TINJAUAN PUSTAKA Penambangan Timah dan Lahan Bekas Penambangan Kegiatan pertambangan pada berbagai bahan mineral mengakibatkan tanah menjadi rusak dan kehilangan kesuburannya, karena tanah harus disingkirkan terlebih dahulu untuk mendapatkan bahan yang ditambang. Lapisan atas dan lapisan bawah tanah (top soil dan sub soil) dibalik dan digusur sehingga bahan induk akan muncul di permukaan (Bradshaw dan Chadwick 1989, diacu dalam Kusumastuti 2005). Penambangan mengakibatkan keseimbangan unsur hara terganggu sedangkan kelarutan unsur yang bersifat racun meningkat. Tanah pada daerah pasca penambangan umumnya mengalami kerusakan yang hebat karena bahan tambang biasanya berada di bagian bawah tanah, sehingga untuk mendapatkan bahan yang dimaksud tanah harus disingkirkan terlebih dahulu (stripping) dan ditimbun / ditumpuk pada lokasi lain yang dipakai sebagai areal penimbunan sisa penggalian tambang (overburden dan tailing). Lapisan overburden (batuan limbah) adalah tanah atau batuan yang menutupi lapisan deposit mineral di bagian bawahnya. Tailing pada penambangan timah adalah sisa galian tambang yang berupa tumpukan pasir dan kerikil yang dibuang setelah mengalami pencucian (PT. Timah 1991). Saptaningrum (2001) dalam penelitiannya di pulau Bangka (Kota Pangkal Pinang dan Sungai Liat) mendapatkan sifat fisik dan kimia tanah yang rendah dalam menunjang pertumbuhan tanaman yang digunakan PT. Tambang Timah dalam upaya reklamasi. Tailing setelah penambangan mempunyai kadar pasir yang sangat tinggi, pH menjadi masam (3.8 – 4.3), peningkata kadar Al-dd, penurunan nilai KTK dan kadar C-organik tanah, kandungan P tersedia menurun drastis, basa-basa dalam tanah yang awalnya tergolong rendah juga mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tanah asli sebelumnya. Aktivitas pertambangan oleh manusia dapat berpengaruh destruktif terhadap lahan, tumbuhan dan hewan. Dalam pencarian mineral dan lain sebagainya, tidak hanya vegetasi, hewan dan tanah lapisan atas yang disingkirkan, tetapi juga sering bentuk lahan (landform) diubah. Ekosistem alami terganggu dan yang akan 6 tertinggal hanyalah lubang-lubang kosong, timbunan limbah atau keduanya (Bradshaw 1983, diacu dalam Ervayendri 2005). Sifat tailing yang merugikan bagi pertumbuhan tumbuhan adalah konsentrasi logam berat dan garam yang tinggi, kurangnya unsur hara penting dan mikroorganisme, sifat dan struktur tanah yang membatasi aerasi dan infiltrasi serta tingginya daya pemantulan sinar atau absorpsi panas (PT. Timah 1991). Lahan pasca penambangan umumnya mempunyai sifat fisika dan kimia yang tidak menguntungkan, bertesktur pasir, berkerikil atau berbatu, kemampuan menahan air kurang dari 20%, kandungan unsur hara rendah, pH rendah, kapasitas tukar kation rendah, kandungan logam berat seperti aluminium, besi dan mangan tinggi. Hasil penelitian Kusumastuti (2005) di Pulau Bangka menunjukkan bahwa kandungan logam berat pada tailing timah cukup tinggi yaitu: 3040 ppm Fe, 15.8 ppm Mn, 1.9 ppm Cu, 6.29 ppm Pb, 0.02 ppm Cd, 0.37 ppm Co, dan 1.43 ppm Cr pada tailing yang berumur satu tahun. Penelitian Amriwansyah (1990) pada tiga lokasi tambang di Pulau Bangka melaporkan bahwa aktivitas penambangan berpengaruh nyata meningkatkan persentase pasir dan menurunkan persentase debu, liat, bahan organik tanah, air tersedia, pH tanah, aluminium dapat ditukar, nitrogen total, fosfor tersedia, kalium tersedia serta kapasitas tukar kation. Struktur dan Komposisi Vegetasi Dalam penyimpanan unsur hara, vegetasi di daeah tropis lebih penting daripada tanahnya yang hanya menyimpan 5-20% unsur hara yang ada, sedang di daerah beriklim sedang tanah merupakan tempat persediaan hara. Hal ini disebabakan karena tanah tropis sangat peka dan cepat berubah akibat adanya hujan, matahari dan angin yang dapat mengikis humus sebagai pembentuk tanah tersebut, sehingga kondisi fisiknya turun. Kebanyakan tanah di daerah tropis dapat berfungsi sebagai penyimpan unsur hara jika tanah tertutup terus menerus oleh tumbuhan (Neugabeur 1987). Struktur suatu vegetasi terdiri dari individuindividu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya. 7 Menurut Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu: 1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi. 2. Sebaran horisontal spesies-spesies penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain. 3. Kelimpahan (abundance) setiap spesies dalam suatu komunitas. Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor, seperti: flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain lain), waktu dan kesempatan (Marsono 1999). Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan/komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan, termasuk juga sejarah vegetasi dan prediksi perkembangan vegetasi. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan (Growth form), stratifikasi dan penutupan tajuk (coverage) (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974). Analisis vegetasi memerlukan data-data spesies, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan tujuan, pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas spesies dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman spesies dalam suatu areal; dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith 1983). Berbagai kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan menentukan komposisi spesies berbagai komunitas tumbuhan disebut faktorfaktor habitat. Kata habitat semula digunakan untuk menunjukkan macam tempat yang ditumbuhi oleh tumbuhan tertentu, tetapi sebagai istilah ekologi arti habitat telah berubah menjadi jumlah semua faktor yang menentukan 8 kehadiran suatu tumbuhan atau komunitas tumbuhan. Faktor-faktor ini mencakup kondisi fisik dan kimia berpengaruh terhadap serta berbagai organisme yang komunitas tumbuhan (Loveless 1999). Menurut Setiadi dan Muhadiono (2001) perubahan dan variasi kondisi lingkungan tertentu akan memberikan dampak bagi struktur dan komposisi spesies tumbuhan terutama dari segi kelimpahan, pola penyebaran, asosiasi dengan spesies lain serta kondisi pertumbuhan yang berbeda dengan spesies lainnya. Interaksi dari faktor-faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator penduga sifat lingkungan yang bersangkutan. Perubahan habitat yang terjadi akibat kegiatan penambangan menyebabkan revegetasi lahan bekas tambang relatif sulit, karena tanah di lahan pasca tambang menjadi marginal oleh pengupasan tanah lapisan atas saat penyiapan lahan operasi tambang. Kesulitan lain yang juga sering dihadapi di lahan bekas tambang adalah pencemaran oleh limbah yang dihasilkan atau akibat aktivitas tambang itu sendiri. Menurut Kustiawan (2001) di Kalimantan Timur tidak ada satupun spesies vegetasi yang tumbuh pada lahan satu tahun pasca tambang batubara. Adapun pada lahan tiga tahun pasca tambang batubara, kondisi tanah masih sangat keras, sangat sulit ditembus air, pH tanah sangat tinggi yaitu 8.51 dan hanya ditumbuhi oleh satu spesies tumbuhan saja, yaitu seri (Muntingia calambura) dari genus Tiliaceae. Kelimpahan spesies ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap spesies. Penguasaan suatu spesies terhadap spesies-spesies lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara 1998). Frekuensi suatu spesies menunjukkan penyebaran suatu spesies dalam suatu areal. Spesies yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya spesies-spesies yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu spesies merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya suatu spesies per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu spesies, makin banyak 9 individu spesies tersebut per satuan luas. Dominasi suatu spesies merupakan nilai yang menunjukkan peguasaan suatu spesies terhadap komunitas. Suatu daerah yang didominasi hanya oleh spesies-spesies tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah. Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena di dalam komunitas itu terjadi interaksi antara spesies yang tinggi. Lebih lanjut dikatakan, keanekaragaman merupakan ciri dari suatu komunitas terutama dikaitkan dengan jumlah spesies dan jumlah individu tiap spesies pada komunitas tersebut. Keanekaragaman spesies menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi spesies tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah spesies dan kelimpahan relatif dari setiap spesies. Pengertian Mikoriza Mikoriza adalah bentuk simbiosis yang menguntungkan antara akar tumbuhan dan fungi tanah. Fungi mikoriza (mikobion) untuk tumbuh dan berkembang memerlukan karbohidrat dari tumbuhan dan tumbuhan (fitobion) memerlukan unsur hara dan air dalam tanah melalui hifa fungi selama siklus hidupnya. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas, baik dalam hal tanaman inang, spesies fungi maupun penyebarannya. Mikoriza tersebar dari artiktundra sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan yang melibatkan sekitar 80 - 90% spesies tumbuhan yang ada. Fungi pada umumnya memiliki ketahanan cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada padi sawah. Bahkan pada lingkungan yang tecemar limbah berbahaya fungi mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya. Peranan Mikoriza Bagi tanaman inang, adanya asosiasi dengan fungi mikoriza dapat memberikan manfaat yang sangat besar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah, meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung fungi mikoriza dapat meningkatkan serapan air, hara dan melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat (Killham 1994). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza diduga dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa fungi. Sieverding (1991) mengemukakan bahwa mikoriza berperan dalam hal : 1) penyerapan nutrisi (hara dan mineral terutama unsur P) bagi tumbuhan; 2) peningkatkan pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang tidak cocok, tertekan (stress) oleh iklim seperti suhu tinggi dan kekeringan; 3) pemeliharaan interaksi antara berbagai spesies mikroorganisme tanah dan dapat mengendalikan mikroorganisme patogen; 4) perbaikan agregasi tanah dan 5) produksi hormon dan zat pengatur tumbuh tanaman. Selain itu mikoriza juga dapat membentuk sistem jembatan hifa yang berfungsi mengalirkan nutrisi dari tumbuhan inang ke anakan inang, sehingga dengan demikian mikoriza berperan dalam mendukung kelangsungan hidup tumbuhan. Finlay (2004) menyatakan dalam ekosistem mikoriza memiliki beberapa peran peting seperti peningkatan serapan unsur hara bagi tanaman, peningkatan toleransi tanaman terhadap faktor lingkungan yang ekstrim, mobilisasi N dan P dari senyawa-senyawa organik polimer, siklus karbon, berintegrasi dengan mikroorganisme lain serta mempengaruhi komunitas tumbuhan. Mikoriza Arbuskula Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar (tipe) yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Pola asosiasi antara fungi mikoriza dengan akar tanaman inang menyebabkan terjadinya perbedaan morfologi akar antara ektomikoriza dan endomikoriza. Pada ektomikoriza jaringan hifa fungi tidak sampai masuk ke dalam sel tapi berkembang diantara sel kortek akar membentuk hartig net dan mantel di permukaan akar. Simbiosis ini biasanya terjadi pada akar 10 spesies-spesies pohon yang dapat dibedakan sistem perakarannya, yaitu tumbuhan yang memiliki akar panjang dan akar pendek. Akar yang dikolonisasi oleh fungi ektomikoriza sebagian mengalami perubahan dalam morfologi dan anatominya. Pada umumnya kolonisasi fungi pada ektomikoriza menyebabkan akar menjadi gemuk dan pendek. Ektomikoriza biasanya ditemukan pada akar melinjo (Gnetum gnemon) Pinus sp., Dipterocarpaceae dan Eucalyptus sp. Fungi ektomikoriza terdiri atas basidiomiset, askomiset dan satu anggota zigomiset yaitu Endogone (Brundrett et al. 1994). Pada endomikoriza kolonisasi fungi terjadi secara interseluler dan intraseluler. Pada mikoriza vesikula arbuskula, setelah penetrasi hifa ke dalam jaringan korteks akar akan membentuk struktur arbuskula yang merupakan percabangan dikotom yang intensif dari hifa intraseluler yang berperan dalam transfer nutrisi antara fungi dan tumbuhan inang. Kadang-kadang juga membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesikula. Vesikula merupakan organ fungi yang berfungsi sebagai penyimpan makanan cadangan. Endomikoriza