evaluasi kemurnian genetik sapi bali menggunakan dna

advertisement
EVALUASI KEMURNIAN GENETIK SAPI BALI
MENGGUNAKAN DNA PENCIRI MIKROSATELIT
LOKUS HEL9 DI KABUPATEN BARRU
SKRIPSI
MUSDALIFA MANSUR
I 111 10 001
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
i
EVALUASI KEMURNIAN GENETIK SAPI BALI
MENGGUNAKAN DNA PENCIRI MIKROSATELIT
LOKUS HEL9 DI KABUPATEN BARRU
SKRIPSI
MUSDALIFA MANSUR
I 11110001
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Musdalifa Mansur
NIM
: I 111 10 001
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli
b. Apa bila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab
Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan
atau dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan
sepenuhnya.
Makassar,
Juni 2014
TTD
Musdalifa Mansur
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
Nama
: Evaluasi
Kemurnian
Genetik
Sapi
Bali
Menggunakan DNA Penciri Mikrosatelit Lokus
HEL9 di Kabupaten Barru
: Musdalifa Mansur
No. Pokok
: I 111 10 001
Program Studi
: Produksi Ternak
Jurusan
: Produksi Ternak
Fakultas
: Peternakan
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M,Sc. Dr. Muh. Ihsan A. Dagong, S.Pt. M,Si.
NIP.19630501 198803 1 004
NIP.19770526 200212 1 003
Dekan Fakultas Peternakan
Ketua Jurusan Produksi Ternak
Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc. Prof. Dr. Ir. H. SudirmanBaco, M.Sc.
NIP. 19520923 197903 1 002
NIP. 19641231 198903 1 025
Tanggal Lulus: 13 Juni 2014
iv
ABSTRAK
MUSDALIFA MANSUR (I 111 10 001). Evaluasi Kemurnian Genetik Sapi Bali
Menggunakan DNA Penciri Mikrosatelit Lokus HEL9 Di Kabupaten Barru.
Dibimbing oleh Lellah Rahim sebagai pembimbing utama dan Muhammad
Ihsan Andi Dagong sebagai pembimbing anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemurnian sapi Bali di
Kabupaten Barru berdasarkan identifikasi fenotipe dengan menggunakan DNA
penciri mikrosatelit lokus HEL9. Sampel darah di ekstraksi dengan menggunakan
Kit DNA ekstraksi Genjet Genomic DNA Extraction (Thermo Scientific),
diamplifikasi dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Analisis
polimorfisme meliputi frekuensi alel dan genotipe, heterozigositas pengamatan
(Ho), heterozigositas harapan (He) dan kesetimbangan Hardy Weinberg. Alel
yang ditemukan adalah alel A dan alel B. Dari hasil penelitian ini menunjukkan
bentuk tanduk dominan pada jantan adalah silak bajeg sedeangkan bentuk tanduk
dominan pada betina adalah silak manggulgangsa. Genotipe yang ditemukan yaitu
AB (100%). Pada populasi sapi Bali di kabupaten Barru diperoleh nilai
heterozigositas pengamatan (Ho) adalah 1 dan nilai heterozigositas harapan (He)
adalah 0.5031. Nilaichi- square pada penelitian ini tidak memenuhi syarat untuk
di hitung dan tidak berada dalam keseimbangan Hardy- Weinberg.
Kata Kunci : Sapi Bali, Mikrosatelit, Frekuensi Alel, HEL9
v
ABSTRACT
MUSDALIFA MANSUR (I 111 10 001). Evaluation of Genetic Purity Bali
Cattle In Barru Province using HEL9 Locus Mikrosatelite Marker. Supervised by
Lellah Rahim as the main supervisor and Muhammad Ihsan Andi Dagong as
the co supervisor.
The aim of this study to determined the level of genetic purity of Bali
cattle in Barru Province based identification of phenotype and used HEL9 locus
mikrosatelite marker. The genomic DNA was extracted by using Genomic DNA
extraction Kit and then were amplified by Polymerase Chain Reaction machine.
The analyzed of the polymorphism were calculated based on genotypic and allelic
frequencies, observed heterozygosity (Ho), expected heterozygosity (He) and the
Hardy-Weinberg equilibrium. The result of this study showed that the dominant
horn shape of the bull was silak bajeg whereas cows was silak manggulgangsa.
The genotypes frequencies of AB (100%). In Bali cattle population was found
alelle A dan alelle B. In equal percentage (50 : 50). In Bali cattle population the
observed heterozygosity value (Ho) was 1 while the expected heterozygosity in
(He) was 05031. Chi- square value in this study was not qualified to be counted
and were not in Hardy- Weinberg equilibrium.
Keywords : Bali Cattle, Mikrosatelite, Allele Frequency, HEL9
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim…..
Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan
hidayah-Nya sehingga Tugas Akhir / Skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat
waktu. Skripsi dengan judul “Evaluasi Kemurnian Genetik Sapi Bali
Menggunakan DNA Penciri Mikrosatelit Lokus HEL9 di Kabupaten Barru”
Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis
hanturkan dengan penuh rasa hormat kepada :
1. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
dengan segenapcinta dan hormat kepada ayahanda tercinta Mansur Gani dan
ibunda Gusniaty atas segala doa, motivasi,dan kasih sayang serta materi yang
diberikan kepada penulis dan saudara-saudara saya Muslim Mansur, Marwa
Mansur, Maghfira Mansur, Marjan Mansur, dan Muhammad Rafli
Mansur yang senantiasa membantu dan memberikan motivasi untuk selalu
lebih semangat.
2. Prof. Dr.Ir. Lellah Rahim, M.Sc selaku Pembimbing Utama dan Dr.
Muhammad Ihsan Andi Dagong, S.Pt., M.Si selaku Pembimbing Anggota,
atas segala bantuan dan keikhlasannya untuk memberikan bimbingan, nasehat
dan saran-saran sejak awal penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini.
vii
3. Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Djoni Prawira
Rahardja, M.Sc, Dr. Hikmah M. Ali, S.Pt., M.Si, Prof. Dr. Ir. Hj. Sahari
Banong, M.S dan drh.Hj. Farida Nur Yuliati, M.Si selaku dosen pembahas
yang telah memberikan saran-saran dan masukan untuk perbaikan dari skripsi
ini.
4. Dr. Hikmah M. Ali, S.Pt.,M.Si, dan drh. Kusumandari Indah Prahesti dan
Dr. drh. Dwi Kesuma Sari, M.Sc selaku Penasehat Akademik yang telah
memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis.
5. Prof. Dr. Syamsuddin Hasan, M.Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan dan
seluruh Staf Pegawai Fakultas Peternakan, terima kasih atas segala bantuan
kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
6. Prof. Dr. Ir. H. SudirmanBaco, M,Sc selaku Ketua Jurusan Produksi Ternak
beserta seluruh Dosen dan Staf Jurusan Produksi Ternak atas segala bantuan
kepada penulis selama menjadi mahasiswi.
7. Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt sebagai Sekertaris Jurusan, terima kasih yang
sebesar-besarnya atas bimbingan, dukungan dan bantuannya kepada Penulis.
8. Prof. Dr. Ir. H. Herry Sonjaya, DEA, DES sebagai Koordinator
Laboratorium Fisiologi Ternak, Terima kasih atas bimbingan, nasehat-nasehat,
dan dukungannya kepada Penulis.
9. Semua Dosen-Dosen Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin yang telah
memberikan ilmunya kepada Penulis.
10. Ricky Triwibowo yang telah memberikan motivasi, semangat dan dukungan
selama ini kepada Penulis.
viii
11. Sahabat-sahabat ”FODRIN”, Weny, Inna, Nurmi, Tenri, Uchi, Dian,
Rahmi, Evi, Iin, Linda, Putri, Lili, Vivi, Ceceng, Kiki, Maya, Farid, Alam,
Rian, David, Iccank, Yafet, Aidil, Herman, Ichwan, Ibnu, Yogi, Aldes,
Syahril, April, Munawir, Sudirman terima kasih yang setinggi-tingginya
serta penghargaan yang sebesar-besarnya atas segala cinta, pengorbanan,
bantuan, pengertian, candatawa serta kebersamaan selama ini, waktu yang
dilalui sungguh merupakan pengalaman hidup yang berharga dan tak mungkin
untuk terlupakan dan terima kasih telah memberiku sedikit tempat di hatimu
untuk
menjadikanku sahabat dan teriring dengan doa semoga rekan dan
sahabatku sukses selalu.
12. Laboratorium Terpadu Peternakan UNHAS, Kak Nurul Purnomo, Kak
Tri terima kasih atas bantuan dan perhatiannya selama penelitian dan
penyelesaian skripsi.
10 Kepada Sahabat- Sahabat Penelitian Genetika Molekuler, Weny, Tenri, Kak
Hendra, Kak Pymen, Kak Jaidin, Kak Uya, Ibu Ida. Terima kasih atas
segala kebaikan serta bantuan yang kalian berikan kepada penulis selama
penelitian.
11 Teman-teman HMI Komisariat Peternakan Cabang Makassar Timur,
Terima kasih atas Ilmu, Pembelajaran, Nasehat-nasehat, Kebersamaan,
Kebaikan, Amanah yang kalian berikan selama penulis berorganisasi.
