1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara yang menganut prinsip negara hukum, maka negara menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan bagi kehidupan masyarakatnya. Hal ini tentunya menuntut antara lain, bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti tertulis yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Alat bukti tertulis merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan oleh semua orang dalam mengisi kehidupannya terutama pada sistem perekonomian yang memasuki era globalisasi. Kesadaran akan kebutuhan alat bukti tertulis inilah yang memunculkan suatu pemikiran untuk membuat suatu alat bukti tertulis berupa akta otentik yang dapat melindungi hak-hak seseorang dalam berinteraksi dengan yang lainnya. Keberadaan Akta otentik sebagai alat bukti tertulis, mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat, dalam berbagai kegiatan ekonomi, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain. Kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Dengan akta otentik dapat 2 ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan pula dapat menghindari terjadinya sengketa. Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjudnya ditulis KUHPerdata) adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang - Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 117 (selanjutnya ditulis Undang-Undang Jabatan Notaris), Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada Notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat lainnya, selama dan sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, maka kewenangan tersebut menjadi kewenangan Notaris. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris sebagai pejabat umum memiliki ciri utama yaitu pada kedudukannya yang netral, tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan dan mandiri (neben) serta bebas dari pengaruh siapapun termasuk kekuasaan eksekutif. Bahkan lebih tegas dapat dikatakan bukan sebagai salah satu pihak, sebab Notaris tidak akan membuat akta jika tidak ada keinginan atau kehendak dan 3 permintaan para pihak. Selain itu Notaris merupakan pejabat umum yang diangkat untuk pembuatan alat-alat bukti tertulis, sehingga Notaris itu tidak melakukan perbuatan yang dilakukan para pihak, tetapi hanya membuatkan alat bukti tertulis bagi kedua belah pihak. Kewenangan Notaris disamping diatur dalam Pasal 15 UndangUndang Jabatan Notaris, juga ada kewenangan yang ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan yang lain, dalam arti peraturan perundangundangan yang bersangkutan menyebutkan dan menegaskan agar perbuatan hukum tertentu wajib dibuat dengan akta notaris, antara lain Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserata BendaBenda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya ditulis Undang-Undang Hak Tanggungan) yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1996 nomor 42, yang dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa Surat kuasa membebankan hak tanggungan harus dibuat dalam bentuk akta Notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya ditulis Undang-Undang Fidusia) yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 nomor 168, dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Fidusia yaitu pembebanan benda dengan jaminan Fidusia dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Sehubungan dengan kewenangan Notaris tersebut maka Notaris bertanggung jawab dalam mengemban kewenangan yang diberikan kepadanya itu. Adapun tanggung jawab itu adalah : 4 a. Tanggung jawab atas keotentikan formil akta, yaitu Notaris bertanggung jawab mengenai waktu dan tempat pembuatan akta bahwasanya memang benar sesuai dengan yang tertera dalam akta yang dibuatnya pada kepala akta mengenai waktu dan pada penutup akta mengenai tempat. Notaris bertanggung jawab mengenai identitas dari para penghadap dan tindakanya dalam akta ini (komparisi memang benar demikian seperti apa yang tertera dalam akta). Notaris bertanggung jawab mengenai keabsahan tanda tangan atau cap jempol dari para penghadap dalam akta dan memang benar tanda tangan/cap jempol para penghadap. Notaris bertanggung jawab mengenai prosedur pembutan akta tersebut memang benar sesuai dangan tata cara pembuatan akta otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Tanggung jawab atas keotentikan formil akta begitu penting karena memang keberadaan Notaris dimaksudkan untuk hal itu sehingga Undang-Undang Jabatan Notaris menyiapkan suatu sanksi khusus atas pelanggaran tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 84 UndangUndang Jabatan Notaris sebagaimana telah di uraikan di atas. b. Tanggung jawab atas keotentikan materiil akta, yaitu bahwa isi dari akta itu (dianggap) dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh membuat akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya (termasuk ahli warisnya atau orang lain yang mendapat hak darinya). Tanggunga jawab Notaris hanya menyatakan kebenaran dari apa yang di saksikanya, dilihat, didengar dan dilakukan sendiri dan diterangkannya dalam akta tersebut. 5 c. Tanggung jawab atas kerahasiaan akta yang dibuatnya. Hal ini sangat penting karena jabatan Notaris adalah jabatan kepercayaan. Seorang Notaris yang tidak bisa menjaga kerahasiaan akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya, lama kelamaan tidak akan mendapat tempat dan tidak akan diterima oleh masyarakat. Orang tidak akan mau mempercayakan rahasianya kepada Notaris bersangkutan.1 Notaris sebagai pejabat umum merupakan jabatan kepercayaan yang bersumber dari negara dan masyarakat. Kepercayaan yang diberikan oleh negara melalui ketentuan undang-undang yaitu dengan menjalankan sebagian kekuasaan negara dibidang hukum perdata, antara lain mengatur hubunganhubungan hukum yang di lakukan oleh masyarakat untuk dituangkan dalam suatu akta otentik, oleh karena itu ketika menjalankan tugasnya, Notaris wajib diposisikan sebagai pejabat umum yang mengemban tugas negara. Sedangkan kepercayaan masyarakat adalah dengan mempercayai atau menghendaki atau meminta agar perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat dituangkan dalam suatu akta otentik yang memiliki kekuatan bukti yang sempurna. Sebagai alat bukti yang sempurna maksudnya adalah kebenaran yang dinyatakan di dalam akta notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan alat bukti yang lain. Undang-undang memberikan kekuatan pembuktian demikian itu 1 I Made Puryatma, 2010, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta, Ikatan Notaris Indonesia Wilayah Bali NTT, Denpasar, hal. 85 6 atas akta tersebut karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan Notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah.2 Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, masyarakat yang telah memberikan kepercayaan kepada Notaris, menghendaki pula agar Notaris wajib merahasiakan setiap perbuatan hukum yang dituangkan dalam isi akta beserta segala keterangan yang diberikan kepada Notaris dalam pembuatan akta yang bersangkutan atau yang dikenal dengan rahasia jabatan Notaris. Salah satu bagian dari sumpah/janji Notaris atau sumpah jabatan yaitu bahwa Notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan Notaris, seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris. Kewajiban merahasiakan mengenai isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris, secara tegas dapat pula ditemukan dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) hurup e Undang-Undang Jabatan Notaris adalah merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. Dengan demikian batasannya hanya undang-undang memerintahkan 2 Notaris untuk membuka rahasia saja yang dapat isi akta dan Putri A. R., 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator Tugas-Tugas Jabatan Notaris yang berimplikasi Perbuatan Pidana, cetakan pertama, P.T. Sofmedia, Jakarta, hal. 3 7 keterangan/pernyataan yang diketahui Notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud3. Selain pengecualian tersebut di atas diatur pula pada ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta atau kutipan akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Akta yang dibuat oleh Notaris, mempunyai kepastian isi, kepastian tanggal dan kepastian orangnya. Bahwa akta otentik itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya dan mengikat para pihak serta berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi apabila antara para pihak yang membuat perjanjian itu terjadi sengketa, maka apa yang tersebut dalam akta merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna, harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar (selama kebenarannya tidak dibuktikan lain) dan tidak memerlukan tambahan pembuktian. Sehubungan dengan akta yang dibuat oleh Notaris, menurut G.H.S Lumban Tobing, dalam Peraturan Jabatan Notaris terdapat dua (2) golongan akta Notaris, antara lain : 1. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten); Akta pejabat yaitu dimana Notaris menerangkan/memberikan dalam jabatannya sebagai pejabat umum 3 Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU no.30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, cet. Kedua, PT Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut buku I), hal. 89 8 kesaksian dari apa yang dilihat, disaksikan dan dialaminya, yang dilakukan oleh pihak lain. Termasuk di dalam akta relaas antara lain berita acara rapat para pemegang saham dalam perseroan terbatas, akta pencatatan budel, dan lainnya. 2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris atau dinamakan akta partij (partij akten) dalam akta partij dicantumkan secara otentik keterangan-keterangan dari orang-orang yang bertindak sebagai pihakpihak dalam akta tersebut. Termasuk di dalam akta partij antara lain aktaakta yang memuat perjanjian hibah, jual beli, wasiat, kuasa, dan lain sebagainya. 4 Keberadaan Notaris diharapkan dapat melindungi kepentingan hukum masyarakat serta dapat memberikan pelayanan hukum dan penyuluhan hukum kepada masyarakat khususnya dalam hal pembuatan akta, sehingga masyarakat akan mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum. Hal ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh peningkatan proses pembangunan yang secara otomatis meningkatkan pula kebutuhan hukum dalam masyarakat. Kebutuhan hukum dalam masyarakat dapat dilihat dengan semakin banyaknya bentuk perjanjian dan pendirian badan usaha seperti koperasi dan bank, mulai dari pendiriannya sampai dalam operasionalnya sangat membutuhkan jasa Notaris. Dalam perkembangan perekonomian saat ini, bank memiliki peran utama dalam sistem keuangan di sebuah negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, badan-badan pemerintah dan 4 G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Cet. kelima Erlangga, Jakarta hal. 51 9 swasta, maupun perorangan menyimpan dananya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi sektor perekonomian. Dalam fungsi tersebut, terdapat dua pihak yang berkorelasi, yakni pengguna layanan bank dan penyelenggara bank, atau pihak bank dan masyarakat. Oleh karena bagaimanapun juga, eksistensi sebuah bank, sangat dipengaruhi oleh masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan Pasal 1 butir 2 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (untuk selanjutnya ditulis Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) yang termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, merumuskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan rumusan tersebut terlihat bahwa lembaga perbankan merupakan sebuah lembaga yang harus mampu dipercaya oleh tiap nasabahnya, baik nasabah penyimpan maupun nasabah peminjam (nasabah debitur). Melalui kepercayaan dari nasabahlah, sebuah bank mampu bertahan untuk tetap menjalankan kegiatannya dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali ke masyarakat. Untuk menggerakkan usahanya, bank tidak hanya menjalankan kegiatan menghimpun dan menyalurkan kembali dana dari dan kepada 10 masyarakat, tetapi lebih jauh menawarkan jasa-jasa usaha yang boleh dilakukan. Sesuai dengan fungsi bank antara lain adalah untuk mencari dan menghimpun dana serta menyalurkan kembali dana dari masyarakat, nasabah penyimpanan memegang peranan penting terhadap pertumbuhan suatu bank, sebab jumlah dana yang berhasil dihimpun atau disimpan tentunya akan menentukan pula jumlah dana yang dapat dikembangkan oleh bank tersebut dalam bentuk penanaman dana yang menghasilkan, misalnya pemberian kredit, pembelian efek-efek dan lain-lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dana yang dibutuhkan oleh bank dalam pengelolaan bank tidak semata-mata hanya mengandalkan modal yang dimiliki oleh bank saja terutama pada para pemegang saham tetapi bank harus sedemikian rupa dapat menggerakakn dan memotivasi masyarakat untuk menyimpan dana yang dimilikinya, baik berupa simpanan maupun dalam bentuk lainnya. Penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh bank dihimpun dalam bentuk simpanan. Pengertian simpanan disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Adapun pengertian dari bentuk simpanan tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Simpanan Giro, menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat 11 dengan menggunakan cek, bilyet giro dan sarana perintah pembayaran lainnya. 2. Deposito berjangka, ketentuan Pasal 1 butir 7 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. 3. Sertifikat deposito, ketentuan Pasal 1 butir 8 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindah tangankan. 4. Tabungan, menurut ketentuan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet, giro dan atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu. Menurut Hermansyah, pada prinsipnya sumber dana dari suatu bank itu terdiri dari empat sumber dana, yaitu ; 1. Dana yang bersumber dari bank sendiri; 2. Dana yang bersumber dari masyarakat; 3. Dana yang bersumber dari Bank Indonesia sebagai bank sentral; 4. Dana yang bersumber dari lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. 5 Pengaturan gerak pelaksanaan bank harus sesuai dengan aktivitas bank yang berkaitan dengan menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat 5 Hermansyah, 2009, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cet ke5, Kencana Prenada Media Goup, Jakarta, hal. 44 12 secara efektif dan efesien agar mencapai sasaran yang optimal, maka harus pula diiringi dengan pembinaan dan pengawasan yang efektif dan optimal pula. Sasaran yang hendak di capai dari upaya pembinaan dan pengawasan tersebut adalah agar perbankan mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar dan mampu menghadapi persaingan yang bersifat global, mampu melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat kepada bank, serta mampu menyalurkan dana tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sarana pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa suatu bank tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomis dan legal kepada pemegang saham, tetapi bank juga mempunyai kewajiban terhadap pihak lain yang berkaitan dengan bank terutama untuk kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya, serta untuk mendapatkan kepercayaan yang lebih dari masyarakat umum untuk menyimpan dananya pada bank. Aktivitas bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan ditetapkan salah satu azas dari perbankan di Indonesia adalah azas demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Persyaratan bank yang sehat dan mampu melindungi dana yang dititipkan masyarakat kepadanya merupakan hal yang sangat diperlukan guna menumbuhkan kepercayaan terhadap dunia perbankan. Untuk itu prinsip kehati-hatian dalam mengelola dana haruslah berpijak pada prinsip responsibilitas. Dengan penerapan prinsip ini diharapkan timbulnya kepatuhan pada aturan hukum yang berlaku dan melakukan kegiatan secara bertanggungjawab kepada nasabah penyimpan 13 dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan para pihak yang berkepentingan terhadap bank. Kegagalan penyelenggaraan usaha-usaha perbankan lebih banyak terjadi oleh karena kurang kehati-hatian pihak bank dalam mengelola dana masyarakat. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan bank berada dalam posisi sulit dan membahayakan. Jika ini terjadi maka Bank Indonesia sebagai bank sentral akan mengambil kebijakan guna menyelamatkan posisi bank itu, untuk kepentingan-kepentingan para pihak yang terkait dengan aktivitas bank tersebut. Bank perlu diselamatkan, para nasabah bankpun perlu dilindungi. Bagi bank hal ini menyangkut kelangsungan usahanya, sedangkan bagi nasabah bank, hal ini menyangkut pula tentang hak (privat) yang berhubungan dengan harta kekayaannya. Lebih jauh lagi upaya yang demikian itu dimaksudkan pula untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan. Bank merupakan lembaga keuangan yang mengandalkan kepercayaan masyarakat, guna mempertahankan kepercayaan masyarakat dan eksistensi dari bank tersebut, maka bank wajib untuk melindungi dana nasabah penyimpan dan simpanannya serta juga berkewajiban menjaga kerahasiaan terhadap dana nasabahnya dari pihak-pihak yang dapat merugikan nasabah, bahkan hal itu tidak jarang dilakukan oleh pegawai bank itu sendiri. Oleh karena itu nasabah bank sebagai konsumen perbankan patut dilindungi hak dan kepentingannya.6 6 Lukman Santosa Az, 2011, Hak Dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Cetakan Pertama, Pustaka Yustisia, Jakarta Selatan, hal. 113 14 Kewajiban menjaminan kerahasian bank atas semua data-data dan informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya dalam hubungannya dengan bank, maka masyarakat mempercayai bank tersebut, kemudian selanjutnya mereka akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank. Kepercayaan masyarakat lahir apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak disalahgunakan. Dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Ketentuan rahasia bank berlaku pula bagi pihak terafiliasi dalam operasional bank.7 Berkenaan dengan perkembangan kondisi politik di dalam negeri dan keadaan sosial, terutama yang menyangkut timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang money laundering dan kebutuhan akan adanya stabilitas ekonomi, terutama stabilitas moneter, telah menimbulkan kebutuhan akan peraturan kewajiban rahasia bank yang bersifat relatif. Sifat relatif yang dimaksudkan bahwa kepentingan Negara, bangsa dan masyarakat umum harus didahulukan dari pada kepentingan nasabah penyimpan secara pribadi, maka kewajiban bank untuk melindungi kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya secara individual itu (dalam arti tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah penyimpan) harus dapat dikesampingkan. Kepercayaan dari masyarakat dapat dikatakan sebagai kunci utama bagi berkembang atau tidaknya sebuah lembaga perbankan. Berawal dari kepercayaan masyarakat itulah maka keadaan nasabah wajib dirahasiakan. Rahasia bank akan dapat lebih dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan 7 Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan Di Indonesia, Cetakan ke V, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 169 15 bukan sekedar hanya sebagai kewajiban kontraktual di antara bank dan nasabah, tetapi ditetapkan sebagai kewajiban pidana. Apabila hanya ditetapkan sebagai kewajiban kontraktual belaka, maka kewajiban bank itu menjadi kurang kokoh karena kewajiban kontraktual secara mudah dapat disimpangi. Dasar hukum dari ketentuan rahasia bank di Indonesia mula-mula ialah Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tetapi kemudian telah diubah dengan Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pengertian rahasia bank oleh Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan diberikan dalam Pasal 1 butir 16 yang berbunyi sebagai berikut: Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Pengertian ini telah diubah dengan pengertian yang baru oleh Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu dalam Pasal 1 butir 28 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi sebagai berikut: Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya. Berdasarkan rumusan rahasia bank tersebut, jelaslah bahwa ruang lingkup dari rahasia bank adalah hanya mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal 40 ayat (1) menentukan Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana di maksud 16 Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44 A. dan ayat (2) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula pada pihak terafilasi. Dalam penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, dinyatakan bahwa apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus sebagai nasabah debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank. Berdasarkan ketentuan tersebut yang wajib dirahasiakan oleh pihak bank / pihak yang terafiliasi hanya keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpananya. Apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga nasabah debitur, bank wajib merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukanya sebagai nasabah penyimpan. Dengan demikikan jika nasabah itu hanya berkedudukan sebagai nasabah debitur maka keterangan tentang nasabah debitur tidak wajib dirahasiakan oleh bank / pihak terafiliasi. Ketentuan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang berkewajiban memegang teguh rahasia bank ialah; Anggota Dewan Komisaris Bank, Anggota Direksi Bank, Pegawai Bank, Pihak terafiliasi lainnya dari bank. Dalam Pasal 1 butir 22 Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan yang dimaksudkan dengan pihak terafiliasi ialah: a. anggota dewan komisaris, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank; 17 b. anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, Pejabat atau karyawan Bank, khusus bagi bank yang berbentuk badan hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya; d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus. Pihak terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan dengan kegiatan serta pengelolaan usaha jasa pelayanan yang diberikan oleh bank. Hubungan tersebut melalui cara menggabungkan dirinya pada bank tetapi dengan tidak kehilangan identitasnya. Penggabungan diri tersebut karena keterikatan kepemilikan bahkan adanya keterikatan hubungan keluarga dengan pihak tertentu, pengurusan maupun karena hubungan kerja biasa seperti karyawan, atau hubungan kerja dalam rangka memberikan pelayanan jasanya kepada bank seperti konsultan hukum8. Konsultan hukum yang dimaksud adalah salah satu dari bagian pejabat yang berada diluar kepengurusan bank, yang bertugas memberikan nasehat kepada pengurus ataupun dapat bertindak sebagai kuasa hukum dari bank yang bersangkutan dan dapat memberikan suatu penelitian hukum (legal audit) guna menentukan legitimasi hukum (legal opinion) dalam prospektus sebagai salah satu persyaratan untuk go public.9 Bank dapat dikatakan sebagai urat nadi perekonomian suatu negara, oleh karena itu perkembangan dunia perbankan dapat menjadi indikator kemajuan perekonomian negara yang bersangkutan. Semakin maju suatu negara, maka semakin besar peranan perbankan dalam pembangunan negara 8 9 Ibid., hal. 278 Ibid., hal. 293 18 tersebut. Salah satu fungsi bank yaitu sebagai lembaga kredit, yaitu Pemberian kredit kepada masyarakat merupakan usaha yang terpenting bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga keuangan. Pengertian Kredit menurut Pasal 1 butir 11 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kredit berupa pemberian kredit merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, yang juga sebagai aset utama yang sekaligus menunjukkan maju mundurnya bank yang bersangkutan. Kredit yang diberikan oleh bank mengadung suatu resiko usaha bagi bank. Resiko yang dimaksud adalah resiko terhadap kemungkinan kredit itu tidak dibayar kembali oleh debiturnya yang akhirnya menimbulkan kredit macet, sehingga dalam pelaksanaanya pemberian kredit oleh bank, harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Guna mencegah dan mengurangi resiko tersebut maka perbankkan diharuskan untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian, dengan memperhatikan obyek jaminan kredit. Terhadap setiap obyek jaminan yang diserahkan debitur dan disetujuai oleh bank, harus segera diikat sebagai jaminan hutang. Dengan demikian sangat dibutuhkan peranan Notaris dan PPAT dalam memberikan jasa kepada bank untuk membuat akta-akta seperti akta perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, akta cessie, novasi dan akta-akta pengikatan jaminan berupa Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 19 (SKMHT), Jaminan Fidusia, Jaminan Deposito serta perjanjian-perjanjian lainnya. Dilihat dari pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 butir 7 UndangUndang nomor 10 tentang Perbankan, deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Deposito berjangka menurut undang-undang termasuk sebagai salah satu benda bergerak yang tidak berwujud karena dianggap surat yang berharga. Deposito berjangka merupakan suatu piutang atas nama dilihat dari bukti kepemilikan bilyet deposito berjangka sehingga jika dijadikan jaminan kredit dengan cara digadaikan. Bank mengklasifikasikan deposito sebagai jaminan tambahan yang menguntungkan karena memiliki tingkat kepastian nominal yang sudah pasti dan likuiditasnyapun paling likuid dibanding dengan jaminan lainnya. Oleh karena itu, jika memungkinkan, jaminan inilah yang dimintakan kepada calon debitur untuk diserahkan. Selain faktor kepastian dan likuiditas tersebut, alasan lain bagi Bank memberikan jaminan deposito atas kreditnya adalah proses persetujuan kreditnya mudah, cepat, tidak berbelit-belit serta biayanya kecil. Selebihnya adalah faktor psikologis penggunaan kredit juga turut menjadi pertimbangan nasabah dimana dengan menggunakan kredit bank, debitur merasa lebih bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangannya. Dalam pengikatan akta Jaminan Deposito, dimana nasabah penyimpan sebagai subyek perjanjian dan deposito merupakan simpanan dari nasabah penyimpan sebagai obyek perjanjian, yang wajib untuk dirahasiakan oleh 20 Notaris dan pihak bank dalam kaitannya dengan rahasia bank. Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank, dimana bank menghendaki agar Notaris merahasiakan segala perbuatan hukum yang dituangkan dalam isi akta dan segala keterangan yang diberikan kepada Notaris dalam pembuatan akta yang dimaksud. Arti penting Notaris adalah untuk memberikan kepastian hukum, memberikan nasehat-nasehat dan pendapat-pendapat agar para pihak yang melakukan perbuatan hukum dijamin kerahasiaannya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Notaris juga diharapkan berperan dalam rangka memberikan perlindungan-perlindungan hukum kepada masyarakat yang akan melakukan perbuatan hukum dihadapannya. Berdasarkan uraian di atas terdapat kekaburan norma10 dalam ketentuan Pasal 1 butir 22 huruf c tentang pihak terafiliasi dalam UndangUndang nomor 10 tahhun 1998 tentang Perbankan, yang merumuskan : pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya. Ketentuan ini tidak mencantumkan secara jelas apakah Notaris dalam memberikan jasa kepada bank dalam pembuatan akta jaminan deposito, ikut sebagai pihak terafiliasi, sehingga ada kekaburan norma dalam Pasal tersebut yang berdampak pada kerahasiaan bank dan bagaimana tanggung jawab Notaris dalam pengikatan jaminan Deposito, apakah tunduk pada ketentuan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan atau tunduk 10 Pengertian kabur adalah pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara persis sehingga lingkupnya tidak jelas, J.J.H. Bruggink,1999, Rechts Reflecties (Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta), Cetakan ke-II, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 6 21 pada Rahasia Jabatan Notaris yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Dengan demikian ada konflik norma antara rahasia bank dengan rahasia jabatan Notaris. Berkenaan dengan kekaburan norma dan konflik norma tesebut di atas, penting untuk dilakukan penelitian diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PENGIKATAN JAMINAN DEPOSITO BERKAITAN DENGAN RAHASIA BANK. Untuk menunjukkan originalitas dari tulisan ini, dikemukakan beberapa karya tulisan yang ada kaitannya dengan judul tesis ini yaitu sebagai berikut: 1. Tesis yang ditulis oleh THI Teresa Tarigan, Universitas Indonesia dengan judul Tinjauan Yuridis Mengenai Rahasia Bank Dalam Pemberian Jasa Notaris Terhadap Bank dan Pengecualian Rahasia Bank dan Rahasia Jabatan Notaris dengan rumusan masalah : 1. Bagaimana pengaturan ketentuan rahasia bank secara khusus dalam kaitanya dengan pemberian jasa notaris terhadap bank ? 2. Bagaimana pengaturan mengenai pengecualian keberlakuan ketentuan rahasia bank dan rahasia jabatan notaris dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pembrantasan tindak pidana pencucian uang di indonesia ? 2. Tesis yang ditulis oleh EVIE MURNIATY, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang dengan judul Tanggung 22 Jawab Notaris Dalam Hal Terjadi Pelanggaran Kode Etik, dengan rumusan masalah ; 1. Bagaimanakah tanggung jawab notaris dalam hal terjadi pelanggaran kode etik ? 2. Bagimana akibat hukum jika terjadi pelanggaran kode etik oleh Notaris ? 3. Tesis yang ditulis oleh Yenny Lestari Wilamarta, Program Studi Magister Kenotariatan,Universitas Indonesia, dengan judul Rahasia Notaris, Hak Ingkar Dan Perlindungan Hukum Bagi Notaris Yang Membuka Isi (Rahasia) Akta, rumusan masalah yang diteliti dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah Notaris diperbolehkan membuka isi (rahasia) akta yang dibuatnya kepada lembaga penyidik atau lembaga penuntut? 2. Apakah Notaris dapat menggunakan hak ingkar yang terdapat dalam Undang-Undang Jabatan Notaris bila bertentangan dengan undangundang lainnya? 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Notaris yang membuka isi (rahasia) akta ? Penelusuran kepustakaan melalui internet, tidak ditemukan adanya kesamaan dalam hal isi maupun substansi karya tulis yang telah dimuat sebelumnya, oleh karena itu tingkat originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. 23 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana kedudukan Notaris dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank? b. Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum dalam bidang Hukum perbankkan, serta menghubungkannya dengan Hukum Kenotariatan mengenai kedudukan dan tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mendalami permasalahan hukum yaitu : a. Untuk mendalami dan menganalisis permasalahan hukum mengenai kedudukan Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank. 24 b. Untuk mendalami dan menganalisis permasalahan hukum mengenai tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank. 1.4. Manfaat penelitian Setiap penelitian tentu harus memiliki manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat. 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan menambah referensi dalam bidang Ilmu Hukum khususnya dalam bidang Hukum Perbankkan dan Hukum Kenotariatan mengenai kedudukan dan tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank berkaitan dalam pembuatan akta jaminan deposito dengan rahasia bank. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan imformasi bagi Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat khususnya mengenai rahasia bank. 1.5. Landasan Teoritis Dalam hal adanya peraturan perundang-undangan yang tidak jelas atau kabur, oleh karena itu harus ditemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan peraturan perundang-perundangannya. Untuk mengkaji dan menjawab masalah pertama yang ada dalam tesis ini digunakan metode 25 penafsiran ekstentif atau penafsiran memperluas yaitu memperluas pengertian atau istilah yang ada dalam suatu undang-undang. Penafsiran ini masih berpegang pada ketentuan undang-undang, oleh karenanya dapat diuji oleh pihak lain (objektif). Penafsiran ekstentif atau penafsiran memperluas untuk mengkaji dan menjawab permasalahan kedudukan Notaris dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank terutama dalam ketentuan Pasal 40 dan Pasal 1 butir 22 hurup c tentang pihak terafiliasi dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang merumuskan : pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya. Ketentuan ini tidak mencantumkan secara jelas apakah Notaris dalam memberikan jasanya berupa pengikatan jaminan deposito ikut sebagai pihak terafiliasi. Apakah maksud pembuat undang-undang, Notaris itu termasuk konsultan lainnya dalam pasal tersebut. Dengan demikian ada kekaburan norma terhadap pengertian konsultan lainnya yang mengandung pengertian yang tidak jelas dalam Pasal tersebut di atas akan berdampak pada ketentuan kerahasiaan bank, sedangkan untuk mengkaji dan menjawab masalah kedua dalam tesis ini, dimana adanya konflik norma hukum antara rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dengan rahasia jabatan notaris yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, dengan demikian dalam membahas masalah tersebut menggunakan salah satu asas hukum yaitu asas lex specialis derogat lex generalis, dimana Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan merupakan ketentuan khusus sedangkan Undang- 26 Undang Jabatan Notaris merupakan ketentuan umum, dalam arti Notaris khususnya dalam membuat akta jaminan deposito tunduk pada ketentuan rahasia bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, sedangkan Notaris dalam membuat akta pada umumnya tunduk pada rahasia jabatan Notaris sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. 1.5.1. Teori Kewenangan Teori kewenangan ini dikemukakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisa masalah tentang kewenangan Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank dalam pembuatan akta pengikatan jaminan deposito. Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan11. Menurut S.F. Marbun wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.12 Wewenang dalam hukum administrasi dapat diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau mandat.13 Wewenang yang diperoleh secara atribusi merupakan pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-udangan atau aturan hukum. Wewenang secara delegasi 11 Habib Adjie, (buku I ) Op. Cit., hal. 77 H. Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi,, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 57 13 Habib Adjie, (buku I), Loc. Cit 12 27 merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perudang-udangan atau aturan hukum.14 Notaris adalah pejabat umum yang memperoleh wewenang secara Atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh Undang Undang Jabatan Notaris15. Kewenangan tersebut adalah untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Jabatan Notaris. Kewenangan tersebut termuat dalam dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris terlihat bahwa wewenang utama Notaris adalah membuat akta. Namun Notaris berwenang pula memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Wewenang utama dari Notaris adalah membuat akta otentik. Wewenang Notaris dalam membuat akta meliputi 4 (empat) hal yaitu : a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu; b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang), untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat; d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Apabila salah satu persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka akta yang dibuatnya itu adalah tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan 14 15 Habib Adjie, (buku I), Loc. Cit Habib Adjie, (buku I), Op. Cit, hal. 78. 28 seperti akta yang dibuat dibawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap. Menurut G.H.S. Lumban Tobing, bahwa Notaris selain membuat akta otentik, juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan (waarmerken dan legaliseren) surat-surat/akta-akta yang dibuat dibawah tangan dan memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undangundang kepada pihak bersangkutan.16 1.5.2. Teori Perlindungan Hukum Teori ini dipergunakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis masalah kewajiban bank kepada nasabah penyimpan dan simpanannya berkaitan dengan rahasia bank, sehubungan dengan bank menjalankan fungsinya dalam menyalurkan dananya, yang berupa pemberian kredit dan guna melindungi dananya bank mengikat jaminan kredit tersebut dengan jaminan deposito, dan Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank berupa akta pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank. Menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut17. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak. Dengan demikian, tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut 16 17 G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit, hal. 37 Hermansyah, Op. Cit, hal. 145 29 sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Bank sebagai lembaga perbankkan merupakan suatu lembaga yang tergantung dari kepercayaan masyarakat dalam arti tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, maka bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangpercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, yang pada saat ini tengah gencar melakukan ekspansi untuk mencari dan menjaring nasabah, maka perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sangat diperlukan. Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu : a. Perlindungan secara implisit (Implicit deposit protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini yang diperoleh melalui ; 1) peraturan perundang-undangan dibidang perbankan; 2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia; 30 3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya; 4) memelihara tingkat kesehatan bank; 5) melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian; 6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan; 7) menyediakan infomasi risiko pada nasabah. b. Perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yng disimpan pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaiman diatur dalam Keputusan Presiden RI No.26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum. 18 Perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dapat ditemukan dalam kewajiban bank dalam menjaga kerahasian bank. Ada 2 teori tentang rahasia bank dikemukakan oleh Hermasyah, yaitu : 1. Teori Rahasia Bank Bersifat Mutlak Menurut teori rahasia bank yang bersifat mutlak atau absolut ini, bank mempunyai kewajiban yang mutlak untuk menyimpan rahasia atau keterangan-keterangan mengenai nasabahnya yang diketahui oleh bank dalam 18 Hermansyah, Op.Cit, hal 132 31 keadaan apapun.Penetapan sanksi yang tergolong berat dapat dikenakan kepada pelanggar rahasia bank. 2. Teori Rahasia Bank Bersifat Relatif Teori rahasia bank yang bersifat relatif ini justru memberikan ruang bagi bank untuk membuka rahasia atau keterangan-keterangan mengenai nasabahnya apabila memang ada keadaan yang mendesak menuntut untuk itu, antara lain adalah untuk kepentingan Negara.19 Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan, demi tercapainya kepastian hukum. Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya seharusnya memang diberikan perlindungan. Perlindungan sebagaimana dimaksud: 1. Untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan persidangan. 2. Merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. 3. Menjaga minuta akta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. Bahwa perlindungan hukum yang dimaksud tidak diberikan kepada pribadi Notaris akan tetapi kepada profesi dan jabatan Notaris yang mengemban amanat dan kepercayaan masyarakat. Akan tetapi dalam menjalankan jabatannya untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, seorang 19 Hermansyah, Op.Cit, hal 133. 32 Notaris pada suatu waktu diharuskan memberikan keterangan dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada. 1.5.3. Teori Pertanggung Jawaban Hukum Teori ini dipergunakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis masalah tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank dalam pembuatan akta jaminan deposito berkaitan rahasia bank. Dalam penyelanggaraan kenegaraan dan pemerintahan, pertanggung-jawaban itu melekat pada jabatan, yang secara yuridis dilekati dengan kewenangan. Dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip umum tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.20 Menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasi pertanggung jawaban pejabat yaitu: a. teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau 20 Ridwan HR, 2011,Hukum Administrasi Negara, cet. Ke-6,PT Rajagrafindo Persada, hal. 334 33 kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.21 Pemberian kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta sebagaiamana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Menurut perspektif hukum publik adanya kewenangan terhadap akta–akta yang di buat sejalan dengan prinsip umum yaitu tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban. Para ahli umumnya berpendapat bahwa, kalau terjadi pelanggaran jabatan Notaris, maka ada 4 dimensi pertanggung jawab Notaris yaitu : 1. Pertanggung jawab administrasi, antara lain berupa : pemberhentian dari jabatan (sementara dan tetap); 2. Pertanggung jawab perdata; 3. Pertanggung jawab pidana; 4. Pertanggung jawab moral/spritual menurut agama yang bersangkutan. 