10 BAB II STUDI LITERATUR Bab ini berisi mengenai landasan

advertisement
BAB II
STUDI LITERATUR
Bab ini berisi mengenai landasan teori yang dapat dipakai untuk mengkaji
berbagai aspek yang relevan dengan penelitian seperti bagaimana cara menyusun
indikator-indikator penilaian yang dikembangkan sebagai alat untuk mengevaluasi
kinerja rantai pasok pada proyek konstruksi dalam rangka pencapaian konstruksi
ramping, aspek-aspek apa yang akan menjadi dasar dalam penyusunan indikator
serta jenis-jenis data di lapangan seperti apa yang akan menjadi acuan dalam
penyusunan indikator. Sehingga untuk mendukung hal tersebut pada bab ini akan
dibahas antara lain mengenai konsep dan definisi rantai pasok (supply chain),
konsep dan definisi pengelolaan rantai pasok (supply chain management) baik
pada industri konstruksi maupun industri lain (manufaktur), serta uraian mengenai
konsep konstruksi ramping (lean construction) yang menyertakan pengelolaan
rantai pasok (supply chain management) sebagai salah satu aplikasinya di tingkat
proyek, selain itu juga dibahas mengenai konsep dan definisi indikator kinerja
rantai pasok (supply chain) serta konsep kinerja supply chain di berbagai industri,
meliputi pengukuran kinerja supply chain perusahaan manufaktur yang pernah
dikembangkan dan pengembangan indikator kinerja berbasiskan konsep
konstruksi ramping (lean construction) yang pernah dilakukan. Di dalam proses
penelitian, studi literatur ini nantinya akan memberikan kontribusi terhadap
pengembangan indikator penilaian untuk mengukur kinerja dalam rantai pasok
(supply chain) pada proyek konstruksi dan juga mendukung terhadap
pengembangan instrumen pengumpulan data berupa butir-butir pertanyaan untuk
bahan wawancara.
2.1.
Konsep dan Definisi Rantai Pasok (Supply Chain)
Rantai pasok (supply chain) adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan
barang produksi dan jasa kepada para pelanggannya. Rantai ini juga merupakan
jaringan dari berbagai organisasi yang saling berhubungan, yang mempunyai
tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan atau
penyaluran dari barang/jasa tersebut. Dalam hal ini istilah supply yang
dimaksudkan tidak hanya meliputi penyaluran barang saja, tetapi juga termasuk
10
11
proses dan aktifitas yang terjadi selama perubahan barang tersebut. Hal ini sesuai
dengan pendapat Christopher (1998) yang menyatakan bahwa rantai pasok
(supply chain) merupakan jaringan organisasi-organisasi yang terlibat mulai dari
hulu hingga hilir, dalam proses dan aktifitas yang berbeda yang menghasilkan
value dalam bentuk produk dan jasa bagi pengguna akhir.
Menurut Pujawan (2005), di dalam suatu jaringan rantai pasok (supply chain)
terdapat 3 (tiga) macam aliran yang harus dikelola dengan baik, sebagaimana
diilustrasikan didalam Gambar 2.1, sehingga efektifitas dan efisiensi dalam
pelaksanaan suatu proyek konstruksi dapat ditingkatkan.
Gambar 2.1. Tiga macam aliran yang harus dikelola dengan baik
dalam suatu jaringan rantai pasok (supply chain)
(Sumber: Pujawan .I .N., 2005)
1.
Aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke hilir (downstream).
Contohnya adalah bahan baku yang dikirim dari supplier material ke suatu
pabrik material setengah jadi. Setelah produk selesai diproduksi, mereka
dikirim ke proyek dan hasilnya kemudian digunakan oleh konsumen.
2.
Aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu.
3.
Aliran informasi yang bisa terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya.
Misalnya informasi tentang persediaan produk yang masih ada di suatu
proyek, sering dibutuhkan oleh supplier maupun pabrik yang ikut terlibat di
dalamnya. Dan sebaliknya informasi tentang ketersediaan kapasitas produksi
yang dimiliki oleh supplier juga sering dibutuhkan oleh pabrik maupun
proyek. Sedangkan informasi tentang status pengiriman bahan baku juga
12
sering dibutuhkan oleh perusahaan yang mengirim maupun yang akan
menerima. Perusahaan pengiriman harus membagi informasi seperti ini agar
pihak-pihak yang berkepentingan bisa memonitor untuk kepentingan
perencanaan yang lebih akurat.
Berdasarkan aliran yang terjadi di atas, berikut ini terdapat beberapa data terkait
dengan aliran barang, aliran uang dan aliran informasi yang umumnya
didokumetasikan di proyek-proyek konstruksi, data-data tersebut dapat dilihat
pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1. Data Proyek yang Berhubungan Dengan
Aliran Barang, Aliran Uang dan Aliran Informasi
Data Proyek
Variation Order
(VO) dan
Change Order
(CO)
Definisi
Sumber
Suatu permintaan tertulis secara sepihak kepada
kontraktor untuk merubah syarat/ kebutuhan kontrak
selama masih di dalam cakupan kontrak dan konsisten
dengan isi perjanjian kontrak
Project
Management
Dictionary,
2006
Suatu formulir yang dibuat oleh kontraktor konstruksi
untuk merubah cakupan pekerjaan dan harga kontrak
termasuk juga dokumen perjanjian
Project
Management
Dictionary,
2006
Jenis
Aliran
Aliran
informasi
Suatu permintaan tertulis, ditandatangani oleh pejabat
kontrak organisasi, ditujukan kepada kontraktor untuk
membuat perubahan, di mana di dalam perubahan
memuat kewenangan pejabat kontrak untuk meminta
tanpa ijin dari kontraktor
Project
Management
Dictionary,
2006
Suatu dokumen yang memberikan kewenangan
perubahan pada beberapa aspek proyek
Project
Management
Dictionary,
2006
Daftar kendala
yang terjadi
selama masa
pelaksanaan
Kondisi-kondisi eksisting di lapangan yang bisa
mengganggu flow pekerjaan seperti ketersediaan
sumberdaya, disain gambar yang belum selesai,
persetujuan dari klien, belum selesainya pekerjaan
yang mendahului (downstream), dan lain-lain
Project
Management
Dictionary,
2006
Aliran
informasi
Data risalah
jenis-jenis
rapat yang
dilakukan
selama masa
pelaksanaan
Suatu form yang berisi catatan dari setiap hasil rapat
yang dilakukan di proyek. Biasanya terdiri dari : Jenis
rapat yang dilakukan, tanggal rapat dilakukan, daftar
hadir pihak yang terlibat, uraian masing-masing perihal
yang dibahas dalam rapat, solusi/ tindak lanjut yang
akan dilakukan
Hasil
wawancara
Aliran
informasi
13
Sumber
Jenis
Aliran
Suatu form yang berisi catatan hasil inspeksi dan tes
yang dilakukan terhadap subkontraktor atas hasil
pekerjaan (keseuaian dengan mutu yang disyaratkan)
yang menjadi tanggungjawabnya atau terhadap
supplier atas hasil keseuaian dan ketepatan pengiriman
material yang juga menjadi tanggungjawabnya
Hasil
wawancara
Aliran
informasi
dan
Aliran
material
Sebuah dokumen standar yang digunakan untuk
mendapatkan suplai suatu barang dan bukan
merupakan suatu layanan pribadi ketika nilai
transaksinya relatif kecil. Dengan mengeluarkan order
pembelian, berarti juga menyatakan komitmen kontrak
pembelian
Project
Management
Dictionary,
2006
Sebuah dokumen komitmen yang umumnya hanya
untuk memperoleh barang dan alat oleh sebuah
organisasi. Penggunaannya dapat terbatas pada nilai
transaksi maksimum. Dokumen ditujukan pada
supplier dan mengikat organisasi untuk membeli
berdasarkan persyaratan tertentu dalam order
Project
Management
Dictionary,
2006
Data Proyek
Definisi
Data catatan
hasil
pengawasan
yang
dilakukan
proyek terkait
inspeksi dan
tes terhadap
subkontraktor
Puchase Order
(PO) dalam
pengadaan
material
Aliran
informasi
dan
Aliran
material
Data
monitoring
kedatangan
material
Suatu form yang berisi catatan kedatangan
material/barang di proyek
Hasil
wawancara
Aliran
informasi
dan
Aliran
material
Data material
reject
Material/produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi
yang diberikan atau tidak sesuai dengan yang
diharapkan (material yang rusak/cacat pada saat
diterima di proyek) sehingga kemungkinan
material/produk tersebut akan langsung di kembalikan
atau diperbaiki sebelum diterima
Project
Management
Dictionary,
2006
Aliran
informasi
dan
Aliran
material
Data inventory
material di
gudang
Material yang digunakan tetapi kedatangannya di site
terlalu cepat dari waktu yang dijadwalkan atau tidak
langsung digunakan (misal karena jadwal pemasangan
terlambat), sehingga menumpuk di gudang serta
menimbulkan tambahan biaya, tempat dan untuk
mengelolanya
Project
Management
Dictionary,
2006
Aliran
informasi
dan
Aliran
material
Catatan
keikutsertaan
subkontraktor
dalam
perencanaan
pelaksanaan
Suatu catatan yang menunjukkan ada tidaknya
keikutsertaan sub kontraktor, dan supplier material
yang terlibat di dalam perencanaan untuk pelaksanaan
Hasil
wawancara
Aliran
informasi
Daftar
complaints
yang terjadi
selama masa
pelaksanaan
Bentuk ketidakpuasan/protes yang dilakukan baik dari
pihak owner terhadap kontraktor, maupun dari pihak
kontraktor terhadap subkontraktor/ supplier atas hasil
kerja atau ketidakesesuaian material terhadap
spesifikasi yang telah disyaratkan
Project
Management
Dictionary,
2006
Aliran
informasi
14
Data Proyek
Invoice
Term
pembayaran
Retur
Definisi
Sumber
Tagihan atau permintaan tertulis seorang kontraktor
untuk pembayaran yang termuat dalam kontrak atas
pasokan yang dikirimkan atau pelayanan yang
dilakukan
Project
Management
Dictionary,
2006
Sebuah dokumen yang diterbitkan oleh seorang
kontraktor sebagai permintaan pembayaran atas
pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan persyaratanpersyaratan kontraknya. Invoice harus diperiksa dan
diberi kode oleh akuntan proyek sebelum dikirimkan
kepada manajer untuk meminta pengesahannya.
