Modul Praktik Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

advertisement
DISKUSI KASUS
BATUK
Kelompok B
Kevin
Fitriana Nur R
Akhdes I O Wau
Hanifah Rahmani N
Ali Haidar Syaifullah
Faathimah Mahmudi I
Ayesya Nasta Lestari
0906554333
0906487796
0906507766
0906487814
0906554232
0906508030
0906507841
Narasumber:
Dr. Gurmeet Singh, SpPD
Prof. Dr. Hedi R. Dewoto, SpFK(K)
Modul Praktik Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Desember 2013
SURAT PENYATAAN
Kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan ini sebenarnya menyatakan bahwa tugas
diskusi kasus yang kami susun tanpa tindakan plagiarism dengan peraturan yang berlaku di
Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata kami melakukan tindakan plagiarisme, kami akan bertanggung
jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada
kami.
Jakarta, 18 Desember 2013
Kevin
Fitriana Nur R
Ali Haidar Syaifullah
Akhdes I O Wau
Faathimah Mahmudi I
Hanifah Rahmani N
Ayesya Nasta Lestari
2
BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. Y
Usia
: 33 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Pendidikan
: SMP
Status perkawinan
: Menikah
Alamat
: Cakung, Jakarta Timur
Tanggal kunjungan : 7 November 2013
ANAMNESIS
Keluhan utama
Batuk yang tidak kunjung sembuh dan memberat dalam 4 bulan terakhir
Riwayat penyakit sekarang
Pada 10 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan batuk dengan dahak
warna kuning kehijauan yang disertai dengan damam hilang timbul terutama pada sore hari
dan keringat malam. Suhu yang pernah terukur adalah 39oC dan membaik pada pagi hari.
Frekuensi batuk semakin sering, tidak ada darah, dan disertai dengan sesak pada kurang lebih
4 bulan SMRS. Nafsu makan menurun dan disertai dengan penurunan berat badan (tidak
pernah diukur, celana terasa longgar).
Pasien kemudian pergi ke puskesmas pada 3 bulan SMRS dan diberikan pengobatan untuk
tuberkulosis regimen I. Batuk dan sesak membaik pada 1 bulan awal pengobatan. Namun,
hasil pemeriksaan BTA pada minggu kedua dan keempatdidapatkan bakteri positif.
Pada 2 bulan SMRS, keluhan batuk kembali bertambah dengan dahak warna kuning
kehijauan dan sesak bertambah yang disertai nyeri apabila menarik nafas dalam. Nyeri dada
kiri yang menjalar disangkal. Sesak tidak dipengaruhi oleh posisi, tetapi sesak membuat
pasien membutuhkan bantuan untuk melakukan aktivitas fisik hidup dasar. Kaki bengkak
disangkal. Kuku biru disangkal.BTA pada minggu kedelapan pengobatan tetap positif. Pasien
diberikan pengobatan sisipan, tetapi tidak ada perbaikan dan BTA tetap positif. Puskesmas
merujuk pasien ke RSP untuk evaluasi lebih lanjut.Asupan cairan pasien baik dan mampu
BAK 2-3 kali sehari. BAB setiap 3-4 hari sekali, konsistensi pasta, warna kuning. Riwayat
sakit kuning dan perut membesar selama pengobatan disangkal.
Pada reanamnesis, diketahui bahwa pasien saat ini sedang menggunakan KB suntik
setiap 3 bulan. Untuk mengatasi penurunan nafsu makan, pasien mengonsumsi obat pegal linu
dan penambah nafsu makan berupa pil berwarna hijau dan merasa muka bertambah bengkak.
3
Pada tahun 2006, pasien didiagnosis memiliki TB di puskesmas dan diberikan
pengobatan regimen I. Namun, pengobatan dihentikan sendiri pada bulan keempat karena
merasa sudah tidak ada gejala.
Riwayat penyakit dahulu
HT disangkal, DM disangkal, asma dan alergi disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal,
riwayat sakit kuning disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
HT disangkal, DM disangkal, asma dan alergi disangkal, riwayat penyakit jantung dan stroke
disangkal, riwayat penyakit paru disangkal.
Riwayat sosial-ekonomi
Pasien adalah ibu rumah tangga, menikah satu kali dengan suami sekarang dan telah memiliki
dua orang anak. Suami bekerja sebagai karyawan bengkel. Jaminan yang digunakan adalah
KJS. Siklus menstruasi pasien tidak teratur.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Tekanan darah
Nadi
Pernafasan
Suhu
Keadaan gizi
Tinggi badan
Berat badan
IMT
Status generalis
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Leher
: kesadaran kompos mentis, tampak sakit sedang
: 120/70 mmHg
: 80 kali/menit, reguler, isi cukup
: 28 kali/menit, reguler, torakoabdominal, dangkal, otot bantu nafas (+)
: 37,6oC
: kurang
: 160 cm
: 50 kg
: 19,53 kg/m2 (normal)
: normosefal, rambut hitam tidak mudah dicabut
: konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+, gerakan
kedua bola mata biak, shadow test -/: tidak ada deformitas, kedua liang telinga lapang
: tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum, mukosa tidak hiperemis,
tidak tampak sekret ataupun bekuan darah
: OH cukup, mukosa tidak hiperemis, arkus faring simetris, uvula di
tengah, tonsil T1/T1, segmen posterior tenang
: KGB tidak teraba, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, JVP 5-2
cmH2O, trakea tertarik ke kiri
Jantung
I
P
: iktus kordis tidak terlihat
: iktus kordis teraba di sela iga 5, tidak ada heaving, thrilling, ataupun
tapping
4
P
A
: batas jantung kiri di sela iga 5 2 jari medial di linea midklavikula kiri,
batas jantung kanan di linea midsternalis kanan, pinggang jantung di
linea parasternalis kiri sela iga 2
: bunyi jantung I dan II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Paru
I
P
P
A
: ekspansi dada simetris saat statis dan dinamis, dangkal
: ekspansi dada simetris saat statis dan dinamis, dangkal, fremitus taktil
kiri=kanan
: redup/redup, kiri lebih redup
: bronkovesikular/bronkovesikular, ronki basah kasar di seluruh lapangan
paru, tidak ada mengi
Abdomen
I
P
A
Ekstremitas
Kulit
: perut datar, lemas
: tidak ada nyeri tekan, hati dan limpa tidak teraba membesar, shifting
dullness tidak ada, ballotement tidak ada
: suara bising usus ada, normal
: akral hangat, edema -/-, a. Dorsalis pedis +/+ kuat, a. Tibialis posterior
+/+ kuat, tidak ada striae ungu, buffalo hump tidak ada, moon face tidak
ada
: berwarna kuning langsat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG (7/11/2013)
SR, 80 kali/menit, normoaksis, LVH (-), RVH (-), P wave normal, PR int 0,16s, QRS dur
0,08s, Q patologis (-), ST changes (-), QT int 0,36s, T inv (-)
Item
7/11/2013
10/11/2013
12/11/2013
13/11/2013
Nilai normal
Darah rutin
Hb
10.5
9,8
9,2
13,0 – 16,0 g/dL
Ht
32
31
25
40 – 48 %
Leukosit
29810
31510
25430
5000 -10000/mm3
Diff count
(ba/eo/neu/lim/mo)
0,1/0,2/75,9/11,0/12,8
0,1/0,1/84,1/7,8/7,9
0,2/3,9/77,8/8,7/9,4
0-1/2-4/50-70/25-40/2-8
539.000
599.000
25,2
24,6
542.000
150000 – 400000/mm3
76,5
76,9
24,6
26 – 34 pg
32,81
32,0
76,2
80 – 100 fL
n/a
n/a
32,3
32 – 36 g/dL
n/a
<10
Trombosit
MCH
MCV
MCHC
LED
PT
14,5
15,3
11,0 – 14,0 s
INR
1,20
1,29
0,83-1,15
5
36,6
28,0 – 40,0 s
Fibrinogen
653
200-400
D-dimer
2570
<500
aPTT
31,7
Na
133
132
130
135 – 145 mEq/L
K
4,5
4,10
3,60
3,5 – 5,5 mEq/L
Cl
96
95
92
98 – 109 mEq/L
Ureum
13
17
12
10,0 – 50,0 mg/dL
Kreatinin
0,7
0,4
0,6
0,8 – 1,5 mg/dL
SGOT
34
36
34
0 – 37 U/l
SGPT
GDS
27
30
22
0 – 40 U/l
123
142
Albumin
Feses lengkap
<200
2,5
2,5
3,4-5
Cokelat, lembek, lendir (), darah (-), nanah (-),
darah samar feses (-),
amoeba (-), telur cacing ()
Hasil GeneXpert (12/11/2013)
Dahak purulen, M. tuberculosis positif, sensitif terhadap Rifampisin
6
Ro toraks
Tampak trakea tertarik ke sisi kiri, mediastinum superior tidak membesar, CTR 45%, apeks
downward, pinggang jantung sulit dinilai, aorta tidak elongasi dan dilatasi, hilus perihilar
melebar, tampak kavitasi di superior paru kanan superior, fibrosis, kalsifikasi, infiltrat di paru
kanan inferior, hampir seluruh lapang paru kiri, atelektasis pada paru kiri superior, sudut
costofrenikus kanan tajam, sudut costofrenikus kiri sulit dinilai, diafragma cekung, garis
pleura baik.
7
RINGKASAN
Pasien wanita yang berusia 33 tahun dan berat badan 50 kg datang dengan keluhan batuk yang
tidak kunjung sembuh dan semakin memberat dalam 4 bulan, dahak warna kuning kehijauan,
tidak ada darah, demam hilang timbul terutama pada sore hari, keringat malam, penurunan
berat badan, sesak yang tidak dipengaruhi oleh posisi sehingga membuat keterbatasan
aktivitas hidup dasar pasien. Diketahui pada 3 bulan lalu pasien sudah diberikan pengobatan
TB dan hasil BTA positif. Nafsu makan menurun. Pengobatan lain yang ada pada pasien
adalah KB suntik rutin setiap 3 bulan, obat pegal linu dan penambah nafsu makan berupa pil
berwarna hijau dan merasa muka bertambah bengkak (steroid?). Riwayat pengobatan TB pada
2006 dan berhenti pada bulan keempat karena merasa sudah membaik. Pemeriksaan fisik
didapatkan kondisi pasien kompos mentis dan tampak sakit sedang dengan frekuensi nafas 28
kali/menit, dangkal, dan tampak penggunaan otot bantu nafas, konjungtiva anemis, sklera
tidak ikterik, trakea tertarik ke kiri, ekspansi dada menurun statis dan dinamis, penurunan
fremitus, redup, suara nafas bronkovesikular dengan ronki basah kasar pada kedua lapang
