DISKUSI KASUS BATUK Kelompok B Kevin Fitriana Nur R Akhdes I O Wau Hanifah Rahmani N Ali Haidar Syaifullah Faathimah Mahmudi I Ayesya Nasta Lestari 0906554333 0906487796 0906507766 0906487814 0906554232 0906508030 0906507841 Narasumber: Dr. Gurmeet Singh, SpPD Prof. Dr. Hedi R. Dewoto, SpFK(K) Modul Praktik Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Desember 2013 SURAT PENYATAAN Kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan ini sebenarnya menyatakan bahwa tugas diskusi kasus yang kami susun tanpa tindakan plagiarism dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata kami melakukan tindakan plagiarisme, kami akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada kami. Jakarta, 18 Desember 2013 Kevin Fitriana Nur R Ali Haidar Syaifullah Akhdes I O Wau Faathimah Mahmudi I Hanifah Rahmani N Ayesya Nasta Lestari 2 BAB I ILUSTRASI KASUS IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. Y Usia : 33 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMP Status perkawinan : Menikah Alamat : Cakung, Jakarta Timur Tanggal kunjungan : 7 November 2013 ANAMNESIS Keluhan utama Batuk yang tidak kunjung sembuh dan memberat dalam 4 bulan terakhir Riwayat penyakit sekarang Pada 10 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan batuk dengan dahak warna kuning kehijauan yang disertai dengan damam hilang timbul terutama pada sore hari dan keringat malam. Suhu yang pernah terukur adalah 39oC dan membaik pada pagi hari. Frekuensi batuk semakin sering, tidak ada darah, dan disertai dengan sesak pada kurang lebih 4 bulan SMRS. Nafsu makan menurun dan disertai dengan penurunan berat badan (tidak pernah diukur, celana terasa longgar). Pasien kemudian pergi ke puskesmas pada 3 bulan SMRS dan diberikan pengobatan untuk tuberkulosis regimen I. Batuk dan sesak membaik pada 1 bulan awal pengobatan. Namun, hasil pemeriksaan BTA pada minggu kedua dan keempatdidapatkan bakteri positif. Pada 2 bulan SMRS, keluhan batuk kembali bertambah dengan dahak warna kuning kehijauan dan sesak bertambah yang disertai nyeri apabila menarik nafas dalam. Nyeri dada kiri yang menjalar disangkal. Sesak tidak dipengaruhi oleh posisi, tetapi sesak membuat pasien membutuhkan bantuan untuk melakukan aktivitas fisik hidup dasar. Kaki bengkak disangkal. Kuku biru disangkal.BTA pada minggu kedelapan pengobatan tetap positif. Pasien diberikan pengobatan sisipan, tetapi tidak ada perbaikan dan BTA tetap positif. Puskesmas merujuk pasien ke RSP untuk evaluasi lebih lanjut.Asupan cairan pasien baik dan mampu BAK 2-3 kali sehari. BAB setiap 3-4 hari sekali, konsistensi pasta, warna kuning. Riwayat sakit kuning dan perut membesar selama pengobatan disangkal. Pada reanamnesis, diketahui bahwa pasien saat ini sedang menggunakan KB suntik setiap 3 bulan. Untuk mengatasi penurunan nafsu makan, pasien mengonsumsi obat pegal linu dan penambah nafsu makan berupa pil berwarna hijau dan merasa muka bertambah bengkak. 3 Pada tahun 2006, pasien didiagnosis memiliki TB di puskesmas dan diberikan pengobatan regimen I. Namun, pengobatan dihentikan sendiri pada bulan keempat karena merasa sudah tidak ada gejala. Riwayat penyakit dahulu HT disangkal, DM disangkal, asma dan alergi disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal, riwayat sakit kuning disangkal. Riwayat penyakit keluarga HT disangkal, DM disangkal, asma dan alergi disangkal, riwayat penyakit jantung dan stroke disangkal, riwayat penyakit paru disangkal. Riwayat sosial-ekonomi Pasien adalah ibu rumah tangga, menikah satu kali dengan suami sekarang dan telah memiliki dua orang anak. Suami bekerja sebagai karyawan bengkel. Jaminan yang digunakan adalah KJS. Siklus menstruasi pasien tidak teratur. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu Keadaan gizi Tinggi badan Berat badan IMT Status generalis Kepala Mata Telinga Hidung Mulut Leher : kesadaran kompos mentis, tampak sakit sedang : 120/70 mmHg : 80 kali/menit, reguler, isi cukup : 28 kali/menit, reguler, torakoabdominal, dangkal, otot bantu nafas (+) : 37,6oC : kurang : 160 cm : 50 kg : 19,53 kg/m2 (normal) : normosefal, rambut hitam tidak mudah dicabut : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+, gerakan kedua bola mata biak, shadow test -/: tidak ada deformitas, kedua liang telinga lapang : tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum, mukosa tidak hiperemis, tidak tampak sekret ataupun bekuan darah : OH cukup, mukosa tidak hiperemis, arkus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1/T1, segmen posterior tenang : KGB tidak teraba, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, JVP 5-2 cmH2O, trakea tertarik ke kiri Jantung I P : iktus kordis tidak terlihat : iktus kordis teraba di sela iga 5, tidak ada heaving, thrilling, ataupun tapping 4 P A : batas jantung kiri di sela iga 5 2 jari medial di linea midklavikula kiri, batas jantung kanan di linea midsternalis kanan, pinggang jantung di linea parasternalis kiri sela iga 2 : bunyi jantung I dan II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop Paru I P P A : ekspansi dada simetris saat statis dan dinamis, dangkal : ekspansi dada simetris saat statis dan dinamis, dangkal, fremitus taktil kiri=kanan : redup/redup, kiri lebih redup : bronkovesikular/bronkovesikular, ronki basah kasar di seluruh lapangan paru, tidak ada mengi Abdomen I P A Ekstremitas Kulit : perut datar, lemas : tidak ada nyeri tekan, hati dan limpa tidak teraba membesar, shifting dullness tidak ada, ballotement tidak ada : suara bising usus ada, normal : akral hangat, edema -/-, a. Dorsalis pedis +/+ kuat, a. Tibialis posterior +/+ kuat, tidak ada striae ungu, buffalo hump tidak ada, moon face tidak ada : berwarna kuning langsat. PEMERIKSAAN PENUNJANG EKG (7/11/2013) SR, 80 kali/menit, normoaksis, LVH (-), RVH (-), P wave normal, PR int 0,16s, QRS dur 0,08s, Q patologis (-), ST changes (-), QT int 0,36s, T inv (-) Item 7/11/2013 10/11/2013 12/11/2013 13/11/2013 Nilai normal Darah rutin Hb 10.5 9,8 9,2 13,0 – 16,0 g/dL Ht 32 31 25 40 – 48 % Leukosit 29810 31510 25430 5000 -10000/mm3 Diff count (ba/eo/neu/lim/mo) 0,1/0,2/75,9/11,0/12,8 0,1/0,1/84,1/7,8/7,9 0,2/3,9/77,8/8,7/9,4 0-1/2-4/50-70/25-40/2-8 539.000 599.000 25,2 24,6 542.000 150000 – 400000/mm3 76,5 76,9 24,6 26 – 34 pg 32,81 32,0 76,2 80 – 100 fL n/a n/a 32,3 32 – 36 g/dL n/a <10 Trombosit MCH MCV MCHC LED PT 14,5 15,3 11,0 – 14,0 s INR 1,20 1,29 0,83-1,15 5 36,6 28,0 – 40,0 s Fibrinogen 653 200-400 D-dimer 2570 <500 aPTT 31,7 Na 133 132 130 135 – 145 mEq/L K 4,5 4,10 3,60 3,5 – 5,5 mEq/L Cl 96 95 92 98 – 109 mEq/L Ureum 13 17 12 10,0 – 50,0 mg/dL Kreatinin 0,7 0,4 0,6 0,8 – 1,5 mg/dL SGOT 34 36 34 0 – 37 U/l SGPT GDS 27 30 22 0 – 40 U/l 123 142 Albumin Feses lengkap <200 2,5 2,5 3,4-5 Cokelat, lembek, lendir (), darah (-), nanah (-), darah samar feses (-), amoeba (-), telur cacing () Hasil GeneXpert (12/11/2013) Dahak purulen, M. tuberculosis positif, sensitif terhadap Rifampisin 6 Ro toraks Tampak trakea tertarik ke sisi kiri, mediastinum superior tidak membesar, CTR 45%, apeks downward, pinggang jantung sulit dinilai, aorta tidak elongasi dan dilatasi, hilus perihilar melebar, tampak kavitasi di superior paru kanan superior, fibrosis, kalsifikasi, infiltrat di paru kanan inferior, hampir seluruh lapang paru kiri, atelektasis pada paru kiri superior, sudut costofrenikus kanan tajam, sudut costofrenikus kiri sulit dinilai, diafragma cekung, garis pleura baik. 7 RINGKASAN Pasien wanita yang berusia 33 tahun dan berat badan 50 kg datang dengan keluhan batuk yang tidak kunjung sembuh dan semakin memberat dalam 4 bulan, dahak warna kuning kehijauan, tidak ada darah, demam hilang timbul terutama pada sore hari, keringat malam, penurunan berat badan, sesak yang tidak dipengaruhi oleh posisi sehingga membuat keterbatasan aktivitas hidup dasar pasien. Diketahui pada 3 bulan lalu pasien sudah diberikan pengobatan TB dan hasil BTA positif. Nafsu makan menurun. Pengobatan lain yang ada pada pasien adalah KB suntik rutin setiap 3 bulan, obat pegal linu dan penambah nafsu makan berupa pil berwarna hijau dan merasa muka bertambah bengkak (steroid?). Riwayat pengobatan TB pada 2006 dan berhenti pada bulan keempat karena merasa sudah membaik. Pemeriksaan fisik didapatkan kondisi pasien kompos mentis dan tampak sakit sedang dengan frekuensi nafas 28 kali/menit, dangkal, dan tampak penggunaan otot bantu nafas, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, trakea tertarik ke kiri, ekspansi dada menurun statis dan dinamis, penurunan fremitus, redup, suara nafas bronkovesikular dengan ronki basah kasar pada kedua lapang paru, lainnya dalam batas normal. Pada hasil laboratorium, ditemukan Hb 9,2 g/dL, MCV 76,2 fL, MCH 24,6 pg, leukosit 25430/mm3, trombosit 542.000/mm3, PT 15,3 detik, INR 1,29, aPTT 36,6 detik, fibrinogen 653, D-dimer 2570, Na 130 mEq/L, K 3,60 mEq/L, dan Cl 92 mEq/L. Hasil sputum mendapatkan BTA positif dan sensitif Rifampisin. Gambaran rontgen toraks didapatkan trakea terdorong ke kiri, kavitas, fibrosis, kalsifikasi, infiltrat, dan atelektasis. DAFTAR MASALAH 1. 2. 3. 4. TB paru BTA positif lesi luas kasus default/ drop out Anemia mikrositik hipokrom Hipoalbuminemia Hiponatremia dan hipoklorida PENGKAJIAN MASALAH 1. TB paru BTA positif lesi luas kasus default/ drop out Atas dasar: keluhan batuk sejak 10 bulan SMRS, dahak warna kuning kehijauan, demam hilang timbul terutama sore-malam hari, keringat malam, penurunan berat badan. Pada perjalanan penyakit, kondisi memburuk di mana pasien menjadi sesak saat beraktivitas dan nyeri bila menarik nafas dalam. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan frekuensi nafas 28 kali/menit, dangkal, tampak penggunaan otot bantu nafas, vokal fremitus menurun pada kedua lapang paru tetapi lebih berat pada sisi kiri, suara nafas bronkovesikular dan ronki basah kasar pada kedua lapang paru. Hasil BTA positif yang masih sensitif Rifampisin. Rontgen toraksdidapatkan gambaran trakea terdorong ke kiri, kavitas, fibrosis, kalsifikasi, infiltrat, dan atelektasis. Hasil laboratorium didapatkan leukositosis dengan peningkatan neutrofil dan penurunan limfosit. Saat ini dalam OAT bulan ketiga. Pasien dengan riwayat pengobatan TB tahun 2006 dan berhenti pada bulan keempat. 8 Dipikirkan: penyulit pada kasus ini yang menyebabkan pasien masih memiliki BTA positif adalah penggunaan obat penambah berat badan yang dicuragi sebagai steroid yang dapat mengurangi efektivitas pengobatan. KB yang digunakan pasien adalah 3 bulanan yang berisi DMPA dan tidak mengganggu efektivitas OAT. Kemungkinan adanya MDR masih belum dapat disingkirkan karena hasil uji resistensi hanya menunjukkan sensitivitas pada rifampisin saja. Diagnosis etiologi diferensial:MDR TB, CAP. Pasien sempat membaik pada pengobatan dan kemudian memburuk secara klinis Rencana 1. Diagnostik: DPL, Ro toraks, Ur/Cr, faal hati (albumin, CHE, SGOT/PT, bilirubin total-direk-indirek), AGD, sputum mikrobiologi, kultur, uji resistensi 2. Terapi - Diet tinggi protein1500 kkal - O2 3 liter/menit - IVFD NaCl 0,9% 500 cc/8 jam - OAT kategori 1 fixed dose combination (R 150/ H 75/ Z 400/ E 275) 3 tab/hari - Cefotaksime 1x3 g IV - Azitromisin 1x500 mg PO (3 hari) - Ambroksol 3x1C - N-asetil sistein 3x5 mg PO 3. Edukasi: TB, pentingnya penyelesaian pengobatan hingga tuntas, transmisi, gizi 2. Anemia mikrositik hipokrom Atas dasar: keluhan tidak ada, konjungtiva anemis, Hb 9,2 g/dL, MCV 76,2 fL, MCH 24,6 pg. Dipikirkan disebabkan oleh anemia defisiensi besi dengan diagnosis diferensial anemia penyakit kronik. Rencana 1. Diagnostik: DPL, morfologi, serum iron, ferritin, TIBC, saturasi transferrin 2. Terapi - Vitamin B kompleks 1x1 tab - SF 1x3 tab 3. Edukasi: apa itu anemia, mengapa timbul dan akibatnya pada efektivitas pengobatan, gizi pada anemia 3. Hipoalbuminemia Atas dasar: temuan albumin 2,5. Dipikirkan disebabkan oleh penurunan intake sehingga sintesis protein menurun dengan diagnosis banding peningkatan globulin pada inflamasi kronik. Rencana 1. Diagnostik: protein total, albumin, globulin 2. Terapi: - Diet tinggi protein 1500 kkal 9 3. - Albumin 20% IV 3 hari Edukasi: peningkatan gizi dengan sumber protein seperti putih telur dan ikan gabus, sumber protein nabati 4. Hiponatremia dan hipoklorida Atas dasar:kondisi kompos mentis, Na 130 mEq/Ldan Cl 92 mEq/L. Dipikirkan disebabkan oleh penurunan intake. Rencana 1. Diagnostik: elektrolit 2. Terapi - IVFD NaCl 0,9% 500 cc/8 jam 3. Edukasi: peningkatan intake 10 KESIMPULAN Pasien wanita yang berusia 33 tahun dan berat badan 50 kg datang dengan keluhan batuk yang tidak kunjung sembuh dan semakin memberat dalam 4 bulan, dahak warna kuning kehijauan, tidak ada darah, demam hilang timbul terutama pada sore hari, keringat malam, penurunan berat badan, sesak yang tidak dipengaruhi oleh posisi sehingga membuat keterbatasan aktivitas hidup dasar pasien. Riwayat pengobatan TB pada 2006 dan berhenti pada bulan keempat karena merasa sudah membaik. Permasalahan yang ditemukan pada pasien adalah tuberculosis paru lesi luas kasus drop out, anemia mikrositik hipokrom, hipoalbuminemia, hiponatremia, dan hipokloridia. Saat ini, pasien dilakukan perawatan dan dievaluasi lanjut untuk pengobatan tuberculosis. Prognosis Ad vitam : Bonam Ad sanasionam : Dubia ad bonam Ad fungsionam : Dubia ad bonam 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. BATUK Batuk adalah cara tubuh untuk mengeluarkan benda asing atau mukus dari paru-paru dan saluran napas atas, atau sebagai reaksi dari iritasi pada saluran napas. Batuk hanyalah suatu gejala, bukan penyakit, dan seberapa berat batuk mungkin hanya dapat dievaluasi dengan melihat gejala selebihnya.1,2 Batuk terdiri atas tiga fase: tarikan napas dalam di awal, usaha singkat dari pernapasan untuk melawan glottis yang tertutup, dan pembukaan glottis disertai penutupan nasofaring dan ekspirasi hebat melalui mulut.1 Mekanisme terjadinya batuk diperkirakan berasal dari nervus vagus. Area pada saluran pernapasan yang diperkirakan dapat menginisiasi terjadinya batuk adalah dari laring hingga bronkus. Area ini mengandung banyak rapidly adapting pulmonary stretch receptors (RAR) yang diduga memediasi terjadinya batuk. RAR mengandung banyak serat saraf bermielin dan berdiameter kecil. RAR sangat mekanosensitif, dan juga merespons terhadap rangsangan asam serta cairan nonisosmolar. Membran RAR mengandung reseptor dan kanal terhadap stimulus-stimulus tersebut, sehingga menimbulkan batuk.1 Rangsang mekanis yang dapat menstimulasi RAR antara lain kontraksi otot polos, vasodilatasi dan edema, sekresi mukus, serta penurunan komplians paru. Segala perubahan ini dapat terjadi akibat kondisi inflamasi seperti asma, disebabkan oleh rangsangan langsung dari mediator inflamasi yang dilepaskan di jaringan, atau dari takikinin yang dilepaskan reseptor serat C di epitel dan mukosa.1 Selain hipotesis tersebut, terdapat pula hipotesis lain mengenai “pusat batuk” di batang otak. Serat-serat nervus vagus yang berkaitan dengan batuk memasuki batang otak dan bersambung dengan nukleus traktus solitarius melalui second order neurons. Pada bagian ini, jalur mengalami overlap dan berinteraksi dengan serat aferen pernapasan lainnya seperti serat C dan slowly adapting pulmonary stretch receptors (SAR). Neurotransmitter yang termasuk antara lain glutamat, takikinin, substansi P, dan neurokinin. Jika aktivitas RAR meningkat secara signifikan maka akan terjadi batuk. Termasuk juga antara lain gating process untuk menentukan apakah suatu impuls cukup kuat untuk menimbulkan batuk, interaksi dengan sistem pernapasan karena batuk dan bernapas tidak bisa terjadi dalam waktu bersamaan, dan koordinasi antara aktivitas motorik diafragma, otot abdomen dan interkostal, serta otot laring dan saluran napas atas melalui nukleus retroambigualis dan ambiguus.1 12 Berdasarkan waktu terjadinya, batuk dapat dibedakan menjadi:1 1. Batuk akut: terjadi kurang dari tiga minggu, biasanya disebabkan infeksi saluran pernapasan, aspirasi, atau inhalasi asap atau bahan kimia. 2. Batuk subakut: terjadi antara 3-8 minggu, disebabkan oleh trakeobronkitis akibat pertusis atau sindrom tusif postviral. 3. Batuk kronik: terjadi lebih dari 8 minggu, dapat disebabkan oleh penyakit kardiopulmonal, seperti inflamasi, infeksi, neoplasma, dan penyeab kardiovaskular lainnya. Jika dinilai berdasarkan sputum yang dihasilkan, batuk dibedakan sebagai berikut:2 1. Batuk produktif: batuk yang menghasilkan dahak atau sputum. Mukus bisa dihasilkan dari hidung atau sinus yang turun ke bagian belakang tenggorokan, atau berasal dari paru-paru. Penyebab batuk produktif antara lain infeksi virus atau bakteri, penyakit paru kronis, refluks asam lambung ke esofagus, postnasal drip, dan merokok. 2. Batuk nonproduktif: batuk kering yang tidak menghasilkan sputum. Batuk nonproduktif dapat disebabkan antara lain bronkospasme, alergi, obat-obatan seperti ACE inhibitor, paparan terhadap debu, asap, atau bahan kimia, asma, dan penyumbatan saluran napas oleh makanan atau pil. Pada praktik klinik sehari-hati, batuk merupakan suatu keluhan yang paling sering ditemukan. Oleh karena itu, kita wajib menentukan penyebab dari batuk untuk menghilangkannya. Penyebab batuk dapat ditentukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1 Anamnesis yang dapat dilakukan kepada pasien batuk antara lain:1 Lama batuk: jika kurang dari 3 minggu dikatakan akut, 3-8 minggu dikatakan subakut, dan lebih dari 8 minggu dikatakan kronik. Produksi sputum: batuk dapat produktif atau nonproduktif. Jika batuk produktif, sebaiknya ditanyakan apakah sputum purulen atau apakah terjadi hemoptisis. Karakteristik batuk: kapan batuk lebih banyak terjadi, apakah pasien sering berdeham atau terjadi postnasal drip, apakah diperparah dengan aktivitas atau udara dingin, gejala penyerta, dan sebagainya. Terdapat nilai prediktif dari karakteristik gejala yang didapat dari anamnesis sebagai berikut: 13 Riwayat merokok Riwayat pekerjaan Riwayat penggunaan obat: obat-obatan seperti ACE inhibitor dapat menyebabkan efek samping berupa batuk, terjadi pada kurang-lebih 10% pasien. Selain anamnesis, pemeriksaan fisik pun diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan fisik yang penting untuk keluhan batuk antara lain:1 Pemeriksaan THT Pemeriksaan THT mungkin menunjukkan bukti terjadi rinitis atau faringitis, dengan adanya peradangan pada mukosa hidung dan faring posterior disertai sekret. Mungkin juga dapat ditemukan gambaran cobblestone di mukosa orofaring. Pemeriksaan telinga dapat menunjukkan otitis serosa. Pemeriksaan dada Pemeriksaan fisik dada meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pada inspeksi dan palpasi, dapat dilihat kesimetrisan dinding dada dan apakah bagian paru yang tertinggal saat bernapas. Pada perkusi mungkin dapat ditemukan bagian paru yang lebih redup. Pada auskultasi dapat terdengar kelainan pada suara napas serta bunyi napas tambahan seperti ronki atau wheezing. Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik, mungkin diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menentukan etiologi batuk. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain foto toraks, spirometri, uji bronkoprovokatif, foto sinus, bronkoskopi, dan CT scan toraks.1 14 Batuk dapat diatasi sesuai dengan penyebabnya, tetapi terdapat pula beberapa jenis obat yang dapat mengatasi batuk secara simptomatik. Obat-obat batuk dibagi tiga berdasarkan indikasinya, yaitu antitusif untuk batuk kering, ekspektoran untuk batuk berdahak, dan dekongestan untuk batuk yang disertai sumbatan hidung.3 1. Antitusif o Kodein Obat golongan agonis opioid. Bekerja dengan menekan refleks batuk akibat ikatan dengan reseptor µ dan κ. Kodein juga dapat digunakan sebagai terapi analgesia, tetapi dosisnya berbeda dengan antitusif, sehingga pada dosis antitusif belum ada efek analgesia. Efek samping kodein antara lain sedasi, mual, muntah, konstipasi, ketergantungan, dan depresi pernapasan.3 Dosis awal kodein adalah 4 x 15 mg/hari per oral, bisa ditingkatkan sampai 20 mg setiap 4 jam, maksimal 120 mg/hari.4 o Dextromethorphan Bekerja dengan meningkatkan ambang rangsang refleks batuk secara sentral. Kekuatannya kira-kira sama dengan kodein. Efek antitusifnya bertahan selama 5-6 jam. Dekstrometorfan tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan sirop 10 mg/5 ml dan 15 mg/5 ml. Dosis dewasa 10-30 mg diberikan 3-4x/hari.3 o Noskapin Noskapin merupakan turunan opioid golongan benzilisokinolin. Merupakan pelepas histamin yang poten sehingga dapat menyebabkan bronkokonstriksi dan hipotensi dalam dosis besar. Dosis noskapin adalah 3-4 kali 15-30 mg/hari.3 2. Ekspektoran Obat yang dapat merangsang pengeluaran mukus atau dahak dari saluran napas (ekspektorasi). Dibagi menjadi dua jenis, yaitu:3 15 o Stimulan ekspektoran Bekerja melalui stimulasi mukosa lambung dan merangsang sekresi kelenjar saluran napas melalui nervus vagus sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak (sekret saluran pernapasan lebih banyak sehingga dahak lebih encer). Contoh obat ini adalah ammonium klorida (dosis 300 mg (5 ml) dalam 2-4 jam) dan gliseril guaiakolat (tersedia dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml, dosis 2-4 kali 200-400 mg/hari).3 o Mukolitik ekspektoran Bekerja dengan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum sehingga sputum menjadi encer. Contoh obat ini adalah bromheksin (dosis 3 kali 4-8 mg/hari),3 ambroksol (30-120 mg, dibagi 2-3x)5, dan asetilsistein (diberikan secara nebulisasi, yang biasa digunakan adalah asetilsistein 10-20%).3 3. Dekongestan Obat jenis ini mengurangi sumbatan hidung dengan berikatan dengan reseptor alfa adrenergik sehingga menyebabkan konstriksi vena mukosa hidung. Akibatnya volume mukosa berkurang sehingga sumbatan hidung berkurang. Dekongestan menurut administrasinya terdiri atas oral dan topikal. Dekongestan oral antara lain fenilpropanolamin, pseudoefedrin, dan efedrin. Sedangkan dekongestan topikal antara lain xylometazoline, naphazoline, tetrahydrozoline, oxymetazoline, epinefrin, dan fenilefrin.3 II. TUBERKULOSIS Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan.6 Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.7 Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, pada tahun 2009, prevalensi TB paru di Indonesia adalah 285 per 100.000 penduduk, insidens TB paru 189 per 100.000 penduduk, dan kematian yang berhubungan dengan TB paru sebesar 27 per 100.000 penduduk.8 16 2.1 PENULARAN Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilyah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi droplet nuclei yang mengandung basil, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdahak atau berdarah yang mengandung BTA.9 Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis; sejenis kuman berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/ µm. Yang tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah: 1). M tuberculosae, 2). Varian Asian, 3). Varian African I, 4). Varian African II, 5). M. bovis. Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.9 Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomanan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.9 Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini, tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis. 2.2 PATOGENESIS Tuberkulosis Primer Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjasi droplet nuclei. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selarna 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, 17 dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan dan gelap, kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan rnenempel pada saluran napas atau jaringan paru. Kuman akan dihadapi pertarna kali oleh neutrofil kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.9 Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini, ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran GI, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonal, rnaka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.9 Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi: Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan eacat. Ini yang banyak terjadi. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. Berkomplikasi dan menyebar secara : a). perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitamya, b). Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya, kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c. secara limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya. d. secara hematogen, ke organ tubuh lainnya. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder) Kuman yang dorman pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian, sebagai infeksi endogen menjadi TB sekunder. Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. TB 18 sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru. Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru.9 Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu, sarang ini menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh selsel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi9 Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma, berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat: Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyernbuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped. Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1). Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi; 2). Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempuma; 3). Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga.9 19 2.3 KLASIFIKASI Sampai saat ini, belum ada kesepakatan di antara para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi, dan ahi kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi TB. WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori, yaitu9 1. Kategori I ditujukan terhadap: Kasus baru dengan sputum positif Kasus baru dengan bentuk TB berat. 2. Kategori II ditujukan terhadap: Kasus kambuh Kasus gagal dengan sputum BTA positif 3. Kategori III ditujukan terhadap: Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas. Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I 4. Kategori IV ditujukan terhadap TB kronik. 2.4 GEJALA Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bemacam-macarn atau bahkan tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak antara lain9 Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kernbali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang rnasuk. Batuk/Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, rnungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalarn jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (nonproduktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada TB terjadi pada kavitas tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. 20 Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru. Nyeri dada. Gejala ini agak jarang diternukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya. Malaise. Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringas malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. 2.5 DIAGNOSIS Pemeriksaan Fisik Sebagian besar kasus TB bersifat asimptomatik. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB juga sulit dibedakan dengan pneumonia. Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien dapat menunjukkan konjungtiva atau kulit pucat karena anemia, demam, badan kurus atau berat badan menurun.9 Pada TB yang disertai infiltrat luas, bisa didapatkan perkusi redup pada bagian apeks paru dan suara napas bronkial pada auskultasi. Dapat terdengar pula suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Namun jika infiltrat diliputi penebalan pleura, suara napas menjadi vesikular melemah. Jika kavitas cukup besar, perkusi menimbulkan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.9 Jika TB sudah berlanjut menjadi fibrosis, akan ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit menciut, sedangkan bagian yang sehat mengalami hiperinflasi. Bila fibrosis sangat luas melebihi setengah jaringan paru, akan terjadi pengecilan aliran darah paru, menimbulkan gejala gagal jantung kanan dan kor pulmonale.9 TB yang mengenai pleura menghasilkan efusi pleura. Paru yang sakit akan terlihat tertinggal saat bernapas dan perkusi menimbulkan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.9 Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis dada merupakan cara praktis untuk menentukan lokasi lesi. Lesi biasanya ditemukan di apeks paru. Pada awal penyakit, gambaran yang 21 ditemukan berupa bercak-bercak dengan batas tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat, maka bayangannya berupa bulatan dengan batas tegas (tuberkuloma). Pemeriksaan radiologis juga dapat memberikan gambaran TB milier berupa bercakbercak halus yang tersebar merata di seluruh lapangan paru.9,10 Pemeriksaan Darah Pemeriksaan darah tidak terlalu sering digunakan karena kurang sensitif dan kurang spesifik. Pada saat TB baru akan aktif, akan didapatkan jumlah leukosit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah. Selain itu didapatkan pula anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer, peningkatan gama globulin, dan penurunan kadar natrium darah.9 Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan serologi yang digunakan untuk mendiagnosis TB salah satunya adalah reaksi Takahashi yang menunjukkan apakah proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Namun pemeriksaan ini jarang dilakukan karena mudah mengeluarkan hasil positif atau negatif palsu.9 Pemeriksaan lain yang banyak dipakai adalah Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) karena nilai sensitivitas dan spesifitasnya yang cukup tinggi (85-95%). Prinsip dasarnya adalah menentukan adanya IgG yang spesifik terhadap M.tuberculosis. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis jika ditemukan hasil positif pada titer 1:10.000. PAP-TB dapat dipakai, tapi kurang bermanfaat sebagai sarana tunggal diagnosis TB.9 Uji serologis lain adalah Mycodot yang nilainya hampir sama dengan PAP-TB. Di sini dipakai antigen Lipoarabinomannan (LAM) yang dilekatkan pada alat berbentuk sisir plastik, lalu dicelupkan ke dalam serum pasien. Antibodi spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir.9 Untuk TB yang sudah mencapai pleura dapat dideteksi dengan mengukur kadar adenosine deaminase (ADA) dalam cairan pleura.10 Pemeriksaan Sputum Pemeriksaan sputum adalah pemeriksaan yang terpenting, karena diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman basil tahan asam (BTA) dalam sputum. 22 Pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.9-11 Untuk melakukan pemeriksaan ini, satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga diberikan tambahan obat-obatan mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau broncho alveolar lavage (BAL) atau dengan bilasan lambung.2 Setelah sputum didapat, diwarnai dengan pewarnaan Kinyoun atau Ziehl-Nielsen, lalu diperiksa menggunakan mikroskop.9-11 Terdapat juga pewarnaan fluoresens menggunakan auramine-rhodamine,9-11 namun bersifat toksik9. Kuman BTA tidak selalu bisa dijadikan acuan karena hanya bisa ditemukan jika bronkus yang terlibat dalam proses penyakit terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar.9 Kriteria sputum BTA positif adalah jika minimal terdapat 3 kuman BTA dalam satu sediaan.9-11 Sputum juga dapat ditanam dalam medium biakan sebelum diperiksa.9-11 Kultur dilakukan selama 4-6 minggu.9 Jika sampai 8 minggu tidak ditemukan bakteri, maka hasil tes dinyatakan negatif.9-11 Medium biakan yang sering dipakai adalah Lowenstein-Jensen,9-11 Middlebrook 7H10,10,11 Kudoh, atau Ogawa9 lalu kemudian diinkubasi pada suhu 35-37°C dalam 5-10% CO2.11 Saat ini juga sedang dikembangkan pemeriksaan biakan sputum BTA dengan cara Bactec di mana kuman sudah dapat dideteksi dalam 7-10 hari.9 Uji sputum untuk menemukan BTA memang cepat dan tidak mahal, namun memiliki sensitivitas yang cukup rendah (40-60%).11 Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR digunakan untuk menguji DNA spesifik dari M.tuberculosis dalam waktu yang lebih cepat atau yang tidak tumbuh dalam sediaan biakan.9-11 Sensitivitasnya adalah 55-90% dengan spesifisitas 99%.11 Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk menegakkan diagnosis TB pada anak balita.2 Biasanya dipakai tes Mantoux dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative) intrakutan9,10 berkekuatan 5 TU.9 Bila penyuntikan 23 tersebut tidak memberikan hasil positif, bisa dicoba suntikan berkekuatan 250 TU. Jika masih memberikan hasil negatif juga, maka dugaan TB dapat disingkirkan.9 Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit. Hasil tes ini dibagi dalam indurasi berdiameter 0-5 mm (Mantoux negatif), 6-9 mm (diragukan), 10-15 mm (Mantoux positif), dan > 15 mm (positif kuat/hipersensitivitas). Hampir semua pasien TB memberikan reaksi Mantoux positif. Namun jika seseorang sudah pernah menderita TB, hasil tes akan positif seumur hidupnya.9 2.6 FARMAKOLOGI OBAT ANTI TUBERKULOSIS Genus Mycobacterium memiliki banyak spesies, tetapi hanya beberapa di antaranya yang menyebabkan patologi pada manusia. Salah satunya adalah Mycobacterium tuberculosis, bakteri berbentuk batang dan bersifat aerob obligat, yang sering menyebabkan kelainan pada paru-paru.10,11 Mengingat besarnya morbiditas dan mortalitas yang dapat disebabkan oleh infeksi tuberculosis (TB), penanganan dini perlu dilakukan, salah satunya adalah dengan terapi farmakologi. Farmakologi antituberkulosis terbagi atas 2, yaitu obat lini pertama (first line drug) dan obat lini kedua (second line drug).3,10,12 Obat lini pertama sendiri terbagi dua, yaitu (1) esensial, yaitu merupakan obat yang paling penting dan efektif dalam penanganan jangka pendek10 dan mencakup isoniazid, rifampisin, etambutol, serta pirazinamid; dan (2) supplemental, yaitu obat yang masih memiliki efektivitas tinggi dengan efek samping yang masih dapat diterima yang mencakup streptomisin, rifabutin, dan rifapentin.2 Namun, secara khas, lima obat utama dalam obat lini pertama adalah isoniazid, rifampisin, ethambutol, pirazinamid, dan streptomisin.3,12 Obat yang termasuk lini kedua adalah golongan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan paraaminosalisilat (PAS).12 Obat-obat ini dapat dikatakan memiliki efektivitas yang lebih rendah dan memiliki toksisitas yang lebih tinggi10, tetapi digunakan ketika TB sudah menunjukkan resistensi terhadap obat lini pertama. Umumnya, penggunaan flukorokuinolon seperti levofloksasin dan moksifloksasin sangat membantu dalam pengobatan TB yang membutuhkan obat multipel.10 A. Isoniazid Isonikotinil hidrazid atau isoniazid (INH) merupakan obat tuberkulostatik. Struktur kimia isoniazid memiliki kemiripan dengan piridoksin. Obat ini mudah larut dalam air.12 24 Gambar 1. Struktur kimia isoniazid dan piridoksin12 Farmakodinamik Obat ini bekerja dengan menghambat perpanjangan rantai asam lemak panjang yang merupakan cikap bakal asam mikolat, komponen penting pada dinding bakteri.3 Isoniazid merupakan prodrug yang diaktivasi oleh KatG (katalase-peroksidase mikobakterium). Isoniazid yang sudah teraktivasi membentuk ikatan kovalen dengan acyl carrier protein (AcpM) dan KasA, beta-ketoasil carrier protein sintetase, yang menghambat sintesis asam mikolat dan akhirnya membunuh sel.12 Mekanisme Resistensi Keseluruhan proses di atas memerlukan proses aktif pengambilan obat oleh bakteri.3 Resistensi terhadap isoniazid dapat muncul akibat overekspresi inhA yang mengkode asil carrier protein reduktase bergantung NADH, mutasi atau delesi gen katG, mutasi promoter yang mengakibatkan overekspresi ahpC, gen virulensi yang bertugas melindungi bakteri dari stress oksidatif, dan mutasi pada kasA. Ketika terjadi overekspresi inhA, resistensi terhadap isoniazid masih lemah dan mengakibatkan resistensi silang pada etionamid. Namun, mutasi pada katG mengakibatkan resistensi isoniazid tingkat tinggi dan tidak menyebabkan resistensi silang terhadap etionamid.12 Farmakokinetik Isoniazid dapat diberikan secara oral dan mencapai kadar puncak dalam 1-2 jam. Obat ini kemudian akan dimetabolisme di hati dengan diasetilasi. Akibatnya, terdapat variasi genetik yang dapat memengaruhi kadar plasma dan waktu paruh. Orang pada umumnya akan memiliki waktu paruh isoniazid 1-4 jam. Pada mereka yang tergolong asetilator cepat, waktu paruhnya menjadi sepertiga dari mereka yang asetilator lambat.3 Walaupun terjadi perbedaan waktu paruh, efektivitas dan toksisitas obat tidak berubah asalkan dosis diberikan dengan tepat.3,12 Ekskresi isoniazid melalui urin dalam bentuk metabolitnya, yaitu asetil isoniazid, asam isonikotinat, isonikotinik glisin, isonikotinil hidrazon, dan N-metil isoniazid. Jumlah yang dikeluarkan melalui urin ini berkisar 75-95% dalam waktu 24 jam.3 25 Efek Samping Efek tersering yang dihasilkan oleh isoniazid adalah reaksi hipersentivitas dengan gejala demam, morbiliform, makulopapular, dan urtikaria. Dapat pula didapatkan reaksi hematologic, yaitu agranulusitosis, eosinofilia, trombositopenia, dan anemia. Gejala vaskulitis dan arthritis juga dapat muncul, tetapi keseluruhan gejala ini dapat menghilang apabila pengobatan dihentikan. Pengobatan TB dengan isoniazid tunggal akan menimbulkan neuritis perifer pada dosis melebihi 5 mg/kgBB/hari, tetapi jarang pada dosis 300 mg.12 Gejala ini lebih sering ditemukan pada kelompok asetilator lambat dengan faktor predisposisi, seperti malnutrisi, peminum alcohol, diabetes, AIDS, dan uremia. Neuropati ini disebabkan oleh defisiensi piridoksin relatif.3 Alasan yang mendasarinya adalah kemiripan struktur piridoksin dan isoniazid yang membuat ekskresi piridoksin meningkat sehingga terjadi kehilangan vesikel sinaps, pembengkakan mitokondria, dan pecahnya akson terminal.3 Efek toksik dari isoniazid berdampak pada hati yang dapat memicu hepatitis. Peningkatan enzim aminotransferase hingga 3-4 kali normal masih dapat dianggap wajar dan tidak memerlukan penghentian terapi dikarenakan umumnya asimptomatik. Indikasi penghentian terapi adalah kehilangan nafsu makan, mual, muntah, ikterus, dan nyeri kuadran kanan atas yang menunjukkan toksisitas hati. Insidensi ini akan meningkat seiring pertambahan usia, pecandu alcohol, periode kehamilan, dan postpartum. Status dalam Pengobatan Walaupun obat ini memiliki beberapa efek samping, isoniazid tetap merupakan obat yang penting dalam penanganan TB. Efek samping neuropati perifer dapat dicegah dengan pemberian piridoksin. Selain itu, pemberian isoniazid tunggal akan mempercepat resistensi, oleh karenanya perlu dikombinasikan dengan obat anti-TB lainnya.3 Posologi Isoniazid tersedia dalam bentuk tablet dan umumnya diberikan dalam dosis tunggal setiap harinya. Pada orang dewasa, dosis isoniazid adalah 5 mg/kgBB dengan dosis maksimum 300 mg/hari. Pada kondisi berat, dapat diberikan dosis 10 mg/kgBB dengan dosis maksimum 600 mg/hari. Sebagai penyerta, piridoksin dapat diberikan dengan dosis 10 mg/hari.3 26 B. Rifampisin Rifampisin merupakan derivat semisintetik rifamisin dari Streptomyces mediterranei. Obat ini dapat diberikan untuk pengobatan bakteri gram positif dan negatif, beberapa bakteri enterik, mikobakteria, dan klamidia. Rifampisin dapat menyebabkan resistensi silang dengan derivate rifamisin lainnya, seperti rifabutin dan rifapentin, tetapi tidak untuk obat anti-TB lainnya.12 Walaupun demikian, obat ini masih tergolong sangat penting dan poten untuk pengobatan TB.10 Farmakodinamik dan Mekanisme Resistensi Obat ini dapat menembus semua jaringan, termasul fagosit. Selain itu, rifampisin dapat membunuh organism yang berada di tempat yang tidak dapat ditembus oleh obat lain, seperti intrasel, abses, dan kavitas.12 Oleh karenanya, rifampisin memilki efek bakterisidal intraselular dan ekstraselular.10 Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan dengan subunit pada RNA polymerase bergantung DNA sehingga sintesis RNA terganggu. Resistensi terhadap rifampisin terjadi apabila mutasi pada rpoB, gen yang mengkode subunit pada RNA polymerase. Akibatnya, obat tidak dapat berikatan dengan enzim. Walaupun kinerja obat berikatan dengan enzim RNA polymerase, proses sintesis protein yang melibatkan RNA polymerase manusia tidak terganggu oleh pemberian rifampisin.3,12 Farmakokinetik Rifampisin diberikan oral dan mencapai kadar puncak dalam waktu 2-4 jam sebesar 7g/mL pada pemberian dosis tunggal 600 mg. Pemberian PAS akan menghambat absorbsi rifampisin sehingga pemberian keduanya harus diberikan jarak 8-12 jam. Selain itu, penyerapannya akan dihambat oleh adanya makanan.3 Rifampisin akan diekskresikan dari hati melalui empedu menjadi deasetil rifampisin dan mengalami resirkulasi enterohepatik.12 Metabolit ini memiliki sifat antibakteri penuh. Dikarenakan rifampisin sendiri adalah inductor, pemberian berulang akan meningkatkan bioavabilitas dan jumlah eliminasinya.3 Waktu paruhnya adalah 1,5-5 jam dan akan memendek pada pemberian berulang.3 Obat ini juga memiliki distribusi yang luas pada berbagai cairan tubuh dan jaringan akibat memiliki ikatan protein yang tinggi. Hal ini ditandakan adanya warna merah pada urin, tinja, sputum, airmata, dan keringat.3 Oleh karenanya, pemberian rifampisin dapat menangani meningitis akibat konsentrasi cairan serebrospinal yang adekuat.12 27 Efek Samping Pemberian rifampisin dapat menyebabkan perubahan warna urin, keringat, air mata, dan lensa mata menjadi kuning kemerahan. Terkadang muncul ruam kemerahan pada kulit, trombositopenia, dan nefritis. Dapat pula ditemukan kolestasis dan hepatitis. Jika diberikan dengan dosis besar, tetapi diberikan kurang dari dua kali seminggu, pasien dapat mengalami flu-like syndrome yang ditandai dengan demam, menggigil, myalgia, anemia, dan trombositopenia. Rifampisin adalah inductor pada enzim sitokrom P450 dengan berbagai isoformnya (CYP, 1A2, 2C9, 2C19, 2D4, dan 3A4) yang mengakibatkan percepatan waktu paruh obat lain, seperti metadon, antikoagulan, siklosporin, antikonvulsan, protease inhibitor, dan kontrasepsi. Status dalam Pengobatan Secara in vivo, epmberian rifampisin dapat meningkatkan kinerja dari streptomisin dan isoniazid, tetapi tidak aditif terhadap etambutol. Oleh karenanya, rifampisin sering dikombinasikan bersama dengan isoniazid.3 Posologi Rifampisin tersedia dalam bentuk kapsul, tablet, dan suspensi. Sebaiknya, obat diminum satu jam sebelum makan atau dua jam sesudah makan. Dosis untuk pasien dengan BB kurang dari 50 kg adalah 450 mg/hari, tetapi untuk yang BB lebih dari 50 kg adalah 600 mg/hari.3,12 C. Etambutol Etambutol mudah larut dalam air, tahan panas, dan terdispersi dalam garam dihidroklorida.12 Obat ini sangat efektif untuk terapi infeksi TB dan M. kansasii. Kelebihan obat ini adalah tetap dapat digunakan walaupun bakteri sudah menunjukkan resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin.3 Farmakodinamik dan Mekanisme Resistensi Etambutol bekerja dengan menghambat enzim arabinosil transferase yang dikode oleh operon embCAB. Enzim ini penting dalam polimerisasi arabinoglikan, salah satu komponen penting dinding bakteri. Resistensi dapat terjadi bila gen emb atau embB mengalami mutasi.12 Akibatnya, metabolisme sel terhambat dan sel mati. Penggunaan 28 etambutol hanya akan efektif pada sel yang sedang membelah sehingga dikatakan memiliki efek tuberkulostatik.3 Farmakokinetik Etambutol diserap di usus dengan baik dan dosis 15 mg/kgBB akan tercapai kadar puncak 5 g/mL dalam 2-4 jam.3,12 Waktu paruhnya adalah 3-4 jam. Hal yang menarik dari etambutol adalah kadar dalam eritrosit 1-2 kali lebih tinggi dari kadar plasma, sehingga dimanfaatkan sebagai depot etambutol.3 Etambutol akan menembus sawar darah otak jika terjadi meningitis, tetapi konsentrasinya dapat bervariasi 4-64%.12 Sekitar 20% obat akan diekskresikan melalui feses dan 50% melalui urin dalam bentuk obat aslinya. Oleh karenanya, pada mereka yang memiliki kerusakan ginjal, harus dilakukan penyesuaian dosis.12 Efek Samping Gangguan penglihatan merupakan efek samping yang paling sering dari pemberian etambutol akibat neuritis retrobulbar. Gejalanya adalah penurunan ketajaman, buta warna merah-hijau, pengecilan lapang pandang, dan skotoma sentral maupun lateral. Pemeriksaan penglihatan disarankan apabila digunakan dosis 25 mg/kg/hari. Pemberian etambutol dikontraindikasikan untuk anak-anak dikarenakan mereka belum dapat dilakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan dan diskriminasi merah-hijau.12 Status dalam Pengobatan dan Posologi Etambutol digunakan untuk mencegah resistensi terhadap penggunaan obat anti-TB lainnya. Di pasaran, obat ini tersedia dalam bentuk tablet dan diberikan dengan dosis 15 mg/kgBB sekali sehari atau 25 mg/kgBB untuk 60 hari pertama dan diturunkan menjadi 15 mg/kgBB.3 D. Pirazinamid Farmakodinamik dan Mekanisme Resistensi Pirazinamid (PZA) masih merupakan kelompok nikotinamid dan mudah larut dalam air. Obat ini tidak dapat bekerja pada pH netral, tetapi terlihat efeknya pada pH 5.5 yang mampu menghambat pertumbuhan basil. Agar tercapai kondisi asam tersebut, pirazinamid harus masuk ke dalam makrofag dan membunuh bakteri yang berada pada lisosom. Pirazinamid kemudian akan diubah menjadi asam pirazinoat oleh enzim pirazinamidase mikobakterium yang dikode oleh pncA.3,12 29 Terjadinya resistensi terhadap pirazinamid dapat disebabkan oleh kegagalan pengambilan pirazinamid oleh makrofag dan mutasi pada pncA sehingga mengganggu konversi pirazinamid menjadi bentuk aktifnya. Farmakokinetik Pirazinamid diserap dengan baik di usus dan pemberian 1 gram dapat mencapai kadar puncak 45 g/mL. Obat kemudian akan menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Jalur ekskresi utama adalah melalui ginjal dalam bentuk asam hidropirazinoat yang merupakan hasil hidrosilaasi asam pirazinoat.3,12 Efek Samping Hepatotoksisitas adalah salah satu efek samping tersering pada pemberian pirazinamid. Selain itu, dapat ditemukan keluhan mual, muntah, demam, dan hiperurisemia. Ketika muncul gejala, ada baiknya untuk tidak segera menghentikan terapi.12 Terapi dapat dihentikan bila sudah mulai timbul tanda-tanda kerusakan hati.3 Posologi Pirozinamid tersedia dalam bentuk tablet dan diberikan dengan dosis 20-35 mg/kgBB per hari. Dosis maksimum yang dapat diberikan adalah 3 g dan dapat diberikan sekali hingga beberapa kali sehari.3 E. Streptomisin Streptomisin tergolong sebagai aminoglikosida dan dipakai sebagai OAT pertama kali. Sayangnya, penggunaan streptomisin sudah mulai ditinggalkan. Farmakodinamik Aminoglikosida merupakan inhibitor ireversibel pada sisntesis protein, walaupun mekanisme bakterisidalnya masih diteliti. Awalnya, obat akan berdifusi melalui porin pada membran luar dan ditranspor aktif melintasi membran sel menuju sitoplasma. Proses ini membutuhkan energi dan dapat terhambat pada kondisi pH asam dan anaerob. Namun, efek ini dapat ditingkatkan pada pemberian obat yang menghambat dinding bakteri, seperti penisilin dan vankomisin. Di dalam sel, streptomisin akan berikatan dengan unit ribosom S12. Mekanisme penghambatan sintesis protein, antara lain (1) inhibisi kompleks inisiasi untuk 30 pembentukan peptide, (2) merusak mRNA sehingga terjadi kesalahan pemasangan asam amino pada peptide, dan (3) pemecahan polisom menjadi monosom.11 Gambar 2. Mekanisme kerja streptomisin11 Streptomisin memiliki kemampuan yang rendah dalam menembus sel dan karenanya bermanfaat untuk membunuh basil di ekstrasel.12 Namun, bakteri tetap dapat tumbuh dalam abses atau KGB setelah pemberian obat dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa streptomisin berguna untuk supresi, bukan eradikasi.3 Farmakokinetik Dikarenakan streptomisin adalah golongan aminoglikosida, pemberian obat adalah dengan suntikan sehingga bioavabilitasnya 100%. Streptomisin akan menyebar ke ekstrasel dan sebagian terikat protein plasma. Waktu paruhnya 2-3 jam. Sekitar 50-60% obat akan diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh pada 24 jam pertama.3 Efek Samping Seperti aminoglikosida lain, efek samping pemberian streptomisin adalah kerusakan saraf cranial VIII (ototoksisitas) jika diberikan dengan dosis besar dan jangka waktu lama. Disarankan pada pasien untuk melakukan pemeriksaan audiometric berkala. Selain itu, efek streptomisin lainnya adalah nefrotoksik. Indisendi toksisitas ini akan meningkat pada pertambahan usia, terutama kelompok di atas 65 tahun. 31 Posologi Streptomisin tersedia dalam bentuk bubuk injeksi. Pemberiannya 20 mg/kgBB IM dengan dosis maksimum 1 gram/hari hingga 2-3 minggu. Sesudahnya, pemberian hanya 2-3 kali seminggu.3 Aplikasi Pengobatan Pengobatan TB tersusun atas dua fase, yaitu fase awal dan fase lanjutan. Regimen akan ditulis dalam bentuk kode. Angka di depan huruf menunjukkan jangka waktu pemberian obat pada fase tersebut dalam waktu bulan dan huruf sesudahnya menunjukkan obat. Angka di belakang huruf menunjukkan waktu pemberian dalam seminggu dan jika tidak ditulis berarti diberikan setiap hari. Garis miring digunakan untuk memisahkan dua fase yang berbeda. 32 Tabel 1. Regimen pengobatan untuk kategori diagnostik TB3 Kategori Diagnostik I II III Kondisi Klinis Pasien baru sputum BTA positif; pasien baru TB paru BTA negatif dengan infeksi parenkim paru ekstensif; TB paru dengan HIV atau TB ekstrapulmonal Pasien TB paru BTA positif yang pernah diobati: - Kambuh - Gagal terapi Pasien kategori I yang gagal diobati dengan: - Program pengobatan adekuat - TB-MDR Tersedia regimen pengobatan kategori IV Dalam keadaan: - Data yang representative mengenai TBMDR rendah atau individualisasi DST menunjukkan penyakit yang sensitive terhadap OAT Atau - Performans program buruk - Data DRS yang representative tidak ada - Sarana-prasarana untuk penatalaksanaan pengobatan katetori IV tidak cukup Pasien baru TB paru dengan BTA negatif, selain kategori I, dan TB ekstraparu ringan Fase Awal Anjuran 2 HRZE Opsional 2 (HRZE)3 atau 2 HRZE Anjuran 2 HRZES/1 HRZE Kronik (sputum BTA masih positif sesudah pengobatan ulang) dan terbukti suspek TBMDR Anjuran 4 HR atau 4 (HR)3 Opsional 4 (HR)3 atau 6 HE Anjuran 5 HRE Opsional 5 (HRE)3 Opsional 2 (HRZE)3/1 HRZE3 Regimen khusus yang baku ataupun individual sering diperlukan untuk pasien ini Anjuran 2 HRZES/1 HRZE Opsional 2 (HRZE)3/1 HRZE3 Anjuran 2 HRZE Opsional 2 (HRZE)3 atau 2 HRZE IV Fase Lanjutan Anjuran 5 HRE Opsional 5 (HRE)3 Anjuran 4 HR atau 4 (HR)3 Opsional 4 (HR)3 atau 6 HE Individual 33 BAB III PEMBAHASAN Pada kasus ini, penegakan diagnosis tuberkulosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Keluhan yang ditemukan pada pasien yang mengarahkan pada tuberculosis adalah keluhan batuk sejak 10 bulan sebelum masuk rumah sakit dan mengalami perburukan disertai dengan dahak warna kuning kehijauan, demam hilang timbul terutama pada sore dan malam hari, keringat malam, serta penurunan berat badan. Pada perjalanan penyakit, kondisi memburuk di mana pasien menjadi sesak saat beraktivitas dan nyeri bila menarik nafas dalam. Kedua keluhan terakhir ini bukanlah keluhan yang umum dijumpai pada pasien dengan tuberkulosis. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan frekuensi nafas 28 kali/menit, dangkal, tampak penggunaan otot bantu nafas, vokal fremitus menurun pada kedua lapang paru tetapi lebih berat pada sisi kiri, suara nafas bronkovesikular dan ronki basah kasar pada kedua lapang paru. Walaupun sebenarnya hasil BTA tidak diketahui, pada hasil GeneXpert masih ditemukan kuman basil tahan asam. Gambaran radiologis multiformis yang sesuai untuk tuberkulosis. Pada pasien, ditemukan kavitas pada lobus superior paru kanan, fibrosis dan kalsifikasi pada kedua lapang paru, infiltrate pada apeks lobus kanan inferior dengan komponen atelektasis pada lobus superior paru kiri sehinggga menarik trakea ke sisi kiri. Pasien memiliki riwayat pengobatan tuberkulosis pada tahun 2006 yang tidak tuntas pada bulan keempat. Oleh karenanya, kasus pasien ini adalah tuberkulosis paru lesi luas kasus drop out. Pasien saat ini datang dengan keluhan gejala klinis yang tidak membaik dan cenderung mengalami perburukan dan BTA positif walaupun sudah menjalani pengobatan TB fase intensif dan sisipan dengan regimen 2 RHZE/1 RHZE. Secara teoritis, pengobatan untuk TB kasus drop-out yang sesuai pada fase inisial adalah 2 RHZES/1 RHZE. Regimen untuk pengobatan fase lanjutan dapat menunggu hasil uji resistensi atau mengikuti program nasional dengan 5 (RHE)3. Secara profil farmakologis, penambahan streptomisin bermanfaat untuk membunuh kuman M. tuberculosis ekstrasel. Pada pasien, tampak pada paru kiri dengan fibrosis dan atelektasis yang menjadi media tumbuh baik bakteri dan relative lebih sulit diobati karena penurunan jumlah pembuluh darah. Faktor penyulit lain yang ditemukan pada pengobatan pasien ini adalah kecurigaan pada penggunaan kortikosteroid oral yang dibeli dalam bentuk tablet hijau yang digunakan untuk menambah nafsu makan pasien. Kortikosteroid menurunkan respons imun yang 34 bermanfaat dalam eradikasi kuman. Penggunaannya bersama OAT tentunya memperlambat proses penyemuhan dan memperpanjang waktu untuk dapat memperbaiki gejala seperti pada kasus ini. Pemeriksaan adanya infeksi HIV perlu dilakukan pada pasien ini untuk menyingkirkan ada tidaknya imunodefisiensi yang dapat menyulitkan penyembuhan. Akan tetapi, faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah pasien memiliki riwayat pengobatan tuberkulosis yang tidak tuntas sebelumnya. Kemungkinan resistensi masih belum dapat disingkirkan walaupun hasil GeneXpert menemukan kuman BTA masih sensitif terhadap rifampisin. Pasien perlu dilakukan uji BTA ulang untuk menentukan jumlah kuman dan kultur resistensi untuk menentukan penatalaksaan lebih lanjut pada pasien. Hipoalbuminemia yang ada pada kasus ini dapat menurunkan efektivitas obat. Isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid membutuhkan albumin agar dapat terdistribusi ke seluruh jaringan tubuh. Penurunan jumlah albumin berarti menurunkan kadar obat efektif obat dan besar distribusi ke jaringan. Pemberian albumin intravena dan peningkatan konsumsi protein pada pasien bermanfaat untuk memperbaiki kondisi dengan meningkatkan efektivitas obat yang diberikan. Menilai kondisi pasien saat ini dengan riwayat putus berobat, quo ad vitam bonam, ad sanasionam dan fungsionam dubia ad bonam. Kasus tuberkulosis dapat membaik dengan perbaikan gizi adekuat dan antibiotik yang sesuai dengan profil kuman dalam waktu yang adekuat. Pasien perlu diberikan informasi bahwa pengobatan tuberkulosis kali ini akan lebih panjang dan lebih sulit mengingat pasien memiliki riwayat putus berobat dan kemungkinan sudah terjadi resistensi masih ada. . 35 DAFTAR PUSTAKA 1. Chung F, Widdicombe J, Boushey H. Cough: Causes, Mechanisms, and Therapy. Massachussets: Blackwell Publishing; 2003. p.3-33. 2. WebMD. Coughs: Why We Cough, Causes of Cough, Treatments, and More. Diunduh dari http://www.webmd.com/cold-and-flu/tc/coughs-topic-overview. Diakses 14 Desember 2013. 3. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. p.81, 210-1, 228-9, 531-2. 4. Drugs.com. Codeine Dosage. Diunduh dari http://www.drugs.com/dosage/codeine.html. Diakses 16 Desember 2013. 5. Drugs.com. Ambroxol. Diunduh dari http://www.drugs.com/ambroxol.html. Diakses 16 Desember 2013. 6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. h. 1. 7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2002. h. 1. 8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012. h. 204. 9. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V Jakarta: Interna Publishing; 2010. h. 2230-8. 10. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. 11. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Jawetz, Melnick, and Aldeberg’s Medical Microbiology. 24th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2007. 12. Katzung BG. Antimycobacterial drugs. In: Basic and clinical pharmacology [e-book]. 10th ed. San Fransisco: McGraw-Hill Lange; 2006. Chap. 47. 13. Petri WA. Chemotherapy of tuberculosis, mycobacterium avium complex disease, and leprosy. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, editors. Goodman and Gilman’s the pharmacological basis of therapeutics [e-book]. 11th ed. San Diego: McGraw-Hill; 2006. Chap.47. 36