22 1.6 Metode Penelitian Tesis ini Penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau penelitian hukum kepustakaan23. Penelitian ini merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, yang beranjak dari kekaburan norma di dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang terkait mengenai kedudukan dan tanggung 21 http: //sonny - tobelo.blogspot.com/2010/12/teori - pertanggung jawaban.html, tanggal 5 mei 2013 22 A Ratu Tanah Boleng, 2010, Tanggung Jawab Notaris Secara Perdata dan Pidana, Serta Implementasinya Dalam Putusan Hakim Diskusi Panel Ikatan Notaris Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia pengurus wilayah bali dan NTT hal. 162 23 Soerjono Seokanto dan Sri Mahmudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 13. 34 jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank. 1.6.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum normatif. Sesuai dengan karakter dan tradisi ilmu hukum, maka penelitian normatif merupakan ciri khas dari ilmu hukum. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historiscal approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).24 Dalam penulisan tesis ini dipergunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Penggunaan kedua pendekatan ini dimaksudkan untuk memperoleh kajian yang menyeluruh mengenai hal-hal yang berkaitan kedudukan Notaris sebagai pihak yang memberikan jasa kepada bank dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank dan tanggung jawab Notaris berkaitan dengan rahasia bank . Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani25. Dalam penelitian ini perundang- undangan yang ditelaah yang terkait dengan kedudukan dan tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasa kepada bank berkaitan dengan 24 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Goup, hal. 93 25 Ibid 35 rahasia bank yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris yang terkait dengan Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankkan. Pendekatan konsep (conceptual approach) yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum26. Pendekatan konsep ini di pergunakan untuk meletakan konsepkonsep hukum tentang rahasia bank dan rahasia jabatan notaris. 1.6.2 Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian hukum digunakan istilah bahan hukum atau source of law. Black’s Law Dictionary memberi definisi bahwa source of law adalah something (such as constitution, treaty, statute, or custom) that provides authorities for legislation and for judicial decisions, a point of origin for law or legal analysis.27 (sumber hukum terdiri dari konstitusi, perjanjian, undangundang dan kebiasaan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan bagi kekuasaan legislatif dan yudikatif tentang original hukum atau analisis hukum). Sumber bahan hukum dalam penelitian hukum dapat dibedakan menjadi tiga sumber bahan hukum, yaitu sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Dalam penelitian normatif ini bahan hukum yang digunakan bersumber dari kepustakaan terdiri dari tiga jenis bahan hukum yaitu : 26 Ibid, hal. 137 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, St. Paul-Minnessota, hal. 1400 27 36 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bidang yang akan diteliti, yaitu : (1) Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indnesia Tahun 1998 Nomor 182); (2) Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117); (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer28, seperti buku-buku hukum yang terkait dengan kenotariatan dan perbankan, jurnal hukum, karya tulis hukum, pendapat pakar hukum. Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder antara lain buku-buku hukum yang terkait dengan kenotariatan dan perbankan, jurnal hukum, karya tulis hukum, pendapat pakar hukum. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum dan ensiklopedia29. Penelitian ini mengunakan bahan hukum tersier yaitu ensiklopedia dengan mengutip bahan hukum melalui internet. 28 Amirudin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penilitian Hukum, Cet ke-6, PT. Rajagrafindo Persada, hal. 32 29 Soerjono Seokanto dan Sri Mahmudji, Loc. Cit. 37 1.6.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dengan metoda bola salju, metoda bola salju adalah metoda dimana bahan hukum dikumpulkan melalui beberapa literatur kemudian dari beberapa literatur tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung literatur tersebut. 1.6.4 Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian ini, bahan hukum dianalisis dengan teknik deskripsi, teknik kontruksi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum30. Dalam hal ini deskripsi dilakukan terhadap beberapa peraturan perundang undangan yang menunjukan adanya kekaburan norma mengenai kedudukan dan tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank, yang dimulai dari Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Jabatan Notaris, kemudian menggunakan teknik kontruksi berupa pembentukan kontruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi (acontrario), kedudukan dan tanggung jawab Notaris dalam memberikan jasanya pada bank kepada bank tentang rahasia bank. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, benar atau salah, setuju atau tidak setuju, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap 30 Soerjono Seokanto dan Sri Mahmudji, Op. Cit., hal. 49 38 suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik ini digunakan untuk menentukan tepat atau tidak tepatkah suatu pandangan terkait dengan kedudukan dan tanggung jawab Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank berkaitan dengan rahasia bank. Teknik argumentasi, adalah teknik yang tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum, makin banyak argumen makin menunjukan kedalaman penalaran hukum. Tehnik ini digunakan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan terhadap permasalahan yang dibahas. Setelah semua bahan hukum terkumpul kemudian diklasifikasikan secara kualitatif sesuai dengan rumusan masalah. Bahan hukum tersebut dianalisis dengan teori-teori yang relevan kemudian disimpulkan untuk menjawab masalah-masalah tersebut dan akhirnya bahan hukum tersebut disajikan secara deskretif analisis. 39 BAB II TINJUAN UMUM TENTANG NOTARIS, DEPOSITO DAN RAHASIA BANK 2.1 Tinjuan Umum Tentang Notaris 2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Keberadaan Notaris Keberadaan lembaga Notaris dilandasi atas kebutuhan akan suatu alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi. Adanya alat bukti lain yang mengikat, mengingat alat bukti saksi kurang memadai lagi, sebab sesuai dengan perkembangan masyarakat, perjanjian-perjanjian yang dilaksanakan anggota masyarakat semakin rumit dan kompleks. Notaris berasal dari kata “notarius” (tulisan romawi klasik), yaitu nama yang diberikan pada orang-orang Romawi di mana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis atau orang-orang yang membuat catatan pada masa itu31. Hampir selama seabad lebih, eksistensi notaris dalam memangku jabatannya didasarkan pada ketentuan Reglement Of Het Notaris Ambt In Indonesia Nomor 1860 : 3 yang mulai berlaku 1 Juli 1860. Dalam kurun waktu itu, Peraturan Jabatan Notaris mengalami beberapa kali perubahan. Pada saat ini, Notaris telah memiliki Undang-Undang tersendiri dengan lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris. Pengertian Notaris diatur dalam Pasal 1 Ord, stbl. 1860 nomor 3 tentang Jabatan Notaris di Indonesia mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860, Notaris adalah pejabat umum, yang satu-satunya berwenang untuk membuat 31 G.H.S Lumban Tobing, Op. Cit., hal 5. 40 akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan pada pejabat atau orang lain32. Setelah Indonesia merdeka, keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan (AP) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar. Demi untuk kepentingan Notaris dan untuk melayani kepentingan masyarakat Indonesia, maka pemerintah berupaya pada tanggal 6 Oktober 2004 mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 117. Sejak berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris maka berdasarkan Pasal 91 Undang-Undang Jabatan Notaris telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi: 1. 2. 3. 4. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stbl. 1860:3) sebagaimana telah dirubah terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101; Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris; Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembar Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembar Negara Nomor 700); Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan 32 36 Budi Untung, 2005, Visi Global Notaris, Andi, Yogyakarta, hal. 41 5. Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris. Notaris adalah seorang pejabat negara/pejabat umum dan mewakili kekuasaan umum negara yang diangkat oleh negara untuk melakukan tugastugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum, sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal hukum keperdataan untuk kepentingan pembuktian atau sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam arti apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan dihadapan persidangan pengadilan, sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum Undang-Undang Jabatan Notaris. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris Bab I Pasal 1 ayat (1) Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini. Memperhatikan pengertian Notaris tersebut, dapat dijelaskan bahwa Notaris adalah: 1. Pejabat Umum Status Notaris sebagai pejabat umum diberikan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris. Sebagai pejabat umum, Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Negara berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 42 Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, adalah merupakan organ negara yang menjalankan sebagian dari tugas dan kewenangan negara yaitu berupa tugas dan kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat umum dibidang keperdataan, khususnya dalam pembuatan akta. Notaris sebagai pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada Notaris tidak pernah diberikan kepada pejabatpejabat lainnya, selama atau sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, maka kewenangan tersebut menjadi kewenangan Notaris. Wewenang Notaris tercantum dalam pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian, dengan mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik, dalam hal ini publik yang bermakna hukum, bukan publik sebagai khalayak umum.33 Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai pejabat publik yang bukan pejabat atau 33 Habib Adjie, 2007, Sanksi Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik Berkaitan Dengan Pembuatan Akta Berdasarkan UndangUndang Jabatan Notaris, Disertasi, Universitas Airlangga (selanjutnya ditulis Habib Adjie II), Surabaya, hal. 62 43 Badan Tata Usaha Negara34. Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, pengangkatan tersebut diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Jabatan Notaris, sedangkan untuk dapat diangkat sebagai Notaris, harus memenuhi persyaratan-persyaratan dalam Pasal 3 Undang-Undang Jabatan Notaris, antara lain : a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh tahun); d. sehat jasmani dan rohani; e. berijasah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariaan. g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. 2. Berwenang membuat akta otentik Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menyatakan bahwa notaris merupakan satu-satunya pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, kecuali undang-undang menugaskan atau mengecualikan kepada pejabat lain atau orang lain. Pejabat umum yang dimaksud oleh pasal 1868 KUHPerdata hanyalah Notaris, karena hingga saat ini tidak ada satupun undang-undang yang mengatur tentang pejabat umum selain Undang-Undang Jabatan Notaris. Otentisitas suatu akta menurut Pasal 1868 KUHPerdata adalah jika akta tersebut dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu, berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Jadi 34 Ibid., hal 51 44 pejabat umum yang memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam pasal 1868 KUHPerdata hanyalah Notaris35. Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat dalam membuat perjanjian, membuat akta beserta pengesahannya yang dipergunakan sebagai alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Selain memenuhi syarat yang telah ditentukan undangundang agar suatu akta menjadi otentik, seorang Notaris dalam melaksanakan tugasnya tersebut wajib dengan penuh disiplin, professional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan. Apa yang tertuang dalam awal dan akhir akta yang menjadi tanggung jawab Notaris adalah ungkapan yang mencerminkan keadaan yang sebenar-benarnya pada saat pembuatan akta tersebut. 3. Ditentukan oleh Undang-Undang Undang-Undang Jabatan Notaris merupakan unifikasi dibidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur tentang jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada Undang-Undang Jabatan Notaris. Kalaupun saat ini ada pejabat umum lain yang diberi wewenang untuk membuat akta tertentu, tetapi pejabat tersebut tidak diatur berdasarkan undang-undang dan sebagaimana ditentukan Pasal 1868 KUHPerdata. 35 Husni Thamrin, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBank PresSindo, Yogyakarta, hal 75. 45 Jabatan Notaris merupakan jabatan yang keberadaannya dikehendaki guna mewujudkan hubungan hukum diantara subyek-subyek hukum yang bersifat perdata. Notaris sebagai salah satu pejabat umum mempunyai peranan penting yang dipercaya oleh pemerintah dan masyarakat untuk membantu pemerintah dalam melayani masyarakat, menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapannya, mengingat akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Notaris sebagai salah satu penegak hukum, karena Notaris membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Alat bukti tertulis yang dimaksud adalah akta otentik yang dibuat oleh Notaris, yaitu surat yang sengaja dibuat sebagai alat bukti, berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum dibidang keperdatan yang dilakukan oleh para pihak. Para ahli hukum berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan oleh Notaris dalam aktanya adalah tidak benar. Notaris adalah pejabat umum yang berfungsi menjamin otentisitas pada tulisan-tulisannya (akta) harus mengingat, bahwa akta yang dibuat oleh atau dihadapannya adalah akta otentik yang menjadi dokumen/arsip negara, dan perjanjian yang dinyatakan di dalamnya menjadi undang-undang bagi 46 mereka yang membuatnya, demikian sesuai dengan Pasal 1337 KUHPerdata jo Pasal 1338 KUHPerdata. Berdasarkan wewenang yang diberikan oleh pemerintah, Notaris disebut sebagai pejabat umum, namun Notaris bukanlah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepegawaian. Notaris terikat dengan peraturan jabatan pemerintah, Notaris tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah, tetapi memperoleh gaji dari honorarium atau fee dari kliennya. Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah yang tidak menerima gaji dari pemerintah, Notaris dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari pemerintah.36 Oleh karena itu, bukan saja Notaris yang harus dilindungi tetapi juga para konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa Notaris. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus memiliki keterampilan profesional di bidang hukum, juga harus dilandasi dengan tanggungjawab dan moral yang tinggi maupun nilai-nilai dan etika, sehingga dapat menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan hukum dan kepentingan masyarakat.37 Notaris dalam melaksanakan tugasnya secara profesional harus menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak dan penuh rasa tanggungjawab dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya untuk 36 Suhrawardi K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Cetakan kelima, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 34 37 Profesi adalah pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan. Pekerja yang menjalankan profesi disebut profesional. Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum, Cetakan ke-II, PT Citra Aditya Bakti, hal. 58 47 kepentingan umum (public). Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh pada Kode Etik Jabatan Notaris sebab tanpa itu, harkat dan martabat profesionalisme akan hilang38. Menurut Abdulkadir Muhammad, bahwa Notaris harus memiliki perilaku profesional (profesional behaviour). Unsur-unsur perilaku profesional adalah sebagai berikut : 1. keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman tinggi; 2. integritas moral artinya menghindari sesuatu yang tidak baik walaupun imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, sopan santun, dan agama; 3. jujur tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada diri sendiri; 4. tidak semata-mata pertimbangan uang, melainkan juga pengamdian, tidak membedakan antara orang mampu dan tidak mampu; 5. berpegang teguh pada kode etik profesi karena didalamnya ditentukan segala prilaku yang harus dimiliki oleh Notaris, termasuk berbahasa Indonesia yang sempurna.39 Notaris merupakan salah satu aparat hukum dibidang keperdataan sebagai pejabat umum harus professional karena mewakili Negara menjalankan tugas dan fungsi sosialnya di dalam pembuatan akta sebagai alat bukti berupa akta otentik. Salah satu perwujudan dari fungsi sosial Notaris adalah memberikan keringanan biaya (honorarium) atau bahkan membebaskannya, para pihak yang membutuhkan jasa Notaris tersebut menunjukkan bukti keterangan tidak mampu dari kelurahan atau pejabat yang berwenang, yang mana hal ini diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Jabatan Notaris. 