Analisis Vegetasi, Karakteristik Tanah Dan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Penambangan Timah dan Lahan Bekas Penambangan
Kegiatan pertambangan pada berbagai bahan mineral mengakibatkan tanah
menjadi rusak dan kehilangan kesuburannya, karena tanah harus disingkirkan
terlebih dahulu untuk mendapatkan bahan yang ditambang. Lapisan atas dan
lapisan bawah tanah (top soil dan sub soil) dibalik dan digusur sehingga bahan
induk akan muncul di permukaan (Bradshaw dan Chadwick 1989, diacu dalam
Kusumastuti 2005).
Penambangan
mengakibatkan
keseimbangan
unsur
hara
terganggu
sedangkan kelarutan unsur yang bersifat racun meningkat. Tanah pada daerah
pasca penambangan umumnya mengalami kerusakan yang hebat karena bahan
tambang biasanya berada di bagian bawah tanah, sehingga untuk mendapatkan
bahan yang dimaksud tanah harus disingkirkan terlebih dahulu (stripping) dan
ditimbun / ditumpuk pada lokasi lain yang dipakai sebagai areal penimbunan sisa
penggalian tambang (overburden dan tailing). Lapisan overburden (batuan
limbah) adalah tanah atau batuan yang menutupi lapisan deposit mineral di bagian
bawahnya. Tailing pada penambangan timah adalah sisa galian tambang yang
berupa tumpukan pasir dan kerikil yang dibuang setelah mengalami pencucian
(PT. Timah 1991).
Saptaningrum (2001) dalam penelitiannya di pulau Bangka (Kota Pangkal
Pinang dan Sungai Liat) mendapatkan sifat fisik dan kimia tanah yang rendah
dalam menunjang pertumbuhan tanaman yang digunakan PT. Tambang Timah
dalam upaya reklamasi. Tailing setelah penambangan mempunyai kadar pasir
yang sangat tinggi, pH menjadi masam (3.8 – 4.3), peningkata kadar Al-dd,
penurunan nilai KTK dan kadar C-organik tanah, kandungan P tersedia menurun
drastis, basa-basa dalam tanah yang awalnya tergolong rendah juga mengalami
penurunan bila dibandingkan dengan tanah asli sebelumnya.
Aktivitas pertambangan oleh manusia dapat berpengaruh destruktif terhadap
lahan, tumbuhan dan hewan. Dalam pencarian mineral dan lain sebagainya, tidak
hanya vegetasi, hewan dan tanah lapisan atas yang disingkirkan, tetapi juga sering
bentuk lahan (landform) diubah. Ekosistem alami terganggu dan yang akan
6
tertinggal hanyalah lubang-lubang kosong, timbunan limbah atau keduanya
(Bradshaw 1983, diacu dalam Ervayendri 2005).
Sifat tailing yang merugikan bagi pertumbuhan tumbuhan adalah
konsentrasi logam berat dan garam yang tinggi, kurangnya unsur hara penting dan
mikroorganisme, sifat dan struktur tanah yang membatasi aerasi dan infiltrasi serta
tingginya daya pemantulan sinar atau absorpsi panas (PT. Timah 1991).
Lahan pasca penambangan umumnya mempunyai sifat fisika dan kimia
yang tidak menguntungkan, bertesktur pasir, berkerikil atau berbatu, kemampuan
menahan air kurang
dari 20%, kandungan unsur hara rendah, pH rendah,
kapasitas tukar kation rendah, kandungan logam berat seperti aluminium, besi dan
mangan tinggi. Hasil penelitian Kusumastuti (2005) di Pulau Bangka
menunjukkan bahwa kandungan logam berat pada tailing timah cukup tinggi
yaitu: 3040 ppm Fe, 15.8 ppm Mn, 1.9 ppm Cu, 6.29 ppm Pb, 0.02 ppm Cd, 0.37
ppm Co, dan 1.43 ppm Cr pada tailing yang berumur satu tahun. Penelitian
Amriwansyah (1990) pada tiga lokasi tambang di Pulau Bangka melaporkan
bahwa aktivitas penambangan berpengaruh nyata meningkatkan persentase pasir
dan menurunkan persentase debu, liat, bahan organik tanah, air tersedia, pH tanah,
aluminium dapat ditukar, nitrogen total, fosfor tersedia, kalium tersedia serta
kapasitas tukar kation.
