1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan dan perkembangan yang cepat dalam hal komunikasi dan manajemen pengetahuan, menuntut adanya sistem penilaian yang efektif bagi kinerja organisasi. Berbagai model telah diciptakan oleh para ahli untuk sistem penilaian kinerja sehingga organisasi dapat memilih menggunakannya sesuai dengan jenis organisasi, visi, misi, struktur dan tenaga kerja. Fungsi penilaian kinerja bagi karyawan adalah sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, kelebihan, kekurangan, dan potensi yang dimilikinya sehingga bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karir dalam organisasi, atau perusahaan sendiri. Sistem penilaian tersebut sangat penting artinya dan peranannya dalam pengambilan keputusan tentang berbagai hal, seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekrutmen, seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem imbalan dan berbagai aspek lain dari proses dari manajemen sumber daya manusia yang efektif. Berkaitan dengan fungsi di atas salah satu dampak dari penerapan sistem penilaian kinerja adalah peringkat kepuasan dan menekan stres kerja karyawan, yang akan dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di PT.Aerofood Indonesia Unit Aerofood ACS Denpasar. PT. Aerofood Indonesia adalah perusahaan penyedia jasa boga penerbangan berstandar internasional yang berdiri di bawah bendera PT. 2 Aerowisata Internasional (holding company). Aerofood ACS Denpasar melayani penerbangan luar negeri (foreign), dan lokal (domestic). Maskapai penerbangan luar negeri (foreign) yang dilayani diantaranya China Airlines, Eva Air (China Taipei), Korean Air, Jet Star (Australia), Virgin Australia dan Air New Zealand sedangkan maskapai penerbangan lokal (domestic) yang dilayani adalah Garuda Indonesia. Sistem penilaian kinerja di Aerofood ACS Denpasar dilakukan setiap semester dengan menggunakan checklist yang di dalamnya terdapat indikator penilaian yaitu disiplin, loyalitas/tanggung jawab, sikap terhadap supervisi, kerja sama dengan teman sekerja, tingkat pengetahuan tentang pekerjaan, kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan inisiatif/prakarsa, kemauan untuk perbaikan peningkatan, pengembangan, kemampuan perencanaan dan mengorganisir, kemampuan memotivasi bawahan dan kemampuan mengambil keputusan. Penilaian dilakukan oleh atasan langsung dan atasan dari atasan langsung. Evaluasi dari hasil penilaian kinerja selama ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya sehingga aspek transparansi, adil, objektif dan umpan balik tidak dilakukan ke karyawan. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa penerapan sistem penilaian kinerja tidak dilakukan sesuai dengan prosedur dan indikator yang berlaku untuk mempertajam dan mendapatkan gambaran mengenai persepsi karyawan terhadap penerapan sistem penilaian kinerja, observasi awal dilakukan dengan wawancara kepada responden, adapun hasil yang di dapatkan sebagai berikut : 3 Tabel 1.1 Persepsi Responden terhadap Penerapan Sistem Penilaian Kinerja No. Indicator Interpretation 1. Hasil evaluasi secara terbuka dijelaskan dan dibahas Tidak Setuju untuk karyawan bersangkutan. 2. Sistem penilaian yang diterapkan akurat dalam hal isi Tidak Setuju dan tujuan. 3. Evaluasi dilakukan secara jujur dan adil. Tidak Setuju 4. Sistem penilaian kinerja yang diterapkan relevan dan Tidak Setuju dapat dipercaya. 5. Sistem penilaian kinerja bersifat adil dan obyektif. Tidak Setuju 6. Karyawan puas dengan hasil evaluasi dan peringkat Tidak Setuju penilaian. 7. Sistem penilaian kinerja efektif dalam mendorong Tidak Setuju karyawan untuk mengurangi stres kerja. Number of Respondents 35 employee Sumber : data primer 2014, diolah Dari hasil wawancara dengan 35 karyawan, diduga bahwa responden menilai sistem penilaian kinerja yang diterapkan kurang terbuka, tujuan yang dicapai kurang jelas, bersifat kurang adil sehingga menyebabkan karyawan merasa kurang puas. Penerapan sistem penilaian kinerja yang berkaitan dengan prosedur, evaluasi, transparansi, rasa adil, objektif, kepuasan terhadap hasil evaluasi dan pengurangan stres kerja dinilai oleh seluruh responden dengan hasil yang kurang baik, sehingga peneliti ingin mengkaji lebih dalam terkait dengan hal tersebut. Brown et al. (2010) menganalisis hubungan antara kualitas penilaian kinerja diukur dengan aspek kejelasan, komunikasi, kepercayaan, dan keadilan dari proses penilaian kinerja, kepuasan kerja dan komitmen, berdasarkan sampel sebesar lebih dari 2.300 karyawan non-manajerial Australia dari organisasi sektor 4 publik. Temuan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa karyawan yang dilaporkan mendapatkan nilai rendah dari penilaian kinerja (dikarenakan tingkat kepercayaan terhadap atasan rendah, komunikasi yang buruk, kurangnya kejelasan tentang harapan, persepsi dan adil dalam proses penilaian kinerja) juga dilaporkan memiliki tingkat yang lebih rendah dari kepuasan kerja dan komitmen. Alexia Deneire et al. (2014) meneliti tentang bagaimana karakteristik sistem penilaian kinerja yang digunakan untuk guru sekolah menengah mempengaruhi kepuasan kerja. Hasil penelitian menunjukkan sistem penilaian kinerja yang digunakan dianggap memiliki keputusan yang adil, baik dan memiliki dampak positif terhadap kepuasan kerja dan kejelasan sistem penilaian dianggap memiliki kualitas sehingga berdampak pada kepuasan kerja. Fletcher (2001) berpendapat bahwa penilaian kinerja memiliki pendekatan strategis dan mengintegrasikan kebijakan organisasi dan kegiatan sumber daya manusia. Namun, reaksi dan konflik di sisi karyawan sering tak terelakkan. Ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dialami dalam proses penilaian dan evaluasi dapat menyebabkan sistem penilaian kinerja menjadi gagal (Taylor et al., 2011). Keluhan terbesar dari penilai adalah bahwa mereka tidak diberikan pedoman yang memadai untuk menilai orang, dan keluhan terbesar dari ternilai adalah bahwa proses ini tidak merata dan adil. Penilaian kinerja banyak berkonsentrasi dalam menilai perilaku masa lalu karyawan, dalam situasi ini beberapa manajer mengeksploitasi untuk mengorbankan karyawan yang tidak disukai (Bersin, 2008). Argumen tentang bagaimana organisasi untuk mengembangkan sistem penilaian kinerja yang dapat membuat karyawan bereaksi 5 positif bukanlah hal baru. Temuan dari studi awal (Hepner and Moore, 2013) menyarankan bahwa mengembangkan sistem penilaian kinerja yang dapat membuat karyawan bereaksi positif adalah penting untuk keberhasilan sistem tersebut. Lebih khusus lagi, Hepner (2013) menemukan bahwa ketika para penilai secara terbuka dan jujur melakukan komunikasi dari tujuan sistem penilaian kinerja karyawan, akan membantu peningkatan kepercayaan karyawan terhadap sistem itu sendiri. Moore (2013) menyarankan bahwa sistem penilaian kinerja yang efektif adalah cara untuk menciptakan keadilan yang dirasakan dalam keputusan pengembangan sumber daya manusia seperti ketika sistem ini dijalankan dengan cara yang terstruktur dan formal, sistem penilaian kinerja cenderung dianggap sebagai memberikan informasi obyektif sebagai dasar untuk keputusan yang membantu meningkatkan kepercayaan dan antusiasme karyawan terhadap sistem itu sendiri. Ada tiga unsur kepuasan terkait dengan sistem penilaian kinerja. Pertama adalah kepuasan terhadap peringkat penilaian, peringkat yang lebih tinggi menimbulkan reaksi positif terhadap penilaian dan berhubungan dengan kepuasan proses penilaian tersebut. Elemen kedua adalah kepuasan dengan para penilai . Di sini, peran yang menentukan bahwa pengawas memiliki hal untuk meyakinkan hasil positif menjadi berbeda, karena para penilai karyawan harus memberikan umpan balik atas kinerja mereka. Elemen ketiga adalah kepuasan terhadap umpan balik penilaian kinerja, umpan balik sangat penting karena dapat berpengaruh potensial terhadap respon karyawan terhadap peringkat penilaian (Kacmar et al., 1996). Mc Carthy dan Garavan (2013) menyatakan bahwa umpan balik kinerja meningkatkan kepuasan kerja, motivasi 6 dan banyak pengambilan keputusan dan model pengembangan karir, termasuk umpan balik menekankan bahwa individu belajar atas dasar menerima umpan balik atas kinerja mereka. Dengan demikian, umpan balik kinerja memainkan peran penting dalam banyak kegiatan organisasi seperti pengembangan karir, motivasi, kepuasan kerja, dan manajemen kinerja. Selain masalah kesehatan mental dan fisik, stres kerja juga dapat menyebabkan masalah tertentu dalam organisasi, seperti ketidakpuasan, turnover karyawan, ketidakhadiran tinggi, peningkatan kecelakaan kerja dan penurunan kinerja. Untuk alasan ini, dapat dijelaskan sumber dan bagaimana memahami penyebab stres yang berhubungan dengan pekerjaan yang penting untuk meningkatkan intervensi pengurangan stres, meningkatkan kepuasan kerja, meningkatkan kinerja karyawan dan kualitas hidup (Mansoor et al., 2011). Gary Roberts dan Michael Pregitzen (2007), meneliti tentang mengapa karyawan tidak menyukai sistem penilaian kinerja yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor utama ketidakmampuan di dalam memberikan umpan balik kepada karyawan akan menyebabkan hasil penilaian menjadi ambigu. Ketika para manajer gagal untuk memberikan umpan balik secara korektif dan jujur, karyawan yang berkinerja rendah akan membebankan biaya dan pekerjaan kepada rekan kerja yang memiliki kinerja tinggi, sehingga meningkatkan kebencian dan menyebabkan stres kerja. Hasil penelitian juga dengan jelas menunjukkan sistem penilaian kinerja yang transparan dan dapat diverifikasi, serta karyawan memahami kriteria, standar dan proses akan menjadi sangat penting. Partisipasi karyawan yang penuh semangat dan berkelanjutan 7 dalam pengembangan dan administrasi dalam sistem penilaian kinerja akan meningkatkan transparansi, sehingga berpengaruh terhadap komitmen dan menurunkan stress kerja dan kekhawatiran karyawan. Hanafiah et al. (2007) meneliti hubungan antara kepuasan kerja dan stres kerja yang berkaitan dengan pekerjaan dan retention to leave staf audit dalam perusahaan akuntan publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan stres kerja berhubungan dengan pekerjaan secara signifikan terkait dengan niat untuk meninggalkan pekerjaan. Faktor seperti gaji, posisi pekerjaan dan pendidikan ditemukan memiliki efek tertinggi pada kepuasan kerja. Elemen motivasi dan unsur kesehatan berhubungan dengan kepuasan kerja dan stres kerja juga terkait. Dengan mempertimbangkan keinginan Aerofood ACS Denpasar untuk memenangkan kompetisi di bidang inflight catering dan perannya dalam pendukung pelayanan penerbangan, maka pengelolaan di bidang sumber daya manusia juga menjadi penting, terutama terkait dengan sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres kerja. Pengelolaan SDM dilakukan berdasarkan sistem manajemen berbasis kompetensi untuk menghasilkan karyawan yang mampu menjamin seluruh proses produksi dan pelayanan yang diberikan sesuai dengan SOP dan standar internasional. Para kompetitor pun bermunculan, seperti, PT. Purantara Mitra Angkasa Dua, PT. Kulinair dan PT. Parewa Air Catering, karena prospek bisnis inflight catering sangat maju pesat tiap tahunnya. 8 Berdasarkan hasil observasi dan penilaian di atas, maka peneliti bermaksud melakukan kajian lebih mendalam tentang penerapan sistem penilaian kinerja serta dampaknya terhadap kepuasan dan stres kerja karyawan. 1.2 Rumusan Masalah Dengan mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1) Bagaimana pengaruh penerapan sistem penilaian kinerja terhadap kepuasan kerja ? 2) Bagaimana pengaruh penerapan sistem penilaian kinerja terhadap stres kerja ? 3) Bagaimana pengaruh kepuasan kerja terhadap stres kerja ? 1.3 Tujuan Penelitian Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1) Menganalisis pengaruh penerapan sistem penilaian kinerja terhadap kepuasan kerja 2) Menganalisis pengaruh penerapan sistem penilaian kinerja terhadap stres kerja 3) Menganalisis pengaruh kepuasan kerja terhadap stres kerja 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis, sebagai berikut : 1) Manfaat teoritis a. Untuk menguji konsistensi penelitian-penelitian sebelumnya yang menguji hubungan antara sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres kerja 9 b. Untuk membuktikan secara empirik hubungan antara sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres kerja c. Untuk memberikan kontribusi mengenai sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres kerja 2) Manfaat praktis a. Untuk memberi masukan pada manajemen perusahaan tentang bagaimana mengendalikan kepuasan kerja dan stres kerja karyawan. b. Untuk memberi masukan manajemen perusahaan terkait dengan hubungan dari implementasi sistem evaluasi kinerja Aerofood ACS Denpasar dalam hal sistem penilaian kinerja agar efektif mencapai tujuan organisasi. 