paru, lainnya dalam batas normal. Pada hasil laboratorium, ditemukan Hb 9,2 g/dL, MCV
76,2 fL, MCH 24,6 pg, leukosit 25430/mm3, trombosit 542.000/mm3, PT 15,3 detik, INR
1,29, aPTT 36,6 detik, fibrinogen 653, D-dimer 2570, Na 130 mEq/L, K 3,60 mEq/L, dan Cl
92 mEq/L. Hasil sputum mendapatkan BTA positif dan sensitif Rifampisin. Gambaran
rontgen toraks didapatkan trakea terdorong ke kiri, kavitas, fibrosis, kalsifikasi, infiltrat, dan
atelektasis.
DAFTAR MASALAH
1.
2.
3.
4.
TB paru BTA positif lesi luas kasus default/ drop out
Anemia mikrositik hipokrom
Hipoalbuminemia
Hiponatremia dan hipoklorida
PENGKAJIAN MASALAH
1. TB paru BTA positif lesi luas kasus default/ drop out
Atas dasar: keluhan batuk sejak 10 bulan SMRS, dahak warna kuning kehijauan,
demam hilang timbul terutama sore-malam hari, keringat malam, penurunan berat
badan. Pada perjalanan penyakit, kondisi memburuk di mana pasien menjadi sesak
saat beraktivitas dan nyeri bila menarik nafas dalam. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan frekuensi nafas 28 kali/menit, dangkal, tampak penggunaan otot bantu
nafas, vokal fremitus menurun pada kedua lapang paru tetapi lebih berat pada sisi kiri,
suara nafas bronkovesikular dan ronki basah kasar pada kedua lapang paru. Hasil BTA
positif yang masih sensitif Rifampisin. Rontgen toraksdidapatkan gambaran trakea
terdorong ke kiri, kavitas, fibrosis, kalsifikasi, infiltrat, dan atelektasis. Hasil
laboratorium didapatkan leukositosis dengan peningkatan neutrofil dan penurunan
limfosit. Saat ini dalam OAT bulan ketiga. Pasien dengan riwayat pengobatan TB
tahun 2006 dan berhenti pada bulan keempat.
8
Dipikirkan: penyulit pada kasus ini yang menyebabkan pasien masih memiliki BTA
positif adalah penggunaan obat penambah berat badan yang dicuragi sebagai steroid
yang dapat mengurangi efektivitas pengobatan. KB yang digunakan pasien adalah 3
bulanan yang berisi DMPA dan tidak mengganggu efektivitas OAT. Kemungkinan
adanya MDR masih belum dapat disingkirkan karena hasil uji resistensi hanya
menunjukkan sensitivitas pada rifampisin saja.
Diagnosis etiologi diferensial:MDR TB, CAP. Pasien sempat membaik pada
pengobatan dan kemudian memburuk secara klinis
Rencana
1.
Diagnostik: DPL, Ro toraks, Ur/Cr, faal hati (albumin, CHE, SGOT/PT,
bilirubin total-direk-indirek), AGD, sputum mikrobiologi, kultur, uji resistensi
2.
Terapi
- Diet tinggi protein1500 kkal
- O2 3 liter/menit
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc/8 jam
- OAT kategori 1 fixed dose combination (R 150/ H 75/ Z 400/ E 275) 3
tab/hari
- Cefotaksime 1x3 g IV
- Azitromisin 1x500 mg PO (3 hari)
- Ambroksol 3x1C
- N-asetil sistein 3x5 mg PO
3.
Edukasi: TB, pentingnya penyelesaian pengobatan hingga tuntas, transmisi, gizi
2. Anemia mikrositik hipokrom
Atas dasar: keluhan tidak ada, konjungtiva anemis, Hb 9,2 g/dL, MCV 76,2 fL, MCH
24,6 pg.
Dipikirkan disebabkan oleh anemia defisiensi besi dengan diagnosis diferensial
anemia penyakit kronik.
Rencana
1.
Diagnostik: DPL, morfologi, serum iron, ferritin, TIBC, saturasi transferrin
2.
Terapi
- Vitamin B kompleks 1x1 tab
- SF 1x3 tab
3.
Edukasi: apa itu anemia, mengapa timbul dan akibatnya pada efektivitas
pengobatan, gizi pada anemia
3. Hipoalbuminemia
Atas dasar: temuan albumin 2,5.
Dipikirkan disebabkan oleh penurunan intake sehingga sintesis protein menurun
dengan diagnosis banding peningkatan globulin pada inflamasi kronik.
Rencana
1.
Diagnostik: protein total, albumin, globulin
2.
Terapi:
- Diet tinggi protein 1500 kkal
9
3.
- Albumin 20% IV 3 hari
Edukasi: peningkatan gizi dengan sumber protein seperti putih telur dan ikan
gabus, sumber protein nabati
4. Hiponatremia dan hipoklorida
Atas dasar:kondisi kompos mentis, Na 130 mEq/Ldan Cl 92 mEq/L. Dipikirkan
disebabkan oleh penurunan intake.
Rencana
1.
Diagnostik: elektrolit
2.
Terapi
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc/8 jam
3.
Edukasi: peningkatan intake
10
KESIMPULAN
Pasien wanita yang berusia 33 tahun dan berat badan 50 kg datang dengan keluhan batuk yang
tidak kunjung sembuh dan semakin memberat dalam 4 bulan, dahak warna kuning kehijauan,
tidak ada darah, demam hilang timbul terutama pada sore hari, keringat malam, penurunan
berat badan, sesak yang tidak dipengaruhi oleh posisi sehingga membuat keterbatasan
aktivitas hidup dasar pasien. Riwayat pengobatan TB pada 2006 dan berhenti pada bulan
keempat karena merasa sudah membaik. Permasalahan yang ditemukan pada pasien adalah
tuberculosis paru lesi luas kasus drop out, anemia mikrositik hipokrom, hipoalbuminemia,
hiponatremia, dan hipokloridia. Saat ini, pasien dilakukan perawatan dan dievaluasi lanjut
untuk pengobatan tuberculosis.
Prognosis
Ad vitam
: Bonam
Ad sanasionam
: Dubia ad bonam
Ad fungsionam
: Dubia ad bonam
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
BATUK
Batuk adalah cara tubuh untuk mengeluarkan benda asing atau mukus dari paru-paru
dan saluran napas atas, atau sebagai reaksi dari iritasi pada saluran napas. Batuk hanyalah
suatu gejala, bukan penyakit, dan seberapa berat batuk mungkin hanya dapat dievaluasi
dengan melihat gejala selebihnya.1,2
Batuk terdiri atas tiga fase: tarikan napas dalam di awal, usaha singkat dari pernapasan
untuk melawan glottis yang tertutup, dan pembukaan glottis disertai penutupan nasofaring dan
ekspirasi hebat melalui mulut.1
Mekanisme terjadinya batuk diperkirakan berasal dari nervus vagus. Area pada saluran
pernapasan yang diperkirakan dapat menginisiasi terjadinya batuk adalah dari laring hingga
bronkus. Area ini mengandung banyak rapidly adapting pulmonary stretch receptors (RAR)
yang diduga memediasi terjadinya batuk. RAR mengandung banyak serat saraf bermielin dan
berdiameter kecil. RAR sangat mekanosensitif, dan juga merespons terhadap rangsangan
asam serta cairan nonisosmolar. Membran RAR mengandung reseptor dan kanal terhadap
stimulus-stimulus tersebut, sehingga menimbulkan batuk.1
Rangsang mekanis yang dapat menstimulasi RAR antara lain kontraksi otot polos,
vasodilatasi dan edema, sekresi mukus, serta penurunan komplians paru. Segala perubahan ini
dapat terjadi akibat kondisi inflamasi seperti asma, disebabkan oleh rangsangan langsung dari
mediator inflamasi yang dilepaskan di jaringan, atau dari takikinin yang dilepaskan reseptor
serat C di epitel dan mukosa.1
Selain hipotesis tersebut, terdapat pula hipotesis lain mengenai “pusat batuk” di batang
otak. Serat-serat nervus vagus yang berkaitan dengan batuk memasuki batang otak dan
bersambung dengan nukleus traktus solitarius melalui second order neurons. Pada bagian ini,
jalur mengalami overlap dan berinteraksi dengan serat aferen pernapasan lainnya seperti serat
C dan slowly adapting pulmonary stretch receptors (SAR). Neurotransmitter yang termasuk
antara lain glutamat, takikinin, substansi P, dan neurokinin. Jika aktivitas RAR meningkat
secara signifikan maka akan terjadi batuk. Termasuk juga antara lain gating process untuk
menentukan apakah suatu impuls cukup kuat untuk menimbulkan batuk, interaksi dengan
sistem pernapasan karena batuk dan bernapas tidak bisa terjadi dalam waktu bersamaan, dan
koordinasi antara aktivitas motorik diafragma, otot abdomen dan interkostal, serta otot laring
dan saluran napas atas melalui nukleus retroambigualis dan ambiguus.1
12
Berdasarkan waktu terjadinya, batuk dapat dibedakan menjadi:1
1. Batuk akut: terjadi kurang dari tiga minggu, biasanya disebabkan infeksi saluran
pernapasan, aspirasi, atau inhalasi asap atau bahan kimia.
2. Batuk subakut: terjadi antara 3-8 minggu, disebabkan oleh trakeobronkitis akibat pertusis
atau sindrom tusif postviral.
3. Batuk kronik: terjadi lebih dari 8 minggu, dapat disebabkan oleh penyakit
kardiopulmonal, seperti inflamasi, infeksi, neoplasma, dan penyeab kardiovaskular
lainnya.
Jika dinilai berdasarkan sputum yang dihasilkan, batuk dibedakan sebagai berikut:2
1. Batuk produktif: batuk yang menghasilkan dahak atau sputum. Mukus bisa dihasilkan dari
hidung atau sinus yang turun ke bagian belakang tenggorokan, atau berasal dari paru-paru.
Penyebab batuk produktif antara lain infeksi virus atau bakteri, penyakit paru kronis,
refluks asam lambung ke esofagus, postnasal drip, dan merokok.
2. Batuk nonproduktif: batuk kering yang tidak menghasilkan sputum. Batuk nonproduktif
dapat disebabkan antara lain bronkospasme, alergi, obat-obatan seperti ACE inhibitor,
paparan terhadap debu, asap, atau bahan kimia, asma, dan penyumbatan saluran napas
oleh makanan atau pil.
Pada praktik klinik sehari-hati, batuk merupakan suatu keluhan yang paling sering ditemukan.
Oleh karena itu, kita wajib menentukan penyebab dari batuk untuk menghilangkannya.
Penyebab batuk dapat ditentukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.1 Anamnesis yang dapat dilakukan kepada pasien batuk antara lain:1

Lama batuk: jika kurang dari 3 minggu dikatakan akut, 3-8 minggu dikatakan
subakut, dan lebih dari 8 minggu dikatakan kronik.

Produksi sputum: batuk dapat produktif atau nonproduktif. Jika batuk produktif,
sebaiknya ditanyakan apakah sputum purulen atau apakah terjadi hemoptisis.

Karakteristik batuk: kapan batuk lebih banyak terjadi, apakah pasien sering
berdeham atau terjadi postnasal drip, apakah diperparah dengan aktivitas atau
udara dingin, gejala penyerta, dan sebagainya. Terdapat nilai prediktif dari
karakteristik gejala yang didapat dari anamnesis sebagai berikut:
13

Riwayat merokok

Riwayat pekerjaan

Riwayat
penggunaan
obat:
obat-obatan
seperti
ACE
inhibitor
dapat
menyebabkan efek samping berupa batuk, terjadi pada kurang-lebih 10% pasien.
Selain anamnesis, pemeriksaan fisik pun diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan fisik yang penting untuk keluhan batuk antara lain:1

Pemeriksaan THT
Pemeriksaan THT mungkin menunjukkan bukti terjadi rinitis atau faringitis,
dengan adanya peradangan pada mukosa hidung dan faring posterior disertai
sekret. Mungkin juga dapat ditemukan gambaran cobblestone di mukosa
orofaring. Pemeriksaan telinga dapat menunjukkan otitis serosa.

Pemeriksaan dada
Pemeriksaan fisik dada meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pada
inspeksi dan palpasi, dapat dilihat kesimetrisan dinding dada dan apakah bagian
paru yang tertinggal saat bernapas. Pada perkusi mungkin dapat ditemukan
bagian paru yang lebih redup. Pada auskultasi dapat terdengar kelainan pada
suara napas serta bunyi napas tambahan seperti ronki atau wheezing.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik, mungkin diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
menentukan etiologi batuk. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain foto
toraks, spirometri, uji bronkoprovokatif, foto sinus, bronkoskopi, dan CT scan toraks.1
14
Batuk dapat diatasi sesuai dengan penyebabnya, tetapi terdapat pula beberapa jenis obat
yang dapat mengatasi batuk secara simptomatik. Obat-obat batuk dibagi tiga berdasarkan
indikasinya, yaitu antitusif untuk batuk kering, ekspektoran untuk batuk berdahak, dan
dekongestan untuk batuk yang disertai sumbatan hidung.3
1. Antitusif
o Kodein
Obat golongan agonis opioid. Bekerja dengan menekan refleks batuk akibat ikatan
dengan reseptor µ dan κ. Kodein juga dapat digunakan sebagai terapi analgesia,
tetapi dosisnya berbeda dengan antitusif, sehingga pada dosis antitusif belum ada
efek analgesia. Efek samping kodein antara lain sedasi, mual, muntah, konstipasi,
ketergantungan, dan depresi pernapasan.3 Dosis awal kodein adalah 4 x 15 mg/hari
per oral, bisa ditingkatkan sampai 20 mg setiap 4 jam, maksimal 120 mg/hari.4
o Dextromethorphan
Bekerja dengan meningkatkan ambang rangsang refleks batuk secara sentral.
Kekuatannya kira-kira sama dengan kodein. Efek antitusifnya bertahan selama 5-6
jam. Dekstrometorfan tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan sirop 10 mg/5 ml
dan 15 mg/5 ml. Dosis dewasa 10-30 mg diberikan 3-4x/hari.3
o Noskapin
Noskapin merupakan turunan opioid golongan benzilisokinolin. Merupakan
pelepas histamin yang poten sehingga dapat menyebabkan bronkokonstriksi dan
hipotensi dalam dosis besar. Dosis noskapin adalah 3-4 kali 15-30 mg/hari.3
2. Ekspektoran
Obat yang dapat merangsang pengeluaran mukus atau dahak dari saluran napas
(ekspektorasi). Dibagi menjadi dua jenis, yaitu:3
15
o Stimulan ekspektoran
Bekerja melalui stimulasi mukosa lambung dan merangsang sekresi kelenjar
saluran napas melalui nervus vagus sehingga menurunkan viskositas dan
mempermudah pengeluaran dahak (sekret saluran pernapasan lebih banyak
sehingga dahak lebih encer). Contoh obat ini adalah ammonium klorida (dosis 300
mg (5 ml) dalam 2-4 jam) dan gliseril guaiakolat (tersedia dalam bentuk sirup 100
mg/5 ml, dosis 2-4 kali 200-400 mg/hari).3
o Mukolitik ekspektoran
Bekerja dengan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari
sputum sehingga sputum menjadi encer. Contoh obat ini adalah bromheksin (dosis
3 kali 4-8 mg/hari),3 ambroksol (30-120 mg, dibagi 2-3x)5, dan asetilsistein
(diberikan secara nebulisasi, yang biasa digunakan adalah asetilsistein 10-20%).3
3. Dekongestan
Obat jenis ini mengurangi sumbatan hidung dengan berikatan dengan reseptor alfa
adrenergik sehingga menyebabkan konstriksi vena mukosa hidung. Akibatnya volume
mukosa berkurang sehingga sumbatan hidung berkurang. Dekongestan menurut
administrasinya terdiri atas oral dan topikal. Dekongestan oral antara lain
fenilpropanolamin, pseudoefedrin, dan efedrin. Sedangkan dekongestan topikal antara
lain xylometazoline, naphazoline, tetrahydrozoline, oxymetazoline, epinefrin, dan
fenilefrin.3
II. TUBERKULOSIS
Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi
kemanusiaan.6 Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Setiap detik ada satu
orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari
seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per
100.000 penduduk.7 Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, pada tahun 2009,
prevalensi TB paru di Indonesia adalah 285 per 100.000 penduduk, insidens TB paru 189 per
100.000 penduduk, dan kematian yang berhubungan dengan TB paru sebesar 27 per 100.000
penduduk.8
16
2.1 PENULARAN
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilyah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya
secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering
dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi droplet
nuclei yang mengandung basil, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan
batuk berdahak atau berdarah yang mengandung BTA.9
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis; sejenis kuman
berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/ µm. Yang
tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah: 1). M
tuberculosae, 2). Varian Asian, 3). Varian African I, 4). Varian African II, 5). M. bovis.
Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.9
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomanan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan juga lebih
tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering
maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini
terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat
bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.9
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat
ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Dalam hal ini, tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari
bagian lain sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
2.2 PATOGENESIS
Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjasi droplet nuclei. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas
selarna 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk,
17
dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan dan gelap, kuman dapat tahan berhari-hari
sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan
rnenempel pada saluran napas atau jaringan paru. Kuman akan dihadapi pertarna kali
oleh neutrofil kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan
silia dengan sekretnya.9
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Di sini, ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini
dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, terjadilah
efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran GI, jaringan limfe, orofaring, dan
kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri
pulmonal, rnaka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.9
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer
(Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini
selanjutnya dapat menjadi:

Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan eacat. Ini yang banyak terjadi.

Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi
di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10%
di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.

Berkomplikasi dan menyebar secara : a). perkontinuitatum, yakni menyebar ke
sekitamya, b). Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di
sebelahnya, kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
menyebar ke usus, c. secara limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya. d. secara
hematogen, ke organ tubuh lainnya.
Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dorman pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian,
sebagai infeksi endogen menjadi TB sekunder. Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. TB
18
sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna,
diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio
atas paru. Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru.9
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu, sarang ini menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh selsel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan
imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi9

Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran.
Sarang dini yang meluas sebagai granuloma, berkembang menghancurkan jaringan
ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek
membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah
kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal
karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas
sklerotik (kronik).
Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat:

Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru.

Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini
dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi
kavitas lagi.

Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyernbuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai
kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbentuk seperti bintang disebut stellate
shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1). Sarang yang
sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi; 2). Sarang aktif
eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempuma; 3).
Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh
spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya
diberi pengobatan yang sempurna juga.9
19
2.3 KLASIFIKASI
Sampai saat ini, belum ada kesepakatan di antara para klinikus, ahli radiologi, ahli
patologi, mikrobiologi, dan ahi kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi
TB. WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori, yaitu9
1. Kategori I ditujukan terhadap:

Kasus baru dengan sputum positif

Kasus baru dengan bentuk TB berat.
2. Kategori II ditujukan terhadap:

Kasus kambuh

Kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori III ditujukan terhadap:

Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.

Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
4. Kategori IV ditujukan terhadap TB kronik.
2.4 GEJALA
Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bemacam-macarn atau bahkan tanpa keluhan
sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak antara lain9

Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas
badan dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi
kemudian dapat timbul kernbali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza
ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi
kuman tuberkulosis yang rnasuk.

Batuk/Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, rnungkin saja batuk baru ada
setelah penyakit berkembang dalarn jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau
berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (nonproduktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan
batuk darah pada TB terjadi pada kavitas tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding
bronkus.
20

Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas.
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru.

Nyeri dada. Gejala ini agak jarang diternukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.

Malaise. Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan
berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringas malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin
berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
2.5
DIAGNOSIS
Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar kasus TB bersifat asimptomatik. Secara anamnesis dan
pemeriksaan fisik, TB juga sulit dibedakan dengan pneumonia. Pemeriksaan pertama
pada keadaan umum pasien dapat menunjukkan konjungtiva atau kulit pucat karena
anemia, demam, badan kurus atau berat badan menurun.9
Pada TB yang disertai infiltrat luas, bisa didapatkan perkusi redup pada bagian
apeks paru dan suara napas bronkial pada auskultasi. Dapat terdengar pula suara napas
tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Namun jika infiltrat diliputi
penebalan pleura, suara napas menjadi vesikular melemah. Jika kavitas cukup besar,
perkusi menimbulkan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara
amforik.9
Jika TB sudah berlanjut menjadi fibrosis, akan ditemukan atrofi dan retraksi
otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit menciut, sedangkan bagian yang sehat
mengalami hiperinflasi. Bila fibrosis sangat luas melebihi setengah jaringan paru, akan
terjadi pengecilan aliran darah paru, menimbulkan gejala gagal jantung kanan dan kor
pulmonale.9
TB yang mengenai pleura menghasilkan efusi pleura. Paru yang sakit akan
terlihat tertinggal saat bernapas dan perkusi menimbulkan suara pekak. Auskultasi
memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.9
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis dada merupakan cara praktis untuk menentukan lokasi lesi.
Lesi biasanya ditemukan di apeks paru. Pada awal penyakit, gambaran yang
21
ditemukan berupa bercak-bercak dengan batas tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi
jaringan ikat, maka bayangannya berupa bulatan dengan batas tegas (tuberkuloma).
Pemeriksaan radiologis juga dapat memberikan gambaran TB milier berupa bercakbercak halus yang tersebar merata di seluruh lapangan paru.9,10
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah tidak terlalu sering digunakan karena kurang sensitif dan kurang
spesifik. Pada saat TB baru akan aktif, akan didapatkan jumlah leukosit meninggi
dengan hitung jenis pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah. Selain itu
didapatkan pula anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer,
peningkatan gama globulin, dan penurunan kadar natrium darah.9
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi yang digunakan untuk mendiagnosis TB salah satunya
adalah reaksi Takahashi yang menunjukkan apakah proses tuberkulosis masih aktif
atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Namun
pemeriksaan ini jarang dilakukan karena mudah mengeluarkan hasil positif atau
negatif palsu.9
Pemeriksaan lain yang banyak dipakai adalah Peroksidase Anti Peroksida
(PAP-TB) karena nilai sensitivitas dan spesifitasnya yang cukup tinggi (85-95%).
Prinsip
dasarnya
adalah menentukan adanya
IgG
yang spesifik
terhadap
M.tuberculosis. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis jika ditemukan hasil positif
pada titer 1:10.000. PAP-TB dapat dipakai, tapi kurang bermanfaat sebagai sarana
tunggal diagnosis TB.9
Uji serologis lain adalah Mycodot yang nilainya hampir sama dengan PAP-TB.
Di sini dipakai antigen Lipoarabinomannan (LAM) yang dilekatkan pada alat
berbentuk sisir plastik, lalu dicelupkan ke dalam serum pasien. Antibodi spesifik anti
LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir.9
Untuk TB yang sudah mencapai pleura dapat dideteksi dengan mengukur kadar
adenosine deaminase (ADA) dalam cairan pleura.10
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum adalah pemeriksaan yang terpenting, karena diagnosis
dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman basil tahan asam (BTA) dalam sputum.
22
Pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan.9-11
Untuk melakukan pemeriksaan ini, satu hari sebelum pemeriksaan sputum,
pasien dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk.
Dapat juga diberikan tambahan obat-obatan mukolitik ekspektoran atau dengan
inhalasi larutan garam hipertonik 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat
diperoleh dengan bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau
broncho alveolar lavage (BAL) atau dengan bilasan lambung.2 Setelah sputum
didapat, diwarnai dengan pewarnaan Kinyoun atau Ziehl-Nielsen, lalu diperiksa
menggunakan mikroskop.9-11 Terdapat juga pewarnaan fluoresens menggunakan
auramine-rhodamine,9-11 namun bersifat toksik9.
Kuman BTA tidak selalu bisa dijadikan acuan karena hanya bisa ditemukan
jika bronkus yang terlibat dalam proses penyakit terbuka ke luar, sehingga sputum
yang mengandung kuman BTA mudah keluar.9 Kriteria sputum BTA positif adalah
jika minimal terdapat 3 kuman BTA dalam satu sediaan.9-11
Sputum juga dapat ditanam dalam medium biakan sebelum diperiksa.9-11
Kultur dilakukan selama 4-6 minggu.9 Jika sampai 8 minggu tidak ditemukan bakteri,
maka hasil tes dinyatakan negatif.9-11 Medium biakan yang sering dipakai adalah
Lowenstein-Jensen,9-11 Middlebrook 7H10,10,11 Kudoh, atau Ogawa9 lalu kemudian
diinkubasi pada suhu 35-37°C dalam 5-10% CO2.11 Saat ini juga sedang
dikembangkan pemeriksaan biakan sputum BTA dengan cara Bactec di mana kuman
sudah dapat dideteksi dalam 7-10 hari.9
Uji sputum untuk menemukan BTA memang cepat dan tidak mahal, namun memiliki
sensitivitas yang cukup rendah (40-60%).11
Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR digunakan untuk menguji DNA spesifik dari M.tuberculosis dalam waktu yang
lebih cepat atau yang tidak tumbuh dalam sediaan biakan.9-11 Sensitivitasnya adalah
55-90% dengan spesifisitas 99%.11
Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk menegakkan diagnosis TB pada anak
balita.2 Biasanya dipakai tes Mantoux dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin
PPD (Purified Protein Derivative) intrakutan9,10 berkekuatan 5 TU.9 Bila penyuntikan
23
tersebut tidak memberikan hasil positif, bisa dicoba suntikan berkekuatan 250 TU.
Jika masih memberikan hasil negatif juga, maka dugaan TB dapat disingkirkan.9
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit. Hasil tes ini dibagi dalam indurasi
berdiameter 0-5 mm (Mantoux negatif), 6-9 mm (diragukan), 10-15 mm (Mantoux
positif), dan > 15 mm (positif kuat/hipersensitivitas). Hampir semua pasien TB
memberikan reaksi Mantoux positif. Namun jika seseorang sudah pernah menderita
TB, hasil tes akan positif seumur hidupnya.9
2.6
FARMAKOLOGI OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Genus Mycobacterium memiliki banyak spesies, tetapi hanya beberapa di antaranya
yang menyebabkan patologi pada manusia. Salah satunya adalah Mycobacterium tuberculosis,
bakteri berbentuk batang dan bersifat aerob obligat, yang sering menyebabkan kelainan pada
paru-paru.10,11 Mengingat besarnya morbiditas dan mortalitas yang dapat disebabkan oleh
infeksi tuberculosis (TB), penanganan dini perlu dilakukan, salah satunya adalah dengan
terapi farmakologi.
Farmakologi antituberkulosis terbagi atas 2, yaitu obat lini pertama (first line drug)
dan obat lini kedua (second line drug).3,10,12 Obat lini pertama sendiri terbagi dua, yaitu (1)
esensial, yaitu merupakan obat yang paling penting dan efektif dalam penanganan jangka
pendek10 dan mencakup isoniazid, rifampisin, etambutol, serta pirazinamid; dan (2)
supplemental, yaitu obat yang masih memiliki efektivitas tinggi dengan efek samping yang
masih dapat diterima yang mencakup streptomisin, rifabutin, dan rifapentin.2 Namun, secara
khas, lima obat utama dalam obat lini pertama adalah isoniazid, rifampisin, ethambutol,
pirazinamid, dan streptomisin.3,12
Obat yang termasuk lini kedua adalah golongan fluorokuinolon (siprofloksasin,
ofloksasin, levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan
paraaminosalisilat (PAS).12 Obat-obat ini dapat dikatakan memiliki efektivitas yang lebih
rendah dan memiliki toksisitas yang lebih tinggi10, tetapi digunakan ketika TB sudah
menunjukkan resistensi terhadap obat lini pertama. Umumnya, penggunaan flukorokuinolon
seperti levofloksasin dan moksifloksasin sangat membantu dalam pengobatan TB yang
membutuhkan obat multipel.10
A. Isoniazid
Isonikotinil hidrazid atau isoniazid (INH) merupakan obat tuberkulostatik. Struktur kimia
isoniazid memiliki kemiripan dengan piridoksin. Obat ini mudah larut dalam air.12
24
Gambar 1. Struktur kimia isoniazid dan piridoksin12
Farmakodinamik
Obat ini bekerja dengan menghambat perpanjangan rantai asam lemak panjang yang
merupakan cikap bakal asam mikolat, komponen penting pada dinding bakteri.3 Isoniazid
merupakan prodrug yang diaktivasi oleh KatG (katalase-peroksidase mikobakterium).
Isoniazid yang sudah teraktivasi membentuk ikatan kovalen dengan acyl carrier protein
(AcpM) dan KasA, beta-ketoasil carrier protein sintetase, yang menghambat sintesis
asam mikolat dan akhirnya membunuh sel.12
Mekanisme Resistensi
Keseluruhan proses di atas memerlukan proses aktif pengambilan obat oleh bakteri.3
Resistensi terhadap isoniazid dapat muncul akibat overekspresi inhA yang mengkode asil
carrier protein reduktase bergantung NADH, mutasi atau delesi gen katG, mutasi
promoter yang mengakibatkan overekspresi ahpC, gen virulensi yang bertugas melindungi
bakteri dari stress oksidatif, dan mutasi pada kasA. Ketika terjadi overekspresi inhA,
resistensi terhadap isoniazid masih lemah dan mengakibatkan resistensi silang pada
etionamid. Namun, mutasi pada katG mengakibatkan resistensi isoniazid tingkat tinggi
dan tidak menyebabkan resistensi silang terhadap etionamid.12
Farmakokinetik
Isoniazid dapat diberikan secara oral dan mencapai kadar puncak dalam 1-2 jam. Obat
ini kemudian akan dimetabolisme di hati dengan diasetilasi. Akibatnya, terdapat variasi
genetik yang dapat memengaruhi kadar plasma dan waktu paruh. Orang pada umumnya
akan memiliki waktu paruh isoniazid 1-4 jam. Pada mereka yang tergolong asetilator
cepat, waktu paruhnya menjadi sepertiga dari mereka yang asetilator lambat.3 Walaupun
terjadi perbedaan waktu paruh, efektivitas dan toksisitas obat tidak berubah asalkan dosis
diberikan dengan tepat.3,12
Ekskresi isoniazid melalui urin dalam bentuk metabolitnya, yaitu asetil isoniazid,
asam isonikotinat, isonikotinik glisin, isonikotinil hidrazon, dan N-metil isoniazid. Jumlah
yang dikeluarkan melalui urin ini berkisar 75-95% dalam waktu 24 jam.3
25
Efek Samping
Efek tersering yang dihasilkan oleh isoniazid adalah reaksi hipersentivitas dengan
gejala demam, morbiliform, makulopapular, dan urtikaria. Dapat pula didapatkan reaksi
hematologic, yaitu agranulusitosis, eosinofilia, trombositopenia, dan anemia. Gejala
vaskulitis dan arthritis juga dapat muncul, tetapi keseluruhan gejala ini dapat menghilang
apabila pengobatan dihentikan.
Pengobatan TB dengan isoniazid tunggal akan menimbulkan neuritis perifer pada
dosis melebihi 5 mg/kgBB/hari, tetapi jarang pada dosis 300 mg.12 Gejala ini lebih sering
ditemukan pada kelompok asetilator lambat dengan faktor predisposisi, seperti malnutrisi,
peminum alcohol, diabetes, AIDS, dan uremia. Neuropati ini disebabkan oleh defisiensi
piridoksin relatif.3 Alasan yang mendasarinya adalah kemiripan struktur piridoksin dan
isoniazid yang membuat ekskresi piridoksin meningkat sehingga terjadi kehilangan
vesikel sinaps, pembengkakan mitokondria, dan pecahnya akson terminal.3
Efek toksik dari isoniazid berdampak pada hati yang dapat memicu hepatitis.
Peningkatan enzim aminotransferase hingga 3-4 kali normal masih dapat dianggap wajar
dan tidak memerlukan penghentian terapi dikarenakan umumnya asimptomatik. Indikasi
penghentian terapi adalah kehilangan nafsu makan, mual, muntah, ikterus, dan nyeri
kuadran kanan atas yang menunjukkan toksisitas hati. Insidensi ini akan meningkat seiring
pertambahan usia, pecandu alcohol, periode kehamilan, dan postpartum.
Status dalam Pengobatan
Walaupun obat ini memiliki beberapa efek samping, isoniazid tetap merupakan obat
yang penting dalam penanganan TB. Efek samping neuropati perifer dapat dicegah
dengan pemberian piridoksin. Selain itu, pemberian isoniazid tunggal akan mempercepat
resistensi, oleh karenanya perlu dikombinasikan dengan obat anti-TB lainnya.3
Posologi
Isoniazid tersedia dalam bentuk tablet dan umumnya diberikan dalam dosis tunggal
setiap harinya. Pada orang dewasa, dosis isoniazid adalah 5 mg/kgBB dengan dosis
maksimum 300 mg/hari. Pada kondisi berat, dapat diberikan dosis 10 mg/kgBB dengan
dosis maksimum 600 mg/hari. Sebagai penyerta, piridoksin dapat diberikan dengan dosis
10 mg/hari.3
26
B. Rifampisin
Rifampisin merupakan derivat semisintetik rifamisin dari Streptomyces mediterranei.
Obat ini dapat diberikan untuk pengobatan bakteri gram positif dan negatif, beberapa
bakteri enterik, mikobakteria, dan klamidia. Rifampisin dapat menyebabkan resistensi
silang dengan derivate rifamisin lainnya, seperti rifabutin dan rifapentin, tetapi tidak untuk
obat anti-TB lainnya.12 Walaupun demikian, obat ini masih tergolong sangat penting dan
poten untuk pengobatan TB.10
Farmakodinamik dan Mekanisme Resistensi
Obat ini dapat menembus semua jaringan, termasul fagosit. Selain itu, rifampisin
dapat membunuh organism yang berada di tempat yang tidak dapat ditembus oleh obat
lain, seperti intrasel, abses, dan kavitas.12 Oleh karenanya, rifampisin memilki efek
bakterisidal intraselular dan ekstraselular.10
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan dengan subunit  pada RNA
polymerase bergantung DNA sehingga sintesis RNA terganggu.
Resistensi terhadap
rifampisin terjadi apabila mutasi pada rpoB, gen yang mengkode subunit  pada RNA
polymerase. Akibatnya, obat tidak dapat berikatan dengan enzim. Walaupun kinerja obat
berikatan dengan enzim RNA polymerase, proses sintesis protein yang melibatkan RNA
polymerase manusia tidak terganggu oleh pemberian rifampisin.3,12
Farmakokinetik
Rifampisin diberikan oral dan mencapai kadar puncak dalam waktu 2-4 jam sebesar
7g/mL pada pemberian dosis tunggal 600 mg. Pemberian PAS akan menghambat
absorbsi rifampisin sehingga pemberian keduanya harus diberikan jarak 8-12 jam. Selain
itu, penyerapannya akan dihambat oleh adanya makanan.3
Rifampisin akan diekskresikan dari hati melalui empedu menjadi deasetil rifampisin
dan mengalami resirkulasi enterohepatik.12 Metabolit ini memiliki sifat antibakteri penuh.
Dikarenakan rifampisin sendiri adalah inductor, pemberian berulang akan meningkatkan
bioavabilitas dan jumlah eliminasinya.3 Waktu paruhnya adalah 1,5-5 jam dan akan
memendek pada pemberian berulang.3 Obat ini juga memiliki distribusi yang luas pada
berbagai cairan tubuh dan jaringan akibat memiliki ikatan protein yang tinggi. Hal ini
ditandakan adanya warna merah pada urin, tinja, sputum, airmata, dan keringat.3 Oleh
karenanya, pemberian rifampisin dapat menangani meningitis akibat konsentrasi cairan
serebrospinal yang adekuat.12
27
Efek Samping
Pemberian rifampisin dapat menyebabkan perubahan warna urin, keringat, air mata,
dan lensa mata menjadi kuning kemerahan. Terkadang muncul ruam kemerahan pada
kulit, trombositopenia, dan nefritis. Dapat pula ditemukan kolestasis dan hepatitis. Jika
diberikan dengan dosis besar, tetapi diberikan kurang dari dua kali seminggu, pasien dapat
mengalami flu-like syndrome yang ditandai dengan demam, menggigil, myalgia, anemia,
dan trombositopenia.
Rifampisin adalah inductor pada enzim sitokrom P450 dengan berbagai isoformnya
(CYP, 1A2, 2C9, 2C19, 2D4, dan 3A4) yang mengakibatkan percepatan waktu paruh obat
lain, seperti metadon, antikoagulan, siklosporin, antikonvulsan, protease inhibitor, dan
kontrasepsi.
Status dalam Pengobatan
Secara in vivo, epmberian rifampisin dapat meningkatkan kinerja dari streptomisin
dan isoniazid, tetapi tidak aditif terhadap etambutol. Oleh karenanya, rifampisin sering
dikombinasikan bersama dengan isoniazid.3
Posologi
Rifampisin tersedia dalam bentuk kapsul, tablet, dan suspensi. Sebaiknya, obat
diminum satu jam sebelum makan atau dua jam sesudah makan. Dosis untuk pasien
dengan BB kurang dari 50 kg adalah 450 mg/hari, tetapi untuk yang BB lebih dari 50 kg
adalah 600 mg/hari.3,12
C. Etambutol
Etambutol mudah larut dalam air, tahan panas, dan terdispersi dalam garam
dihidroklorida.12 Obat ini sangat efektif untuk terapi infeksi TB dan M. kansasii.
Kelebihan obat ini adalah tetap dapat digunakan walaupun bakteri sudah menunjukkan
resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin.3
Farmakodinamik dan Mekanisme Resistensi
Etambutol bekerja dengan menghambat enzim arabinosil transferase yang dikode oleh
operon embCAB. Enzim ini penting dalam polimerisasi arabinoglikan, salah satu
komponen penting dinding bakteri. Resistensi dapat terjadi bila gen emb atau embB
mengalami mutasi.12 Akibatnya, metabolisme sel terhambat dan sel mati. Penggunaan
28
etambutol hanya akan efektif pada sel yang sedang membelah sehingga dikatakan
memiliki efek tuberkulostatik.3
Farmakokinetik
Etambutol diserap di usus dengan baik dan dosis 15 mg/kgBB akan tercapai kadar
puncak 5 g/mL dalam 2-4 jam.3,12 Waktu paruhnya adalah 3-4 jam. Hal yang menarik
dari etambutol adalah kadar dalam eritrosit 1-2 kali lebih tinggi dari kadar plasma,
sehingga dimanfaatkan sebagai depot etambutol.3 Etambutol akan menembus sawar darah
otak jika terjadi meningitis, tetapi konsentrasinya dapat bervariasi 4-64%.12 Sekitar 20%
obat akan diekskresikan melalui feses dan 50% melalui urin dalam bentuk obat aslinya.
Oleh karenanya, pada mereka yang memiliki kerusakan ginjal, harus dilakukan
penyesuaian dosis.12
Efek Samping
Gangguan penglihatan merupakan efek samping yang paling sering dari pemberian
etambutol akibat neuritis retrobulbar. Gejalanya adalah penurunan ketajaman, buta warna
merah-hijau, pengecilan lapang pandang, dan skotoma sentral maupun lateral.
Pemeriksaan penglihatan disarankan apabila digunakan dosis 25 mg/kg/hari. Pemberian
etambutol dikontraindikasikan untuk anak-anak dikarenakan mereka belum dapat
dilakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan dan diskriminasi merah-hijau.12
Status dalam Pengobatan dan Posologi
Etambutol digunakan untuk mencegah resistensi terhadap penggunaan obat anti-TB
lainnya. Di pasaran, obat ini tersedia dalam bentuk tablet dan diberikan dengan dosis 15
mg/kgBB sekali sehari atau 25 mg/kgBB untuk 60 hari pertama dan diturunkan menjadi
15 mg/kgBB.3
D. Pirazinamid
Farmakodinamik dan Mekanisme Resistensi
Pirazinamid (PZA) masih merupakan kelompok nikotinamid dan mudah larut dalam
air. Obat ini tidak dapat bekerja pada pH netral, tetapi terlihat efeknya pada pH 5.5 yang
mampu menghambat pertumbuhan basil. Agar tercapai kondisi asam tersebut, pirazinamid
harus masuk ke dalam makrofag dan membunuh bakteri yang berada pada lisosom.
Pirazinamid kemudian akan diubah menjadi asam pirazinoat oleh enzim pirazinamidase
mikobakterium yang dikode oleh pncA.3,12
29
Terjadinya resistensi terhadap pirazinamid dapat disebabkan oleh kegagalan
pengambilan pirazinamid oleh makrofag dan mutasi pada pncA sehingga mengganggu
konversi pirazinamid menjadi bentuk aktifnya.
Farmakokinetik
Pirazinamid diserap dengan baik di usus dan pemberian 1 gram dapat mencapai kadar
puncak 45 g/mL. Obat kemudian akan menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Jalur
ekskresi utama adalah melalui ginjal dalam bentuk asam hidropirazinoat yang merupakan
hasil hidrosilaasi asam pirazinoat.3,12
Efek Samping
Hepatotoksisitas adalah salah satu efek samping tersering pada pemberian
pirazinamid. Selain itu, dapat ditemukan keluhan mual, muntah, demam, dan
hiperurisemia. Ketika muncul gejala, ada baiknya untuk tidak segera menghentikan
terapi.12 Terapi dapat dihentikan bila sudah mulai timbul tanda-tanda kerusakan hati.3
Posologi
Pirozinamid tersedia dalam bentuk tablet dan diberikan dengan dosis 20-35 mg/kgBB
per hari. Dosis maksimum yang dapat diberikan adalah 3 g dan dapat diberikan sekali
hingga beberapa kali sehari.3
E. Streptomisin
Streptomisin tergolong sebagai aminoglikosida dan dipakai sebagai OAT pertama kali.
Sayangnya, penggunaan streptomisin sudah mulai ditinggalkan.
Farmakodinamik
Aminoglikosida merupakan inhibitor ireversibel pada sisntesis protein, walaupun
mekanisme bakterisidalnya masih diteliti. Awalnya, obat akan berdifusi melalui porin
pada membran luar dan ditranspor aktif melintasi membran sel menuju sitoplasma. Proses
ini membutuhkan energi dan dapat terhambat pada kondisi pH asam dan anaerob. Namun,
efek ini dapat ditingkatkan pada pemberian obat yang menghambat dinding bakteri,
seperti penisilin dan vankomisin.
Di dalam sel, streptomisin akan berikatan dengan unit ribosom S12. Mekanisme
penghambatan sintesis protein, antara lain (1) inhibisi kompleks inisiasi untuk
30
pembentukan peptide, (2) merusak mRNA sehingga terjadi kesalahan pemasangan asam
amino pada peptide, dan (3) pemecahan polisom menjadi monosom.11
Gambar 2. Mekanisme kerja streptomisin11
Streptomisin memiliki kemampuan yang rendah dalam menembus sel dan karenanya
bermanfaat untuk membunuh basil di ekstrasel.12 Namun, bakteri tetap dapat tumbuh
dalam abses atau KGB setelah pemberian obat dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa
streptomisin berguna untuk supresi, bukan eradikasi.3
Farmakokinetik
Dikarenakan streptomisin adalah golongan aminoglikosida, pemberian obat adalah
dengan suntikan sehingga bioavabilitasnya 100%. Streptomisin akan menyebar ke
ekstrasel dan sebagian terikat protein plasma. Waktu paruhnya 2-3 jam. Sekitar 50-60%
obat akan diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh pada 24 jam pertama.3
Efek Samping
Seperti aminoglikosida lain, efek samping pemberian streptomisin adalah kerusakan
saraf cranial VIII (ototoksisitas) jika diberikan dengan dosis besar dan jangka waktu lama.
Disarankan pada pasien untuk melakukan pemeriksaan audiometric berkala. Selain itu,
efek streptomisin lainnya adalah nefrotoksik. Indisendi toksisitas ini akan meningkat pada
pertambahan usia, terutama kelompok di atas 65 tahun.
31
Posologi
Streptomisin tersedia dalam bentuk bubuk injeksi. Pemberiannya 20 mg/kgBB IM
dengan dosis maksimum 1 gram/hari hingga 2-3 minggu. Sesudahnya, pemberian hanya
2-3 kali seminggu.3
Aplikasi Pengobatan
Pengobatan TB tersusun atas dua fase, yaitu fase awal dan fase lanjutan. Regimen akan ditulis
dalam bentuk kode. Angka di depan huruf menunjukkan jangka waktu pemberian obat pada
fase tersebut dalam waktu bulan dan huruf sesudahnya menunjukkan obat. Angka di belakang
huruf menunjukkan waktu pemberian dalam seminggu dan jika tidak ditulis berarti diberikan
setiap hari. Garis miring digunakan untuk memisahkan dua fase yang berbeda.
32
Tabel 1. Regimen pengobatan untuk kategori diagnostik TB3
Kategori
Diagnostik
I
II
III
Kondisi Klinis
Pasien baru sputum BTA positif; pasien baru
TB paru BTA negatif dengan infeksi parenkim
paru ekstensif; TB paru dengan HIV atau TB
ekstrapulmonal
Pasien TB paru BTA positif yang pernah
diobati:
- Kambuh
- Gagal terapi
Pasien kategori I yang gagal diobati dengan:
- Program pengobatan adekuat
- TB-MDR
Tersedia regimen pengobatan kategori IV
Dalam keadaan:
- Data yang representative mengenai TBMDR rendah atau individualisasi DST
menunjukkan penyakit yang sensitive
terhadap OAT
Atau
- Performans program buruk
- Data DRS yang representative tidak ada
- Sarana-prasarana untuk
penatalaksanaan pengobatan katetori IV
tidak cukup
Pasien baru TB paru dengan BTA negatif,
selain kategori I, dan TB ekstraparu ringan
Fase Awal
Anjuran
2 HRZE
Opsional
2 (HRZE)3 atau
2 HRZE
Anjuran
2 HRZES/1
HRZE
Kronik (sputum BTA masih positif sesudah
pengobatan ulang) dan terbukti suspek TBMDR
Anjuran
4 HR atau 4
(HR)3
Opsional
4 (HR)3 atau 6
HE
Anjuran
5 HRE
Opsional
5 (HRE)3
Opsional
2 (HRZE)3/1
HRZE3
Regimen khusus yang baku
ataupun individual sering
diperlukan untuk pasien ini
Anjuran
2 HRZES/1
HRZE
Opsional
2 (HRZE)3/1
HRZE3
Anjuran
2 HRZE
Opsional
2 (HRZE)3 atau
2 HRZE
IV
Fase Lanjutan
Anjuran
5 HRE
Opsional
5 (HRE)3
Anjuran
4 HR atau 4
(HR)3
Opsional
4 (HR)3 atau 6
HE
Individual
33
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, penegakan diagnosis tuberkulosis dilakukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang. Keluhan yang ditemukan pada pasien yang mengarahkan
pada tuberculosis adalah keluhan batuk sejak 10 bulan sebelum masuk rumah sakit dan
mengalami perburukan disertai dengan dahak warna kuning kehijauan, demam hilang timbul
terutama pada sore dan malam hari, keringat malam, serta penurunan berat badan. Pada
perjalanan penyakit, kondisi memburuk di mana pasien menjadi sesak saat beraktivitas dan
nyeri bila menarik nafas dalam. Kedua keluhan terakhir ini bukanlah keluhan yang umum
dijumpai pada pasien dengan tuberkulosis. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan frekuensi nafas
28 kali/menit, dangkal, tampak penggunaan otot bantu nafas, vokal fremitus menurun pada
kedua lapang paru tetapi lebih berat pada sisi kiri, suara nafas bronkovesikular dan ronki
basah kasar pada kedua lapang paru. Walaupun sebenarnya hasil BTA tidak diketahui, pada
hasil GeneXpert masih ditemukan kuman basil tahan asam. Gambaran radiologis multiformis
yang sesuai untuk tuberkulosis. Pada pasien, ditemukan kavitas pada lobus superior paru
kanan, fibrosis dan kalsifikasi pada kedua lapang paru, infiltrate pada apeks lobus kanan
inferior dengan komponen atelektasis pada lobus superior paru kiri sehinggga menarik trakea
ke sisi kiri. Pasien memiliki riwayat pengobatan tuberkulosis pada tahun 2006 yang tidak
tuntas pada bulan keempat. Oleh karenanya, kasus pasien ini adalah tuberkulosis paru lesi luas
kasus drop out.
Pasien saat ini datang dengan keluhan gejala klinis yang tidak membaik dan
cenderung mengalami perburukan dan BTA positif walaupun sudah menjalani pengobatan TB
fase intensif dan sisipan dengan regimen 2 RHZE/1 RHZE. Secara teoritis, pengobatan untuk
TB kasus drop-out yang sesuai pada fase inisial adalah 2 RHZES/1 RHZE. Regimen untuk
pengobatan fase lanjutan dapat menunggu hasil uji resistensi atau mengikuti program nasional
dengan 5 (RHE)3. Secara profil farmakologis, penambahan streptomisin bermanfaat untuk
membunuh kuman M. tuberculosis ekstrasel. Pada pasien, tampak pada paru kiri dengan
fibrosis dan atelektasis yang menjadi media tumbuh baik bakteri dan relative lebih sulit
diobati karena penurunan jumlah pembuluh darah.
Faktor penyulit lain yang ditemukan pada pengobatan pasien ini adalah kecurigaan
pada penggunaan kortikosteroid oral yang dibeli dalam bentuk tablet hijau yang digunakan
untuk menambah nafsu makan pasien. Kortikosteroid menurunkan respons imun yang
34
bermanfaat dalam eradikasi kuman. Penggunaannya bersama OAT tentunya memperlambat
proses penyemuhan dan memperpanjang waktu untuk dapat memperbaiki gejala seperti pada
kasus ini. Pemeriksaan adanya infeksi HIV perlu dilakukan pada pasien ini untuk
menyingkirkan ada tidaknya imunodefisiensi yang dapat menyulitkan penyembuhan.
Akan tetapi, faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah pasien memiliki riwayat
pengobatan tuberkulosis yang tidak tuntas sebelumnya. Kemungkinan resistensi masih belum
dapat disingkirkan walaupun hasil GeneXpert menemukan kuman BTA masih sensitif
terhadap rifampisin. Pasien perlu dilakukan uji BTA ulang untuk menentukan jumlah kuman
dan kultur resistensi untuk menentukan penatalaksaan lebih lanjut pada pasien.
Hipoalbuminemia yang ada pada kasus ini dapat menurunkan efektivitas obat.
Isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid membutuhkan albumin agar dapat terdistribusi ke
seluruh jaringan tubuh. Penurunan jumlah albumin berarti menurunkan kadar obat efektif obat
dan besar distribusi ke jaringan. Pemberian albumin intravena dan peningkatan konsumsi
protein pada pasien bermanfaat untuk memperbaiki kondisi dengan meningkatkan efektivitas
obat yang diberikan.
Menilai kondisi pasien saat ini dengan riwayat putus berobat, quo ad vitam bonam, ad
sanasionam dan fungsionam dubia ad bonam. Kasus tuberkulosis dapat membaik dengan
perbaikan gizi adekuat dan antibiotik yang sesuai dengan profil kuman dalam waktu yang
adekuat. Pasien perlu diberikan informasi bahwa pengobatan tuberkulosis kali ini akan lebih
panjang dan lebih sulit mengingat pasien memiliki riwayat putus berobat dan kemungkinan
sudah terjadi resistensi masih ada.
.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Chung F, Widdicombe J, Boushey H. Cough: Causes, Mechanisms, and Therapy.
Massachussets: Blackwell Publishing; 2003. p.3-33.
2. WebMD. Coughs: Why We Cough, Causes of Cough, Treatments, and More. Diunduh
dari http://www.webmd.com/cold-and-flu/tc/coughs-topic-overview. Diakses 14
Desember 2013.
3. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. p.81, 210-1, 228-9, 531-2.
4. Drugs.com. Codeine Dosage. Diunduh dari http://www.drugs.com/dosage/codeine.html.
Diakses 16 Desember 2013.
5. Drugs.com. Ambroxol. Diunduh dari http://www.drugs.com/ambroxol.html. Diakses 16
Desember 2013.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Strategi Nasional Pengendalian TB di
Indonesia 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. h. 1.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2002. h. 1.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun
2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012. h. 204.
9. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V
Jakarta: Interna Publishing; 2010. h. 2230-8.
10. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.
11. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Jawetz, Melnick, and Aldeberg’s Medical Microbiology.
24th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2007.
12. Katzung BG. Antimycobacterial drugs. In: Basic and clinical pharmacology [e-book].
10th ed. San Fransisco: McGraw-Hill Lange; 2006. Chap. 47.
13. Petri WA. Chemotherapy of tuberculosis, mycobacterium avium complex disease, and
leprosy. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, editors. Goodman and Gilman’s the
pharmacological basis of therapeutics [e-book]. 11th ed. San Diego: McGraw-Hill; 2006.
Chap.47.
36
Download