Invoice adalah dokumen yang mengawali suatu
pembayaran
Project
Management
Dictionary,
2006
Aturan pembayaran material untuk supplier
Surat pengembalian barang yang telah dikirim
(diterima) dengan alasan rusak, tak laku, dsb
Permintaan resmi untuk mengajukan harga barang
dan/atau layanan sebagaimana yang ditentukan
RFQ/RFP
Permintaan penawaran. Umumnya digunakan dengan
prosedur pengadaan/pembelian yang disederhanakan
Project
Management
Dictionary,
2006
Kamus
Lengkap
Bahasa
Indonesia,
2005
Project
Management
Dictionary,
2006
Project
Management
Dictionary,
2006
Jenis
Aliran
Aliran
finansial
Aliran
finansial
Aliran
material
dan
Aliran
Informasi
Aliran
informasi
Hal-hal tersebut diatas sejalan dengan pendapat Hanfield dan Nichols (1999) yang
mendefinisikan supply chain sebagai semua aktifitas yang berhubungan dengan
aliran dan transformasi material mulai dari tahapan material alam hingga
pengguna akhir serta aliran informasi baik ke hulu maupun ke hilir.
Arbulu dan Ballard (2005), bahkan berpendapat bahwa dalam suatu supply chain
yang baik terdapat sistem pasokan yang harus didefinisikan, dirancang, dan
diimplementasikan untuk mendapatkan aliran yang efektif dari material, informasi
dan dana pada suatu supply chain. Oleh karena itulah peningkatan efektifitas dan
efisiensi dalam suatu pelaksanaan proyek konstruksi melalui pemilihan dan
pengelolaan yang tepat terhadap jaringan supply chain sangatlah mungkin untuk
dilakukan.
15
Selain sebagai suatu sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan
jasa kepada para pelanggannya, melalui berbagai proses dan aktifitas yang
berbeda yang terkait dengan aliran material, uang dan informasi yang harus
dikelola dengan baik, konsep supply chain ini juga merupakan suatu konsep baru
di dalam melihat persoalan logistik (pengadaan barang dan jasa) dengan
pandangan yang berbeda. Dalam konsep lama, logistik dipandang sebagai
persoalan intern sehingga pemecahannya pun dititikberatkan pada pemecahan
secara intern pada masing-masing perusahaan. Sedangkan dalam konsep baru ini,
masalah logistik dilihat sebagai masalah yang lebih luas yang terbentang sangat
panjang sejak dari bahan dasar sampai barang jadi yang dipakai konsumen akhir,
yang merupakan mata rantai penyediaan barang. Karenanya optimasi tidaklah
mencukupi jika hanya dilakukan pada tingkat organisasi saja, sehingga diperlukan
suatu pendekatan baru untuk memenaje hubungan antar pihak tersebut dalam
suatu rangkaian rantai yang utuh, dengan melewati batas-batas organisasi yang
ada agar optimalisasi total dapat tercapai.
Di dunia global yang sangat kompetitif dewasa ini, desakan bagi perusahaan
untuk menemukan cara-cara baru dalam menciptakan dan memberikan nilai
tambah bagi konsumennya semakin kuat. Perusahaan saat ini dituntut untuk dapat
menyampaikan produknya dengan efektif dan efisien, dimana yang menjadi
tuntutan terhadap efisiensi tersebut adalah membentuk struktur organisasi yang
lebih datar (dengan mengeluarkan fungsi-fungsi pendukungnya), sehingga hal ini
mendorong perusahaan untuk lebih fokus pada bisnis intinya (core business) dan
mengeluarkan aktifitas pendukungnya (non core business) pada pihak lain diluar
perusahaan tersebut. Inilah yang mengakibatkan produk atau jasa yang dihasilkan
oleh suatu bisnis saat ini bukan lagi merupakan output dari satu organisasi secara
individu, melainkan merupakan output dari suatu rangkaian organisasi atau
Supply Chain (Maylor, 2003).
Lebih lanjut dikatakan oleh Maylor bahwa, supply chain pada dasarnya
merupakan sekumpulan supplier dan costumer yang terhubung, dimana setiap
costumer pada gilirannya akan menjadi supplier bagi organisasi hilir selanjutnya.
Rangkaian hubungan tersebut terjadi didalam suatu rentang proses perubahan
16
material, yang dimulai dari tahapan material alam hingga produk akhirnya yang
diterima oleh pengguna akhir. Namun hal tersebut menjadi sangat kompleks
karena perusahaan tertentu memiliki hubungan ke hulu dengan beberapa supplier
(multiple suppliers) dan ke hilir dengan beberapa costumer (multiple costumers).
Dan meluas antara supplier dengan supplier-nya supplier dan costumer dengan
costumer-nya costumer.
Karena adanya kompleksitas itulah, maka kemampuan mengintegrasikan mata
rantai pasokan (supply chain) dan wawasan serta pengetahuan terkini tentang
manajemen rantai pasok (supply chain management), yang telah diakui dapat
meningkatkan kompetensi dan pencapaian optimalisasi total bagi perusahaan
sangatlah diperlukan. Salah satu konsep dari industri manufaktur yang dapat
mendukung hal ini adalah konsep Supply Chain Management (SCM).
2.2.
Konsep dan Definisi Pengelolaan Rantai Pasok (Supply Chain
Management)
Supply Chain Management (SCM) merupakan pendekatan manajemen yang
terintegrasi dari aktifitas-aktifitas yang terjadi dalam proses perubahan material,
melalui peningkatan hubungan dalam supply chain (Hanfield & Nichols, 1999).
Sedangkan menurut pendapat Paulson et al. (2000), Supply Chain Management
merupakan suatu filosofi terintegrasi untuk mengatur dan mengelola aliran total di
suatu jaringan supply chain mulai dari supplier hingga konsumen akhir.
Pemikiran yang mendasari konsep ini adalah berusaha mengurangi kesia-siaan
(ketidakefisienan/inefisiensi) dan optimalisasi pencapaian value dalam jaringan
supply chain-nya, agar pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan
memberikan kepuasan pada pelanggan. Selain itu konsep ini juga bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan suatu perusahaan dalam mengintegrasikan mata rantai
pasokan (supply chain) pihak-pihak yang terlibat, agar peningkatan kompetensi
dan pencapaian optimalisasi total bagi perusahaan dapat diraih.
Untuk dapat mengaplikasikan suatu supply chain management (SCM) yang baik,
maka suatu organisasi/perusahaan tentunya harus mempunyai kemampuan yang
memadai untuk menunjang pelaksanaannya. Beberapa prasyarat dalam SCM yang
harus dimiliki adalah sebagai berikut (Vrijhoef, 1999) :
17
•
Strategi untuk mengatur proses transfer yang lancar dan efektif termasuk
pembagian dan pengawasan terhadap informasi dalam supply chain
•
Leadership dalam proses supply chain
•
Keahlian dalam mengatur inventori
•
Keahlian bernegosiasi
•
Keahlian untuk bekerja bersama dengan orang/pihak ketiga
•
Perspektif yang luas antar – perusahaan
•
Orientasi pada jangka panjang
•
Hubungan berkembang dalam horizon untuk membagi resiko dan
penghargaan secara seimbang sepanjang waktu
•
Bekerja bersama-sama secara akrab/dekat
•
Koordinasi pada level perusahaan dan manajemen
•
Semua partisipan supply chain harus mendapat informasi yang jelas tentang
isu-isu kepentingan yang mendasar
•
Level koordinasi dua arah dan visibilitas pada fungsi dan proses bisnis
Pada industri manufaktur, dengan potensinya berupa proses pengulangan yang
tinggi, serta masa produksi yang relatif panjang, telah memungkinkan industri ini
untuk membentuk jaringan supply chain yang stabil, efektif dan efisien pada awal
masa produksinya, untuk kemudian mendapatkan manfaat pada proses-proses
selanjutnya. Tetapi dalam industri konstruksi, khususnya dalam proyek konstruksi
bangunan, kesempatan yang tersedia jauh lebih sempit. Hal ini disebabkan karena
keunikan dari masing-masing proyek konstruksi bangunan telah menyebabkan
setiap proyek memiliki konstelasi jaringan supply chain yang berbeda. Di
samping itu, masa pelaksanaan yang relatif singkat, telah mempersempit proses
pembelajaran dalam membentuk jaringan supply chain konstruksinya. Kondisi ini
telah membatasi industri konstruksi dalam membentuk jaringan supply chain
konstruksi yang efisien seperti halnya dalam industri manufaktur, sehingga
diperlukan suatu cara untuk menanggulanginya.