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1 Sistem Penilaian Kinerja Suatu organisasi menerapkan sistem penilaian kinerja untuk mengalokasikan imbalan bagi karyawan, memberikan saran pengembangan serta untuk memperoleh perspektif dan persepsi keadilan tentang pekerjaan mereka, departemen, manajer dan organisasi. Sebuah sistem penilaian kinerja terdiri dari berbagai unsur yang saling terkait dan terlibat dalam pelaksanaan, manajemen dan komunikasi di dalam penilaian kinerja (Walsh, 2011). Jawahar (2007) menjelaskan bahwa sistem penilaian kinerja berkaitan dengan proses dan prosedur yang mengatur penilaian kinerja dalam suatu organisasi. Sistem penilaian kinerja adalah sistem formal pemantauan karyawan yang melibatkan evaluasi kinerja berdasarkan penilaian dan pendapat dari bawahan, rekan kerja, supervisor, manajer bahkan pekerja itu sendiri dan merupakan cara atau mekanisme yang digunakan organisasi mengembangkan kompetensi, meningkatkan kinerja dan mendistribusikan penghargaan karyawan. William et al. (2000) mengidentifikasi empat tujuan sistem penilaian kinerja, yaitu : 1) Antara karyawan (between employees) (pengaturan gaji, promosi ke jabatan/posisi yang lebih tinggi, pemutusan hubungan mengidentifikasi karyawan yang memiliki kinerja rendah). kerja, 11 2) Di dalam seorang karyawan (within an employee) (mengidentifikasi kelemahan, kekuatan dan kebutuhan pelatihan karyawan ). 3) Pemeliharaan sistem (system maintenance) (membantu dalam evaluasi sistem karyawan (staffing), pencapaian tujuan organisasi, kebutuhan organisasi untuk pelatihan dan kebutuhan perkembangan organisasi). 4) Dokumentasi (documentation) (mendokumentasikan tindakan seluruh karyawan dan memiliki catatan terkait proses hukum). Sistem penilaian kinerja yang efektif dan efisien memerlukan sejumlah persyaratan agar menguntungkan organisasi dan karyawan yang bekerja untuk organisasi Wirawan (2009). Persyaratan tersebut antara lain sebagai berikut : 1) Relevansi Sistem penilaian kinerja harus relevan, artinya harus ada hubungannya dengan sejumlah faktor organisasi. Pertama, sistem penilaian kinerja harus ada hubungannya dengan strategi dan tujuan organisasi. Kedua, standar kinerja harus ada relevansinya dengan pencapaian strategi organisasi. 2) Reliabilitas Reliabilitas artinya konsistensi penilaian dari sistem penilaian kinerja. Sistem penilaian kinerja disebut reliabel atau dapat dipercaya jika seorang karyawan yang dinilai oleh dua orang penilai independen mempunyai nilai yang sama atau tidak terlalu berbeda. 12 3) Sensitivitas Sistem penilaian kinerja harus sensitif, artinya dapat membedakan kinerja sangat baik, baik, sedang, buruk dan sangat buruk. 4) Akseptabilitas Sistem penilaian kinerja harus akseptabel, artinya dapat diterima oleh mereka yang berkaitan dengan penilaian kinerja. Mereka yang berhubungan dengan penilaian kinerja pertama adalah organisasi atau perusahaan yang membuat sistem penilaian kinerja tersebut. Organisasi menggunakan penilaian kinerja untuk mengukur apakah karyawannya melaksanakan pekerjaan dan menghasilkan kinerja seperti yang diharapkan. Penilaian kinerja juga harus diterima oleh karyawan yang dievaluasi. Jika sistem penilaian kinerja merugikan para karyawan, mereka akan menolak penilaian kinerja tersebut. Jika karyawan menolak, tetapi perusahaan memaksakannya, maka akan terjadi keresahan (grievance), ketidakpuasan dan stres kerja karyawan. Sistem penilaian kinerja juga harus dapat diterima oleh para manajer yang akan melaksanakannya. Manajer umumnya tidak menyukai sistem evaluasi kinerja yang rumit dan memerlukan waktu untuk melaksanakannya. Sistem penilaian kinerja seperti itu menyita waktu para manajer sehingga mereka kurang memiliki waktu untuk mengembangkan pekerjaan dalam unitnya. 13 5) Praktikal Sistem penilaian kinerja harus praktis artinya mudah dipahami dan dapat dilaksanakan oleh para manajer dengan mudah. Jika tidak praktis akan terjadi penolakan dari para manajer atau para karyawan. Praktis tidaknya sistem penilaian kinerja ditentukan oleh kriteria berikut : (1) sederhana, (2) tidak memerlukan waktu banyak (time consuming) dan (3) tidak berisiko tinggi. 6) Tidak melanggar undang-undang Baik di negara-negara maju maupun di Indonesia, tidak ada undangundang khusus yang mengatur penilaian kinerja. Jika organisasi memilih untuk menyusun dan melaksanakan penilaian kinerja, penilaian tersebut harus tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada. Misalnya, Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Pasal ini merupakan pelaksanaan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Peter Allan (1994) mengemukakan tiga belas persyaratan agar sistem penilaian kinerja dapat efektif, sebagai berikut : 1) Sistem penilaian kinerja harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari organisasi 14 2) Faktor-faktor penilaian harus subjektif dan sekonkret mungkin 3) Penilaian kinerja harus bebas dari bias 4) Prosedur dan administrasi penilaian kinerja harus seragam 5) Sistem penilaian kinerja harus mudah untuk dioperasikan 6) Hasil sistem penilaian kinerja harus dipakai untuk mengambil keputusan 7) Sistem penilaian kinerja harus menyediakan suatu telaah atau proses naik banding 8) Sistem harus dapat diterima oleh para pemakai 9) Sistem penilaian kinerja harus dapat dioperasikan secara ekonomis 10) Penilaian kinerja harus didokumentasikan 11) Penilai harus terlatih dan mempunyai kualifikasi untuk melaksanakan penilaian kinerja 12) Sistem penilaian kinerja harus menyediakan cara memonitor dan mengevaluasi pelaksanaannya 13) Manajemen puncak harus mendukung sistem penilaian kinerja dengan jelas Dalam sejarah penilaian kinerja, terdapat sejumlah pendekatan yang digunakan oleh sistem penilaian kinerja berbagai organisasi. Secara umum, pendekatan-pendekatan yang berbeda tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu (1) Pendekatan sifat pribadi, (2) Pendekatan hasil kerja, (3) Pendekatan perilaku kerja dan (4) Pendekatan campuran. 15 Keeping dan Levy (2000), menyatakan terdapat empat komponen utama dari penerapan sistem penilaian kinerja yang nantinya dapat dievaluasi apakah sistem yang digunakan efektif atau gagal, yaitu : 1) The Appraisal Process yaitu, panduan terhadap kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk mengimplementasikan dan mengelola proses penilaian kinerja. 2) The Appraisal Interview yaitu, berkenaan dengan pertemuan formal yang diadakan antara penilai dan ternilai sebagai proses untuk menyampaikan umpan balik kepada ternilai, membahas hasil penilaian kinerja, mendefinisikan dan mendiskusikan tujuan kinerja yang perlu dicapai di masa depan. 3) The Appraisal Outcome yaitu, berkaitan dengan kesempatan pelatihan, pengembangan karir, kenaikan gaji, dan performance rating. 4) Fairness yaitu, berkaitan dengan keterbukaan yang didalamnya terdapat aspek akurasi, transparansi, tepat waktu dan akuntabel. George Ndemo et al. (2012), menyatakan terdapat lima komponen yang berpengaruh terhadap penerapan sistem penilaian kinerja, yaitu : 1) Process of the Performance Appraisal System, adalah melibatkan guidelines atau prosedur yang mengatur tentang proses sistem penilaian kinerja yang di dalamnya terdapat waktu pelaksanaan penilaian, tujuan dan target kinerja yang ingin dicapai. 16 2) Informational Factors, adalah berkaitan dengan interaksi dan komunikasi antara rater dan ratee yang nantinya akan terdapat evaluasi dari proses penilaian kinerja. 3) Rater Accuracy, adalah berkaitan dengan ketepatan, dan keterbukaan di dalam membahas hasil kinerja karyawan, terutamanya untuk menghilangkan aspek bias. 4) Interpersonal Factors, adalah berkaitan dengan persepsi keadilan dan kepercayaan yang diterima oleh rates, tidak adanya kepercayaan dapat membuat rates tidak puas sehingga seluruh sistem penilaian kinerja tidak akan efektif. 5) Employee Attitude, adalah berkaitan dengan kepuasan karyawan terhadap sistem penilaian kinerja, sistem yang digunakan harus formal, dimensi kerja harus relevan, adanya kesempatan untuk bertanya dan mengajukan banding dan memiliki tindakan yang cepat untuk menangani setiap kelemahan. Sistem penilaian kinerja yang diterapkan di Aerofood ACS sering disebut juga sistem imbal jasa atau merit pay system, sistem imbal jasa menetapkan hubungan formal antara upaya dan kinerja individual karyawan dengan imbalan yang diterimanya. Karyawan mempunyai hak untuk menerima upah dan kenaikan upah jika telah menunjukkan kinerja tertentu. Makin tinggi kinerja pegawai, makin tinggi persentase kenaikan upah yang diterimanya pada level kepangkatan/grade atau posisinya. Efektivitas merit pay system bergantung pada sistem penilaian kinerja yang dapat menjaring kinerja karyawan dengan baik. 17 Sistem penilaian kinerja yang digunakan memungkinkan perusahaan menjaring kinerja karyawan sesuai dengan kompensasi yang akan dibayarnya. Penilaian kinerja organisasi yang menggunakan pola merit pay system berupaya menjaring tinggi rendahnya kinerja seorang karyawan pada posisi tertentu dalam kurun waktu penilaian kinerja. Selain itu, tinggi rendahnya kinerja karyawan menentukan apakah ia berhak untuk mendapatkan kenaikan pangkat/grade atau jabatan. Persepsi karyawan terhadap sistem penilaian kinerja merupakan unsur penting dalam menentukan jangka panjang efektivitas suatu sistem, tidak hanya manajer, bawahan umumnya berbeda persepsi tentang suatu sistem penilaian yang efektif, tetapi mereka juga berbeda dalam hal apa yang menyebabkan penilaian tidak menjadi efektif. Longenecker dan Nykodym (1996) menemukan bahwa bawahan percaya penilai adalah kunci keberhasilan sistem dengan penekanan pada hal yang lebih efektif yakni perencanaan, umpan balik yang berkelanjutan dan pemantauan kinerja yang lebih baik oleh pengawas. Manajer, di sisi lain, cenderung untuk fokus pada desain sistem, operasi dan dukungan masalah. Menurut Wright (2013), karyawan menemukan penilaian lebih berguna ketika mereka spesifik dan terfokus, terencana dan dipersiapkan dengan baik, mudah dimengerti dan ketika mereka memiliki lebih banyak keterlibatan dan kontrol atas proses. Di sisi lain, penilai lebih peduli dengan isu-isu strategis, menjelaskan sistem penilaian mereka yang paling disukai seperti terkait dengan strategi bisnis, menantang, nilai tambah, dengan proses penetapan tujuan, direncanakan dengan baik, wajib dan terstruktur. 18 Keberhasilan sistem penilaian juga tergantung pada persepsi karyawan, untuk aspek-aspek penting dari proses penilaian keadilan dan reaksi mereka. Alhasil, dengan perasaan ketidakpuasan, ketidakadilan dalam proses dan ketidakadilan dalam evaluasi, setiap sistem penilaian akan ditakdirkan untuk gagal (Cardy dan Dobbins, 1994). Skarlicki dan Folger (1997) menunjukkan bahwa proses penilaian dapat menjadi sumber ketidakpuasan yang ekstrim ketika karyawan percaya sistem bias, politik atau tidak relevan. Steven et al. (2011) memberikan perspektif yang lebih lengkap dan terbaik mengenai praktek untuk penilaian kinerja karyawan dalam organisasi global. Perspektif yang dihasilkan adalah pelatihan yang memadai harus disediakan untuk para penilai dan yang dinilai dalam rangka menghindari banyak kesalahan penilaian yang umum dalam penilaian kinerja. Pelatihan harus mencakup perbedaan budaya, hukum dan pelanggan suatu negara dengan menyediakan manajer alat untuk memperbaiki proses penilaian kinerja. Manajer juga harus diberi kesempatan untuk membangun hubungan yang diperlukan dengan karyawan. Berdasarkan beberapa penelitian di atas sistem penilaian kinerja adalah prosedur pemantauan karyawan yang melibatkan evaluasi kinerja berdasarkan penilaian dan pendapat dari bawahan, rekan kerja, supervisor, manajer yang didalamnya terdapat aspek keterbukaan dengan tujuan untuk pengembangan karir, pelatihan, kenaikan gaji dan performance rating. 19 2. 2 Kepuasan Kerja McShane dan Von Glinow (2008) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya. Kepuasan kerja terkait dengan penilaian tentang karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja. Karyawan yang puas mempunyai penilaian yang baik tentang pekerjaan mereka, berdasarkan pengamatan dan pengalaman mereka. Kepuasan kerja benar-benar merupakan sekumpulan sikap tentang aspek-aspek yang berbeda dari tugas dan konteks pekerjaan. Noe et al. (2011) mendefinisikan variabel ini sebagai perasaan senang sebagai akibat persepsi bahwa pekerjaan seseorang memenuhi atau memungkinkan terpenuhinya nilai-nilai kerja penting bagi orang itu. Definisi ini merefleksikan tiga aspek penting, yaitu : 1) Kepuasan kerja merupakan fungsi nilai yang didefinisikan sebagai apa yang ingin diperoleh seseorang baik sadar maupun tidak sadar 2) Beragam karyawan memiliki pandangan yang juga berbeda-beda menyangkut nilai-nilai yang dirasa penting dan sangat berpengaruh terhadap penentuan sifat dan derajat kepuasan mereka 3) Persepsi individu bisa saja bukan merupakan refleksi yang sepenuhnya akurat terhadap realitas, dan beragam orang bisa memandang situasi yang sama secara berbeda-beda Kepuasan kerja merupakan tanggapan seorang karyawan berupa sikap terhadap organisasinya. Sebagai sebuah sikap, kepuasan kerja merupakan 20 konseptualisasi dari komponen evaluasi, kognitif, dan afektif. Antoncic (2011) mencatat beberapa riset terdahulu tentang sumber-sumber kepuasan, yaitu : 1) Kepuasan umum yang berhubungan dengan pekerjaan, termasuk didalamnya kondisi kerja, jam kerja, dan reputasi perusahaan. 2) Hubungan karyawan, terdiri dari hubungan antar karyawan dan juga wawancara personal tahunan dengan karyawan. 3) Remunerasi, benefits, dan budaya organisasi, unsur-unsur ini termasuk gaji, remunerasi dalam bentuk benefit dan pujian, promosi, pendidikan, sifat permanen pekerjaan, dan iklim dan budaya organisasi. 