Kebijakan Moneter (BI Rate) dalam Pengendalian

advertisement
Trikonomika
Volume 7, No.2, Desember 2008, Hal. 141-149
ISSN 1411-514X
Kebijakan Moneter (BI Rate)
dalam Pengendalian Harga (Inflasi)
Gugum Mukdas Sudarjah
Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan, Bandung
Jl. Tamansari No. 6-8 Bandung 40116
E-mail: [email protected]
H. Anwar Yusuf
Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan, Bandung
Jl. Tamansari No. 6-8 Bandung 40116
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Inflation targeting (IT) as a framework for monetary policy has spread rapidly to developing countries
since the 1990’s. At the first time, inflation targeting framework used base money (Mo) as the main intermediate
target for reducing and sustaining inflation at low single digit. The management of the monetary base has also
resulted in excessive volatility in short-term interest rates. Bank Indonesia as a monetary authority has changed
the operational target from base money to BI rate. BI Rate become references of interest rate and has been
transmission in single source rate at intercall bank money market (PUAB). Finally, PUAB influence interest
rates, the level of credit and money supply through the money multiplier process, and ultimately the price
level. This study aimed to obtain empirical evidence concerning the influence of BI Rate to inflation rate both
in short term and long term.This research used Error Correction Model (ECM) include secondary data from
July 2005 to December 2007. The result of research is BI Rate and PUAB Rate have influence in a significant
manner on short term while import price of crude oil have influence in a significant manner on short and long
term. Based on that result, we concluded that inflation rate in Indonesia influenced by cost-push inflation and
demand-pull inflation can be controlled by central bank with BI Rate as the main intermediate target.
Keywords: inflation targeting framework, BI rate, crude oil, error correction model
PENDAHULUAN
Inflasi
adalah kecenderungan dari harga-harga
untuk meningkat secara umum dan terus menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak
dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas
(atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya,
secara umum dapat dikatakan bahwa inflasi menunjukan
kenaikan dalam tingkat harga secara umum.
Inflation Targetting Frameworl (ITF) merupakan
sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai
dengan pengumuman kepada publik mengenai target
inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke
depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang
rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan
moneter dengan menggunakan instrumen suku bunga
Bank Indonesia (BI Rate) sebagai pengganti dari jumlah
uang beredar (Base Money). Sejalan dengan kebijakan
moneter kuantitatif yaitu dengan pengaturan tingkat
suku bunga, Bank Indonesia menggunakan instrumen
BI Rate dalam rangka stabilisasi harga (inflasi) demi
tercapainya target pertumbuhan ekonomi yang telah
ditetapkan sebelumnya.
141
Terdapat dua opsi yang dipakai oleh Bank
Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter­
nya, yaitu tingkat suku bunga (Taylor-type rule) dan
base money (McCalum-type rule). Jika bank sentral
menggunakan tingkat suku bunga sebagai instrumen
kebijakan dapat dilakukan dengan menggunakan
Taylor-type rule, sedangkan apabila menggunakan
base money sebagai instrumen kebijakan moneter,
respon kebijakan dapat menggunakan McCalum-type
rule.
Ada semacam patokan strategi kebijakan yang
dapat diturunkan dari Taylor-type rule, yaitu tingkat
suku bunga riil harus merespon jika inflasi ke depan
melebihi target yang telah ditetapkan, artinya suku
bunga nominal harus dinaikan lebih besar dari deviasi
inflasi terhadap targetnya. Tingkat suku bunga harus
merespon perubahan tingkat penggunaan kapasitas
output (output gap). Meningkatnya output gap atau
meningkatnya agregat permintaan di atas penawaran
agregat merupakan indikasi tekanan inflasi ke depan.
Untuk menghindari gejolak di pasar uang, perubahan
tingkat suku bunga melalui kebijakan moneter
harus dilakukan dengan melalui smoothing process
(Abdullah, 2000).
Secara empiris hubungan antara tingkat suku
bunga dengan laju inflasi jauh lebih kuat dibandingkan
dengan hubungan antara uang beredar dengan inflasi.
Di sisi lain, dalam ekonomi yang semakin terbuka
dengan sistem nilai tukar yang fleksibel, pergerakan
nilai tukar rupiah juga dianggap sangat penting dalam
mempengaruhi permintaan agregat, pertumbuhan
ekonomi, dan inflasi (Bond, 2000).