12 Teman-teman “Anak Kandang” Jamil dan Cu’ding..
ix
13 Rekan-Rekan Asisten Fisiologi Ternak terima kasih atas bantuan dan canda
tawa selama penulis menjadi asisten di Laboratotium Fisiologi Ternak Fakultas
Peternakan.
14 Terima Kasih sebesar-besarnya kepada Mama Caya, Dg. Sai, dan Aming atas
bantuannya kepada penulis dari masih MABA hingga saat ini.
15 Tanduk 01, Caput 02, Spider 03, Hamster 04, Lebah 05, Colagen 06,
Rumput 07, Bakteri 08, Merpati 09, L10N, Matador 10, Situasi 10.
16 Teman- teman KKN Kelurahan Bone-Bone: Jenny, Nelsis, Resty, Anti,
Nataly, Vivi, Sakina, Amhy, Mail, dan teman-tenan sekecamatan Bone-Bone
Kabupaten Luwu Utara.
17 Jajaran Pemerintahan Kelurahan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara
yang telah member banyak membantu Penulis pada saat KKN.
18 Dinas Peternakan Kabupaten Barru yang telah member izin untuk
pengambilan sampel darah kepada Penulis.
19 Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, terima kasih banyak
atas segala bantuannya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat
kekurangan dan kesalahan. Penulis mengharapkan kritikan dan saran yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Makassar, Juni 2014
Musdalifa Mansur
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ...................................................................................
i
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN........ ................................................................
iv
ABSTRAK............... .......................................................................................
v
ABSTRACT.............. ......................................................................................
vi
KATA PENGANTAR........ ............................................................................
vii
DAFTAR ISI....... ............................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .. .......................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR....... ...............................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xv
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA
Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya ...............................................
Karakteristik Spesifik Sapi Bali .............................................................
Upaya Pelestarian Sapi Bali ...................................................................
Perbaikan Mutu Genetik Sapi Bali .........................................................
DNA Mikrosatelit ...................................................................................
4
5
7
11
12
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat ..................................................................................
Materi Penelitian .....................................................................................
Metode Penelitian ...................................................................................
Analisa Data............................................................................................
15
15
16
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fenotip Sapi Bali ..............................................................
Sifat Kuantitatif ......................................................................................
21
24
xi
Amplifikasi dan Genotip Mikrosatelit Lokus HEL9 pada Sapi Bali .....
Frekuensi Genotip, Alel dan Keseimbangan Hardy- Weinberg .............
Nilai Heterizigositas ...............................................................................
Hubungan Sifat Fenotip dan Genotip .....................................................
25
27
29
30
PENUTUP
Kesimpulan ............................................... .............................................
Saran ......................................................................................................
31
31
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
32
LAMPIRAN ...................................................................................................
36
RIWAYAT HIDUP
xii
DAFTAR TABEL
No.
Teks
Halaman
1. Urutan dan Ukuran HEL9 .........................................................................
18
2. Karakteristik Bentuk Tanduk Sapi Bali ....................................................
21
3. Karakteristik Warna Bulu dan Kaos Kaki.................................................
23
4. Sifat Kuantitatif Sapi Bali ........................................................................
24
5. Frekuensi Genotip Miktosatelit Lokus HEL9 ..........................................
27
6. Frekuensi Alel dan Keseimbangan Hardy Weinberg................................
28
7. Nilai HeterozigositasPengamatan (Ho) dan Heterozigositas Harapan
(He) ..........................................................................................................
29
xiii
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks
Halaman
1. Bentuk-Bentuk Tanduk pada Sapi Bali ....................................................
22
2. Visualisasi hasil amplifikasi Mikrosatelit Lokus HEL9 pada mesin
PCR dalam gel polyacrylamide 8% .........................................................
26
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Teks
Halaman
1. Gambar Bentuk Tanduk Sapi Bali di Kabupaten Barru ............................
36
2. Pola Warna Bulu Sapi Bali di Kabupaten Barru .......................................
37
3. Analisis Data dengan Menggunakan Software PopGene32 Versi 1.31 ..............
38
4. Dokumentasi Penelitian ......................................................................................
41
xv
PENDAHULUAN
Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu sapi potong asli Indonesia
hasil domestikasi dari Banteng (Bos-bibos banteng) dan memiliki potensi yang
besar untuk mensuplai kebutuhan protein masyarakat Indonesia. Penyebaran sapi
Bali saat ini hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia, kecuali Propinsi DKI
Jakarta. Empat propinsi yang memiliki jumlah sapi Bali terbesar di Indonesia
adalah Propinsi Sulawesi Selatan, NTB, Bali dan NTT.
Sapi Bali merupakan aset nasional yang perlu dilestarikan. Pemerintah
telah sejak lama memberikan perhatian yang cukup besar bagi pelestarian plasma
nutfah ini dengan menetapkan program nasional pemuliaan untuk sapi Bali.
Program nasional tersebut meliputi program pemurnian dan peningkatan mutu
genetik sapi Bali. Program pemurnian sapi Bali dilaksanakan dengan penetapan
wilayah peternakan murni sapi Bali di Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten
Barru dan Bone.
Program pelestarian sapi Bali perlu didukung dengan metode identifikasi
kemurnian sapi Bali yang cepat, mudah, dan akurat, agar pelestarian sapi Bali
pada suatu wilayah tertentu dapat berhasil dilakukan tanpa ada keraguan terhadap
kemurniannya. Identifikasi penciri genetik sebagai alat penanda pembeda bangsa
merupakan langkah penting sebagai ciri khusus yang bersifat khas pada bangsa
ternak tertentu.
Pengujian lokus DNA mikrosatelit HEL9 dan INRA035 dilakukan
Handiwirawan (2003) dalam sampel yang lebih besar pada sapi Bali di Propinsi
Bali. Hasil identifikasi genotipe sapi Bali dan genotipe Banteng sebagai
1
pembanding menunjukkan bahwa alel A dan alel B merupakan alel yang
monomorfik pada lokus mikrosatelit INRA035 pada sapi Bali sehingga dapat
digunakan sebagai penciri genetik sapi Bali. Alel A pada lokus mikrosatelit HEL9
merupakan alel dengan frekuensi yang sangat tinggi pada sapi Bali (92,9%) yang
dapat dipergunakan sebagai penciri genetik pendukung pada sapi Bali karena
semua Banteng yang di uji juga memiliki alel tersebut.
Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi Bali
memperlihatkan kemampuannya untuk berkembang biak dengan baik yang
disebabkan beberapa keunggulan yang dimiliki sapi Bali. Keunggulan sapi Bali
dibandingkan sapi lain yaitu memiliki daya adaptasi sangat tinggi terhadap
lingkungan yang kurang baik (Masudana, 1990), seperti dapat memanfaatkan
pakan dengan kualitas rendah (Sastradipradja, 1990), mempunyai fertilitas dan
conception rate yang sangat baik (Oka dan Darmadja, 1996), persentase karkas
yang tinggi yaitu 52-57,7% (Payne dan Rollinson, 1973), memiliki daging
berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4%) (Payne dan
Hodges, 1997) dan tahan terhadap parasit internal dan eksternal (National
Research Council, 1983). Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki tersebut dan
mengingat Indonesia merupakan pusat sapi Bali di dunia maka sapi Bali
merupakan aset nasional yang perlu dilestarikan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian
mengenai evaluasi kemurniaan genetik sapi Bali menggunakan DNA penciri
mikrosatelit lokus HEL 9 di kabupaten Barru.
2
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kemurnian
sapi Bali di Kabupaten Barru berdasarkan identifikasi fenotipe (bentuk tanduk,
warna bulu, dan kaos kaki) dengan menggunakan DNA penciri mikrosatelit
HEL9. Kegunaan dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada
stakeholder
peternakan
tentang
kemurnian
sapi
Bali
sehingga
dapat
mempertahankan kelestarian sapi lokal dan menambah wawasan ipteks
peternakan.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Asal Usul Sapi Bali dan Penyebarannya
Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil
domestikasi Banteng liar (Bibos banteng). Menurut Rollinson (1984) proses
domestikasi sapi Bali itu terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia atau Indochina.
Banteng liar saat ini bisa di temukan di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di
pulau Kalimantan, serta ditemukan juga di Malaysia (Payne dan Rollinson, 1973).
Hardjosubroto dan Astuti (1993) mengemukakan bahwa di Indonesia saat ini,
Banteng liar hanya terdapat di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung
Kulon, Jawa Barat, serta di beberapa kebun binatang. Adanya Banteng liar ini
memberikan peluang untuk perbaikan mutu sapi Bali atau untuk persilangan
dengan jenis sapi lain (National Research Council, 1983).
Tempat dimulainya domestikasi sapi Bali masih terdapat perbedaan
pendapat, dimana Meijer (1962) berpendapat proses domestikasi terjadi di Jawa,
namun Payne dan Rollinson (1973) menduga asal mula sapi Bali adalah dari pulau
Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi Bali di Indonesia.
Nozawa (1979) menduga gen asli sapi Bali berasal dari pulau Bali yang kemudian
menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen sapi
Bali adalah di pulau Bali, di samping pusat gen sapi zebu di India dan pusat gen
primigenius di Eropa.
Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya
pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan
1927 (Herweijer, 1950). Kemudian pada sekitar tahun 1947 dilakukan pengiriman
4
besar-besaran sapi Bali oleh pemerintah Belanda ke Sulawesi Selatan yang
langsung didistribusikan kepada petani (Pane, 1991). Sejak saat itu, populasi sapi
Bali berkembang dengan cepat sehingga sampai saat ini Propinsi Sulawesi Selatan
menjadi propinsi yang memiliki sapi Bali dengan jumlah terbesar di Indonesia.
Untuk penyebaran sapi Bali ke Lombok mulai dilakukan pada abad ke-19 yang
dibawa oleh raja-raja pada zaman itu (Hardjosubroto dan Astuti, 1993), dan
sampai ke Pulau Timor antara tahun 1912 dan 1920 (Herweijer, 1950).
Penyebaran sapi Bali ke banyak wilayah di Indonesia kemudian dilakukan
sejak tahun 1962 (Hardjosubroto dan Astuti, 1993) dan saat ini telah menyebar
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya di wilayah Indonesia, sapi Bali
juga telah disebarkan ke berbagai negara. Tercatat sapi Bali telah diintroduksikan
ke Semenanjung Cobourg di Australia Utara di antara tahun 1827 dan 1849.
Pernah juga dilakukan ekspor secara reguler sapi Bali kastrasi ke Hongkong untuk
dipotong. Selain itu, pada masa lalu, sapi Bali juga pernah dikirim ke Philipina,
Malaysia dan Hawai (Payne dan Rollinson, 1973), telah juga dikirimkan ke Texas,
USA dan New South Wales, Australia sebagai ternak percobaan (National
Research Council, 1983).
Karakteristik Spesifik Sapi Bali
Sapi Bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami
perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (Banteng). Warna sapi
betina dan anak atau muda biasanya coklat muda dengan garis hitam tipis
terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah coklat ketika
muda tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan
5
sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi
akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada
bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white
stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas
(Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983; Hardjosubroto
dan Astuti, 1993).
Sapi Bali jantan maupun betina mempunyai tanduk, yang berbeda dalam
ukuran dan bentuknya dan ada beberapa variasi tipe tanduk pada kedua jenis
kelamin tersebut (Payne dan Rollinson, 1973). Panjang tanduk sapi jantan
biasanya 20 sampai 25 cm, bentuk tanduk yang ideal pada sapi jantan disebut
bentuk tanduk silak conglok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari
dasar sedikit keluar (tumbuh ke arah samping), lalu membengkok ke atas dan
kemudian pada ujungnya membengkok sedikit ke arah luar. Pada yang betina,
bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan
tanduk satu garis dengan dahi arah ke atas dan pada ujungnya sedikit mengarah ke
belakang dan kemudian melengkung ke bawah lagi mengarah ke kepala (ke
dalam). Sapi Bali yang tidak bertanduk tidak pernah ditemukan (Payne dan
Rollinson, 1973; National Research Council, 1983; Hardjosubroto, 1994). Kepala
sapi Bali termasuk panjang tetapi tidak lebar, kedua telinganya tegak dan
berukuran sedang (Payne dan Rollinson, 1973).
Terdapat variasi bentuk tanduk pada sapi Bali di Propinsi Bali. Hasil
penelitian Handiwirawan (2003) mendapatkan bahwa pada sapi Bali jantan
terdapat 7 macam bentuk tanduk sedangkan pada yang betina diperoleh 12 macam
6
bentuk tanduk. Bentuk tanduk yang umum untuk sapi Bali jantan (seperti
didefinisikan Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983;
Hardjosubroto, 1994) ternyata bukan merupakan bentuk yang umum dimiliki sapi
Bali jantan yang teramati. Bentuk tanduk ini hanya dimiliki oleh 6,5% dari sapi
Bali jantan yang diamati. Sapi Bali jantan pada umumnya memiliki bentuk tanduk
ke samping kemudian ke atas atau ke samping-ke atas kemudian ke belakang, dan
proporsi sapi yang bertanduk demikian adalah sebesar 74,5% dari keseluruhan
sapi jantan yang diamati. Bentuk umum tanduk sapi Bali betina sesuai dengan
bentuk normal yang didefinisikan oleh Payne dan Rollinson (1973), National
Research Council (1983) dan Hardjosubroto (1994), yaitu mencapai 31,9%.
Ditemukan juga bentuk tanduk yang sedikit berbeda dengan bentuk tanduk yang
normal dalam jumlah cukup b esar (29,3%), yaitu mengarah ke atas dan kemudian
ke belakang.
Upaya Pelestarian Sapi Bali
Perhatian pemerintah yang lebih besar terhadap upaya pengembangbiakan
ternak di Indonesia, selanjutnya diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang
Undang
No.
6
tahun
1967
yang
merupakan
landasan
bagi
upaya
pengembangbiakan ternak untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu
bangsa ternak di Indonesia melalui upaya pemurnian atau melalui persilangan
antar bangsa ternak (Djarsanto, 1997).
Khusus untuk sapi Bali, telah ditetapkan program nasional yang meliputi
program pemurnian dan peningkatan mutu genetik. Sebagai wilayah peternakan
murni sapi Bali ditetapkan Pulau Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan. Dimulai
7
pada tahun 1976, di pulau Bali telah dilaksanakan program pemuliaan sapi Bali
dengan melakukan seleksi dalam bangsa, untuk memperoleh bibit sapi Bali yang
baik mutunya melalui Proyek Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali (P3Bali)
(Soehadji, 1990). Sementara itu, persilangan hanya dapat dilakukan di luar
wilayah peternakan murni.
Dalam perkembangannya di wilayah peternakan murni (sumber bibit) telah
terjadi pencemaran genetik sapi Bali dengan bangsa sapi lain (Bos taurus dan
zebu), kecuali sapi Bali yang ada di Pulau Bali. Sehubungan dengan itu, daerah di
luar Bali yang ditetapkan sebagai daerah pemurnian sapi Bali lebih dipersempit
lagi, yaitu Pulau Sumbawa di NTB, Pulau Flores di NTT, Kabupaten Bone di
Sulawesi Selatan dan Kabupaten Lampung Selatan di Propinsi Lampung.
Walaupun demikian, Pane (1991) mengemukakan bahwa hingga kini hanya sapi
Bali yang terdapat di pulau Bali yang masih dapat dipertanggungjawabkan
kemurniannya. Upaya penetapan daerah peternakan murni sekaligus dengan
meningkatkan produktivitas sapi Bali melalui kegiatan seleksi secara terencana
tentunya akan sangat mendukung program pelestarian plasma nutfah ternak asli
tersebut.
Pelestarian sapi Bali perlu terus dilakukan dimana kegiatan tersebut harus
dipandang sebagai upaya antisipatif penyediaan “bahan baku” bagi perakitan
bangsa sapi baru untuk dapat mengantisipasi perubahan selera pasar di masa
depan yang tidak mudah untuk diprediksi. Sebagai contoh akhir-akhir ini seiring
dengan meningkatnya kesadaran untuk mengkonsumsi pangan sehat dan
timbulnya perhatian/pandangan yang negatif terhadap pangan berkolesterol maka
8
terdapat perubahan permintaan pada industri peternakan untuk menghasilkan
daging dengan kandungan lemak rendah (lean) dan tentunya dihasilkan dari suatu
bangsa ternak tertentu. Melalui program persilangan permintaan pasar tersebut
dapat direspon dengan membentuk suatu bangsa baru yang lebih sesuai dengan
kondisi lingkungan dan pasar di masa mendatang. Beberapa bangsa sapi terkenal
seperti Brangus, Santa Gertrudis, Droughmaster, dan lain-lain merupakan bangsa
sapi unggul sebagai hasil persilangan dari beberapa macam bangsa sapi yang
masih dipertahankan ada/dilestarikan (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).
Program pelestarian sapi Bali perlu didukung dengan metode identifikasi
kemurnian sapi Bali yang cepat, mudah dan akurat, agar pelestarian sapi Bali pada
suatu wilayah tertentu dapat berhasil dilakukan tanpa ada keraguan terhadap
kemurniannya. Metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang andal juga sangat
membantu penentuan pemilihan pejantan sapi Bali sebagai pejantan yang
dipergunakan di Balai Inseminasi Buatan sehingga pencemaran genetik pada
wilayah yang ditentukan sebagai tempat pelestarian sapi Bali murni dapat
dihindari (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).
Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi penciri
genetik sapi Bali yang diharapkan dapat dipergunakan sebagai metode untuk
menentukan kemurnian sapi Bali. Anonim (2000) telah merintis untuk mulai
mencari sifat fisik/fenotip (struktur bulu) maupun dari aspek molekuler (protein
darah dan DNA mikrosatelit) yang dapat dipergunakan sebagai penciri bangsa
sapi Bali. Walaupun sulit dijustifikasi, terdapat perbedaan struktur bulu rambut
sapi Bali dengan struktur bulu bangsa sapi lainnya (Simental Limousin dan
9
Brangus). Namun hasil penelitian ini perlu diuji lagi di lapangan khususnya dalam
penurunan alel dari tetua ke progeninya. Hasil pengamatan pada lokus
Haemoglobin β menunjukkan bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah khas
dan mirip seperti yang dilaporkan Namikawa et al. (1982) bahwa alel
haemoglobin βX (Hb βX) adalah alel yang paling umum ditemukan pada sapi Bali
dan pada Banteng sebagai leluhur dari sapi Bali. Dari hasil penelitian pada empat
bangsa sapi dengan sampel yang terbatas, Winaya (2000) mengemukakan bahwa
lokus DNA mikrosatelit HEL9 pada sapi Bali adalah monomorfik, sedangkan
pada bangsa sapi lain (Madura, PO dan Brangus) adalah polimorfik. Hasil
penelitian Anonim (2000) dengan sampel terbatas pada tiga bangsa sapi lainnya
(Simmental, Brangus, dan Limousin) memperkuat hasil penelitian tersebut. Selain
itu diperoleh juga hasil bahwa lokus DNA mikrosatelit INRA035 pada seluruh
sampel sapi Bali yang diteliti konsisten mempunyai dua alel sehingga
kemungkinan dapat dipergunakan sebagai penciri genetik untuk sapi Bali.
