Medio Ton99 01 Hlm/klm R • • • Teater Mandiri masih setia niengusung bahasa "visual". Kelompok pimpinan sutradara Putu Wijaya ini memalnkan lakon tanpa dialog verbal atau penokohan yang jelas. Mengandalkan bahasa rupa-musik-gerak, mereka menyuguhkan p~ristiwa panggung yang mengusik indera penonton. OLEH ILHAM KHOIRI akon terakhir, Zero, yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (7/ 6) malam lalu, kembali menegaskan kesetiaan itu. Tema petgulatan manusia yang terjebak di antara nafsu berperang dan perdamaian disajikan dalam momen yang penuh energi selama lebih kurang 75 menil Sejak masuk ruang pertunjukan, penonton sudah diteror. Seluruh latar belakang panggung diselimuti kain putih selebar sekitar 15 x 9 meter. Layar lebar itu bergetar diterpa angin. Ada suara menderu mirip auman singa, juga lolongan serigala. Snasana mencekam. Beberapa menit kemudian, saat pentas benar-benar dimulai, kain itu lang• sungjadi arena pergulatan visual. Indera penglihatan, pendengaran, dan rasa dari ratusan penonton seperti diterkam dan diseret untuk menelusuri ru. " . . ang-ruang LmaJI yang nustis. Mula-mula, di atas kain yang terus itu, bergentayangan gambar tengkorak. Seseorang muncul dari belakang, lalu meronta-ronta dalam belitan kain. Bersamaan dengan asap mengepul ke tengah arena, terdengar suara napas terengah-engah . Beberapa bayangan orang berseliweran, mengacungkan senjata, menembak-nembak. Orang yang terbelit kain tadi lepar-gelepar seakan tembakan. MedIa •• 10n9901 Hlm/klm Penerangan visual di atas panggung itu semakin seru. Adegan demi adegan melintas silih berganti. Ada patung besar yang diseret, orang-orang berjibaku dalam gelungan kain, dan seorang memecut-mecutkan carnbuk. Suasana tarnbah dramatis oleh jeritan para aktor saat bergulat, bergelut, atau berkelahi dalam kain yang bergumpal-gumpal. Musik berserak-serak menggetarkan. Sorotan sinar warna-warni dari dua lampu di kiri dan kanan depan panggung menyingkap alam lain yang aneh. Beberapa saat suasana agak herring. Hanya ada satu orang yang . di tengah sorotan besar mirip bulan atau matahari, kemudian seseorang memainkan kipas. Pentas berakhir setelah koor lagu Jangan Menangis Indonesia garapan almarhum Harry Roesly. Zero pergulatan Teater untuk menekuni pel"lIIainan visual. Gagasan tentang zero-sebagai ajakan untuk kembali ke hati yang bersih, tanpa kepentingan, atau masuk da- lam wilayah nol demi menghindari nafsu berperang-tidak diungkapkan lewat khotbah yang nonnatif. Pesan itu justru dibiarkan berceceran dalam rentetan peristiwa yang mengganggu sensasi indera, kesadaran, dan pikiran. Penonton disedot untuk mengalami dan menyimpulkan sendiri sesuai dengan referensi pribadinya. Tak ada dialog sepotong kalimat pun karena bahasa visuallebih menyentuh. "Teater itu tontonan yang mengajak orang mengalami peristiwa spiritual. Kami menggoda orang un,. tuk merasakan dan berpikir," kata Putu Wijaya Godaan itu mungkin tercapai berkat kepiawaian Teater Mandiri memainkan layar sebagai elemen utama visual. Kain putih dimainkan begitu luwes untuk berbagai kepentingan. Suatu kali kain itu memantulkan citra gambar, jadi bayangan dari obyek, atau menjadi subyek yang hidup dan bergerak-gerak. "Layar itu jadi obyek sekaligus subyek yang baur. Mungkin ini bisa disebut sebagai instalasi teater yang hid up," kata pengamat seni pertunjukan, Endo Suanda Putu Wijaya menjelaskan, pemakaian layar itu terjadi tak sengaja Idenya dipicu peng~aman