Pada periode 1999 atau pasca krisis dimana
banyak terjadi perubahan-perubahan struktural dalam
menentukan sebuah kebijakan, perubahan-perubahan
tersebut akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan
hubungan antara variabel makro ekonomi dan
variabel moneter. Salah satu perubahan yang terjadi
adalah hubungan antara jumlah uang beredar dengan
inflasi dan output semakin melemah. Jumlah uang
beredar tidak dapat mendorong tingkat output, tetapi
jumlah uang beredar justru mendorong tingkat inflasi,
sedangkan tingkat suku bunga lebih berperan dalam
mempengaruhi nilai tukar dan inflasi.
Semakin berperannya tingkat suku bunga dalam
kebijakan stabilitas moneter menyebabkan Bank
Indonesia mengubah jumlah uang beredar menjadi
tingkat suku bunga sebagai instrumen kebijakan
moneter atau menerapkan Inflation Targetting
Framework (ITF).
142
Trikonomika
Vol. 7, No.2, Desember 2008
Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter target
inflasi didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu:
(a) memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang
sehat (sound), (b) hasil riset menunjukkan semakin
sulit pengendalian besaran moneter, (c) pengalaman
empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang
menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa
meningkatkan volatilitas output, dan terakhir (d) dapat
meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi
melalui komitmen pencapaian target.
Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral
hanya menaruh perhatian pada inflasi saja, dan tidak lagi
memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan.
Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi
sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk
perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus
ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada
kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).
Menurut Lipsey (1995) inflasi adalah kenaikan ratarata semua tingkat harga. Kadang-kadang kenaikannya
terus-menerus dan berkepanjangan. Inflasi dapat terjadi
karena faktor-faktor yang datangnya dari sisi penawaran
(cost-push inflation) dan karena faktor-faktor dari sisi
permintaan (demand-pull inflation).
Inflasi dari sisi penawaran terjadi apabila terdapat
penurunan penawaran terhadap barang-barang dan
jasa karena adanya kenaikan dalam biaya produksi
(cost push inflation). Kenaikan biaya produksi ini
dapat terjadi karena adanya keinginan kenaikan
upah pekerja dan adanya peningkatan harga bahan
bakar minyak bagi sektor industri. Peningkatan
biaya produksi ini akan membuat produsen untuk
menurunkan tingkat produksinya di bawah tingkat
produksi optimal (full employment) sehingga akan
meningkatkan harga.
Inflasi dari sisi permintaan (demand-pull inflation)
terjadi apabila secara agregat terjadi peningkatan
terhadap permintaan barang-barang dan jasa, sehingga
menyebabkan pergeseran kurva permintaan. Kondisi
ini secara langsung dapat mengakibatkan inflasi karena
menyebabkan naiknya harga output (Mishkin, 2001).
Tingkat suku bunga merupakan opportunity
cost (harga) untuk memegang uang. Tingkat suku
bunga seringkali digambarkan sebagai harga dari
uang (Loosigan, 1980) atau sebagai harga dari
kredit (Thomas, 1997), sedangkan Parkin (1996)
mendefinisikan tingkat suku bunga sebagai jumlah
tertentu yang diterima oleh pemberi pinjaman dan
Gugum Mukdas Sudarjah dan H. Anwar Yusuf
yang dibayarkan oleh peminjam dinyatakan dalam
persentase dari jumlah pinjaman.
Berbeda dengan teori Klasik, dari kelompok
Monetaris mengatakan bahwa tingkat suku bunga
merupakan hasil interaksi antara tabungan (saving)
dan investasi (investation). Keynes mempunyai
pandangan yang berbeda, tingkat suku bunga,
merupakan suatu fenomena moneter. Artinya, tingkat
suku bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan
akan uang atau ditentukan dalam mekanisme pasar
uang. Uang akan mempengaruhi kegiatan ekonomi,
sepanjang uang ini mempengaruhi tingkat suku
bunga. Perubahan tingkat suku bunga selanjutnya
akan mempengaruhi keinginan untuk mengadakan
investasi dan dengan demikian akan mempengaruhi
output nasional (Gross National Product).
Dalam modelnya, Keynes mengatakan bahwa
tingkat suku bunga ditentukan oleh permintaan akan
uang (demand of money) dan penawaran uang (supply of
money). Dalam jangka pendek jumlah penawaran uang
biasanya tetap dan tidak dipengaruhi oleh perubahan
tingkat suku bunga.