Handiwirawan (2003) melakukan pengujian lokus DNA mikrosatelit HEL9 dan
INRA035 dalam sampel yang lebih besar pada sapi Bali di Propinsi Bali. Hasil
identifikasi genotipe sapi Bali dan genotipe banteng sebagai pembanding
menunjukkan bahwa alel A dan alel B merupakan alel yang monomorfik pada
lokus mikrosatelit INRA035 pada sapi Bali sehingga dapat digunakan sebagai
penciri genetik sapi Bali. Alel A pada lokus mikrosatelit HEL9 merupakan alel
dengan frekuensi yang sangat tinggi pada sapi Bali (92,9%)
yang dapat
dipergunakan sebagai penciri genetik pendukung pada sapi Bali karena semua
Banteng yang diuji juga memiliki alel tersebut. Dari beberapa hasil penelitin
10
tersebut penggunaan lokus mikrosatelit INRA035 sebagai penciri genetik sapi
Bali dapat digunakan, namun sebaiknya dikombinasikan dengan pengujian lokus
HEL9 dan identifikasi fenotipe (pola warna tubuh, bentuk tanduk dan struktur
bulu) agar diperoleh hasil yang lebih akurat.
Perbaikan Mutu Genetik Sapi Bali
Program pemuliaan khusus untuk sapi Bali telah ditetapkan dan dijalankan
pemerintah. Pokok-pokok pemuliaan sapi Bali seperti dikemukakan Soehadji
(1990) adalah meliputi:
1.
Menjalankan peternakan murni sapi Bali di Pulau Bali, NTB, Pulau Timor
dan beberapa daerah di Sulawesi Selatan sebagai sumber bibit sapi Bali
secara nasional,
2.
Melakukan uji performans dan uji zuriat di breeding centre P3Bali Pulukan
Bali untuk memperoleh pejantan sapi Bali unggul yang digunakan untuk
kawin alam atau produksi semen beku,
3. Membentuk populasi dasar sebagai sumber gen yang unggul dan membentuk
kelompok sapi Bali betina unggul dan dipelihara di Pusat Pembibitan Sapi
Bali di Pulukan, Bali dan Anamina, Dompu-Sumbawa,
4. Melakukan inseminasi buatan berskala nasional untuk mempercepat aliran
gen yang unggul dari pejantan sapi Bali unggul.
Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali) dilaksanakan
sebagai upaya untuk memperbaiki mutu genetik sapi Bali di Propinsi Bali melalui
seleksi, uji performans dan uji keturunan (progeny test). Dalam kegiatan ini,
pejantan elit yang dihasilkan dari uji keturunan akan dipergunakan BIB untuk
11
diambil semennya guna memperbaiki mutu genetik sapi Bali di seluruh Indonesia.
Dari kegiatan ini terlihat bahwa performans produksi dan reproduksi sapi Bali di
P3Bali dilaporkan lebih baik dibandingkan sapi Bali yang terdapat di Propinsi
Bali, NTB, NTT dan Sulsel (Pane, 1990). Sukmasari (2003) dengan menggunakan
metode BLUP (best linear unbiased prediction) mendapatkan hasil bahwa sapi
Bali yang dipelihara di breeding center Pulukan mempunyai rataan nilai
pemuliaan dugaan lebih tinggi dibandingkan di instalasi populasi dasar. Secara
keseluruhan, mulai tahun 1983 sampai 1999 kecenderungan genetik sapi Bali di
P3 Bali mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Dari hasil penelitiannya
tersebut, Sukmasari (2003) juga menyarankan bahwa seleksi agar didasarkan pada
nilai pemuliaan agar seleksi dapat dilakukan lebih akurat sehingga kecenderungan
genetik sapi Bali di P3 Bali terus meningkat.
DNA Mikrosatelit
Salah satu penanda molekuler yang sangat popular adalah mikrosatelit.
Mikrosatelit adalah runutan DNA pendek yang berulang 2 sampai 6 basa
nukleotida dan dapat berulang 10-100 kali, runutan yang paling banyak ditemukan
pada mamalia adalah (dC – dA) dan (dT - dG) (Moore et al., 1991). Mikrosatelit
merupakan salah satu penanda genetic yang sudah diaplikasikan secara luas dalam
bidang peternakan. Selain untuk uji test keturunan, dapat pula digunakan untuk
mengidentifikasi sejumlah sifat dengan nilai ekonomi tinggi dikarenakan DNA
mikrosatelit sangat polimorfik dan terdapat banyak dalan DNA genom (Bawden
dan Nicholas, 1999).
12
Mikrosatelit (SSR = Simple Sequence Repeat) merupakan salah satu marka
molekuler yang berupa urutan di-nukleotida sampai tetra-nukleotida yang
berulang dan berurutan. Mikrosatelit merupakan marka genetik yang bermanfaat
karena bersifat kodominan, dapat mendeteksi keragaman alel pada tingkat tinggi,
serta mudah dan tidak terlalu mahal untuk dianalisis dengan menggunakan PCR
(Moeljopawiro, 2010).
Aplikasi penanda genetik molekuler untuk seleksi dan pemuliaan dapat
meningkatkan mutu genetik ternak (Bawden dan Nicholas, 1999). Mikrosatelit
merupakan penanda genetik yang sering digunakan untuk mempelajari sistem
perkawinan dan struktur populasi (Steffen et al., 1993), pautan (linkage),
pemetaan kromosom, dan analisis populasi (Silva et al., 1999). Mikrosatelit
banyak digunakan oleh peneliti sebagai marka karena keberadaannya melimpah,
bersifat kodominan dan sangat polimorfik (Bennett, 2000).
Marka mikrosatelit merupakan sekuen DNA yang bermotif pendek diulang
secara tandem dengan 2 sampai 6 unit nukleotida yang tersebar dan meliputi
seluruh genom, terutama pada organisme eukariotik. Pasangan mikrosatelit
(forward dan reverse) diaplikasikan dengan PCR berdasarkan hasil konservasi
daerah yang diapit (flanking-region) marka untuk suatu gen pada kromosom.
Menurut Powell et al (1996), beberapa pertimbangan untuk menggunakan marka
mikrosatelit dalam studi genetik diantaranya (1) marka tersebut terdistribusi
secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak
alel dalam lokus), sifatnya kodominan dan lokasi genom dapat diketahui; (2)
merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat
13
tinggi; (3) merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotip,
evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotip untuk karakter yang
diinginkan; (4) studi populasi dan analisis diversitas genetik.
14
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama bulan Februari – Maret 2014. Untuk
pengambilan sampel di Kabupaten Barru dan analisis DNA bertempat di
Laboratorim Bioteknologi Terpadu, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Materi Penelitian
Bahan utama dari penelitian ini adalah sampel darah sapi Bali sebanyak 80
sampel yang terdiri dari 35 sampel sapi jantan dan 45 sampel sapi betina yang
berumur 2 tahun keatas di Kabupaten Barru. Bahan pendukung antara lain: Primer
(primer mikrosatelit lokus HEL 9), bahan ekstraksi DNA (Kit DNA ekstraksi
(Thermo Scientific), Proteinase K, ethanol 96% ), bahan PCR (dNTP mix, Enzim
Taq DNA polymerase, 10x buffer, 10x TBE buffer), bahan elektoforesis (agarose,
Ethidium bromide, Marker DNA 100pb, Loading dye), bahan gel poliakrilamid
(acrylamida, bis-akrilamida, APS, TBE, H2O), bahan stainning (AgNO3, NaOH,
NH4OH, asam asetat glasial, formalin, gliserol 20%, aquades) tissue dan plastik
mika.
Alat yang digunakan yaitu : venoject, tabung vakuttainer, mesin PCR
(sensoQuest Germany), centrifuge, alat pendingin, tabung eppendorf besar kecil,
gel documention, mikropipet, tip, rak tabung, elektroforesis, autoclave,
timbangan, sarung tangan.
15
Metode Penelitian
-
Identifikasi Fenotipe
Identifiksi fenotipe sapi Bali dilakukan dengan mengidentifikasi sifat
kualitatif khas yang dimiliki sapi Bali. Adapun sifat – sifat kualitatif yang di
identifikasi antara lain pola warna bulu, struktur tubuh, bentuk dan ukuran tanduk,
serta ciri–ciri fisik khusus pada sapi Bali seperti bulu hitam yang membentuk
garis (garis belut) pada bagian punggung dan warna putih pada bagian belakang
paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai
di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas, sifat kuantitatif
seperti bobot badan badan, panjang badan, lingkar dada, dan tinggi badan.