4) Loyalitas karyawan Karyawan puas dengan sistem penilaian kinerja mereka ketika ada kepercayaan dari pengawas dan ketika pengawas mendukung umpan balik dari hasil penilaian, khususnya di bidang pengembangan keterampilan, pay for performance, dll. Kemajuan karir terjadi selama sesi penilaian, dan bawahan merasa bahwa mereka diberi waktu yang cukup untuk mengekspresikan perspektif mereka, memiliki kesempatan untuk mempengaruhi hasil dan penjelasan yang cukup dari peringkat penilaian mereka (Whiting, et. al 2007). Menurut Luthans (2006) kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : 1) Pekerjaan itu sendiri, yaitu variasi pekerjaan dan kontrol atas metoda serta langkah-langkah kerja. 2) Kepuasan terhadap kompensasi, yaitu imbalan finansial yang diterima oleh karyawan meliputi gaji dan tunjangan, (diukur melalui rasa keadilan, 21 sebanding dengan tempat kerja lain yang sejenis, dan jumlah gaji yang di berikan sesuai dengan profesi). 3) Kesempatan promosi karir, yaitu kesempatan untuk maju dan mengembangkan diri dalam organisasi. 4) Kepuasan terhadap supervisi, yaitu kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku melalui proses komunikasi untuk tujuan tertentu, (diukur melalui pemberian arahan oleh atasan dengan obyektif, menegur ketika bersalah, dan umpan balik positif ketika bekerja dengan benar). 5) Kepuasan terhadap hubungan personal, yaitu interaksi dan keterlibatan dengan rekan kerja, atasan, bawahan dan lain-lain, dalam melakukan suatu pekerjaan, (diukur melalui komunikasi dengan atasan, bekerjasama dengan sesama karyawan dan sikap saling menghargai). Khim Ong et al. (2008), melakukan penelitian pada penilaian guru di sekolah dasar Singapura. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji atribut dari sistem penilaian kinerja, bagaimana atribut-atribut mempengaruhi kepuasan dan stres yang dialami dengan sistem penilaian kinerja, sikap terhadap bonus kinerja, kepuasan kerja, dan motivasi, dan kegotong-royongan yang dirasakan di antara para guru. Penelitian dilakukan melalui metode kuesioner dan dibagikan kepada 125 guru tetapi hanya 85 yang diambil karena mereka menanggapi survei atas dasar sukarela. Kuesioner bertanya tentang data demografi mereka, sikap terhadap pekerjaan, keinginan memiliki sistem penilaian kinerja yang baru, sistem penilaian kinerja saat ini, dan kepuasan dari sistem penilaian kinerja. Hasil dari 22 temuan menunjukkan bahwa keadilan dan kejelasan sistem penilaian kinerja terkait dengan kepuasan yang lebih besar dengan sistem penilaian kinerja. Sebagai kesimpulan, penelitian ini memberikan wawasan tentang bagaimana berbagai atribut dari sistem penilaian kinerja yang berhubungan dengan hasil seperti kepuasan kerja dan motivasi. Temuan ini dapat membantu untuk merancang dan mengimplementasikan sistem penilaian kinerja yang lebih efektif. Rabia Karimi et al. (2011) meneliti hubungan sistem penilaian kinerja dan kepuasan kerja karyawan di organisasi internasional nirlaba. Berdasarkan tanggapan dari 53 responden laki-laki dan 48 responden perempuan hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara sistem penilaian kinerja karyawan dan kepuasan kerja karyawan. Hasil mengkonfirmasi bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara karyawan pria dan wanita sehubungan dengan penilaian kinerja mereka dan kepuasan. Ini menegaskan bahwa sistem penilaian kinerja dalam praktek cukup adil untuk menjaga semua karyawan puas. Hasil dari penelitian ini adalah sejalan dengan Khan (2007) dan berbeda dengan studi penelitian Bricker (1992) yang menyatakan bahwa karyawan tidak puas dengan sistem penilaian kinerja yang diadopsi oleh organisasi mereka. Banyak peneliti menegaskan bahwa kepuasan karyawan adalah kunci untuk individu yang lebih baik dan atau kinerja organisasi (Schneider et al., 2003). Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas kepuasan kerja adalah evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya yang diukur berdasarkan dimensi karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja. 23 2. 3 Stres Kerja Menurut Spielberger (2003) menyebutkan bahwa stres adalah tuntutan- tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. Ada beberapa alasan mengapa masalah stres yang berkaitan dengan organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini Nimran (1999). Di antaranya adalah: 1) Masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan, dan posisinya sangat penting dalam kaitannya dengan produktifitas kerja karyawan. 2) Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari luar organisasi, stress juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami keberadaannya. 3) Pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan pemahaman terhadap cara-cara mengatasinya, adalah penting sekali bagi karyawan dan siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan organisasi yang sehat dan efektif. 4) Banyak di antara kita yang hampir pasti merupakan bagian dari satu atau beberapa organisasi, baik sebagai atasan maupun sebagai bawahan, pernah mengalami stres meskipun dalam taraf yang amat rendah. 24 5) Dalam zaman kemajuan di segala bidang seperti sekarang ini manusia semakin sibuk. Di situ pihak peralatan kerja semakin modern dan efisien, dan di lain pihak beban kerja di satuan-satuan organisasi juga semakin bertambah. Keadaan ini tentu saja akan menuntut energi pegawai yang lebih besar dari yang sudah ada. Sebagai akibatnya, pengalaman-pengalaman yang disebut stres dalam taraf yang cukup tinggi menjadi semakin terasa. Masalah-rnasalah tentang stres kerja pada dasarnya sering dikaitkan dengan pengertian stres yang terjadi di lingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi antara seorang karyawan dengan aspek-aspek pekerjaannya. Di dalam membicarakan stres kerja ini perlu terlebih dahulu mengerti pengertian stres secara umum. Cary Cooper dan Alison Straw (1995) mengemukakan gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini: 1) Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, rnerasa panas, otot-otot tegang, pencemaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah. 2) Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain. 25 3) Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan, penjengkel menjadi meledak-ledak. Sedangkan gejala stres di tempat kerja, yaitu meliputi: 1) Kepuasan kerja rendah 2) Kinerja yang menurun 3) Semangat dan energi menjadi hilang 4) Komunikasi tidak lancar 5) Pengambilan keputusan jelek 6) Kreatifitas dan inovasi kurang 7) Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif Semua yang disebutkan di atas perlu dilihat dalam hubungannya dengan kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya. Luthans (2000) mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda. Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses beriikir dan kondisi fisik 26 individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur. Davis dan Newstrom (1999) stres kerja disebabkan: 1) Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi karyawan. 2) Supervisor yang kurang pandai. Seorang karyawan dalam menjalankan tugas sehari-harinya biasanya di hawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan benar. 3) Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan bcrkaitan dengan keahlian, pcngalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang lerbatas. Akibatnya, karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan atasan. 27 4) Kurang mendapat tanggung jawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan. 5) Ambiguitas peran. Agar menghasilkan performan yang baik, karyawan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta scope dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran. 6) Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme). 7) Frustrasi. Dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bisa disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustrasi kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian kinerja/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima. 8) Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebut tidak umum. Situasi ini bisa timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang di lalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada di bawah perusahaan pertama. 28 9) Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masingmasing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi di bawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja tergantung pada individu karyawan, tetapi aman untuk mengatakan bahwa orang-orang yang mengalami stres yang tidak diinginkan biasanya juga mengalami sedikit kepuasan dari pekerjaan. Kepuasan kerja dan stres sering dianggap berhubungan sematamata dengan cara ini, tetapi ada koneksi lain yang perlu dipertimbangkan juga. Sebagai contoh, seorang karyawan dengan kepuasan kerja dinyatakan tinggi mungkin akan lebih mampu menangani periode stres yang ekstrim yang berkaitan dengan pekerjaan karena dia merasa bahwa stres tersebut bermanfaat untuk kepentingan perusahaan. Demikian juga, perusahaan yang menghargai kebahagiaan karyawan menciptakan ikatan tambahan antara kepuasan kerja dan stres karena, untuk menjaga kepuasan, manajer dan pejabat perusahaan lain harus sangat selaras dengan situasi yang menyebabkan stres. 29 Menurut Cary Cooper (2009), stres kerja disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1) Kondisi pekerjaan, meliputi beban kerja berlebihan secara kuantitatif, yaitu banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas kerja karyawan, sehingga karyawan mudah lelah dan berada dalam tekanan tinggi. Secara kualitatif, yaitu bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit diselesaikan sehingga menyita kemampuan karyawan dan waktu kerja. 2) Stres karena peran, meliputi ketidakjelasan peran di dalam melaksanakan pekerjaannya dan tidak mengetahui apa yang diharapkan oleh manajemen 3) Faktor interpersonal, meliputi hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang buruk dan kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan 4) Perkembangan karir, meliputi proses promosi ke jabatan yang lebih tinggi dan terkait dengan keamanan pekerjaan. 5) Struktur organisasi, meliputi struktur yang tidak jelas, pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang dan ketidakterlibatan dalam membuat keputusan 6) Tampilan rumah-pekerjaan, meliputi mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi, kurangnya dukungan dari keluarga, konflik pernikahan dan stres karena memiliki dua pekerjaan Teratanavat et al. (2006) menemukan proses sistem penilaian kinerja memiliki hasil seperti mengurangi stres karyawan, review kemajuan secara 30 keseluruhan, hubungan antara kinerja saat ini dan tujuan karyawan, dan rencana pengembangan tindakan tertentu untuk masa depan. Khaled A. et al. (1995) melakukan penelitian dengan tanggapan dari 442 karyawan bekerja di 23 organisasi yang berbeda di Arab Saudi untuk menilai tingkat stres dan perbedaan mereka sehubungan dengan kewarganegaraan (Saudi, Arab, Asia dan Barat), usia, jabatan, jenis organisasi (publik, semi-swasta, swasta) dan ukuran organisasi (kecil, menengah, besar). Temuan menunjukkan bahwa, sumber utama stres bagi karyawan yang bekerja di organisasi swasta adalah kurangnya pengetahuan tentang hasil penilaian kinerja mereka, sementara, ini tidak berlaku untuk karyawan yang bekerja di organisasi publik, karyawan Saudi memiliki tingkat stres tertinggi, dengan Arab kedua, Asia ketiga, sementara orang Barat ( Eropa dan Amerika Utara ) terdaftar memiliki tingkat stres terendah. Karyawan dengan pengalaman dan usia kurang dari 30 tahun memiliki tingkat stres tertinggi, karyawan dengan pengalaman kerja antara 6 sampai 10 tahun juga menunjukkan tingkat stres tertinggi dan ada hubungan terbalik yang signifikan antara tingkat pendidikan dan tingkat stres. Berdasarkan beberapa penelitian di atas stress kerja adalah evaluasi individu terkait kesesuaian kapasitas individu dengan tuntutan lingkungan kerja. 