Dalam mekanisme pengendalian dengan target
inflasi seperti yang digambarkan dalam Gambar 1. yang
berfungsi sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter
adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang
diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik untuk
jangka waktu tertentu. Selanjutnya tingkat suku bunga
SBI (Sertifikat Bank Indonesia) satu bulan diharapkan
mempengaruhi tingkat suku bunga Pasar Uang Antar
Bank (PUAB), tingkat suku bunga deposito dan kredit,
nilai tukar, serta tingkat suku bunga untuk jangka waktu
yang lebih panjang
BI Rate
Indikator:
• Survey
• Leading Indicator
• Policy Severety
Suku Bunga
SB
Kredit
FTO
Harga Aset
Money Market
Liquidity
RR
Penawaran
Domestik
Output
Gap
Permintaan
Domestik
Inflasi
Neraca
Perusahaan
Tekanan
Inflasi LN
Nilai Tukar
Sterilisasi
Valas
Tekanan
Inflasi
Domestik
Ekspektasi
Indikator:
• Suku Buga PUAB
• Kondisi likuiditas
Indikator:
• Suku Bunga Deposito
• Suku Bunga Kredit
• IHSG
• Index Harga Aset
• Nilai Tukar Rp
• Utang Perusahaan
• Aliran Kas Perusahaan
• Survey
Indikator:
• M1, M2
• Kredit Bank
• Realisasi Kredit
Indikator:
Indeks Harga
Barang Impor
Indikator:
• Inflasi IHK
• InflasiInti
• Inflasi Aset
• Inflasi lainnya
Gambar 1. Transmisi Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter (BI Rate)
dalam Pengendalian Harga (Inflasi)
143
Pasar Uang Antar Bank atau sering disebut juga
interbank call money market merupakan salah satu
sarana penting untuk mendorong pengembangan
pasar uang. Pasar uang antar bank pada dasarnya
adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu
bank dengan bank yang lainnya untuk jangka waktu
pendek (Siamat,2004). Dikarenakan adanya margin
yang cukup besar akibat fluktuatif BI Rate dan
tingkat suku bunga PUAB, bank-bank lebih memilih
menggunakan kelebihan dananya untuk berspekulasi
di pasar uang.
Selanjutnya, meningkatnya harga minyak
mentah dunia mengakibatkan harga energi menjadi
meningkat pula. Hal ini terjadi dikarenakan Indonesia
negara yang kaya akan sumber daya alam dalam hal
ini migas, tetapi salah dalam pengelolaan kebijakan
sumber daya mineralnya. Beban subsidi Bahan Bakar
Minyak (BBM) sebesar Rp 61,8 Triliun atau 1,6%
dari total PDB yang makin memberatkan APBN 2007
membuat pemerintah mengambil kebijakan untuk
mengurangi subsidi BBM menjadi Rp 55,6 Triliun
atau 1,5% dari total PDB pada APBN-P 2007 dan
mengalihkannya ke sektor lain seperti pendidikan dan
kesehatan. Dampak dari pengurangan subsidi tersebut
ternyata mengakibatkan naiknya biaya produksi
sektor riil dan pada akhirnya memicu naiknya hargaharga secara umum pula.
METODE
Dalam penelitian ini keterkaitan atau hubungan
antara variabel terikat (dependent variable) dengan
variabel bebas (independent variable) digambarkan
pada Gambar 2.
Berdasarkan keterkaitan tersebut, selanjutnya digunakan teknik analisis regresi berganda dengan model
koreksi kesalahan. Alasan yang mendasari menggunakan model koreksi kesalahan adalah data yang digunakan berupa time series serta data yang tidak stasioner,
hal tersebut karena ada kecenderungan bahwa rata-rata
dan variannya tidak konstan (Widarjono, 2007).
Model koreksi kesalahan juga digunakan untuk
melihat pengaruh model yang digunakan pada jangka
pendek maupun jangka panjang antara variabelvariabel independent seperti BI Rate, tingkat suku
bunga PUAB, dan harga impor minyak mentah
terhadap tingkat Inflasi yang diukur dengan Indeks
Harga Konsumen (IHK) yang menjadi variabel
terikat (dependent variable) dengan model persamaan
sebagai berikut :
DPt = ß0 + ß1 DBI2 + ß2 (BIt-1) + ß3 DPUABt + ß4
( PUABt-1) + ß5 DCO + ß6 (COt-1) + ß7 ECt +e
dimana:
P
BI
PUAB
CO
=
=
=
=
Inflasi
BI rate
Tingkat bunga PUAB
Harga minyak mentah
Proses pengolahan data menjadi informasi hasil
penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis
regresi dengan menggunakan Error Correction Model
(ECM). Pada tahap awal dilakukan uji unit root untuk
semua variabel dalam model dengan menggunakan
uji unit root augmented. Berdasarkan hasil uji unit
root tersebut kemudian dilakukan uji kointegrasi
dengan menggunakan metode yang dikembangkan
oleh Johansen (1998).