-
Evaluasi Kemurnian Genetik Sapi Bali dengan DNA Penciri Mikrosatelit
Pada tahapan ini dilaksanakan dalam beberapa tahap dengan metode yang
meliputi :
a. Koleksi Sampel Darah
Materi genetik adalah sampel DNA yang diambil dari darah utuh (whole
blood) sapi Bali yang berasal dari daerah sentra pemurnian di Sulawesi Selatan
yakni di Kabupaten Barru dengan sejumlah 80 sampel dari 5 kecamatan yang ada
yakni: Soppeng Riaja, Tanete Rilau, Barru, Balusu, Tanete Riaja. Pengambilan
sampel darah dilakukan dengan mengumpulkan sekitar 5 ml sampel darah dari
sapi melalui vena jugularis dengan menggunakan venojet dan tabung vacuntainer
yang diberi antikoagulan (heparin atau EDTA). Sampel darah tersebut kemudian
disimpan pada suhu 4oC sampai waktu dianaisis (ekstraksi DNA dan PCR).
16
b. Ekstraksi DNA
DNA diisolasi dan dimurnikan dengan menggunakan Kit DNA ekstraksi
Genjet Genomic DNA Extraction (Thermo Scientific) dengan mengikuti protokol
ekstraksi yang disediakan. Sebanyak 200 μl sampel darah dilisiskan dengan
menambahkan 400 μl larutan lysis buffer dan 20 μl Proteinase K (10 mg/ml),
dicampurkan kemudian diinkubasi pada suhu 56 ºC selama 60 menit di dalam
waterbath shaker. Setelah inkubasi larutan kemudian ditambahkan 200 μl Ethanol
absolute 96% dan disentrifugasi 6.000 x g selama 1 menit.
Pemurnian DNA kemudian dilakukan dengan metode spin column dengan
penambahan 500 μl larutan pencuci wash buffer I yang kemudian dilanjutkan
dengan sentrifugasi pada 8.000 x g selama 1 menit. Setelah supernatannya
dibuang, DNA kemudian dicuci lagi dengan 500 μl wash buffer II dan
disentrifugasi pada 12.000 x g selama 3 menit. Setelah supernatannya dibuang,
DNA kemudian dilarutkan dalam 200 μl elution buffer dan disentrifugasi pada
8.000 x g untuk selanjutnya DNA hasil ekstraksi ditampung dan disimpan pada
suhu -20 ºC.
c. Analisis PCR dengan Penciri DNA Mikrosatelit HEL 9
Analisis tingkat kemurnian genetik sapi Bali di Kabupaten Barru
digunakan dengan menggunakan pendekatan marker mikrosatelit pada lokus HEL
9 sebagai DNA penciri genetik khas sapi Bali (Handiwirawan, 2003 dan Maskur
dkk, 2007).
Komposisi reaksi PCR dikondisikan pada volume reaksi 25 μl yang terdiri
atas 100 ng DNA, 025 mM masing – masing primer, 150 uM dNTP, 2,5 mM
17
Mg2+, 0,5 U Taq DNA polymerase dan 1x buffer. Kondisi mesin PCR dimulai
dengan denaturasi awal pada suhu 94 oC selama 2 menit, diikuti dengan 35 siklus
berikutnya masing – masing denaturasi 94 oC selama 45 detik, dengan suhu
annealing lokus DNA mikroatelit lokus HEL 9 yaitu 58 oC selama 30 detik yang
dilanjutkan dengan ekstensi : 72 oC selama 60 detik, yang kemudian diakhiri
dengan satu siklus ekstensi akhir pada suhu 72 oC selama 5 menit dengan
menggunakan mesin PCR (SensoQuest, Germany).
Analisis produk PCR dan deteksi terhadap alel mikrosatlit dilakukan
dengan elektroforesis pada gel poliakrilamida dan pewarnaan dengan perak
mengikuti metode Tegelstrom (1992).
d. Primer Mikrosatelit
Penelitian ini menggunakan DNA penciri mikrosatelit lokus HEL 9
sebagai penanda molekul. Penanda tersebut dipilih berdasarkan dalam Bishop et
al., (1994) karena dapat menunjukkan polimorfisme pada sapi Bali.
Tabel 1. Urutan dan Ukuran HEL 9.
Loci
Primer sequences (5’ – 3’)
HEL
9
F : CCCATTCAGTCTTCAGAGGT
Number
of allele
12
T0C
55
Size
Sources
(bp)
143- Bioshop et
165 al.,(1994)
R : CACATCCATGTTCTCACCAC
F = Forward, R = Reverse
-
Elektroporesis pada Gel Poliakrilamid
Komponen gel poliakrilamida terdiri atas campuran 30% acrylamida dan
bis-akrilamida sebanyak 6 ml, 10 x TBE sebanyak 6 ml, H2O sampai mencapai
volume 30 ml, temed sbanyak 20 μl, 10% APS 200 μl. Sampel DNA tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam sumur gel setelah gel diletakkan pada tangki
18
elektroforesis yang telah berisi larutan penyangga 1 x TBE. Elektroforesis
dilakukan pada voltase konstan 250 V selama 120 menit pada suhu ruang.
-
Silver stainning (Pewarnaan Perak)
Pewarnaan dengan perak dilakukan melalui serangkaian proses yaitu
pewaraan gel dengan larutan stainning dengan merendam gel dalam larutan yang
terdiri atas 0,2 g AgNO3 ; 80 μl NaOH 10 N ; 0,8 ml NH4OH ; 200 ml akuades
selama selama 15 menit. Gel kemudian dicuci kembali dengan aquades selama 20
menit sambil digoyang untuk menghilangkan perak yang tidak berikatan dengan
DNA. Fragmen DNA yang berikatan dengan perak dapat dideteksi dengan
merendam gel dalam larutan NaOH 0,03 g/ml dan formalin yang dipanaskan pada
suhu 45 oC sampai fragmen pita DNA tampak. Setelah fragmen DNA tampak,
reaksi kemudian dihentikan dengan menggunakan asam asetat glasial (200 μl /
200 ml aquades).
-
Penentuan posisi pita DNA
Penentuan posisi pita DNA pada gel poliakrilamida dilakukan secara
manual. Pita DNA yang muncul pada gel poliakrilamida diasumsikan sebagai alel
mikrosatelit. Ukuran dan jumlah dari alel yang muncul pada gel ditentukan
berdasarkan asumsi bahwa semua pita DNA dengan laju migrasi yang sama
adalah homolog (Leung et al., 1993), sedangkan alel dengan migrasi paling cepat
ditetapkan sebagai alel A, berikutnya adalah alel B dan seterusnya.
Analisis Data
Keragaman alel mikrosatelit ditentukan dari perbedaan migrasi alel pada
gel dari masing-masing individu sampel. Karena alel mikrosatelit adalah
19
kodominan maka genotip ditentukan berdasarkan variasi pita alel yang ada.
Kemudian dihitung frekuensi masing-masing alel setiap lokus. Keseimbangan
Hardy- Weinberg di uji dengan test chi-square (Nei dan Kumar, 2000).
∑
Keterangan:
X2 = nilai uji chi-square
O = jumlah pengamatan genotip ke-i
E = jumlah harapan genotip ke-i
-
Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Harapan (He)
Nilai Heterozigositas teramati (Ho) dan heterozigonitas harapan (He) dapat
digunakan untuk menduga nilai koefisien inbreeding pada suatu kelompok ternak.
Perhitungan Ho dan He dilakukan menurut Hartl (1988) dengan formula sebagai
berikut:
∑
Keterangan:
Ho = heterozigositas pengamatan
N1ij = jumlah individu heterozigot pada lokus ke-l
N = jumlah individu yang diamati
Nilai heterozigonitas harapan (He) dihitung dengan formula:
∑
Keterangan:
He = heterozigositas harapan
P1i = frekuensi alel ke-1 pada lokus ke-l
n = jumlah alel pada lokus ke-l
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fenotip Sapi Bali
Sifat kualitatif merupakan sifat yang tampak dari luar dan tidak dapat
dihitung. Yang termasuk dalam sifat kualitatif, seperti bentuk tanduk, warna bulu,
dan warna kaos kaki. Hasil pengamatan karakteristik sapi Bali berdasarkan bentuk
tanduk dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Bentuk Tanduk Sapi Bali
Jumlah
Persentase
Parameter Karakteristik
Jantan
Betina
Jantan
Betina
SM
Tanduk
0
34
0
75.56
SC
11
0
31.43
0
SA
1
8
2.86
17.78
SO
0
3
0
6.66
SB
19
0
54.28
0
SP
4
0
11.43
0
Total
35
45
100
100
Keterangan: SM: Silak Manggulgangsa
SC: Silak Congklok
SA: Silak Anoa
SO: Silak Cono
SB: Silak Bajeg
SP: Silak Pendang
Berdasarkan Tabel 2. memperlihatkan bahwa terdapat 6 macam bentuk
tanduk yaitu Silak Manggulgangsa, Silak Congklok, Silak Anoa, Silak Cono,
Silak Bajeg, Silak Pendang. Bentuk tanduk yang paling dominan pada sapi jantan
adalah Silak Bajeg (54,28%) sedangkan pada sapi betina yaitu Silak
Manggulgangsa (75,56%). Pada penelitian yang dilakukan Handiwirawan (2003)
bahwa bentuk tanduk yang dominan pada jantan adalah Silak Congklok (74,5%)
dan pada sapi benita adalah Silak Manggulgangsa (31,9%). Sapi Bali jantan
21
umumnya memiliki bentuk tanduk Silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan
tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok keatas, kemudian
pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada sapi betina bentuk tanduk yang
ideal disebut manggulgangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis
dengan dahi arah kebelakang sedikit melengkung kebawah dan pada ujungnya
sedikit mengarah kebawah dan kedalam, tanduk ini berwarna hitam (Payne dan
Rollinson, 1973; National Research Council, 1983; Hardjosubroto, 1994).