31 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEPTUAL, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Dan Konseptual Sejalan dengan semakin pesatnya pertumbuhan industri penerbangan yang menawarkan berbagai pelayanan yang memuaskan konsumen khususnya dalam hal makanan dan minuman berdampak pada munculnya kompetitor-kompetitor baru di bidang Inflight Catering. Munculnya kompetitor menyebabkan kompetisi menjadi sangat ketat, kompetisi ini terjadi bukan saja dari hal harga yang ditawarkan tetapi juga dari segi kualitas dan keamanan dari produk yang dihasilkan. Dalam rangka memenangkan persaingan tersebut dibutuhkan tenaga kerja profesional yang mampu bekerja sesuai standard operating procedure, memiliki integritas yang tinggi, handal, efektif dan efisien, pelayanan yang cepat dan berkualitas tinggi. PT Aerofood ACS Denpasar, sebagai salah satu perusahaan inflight catering terlibat dalam kompetisi tersebut. Perusahaan ini mengelola tenaga kerjanya berdasarkan human resources practise sistem manajemen SDM yang tujuannya adalah senantiasa memberikan informasi mengenai aspek-aspek sistem penilaian kinerja dengan tujuan agar terus meningkatkan produktivitas dan disiplin kerja, memelihara kepuasan kerja dan mengurangi dampak stres bagi karyawan. Meskipun sudah banyak kebijakan yang diterapkan untuk mendukung tujuan-tujuan tersebut, hasil dari observasi awal dan survey employee engagement 32 yang dilakukan pada tahun 2013 menunjukkan hasil yang cukup mengecewakan, lebih dalam mengenai aspek sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan tingkat stres karyawan. Berdasarkan pada fakta tersebut, PT Aerofood ACS DPS perlu mengkaji kembali kebijakan-kebijakan SDM yang diterapkan. Selain berfokus pada profit, maka kewajiban etis dalam mengelola karyawan perlu menjadi bagian dari strategi perusahaan. Karyawan tentu saja menuntut kesejahteraan, tetapi sebenarnya yang mereka perlukan lebih dari itu. Pada konteks etis inilah, tema sistem penilaian kinerja menjadi penting. Sebab lainnya adalah era keterbukaan yang memungkinkan karyawan mengungkapkan aspirasi terkait sistem penilaian kinerja baik secara individual maupun melalui serikat pekerja. Sistem penilaian kinerja mempunyai konsekuensi terhadap sikap dan perilaku karyawan yang berkaitan dengan kepuasan kerja dan stres kerja. Kepuasan kerja menunjukkan hasil sistem penilaian kinerja yang dilakukan dengan adil dan nyata sehingga akan berdampak pada produktifitas menjadi semakin tinggi dan berpengaruh pada rendahnya tingkat stres karyawan. Kepuasan kerja merupakan hasil dari kesadaran karyawan tentang seberapa baik pekerjaan mereka dapat memberikan hal-hal yang dipandang penting (Bernal et al., 2005). Sebuah kinerja dengan kualitas tinggi dari pengalaman penilaian diharapkan dapat meningkatkan perasaan karyawan, sikap, prestasi, diri tentang pekerjaan mereka dan perasaan mereka menuju posisi konstruktif dalam organisasi. Kinerja dengan kualitas tinggi dari pengalaman penilaian adalah berakibat penting untuk menghasilkan tingkat kepuasan kerja 33 tinggi (Brown et al., 2010). Sebuah kinerja dengan kualitas rendah dari pengalaman penilaian yang dilakukan dapat mengakibatkan tingkat kepuasan kerja yang lebih rendah. Signifikansi pengaruh sistem penilaian kinerja terhadap kepuasan kerja telah dibuktikan oleh banyak riset, antara lain yang dilakukan oleh Ari Warokka et al. (2012), Ayaz Khan (2009), Rabia Karimi et al. (2011), Mohsin Alvi et al. (2013), Arshad et al. (2013), Sarminah Samad (2011), Herald Monis (2010). Darehzereshki et al. (2013) melalui hasil studinya menyajikan bahwa ketika sistem penilaian kinerja dilakukan dalam sebuah organisasi tetapi di dalamnya terdapat karyawan dengan memiliki kualitas kerja yang rendah, sistem penilaian kinerja tersebut akan gagal untuk menciptakan proses pengelolaan sumber daya manusia yang menggembirakan, tetapi juga membawa beberapa efek negatif dalam bentuk kepuasan kerja yang rendah pula. Literatur keorganisasian mengenai stres kerja telah terperinci secara baik. Stres telah terbukti mempengaruhi psikologis karyawan, fisiologis dan perilaku (Cooper et al., 2001). Semua ini telah dikaitkan dengan prestasi kerja yang lebih rendah, yang selalu memberikan hasil negatif bagi organisasi (Longenecker et al., 1999). Hal yang terpenting mengenai masalah dan manfaat sistem penilaian kinerja dan evaluasi dalam organisasi tidak pernah hilang pada praktisi dan peneliti dari latar belakang sumber daya manusia, proses penilaian kinerja itu sendiri dapat meninggalkan kesan bagi yang ternilai dan para penilai bahagia. tidak 34 Signifikansi pengaruh sistem penilaian kinerja terhadap kepuasan kerja dan stres kerja telah dibuktikan oleh beberapa riset, antara lain yang dilakukan oleh : Geoff Carter and Brian Delahaye (2005), Mansoor et al. (2011), Tennakoon dan Rehan Syed (2011), Chaudhry (2012), DeTienne et al. (2012), Pascal Paillé (2011), Caleb dan Weathington (2007), Yuko Fujimura et al. (2010). Gbolahan Gbadamosi (2006) meneliti tentang persepsi stres, ketidaknyamanan sistem penilaian kinerja dan inti evaluasi diri dalam konteks non - barat (CP). Hasil penelitian menunjukkan korelasi langsung namun tidak signifikan antara ketidaknyamanan dan keyakinan dalam penilaian kinerja ; berhubungan terbalik antara ketidaknyamanan penilaian kinerja dan persepsi stres, berhubungan terbalik antara ketidaknyamanan penilaian kinerja dan inti evaluasi diri. Semua hasil ini, adalah dalam arah yang diprediksi tidak signifikan. Sebuah hubungan yang signifikan dan langsung ditemukan antara persepsi stres dan inti evaluasi diri. Ini mungkin menunjukkan hubungan yang kuat antara bagaimana seseorang melihat pandangan dan nilai diri sebagai refleksi kemungkinan keadaan individu dari persepsi stres. Inti evaluasi diri dan ketidaknyamanan penilaian kinerja muncul sebagai variabel prediktor untuk persepsi stres, dengan menjadi prediktor kuat dan bersama-sama menjelaskan sekitar 7% dari varians. Berdasarkan latar belakang, teori, studi empirik, dan observasi disusunlah suatu kerangka konseptual. Variabel eksogen yaitu sistem penilaian kinerja dan variabel endogen kepuasan kerja dan stres kerja. Kerangka konseptual dapat digambarkan sebagai berikut : 35 H1 Sistem Penilaian Kinerja Kepuasan Kerja H3 H2 Stres Kerja Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian 3.2 Hipotesis Penelitian 3.2.1 Pengaruh Penerapan Sistem Penilaian Kinerja Terhadap Kepuasan Kerja Mohsin Alvi (2013) menyatakan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara umpan balik dari evaluasi dan sistem penilaian kinerja berfungsi atas dasar kepuasan kerja. Ada korelasi positif yang signifikan antara penilaian kinerja berfungsi atas dasar kepuasan kerja dan antara penilaian kinerja berfungsi atas dasar promosi. Penelitian yang dilakukan oleh Mohsin Alvi (2013) adalah sejalan dengan Khan (2007) dan berbeda dengan studi penelitian Bricker (1992) yang menyatakan bahwa karyawan tidak puas dengan sistem penilaian kinerja yang diadopsi oleh organisasi mereka. Banyak peneliti menegaskan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah kunci untuk individu yang lebih baik dan / atau kinerja organisasi (Schneider et al., 2003 ). Kelly et al. (2008) menguji atribut dari sistem penilaian kinerja, bagaimana atribut-atribut tersebut dapat mempengaruhi kepuasan kerja, stres yang 36 dialami terkait dengan sistem penilaian kinerja, motivasi dan sikap kerjasama, hasil penelitian menunjukkan pentingnya kejelasan dan keadilan di dalam sistem penilaian kinerja berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja, temuan ini dapat membantu untuk merancang dan mengimplementasikan sistem penilaian kinerja yang lebih efektif. Sejalan dengan hal tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Rabia Karimi et al. (2011), Herald Monis, T. N. Sreedhara (2010), Kithuku dan Victoria Mutile (2012) menyatakan bahwa sistem penilaian kinerja berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian di atas dapat dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut : H1 : Sistem penilaian kinerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja 3.2.2 Pengaruh Penerapan Sistem Penilaian Kinerja Terhadap Stres Kerja Masalah-masalah yang timbul dari permasalahan penilai yang berkaitan erat dengan masalah proses sistem penilaian kinerja. Kritik penilai berkembang karena penilai memiliki tingkat stres yang tinggi di dalam memainkan peran dan mewakili organisasi dalam proses penilaian kinerja (Roberts 1998). Milliman et al.(2002) menyatakan banyak manajer merasa tidak nyaman dengan proses sistem penilaian kinerja dan karyawan tidak suka menerima hasil dari penilaian kinerja. Menambah tekanan ini adalah keyakinan yang dimiliki oleh banyak karyawan yang merasa bahwa masa depan mereka mungkin berada di 37 bawah ancaman. Ini adalah kekhawatiran yang wajar mengingat bahwa salah satu peran dari sistem penilaian kinerja yang bersifat administratif yaitu kenaikan gaji dan / atau promosi, untuk para karyawan khususnya, review interaksi sistem penilaian kinerja sering menyebabkan stres (Delahaye 2005 ). Meskipun ada banyak dugaan yang melekat, seperti yang ditunjukkan dalam literatur, tampaknya terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa ada hubungan langsung antara sistem penilaian kinerja dan stres kerja. Anggapan seperti itu tampaknya masuk akal dari beberapa penelitian tentang pengaruh sistem penilaian kinerja terhadap karyawan. Tattersall dan Morgan (1997) menyatakan bahwa individu dapat berinteraksi secara berbeda terhadap peristiwa stres mengenai sistem penilaian kinerja. Sejalan dengan hal tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Nesbit dan Wood (2002), Pettijohn dan Taylor (2000), Tattersall dan Morgan (1997) menyatakan bahwa sistem penilaian kinerja berpengaruh negatif terhadap stres kerja. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian di atas dapat dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut : H2 : Sistem penilaian kinerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja 3.2.3 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Stres Kerja Beberapa studi telah mengkaji hubungan antara kepuasan kerja dan stres diantaranya Cooper et al. (2001) dan Longenecker et al. (1999). Kepuasan kerja dan stres kerja adalah dua fokus panas di penelitian manajemen sumber daya 38 manusia. Meskipun ada hubungan antara kepuasan kerja dan stres kerja, penting untuk membedakan antara jenis stres yang berujung pada kepuasan dan jenis stres yang mengarah ke kelelahan. Jenis stres yang mengurangi kepuasan kerja adalah jenis yang konstan dan menyediakan pekerja dengan tidak ada manfaat. Dalam banyak kasus, stres jenis ini dapat menyebabkan penurunan kepuasan kerja yang pada akhirnya akan menyebabkan karyawan sangat tidak bahagia. Studi yang dilakukan oleh Khaleque (2013) menunjukkan bahwa para pekerja yang tidak puas terhadap sistem penilaian kinerja menderita stres dan ketegangan yang lebih besar dibandingkan dengan pekerja yang puas. Blegen (1993) menyatakan kepuasan kerja erat dipengaruhi oleh stres kerja. Analisisnya menemukan stres kerja dan komitmen memiliki hubungan yang kuat dengan kepuasan kerja. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Irvine & Evans (1995) yang menyatakan kepuasan kerja memiliki hubungan yang kuat dengan stres kerja dan turnover karyawan. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian di atas dapat dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut : H3 : Kepuasan kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja 39 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Dan Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk dapat memahami, menjelaskan, dan memprediksi tingkat ketergantungan variabel independen terhadap variabel dependen. Penelitian ini bersifat asosiatif, menurut Sugiyono (2008) penelitian asosiatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih. Di mana hubungan antara variabel dalam penelitian akan dianalisis dengan menggunakan ukuran-ukuran statistika yang relevan atas data tersebut untuk menguji hipotesis. Variabel-variabel yang digunakan adalah sistem penilaian kinerja (X), kepuasan kerja (Y1), dan stres kerja (Y2), dengan menggunakan metode PLS (partial least square), data yang diperoleh dari hasil kuesioner diolah dengan bantuan software SmartPLS Ver. 2 for windows, menguraikan hasil penelitian ini melalui pembahasan, saran dan kesimpulan tentang variabel yang diteliti. 4.1.2 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah meneliti penerapan sistem penilaian kinerja dan dampaknya terhadap kepuasan dan stres kerja karyawan PT Aerofood ACS Denpasar. Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang akan didistribusikan ke kantor Aerofood ACS di Bandara Internasional Ngurah Rai dan Aerofood ACS II di daerah Kelan. 40 4.2 Variabel Penelitian 4.2.1 Identifikasi Variabel Identifikasi variabel perlu dilakukan untuk memberikan gambaran dan acuan dalam penelitian. Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis penelitian, variabel penelitian dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1) Variabel eksogen adalah sistem penilaian kinerja (X) 2) Variabel endogen adalah kepuasan kerja (Y1) dan stres kerja (Y2). 4.2.2 Definisi Operasional Variabel Definisi operasional variabel merupakan jembatan yang menghubungkan conceptual-theoritical level dengan empirical-observational level (Purwanto dan Sulistyastuti, 2007). Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan variabel yang dianalisis berikut ini dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel sebagai berikut: 1) Sistem Penilaian Kinerja (X) Sistem penilaian kinerja (X) adalah prosedur pemantauan kerja karyawan yang melibatkan evaluasi kinerja berdasarkan penilaian dan pendapat dari bawahan, rekan kerja, supervisor dan manajer yang didalamnya mencakup aspek keterbukaan dengan tujuan untuk pengembangan karir, pelatihan, kenaikan gaji dan performance rating. Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur sistem penilaian kinerja dalam penelitian ini mengacu pada pengukuran yang dikembangkan oleh Keeping & Levy (2000), yaitu : 41 a) The Appraisal Process (X1.1) yaitu, persepsi responden terhadap panduan kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk mengimplementasikan dan mengelola proses penilaian kinerja. b) The Appraisal Interview (X1.2) yaitu, persepsi responden berkenaan dengan pertemuan formal yang diadakan antara penilai dan ternilai sebagai proses untuk menyampaikan umpan balik kepada ternilai, membahas hasil penilaian kinerja, mendefinisikan dan mendiskusikan tujuan kinerja yang perlu dicapai di masa depan. c) The Appraisal Outcome (X1.3) yaitu, persepsi responden berkaitan dengan kesempatan pelatihan, pengembangan karir, kenaikan gaji, dan performance rating. d) Fairness (X1.4) yaitu, persepsi responden berkaitan dengan keterbukaan yang didalamnya terdapat aspek akurasi, transparansi, tepat waktu dan akuntabel. 