana realitas mereka sendiri yang memang berbedabeda. Hanya saja, dalam memberikan respons terhadap diversitas tersebut
pluralisme menawarkan sesuatu yang baru.
Pertama, ia menghendaki keterlibatan aktif setiap individu untuk menyulam
perbedaan-perbedaan tersebut, guna mencapai tujuan kebersamaan. Kedua, ia
tidak sekadar menganjurkan penghargaan terhadap yang lain (toleransi), tetapi
lebih pada ikhtiar membangun pemahaman yang konstruktif (constructive
understanding) mengenai orang lain (religious others). Ketiga, ia bermaksud
menemukan komitmen bersama di antara keanekaragaman komitmen (encounter
commitments). Jadi, sangat berbeda dengan relativisme, karena apabila pluralisme
hendak mencapai komitmen bersama untuk kemanusiaan, maka relativisme justru
menegasikannya, bahkan mengingkari kebenaran agama-agama itu sendiri
(Misrawi 2007).
Shihab (1999) juga mengisyaratkan bahwa dalam pluralisme yang
terpenting adalah bukan semata-mata berupa pengertian yang merujuk pada
kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun juga keterlibatan aktif dalam
kemajemukan tersebut. Partisipasi tersebut ditunjukkan melalui sikap interaktif
secara positif dalam lingkungan yang majemuk, tidak melakukan klaim dan
monopoli atas suatu kebenaran, serta bersikap terbuka terhadap perbedaanperbedaan yang ada.
19
Diana L. Eck berpendapat, seperti yang ditulis Omid Safi (2003), Misrawi
(2007) dan Ali (2003) bahwa terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan
dalam pluralisme, yaitu: 1) pluralisme sama sekali tidak sama dengan perbedaan
(diversity), seperti masyarakat yang berlatar belakang agama dan etnik yang
berbeda. Perbedaan latar belakang ini membutuhkan keterlibatan aktif satu sama
lain; 2) tujuan pluralisme sama sekali bukan bersikap ”toleransi” terhadap orang
lain tetapi lebih dari itu ada upaya aktif untuk mencapai pemahaman satu sama
lain; 3) pluralisme berbeda dengan relativisme. Jika pluralisme hendak mencapai
komitmen bersama untuk kemanusiaan, maka relativisme justru menegasikan dan
mengingkari kebenaran agama-agama itu sendiri.
Pluralisme keberagamaan (Banchoff 2008) merupakan konsep yang
melampui konteks nasional dan politik. Dalam teologi, terma pluralisme
keberagamaan kerapkali menganjurkan sikap-sikap harmoni, tindakan terlibat di
satu tempat, atau kesesuaian dengan orang lain yang melampaui tradisi-tradisi
keberagamaan sebagai lawan dari sikap eksklusivisme keagamaan. Dalam
sosiologi, pluralisme keberagamaan mengacu kepada tradisi-tradisi keberagamaan
yang berbeda-beda di dalam ruang sosial atau kultural yang sama. Pluralisme
keberagamaan juga mengacu pada pola-pola interaksi damai diantara aktor-aktor
pemeluk agama yang berbeda-beda, yaitu individu dan kelompok yang bertindak
menurut cara-cara keagamaan tertentu.
Berdasarkan atas berbagai kajian terhadap gagasan dan praktek pluralisme
keberagamaan di berbagai kawasan, para sarjana telah menyusun beragam
pengertian pluralisme keberagamaan yang berbeda-beda. Sebagian pengertian
tersebut sekalipun pada intinya dimasudkan untuk memperjelas arti penting etika
global ini dalam menciptakan harmoni antarumat beragama, namun tidak
semuanya digunakan sebagai definisi operasional dalam kajian ini. Konsep
pluralisme dalam penelitian ini mengacu pada konsep Diana L. Eck (2006).