18
Meskipun karakteristik industri konstruksi berbeda dengan manufaktur, namun
tahapan dan proses kegiatan-kegiatan yang dilakukan bisa diperbaiki secara
bertahap, karena selalu terjadi keberulangan proses, meskipun tidak persis sama
antara satu proyek dengan proyek lainnya (Egan, 1998), oleh karena itu transfer
aplikasi dan teori mengenai pengelolaan supply chain dari sektor manufaktur ke
industri ini sangat mungkin untuk dilakukan dan dipercaya sebagai salah satu
usaha yang strategis yang dapat meningkatkan daya saing suatu perusahaan
konstruksi di tengah semakin ketatnya persaingan lokal, regional maupun global,
sebagaimana layaknya industri manufaktur.
Berikut ini beberapa pendekatan yang berasal dari industri manufaktur, namun
telah dikembangkan oleh beberapa peneliti sehingga dapat digunakan didalam
mengelola jaringan supply chain pada industri konstruksi :
1. Penggunaan sistem cluster (kluster) dan collaborative design didalam
mengelola fragmentasi pada suatu supply chain dalam proyek konstruksi.
Nicolini et al. (2001) menyatakan bahwa ketidakefisienan (inefisiensi) akan
terjadi apabila sistem koordinasi terpusat menjadi pilihan dalam mengelola
fragmentasi dalam suatu supply chain konstruksi. Oleh karena itu untuk
memberikan fasilitas dalam pembagian informasi, disarankan untuk digunakan
sistem cluster (kluster), yaitu sebuah organisasi temporer terdiri atas perencana
(tim desain) dan supplier untuk mendukung kolaborasi intensif antara berbagai
disiplin. Desain kluster ini dianggap dapat meminimalkan interface, sehingga
dapat memfasilitasi tranparansi dalam komunikasi. Berdasarkan terminologi
collaborative design, Bogus et al. (2000) mengusulkan agar tim perencana
yang dimaksud di atas diperluas, termasuk kontraktor, sub kontraktor, dan
supplier material, sehingga perencanaan tidak terbatas hanya pada konsultan
perencana saja. Meskipun terjadi komunikasi yang lebih sulit, namun dengan
bantuan teknologi informasi yang lebih canggih hambatan ini dapat diatasi.
2. Koordinasi dan komunikasi antara para pelaku yang terlibat dalam supply
chain di suatu proyek.
Arbulu and Tommelein (2002) menekankan pentingnya koordinasi dan
komunikasi antara para pelaku yang terlibat dalam supply chain untuk
19
menghasilkan produk sesuai dengan waktu yang direncanakan, karena di dalam
proses perencanaan maupun pelaksanaan, waktu yang diperlukan untuk aliran
informasi dan material site seringkali tidak diperhitungkan. Sebagai aplikasi
didalam mempermudah koordinasi dan komunikasi, Chua et al. (1999) dan
Choo & Tommelein (2000) secara ekstensif mendiskusikan aspek perencanaan
dan penjadwalan aliran informasi melalui pengembangan model distribusi
informasi Integrated Production Scheduler (IPS). Didalam model tersebut
semua anggota dalam proyek bertanggung jawab untuk mengeksekusi jadwal
dan menyediakan X informasi yang relevan, sehingga seluruh proses menjadi
jelas dan dapat diterima oleh semua pihak. Lebih lanjut juga dikatakan proyek
yang dinamis dan kompleks menuntut struktur komunikasi yang baik. Mereka
juga mengembangkan program database yang disebut WorkMovePlan untuk
menyusun perencanaan ke depan dan perencanaan kerja mingguan secara
otomatis, yang memungkinkan para pelaku proyek berbagi informasi tentang
jadwal terakhir dan konflik yang mungkin terjadi.
3. Fleksibilitas transfer informasi dalam proses delivery proyek.
Lane and Woodman (2000) mencoba untuk meningkatkan fleksibilitas transfer
informasi dalam proses delivery proyek dengan menggunakan kerangka Last
Responsible Movement (LRM), yaitu sebuah mekanisme transfer informasi
yang menggunakan konsep JIT (Just in Time). Sedangkan Taylor and
Bjomsson
(2002),
mengusulkan
kerangka
"the
e-chain"
untuk
mengintegrasikan aliran informasi yang terpisah serta mengefisienkan
pertukaran informasi dan aliran material.
4. Penggunaan strategi partnering didalam mengelola hubungan antar pihak yang
terlibat dalam proyek.
Ohnuma et al. (2000), mengusulkan konsep partnering, yaitu komitmen jangka
panjang yang memberikan manfaat bagi semua pihak yang bersepakat berupa
peningkatan efisiensi dari sumber daya yang dimiliki. Dasar dari partnering
adalah kepercayaan (trust) dan kejujuran (honesty). Penggunaan strategi
kemitraan (partnering) ini perlu dilakukan, karena dengan strategi ini akan
terbentuk suatu tanggungjawab bersama antara pihak-pihak yang terkait
20
(terikat dalam dalam suatu kerjasama), untuk dapat mengembangkan
produknya secara terus-menerus, meningkatkan kualitas dengan melakukan
berbagai inovasi yang dapat mendukung ke arah yang lebih baik, mengurangi
waste
serta
melakukan
perbaikan
secara
terus-menerus
(continuous
improvement). Kumaraswammy (2000), kemudian membedakan partnering
kedalam dua bentuk yang didasarkan pada durasi dari kerja sama yang
dilakukan, yaitu project partnering dan strategic partnering. Project
partnering adalah hubungan yang terjadi dalam satu proyek tertentu saja,
sementara strategic partnering adalah hubungan yang terjadi dalam jangka
panjang dan melibatkan lebih dari satu proyek konstruksi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan mengenai beberapa hal yang sangat
ditekankan dalam mengelola supply chain pada industri konstruksi, salah satunya
yaitu pentingnya efisiensi pada aliran material, dana dan informasi dalam suatu
jaringan supply chain. Hal ini bisa terwujud dengan adanya dukungan berupa :
• Perbaikan sistem komunikasi dan pengelolaan aliran informasi melalui
dukungan teknologi informasi yang baik
• Penggunaan alat bantu/tools (seperti pengembangan program database)
Planning and Schedulling yang terintegrasi
• Penggunaan sistem cluster (kluster) dan collaborative design didalam
mengelola fragmentasi
• Penggunaan konsep Just in Time (JIT) dalam transfer informasi
• Penggunaan strategi kemitraan/ partnering didalam mengelola hubungan antar
pihak yang terlibat, dll.
Karena itulah dalam konteks ini, konsep Supply Chain Management (SCM)
dianggap sebagai salah satu usaha pengaplikasian paling tepat dan sangat penting
dalam membentuk suatu jaringan kerjasama yang efisien antar pihak-pihak yang
terlibat dalam suatu jaringan supply chain pelaksanaan pekerjaan konstruksi demi
tercapainya tujuan bersama, yaitu tercapainya value yang maksimal dengan waste
yang minimal bagi customer, di dalam Konstruksi Ramping (Lean Construction).
21
2.3.
Konsep Konstruksi Ramping (Lean Costruction)
Industri konstruksi banyak mengadopsi teori dari industri manufaktur dalam
mengelola
proses
produksinya
dengan
tujuan
mengurangi
waste
serta
meningkatkan value. Salah satu inovasi yang fundamental yang diadopsi dari
industri manufaktur adalah teori produksi yang dinamakan Lean Production
kepada proses konstruksi, yang selanjutnya disebut Konstruksi Ramping (Lean
Construction).
Sejarah Lean Construction
Penelitian mengenai lean construction dilakukan pertama kali oleh Koskela pada
tahun 1992. Dalam penelitiannya, Koskela mempelajari dan meneliti kesalahan
dan ketidakmampuan model konseptual dari manajemen konstruksi tradisional
untuk membawa proyek tepat waktu, biaya dan kualitas berdasarkan sistem
produksi ideal yang berasal dari Toyota Production System di Perusahaan Toyota.
Kesalahan dan ketidakmampuan ini telah berhasil ditunjukkan melalui suatu data
empiris di lapangan yang memperlihatkan rendahnya tingkat efisiensi di proyek
konstruksi. Analisa kegagalan perencanaan proyek mengindikasikan bahwa pada
umumnya hanya sekitar 50% dari rencana pekerjaan mingguan yang dapat
diselesaikan tepat diakhir minggu perencanaan tersebut. Dari hasil analisa itu
Koskela mengambil kesimpulan bahwa untuk kebutuhan pengembangan dalam
industri konstruksi dibutuhkan adanya suatu teori produksi yang sesuai dengan
karakteristik dari proyek konstruksi itu sendiri.