Silak Manggulgangsa
Silak Bajeg
Silak Anoa
Silak Congklok
Silak Cono
Silak Pendang
Betina
Jantan
Gambar 1. Bentuk-Bentuk Tanduk pada Sapi Bali
22
Variasi bentuk tanduk sapi Bali betina lebih sedikit daripada sapi Bali
jantan. Bradley dan Cunningham (1999) mengemukakan bahwa perbedaan bentuk
fenotipe ternak domestikasi saat ini dengan leluhurnya adalah akibat proses
domestikasi. Banteng jantan memiliki bentuk tanduk yang sedikit berbeda
dibandingkan sapi Bali jantan, National Research Council (1983) mengemukakan
bahwa bentuk tanduk banteng jantan adalah mengarah keluar dan kemudian
keatas dengan ujung tanduk mengarah kedalam. Hasil analisis karakteristik sapi
Bali berdasarkan warna bulu dan warna kaos kaki dapat dilihat pada Tabel 3..
Tabel 3. Karakteristik warna Bulu dan Kaos Kaki
Warna
Persentase
Parameter
Jenis Kelamin
Normal Menyimpang Normal Menyimpang
Warna Bulu Jantan
34
1
97.14
2.86
Betina
40
5
88.89
11.11
Kaos Kaki
Jantan
32
3
91.43
8.57
Betina
30
15
66.67
33.33
Tabel 3. memperlihatkan bahwa warna bulu yang normal pada sapi jantan
didominasi sekitar 97,14% sedangkan pada sapi Bali betina 88,89%. Sedangkan
warna kaos kaki yang normal pada sapi Bali jantan 91,43% begitu pula dengan
sapi Bali betina warna kaos kaki yang normal sekitar 66,67%. Sapi Bali
mempunyai ciri-ciri khusus antara lain: warna bulu merah bata, tetapi yang jantan
dewasa berubah menjadi hitam. Ada tanda-tanda khusus yang harus dipenuhi
sebagai sapi bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran
bibir atas dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir
atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih,
terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung,
(Hardjosubroto, 1994).
23
Pada penelitian menggunakan sampel darah dari kabupaten Barru
ditemukan pola warna yang menyimpang dari normal, pada sapi jantan (2,86%)
dan betina (11,11%). Warna menyimpang yang di maksud adalah warna bulu
bertutul putih. Hal ini sesuai yang ditemukan Handiwirawan (2003) yang
menemukan sapi Bali berwarna tutul putih di provinsi Bali.
Jenis warna menyimpang yang lainnya pada sapi Bali adalah pada warna
kaos kaki, pada jantan (8,57%) dan betina (33,33%). Adapun warna yang
dimaksud disini adalah warna kaos kaki yang tercampur dengan warna merah bata
atau coklat dan bahkan tercampur dengan warna hitam dan putih. Munculnya
warna yang menyimpang kemungkinan disebabkan adanya pengaruh genetik dari
suatu populasi dan juga di sebabkan oleh faktor lingkungan. Handiwirawan
(2003) mengungkapkan munculnya pola warna yang menyimpang kemungkinan
ekspresi dari gen homosigot resesif yang terjadi karena tingkat inbreeding yang
meningkat.
Sifat Kuantitatif
Sifat kuantitatif dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan
ditemukan pengaruh interaksi keduanya (genetik dan lingkungan). Sifat kuantitatif
sapi Bali yang berada di Kabupaten Barru dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Sifat Kuantitatif Sapi Bali
Jenis
Kelamin
Umur
N
Jantan
2.65±0.45
Betina
4.62±1.98
Total
Sifat Kuantitatif
Berat Badan
Lingkar Dada
Panjang Badan
Tinggi Badan
35
158.63 ± 34.27
136.69 ± 14.57
98.46 ± 7.00
104.84 ± 5.69
45
185.72 ± 46.37
146.84 ± 13.18
104.13 ± 10.48
106.96 ± 6.07
80
173.87 ± 43.43
142.40 ± 14.62
101.65 ± 9.50
106.03 ± 6.00
24
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pada Tabel 4 menunjukkan
bahwa rata-rata berat badan sapi jantan di Kabupaten Barru 158.63 kg, sedangkan
pada sapi betina 185.72. Lingkar dada pada sapi jantan yaitu 136.69 cm, sapi
betina 146.84 cm. Hasil rata-rata lingkar dan bobot badan yang diperoleh masih
dibawah rata-rata lingkar dada dan bobot badan yang dihasilkan oleh Pane (1991)
sebesar 158-160 cm dan 266 kg. Rata-rata pengukuran panjang badan sapi Bali
jantan berkisar antara 98.46 cm, dan sapi Bali betina 104.13 cm. Tinggi badan
sapi Bali jantan mempunyai rata-rata 104.84 cm, sapi Bali betina 106.96 cm.
Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa ukuran tubuh berkorelasi dan merupakan
indikator bobot badan sapi seperti tinggi gumba, lingkar dada, dan panjang badan.
Dengan bertambahnya bobot badan maka bertambah pula lingkar dada begitupula
sebaliknya, dengan menurunnya bobot badan menurun juga lingkar dada.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan umur rata-rata pada sapi jantan
adalah 2,65 tahun dan rata-rata umur sapi betina adalah 4,62 tahun. Umur juga
mempengaruhi berat badan hal ini sesuai dengan pendapat Pane (1986) yang
menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan pertambahan bobot badan atau
ukuran tubuh yang sesuai dengan umur.
Amplifikasi dan Genotip Mikrosatelit Lokus HEL9 pada Sapi Bali
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa Mikrosatelit
Lokus HEL9 berhasil di amplifikasi pada mesin PCR SensoQuest Germany
dengan suhu annealing 55oC. Hasil amplifikasi dapat divisualisasikan pada gel
polyacrylamide 8% dapat dilihat pada Gambar 1. Panjang produk hasil
amplifikasi mikrosatelit HEL9 adalah berkisar antara 144-169 pb.
25
M
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
300
200
161
Alel A
Alel B
144
100
Gambar 1. Visualisasi hasil amplifikasi Mikrosatelit Lokus HEL9 pada mesin
PCR dalam gel polyacrylamide 8%. M: marker 100 pb, 1-12: sampel
sapi Bali
Pada penelitian ini, alel mikrosatelit HEL9 yang berhasil teramplifikasi
(ditunjukkan dengan adanya band dengan ukuran yang sesuai). Sekuen alel HEL9
berukuran panjang antara 143-165 pb (Bioshop et al., 1994).
Berdasarkan panjang fragmen hasil PCR dapat ditentukan genotip masingmasing ternak. DNA dengan panjang fragmen ±144 pb di identifikasi sebagai alel
A sedangkan panjang fragmen ±161 pb di identifikasi sebagai alel B. Dengan
demikian ternak dengan panjang kedua fragmen ±144 pb di identifikasi sebagai
genotipe AA, ternak dengan panjang fragmen ±144 pb dan ±161 pb di identifikasi
sebagai genotipe AB dan ternak dengan panjang kedua fragmen ±161 pb di
identifikasi sebagai genotipe BB. Hal ini sesuai dengan penelitian Handiwirawan
et al. (2003) bahwa alel yang teramplifikasi melalui proses PCR pada lokus
26
HEL9 pada sapi Bali memiliki ukuran panjang yaitu: alel A berukuran ±144 pb,
alel B berukuran ±161 pb.
Frekuensi Genotip, Alel dan Keseimbangan Hardy- Weinberg
Hasil analisa frekuensi genotip mikrosatelit lokus HEL9 pada sapi Bali
dapat dilihat pada Tabel 5. Polimorfisme dapat ditunjukkan dengan adanya dua
alel atau lebih dalam satu populasi. Gen dikatakan polimorfik apabila salah satu
alelnya mempunyai frekuensi kurang dari 99% (Nei dan Kumar, 2000).
Tabel 5. Frekuensi Genotip Mikrosatelit Lokus HEL9
Bangsa
Sapi
Bali
Lokasi
Barru
Jumlah Individu
AA
AB BB
0
80
0
Total
80
Frekuensi Genotipe
AA
AB
BB
0
100
0
Berdasarkan data pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa frekuensi genotip
homozigot AA dan BB adalah 0 dan frekuensi heterozigot AB adalah 100. Hal ini
terjadi karena hanya satu genotipe yang terdistribusi dan nilai ini muncul karena
jumlah sampel yang diteliti sangat sedikit dan tingkat keragaman genetik sangat
rendah.