2) Kepuasan Kerja (Y1) Kepuasan kerja (Y1) adalah evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya yang diukur berdasarkan dimensi karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja. Indikator-indikator untuk mengukur kepuasan kerja dalam penelitian ini menggunakan pengukuran yang dikembangkan oleh Luthans (2006), yaitu : a) Pekerjaan itu sendiri (Y1.1), yaitu persepsi responden terhadap variasi pekerjaan dan kontrol atas metoda serta langkah-langkah kerja. 42 b) Kepuasan terhadap kompensasi (Y1.2), yaitu persepsi responden terhadap imbalan finansial yang diterima oleh karyawan meliputi gaji dan tunjangan, (diukur melalui rasa keadilan, sebanding dengan tempat kerja lain yang sejenis, dan jumlah gaji yang di berikan sesuai dengan profesi). c) Kesempatan promosi karir (Y1.3), yaitu persepsi responden terhadap kesempatan untuk maju dan mengembangkan diri dalam organisasi. d) Kepuasan terhadap supervisi (Y1.4), yaitu persepsi responden terhadap kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku melalui proses komunikasi untuk tujuan tertentu, (diukur melalui pemberian arahan oleh atasan dengan obyektif, menegur ketika bersalah, dan umpan balik positif ketika bekerja dengan benar). e) Kepuasan terhadap hubungan personal (Y1.5), yaitu persepsi responden terhadap interaksi dan keterlibatan dengan rekan kerja, atasan, bawahan dan lain-lain, dalam melakukan suatu pekerjaan, (diukur melalui komunikasi dengan atasan, bekerjasama dengan sesama karyawan dan sikap saling menghargai). 2) Stres Kerja (Y2) Stres kerja (Y2) adalah evaluasi individu terkait kesesuaian kapasitas individu dengan tuntutan lingkungan kerja. Indikator-indikator untuk mengukur stres kerja dalam penelitian ini menggunakan pengukuran yang dikembangkan oleh Cary Cooper (2009), yaitu : a) Kondisi pekerjaan (Y2.1), persepsi responden terhadap beban kerja berlebihan secara kuantitatif, yaitu banyaknya pekerjaan yang ditargetkan 43 melebihi kapasitas kerja karyawan, sehingga karyawan mudah lelah dan berada dalam tekanan tinggi. Secara kualitatif, yaitu bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit diselesaikan sehingga menyita kemampuan karyawan dan waktu kerja. b) Stres karena peran (Y2.2), persepsi responden terhadap ketidakjelasan peran di dalam melaksanakan pekerjaannya dan tidak mengetahui apa yang diharapkan oleh manajemen. c) Faktor interpersonal (Y2.3), persepsi responden terhadap hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang buruk dan kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan. d) Perkembangan karir (Y2.4), persepsi responden terhadap proses promosi ke jabatan yang lebih tinggi dan terkait dengan keamanan pekerjaan. e) Struktur organisasi (Y2.5), persepsi responden terhadap struktur yang tidak jelas, pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang dan ketidakterlibatan dalam membuat keputusan. f) Tampilan rumah-pekerjaan (Y2.6), persepsi responden terhadap mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi, kurangnya dukungan dari keluarga, konflik pernikahan dan stres karena memiliki dua pekerjaan. 4. 3 Pengumpulan Data 4.3.1 Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif, sebagai berikut : 44 1) Data kuantitatif dalam penelitian ini adalah data jumlah karyawan PT Aerofood ACS Denpasar dan data dari kuesioner penelitian. 2) Data kualitatif dalam penelitian ini adalah tingkat stres kerja karyawan dan tingkat kepuasan kerja karyawan Aerofood ACS Denpasar. 4.3.2. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari : 1) Data primer berasal dari karyawan yang menjadi responden penelitian ini dengan mengisi kuesioner untuk mengetahui tentang persepsi responden terkait sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres kerja. 2) Data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan dari data yang telah tersedia dalam perusahaan seperti data jumlah karyawan, masa kerja, tingkat pendidikan dan umur karyawan. 4.3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian Populasi mengacu pada keseluruhan kelompok orang, kejadian, atau hal minat yang ingin diteliti (Sekaran, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan tetap di seluruh departemen Aerofood ACS Denpasar dengan seluruh tingkat jabatan, sebanyak 635 orang. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2012). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling, karena populasi dianggap mempunyai probability yang sama untuk menjadi sampel dalam penelitian ini. Untuk menentukan sampel dari suatu populasi dalam penelitian ini digunakan metode Slovin dalam Husein Umar (2000) dengan rumus : 45 Keterangan : n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan misalnya 10%. Dengan metode penentuan sampel dari Slovin maka jumlah sampel minimal dapat dihitung sebagai berikut: n = 635 n = 86 1 + 635 (0.1)2 Populasi penelitian adalah 635, tingkat kesalahan yang ditolerir adalah 10% maka jumlah sampel minimum yang harus diambil adalah 86 orang karyawan dengan melihat secara proporsional antara jumlah populasi di masingmasing departemen sesuai dengan tabel di bawah ini : Tabel 4.1 Populasi dan Sampel Penelitian No Departemen Jumlah Populasi Jumlah Sampel 1. Executive Office 30 4 2. Customer Service 22 3 3. Lounge & Service 22 3 4. Quality Hygiene Safety Environment 44 6 5. Procurement 37 5 6. Accounting and Finance 59 8 46 Tabel 4.1 Lanjutan Populasi dan Sampel Penelitian No Departemen 7. Information, Communication Jumlah Populasi Jumlah Sampel 15 2 and Technology 8. Engineering 37 5 9. Human Capital 37 5 10. Security 15 2 11. Store 30 4 12. Industrial Catering 15 2 13. Operation 118 16 14. Production 126 17 15. Housekeeping 30 4 635 86 Total Sumber : Aerofood ACS Denpasar Departemen Human Capital 4.4. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cross sectional survey, yaitu metode pengumpulan data dimana informasi dikumpulkan hanya pada saat tertentu. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : 1) Observasi, digunakan untuk mengumpulkan data secara langsung serta mencatat fenomena di lokasi penelitian. Data yang diperoleh adalah pandangan, sikap dan perilaku karyawan. 2) Wawancara, digunakan untuk memperoleh informasi mengenai isu yang diteliti. Pada penelitian ini, wawancara dilakukan dengan bagian SDM di PT Aerofood ACS Denpasar untuk mengetahui data-data hasil employee engagement survey yang sudah dilakukan dan untuk memperoleh informasi tentang kebijakan pengelolaan SDM. 3) Kuesioner, digunakan untuk memperoleh data primer kuantitatif penelitian mengenai variabel-variabel yang diteliti. Data dikumpulkan dengan 47 mengirimkan kuesioner yang diberikan secara pribadi. Setelah kuesioner didistribusikan, responden diberi waktu selama 3 hari untuk menjawab, dan setelah selesai mengisi kuesioner tersebut akan dikumpulkan kembali. Menurut Sekaran (2006), keuntungan metode ini adalah : a. Bisa membangun hubungan dan memotivasi responden b. Keraguan bisa diklarifikasi c. Lebih murah jika diberikan kepada kelompok responden d. Respon dipastikan hampir mencapai 100% e. Anonimitas dari responden tinggi 4.5. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner dalam bentuk pertanyaan tertutup yang sudah disediakan. Para responden tinggal memilih, skala yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas tujuh tingkatan yakni 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (sedikit tidak setuju), 4 (tidak tahu), 5 (sedikit setuju), 6 (setuju) dan 7 (sangat setuju). Data yang dihasilkan pada penelitian ini akan dievaluasi melalui uji validitas dan reliabilitas untuk memastikan bahwa alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah valid dan reliabel. a) Uji Validitas Uji validitas bertujuan untuk memeriksa apakah isi kuesioner sudah tepat untuk mengukur apa yang ingin diukur dan cukup dipahami oleh semua responden yang diindikasikan oleh kecilnya persentase jawaban responden yang tidak terlalu menyimpang dari jawaban responden 48 lainnya. Sugiyono (2008) menyatakan bahwa validitas dapat dilakukan dengan mengkorelasikan antar item skor instrumen dalam suatu faktor dan mengkorelasikan antar skor faktor dengan skor total. Pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan korelasi Pearson Product Moment dengan koefisien korelasi ≥ 0,3, maka butir instrument dinyatakan valid. b) Uji Reliabilitas Uji reliabilitas bertujuan untuk mencari tahu sampai sejauh mana konsistensi alat ukur yang digunakan, sehingga bila alat ukur tersebut digunakan kembali untuk meneliti obyek yang sama dengan teknik yang sama walaupun waktunya berbeda, maka hasil yang akan diperoleh akan sama. Suatu instrumen dikatakan reliabel jika memberikan nilai Alpha Cronbach ≥ 0,60 (Hair et al., 2010). 4.6. Teknik Analisis Data Suatu penelitian membutuhkan analisis data dan intepretasinya yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam rangka mengungkap fenomena penyederhanaan data sosial menjadi tertentu. bentuk Analisis yang lebih data adalah proses mudah dibaca dan diintepretasikan. Teknik analisis yang dipilih untuk menganalisis data harus sesuai dengan pola penelitian dan variabel yang akan diteliti. Metode analisis data akan diuraikan pada paparan berikut ini. 49 4.6.1 Analisis Deskriptif Untuk menjelaskan item pertanyaan dari variabel sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres kerja yang sudah dijawab oleh para responden, dan mengindentifikasi karakteristik responden seperti umur, jenis kelamin, departemen/bagian, pendidikan terakhir dan masa kerja. 4.6.2 Analisis Inferensial Pada analisis ini menggunakan metode PLS ( partial least Quare), menurut Solimun (2008), PLS merupakan metode yang mempunyai keunggulan tersendiri dapat digunakan untuk semua skala data, tidak memerlukan banyak asumsi dan ukuran sampel data tidak seharusnya besar, tidak berdistribusi normal (distribution free) indikator berkisar antara 3 sampai dengan 7, selain PLS dapat digunakan untuk konfirmasi teori (hipotesis) dan membangun hubungan yang belum ada landasan teori atau untuk menguji preposisi. Langkah-langkah yang digunakan pada model PLS diuraikan sebagai berikut: 1) Merancang model struktur (inner model) Pengembangan model berbasis pada konsep dan teori untuk menganalisis hubungan antara variabel eksogen (Sistem Penilaian Kinerja) dan variabel endogen (Kepuasan Kerja dan Stres Kerja) berdasarkan rumusan masalah, kerangka konseptual dan hipotesis penelitian. 2) Merancang model pengukuran (outer model) Perancangan model pengukuran untuk menentukan sifat indikator dari masing-masing variabel sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres 50 kerja dan menentukan apakah indikator refleksi atau indikator formatif berdasarkan pada definisi operasional variabel. 3) Diagram Jalur, dapat dilihat pada gambar sebagai berikut: X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y1.5 Kepuasan Kerja Sistem Penilaian Kinerja Stres Kerja Y2.1 Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y2.5 Y2.6 Gambar 4.1. Diagram Alur (Path Diagram) atau Outer Model 4) Goodness of Fit Outer Model (model pengukuran) a) Convergent Validitas Korelasi antara skor indikator refleksi dan skor variabel laten, dengan menggunakan loading faktor 0.5 sampai 0.6 digunakan pada tahap awal pengembangan. b) Discriminant Validity Mengukur indikator refleksi yang berdasarkan pada cross loading dengan variabel laten, apabila nilai cross loading indikator pada variabel bersangkutan lebih besar daripada cross loading pada variabel 51 laten yang lain maka dapat dikatakan valid, selain itu membandingkan nilai square rool of average variance extracted (AVE) pada setiap konstruk dengan mengkorelasikan antara konstruk yang lain dengan model, apabila pada pengukuran awal kedua metode tersebut lebih baik bila dibandingkan dengan nilai konstruk yang lain dalam model, maka dapat disimpulkan bahwa konstruk tersebut memiliki nilai validitas diskriminan yang baik, nilai pengukuranya harus lebih besar dari 0,50. c) Composite Reliability Indikator blok yang mengukur konsisten internal dari indikator yang membentuk konstruk, menunjukkan derajat yang mengindentifikasi common laten ( unobserved) reliabilitas komposit memiliki nilai ˃ 0.7. 5) Goodness of Fit Inner Model Pengukuran dengan R-square (R-square variable dependen) sama dengan regresi, sedangkan konstruk laten independen menggunakan ukuran Stone-Geiser Q Square test (Q2), Q-Square relavansi predektif model konstruk untuk mengukur seberapa baik observasi yang dihasilkan oleh model dan estimasi parameter, nilai Q-Square harus ˃ 0 menunjukkan bahwa model memiliki relevansi predektif yang baik dan sebaliknya jika nilai Q-Square ˂ 0 menunjukkan model tidak memiliki relevansi predektif. 52 6) Pengujian Hipotesis Pengujian Hipotesis menggunakan uji t. Pengujian dilakukan dengan t-test pada inner model diperoleh p-value ˂ 0,005 (alpha 5%), pengujian tersebut berarti terdapat pengaruh yang bermakna variabel laten yaitu variabel sistem penilaian kinerja terhadap variabel laten lainya yaitu variabel kepuasan kerja dan variabel stres kerja. 