2.3. Fundamentalisme dan Konflik Keberagamaan
Ketika Islam datang, sebenarnya kepuluan Nusantara sudah mempunyai
peradaban yang bersumber dan pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha dari
India, yang penyebaran pengaruhnya tidak merata. Para sejarawan sepakat bahwa
penyebaran Islam di Indonesia dilakukan melalui proses dan pola secara damai
20
(Azra 1999; Hidayat 2012; Madjid 1998). Berbeda dengan penyebaran Islam di
Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah
oleh militer Muslim. Islam dalam batasan tertentu disebarkan dengan pedang,
kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da`i) dan pengembara sufi (Sunanto
2010).
Islam masuk ke Indonesia (Nusantara) semula diperkenalkan oleh para
pedagang Arab melalui jalur perdagangan di Samudera Hindia. Arus Islam ke
Nusantara pada gilirannya juga melibatkan partisipasi pedagang-pedagang dari
India (Gujarat), Persia dan China yang juga membawa pengaruh kebudayaan
mereka masing-masing (Latif 2011). Para pedagang ini membawa Islam dengan
cara damai sejalan dengan karakter pedagang itu sendiri yang bersahabat, terbuka
dan menjalin relasi dengan orang lain. Sifat pedagang ini rupanya sejalan dengan
semangat dakwah yang juga selalu ingin menawarkan dan menyebarkan ajaran
Islam di wilayah baru.
Menarik untuk diperhatikan bahwa Islam yang dikembangkan pada masamasa awal lebih banyak bermuatan tasawuf (esoterisme) yang berasal dari Persia
dan India, sehingga ekspresi dan artikulasi Islam pada saat lebih inklusif, esoterik
dan ramah (Hidayat 2012). Genealogi historis ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa Islam yang berkembang di Nusantara yang tadinya menjadi pusat
Hindu-Budha berubah menjadi pusat Islam terbesar di dunia. Warisan berbagai
candi yang tersebar di Indonesia telah cukup menjadi bukti betapa Indonesia dulu
menjadi pusat agama Hindu dan Budha, di samping agama dan kepercayaan lokal
yang sebagiannya masih bertahan hingga sekarang.
Genealogis historis-teologis masuknya Islam ke Indonesia ini telah memberi
karakter ekspresi keislaman di Indonesia hingga saat ini. Corak keislaman yang
berkembang di Indonesia lebih bersifat kultural yang sangat apresiatif dan
akomodatif terhadap tradisi lokal tanpa kehilangan substansi dari ajaran Islam itu
sendiri. Karena itu (Madjid 1998), perkembangan kebudayaan Islam di Indonesia
sebagian besarnya merupakan hasil dialog antara nilai-nilai Islam yang universal
dan nilai-nilai kultural kepulauan Nusantara.
Kendati demikian, keberagamaan umat Islam di negara ini bukan berarti
seutuhnya berwajah mulus. Dalam periode dan di daerah tertentu, sikap
21
fundamentalisme dari kelompok Islam tertentu ikut menghiasi wajah keislaman
Indonesia. Menurut Abd A`la (2008), peristiwa awal yang melakukan
fundamentalisme keberagamaan adalah ketika meletusnya gerakan Padri yang
bukan saja kepada orang di luar Islam, tapi kekerasan juga dilakukan kepada
sesama muslim yang tidak mau mengikuti ajaran mereka.
Kekerasan dan tindakan sejenis dapat dirujuk pandangan keagamaan
tertentu yang sampai derajat tertentu melegitimasi atas terjadinya sikap dan
tindakan semacam itu. Menurut Azra (1996) dan A`la (2008), sikap
fundamentalisme keagamaan tersebut dapat dilacak dan dipengaruhi oleh
pandangan aliran keagamaan Wahabi di Arab Saudi. Menurut Benda (1958 dalam
A`la, 2008), gerakan Wahabi yang lahir di Arab Saudi itu telah memberikan
tarikan magnetik kepada muslim Indonesia melampaui perbedaan doktrinal yang
ada.
Kaum Wahabi adalah kelompok keagamaan yang sangat tidak toleran
dengan praktek-praktek yang bersifat bid`ah, khurafat dan yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Siapa saja yang menyimpang, kelompok
Wahabi siap ”meluruskan,” atau jika perlu diperangai dengan jalan kekerasan.
Mereka berusaha melakukan purifikasi keagamaan sesuai dengan prinsip yang
mereka anut dan akan meluruskan ritual keagamaan yang dianggap tidak sesuai
melalui cara mereka sendiri. Dalam hal ini, ajaran mereka yang rigid tersebut,
tidak bisa dilepaskan dari pemahaman keagamaan mereka yang literalskriptualistik.
Gerakan Islam fundamentalisme di Indonesia memiliki genealogi dengan
gerakan Islam salafi yang berkembang di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi.
Entah suatu kebetulan atau memang seperti itu, kebanyakan tokoh-tokoh gerakan
Islam radikal di Indonesia adalah keturunan Arab, seperti Habieb Riziq Syihab,
pemimpin Front Pembela Islam (FPI), Ja’far Umar Thalib (Laskar Jihad), Abu
Bakar Ba’asyir (Majelis Mujahidin Indonesia), Habieb Husein al-Habsyi
(Ikhwanul Muslimin), Hafidz Abdurahman (Hizbut Tahrir Indonesia).
Terma fundamentalisme, jelas Karen Armstrong (2000), awalnya merujuk
kepada sebutan yang dilekatkan kepada kelompok tertentu dari kalangan Protestan
Amerika awal abad kedua puluh. Mereka menyebut diri mereka sebagai kelompok
22
fundamentalis untuk membedakan dari kaum Protestan liberal yang dalam
anggapan mereka telah mengalami distorsi keimanan yang benar. Kaum
fundamentalisme ini menekankan ajaran dan praktek pada tradisi dan prinsip
Kristen melalui pemaknaan biblikal yang literalistik.
Sebagai istilah yang diproduksi dalam tradisi Barat, maka istilah ini tidak
cukup dikenal dalam tradisi Islam, meskipun gejala dan perilaku yang kurang
lebih sama dapat kita temukan dalam tradisi dan sejarah muslim. Dalam Islam,
fundamentalisme biasanya diterjemahkan dengan al-Ushuuliyyah al-Islaamiyyah
(fundamentalisme Islam), al-Salaafiyah (warisan leluhur), al-Sahwah alislamiyyah (kebangkitan Islam), al-Ihyaa` al-Islami (kebangkitan kembali Islam).
Namun, di kalangan intelektual berbeda-beda dalam menggunakannya, seperti
”ekstremisme Islam” oleh Gilles Kepel, ”Islam Radikal” oleh Emmanual Sivan
(1990), dan yang lain ada yang menggunakan istilah ”integrisme,” revivalisme,”
atau ”Islamisme” (Euben 2002). Sebutan-sebutan tersebut oleh kalangan tertentu
juga sering disebut sebagai fenomena ”kebangkitan Islam” atau ”intensifikasi
Islam” dalam wajah yang baru. 3
Bagi Azra (1996), karakteristik fundamentalisme adalah paham perlawanan
terhadap modernitas, sekularisasi dan tata nilai barat, penolakan terhadap
hermeneutika, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme keberagamaan dan
penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis yang membuat mereka
mudah terperangkap dalam tindakan kekerasan. Fundamentalisme Islam,
lanjutnya, bisa dikatakan merupakan bentuk ekstrem dari gejala revivalisme.
Habermas (dalam Borradori 2005) melihat bahwa salah satu karakteristik
utama fundamentalisme terletak pada kekakuan sikap yang ditampakkan;
mentalitas, sikap kepala batu yang menekankan pada pemaksaan secara politik
keyakinan-keyakinan sepihak, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan
keagamaan, kendati hal tersebut tidak dapat diterima secara rasional.
Sedikit berbeda dengan penjelasan di atas, Arkoun (1999), menjelaskan
bahwa gerakan fundamentalisme Islam terbentuk secara menyeluruh dari oposisi,
3
Rumadi (2009) menjelaskan bahwa istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjuk gejala
“kebangkitan Islam” yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang terkadang sangat ekstrim.
Fundamentalisme lebih banyak berangkat dari literalisme dalam menafsirkan teks agama dan
berakhir pada tindakan dengan wawasan sempit yang terkadang menindas dan menyalahkan
kelompok lain.
23
tuntutan, susunan ideologis dan halusinasi individual yang tidak membawa kita
kepada Islam sebagai agama atau warisan pemikiran, tetapi semata-mata kepada
kemampuan
setiap
ideologinya
dalam
menggerakkan
fantasi
kolektif.
Fundametalisme Islam yang berkembang di belahan dunia saat ini sama sekali
bukanlah hal yang baru.
Brown (2003) mencatat bahwa fundamentalisme merupakan fenomena
global dan tidak saja terdapat di kalangan Islam saja melainkan juga di kalangan
kaum Kristen, Yahudi, Hindu, Sikh dan Budha. Faktor-faktor, lanjutnya, yang
melahirkan gerakan fundamentalisme bisa disebabkan oleh ekonomi, politik,
militer dan sosial.
Terlepas dari rumusan yang berbeda-beda, namun dapat ditarik benang
merahnya bahwa fundamentalisme merupakan pola keberagamaan (bukan agama)
untuk kembali kepada sumber ajaran secara rigid sebagai respon terhadap segala
sesuatu yang dalam anggapan mereka merupakan krisis terhadap kepercayaan
yang mereka yakini. Senada dengan ini, John O. Voll (dalam Euben, 2002)
menjelaskan bahwa fundamentalisme dalam Islam, tepatnya dalam aliran Sunni,
adalah sebagai penegasan kembali prinsip-prinsip mendasar dan usaha untuk
membentuk ulang masyarakat berdasarkan dasar-dasar tadi ke dalam dunia politik
dan sosial kontemporer.
Munculnya gerakan-gerakan Islam fundamentalisme berkait erat dengan
kegagalan negara menerapkan pola manajemen keragaman keagamaan (religious
diversity) secara tepat. Dalam ruang sosial yang menghambat tumbuhnya kohesi
sosial dan kesalingpercayaan antarkomponen masyarakat, fundamentalisme
agama dapat tumbuh dengan mekar.
Fundamentalisme agama itu sendiri merupakan cerminan dari lemahnya
kohesi sosial. Dari sudut pandang sosiologis, gejala ini berhubungan dengan
ekspansi modernisasi yang menciptakan kondisi dunia modern yang sangat
paradoksal dan ini menimbulkan tekanan terhadap sistem disposisi berkelanjutan
individual yang mengintegrasikan pengalaman-pengalaman masa lalu dan
berfungsi sebagai matriks persepsi dan tindakan.
Dalam kondisi-kondisi tertentu fundamentalisme agama tidak bisa
dilepaskan dari sikap-sikap fanatisme dan eksklusifisme beragama yang pada
24
akhirnya melahirkan sikap intoleransi pada kelompok lain, bahkan menimbulkan
konflik. Konflik muncul karena mereka yang memahami doktrin agama secara
literal dan menolak kontekstual teks-teks agama tidak toleran dengan pemahaman
dan penafsiran kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Sikap eksklusifisme
dalam penafsiran teks-teks agama serta menolak berbagai kemungkinan
penafsiran lain berpengaruh pada terciptanya konflik dalam masyarakat.
Hubungan antar umat beragama saat ini berada pada situasi yang cukup
pelik. Gambaran ini jelas berbeda jauh jika dibandingkan dengan kondisi sebelum
reformasi di mana hubungan antarumat beragama dianggap jauh lebih rukun
dengan sedikit konflik. Berbagai peristiwa mutakhir terkait intoleransi,
diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama dimungkinkan telah berkontribusi
dalam membentuk persepsi publik dalam menilai situasi mutakhir kondisi
hubungan antar umat beragama (Hasani et. al 2011).
2.4. Jemaat Ahmadiyah di Pedesaan Indonesia
Ahmadiyah adalah suatu ajaran dan gerakan keagamaan yang didirikan oleh
Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) asal Qadian, Punjab, India. Dalam
perkembangannya, Ahmadiyah terbagi ke dalam dua golongan, yaitu Ahmadiyah
Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Perbedaan kedua kelompok ini terletak pada
keyakinan pada sosok Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah Qadian berpendapat
bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi karena mereka mempercayai kenabian
itu akan tetap ada sesudah Nabi Muhammad. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore
berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukanlah nabi melainkan seorang
reformis agama (mujaddid) karena pintu kenabian setelah Nabi Muhammad sudah
tidak ada lagi.
Ajaran dan gerakan keagamaan Ahmadiyah Lahore pertama kali masuk ke
Indonesia pada tahun 1924 di Yogyakarta dan kini menyebar ke berbagai daerah
dan pedesaan di Indonesia. Ahmadiyah Lahore dibawa oleh dua orang muballigh
Hindustan, yakni Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig. Sementara itu,
Ahmadiyah Qadian masuk ke Indonesia pada tahun 1925 melalui Aceh, Padang
dan Pulau Jawa. Masuknya ajaran dan gerakan Ahmadiyah Qadian ke Indonesia
25
tidak lepas dari peran dari pelajar-pelajar Indonesia yang tengah menuntut ilmu di
Qadian pada saat itu.
Di antara kedua aliran tersebut, Ahmadiyah Qadian kerapkali ditentang oleh
kebanyakan umat Islam dibandingkan dengan Ahmadiyah Lahore karena ajaranajarannya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti adanya nabi
setelah Nabi Muhammad. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore relatif bisa diterima
umat Islam karena tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi
melainkan reformer agama (mujaddid).
Kehadiran Ahmadiyah Qadian di Indonesia, dan di negara-negara yang
mayoritas berpaham Sunni, seringkali menimbulkan penolakan yang berujung
pada konflik sosial. Dalam hal ini, Ahmadiyah Qadian tidak jarang menjadi
sasaran kekerasan dari sikap fundamentalisme keberagamaan masyarakat dalam
melihat perbedaan penafsiran ajaran agama dengan Ahmadiyah Qadian.
Keberadaan Ahmadiyah Qadian di pedesaan juga mengalami yang sama,
mereka tidak lepas dari sasaran kekerasan sebagian masyarakat yang tidak bisa
menerima ajaran mereka. Bila melihat ke belakang, kondisi ini tentu saja jauh dari
kondisi yang ada sekarang di mana warga Ahmadiyah dan non Ahmadiyah hidup
berdampingan dan saling menghargai. Rupanya berbagai faktor, seperti reformasi,
intervensi pemerintah dalam bentuk regulasi, media massa dan fatwa MUI ikut
membentuk perubahan suasana yang tadinya saling toleran dan menghormati
menjadi saling curiga dan membenci satu sama lain.
Akibatnya, kedua kelompok keagamaan ini di banyak pedesaan di Indonesia
mengalami segregasi-segregasi akibat dari regulasi atau fatwa yang dikeluarkan
pihak-pihak terkait. Interaksi di tengah masyarakat menjadi berjarak karena takut
melanggar regulasi tersebut sehingga yang muncul adalah interaksi kepurapuraan. Tidak ada kohesifitas masyarakat pascaterjadinya konflik kedua kelompok
keagamaan ini.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah sebuah organisasi keagamaan
yang berafiliasi kepada Ahmadiyah Qadian. Organisasi keagamaan ini mendapat
pengakuan dari negara berupa Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No.
JA.5/23/13. Pengakuan badan hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia ini dipertegas
lagi
oleh
pernyataan
Surat
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
Nomor
26
0628/KET/1978 Tanggal 19 Juni 1978 yang menyatakan bahwa Jemaat
Ahmadiyah Indonesia telah diakui sebagai badan hukum berdasarkan Statsblaad
1870 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan (Jemaat) Ahmadiyah adalah
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang secara teologis berafiliasi kepada
Ahmadiyah Qadian. Pusat kegiatan keagamaan organisasi di Indonesia bertempat
di Parung, Jawa Barat.
Download