Adanya keinginan untuk menjadikan industri konstruksi mengikuti industri
manufaktur dalam pengurangan waste, maka diperlukan suatu inovasi yang
fundamental. Dalam hal ini, suatu inovasi dalam teori dasar dan paradigma di
dunia konstruksi dipercaya dapat memberikan dampak yang menyeluruh dan
signifikan. Sebagaimana yang biasa dilakukan, industri konstruksi banyak
mengadopsi dan belajar dari industri manufaktur, maka salah satu inovasi yang
fundamental itu adalah adopsi teori produksi yang dinamakan Lean Production
kepada proses konstruksi, yang selanjutnya disebut sebagai Konstruksi Ramping
(Lean Construction). Dengan demikian Konstruksi ramping merupakan penerapan
lean principles yang diterapkan pada industri manufaktur kepada industri
22
konstruksi dengan tujuan untuk meningkatkan value dan mcngurangi waste.
Terdapat lima prinsip utama dalam Lean Production. Prinsip-prinsip lean yang
dimaksud adalah sebagai berikut (Womack dan Jones, 1996):
1.
Value.
Pendefinisian nilai harus sangat spesifik dan dilakukan oleh customer akhir.
2.
The Value Stream.
Harus didesain sedemikian rupa sehingga terdapat perpindahan nilai yang
terdefinisi dari suatu kegiatan ke kegiatan yang lain, mulai dari kegiatan
problem-solving di awal, kemudian ke kegiatan pengelolaan informasi, dan
kepada kegiatan transformasi dari material mentah hingga produk akhir.
3.
Flow.
Perpindahan nilai tersebut harus dilakukan secara mengalir, tidak ada
hambatan.
4.
Pull.
Untuk menghindari produk yang tidak terpakai, dan mengurangi waste, maka
produk sebaiknya diproduksi ketika diminta oleh pengguna.
5.
Perfection.
Kegiatan memperbaiki semua proses dengan terus menerus harus dilakukan
untuk mencapai kesempurnaan.
Konsep Konstruksi Ramping (sumber : Koskela, 1992)
Koskela pada tahun 1992, kemudian mengembangkan suatu teori dasar tentang
produksi yang berbasiskan proyek konstruksi. Ide dasarnya adalah bahwa
konstruksi seharusnya tidak hanya dilihat sebagai proses penciptaan produk dari
input menjadi output (Conversion/C) saja namun harus dilihat juga sebagai suatu
Flow (F) dari pekerjaan dan suatu penciptaan Value (V) sebaik mungkin.
Conversion merupakan suatu proses perubahan input menjadi output sehingga
bisa dimanfaatkan oleh konsumen atau digunakan untuk proses produksi
berikutnya sebagaimana diilustrasikan melalui Gambar 2.2.
23
Gambar 2.2. Konsep Conversion (Sumber: Koskela 1992)
Konsep conversion ini menurut Koskela sangat fokus kepada aktifitas, sehingga
kurang memperhatikan terhadap aktifitas yang tidak memberikan tambahan value
(non-value adding activities). Oleh karena itu, perlu diperlengkapi dengan suatu
konsep baru yang bisa lebih memperhatikan terhadap non-value adding activities
tersebut.
Berdasarkan kondisi tersebutlah, maka Koskela mengembangkan konsep flow.
Konsep flow memandang produksi sebagai rangkaian aktifitas proses produksi
(processing), aktifitas menunggu (waiting), aktifitas inspeksi (inspecting) dan
proses perpindahan aktifitas (transporting/moving). Dalam pandangan konsep
flow ini, hanya aktifitas proses produksi (processing) saja yang dilihat sebagai
aktifitas yang dapat memberikan tambahan value (value adding activities) pada
konsumen, sementara aktifitas menunggu (waiting), inspeksi (inspecting) dan
perpindahan (transporting/moving) dikategorikan sebagai aktifitas yang tidak
memberikan tambahan value (non-value adding activities), sehingga
harus
diminimalkan dari proses produksi yang utama. Pada Gambar 2.3. berikut ini
diberikan ilustrasi mengenai konsep flow.
Gambar 2.3. Konsep Flow (Sumber: Koskela 1992)
24
Konsep flow ini sangat menekankan pada usaha meminimalkan non-value adding
activities dan meningkatkan value adding activities. Tujuan utamanya adalah
untuk mencapai lean production system dengan sesedikit mungkin atau bahkan
tidak ada waste. Mengidentifikasi dan mengurangi sumber dari waste merupakan
langkah awal untuk penerapan konsep ini. Berikut ini adalah kategori dari waste
yaitu :
1.
Overproduction: kategori waste ini dihasilkan karena ketidaksesuaian/
kelebihan produksi dari rencana yang telah ditetapkan.
2.
Inventory: produk akhir, semi-finished product, atau sumberdaya yang
terdapat dalam gudang yang tidak memberikan tambahan nilai dikategorikan
dalam kategori waste ini. Waste dalam ketegori ini biasanya menimbulkan
tambahan biaya untuk
sistem produksi baik berupa tempat, uang, dan
membutuhkan tambahan peralatan dan orang.
3.
Repair/rejects: merupakan produk yang tidak sesuai dengan yang diharapkan,
biasanya membutuhkan biaya tambahan untuk memperbaikinya kembali.
4.
Motion: perpindahan aktifitas yang tidak memberikan tambahan nilai
merupakan aktifitas yang tidak produktif dan termasuk dalam kategori waste
5.
Transport: meskipun kadangkala aktifitas ini merupakan hal penting dalam
proses produksi, namun perpindahan material dan produk yang tidak
memberikan tambahan value tetap dikategorikan sebagai waste
6.
Processing: waste dihasilkan dalam proses produksi ketika sistem
perencanaan tidak efisien dan kinerja sistem produksi tidak bisa mencapai
perencanaan yang telah ditentukan.
7.
Waiting: waste ini dihasilkan karena adanya bagian-bagian dalam proses
produksi mengalami delay dari schedule yang direncanakan, sehingga
aktifitas yang ada sesudahnya mengalami delay juga.
Value merupakan nilai yang ditentukan oleh konsumen yang merupakan
kebutuhan yang harus diterima secara spesifik sesuai dengan spesifikasi, waktu,
25
tempat dan biaya yang telah ditentukan. Konsep value ini harus mencakup seluruh
aspek dalam sistem produksi dan persepsi konsumen terhadap value yang
diinginkan harus menjadi sumber utama dalam menentukan prioritas strategi
dalam sistem produksi. Konsep value ini dapat dilustrasikan melalui Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Konsep Value (Sumber: Koskela 1992)
Berdasarkan berbagai literatur, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan conversion
merupakan hal yang penting di konstruksi, yaitu dengan mengontrol dan
mengoptimalkan sumberdaya melalui hirarki, sehingga proses produksi dari input
menjadi output di proyek konstruksi dapat berjalan dengan baik. Pengelolaan flow
di konstruksi dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem perencanaan dan
pengendalian proyek. Perencanaan yang bisa menjamin dan mengoptimalkan
aktifitas dalam proses produksi yang merupakan value adding activities dan
mengurangi non-value adding activities akan mampu menciptakan flow pekerjaan
yang lancar. Sementara penciptaan value yang sesuai keinginan konsumen
merupakan konsep dasar yang melingkupi semua tahapan dalam proses produksi
suatu produk. Sistem produksi yang dikembangkan oleh Koskela dari sistem
produksi lean production dengan berbasiskan proyek konstruksi inilah yang
kemudian dinamakan sistem produksi konstruksi ramping (lean construction).
Beberapa Aplikasi Konstruksi Ramping
Dalam pengimplementasian konstruksi ramping terdapat alat (tools) yang
dibutuhkan untuk menciptakan rangkaian value dan flow yang baik, yaitu dengan
alat Work Structuring dan Production Control. Di dalam setiap tahap dan juga
aspek terdapat pula tools lain yang dikembangkan agar setiap tahap dan aspek
dapat mendukung penciptaan value yang diinginkan, menciptakan flow yang baik
serta mengurangi waste. Beberapa alat yang dimaksud adalah alat manajemen
26
yang sudah ada sejak lama di dunia manufaktur dan telah diterapkan dengan
berhasil, seperti supply chain management, pre-fabrication, pre-assembly,
standardization, constructability, just in time dan lain-lain. Berikut uraian singkat
terkait tiga alat yang digunakan, yaitu work structuring, supply chain
management, dan production control, berdasarkan satu sumber yang ditulis oleh
Abduh (2006).
a. Work Structuring
Work Structuring (WS) adalah terminologi yang diciptakan oleh Lean
Construction Institute (LCI) untuk kegiatan pengembangan rancangan proses dan
operasi yang dilakukan bersamaan seiring dengan perancangan produk, penentuan
struktur supply chain pengalokasian sumber daya dan usaha perancangan untuk
pelaksanaan. Tujuan dan WS ini adalah untuk membuat aliran kegiatan yang lebih
andal, dan cepat tanpa mengurangi value kepada customer.
Salah satu alat yang banyak digunakan dalam work structuring ini adalah
simulasi. Simulasi ini bertujuan untuk mencari kemungkinan permasalahan
perancangan proses, misalnya mencari bottle neck, mencari jumlah sumber daya
yang optimal, mencari keseimbangan antar pekerjaan, serta mencari produktivitas
yang diharapkan. Simulasi ini akan lebih memberikan kepastian kepada rencana
yang dikembangkan.
b. Supply Chain Management
Supply Chain Management (SCM) dalam konteks proyek konstruksi adalah
kegiatan mengatur, mengkoordinasikan, dan mengintegrasikan aliran material
dengan aliran informasi di antara seluruh pihak yang terlibat dalam proyek
konstruksi. Kondisi konstruksi ramping dalam SCM dapat dicapai bila setiap
stakeholder telah memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan proyek. Pada
kondisi ini terlihat bahwa waste yang berhubungan dengan aliran material dan
aliran informasi dapat diminimalkan bahkan dihilangkan. Hubungan antar
stakeholder diikat dalam bentuk relational contract sehingga koordinasi antar
stakeholder baik secara horizontal maupun secara vertical dapat berlangsung
dengan lebih baik lagi.