Struktur dan Komposisi Vegetasi
Dalam penyimpanan unsur hara, vegetasi di daeah tropis lebih penting
daripada tanahnya yang hanya menyimpan 5-20% unsur hara yang ada, sedang di
daerah beriklim sedang tanah merupakan tempat persediaan hara. Hal ini
disebabakan karena tanah tropis sangat peka dan cepat berubah akibat adanya
hujan, matahari dan angin yang dapat mengikis humus sebagai pembentuk tanah
tersebut, sehingga kondisi fisiknya turun. Kebanyakan tanah di daerah tropis
dapat berfungsi sebagai penyimpan unsur hara jika tanah tertutup terus menerus
oleh tumbuhan (Neugabeur 1987). Struktur suatu vegetasi terdiri dari individuindividu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan
terdiri dari sekelompok tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu
mempertahankan sifatnya.
7
Menurut Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen,
yaitu:
1.
Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram
profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba
penyusun vegetasi.
2.
Sebaran horisontal spesies-spesies penyusun yang menggambarkan letak
dari suatu individu terhadap individu lain.
3.
Kelimpahan (abundance) setiap spesies dalam suatu komunitas.
Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa
faktor, seperti: flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain lain), waktu dan
kesempatan (Marsono 1999).
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan/komposisi
vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan,
termasuk juga sejarah vegetasi dan prediksi perkembangan vegetasi. Unsur
struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan (Growth form), stratifikasi dan
penutupan tajuk (coverage) (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974). Analisis
vegetasi
memerlukan
data-data
spesies,
diameter
dan
tinggi
untuk
menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut.
Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang
struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan tujuan,
pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3
kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan
batas-batas spesies dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang
sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman
spesies dalam suatu areal; dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan
vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan
(Greig-Smith 1983).
Berbagai kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan
menentukan komposisi spesies berbagai komunitas tumbuhan disebut faktorfaktor habitat. Kata habitat semula digunakan untuk menunjukkan macam
tempat yang ditumbuhi oleh tumbuhan tertentu, tetapi sebagai istilah ekologi
arti habitat telah berubah menjadi jumlah semua faktor yang menentukan
8
kehadiran suatu tumbuhan atau komunitas tumbuhan. Faktor-faktor ini
mencakup kondisi fisik dan kimia
berpengaruh terhadap
serta berbagai organisme
yang
komunitas tumbuhan (Loveless 1999). Menurut
Setiadi dan Muhadiono (2001) perubahan dan variasi kondisi lingkungan
tertentu akan memberikan dampak bagi struktur dan komposisi spesies
tumbuhan terutama dari segi kelimpahan, pola penyebaran, asosiasi dengan
spesies lain serta kondisi pertumbuhan yang berbeda dengan spesies lainnya.
Interaksi dari faktor-faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai
indikator penduga sifat lingkungan yang bersangkutan.
Perubahan
habitat
yang
terjadi
akibat
kegiatan
penambangan
menyebabkan revegetasi lahan bekas tambang relatif sulit, karena tanah di lahan
pasca tambang menjadi marginal oleh pengupasan tanah lapisan atas saat
penyiapan lahan operasi tambang. Kesulitan lain yang juga sering dihadapi di
lahan bekas tambang adalah pencemaran oleh limbah yang dihasilkan atau akibat
aktivitas tambang itu sendiri. Menurut Kustiawan (2001) di Kalimantan Timur
tidak ada satupun spesies vegetasi yang tumbuh pada lahan satu tahun pasca
tambang batubara. Adapun pada lahan tiga tahun pasca tambang batubara, kondisi
tanah masih sangat keras, sangat sulit ditembus air, pH tanah sangat tinggi yaitu
8.51 dan hanya ditumbuhi oleh satu spesies tumbuhan saja, yaitu seri (Muntingia
calambura) dari genus Tiliaceae.
