BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH 1. Kehancuran Masyarakat Ambon-Maluku Dalam Beragama dan Berbudaya Tolerenasi beragama dan berbudaya sangat kental dan kuat dalam kehidupan masyarakat Ambon-Maluku. Budaya pela gandong, masohi dan makan patita1 menjadi tradisi atau kebiasaan adat yang mempererat relasi antar suku dan agama di sana. Tradisi ini dipelihara dari generasi ke generasi, sehingga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di sana. Karena itu, kalau ada kegiatan membangun gedung gereja, mesjid, ataupun sarana adat (baileu) dan pemerintah (sekolah) selalu dilakukan secara masohi, baik oleh dua desa yang berpela maupun para tetangga desa yang ada di sekitarnya. Dukungan tenaga maupun material (bahan bangunan) diberikan dalam kegiatan membangun itu. Bukan itu saja, masyarakat Ambon-Maluku juga memelihara tradisi budaya mereka dengan melakukan “panas pela”, makan patita dalam acaraacara adat yang bukan hanya melibatkan desa atau komunitas suku yang merayakannya, tetapi juga desa atau komunitas suku yang lain. Tidak heran acara-acara ini menjadi perayaan-perayaan besar yang selalu dilakukan setiap tahun, sebagai wujud loyalitas dan tanggung jawab dalam 1 Pela gandong adalah ikatan persahabatan atau persaudaraan yang dilembagakan antara seluruh penduduk pribumi dari dua kampung atau lebih yang berbeda agama, yakni Islam-Kristen. Ikatan ini telah ditetapkan oleh para leluhur/tetua dalam keadaan khusus dan menyertakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu bagi pihak-pihak yang ada didalamnya. Mereka yang berpela mempunyai tanggung jawab untuk saling membantu dan menjaga dalam segala hal. Masohi adalah bahasa asli Ambon-Maluku yang berarti kerja sama. Sementara makan patita berarti makan bersama, dimana para raja dan keluarganya, kepala-kepala adat dan masyarakat biasa duduk bersama membentuk formasi panjang untuk makan bersama. Biasanya makan yang dihidangkan adalah makanan tradisional Ambon, seperti umbi-umbian, colo-colo, ikan bakar, dan sebagainya. Makna tadisi ini melewati batas-batas suku, agama, klas atau status. Sebab orang duduk makan bersama tanpa melihat dari mana ia berasal. Lihat Franks L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987, p. 88, 183-189 dan T.J.A.Uneputy, J.Talakua, S. Maelissa & M.Polnaya, Adat Istiadat Maluku, Ambon : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1993, p.78. memelihara tradisi para leluhur atau tetua serta upaya untuk memperkuat relasi diantara mereka yang berpela maupun relasi antar desa atau suku. Potret toleransi dalam berbudaya juga menjadi bagian dalam kehidupan religius mereka. Perayaan-perayaan religius, seperti Idul Fitri, Natal, Halalbihalal, bukan hanya menjadi kegembiraan komunitas Islam, tetapi komunitas Kristen juga, begitupun sebaliknya. Silahturami sebagai bentuk keterlibatan kepada komunitas religius yang merayakan, selalu juga dibarengi dengan partisipasi langsung dalam acara-acara religiusnya.2 Karena itu, hari-hari menjelang perayaan-perayaan itu, kota Ambon terlihat dalam suasana hiruk-pikuk. Suasana itu mendeskripsikan relasi kebersamaan di antara kedua agama itu, yang nampak harmonis dan saling menghormati satu dengan yang lain. Relasi itu merupakan perwujudan dari apa yang disebut dengan istilah Ambon-Maluku, “ katong samua basudara”. Terkait dengan suasana toleran dalam berbudaya dan beragama itu, Piet Tanamal menegaskan bahwa toleransi inilah yang membedakan masyarakat Ambon-Maluku dengan masyarakat yang lain, yang ada di Indonesia. Sehingga masyarakat Ambon-Maluku sering digembar-gemborkan sebagai masyarakat beragama, berbudaya, toleran dan punya etiket bersesama. 3 Predikat ini dipelihara dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Namun predikat itu akhirnya menjadi tanda tanya besar, ketika konflik berdarah 19 Januari 1999 menjadi catatan kelam bagi masyarakat Ambon-Maluku secara holistik. Predikat itu semakin ternodai dengan berbagai tindakan anarkis, hanya karena isu “gedung gereja” dan “mesjid” dilecehkan. 2 Partisipasi tersebut dalam bentuk mengambil peran dalam bermain rebana dan menyanyikan lagu-lagu yang berlafaskan Islam serta turut mengambil bagian dalam peran drama natal. Misalnya menjadi Maria atau Yusuf. Penulis sendiri pernah terlibat dalam bermain rebana, sehingga tidak asing bagi penulis bila menyanyikan ataupun mendengarkan lagu-lagu Islam. Selain itu juga, ketika malam Natal dan Idul Fitri, kedua komunitas ini bisanya ikut dalam takbir akbar bersama ataupun konfoi Natal bersama. 3 Piter Tanamal, Memori Tragedi Kemanusian Di Ambon-Maluku , Ambon : Yayasan Nunusaku, 2000, p.97. 2 Realitas inilah yang menjadi pergumulan penulis dalam tesis ini. Apa yang menyebabkan sehingga gedung gereja dan mesjid begitu kuat mempengaruhi prilaku komunitas beragama di Ambon-Maluku ketika konflik? Apa pentingnya bangunan itu bagi komunitasnya? 2. Narasi Di Balik Pembakaran dan Pembangunan Kembali Gedung Gereja Silo. Gedung gereja memiliki arti penting bagi seluruh komunitas Kristen, termasuk komunitas Kristen Ambon-Maluku. Bagi mereka, dibakarnya gedung gereja Silo oleh pihak penyerang, yakni komunitas Islam4 adalah awal dari sebuah “malapetaka besar”. Sebab bangunan ini menjadi barometer eksistensi diri dan kebanggaan mereka selama konflik. Karena itu berbagai tindakan dilakukan untuk mempertahankan keberdirian bangunan itu. Mulai dari tindakan penjagaan bersama, pembelaan yang pada akhirnya menelan banyak korban sampai pada tindakan destruktif dan anarkis, yakni pembakaran dan pembunuhan kepada pihak penyerang. Yosep Mosila mengatakan bahwa berbagai tindakan yang dilakukan itu, bukan hanya melibatkan komunitas Kristen Silo saja, tetapi juga komunitas Kristen Ambon-Maluku secara holistik. Sebagaimana tampak dalam pernyataannya : “Ketika ada berita bahwa gedung gereja Silo mau diserang, orang dari Kudamati, Air Salobar, Aboru, Soya, Naku – dari desa-desa, baik yang di luar kota Ambon maupun yang di daerah gunung - datang untuk menjaga dan mempertahankan gedung gereja Silo. Tindakan ini adalah tanggung jawab bersama yang menjadi kewajiban moral kami. Sebab bagi kami bangunan ini adalah segalanya. Bukan hanya pada gedung gereja Silo saja, kami berupaya untuk menjaga dan mempertahankan, tetapi juga pada wilayah dan gedung gereja kami yang berada pada posisi rawan dari serangan pihak penyerang”.5 4 Penulis menyebut pihak penyerang adalah komunitas Islam. Sebab pada kenyataanya ketika konflik komunitas Islam yang menyerang, begitupun sebaliknya. Siapapun mereka (penguasa, rakyat biasa, elit politik, dan sebagainya) yang melakukan penyerangan dalam konflik itu selalu mengatasnamakan diri mereka sebagai bagian dari kedua komunitas agama yang berkonflik itu, baik komunitas Islam maupun Kristen. 5 Hasil wawancara dengan Yosep Mosila tanggal 29 Mei 2007. 3 Namun tindakan penjagaan dan pembelaan akhirnya terhenti, ketika bangunan itu berhasil dibakar oleh pihak penyerang. Seluruh komunitas Kristen Ambon-Maluku menjadi sangat marah dan emosi, sehingga salah seorang dari mereka mengatakan bahwa “kita harus berperang sampai Tuhan datang yang kedua kalinya”.6 Kemarahan itu menjadi tidak terbendung sehingga serangan balasan ditujukan kepada sejumlah pemukiman komunitas penyerang, termasuk mesjid dan juga anggota komunitasnya. Beberapa mesjid yang berhasil dibakar oleh mereka adalah mesjid Al-Nur, mesjid Air Salobar, mesjid Gunung Nona. Serangan balas dendam ini akhirnya meluas bukan hanya di dalam kota Ambon, tetapi juga di luar kota Ambon. Dibakarnya gedung gereja Silo adalah awal dari konflik Maluku jilid kedua.7 Fakta bahwa dibakarnya bangunan itu menyayat hati komunitas Kristen Ambon-Maluku. Namun semangat untuk membangun kembali menjadi tak terbendung. Dalam kondisi kota Ambon yang masih porak-porakan dengan kondisi sosial, politik, ekonomi yang terpuruk, komunitas Kristen Ambon-Maluku bersikeras untuk membangunnya. Dalam jangka waktu 42 hari (1 bulan 11hari) setelah peristiwa pembakaran itu, peletakan batu pertama bangunan itu dilakukan. Namun semangat itu mendapat perlawanan dari pihak penyerang. Beberapa kali mereka menggagalkan pembangunan itu baik dengan melemparkan bom maupun meledakan tabung gas ke dalam bangunan itu. Tetapi upaya itu tidak bisa membendung semangat komunitas Kristen Ambon-Maluku untuk tetap membangun kembali gedung gereja Silo. Dengan sorong bahu8 6 Hasil wawancara dengan seorang pemuda yang berinisial RM tanggal 28 Mei 2007. Lambang Trijono, Keluar Dari Kemelut Maluku, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, p.54-55. Lihat juga Eriyanto, Media Dan Konflik Ambon, Kantor Berita Radio 68H, Majalah Pantau dan Media Development Loan Fund, 2003, p. 127-128. 8 Sorong bahu adalah istilah Ambon yang berarti sama-sama memberikan dukungan, baik melalui tenaga maupun dana untuk membangun sesuatu atau untuk mendukung kegiatan-kegiatan tertentu, yang bersifat gerejawi dan juga adat. 7 4 akhirnya gedung gereja Silo berhasil dibangun dengan kemegahan yang luar biasa, yang menghabiskan dana sekitar 4 millar rupiah. Namun komunitas Kristen Ambon-Maluku tidak merasakannya sebagai beban. Dalam kondisi hidup dan ekonomi yang masih ada di tempattempat pengungsian, dukungan tetap diberikan. Sebab keberdirian gedung gereja Silo adalah sebuah kebanggaan bagi mereka. Realitas dibangunnya kembali gedung gereja Silo adalah fenomena pasca konflik yang tampak pada pembangunan kembali sejumlah gedung gereja yang dibakar oleh pihak penyerang. Ironisnya, pembangunan kembali gedung-gedung gereja itu diwarnai dengan kemegahan yang luar biasa di tengah-tengah kondisi yang masih terpuruk dan mendapat dukungan yang antusias dari komunitas Kristen di sana. . 1.2. TEKS ALKITAB : NARASI DIBALIK PEMBANGUNAN BAIT SUCI Fakta bahwa sebuah simbol agama memiliki arti penting bagi suatu komunitas, juga tampak dalam masyarakat Israel terkait dengan Bait Suci. Bangunan ini dibangun dalam kemegahan yang luar biasa pada masa pemerintahan Salomo. Namun akhirnya dihancurkan oleh bangsa Babilonia seiring dengan kehancuran Yerusalem, akan tetapi dibangun kembali pada masa Ezra, masa dimana Israel kembali dari pembuangan. 1. Semangat Membangun Pada Masa Salomo ( I Raja-Raja 5:1-18) Sebagai sebuah bangsa yang berkembang, Israel mengalami perubahan yang besar pada zaman Salomo, baik dalam pola pemerintahannya maupun dalam pola hidup masyarakatnya.9 Perubahan-perubahan itu bukanlah tanpa alasan. Sebab pada kenyataannya Israel mengalami kejayaan, pemerintahan terpusat dan rasa aman dari serangan musuh. Dengan kata lain, Salomo 9 Perubahan-perubahan itu tampak dalam pola hidup Israel yang tadinya hidup dalam suasana semi nomadis atau pertanian, berubah menjadi warga Negara modern yang sangat kuat. Karena itu banyak kota yang dibangun dengan benteng-benteng yang kuat dan megah (Hazor, Megido, Gezer) Yerusalem juga dijadikan ibukota Israel secara resmi. Perkembangan pola hidup dan pembangunan itu juga diikuti dengan perubahan dalam bidang ekonomi, politik dan kemiliteran. Lihat Th. C. Vriezen, Agama Israel Kuno, Jakarta : BPK-GM, 2003, p. 189-191. 5 dengan kekuasaannya ingin menunjukan kemakmuran dan kehebatan Israel yang telah mengalami perkembangan akibat perubahan-perubahan yang dilakukannya. Namun seiring dengan perubahan yang dilakukan Salomo dalam berbagai bidang, ia tidak melupakan amanat Daud untuk membangun sebuah “rumah bagi Tuhan”, yakni Bait Suci. Karena itu, ia memasukan pembangunan Bait Suci dalam salah satu proyek besarnya. Dengan memasukan Bait Suci dalam proyek besarnya, ada indikasi bahwa Salomo bukan sekedar merealisasi amanat Daud dan juga bukan sebagai “bapak pembangunan” saja, tetapi ada kepentingan penulis kitab raja-raja dibalik narasi ini dengan menampilkan Salomo sebagai tokoh utamanya yang merupakan representasi Israel. Sebab kemegahan bait serta semangat masyarakat Israel dengan keterlibatan sebagai pekerja rodi, tanpa protes, dan kerja sama dengan Hiram bukanlah serta-merta dimunculkan begitu saja. Ada kecurigaan bahwa penulis Raja-raja ingin memperlihatkan bahwa bangunan itu penting bagi mereka, terkait dengan ideologi yang dimilikinya. Ada apa dengan Bait Suci, sehingga penulis kitab Raja-raja secara detail mendeskripsikan pembangunannya mulai dari persiapan dengan berbagai cara yang ditempuh kerja sama Hiram, kerja rodi Israel, dan sebagainya – sampai pada pembangunannya dengan kemegahan yang luar biasa? Ideologi apa yang dimunculkan oleh penulis kitab ini terkait dengan narasi pembangunan ini? Apa pentingnya pembangunan bait itu bagi Israel? 2. Semangat Membangun Pada Masa Ezra, Masa Kekuasaan Persia (Ezra 2:68-69; 4:1-5). Bait Suci yang dibangun oleh Salomo telah dihancurkan oleh tentara Babilonia ketika Yerusalem jatuh. Namun ketika Koresy, raja Persia menjadi penguasa baru setelah berhasil menaklukan Babilonia pada tahun 538 B.C.E. Izin diberikan kepada Israel untuk pulang ke negerinya dan membangun kembali Yerusalem dan juga Bait Suci serta membawa perlengkapan 6 bait itu yang semula diambil oleh Nebukadnezar dibawah pimpinan Sesbazar.10 Masyarakat Israel yang kembali dari pembuangan merespons kebijakan Koresy itu yang mana dengan semangat mereka memberikan dukungan untuk membangun kembali Bait Suci. Dalam situasi sosial-ekonomi yang masih dalam pemulihan, beberapa kepala keluarga memberikan donasi sukarela untuk membiayai pembangunan bait itu. Donasi itu diberikan dalam bentuk enam puluh satu ribu dirham emas, lima ribu mina perak dan seratus helai kemeja imam, maupun dalam bentuk uang yang dibayar langsung kepada para tukang batu dan tukang kayu, serta dalam bentuk makanan, minuman dan minyak untuk orang-orang Sidon dan Tirus agar mereka membawa kayu aras dari Libanon.. Rombongan II yang kembali dari pembuangan dibawah Zerubabel dan Yesua pun mendukung pekerjaan pembangunan itu, dimana orang-orang Lewi yang berumur dua puluh tahun ke atas ditugaskan untuk mengawasi pekerjaan itu. Sementara Yesua, anak-anak dan saudara-saudaranya, serta orang-orang Israel lain bertugas mengawasi orang-orang yang melakukan pekerjaan itu. Menarik bahwa peletakan dasar bait itu diiringi dengan pujian maupun tangisan, sehingga suasana berubah menjadi hiruk-pikuk, tidak bisa membedakan suara tangisan dan pujian. Ekspresi itu mendeskripsikan betapa pentingnya bait itu bagi mereka, sehingga ada kebanggaan yang diliputi oleh kegembiraan dan keharuaan. Peletakan dasar bait semakin memberikan semangat untuk Israel terus melakukan pembangunan itu. Namun semangat itu mendapat tantangan dari lawan-lawan mereka yang mau campur tangan dalam pembangunan itu. Zerubabel dan tua-tua Israel yang menjadi representasi Israel menolak campur tangan para lawan itu, sehingga berujung pada upaya para lawan untuk membuat laporan kepada para pejabat Persia yang bernada “menghasut” dengan tujuan mendeskreditkan Israel. Tindakan para lawan itu berhasil, sehingga untuk sementara pekerjaan 10 Jacob M. Meyers, The Anchor Bible, Ezra-Nehemia. New York : Doubley & Company, Inc., 1965, p. 4. 7 pembangunan Bait Suci dihentikan sampai para pejabat melakukan investegasi. Akan tetapi investigasi itu tidak membuktikan tuduhan para lawan, sehingga izin kembali diberikan oleh pemerintah Persia yang saat itu diperintah oleh raja Darius (520 B.C.E) untuk meneruskan pembangunan Bait Suci, malahan pemerintah Persia pun turut membiayai pembangunan itu.11 Dengan demikian pembangunan bait itu berhasil diselesaikan pada tahun keenam pemerintahan raja Darius (515 B.C.E.)12 Ada apa dengan Bait Suci sehingga Israel membangun kembali bangunan itu setelah kembali dari pembuangan? Ideologi apa yang ingin dimunculkan oleh penulis kitab Ezra terkait dengan narasi pembangunan kembali Bait Suci? Apa arti penting pembangunan kembali Bait Suci bagi Israel? Dengan mengambil kedua kitab diatas, diharapkan dapat mengkaji arti penting di balik bangunan tersebut bagi Israel. 1.3. KERANGKA TEORI Upaya untuk menjawab persoalan tesis ini tentang arti penting gedung gereja bagi komunitas Kristen Ambon-Maluku maupun Bait Suci bagi Israel, dalam konteks Raja-raja dan Ezra akan menggunakan sebuah “pemikiran baru tentang agama dan simbol”, yang merupakan kolaborasi dari pemikiran Emile Durkheim13 dan kritik para ahli terhadap pemikirannya (Mircea Eliade, Max Weber, Daniel Pals, dan sebagainya). Penulis tidak menjelaskan teorinya pada bagian ini. Sebab penjelasan secara mendetail akan dilakukan dalam bab II. 1.4. PERUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH 11 Norman Gottwald, The Hebrew Bible : A Socio-Literary Introduction, Phliladelphia : Fotress Press, 1985, p.430. Ibid., p.431. 13 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religion Life, New York The Free Press, 1915. 12 8 Pengkajian mendalam dan terarah terhadap tesis ini dirumuskan dalam pertanyaanpertanyaan yang dibatasi penulis sebagai berikut : 1. Apa arti penting gedung gereja Silo bagi komunitas Kristen Ambon-Maluku sehingga pembelaan dan pengorbanan diberikan kepadanya? 2. Mengapa komunitas Kristen Ambon-Maluku bersikeras membangun kembali gedung gereja Silo di tengah-tengah kondisi sosio-ekonomi, politik yang masih terpuruk? 3. Apa arti penting pembangunan Bait Suci bagi Israel dalam narasi I Raja-raja 5 :1-18 dan Ezra 2:68-69 dan 4 :1-5, terkait dengan ideologi penulis kedua kitab tersebut? 4. Bagaimana memberikan sumbangan pemikiran yang kritis bagi komunitas Kristen AmbonMaluku, terkait dengan perilaku mereka dalam memahami dan memaknai pentingnya sebuah simbol agama bagi mereka? 1.5. TUJUAN PENULISAN 1. Mengungkapkan arti penting gedung gereja Silo bagi komunitas Kristen Ambon-Maluku sehingga pembelaan dan pengorbanan diberikan pada bangunan itu. 2. Mengungkapkan mengapa komunitas Kristen Ambon-Maluku bersikeras membangun kembali gedung gereja Silo pasca dibakar di tengah-tengah kondisi sosio-ekonomi, politik yang masih terpuruk 3. Mengungkapkan arti penting pembangunan Bait Suci bagi Israel dalam narasi I Raja-raja 5 :1-18 dan Ezra 2: 68-69 dan 4:1-5, terkait dengan ideologi penulis kedua kitab tersebut 4. Memberikan sumbangan pemikiran yang kritis bagi komunitas Kristen Ambon-Maluku, terkait dengan perilaku mereka dalam memahami dan memaknai pentingnya sebuah simbol agama bagi mereka? 9 1.6. JUDUL Penulis merangkum semua pembahasan tesis ini dengan judul : BANGUNAN SAKRAL Suatu Upaya Menggali Arti Penting Gedung Gereja Silo Bagi komunitas Kristen Ambon-Maluku dan Bait Suci Bagi Komunitas Israel Dalam Kitab Raja-Raja dan Ezra. 1.7. METODOLOGI PENELITIAN 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih penulis adalah di Gereja Silo. Pemilihan gedung gereja ini dengan pertimbangan bahwa : 1. Gedung gereja Silo menjadi pusat perhatian seluruh komunitas Kristen Ambon-Maluku sepanjang konflik. Sebab disamping posisinya pada daerah perbatasan Islam-Kristen, bangunan ini juga merupakan simbol kebanggaan mereka. 2. Isu maupun fakta bahwa gedung gereja ini dibakar telah memunculkan berbagai tindakan destruktif maupun anarkis yang banyak menelan korban dan harta benda. 3. Pembangunan gedung gereja Silo dengan kemegahan yang luar biasa pasca dibakar, di tengah-tengah kondisi masyarakat yang masih terpuruk menjadi awal fenomena pembangunan kembali gedung-gedung gereja yang telah dibakar pasca konflik. 2. Metode Penelitian Untuk mencapai tujuan tesis ini, metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian lapangan (field research) dan metode penelitian pustaka (library research) 10 a. Metode Penelitian Lapangan (field research) Penelitian ini digunakan untuk mencari data tentang gedung gereja Silo, secara khusus respons komunitas Kristen Silo dan komunitas Kristen Ambon secara umum tentang pembelaan, pengorbanan dan pembangunan kembali gedung gereja itu, terkait arti pentingnya bagi mereka. Karena itu informan kunci untuk mendukung pencarian data ini adalah para pendeta, anggota komunitas Silo maupun luar komunitas (beberapa orang) yang terlibat ataupun tidak terlibat dalam penjagaan dan pembelaan gedung gereja itu. Teknik yang penulis gunakan untuk mengumpulkan data dari informan adalah wawancara, namun penulis juga menggunakan questioner sebagai teknik sekunder saja. Dengan menggunakan teknik wawancara sebagai teknik primer maka jenis penelitian adalah kualitataif.14 b. Metode Penelitian Pustaka Di samping penelitian lapangan, penulis juga menggunakan penelitian pustaka dengan dukungan buku-buku, artikel-artikel ataupun berbagai tulisan lainnya yang terkait dengan tesis ini, baik data tentang konteks Ambon maupun data tentang kitab Raja-raja dan Ezra. 1.8. Teknik Analisa Data 1. Data lapangan Data lapangan akan dikroscek ulang setelah penulis kumpulkan. Data itu kemudian dideksripsikan dan dianalisa. Analisa data dilakukan dengan teliti dalam setiap pendapat dari responden atau informan yang telah penulis deskripsikan untuk mengetahui apa saja faktorfaktor yang turut mempengaruhi pemikiran dan prilaku anggota komunitas Kristen AmbonMaluku, terkait dengan tindakan penjagaan, pembelaan maupun pembangunan kembali gedung gereja Silo. Dengan mengetahui faktor-faktor itu, penulis akan melanjutkan analisa itu dengan menggunakan hasil kolaborasi pemikiran Durkheim dan para pengkritiknya 14 Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-dasar penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2003, p.4-5. 11 tentang agama dan simbol. Tujuannya adalah menganalisa korelasi faktor-faktor pemikiran itu, apakah arti penting itu terkait dengan apa yang dikatakan Durkheim dan para pengkritiknya ataukah ada faktor yang lain lag. 2. Data Pustaka Data tentang Bait Suci dan konteks Israel dalam kitab Raja-raja dan Ezra akan penulis deskripsikan dan analisa diseputar kepenulisannya (pengarang, tujuan penulisan, tempat dan waktu penulisan, situasi sosial penulisan, dan sebagainya) yang dilanjutkan dengan menganalisa narasi teks kedua kitab itu, secara khusus pasal-pasal yang menjadi fokus penulis. Analisa itu untuk mengetahui arti penting Bait Suci bagi Israel terkait dengan ideologi penulis kedua kitab itu. Tentunya exegese terhadap kedua kitab itu akan dilakukan dalam analisa. Analisa yang komperhensif terhadap kedua teks ini diharapkan mampu menjawab arti penting Bait Suci bagi Israel dalam kedua kitab itu. 1.9. SISTEMATIKA PENULISAN Tesis ini akan disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I yang berisi latar belakang masalah, teks Alkitab, kerangka teori, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penulisan, judul, metodologi penelitian serta sistematika penulisan. Bab II akan membahas teori yang digunakan untuk membantu permasalahan tesis ini terkait dengan arti penting sebuah simbol agama bagi komunitasnya. Pemikiran Emile Durkheim tentang agama dan simbol akan penulis gunakan sebagai titik berangkat, kemudian penulis akan mengkritisi pemikirannya itu dengan pemikiran para ahli (Max Weber, Daniel Pals, Mircea Eliade, dsb.), sehingga menghasilkan suatu kolaborasi pemikiran baru tentang agama dan simbol. Bab III berisi deskripsi data dan analisanya tentang gedung gereja Silo dan komunitas Kristen 12 Ambon-Maluku terkait dengan prilaku mereka dalam tindakan pembelaan dan pembangunan kembali gedung gereja itu. Tentunya hasil pemikiran yang baru tentang agama dan simbol dalam bab II akan penulis gunakan untuk menemukan jawaban dibalik tindakan mereka terhadap gedung gereja Silo. Sehingga upaya untuk menemukan arti penting gedung gereja Silo terkait dengan apa yang ada dibaliknya dapat dijawab. Bab IV berisi deskripsi data dan analisa tentang narasi pembangunan kembali Bait Suci pada masa Salomo (I Raja-raja 5:1-18) dan masa Ezra (2:68-69 dan 4:1-5), terkait dengan arti penting bait itu bagi Israel. Tentunya analisa komperhensif disekitar kepenulisan, yakni siapa pengarang, tempat dan waktu penulisan, tujuan penulisan, konteks sosialnya, serta ideologi penulis juga menjadi perhatian penulis. Setelah deksripsi dan analisa dilakukan secara komperhensif terhadap kedua kitab itu, hasil pemikiran baru tentang agama dan simbol dari bab II akan digunakan untuk menganalisa arti penting dari Bait itu bagi Israel.Dengan kata lain, apa yang ada dibalik Bait Suci, sehingga pembangunannya penting bagi mereka. Bab V berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. 13