53 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Gambaran Umum PT. Aerofood Indonesia Unit Aerofood ACS Denpasar PT. Aerofood Indonesia adalah perusahaan penyedia jasa boga penerbangan berstandar internasional yang berdiri di bawah bendera PT. Aerowisata Internasional (holding company). PT. Aerofood Indonesia kini melayani 18 maskapai penerbangan domestik dan internasional, termasuk Garuda Indonesia, Qantas, Cathay Pacific, Singapore Airline, Air China, Japan , Emirates dan Saudi Arabia. Selain itu PT. Aerofood Indonesia juga melayani meals untuk pesawat charter, VVIP (R1), dan penerbangan khusus seperti Haji. Untuk mendukung semua keperluan operasionalnya, PT. Aerofood Indonesia memiliki cabang di Jakarta, Denpasar, Surabaya, Medan, Balikpapan, Jogjakarta dan Bandung. Kebutuhan akan jasa transportasi udara yang meningkat ini disertai dengan permintaan akan jasa pelayanan penyedia makanan (jasa boga) bagi maskapai maskapai penerbangan. Layanan jasa boga ini lebih dikenal dengan nama inflight catering. Inflight caterer (penyedia jasa boga) mengolah bahanbahan makanan menjadi makanan siap saji yang nantinya makanan ini akan dikonsumsi oleh penumpang pengguna jasa maskapai penerbangan. Inflight 54 caterer pada dasarnya merupakan perusahaan yang bergerak dalam perdagangan makanan. Jasa katering untuk maskapai penerbangan, berbeda dengan jasa katering restoran (Emirates Catering, 2004). Perbedaan ini dapat dilihat dari jeda waktu (time lag) untuk katering maskapai penerbangan, terdapat jeda waktu yang panjang antara masa makanan diproduksi dan penyampaian produk ke konsumen sampai makanan tersebut dikonsumsi, hal ini tidak terjadi di restoran restoran. Makanan yang disajikan pun harus sesuai dengan kriteria penumpang dalam pesawat. Aerofood ACS Denpasar melayani penerbangan luar negeri (foreign), dan lokal (domestic). Maskapai penerbangan luar negeri (foreign) yang dilayani adalah China Airlines, Eva Air (China Taipei), Korean Air, Jet Star (Australia), Virgin Australia, Air New Zealand, Asiana Airlines, China Southern, China Eastern dan Hongkong Airlines, sedangkan maskapai penerbangan lokal (domestic) yang dilayani adalah Garuda Indonesia. Aerofood ACS Denpasar telah menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 yang diintegrasikan dengan HACCP sejak tahun 2003 sampai sekarang. Sertifikat ISO ini diperlukan sebagai tiket untuk membuka suatu usaha yang sasarannya adalah pangsa pasar internasional. Dengan dimiliki sertifikat ISO 9001:2000 yang diintergrasikan dengan HACCP, maka Aerofood ACS Denpasar bersaing dengan para kompetitor baik dalam maupun luar negeri karena telah teruji manajemen mutunya dalam memberikan kepuasan dan kepercayaan pelanggan. Tanggung jawab dalam 55 pengendalian mutu adalah melibatkan semua komponen (seluruh karyawan) yang ada dan bukan merupakan tanggung jawab departemen (tanggung jawab tunggal). Aerofood ACS mewujudkan implementasi klusal 7 (quality management and food safety management) dalam realisasi produk telah membuat perencanaan yang disesuaikan dengan sasaran mutu, persyaratan produk di setiap tahapan proses produksi, ketentuan ini juga mencakup verifikasi, validasi, pemantauan, dan pengujian. Untuk membuktikan bahwa proses realisasi produk telah dilaksanakan dan memenuhi persyaratan, maka di setiap proses produksi, ACS telah membuat Check-list (Catatan Mutu). 5.1.2 1) Visi, Misi dan Budaya Perusahaan Visi To be the leading Premium quality food and services provider in ASEAN 2) Misi 1) Operational excellence for Garuda Indonesia and other esteemed customers 2) Customer intimacy for long term partnership 3) Maximize company’s value for the implementation I-FRESH corporate culture 3) Budaya Perusahaan a) Integrity Jujur, transparan, mandiri dan beretika stakeholder through 56 b) Fast 1) Melakukan tindakan sesuai harapan pelanggan dengan cepat dan tepat 2) Pengelolaan waktu yang baik dan dapat beradaptasi dalam berbagai situasi serta melakukan tindakan sesuai harapan pelanggan dengan cepat dan tepat c) Reliable Handal dan mampu menyelesaikan pekerjaan dengan hasil terbaik serta dapat dipertanggung jawabkan d) Effective & Efficient Melaksanakan setiap kegiatan secara tepat guna dan tepat sasaran e) Service Excellent Memberikan pelayanan prima kepada pelanggan dan rekan kerja secara tulus dan ikhlas, sikap rendah hati, proaktif dan semangat f) Hygiene 1) Menghasilkan produk yang aman untuk dikonsumsi 2) Bersih, aman dan menyehatkan serta memenuhi standar-standar yang berlaku 57 5.1.3 Karakteristik Demografi Responden Penelitian Gambaran demografi responden penelitian diuraikan berdasarkan jenis kelamin, umur, masa kerja, status kepegawaian dan tingkat pendidikan seperti yang disajikan pada hasil analisis pada Tabel 5.1 Tabel 5.1 Karakteristik Demografi Responden 1. 2. 3. 4. 5. Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Umur < 25 tahun 25 – 35 tahun 36 – 45 tahun 46 – 55 tahun Total Masa kerja < 5 tahun 5 - 10 tahun 16 – 20 tahun 21 – 25 tahun > 25 tahun Total Status Kepegawaian Tetap Total Tingkat Pendidikan SMP SMA Diploma 1 Diploma 2 Diploma 3 Sarjana Strata 1 Total Frekwensi Prosentase 72 14 86 84% 16% 100% 1 6 47 32 86 1% 7% 55% 37% 100% 5 3 39 34 5 6% 3% 45% 40% 6% 86 100% 86 86 100% 100% 1 43 9 2 6 25 1% 50% 10% 2% 7% 29% 86 100% Sumber : Lampiran 2 1) Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 5.1 dapat diketahui responden lakilaki berjumlah 72 orang (84%) dan perempuan berjumlah 14 orang (16%). Secara keseluruhan karyawan laki-laki lebih banyak dikarenakan waktu kerja operasional perusahaan selama 24 jam setiap harinya. 58 2) Karakteristik responden berdasarkan umur Deskripsi umur responden seperti pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa umur terendah responden adalah 24 tahun dan umur tertua adalah 55 tahun. Rata-rata umur responden adalah 43,96 tahun. 3) Karakteristik responden berdasarkan masa kerja Masa kerja responden menunjukkan bahwa masa kerja minimum adalah 1 tahun dan masa kerja maksimal adalah 35 tahun. Rata-rata masa kerja responden adalah 19,96 tahun. 4) Karakteristik status kepegawaian Berdasarkan status kepegawaian, seluruh karyawan merupakan pegawai tetap. Responden dipilih pegawai tetap dikarenakan sudah mengikuti prosedur penilaian kinerja sehingga dapat memberikan feedback sesuai dengan isi kuesioner. 5) Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan Deskripsi tingkat pendidikan seperti Tabel 5.1 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terendah responden adalah SMP (1%) dan tingkat pendidikan tertinggi adalah Sarjana Strata 1 (29%). Tingkat pendidikan karyawan Aerofood ACS Denpasar di dominasi oleh tingkat SMA. 5.1.4 Deskripsi Variabel Penelitian Deskripsi variabel penelitian menyajikan penilaian responden untuk setiap butir pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner dan disajikan menurut komponen sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stress kerja dengan mengunakan skala pengukuran 1 sampai 5. Untuk mendeskripsikan penilaian rata- 59 rata responden mengenai variabel-variabel dalam penelitian, hasil jawaban responden disesuaikan dengan desain skala pengukuran yang telah ditetapkan kemudian diformulasikan ke dalam 5 interval kelas (Sugiyono 1999:29). Rumus interval kelas adalah sebagai berikut: Interval kelas Nilai tertinggi - nilai terendah Jumlah kelas Interval kelas 5 -1 0,8 5 Berdasarkan interval kelas tersebut dapat diketahui rentang nilai masingmasing kelas sebagai dasar interpretasi jawaban responden penelitian terhadap variabel penelitian yaitu, variabel sistem penilaian kinerja (X), kepuasan kerja (Y1) dan stres kerja (Y2) dapat dilihat pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Interpretasi Rentang Nilai Variabel Penelitian No Variabel Penelitian Rentang Skor Sistem Penilaian Kinerja (X) Kepuasan Kerja (Y1) Stres Kerja (Y2) 1 1 - 1,80 Sangat Tidak Baik Sangat Tidak Puas Sangat Tinggi 2 > 1,80 - 2,60 Tidak Baik Tidak Puas Tinggi 3 > 2,60 - 3,40 Cukup Baik Cukup Puas Sedang 4 > 3,40 - 4,20 Baik Puas Rendah 5 > 4,20 - 5,00 Sangat Baik Sangat Puas Sangat Rendah Sumber : Perhitungan Mengacu pada Sugiyono (1999:29) 5.1.4.1 Deskripsi Variabel Sistem Penilaian Kinerja (X) Sistem penilaian kinerja (X) adalah prosedur pemantauan kerja karyawan yang melibatkan evaluasi kinerja berdasarkan penilaian dan pendapat dari bawahan, rekan kerja, supervisor dan manajer yang didalamnya mencakup aspek 60 keterbukaan dengan tujuan untuk pengembangan karir, pelatihan, kenaikan gaji dan performance rating. Penilaian responden terhadap variabel sistem penilaian kinerja disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Penilaian Responden terhadap Variabel Sistem Penilaian Kinerja Indikator Paham mengenai prosedur proses penilaian kinerja Paham mengenai kebijakan proses penilaian kinerja Paham mengenai mekanisme pengelolaan proses penilaian kinerja Memperoleh umpan balik atas hasil penilaian kinerja Dalam interview disampaikan informasi hasil kinerja Dalam interview didiskusikan kinerja di masa yang akan datang Kesempatan untuk pengembangan dan pertumbuhan pribadi Merasa puas dengan peluang karir Memiliki peluang untuk pelatihan keterampilan mengenai pekerjaan Persentase Jawaban Responden TS STS TT SS S 25,6 12,8 5,8 23,3 19,8 SS 7,0 RataRata 3,98 Keterangan STS 5,8 4,7 19,8 24,4 8,1 18,6 11,6 12,8 3,98 Baik 5,8 24,4 22,1 11,6 12,8 15,1 8,1 3,77 Baik The Appraisal Process 11,6 27,9 12,8 10,5 12,8 14,0 10,5 3,91 3,69 Baik Baik 7,0 29,1 12,8 11,6 17,4 18,6 3,5 3,73 Baik 8,1 30,2 9,3 12,8 12,8 15,1 11,6 3,84 Baik The Appraisal Interview 14,0 19,8 16,3 20,9 20,9 8,1 3,75 4,40 Baik Sangat Baik 0 1,2 17,4 27,9 9,3 19,8 17,4 7,0 4,09 Baik 0 11,6 23,3 14,0 19,8 19,8 11,6 4,48 Sangat Baik 4,32 Sangat Baik The Appraisal Outcome Percaya dinilai secara terbuka Adanya keadilan dalam penilaian kinerja Dilakukan secara transparan dan akuntabel 3,5 24,4 18,6 11,6 15,1 16,3 10,5 4,01 Baik 5,8 19,8 16,3 9,3 18,6 20,9 9,3 4,15 Baik 1,2 25,6 14,0 10,5 16,3 18,6 14,0 4,27 Sangat Baik 4,14 4,03 Baik Baik Fairness Sistem Penilaian Kinerja (X) Sumber: lampiran 2 Baik 61 Berdasarkan Tabel 5.3 terlihat bahwa variabel sistem penilaian kinerja dinilai baik oleh responden secara keseluruhan yang didasarkan pada persepsi rerata (mean) sebesar 4,03. Indikator the appraisal outcome memperoleh respon tertinggi dengan nilai rerata 4,32 apabila dibandingkan dengan indikator fairness (4,14), diikuti indikator the appraisal process (3,91), sedangkan indikator the appraisal interview mendapat tanggapan paling rendah dengan nilai rerata sebesar 3,75. The appraisal outcome diberikan nilai yang paling tinggi oleh responden, hal ini menunjukkan bahwa kesempatan pelatihan, pengembangan karir, kenaikan gaji dan performance rating dirasa sangat baik oleh karyawan. Indikator fairness berada di urutan yang kedua dengan nilai rerata sebesar 4,14, hal ini menunjukkan rasa keterbukaan dalam sistem penilaian kinerja yang didalamnya terdapat aspek akurasi, transparasi, akuntabilitas dan tepat waktu dilakukan dengan baik oleh para penilai terhadap ternilai. Indikator the appraisal process berada di urutan ketiga dengan nilai rerata sebesar 3,91. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan prosedur yang digunakan dalam proses penilaian kinerja telah dipahami secara baik oleh karyawan. Indikator yang keempat adalah the appraisal interview dengan nilai rerata sebesar 3,75. Hasil ini menunjukkan bahwa para karyawan telah menerima umpan balik dari para penilai terkait dengan hasil penilaian kinerja. 5.1.4.2 Deskripsi Variabel Kepuasan Kerja (Y1) Kepuasan kerja (Y1) adalah evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya yang diukur berdasarkan dimensi karakteristik pekerjaan, 62 lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja. Penilaian responden terhadap variabel kepuasan kerja disajikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Penilaian Responden terhadap Variabel Kepuasan Kerja Indikator Pekerjaan sangat menarik Kesempatan untuk belajar hal-hal baru Sesuai dengan tingkat tanggung jawab Sedikit mencapai keberhasilan Puas dengan pekerjaan Puas dengan gaji sesuai tanggung jawab Puas dengan tunjangan Memberikan gaji & tunjangan lebih baik dari pesaing Usaha diberikan imbalan yang seharusnya diterima Kenaikan gaji jarang dilakukan STS 3,5 Persentase Jawaban Responden TS STS TT SS S 14,0 11,6 18,6 20,9 18,6 SS 12,8 RataRata 4,47 Sangat Puas 3,5 11,6 25,6 10,5 18,6 18,6 11,6 4,31 Sangat Puas 3,5 16,3 15,1 12,8 20,9 18,6 12,8 4,38 Sangat Puas 5,8 17,4 12,8 11,6 26,7 20,9 4,7 4,17 Puas 9,3 27,9 12,8 Pekerjaan itu Sendiri 18,6 15,1 14,0 4,37 4,34 Sangat Puas Sangat Puas 2,3 2,3 17,4 31,4 12,8 15,1 18,6 2,3 3,86 Puas 7,0 2,3 25,6 9,3 12,8 20,9 11,6 12,8 22,1 29,1 14,0 22,1 7,0 3,5 3,86 4,37 Puas Sangat Puas 3,5 12,8 22,1 7,0 12,8 31,4 10,5 4,49 Sangat Puas 4,7 22,1 26,7 14,0 20,9 9,3 2,3 3,62 Puas 4,04 Puas Gaji Puas dengan tingkat kemajuan Puas dengan dasar promosi Puas dengan kesempatan promosi kenaikan jabatan Puas dengan kesempatan promosi kenaikan gaji Promosi jarang terjadi Manajer/supervisor selalu memberikan dukungan Manajer/supervisor memiliki motivasi tinggi Manajer/supervisor memberikan kebebasan yang bertanggung jawab Keterangan 2,3 15,1 29,1 9,3 18,6 17,4 8,1 4,12 Puas 11,6 32,6 20,9 7,0 12,8 12,8 2,3 3,24 Cukup Puas 8,1 33,7 19,8 5,8 14,0 14,0 4,7 3,44 Puas 4,7 25,6 27,9 8,1 12,8 14,0 7,0 3,69 Puas 20,9 10,5 4,7 25,6 15,1 9,3 3,80 3,66 4,22 Puas Puas Sangat Puas 7,0 10,5 33,7 12,8 Kesempatan Promosi dan Karir 4,7 12,8 22,1 10,5 8,1 22,1 16,3 7,0 25,6 10,5 10,5 3,93 Puas 5,8 20,9 25,6 12,8 11,6 16,3 7,0 3,80 Puas 63 Tabel 5.4 Lanjutan Penilaian Responden terhadap Variabel Kepuasan Kerja Indikator Manajer/supervisor tidak mau mendengar Atasan bersikap jujur dan adil Puas dengan tim kerja Menikmati bekerja dengan teman-teman Rekan kerja sangat kooperatif Rekan kerja selalu memberikan dukungan Dikucilkan oleh rekan kerja Persentase Jawaban Responden STS TT SS S 20,9 9,3 30,2 20,9 STS 4,7 TS 9,3 4,7 10,5 20,9 SS 4,7 RataRata 4,33 Keterangan Sangat Puas 16,3 22,1 17,4 8,1 4,26 Sangat Puas Pengawasan/Supervisi 3,5 8,1 26,7 11,6 4,7 8,1 26,7 8,1 25,6 27,9 15,1 15,1 9,3 9,3 4,11 4,30 4,29 Puas Sangat Puas Sangat Puas 5,8 14,0 23,3 10,5 22,1 12,8 11,6 4,14 Puas 4,7 8,1 27,9 9,3 22,1 18,6 9,3 4,29 Sangat Puas 4,7 8,1 16,3 14,0 24,4 20,9 11,6 4,55 Sangat Puas 4,31 4,03 Sangat Puas Puas Rekan Kerja Kepuasan Kerja (Y1) Sumber : lampiran 2 Berdasarkan Tabel 5.4 terlihat bahwa variabel kepuasan kerja dinilai puas oleh responden secara keseluruhan yang didasarkan pada persepsi rerata (mean) sebesar 4,03. Indikator kepuasan terkait kesempatan promosi dan karir mempunyai nilai yang paling rendah dengan nilai rerata sebesar 3,66 dan indikator kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri mempunyai nilai yang paling tinggi dengan nilai rerata sebesar 4,34. Indikator pekerjaan itu sendiri dinilai oleh responden dengan sangat puas dan memiliki nilai rerata tertinggi sebesar 4,34, hal ini menunjukkan karyawan menganggap pekerjaannya menarik, mendapatkan kesempatan untuk belajar hal baru, sesuai dengan tingkat tanggung jawabnya sehingga karyawan merasa puas terhadap pekerjaannya. Indikator rekan kerja berada di urutan kedua dengan nilai rerata sebesar 4,31, hal ini menunjukkan hubungan dengan sesama rekan kerja berjalan dengan sangat baik dan saling memberikan dukungan satu sama lain. Indikator pengawasan/supervisi berada di urutan ketiga dengan nilai rerata sebesar 4,11, hal ini menunjukkan persepsi responden terkait dengan pengawasan yang 64 dilakukan oleh manajer/supervisor sangat baik, dalam memberikan motivasi yang tinggi, memberikan kebebasan yang bertanggung jawab dan yang paling disukai karyawan adalah atasan bersikap jujur dan adil dalam setiap pekerjaan. Indikator gaji berada di urutan keempat dengan nilai rerata sebesar 4,04, hal ini menunjukkan karyawan sudah menganggap usaha yang dilakukan diberikan imbalan sesuai dan karyawan merasa puas terkait dengan gaji dan tunjangan yang diterima lebih baik daripada pesaing. Indikator kesempatan promosi dan karir berada di urutan kelima dengan nilai rerata sebesar 3,66, hal ini menunjukkan karyawan puas dengan tingkat kemajuan yang dicapai. Dasar promosi yang ditetapkan, kesempatan promosi kenaikan jabatan dan gaji dinilai cukup baik, sehingga para karyawan menganggap kesempatan promosi dan karir yang mereka terima sangat baik. 5.1.4.3 Deskripsi Variabel Stres Kerja (Y2) Stres kerja (Y2) adalah evaluasi individu terkait kesesuaian kapasitas individu dengan tuntutan lingkungan kerja. Penilaian responden terhadap variabel stres kerja disajikan sesuai Tabel 5.5. Tabel 5.5 Penilaian Responden terhadap Variabel Stres Kerja Indikator Target kinerja melebihi kapasitas Pekerjaan sangat sulit dan kompleks Standar kinerja sangat sulit dicapai Cakupan dan tanggung jawab tidak jelas Pekerjaan tambahan diluar tugas pokok STS 2,3 Persentase Jawaban Responden TS STS TT SS S 19,8 11,6 5,8 19,8 25,6 SS 15,1 RataRata 4,58 Sangat Rendah 3,5 10,5 17,4 9,3 20,9 24,4 14,0 4,63 Sangat Rendah 12,8 20,9 24,4 12,8 14,0 10,5 4,7 3,44 Rendah Kondisi Pekerjaan 17,4 25,6 9,3 14,0 17,4 5,8 4,22 3,74 Sangat Rendah Rendah 20,9 9,3 4,7 3,37 Sedang 10,5 18,6 23,3 14,0 9,3 Keterangan 65 Tabel 5.5 Lanjutan Penilaian Responden terhadap Variabel Stres Kerja Indikator Persentase Jawaban Responden TS STS TT SS S 18,6 18,6 7,0 32,6 10,5 SS 7,0 RataRata 4,01 Keterangan STS 5,8 Perhatian dari atasan sangat kurang Hubungan dengan rekan kerja kurang harmonis Hubungan dengan atasan kurang baik 12,8 Stres Peran 9,3 25,6 11,6 18,6 16,3 5,8 3,71 3,86 Rendah Rendah 5,8 16,3 14,0 9,3 30,2 18,6 5,8 4,21 Sangat Rendah 14,0 7,0 10,5 8,1 26,7 20,9 12,8 4,41 Sangat Rendah Proses perkembangan karir tidak objektif Informasi promosi disampaikan terbuka Perkembangan karir tergantung perusahaan 3,5 Faktor Interpersonal 20,9 10,5 5,8 15,1 20,9 23,3 4,16 4,64 Rendah Sangat Rendah Tidak mengetahui apa yang diharapkan atasan Tugas dan tanggung jawab tidak sesuai struktur Pelatihan secara adil dan merata Partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan sangat kurang Masalah pribadi membuat tidak fokus Konflik antara komitmen dan tanggung jawab Pekerjaan diluar berdampak buruk terhadap kinerja Rendah 8,1 10,5 27,9 10,5 16,3 12,8 14,0 4,10 Rendah 9,3 16,3 17,4 5,8 11,6 19,8 19,8 4,33 Sangat Rendah Perkembangan Karir 10,5 22,1 17,4 2,3 17,4 18,6 11,6 4,36 3,97 Sangat Rendah Rendah 7,0 11,6 29,1 12,8 15,1 15,1 9,3 4,00 Rendah 4,7 12,8 15,1 5,8 8,1 34,9 18,6 4,79 Sangat Rendah Struktur Organisasi 16,3 19,8 10,5 10,5 19,8 12,8 4,25 4,05 Sangat Rendah Rendah 10,5 9,3 10,5 27,9 5,8 11,6 17,4 17,4 4,22 Sangat Rendah 7,0 10,5 18,6 10,5 11,6 16,3 25,6 4,60 Sangat Rendah 4,29 4,16 Sangat Rendah Rendah Tampilan Rumah Pekerjaan Stres Kerja (Y2) Sumber : lampiran 2 Berdasarkan Tabel 5.5 terlihat bahwa variabel stres kerja dinilai sangat rendah oleh responden secara keseluruhan yang didasarkan pada persepsi rerata (mean) sebesar 4,16. Indikator stres peran mempunyai nilai yang paling rendah dengan nilai rerata sebesar 3,71 dan indikator perkembangan karir mempunyai nilai yang paling tinggi yakni 4,36. Dari Tabel 5.5 dideskripsikan bahwa 66 Indikator perkembangan karir diberikan nilai tertinggi oleh responden sebesar 4,36, hal ini menunjukkan stres karyawan terkait dengan perkembangan karir sangat rendah, karena karyawan menganggap perkembangan karir berjalan dengan objektif, informasi promosi disampaikan secara terbuka dan perkembangan karir ditentukan oleh perusahaan. Indikator tampilan rumah pekerjaan dinilai oleh responden sebesar 4,29, hal ini menunjukkan masalah pribadi, terjadinya konflik antara komitmen dan tanggung jawab dan pekerjaan diluar tugas pokok tidak membuat karyawan kehilangan fokus dalam bekerja dan tidak dalam kondisi yang stres. Indikator struktur organisasi dinilai oleh responden sebesar 4,25, hal ini menunjukkan stres karyawan terkait dengan struktur organisasi sangat rendah, masalah tugas dan tanggung jawab, pelatihan dan partisipasi bawahan dinilai sudah sesuai dengan deskripsi pekerjaan. Indikator kondisi pekerjaan dinilai oleh responden sebesar 4,22, hal ini berarti bahwa stres karyawan terkait dengan kondisi pekerjaan sangat rendah. Target kinerja yang melebihi kapasitas, pekerjaan sangat sulit dan kompleks dan standar kinerja yang tinggi tidak terlalu membuat karyawan stress dalam melakukan pekerjaan seharihari. Indikator faktor interpersonal dinilai oleh responden sebesar 4,16, hal ini menunjukkan hubungan dengan atasan dan rekan kerja berjalan dengan harmonis sehingga stres kerja menjadi rendah. Indikator yang terakhir yaitu stres peran dan dinilai oleh responden sebesar 3,71, hal ini menunjukkan stres karyawan terkait dengan perannya rendah, karyawan menganggap cakupan tanggung jawab pekerjaan jelas, pekerjaan diluar tugas pokok tidak mengganggu dan karyawan mengetahui apa yang diharapkan oleh atasan terkait dengan pekerjaan. 67 5.1.5 Analisis Data 5.1.5.1 Evaluasi outer model atau measurement model Sebelum membahas signifikansi pengaruh langsung masing-masing variabel eksogen terhadap variabel endogen dalam model penelitian, terlebih dahulu dibahas validitas model. Terdapat tiga kriteria didalam penggunaan teknik analisis data dengan Smart PLS untuk menilai outer model yaitu convergent validity, discriminant validity dan composite reliability (Ghozali, 2008). 5.1.5.2 Convergent Validity Penggunaan teknik analisis data dengan menggunakan Smart PLS, outer model dinilai dengan cara melihat convergent validity (besarnya loading factor untuk masing– masing konstruk). Penelitian ini menggunakan batas minimal loading factor yaitu sebesar 0,5. Tabel 5.6 Outer Loadings Variabel/Indikator A. Sistem Penilaian Kinerja (X) Appraisal Process (X1) The Appraisal Interview (X2) The Appraisal Outcome (X3) Fairness (X4) B. Kepuasan Kerja (Y1) Pekerjaan itu sendiri (Y1.1) Gaji (Y1.2) Kesempatan promosi dan karir (Y1.3) Pengawasan/Supervisi (Y1.4) Rekan Kerja (Y1.5) C. Stres Kerja Kondisi pekerjaan (Y2.1) Stres peran (Y2.2) Faktor Interpersonal (Y2.3) Kepuasan Kerja Sistem Penilaian Kinerja Stres Kerja 0,890 0,924 0,907 0,874 0,865 0,850 0,745 0,744 0,573 0,717 -0,894 -0,894 68 Tabel 5.6 Lanjutan Outer Loadings Variabel/Indikator Kepuasan Kerja Sistem Penilaian Kinerja Perkembangan karir (Y2.4) Struktur organisasi (Y2.5) Tampilan rumah-pekerjaan (Y2.6) Stres Kerja 0,951 0,938 0,930 Sumber : lampiran 5 Hasil pengolahan sebagaimana ditunjukkan tabel 5.6 yang memperlihatkan bahwa indikator Appraisal Process, The Appraisal Interview, The Appraisal Outcome dan Fairness memiliki nilai outer loadings lebih dari 0,5. The Appraisal Interview merupakan ukuran terkuat dari variabel sistem penilaian kinerja karena memiliki nilai outer loadings yang paling tinggi (0,924). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelima indikator ini merupakan indikator yang valid untuk mengukur variabel sistem penilaian kinerja. Variabel kepuasan kerja membuktikan bahwa indikator kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap kesempatan promosi dan karir, kepuasan terhadap pengawasan/supervisi dan kepuasan terhadap rekan kerja memiliki outer loadings di atas 0,50. Indikator kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri memiliki nilai outer loadings yang paling tinggi (0,865). Hal ini dapat disimpulkan bahwa kelima indikator ini merupakan indikator yang valid untuk mengukur variabel kepuasan kerja. Dengan memperhatikan nilai outer loading dari indikator kondisi pekerjaan, stres peran, faktor interpersonal, perkembangan karir, struktur organisasi dan tampilan rumah pekerjaan yang memperlihatkan hasil di atas 0,50, maka hal ini menunjukkan bahwa keenam indikator di atas merupakan indikator 69 yang kuat untuk stres kerja. Indikator perkembangan karir memberikan nilai outer loadings yang paling tinggi (0,951). 5.1.5.3 Discriminant Validity Discriminant validity dari model pengukuran dengan reflektif indikator (faktor) dinilai berdasarkan crossloading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainya, maka hal ini menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok mereka lebih baik daripada ukuran pada blok lainnya. Hasil pengukuran Discriminant validity seperti terlihat pada Tabel 5.7 Tabel 5.7 Discriminant Validity AVE Korelasi Sistem Penilaian Kinerja No Variabel AVE Akar AVE Kepuasan Kerja 1 Kepuasan Kerja (Y1) Sistem Penilaian Kinerja (X) Stres Kerja (Y2) 0,582 0,763 1 0,808 0,899 0,659 1 0,794 0,891 -0,407 -0,412 2 3 Stress Kerja 1 Sumber : Lampiran 5 Data pada Tabel 5.7 dapat dijelaskan bahwa dari hasil ketiga variabel memiliki nilai AVE di atas 0.50 dan semua variabel memiliki nilai akar AVE lebih tinggi dari koefisien korelasi antar satu variabel dengan variabel lainnya sehingga dapat dikatakan data memiliki discriminant validity yang baik. 5.1.5.4 Composite Reliability Menurut Ghozali (2008:40) bahwa reliabilitas suatu konstruk dapat dinilai dari composite reliability yang berfungsi untuk mengukur internal 70 consistency yang nilainya harus di atas 0,60 dan membandingkan akar AVE dengan korelasi antar konstruk dengan nilai harus di atas 0,50. Tabel 5.8 Composite Reliability No Variabel Composite Reliability 1 Kepuasan Kerja (Y1) 0,872 2 Sistem Penilaian Kinerja (X) Stres Kerja (Y2) 0,944 3 0,712 Sumber : lampiran 5 Tabel 5.8 tersebut menunjukkan bahwa nilai composite reliability dari semua konstruk yaitu di atas 0,60 maka sudah memenuhi kriteria reliabel. Berdasarkan dari hasil evaluasi secara keseluruhan, baik convergent, discriminant validity, composite reliability, yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa indikator-indikator sebagai pengukur variabel laten merupakan pengukur yang valid dan reliable. 5.1.5.5 Pengujian model struktural (inner model) Inner model menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan pada substantive theory. Dalam menilai model dengan PLS, dimulai dengan melihat R-squares untuk setiap variabel laten dependen. Hasil pengujian inner model dapat melihat hubungan antar konstruk dengan dengan cara membandingkan nilai signifikansi dan R-square dari model penelitian (Ghozali, 2008:42). 71 Tabel 5.9 Nilai R-Squares No Variabel Dependen R Square 1 Kepuasan Kerja (Y1) 0,435 2 Stres Kerja (Y2) 0,202 Sumber : lampiran 5 Nilai R-square variabel kepuasan kerja sebesar 0,435 pada Tabel 5.9 dapat diintepretasikan bahwa 43,0% variabilitas konstruk kepuasan kerja dijelaskan oleh variabel sistem penilaian kinerja dan stress kerja, sedangkan 57,0% variabel kepuasan kerja dijelaskan oleh variabel di luar model. Demikian juga dengan variabel stress kerja, 20,2% variabilitasnya dijelaskan oleh sistem penilaian kinerja sedangkan 79,8% variabel stress kerja dijelaskan oleh variabel diluar model. Selain dengan menggunakan R-square, goodness of fit model juga diukur dengan menggunakan Q-Square predictive relevance untuk model struktural, mengukur seberapa baik nilai observasi dihasilkan oleh model dan juga estimasi parameternya. Nilai Q-square > 0 menunjukkan model memiliki predictive relevance; sebaliknya jika nilai Q-Square ≤ 0 menunjukkan model kurang memiliki predictive relevance. Perhitungan Q-Square dilakukan dengan rumus: Q2 = 1- (1-R12) (1-R22) ... (1-Rp2) 2 2 dimana Rx1 , R2 adalah R-square variabel endogen. 2 2 Besaran Q memiliki nilai dengan rentang 0 < Q < 1, dimana semakin 2 mendekati 1 berarti model semakin baik. Besaran Q ini setara dengan koefisien 72 determinasi total pada analisis jalur (path analysis). Perhitungan goodness of fit model adalah sebagai berikut : Q2 = 1- (1-R12) (1-R22) = 1 - (1 - 0.435) (1 - 0.202) = 1 - (0,565) (0.798) = 1 – 0.45087 = 0.549 Berdasarkan perhitungan diatas, 54% menghubungkan variabel sistem penilaian kinerja yang dijelaskan oleh variabel kepuasan kerja dan stres kerja, sedangkan sisanya 46% dijelaskan oleh variabel yang tidak masuk ke dalam model. Gambar 5.1 Diagram Jalur Hasil Uji Hipotesis Sumber : lampiran 6 73 Model struktural tersebut disebut model refleksif dimana covariance pengukuran indikator dipengaruhi oleh konstruk laten atau mencerminkan variasi dari konstruk unidimensional yang digambarkan dengan bentuk elips dengan beberapa anak panah dari konstruk ke indikator. Model ini menghipotesiskan bahwa perubahan pada konstruk laten akan mempengaruhi perubahan pada indikator. Dalam model tersebut terdapat satu variabel eksogen yaitu variabel sistem penilaian kinerja dan dua variabel endogen yaitu kepuasan kerja dan stres kerja. Ketiga variabel tersebut memiliki indikator masing - masing. 5.1.6 Pengujian Hipotesis Koefisien jalur pengaruh variabel sistem penilaian kinerja terhadap kepuasan kerja, pengaruh kepuasan kerja terhadap stres kerja dan pengaruh sistem penilaian kinerja terhadap stres kerja disajikan pada Tabel 5.10. Tabel 5.10 Result for Inner Model Original Sample (O) Standard Deviation (STDEV) Standard Error (STERR) T Statistics (|O/STERR|) Keterangan Kepuasan Kerja -> Stres Kerja -0,240646 0,106547 0,106547 2,258581 Significant Sistem Penilaian Kinerja -> Kepuasan Kerja 0,659826 0,041332 0,041332 15,96412 Significant Sistem Penilaian Kinerja -> Stres Kerja -0,253371 0,114745 0,114745 2,208122 Significant Pengaruh Sumber : Lampiran 5 Pada penelitian ini diperoleh nilai T-tabel dengan signifikansi 5%, dengan nilai T-tabel sebesar 1,96. Dengan memperhatikan koefisien jalur pada 74 tabel 5.10, ternyata nilai t statistik di atas 1,96 dapat dinyatakan memiliki pengaruh yang signifikan. Pembahasan masing-masing hipotesis disajikan pada sub berikut ini. 5.1.6.1 Pengaruh Sistem Penilaian Kinerja terhadap Kepuasan Kerja Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 5.10 menunjukkan bahwa pengaruh sistem penilaian kinerja terhadap kepuasan kerja memiliki nilai koefisien jalur sebesar 0,659826 dengan nilai t-statistik sebesar 15,96412. Nilai t statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 1,96 yang berarti bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara variabel sistem penilaian kinerja terhadap kepuasan kerja. Koefisen jalurnya menunjukkan bahwa sistem penilaian kinerja memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan kerja, artinya bahwa semakin baik penerapan sistem penilaian kinerja maka kepuasan kerja menjadi meningkat. Hal ini berarti Hipotesis 1 yang menyatakan sistem penilaian kinerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja dinyatakan terbukti. 5.1.6.2 Pengaruh Sistem Penilaian Kinerja terhadap Stres Kerja Koefisien jalur pengaruh sistem penilaian kinerja terhadap stres kerja adalah sebesar -0,253371 dengan nilai t-statistik sebesar 2,208122. Nilai t statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 1,96 yang menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif dan signifikan antara variabel sistem penilaian kinerja dengan stres kerja. Koefisen jalurnya menunjukkan bahwa sistem penilaian kinerja memberikan pengaruh negatif terhadap stres kerja, artinya bahwa semakin baik penerapan sistem penilaian kinerja karyawan, maka stres kerja karyawan akan 75 semakin menurun. Hal ini berarti Hipotesis 2 yang menyatakan sistem penilaian kinerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja dinyatakan terbukti. 5.1.6.3 Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Stres Kerja Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan bahwa ada pengaruh variabel kepuasan kerja terhadap stres kerja dengan nilai koefisien jalur sebesar -0,240646 dengan nilai t-statistik sebesar 2,258581. Nilai t statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 1,96 yang menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif dan signifikan antara variabel kepuasan kerja terhadap stres kerja. Koefisien jalurnya menunjukkan bahwa semakin meningkat kepuasan kerja karyawan akan berdampak terhadap semakin menurunnya tingkat stres kerja, artinya bahwa semakin baik penerapan sistem penilaian kinerja karyawan maka kepuasan kerja akan meningkat dan stres kerja akan semakin menurun. Hal ini berarti Hipotesis 3 yang menyatakan kepuasan kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja dinyatakan terbukti. 5.2 Pembahasan 5.2.1 Pengaruh Sistem Penilaian Kinerja terhadap Kepuasan Kerja Berdasarkan hasil uji hipotesis terbukti bahwa sistem penilaian kinerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Sistem penilaian kinerja yang diterapkan dengan baik akan meningkatkan kepuasan kerja. Sistem penilaian kinerja yang diterapkan dengan baik dapat dilihat dari diterapkannya seluruh proses penilaian kinerja berdasarkan kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. Appraisal Interview yang dilakukan oleh penilai dalam hal ini 76 melakukan umpan balik dan mendiskusikan tujuan kinerja yang akan dicapai kedepannya, appraisal outcome yang berkaitan dengan kesempatan pelatihan, pengembangan karir dan kenaikan gaji berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Aspek fairness di dalam sistem penilaian kinerja yang di dalamnya terdapat aspek keakuratan, transparansi, tepat waktu dan akuntabel akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Keseluruhan indikator sistem penilaian kinerja apabila berjalan dengan baik akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan nantinya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh, Rabia Karimi et al. (2011), Herald Monis, T. N. Sreedhara (2010), Kithuku dan Victoria Mutile (2012) yang menyatakan dan telah terbukti bahwa sistem penilaian kinerja berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. 5.2.2 Pengaruh Sistem Penilaian Kinerja terhadap Stres Kerja Berdasarkan hasil pengujian hipotesis terbukti bahwa sistem penilaian kinerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja. Sistem penilaian kinerja yang diterapkan secara baik dan sesuai prosedur akan menurunkan stres kerja karyawan. Ini menunjukkan hubungan sistem penilaian kinerja dan stres kerja adalah negatif atau berbanding terbalik. Stres kerja dapat dilihat dari stres terhadap kondisi pekerjaan, stres terhadap peran, stres terhadap faktor interpersonal, stres terhadap perkembangan karir, stres terhadap struktur organisasi dan stres terhadap tampilan rumah pekerjaan. Dari hasil pembahasan sebelumnya stres kerja karyawan sangat rendah dikarenakan penerapan sistem penilaian kinerja telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan indikator yang berlaku. 77 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Nesbit dan Wood (2002), Pettijohn dan Taylor (2000), Tattersall dan Morgan (1997) yang menyatakan dan telah terbukti bahwa sistem penilaian kinerja yang diterapkan dengan baik sesuai dengan prosedur dan indikator yang dinilai berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penurunan stres kerja. 5.2.3 Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Stres Kerja Berdasarkan hasil uji hipotesis terbukti bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja. Kepuasan kerja yang meningkat akan menurunkan stres kerja karyawan. Kepuasan kerja dapat dilihat dari kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, kepuasan karyawan terhadap gaji, kepuasan karyawan terhadap kesempatan promosi dan karir, kepuasan karyawan terhadap pengawasan/supervisi oleh atasan dan kepuasan karyawan terhadap sesama rekan kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Khaleque (2013), Blegen (1993) dan Irvine & Evans (1995) yang menyatakan dan telah terbukti bahwa kepuasan kerja yang meningkat akan menurunkan stres kerja. 5.3 Implikasi Penelitian Implikasi penelitian dibagi menjadi dua yaitu implikasi teoritis dan implikasi praktis. Implikasi teoritis adalah hal-hal yang dapat dilakukan oleh penelitian selanjutnya untuk mengembangkan penelitian yang dilakukan ini. Sedangkan implikasi praktis merupakan hal-hal perbaikan yang dapat dilakukan oleh manajemen Aerofood ACS Denpasar dalam hal ini Human Capital 78 Departement yang berkaitan dengan hasil penelitian. Implikasi teoritis dan implikasi praktis dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut : 1) Implikasi teoritis Untuk meningkatkan kepuasan kerja dan menurunkan stres kerja karyawan, penerapan sistem penilaian kinerja harus memenuhi keseluruhan indikator dari sistem yang digunakan. Stres kerja dapat menurun jika kepuasan kerja meningkat terkait dengan sistem penilaian kinerja. Stres kerja yang menurun akan meningkatkan konsentrasi dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh karyawan terhadap para pelanggan. 2) Implikasi praktis Berdasarkan data responden yang merupakan karyawan Aerofood ACS Denpasar maka didapatkan bahwa sistem penilaian kinerja sangat dipengaruhi oleh the appraisal interview, kepuasan kerja sangat dipengaruhi oleh kepuasan terhadap gaji dan stres kerja sangat dipengaruhi oleh perkembangan karir. Dengan data yang telah dipaparkan di atas diharapkan pihak manajemen Aerofood ACS Denpasar memperhatikan: 1) Penerapan sistem penilaian kinerja harus dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh karyawan, hasil dari penilaian yang dilakukan harus memberikan hubungan timbal balik kepada karyawan itu sendiri. Diharapkan seorang penilai memberikan outcome dari hasil penilaian kinerja untuk kesempatan pelatihan, pengembangan karir, kenaikan gaji 79 dan performance rating terhadap semua bawahannya yang akan meningkatkan kepuasan kerja. 2) Melakukan review terhadap sistem penilaian kinerja yang digunakan selama ini, karena sistem yang digunakan tidak mewakili individu karyawan walaupun sudah menggunakan sistem penilaian yang dapat menilai kinerja perusahaan dalam bentuk KPI (key performance indicator), sehingga nantinya hasil dari penilaian kinerja memiliki aspek adil terkait dengan kinerja masing-masing individu. 3) Para penilai harus diberikan pelatihan dan sosialisasi terkait dengan sistem yang digunakan, karena para penilai memiliki tugas yang cukup berat untuk menilai karyawan. Sistem penilaian kinerja akan berhasil jika keseluruhan aspek dimulai dari appraisal process, appraisal interview, appraisal outcome dan fairness berjalan dengan baik dan menjadi satu kesatuan yang utuh untuk dijalankan. 80 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian, rumusan masalah dan hasil penelitian dengan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat diambil kesimpulan dari penelitian sebagai berikut : 1) Sistem penilaian kinerja berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Hal ini berarti bahwa semakin baik penerapan sistem penilaian kinerja dan dijalankan sesuai dengan indikator dan prosedur yang berlaku kepuasan kerja karyawan akan meningkat. Komunikasi terkait dengan umpan balik hasil penilaian kinerja, informasi hasil kinerja dan diskusi target kinerja di masa yang akan datang mampu meningkatkan kepuasan kerja karyawan. 2) Sistem penilaian kinerja berpengaruh negatif terhadap stres kerja. Hal ini berarti semakin tidak berjalannya sistem penilaian kinerja dengan memenuhi seluruh indikator dan prosedur yang berlaku maka stres kerja karyawan semakin meningkat. Semakin objektif proses perkembangan karir, informasi promosi disampaikan secara terbuka dan perkembangan karir disesuaikan dengan hasil penilaian kinerja dan kompetensi karyawan maka stres kerja karyawan akan semakin rendah. 3) Kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap stres kerja. Hal ini berarti bahwa semakin menurun kepuasan kerja akan meningkatkan stres kerja karyawan. Semakin para karyawan tidak puas terhadap imbalan dan 81 tunjangan yang seharusnya mereka terima, semakin menurunkan kepuasan kerja mereka. Semakin tidak jelas mengenai proses kenaikan gaji dan evaluasi hasil kinerja para karyawan, semakin menurunkan kepuasan kerja mereka. 6.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1) Untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan hendaknya sistem penilaian kinerja yang digunakan benar-benar dijalankan dengan memenuhi seluruh indikator dan prosedur yang berlaku. Indikator disini yang dimaksud adalah tahapan-tahapan dalam proses penilaian kinerja tersebut. 2) Untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan hendaknya appraisal interview berupa umpan balik atas hasil penilaian kinerja, penyampaian informasi hasil kinerja dan diskusi mengenai kinerja di masa yang akan datang disampaikan berdasarkan atas penilaian yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. 3) Untuk menurunkan stres kerja, para karyawan hendaknya meningkatkan kepercayaan terhadap perusahaan dan meningkatkan kompetensi pribadi untuk perkembangan karir. Meningkatkan kepercayaan dan kompetensi pribadi dapat dilakukan dengan dijalankannya sistem penilaian kinerja dengan indikator dan prosedur yang berlaku dan kepuasan kerja.