BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Bauran pemasaran Kotler (2005:15) mengemukakan definisi bauran pemasaran (Marketing Mix) adalah sekumpulan alat pemasaran yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya dalam pasar sasaran. Ziethaml dan Bitner (2003:23) selanjutnya mengemukakan konsep bauran pemasaran tradisional (traditional marketing mix) terdiri dari 4P, yaitu product, price, place, dan promotion. Sementara itu untuk pemasaran jasa diperlukan bauran pemasaran yang dipeluas (expanded marketing mix for service) dengan menambah unsur non traditional marketing mix yaitu people (personal), physical evidence (fasilitas fisik) dan process (proses), sehingga menjadi tujuh unsur (7P). Masing-masing ketujuh unsur dari bauran pemasaran tersebut saling berhubungan, tergantung, satu sama lainnya dan mempunyai suatu bauran yang optimal sesuai dengan karakteristik segmennya. 1) Produk jasa (product) Produk jasa menurut Kotler (2000) dikutip dari Ratih Hurriyati (2005:50) merupakan segala sesuatu yang dapat ditawarkan produsen untuk diperhatikan diminta, dicari, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau keinginan pasar yang bersangkutan. Tjiptono (2002:98) mengemukakan bahwa produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan produsen untuk diperhatikan, dicari, dibeli, digunakan atau dikonsumsi 10 pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau keinginan pasar yang bersangkutan. Menurut Kotler (2005:428) produk jasa merupakan segala sesuatu yang dapat ditawarkan produsen untuk diperhatikan, diminta, dicari, dibeli, digunakan atau dikonsumsi pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau keinginan pasar yang bersangkutan. Produk yang ditawarkan meliputi barang fisik, jasa, personal atau pribadi, tempat, organisasi, dan ide. Jadi produk dapat berupa manfaat tangible maupun intangible yang dapat memuaskan pelanggan. Produk jasa merupakan suatu kinerja penampilan, tidak berwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, serta pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut. Sesungguhnya pelanggan tidak membeli produk, tetapi membeli manfaat dan nilai dari sesuatu yang ditawarkan. Kotler (2005:112) mengaplikasikan sejumlah manfaat yang dapat pelanggan dapatkan dari pembelian suatu barang atau jasa, sedangkan produk yang ditawarkan itu sendiri dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu: (1) Barang nyata (2) Barang nyata yang disertai dengan jasa (3) Campuran (4) Jasa utama yang disertai dengan barang dan Jasa tambahan (5) Murni jasa Untuk merencanakan penawaran atau produk, pemasar perlu memahami tingkatan produk sebagai berikut (Kotler, 2005:69). a) Produk utama atau inti (core benefit), yaitu manfaat yang sebenarnya dibutuhkan dan akan dikonsumsi oleh pelanggan dari setiap produk. Aspek mendasar ini harus bisa dipenuhi secara baik oleh produsen 11 b) Produk generic (generic product), yaitu produk dasar yang mampu memenuhi fungsi produk yang paling dasar (rancangan produk minimal agar dapat berfungsi). c) Produk harapan (expected product), yaitu produk formal yang ditawarkan dengan berbagai atribut dan kondisinya secara normal (layak) di harapkan dan disepakati untuk dibeli. d) Produk pelengkap (augmented product), yaitu berbagai atribut produk yang dilengkapi atau ditambahi berbagai manfaat dan layanan, sehingga dapat memberikan tambahan kepuasan dan dapat dibedakan dengan produk pesaing. Augmented product merupakan suatu nilai tambah yang diluar apa yang dibayangkan oleh pelanggan. augmented product ini mempunyai kelemahan dan dapat digunakan sebagai alat persaingan. Hal sekarang yang dikatakan augmented product pada waktu yang akan datang akan menjadi expected product, karena pelanggan sudah terbiasa dengan hal baru, apabila ada augmented product, berarti ada tambahan biaya. e) Produk potensial (potential product), yaitu segala macam tambahan dan perubahan yang mungkin dikembangkan untuk suatu produk di masa mendatang. Produsen harus mencapai tambahan nilai ,lain, yang dapat memuaskan pelanggan, dan dapat disajikan sebagai suatu kejutan bagi pelanggan. Jadi pada dasarnya produk merupakan sekumpulan nilai kepuasan yang kompleks. Dimana nilai sebuah produk ditetapkan pelanggan berdasarkan perbandingan antara biaya yang dikeluarkan pelanggan dengan manfaat yang didapat dari sebuah produk (Kotler, 2005;680). 12 2) Harga /tarif jasa (price) Swastha dan Irawan (2000:241) menyatakan bahwa harga adalah jumlah uang (ditambah beberapa produk jika memungkinkan) yang dibutuhkan untuk mendapat sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanan. Kotler dan Amstrong (2004:439) menyatakan bahwa harga adalah sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau sejumlah nilai yang ditukarkan pelanggan atas manfaat-manfaat karena memiliki atau menggunakan suatu produk tersebut. Penentuan harga merupakan titik kritis dalam bauran pemasaran jasa karena harga menentukan pendapatan dari suatu bisnis. Keputusan penentuan harga juga sangat signifikan di dalam penentuan nilai atau manfaat yang dapat diberikan kepada pelanggan dan memainkan peranan penting dalam gambaran kualitas jasa. Strategi penentuan harga dalam perusahaan jasa dapat menggunakan penentuan harga premium pada saat permintaan tinggi dan harga diskon pada saat permintaan menurun. Keputusan penentuan harga dari sebuah produk baik barang ataupun jasa baru harus memperhatikan beberapa hal. Hal yang paling utama adalah bahwa keputusan penentuan harga harus sesuai dengan strategi pemasaran secara keseluruhan. Perubahan tingkat harga di berbagai pasar juga harus dipertimbangkan. Lebih jauh lagi, harga spesifik yang akan ditetapkan akan bergantung pada tipe pelanggan yang menjadi tujuan pasar produk tersebut. Kotler dalamZeithaml dan Bitner (2003:348) secara singkat mengemukakan prinsip-prinsip penetapan harga sebagai berikut. Perusahaan harus mempertimbangkan sejumlah faktor dalam menetapkan harga, mencakup pemilihan tujuan penetapan harga, menentukan tingkat permintaan prakiraan 13 biaya, menganalisis harga yang ditetapkan dan produk yang ditawarkan pesaing, pemilihan metode penetapan harga, serta menentukan harga akhir Prinsip-Prinsip Penetapan Harga: (1) Perusahaan harus mempertimbangkan sejumlah faktor dalam menetapkan harga, mencakup pemilihan tujua penetapan harga, menentukan tingkat permintaan prakiraan biaya, menganalisis harga yang ditetapkan dan produk yang ditawarkan pesaing, pemilihan metode penetapan harga, serta menentukan harga akhir. (2) Perusahaan tidak harus selalu berupaya mencari produk maksimum melalui penetapan harga maksimum, tetapi dapat pula dicapai dengan cara memaksimumkan penguasaan pasar atau kemungkinan lainnya. Para pemasar hendaknya memahami seberapa responsif permintaan terhadap perubahaan harga. Untuk mengevaluasi sensitifitas harga, para pemasar dapat menghitung melalui elastisitas permintaan (3) Berbagai jenis biaya harus dipertimbangkan dalam menetapkan harga termasuk didalamnya adalah biaya langsung dan tidak langsung, biaya tetap dan biaya variabel, serta biaya-biaya lainnya. (4) Harga-harga para pesaing akan memepengaruhi tingkat permintaan jasa yang ditawarkan sehingga harga peasaing harus turut dipertimbangkan dalam proses penetapan harga (5) Berbagai cara atau variasi penetapan harga yang ada mencakup mark up, sasaran perolehan, nilai yang dapat diterima, faktor psikologis dan harga lainnya. 14 (6) Setelah menetapkan struktur harga, perusahaan ,menyesuaikan harganya dengan menggunakan harga psikologis, diskon harga, harga promosi, serta harga bauran produk. Implementasi Strategi Harga a) Penetapan harga secara customary dan variable. Customary pricing adalah harga yang tetap, tidak akan diubah untuk periode tertentu. Variable pricing adalah haraga yang ditetapkan secara variatif sesuai dengan fluktuasi tingkat permintaan konsumen. b) Penetapan harga ganjil (odd pricing), adalah harga yang ganjil seperti Rp 99.000, Rp 199.000, Rp 749.000 atau angka lainnya yang menunjukkan angka tidak bulat. c) Leader Pricing. Penetapan harga dengan menerapkan profit margin lebih rendah daripada tingkat yang biasanya diraih, hal ini bertujuan menarik konsumen lebih banyak. d) Penetapan harga paket, yaitu harga yang didiskon untuk penjualan lebih dari satu unit per itemnya. e) Pricing Lining (harga bertingkat), adalah penetapan harga secara bertingkat dengan batas bawah dan batas atas tertentu. Ini biasanya untuk produk yang mempunyai banyak model dan harga sangat banyak. Pembeli biasanya memandang harga sebagai indikator dari kualitas suatu jasa. Terutama untuk jasa yang memiliki kondisi kualitasnya sulit untuk dideteksi sebelum jasa tersebut dikonsumsi (Zeithaml dan Bitner dalam Suhartanto 2001 :44). Hal tersebut berkaitan dengan kenyataan bahwa sifat dari jasa yang memiliki tingkat rsiko yang cukup 15 tinggi bila dibandingkan dengan produk berupa barang. Dalam situasi ketika konsumen tidak dapat mengevaluasi barang dan jasa yang akan dibeli, maka ada kecenderungan bagi konsumen untuk menggunakan harga sebagai dasar menduga kualitas kualitas produk. Maka konsumen biasanya berasumsi harga yang lebih tinggi mewakili kualitas yang tinggi. Bagi perbankan terutama bank yang berdasarkan prinsip konvensional, harga adalah bunga, biaya administrasi. Biaya provisi dan komisi, biaya kirim, biaya tagih, biaya sewa, biaya iuran dan biaya-biaya lainnya. Sedangkan, harga bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah bagi hasil. Bagi bank yang berdasarkan prinsip konvensional, pengertian harga berdasarkan bunga terdapat tiga macam, yaitu harga beli, harga jual, dan biaya yang dibebankan kepada nasabah. Harga beli adalah bunga yang diberikan kepada para nasabah yang memiliki simpanan, seperti jasa giro, bunga Kredit, dan bunga deposito, sedangkan harga jual merupakan harga yang dibebankan kepada penerima kredit. Biaya ditentukan kepada berbagai jenis jasa yang ditawarkan.(Kasmir, 2005:151). 3) Tempat atau Lokasi Pelayanan (place) Ratih Hurriyati (2005:55) Untuk produk industri jasa, place diartikan sebagai tempat pelayanan jasa. Keputusan mengenai lokasi pelayanan yang akan digunakan melibatkan pertimbangan bagaimana penyerahan jasa kepada pelanggan dan dimana itu akan berlangsung. Selain itu, pemeliharaan tempat atau lokasi memerlukan pertimbangan yang cermat terhadap beberapa faktor berikut. 1) Akses, misalnya lokasi yang mudah dijangkau sarana tranportasi umum. 2) Vasibilitas, misalnya lokasi yang dapat dilihat dengan jelas dari tepi jalan 16 3) Lalu lintas (taffic), di mana ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu banyaknya personal yang lalu lalang dapat memberikan peluang besar terjadinya impulse buying, kepadatan dan kemacetan lalu lintas dapat pula menjadi hambatan 4) Tempat parkir yang luas dan aman. 5) Ekspansi, tersedia tempat yang cukup untuk perluasan usaha di kemudian hari. Lingkungan, yaitu daerah sekitar yang mendukung jasa yang ditawarkan. 6) Persaingan, yaitu lokasi pesaing. 7) Peraturan pemerintah. 4) Promosi (Promotion) Menurut Buchari Alma (2004:179), promosi adalah sejenis komunikasi yang memberi penjelasan yang meyakinkan calon konsumen tentang barang dan jasa. Tujuan promosi ialah memperoleh perhatian, mendidik, mengingatkan, dan meyakinkan calon konsumen. Meskipun secara bentuk-bentuk promosi memiliki fungsi yang sama, tetapi bentuk-bentuk tersebut dapat dibedakan berdasarkan tugas-tugas khususnya. Tugas khusus itu disebut bauran promosi (promotion mix), yang mencangkup periklanan (advertising), promosi penjualan (sales promotion), publisitas (publicity), dan penjualan pribadi (personal selling). (Kasmir, 2005:176). 5) Personal (people) Menurut Zeithaml dan Biner (2000), sebagaimana dikutip dari Ratih Hurriyati (2005:62), personal (people) adalah semua pelaku yang memainkan peranan dalam penyajian jasa sehingga dapat mempengaruhi persepsi pembeli. Elemen ‘people’ ini memiliki aspek, yaitu: 17 Service People. Untuk organisasi jasa, biasanya memegang jabatan ganda, yaitu mengadakan jasa dan menjual jasa tersebut. Melalui pelayanan yang baik, cepat, ramah, teliti, dan akurat dapat menciptakan kepuasan dan kesetiaan pelanggan terhadap perusahaan. Customer. Faktor lain yang mempengaruhi adalah hubungan diantara para pelanggan. Pelanggan dapat memberika persepsi kepada pelanggan lainya tentang kualitas jasa yang pernah didapatnya dari perusahaan. 6) Bukti Fisik (physical evidence) Menurut Zeithamldan Bitner (2000), sebagaimana dikutip dari Ratih Hurriyati (2005:63), physical evidence is “the environment in which the service is delivered and where firm and customerinteract and any tangible component that facilitate performance or communication of the service”. Lovelock (2002), sebagaimana dikutip dari Ratih hurriyati (2005:64), mengemukakan bahwa perusahaan melalui tenaga pemasarannya menggunakan tiga cara dalam mengelola bukti fisik yang strategis, yaitu sebagai berikut. 1) An attention-creating medium. Perusahaan jasa melakukan diferensiasi dengan pesaing dan membuat sarana fisik semenarik mungkin untuk menjaring pelanggan. 2) As a meeage-creating medium. Menggunakan simbol atau isyarat untuk mengkomunikasikan secara intensif kepada audionce mengenai kekhususan kualitas dari jasa. 3) An effect-creating medium. Baju seragam yang berwarna, bercorak, suara dan desain untuk menciptakan sesuatu yang lain dari jasa yang ditawarkan. 18 7) Proses (process) Menurut Zeithamil dan Bitner (2000), sebagaimana dikutip dari Ratih Hurriyati (2005:64), proses adalah semua prosedur aktual, mekanisme, dan aliran aktivitas yang digunakan untuk menyampaikan jasa. Untuk perusahaan jasa, kerja sama antara pemasaran dan operasional sangat penting dalam elemen proses ini, terutama dalam melayani segala kebutuhan dan keinginan konsumen. 2.1.2 Pengertian jasa Kotler dan Keller (2007:42) Jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lainnya yang secara prinsip tidak berwujud. Sedangkan menurut Stanton dalam Hurriyati (2005:27) mengemukakan definisi jasa adalah: “service are identifiable, intangible activities that are the main object of a transaction designed to provide want – satisfaction to costumers. By this definition we exclude supplementary services tahat support the sale of goods or other services.” Berdasarkan pendapat kedua ahli di atas maka dapat disimpulkan jasa adalah: 1) Sesuatu yang tidak berwujud yang ditawarkan kepada pihak lain untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan. 2) Adalah aktivitas yang didisain untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen. 3) Konsumen pada dasarnya membeli manfaat yang dihasilkan oleh aktivitas dan interaksi antar penjual jasa dengan konsumen itu sendiri. 19 2.1.3 Karakteristik jasa Kotler dan Keller (2007:45) mengemukakan jasa memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Tidak berwujud (Intangibility) Tidak berwujud artinya jasa tidak bisa dilihat, dicicipi, dirasakan, didengar, atau disaji sebelum dibeli, maka jasa hanya bisa dikonsumsi tetapi tidak dapat dimiliki. 2) Tidak Tepisahkan (Insepparability) Jasa pada umumnya diproduksi secara khusus dan dikonsumsi pada waktu bersamaan. Jika jasa diberikan oleh sesepersonal maka personal tersebut merupakan bagian dari jasa tersebut. 3) Keragaman (Variability) Kualitas jasa sangat beragam, tergantung pada siapa yang menyediakan, waktu, tempat, serta cara mereka disediakan. 4) Tidak Tahan Lama (Perishability) Jasa tidak dapat disimpan, sifatnya tidak tahan lama untuk pemakaian yang akan datang. 2.1.4 Pengertian lembaga perkreditan desa (LPD) Lembaga perkreditan desa di Bali mulai berkembang sejak tahun 1985 berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Bali No. 972 tahun 1984 yang kemudian dikukuhkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Tingkat I No.2 tahun 1985 dan telah diubah dengan peraturan daerah provinsi Bali No. 8 tahun 2007 tentang Lembaga Perkreditan Desa, bahwa untuk melestarikan dan meningkatkan kemandirian 20 kehidupan desa pekraman dengan segala aspeknya, dipandang perlu mengadakan usahausaha memperkuat keuangan desa sebagi sarana penunjang melalui pendirian suatu badan usaha milik desa berupa Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang bergerak dalam usaha simpan pinjam. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) adalah salah satu wadah bagi usaha simpan pinjam milik masyarakat desa pekraman yang berada di propinsi Bali, dimana lembaga ini dapat menjalankan fungsinya dalam bentuk usaha-usaha kearah peningkatan taraf hidup krama desa dan dalam kegiatannya banyak menunjang pembangunan desa. 2.1.4.1 Fungsi lembaga perkreditan desa Adapun Fungsi Lembaga Perkreditan Desa adalah sebagai berikut: 1) Sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat seperti: (1) Kredit : Simpanan pihak ketiga pada lembaga keuangan yang penarikannya hanya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu. (2) Deposito : Simpanan pihak ketiga pada lembaga keuangan yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian antar pihak ketiga dengan lembaga keuangan yang bersangkutan 2) Sebagai lembaga yang menyalurkan dana dari masyarakat dalam bentuk kredit. Dalam fungsi ini lembaga keuangan akan memanfaatkan dana yang terkumpul dari masyaratkat dengan menyalurkan kepada pihak yang membutuhkan. 3) Sebagai perantara dalam lalu lintas pembayaran yang bertindak sebagi penghubung atau perantara antara yang satu dengan nasabah yang lainya. Dalam hal ini, nasabah tersebut tidak secara langsung melakukan pembayaran tetapi cukup untuk memerintahkan kepada lembaga keuangan untuk menyelesaikan. 21 2.1.4.2 Tujuan lembaga perkreditan desa Dalam peraturan daerah propinsi Tingkat I Bali No. 8 tahun 2002 tercantum fungsi dan tujuan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) antara lain: 1) Mendorong pembangunan ekonomi masyarak desa melalui kegiatan menghimpun Kredit dan deposito dari krama desa. 2) Memberantas ijon, gadai gelap dan lain-lain yang dapat dipersamakan dengan itu. 3) Menciptakan pemerataan dan kesempatan berusaha bagi warga desa dan tenaga kerja di pedesaan. 4) Meningkatkan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan peredaran uang di desa. 2.1.5 Konsep kepuasan pelanggan 1) Menurut Tse dan Wilton dalam Fandy Tjiptono (2004:146) kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya (norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. 2) Menurut Philip Kotler dalam Fandy Tjiptono (2004:146) kepuasan konsumen merupakan tingkat perasaan sesepersonal setelah membandingkan kinerja (hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya. 3) Zeithaml dalam Buchari Alma (2005) Kepuasan merupakan respon konsumen yang sudah terpenuhi keinginannya, dimana ada perkiraan terhadap features barang dan jasa yang telah 22 memberikan tingkat kesenangan tertentu dan konsumen betul-betul merasa puas. Dari beberapa definisi para ahli, dapat disimpulkan bahwa kepuasan pelanggan menyangkut komponen kepuasan pelanggan (harapan, dan kinerja atau hasil yang dirasakan) umumnya harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa. Dengan kata lain, jika pelanggan merasa apa yang ia peroleh lebih rendah dari yang diharapkannya (negatif diskonfirmasi), maka konsumen tersebut akan tidak puas. Jika yang diperoleh konsumen melebihi apa yang ia harapkan (positif diskonfirmasi) maka konsumen akan puas. Sedangkan pada keadaan dimana apa yang diterima sama dengan yang diharapkan maka konsumen tersebut akan merasakan tidak puas dan puas (netral). 2.1.5.1 Pengukuran kepuasan pelanggan Kotler dalam Fandy Tjiptono (2004:148) mengatakan bahwa ada 4 metode yang dipergunakan untuk mengukur dan memantau kepuasan pelanggan, yaitu: 1) Sistem keluhan dan saran Setiap perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pelanggan untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan mereka. Perusahaan bisa menyediakan medianya seperti kotak saran dan keluhan, saluran telepon khusus, dan kartu komentar. Sehingga pelanggan leluasa menyampaikan keluhan maupun saran. Tapi tidak semua pelanggan yang tidak puas akan menyampaikan keluhannya, bisa 23 saja mereka langsung beralih pemasok dan tidak akan membeli lagi produk perusahaan. 2) Survey kepuasan pelanggan Metode survey umumnya dilakukan melalui kuesioner, telepon, e-mail, fax, dan wawancara pribadi. Melalui metode ini perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan sekaligus juga memberikan tanda positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. 3) Ghost Shopping Metode ini dilaksanakan dengan cara perusahaan memperkerjakan beberapa personal ( Ghost Shopping ) untuk berperan dan bersikap sebagai pelanggan/ pembeli potensial produk perusahaan dan pesaing, kemudian mereka melaporkan hasil yang mereka dapat mengenai kekuatan dan kelemahan produk-produk tersebut dan kinerja karyawan dalam melayani konsumen. 4) Lost Customer Analysis Metode yang terakhir ini sedikit unik, dimana perusahaan berusaha menghubungi para pelanggannya yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih ke produk pesaing untuk menanyakan alasan mereka berhenti membeli atau pindah ke produk pesaing sehingga perusahaan dapat mengambil kebijakan-kebijakan untuk memperbaikinya. 24 2.2 Penelitian Sebelumnya 1) Penelitian yang dilakukan oleh Dean Vicky Wicaksana (2007) yang berjudul ” Pengaruh Bauran Pemasaran Ritel Terhadap Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan Centro Kuta-Bali”, dimana hasil dari penelitiannya adalah bauran pemasaran ritel berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan. Besarnya pengaruh secara simultan adalah sebesar 59,3% dan besaran pengaruh secara parsial adalah variabel merchandising 12,1%, variabel basic prinsiples 32,9%, dan variabel services sebesar 52,5%. Variabel bauran pemasaran ritel juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas. Besarnya pengaruh simultan adalah 51% dan untuk pengaruh secara parsial adalah berturut-turut sebesar 20,6%, 23,3%,dan 19,6%. Variabel yang berpengaruh dominan terhadap loyalitas adalah basic principles, perbedaan dengan penelitian ini adalah lokasi penelitian, variabel yang digunakan serta teknik analisis. Sedangkan persamaannya adalah samasama meneliti tentang pengaruh bauran pemasaran terhadap kepuasan 2) Penelitian yang dilakukan oleh Wira Atmaja (2008) yang berjudul ” Pengaruh Bauran Pemasaran Ritel Terhadap Pembelian Tidak Direncanakan (Impulse Buying) Pada Toko Serba Ada (Studi Kasus Carrefour Denpasar)”, dimana hasil dari penelitiannya adalah bahwa bauran pemasaran ritel berpengaruh signifikan baik secara secara simultan maupun parsial, untuk pengaruh secara simultan bauran pemasaran ritel berpengaruh signifikan dengan nilai sebesar 61,3%, sedangkan untuk uji parsial, bauran pemasaran ritel yang berpengaruh signifikan adalah merchandise, harga, promosi, atmosfer gerai, dan retail service sedangkan variabel yang tidak bepengaruh signifikan adalah lokasi. Sedangkan variabel yang berpengaruh dominan adalah variabel atmosfer gerai dengan nilai beta sebesar 0,288. perbedan dengan penelitian ini adalah lokasi penelitian, serta variabel yang digunakan sedangkan persamaannya terletak 25 pada teknik analisis yang digunakan yaitu menggunakan teknik analisis regresi linear berganda. 2.3 Rumusan Hipotesis Berdasarkan landasan teori dan penelitian sebelumnya yang relevan maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 1) Variabel bauran pemasaran berpengaruh signifikan secara simultan terhadap kepuasan nasabah Kredit di LPD desa pekraman Sesetan. 2) Variabel bauran pemasaran berpengaruh signifikan secara parsial terhadap kepuasan nasabah Kredit di LPD desa pekraman Sesetan 3) Variabel personal berpengaruh dominan terhadap kepuasan nasabah Kredit di LPD desa pekraman Sesetan 26