27
Dengan demikian SCM merupakan pengelolaan seluruh pihak yang terlibat dalam
mensuplai sumberdaya mulai dari hulu hingga hilir rantai kegiatan. Pengelolaan
tersebut ditekankan agar dapat menghindari penumpukan sumber daya yang tidak
berguna (waste) dan terjadi flow antara kegiatan yang memerlukan sumber daya
tersebut. Sehingga SCM akan sangat erat kaitannya dengan sistem outsourcing
dan procurement serta hubungan antar pihak yang terkait.
c. Production Control
Pada prakteknya, yang sering dilakukan terkait dengan pengendalian hanya
berupa penilaian pelaksanaan pekerjaan dan membandingkannya dengan
perencanaan yang dilakukan. Padahal terkadang perencanaan yang dilakukan,
misalnya dengan work structuring, belum tentu dapat diandalkan. Sehingga ada
kemungkinan deviasi yang terjadi bukan karena kinerja pelaksanaan yang buruk,
tetapi lebih kepada perencanaan yang tidak realistis. Dalam sistem pengendalian
produksi dengan konsep konstruksi ramping, praktek tersebut dapat diperbaiki
dengan menggunakan sistem the Last Planner (Ballard, 2000b).
Sistem the Last Planner ini merupakan usaha melihat kembali apa yang telah
direncanakan sebelum dieksekusi oleh personil yang paling kompeten akan
pekerjaan yang direncanakan dan akan melaksanakan pekerjaan tersebut. Personil
tersebut selanjutnya sebagai the last planner. Dengan adanya sistem ini, akan
terdapat penilaian kondisi lapangan yang ada baik sumber daya maupun lokasi
yang akan memberikan input untuk evaluasi perencanaan yang sudah ada sebelum
perencanaan tersebut dilaksanakan. Hasil koreksi tersebut kemudian yang akan
dilaksanakan di lapangan. Dengan adanya sistem the Last Planner, maka prinsip
push (di mana pekerja lapangan harus melaksanakan apa yang direncanakan) yang
biasa dilakukan akan digantikan dengan sistem pull sesuai dengan konsep
Konstruksi Ramping (Lean Construction).
2.4.
Konsep dan Definisi Indikator Kinerja Supply Chain
Indikator secara umum dapat diartikan sebagai informasi yang disajikan dalam
bentuk yang baku untuk mengacu pada status yang sedang berjalan,
kecenderungan (trend) atau tindak lanjut yang dibutuhkan (Project Management
Dictionary, 2006).
28
Ada beberapa sifat yang harus dipenuhi oleh indikator, yaitu :
•
Universality (bersifat umum dan mudah diukur)
•
Measurability (menjamin bahwa data-data yang diperlukan memang dapat
diukur)
•
Consistency (menjamin kekonsistenan pengukuran) (Pires, Silvio, Aravechia
dan Carlos, 2001).
Kinerja seringkali disamakan dengan performance yang berarti hasil kerja atau
prestasi kerja. Padahal kinerja mempunyai makna lebih luas, bukan hanya
menyatakan sebagai hasil kerja, tetapi juga bagaimana proses kerja berlangsung.
Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari
pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana
cara mengerjakannya. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai
hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan
memberikan kontribusi ekonomi (Wibowo, 2007).
Indikator kinerja/ performance indicators adalah suatu ukuran kuantitatif dan
atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan
yang telah ditetapkan. Indikator kinerja merupakan sesuatu yang akan dihitung
dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat
kinerja baik dalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan maupun pada tahap
setelah kegiatan selesai dilakukan (qtd. Indikator Kinerja Departemen, 2003).
Indikator kinerja atau performance indicators kadang-kadang dipergunakan
secara bergantian dengan ukuran kinerja atau performance measures, tetapi
banyak pula yang membedakannya. Pengukuran kinerja (performance measures)
berkaitan dengan hasil yang dapat dikuatitatifkan dan mengusahakan data setelah
kejadian.
Sementara itu, indikator kinerja (performance indicators) dipakai untuk aktivitas
yang hanya dapat ditetapkan secara lebih kualitatif atas dasar prilaku yang dapat
diamati. Indikator kinerja juga menganjurkan sudut pandang prosfektif (harapan
kedepan) daripada retrospektif (melihat kebelakang). Hal ini menunjukkan jalan
pada aspek-aspek kinerja yang perlu diobservasi.
29
Menurut Hersey et al. (1996), terdapat tujuh indikator kinerja. Dimana dua
diantaranya mempunyai peran sangat penting, yaitu tujuan dan motif. Kinerja
ditentukan oleh tujuan yang hendak dicapai dan untuk melakukannya diperlukan
adanya motif. Tanpa dorongan motif untuk mencapai tujuan, kinerja tidak akan
berjalan. Dengan demikian, tujuan dan motif menjadi indikator utama dari kinerja.
Tetapi selain itu, kinerja juga memerlukan adanya dukungan sarana, kompetensi,
peluang, standard dan umpan balik.
Indikator kinerja memiliki beberapa fungsi, antara lain :
•
Memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan
•
Menciptakan konsensus yang dibangun dari berbagai pihak terkait untuk
menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kegiatan dan dalam
menilai kinerjanya
•
Membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi kinerja
Terdapat dua proses di dalam menetapkan indikator kinerja, yaitu proses
identifikasi dan klasifikasi indikator kinerja, melalui sistem pengumpulan dan
pengolahan data/ informasi untuk menentukan tingkat pencapaian kinerja
kegiatan. Proses transformasi pengukuran kinerja jika diskemakan dalam suatu
kerangka logis seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.5. berikut.
Gambar 2.5. Kerangka Logis Proses Penilaian
(Sumber : Noor Yasak Manaf, 2005)
Sesuai dengan kerangka logis di atas, untuk melakukan penilaian kinerja ada
beberapa jenis indikator kinerja yang dapat digunakan, yaitu :
•
Indikator input (masukan) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar
pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator
ini dapat berupa anggaran, sumberdaya manusia, informasi, kebijakan dan
sebagainya.
30
•
Indikator output (keluaran) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai
dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/atau non fisik.
•
Indikator outcome (hasil) adalah segala sesuatu yang mencerminkan
berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
•
Indikator benefit (manfaat) adalah segala sesuatu yang terkait dengan tujuan
akhir dari pelaksanaan kegiatan.
•
Indikator impact (dampak) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif
maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah
ditetapkan.
Dengan demikian indikator tersebut dapat digunakan untuk evaluasi baik dalam
tahap perencanaan, tahap pelaksanaan ataupun tahap setelah kegiatan selesai dan
berfungsi.
Kinerja jika dikaitkan dengan supply chain (kinerja supply chain) akan berarti
sebagai semua aktivitas pemenuhan permintaan customer yang dinyatakan
secara kuantitatif. Hasil yang diperoleh akan berbentuk angka atau prosentase
dari aktivitas suatu proyek dalam memenuhi permintaan customer-nya atau pihak
lain di dalam memenuhi permintaan proyek. Sehingga diperlukan suatu
pengukuran untuk mengetahui baik buruknya kinerja dari suatu supply chain.
Tujuan pengukuran disini adalah:
• Untuk menciptakan proses delivery secara fisik yang baik (barang mengalir
dengan lancar dan inventory tidak terlalu tinggi) di proyek
• Melakukan stream lining information flow (adanya aliran informasi diantara
tiap channel/ pihak yang terlibat)
• Cash flow yang baik pada setiap channel/ pihak yang terlibat dari supply chain
Sedangkan ukuran kinerja/ performance measures merupakan suatu nilai atau
karakteristik untuk mengukur suatu output atau hasil. Menurut Tucker dan taylor
(1990), ukuran kinerja terdiri dari empat komponen yaitu satuan metrik yang
digunakan (kesesuaian, efisiensi, efektivitas, biaya dan reaksi), suatu skala
31
(rupiah, jam), suatu rumusan (persentase a terhadap b, rata-rata waktu antara
kegagalan) dan suatu kondisi saat penilaian dilakukan.
Ukuran kinerja adalah suatu evaluasi kuantitatif dari suatu proses atau produk.
Suatu ukuran umumnya terdiri dari suatu angka dan satuannya. Angka tersebut
menunjukkan besarnya dan satuan menunjukkan suatu arti atau maksud. Metrik
(standar penilaian seperti frekuensi, persentase dan lain sebagainya) digunakan
untuk merefleksikan perkembangan suatu produk dan untuk menentukan apakah
sesuai atau tidak dengan progres yang diharapkan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa pengukuran kinerja berbeda
dengan indikator kinerja. Pengukuran kinerja berkaitan dengan hasil yang dapat
dikuatitatifkan dan mengusahakan data setelah kejadian. Sementara itu, indikator
kinerja dipakai untuk aktivitas yang hanya dapat ditetapkan secara lebih kualitatif
atas dasar prilaku yang dapat diamati. Ukuran kinerja menganjurkan retrospektif
(melihat ke belakang) daripada sudut pandang prosfektif (harapan ke depan).