Walaupun sapi Bali merupakan hasil domestikasi dari Banteng, namun
hasil pengamatan menunjukkan bahwa alel genotip Banteng dan sapi Bali tidak
identik. Pada populasi sapi Bali di kabupaten Barru ditemukan alel lain. Pada
lokus HEL9 ditemukan alel B yang berukuran ±161 pb yang tidak ditemukan pada
banteng (Handiwirawan et al., 2003). Adanya alel ini diduga karena alel-alel
tersebut merupakan alel mutasi sebagai akibat proses replication shappage yang
menghasilkan rangkaian yang lebih panjang (Levinson dan Gutman, 1987, Li dan
27
Graur, 1991). Kemungkinan yang lain adalah adanya aliran gen (alel) dari luar
atau bangsa sapi lain yang masuk kedalam populasi sapi Bali di Kabupaten Barru.
Frekuensi alel adalah perbandingan keseluruhan fragmen gen yang terdiri
dari suatu varian gen tertentu (alel). Keseimbangan Hardy- Weinberg
berhubungan eret dengan frekuensi genotip dan frekuensi alel. Frekuensi alel
dapat dihitung berdasarkan Nei dan Kumar (2000) dan HWE dengan Uji ChiSquare.
Tabel 6. Frekuensi Alel dan Keseimbangan Hardy- Weinberg
Bangsa Sapi
Lokasi
N
Bali
Barru
80
td: tidak memenuhi syarat untuk dihitung
Frekuensi Alel (%)
A
B
50
50
X2 (HWE)
td
Pada Tabel 6. menunjukkan bahwa frekuensi alel A (50%) hal ini sangat
kecil dibandingkan dengan penelitian yang dilaporkan Hardiwirawan (2003)
frekuensi alel A (92,9%). Hal ini berarti telah ada aliran gen dari sapi lain yang
terdapat pada sapi Bali yang ada di kabupaten Barru.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi alel pada lokus HEL9
pada populasi sapi Bali di Kabupaten Barru berada dalam ketidakseimbangan
Hardy- Weinberg. Hal- hal yang dapat mempengaruhi keseimbangan HardyWeinberg menurut Hardjosubroto (1998) adalah mutasi, gene flow, migrasi,
seleksi, dan tidak terjadi perkawinan secara acak.
28
Nilai Heterozigositas
Keragaman
genetik
suatu
populasi
dapat
diukur
dengan
nilai
heterozigositas. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas
harapan (He) dihitung berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000) dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Heterozigositas
Harapan (He)
Nilai Heterozigositas
Lokus
Jumlah Sampel
Ho
He
HEL9
80
1
0.5031
Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He)
digunakan untuk
menduga keragaman
genetik. Heterozigositas
harapan
merupakan penduga keragaman genetik pada populasi ternak lebih tepat karena
perhitungannya dilihat berdasarkan frekuensi alel. Nilai Ho adalah 1 dan He
0.5031. Nilai ini lebih tinggi didapatkan dari pada penelitian yang dilakukan oleh
Abdullah, dkk (2008) yang hanya menemukan 0,1 dan Handiwirawan (2003)
menemukan 0,135. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan genotipe pada
populasi tersebut. Menurut Tambasco et al (2003) perbedaan antara nilai
heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) dapat
dijadikan sebagai indicator adanya ketidakseimbangan genotipe pada populasi
sapi yang diamati yang diindikasikan bahwa sudah ada kegiatan seleksi yang
dilakukan dan tidak adanya perkawinan acak.
29
Hubungan Sifat Fenotipe dan Genotipe
Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sapi Bali, tidak
diperoleh hubungan antara sifat fenotip dan genotip, karena lokus mikrosatelit
HEL9 yang digunakan bukan untuk mendeteksi gen yang membawa sifat warna
dan bentuk tanduk pada sapi Bali di Kabupaten Barru. Hal ini sesuai dengan
pendapat Handiwirawan (2003) yang menyatakan bahwa lokus mikrosatelit HEL9
tidak berdekatan ataupun berada dalam gen penyandi untuk pola warna tubuh dan
bentuk tanduk pada sapi Bali.
30
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitan secara fenotipe dan dengan menggunakan
mikrosatelit lokus HEL9 sapi Bali di Kabupaten Barru maka dapat disimpulkan
bahwa :
-
Bentuk tanduk yang paling umum pada sapi jantan adalah Silak Bajeg
sebanyak 19 ekor (54,28%) dan pada sapi betina adalah Silak
Manggulgangsa sebanyak 34 ekor (75,56%).
-
Warna bulu menyimpang 2,28% pada sapi jantan dan pada sapi
betina11,11%. Warna kaos kaki yang menyimpang pada sapi Bali jantan
8,57% dan sapi Bali betina warna kaos kaki yang menyimpang sekitar
33,33%. Warna menyimpang pada kaos kaki seperti: terdapat warna hitam
dan warna coklat pada kaos kaki sapi tersebut.
-
Proporsi alel A 50% dan alel B 50% pada sapi Bali di Kabupaten Barru.
-
Persentase genotipe AB pada sapi Bali di Kabupaten Barru adalah 100%.
Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian ini maka perlu dilakukan identifikasi
kemurnian sapi Bali dengan metode lain, seperti: keragaman protein darah dan
struktur bulu untuk dikombinasikan dengan yang dilakukan pada penelitian ini.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. M. A. N, R.R. Noor, H. Martojo, dan D.D. Solihin. 2008. Karakterisasi
genetik sapi aceh dengan
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 33
menggunakan
dna
mikrosatelit.
Anonim. 2000. Uji kemurnian sapi Bali melalui protein, DNA mikrosatelit,
struktur bulu dan kromosom. Laporan Penelitian. Bogor: Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Balai Inseminasi Buatan
Singosari.
Bawden, W.S. and K.R, Nicholas. 1999. Molecular genetics of milk production.
In The Genetics of Cattle. Edited R. Fries and A. Ruvinsky. CABI
Publishing. London. UK. 539-576.
Bennett, G.J. 2000. Update on the neurophysiology of pain transmission and
modulation: Focus on The NMDA-Receptor. J Pain Symptom Manage
19: 2–6.
Bishop, M.D., S.M. Kappes, J.W. Keele, R.T. Stone, I.F. Sunden, G.A. Hawkin,
S.S. Toldo, R. Fries, M.D. Grosz, J. Voo and C.W. Beattie. 1994. A
genetic linkage map for cattle. Genetics. 136: 619-639.
Bradley, D.G. and E.P. Cunningham. 1999. Genetics Aspects of Domestication.
In: Fries, R. And Ruvinsky, A., editor. The genetics of Cattle. New
York : CABI Publishing. Hlm 15 – 31.
Djarsanto. 1997. Kebijaksanaan Pelestarian Ternak Asli Indonesia dalam Rangka
Mendukung Pengembangan Perbibitan Ternak Nasional. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Januari 1997.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm. 182-185.
Handiwirawan, E. 2003. Penggunaan Mikrosatelit HEL9 dan INRA035 sebagai
Penciri Khas Sapi Bali. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Handiwirawan, E., R. R. Noor, Muladno and L. Schuler. 2003. The use of HEL9
and INRA035 mikrosatelites as specific markers for Bali cattle. Arch.
Tierz., Dummerstorf 46, 503-512.
Handiwirawan, E. dan Subandriyo. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya
genetik sapi bali. Lokakarya Nasional Sapi Potong. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. Hlm. 50-60.
32
Hardjosubroto, W. dan J.M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hardjosubroto, W. 1998. Pengantar Genetika Hewan. Fakultas Peternakan
Universitas`Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hartl, D. L., 1988 Primer of Population Genetics. 2 ed. Sinauer Associates,
Sunderland, Massachusetts. 305 pp.
Herweijer, C.H. 1950. Enkele aantekenigen btreffende de geschiedenis van de
runderveeteelt op het Eiland Timor. Hemera Zoa 56: 689.
Leung H., R.J. Nelson & J.E. Leach. 1993. Population structure of plant
pathogenic fungi and bacteria. Adv. Plant Pathol. 10: 157 – 205
Levinson, G. and G. A. Gutman. 1987. Slipped-strand mispairing: a major
mechanism for DNA sequence evolution. Mol. Biol. Evol. 4: 203-221
Li, W. H. and D. Graur. 1991. Fundamentals of Molecular Evolution Sunderland,
Massachusetts: Sinauer Associates, Inc.
Maskur, Muladno B. Tappa. 2007. Identifikasi genetik menggunakan marker
mikrosatelit dan hubungannya dengan sifat kuantitatif pada sapi.
Media Peternakan. 30:147-155.
Masudana, I W. 1990. Perkembangan Sapi Bali di Bali dalam Sepuluh Tahun
Terakhir (1980- 1990). Proceeding Seminar Nasional Sapi Bali.
Denpasar, 20-22 September 1990. Denpasar: Fakultas Peternakan
Universitas Udayana. Hlm A-11-A-30.
Meijer, W. C. P. 1962. Das Balirind. A. Ziemsen Verslag, Wittenberg
Lutherstandt.
Moeljopawiro, S. 2010. Marka mikrosatelit sebagai alternatif uji buss dalam
perlindungan varietas tanaman padi. Buletin Plasmanutfah 16(1): 1-7
Moore, S.S., L.L. Sargeant, J.J. King, J.S. Mattick, M. Georges, and D.J.S Hetzel.
1991. The conservation of dinucleotide microsatellites among
mammalian genomes allow the of heterilogous PCR primer pairs in
closely related species. Genomics. 10:654-660.