BI Rate
Demmand-Pull
Inflation
Tingkat Bunga
PUAB
Open Market
Operation
Inflasi IHK
Harga Impor
Minyak Mentah
Cosh-Push
Inflation
Gambar 2. Hubungan Variabel-variabel Penelitian
144
Trikonomika
Vol. 7, No.2, Desember 2008
Gugum Mukdas Sudarjah dan H. Anwar Yusuf
Data yang digunakan merupakan data sekunder
bulanan dari tahun 2005-2007 dengan keterangan
sebagai berikut : variabel P merupakan tingkat inflasi
IHK; variabel BI merupakan tingkat BI Rate; variabel
PUAB merupakan tingkat suku bunga Pasar Uang
Antar Bank (PUAB); variabel CO merupakan harga
minyak impor Arabian Ligth Crude (ALC).
HASIL
Uji Unit Root dan Kointegrasi
Hasil uji stasioneritas dengan uji Augmented
Dickey-Fuller (ADF) menunjukkan bahwa data yang
digunakan tidak stasioner pada nilai Level, tetapi
stasioner pada nilai second difference, dimana nilai
Level merupakan nilai nominal dari variabel tersebut,
sedangkan nilai second difference merupakan nilai
perubahan kedua dari variabel tersebut (Tabel 1).
Hasil pengujian ADF test membuktikan bahwa
keempat variabel utama yang digunakan dalam
persamaan yaitu tingkat inflasi, BI Rate, tingkat bunga
PUAB, dan harga impor minyak mentah stasioner pada
nilai second difference, kondisi ini dapatvdilihat dari
t-statistik ADF lebih besar dari nilai kritis Mackinnon
(Tabel 1).
Tabel 1. Uji unit Root dengan ADF test
ADF
Variable
Test Critical Value
Teststatistic
1%
5%
10 %
D (P,2)
-7.934878
-3.71146
-2.98104
-2.62991
D (BI,2)
-8.60686
-3.71146
-2.98104
-2.62991
D(PUAB,2) -6.554426
-3.71146
-2.98104
-2.62991
D(CO,2)
-3.71146
-2.98104
-2.62991
-6.597336
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
0.05
Trace
Statistic
Critical
Value
Prob.**
None *
0.952111
130.3579
47.85613
0.0000
At most 1 *
0.694421
54.38597
29.79707
0.0000
At most 2 *
0.515667
24.74732
15.49471
0.0015
At most 3 *
0.232725
6.622741
3.841466
0.0101
Trace test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon Haug Michelis (1999) values
Hasil Regresi Tingkat Inflasi dengan Model Error
Correction Model (ECM)
Setelah melakukan uji ADF dan Uji kointegrasi
sebagai persyaratan menggunakan model Error
Correction Model (ECM), selanjutnya dilakukan
regresi tingkat inflasi sebagai variabel terikat dan BI
Rate, tingkat bunga PUAB, serta harga impor minyak
mentah sebagai variabel bebas dengan persamaan
sebelumnya, dengan persamaan hasil regresi sebagai
berikut:
∆P = -9,82778 + 3,96288 * ∆BI + 1,30617 * ∆PUAB
- 0,14764 * ∆CO + 0,5265 * BI(-1) - 0,43096 * PUAB
(-1) + 0,11884 * CO (-1) - 0,94367 * ECT(-1)
R - Square =
F - statistic =
D - W =
0,6422
5,3859
2,2586
Tabel 3. Uji t-Statistik Hasil Estimasi
Persamaan Tingkat Inflasi
Variabel
Hasil Pengujian ADF tes 1
Pengujian selanjutnya adalah uji kointegrasi
untuk melihat ada tidaknya kointegrasi antara
variabel-variabel yang diamati dengan menggunakan
uji yang dikembangkan oleh Johansen dengan
program Eviews.
Dari hasil uji dengan menggunakan lag 1-4
disimpulkan bahwa keempat variabel yaitu tingkat
inflasi, BI Rate, tingkat suku bunga PUAB, dan harga
impor minyak mentah terkointegrasi pada tingkat
signifikansi α=5%, dimana nilai Trace Statistic lebih
besar dari nilai kritis 5% dan memiliki hubungan
jangka panjang antara variabel-variabel dalam
persamaan tingkat inflasi (Tabel 2).
Tabel 2. Uji Kointegrasi
t-Statistik
-1,900668**
C
2,633304**
D(BI)
2,55059**
D(PUAB)
D(CO)
-1,74973**
BI(-1)
1,0571
-1,043186
PUAB(-1)
2,4484**
CO(-1)
-3,076306**
ECT(-1)
Keterangan:
* Signifikan pada = 0,5%
** Signifikan pada = 5%
*** Signifikan pada = 1%
Kebijakan Moneter (BI Rate)
dalam Pengendalian Harga (Inflasi)
145
Dengan tingkat signifikansi sebesar lima persen
(α=5%) dan derajat kebebasan (df) sama dengan 21
yang dieperoleh dari n-k, dimana n adalah banyaknya
observasi dikurangi k adalah jumlah parameter
estimasi. Dari hasil persamaan regresi tingkat inflasi
diperoleh nilai koefisien determinasi (R-squqre)
sebesar 0,64225, F-statistik sebesar 5,385864, dan
D-W statistik sebesar 2,258686.