38 39 Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., hal 35 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 90 48 2.1.2 Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum Wewenang yang diberikan kepada Notaris pada prinsipnya merupakan wewenang yang bersifat umum. Wewenang yang bersifat umum artinya bahwa wewenang ini meliputi pembuatan segala jenis akta, kecuali yang dikecualikan tidak dibuat oleh Notaris. Perkataan ini juga mengandung arti bahwa pejabat-pejabat lain, selain Notaris hanya mempunyai kewenangan akta tertentu saja dan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. Van Wijk/Willem konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut: a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undangundang kepada organ pemerintah. b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan organ lain atas namanya.40 Sejalan dengan pengertian wewenang yang dikemukakan oleh Sadjijino, bahwa secara teoritis pemerintah memperoleh wewenang melalui tiga cara dan sekaligus melekat sebagai wewenangnya, yaitu : a. Wewenang artibusi (atributie bevoegdheid), adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan; 40 Ridwan HR, Op. Cit., hal. 102 49 b. Wewenang delegasi (delegatie bevogdheid), adalah wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenag dari badan/organ pemerintahan yang lain. c. Wewenang mandat (mandaaat bevogdheid), adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan.41 Notaris adalah pejabat umum yang memperoleh wewenang secara Atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh Undang Undang Jabatan Notaris42. Kewenangan tersebut adalah untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Jabatan Notaris. Kewenangan tersebut termuat dalam dalam Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam ketentuan Pasal 15 UndangUndang Jabatan Notaris terlihat bahwa wewenang utama Notaris adalah membuat akta. Sejalan dengan wewenang yang diperoleh Notaris, dapat dikemukakan cara perolehan wewenang atribusi yaitu ; (a) cara perolehannya melalui perundang-undangan yaitu, Notaris memperoleh wewenang dari Undang-Undang Jabatan Notaris; (b) kekuatan mengikatnya yaitu, tetap melekat sebelum ada perubahan peraturan perundang-undangan; (c) tanggungjawab dan tanggunggugat yaitu, penerima wewenang bertangungjawab mutlak akibat yang timbul dari wewenang adalah, Notaris dalam menjalankan kewenangannya, membuat akta notaris 41 42 Sadjijono, Op. Cit., hal 65 Habib Adjie I, Op. Cit, hal. 78 50 bertanggungjawab pada aspek formal dari akta dan harus sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris; (d) hubungan wewenang adalah, hubungan hukum pembentuk undangundang dengan organ pemerintah yaitu, Notaris diangkat oleh pemerintah.43 Notaris sebagai suatu jabatan mempunyai wewenang tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UndangUndang Jabatan Notaris. Wewanang utama Notaris meliputi : membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan / atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain wewenang utama tersebut, wewenang Notaris meliputi juga; mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; membubuhkan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; melakukan pengesahan 43 kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; memberikan Analisis dari pengertian istilah wewenang Notaris yang memperoleh wewenang atribusi, Sadjijono, Op. Cit., hal.67 51 penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan membuat akta risalah lelang. Sehubungan dengan wewenang Notaris dalam memberikan penyuluhan hukum berkaitan dengan pembuatan akta, menurut R. Sugondo Notodisuryo, menyatakan bahwa Notaris dalam memberikan bantuannya, baik nasehat-nasehat maupun dengan penyusunan kata yang kemudian dituangkan dalam akta, sehingga dapat dicapai apa yang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang membutuhkan jasanya tanpa meninggalkan hukum yang berlaku. Bahkan Notaris dengan tindakannya itu dapat menimbulkan kasuskasus hukum baru (neubildung) dan mencari penyelesaian-penyelesaian dimana hukum/undang-undang tidak mengatur atau tidak mengatur secara jelas mengenai suatu kasus, sehingga dengan demikian Notaris ikut serta menemukan hukum baru (rechtsvinding) dengan memperhatikan segala hal yang menyangkutnya antara lain hal-hal yang menyangkut tata hidup masyarakat.44 Salah satu wewenang Notaris yaitu, memberi nasehat hukum dan memberi imformasi dalam rangka pembuatan akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam membuat akta otentik, tidak hanya menerima begitu saja apa yang diminta oleh pihak/penghadap untuk dituangkan ke dalam akta, tetapi juga harus berperan aktif dengan membuat penilaian terhadap isi dari akta yang dimintakan kepadanya dan tidak perlu ragu untuk menyatakan keberatan atau 44 R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, cetakan kedua, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 8 52 menolak, jika kepentingan pihak yang memintanya tidak sesuai dengan kelayakan maupun undang-undang.45 Akta sebagai alat bukti tertulis dalam hal-hal tertentu merupakan bukti kuat (lengkap) bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Mereka yang menandatangani suatu akta bertanggung jawab dan terikat akan isinya.46 Akta yang dibuat oleh Notaris akan menjadi akta otentik, apabila Notaris mempunyai wewenang yang meliputi empat hal, yaitu; a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu. Notaris berwenang untuk membuat akta otentik berdasakan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Dapat diartikan pula Notaris memiliki wewenang tersebut sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat lain. Dengan demikian Wewenang Notaris membuat akta otentik bersifat umum sedangkan para pejabat lainnya memiliki wewenang yang terbatas. b. Notaris berwenang sepanjang mengenai orang (-orang), untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Dalam menjalankan kewenangannya untuk membuat 45 A.A. Andi Prajitno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan Siapa Notaris di Indonesia, Cetakan I, CV Putra Media Nusantara, Surabaya, hal. 4 46 Komar Andasasmita, 1981, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, hal. 47 53 akta otentik, Notaris tidak dapat melakukannya untuk kepentingan setiap orang. Namun terdapat batasan, dimana seorang Notaris tidak dapat membuat akta. Batasan ini termuat dalam Pasal 52 ayat (1) UndangUndang Jabatan Notaris, yaitu Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Hal ini diperlukan untuk menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta sehingga tidak memihak dan menyalahgunakan jabatannya. c. Notaris berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat. Notaris dalam melaksanakan kewenangannya untuk membuat akta otentik, apabila akta tersebut dibuat dan diselesaikan berada didalam lingkup tempat kedudukan dan wilayah jabatannya. Menurut Pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa seorang Notaris memiliki tempat kedudukan di sebuah kabupaten/kota dan Pasal 19 (1) ditentukan bahwa seorang Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh propinsi pada tempat kedudukannya. d. Notaris berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Dalam membuat suatu akta otentik, seorang Notaris harus dalam keadaan aktif memangku jabatannya sebagai Notaris. Dalam artian ia tidak sedang menjalani cuti atau sedang diberhentikan untuk sementara waktu. Jabatan 54 Notaris memiliki karakter yang berkesinambungan. Ketika seorang Notaris sedang menjalani cuti jabatan maka ia harus merekomendasikan seseorang untuk nantinya diangkat menjadi Notaris Pengganti untuk menggantikannya. Wewenang merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan atau aturan hukum. Seorang Notaris dalam melaksanakan wewenang (membuat akta otentik) dibatasi oleh koridor-koridor aturan. Pembatasan ini dilakukan agar Notaris tidak kebablasan dalam menjalankan pratiknya dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukan. Tanpa adanya pembatasan, seseorang akan bertindak sewenang-wenang.47Batasan Notaris diatur sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 Undang-Undang Jabatan Notaris, tindakan yang dilarang dilakukan oleh Notaris antara lain meliputi: 1. Larangan menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya. 2. Larangan meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari tujuh hari kerja tanpa alasan yang sah. 3. Larangan melakukan rangkap jabatan dalam bentuk apapun. 4. Larangan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Notaris dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah sebagai profesi mulia (offium nobile) maksudnya adalah dalam melaksanakan tugas dan jabatannya tidaklah semata-mata untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat, serta mempunyai 47 Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Cetakan I, Raih Asa Sukses, Jakarta hal. 46 55 kewajiban untuk menjamin kebenaran akta-akta yang dibuatnya, sehingga akta otentik tersebut memiliki kekuatan pembuktian hukum yang kuat dan sempurna, karena itu seorang Notaris dituntut bertindak jujur dan adil bagi semua pihak.48 Notaris dalam posisinya sebagai pejabat umum dan sekaligus sebagai profesi mulia (offium nobile) bertugas membuat akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian hukum yang kuat dan sempurna, sehingga keberadaannya sangat diperlukan oleh masyarakat. Keberadaan tersebut sudah seharusnya kinerja profesi Notaris tersebut diawasi dan dipantau oleh lembaga semi independen, agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Oleh karena itu perlu adanya lembaga yang berfungsi untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar kewenangan tersebut dilaksanakan sesuai dengan makna sumpah jabatannya, yaitu bahwa Notaris akan melaksanakan jabatannya dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak memihak. Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan mengenai pengawasan terhadap Notaris adalah ; 1. Pasal 67 sampai dengan Pasal 81 Undang-Undang Jabatan Notaris . 2. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor M.39.PW.07.10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Majelis Pengawas Notaris. 3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota Susunan Organisasi Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris49. 48 Abdul Bari Azed, 2009, Kebijakan Penguatan Fungsi Kelembagaan Majelis Pengawas Notaris, Notariat, Edisi XI Maret 2009, Jakarta , hal. 90 49 Habib Adjie, 2011, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, cetakan kesatu, PT Refika Aditama, (selanjutnya ditulis Habib Adjie III), hal. 6 56 Majelis Pengawas Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (6). Secara yuridis pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri, akan tetapi pelaksanaan atau pengawasan tersebut dilimpahkan kepada Majelis Pengawas yang dibentuk oleh Menteri berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur : a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang c. Ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang Fungsi pembinaan dan pengawasan kepada Notaris ditujukan agar dalam menjalankan jabatannya Notaris senantiasa mematuhi dan memahami aturan baik yang berupa kode etik maupun ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, karena bila seorang Notaris melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi.50 Majelis Pengawas Notaris bertugas mengawasi pelaksanaan jabatan notaris yang terdiri atas: 1. Majelis Pengawas Daerah (selanjutnya akan ditulis dengan MPD), MPD dibentuk dan berkedudukan serta mempunyai tugas pengawasan di tingkat Kabupaten atau Kota. Tugas dan wewenag MPD diatur sebagaimaan dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang Jabatan Notaris. MPD dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris, dalam melaksanakan tugasnya dengan selalu memperhatikan dan melihat relevansi serta urgensi seorang Notaris dipanggil sebagai saksi maupun sebagai tersangka, dengan pengambilan minuta atau fotocopynya maupun 50 Abdul Bari Azed, Op. Cit, Hal. 92 57 surat-surat yang dilekatkan pada minuta tersebut untuk proses pengadilan, penyidikan atau penuntutan.51 2. Majelis Pengawas Wilayah (selanjutnya akan ditulis dengan MPW), sebagaimana diatur dalam Pasal 72 sampai dengan Pasal 75 UndangUndang Jabatan Notaris. Tugas dan wewenang MPW terbatas pada tingkat wilayah atau ibukota propinsi. Adapun tugas utama MPW adalah memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat. Keputusan teguran dari MPW bersifat final tetapi untuk skorsing dan pemecatan dapat diajukan banding. 3. Majelis Pengawas Pusat (selanjutnya akan ditulis dengan MPP), mengenai MPP pengaturannya pada Pasal 76 Undang-Undang Jabatan Notaris, MPP dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, yang berwenang memanggil notaris untuk disidang dan memberikan sanksi kepada notaris yang melanggar pada tingkat banding. Selanjutnya MPP wajib menyampaikan laporan kepada menteri terkait dengan keputusan yang dibuat diteruskan kepada MPW dan MPD serta organisasi notaris. Notaris memperoleh kewenangan melalui undang-undang, yaitu wewenang untuk menuangkan semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang dikehendaki oleh pihak (-pihak) yang sengaja datang kehadapan Notaris untuk meminta mengkonstantir keterangan itu kedalam akta otentik agar akta yang dibuatnya 51 Putri A. R., Op. Cit., hal 85 58 memiliki kekuatan bukti lengkap dan memiliki keabsahannya. Peran Notaris hanyalah media (alat) untuk lahirnya suatu akta otentik.52 Suatu akta memiliki suatu karakter yang otentik yaitu bila akta tersebut mempunyai daya bukti antara pihak-pihak dan terhadap pihak ketiga, maka akta tersebut harus dibuat merupakan suatu tulisan dalam bentuk demikian rupa dan jaminan bagi pihak-pihak, bahwa perbuatan-perbuatan atau keterangan-keterangannya yang dikemukakan memberikan suatu bukti yang tidak dapat dihilangkan.53 Akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang Notaris mempunyai kekuatan pembuktiaan sebagai akta otentik, bukan karena penetapan undangundang, melainkan karena dibuat oleh atau dihadapan seorang Notaris, yang tentunya dalam menjalankan jabatannya Notaris tersebut harus patuh pada seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan jabatannya dalam membuat akta otentik. Suatu akta otentik yang disebut telah memenuhi otentisitas suatu akta, apabila telah memenuhi 3 unsur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata, antara lain : a) Akta itu dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang; Dalam hal ini adalah Undang-Undang Jabatan Notaris sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (7) yang berbunyi: Akta Notaris adalah akta otentik 52 Pieter Latumeten, 2009, Kebatalan dan Degradasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya, Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Surabaya, hal. 1. 53 Muhammad Adam, 1985, Asal-Usul Dan Sejarah Akta Notarial, CV. Sinar Baru, Bandung, hal. 31 59 yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. b) Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum; Dalam hal ini Notaris berwenang untuk membuat akta sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris yang berbunyi, Notaris adalah pejabat umum yang berwewenang untuk membuat akta otentik, dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini. Ketentuan ini juga berhubungan dengan kewajiban dari Notaris untuk membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris. c) Pejabat Umum itu mempunyai kewenangan untuk membuat akta; Dalam hai ini pejabat umum yang dimaksud berwenang untuk membuat akta ditempat dimana akta tersebut dibuat, dalam arti membacakan akta kepada para penghadap dan penandatanganan akta. Hal ini berhubungan dengan Pasal 17 hurup (a) Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu Notaris dilarang menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya dan Pasal 18 Undang-Undang Jabatan Notaris yang antara lain berbunyi Notaris mempunyai wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Berhubungan dengan keontentikan akta, menurut Habib Adjie karekter yuridis akta Notaris adalah : 1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang (Undang-Undang Jabatan Notaris); 2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan keinginan Notaris; 60 3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta. 4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut; 5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.54 Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata, alat pembuktian meliputi bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Pada perkara perdata, alat bukti tertulis merupakan alat bukti utama, karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan alat bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan. Apabila suatu akta dibuat telah memenuhi syarat otensitas seperti yang telah ditentukan undang-undang maka akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, artinya apa yang dinyatakan dalam akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan. Terhadap suatu akta otentik yang ditunjukkan pada Hakim, pejabat lain atau siapa saja, maka wajib mengakui kebenaran akta tersebut sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Dengan kata lain beban pembuktian untuk menyatakan apa yang termuat dalam akta tersebut, benar atau tidak benar berada pada pihak yang berkepentingan tersebut. 54 Habib Adjie, 2011, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, cetakan ke satu, PT Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib Adjie IV) hal. 17 61 Suatu akta otentik berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata akan memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya kepada para pihak serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak dari padanya. Ini berarti akta otentik mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi hakim, akta otentik ini merupakan bukti wajib atau keharusan, oleh karena itulah maka akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian baik lahiriyah, formal maupun materiil. Ada tiga kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh suatu akta otentik, yaitu kekuatan pembuktian lahiriah, formil, dan materiil. a. Kekuatan pembuktian lahiriah Kekuatan lahiriah merupakan kekuatan dari akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahan dirinya sebagai akta otentik (acta publica probant sese ipsa).55 Kekuatan ini terdapat baik dalam akta pejabat maupun akta pihak. Jika dilihat dari lahirnya suatu akta otentik, bila telah dibuat sesuai dengan aturan yang ditentukan mengenai syarat akta otentik dalam undangundang maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Pembuktian ini harus dilakukan oleh pihak yang menyangkal otentitas dari akta notaris itu. Penilaian pembuktiannya harus didasarkan pada syarat akta notaris sebagai akta otentik yaitu, akta tersebut lahir ditentukan oleh peraturan perundangundangan, dari pejabat yang membuatnya, wewenang pembuat aktanya, bentuk aktanya dan sifat aktanya. 55 Habib Adjie I, Op .Cit, hal. 26. 62 Kemampuan membuktikan keabsahan diri sebagai akta otentik ini tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan.56 Dalam hal pembuktian, ini menjadikan perbedaan antara akta otentik dan akta di bawah tangan. b. Kekuatan pembuktian formil Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian formil, artinya akta tersebut membuktikan kebenaran dari tindakan dan perbuatan pejabat yang dituangkan dalam akta otentik. Akta otentik secara formil membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, waktu menghadap, tempat akta dibuat dan keaslian paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta relaas) dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak). Keterangan tersebut mempunyai kepastian hukum dan mengikat kepada siapa saja akta tersebut ditujukan. Dengan kekuatan pembuktian formil ini, memberikan kepastian bahwa segala sesuatu kejadian dan fakta yang tertuang dalam akta tersebut memang benar dilakukan atau diterangkan oleh penghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur pembuatan akta yang telah ditentukan. Pada akta di bawah tangan, tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil kecuali bila menandatangani akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya.57 c. Kekuatan pembuktian materil 56 57 G. H. S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 56. G. H. S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 56. pihak yang 63 Akta otentik memberikan bukti yang sempurna mengenai segala apa yang menjadi pokok isi dari akta itu, dianggap, dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya.58 Pembuktian materil suatu akta adalah terletak pada kebenaran isi akta tersebut, maksudnya adalah bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang membuat akta. Perkataan/keinginan/perbuatan penghadap atau pihak yang dituangkan dalam akta berlaku sebagai yang benar. Akta otentik tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang dituliskan disitu, tetapi juga bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.59 Demikian pula pada akta-akta yang dibuat dihadapan Notaris, mempunyai kekuatan pembuktian materil oleh karena peristiwa atau perbuatan hukum yang dinyatakan oleh para pihak dan dikonstatir oleh Notaris dalam akta itu adalah benar-benar terjadi dan akta notaris sebagai akta otentik yang berupa akta para pihak, maka isi dan keterangan ataupun perbuatan hukum yang tercantum dalam akta itu berlaku terhadap pihak-pihak yang memberikan keterangan itu dan untuk keuntungan serta kepentingan siapa akta itu diberikan. Apabila terdapat kekeliruan atau kepalsuan dari keterangan yang tertuang dalam akta notaris tersebut, maka kekeliruan dan kepalsuan itu menjadi tanggung jawab para pihak yang memberikan keterangan. Akta pihak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak dan mereka yang memperoleh hak daripadanya. 58 59 G. H. S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 56. Habib Adjie (buku I), Op. Cit., hal. 27 64 Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.60 Karakter yuridis akta notaris adalah akta notaris merupakan keinginan atau kehendak dari para pihak yang datang menghadap Notaris, tanpa adanya keinginan seperti itu, akta notaris tidak akan pernah dibuat. Hal ini berarti pula isi akta tersebut merupakan tanggungjawab para pihak, Notaris hanya memberikan penjelasan kepada para penghadap, agar tindakannya yang dituangkan dalam akta sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Jika akta notaris yang berangkutan, dirasakan tidak sesuai oleh para pihak atau harus diubah sesuai keadaan, maka para pihaklah yang dapat membatalkan isi akta bersangkutan, maka para pihak harus datang kembali ke Notaris untuk membatalkan akta notaris tersebut. Akta Notaris sesuai dengan undang-undang terbagi dalam dua golongan yaitu akta yang dibuat oleh Notaris dinamakan juga akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten) dan akta yang dibuat dihadapan Notaris disebut juga akta partij (partij akten). Walaupun dari penggolongan ini terdapat perbedaan, dalam hal pembuktian kedua golongan akta ini mempunyai kekuatan pembuktian yang sama sebagai akta otentik yaitu terkuat dan terpenuh. 