Kelimpahan
spesies
ditentukan
berdasarkan
besarnya
frekuensi,
kerapatan dan dominasi setiap spesies. Penguasaan suatu spesies terhadap
spesies-spesies lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume,
biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya
individu dan kerapatan (Soerianegara 1998).
Frekuensi suatu spesies menunjukkan penyebaran suatu spesies dalam
suatu areal. Spesies yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi
yang besar, sebaliknya spesies-spesies yang mempunyai nilai frekuensi yang
kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu
spesies merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya suatu
spesies per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu spesies, makin banyak
9
individu spesies tersebut per satuan luas. Dominasi suatu spesies merupakan
nilai yang menunjukkan peguasaan suatu spesies terhadap komunitas.
Suatu daerah yang didominasi hanya oleh spesies-spesies tertentu saja,
maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang
rendah. Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukan bahwa suatu
komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena di dalam komunitas itu
terjadi interaksi antara spesies yang tinggi. Lebih lanjut dikatakan,
keanekaragaman merupakan ciri dari suatu komunitas terutama dikaitkan
dengan jumlah spesies dan jumlah individu tiap spesies pada komunitas
tersebut.
Keanekaragaman
spesies
menyatakan
suatu
ukuran
yang
menggambarkan variasi spesies tumbuhan dari suatu komunitas yang
dipengaruhi oleh jumlah spesies dan kelimpahan relatif dari setiap spesies.
Pengertian Mikoriza
Mikoriza adalah bentuk simbiosis yang menguntungkan antara akar
tumbuhan dan fungi tanah. Fungi mikoriza (mikobion) untuk tumbuh dan
berkembang memerlukan karbohidrat dari tumbuhan dan tumbuhan (fitobion)
memerlukan unsur hara dan air dalam tanah melalui hifa fungi selama siklus
hidupnya. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan
memperlihatkan spektrum yang sangat luas, baik dalam hal tanaman inang,
spesies fungi maupun penyebarannya. Mikoriza tersebar dari artiktundra sampai
ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan yang
melibatkan sekitar 80 - 90% spesies tumbuhan yang ada.
Fungi pada umumnya memiliki ketahanan cukup baik pada rentang faktor
lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah
berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada padi sawah. Bahkan
pada lingkungan yang tecemar limbah berbahaya fungi mikoriza masih
memperlihatkan eksistensinya.
Peranan Mikoriza
Bagi tanaman inang, adanya asosiasi dengan fungi mikoriza dapat
memberikan manfaat yang sangat besar, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara tidak langsung mikoriza berperan dalam perbaikan struktur
tanah, meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan induk.
Sedangkan secara langsung fungi mikoriza dapat meningkatkan serapan air, hara
dan melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Mikoriza juga dapat
melindungi tanaman dari unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat
(Killham 1994). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur
beracun
yang
diberikan
mikoriza
diduga
dapat
melalui
efek
filtrasi,
menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa fungi.
Sieverding (1991) mengemukakan bahwa mikoriza berperan dalam hal : 1)
penyerapan nutrisi (hara dan mineral terutama unsur P) bagi tumbuhan; 2)
peningkatkan pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang tidak cocok,
tertekan (stress) oleh iklim seperti suhu tinggi dan kekeringan; 3) pemeliharaan
interaksi antara berbagai spesies mikroorganisme tanah dan dapat mengendalikan
mikroorganisme patogen; 4) perbaikan agregasi tanah dan 5) produksi hormon
dan zat pengatur tumbuh tanaman. Selain itu mikoriza juga dapat membentuk
sistem jembatan hifa yang berfungsi mengalirkan nutrisi dari tumbuhan inang ke
anakan inang, sehingga dengan demikian mikoriza berperan dalam mendukung
kelangsungan hidup tumbuhan.
Finlay (2004) menyatakan dalam ekosistem mikoriza memiliki beberapa
peran peting seperti peningkatan serapan unsur hara bagi tanaman, peningkatan
toleransi tanaman terhadap faktor lingkungan yang ekstrim, mobilisasi N dan P
dari senyawa-senyawa organik polimer, siklus karbon, berintegrasi dengan
mikroorganisme lain serta mempengaruhi komunitas tumbuhan.
Mikoriza Arbuskula
Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang,
mikoriza dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar (tipe) yaitu
ektomikoriza dan endomikoriza. Pola asosiasi antara fungi mikoriza dengan akar
tanaman inang menyebabkan terjadinya perbedaan morfologi akar antara
ektomikoriza dan endomikoriza. Pada ektomikoriza jaringan hifa fungi tidak
sampai masuk ke dalam sel tapi berkembang diantara sel kortek akar membentuk
hartig net dan mantel di permukaan akar. Simbiosis ini biasanya terjadi pada akar
10
spesies-spesies pohon yang dapat dibedakan sistem perakarannya, yaitu tumbuhan
yang memiliki akar panjang dan akar pendek. Akar yang dikolonisasi oleh fungi
ektomikoriza sebagian mengalami perubahan dalam morfologi dan anatominya.
Pada umumnya kolonisasi fungi pada ektomikoriza menyebabkan akar menjadi
gemuk dan pendek. Ektomikoriza biasanya ditemukan pada akar melinjo (Gnetum
gnemon) Pinus sp., Dipterocarpaceae dan Eucalyptus sp. Fungi ektomikoriza
terdiri atas basidiomiset, askomiset dan satu anggota zigomiset yaitu Endogone
(Brundrett et al. 1994). Pada endomikoriza kolonisasi fungi terjadi secara
interseluler dan intraseluler. Pada mikoriza vesikula arbuskula, setelah penetrasi
hifa ke dalam jaringan korteks akar akan membentuk struktur arbuskula yang
merupakan percabangan dikotom yang intensif dari hifa intraseluler yang berperan
dalam transfer nutrisi antara fungi dan tumbuhan inang. Kadang-kadang juga
membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesikula. Vesikula
merupakan organ fungi yang berfungsi sebagai penyimpan makanan cadangan.
Endomikoriza dibedakan menjadi enam kelompok, yaitu: ektendomikoriza,
mikoriza arbuskula (MA), mikoriza arbutoid, mikoriza monotropoid, mikoriza
ericoid, mikoriza anggrek (orchid) (Smith & Read 1997). Dari ke tujuh tipe
mikoriza, MA merupakan mikoriza yang paling umum dijumpai. Sembilan puluh
lima persen tumbuhan di dunia membentuk simbiosis mikoriza. Sebagian besar
tumbuhan bermikoriza ialah mikoriza arbuskula.
Mikoriza arbuskula terbentuk hampir pada semua spesies tumbuhan seperti:
Bryophyta, Pteridophyta, Gymnospermae dan Angiospermae. Hanya beberapa
tumbuhan yang tidak berasosiasi dengan fungi mikoriza arbuskula, terutama
tumbuhan yang membentuk ektomikoriza (misalnya Pinaceae, Betulaceae) atau
yang membentuk tipe endomikoriza lainnya (Harley & Smith 1983).
Kolonisasi fungi mikoriza arbuskula ditandai oleh adanya struktur
arbuskula, vesikula, hifa koil, hifa interseluler dan intraseluler yang tidak
memiliki septat ( Harley & Smith 1983). Gallaud (1995) dalam Smith dan Read
(1997) membagi struktur internal fungi mikoriza arbuskula menjadi dua kelompok
yaitu tipe arum dan tipe paris. Perbedaan tipe arum dan tipe paris ditentukan oleh
dominansi hifa interseluler dan arbuskula yang terbentuk. Pada tipe arum,
arbuskula terbentuk secara terminal di dalam sel-sel korteks dari hifa yang tumbuh
11
secara longitudinal di antara sel-sel korteks, pada tipe paris arbuskula terbentuk
secara interkalar pada hifa koil di dalam sel-sel kortek akar (Brundrett et al. 1995).
Menurut Menoyo et al. (2007) tipe arum ditandai oleh hifa intersel, vesikula
intersel atau intrasel dan arbuskula terminal pada cabang hifa intrasel. Tipe paris
ditandai oleh hifa intrasel, vesikula intrasel, hifa koil intrasel dan arbuskul intrasel
yang terbentuk dari hifa koil intrasel. Dickson (2004) menyatakan kolonisasi tipe
arum terdiri dari hifa interseluler dan arbuskula, tipe paris terdiri dari hifa
intraseluler, hifa koil dan arbuskula yang terbentuk dari koil. Menurut Cavagnaro
et al.( 2001) pada tipe arum fungi membentuk hifa interseluler diantara sel-sel
korteks dan arbuskula intraseluler di dalamnya, sedangkan pada tipe paris fungi
membentuk hifa koil dan arbuskula koil dalam jaringan korteks, dan tidak
terbentuk hifa interseluler pada fase kolonisasi.
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang berasosiasi dengan akar tumbuhan
termasuk dalam filum Glomeromycota yang terdiri dari ordo Glomerales,
Diversisporales, Archaeosporales, dan Paraglomales (Redecker & Raab 2006).
Berdasarkan analisis ribosomal RNA, FMA berkerabat dekat dengan
Ascomycota dan Basidiomycota namun tidak monofiletik dengan Zygomycota
karena tidak membentuk zigospora. Oleh sebab itu Schüβler et al. (2001) merevisi
ordo Glomales menjadi filum Glomeromycota dan secara tata bahasa berdasarkan
ketentuan Internasional Code of Botanical Nomenclature, nama ordo Glomales
berubah menjadi Glomerales (Schüβler et al. 2001; Redecker & Raab 2006).
FMA tergolong ke dalam filum Glomeromycota, kelas Glomeromycetes yang
terdiri atas 4 ordo yaitu Glomerales, Paraglomales, Archaeosporales dan
Diversisporales (Schüβler et al. 2001). Genus dari filum Glomeromycota
diantaranya
ialah
Glomus,
Gigaspora,
Scutellospora,
Acaulospora,
Entrophospora, Pacispora, Diversispora, Archaeospora, dan Paraglomus
(Redecker & Raab 2006).
Fungi pembentuk mikoriza arbuskula merupakan fungi simbion obligat,
dengan demikian fungi ini memerlukan bahan organik dari inang yang masih
hidup. Adanya simbiosis mutualisma antara FMA dengan perakaran tanaman
dapat membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, terutama pada tanah
marginal. Hal ini disebabkan FMA efektif dalam peningkatan penyerapan unsur
12
hara, memperbaiki stabilitas atau struktur tanah, meningkatkan toleransi tanaman
terhadap kekeringan dan faktor pengganggu lain seperti salinitas tinggi, logam
berat dan ketidakseimbangan hara di dalam tanah.
Pada akar tumbuhan yang hidup di lahan yang tercemar minyak bumi
terdapat koloni fungi mikoriza arbuskula (Cabello 2001; Nicolotti & Egli 1998).
FMA pada tempat berminyak mampu mendukung keberadaan spesies tumbuhan
tingkat tinggi dan dapat memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologi tanahnya
(Colgan et al. 2004). Khan (1993) menyatakan bahwa mikoriza arbuskula atau
mikoriza vesikula arbuskula dapat terjadi secara alami pada tanaman pionir di
lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi
lainnya.
Beberapa peran penting FMA adalah sebagai berikut:
1. Perbaikan nutrisi tanaman dan peningkatan pertumbuhan.
Fungi ini memiliki kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90%
spesies tanaman dan telah terbukti mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan
pertumbuhan tanaman. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang
akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman mampu
meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara dan air. Posfat merupakan unsur
hara utama yang dapat diserap oleh tanaman bermikoriza,
serta unsur-unsur
mikro sepeti Cu, Zn dan Bo (Sieverding 1991).
Posfat adalah salah satu unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah
relatif banyak oleh tanaman, tetapi ketersediaannya terutama pada tanah-tanah
masam menjadi terbatas, sehingga sering kali menjadi salah satu pembatas utama
dalam peningkatan produktivitas tanaman. Kemampuan FMA dalam memperbaiki
status nutrisi tanaman dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk efisiensi
penggunaan pupuk buatan, terutama posfat.