Namikawa, T., T. Amano, B. Pangestu and S. Natasasmita. 1982. Electrophoretic
variations of blood proteins and enzymes in indonesian cattle and
33
bantengs. the origin and phylogeny of indonesian native livestock
(Part III): Morphological and Genetical Investigations on the
Interrelationship between Domestic Animals and their Wild Forms in
Indonesia. The Research Group of Overseas Scientific Survey. Hlm
35–42.
National Research Council. 1983. Little-Known Asian Animals with a Promising
Economic Future. Washington, D.C.: National Academic Press.
Nei, M. and S. Kumar. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. New York:
Oxford University Press.
Nozawa, K. 1979. Phylogenetic Studies on The Native Domestic Animals in East
and Southeast Asia. Proceeding Workshop Animal Genetic Resources
in Asia and Oceania. Tsukuba, 3-7 September 1979. Tsukuba: Society
for the Advancement of Breeding Researches in Asia and Oceania
(SABRAO). Hlm 23-43.
Oka, I.G.L. and D. Darmadja. 1996. History and development of Bali Cattle.
Proceedings seminar on Bali cattle, a special spesies for the dry
tropics, held by Indonesia Australia Eastern University Project
(IAEUP), 21 September 1996. Udayana University Lodge, Bukit
Jimbaran, Bali.
Pane, I. 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. PT. Gramedia, Jakarta.
Pane, I. 1990. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3 Bali. Prosiding
Seminar Nasional Sapi Bali. Bali, 20-22 September 1990.
Pane, I. 1991. Produktivitas dan Breeding Sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi
Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas
Hasanudin. Ujung Pandang.
Payne, W.J.A. and D.H.L. Rollinson. 1973. Bali cattle. World Anim. Rev. 7: 1321.
Payne, W.J.A. and J. Hodges. 1997. Tropical Cattle: Origin, Breeds and Breeding
Policies. Blackwell Science.
Powell, W., G.C. Machray, and J. Provan. 1996. Polymorphism revealed by
simple sequence repeats. Trends in Plant Science, Vol.1, No.7, (July
1996), pp. 215-222, ISSN 1360-1385.
Rollinson, D.H.L. 1984. Bali Cattle. In: Evolution of Domesticated Animals.
Mason, I.L. (Ed.). New York: Longman.
34
Sastradipradja, D. 1990. Potensi internal sapi Bali sebagai salah satu sumber
plasma nutfah untuk menunjang pembangunan peternakan sapi potong
dan ternak kerja secara nasional. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali.
Denpasar, 20-22 September. Denpasar: Fakultas Peternakan
Universitas Udayana. Hlm A-47–A54.
Silva, F., L. Gusmao, and A. Amorim. 1999. Segregation analysis of tetra and
pentanucleotide short tandem repeat polymorphism : Deviation from
Mendelian expectations. Electrophoresis, 20:1697-1701.
Soehadji. 1990. Kebijaksanaan Pemuliaan Ternak (Breeding Policy) Khususnya
Sapi Bali, Dalam Pembangunan Peternakan. Pros. Seminar Nasional
Sapi Bali. Denpasar, 20-22 September 1990. Denpasar: Fakultas
Peternakan Universitas Udayana. Hlm A-1-A- 9.
Steffen, P., A. Eggen, A.B. Dietz, J.E. Womack, G. Stranzinger, and R. Fries. 1993.
Isolation and Mapping of Polymorphic Microsatetlites In Cattle. Anim.
Genet. 24, 121-124.
Sukmasari, A. H. 2003. Pendugaan Nilai Pemuliaan dan Kecenderungan Genetik
(Genetic Trends) Bobot Badan Sapi Bali di Proyek Pembibitan dan
Pengembangan Sapi Bali (P3 Bali) di Bali. Tesis. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tambasco, D. D., C. C. P. Paz, M. Tambasco-Studart, A. P. Pereira, M. M.
Alencar, A. R. Freitas, L. L. Countinho, I. U. Packer and L. C. A.
Regitano. 2003. Candidate genes for growth traits in beef cattle Bos
Taurus x Bos Indicus. J. Anim. Bred. Genet. 120: 51-60.
Tegelstrom, H. 1992. Mitochondrial DNA in natural population: An improved
routine for screening of genetic variation baed on sensitive silver
staining. Electrophoresis. 7:226-229.
Winaya, A. 2000. Penggunaan penanda molekuler mikrosatelit untuk deteksi
polimorfisme dan analisis filogenetik genom sapi [tesis]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana. Program Studi
Bioteknologi.
35
Lampiran 1. Gambar Bentuk Tanduk Sapi Bali di Kabupaten Barru
(I)
( II )
( III )
( IV )
(V)
( VI )
Gambar: (I) Silak Anoa ; (II) Silak Manggulgangsa ; (III) Silak Cono ; (IV)
Silak Bajeg ; (V) Silak Pendang ; (VI) Silak Congklok.
36
Lampiran 2. Pola Warna Bulu Sapi Bali di Kabupaten Barru
(I)
(II)
(III)
(IV)
(V)
Gambar : Pola warna tubuh sapi Bali jantan yang normal (I) ; pola warna tubuh
sapi Bali betina yang normal (II) ; sapi Bali bintik – bintik putih / sapi
tutul (III) ; dan beberapa pola warna tubuh sapi Bali yang menyimpang
dari normal, yaitu sapi Bali dengan campuran warna cokelat, putih dan
hitam pada bagian kaki bawah (IV) dan (V).
37
Lampiran 3. Analisis Data dengan Menggunakan Software PopGene32 Versi 1.31
******************************************************
POPULATION GENETIC ANALYSIS
******************************************************
Date : 2014/4/28
Time : 11:33:19
Data Description : Test Data Set II: Diploid Data
************************************************************************
Single-Population Descriptive Statistics
************************************************************************
population ID : 1
population name : none
* Population : 1 @ Locus : HEL9*
============================================================
Genotypes
Obs. (O)
Exp. (E)
(O-E)²/E
2*O*Ln(O/E)
============================================================
(A, A)
0
19.8742
19.8742
0.0000
(B, A)
80
40.2516
39.2516
109.9004
(B, B)
0
19.8742
19.8742
0.0000
============================================================
Chi-square test for Hardy-Weinberg equilibrium :
Chi-square
: 79.000000
Degree of freedom
:1
Probability
: 0.000000
Likelihood ratio test for Hardy-Weinberg equilibrium :
G-square
: 109.900411
38
Degree of freedom
:1
Probability
: 0.000000
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Allele Frequency of population 1 :
==============================
Allele \ Locus
Hel9
==============================
Allele A
0.5000
Allele B
0.5000
==============================
Summary Statistics of population 1 :
************************************************************************
Summary of Genic Variation Statistics for All Loci
[See Nei (1987) Molecular Evolutionary Genetics (p. 176-187)]
************************************************************************
==============================
Locus
Sample Size
na*
==============================
Hel9
160
2.0000
Mean
160
2.0000
St. Dev
0.0000
==============================
* na = Observed number of alleles
39
************************************************************************
Summary of Heterozygosity Statistics for All Loci
************************************************************************
===============================================================
Locus Sample Size Obs_Hom
Obs_Het
Exp_Hom*
Exp_Het*
Nei**
Ave_Het
======================================================================
Hel9
160
0.0000
1.0000
0.4969
0.5031
0.5000
0.5000
Mean
160
0.0000
1.0000
0.4969
0.5031
0.5000
0.5000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
St. Dev
0.0000
0.0000
===============================================================
* Expected homozygosty and heterozygosity were computed using Levene (1949)
** Nei's (1973) expected heterozygosity
The number of polymorphic loci is :
1
The percentage of polymorphic loci is : 100.00 %
40
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
EKSTRAKSI DNA
ELEKTROFORESIS MENGGUNAKAN AGAROSE
41
PROSES PCR
ELEKTOFORESIS MENGGUNAKAN GEL POLYACRYLAMIDE
42
RIWAYAT HIDUP
MUSDALIFA MANSUR (I 111 10 001) lahir di Ujung
Pandang, pada tanggal 9 Juni 1992 dari pasangan Mansur
Gani dan Gusniaty. Penulis menyelesaikan Pendidikan
Taman Kanak-Kanak di TK Aisya Bustanul Alfa Makassar
pada tahun 1998. Kemudian melanjutkan ke tingkat
Sekolah Dasar di SD Inpres Tangkala II selesai pada tahun
2004, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah
Pertama di SMP. Negeri 36 Makassar selesai pada tahun 2007 dan melanjutkan
sekolah ke Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 7 Makassar selesai pada tahun
2010. Penulis kemudian diterima di Universitas Hasanuddin Makassar Fakultas
Peternakan Jurusan Produksi Ternak melalui Jalur Pengembangan Potensi Belajar
(JPPB) pada tahun 2010 Selama kuliah penulis pernah
menjadi Asisten di
Laboratorium Fisiologi Ternak. Penulis juga merupakan anggota Himpunan
Mahasiswa Produksi
Ternak
Universitas Hasanuddin
(HIMAPROTEK-UH),
Bendahara Umum Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
(SEMA FAPET-UH) Periode 2014-2015, dan Ketua Umum Korps HMI Wati
(KOHATI) Komisariat Peternakan Cabang Makassar Timur Periode 2013-sekarang.
Download