Dari hasil estimasi pada Tabel 3., terlihat bahwa
variabel bebas pada jangka pendek secara parsial
mempengaruhi tingkat inflasi, namun pada jangka
panjang hanya variabel harga impor minyak mentah
yang mempengaruhi tingkat inflasi.
Nilai t-stat untuk variabel-variabel pada jangka
pendek lebih besar dari t-tabel dengan α=5% sebesar
1,721 untuk uji dua sisi, tetapi untuk variabelvariabel di jangka panjang nilai t-stat untuk BI Rate
dan tingkat suku bunga PUAB lebih kecil dari t-tabel,
sehingga variabel-variabel tersebut tidak signifikan
atau tidak penting pada jangka panjang. Variabel
harga impor minyak mentah t-statistiknya lebih besar
dari t-tabelnya, sehingga hanya variabel harga minyak
mentah yang siginifikan terhadap tingkat inflasi pada
jangka panjang.
PEMBAHASAN
Dampak BI Rate
Hasil estimasi yang diperoleh dari model
empiris memperlihatkan bahwa BI Rate berpengaruh
terhadap inflasi hanya pada periode jangka pendek,
sementara pada periode jangka panjang tingkat inflasi
tidak terpengaruh secara signifikan terhadap fluktuasi
BI Rate karena sifat dari data BI Rate yang digunakan
adalah BI Rate dengan tenor satu bulan.
Dari sisi pembentukan inflasi, fluktuasi BI Rate
pada jangka pendek akan mempengaruhi preferensi
masyarakat terhadap uang, dimana menurut mazhab
klasik beranggapan bahwa tingkat suku bunga sebagai
harga dana yang dipinjamkan (loanable funds) dalam
transaksi pinjam-meminjam di pasar dana investasi.
Masih menurut aliran Monetaris, tabungan
adalah fungsi dari tingkat suku bunga. Makin tinggi
tingkat suku bunga makin tinggi pula keinginan
masyarakat untuk menabung atau berinvestasi
pada surat berharga, artinya semakin tinggi tingkat
suku bunga akan semakin mendorong preferensi
masyarakat untuk mengorbankan atau mengurangi
tingkat pengeluaran untuk konsumsinya dan lebih
memilih untuk menambah tabungan ataupun
146
Trikonomika
Vol. 7, No.2, Desember 2008
melakukan investasi pada surat-surat berharga, karena
akan mendapat keuntungan dari tingginya tingkat
suku bunga. Tingkat suku bunga yang tinggi akan
mendorong investor untuk menanamkan dananya di
sektor perbankan daripada menginvestasikan pada
sektor produksi atau industri yang memiliki tingkat
resiko yang lebih besar, sehingga kegiatan pada sektor
riil tidak terlalu tinggi, dengan demikian tingkat
inflasi dapat dikendalikan melalui kebijakan tingkat
suku bunga.
BI Rate sangat efektif untuk mengendalikan
inflasi pada jangka pendek, tetapi untuk jangka
panjang hal tersebut tidak berpengaruh. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Luciana Spica Amalia
dan Wahyu Utomo, bahwa tingkat suku bunga
deposito untuk jangka waktu satu bulan dan tiga bulan
signifikan pengaruhnya terhadap inflasi, tetapi untuk
jangka waktu enam bulan dan satu tahun tingkat suku
bunga tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat inflasi, karena untuk jangka waktu
yang lebih panjang tingkat inflasi bisa berfluktuasi
naik turun.
Tingkat suku bunga PUAB sebagai sasaran
operasional atau sasaran antara dalam instrumen
kebijakan moneter melalui Open Market Operation
(OMO) merupakan hasil transmisi dari BI Rate yang
dijadikan sebagai suku bunga acuan. Seperti diketahui
bersama, bahwa tingkat suku bunga PUAB adalah
tingkat suku bunga yang bersifat harian sehingga
kecepatan perubahan antar waktu sangat tinggi.
Tingkat suku bunga PUAB tidak akan memberikan
pengaruh yang penting untuk jangka panjang, karena
semakin panjang rentang waktu maka semakin banyak
atau tinggi pula perubahan tingkat bunga PUAB.
Dampak Tingkat Bunga Pasar Uang Antar Bank
(PUAB)
Tingkat Bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
sebagai sasaran opersional atau sasaran antara dalam
instrumen kebijakan moneter melalui Open Market
Operation (OMO) merupakan hasil transmisi dari
BI Rate yang dijadikan sebagai suku bunga acuan.
Seperti diketahui bersama, bahwa tingkat bunga
PUAB adalah tingkat bunga yang bersifat harian
sehingga kecepatan perubahan antar waktu sangat
tinggi, sehingga tingkat bunga Pasar Uang Antar
Bank tidak akan memberikan pengaruh yang penting
untuk jangka panjang, karena semakin panjang
rentang waktu maka semakin banyak atau tinggi pula
perubahan tingkat bunga Pasar Uang Antar Bank.
Gugum Mukdas Sudarjah dan H. Anwar Yusuf
Tingkat bunga Pasar Uang Antar Bank ini
kemudian akan ditransmisikan kedalam tingkat bunga
tabungan, tingkat bunga deposito, dan tingkat bunga
kredit. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Luciana Spica Amalia dan Wahyu Utomo, bahwa
tingkat bunga deposito untuk jangka waktu lebih dari
enam bulan tidak memberikan pengaruh penting atau
tidak signifikan terhadap tingkat inflasi.
Dampak Harga Impor Minyak Mentah
Pada periode jangka pendek hubungan antara
harga impor minyak mentah dengan inflasi adalah
negatif, sedangkan dalam jangka panjang hubungan
tersebut mengalami perubahan menjadi positif.
Terjadinya perubahan hubungan untuk harga impor
minyak mentah, dimana pada jangka pendek harga
impor minyak mentah bertanda negatif, sedangkan
untuk jangka panjang bertanda positif, hal tersebut
dikarenakan, dibutuhkan periode waktu untuk
melakukan penyesuaian dan proses produksi dalam
pemenuhan permintaan terhadap komoditas tersebut,
sehingga parameter pengaruh harga minyak tidak
dapat secara langsung diinterpretasikan.
Perubahan status Indonesia dari negara eksportir
menjadi negara net-importir bahan bakar minyak pada
pertengahan tahun 2003, serta perubahan pola subsidi
yang diberikan pemerintah kepada masyarakat akibat
kenaikan harga minyak internasional, menyebabkan
pemerintah dan masyarakat akan merasa terbebani
setiap kenaikan satu sen dolar per barel kenaikan
harga minyak internasional tersebut. Hal inilah
yang menyebabkan adanya hubungan positif antara
perubahan harga minyak internasional dengan tingkat
inflasi.
Komparasi Dampak Kebijakan Pada Per­ekonomi­
an Indonesia
Dalam Perekonomian terbuka dimana Bank
Indonesia melalui kebijakan moneter dengan
Infalation Targetting Framework (ITF) dengan BI Rate
sebagai suku bunga acuan kemudian diterjemahkan
melalui Open Market Operation (OMO), selanjutnya
akan mempengaruhi tingkat bunga Pasar Uang Antar
Bank (PUAB) pada pasar uang (Money Market),
kemudian tingkat bunga Pasar Uang Antar Bank
(PUAB) ini akan mempengaruhi tingkat bunga
deposito, tingkat bunga kredit serta nilai tukar sebelum
pada akhirnya akan mempengaruhi sektor riil dengan
perubahan tingkat harga.
Dampak kebijakan moneter dengan kerangka
kerja inflasi sebagai sasaran tunggal dan BI Rate
sebagai suku bunga acuan yang dijadikan respon
sinyal kebijakan (Stance Policy) ternyata pada
akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap
inflasi, seperti dalam hasil estimasi yang telah
diuraikan sebelumnya, dampak BI Rate berbanding
lurus terhadap tingkat inflasi atau BI Rate bernilai
postif pada jangka pendek dan jangka panjang.
Kemudian tingkat suku bunga PUAB yang
merupakan hasil transmisi dari BI Rate bernilai
positif pula dan signifikan pada jangka pendek dan
jangka panjang dengan tingkat kepercayaan berbeda
sama seperti BI Rate.
Respon Bank Indonesia dengan menggunakan
BI Rate sebagai suku bunga acuan serta tingkat bunga
PUAB sebagai sasaran antara ternyata pada akhirnya
akan menambah tekanan terhadap tingkat inflasi,
akses permodalan melalui sektor perbankan akan
semakin sulit dijangkau, karena tingginya tingkat
suku bunga yang ditetapkan serta tingkat suku bunga
PUAB selalu berfluktuatif sesuai dengan kebutuhan
pasar, padahal seharusnya margin antara tingkatsuku
bunga Pasar Uang Antar Bank PUAB dan BI Rate
yang dijadikan sebagai tingkat suku bunga acuan
tidak terlampau jauh jaraknya, supaya sektor riil
masih dapat mengakses dana dalam bentuk kredit
yang disediakan.