Pengukuran kinerja di dalam supply chain sangat penting dilakukan di industri
yang ingin meningkatkan kompetensinya sebagai industri yang kuat, termasuk di
industri konstruksi. Kalangan industri pada umumnya melakukan pengukuran
kinerja terhadap supply chain-nya dengan tujuan mengurangi biaya-biaya,
memenuhi customer satisfication, dan meningkatkan keuntungan mereka (Klapper
dan Vivar, 1999).
Pengukuran kinerja dan analisanya dapat digunakan untuk : memberi pandangan
yang luas dalam proses supply chain dan cara-cara perbaikannya, memberikan
pandangan mengenai permintaan di dalam proses supply chain, pengontrol biaya,
pengontrol kualitas, dan menentukan level dan pengontrol dari pelayanan terhadap
konsumen (Trienekens dan Iivolby, 2000).
Pengukuran kinerja dari supply chain haruslah mengandung indikator-indikator
yang sebaiknya harus berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti berikut :
•
Aspek-aspek apa saja yang harus diukur?
•
Bagaimana mengukur aspek-aspek tersebut?
32
•
Bagaimana
menggunakan hasil pengukuran itu untuk
menganalisa,
memperbaiki dan mengontrol kualitas rantai pasok?
Di dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, bukanlah merupakan tugas
yang mudah. Banyak indikator yang harus disiapkan dan perlu adanya
penggunaan ukuran yang disesuaikan dengan kondisi perusahaan (proyek) yang
akan diukur kinerjanya. Ukuran-ukuran kinerja ini akan merefleksikan data
kuantitatif yang dapat diperoleh pada suatu proses pengelolaan tertentu, sehingga
sangat berkaitan dengan indikator-indikator kinerja yang bersifat kuantitatif.
Selain indikator kinerja kuantitatif, terdapat pula indikator kinerja kualitatif
sebagai pelengkap, yaitu indikator yang membangun opini kolega (peers) tentang
profil terjadinya fakta, sehingga diperlukan kategori-kategori ukuran yang sesuai
untuk merepresentasikan indikator-indikator kualitatif tersebut. Ukuran dan
kategori inilah yang digunakan sebagai perbandingan secara langsung antara
kinerja aktual saat ini dengan sebelumnya dan dapat digunakan sebagai proses
benchmarking dengan kinerja lainnya.
Selain itu, suatu pengukuran kinerja juga harus menggambarkan suatu feedback
dari informasi yang merupakan gabungan antara apa yang diharapkan oleh
konsumen dan tujuan yang paling strategis. Menurut Lynch (1991), suatu sistem
pengukuran kinerja harus bisa menjawab dua pertanyaan sederhana berikut :
•
Apakah setiap fungsi dan departemen yang ada dalam suatu organisasi telah
melakukan pekerjaannya dengan benar?
•
Apakah selama prosesnya mereka telah melakukan yang terbaik?
Pengukuran kinerja yang dilakukan harus lebih fokus terhadap tugas yang
merupakan bagian dari proses produksi, karena itu harus dilakukan kontrol
terhadap masing-masing tugas agar dapat melakukan perbaikan secara terusmenerus terhadap keseluruhan proses produksi. Dengan melakukan pengukuran
terhadap tugas-tugas dalam pekerjaan sehari-hari, maka penggunaan indikator
kinerja disarankan digunakan untuk mengukur dan meningkatkan efisiensi dan
kualitas dari proses produksi dan mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan
untuk meningkatkan kemajuan dari kinerja proses.
33
2.5.
Konsep Kinerja Supply Chain di Berbagai Industri
2.5.1. Kajian Berbagai Model Pengukuran Kinerja Supply Chain di Industri
Manufaktur
Industri manufaktur merupakan salah satu industri yang telah banyak melakukan
berbagai studi dan penelitian terkait dengan peningkatan kinerja dalam supply
chain. Hal inilah yang menjadikan industri manufaktur sebagai sumber inovasi
bagi industri lain termasuk industri konstruksi, untuk mengembangkan kinerja
dari supply chain-nya.
Salah satu studi terkait dengan hal ini adalah studi yang dilakukan Salla (2003).
Studi tersebut dilakukan untuk mengukur kinerja supply chain di suatu perusahaan
dimana hasil dari pengukurannya nanti diharapkan dapat membantu perusahaan
dalam menentukan strategi yang akan dijalankan di masa mendatang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Setelah pengukuran dilakukan, kemudian
dilakukan perbaikan dimana perbaikan disini terdiri dari perbaikan inventory,
produksi, dan kemungkinan perbaikan yang lain. Setelah dilakukan perbaikan
kemudian akan disimulasi berdasarkan kebijakan yang dihasilkan dari perbaikan
ataupun dengan kebijakan yang lain. Hasilnya adalah nilai untuk tiap kinerja
supply chain management dan penentuan terhadap kebijakan yang sebaiknya
dilakukan untuk mencapai nilai tersebut.
Kinerja yang telah dikembangkan dalam penelitian ini akan ditujukan pada
proses-proses yang terjadi di dalam perusahaan sehari-hari, dan kemudian dengan
didasarkan atas kinerja yang telah didapat dari berbagai referensi akan dilakukan
penilaian atas proses yang terjadi yang menggambarkan kinerja yang diukur
tersebut. Berikut ini adalah indikator kinerja yang telah dikembangkan oleh Salla
(2003) dan kemudian diaplikasikan dalam pengukuran kinerja di suatu perusahaan
manufaktur, antara lain :
34
Tabel 2.2. Kinerja Supply Chain Perusahaan Manufaktur
No
Kinerja
1.
Delivery performance to request
2.
Order fulfillment lead time
3.
Perfect order
4.
Order fill rate
5.
Performance to promise
6.
Upside production flexibility
7.
Fixed production
8.
9.
Total supply management cost :
• Order manufacturing cost
• Equipment related to production as
a% of revenue
• Inventory carrying cost
• Inventory investment as % of sales
• % of raw material, purchased
component, product compare to total
inventory investment
Measure of excess/obsolete inventory
10.
Projected inventory turns
11.
Inventory accuracy
12.
Value of slow maving product
13.
Forecast accuracy :
• Unit of forecast accuracy
• Dollar of forecast accuracy
Definisi
Kinerja perusahaan dalam memenuhi permintaan
untuk dapat sesuai dengan jumlah yang diminta
oleh customer
Waktu yang diperlukan perusahaan untuk
memenuhi permintaan customer
Tingkat keakuratan perusahaan dalam melakukan
pemenuhan permintaan dari customer
Kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kebutuhan customer pada kedatangan pertama
kali
Keadaan
perusahaan
berkaitan
dengan
pemenuhan janji yang diberikan oleh perusahaan
jika terjadi kekurangan atau jika terjadi
kekosongan dari barang yang diminta
Fleksibilitas dari supplier perusahaan dalam
memenuhi permintaan perusahaan
Stabilitas produksi yang dilakukan oleh
perusahaan
Biaya order dari pesanan
Besarnya
pembelian
perlengkapan
diperlukan perusahaan
Biaya simpan dari inventory
Besarnya investasi dari inventory
Jumlah bahan baku yang dibeli perusahaan
yang
Adanya inventory yang kelebihan/menjadi tidak
digunakan
Perpindahan
inventory
yang
diinginkan
perusahaan di masa depan
Ketepatan penggunaan dari jumlah inventory
yang dilakukan
Ketepatan dari besarnya nilai yang harus
disediakan
Ketepatan dari peramalan yang dilakukan
Ketepatan dari peramalan yang dilakukan dari
besarnya nilai yang harus disediakan
35
No
Kinerja
14.
Transportation
• Freight cost per unit shipped
• Outbound freight cost as percentage
of net sales
• Inbound freight cost as percentage of
purchases
• Claims as % og freight costs
• Accecorials as percent of total
freight
• Percent of truckload capacity
utilized
• Mode selection vs optimal
• Truckturn around time
• Shipment
visibility/ traceability
percent
• Number of carries per mode
15.
• On time pickups
Return
• Return processing cost as % of
product revenue
• Return inventory status
• Return cycle time :
- Cycle
•
•
•
•
•
times to process excess
product return to re sale
Cycle time to process obsolete & end
of life product return disposal
Cycle time to repair of refurbish
return for use
Percent actual achievement versus
published service agreement cycle
time
# of repairs performed as % of total
units shipped annualy
# of repairs performed internally as
a % of total # repairs performed
• # of repairs performed externally (by
third party) as a % of total # repairs
performed.
• Cost of units repaired/refusbished
internally as a % of total
• Cost of units repaired/refusbished
externally as a % of total
• Defect free order to total order
Definisi
Biaya angkut dari pengiriman per unit
Biaya kirim yang dibandingkan terhadap
penjualan
Biaya angkut yang terjadi di dalam perusahaan
dibandingkan terhadap pembelian
Biaya klaim yang dibandingkan terhadap biaya
angkut
Biaya tambahan dalam mengirim
Pengunaan ruang dalam kendaraan
Cara pengiriman yang paling opimal
Lama waktu untuk mengisi kendaraan yang
datang
Kemampuan melihat kinerja pengiriman dari
ekspedisi yang digunakan perusahaan
Jumlah ekspedisi yang menggunakan cara
pengangkutan yang sama dengan perusahaan
Ketepatan waktu pengambilan ke perusahaan
Biaya memproses barang yang dikembalikan
terhadap penerimaan produk yang sejenis yang
dikirim
Jumlah inventory dari barang yang dikembalikan
Waktu untuk
memproses
barang
dikembalikan untuk dijual kembali
yang
Waktu untuk
memproses
barang yang
dikembalikan yang sudah habis masa expired
Waktu untuk memperbaiki barang yang
dikembalikan untuk digunakan kembali
Waktu yang direncanakan dibandingkan waktu
actual yang dilakukan berkaitan dengan return
Jumlah yang diperbaiki dibandingkan terhadap
jumlah yang dikirim
Jumlah yang diperbaiki oleh perusahaan sendiri
dibandingkan terhadap jumlah total perbaikan
yang harus dilakukan
Jumlah yang diperbaiki oleh pihak luar dari
perusahaan
Biaya memperbaiki barang yang dikembalikan
Biaya perbaikan yang dilakukan oleh pihak luar
dari perusahaan
Jumlah pemenuhan permintaan yang tanpa return
36
Menurut Beamon (1999), terdapat tiga jenis kriteria pengukuran kinerja suatu
supply chain, yaitu :
1.
Sumber daya.
Tujuan dari kriteria ini adalah mencapai tingkat efisiensi yang setinggitingginya. Bentuk nyata yang dapat diukur dalam kriteria ini antara lain total
biaya, biaya distribusi, biaya produksi, biaya inventori dan lain sebagainya.
2.
Keluaran.
Tujuan dari kriteria ini adalah mencapai tingkat kepuasan pelanggan yang
setinggi-tingginya. Bentuk nyata yang dapat diukur dalam kriteria ini antara
lain volume produksi, jumlah penjualan, jumlah pesanan yang dapat dipenuhi
tepat waktu dan lain sebagainya.
3.
Fleksibilitas.
Tujuan dari kriteria ini adalah untuk menciptakan kemampuan yang tinggi
dalam merespon perubahan yang terjadi di lingkungannya. Bentuk nyata yang
dapat diukur dalam kriteria ini antara lain pengurangan jumlah backorder,
pengurangan jumlah lost sales, kemampuan merespon variasi permintaan dan
lain sebagainya.
Sedangkan Chan & Qi (2003) mengusulkan performance of activity (POA) yang
merupakan suatu model untuk mengukur kinerja aktivitas yang menjadi bagian
dari proses dalam supply chain. Disini kinerja aktivitas tersebut dapat diukur
dalam berbagai dimensi, yaitu:
1.
Ongkos, yang terlibat dalam eksekusi suatu aktivitas.
Ongkos muncul karena dalam pelaksanaan suatu aktivitas ada sumber daya
yang digunakan. Ongkos ini bisa berasosiasi dengan tenaga kerja, material,
peralatan, dan sebagainya. Ongkos bisa diukur dalam bentuk absolut maupun
dalam ukuran relatif terhadap suatu nilai acuan. Misalnya, ongkos material
bisa diukur dalam nilai rupiah per tahun atau diukur relatif terhadap nilai
penjualan dalam setahun. Ongkos masa lalu juga bisa digunakan sebagai
nilai acuan dalam pengukuran kinerja supply chain.
Misalnya, penurunan biaya-biaya persediaan biasanya diukur dalam bentuk
persentase, relatif terhadap biaya pada tahun anggaran sebelumnya.
37
2.
Waktu, yang diperlukan untuk mengerjakan suatu aktivitas.
Ukuran ini tentu saja sangat penting dalam konteks supply chain
management terutama untuk supply chain yang berkompetensi atas dasar
kecepatan respon. Kecepatan respon secara umum ditentukan oleh waktu
yang dibutuhkan oleh masing-masing aktivitas maupun proses dalam supply
chain. Waktu pengembangan produk baru, waktu pemrosesan pesanan
pelanggan, waktu untuk mendapatkan bahan baku dari supplier dan waktu
setup untuk kegiatan produksi adalah sebagian dari kontributor penting
dalam menciptakan kecepatan respon pada supply chain.
3.
Kapasitas
Kapasitas adalah ukuran seberapa banyak volume pekerjaan yang bisa
dilakukan oleh suatu sistem atau bagian dari supply chain pada suatu periode
tertentu. Contohnya adalah kapasitas produksi suatu pabrik, kapasitas
pengiriman dari sebuah supplier, kapasitas penyimpanan sebuah gudang dan
sebagainya. Besar kecilnya kapasitas perlu diketahui sebagai dasar untuk
perencanaan produksi atau pengiriman dan sebagai dasar dalam memberikan
janji pengiriman ke pelanggan. Besarnya kapasitas yang terpasang relatif
terhadap rata-rata permintaan memberikan informasi fIeksibiIitas pada
supply chain. Pada era dimana jaringan supply chain sangat dinamis, dimana
kegiatan outsourcing dan subcontracting sangat lumrah dilakukan, kapasitas
suatu supply chain bisa jadi juga dinamis dan tidak ditentukan hanya oleh
sumber daya yang dimiliki oleh suatu organisasi.
4.
Kapabilitas
Kapabilitas mengacu pada kemampuan agregat suatu supply chain untuk
melakukan suatu aktivitas. Ada beberapa sub-dimensi yang membentuk
kapabilitas supply chain. Beberapa sub-dimensi kapabilitas yang sering
digunakan dalam mengukur kinerja supply chain adalah:
•
Reliabilitas (kehandalan) mengukur kemampuan supply chain untuk
secara konsisten memenuhi janji. Sebagai contoh, pengiriman dari
supplier dikatakan handal apabila deviasi waktu pengiriman relatif
kecil relatif terhadap waktu yang dijanjikan atau diharapkan. Mesin
38
dikatakan handal apabila bisa bekerja dengan baik dalam jangka waktu
yang yang diharapkan serta menghasilkan output dengan variabilitas
yang relatif kecil dibandingkan dengan batas-batas spesifikasi yang
ditetapkan oleh pe1anggan.
•
Ketersediaan mengukur kesiapan, yakni kemampuan supply chain
untuk menyediakan produk atau jasa pada waktu diperlukan. Sebagai
contoh, inventory availability mengukur ketersediaan persediaan pada
waktu dan tempat dimana pelanggan membutuhkan. Fill rate dan
customer service level adalah dua contoh metrik yang mengukur
ketersediaan pada supply chain.
•
Fleksibilitas adalah kemampuan supply chain untuk cepat berubah
sesuai dengan kcbutuhan output atau pekerjaan yang harus dilakukan.
Tingkat fleksibilitas yang dibutuhkan setiap supply chain tentu saja
berbeda dan sangat tergantung dari strategi mereka bersaing di pasar.
Fleksibilitas supply chain ditentukan aleh banyak faktor. Pujawan
(2004) mengidentifikasikan elemen-elemen fleksibilitas pada supply
chain yang terdiri dari fleksibilitas pengadaan, fleksibilitas produksi,
dan fleksibilitas pengiriman.
5.
Produktivitas, yang mengukur sejauh mana sumber daya pada supply chain
digunakan secara efektif dalam mengubah input menjadi output.
Secara mekanis produktivitas merupakan rasio antara keluaran yang efektif
terhadap keseluruhan input yang terdiri dari modal, tenaga kerja, bahan baku,
dan energi.
6.
Utilisasi, yang mengukur tingkat pemakaian sumber daya dalam kegiatan
supply chain.
Misalnya, utilitas mesin, gudang, pabrik, dan sebagainya. Mesin yang hanya
beroperasi rata-rata selama 6 jam sehari dari jam kerja harian 8 jam
dikatakan memiliki utilitas sebesar 75%. Pada supply chain yang siklus
hidup produknya relatif panjang dan tidak berkompetisi atas dasar inovasi,
utilitas menjadi salah satu ukuran yang penting untuk dimonitor.
39
7.
Outcome, yang merupakan hasil dari suatu proses atau aktivitas.
Pada proses produksi outcome bisa berupa nilai tambah yang diberikan pada
produk-produk yang dihasilkan. Outcome tidak selalu mudah diukur karena
sering kali tidak berwujud. Sebagai contoh outcome pada proses
penyimpanan tidak mudah dikuantifikasi.
Ke tujuh dimensi di atas memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dalam
pengukurannya di lapangan. Dalam prakteknya, ongkos, waktu, kapasitas, dan
produktivitas relatif lebih mudah diukur sedangkan dimensi lainnya relatif sulit.
Sebagai contoh, fleksibilitas supply chain bisa diinterpretasikan berbeda-beda
dengan ukuran yang berbeda-beda.
2.5.2. Pengembangan Indikator Kinerja Berbasiskan Konsep Konstruksi
Ramping (Lean Construction) di Luar Negeri
Moon et. al, (2007) dalam salah satu penelitiannya telah melakukan suatu
pengembangan indikator kinerja yang didasarkan atas konsep Lean Construction,
tepatnya berdasarkan teori Transformation, Flow dan Value (TFV theory).
Indikator kinerja yang dikembangkan dalam penelitian tersebut hanya bisa
digunakan untuk mengukur hasil yang diperoleh (result-oriented performance),
dan tidak dapat digunakan untuk mengukur kinerja konstruksi selama proses
berlangsung, atau yang biasa dikenal sebagai process-oriented performance.