2. Sebagai pelindung hayati (bio-protection).
Selain perbaikan nutrisi (terutama posfat), FMA juga mampu meningkatkan
daya tahan tanaman terhadap serangan patogen tular tanah. FMA juga dapat
membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat,
seperti pada lahan-lahan pasca tambang. Dengan demikian selain berfungsi
sebagai bio-protection, FMA juga berfungsi penting sebagai bioremediator bagi
13
14
tanah yang tercemar logam berat. Selain itu fungi ini juga mampu meningkatkan
resistensi tanaman terhadap kekeringan (Hetrick 1984).
3. Terlibat dalam siklus biogeokimia
FMA di alam dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alami pada
habitat yang mendapat gangguan ekstrim (Allen & Allen 1992). Keberadaan FMA
juga mutlak diperlukan karena berperan penting dalam mengefektifkan daur ulang
unsur hara (nutrient cycle) sehingga dianggap sebagai alat yang paling efektif
untuk mempertahankan stabilitas ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati.
4. Sinergis dengan mikroorganisme lain.
FMA pada tanaman leguminosa diperlukan karena pembentukan bintil akar
dan efektivitas penambatan nitrogen oleh bakteri Rhizobium/Bradyrhyzobium
yang terdapat di dalamnya dapat ditingkatkan. FMA juga dapat bersinergis dengan
mikroba potensial lainnya seperti bakteri penghambat N bebas dan bakteri pelarut
posfat, serta sinergis dengan mikroba selulotik seperti Trichoderma sp.
(Bethlenfavay 1992). Berdasarkan kemampuan tersebut, maka FMA dapat
berfungsi meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran
tanaman atau rizosfir.
5. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan.
FMA berperan penting dalam mempertahankan keanekaragaman tumbuhan
dengan cara transfer nutrisi dari satu akar ke akar tanaman lain yang berdekatan
melalui struktur yang disebut hyphal bridge (Allen & Allen 1992). Transfer
nutrisis ini berlangsung dari induk ke anakan. Dengan demikian aplikasi FMA
tidak hanya terbatas pada pola tanaman monokultur, tetapi dapat diintegrasikan
dalam unit manajemen pola tanaman campuran (Setiadi 2003).
DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN
PULAU BANGKA
Lokasi penelitian
Gambar 2 Peta kabupaten dan kota di Pulau Bangka (PT. Koba Tin 2004).
Kondisi Geografis
Pulau Bangka terletak di sebelah pesisir Timur Sumatera Selatan,
berbatasan dengan Laut Cina Selatan di sebelah utara, Pulau Belitung di sebelah
timur dan Laut Jawa di sebelah selatan, yaitu 1° 20’- 3° 7’ Lintang Selatan dan
105° - 107° Bujur Timur, memanjang dari Barat Laut ke Tenggara sepanjang
lebih kurang 180 km. Pulau ini terdiri dari rawa-rawa, daratan rendah, bukit-bukit
dan pada puncak bukit terdapat hutan lebat, sedangkan pada daerah rawa terdapat
hutan bakau. Rawa daratan pulau Bangka tidak berbeda jauh dengan rawa di pulau
Sumatera, sedangakan keistimewaan pantainya dibandingkan dengan daerah lain
adalah pantainya yang landai dengan hamparan batu granit. Wilayah Kabupaten
Bangka Tengah memiliki luas lebih 215.677 ha. Secara administratif wilayah
Kabupaten Bangka Tengah berbatasan langsung dengan daratan wilayah
kabupaten/kota lainnya di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu dengan
wilayah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, dan Bangka Selatan.
16
Iklim dan Cuaca
Menurut data Meteorologi Pangkalpinang pada tahun 1998, iklim di Pulau
Bangka adalah iklim tropis tipe A dengan curah hujan 107.6 hingga 343.7 mm per
bulan. Kemudian menurut Schmidt-Ferguson, pada tahun 1999 variasi curah
hujan menjadi antara 70.10 hingga 384.50 mm per bulan. Dengan musim hujan
rata-rata terjadi pada bulan Oktober sampai April. Musim penghujan dan kemarau
di pulau Bangka juga dipengaruhi oleh dua musim angin, yaitu Muson Barat dan
Muson Tenggara. Angin Muson Barat yang basah pada bulan November,
Desember dan Januari banyak mempengaruhi bagian utara Pulau Bangka.