Fenomena yang terjadi pasca krisis moneter
tahun 1998 dan sejak penetapan Inflation Targetting
Framework (ITF), banyak sekali sektor perbankan
yang menyimpan kelebihan dananya dalam bentuk
Sertifikat Bank Indonesia dimana untuk tenor
satu bulan nilainya sama dengan BI Rate. Dengan
menyimpan kelebihan dananya melalui Sertifikat
Bank Indonesia, sektor perbankan tidak perlu lagi
repot dalam menyalurkan kredit pada sektor riil
untuk mengambil keuntungan dengan tingkat resiko
yang tinggi dan kondisi perekonomian mikro yang
belum stabil. Padahal masih belum stabilnya kondisi
mikro perekonomian Indonesia sebenarnya sangat
membutuhkan peran dari sektor perbankan sebagai
lembaga intermediasi.
Pengaruh dari meningkatnya harga minyak
impor mentah tidak secara langsung dirasakan oleh
masyarakat, karena pemerintah masih memasukan
komoditi-komoditi tertentu yang harganya dikendalikan
atau diatur oleh pemerintah (administered price) dan
kekurangannya ditutupi melalui subsidi seperti harga
Kebijakan Moneter (BI Rate)
dalam Pengendalian Harga (Inflasi)
147
minyak tanah, harga premium, tarif dasar listrik, dan
lain-lain, tetapi kenaikan harga impor minyak mentah
ini lebih dirasakan oleh sektor industri, karena sektor
tersebut sudah tidak diberikan lagi fasilitas subsidi
bahan bakar, sehingga untuk menutupi tingginya biaya
produksi akibat meningkatnya harga impor minyak
mentah, sektor industri menaikkan harga jual produk
yang dihasilkan.
Kendala yang lain timbul adalah akibat dari
naiknya biaya produksi, dalam jangka panjang pihak
investor biasanya mengambil tindakan efisiensi
dengan mengurangi jumlah karyawan, akibatnya
adalah angka pengangguran akan meningkat
dan perekonomian akan melemah serta tingkat
kesejahteraan menurun. Hal tersebutlah yang dijadikan
alasan bahwa tingkat suku bunga tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap penurunan tingkat inflasi
untuk jangka panjang.
Untuk menstabilkan kembali tingkat inflasi yang
disebabkan oleh peningkatan biaya produksi (cost push
inflation) Bank Indonesia menggunakan instrumen
kebijakan moneter lain, diantaranya adalah melakukan
Open Market Operation (OMO) dengan BI Rate sebagai
suku bunga acuan untuk mengendalikan tingkat inflasi
pada sisi permintaan (Demand-Pull Inflation).
KESIMPULAN
Sejak bulan Juli 2005 Bank Indonesia sebagai
pemegang otoritas moneter di Indonesia, telah membuat kebijakan yaitu menetapkan BI Rate sebagai
respon kebijakan dan tingkat suku bunga acuan yang
kemudian akan diterjemahkan atau ditransmisikan
pada tingkat suku bunga PUAB sebagai sasaran
operasional melalui Open Market Operation (OMO),
selanjutnya akan ditransmisikan lagi pada tingkat
bunga deposito, tingkat bunga kredit dan nilai tukar.
Perubahan tingkat suku bunga tersebut selanjutnya
akan ditransmisikan juga pada sektor riil, melalui
perubahan permintaan agregat yang pada akhirnya
akan mempengaruhi tingkat harga (inflasi).
Dalam rangka mencapai sasaran akhir berupa
tingkat inflasi yang terkendali sesuai dengan
tingkat inflasi yang telah ditetapkan sebelumnya
menurut Inflastion Targetting Framework (ITF),
penetapkan BI Rate sebagai tingkat suku bunga acuan
menggantikan jumlah uang beredar ternyata lebih
mudah dikendalikan oleh Bank Indonesia.
148
Trikonomika
Vol. 7, No.2, Desember 2008
Hasil pengujian-pengujian dalam metode ekonometrika memperlihatkan pengaruh yang signifikan
untuk semua variabel-variabel yang termasuk kedalam
persamaan model regresi terhadap tingkat harga (inflasi)
untuk jangka pendek, sedangkan untuk jangka panjang
hanya variabel harga impor minyak mentah yang memberikan pengaruh secara signifikan terhadap tingkat
harga (inflasi).
Berdasarkan hasil-hasil analisa, beberapa temuan
penting dari studi ini dapat menunjukan bahwa terdapat
pengaruh positif secara signifikan dari kebijakan
moneter dengan menggunakan instrumen Open Market
Operation (OMO) dengan BI Rate sebagai suku bunga
acuan terhadap stabilitas harga (inflasi) pada jangka
pendek yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai
pemegang otoritas moneter di Indonesia.
Tingkat Inflasi di Indonesia dipengaruhi oleh
banyak faktor, tetapi tingginya potensi inflasi berasal
dari tekanan biaya (Cost-push Inflation) atau inflasi dari
sisi penawaran yang diakibatkan oleh naiknya harga
impor minyak mentah merupakan diluar kendali Bank
Indonesia sebagai pemegang oteoritas moneter. Bank
Indonesia, hanya bisa mengendalikan tingkat inflasi
dari sisi permintaan atau tarikan inflasi (Demand-Pull
Inflation) melalui kebijakan moneter seperti menaikan
atau menurunkan BI Rate sebagai suku bunga acuan.
Pengaruh BI Rate dan tingkat bunga PUAB yang
cukup dominan dalam mempengaruhi tingkat harga
(inflasi) dibandingkan kenaikan harga impor minyak
mentah untuk jangka pendek. Dalam jangka panjang
perubahan tingkat harga lebih banyak disebabkan
oleh adanya perubahan harga impor minyak mentah
dibandingkan kedua variabel lainnya yaitu BI rate dan
tingkat suku bunga PUAB.
Dalam rangka pengendalian tingkat inflasi,
khususnya dalam jangka pendek Bank Indonesia bisa
menggunakan instrumen Open Market Operation
dengan menggunakan jalur tingkat suku bunga dan
BI Rate dijadikan sebagai suku bunga acuan. Tingkat
suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional yang
merupakan transmisi dari BI Rate bisa diarahkan dan
dikendalikan supaya tujuan akhir yaitu sasaran akhir
inflasi juga ikut terkendali. Pengendalian tingkat
inflasi dalam jangka panjang tidak dapat hanya
mengandalkan kepada kebijakan moneter saja dalam
hal ini kebijakan dengan menggunakan jalur tingkat
suku bunga, karena inflasi dalam jangka panjang lebih
banyak disebabkan oleh faktor-faktor diluar sektor
Gugum Mukdas Sudarjah dan H. Anwar Yusuf
moneter, sesuai dengan hasil penelitian bahwa dalam
jangka panjang inflasi di Indonesia lebih bersifat cost
push inflation yang disebabkan oleh meningkatnya
biaya produksi sebagai akibat terus melambungnya
harga minyak mentah impor. Oleh karena itu dalam
jangka panjang diperlukan koordinasi yang baik
antara kebijakan sektor moneter dengan kebijakan
lainnya sehingga pengendalian inflasi dapat lebih
efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, L. S. & Wahyu, U. 2006. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Tingkat Suku Bunga Deposito
Berjangka Pada Bank Umum Di Indonesia.
Surabaya: STIE PERBANAS.
Arifin, S. 1998. Efektivitas Kebijakan Suku Bunga
dalam Rangka Stabilisasi Rupiah di Masa Krisis.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,
Desember. Jakarta: Bank Indonesia.
Bernanke, B.S & Mishkin, F.S. 1997. Inflation
Targeting: A New Framework fo Monetary
Policy?. The Journal of Economic Perspectives,
11(2): 97-116.
Debelle, G., & Masson, P. 1998. Inflation Targeting
a Framework for Monetary Policy. International
Monetary Fund, October.
Husman, J.A. 2006. Dampak Fluktuasi Nilai Tukar
terhadap Output dan Harga : Perbandingan
Dua Rezim Nilai Tukar. Working Paper Bank
Indonesia, Desember. Jakarta: Bank Indonesia.
Irawan, F. & Sugiharso, S. 2005. Kebijakan Moneter,
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi: Pengujian
Hipotesis Ekspektasi Rasional dengan Analisis
VAR. Jurnal Ekonomi Pembangunan Indonesia,
Juli.
Orphanides, A. 2002. Monetary Policy Rules and The
Great Inflation. American Economic Review,
92(2): 115-120.
Svensson, Lars.E.O. 1997. Inflation Forecast Targeting:
Implementing and Monitoring Inflation. European
Economic Review, 41: 1111-1146.
Thomas, L. B. 1997. Money, Banking, and Financial
Markets. New York: McGraw-Hill, Inc
Vega, Marco & Winkelried, Diego. 2004. Inflation
Targeting and Inflation Behavior: A Successful
Story?. International Journal of Central Banking,
1(3): 153-175.
Kebijakan Moneter (BI Rate)
dalam Pengendalian Harga (Inflasi)
149
Download