60 Habib Adjie (buku I), Op. Cit., hal. 28. 65 2.1.3. Rahasia Jabatan Notaris dan Pelanggarannya Jabatan Notaris dalam proses pembangunan sangat dibutuhkan oleh masyarakat guna memperoleh perlindungan demi tercapainya kepastian hukum. Salah satu bentuk perlindungan tersebut antara lain Notaris wajib untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan/pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta, kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Telah menjadi asas hukum publik bahwa seorang pejabat umum, sebelum menjalankan jabatannya dengan sah harus terlebih dahulu mengangkat sumpah (di ambil sumpahnya). Selama hal tersebut belum dilakukan, maka jabatan itu tidak boleh atau tidak dapat dijalankan dengan sah.61 Mengenai sumpah/janji dalam pelaksanaan jabatan Notaris diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris sebelum menjalankan jabatannya, mengucapkan sumpah/janji, menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk dan janjijanji antara lain bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Kewajiban merahasiakan ini lebih luas karena meliputi keterangan yang diperoleh Notaris dalam pelaksanaan jabatannya, karena jabatan yang dipangku oleh Notaris adalah jabatan kepercayaan dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepercayaan kepadanya. 61 G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit., hal 114 66 Kewajiban menyimpan atau memegang rahasia ini dapat pula diketahui dari Pasal 4 ayat (2) poin ke-4 Sumpah Jabatan Notaris menyatakan; bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaskanaan jabatan, selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan ini, etika profesi juga memberikan kewajiban bagi kaum profesional hukum sebagai aparat atau pejabat untuk memegang teguh rahasia profesi, menghormati martabat negara, pemerintah serta menghormati wibawa peradilan.62 Oleh karena itu secara etika pula tidak dibenarkan kaum profesional hukum membuka rahasia yang diberitahukan, dipercayakan dan diperolehnya, dari kliennya. Oleh karena itu, Notaris dalam menjalankan jabatannya, berkewajiban merahasiakan akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-Undang Jabatan Notaris. Ditegaskan pula dalam penjelasan huruf e bahwa kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut. Sudah menjadi kewajiban Notaris untuk mempertahankan rahasia jabatan tersebut karena jika melakukan pelanggaran terhadap Pasal tersebut dapat dikenai sanksi dalam Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris. Pelanggaran terhadap kewajiban menjaga kerahasiaan jabatan dapat mengakibatkan notaris dikenakan sanksi oleh Majelis Pengawas Notaris, hal 62 Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., hal 32 67 ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris antara lain : a. b. c. d. e. teguran lisan; teguran tertulis; pemberhentian sementara; pemberhentian dengan hormat; pemberhentian dengan tidak hormat oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat. Berdasarkan ketentuan yang di atur dalam Pasal 4 tersebut, Notaris yang diangkat itu sebelum mengangkat sumpah tidak diperkenankan untuk melakukan suatu pekerjaan yang termasuk dalam bidang Jabatan Notaris. Sebelum diadakan sumpah jabatan bagi seorang Notaris, tidak berhak untuk membuat akta otentik. Apabila seorang Notaris melanggar ketentuan tersebut, maka selain dikenakan sanksi, akta yang dibuat oleh Notaris tersebut tidak akan mempunyai sifat otentik melainkan hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan, apabila di tandatangani oleh para pihak. Pasal 322 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya ditulis KUHP) juga menyatakan bahwa, barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang ia wajib menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaannya, baik sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 9 (sembilan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 600,- (enam ratus rupiah). Apabila akibat dibukanya rahasia seseorang oleh Notaris atau karyawan Notaris, sehingga menjadi diketahui oleh masyarakat dan mengakibatkan kerugian bagi orang yang bersangkutan, maka Notaris tersebut dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa 68 kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Kewajiban Notaris berdasarkan Pasal 4 dan 16 huruf e UndangUndang Jabatan Notaris, Pasal 332 ayat (1) KUHP serta Pasal 1365 KUHPerdata yang telah dijabarkan di atas, maka sudah jelas bahwa Notaris harus merahasiakan yang berhubungan dengan jabatannya. Notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi aktanya, bahkan Notaris wajib merahasiakan semua keterangan mulai dari persiapan pembuatan akta hingga selesainya pembuatan suatu akta. 2.2. Tinjuan Umum Tentang Deposito Dalam Perbankan 2.2.1. Konsep-konsep Deposito Dan Dasar Hukum Deposito Dalam Perbankan. Pengertian deposito secara umum diartikan sebagai simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dan bank yang bersangkutan.63 Definisi deposito menurut perbankan adalah suatu simpanan uang pada bank dengan jangka waktu tertentu oleh badan hukum atau perorangan yang mendapat bunga tiap-tiap bulan dalam jumlah yang tetap.64 Simpanan deposito pada saat ini digemari oleh para pengusaha karena mempunyai kekuatan untuk dijadikan jaminan kredit.65 Keuntungan lainnya adalah ; 63 Hermansyah, Op. Cit., hal. 47 Sigit Trihartono, 1996, Masalah Perbankan, Cetakan ke-2, CV. Aneka, Solo, hal. 92 65 Ibid., hal. 93 64 69 (a). Bank Indonesia menjamin sepenuhnya pembayaran kembali nominal deposito pada tanggal pelunasannya; (b). Pemerintah tidak akan mengusut asal-usul uang yang didepositokan; (c). Bank-bank penyelenggara tabungan deposito akan memegang teguh rahasia pada pemegang deposito/rahasia perbankannya.66 Berdasarkan Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Pemilikan atas deposito ini dibuktikan dengan suatu surat yang dikenal dengan bilyet deposito. Berdasarkan Pasal tersebut, deposito dikategorikan sebagai bentuk simpanan dana oleh nasabah penyimpan (deposan) kepada pihak bank, dimana berdasarkan perjanjian antara keduanya, dana itu dapat ditarik kembali oleh nasabah setelah jangka waktu tertentu. Sehubungan dengan pengertian-pengertian di atas, maka dapat terlihat 2 (dua) unsur yang terkandung dalam deposito, yaitu : 1. Penarikan hanya dapat dilakukan dalam waktu tertentu, yang berarti bahwa penarikan simpanan dalam bentuk deposito hanya dapat dilakukan oleh si penyimpan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah penyimban dengan bank; 2. Cara penarikan, dalam hal ini apabila batas waktu yang tertuang dalam perjanjian deposito tersebut telah jatuh tempo, maka si penyimpan dapat 66 Ibid. 70 menarik deposito tersebut atau memperpanjang dengan suatu waktu yang diinginkannya67. Deposito merupakan simpanan atau penyerahan dana oleh nasabah untuk disimpan pada bank, dimana mengandung pengertian bahwa bank yang menerima simpanan berhak untuk memakai dana tersebut untuk keperluan pemenuhan keuangan operasinal bank, sedangkan hak bagi nasabah penyimpan dana (deposan) adalah menerima bunga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan giro atau jenis simpanan lainnya. Dalam praktek perbankan berlaku ketentuan bahwa nasabah penyimpan dana yang menyimpan dananya kepada bank dilakukan bukan dengan cuma-cuma, artinya nasabah berhak untuk menerima bunga atas dana yang disimpan pada bank tersebut.68 Mengenai suku bunga deposito dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 22/65/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 22/135/UPG tertanggal 1 Desember 1989 yang merupakan salah satu kebijaksanaan dari Paket Desember 1989, maka semua bank dibebaskan untuk mengatur sendiri ketentuan dan suku bunga bagi deposito masing-masing sesuai dengan kebutuhan. Sebelumnya bank milik pemerintah dalam menjalankan kegiatan penghimpunan dana melalui deposito diatur secara ketat dalam hal ketentuan dan suku bunganya yaitu sesuai dengan Ketentuan Instruksi Presiden Nomor 28 tahun 1968 yang diatur lebih lanjut tentang suku bunganya dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 5/4/KEP/DIR tertanggal 31 Mei 1972 dan kemudian diubah 67 68 Hermansyah, Op. Cit., hal 47 Lukman Santoso AZ, Op., Cit., hal. 94 71 dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 22/65/KEP/DIR, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/UPUM tertanggal 1 Juni 1983. Pemerintah tidak akan mengadakan pengusutan untuk keperluan pajak mengenai asal usul uang yang disimpan dalam bentuk deposito, akan tetapi atas bunganya pemerintah memungut pajak sebagai pajak penghasilan sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 1971 tentang Pajak atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito, dan Tabungan, beserta peraturan pelaksanaannya berupa Keputusan Menteri Keuangan nomor 1287/KMK.04/1991 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito dan Tabungan. Manfaat memiliki deposito bagi masyarakat yang mempercayai dananya pada bank, adalah pemilik dapat menghimpun kekayaan secara diam-diam (silent Find Raising) tanpa susah payah melakukan kegiatan usaha, sedangkan keuntungan bagi bank adalah penyediaan likuiditas untuk penarikan dana dapat diperhitungkan dan diperkirakan secara akurat. Pemilik deposito (deposan) dapat menarik bunga atas simpanan deposito secara tunai setiap jangka waktu tertentu ataupun ditransfer ke suatu rekening deposan. Untuk kemudahan, Nasabah biasanya juga membuka rekening tabungan untuk menampung bunga atas deposito tersebut yang telah jatuh tempo dan tidak diperpanjang lagi. Selain itu, bunga dari simpanan deposito dapat juga langsung dicairkan dan ditambahkan secara otomatis kedalam simpanan deposito milik nasabah tanpa harus dimasukkan kedalam rekening tabungan. 72 2.2.2 Macam-macam Deposito Dalam Perbankan Perkembangan yang demikian pesat di bidang perbankan tidak terlepas dari peran nasabah penyimpanan atau masyarakat yang menyimpan dananya pada bank. Jenis simpanan dalam bentuk deposito lebih disenangi oleh masyarakat atau nasabah penyimpan. Macam-macam deposito antara lain; a) Deposito Berjangka Pemerintah memperkenalkan deposito berjangka secara serentak pada tanggal 15 September 1968 berdasarkan Instruksi Presiden Nomor:28/1968. Deposito ini dikenal dengan Deposito Berjangka untuk pembangunan. Latar belakang dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor: 28 tahun 1968 adalah untuk lebih memanfaatkan perkreditan serta dana-dana dari kalangan masyarakat untuk mensukseskan stabilitas dan pembangunan ekonomi. Muhamad Djumhamad memberikan definisi deopsito berjangka adalah simpanan yang mempunyai tanggal jatuh tempo yang telah ditetapkan, dibuktikan dengan instrumen tertulis, dan menghasilkan bunga yang tetap bagi nasabah selama usia kontrak. Dengan demikian, apabila waktu yang ditentukan telah habis, deposan dapat menarik depositonya atau memperpanjang dengan suatu periode yang dibutuhkan.69 Deposito merupakan simpanan dana dari masyarakat kepada bank mempunyai karakteristik, antara lain; 1. Surat berharga yang diterbitkan oleh bank berdasarkan atas nama, sehingga tidak dapat diperjual-belikan; 69 Muhamad Djumhana, Op., Cit., hal. 357 73 2. Jangka waktu penarikannya telah ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan yang diperjanjikan; 3. Bunga dibayar setiap bulan pada hari bayarnya atau sekaligus pada saat jatuh tempo; 4. Dapat dijadikan jaminan kredit; 5. Penyerahan hak cukup dengan cara cessie.70 Deposito Berjangka diadakan dengan tujuan untuk memberikan bimbingan pada masyarakat agar tidak begitu saja menghabiskan pendapatannya hanya untuk keperluan makan dan pakaian, tetapi juga agar memanfaatkan jumlah pendapatan yang terbatas tersebut untuk kepentingan yang lebih berguna. Selain itu dengan gerakan ini diharapkan agar lebih memperkenalkan bank kepada masyarakat umum. b) Sertifikat Deposito Sertifikat deposito merupakan salah satu jenis simpanan dana masyarakat. Menurut Hermansyah, Pengertian sertifikat deposito adalah simpanan berjangka atas pembawa atau atas tunjuk, yang dengan izin Bank Indonesia dikeluarkan oleh bank sebagai bukti simpanan yang dapat diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.71 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, dikemukakan bahwa yang dimaksud Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan. Bunga yang ditetapkan oleh setiap bank yang menerbitkan sertifikat deposito berbeda satu dengan lain, karena tergantung dari kemampuan dan 70 Johannes Ibrahim, 2004, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif, Cetakan Pertama, Bandung, CV. Utomo, hal. 87 71 Hermansyah, Op.Cit., hal. 48 74 kebutuhan bank yang bersangkutan atas dana yang ingin ditarik dari masyarakat. Dengan demikian sertifikat deposito adalah simpanan dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank mempunyai karakteristik, antara lain; 1. Surat berharga yang ditertibkan oleh bank berdasarkan atas tunjuk/pembawa, sehingga dapat diperjual-belikan; 2. Merupakan instrumen pasar uang; 3. Jangka waktu dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan; 4. Bunga dapat dibayar (diskonto) atau dapat pula dibayarkan dibelakang pada saat jatuh tempo; 5. Dapat dijadikan jaminan kredit; 6. Jangka waktunya minimal 1 (satu) bulan dan maksimal 24 bulan; 7. Nilai nominal minimal Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).72 c) Simpanan Deposito On Call Simpanan deposito on call merupakan deposito dengan jangka waktu yang relatif pendek.73 Umumnya jangka waktu minimal 7 hari dan paling lama kurang dari satu bulan. Deposito On Call dapat diterbitkan atas nama baik perorangan maupun lembaga dan biasanya dalam jumlah yang besar. Dengan demikian karekteristik dari deposito On Call antara lain : 1. Surat berharga yang ditertibkan oleh bank berdasarkan atas nama, sehingga tidak dapat diperjual-belikan; 2. Jangka waktu penarikannya telah ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan yang diperjanjikan; 3. Bunga dibayar setiap bulan pada hari bayarnya atau sekaligus pada saat jatuh tempo; 4. Dapat dijadikan jaminan kredit; 5. Penyerahan hak cukup dengan cara cessie.74 Pemerintah memungut pajak dari bunga simpanan deposito sebagai pajak penghasilan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No: 74 tahun 1971 72 Johannes Ibrahim, Op.Cit., hal 88 Hermasyah Op. Cit, hal. 89 74 Hermasyah Op. Cit., hal. 87 73 75 tentang Pajak atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito, dan Tabungan. Dengan memiliki deposito seperti ini, pemilik dapat menghimpun kekayaan secara diam-diam (silent Find Raising) tanpa susah payah melakukan kegiatan usaha, sedangkan keuntungan bagi bank adalah penyediaan likuiditas untuk penarikan dana dapat diperhitungkan dan diperkirakan secara akurat. 2.2.3. Deposito sebagai jaminan dalam pemberian Kredit Dalam Perbankan Bank sebagai lembaga keuangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam peningkatan di bidang ekonomi, hal ini ditandai dengan meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat yang berdampak langsung terhadap peningkatan usaha dan kebutuhan manusia yang semakin tinggi, namun peningkatan tersebut tidak selalu diikuti oleh kemampuan finansial dari pelaku ekonomi. Salah satu cara yang dilakukan pelaku ekonomi untuk memenuhi kebutuhan finansialnya adalah dengan cara meminjam dana atau modal yang dikenal dengan istilah kredit, baik melalui bank umum pemerintah maupun melalui bank umum swasta. Kredit yang dipinjamkan oleh bank kepada masyarakat sumber dananya bukan hanya dari dana milik Bank sendiri, karena modal perbankan juga sangat terbatas, tetapi merupakan dana-dana masyarakat yang disimpan dalam bank tersebut, sehingga perbankan berlomba-lomba menarik dan mengumpulkan dana masyarakat. Dana masyarakat yang disimpan pada bank pada umumnya dalam bentuk tabungan, deposito,Giro, sertifikat deposito dan lain-lain. 76 Manfaat deposito berjangka bila ditinjau dari segi bank, adalah merupakan salah satu kegiatan bank untuk mengumpulkan dana (uang) yang berlebih yang diperlukan bank dalam menunjang kegiatan pokoknya yang berupa pemberian kredit kepada masyarakat, karena dana deposito cenderung mengendap sampai waktu jatuh tempo meskipun biayanya tinggi 75 . Jika deposito ini ditinjau dari segi dana yang terdapat dalam suatu negara, maka tujuan utamanya adalah untuk lebih memanfaatkan perkreditan dan mensukseskan pelaksanaan stabilitas dan pembangunan ekonomi, dalam tujuan ini ditekankan bahwa dana-dana itu hendaknya dari kalangan masyarakat. Keuntungan yang diperoleh bank, dengan semakin banyaknya masyarakat menyimpan uangnya dalam bentuk deposito adalah dengan dana deposito bank mempunyai kepastian tentang kapan dana itu akan ditarik sehingga pihak bank dapat mengantisipasi kapan harus menyediakan dana dalam jumlah tertentu, maka bank harus membayar dana ini dengan tingkat bunga yang relatif lebih besar dibandingkan dengan simpanan dalam bentuk yang lain. Sedangkan dari sisi deposan dan nasabah, cenderung lebih menyukai menyimpan kelebihan dananya dalam bentuk deposito berjangka sesuai dengan jangka waktu yang diinginkannya karena simpanan ini menawarkan tingkat bunga yang relative lebih tinggi. Perkembangan pemberian jaminan kredit yang cukup positif dalam praktek perbankan saat ini adalah pemberian jaminan berupa deposito berjangka maupun dengan sertipikat deposito. Deposito berjangka adalah 75 Muhamad Djumhana, Op. Cit., hal. 357 77 produk penempatan dana yang aman dan menguntungkan yang tersedia dalam jangka waktu 1, 3, 6 dan 12 bulan dengan tingkat bunga yang relative lebih tinggi. Untuk mengakomodir demand pemberian jaminan dalam bentuk deposito berjangka tersebut, Bank menciptakan suatu produk kredit yang cukup ekslusif dengan nama Kredit dengan Jaminan Deposito yang lazimnya disebut kredit back to back. Para pihak yang terlibat dalam pengikatan kredit dengan jaminan deposito berjangka yaitu Pihak Bank/kreditur, pihak peminjam/debitur, pihak pemilik agunan, biasanya pemilik agunan adalah debitur. Pemberian kredit dengan jaminan deposito umumnya dapat dijadikan jaminan tunggal dalam mendapatkan fasilitas kredit dalam arti tidak dibutuhkan jaminan tambahan sepanjang jumlah kredit yang diajukan tidak melebihi jumlah deposito. Apabila jumlah kredit yang dimohonkan oleh calon debitur melebihi jumlah deposito, maka Bank menghendaki adanya jaminan tambahan, umumnya jaminan tambahan itu berupa sertifikat bidang tanah tertentu milik pemohon (calon debitur). 