Sedangkan angin Muson Tenggara yang datang dari laut jawa mempengaruhi
cuaca di bagian selatan Pulau Bangka. Kabupaten Bangka Tengah beriklim Tropis
Type A dengan variasi curah hujan antara 72.2 hingga 410.2 mm tiap bulan untuk
tahun 2005, dengan curah hujan terendah pada bulan Februari. Suhu rata-rata
daerah Kabupaten Bangka Tengah berdasarkan data dari Stasiun Meteorologi
Pangkalpinang menunjukkan variasi antara 25.70 hingga 27.70 oC. Sedangkan
kelembaban udara bervariasi antara 78 hingga 87% pada tahun 2005. Sementara
intensitas penyinaran matahari pada tahun 2005 rata-rata bervariasi antara 19.0
hingga 57.3% dan tekanan udara antara 1008.9 hingga 1011.4 mb (Pemkab
Bangka Tengah 2005).
Kabupaten Bangka Tengah dan PT Koba TIN
Kabupaten Bangka Tengah dibentuk berdasarkan Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2003, merupakan Pemerintah Daerah Tingkat II dari
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dengan wilayah seluas 2 155.77 km2
memiliki potensi sumber daya mineral timah placer yang dapat diandalkan untuk
penunjang utama pengembangan perekonomian otomi daerah. Terinventarisasi
bahwa usaha penambangan di wilayah kabupaten ini dilakukan secara resmi
terutama oleh PT. Koba Tin dan PT Timah Tbk. PT. Koba Tin berdiri tahun 1971
sebagai Perusahaan Modal Asing (PMA) dengan status Kontrak Karya I yang
ditandatangani pada tahun 1973 dengan perioda tigapuluh tahun (1973-2003).
Pada tahun 2002, PT Koba Tin sebagian besar (75%) dimiliki oleh Perusahaan
Malaysia Smelting Corporation Bhd dan sisanya (25%) oleh PT Timah Tbk.
17
Perjanjian kontrak karya diperpanjang selama sepuluh tahun dari 2003 hingga
2013, dengan wilayah pertambangan seluas 41 680 hektar termasuk ke dalam
Kabupaten Bangka Tengah dan Selatan.
Keadaan Tanah
Berdasarkan Peta Satuan Lahan dan Tanah Puslit Tanah dan Agroklimat
Bogor (1990), Kabupaten Bangka Tengah memiliki bentuk wilayah (land form)
berupa dataran dengan bahan induk tanah batuan sedimen kasar masam, relief
datar sampai berombak (lereng < 8%) agak tertoreh. Spesies tanah di wilayah
kabupaten ini terdiri dari Hapludox (50 – 75%), Kandiudult (25 – 50%),
Dystropepts (< 10%) dan Tropohumods.
Tanah di daerah Kabupaten Bangka Tengah mempunyai pH rata-rata di
bawah 5, didalamnya mengandung mineral biji timah dan bahan galian lainnya
seperti: Pasir Kwarsa, Kaolin, Batu Gunung dan lain-lain. Bentuk dan keadaan
wilayah kabupaten Bangka Tengah adalah sebagai berikut: 1). Empat persen
berbukit seperti Bukit Mangkol dengan spesies tanah perbukitan tersebut adalah
Komplek Podsolik Coklat Kekuning-kuningan dan Litosol berasal dari Batu
Plutonik Masam. 2). Lima puluh satu persen berombak dan bergelombang dengan
spesies tanah Asosiasi Podsolik Coklat Kekuning-kuningan dengan bahan induk
Komplek Batu pasir Kwarsit dan Batuan Plutonik Masam. 3). Dua puluh persen
lembah/datar sampai berombak dengan spesies tanah asosiasi Podsolik berasal
dari Komplek Batu Pasir dan Kwarsit. 4). Dua puluh lima rawa dan bencah/datar
dengan spesies tanah
Asosiasi Alluvial Hedromotif dan Glei Humus serta
Regosol Kelabu Muda berasal dari endapan pasir dan tanah liat ( Pemkab Bangka
Tengah 2005).
Download