dibedakan menjadi enam kelompok, yaitu: ektendomikoriza, mikoriza arbuskula (MA), mikoriza arbutoid, mikoriza monotropoid, mikoriza ericoid, mikoriza anggrek (orchid) (Smith & Read 1997). Dari ke tujuh tipe mikoriza, MA merupakan mikoriza yang paling umum dijumpai. Sembilan puluh lima persen tumbuhan di dunia membentuk simbiosis mikoriza. Sebagian besar tumbuhan bermikoriza ialah mikoriza arbuskula. Mikoriza arbuskula terbentuk hampir pada semua spesies tumbuhan seperti: Bryophyta, Pteridophyta, Gymnospermae dan Angiospermae. Hanya beberapa tumbuhan yang tidak berasosiasi dengan fungi mikoriza arbuskula, terutama tumbuhan yang membentuk ektomikoriza (misalnya Pinaceae, Betulaceae) atau yang membentuk tipe endomikoriza lainnya (Harley & Smith 1983). Kolonisasi fungi mikoriza arbuskula ditandai oleh adanya struktur arbuskula, vesikula, hifa koil, hifa interseluler dan intraseluler yang tidak memiliki septat ( Harley & Smith 1983). Gallaud (1995) dalam Smith dan Read (1997) membagi struktur internal fungi mikoriza arbuskula menjadi dua kelompok yaitu tipe arum dan tipe paris. Perbedaan tipe arum dan tipe paris ditentukan oleh dominansi hifa interseluler dan arbuskula yang terbentuk. Pada tipe arum, arbuskula terbentuk secara terminal di dalam sel-sel korteks dari hifa yang tumbuh 11 secara longitudinal di antara sel-sel korteks, pada tipe paris arbuskula terbentuk secara interkalar pada hifa koil di dalam sel-sel kortek akar (Brundrett et al. 1995). Menurut Menoyo et al. (2007) tipe arum ditandai oleh hifa intersel, vesikula intersel atau intrasel dan arbuskula terminal pada cabang hifa intrasel. Tipe paris ditandai oleh hifa intrasel, vesikula intrasel, hifa koil intrasel dan arbuskul intrasel yang terbentuk dari hifa koil intrasel. Dickson (2004) menyatakan kolonisasi tipe arum terdiri dari hifa interseluler dan arbuskula, tipe paris terdiri dari hifa intraseluler, hifa koil dan arbuskula yang terbentuk dari koil. Menurut Cavagnaro et al.( 2001) pada tipe arum fungi membentuk hifa interseluler diantara sel-sel korteks dan arbuskula intraseluler di dalamnya, sedangkan pada tipe paris fungi membentuk hifa koil dan arbuskula koil dalam jaringan korteks, dan tidak terbentuk hifa interseluler pada fase kolonisasi. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang berasosiasi dengan akar tumbuhan termasuk dalam filum Glomeromycota yang terdiri dari ordo Glomerales, Diversisporales, Archaeosporales, dan Paraglomales (Redecker & Raab 2006). Berdasarkan analisis ribosomal RNA, FMA berkerabat dekat dengan Ascomycota dan Basidiomycota namun tidak monofiletik dengan Zygomycota karena tidak membentuk zigospora. Oleh sebab itu Schüβler et al. (2001) merevisi ordo Glomales menjadi filum Glomeromycota dan secara tata bahasa berdasarkan ketentuan Internasional Code of Botanical Nomenclature, nama ordo Glomales berubah menjadi Glomerales (Schüβler et al. 2001; Redecker & Raab 2006). FMA tergolong ke dalam filum Glomeromycota, kelas Glomeromycetes yang terdiri atas 4 ordo yaitu Glomerales, Paraglomales, Archaeosporales dan Diversisporales (Schüβler et al. 2001). Genus dari filum Glomeromycota diantaranya ialah Glomus, Gigaspora, Scutellospora, Acaulospora, Entrophospora, Pacispora, Diversispora, Archaeospora, dan Paraglomus (Redecker & Raab 2006). Fungi pembentuk mikoriza arbuskula merupakan fungi simbion obligat, dengan demikian fungi ini memerlukan bahan organik dari inang yang masih hidup. Adanya simbiosis mutualisma antara FMA dengan perakaran tanaman dapat membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, terutama pada tanah marginal. Hal ini disebabkan FMA efektif dalam peningkatan penyerapan unsur 12 hara, memperbaiki stabilitas atau struktur tanah, meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan dan faktor pengganggu lain seperti salinitas tinggi, logam berat dan ketidakseimbangan hara di dalam tanah. Pada akar tumbuhan yang hidup di lahan yang tercemar minyak bumi terdapat koloni fungi mikoriza arbuskula (Cabello 2001; Nicolotti & Egli 1998). FMA pada tempat berminyak mampu mendukung keberadaan spesies tumbuhan tingkat tinggi dan dapat memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologi tanahnya (Colgan et al. 2004). Khan (1993) menyatakan bahwa mikoriza arbuskula atau mikoriza vesikula arbuskula dapat terjadi secara alami pada tanaman pionir di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Beberapa peran penting FMA adalah sebagai berikut: 1. Perbaikan nutrisi tanaman dan peningkatan pertumbuhan. Fungi ini memiliki kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% spesies tanaman dan telah terbukti mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman mampu meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara dan air. Posfat merupakan unsur hara utama yang dapat diserap oleh tanaman bermikoriza, serta unsur-unsur mikro sepeti Cu, Zn dan Bo (Sieverding 1991). Posfat adalah salah satu unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh tanaman, tetapi ketersediaannya terutama pada tanah-tanah masam menjadi terbatas, sehingga sering kali menjadi salah satu pembatas utama dalam peningkatan produktivitas tanaman. Kemampuan FMA dalam memperbaiki status nutrisi tanaman dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk efisiensi penggunaan pupuk buatan, terutama posfat. 2. Sebagai pelindung hayati (bio-protection). Selain perbaikan nutrisi (terutama posfat), FMA juga mampu meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen tular tanah. FMA juga dapat membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat, seperti pada lahan-lahan pasca tambang. Dengan demikian selain berfungsi sebagai bio-protection, FMA juga berfungsi penting sebagai bioremediator bagi 13 14 tanah yang tercemar logam berat. Selain itu fungi ini juga mampu meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan (Hetrick 1984). 3. Terlibat dalam siklus biogeokimia FMA di alam dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alami pada habitat yang mendapat gangguan ekstrim (Allen & Allen 1992). Keberadaan FMA juga mutlak diperlukan karena berperan penting dalam mengefektifkan daur ulang unsur hara (nutrient cycle) sehingga dianggap sebagai alat yang paling efektif untuk mempertahankan stabilitas ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati. 4. Sinergis dengan mikroorganisme lain. FMA pada tanaman leguminosa diperlukan karena pembentukan bintil akar dan efektivitas penambatan nitrogen oleh bakteri Rhizobium/Bradyrhyzobium yang terdapat di dalamnya dapat ditingkatkan. FMA juga dapat bersinergis dengan mikroba potensial lainnya seperti bakteri penghambat N bebas dan bakteri pelarut posfat, serta sinergis dengan mikroba selulotik seperti Trichoderma sp. (Bethlenfavay 1992). Berdasarkan kemampuan tersebut, maka FMA dapat berfungsi meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran tanaman atau rizosfir. 5. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan. FMA berperan penting dalam mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar ke akar tanaman lain yang berdekatan melalui struktur yang disebut hyphal bridge (Allen & Allen 1992). Transfer nutrisis ini berlangsung dari induk ke anakan. Dengan demikian aplikasi FMA tidak hanya terbatas pada pola tanaman monokultur, tetapi dapat diintegrasikan dalam unit manajemen pola tanaman campuran (Setiadi 2003). DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN PULAU BANGKA Lokasi penelitian Gambar 2 Peta kabupaten dan kota di Pulau Bangka (PT. Koba Tin 2004). Kondisi Geografis Pulau Bangka terletak di sebelah pesisir Timur Sumatera Selatan, berbatasan dengan Laut Cina Selatan di sebelah utara, Pulau Belitung di sebelah timur dan Laut Jawa di sebelah selatan, yaitu 1° 20’- 3° 7’ Lintang Selatan dan 105° - 107° Bujur Timur, memanjang dari Barat Laut ke Tenggara sepanjang lebih kurang 180 km. Pulau ini terdiri dari rawa-rawa, daratan rendah, bukit-bukit dan pada puncak bukit terdapat hutan lebat, sedangkan pada daerah rawa terdapat hutan bakau. Rawa daratan pulau Bangka tidak berbeda jauh dengan rawa di pulau Sumatera, sedangakan keistimewaan pantainya dibandingkan dengan daerah lain adalah pantainya yang landai dengan hamparan batu granit. Wilayah Kabupaten Bangka Tengah memiliki luas lebih 215.677 ha. Secara administratif wilayah Kabupaten Bangka Tengah berbatasan langsung dengan daratan wilayah kabupaten/kota lainnya di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu dengan wilayah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, dan Bangka Selatan. 