2.3 Tinjuan Umum Tentang Rahasia Bank 2.3.1 Pengertian dan Ruang lingkup dari Rahasia Bank Istilah Rahasia Bank di kenal di negara manapun di dunia ini yang mempunyai lembaga keuangan bank. Rahasia bank tidak bedanya dengan rahasia yang harus di pegang teguh oleh para professional seperti Dokter yang wajib merahasiakan hal-hal yang menyangkut penyakit pasiennya. Bahkan kalau rahasia di maksud tidak di pegang teguh dan dibocorkan kepada pihak lain, maka atas tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi, baik perdata 78 maupun pidana. Ketentuan rahasia bank di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Perbankan. Semakin berkembangnya lembaga perbankkan saat ini, dikarenakan adanya prinsip kerahasiaan yang dipegah teguh oleh bank yang dikenal dengan istilah rahasia bank. Kerahasiaan informasi dalam kegiatan perbankkan pada dasarnya untuk kepentingan bank itu sendiri, sebab sebagai lembaga keuangan, bank harus mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Kepercayaan masyarakat itu akan lahir apabila semua data hubungan masyarakat dengan bank tersebut dapat tersimpan dan dirahasiakan. Hal ini membawa konsekuensi kepada bank, yaitu bank berkewajiban untuk menjaga rahasia tersebut, sebagai timbal balik dari kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada bank selaku lembaga keuangan pengelola keuangan atau sumber dana masyarakat. Ada anggapan sebahagian orang bahwa kerahasiaan bank bisa merugikan masyarakat, nasabah nakal bisa berlindung pada ketentuan rahasia bank. Kerahasiaan bank harus di buka untuk kepentingan para penitip dana dan sebagainya. Sedangkan di pihak lain menghendaki dan menegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank karena masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila dari pihak bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan. Masyarakat akan mempercayai bank dengan adanya jaminan kerahasian atas semua data masyarakat dalam hubungannya dengan bank, selanjutnya mayarakat akan mempercayakan uangnya pada bank atau 79 memanfaatkan jasa bank. Kepercayaan masyarakat lahir apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak disalahgunakan. Adanya ketentuan rahasia bank tersebut mewajibkan bank memegang teguh rahasia bank. Kewajiban memegang teguh rahasia bank berlaku pula bagi pihak terafiliasi dalam operasional bank. Dasar hukum dari ketentuan rahasia bank di Indonesia mula-mula adalah Undang-Undang nomor Tahun 1992 tentang Perbankan tetapi kemudian telah di ubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Pengertian rahasia bank oleh Undang-undang nomor 7 Tahun 1992 diberikan oleh Pasal 1 ayat (16) yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut : Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Pengertian ini telah di ubah dengan pengertian baru yang diatur dalam Pasal 1 ayat (28) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan,yaitu Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya. Selain memberikan rumusan dari pengertiannya, Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan juga memberikan rumusan mengenai siapa saja yang wajib memegang rahasia bank, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1), yaitu Bank wajib merahasiakan keteranagn mengenai Nasabah Penyimpan dan simpananya, kecuali dalam hal sebagaimana di maksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44 A. Ayat (2) 80 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maksud dari kata-kata segala sesuatu yang berhubungan dengan dalam definisi tersebut, dalam penjelasan Pasal 1 angka 28 hanya disebut cukup jelas. Namun Penjelasan dalam Pasal 40 ayat (1) adalah apabila nasabah bank adalah Nasabah penyimpanan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukanya sebagai Nasabah Penyimpan. Dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan pula bahwa keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank. Berdasarkan uraian di atas, kiranya dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan keterangan adalah informasi, sehingga yang wajib dirahasiakan oleh bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpananya, seperti kapan simpanan ditempatkan, simpanan ditempatkan dengan tunai atau melalui transfer atau dengan menyetor cek/bilyet giro dan sebagainya. 2.3.2 Pihak-Pihak Berkewajian Memegang Teguh Rahasia Bank Pihak-pihak yang wajib memegang teguh rahasia bank menurut Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, berkewajiban memegang teguh rahasia bank ialah: yang Anggota Dewan Komisaris Bank, Anggota Direksi Bank, Pegawai Bank, Pihak terafiliasi lainnya dari bank. 81 Menurut Pasal 1 butir 22 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang dimaksudkan dengan pihak terafiliasi ialah: a. anggota dewan komisaris, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank; b. anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, Pejabat atau karyawan Bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya; d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa di satu pihak kepentingan masyarakat menghendaki supaya kewajiban rahasia bank dipegang teguh oleh perbankan, namun di pihak lain jangan sampai untuk hal-hal tertentu kepentingan masyarakat tersisihkan justru apabila kewajiban rahasia bank itu dilaksanakan dengan teguh. Untuk keperluan itu, masyarakat justru menginginkan agar untuk hal-hal tertentu kewajiban rahasia bank itu hendaknya dapat dikecualikan. Pengecualian untuk membuka rahasia bank diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dalam pasal 40 ayat (1) yaitu; 1. Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian kepada pejabat pajak berdasarkan perintah Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan (Pasal 41). 2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara dapat diberikan pengecualian kepada pejabat Badan Urusan Piutang Dan 82 Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara atas izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 41A). 3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dapat diberikan pengecualian kepada polisi, jaksa atau hakim atas izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 42). 4. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 43). 5. Dalam rangka tukar-menukar informasi di antara bank kepada bank lain dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 44). Termasuk di dalam pengertian tukar menukar informasi antar bank itu adalah dalam penggunaan ATM bersama. 6. Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan secara tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 44A ayat (1)). 7. Ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia (Pasal 44A ayat (2)). Sehubungan dengan pengecualian tersebut di atas, apabila pihakpihak lain (selain yang telah ditentukan sebagai pihak-pihak yang boleh memperoleh pengecualian) meminta penjelasan mengenai keadaan keuangan suatu nasabah dari suatu bank, jelas jawabannya adalah tidak boleh. Misalnya saja, apabila Dewan Perwakilan Rakyat (yang notabene adalah lembaga tinggi negara yang mewakili rakyat atau kepentingan umum, dengan demikian segala tindakannya tentu dilandasi oleh kepentingan umum) 83 menghendaki agar bank dalam suatu sidang dengar pendapat mengungkapkan tentang nasabah penyimpan atau simpanannya, maka bank tidak boleh memberikan keterangan yang demikian itu. 2.3.3. Teori Rahasia Bank dan Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Bank sebagai suatu lembaga keuangan yang berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, sudah sepatutnya menerapkan ketentuan rahasia bank secara konsisten dan bertanggungjawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melindungi kepentingan nasabahnya. Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi nasabah penyimpan dan simpananya, sebab apabila masyarakat penyimpan tidak mempercayai bank tersebut maka masyarakat penyimpan tidak akan menyimpan uangnya pada bank tersebut. Ada 2 teori tentang rahasia bank yang dikemukakan oleh Muhammad Djumhana, dalam bukunya Hukum Perbankan di Indonesia, yaitu : rahasia bank yang bersifat mutlak dan rahasia bank yang bersifat nisbi.76Teori rahasia bank bersifat mutlak, yaitu bahwa bank berkewajiban menyimpan rahasia nasabah yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apapun, biasa atau dalam keadaan luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan kepentingan indivudu, sehingga kepentingan Negara dan masyarakat sering terabaikan. Teori ini dianut oleh bank-bank Swiss. Pengertian teori rahasia bank bersifat nisbi, yaitu bahwa bank diperbolehkan membuka rahasia nasabahnya jika untuk suatu kepentingan 76 Muhammad Djumhana, Op.Cit., hal. 172 84 mendesak77, misalnya demi kepentingan Negara. Teori ini banyak dianut oleh negara-negara di dunia dalam sistem perbankan mereka. Rahasia bank harus tetap dilaksanakan tetapi prinsip tersebut secara hukum tidak terlalu sulit untuk diterobos. Ada pengecualian yang harus dipegang pula disamping adanya tuntutan pelaksanaan rahasia bank secara konsisten dan bertanggung jawab oleh bank. Teori rahasia bank dalam lembaga perbankan secara umum dapat diberlakukan secara mutlak dan relatif. Negara-negara didunia pun menganut prinsip kerahasiaan tersebut sebagai sebuah kelaziman dalam dunia perbankan. Bagi negara-negara yang menganut rahasia bank yang bersifat mutlak maka dunia perbankan menjadi tempat yang sangat menguntungkan bagi nasabah untuk menyimpan dananya. Disebabkan karena rahasia bank betul-betul dipegang teguh, dan rahasia bank sangat sulit untuk dapat dibuka. Keuntungan bank yang menganut prinsip teori mutlak adalah terjaminnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga perbankan sehingga roda kehidupan sebuah bank akan lancar bergulir. Akan tetapi prinsip tersebut juga membawa dampak negatif yaitu dapat digunakannya lembaga perbankan sebagai sarang kejahatan. Bank dapat disalahgunakan untuk menampung dana-dana masyarakat dengan asal usul yang kurang jelas dan yang pasti dengan perlindungan yang sangat kuat atau mutlak tersebut peluang untuk menyembunyikan kekayaan seseorang dari target pemeriksaan dibidang perpajakan akan sulit sekali ditembus78. 77 78 Muhamad Djumhana, Loc.Cit., Muhamad Djumhana, Op.Cit., hal 173 85 Bagi Negara yang menganut prinsip rahasia bank yang diberlakukan secara relatif atau secara moderat, maka dunia perbankan dalam operasioanal dapat memberikan informasi kerahasian dengan pengecualian. Sebagaimana telah disebutkan pada uraian teori rahasia bank secara relatif bahwa prinsip ini melindungi nasabah disertai dengan perkecualian yang lebih mudah untuk ditembus. Ketika seorang nasabah didapati atau diduga sebagai wajib pajak yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan, maka masih dimungkinkan adanya akses yang diberikan kepada petugas pemeriksa pajak untuk menikmati penerobosan rahasia bank sehingga terbuka pintu untuk mendapatkan segala informasi yang diperlukan dalam rangka melakukan pemeriksaan terhadap kebenaran pembayaran pajak seseorang. Pembukaan rahasia bank dengan prinsip ini cenderung lebih mudah dilakukan dan biasanya Negara menyediakan prosedur yang tidak terlalu rumit. Sisi positif dari rahasia bank yang diberlakukan secara relatif, adanya pemberian data dan imformasi yang menyangkut kerahasian bank pada pihak lain dimungkinkan. Sedangkan sisi negatif yang terjadi pada rahasia bank yang mudah dibuka adalah adanya kemungkinan turunnya kuantitas dana masyarakat yang diserahkan pada bank dan dalam jangka panjang tentu akan mempengaruhi kehidupan lembaga perbankan di suatu negara. Masyarakat tertentu akan lebih memilih untuk menyimpan dananya ke negara lain yang lebih menguntungkan bagi nasabah. Prinsip atau teori yang mendasari ketentuan rahasia bank di Indonesia, yaitu prinsip atau teori yang bersifat relatif79, hal ini dapat dilihat dengan 79 Muhamad Djumhana, Op.Cit., hal. 174 86 adanya pengecualian dalam ketentuan rahasia bank memungkinkan untuk kepentingan tertentu suatu badan atau instansi diperbolehkan meminta keterangan mengenai keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan pengecualian rahasia bank ini diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat di ketahui bahwa pada dasarnya rahasia bank menjadi perlindungan bagi nasabah penyimpan yaitu, sebagai sebuah jaminan yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabahnya baik secara mutlak ataupun relatif, dalam rangka menjaga kepercayaan nasabah yang juga mempercayakan dananya kepada bank (timbal balik). Meskipun pada awalnya kelahiran rahasia bank lebih banyak untuk kepentingan bank itu sendiri. 87 BAB III KEDUDUKAN NOTARIS DALAM PENGIKATAN DEPOSITO BERKAITAN DENGAN RAHASIA BANK 3.1 Jaminan Kredit Dalam Perbankan Salah satu fungsi bank dalam kegiatan usaha perbankan adalah berupa pemberian kredit. Definisi pemberian kredit menurut de Wet op het consumptief geld-krediet adalah penyerahan secara langsung atau tidak langsung sejumlah uang atau sejumlah yang mempunyai nilai uang kepada orang dengan kewajiban untuk mengembalikan sejumlah uang atau sejumlah yang mempunyai nilai uang80. Pemberian kredit merupakan pemberian pinjaman uang oleh bank kepada anggota masyarakat, yang umumnya disertai dengan penyerahan jaminan kredit oleh debitur (peminjam). Jaminan kredit yang diterima bank dari debitur termasuk sebagai salah satu obyek yang berkaitan dengan kepentingan bank. Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik dan berharga sehingga akan dapat memenuhi fungsifungsinya, antara lain dengan memperhatikan aspek hukum yang terkait termasuk aspek hukum jaminan. Sehubungan dengan hukum jaminan, ada beberapa sarjana yang mendefinisikan mengenai hukum jaminan, yaitu; menurut M. Bahsan, hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan penjaminan dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang 80 53 F. Molenaar, 1985, Krediet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, hal. 88 terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.81Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang.82 Definisi ini difokuskan pada pengaturan hakhak kreditur semata-mata, tetapi juga erat kaitannya dengan debitur. Sedangkan yang menjadi objek kajiannya adalah benda jaminan; Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.83 Dengan demikian Unsur-unsur yang tercantum di dalam definisi hukum jaminan adalah : 1. Adanya kaidah hukum Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan. 81 M. Bahsan, 2008, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 3 82 J. Satrio, 2007, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 3 83 Salim HS, 2008 , Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 6. 89 2. Adanya pemberi dan penerima jaminan Orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan disebut pemberi jaminan, yang bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut dengan debitur. Sedangkan penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan, yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah orang atau badan hukum. Badan hukum adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan nonbank. 3. Adanya jaminan Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan jaminan nonkebendaan. 4. Adanya fasilitas kredit Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan nonbank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan nonbank dapat memberikan kredit kepadanya. Pemahaman tentang hukum jaminan sebagaimana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sangat diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan 90 penyerahan jaminan kredit dapat mengamankan kepentingannya, antara lain bagi bank sebagai pihak pemberi kredit. Peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan hukum jaminan antara lain adalah KUHPerdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, sedangkan yang berupa undang-undang, misalnya Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserata Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya Undang-Undang Hak Tanggungan) yang termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1996 nomor 42 dan Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya ditulis Undang-Undang Fidusia) yang termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 nomor 168. Jaminan merupakan kebutuhan kreditur untuk memperkecil risiko apabila debitur tidak mampu menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan dengan kredit yang telah dicairkan. Dengan adanya jaminan ini, apabila debitur tidak mampu membayar, maka kreditur dapat memaksakan pembayaran atas kredit yang telah diberikannya84. Terhadap jaminan ini akan timbul masalah manakala seorang debitur memiliki lebih dari seorang kreditur di mana masing-masing kreditur menginginkan haknya didahulukan. Hukum mengantisipasi keadaan demikian dengan membuat jaminan yang secara khusus diperjanjikan dengan hak-hak istimewa seperti hak tanggungan, fiducia, gadai, maupun cessie piutang. Kreditur yang memegang hak tersebut memiliki hak utama untuk mendapatkan pembayaran kredit seluruhnya dari 84 Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, hal. 67. 91 hasil penjualan benda jaminan. Apabila terdapat kelebihan dalam penjualan benda jaminan terebut dapat diberikan kepada kreditur lain. Dasar hukum jaminan dalam pemberian kredit perbankan adalah Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa : Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan yang dimaksud adalah bahwa bank wajib melakukan analisa kredit atas permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitur, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur serta menerapkan pedoman perkreditan dalam melaksanakan perkreditannya. Sehubungan dengan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemberian kredit tersebut, maka dalam menerima jaminan kredit hendaklah memenuhi 2 (dua) kriteria yaitu Marketable dan Secured. 1. Marketable, artinya bila jaminan tersebut hendak dieksekusi, dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur. 2. Secured, artinya jaminan kredit mengikat secara yuridis formal sehingga apabila suatu hari nanti nasabah debitur melakukan wanprestasi (cedera 92 janji), maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.85 Jaminan kredit dalam praktik dunia perbankan terdiri dari jaminan perorangan dan jaminan kebendaan.86 1. Jaminan Perorangan Jaminan perorangan dalam Pasal 1820 KUHPerdata disebut sebagai penanggungan utang. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jaminan perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan pihak si berpiutang (kreditur), mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang tersebut tidak memenuhinya. Pelaksanaan perjanjian selalu dibuat oleh pihak ketiga yang menjamin terpenuhnya kewajiban membayar kredit tersebut, baik diketahui maupun tidak diketahui oleh debitur. Dengan adanya pihak ketiga sebagai penjamin, apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka pihak ketiga inilah yang akan melaksanakan kewajibannya. Perlindungan hak terhadap pihak ketiga dalam menjalankan kewajibannya tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1831 yang berbunyi : “Si penanggung (pihak ketiga) tidaklah wajib membayar kepada si berpiutang selain jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.” Dalam praktiknya, bank tetap meminta pihak ketiga untuk melepas hak tersebut. Sehingga apabila debitur wanprestasi, bank dapat 85 Irma Devita Purnamasari, 2011, Hukum Jaminan Perbankan, Bandung, Kaifa, hal 20 86 Ibid., hal. 3 93 segera melakukan penagihan langsung kepada pihak ketiga. Tujuan pelepasan hak tersebut agar pihak bank lebih mudah mendapatkan hak pembayaran kreditnya. Bank juga mengantisipasi kendala penarikan pembayaran yang bisa jadi karena harta benda yang dimiliki debitur tidak marketable seperti yang diharapkan. 