kedl saat dill mengamatl permukaan air di bawah jembatan. Lelaki itu melihat bayangan dalam air terus bergerak. dipermainkan gelombang, membentuk sesuatu, kemudian dibuyarkan lagi. . tk Putu Kesan itu mengmga an pada layar wayang. Dia pun m~~­ coba menggunakan layar mmp ··tu tuk pentas permukaan arr 1 ll;'1 teater: pertama kab pads per"Yel~ di Amerika Serikat. tabun 199L Cuirup be~hasil. tunjukan ntas- ntal berikutnya di berPe ~ clan di Indonesia pun hampir tak lepas dari layar itu. pentas. layar disorot tiga \ampu. I,ampu besar met dari :0\ampU slide depan ki- untuk me- ataucitra ruang 118- =:meagagetJcan kami sendiri.'" kala • Pentas Teater Mandiri dengan Lakon "Zero" di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (7/ 6) malan1 lalu. Kelompok teater yang dibidani sutradara Putu Wijaya itu tetap menekuni permainan visual sebagai bahasa teater yang lebih universal. Media : Ton9901 • Hlm/klm asa Z31i yang diciptakan tahun 2003, sudah beberapa kali ditampilkan di Indonesia dan mancanegara. Meski begitu. lakon ini masih enak dinikmati kare na Teate, Mandiri berusaha menyuguhkan lakon itu sebagai peristiwa yang dinamis. Pentas di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Sabtu (7/ 6) malam, jadi semacam pemanasan sebelum dipanggungkan di Prague City Library Hall, Kota Praha, Ceko, selama Lima hari, 13-17 Juni ini. Dari situ, dengan lakon yang sama bakal dimainkan di Bratislava, ibu kota Slowakia. "Pertunjukan di Praha Wltuk memperingati 50 Tahun Perjanjian Kerja Sama Kebudayaan Rl-Ceko," kata Egy Massadiah. produser dan pemin1pin rombongan Teater Mandiri dalam perjalanan itu. Perjalanan ini mencerminkan apresiasi masyarakat mancanegara atas pencapaian kreatif Teater • Sutradara: Mandiri. Kelompok yang Putu Wijaya didirikan di Jakarta pada • Pernain: tahun 1971 ini pernah Yanto Kribo, Alung Seroja, Ucok mementaskan berbagai Hutagaol, Wendy Nasution, Fien lakon di Singapura, Cairo, Herman, Bei Kardi, Agung WiTokyo, Kyoto, Hongkong, bisana, Umbu LP, Tanggela, Taiwan, Brunei DarussaKleng Edy Sanjaya, Egy, Acak, lam, Hamburg, dan AmePutu Wijaya rika Serikat. Hampir semua penampilan itu m e• Musik: Wahyu Suiasmoro dan (musik almanfaatkan pendekatan marhum Harry Roesly & DKSB) visual. • Produser: Egy Massadiah • Pemimpin produksi: Dewi Pramunawati • Bagi Jose Rizal Manua, sutradara Teater Tanah Air yang mengajak anak asuhnya ramai-ramai non ton Sabtu malam itu, eksplorasi visual yang digarap Teater Mandiri cukup diapresiasi dengan baik oleh masyarakat seni di luar negeri, khususnya di Eropa. "Di sini, mungkin permainan visual itu biasa Tapi, bagi publik di luar sana, itu dianggap sebagai terobosan yang berbeda," katanya. Apa yang membuat Teater Mandiri percaya diri tampil di mancanegara? "Kami tidak bertempur dengan bahasa orang Barat yang sudah maju teknologinya. Kami menggunakan pel'lnainan visual lewat layar yang berteknologi rendah, tapi cukup tlekslbel untuk menuangkan bermacam gagasan dari yang tradisional sampai modern; ' papar Putu Wijaya . Kenapa pilih bahasa visual? "Itu bahasa tarzan yang lebih ~vers~ d~ mudah dimengerti siapa saja, di mana saja. ViSUal Itu blsa sekuat kata-kata, tergantung bagaimana kita memainkannya," katanya. Pada pentas Zero di GKJ, Sabtu malam itu, Putu tidak jadi tampil sebagai aktor di atas panggung. Pinggang laki-Jaki itu masih sakit akibat jatuh saat latihan, Sabtu sorenya "Doakan saya sehat saat mentas di Ceko dan Slowakia," katanya. (lAM)