Sebagai indikator kinerja yang dikembangkan berdasarkan process-oriented,
maka Moon et al,. (2007) kemudian mencoba memperkenalkan pengaplikasian
dari tiga konsep: kehandalan (reliability), efisiensi (efficiency) and efektivitas
(effectiveness), yang didasarkan terhadap teori Transformation (Conversion),
Flow dan Value yang merupakan tiga prinsip utama dalam konstruksi ramping
(lean construction). Lebih lanjut dalam paper ini dikatakan bahwa katerkaitan
antara tiga konsep dan teori TFV yaitu bahwa ”transformasi (conversion) harus
efisien”, ”aliran (flow) harus dapat diandalkan” dan ”nilai yang diperoleh
(value) harus didasarkan pada penyelesaian yang efektif dari pekerjaanpekerjaan yang dianggap kritis”.
40
Dalam penelitian ini dikemukakan bahwa TFV merupakan dasar pembentukan
indikator, selain itu dikemukakan juga bagaimana model hubungan logis antara
indikator yang didasarkan terhadap TFV teori dan indikator dalam sistem
tradisional lainnya serta pengujian validitas dari indikator-indikator tersebut.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Schieman and Lingle (1999)
disimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan yang melakukan pengukuran terhadap
pengelolaan yang dilakukannya memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan
perusahaan yang tidak melakukan. Hal ini dikarenakan pengukuran kinerja
memberikan informasi yang penting untuk kontrol terhadap proses dan
membuatnya mungkin untuk membuat berbagai tujuan yang mungkin dan layak
untuk dilakukan.
Selain itu kegunaan dari melakukan pengukuran kinerja sangat kuat berkaitan
dengan pentingnya pengaplikasian proses transparansi dalam memanage proses
produksi. Dengan menggunakan indikator, maka beberapa atribut proses yang
tadinya tidak mungkin untuk dilakukan menjadi mungkin untuk dilakukan
(Koskela, 1992).
Di industri konstruksi, kinerja proyek yang baik berdasarkan sistem tradisional
adalah yang tepat biaya dan waktu dengan mutu yang sesuai dengan yang
diinginkan. Namun saat ini, kebanyakan proyek manager diharuskan untuk
menggunakan indikator kinerja proyek yang terdiri dari biaya, waktu, mutu,
keselamatan, keuntungan, dll, yang sifatnya result-oriented. Saat ini sebagian
besar para peneliti yang meneliti tentang pengukuran kinerja cenderung juga
untuk mencaritahu jawaban pertanyaan seputar indikator kinerja yang bersifat
result-oriented.
Bagaimanapun project manager tidak bisa mengetahui status dari pekerjaan yang
sedang berlangsung jika berdasarkan informasi yang diberikan oleh indikator
yang bersifat result-oriented ini, karena indikator kinerja proyek yang didasarkan
atas biaya, waktu, mutu, keselamatan, keuntungan, dll, hanya dapat diukur jika
proyek telah selesai dikerjakan.
41
Kebanyakan dari indikator fokus terhadap hasil akhir proyek dan bukan terhadap
proses selama proyek berlangsung. Hal ini menyulitkan terhadap para pihak yang
terlibat untuk mengetahui seberapa baik proyek yang mereka kerjakan dan
mengontrol terhadap proses produksi selama tahap pelaksanaan (sedang
dikerjakan).
Dalam penelitian ini kemudian disajikan satu set indikator kinerja yang sifatnya
process oriented untuk proyek konstruksi. Tiga konsep yang berasal dari TFV
theory (Koskela, 2000) telah dipilih untuk mengembangkan indikator-indikator
ini, yaitu : kehandalan (reliability), efisiensi (efficiency) and efektivitas
(effectiveness).
TFV(Transformation-Flow-Value) Theory
Koskela (1999) berpendapat bahwa kita banyak memiliki kekurangan terhadap
teori yang berkembang dalam konstruksi, terutama terkait dengan: pertama,
permasalahan kinerja yang kurang lebih dapat secara langsung terkait dengan
masalah teori; kedua, kurangnya teori yang bersifat tegas sehingga menimbulkan
kesulitan di dalam pengimplementasian metode pengelolaan aliran (flow) dan
pencapaian nilai (value) di industri konstruksi. Ketiga terkait dengan upaya kita di
dalam mengembangkan industri konstruksi, bahwa sudah menjadi kenyataan
bahwa industrialisasi atau teknologi informasi dalam industri konstruksi juga
mengalami banyak kekurangan dalam hal teori-teori yang terkait dengannya.
Koskela et al. (2002) menetapkan teori TFV sebagai teori yang didasarkan pada
metodologi untuk konstruksi yang berupaya untuk mempertinggi pemahaman dan
pengaplikasian di dalam industri. Namun demikian lingkup dari teori TFV ini
tidak terbatas hanya untuk industri konstruksi saja, ini juga dapat mencakup
terhadap daerah lain yang termasuk dalam pengelolaan produksi yang berbasiskan
proyek (project-based production management), yang lebih memberikan
perhatian terhadap delivery produk-produk yang sejenis. Berdasarkan teori TFV,
bahwa desain, kontrol dan perbaikan dari proses produksi harus dilakukan sebagai
suatu integrasi antara konsep transformation, flow dan value serta bukan
merupakan suatu konsep alternatif (Koskela, 2000). Berikut uraian ketiga konsep
tersebut :
42
− Pada konsep pertama (tansformation), produksi dipandang sebagai suatu
transformasi/ perubahan dari input menjadi output. Pengelolaan produksi
dilakukan untuk memisahkan atau menguraikan transformasi total ke dalam
transformasi-transformasi dasar dan tugas, dengan tujuan membuat perubahan
menjadi se-efisien mungkin.
− Konsep kedua (flow) memandang produksi sebagai suatu aliran, dimana dalam
suatu proses produksi terdapat aktivitas menunggu (waiting), inspeksi
(inspection), perpindahan (moving). Teori antrian (queuing theory), yang biasa
diaplikasikan dalam suatu aliran, mengajarkan bahwa variabilitas merupakan
suatu faktor penting yang biasa terjadi dalam suatu aliran. Pengelolaan
produksi dilakukan untuk meminimalisasi pembagian aktivitas-aktivitas yang
tidak termasuk dalam transformasi (non-transformation stages) dari suatu
aliran pada proses produksi, terutama dengan mengurangi variabilitas.
− Konsep ketiga (value) memandang produksi sebagai pemenuhan kebutuhan
bagi konsumen. Pengelolaan produksi dilakukan untuk menterjemahkan/
menjelaskan kebutuhan tersebut secara lebih akurat sebagai suatu solusi ke
dalam suatu desain yang spesifik dan memproduksi produk yang sesuai
dengan spesifik desain tersebut.
Konsumen mungkin dapat mengenali ketiga hal tersebut dalam proses produksi
yang dalam penelitian ini kasusnya adalah pada pekerjaan-pekerjaan yang harus
diselesaikan sebelum pekerjaan tertentu dapat dimulai (predecessor), atau
sebaliknya, yaitu pada pekerjaan-pekerjaan yang justru baru dapat dimulai setelah
satu pekerjaan tertentu selesai dikerjakan (successor).
Sehingga dengan adanya pandangan seperti itu maka nilai dari suatu pekerjaan
tergantung dari penyelesaian yang efektif dari suatu pekerjaan pendahulu
(preceding work). Hal ini juga berarti bahwa untuk dapat memperbaiki stabilitas
dari proses produksi adalah dengan berusaha mengurangi variabilitas yang terjadi
di titik dimulainya suatu pekerjaan yang mengikuti preceding work sehingga
kemudian pengurangan terjadinya fenomena aktifitas yang tidak memberikan nilai
tambah (non-value adding activities) dapat dilakukan.
43
Terkait dengan efektivitas (effectiveness) di dalam penelitian ini dideskripsikan
sebagai suatu ukuran seberapa besar pekerjaan yang mendahului satu pekerjaan
tertentu (preceding work) dapat berpengaruh terhadap pekerjaan yang justru dapat
dimulai sesudah satu pekerjaan tertentu itu selesai dilakukan (succeeding work).
Efektivitas dari satu pekerjaan baru dapat diukur ketika keseluruhan tugas-tugas
yang berhubungan dalam suatu pekerjaan telah selesai dilakukan.
Terkait dengan kehandalan (reliability) dalam penelitian ini merepresentasikan
persentase kesesuaian penyelesaian pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktor
terhadap rencana (percent plan complete). Proses pengukuran sangat mudah
dilakukan sehingga para manajer mungkin dapat dengan mudah untuk
mengaplikasikannya di lapangan. Pengukuran untuk hal kehandalan ini,
seharusnya dilakukan setiap hari agar kinerja dapat terukur lebih spesifik.
Sedangkan terkait dengan efisiensi (efficiency) diartikan sebagai jumlah dari input
yang dibutuhkan untuk suatu pekerjaan yang telah direncanakan. Dari hasil
pengukuran, jika input yang telah direncanakan ternyata jumlahnya melebihi dari
jumlah pekerjaan yang direncanakan maka hal ini akan memberikan suatu
informasi penting terhadap manager mengenai jumlah optimum dari input yang
dibutuhkan. Melakukan pengukuran dengan menggunakan tiga indikator ini juga
dapat mendukung di dalam melakukan perkiraan (estimasi) terhadap waktu, biaya
dan hal-hal lainnya.
Download