2. Jaminan Kebendaan Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu, berupa bagian dari harta kekayaan debitur atau penjamin sehingga memberikan kedudukan preference (diutamakan) kepada kreditur lainnya atas benda tersebut. Jadi jika debitur wansprestasi (kredit macet) ada benda yang cecara khusus untuk dijual oleh kreditur agar dapat melunasi utang debitur tersebut.87 Adapun jaminan kebendaan terdiri dari : a. Barang tidak bergerak (barang tetap), menurut sifatnya adalah benda yang karena kodrat benda yang bersangkutan memang tidak bisa dipindahkan.88 Benda atau barang tidak bergerak dapat berupa tanah dan benda-benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, seperti bangunan dan tanaman yang ditanam diatas tanah dan tidak mudah dipindah-pindahkan. Jenis jamian ini dibebani dengan Hak Tanggungan sesuai dengan undang-undang. b. Barang bergerak menurut sifatnya adalah benda yang dapat berpindah atau dipindahkan.89 Barang bergerak terdiri atas barang yang berwujud dan 87 Ibid, hal 4 Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cetakan ke II, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 228 89 Ibid. 88 94 yang tidak berwujud. Contohnya mobil, Piutang Dagang (tagihan atas hasil usaha atau pekerjaan), tagihan (piutang) terhadap proyek-proyek yang sedang dikerjakan, Saham-saham dan sebagainya. Jenis jamianan ini dibebani dengan jaminan fidusia sesuai dengan Undang-Undang Fidusia, Tetapi untuk surat yang mempunyai harga mungkin masih perlu penegasan apakah termasuk sebagai barang-barang berwujud atau tidak berwujud misalnya saldo tabungan dan saldo giro yang seharusnya dibedakan dari bilyet deposito atau sertipikat deposito.90 Pemberian jaminan dalam perjanjian kredit diharuskan dalam dunia perbankan konvensional karena pada dasarnya, sumber dana yang disalurkan berasal dari masyarakat atau tabungan masyarakat. Namun, pada peraturan kredit perbankan jaminan kebendaan merupakan jaminan tambahan yang disebut sebagai agunan. Jadi sebenarnya menurut Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, jaminan dan agunan merupakan dua unsur yang berbeda. Jaminan pokok merupakan keyakinan, sedangkan jaminan tambahan adalah sesuatu yang dapat menguatkan keyakinan bank, yaitu agunan. Mengenai agunan sebagai jaminan tambahan, secara tegas diatur dalam Pasal 1 butir 23, yang berbunyi : “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.” Bank sebagai pemberi kredit hendaknya sepenuhnya memahami dan mematuhi ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang menetapkan bahwa segala hak kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik 90 M. Bahsan, Op. Cit, hal. 108 95 yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Semua harta kekayaan debitur secara otomatis menjadi jaminan atas kredit yang diterimanya dari bank, dan dalam praktek perbankan mengenai harta debitur sebagaimana yang dimaksud oleh ketentuan KUHPerdata sering dicantumkan dalam ketentuan perjanjian kredit. Sehubungan dengan itu hukum jaminan sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan, terutama dalam perjanjian kredit yang dilakukannya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan perekonomian saat ini penerapan hukum jaminan lebih banyak ditemukan dalam kegiatan perjanjian kredit perbankan. Pengertian perjanjian menurut Agus Yudha Hernoko, adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih91. Perjanjian dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum.92 Perjanjian yang menciptakan perikatan merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri mengatur hubungan-hubungan hukum diantara mereka. Perikatan dapat dirumuskan sebagai hubungan hukum harta kekayaan antara dua orang (atau lebih), dimana pihak yang satu (debitur) wajib melakukan suatu 91 Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Edisi Pertama, Cetakan Ke-2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 18 92 Artadi I Ketut dan Rai Asmara Putra I Dewa Nyoman, 2010, Implementasi Ketentuan- ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Cetakan Pertama, Udayana University Press, Denpasar, hal. 28 96 prestasi, sedangkan pihak yang lain (kreditur) berhak atas prestasi itu.93Sejalan dengan pendapat C.Asser yang mengemukakan ciri utama perikatan ialah, bahwa ia merupakan suatu hubungan antara orang-orang, dengan hubungan mana seseorang berhak meminta sesuatu penunaian/prestasi dari orang lain, dan orang tersebut terakhir mempunyai kewajiban terhadapnya. Bila suatu perikatan diadakan, maka terwujudlah di suatu pihak suatu hak, sementara dipihak lainnya terwujud suatu kewajiban yang sesuai dengan hak tersebut.94 Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak nasabah. Suatu perjanjian utang piutang sering disertai dengan perjanjian pengikatan jaminan utang. Demikian pula, dalam hal pemberian kredit selain dibuat perjanjian kreditnya, hendaknya segera diikuti pula dengan pembuatan perjanjian pengikatan obyek jaminan kredit.95 Bank dalam menyalurkan dana untuk kredit harus didasarkan adanya suatu jaminan. Adapun yang dimaksud jaminan dalam pemberian kredit menurut Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Pebruari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit yaitu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan “guna memperoleh keyakinan tersebut 93 J.H. Nieuwenhus, 1985, Hoofdstukken Verbintenissenrecht (Pokok-Pokok Hukum Perikatan terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya, hal. 1 94 c.Asser, 1991, Handieiding Tot de Beofening Van Het Nederlands Burgerlijk Recht (Pedoman Untuk Pengkajian Hukum Perdata diterjemahkan oleh Sulaiman Binol), Dian Rakyat, Cetakan pertama, Jakarta, hal. 5 95 M.Bahsan, Op. Cit., hal. 119 97 maka bank sebelum memberikan kreditnya harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur”96 Pengertian jaminan kredit, adalah suatu bentuk tanggungan atas pelaksanaan suatu prestasi yang berupa pengembalian kredit berdasarkan pada suatu perjanjian kredit. Peranan jaminan dalam suatu pemberian kredit, adalah untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul dengan tidak dibayarnya kembali kredit yang diberikan. Pemberian kredit dalam perbankan pada umumnya dilakukan dengan dua perjanjian yaitu, perjanjian pertama dengan perjanjian pokok adalah perjanjian yang mendasari atau mengakibatkan dibuatnya perjanjian lain,97contohnya berupa perjanjian kredit yang dibuat bersama debitur dalam rangka kegiatan usaha pemberian kredit perbankan. Sedangakan perjanjian kedua dengan perjanjian accessoir (perjanjian buntut atau perjanjian turutan) adalah perjanjian yang dibuat berdasarkan atau berkaitan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok. 98 Perjanjian accessoir timbul (terjadi) karena adanya perjanjian pokok yang mendasarinya, contohnya berupa perjanjian pengikatan obyek jaminan kredit yang dibuat bank bersama debitur atau pemilik obyek jaminan kredit.99 Berkaitan dengan perjanjian pokok dan perjanjian accessoir ini, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai berikut; 96 Muhamad Djumhana, Op.Cit., hal. 510 Muhamad Djumhana, Op.Cit., hal 132 98 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Cet ke-1, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 37 99 M.Bahsan, Op. Cit., hal 133 97 98 1. Tidak ada suatu Perjanjian accessoir bila sebelumnya tidak ada perjanjian pokok. Perjanjian pengikatan jaminan utang dibuat karena adanya perjanjian kredit. Perjanjian pengikatan obyek jaminan kredit dibuat berdasarkan perjanjian kredit yang telah ditanda tangani oleh bank dan debitur. 2. Bila perjanjian pokok berakhir maka perjajnian accessoir harus diakhiri. Perjanjian pengikatan kredit harus diakhiri dengan berakhirnya perjanjian kredit karena pinjaman debitur kepada bank telah dilunasi, dengan demikian perjanjian kredit sudah berakhir. Dalam perjanjian kredit selalu diikuti dengan penyerahan jaminan dan pengusaan jaminan, guna menjamin pelunasan utang debitur pada kreditur. Keharusan adanya pengikatan jaminan dan penguasaan jaminan kredit merupakan bagian dari persyaratan adminstratif yang sudah diselesaikan sebelum kredit dicairkan dananya kepada debitur. Terhadap setiap objek jaminan kredit yang diserahkan debitur dan disetujui bank, harus segera diikat sebagai jaminan utang. Bank seharusnya mengikat objek jaminan kredit secara sempurna, yaitu dengan mengikuti ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan utang. Adanya persyaratan administratif yang ditetapkan dalam peraturan internal bank, adalah untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, hendaknya bank tidak menyetujui permohonan penarikan kredit yang diajukan debitur sebelum seluruh persyaratan administratif diselesaikan oleh debitur, termasuk mengenai pengikatan jaminan dan penguasaan jaminan kreditnya. 99 3.2 Pengikatan Jaminan Deposito sebagai Jaminan Kredit Dalam Perbankan Bank dalam memberikan kredit kepada masyarakat, harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian dengan menekan resiko sekecil mungkin. Resiko yang dimaksud adalah resiko kemungkinan kredit itu tidak dapat dibayar kembali oleh debiturnya, yang akhirnya menimbulkan kredit macet. Oleh karena itu dalam memberikan kredit kepada debitur selain melakukan berbagai analisis secara teknis dan financial juga dilakukan pengamanan dari segi hukum, diantaranya melalui pengikatan jaminan kredit. Menurut M. Bahsan, terdapat empat lembaga jaminan yang dapat dipergunakan untuk mengikat jaminan utang, yaitu gadai, hipotik, hak tanggungan dan jaminan fidusia100. Sehubungan dengan pengikatan jamianan dalam praktik perbankan, dapat dilakukan dengan tiga cara antara lain ; 1. Pengikatan jaminan kredit melalui lembaga jaminan yaitu dengan cara pengikatan obyek jaminan kredit secara sempurna melalui suatu lembaga jaminan yang berlaku yang sesuai dengan jenis obyek jaminan yang diterimanya. Sehubungan dengan pengikatan jaminan ini, adapun keuntungan dari pengikatan melalui lembaga jaminan adalah : (a) Bank mempunyai hak kebendaan terhadap obyek jaminan kredit; (b) Bank mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain untuk memperoleh pelunasan kredit dari hasil penjualan obyek jaminan kredit bila debitur ingkar janji; 100 M.Bahsan, Op. Cit., hal. 134 100 (c) Bank akan mempunyai kepastian hukum terhadap pengikatan obyek jaminan kredit; (d) Bank mempunyai kemudahan untuk mencairkan obyek jaminan. Pengikatan jaminan ini misalkan dengan pengikatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Hak Tanggungan, Fidusia dan Gadai. 2. Pengikatan jaminan yang tidak memenuhi ketentuan lembaga jaminan yaitu pengikatan jaminan yang dilakukan dengan cara tidak sempurna atau tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan dalam suatu lembaga jaminan, misalnya pengikatan fiduasia yang tidak didaftarkan. 3. Pengikatan jaminan kredit yang tidak menggunakan lembaga jaminan; Dalam praktik perbankan, terdapat obyek jaminan kredit yang sama sekali tidak diikat melalui suatu lembaga jaminan. Bank tetap mensyaratkan adanya peyerahan obyek jaminan kredit dari debitur dan menerimanya, tetapi tidak melakukan pengikatan melalui lembaga jaminan yang berkaitan dengan obyek jaminan kredit tersebut. Pertimbangan bank tidak mengikat obyek jaminan antara lain karena berkaitan dengan pemberian kredit mikro dan kecil yang nilai kreditnya relatif kecil, jangka waktu kredit yang pendek, terhadap obyek jaminan kredit ini, bank menempuh kebijaksanaan antara lain berupa tindakan : (a) Pencantuman klausula jaminan kredit dalam perjanjian kredit; (b) Penguasaan dokumen obyek jaminan kredit oleh bank; (c) Penyerahan surat kuasa menjual oleh debitur kepada bank; 101 (d) Penyerahan surat pernyataan dari pihak ketiga dan atau debitur kepada bank. Salah satu jenis simpanan dana dari masyarakat kepada bank, dapat berupa sertipfikat deposito dan deposito berjangka adalah termasuk dalam kategori benda bergerak yang tidak berwujud, sehingga dapat dibebani dengan hak gadai. Terhadap gadai atas benda bergerak tersebut maka hukum yang berlaku adalah ketentuan dalam KUH Perdata Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160. Gadai menurut ketentuan Pasal 1150 KUHPerdata adalah hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya, untuk menjamin suatu utang dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari benda tersebut lebih dahulu daripada kreditur lainnya, kecuali biaya untuk melelang benda tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk pemeliharaan setelah benda itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan101. Hak gadai terjadi dengan penyerahan benda gadai secara nyata sehingga benda tersebut berada di bawah kekuasaan kreditur. Hak kebendaan (jaminan) atas benda bergerak itu ada pada pemegang gadai. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1152 ayat 1 KUH Perdata : Hak gadai atas bendabenda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya dibawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak. 101 Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Revisi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 171 102 Sebagai hak kebendaan atas jaminan, gadai mempunyai sifat-sifat khusus sebagai berikut : (a) Gadai bersifat asesor (accessoir) artinya perjanjian jaminan gadai mengikuti perjanjian pokok atau perjanjian kreditnya. Sejalan dengan pendapat Abdulkadir Muhammad, adanya gadai tergantung pada adanya perjanjian pokok utang-piutang. Tanpa perjanjian pokok utang-piutang tidak ada gadai.102 Artinya perjanjian ini (jaminan gadai) berlaku dan baru timbul sepanjang masih terdapat utang pituang di antara pemberi gadai dan penerima gadai. Dalam hal utang tersebut berakhir, berakhir pulalah perjanjian jaminan gadai tersebut. Perjanjian jaminan ini fungsi untuk menjaga jangan sampai si berutang itu lalai membayar kembali utangnya. (b) Gadai bersifat jaminan utang, yaitu benda jaminan harus dikuasai dan disimpan oleh kreditur.103Sejalan dengan pendapat Irma Devita Purnamasari, benda yang digadaikan berada dibawah kekuasaan kreditur selaku penerima gadai.104Artinya setelah utang yang timbul dengan jaminan benda tersebut lunas, maka benda tersebut baru dikembalikan oleh penerima gadai. Umumnya, benda yang digadaikan berupa benda bergerak seperti emas atau hak kebendaan yang tidak bertubuh, seperti deposito dan saham.105 (c) Gadai bersifat tidak dapat dibagi-bagi, artinya sebagian hak gadai itu tidak menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian dari hutang. Gadai tetap melekat 102 Ibid., hal. 172 Ibid. 104 Irma Devita Purnamasari, Op. Cit., hal. 132 105 Irma Devita Purnamasari, Op. Cit., hal. 132 103 103 atas seluruh bendanya.106 Hal ini ditentukan dalam Pasal 1160 KUHPerdata, bahwa benda gadai melekat secara utuh pada utangnya meskipun debitur meninggal atau benda gadai tersebut diwariskan secara terbagi-bagi, tetapi hak gadai atas benda yang digadaikan tidak dapat hapus begitu saja hingga seluruh utang telah dilunasi. (d) Memberikan hak preference (didahulukan) kepada pemegangnya. Dengan adanya benda bergerak yang ditetapkan secara khusus melalui perjanjian gadai, otomatis pemegang benda yang digadaikan tersebut berkedudukan sebagai kreditur preference. Artinya dalam hal debitur (pemberi gadai) macet, maka kreditur punya hak utama untuk memperoleh pelunasan dari barang yang digadaikan tersebut, dengan cara menjual atau melalui pelelangan. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, kalau yang digadaikan itu berwujud surat piutang atas nama maka syarat-syaratnya adalah : 1. Harus ada perjanjian gadai; 2. Harus ada pemberitahuan kepada debitur dari piutang yang digadaikan itu.107 Deposito yang berupa deposito berjangka merupakan suatu piutang atas nama. Piutang atas nama adalah hak menagih dari kreditur terhadap debitur tertentu, berdasarkan suatu perikatan. Apabila suatu piutang atas nama hendak digadaikan, menurut Pasal 1153 KUHPerdata maka harus dilakukan dengan pemberitahuan perihal penggadaiannya kepada debitur. Dalam pemberitahukan ini debitur 106 dapat meminta bukti tertulis perihal Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Cetakan keempat, Liberty, Yogyakarta, hal. 98 107 Ibid., hal 100 104 penggadaiannya dan persetujuannya dari pemberi gadai. Setelah itu debitur hanya dapat membayar hutangnya kepada pemegang gadai. Bentuk pemberitahuan ini dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan. Pengikatan jaminan deposito dalam perbankan didahului dengan melakukan perjanjian kredit antara debitur dan kreditur sebagai perjanjian pokok dimana didalamnya disebutkan jaminan deposito. Pengikatan jaminan deposito dilakukan dengan pembuatan akta jaminan deposito antara pemilik deposito dengan pihak bank. Pengikatan tersebut dapat dibuat secara akta notariil maupun dibawah tangan guna menjamin pelunasan utang dalam perjanjian kredit. Selanjutnya pemilik deposito menyerahkan bilyet deposito yang dijaminkan kepada bank, penyerahan tersebut merupakan penyerahan yang nyata artinya bilyet deposito tersebut harus diserahkan dibawah kekuasaan bank, tidak boleh hanya berdasarkan pernyataan dari pemberi gadai saja. Penyerahan nyata tersebut dilakukan bersamaan dengan penyerahan yuridis dengan demikian penyerahan tersebut merupakan unsur sahnya gadai. 3.3. Kedudukan Notaris Dalam Pengikatan Jaminan Deposito berkaitan Rahasia Bank Notaris sebagai suatu jabatan mempunyai wewenang tertentu sebagaimana dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, sangat besar peranannya bagi bangsa dan negara, karena sebagian dari tugas negara di bidang keperdataan dijalankan oleh Notaris, khususnya dalam memberikan kepastian hukum, baik dalam perjanjian, kontrak dan pengikatan lainnya yang memberikan kepastian hukum, dengan maksud untuk membantu dan 105 melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum para penghadap. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud yang tercantum dalam Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris adalah pejabat umum yang bertugas melayani kepentingan masyarakat, khususnya dibidang perbankan dalam bidang jasa kenotariatan, seperti pengikatan jaminan kredit. Sehubungan dengan jasa Notaris yang diperlukan oleh bank dalam kaitannya dengan pemberian kredit pada masyarakat, antara lain dalam bentuk akta otentik yang meliputi akta perjanjian kredit dan akta pengikatan jaminan, akta-akta yang dibuat antara lain; a. Surat kuasa membebankan hak tanggungan, ketentuan formal mengenai bentuk Surat kuasa membebankan hak tanggungan dapat dilihat dalam rumusan Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan yang Surat kuasa membebankan hak tanggungan harus dibuat dalam bentuk akta Notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dengan demikian berarti Surat kuasa membebankan hak tanggungan yang tidak dibuat dengan akta Notaris atau tidak;ah berlaku sebagai Surat kuasa membebankan hak tanggungan108; b. Akta fidusia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Fidusia yaitu pembebanan benda dengan jaminan Fidusia dibuat 108 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja. 2005, Hak Tanggungan, Ed.1, Cet. 3, Kencana, Jakarta, hal 78 106 dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Undang-Undang Fidusia menetapkan perjanjian fidusia harus dibuat dengan akta Notaris, mengingat obyek jaminan fidusia pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka sudah sewajarnyabentuk akta otentiklah yang dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum berkenaan dengan obyek Jaminan Fidusia109. c. Akta Gadai adalah akta pemberian jaminan dalam bentuk gadai yang dibuat secara otentik dan berisi penyerahan penguasaan atas suatu barang serta kuasa untuk mengambil alih barang yang digadaikan tersebut, jika utang yang dijamin dengan barang tersebut macet.110 Bentuk jaminan gadai bebas, artinya dapat diadakan secara tertulis dan dapat pula secara lisan. Jika diadakan secara tertulis, dapat dengan akta otentik yang dibuat dimuka Notaris, dapat pula dengan akta tidak otentik (onderhans acte/akta dibawah tangan) yang dibuat oleh para pihak saja111. Pengikatan Jaminan Deposito, yang biasanya dilakukan secara tertulis baik dalam bentuk akta Notaris maupun dibawah tangan. Ada perbedaan antara kedua jenis pengikatan tersebut, yaitu dalam hal pembuktian. Pengikatan jaminan deposito dengan akta otentik yang tentunya akan memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak yang membuatnya. Sebagai alat bukti yang sempurna maksudnya adalah kebenaran yang dinyatakan di dalam akta notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan alat bukti yang lain. Sedangkan pengikatan jaminan deposito yang 109 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Jamian Fidusia, PT RajaGrafindo Persada, Jakatra, hal.136 110 Irma Devita Purnamasari, Op. Cit., hal. 190 111 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal 172 107 dibuat dibawah tangan mempunyai pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak, jika para pihak mengakuinya, maka akta tersebut mempunyai pembuktian yang sempurna sebagaimana akta otentik, jika salah satu pihak tidak mengakuinya, maka beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas alat bukti tersebut diserahkan kepada hakim. Baik dalam bentuk dibawah tangan maupun akta otentik keduanya harus memenuhi rumusan mengenai sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPer dan secara materil mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPer) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda).112 Notaris merupakan jabatan kepercayaan, hal ini mengandung makna, yaitu mereka yang menjalankan tugas jabatan dapat dipercaya dan karena jabatan Notaris sebagai jabatan kepercayaan dan orang yang menjalankan tugas jabatan juga dapat dipercaya, yang keduanya saling menunjang. Oleh karena itu Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya punya kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan sebagaimana ternyata dalam Pasal 4 Undang-Undang Jabatan Notaris, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN). Ditegaskan pula dalam Penjelasan huruf e bahwa kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait 112 Habib Adjie, Op.Cit,. hal 92 108 dengan akta tersebut. Sudah menjadi kewajiban Notaris untuk mempertahankan rahasia jabatan tersebut. Dengan demikian batasannya hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan Notaris untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan/pernyataan yang diketahui Notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud. Selain pengecualian tersebut diatas diatur pula pada ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris yang mengatur bahwa Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta atau kutipan akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Bank sebagai suatu lembaga yang melindungi dana nasabah juga berkewajiban menjaga kerahasiaan terhadap dana nasabahnya dari pihakpihak yang dapat merugikan nasabah. Sebaliknya masyarakat yang mempercayakan dananya untuk dikelola oleh bank juga harus dilindungi terhadap tindakan yang semena-mena yang dilakukan oleh bank yang dapat merugikan nasabahnya. Dalam hal bank menjalankan salah satu fungsinya antara lain yaitu; 1. Menghimpun dana dari masyarakat, bank sebagai lembaga kepercayaan, agar dapat terus menerus menjalankan kegiatan usahanya dan terhindar dari kekurangan dana, maka bank memerlukan dana yang salah satunya berasal nasabah penyimpan. Masyarakat akan menyimpan dan mempercayakan dana yang dimilikinya pada lembaga perbankan ataupun memanfatkan jasa perbankan lainnya apabila dari lembaga perbankan 109 tersebut ada jaminan bahwa lembaga perbankan memegang teguh ketentuan rahasia bank yaitu wajib merahasiakan mengenai simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan oleh mereka yang bergerak di dalam kegiatan perbankan tersebut atau pihak lain yang tidak berhak dan berkepentingan. Ketentuan tesebut menegaskan bahwa lembaga perbankan harus memegang teguh keterangan yang tercatat olehnya dimana ketentuan itu juga berlaku bagi pihak terafiliasi dalam kegiatan operasional perbankan tersebut; 2. menyalurkan kredit kepada masyarakat bank dalam mengikat jaminan kredit memerlukan jasa Notaris, agar perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, untuk itu diperlukan peran Notaris untuk membuat perjanjian tersebut dalam bentuk otentik. Dalam hal ini Notaris juga berperan untuk memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak agar perjanjian yang dibuat sesuai dengan hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku, berikut segala dokumen pendukung dalam pembuatan akta tersebut. Hal ini senyata dengan wewenang Notaris dalam Pasal 15 ayat (2) hurup e yang menetapkan bahwa Notaris berwenang memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang nomor 10 tentang perbankan yang mewajibkan bank dan pihak terafiliasi untuk merahasiakan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya dan Pasal 1 butir 22 Undang-Undang nomor 10 tentang Perbankan yang menetapkan, salah satu pihak terafiliasi diantaranya adalah pihak yang memberikan 110 jasanya kepada bank yang meliputi akuntan publik penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya : sebagai contoh, dalam pengikatan jaminan deposito yang di buat dihadapan Notaris, dimana nasabah penyimpan merupakan subyek dari akta jaminan deposito dan obyek dari jaminan tersebut adalah dananya yang berbentuk deposito, ini berarti Notaris yang memberikan jasanya kepada bank, dalam pembuatan akta jaminan deposito tersebut mengetahui jumlah simpanan yang dimiliki debitur sebagai nasabah penyimpan dana. Sebagai konsekuensinya, Notaris yang memberikan jasanya kepada bank dalam pembuatan akta jaminan deposito wajib merahasiakan simpanan nasabah penyimpan yang terdapat pada bank-bank tertentu dan segala keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta jaminan deposito, terkait dengan nasabah penyimpan dan simpanannya sehubungan dengan akta yang dibuatnya. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Notaris yang memberikan jasanya kepada bank dalam membuat akta pengikatan jaminan deposito antara bank dan nasabah penyimpan yang sekaligus sebagai nasabah debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 dan penjelasan dari Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 yaitu antara lain bahwa apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpanan yang sekaligus juga sebagai nasabah debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan, maka Notaris yang memberikan jasanya dalam pembuatan akta jaminan deposito termasuk pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 22 111 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, ketentuan ini tidak dicantumkan secara jelas kedudukan akan tetapi Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank, yang berupa pengikatan jaminan deposito termasuk sebagai pihak terafiliasi. Apakah maksud pembuat undang-undang, Notaris itu termasuk konsultan lainnya dalam pasal tersebut. Jika dilihat dari kewenangan Notaris dalam Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris, selain membuat akta juga berwenang memberikan penyuluhan hukum atau konsultasi sehubungan dengan pembuatan akta jaminan deposito. Dengan demikian ada kekaburan norma terhadap pengertian konsultan lainnya yang mengandung pengertian yang tidak jelas dalam Pasal tersebut diatas, hal ini akan berdampak pada ketentuan kerahasiaan bank. Sehubungan dengan kekaburan norma tersebut, maka penulis menggunakan metode penafsiran ekstentif atau penafsiran memperluas yaitu memperluas pengertian atau istilah konsultan lainnya. Penafsiran ekstentif atau penafsiran memperluas dipergunakan untuk mengkaji dan menjawab permasalahan kedudukan Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank, berupa pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank terutama dalam ketentuan Pasal 40 dan Pasal 1 butir 22 huruf c tentang pihak terafiliasi dalam hurup c Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang merumuskan : pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain : akuntan publik , penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya, jelaslah yang dimaksud konsultan lainnya dalam ketentuan Pasal 1 butir 22 Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan meliputi Notaris dalam kedudukannya memberikan jasa kepada bank berkaitan dengan 112 pembuatan akta jaminan deposito yang berkaitan dengan ketentuan rahasia bank. Notaris sebagai pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik dalam memberikan jasanya terhadap bank khususnya pada pembuatan akta pengikatan jaminan deposito yang berkaitan dengan debitur yang sekaligus sebagai nasabah penyimpan, selain tunduk pada ketentuan rahasia jabatan Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 16 ayat 1 hurup e dan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris, juga harus tunduk pada ketentuan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang nomor 10 tentang Perbankan. Notaris dalam kedudukannya sebagai pihak terafiliasi yang memberikan jasanya pada bank dan wajib menyimpan rahasia bank khususnya untuk akta pengikatan jaminan deposito yang dibuat antara bank dan nasabah. Dengan demikian rahasia jabatan Notaris, mencakup isi akta dan keterangan yang diberikan berkaitan dengan pembuatan akta pengikatan jaminan tunduk berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris, namun jika memberikan informasi mengenai isi akta dan keterangan yang diberikan berkaitan dengan hubungan antara nasabah dengan bank khususnya dalam kegiatannya menyalurkan dana dalam bentuk kredit yang memerlukan pengikatan jaminan deposito, maka hal tersebut tunduk pada rahasia bank berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Perbankan. Rahasia bank diperlukan sebagai salah satu faktor untuk menjaga kepercayaan nasabah penyimpan, dimungkinkan dibuka untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank, kepentingan peradilan dalam perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, dalam rangka 113 tukar menukar informasi antar bank, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah dan permintaan ahli waris yang sah dari nasabah yang telah meninggal dunia. Pengecualian rahasia bank tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A Undang-Undang nomor 10 tentang Perbankan. 114 BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PENGIKATAN DEPOSITO BERKAITAN DENGAN RAHASIA BANK 4.1. Tanggung jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Jaminan Deposito Mengenai pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang dibuatnya, digunakan teori pertanggungjawaban, untuk membahas dan menganalisis masalah tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank dalam pembuatan akta jaminan deosito berkaitan rahasia bank. Notaris adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Negara berdasarkan ketentuan undang-undang untuk membuat akta otentik, guna memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis. Pemberian kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta sebagaiamana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, menimbulkan pertanggujawaban atas penggunaan wewenang itu. Menurut perpsektif hukum publik adanya kewenangan Notaris untuk membuat akta otentik, menimbulkan pertanggungjawaban atas akta yang dibuatnya, hal ini sejalan dengan prinsip umum yaitu tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban. A.D. Belinfante mengatakan “niemand kan een bevoegdheid uitoefenen zonder verantwordig schulding te zijn of zonder dat of die uitoefening controle bestaan”. (tidak seorang pun dapat melaksanakan kewenangan tanpa memikul kewajiban tanggung jawab atau tanpa ada pelaksanaan pengawasan).113 Teori lain yang juga penulis gunakan dalam membahasan masalah pertanggungjawaban yang melekat pada pejabat yaitu, teori yang 113 A.D. Belinfante, 1983, Beginselen Van Nederlandse Staatsrecht, Samsom Uitgeverij, hal. 21 115 dikemukan oleh Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasi pertanggung jawaban pejabat yaitu: a. teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. Sehubungan dengan Notaris sebagai pejabat umum apabila dalam menjalankan kewenangannya, jika terbukti Notaris melakukan pelanggaran dalam aspek matriil dari akta Notaris, maka Notaris yang bersangkuatan dapat dituntut ganti rugi atas kerugian terhadap pihak penghadap. Misalnya dalam pembuatan akta tersebut Notaris bersikap tidak netral, hanya menguntungkan salah satu pihak. b. teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang dipergunakan untuk menganalisa harus ditanggung. Teori ini Notaris yang menjalankan kewenangannya membuat akta, jika terbukti seorang Notaris melakukan pelanggaran dari aspek formal, maka sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris seharusnya dijatuhi sanksi perdata atau sanksi administrasi tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik notaris. 116 Kewenangan utama Notaris adalah membuat akta otentik, untuk menyatakan terjadinya hukum antara dua pihak dalam sebuah akta. Dalam akta tersebut memuat perbuatan hukum dari pihak-pihak yang meminta atau menghendaki secara mufakat perbuatan hukum tersebut untuk dituangkan dalam suatu akta otentik.114 Pihak-pihak dalam akta itulah yang terikat pada isi dari suatu akta. Jika dalam suatu akta lahir suatu hak dan kewajiban, maka satu pihak wajib memenuhi materi apa yang diperjanjikan dan pihak lain berhak untuk menuntut. Notaris hanyalah pembuat untuk lahirnya suatu akta otentik.115 Jika terjadi suatu sengketa mengenai apa yang diperjanjikan dalam suatu akta notaris, Notaris tidak terlibat sama sekali dalam pelaksanaan suatu kewajiban atau dalam hal menuntut suatu akta. Notaris berada diluar hukum pihak-pihak. Sehubungan dengan hal tersebut, Habbib Adjie mengatakan bahwa dalam pembuatan suatu akta, Notaris sama sekali tidak bisa disalahkan, karena apa yang tertuang dalam akta itu adalah keinginan para pihak.116 Notaris dalam menjalankan fungsinya, kepadanya dituntut tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta. Adapun tanggung jawab itu adalah : a. Tanggung jawab atas keotentikan formil akta; b. Tanggung jawab atas keotentikan materiil akta; c. Tanggung jawab atas kerahasiaan akta yang dibuatnya. 114 G.H.S. Lumban Tobing,Op.Cit., hal 39 G.H.S. Lumban Tobing,Op.Cit., hal 39 116 Putri A. R, Op. Cit., hal.8 115 117 Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya., dibedakan menjadi empat poin, yakni : 1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya; 2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya; 3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris (UndangUndang Jabatan Notaris) terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya; 4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris.117 Berkaitan dengan tanggung jawab Notaris, dalam penjelasan umum Undang-Undang Jabatan Notaris menunjukan bahwa notaris hanya sekedar bertanggung jawab terhadap formalitas dari suatu akta otentik dan tidak terhadap materi akta otentik tersebut. Hal ini mewajibkan Notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan semacam nasihat hukum bagi para pihak yang meminta petunjuk hukum pada Notaris yang bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut maka Notaris dipertanggungjawabkan atas kebenaran materiil suatu akta. dapat Melalui konstruksi penjelasan Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas 117 Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal. 34. 118 kebenaran materiil suatu akta yang dibuatnya. Apabila ternyata Notaris tersebut tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya, menyebabkan salah satu pihak merasa tertipu atas ketidaktahuannya. Untuk itulah disarankan bagi Notaris untuk memberikan informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui para pihak dalam pembuatan akta. Sehubungan dengan pemberian jasa Notaris kepada bank dalam pengikatan jaminan deposito, Notaris membuat Akta Jaminan Deposito, karena ada permintaan dari bank dan debitur, sebagai para pihak yang menghadap, tanpa ada permintaan dari para pihak, Notaris tidak akan membuat akta apapun, dan Notaris membuatkan akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau keterangan atau pernyataan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan kepada atau di hadapan Notaris, dan selanjutnya Notaris membingkainya secara lahiriah (kekuatan pembuktian keluar), formil dan materil dalam bentuk akta notaris, dengan tetap berpijak pada aturan hukum atau tata cara atau prosedur pembuatan akta dan aturan hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum yang bersangkutan yang dituangkan dalam akta. Selain menuangkan keinginan para pihak dalam pembuatan suatu akta, Notaris dalam hal ini juga memberikan nasihat hukum yang sesuai dengan permasalahan yang ada, apapun nasihat hukum yang diberikan kepada para pihak dan kemudian dituangkan dalam akta yang bersangkutan tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak dan bukan 119 sebagai keterangan atau pernyataan Notaris.118Hal ini terbukti dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang diwajibkan dalam pembuatan akta Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Jabatan Notaris, akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Sehubungan dengan pembubuhan tanda tangan dalam pembuatan akta notaris, menurut J. J. De Joncheere sebagaimana yang dikutip oleh Tan Thong Kie, penandatanganan mempunyai arti yuridis sebagai berikut: suatu pernyataan kemauan pembuat tanda tangan (penandatangan), bahwa ia dengan membubuhkan tanda tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri119. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa jika Notaris dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa pembuatan akta notaris terutama dalam memberikan jasanya kepada bank, dalam membuat Akta Jaminan Deposito telah sesuai dengan aturan hukum, sebagaimana halhal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kedudukan Notaris tetap bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi hukum pidana atau sebagai tergugat dalam perkara perdata. Hal ini dikarenakan Notaris berada diluar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Jika terjadi wansprestasi diantara salah satu pihak, maka para pihaklah yang bertanggungjawab, 118 Habieb Adjie (buku I), Op. Cit., hal. 24 Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, cetakan pertama, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 473 119 120 kecuali apabila Notaris di dalam menjalankan tugas jabatannya dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang menghadap di dalam pembuatan suatu akta dan hal itu benar-benar diketahui, bahwa sesuatu yang dilakukan oleh Notaris misalnya bertentangan dengan undang-undang, maka Notaris dapat dimintakan tanggunggugat berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Demikian juga sebaliknya, apabila Notaris dalam menjalankan tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat atau orang-orang yang membutuhkan jasanya dalam pengesahan atau pembuatan suatu akta kemudian didalam akta itu terdapat suatu klausula yang bertentangan misalnya dengan Undang-Undang sehingga menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sedangkan para pihak yang menghadap sama sekali tidak mengetahuinya, maka dengan sifat pasif atau diam itu Notaris yang bersangkutan dapat dikenakan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Demikian pula apabila Notaris membuat akta, kemudian mencantumkan sesuatu di dalam akta tidak seperti yang diperintahkan oleh para pihak maka terhadap perbuatan seperti ini berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Notaris dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dan jika akibat dari perbuatannya telah menimbulkan suatu kerugian pada orang lain atau kliennya, Notaris wajib membayar ganti kerugian yang ditimbulkan tersebut. Dalam memeriksa Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapan atau dibuat oleh Notaris yang bersangkutan, parameternya harus 121 kepada prosedur pembuatan akta Notaris, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Jika semua prosedur sudah dilakukan, maka akta yang bersangkutan tetap mengikat mereka yang membuatnya di hadapan Notaris.120 Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga para pihak yang membaca akta tersebut harus melihat apa adanya, dan Notaris tidak perlu membuktikan apapun atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Sehingga orang lain yang menilai atau menyatakan akta Notaris itu tidak benar, maka mereka yang menilai atau menyatakan tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun dalam praktik, apabila ada akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lainnya, Notaris ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu kedalam akta notaris yang berarti Notaris tidak kebal hukum. Notaris dapat dikenakan sanksi pidana jika dapat dibuktikan di pengadilan bahwa secara sengaja atau tidak sengaja bersama-sama dengan para pihak/penghadap membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain.121 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, seorang Notaris yang dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai sanksi berupa sanksi perdata, administrasi dan kode etik notaris. Ada kalanya dalam praktik 120 121 Habib Adjie ( buku III), Op. Cit., hal. 25 Putri A. R., Op. Cit., hal. 59 122 ditemukan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi perdata atau administrasi atau kode etik notaris, tetapi ditarik atau diklualifikasikan sebagai suatu tindakan pidana yang dilakukan oleh Notaris dengan dasar Notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan akta. Menurut Habib Adjie pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek seperti; a. kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap; b. pihak (siapa-siapa) yang menghadap notaris; c. tanda tangan yang menghadap; d. salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta; e. salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan f. minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta dikeluarkan.122 Apabila aspek formal dari akta notaris seperti tersebut diatas, dijadikan batasan-batasan dalam memidanakan seorang Notaris dan jika terbukti seorang Notaris melakukan pelanggaran dari aspek formal, maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris seharusnya dijatuhi sanksi perdata atau sanksi administrasi tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik notaris. Sedangkan dari aspek materiil dari akta notaris, segala hal yang tertuang harus dinilai benar sebagai pernyataan atau keterangan Notaris dalam akta, hal apa saja yang harus ada secara materiil dalam akta harus mempunyai batasan tertentu. Menentukan batasan seperti itu tergantung dari apa yang dilihat, didengar oleh Notaris atau yang dinyatakan, diterangkan oleh para pihak dihadapan Notaris. Jika akan membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang 122 Habib Adjie (buku I), Op.Cit., hal 25 123 sebenarnya dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materiil dari akta Notaris. Hal ini dikarenakan isi atau materi dari akta merupakan kehendak atau keinginan para pihak dan Notaris hanya menuangkan kehendak tersebut dalam akta, oleh karena itu merupakan tanggung jawab para pihak sendiri, kecuali dapat dibuktikan bahwa Notaris dengan sengaja menguntungkan salah satu pihak penghadap tertentu saja. Menurut Habib Adjie, pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan jika; 1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahir, formal maupun materil akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris, bersama-sama (sepakat) para penghadap untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana; 2. Ada tindakan hukum dari Notaris yang membuat akta dihadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris; dan 3. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.123 Mempidanakan Notaris dengan alasan-alasan pada aspek formal akta, tidak akan membatalkan akta notaris, yang dijadikan obyek perkara pidana tersebut, dengan demikian akta yang bersangkutan tetap mengikat para pihak. