tinjauan yuridis pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang

advertisement
TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERJANJIAN
PENGANGKUTAN BARANG ANTARA PT. AQUA TIRTA
INVESTAMA KLATEN DENGAN
CV. BINTANG JAYA
Skripsi
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
ILIK SUSENO
NIM: E 1102026
FAKULTAS HUKUM
UNIVESITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Dosen Pembimbing Skripsi
Munawar Kholil, S.H, M.Hum
NIP. 196810171994031003
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah diterima dan disahkan oleh
Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada
:
Hari
: Rabu
Tanggal
: 14 April 2010
TIM PENGUJI
(1)
: Hernawan Hadi, SH., M.H.
Ketua
NIP. 19600520 198601 1001
(2)
: Diana Tantri C., SH., M.H.
Sekretaris
NIP. 19721217 200501 2001
(3)
: Munawar Kholil, S.H., M.Hum.
Anggota
NIP. 19681017 199403 1003
Mengetahui,
Dekan
(Moh. Jamin, S.H., M.Hum.)
NIP. 19610930 198601 1001
iii
MOTTO
“Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Maka
apabila kamu selesai (dari satu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
(Q.S. Al-Insyirah : 6-7)
PERSEMBAHAN
iv
Dengan seluruh rasa cinta dan terima kasih Penulis persembahkan hasil penulisan
ini kepada :
Ø Bapak dan Ibu tercinta yang telah membesarkan dan mendidikku dengan
penuh kasih sayang dan kesabaran.
Ø Kakak-kakakku tersayang yang telah memberikan semangat dan motivasi
selama ini
Ø Adikku tercinta yang telah memberikan semangat, motivasi, kasih sayang dan
pengertian dalam menjalani hidup ini sehingga menjadikan hidupku lebih
berarti.
KATA PENGANTAR
v
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian
persyaratan mendapat gelar Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini. Namun, berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya,
disampaikan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk
menyusun skripsi ini.
2. Ibu Sri Wiyarti, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing, memberi nasehat dan masukan selama Penulis belajar di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
3. Bapak Munawar Kholil, S.H., M.Hum selaku Pembimbing penulisan hukum
ini yang telah menyediakan waktu dan pikiran beliau untuk membimbing dan
mengarahkan Penulis dalam menyusun skripsi ini.
4. Bapak Hernawan Hadi, S.H., M.H., selaku Ketua tim penguji yang telah
berkenan menyediakan waktu untuk menguji skripsi ini.
5. Ibu Diana Tantri Cahyaningsih, S.H., M.H., selaku Sekretaris tim penguji
yang telah berkenan menyediakan waktu untuk menguji skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen Fakultas Hukum UNS yang telah membagi ilmunya
kepada Penulis selama studi di Fakultas Hukum UNS.
7. Bapak dan ibu dosen Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah
memberikan izin atas judul skripsi ini sehingga Penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang telah membantu
Penulis selama studi di Fakultas Hukum UNS.
9. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu proses penyusunan skripsi ini.
Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan yang lebih
baik di sisi Allah SWT.
vi
Karya ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan dalam penelitian ini. Akhirnya,
semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat dalam ilmu hukum.
Surakarta, 26 April 2010
ILIK SUSENO
E 1102026
DAFTAR ISI
halaman
vii
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................
v
KATA PENGANTAR.................................................................................
vi
DAFTAR ISI................................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
x
ABSTRAK ..................................................................................................
xi
BAB I. PENDAHULUAN...........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah...........................................................
1
B. Perumusan Masalah .................................................................
5
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
6
D. Manfaat Penelitian ...................................................................
6
E. Metode Penelitian ....................................................................
7
F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................
10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................
12
A. Kerangka Teori .......................................................................
12
1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian ..................................
12
2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Baku..........................
30
3. Tinjauan Umum tentang Pengangkutan.............................
36
B. Kerangka Pemikiran.................................................................
45
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .........................
46
A. Deskripsi Umum tentang CV. Bintang Jaya dengan PT.
Aqua Tirta Investama...............................................................
46
1. Deskripsi tentang CV. Bintang Jaya ..................................
46
2. Deskripsi tentang PT. Aqua Tirta Investama Klaten .........
50
B. Proses Pengikatan Perjanjian Pengangkutan Barang
antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV.
Bintang Jaya.............................................................................
viii
55
C. Tanggung Jawab Hukum Masing-Masing Pihak dalam
Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan Barang ........................
D. Hambatan
dan
Penyelesaian
dalam
61
Pelaksanaan
Perjanjian Pengangkutan Barang antara PT. Aqua Tirta
Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya ...........................
64
BAB IV. PENUTUP ....................................................................................
69
A. Simpulan ...................................................................................
69
B. Saran..........................................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
73
ix
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
1.
Perjanjian Kerjasama Jasa Pengangkutan ............................................
2.
Addendum I dari Perjanjian Kerjasama Jasa Pengangkutan................ 106
3.
Addendum II dari Perjanjian Kerjasama Jasa Pengangkutan .............. 118
4.
Addendum III dari Perjanjian Kerjasama Jasa Pengangkutan ............. 129
5.
Addendum I dari Perjanjian Kerjasama Jasa Pengangkutan................ 137
6.
Surat Keterangan.................................................................................. 138
7.
Collection / Return Order Aqua ........................................................... 139
8.
Delivery Note / Surat Jalan .................................................................. 140
9.
Bukti Terima Barang dari Suplier........................................................ 141
x
72
ABSTRAK
ILIK SUSENO, E 1102026, TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN
PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG ANTARA PT. AQUA TIRTA
INVESTAMA KLATEN DENGAN CV. BINTANG JAYA. Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2010.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahu proses pengikatan perjanjian
pengangkutan barang, tanggung jawab hukum masing-masing pihak dalam
pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang serta hambatan dalam pelaksanaan
perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan
CV. Bintang Jaya.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan
menggunakan metode pendekatan empiris. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan menggunakan jenis data primer melalui penelitian
lapangan, dan jenis data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka dan
dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pengikatan perjanjian
pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV.
Bintang Jaya diawali dengan adanya penawaran dari pihak pengangkut. Perjanjian
disahkan dengan adanya penandatanganan kontrak perjanjian pengangkutan antara
kedua pihak. Pelaksanaan perjanjian kerjasama jasa pengangkutan barang berjalan
relatif lancar meskipun terdapat beberapa permasalahan namun tidak mengancam
pengakhiran perjanjian tersebut oleh pihak pertama. Para pihak mempunyai
tanggung jawab masing-masing dalam perjanjian kerjasaman. CV. Bintang Jaya
selaku pihak pengangkut bertanggung jawab membayar ganti kerugian kepada PT.
Aqua Tirta Investama apabila terjada kesalahan atau kelalaian selama proses
pengangkutan. Segala kemungkinan resiko yang mungkin akan terjadi karena
human error selama proses pengangkutan dan proses bongkar muat produk oleh
pihak kedua akan menjadi resiko dan tanggungan yang akan dibebankan oleh
pihak pertama kepada pihak kedua. PT. Aqua Tirta Investama selaku pihak
pengangkut berkewajiban melakukan pembayaran atas jasa pengangkutan secara
tepat waktu sesuai dengan harga yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama jasa angkut antara
PT. Tirta Investama dengan CV. Bintang Jaya dapat berasal dari kepentingan para
pihak maupun dari faktor alam.
Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah perlunya suatu perjanjian untuk
mengikat para pihak yang masing-masing terikat oleh hak dan kewajiban atas
suatu prestasi. Sedangkan implikasi praktisnya adalah hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh para pihak yang terkait.
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakekat dari suatu pembangunan mengandung aspek dinamika, artinya
bahwa pembangunan merupakan kegiatan terus-menerus yang tidak terbatas
waktu tertentu, namun seiring dengan perkembangan jaman dan peradaban
manusia. Seperti halnya bangsa Indonesia, dengan gejolak yang sedemikian rupa
Indonesia akan tetap selalu berusaha dan selalu tumbuh guna mengikuti peradaban
dari waktu ke waktu, hal ini tidak lain adalah untuk mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV
dengan melalui program pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan
berkesinambungan.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, harus dicapai kenaikan produksi
dan jasa di berbagai sektor pembangunan ekonomi yang meliputi : Pertanian,
Pertambangan Energi, Perhubungan, Perdagangan dan lain-lain yang tetap
berorientasi pada perluasan kerja, sehingga dapat mewujudkan struktur ekonomi
yang seimbang dari segi nilai tambah maupun dari segi penyerapan tenaga kerja.
Dalam sektor pertambangan misalnya, sumber-sumber alam Indonesia harus
dipergunakan secara rasional. Penggalian kekayaan alam harus diusahakan agar
tidak merusak tata lingkungan hidup manusia dilaksanakan dengan kebijakan
yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan generasi
yang akan datang. Penggunaan sumber alam dan lingkungan hidup harus
diarahkan supaya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan rakyat dan tetap memperhatikan keseimbangan, keselarasan dan
kelestariannya.
xii
Pembangunan
pertambangan
perlu
ditingkatkan
dan
dilanjutkan,
inventarisasi dan pemetaan, eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam berupa
sumber mineral dan energi dengan memanfaatkan teknologi yang tepat guna
sehingga produksi dan ekspor pertambangan serta penerimaan negara akan
semakin meningkat. Untuk itu perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk mengolah
bahan air mineral tersebut. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sektor
pertambangan air mineral menunjukkan peranan penting dalam perekonomian
negara, yaitu memegang peranan penting sebagai sumber pendapatan daerah,
sumber penerimaan negara serta sebagai pendukung utama pemakaian potensi
kekayaan alam berupa air mineral untuk konsumen.
Mengingat
semakin
pentingnya
bahan
galian
air
mineral
bagi
kesejahteraan rakyat maka sudah saatnya produksi air mineral dikembangkan
berdasarkan jiwa dan isi Pasal 33 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar 1945, yang
berbunyi:
Ayat 2: “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai negara.”
Ayat 3: “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat.”
Pemenuhan
air
mineral
terutama
dalam
pendistribusiannya,
transportasi/angkutan jalan sangatlah diperlukan sebab merupakan salah satu
aspek penting dalam bidang ekonomi dan industri, terutama dalam dunia
perdagangan adalah aspek transportasi. Angkutan jalan mempunyai peranan untuk
memperlancar mobilitas orang maupun barang, hal ini juga nampak dalam
kehidupan kita sehari-hari, begitu banyak kebutuhan kita yang berhubungan
dengan jasa angkutan jalan. Mengenai arti pentingnya angkutan jalan, dalam
penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, pada bagian umum, alinea II dijelaskan bahwa:
xiii
“Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung
pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Dibidang perdagangan dan industri, pengangkutan tidak dianggap secara
tidak langsung menambah nilai suatu barang. Karena suatu barang hasil produksi
yang ditinggalkan begitu saja tidak akan ada gunanya. Suatu barang berguna bila
dapat dinikmati oleh konsumen. Jadi dalam hal ini, pengangkutan memiliki fungsi
sebagai sarana agar hasil produksi dapat sampai dipasaran atau ditempat yang
dikehendaki dan akhirnya dapat dinikmati oleh konsumen (Frank H Howard, 1991
: 1)
Istilah “distribusi” telah disinggung dalam uraian diatas. Kata ini sangat
dikenal dalam bidang industri, yang diterjemahkan sebagai berikut:
1. Membagi diantara beberapa tempat
2. Membagi-bagikan
3. Mengedarkan ke suatu tempat
4. Menyebarkan
Kata-kata tersebut semuanya seolah menunjuk dalam arti: “angkut”. Kata
angkut dalam dunia industri diterima sebagai “penyelenggaraan segala
kegiatan usaha niaga yang tercakup dalam pengangkutan barang dari tempat
pengolahan atau pembikinan sampai ke tempat penjualan kepada pelanggan”
(Frank H Howard, 1991 : 1).
Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan memberikan definisi yang agak berbeda dengan apa yang lazim diterima
xiv
dalam bidang industri mengenai angkutan. Pada bagian umum Pasal 1 dinyatakan
bahwa yang dimaksud dengan angkutan adalah: “perpindahan orang dan/atau
barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang
lalu lintas jalan.”
Salah satu pihak yang memegang peranan penting dalam pendistribusian
produk Air Minum Dalam Kemasan adalah pengusaha transportir / kontraktor
angkutan Air Minum Dalam Kemasan. Sedangkan CV. Bintang Jaya adalah salah
satu transportir Air Minum Dalam Kemasan dari sekian transportir yang
ada.Untuk adanya hubungan kerja antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan
para transportir maka dituangkan dalam suatu perjanjian. Pelaksanaan Perjanjian
Pengangkutan Air Minum Dalam Kemasan antara transportir Air Minum Dalam
Kemasan CV. Bintang Jaya dengan PT. Aqua Tirta Investama Klaten ini diadakan
di kantor pusat Aqua Jl. Pulo Lentut No. 3 Kawasan Industri Pulo Gadung Jakarta
13920. Perjanjian tersebut berisi antara lain hak dan kewajiban dari para pihak
yang harus mereka penuhi, hubungan-hubungan apa yang terjadi diantara mereka
dan menentukan sejauh mana hukum yang mengatur antara pihak yang
menandatangani perjanjian kerjasama tersebut. Perjanjian tersebut belum diatur
dalam KUH Perdata khususnya dalam Hukum Perjanjian, akan tetapi perjanjian
tersebut adalah sah, karena Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Sistem
terbuka disini artinya adalah memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk membuat perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal hukum perjanjian
dinamakan pelengkap berarti pasal-pasal yang membuat perjanjian (Subekti, 1985
: 13).
Syarat syahnya perjanjian ada empat :
1. Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
xv
Demikian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
(Subekti, 1985 : 17).
Mengingat begitu pentingnya peranan Air Mineral dalam mencukupi
bangsa Indonesia, disamping hal tersebut melihat peranan PT. Aqua Tirta
Investama Klaten dalam memasarkan dan mendistribusikan Air Minum Dalam
Kemasan kepada para konsumen didalam negeri, yang dalam hal ini dibantu oleh
pihak swasta yaitu yang salah satunya adalah para transportir, selain itu juga
bahwa dengan melihat kenyataan yang ada dilapangan ternyata masih banyak
perusahaan angkutan/transportir Air Minum Dalam Kemasan yang nakal atau
melakukan penyimpangan dari ketentuan perjanjian yang ada, hal ini dapat kita
lihat pada kenyataan misalnya dalam pengiriman Air Minum Dalam Kemasan
dipandang dari segi kualitas terdapat perusahaan angkutan/transportir Air Minum
Dalam Kemasan yang dengan sengaja mencampur air mineral dengan air sumur
lain yang kualitasnya lebih rendah ataupun dengan bahan yang lain. Selain hal
tersebut dilihat dari segi kuantitas bahwa adanya pencurian air mineral akan
mengurangi tonase air mineral yang diangkut, dan masih banyak lagi kejadiankejadian yang menyimpang dari ketentuan dimana dengan adanya kejadian
tersebut akan sangat merugikan konsumen.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana proses pengikatan perjanjian pengangkutan barang antara PT.
Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya?
2. Bagaimana tanggung jawab hukum masing-masing pihak dalam pelaksanaan
perjanjian pengangkutan barang?
3. Hambatan apa sajakah dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang
antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya dan
bagaimana penyelesaiannya?
xvi
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif
a. untuk mengetahui proses pengikatan perjanjian pengangkutan barang
antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya.
b. untuk mengetahui tanggung jawab hukum masing-masing pihak dalam
pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang.
c. untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan perjanjian
pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV.
Bintang Jaya dan penyelesaiannya
2. Tujuan Subjektif
a. untuk memeperoleh data-data yang diperlukan dalam penulisan hukum
sebagai syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. untuk menambah dan memperluas pengetahuan penulis dalam ilmu
hukum, khususnya mengenai hukum perjanjian.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum,
khususnya hukum perdata.
b. memberikan gambaran mengenai perjanjian pengangkutan, khususnya
mengenai pelaksanaan perjanjian pengangkutan air minum dalam
kemasan.
c. menambah informasi dan pengetahuan bagi masyarakat mengenai
perjanjian pengangkutan air minum dalam kemasan.
xvii
2. Manfaat Praktis
a. hasil penelitian ini akan menambah pengetahuan dan wawasan bagi
penulis mengenai hukum perdata.
b. hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang terkait.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika,dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. (Soerjono
Soekanto, 2005 : 43).
Metode berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana
tertentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk mencapai tujuan, artinya peneliti
tidak bekerja secara acak-acakan. Langkah-langkah yang diambil harus jelas serta
ada perbatasan-perbatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan
dan tidak terkendalikan (Johny Ibrahim, 2005 : 294).
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
penelitian hukum empiris, yaitu penelitian dengan pendekatan empiris.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis bersifat deskriptif, yakni
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah
terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di
xviii
dalam memperkuat teri-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teoriteori baru (Soerjono Soekanto, 1984 : 10).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan Empiris adalah sebagai suatu usaha mendekati masalah
yang akan diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyatan
yang hidup dalam masyarakat (Hilman Hadikusumo, 1995:61-61).
4. Jenis Data dan Sumber Data
a. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama data ini
berdasarkan “field research” (penelitian lapangan). Dalam hal ini penulis
mempelajari berkas-berkas maupun melalui para pihak yang terkait langsung
dengan permasalahan yang diteliti yang bertindak sebagai responden. Para
pihak tersebut adalah Direktur CV. Bintang Jaya maupun petugas-petugas
yang telah ditunjuk oleh PT. Aqua Tirta Investama Klaten.
b. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung memberikan
keterangan tambahan atau keterangan pendukung data primer. Sumber data
termasuk dalam data ini adalah data yang diperoleh dalam bahan pustaka,
dokumen-dokumen, pendapat para ahli, tulisan-tulisan dalam buku ilmiah dan
literatur-literatur pendukung.
5. Teknik Pengumpulan Data
Data-data dalam penelitian ini diperoleh denganis mempergunakan
beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut :
a. Teknik pengumpulan data primer
xix
Teknik ini dilakukan dengan mengadakan penelitian langsung yang akan
mendapatkan data yang dipercaya keasliannya. Adapun tehnik yang
digunakan dalam pengumpulan data primer adalah :
1) Observasi atau pengamatan
Observasi diartikan sebagai : “Suatu proses untuk mengadakan
penjajagan tentang perilaku manusia atau kelompok manusia
sebagaimana terjadi dalam kenyataan, kemudian membuat deskripsi
langsung tentang kehidupan sosialnya secara lengkap.” (Soenaryo dan
MG. Sriwiyati, 1992 : 25).
Penulis mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek yang akan
diteliti yaitu Transportir CV. Bintang Jaya dan PT. Aqua Tirta
Investama Klaten.
2) Wawancara atau interview
Pengumpulan instrumen ini dilakukan dengan cara mengadakan
wawancara secara bebas terpimpin atau komunikasi langsung dengan
responden, dalam hal ini dilakukan terhadap para informan terpilih
yaitu dengan direktur CV. Bintang Jaya maupun dengan petugaspetugas yang telah ditunjuk oleh PT. Aqua Tirta Investama Klaten.
b. Teknik pengumpulan data sekunder
Pengumpulkan data sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini,
dilakukan dengan cara :
1) Studi pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis
literatur yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu berupa buku-buku
peraturan perundang-undangan, surat kabar, hasil penelitian, dokumendokumen serta artikel-artikel yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti.
xx
2) Metode dokumentasi
Pengumpulan data melalui metode dokumentasi dilakukan dengan cara
menyelidiki dengan penguraian dan penjelasan yang telah lalu melalui
sumber-sumber dokumen. Uraian tersebut dipilih data yang ada
hubungannya dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Data
tersebut diperoleh dari transportir CV. Bintang Jaya dan PT. Aqua
Tirta Investama Klaten.
6. Analisis Data
Setelah data dikumpulkan dengan lengkap, langkah selanjutnya yang
akan ditempuh adalah melakukan analisa data. Pada tahap ini data dikerjakan
dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenarankebenaran yang dapat dipakai menjawab persoalan-persoalan yang diajukan
dalam penelitian. Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif
sehingga setelah semua data terkumpul, analisa yang dilakukan adalah analisa
kualitatif, sedangkan yang dimaksud analisa kualitatif adalah: “Suatu tata cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dalam perilaku yang
nyata, yang diteliti atau dipelajari sebagai sesuatu yang utuh” (Soerjono
Soekanto, 1984 : 50).
Adapun analisis data dilakukan dengan jalan mengumpulkan datadata yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti baik yang bersifat
primer maupun sekunder. Data yang terkumpul tersebut selanjutnya diteliti
dan juga memberikan penafsiran terhadap data-data itu, baru kemudian
menarik suatu kesimpulan. Atau disebut sebagai model Analisis Interaktif.
xxi
F. Sistematika Skripsi
Berikut sistematika penulisan hukum untuk mempermudah dalam
mempelajari dan memahami gambaran tentang garis besar penulisan hukum ini,:
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini penulis akan menjelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah,
tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini penulis menguraikan kerangka teori dan kerangka pemikiran.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas mengenai proses pengikatan perjanjian pengangkutan barang,
tanggung jawab hukum masing-masing pihak dalam pelaksanaan perjanjian
pengangkutan barang, serta hambatan dan penyelesaian masalah dalam
pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta Investama
Klaten dengan CV. Bintang Jaya.
BAB IV
PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran.
xxii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Pada hakekatnya perjanjian itu adalah salah satu sumber perikatan.
Oleh karena itu sebelum penyusun membahas masalah perjanjian penulis
akan meninjau dahulu hubungan antara perjanjian dengan perikatan.
Pengertian
perikatan,
undang-undang
tidak
memberikan
definisinya, sehingga hal ini diserahkan sepenuhnya pada perkembangan
ilmu pengetahuan.
Mengenai istilah tersebut yaitu perjanjian maupun perikatan, dalam
menterjemahkan masih belum adanya keseragaman antara penulis yang
satu dengan penulis yang lain, sehingga masih ada kekacauan dalam
penterjemahan tersebut. Hal ini dapat kita lihat seperti apa yang telah
diungkapkan dalam bukunya R. Setiawan, S.H., yang mengutip pendapat
dari beberapa penulis antara lain:
1) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjitro
Sudibyo menggunakan istilah perikatan untuk “verbintenis” dan
perutangan untuk “overenkoms”.
xxiii
2) Utrecht dalam bukunya: Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai
istilah
perutangan
untuk
“verbintenis”
dan
perjanjian
untuk
“overenkoms” (R. Setiawan, 1987 : 1).
Adanya pendapat-pendapat tersebut diatas, selanjutnya R. Setiawan
mengemukakan pendapat sebagai berikut:
“Dari beberapa istilah yang disebutkan dimuka, kami mengikuti istilah
“Perikatan”, sebab kami menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa
istilah perikatan tersebut adalah mendekati pengertian “Verbintenis”,
dimana para pihak dalam suatu perikatan masing-masing terikat oleh hak
dan kewajiban atas suatu prestasi.”
Sedangkan mengenai perjanjian menurut Subekti mendefinisikan:
“Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal” (Subekti,
1985 : 1).
Peristiwa diatas menyebabkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya,
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janjijanji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sehingga dapat kita
lihat bahwa perikatan itu bentuknya abstrak sedang perjanjian bentuknya
konkret. Abstrak disini maksudnya bahwa kita tidak dapat melihat dengan
mata kepala kita apa itu perikatan, tetapi kita dapat melihat atau membaca
suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya.
Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian
itu menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang
melahirkan perikatan. Perikatan paling banyak diterbitkan oleh perjanjian,
meski ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan yaitu
undang-undang. Perjanjian pada umumnya diatur dalam Bab II Buku III
KUH Perdata, sedangkan ketentuan khususnya diatur dalam Bab V sampai
Bab XVIII ditambah Bab VIIA yang merupakan perjanjian khusus.
xxiv
Pengertian perjanjian diatur dalam Bab II Buku III Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Pasal 1313 KUH Perdata:
“Suatu perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.”
Ketentuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata menurut Abdulkadir
Muhammad, mempunyai kelemahan:
1) Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini diketahui dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih, kata kerja ‘mengikat’ sifatnya
hanya datang dari satu pihak, tidak dari kedua pihak, seharusnya
perumusan itu “saling mengikatkan diri”. Jadi ada konsensus diantara
pihak-pihak.
2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.
Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas
tanpa kuasa (onrechmatige daad) yang tidak mengandung suatu
konsensus, seharusnya dipakai kata “persetujuan”.
3) Pengertian
perjanjian
luas,
karena
mencakup
juga
masalah
pelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan
hukum keluarga, padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara
debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja.
4) Tanpa menyebut tujuan
Perumusan Pasal ini tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian
sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu juga tidak jelas untuk apa.
(Abdulkadir Muhammad, 1990 : 77).
xxv
Abdulkadir Muhammad memberikan definisi mengenai perjanjian sebagai
berikut:
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan” (Abdulkadir Muhammad, 1990 : 78).
Beberapa definisi tersebut maka mengenai perjanjian yang
dikemukakan oleh para sarjana tersebut dapat disimpulkan bahwa
perjanjian merupakan suatu perbuatan atau tindakan hukum dimana satu
orang atau lebih saling mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih
lainnya.
b. Syarat Syahnya Perjanjian
Suatu perjanjian menjadi sah apabila memenuhi syarat yang telah
ditentukan undang-undang, sehingga perjanjian itu diakui oleh hukum.
Suatu perjanjian sah, bila memenuhi empat syarat yang telah ditentukan
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
1) Sepakat mengikatkan diri.
Syarat kesepakatan ini penting karena bagi sebagian besar
perjanjian syarat ini menentukan lahirnya atau ada tidaknya perjanjian
suatu perjanjian.
Sepakat berarti kedua pihak yang mengadakan perjanjian harus
setuju, seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang
diadakan tersebut. Apa yang mereka kehendaki sama secara timbal
balik (R. Subekti, 1985 : 17).
Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa persetujuan
disini sifatnya sudah mantap tidak lagi dalam perundingan. Memang
xxvi
sebelum
ada
persetujuan,
biasanya
pihak-pihak
mengadakan
perundingan (negotiation).
“....perundingan (negotiation), yaitu pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syaratsyaratnya. Sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula
kehendaknya itu, sehingga tercapailah persetujuan yang mantap.
Kadang-kadang itu dapat dinyatakan secara tegas dan kadang
diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki
pihak lain itu” (Abdulkadir Muhammad, 1990 : 89 - 90).
Sehubungan
dengan
adanya
syarat
kesepakatan
untuk
mengikatkan diri dalam membuat suatu perjanjian, maka didalam
KUH Perdata ditentukan pula tentang beberapa hal yang dapat
menimbulkan cacat pada kesepakatan, maka harus berpedoman pada
ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu dibikin karena kekhilafan
atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Ketentuan hal tersebut dimaksudkan bahwa perkataan apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga dikehendaki oleh pihak
yang lain tanpa adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan, sebab jika
demikian perjanjian tersebut dianggap tidak sah sehingga dapat
dimintakan pembatalan, dan pihak yang dapat membatalkan adalah
pihak yang merasa dipaksa atau merasa tertipu dengan timbulnya suatu
perjanjian. Atau dengan kata lain bahwa kedua belah pihak atau yang
mengadakan perjanjian harus mempunyai kebebasan berkehendak
tanpa tekanan yang dapat menimbulkan cacat.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Hakekatnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat
pikirannya adalah sehat menurut hukum. Hal tersebut merupakan
syarat yang penting karena orang yang membuat suatu perjanjian akan
terikat oleh perjanjian yang dibuatnya dan ia harus mampu mengetahui
xxvii
secara benar tanggung jawab yang timbul. Orang yang tidak sehat
pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab tersebut, dan
orang yang berada di bawah pengampunan tidak dapat berbuat bebas
dengan harta kekayaannya dan mempunyai kedudukan sama dengan
anak yang belum dewasa. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata
dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan bila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak
cakap. Kemudian dalam Pasal 1330 diatur bahwa yang tidak cakap
untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah:
a) Orang-orang yang belum dewasa
Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, ditentukan bahwa
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
dua puluh satu dan sebelumnya belum menikah”. Jadi dewasa
menurut Pasal 1330 KUHP Perdata adalah mereka yang telah
berusia 21 tahun atau sebelumnya sudah kawin.
Sedangkan menurut Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dapat disimpulkan bahwa orang dewasa adalah mereka
yang telah berusia 18 tahun atau sebelumnya sudah kawin.
b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan
Pasal 433 KUH Perdata, ditentukan bahwa orang-orang
yang diletakkan dibawah pengampunan adalah setiap orang dewasa
yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan
boros. Oleh pembuat undang-undang, mereka dipandang tidak
mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu dianggap
tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian.
c) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa
xxviii
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Pasal 108 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa seorang
perempuan yang telah bersuami tidak cakap untuk mengadakan
perjanjian. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 3 tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 yang mencabut
Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang
istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di
depan pengadilan dengan izin atau bantuan suaminya, maka
kedudukan wanita yang telah bersuami berada dalam derajat yang
sama dengan pria. Jadi seorang wanita yang telah bersuami dapat
mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di pengadilan tanpa
bantuan suaminya. Bahkan dalam Pasal 31 Undang-undang No. 1
tahun 1974 dinyatakan bahwa hak kewajiban suami istri adalah
seimbang. Jadi istri berhak melakukan suatu perbuatan hukum
termasuk mengadakan perjanjian.
Pembuatan perjanjian, pihak yang membuat bisa berupa badan
hukum. Kemudian badan yang sah adalah badan, baik badan usaha
maupun sosial karena memenuhi unsur pokok suatu subyek hukum
yaitu dapat melakukan perbuatan hukum atau dapat menjadi pribadi /
subyek dari suatu hubungan hukum. Suatu badan hukum dalam
melakukan perbuatan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus
atau direksi dan pengurus ini harus ditentukan dalam peraturan atau
akta pendiriannya.
3) Suatu hal tertentu.
Syarat ini berarti mengenai apa yang diperjanjikan hak-hak dan
kewajiban kedua belah pihak jika nantinya timbul suatu perselisihan.
Suatu perjanjian harus mempunyai pokok atau obyek suatu barang,
barang minimal dapat ditentukan jumlahnya. Pokok atau obyek
xxix
perjanjian tidak hanya dapat berupa benda tapi juga dapat berupa jasa
misalnya perjanjian kerja. Bila perjanjian tidak dapat sama sekali
ditentukan pokok obyek perjanjian itu maka perjanjian itu menjadi
batal (tidak sah).
4) Suatu sebab yang halal.
Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri dan
bukan sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian.
Suatu perjanjian tanpa sebab atau telah dibuat karena suatu sebab yang
palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan dengan kata lain
perjanjian itu tidak sah/batal (Pasal 1320 dan Pasal 1335 KUH
Perdata). Menurut Hardijan Rusli, suatu sebab dikatakan ada bila
terdapat kontra prestasi yang disetujui dari suatu prestasi. Prestasi dan
kontra prestasi yang salah satunya adalah kewajiban dan yang lainnya
adalah syarat yang terdapat dalam perjanjian unilateral.
Menurut Pasal 1337 KUH Perdata, suatu sebab halal bila tidak
bertentangan
dengan
Undang-undang,
ketertiban
umum
dan
kesusilaan. Perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ini tidak
diperbolehkan.
Keempat syarat tersebut merupakan syarat pokok adanya
perjanjian. Keempat syarat tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, dua syarat pertama adalah sebagai syarat subyektif, karena
mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedang
syarat yang lainnya dinamakan syarat obyektif, atau obyek dari perbuatan
hukum yang dilakukan.
Pembedaan syarat-syarat sahnya perjanjian dalam dua kelompok
tersebut oleh banyak ahli hukum digunakan untuk mengetahui apakah
perjanjian itu batal demi hukum (void ab initio) ataukah perjanjian yang
xxx
dapat dimintakan pembatalannya (voidable). Perjanjian yang batal demi
hukum adalah perjanjian yang dari semula sudah batal, hal ini berarti tidak
pernah ada suatu perjanjian. Sedangkan perjanjian yang dapat dimintakan
pembatalan adalah perjanjian yang mulanya berlaku tapi kemudian
dimintakan suatu pembatalan. Jadi selama perjanjian tidak dibatalkan (oleh
Hakim) atas permintaan pihak yang berhak membatalkan, maka perjanjian
tersebut sah (Hardijan Rusli, 1993 : 44-45).
Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat tersebut tidak terpenuhi,
perjanjian itu batal demi hukum. Artinya: dari semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan, dan
mengenai
syarat
subyektif,
jika syarat
tersebut
tidak
dipenuhi,
perjanjiannya tidak batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai
hak untuk meminta supaya perjanjian itu dapat dibatalkan.
c. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian
Terdapat beberapa asas penting dalam Hukum Perjanjian yang
perlu diketahui. Asas ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari kata “konsensus” yang artinya
kesepakatan. Dengan kata lain, bahwa perjanjian sudah sah bila sudah
sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan hal ini tidak memerlukan
formalitas. Meski ada kalanya perjanjian itu dilaksanakan secara
tertulis, sehingga dengan demikian perjanjian itu dirasa lebih
mempunyai kekuatan hukum, dan hal ini pula dapat dijadikan suatu
bukti bilamana salah satu pihak wanprestasi. Keberadaan asas ini
terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Asas ini sangat erat
hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
2) Asas Kebebasan Berkontrak
xxxi
Hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada masyarakat
untuk membuat perjanjian apa saja dan dapat menentukan isi diluar
yang telah ditentukan oleh undang-undang, asal tidak bertentangan
dengan undang-undang kesusilaan, dan ketertiban umum. Mereka
berhak menentukan kepentingan mereka sendiri dan dengan siapa
mereka akan mengadakan perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 (1) KUH
Perdata. Ketentuan ini berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
3) Asas Kepercayaan
Seorang yang mengadakan perjanjian kepada orang lain
menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu
sama lain akan memegang janjinya atau memenuhi prestasi yang
disanggupinya dikemudian hari. Tanpa kepercayaan itu maka
perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan
kepercayaan ini kedua belah pihak akan mengikatkan dirinya dan
untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai
undang-undang.
4) Asas Pacta Sunct Servanda (asas kekuatan mengikat)
Asas Pacta Sunct Servanda merupakan asas mengikatnya
perjanjian. Asas ini dalam KUH Perdata dapat disimpulkan dari Pasal
1338 ayat 1 yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari
kata-kata “berlaku sebagai undang-undang” mempunyai arti bahwa
mengikatnya suatu perjanjian adalah dari segi isinya, bagi para pihak
adalah mengikatnya seperti mengikatnya undang-undang. Sehingga
tidak ada seorang lagi yang dapat mencampuri atau menghalangi
xxxii
berlakunya perjanjian tersebut, selama perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan.
5) Asas Itikad Baik (goede trouw)
Asas
ini
berhubungan
dengan
dilaksanakannya
suatu
perjanjian, yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang
menyebutkan bahwa:
“Perjanjian-perjanjian
harus
dilaksanakan
dengan
itikad
baik.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal ini maka dalam melaksanakan
suatu perjanjian, bila dalam masalah yang dihadapi belum ada
aturannya maupun sudah tidak memenuhi rasa keadilan dan
berdasarkan perkembangan zaman, maka para pihak diharuskan
menyelesaikan dengan itikad baik”.
d. Para Pihak dalam Perjanjian
Pihak dalam perjanjian menurut Subekti adalah tentang siapa-siapa
yang tersangkut dalam perjanjian. Pihak dalam perjanjian ini disebut
subyek perjanjian. Subyek perjanjian ini harus mampu dan berwenang
melakukan perbuatan hukum.
Pasal 1315 KUH Perdata, pada umumnya tiada seorangpun dapat
mengakibatkan dirinya atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya
suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. Asas tersebut dinamakan asas
kepribadian suatu perjanjian. Arti mengikatkan diri ditujukan pada
memikul kewajiban-kewajiban atau menyanggupi melakukan sesuatu,
sedangkan minta ditetapkan suatu janji, ditujukan untuk memperoleh hakhak atas sesuatu atau dapat menuntut sesuatu. Sehingga perikatan hukum
yang dilakukan oleh suatu perjanjian hanya mengikat orang-orang yang
mengadakan suatu perjanjian itu sendiri dan tidak mengikat orang-orang
lain. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban antara
xxxiii
para pihak yang membuatnya. Orang-orang lain adalah pihak ketiga yang
tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian tersebut.
Suatu perikatan hukum yang dilahirkan oleh suatu perjanjian,
mempunyai dua sudut yaitu sudut kewajiban-kewajiban (obligation) yang
dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh
oleh lain pihak yaitu hak-hak untuk menuntut dilaksanakannya sesuatu
yang disanggupi dalam perjanjian itu. Perkataan mengikatkan diri
ditujukan pada sudut kewajiban (hal-hal yang tidak enak). Lazimnya suatu
perjanjian adalah timbal balik atau bilateral, suatu pihak yang memperoleh
hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang
merupakan kebalikannya dari hak-hak yang diperolehnya dan sebaliknya
suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak-hak
yang
dianggap
sebagai
kebalikan
kewajiban-kewajiban
yang
dibebankannya itu.
e. Risiko
Subekti memberikan definisi sebagai berikut:
“Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu
kejadian diluar kesalahan salah satu pihak.”
Jadi risiko berpangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan
salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, dalam hukum perjanjian
dinamakan sebagai keadaan memaksa.
Sedangkan dalam KUH Perdata pada bagian umum buku III
terdapat salah satu Pasal yang sebenarnya menyatakan tentang risiko, yaitu
Pasal 1237 yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu,
maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah tanggungan si
berpiutang”.
xxxiv
Perkataan tanggungan dalam pasal ini sama dengan “risiko”. Tetapi dalam
Pasal ini risiko yang dimaksud hanya pada perjanjian sepihak, seperti
halnya perjanjian penghibahan dan perjanjian pinjam pakai.
Pasal lain pada KUH Perdata yang mengatur mengenai risiko
untuk perjanjian timbal balik terdapat dalam bagian khusus jaul beli, tukar
menukar dan sebagainya.
Pasal yang mengatur soal risiko jual beli yaitu Pasal 1460 KUH
Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah
ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah tanggungan si
pembeli meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak
menuntut harganya”.
Pasal 1460 KUH Perdata meletakkan risiko pada pembeli yang
merupakan kreditur terhadap barang yang dibelinya, karena berhak
menuntut penyerahannya. Seorang pembeli yang baru menyetujui Pasal
1460 KUH Perdata, ia sudah dibebani risiko barang itu, sedangkan
menurut sistem KUH Perdata dalam segala macam jual beli hak milik baru
berpindah kalau barangnya diserahkan.
Untuk mengurangi keganjilan tersebut maka Pasal 1460 KUH
Perdata perlu ditafsirkan secara sempit yaitu ditujukan pada perkataan
barang tertentu, dalam pasal tersebut adalah suatu barang yang dipilih dan
ditunjuk oleh si pembeli dan tidak lagi dapat diganti dengan barang lain,
dan hanya dipakai jika terjadi suatu keadaan memaksa yang mutlak dalam
arti barang yang telah dibeli itu musnah sebelum dilever.
xxxv
f. Wanprestasi
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa belanda “Wanprestatie”
yang berarti tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam
perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan
yang timbul karena undang-undang.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi
perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang waktu
pelakanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan maka menurut Pasal 1238
KUH Perdata debitur yang dianggap lalai dengan lewatnya waktu
ditentukan.
Cara memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasinya
apabila tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan
dalam perjanjian, maka debitur hendaknya diperingatkan secara tertulis
yaitu dengan surat peringatan (akta), biasanya surat yang disampaikan oleh
kreditur kepada debitur tersebut dianggap ingebreke stelling. Peringatan
terhadap debitur baik dengan sommatie maupun dengan ingebreke stelling
tidak akan menimbulkan problem jika debitur menyadari kewajibannya
dan memenuhi kewajibannya tersebut. Tetapi problema akan timbul
apabila debitur tetap tidak memenuhi prestasinya, dan berakibat timbulnya
gugatan dimuka pengadilan. Dalam gugatan ini sommatie atau ingebreke
stelling menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan
wanprestasi.
Untuk menentukan apakah debitur itu bersalah melakukan
wanprestasi, maka perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur
dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, menurut Subekti ada
empat macam, yaitu:
xxxvi
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2) Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
3) Melaksanakan apa yang diperjanjikannya, tetapi tidak seperti
bagaimana yang telah diperjanjikan.
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat hukum bagi debitur yang melakukan wanprestasi adalah
hukuman atau sanksi sebagai berikut:
1) Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh
kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).
2) Perjanjian timbal balik (bilateral) wanprestasi dari satu pihak
memberikan hak kepada pihak yang lainnya untuk membatalkan atau
memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUH Perdata).
3) Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal
1237 KUH Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk
memberikan sesuatu.
4) Membayar biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim (Pasal
181 ayat 1 HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu
dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua
perikatan.
5) Memenuhi perjanjian bila masih dapat dilakukan, atau pembatalan
perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267
KUH Perdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.
g. Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum adalah sebagai perbuatan melawan
hukum dalam bidang keperdataan. Sebab, untuk tindakan perbuatan
melawan hukum secara pidana (delik) atau yang disebut dengan istilah "
perbuatan pidana " mempunyai arti, konotasi dan pengaturan hukum yang
xxxvii
berbeda sama sekali dengan perbuatan melawan hukum secara hukum
perdata.
Demikian juga dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa
negara atau yang disebut dengan onrechmatige overheidsdaad oleh
penguasa, juga memiliki arti, konotasi serta pengaturan hukum yang
berbeda pula. ( Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum , Pendekatan
Kontemporer ).
Tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal
dengan perbuatan melawan hukum adalah untuk dapat mencapai seperti
apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta
sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere
(semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain,
dan memberikan orang lain haknya).
Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum
adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang,
yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan
hukum, yaitu sebagai berikut:
1) Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
2) Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian).
3) Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Bila dilihat dari model pengaturan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum lainnya, maka model
tanggung jawab hukum di Indonesia adalah sebagai berikut :
xxxviii
1) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan
kelalaian), seperti terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia.
2) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian
seperti terdapat dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Indonesia.
3) Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat
terbatas seperti dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Indonesia.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia, suatu perbuatan melawan hukum harus
mengandung unsur-unsur sebagai Berikut:
1) Ada Suatu Perbuatan
2) Perbuatan itu Melawan Hukum
3) Ada Kesalahan dari Pelaku
4) Ada Kerugian Korban
5) Ada Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian.
(S. Imron, 2007 : 1)
h. Akibat Hukum Perjanjian yang Sah
Menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata perjanjian yang dibuat
secara sah akan berakibat:
1) Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Para pihak mentaati perjanjian sebagaimana undang-undang.
Perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa.
Dalam perjanjian, hakim dapat memberikan sanksi berdasarkan
undang-undang atas permintaan pihak yang dirugikan.
xxxix
2) Tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau
karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang.
Bila terjadi pembatalan suatu perjanjian yang dibuat secara sah
maka harus dengan persetujuan pihak yang lainnya. Jadi harus
diperjanjikan lagi. Kecuali adanya alasan-alasan yang cukup menurut
undang-undang, maka pembatalan dapat dilakukan secara sepihak.
3) Harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata.
Ketentuan ini ditujukan untuk menjamin agar apa yang diharapkan
oleh para pihak benar-benar terlaksana.
Pasal 1339 KUH Perdata ditentukan bahwa persetujuan tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya tapi juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan,
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.
Hakim memiliki kewenangan yang diberikan undang-undang
untuk menilai serta mengawasi pelaksanaan perjanjian, apakah ada
pelanggaran norma kepatutan atau kesusilaan. Jadi hakim mempunyai
wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian bila isi perjanjian
bertentangan dengan itikad baik, yaitu kepatutan dan kesusilaan.
i. Berakhirnya Persetujuan atau Perjanjian
Menurut R. Setiawan (1987 : 69), persetujuan atau perjanjian dapat
hapus, karena:
1) Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak dalam persetujuan,
misalnya: suatu perjanjian akan berlaku untuk waktu tertentu. Bila
sampai waktu yang disepakati berakhir maka persetujuan berakhir.
xl
2) Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.
Misalnya dalam Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata ditentukan bahwa ahli
waris bisa mengadakan perjanjian selama waktu tertentu untuk tidak
mengadakan pemecahan harta warisan. Tapi waktu perjanjian dibatasi
berlakunya lima tahun dalam ayat 4.
3) Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan hapus, misalnya
salah satu pihak meninggal dalam perjanjian kerja (Pasal 1603
KUHPerdata).
4) Pernyataan menghentikan perjanjian atau Opzegging. Hal ini dapat
dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Dan hanya ada
pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja,
sewa menyewa.
5) Tujuan persetujuan telah tercapai.
6) Persetujuan hapus karena adanya putusan hakim.
7) Dengan persetujuan para pihak (herroeping).
Persetujuan seperti sewa menyewa, perjanjian kerja, pemberian
kuasa, persetujuan dapat diakhiri secara sepihak. Mengingat asasnya para
pihak diberi kemungkinan agar dapat saling membebaskan diri dari
hubungan seperti itu. Mereka dapat mencegah kemungkinan tersebut
dengan menbuat persetujuan untuk jangka waktu tertentu, dan selama
jangka waktu tersebut persetujuan dapat diakhiri dengan kata sepakat oleh
masing-masing pihak.
2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Baku
a. Usaha Pembakuan
Suatu perjanjian antara sesama pengusaha, umumnya mereka
menyetujui syarat-syarat yang mereka buat bersama untuk mencapai
tujuan ekonomi yang mereka harapkan. Kemudian muncul suatu model
xli
untuk merumuskan syarat-syarat secara rapi hingga dapat berlaku untuk
semua orang yang membuat perjanjian dengan pihak yang membuat
syarat-syarat tersebut. Selanjutnya pelaksanaan syarat-syarat tersebut dapat
menjadi tidak normal, tidak sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan
karena adanya perbedaan kondisi tingkat pengetahuan, kemampuan
ekonomi, ragam kebutuhan yang diinginkan, antara pihak konsumen
dengan pengusaha yang membuat perjanjian tersebut. Maka apa yang
dikehendaki menjadi menyimpang.
Penyimpangan tersebut perlu dicegah karena nantinya akan
merugikan pengusaha, maka pengusaha berusaha memasukkan syaratsyarat tertentu dalam perjanjian untuk menghindari keadaan yang tidak
diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Saat ini
pembakuan syarat-syarat perjanjian telah menjadi mode. Bagi pengusaha
hal ini merupakan cara yang efisien, praktis, cepat dan tidak bertele-tele
dalam mencapai tujuan ekonomi. Namun bagi konsumen keadaan ini tidak
jarang merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya
mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau tidak.
Pembuatan perjanjian, pihak pengusaha selalu dalam posisi kuat
dan berhadapan dengan konsumen yang pada umumnya mempunyai posisi
lemah. Konsumen dalam hal ini dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu:
1) Bila konsumen membutuhkan produksi atau jasa yang ditawarkan
kepadanya, jika ia setuju maka konsekuensinya ia harus menerima
syarat-syarat baku yang diberikan kepadanya.
2) Bila konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat yang diajukan maka
jangan mengadakan perjanjian dengan pengusaha yang bersangkutan.
Dalam masyarakat kapitalis, merupakan hal yang wajar jika
pengusaha besar mengendalikan perekonomian masyarakat dengan
menjual produk atau jasa dengan menggunakan model-model perjanjian
xlii
disertai syarat-syarat baku yang menguntungkan dirinya. Syarat-syarat
baku yang disodorkan tidak jarang menunjukkan ketidakadilan karena
konsumen tidak berhak menawar syarat yang telah ditentukan.
Negara berkembang, sebagai dasar penerapa prinsip ekonomi
tentunya syarat baku mampu digunakan sebagai salah satu cara penerapan
prinsip ekonomi tersebut yaitu dengan usaha minimal, dengan waktu yang
singkat, biaya ringan, dan dengan cara yang sepraktis mungkin dapat
mencapai tujuan semaksimal mungkin.
Keberadaan perjanjian baku ini terkadang dirasa memberatkan oleh
salah satu pihak, seperti halnya isi dari perjanjian itu sendiri seakan-akan
hanya menguntungkan pihak yang membuatnya meski pihak yang lain pun
sudah mendapat keuntungan.
Masalah perjanjian baku sering timbul dalam hubungan hukum
antara pengusaha dan konsumen biasa. Hal ini jarang terjadi pada
hubungan antar pengusaha karena mereka sama-sama berpegang pada
prinsip ekonomi yang sama dengan persaingan sehat dalam melayani
konsumen. Permasalahan tersebut disebabkan konsumen menerima segala
akibat yang timbul dari perjanjian tersebut meskipun akibat tersebut
merugikan konsumen tanpa kesalahannya karena konsumen telah
menyetujui syarat-syarat yang telah ditetapkan secara baku dan sepihak
oleh penguasa. Adanya perjanjian baku dengan model yang seperti ini atau
dapat dikatakan perjanjian yang isinya cenderung arogan, kebanyakan
diberikan oleh perusahaan-perusahaan besar yang telah punya nama atau
perusahaan yang sifatnya monopoli. Bagi perusahaan yang besar hal ini
mungkin dimaksudkan hanya untuk menjaga citra perusahaan serta
menjaga kualitas produk tetapi bagi perusahaan monopoli kemungkinan
pemikiran mereka bahwa tidak ada pesaing lain selain dirinya sehingga
xliii
mereka berpendirian untuk mengadakan perjanjian hanya jika mau
melaksanakan apa yang telah ditentukannya.
Perjanjian baku di negara berkembang, diusahakan tidak hanya
menguntungkan pemgusaha namun juga pihak konsumen. Bila terjadi
perselisihan mengenai akibat yang timbul dari pelaksanaan syarat-syarat
baku, maka para pihak masih akan berunding menyelesaikan masalah
secara adil menurut mereka sendiri tanpa mengubah redaksional syarat
perjanjian yang telah dibakukan. Selain itu negara juga ikut melindungi
warganya baik pengusaha maupun konsumen melalui perundangundangan dan lembaga peradilan. Hal ini juga diikuti di Indonesia.
b. Ciri–ciri Perjanjian Baku
Istilah bahasa Inggris perjanjian baku sering disebut sebagai
standar contract, atau standar agreement. Perjanjian baku memiliki ciriciri mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan
masyarakat. Ciri-ciri tersebut mencerminkan prinsip ekonomi dan
kepastian hukum yang berlaku di negara-negara yang bersangkutan dan
sebagai tolok ukurnya dilihat dari kepentingan pengusaha bukan dari
kepentingan konsumennya.
Mariam Darus berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan
dalam bentuk formulir, dengan ciri-ciri:
1) Mempunyai bentuk tertentu dan biasanya tertulis. Jumlah lembaran
tidak mempengaruhi, walaupun hanya satu lembar perjanjian tersebut
sudah mengikat
2) Isi ditetapkan oleh salah satu pihak, biasanya pihak yang posisinya
lebih kuat, misalnya dalam perjanjian kredit formulir disediakan oleh
pihak kreditur/bank sebagai pihak yang kuat.
xliv
3) Debitur tidak ikut menentukan isi dari perjanjian, pihak debitur hanya
mempunyai pilihan menerima atau menolak dan mengisi formulir yang
telah disediakan oleh kreditur.
4) Terdorong oleh kebutuhan, maka debitur terpaksa menerima perjanjian
tersebut.
5) Dipersiapakan terlebih dahulu secara masal, dalam arti bahwa formulir
untuk perjanjian tersebut dipersiapkan lebih dari 1 lembar.
(Sukasno, 1993 : 5)
Adanya perjanjian baku ini maka seorang pengusaha dapat
menggunakan formulir berkali-kali. Alasannya bahwa bila membuat suatu
perjanjian baru, maka membutuhkan lebih banyak waktu, biaya dan
tenaga. Karena bagaimanapun juga seorang pengusaha akan berusaha
seefisien dan seefektif mungkin.
c. Penerapan Syarat-syarat Baku
Empat cara pengikutsertaan syarat-syarat baku yang paling banyak
digunakan yaitu melalui:
1) Penandatanganan
Metode ini merupakan metode yang paling aman. Dalam
metode ini syarat-syarat dimasukkan dalam satu dokumen kontrak dan
meminta pada pihak
peserta kontrak
untuk
menandatangani.
Berdasarkan peraturan umum dalam hukum perikatan yang memuat
pengikatan berarti terikat pada isi yang ditandatangani. Dokumendokumen yang dimaksud dapat berupa kontrak atau formulir kontrak,
juga satu formulir permintaan untuk satu asuransi.
Penandatanganan tidak terikat pada syarat-syarat yang tercetak
di bawah tanda tangannya atau di sebelah belakang formulir, kecuali di
bagian muka ditunjuk kepada syarat-syarat tersebut.
xlv
2) Pemberitahuan diatas dokumen-dokumen kontrak atau kertas surat.
Ada kebiasaan untuk mencetak syarat-syarat baku diatas
dokumen-dokumen kontrak yang tidak ditandatangani, seperti kertas
surat, katalog, rencana-rencana pekerjaan, surat angkutan dan
sebagainya. Dalam hal ini tidak dipentingkan apakah pihak peserta lain
telah mengadakan perjanjian atas dasar jabatan atau tidak. Yang
penting, apakah dokumen telah diserahkan atau dikirim kepada peserta
pihak lain sebelum atau pada saat pengadaan kontrak atau sesudahnya.
Dalam hal terakhir ini dapat ditetapkan bahwa tidak dapat lagi
diadakan
perubahan
dalam
perjanjian
yang
telah
diadakan
tersebut.Menurut Peradilan yang tetap, bila orang yang tidak dalam
waktu singkat mengajukan keberatan terhadap isi surat pengukuhan,
maka dianggap telah menyetujui isinya.
3) Penunjukan dalam dokumen-dokumen kontrak.
Suatu transaksi mengenai perdagangan, satu tanda dari
organisasi sudah cukup untuk mencapai penerapan dari syarat-syarat
baku yang ditetapkan organisasi tersebut.
4) Pemberitahuan atau penunjukan di atas papan pengumuman.
Syarat-syarat baku dapat dijadikan bagian dari isi kontrak
dengan jalan pengumuman atau penunjukan diatas papan.
Contohnya: Papan-papan dengan pembatasan tanggung jawab atau
penghapusan tanggung jawab, misalnya pada tukang parkir. Peradilan
menetapkan bahwa untuk metode tersebut, maka pengumuman harus
ditempatkan di tempat yang jelas, klausul-klausul dicetak dengan huruf
yang mudah dibaca, dan dapat dilihat sebelum diadakan perjanjian.
(Suradji, 1994 : 7)
Perjanjian standart, pihak lawan (wedepartij) yang umumnya
mempunyai kedudukan ekonomi yang lemah baik karena posisinya
xlvi
maupun ketidaktahuannya, maka hanya menerima apa yang dihadapkan
padanya. Perjanjian standart biasanya digunakan dalam perjanjian seperti
perjanjian kredit bank, dokumen angkatan laut, udara polis asuransi, dan
lain-lain.
3. Tinjauan Umum tentang Pengangkutan
a. Pengertian Pengangkutan
Membahas mengenai perjanjian pengangkutan, sebelumnya kami
bahas mengenai pengertian pengangkutan terlebih dahulu. Pengangkutan
menurut pengertian penyusun adalah merupakan proses mengangkut suatu
barang, benda, orang ataupun pemuatan yang lain yang dipindahkan dari
suatu tempat ke tempat yang lain. Sedang pengangkutan menurut definisi
Abdulkadir Muhammad adalah:
“proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam alat
pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan
ke tempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat
pengangkutan ke tempat yang ditentukan”.
Perjanjian pengangkutan pada umumnya, tidak harus dibuat
secara tertulis, melainkan cukup adanya kata sepakat dari para pihak.
Dalam hal ini yang penting adalah persetujuannya. Karena mengenai hak
dan kewajiban masing-masing pihak telah dirumuskan dalam undnagundang lalu lintas dan angkutan jalan serta peraturan pemerintah.
Mengenai perjanjian pengangkutan ada beberapa pendapat:
Menurut Subekti bahwa:
“Perjanjian Pengangkutan ialah suatu perjanjian dimana satu pihak
menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu
ke lain tempat, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan
membayar ongkosnya.” (Subekti, 1995 : 69).
Kemudian menurut Purwosutjipto, bahwa:
“Perjanjian Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara
pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri
xlvii
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, dan / atau orang dari
suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan
pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.”
(Purwosutjipto, 1991 : 2).
Menurut Abdulkadir Muhammad, beliau mengatakan bahwa
definisi yang dikemukakan oleh Purwosutjipto tersebut hanya mengenai
perjanjian antara pengangkut dan penumpang. Jadi hanya meliputi
perjanjian pengangkutan barang, maka beliau menambah menjadi:
“Perjanjian Pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut
mengikatkan diri untu menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau
penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat,
dan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya
pengangkutan.”
(Abdulkadir Muhammad, 1991 : 20)
b. Dasar Perjanjian Pengangkutan
Undang-undang tidak mensyaratkan cara terjadinya perjanjian
pengangkutan, hanya dalam praktek dapat diketahui bagaimana cara
terjadinya. Biasanya melalui adanya penawaran dari pihak pengangkut.
Penawaran ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung
yaitu dengan menggunakan perantara, misalnya ekspeditur atau biro
perjalanan. Dalam penawaran langsung maka dalam pelaksanaannya pihak
pengangkut menghubungi langsung pada pihak pengirim atau penumpang,
atau dengan jasa media massa, radio, brosur dan mungkin pada masa
sekarang dengan melaui internet sehingga bila ada pihak yang
berkepentingan
terhadap
pengangkutan
tersebut
dapat
langsung
menghubungi. Penawaran dapat juga dilakukan dari pihak pengirim atau
penumpang menghubungi pengangkut kemudian menyerahkan barang dan
kemudian menyetujui persyaratannya.
Sebagaimana perjanjian-perjanjian yang lainnya, kedua belah pihak
diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri segala hal
mengenai pengangkutan yang diselenggarakan itu. Apabila terjadi
xlviii
kelalaian pada salah satu pihak, maka akibat-akibatnya ditetapkan
sebagaiman berlaku untu perjanjian-perjanjian pada umumnya dalam buku
III KUH Perdata.
c. Asas-Asas didalam Perjanjian Pengangkutan
Ada beberapa asas pokok yang mendasari dalam perjanjian
pengangkutan:
1) Asas konsensualisme
Asas ini menyatakan bahwa bentuk perjanjian pengangkutan
tidak mensyaratkan harus dibuat secara tertulis. Persetujuan kehendak
para pihak secara lesan antara para pihak sudah cukup bahwa telah ada
perjanjian pengangkutan. Bila dalam pengangkutan terdapat dokumendokumen, tetapi dokumen tersebut bukan merupakan perjanjian tertulis
melainkan hanya merupakan bukti bahwa persetujuan ada diantara
pihak. Dalam rumusan Pasal 90 KUHD ditulis bahwa surat muatan
merupakan perjanjian antara si pengirim atau ekspeditur pada pihak
pertama, dengan pengangkut pada pihak kedua, dan surat tersebut
memuat selain apa yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, seperti
mengenal waktu dalam mana pengangkutan harus telah selesai
dilakukan dan mengenai penggantian kerugian dalam hal kelambatan.
Menurut Pasal 90 KUHD, isi surat muatan adalah:
a) Nama dan berat atau ukuran barang-barang yang diangkut, merk
serta jumlahnya.
b) Nama alamat dan penerima
c) Nama dan alamat pengangkut
d) Jumlah biaya atau tarif pengangkutan
e) Tanggal
f) Tanda tangan pengangkut atau ekspeditur
xlix
Menurut Purwosutjipto dari rumusan tersebut menunjukkan
baha tanpa surat muatan berarti tidak ada perjanjian. Kemudian dalam
Pasal 90 ayat (1) No. 6 dapat disimpulkan bahwa surat muatan cukup
ditanda tangani oleh pengirim atau ekspeditur saja. Keadaan ini tidak
sesuai dengan terjadinya perjanjian yang salah satunya menyebut
kesepakatan. Kata sepakat ini menunjukkan adanya minimal dua pihak
dalam satu perjanjian, sedangkan dalam surat muatan hanya ditanda
tangani satu pihak saja. Jadi surat muatan bukan merupakan bukti
adanya perjanjian tapi merupakan surat pengantar, atau tanda bukti
adanya persetujuan bukan perjanjiannya.
2) Asas koordinasi
Asas ini pada dasarnya mensyaratkan adanya kedudukan sejajar
antara pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam asas ini tidak
berlaku hubungan buruh dengan majikan pada perjanjian perburuhan.
Menurut
Purwosutjipto
sifat
perjanjian
pengangkutan
adalah
koordinasi karena hubungan kerja antara pengirim dan pengangkut
hanya kadangkala yaitu bila pengirim membutuhkan pengangkutan
untuk mengirim barang hubungannya adalah pelayanan berkala.
3) Asas campuran
Asas
ini
menyatakan
bahwa
perjanjian
pengangkutan
merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian:
a). Pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut
b). Penyimpanan barang dari pengirim kepada pengangkut
c). Melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan pengirim
kepada pengangkut
4) Asas tidak ada hak retensi
Pengertian asas ini bahwa pengangkut tidak berhak menahan
barang-barang yang diangkut, bila penerima menolak membayar biaya
l
pengangkutan maka pengangkut dapat melakukan upaya hukum
melalui hakim pengadilan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 94 KUHD.
Menurut Abdulkadir Muhammad penggunaan hak retensi dalam
pengangkutan bertentangan fungsi dan tujuan pengangkutan, yaitu
terpenuhinya hak dan kewajiban pihak-pihak dalam pengangkutan.
d. Subyek Dalam Perjanjian Pengangkutan
Subyek pengangkutan adalah pendukung hak dan kewajiban dalam
hubungan hukum pengangkutan.
Sifat perjanjian pengangkutan adalah timbal balik yaitu meletakkan
kewajiban pada masing-masing pihak. Dalam perjanjiannya ada pihak
yang langsung terikat dengan perjanjian pengangkutan dan ada yang tidak
langsung terikat dalam perjanjian. Pihak yang berkedudukan sebagai pihak
dalam perjanjian pengangkutan antara lain:
1) Pengangkut
Pengangkut mempunyai dua arti, yaitu:
a) Penyelenggaraan pengangkutan yaitu pihak yang mengikatkan diri
untuk
menyelenggarakan
pengangkutan
barang
dan
atau
penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan
selamat.
b) Alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan.
Dalam hal pelaksanaan perjanjian pengangkutan pada umumnya
pihak pengangkut bebas memilih sendiri alat pengangkutan yang
hendaknya dipakai.
2) Pengirim
Pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar
biaya pengangkutan sebagai pemilik barang, penjual (ekspeditur), atau
li
majikan penumpang dalam perjanjian pengangkutan serombongan
penumpang seperti tenaga kerja, rombongan kontingen olahraga.
Sebagai pemilik barang adalah:
a) Manusia pribadi
b) Perusahaan perorangan
c) Perusahaan persekutuan
d) Badan hukum
e) Bukan badan hokum
3) Penumpang
Penumpang adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan
penumpang yang mempunyai dua kedudukan:
a) Sebagai subyek karena merupakan pihak dalam perjanjian,
b) Sebagai obyek karena merupakan muatan yang diangkut.
Pihak yang tidak berkedudukan langsung sebagai pihak dalam
perjanjian tetapi bertindak atas nama atau untuk kepentingan pihak lain.
1) Ekspeditur:
Ekspeditur yaitu orang yang pekerjaannya mencarikan pengangkut
barang di darat atau di perairan bagi pengirim. Ketentuan ini terdapat
dalam Pasal 86 ayat I KUHD. Jadi ekspeditur berfungsi sebagai
perantara.
2) Biro perjalanan (travel agent)
Biro perjalanan yaitu pihak yang mencarikan pengangkut untuk
penumpang yang bertindak atas nama penumpang untuk memperoleh
tiket.
3) Pengatur muatan
Pengatur muatan adalah orang yang menjalannkan usaha di bidang
muatan barang ke kapal dan pembongkaran barang dari kapal.
lii
Pengatur muatan adalah orang yang ahli menempatkan barang dalam
ruangan kapal sesuai dengan sifat barang dan keadaan, juga ventilasi
yang dibutuhkan.
4) Pengusaha pergudangan (warehousing)
Pengusaha pergudangan adalah perusahaan yang bergerak di bidang
usaha penyimpanan barang-barang dalam gudang pelabuhan selama
barang yang bersangkutan menunggu pemuatan ke atas kapal atau
menunggu pengeluarannya dari gudangyang berada di bawah
pengawasan Dinas Bea dan Cukai.
5) Penerima (consigne)
Penerima ini dapat dilakukan oleh pihak pengirim sendiri atau dapat
pihak ketiga yang berkepentingan. Bila pihak penerima adalah adalah
pengirim sendiri maka penerima adalah pihak yang terlibat dalam
perjanjian pengangkutan.
e. Obyek Pengangkutan
Obyek hukum pengangkutan adalah segala sesuatu yang digunakan
untuk mencapai tujuan hukum pengangkutan, yaitu:
1) Muatan barang
Muatan barang yang dimaksud disini adalah barang-barang yang
termasuk juga muatan hewan. Barang tersebut diangkut dari satu
tempat ke tempat tujuan dengan menggunakan alat pengangkutan.
2) Muatan penumpang
Muatan penumpang sama halnya dengan barang, tetapi perihal
pelakunya tidak bisa disamakan dengan barang. Mengenai definisinya,
liii
undang-undang tidak memberikannya. Tetpai dilihat dari perjanjian
pengangkutan selaku obyek perjanjian, penumpang adalah setiap orang
yang berada dalam alat pengangkutan yang mempunyai tiket
penumpang yang diangkut dari satu tempat ke tempat tujuan.
3) Alat Pengangkutan
Seorang pengusaha dalam usaha pengangkutan memiliki alat
pengangkut sendiri.
Alat angkut ini dapat berupa:
a) kendaraan bermotor
b) kapal laut niaga
c) pesawat udara
khususnya dalam pengangkutan dengan kendaraan bermotor harus
memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah dicantumkan dalam
undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu harus
memenuhi:
a) persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor
b) pengujian kendaraan bermotor
c) pandaftaran kendaraan bermotor
4) Biaya pengangkutan
Biaya pengangkutan tidak diatur secara umum dakam rumusan
KUHD.
Tetapi
dilihat
dari
perjanjian
pengangkutan,
biaya
pengangkutan adalah kontra prestasi terhadap penyelenggaraan
pengangkutan yang dibayar pengirim atau penerima atau penumpang
kepada pengangkut.
Biaya pengangkutan yang ada terdiri dari dua unsur, yaitu
pertama kontra prestasi atas penyelenggaraan pengangkutan, kedua
biaya pemeliharaan terhadap apa yang diangkut.
liv
Abdulkadir Muhammad (1991 : 68 – 69) menyatakan bahwa
perhitungan biaya pengangkutan ditentukan juga oleh beberapa hal
berikut:
a) Jenis pengangkutan, yaitu pengangkutan darat, laut, dan udara.
Tiap jenis pengangkutan mempunyai biaya yang tidak sama.
b) Jenis alat angkutan, yaitu bus, kereta api, kapal laut, pesawat udara.
c) Jarak pengangkutan, yaitu jarak yang jauh maupun dekat.
d) Waktu pengangkutan, yaitu pengangkutan yang cepat maupun
lambat.
e) Sifat muatan, yaitu berbahayakah,mudah rusak, pecah, busuk
sehingga dapat diperkirakan berapa kerugianjika terjadi hal-hal
tersebut.
Adanya patokan-patokan tersebut di atas maka dapat diperkirakan
berapa besar biaya yang harus dikeluarkan atas adanya pengangkutan.
f. Berakhirnya Perjanjian Pengangkutan
Perjanjian pengangkutan berakhir bila terdapat dua keadaan:
1) “Dalam keadaan tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian,
maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah penyerahan dan
pembayaran biaya pengangkutan di tempat tujuan yang disepakati,
2) Dalam keadaan terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka
perbuatan yang dijadikan ukuran adalah pemberesan membayar ganti
kerugian”.
Apabila terdapat peraturan tertulis, maka perjanjian pengangkutan
berakhir sesuai dengan syarat-syarat dalam pasal perjanjian yang
menentukan perjanjian berakhir.
lv
Pada umumnya perusahaan pengangkutan untuk adanya jaminan
barang yang diangkut, serta untuk menarik konsumen, dalam perjanjian
pengangkutan disertai asuransi atas apa yang diangkut.
B. Kerangka Pemikiran
Hukum
Pengangkutan
Pengirim
Perjanjian
Pengangkutan
Pelaksanaan
Perjanjian
lvi
Pengangkut
BAB III
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
A. Deskripsi Umum tentang CV. Bintang Jaya dan PT. Aqua Tirta Investama
Klaten
1. Deskripsi tentang CV. Bintang Jaya
a. Sejarah Singkat CV. Bintang Jaya
CV. Bintang Jaya berdiri pada tahun 1982 dengan Akte Pendirian
No. 61/29 Januari 1982 dengan H. Madi Hartono sebagai Direktur dan H.
M. Sidik Pramono sebagai Komanditer. Kemudian ada perubahan
kepemimpinan dengan Akte Perubahan No. 8/4 Mei 1987.
CV. Bintang Jaya merupakan salah satu transportir / pengangkut
yang bergerak di bidang angkutan air minum dalam kemasan. Perusahaan
ini didirikan oleh Bapak H.M. Sidik Pramono pada tahun 1982. Pada
mulanya alat angkutan yang digunakan hanyalah menggunakan mobil Colt
Diesel keluaran tahun 1982. Karena semakin bertambahnya kebutuhan air
minum dalam kemasan yang harus diangkut maka ditambah pengadaan
armada. Dengan semakin bertambahnya kebutuhan akan air minum dalam
kemasan maka mau tidak mau harus diusahakan untuk adanya
penambahan mobil lagi. Dan kebetulan pada saat itu ada penawaran dari
singapura truk buitl up.
b. Struktur Organisasi
Pemilikan perusahaan merupakan hak daripada seseorang untuk
mendapatkan hak milik yang sah dengan menggunakan kekayaan, orang,
lvii
menguasai dan menikmati suatu keuntungan daripada pemilikan. Bentukbentuk pemilikan ditentukan oleh keputusan manajemen, bentuk pemilikan
ini mementukan berhasil tidaknya perusahaan. Salah satu bentuk
pemilikan perusahaan adalah CV. Untuk memperlancar kinerja perusahan
guna mencapai suatu tujuan, diperlukan suatu pengelompokkan dengan
pembagian tugas berdasarkan atas spesialisasi. Dalam suatu organisasi ada
struktur yang secara skematis mengatur hubungan kerja sama dari masingmasing bagian yang ada dalam mencapai suatu tujuan.
Struktur organisasi CV. Bintang Jaya dapat dikatakan sebagai
struktur organisasi yang sederhana. Adapun struktur organisasinya adalah
sebagai berikut:
PRESIDEN KOMISARIS
KOMISARIS
DIREKTUR UTAMA
KOMISARIS
DIREKTUR
PEMBANTU
UMUM
BAG.
ADMINISTRASI
SUPERVISOR
T.KERJA
T.KERJA
TOP
SUPERVISOR
SUPERVISOR
T.KERJA
lviii
T.KERJA
T.KERJA
T.KERJA
Keterangan Gambar:
1) Direktur utama bertugas mengkoordinir semua kegiatan perusahaan,
baik urusan intern maupun ekstern.
a) Tugas intern ini meliputi:
Ø Merencanakan kegiatan perusahaan.
Ø Mengkoordinir kegiatan perusahaan
Ø Memilih pegawai
Ø Memberikan perintah sehubungan dengan kegiatan perusahaan
mengawasi bawahan.
b) Tugas ekstern adalah mewakili perusahaan dalam hubungannya
dengan pihak luar perusahaan.
2) Direktur bertugas membantu tugas daripada Direktur utama dalam
hubungannya dengan pelaksanaan pengkoordinasian secara langsung
dengan para bawahan dan dalam melaksanakan tugasnya diberikan
kekuasaan penuh serta mewakili dan menggantikan Direktur utama
apabila berhalangan.
3) Bagian Administrasi bertugas:
a) melaksanakan pembukuan
b) melakukan segala kegiatan yang berkaitan dengan keuangan.
4) Pembantu umum bertugas melakukan penagihan piutang atas jasa
pengiriman air minum dalam kemasan terhadap para konsumen.
5) Top Supervisor bertugas:
a) Melakukan koordinasi dengan supervisor
b) Melakukan pembagian tugas untuk pemberangkatan tenaga kerja
bawahan (sopir/kernet)
lix
6) Supervisor bertugas:
a) Menyampaikan kepada Top Supervisor mengenai DO yang keluar.
b) Membagikan DO kepada Tenaga Kerja (sopir/kernet) untuk
mengirimkan air minum dalam kemasan kepada konsumen.
Supervisor disini harus mampu mengambil keputusan maupun dapat
berinisiatif untuk kelancaran perusahaan.
7) Tenaga kerja disini adalah sopir dan kernet yang mempunyai tugas
mengirimkan air minum dalam kemasan yang telah dibagikan kepada
konsumen yang bersangkutan.
c. Alat Pengangkut dan Barang yang diangkut
Pengangkutan air minum dalam kemasan dari PT. Aqua Tirta
Investama sampai kepada konsumen, CV. Bintang Jaya menyediakan
beberapa jenis kendaraan bermotor sesuai dengan spesifikasi air minum
dalam kemasan yang diangkut.
Kendaraan angkutan tersebut adalah:
1) Truk Tronton ber-JBI (Jumlah Berat yang diIjinkan) = 20.000kg –
27.000kg berjumlah 55 buah
2) Truk Engkel ber-JBI (Jumlah Berat yang diIjinkan) = 7.000kg –
17.000kg berjumlah 35 buah.
3) Truk Colt diesel (Tamiya) ber-JBI (Jumlah Berat yang diIjinkan) =
1.000kg – 5.000kg berjumlah 10 buah.
Sedangkan mengenai barang yang diangkut adalah:
1) Aqua galon lokal
2) Aqua Karton, yaitu:
a) Kemasan 1500 ml
lx
b) Kemasan 600 ml
c) Kemasan 330 ml
d) Kemasan 240 ml
3) Mizone 500 ml
d. Daerah yang Menjadi Ruang Lingkup Pengisian dan Pengiriman CV.
Bintang Jaya
1) Solo
2) Jogjakarta
3) Wonogiri
4) Surabaya
5) Jakarta
6) Bali
2. Deskripsi tentang PT. Aqua Tirta Investama Klaten
a. Sejarah Singkat Berdirinya PT. Aqua Tirta Investama Klaten
Betapa besar peranan yang telah dimainkan oleh perusahaan air
mineral sebagai penyedia air minim sumber mineral maupun sumber dana
bagi pembangunan. Bahan kandungan mineral yang ditemukan berawal di
Sukabumi, daerah daerah lain dan kemudian di Klaten di desa Wangen
pada Tahun 2004, sejak beberapa tahun yang lalu memiliki arti penting
bila ditinjau dari segi pembanguna ekonomi.
Sudah sepatutnya di bidang Tambang air mineral ini di konsumsi
oleh masyarakat luas, lebih – lebih dalam menunjang pembangunan
nasional. Mengenai keberadaan kandungan air mineral di Indonesia tidak
lepas dari adanya perusahaan perusahaan air mineral di Indonesia salah
satunya yaitu Tirta Investama yang dibawah pengawasan PT. Aqua
Golden Missisipi anak perusahaan Danone di Prancis.
lxi
PT. Tirta Investama sebagai pengelola Air mineral memiliki visi
menjadi Perusahaan Air mineral yang efisien, unggul, maju dan mandiri.
PT. Tirta Investama juga memiliki misi sebagai perusahaan yang memiliki
kegiatan eksplorasi, produksi, pengolahan, pemasaran niaga di Indonesia ,
dan secara selektif di dunia internasional dengan tujuan untuk menjadi
perusahaan yang :
1) Kuat dan Sehat
2) Memenuhi kepentingan konsumen dan menghasilkan keuntungan bagi
perusahaan.
3) Berprestasi setaraf dengan perusahaan terbaik dibidang Air Mineral
Dalam Kemasan.
Pelaksanaan usaha selalu berdasarkan pada tata nilai unggulan
yang :
1) Berstandar Internasional
2) Berwawasan lingkungan
3) Menumbuhkan kebanggaan dan mengembangkan profesionlisme
karyawan
4) Mendukung program Pemerintah.
b. Struktur organisasi
Struktur Organisasi PT. Tirta Investama dipimpin oleh Direktur
Utama dan dibantu 6 direktur yang membawahi dibidangnya masingmasing sebagai berikut:
1) Direktur Bagian Eksplorasi dan produksi
2) Direktur Bagian Pengolahan
3) Direktur Bagian Pembekalan dan pemasaran
4) Direktur Bagian Transportasi dan komunikasi
5) Direktur Bagian Keuangan
6) Direktur Bagian Umum
lxii
Direktur bagian pembekalan dan pemasaran mempunyai 10 Depo yaitu:
- Depo Kawasan Pulogadung
- Depo Meruya
- Depo Rawadomba
- Depo Cibinong
- Depo Ciputat
- Depo Pulokambing
- Depo bandung
- Depo Solo
- Depo Yogyakarta
- Depo Surabaya
Keseluruhan Depo yang ada dipimpin oleh Kepala Depo masing masing
daerah.
Pimpinan Depo dalam melaksanakan tugasnya membawahi 7 pegurus
bagian, yaitu:
1) Bagian Penjualan
Bagian inilah yang menjembatani antara PT. Tirta Investama dengan
pihak konsumen serta bertugas memberikan pelayanan dalam hal
penjualan Air Minum Dalam Kemasan yang dibutuhkan.
2) Bagian Pengadaan
Bagian ini bertugas untuk menyediakan dan medistribusikan segala
sesuatu yang berhubungan dengan masalah pengadaan.
3) Bagian Tehnik
Bertugas untuk menangani dan mengurusi masalah tehnik perencanaan
dan administrasi, tehnik pemeliharaan lapangan, tehnik inspeksi, dan
perlindungan lingkungan serta tehnik pengamanan.
4) Bagian Transportasi dan Komunikasi
lxiii
Bertugas menagani dan mengurus hal-hal yang berhubungan dengan
masalah transportasi dan komunikasi.
5) Bagian Keuangan
Bertugas untuk
mengurus dan menangani segala hal yang
berhubungan dengan keuangan baik berupa penerimaan yang
merupakan hasil penjualan maupun pengeluaran– pengeluaran yang
berkaitan dengan biaya operasional.
6) Bagian Personalia dan Organisasi
Bertugas untuk menangani dan mengurus segala hal yang berkaitan
dengan
koordinasi
keorganisasian
maupun
mengenai
masalah
karyawan, misalnya: penerimaan karyawan, pembinaan karyawan,
masalah gaji, dll.
7) Bagian Kesehatan
Menangani dan mengurus segala hal yang menyangkut pengadaan
fasilitas penunjang kesehatan, baik bagi karyawan perusahaan maupun
bagi keluarganya.
c. Sistem Pendistribusian Air Minum dalam Kemasan
Pola suplai dan distribusi Air Minum Dalam Kemasan ini
dimulai dari Pabrik Klaten, Pabrik Sukabumi, Pabrik Mekarsari – Jawa
Barat, Pabrik Wonosobo, Pabrik Pandaan dan Pabrik Kebon Candi
Pasuruan.
1) Pabrik Tirta Investama Klaten
Pabrik Tirta Investama Klaten membuat Air Minum dalam Kemasan
yang berupa:
Ø Aqua galon lokal
lxiv
Ø Aqua Karton, yaitu: kemasan 1500 ml, kemasan 600 ml, kemasan
330 ml, kemasan 240 ml
Ø Mizone 500 ml
Disalurkan kepada konsumen yang berada di daerah: Jawa Tengah,
Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Jabodetabek.
2) Pabrik Sukabumi
Pabrik Sukabumi membuat Air Minum dalam Kemasan yang berupa:
Ø Aqua galon lokal
Ø Aqua Karton, yaitu: kemasan 1500 ml, kemasan 600 ml, kemasan
240 ml
Disalurkan kepada konsumen yang berada di daerah Jawa Barat dan
Jabodetabek.
3) Pabrik Mekarsari – Jawa Barat
Pabrik Mekarsari – Jawa Barat membuat Air Minum dalam Kemasan
yang berupa:
Ø Aqua galon lokal
Ø Aqua Karton, yaitu: kemasan 600 ml, kemasan 240 ml
Disalurkan kepada konsumen yang berada di daerah Jawa Barat,
Jabodetabek, Pekalongan, Tegal, dan Pemalang.
4) Pabrik Wonosobo
Pabrik Wonosobo membuat Air Minum dalam Kemasan yang berupa:
Ø Aqua galon lokal
Ø Aqua Karton kemasan 240 ml
Disalurkan kepada konsumen yang berada di daerah Jogjakarta, Jawa
Tengah, Pekalongan, Tegal, dan Pemalang.
5) Pabrik Pandaan
Pabrik Pandaan membuat Air Minum dalam Kemasan yang berupa:
lxv
Ø Aqua galon lokal
Ø Aqua Karton, yaitu: kemasan 1500 ml, kemasan 600 ml, kemasan
240 ml
Ø Mizone 500 ml
Disalurkan kepada konsumen yang berada di daerah Surabaya.
6) Pabrik Kebon Candi Pasuruan
Pabrik Kebon Candi Pasuruan membuat Air Minum Dalam Kemasan
yang berupa:
Ø Aqua galon lokal
Ø Aqua Karton kemasan 240 ml
Disalurkan kepada konsumen yang berada di daerah: Pasuruan dan
Surabaya.
B. Proses Pengikatan Perjanjian Pengangkutan Barang Antara PT. Aqua Tirta
Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya
Pertumbuhan
perekonomian
selalu
meningkat
seiring
dengan
berkembangnya kebutuhan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pemenuhan
kebutuhan agar dapat mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan hukum yang
jelas, diperlukan suatu perjanjian. Perjanjian beraneka ragam baik yang telah
diatur maupun yang belum diatur dalam buku III KUH Perdata. Hal tersebut dapat
terjadi karena memang perjanjian menganut sistem terbuka.
Penulisan ini yang menjadi obyek penelitian adalah: perjanjian
kerjasama jasa pengangkutan Air Minum dalam Kemasan antara PT. Aqua Tirta
Investama dengan CV. Bintang Jaya. Perjanjian yang disepakati tersebut
merupakan perjanjian standar atau perjanjian baku. Perjanjian baku ini isinya telah
ditentukan dalam bentuk formulir. Baku disini berarti sudah merupakan patokan,
ukuran, acuan dimana yang menentukan keberadaan format baku tersebut adalah
lxvi
salah satu pihak yang nantinya akan ditandatangani oleh pihak yang lainnya
bilamana pihak yang lain tersebut mau menerima apa yang telah ditentukan dalam
perjanjian tersebut.
Proses pengikatan perjanjian pengangkutan antara PT. Aqua Tirta
Investama dengan CV. Bintang Jaya melalui 3 tahap, yaitu :
1. Tahap Penawaran
Pengangkutan yang dilaksanakan CV. Bintang Jaya kepada
konsumen PT. Tirta Investama dimulai dengan adanya penawaran. Dalam
kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan, terdapat perbuatan yang
tidak ada pengaturannya dalam undang-undang yaitu perbuatan tentang
penawaran yang dilakukan kepada konsumen yang membutuhkan jasa
pengangkutan. Demikian pula CV. Bintang Jaya, sebagai pihak pengangkut
juga melakukan penawaran jasa. Penawaran tersebut diberikan kepada instansi
maupun perusahaan-perusahaan yang membutuhkan jasa pengangkutan air
minum dalam kemasan. Kemudian PT. Aqua Tirta Investama sebagai pihak
yang membutuhkan jasa pengangkutan menyodorkan dokumen perjanjian
kerjasama jasa pengangkutan.
2. Tahap Kesepakatan Perjanjian
Perjanjian pengangkutan Air Minum Dalam Kemasan antara PT. Aqua
Tirta Investama dengan CV. Bintang Jaya yang membuat format perjanjian
adalah pihak PT. Aqua Tirta Investama. Perjanjian tersebut disodorkan kepada
pihak transportir yang merupakan rekanan PT. Aqua Tirta Investama.
Perjanjian yang disodorkan tersebut berisi mengenai:
1. Judul
2. Penunjukkan
3. Lingkup Perjanjian
lxvii
4. Produk
5. Jenis Angkutan dan Kelengkapan Dokumen
6. Waktu Kerja dan Rute Pengangkutan
7. Tata Cara Pengangkutan Produk
8. Biaya Pengangkutan
9. Pembayaran
10. Tata Tertib di Lokasi Bongkar Muat
11. Jangka Waktu Perjanjian
12. Kerusakan pada Armada Pengangkutan
13. Berakhirnya Perjanjian
14. Sanksi
15. Keadaan Terpaksa
16. Penyelesaian Perselisihan
17. Pemberitahuan
18. Adendum
19. Bahasa
20. Penutup
Penandatanganan perjanjian tersebut, terdapat syarat yang ditentukan
oleh Undang-Undang yaitu berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata yang
menentukan mengenai orang-orang yang dianggap cakap untuk melakukan
perjanjian. Misalnya: kedewasaan, tidak dibawah pengampunan, sehat ingatan
dan sebagainya. Disamping keberadaan orang yang dianggap cakap oleh
hukum tersebut diperlukan juga unsur-unsur lain yaitu dalam pasal 1321 KUH
Perdata yang berisi bahwa dalam perjanjian tidak ada unsur kekhilafan,
paksaan dan penipuan.
3. Tahap Pelaksanaan Perjanjian
Pelaksanaan perjanjian antara PT. Aqua Tirta Investama dengan CV.
Bintang Jaya terdapat permasalahan-permasalahan maupun keadaan yang
lxviii
tidak diinginkan oleh para pihak, dan kejadian tersebut dapat terjadi baik
diketahui maupun tanpa sepengetahuan pengusaha angkutan maupun pihak
PT. Aqua Tirta Investama. Beberapa permasalahan yang timbul antara lain
produk yang cacat, rusak atau tidak seperti semula kadang sudah terjadi
terlebih dahulu sebelum produk diterima CV. Bintang Jaya untuk diangkut
kepada konsumen PT. Aqua Tirta Investama, hal seperti itu bisa merupakan
suatu resiko yang kadang dapat terjadi saat proses pemindahan produk ke truk
pengangkut CV. Bintang Jaya karena faktor human error. Hal-hal seperti itu
sebetulnya dapat diminimalisir dengan cara memastikan setiap box yang telah
diterima CV. Bintang Jaya dari PT. Tirta Investama dalam kondisi yang masih
baik dan sesuai dengan jumlah produk yang tertera dalam SJ/CO sebelum
diangkut keluar atau sebelum meninggalkan pabrik PT. Tirta Investama.
Permasalahan maupun kejadian-kejadian yang tidak diinginkan para
pihak seperti berupa berkurangnya jumlah barang yang telah diangkutkan oleh
PT. Tirta Investama kepada CV. Bintang Jaya untuk dikirimkan kepada
konsumen. Dalam keadaan demikian, bagaimanapun juga yang dituntut adalah
pihak pengirim yaitu dalam hal ini adalah transportir untuk mengganti
kekurangan atau kerugian pihak pertama.
Selama 1 tahun periode berlakunya Perjanjian Kerjasama Angkutan
antara PT. Tirta Investama dengan CV. Bintang Jaya berjalan relatif lancar,
hal tersebut ditegaskan dengan ditandatanganinya Addendum I per tanggal 30
maret 2007 yang berisi kesepakatan para pihak untuk memperpanjang kerja
sama pengangkutan antara kedua belah pihak dengan mengubah pasal 11.1
mengenai jangka waktu perjanjian yang berisi:
”Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal 01 April 2007 dan akan berakhir sampai dengan tanggal 31
Maret 2008.”
lxix
Tarif angkutan yang akan dibayarkan kepada CV. Bintang Jaya
sesuai dengan Pasal 8.1 dari Perjanjian Kerjasama Angkutan antara PT. Tirta
Investama dengan CV. Bintang Jaya yang berisi:
“Biaya pengangkutan adalah sebagaimana diuraikan dalam lampiran 2
perjanjian ini, bermaterai cukup, ditandatangani oleh para pihak dan
merupakan satu kesatuan serta bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian ini”.
PT. Tirta Investama dan CV. Bintang Jaya menandatangani
Addendum II tertanggal 24 April 2007 yang mengacu pada syarat dan
ketentuan sebagai berikut:
”Mengubah Lampiran 2 dari Perjanjian (mengenai Biaya Pengangkutan)
sehingga untuk selanjutnya terhitung sejak tanggal 24 April 2007
Lampiran 2 dari Perjanjian seluruhnya akan tertulis dan dibaca
sebagaimana terlampir dalam Addendum ini, bermaterai cukup dan
ditandangai oleh para pihak serta merupakan satu kesatuan dan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari Addendum ini dan dengan diberlakunya
Lampiran 2 sebagaimana tersebut di atas maka Lampiran 2 yang ada
sebelum Addendum ini dibuat dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi.”
Addendum II diatas menjelaskan bahwa para pihak sepakat untuk
merubah tarif ongkos angkut untuk produk Mizone (6.7 Kg) dengan ekspedisi
Klaten – Jawa Timur yang terdiri dari 20 lokasi tujuan yang mengalami
penurunan tarif ongkos angkut sebesar 5 % / box dari harga sebelumnya, serta
penurunan tarif ongkos angkut ekspedisi Klaten – Jawa Barat yang terdiri dari
14 lokasi tujuan yang mengalami penurunan tarif ongkos angkut sebesar 5 % /
box dari harga sebelumnya (sebagaimana dalam Lampiran Addendum II hal. 7
dan 8).
Munculnya isu-isu terhadap pentingnya pemenuhan hak-hak para
pekerja yang harus terpenuhi sesuai undang-undang ketenagakerjaan yang
berlaku di Indonesia untuk memberikan, menjamin, melindungi serta
memperjelas hal-hal yang menjadi hak-hak para pekerja makin mendorong
para pihak untuk membuat dan menandatangani Addendum III tentang
lxx
prinsip-prinsip dasar sosial yang juga menyepakati perpanjangan berlakunya
periode kerja sama angkutan para pihak pada tanggal 07 April 2008. Dalam
Addendum III disebutkan bahwa para pihak sepakat untuk membuat suatu
Addendum dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang antara lain
mengubah pasal 11.1 dari perjanjian yang menyatakan:
”Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal 01 April 2008 dan akan berakhir sampai dengan tanggal 31
Maret 2009.”
Addendum III tersebut juga diberlakukannya pasal baru ke dalam
perjanjian yang selanjutnya disebut sebagai pasal 20 mengenai prinsip-prinsip
sosial dasar yang mengacu kepada Undang-undang ketenagakerjaan yang
berlaku di Indonesia dan konvensi-konvensi Organisasi Buruh Internasional
yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. Larangan buruh anak-anak
2. Larangan kerja paksa
3. Larangan atas segala bentuk diskriminasi
4. Hak atas kebebasan berserikat dan melakukan perundingan secara kolektif
5. Perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja karyawan
6. Penerapan hukum nasional atas jam kerja
7. Penerapan hukum nasional atas upah minimum
Seiring meningkatnya biaya operasional dan tarif ongkos angkut
yang dirasakan oleh pengusaha jasa pengangkutan memaksa setiap usaha
untuk dapat berkembang dan menjadi lebih kompetitif dalam mempertahankan
dan menjalankan usahanya agar roda usahanya dapat terus bergerak, maka
tidak jarang pengusaha berupaya untuk mempertahankan usahanya, salah
satunya dengan cara menaikan tarif ongkos angkut usahanya. Berdasarkan
alasan yang sama pula PT. Tirta Investama dan CV. Bintang Jaya
menandatangani Addendum IV tertanggal 09 Juli 2008 yang mengacu pada
syarat dan ketentuan yang antara lain mengubah pasal 8.3 dari perjanjian
mengenai biaya pengangkutan yang berisi:
lxxi
”Perubahan biaya pengangkutan harus disetujui oleh para pihak secara
tertulis dan berlaku untuk pengangkutan dengan Purchase Order (PO)
berikutnya dan tidak berlaku untuk PO yang sudah ditandatangani
sebelumnya dan/atau sedang dijalankan kecuali ditentukan lain secara
tertulis oleh para pihak.”
Addendum IV tersebut menjelaskan bahwa perubahan biaya
pengangkutan terhitung mulai tanggal 24 Mei 2008 biaya pengangkutan
sebagaimana terdapat pada Lampiran 2 dari perjanjian mengalami perubahan
sesuai dengan biaya pengangkutan sebagaimana terdapat dalam Lampiran dari
Addendum IV serta biaya pengangkutan yang ada sebelum Addendum IV
dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 24 Mei 2008. Perubahan biaya
pengangkutan tersebut meliputi biaya pengangkutan untuk produk Aqua
seluruh ukuran kemasan (per Box) dengan kenaikan sebesar 17 % untuk
ekspedisi Klaten – Jawa Timur dan Klaten – Jawa Barat, dan kenaikan sebesar
15 % untuk ekspedisi Klaten – Jawa Tengah, serta perubahan biaya
pengangkutan untuk produk Mizone ukuran 6.7 Kg (per Box) dengan
kenaikan sebesar 19 % untuk tujuan Klaten – Jawa Timur dan Klaten – Jawa
Tengah, dan kenaikan sebesar 17 % untuk tujuan Klaten – Jawa Tengah.
C. Tanggung Jawab Hukum Masing-Masing Pihak dalam Pelaksanaan
Perjanjian Pengangkutan Barang
Para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian selama jangka
waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut, yaitu selama 1 tahun. PT. Aqua
Tirta Investama sebagai pihak pemakai jasa / pengirim, sedangkan CV. Bintang
Jaya sebagai pihak pengangkut atau transportir. Berikut ini tanggung jawab
masing-masing pihak dalam pelaksanaan perjanjian :
1. Tanggung Jawab Hukum CV. Bintang Jaya selaku pihak pengangkut
lxxii
Setidak-tidaknya ada tiga prinsip tanggung jawab pengangkut dalam
hukum pengangkutan yaitu pertama prinsip tanggung jawab berdasarkan
kesalahan (fault liability), kedua prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga
(presumption of liability), ketiga prinsip tanggung jawab mutlak (absolute
liability).
i.
Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan
Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan
dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung
jawab
membayar ganti kerugian atas segala kerugian yang timbul dari
kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan
kesalahan pengangkut itu. Beban pembuktian ada pada pihak yang
dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini adalah yang umum
berlaku seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang
Perbuatan Melawan Hukum
ii.
Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga
Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung
jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang
diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia
tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
Yang dimaksud dengan tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian,
telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian, atau
peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari.
Beban pembuktian ada pada pihak pengangkut, bukan pada pihak yang
dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian
yang
diderita
dalam
pengangkutan
pengangkut.
lxxiii
yang
diselenggarakan
oleh
iii.
Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab
membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari
pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada
tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan
membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang
menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian
tentang kesalahan. Unsur kesalahan tidak relevan. Apabila prinsipprinsip ini dihubungkan dengan undang-undang yang mengatur
pengangkutan darat, laut dan udara di Indonesia, ternyata undangundang pengangkutan yang mengatur ketiga jenis pengangkutan tersebut
menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga. Hal ini terbukti
dari antara lain ketentuan salah satu pasal berikut ini
Dalam perjanjian pengangkutan antara PT. Aqua Tirta Investama
dengan CV. Bintang Jaya , kewajiban pokok CV. Bintang Jaya sebagai pihak
pengangkut adalah sebagai berikut :
a. Menyelenggarakan pengangkutan barang dari pabrik sampai tujuan dengan
selamat.
b. Merawat, memelihara, menjaga barang yang diangkut dengan sebaikbaiknya.
c. Menyerahkan barang yang diangkut kepada penerima dengan sebaikbaiknya dalam keadaan lengkap, utuh, tidak rusak atau tidak
Menurut ketentuan Pasal 1236 KUHPerdata, pengangkut wajib
membayar ganti kerugian atas biaya, kerugian yang diderita dan bunga yang
layak diterima, bila ia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya
untuk menyelamatkan barang muatan. Pasal 1246 KUHPerdata menentukan
bahwa biaya, kerugian dan bunga itu pada umumnya terdiri dari kerugian yang
telah diderita dan laba yang sedianya akan diterima.
lxxiv
2. Tanggung Jawab Hukum PT. Aqua Tirta Investama selaku pihak pengirim
Tanggung jawab PT. Aqua Tirta Investama selaku pihak pengirim
adalah membayar biaya pengangkutan sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati. Pembayaran dilakukan dalam tempo 30 hari setelah menerima
invoice dari CV. Bintang Jaya. Pembayaran ini dilakukan melalui transfer ke
rekening Bank sesuai dengan kesepakatan.
D. Hambatan dalam Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan Barang antara PT.
Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya dan Penyelesaiannya
Perjanjian Kerjasama Angkutan antara PT. Tirta Investama dengan CV.
Bintang Jaya tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Kemungkinan dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh pihak-pihak dalam
perjanjian. Hambatan-hambatan yang terjadi disebabkan adanya :
1. Kepentingan Para Pihak
Perjanjian yang dibuat, pihak pertama selalu dalam posisi kuat dan
berhadapan dengan pihak kedua yang pada umumnya mempunyai posisi
lemah. Dalam perjanjian kerjasama angkut PT. Aqua Tirta Investama sebagai
pihak pertama, sedang CV. Bintang Jaya sebagai pihak kedua. Hambatanhambatan yang disebabkan oleh kepentingan para pihak antara lain :
i.
Berakhirnya perjanjian kerjasama angkut antara PT. Aqua Tirta
Investama dengan CV. Bintang Jaya.
Perjanjian kerjasama angkutan yang telah disepakati antara PT.
Tirta Investama dengan CV. Bintang Jaya mempunyai jangka waktu
berlaku. Jangka waktu perjanjian diatur dalam pasal 11.1. Perjanjian
telah ditentukan selama 1 (satu) tahun berlakunya.
lxxv
Pasal 11.2 disebutkan jangka waktu dapat diperpanjang kembali
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum perjanjian berakhir dengan
ketentuan yang akan dibicarakan dan disetujui secara tertulis oleh para
pihak.
Berdasarkan Pasal 13 Surat Perjanjian Kerjasama Angkutan antara
PT. Tirta Investama dengan CV. Bintang Jaya telah ditentukan mengenai
berakhirnya perjanjian. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa :
a) Pihak pertama berhak untuk mengakhiri perjanjian secara sepihak
sebelum berakhirnya jangka waktu Perjanjian ini dengan cara
membuat pemberitahuan secara tertulis, apabila terjadi salah satu
peristiwa sebagai berikut :
a) Pihak kedua tidak atau lalai melakukan kewajibannya, melanggar
atau menyalahi baik sebagian maupun seluruh kewajibankewajibannya.
b) Pihak kedua tidak sanggup memperbaiki kesalahan-kesalahannya
(bukan force majeure) dalam waktu singkat.
c) Pihak kedua jatuh pailit atau ditaruh di bawah pengampunan
(curatele).
d) Usaha pihak kedua bubaratau dibubarkan karena sebab apapun
juga.
e) Harta kekayaan pihak kedua baik sebagian maupun seluruhnya
disita, baik dengan sita jaminan maupun eksekusi.
f) Ijin usaha pihak kedua dicabut untuk sementara maupun untuk
seterusnya.
g) Adanya perubahan kepemilikan dan/atau perubahan manajemen
dari pihak kedua yang dapat mempengaruhi kepentingan hukum,
finansial dan/atau bisnis pihak pertama.
lxxvi
b) Pada saat berakhirnya perjanjian :
a) Pihak kedua tetap harus menyelesaikan semua kewajibankewajibannya yang masih terhutangi berdasarkan perjanjian.
b) Pihak kedua tidak diperbolehkan menggunakan informasi rahasia
milik pihak pertama baik dalam hal dan/atau bentuk apapun juga.
c) Pihak kedua harus mengembalikan semua produk yang belum
dan/atau tidak diangkut kepada pihak pertama.
d) Pihak pertama harus menyelesaikan sisa pembayaran biaya
pengangkutan kepada pihak kedua untuk semua produk yang
telah diangkut.
c) Para pihak melepaskan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam
Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai
perlunya putusan pengadilan untuk pengakhiran perjanjian.
d) Semua biaya yang timbul sehubungan dengan pengakhiran
berdasarkan Pasal 13.1 menjadi beban pihak kedua.
ii.
Seringnya PT. Tirta Investama selaku pihak pertama membuat aturanaturan baru tanpa dikomunikasikan terlebih dahulu dengan CV. Bintang
Jaya selaku pihak kedua sebagai pihak pengangkut.
Peraturan-peraturan yang dibuat oleh PT. Tirta Investama
selaku pihak pertama ditujukan untuk menciptakan keamanan dan
kedisplinan kerja. Namun dalam pembuatan peraturan dilakukan secara
sepihak dan rentang waktu antara dikeluarkannya peraturan dengan
pelaksanaan peraturan sangat singkat. Sehingga memberatkan pihak
kedua yang dikenai peraturan. Peraturan – peraturan tersebut antara lain:
1. Kewajiban memakai rompi pengaman dan sepatu kulit untuk setiap
orang (khususnya sopir dan kenek) yang memasuki area pabrik.
lxxvii
2. Kelengkapan truk yang harus dimiliki oleh semua armada truk yang
memasuki area pabrik. Kelengkapan tersebut antara lain :
terpasangnya sabuk pengaman sopir, sirine belakang truk harus
berfungsi, adanya pengganjal truk.
PT. Tirta Investama selaku pihak pertama dalam membuat
aturan-aturan baru tersebut semestinya melibatkan CV. Bintang Jaya
selaku pihak kedua sehingga aturan-aturan yang dibuat dapat
disosialisasikan terlebih dahulu sehingga tidak dirasa memberatkan.
iii.
Adanya kecelakaan yang mengakibatkan rusaknya produk (rusak, pecah,
cacat atau bau karena terkontaminasi oleh benda/zat lain), rusaknya
kendaraan angkutan, berkurangnya jumlah barang, cederanya pengemudi
maupun kernet, ataupun cederanya pihak ketiga.
Hukum pengangkutan mengandung prinsip bahwa pengangkut
dianggap selalu bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dalam
penyelenggaraan pengangkutan, yaitu dalam pasal 14. Dalam perjanjian
kerjasama angkut antara PT. Aqua Tirta Investama dengan CV. Bintang
Jaya, semua resiko diatas ditanggung oleh CV. Bintang Jaya selaku
pengangkut.
lxxviii
2. Faktor Alam
Hambatan dalam perjanjian selain dari faktor-faktor tersebut diatas,
dapat dikarenakan force majeure. Ketentuan dalam Pasal 15.1 Perjanjian
Kerjasama Angkutan antara PT. Tirta Investama dengan CV. Bintang Jaya,
klausula dalam pasal ini merupakan penegasan dalam hal kegagalan atau
keterlambatan dalam pelaksanaan pengangkutan disebabkan oleh peristiwa
seperti kebakaran, banjir, gempa bumi, embargo, peraturan pemerintah,
perang, pemberontakan, huru hara, kerusuhan sipil, bencana alam, atau sebab
lainnya
di luar kekuasaan masing-masing pihak (disebut suatu keadaan
terpaksa).
Atas kejadian-kejadian yang telah dijelaskan tersebut di atas maka
masing-masing pihak dibebaskan dari tanggung jawab satu sama lain. Tetapi
pihak yang terlambat dan terhambat dalam melaksanakan kewajiban sebagai
akibat kejadian terpaksa wajib memberitahukan secara tertulis kepada pihak
lainnya selambat-lambatnya 3 hari setelah kejadian keadaan terpaksa terjadi.
lxxix
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat diambil kesimpulan mengenai penelitian dari skripsi yang berjudul:
”Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan Barang Antara PT. Aqua
Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya”. Adapun beberapa kesimpulan
yang dapat diambil mengenai penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Proses pengikatan perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua Tirta
Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya.
Proses pengikatan perjanjian pengangkutan barang antara PT. Aqua
Tirta Investama dengan CV. Bintang Jaya melalui 3 tahap, yaitu : tahap
penawaran, tahap kesepakatan perjanjian, dan tahap pelaksanaan perjanjian.
Penawaran dilakukan oleh CV. Bintang Jaya selaku pengangkut kepada PT.
Aqua Tirta Investama selaku yang membutuhkan jasa angkutan. Kedua pihak
sepakat mengadakan perjanjian dengan adanya penandatangan kontrak
perjanjian kerjasama. Pelaksanaan perjanjian antara PT. Aqua Tirta Investama
dengan CV. Bintang Jaya, selama 1 tahun periode berlakunya perjanjian
berjalan relatif lancar meskipun terdapat beberapa permasalahan namun tidak
mengancam pengakhiran perjanjian tersebut oleh pihak pertama. Hal itu
terbukti dengan disetujuinya Addendum 1 yang menyatakan bahwa para pihak
sepakat untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian selama 1 tahun ke
depan.
lxxx
Untuk mempererat kerjasama antara para pihak maka keduanya
sepakat untuk mengubah tarif ongkos pengangkutan sesuai dengan syarat dan
ketentuan dalam Addendum II pada
24 April 2007 mengenai biaya
pengangkutan.
Addendum III pada 07 April 2008 ditandatangani para pihak dengan
maksud untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian serta menambah pasal
baru dalam perjanjian tersebut yaitu pasal 20 mengenai prinsip-prinsip sosial
dasar yang harus diperhatikan, diterapkan dan dilaksanakan oleh pihak kedua.
Pada tahun 2008 para pihak sepakat untuk mengubah tarif biaya
pengangkutan yang dibuktikan dengan ditandatanganinya Addendum IV pada
09 Juli 2008 sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 8.3 tentang perubahan
biaya pengangkutan.
2. Tanggung Jawab Hukum masing-masing pihak dalam pelaksanaan perjanjian
pengangkutan barang.
CV.
Bintang
Jaya
selaku
pihak
pengangkut
berkewajiban
menyelenggarakan pengangkutan barang dari pabrik sampai tujuan dengan
selamat, merawat, memelihara, menjaga barang yang diangkut dengan sebaikbaiknya, serta menyerahkan barang yang diangkut kepada penerima dalam
keadaan lengkap dan tidak rusak.
CV. Bintang Jaya bertanggung jawab membayar ganti kerugian kepada
PT. Aqua Tirta Investama dengan terjadinya keterlambatan dalam pengiriman
barang, kehilangan atau kerusakan akibat kesalahan atau kelalaiannya yang
terjadi selama proses pengangkutan.
lxxxi
PT. Aqua Tirta Investama selaku pihak pengirim bertanggung jawab
membayar semua biaya pengangkutan tepat sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati.
3. Hambatan dan penyelesaian dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan
barang antara PT. Aqua Tirta Investama Klaten dengan CV. Bintang Jaya.
Hambatan-hambatan dalam perjanjian kerjasama pengangkutan barang dapat
berasal dari kepentingan para pihak dan faktor alam. Kepentingan para pihak
antara lain berupa berakhirnya perjanjian, pembuatan aturan-aturan baru oleh
salah satu pihak tanpa melibatkan pihak lainnya, serta kecelakaan yang
mengakibatkan rusak dan cacatnya produk. Sedangkan hambatan yang berasal
dari faktor alam yaitu adanya peristiwa – peristiwa alam seperti kebakaran,
banjir,
gempa
bumi,
embargo,
peraturan
pemerintah,
perang
yang
mengakibatkan terhambatnya pengangkutan barang.
B. Saran
Dari hasil kesimpulan diatas maka penyusun dapat memberikan sedikit
saran yang mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan dan manfaat untuk dapat
lebih mengoptimalkan pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan Barang Antara PT.
Aqua Tirta Investama dengan CV. Bintang Jaya:
1. PT. Aqua Tirta Investama untuk menjaga hubungan dengan pihak pengangkut
hendaknya
sedikit
diberikan
penjelasan-penjelasan
berkaitan
dengan
pengiriman maupun kondisi air minum dalam kemasan yang diminta sehingga
tidak akan terjadi komplain yang berlebihan.
2. PT. Aqua Tirta Investama dengan CV. Bintang Jaya untuk meningkatkan
hubungan kerja sama yang baik sebaiknya setiap komplain, kritik, ataupun
saran yang diberikan oleh tiap-tiap pihak ke pihak yang lain dalam perjanjian
lxxxii
tersebut dapat diterima ataupun dipertimbangkan lebih lanjut, sehingga para
pihak akan merasa sama-sama memiliki kedudukan yang sejajar atau tidak
merasa diberlakukan layaknya hubungan buruh dan majikan, dimana hal
tersebut sesuai dengan asas koordinasi di dalam perjanjian pengangkutan.
3. Pengangkut dalam hal ini CV. Bintang Jaya dalam satu masa perjanjian
sebaiknya diberikan evaluasi atau suatu laporan pertanggungjawaban
berdasarkan seluruh hasil pelaksanaan perjanjian tersebut sehingga dapat
menjadikan koreksi untuk dapat meminimalisir terjadinya hambatan-hambatan
yang dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan perjanjian. Pemutusan
perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak dimana dalam hal ini adalah
PT. Aqua Tirta Investama yang diakibatkan karena adanya permasalahan yang
timbul sebaiknya diberikan surat teguran atau somasi dalam beberapa tahap
sehingga ada kesempatan bagi pihak pengangkut untuk dapat memperbaiki
kesalahannya..
lxxxiii
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Adhitya
Bakti.
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali.
Haridjan Rusli, 1993, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cetakan I,
Jakarta: Pusat Harapan.
http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/uu_lalu_lintas.htm
http://legalitas.org/Asas-Asas Dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis Yuridis
Pada Hukum Perjanjian/S. Imran
Kansil C.S.T., 1995, Hukum Perusahaan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: PT.
Pradnya Paramita.
Lexi J. Maleong, 1991, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan
Penjelasannya, Bandung: Alumni.
Purwosutjipto H.M.N., 1991, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Bag.
Hukum Pengangkutan, Jambatan.
Satrio J., 1992, Hukum Perjanjian (Persetujuan Pada Umumnya), Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Soenaryo dan MG. Sriwiyati, 1992, Metode Penelitian, BPK Fak. Hukum,
Surakarta : UNS Press
Subekti,Prof.,S.H,&Tjitrosudibio,R., 2001, Kitab Undang - Undang Hukum
Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita.
Sumarni, Murti & Salamah Wahyuni, Metodologi Penelitian Bisnis, Yogyakarta :
Andi.
Sukasno, 1993, Hukum Perjanjian Bagian Perjanjian yang Berkembang di Dalam
Masyarakat, Solo : UNS Press.
Suradji, 1994, Hukum Perjanjian Baku, Solo : UNS Press.
lxxxiv
lxxxv
Download