16 Iklim dan Cuaca Menurut data Meteorologi Pangkalpinang pada tahun 1998, iklim di Pulau Bangka adalah iklim tropis tipe A dengan curah hujan 107.6 hingga 343.7 mm per bulan. Kemudian menurut Schmidt-Ferguson, pada tahun 1999 variasi curah hujan menjadi antara 70.10 hingga 384.50 mm per bulan. Dengan musim hujan rata-rata terjadi pada bulan Oktober sampai April. Musim penghujan dan kemarau di pulau Bangka juga dipengaruhi oleh dua musim angin, yaitu Muson Barat dan Muson Tenggara. Angin Muson Barat yang basah pada bulan November, Desember dan Januari banyak mempengaruhi bagian utara Pulau Bangka. Sedangkan angin Muson Tenggara yang datang dari laut jawa mempengaruhi cuaca di bagian selatan Pulau Bangka. Kabupaten Bangka Tengah beriklim Tropis Type A dengan variasi curah hujan antara 72.2 hingga 410.2 mm tiap bulan untuk tahun 2005, dengan curah hujan terendah pada bulan Februari. Suhu rata-rata daerah Kabupaten Bangka Tengah berdasarkan data dari Stasiun Meteorologi Pangkalpinang menunjukkan variasi antara 25.70 hingga 27.70 oC. Sedangkan kelembaban udara bervariasi antara 78 hingga 87% pada tahun 2005. Sementara intensitas penyinaran matahari pada tahun 2005 rata-rata bervariasi antara 19.0 hingga 57.3% dan tekanan udara antara 1008.9 hingga 1011.4 mb (Pemkab Bangka Tengah 2005). Kabupaten Bangka Tengah dan PT Koba TIN Kabupaten Bangka Tengah dibentuk berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003, merupakan Pemerintah Daerah Tingkat II dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dengan wilayah seluas 2 155.77 km2 memiliki potensi sumber daya mineral timah placer yang dapat diandalkan untuk penunjang utama pengembangan perekonomian otomi daerah. Terinventarisasi bahwa usaha penambangan di wilayah kabupaten ini dilakukan secara resmi terutama oleh PT. Koba Tin dan PT Timah Tbk. PT. Koba Tin berdiri tahun 1971 sebagai Perusahaan Modal Asing (PMA) dengan status Kontrak Karya I yang ditandatangani pada tahun 1973 dengan perioda tigapuluh tahun (1973-2003). Pada tahun 2002, PT Koba Tin sebagian besar (75%) dimiliki oleh Perusahaan Malaysia Smelting Corporation Bhd dan sisanya (25%) oleh PT Timah Tbk. 17 Perjanjian kontrak karya diperpanjang selama sepuluh tahun dari 2003 hingga 2013, dengan wilayah pertambangan seluas 41 680 hektar termasuk ke dalam Kabupaten Bangka Tengah dan Selatan. Keadaan Tanah Berdasarkan Peta Satuan Lahan dan Tanah Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor (1990), Kabupaten Bangka Tengah memiliki bentuk wilayah (land form) berupa dataran dengan bahan induk tanah batuan sedimen kasar masam, relief datar sampai berombak (lereng < 8%) agak tertoreh. Spesies tanah di wilayah kabupaten ini terdiri dari Hapludox (50 – 75%), Kandiudult (25 – 50%), Dystropepts (< 10%) dan Tropohumods. Tanah di daerah Kabupaten Bangka Tengah mempunyai pH rata-rata di bawah 5, didalamnya mengandung mineral biji timah dan bahan galian lainnya seperti: Pasir Kwarsa, Kaolin, Batu Gunung dan lain-lain. Bentuk dan keadaan wilayah kabupaten Bangka Tengah adalah sebagai berikut: 1). Empat persen berbukit seperti Bukit Mangkol dengan spesies tanah perbukitan tersebut adalah Komplek Podsolik Coklat Kekuning-kuningan dan Litosol berasal dari Batu Plutonik Masam. 2). Lima puluh satu persen berombak dan bergelombang dengan spesies tanah Asosiasi Podsolik Coklat Kekuning-kuningan dengan bahan induk Komplek Batu pasir Kwarsit dan Batuan Plutonik Masam. 3). Dua puluh persen lembah/datar sampai berombak dengan spesies tanah asosiasi Podsolik berasal dari Komplek Batu Pasir dan Kwarsit. 4). Dua puluh lima rawa dan bencah/datar dengan spesies tanah Asosiasi Alluvial Hedromotif dan Glei Humus serta Regosol Kelabu Muda berasal dari endapan pasir dan tanah liat ( Pemkab Bangka Tengah 2005).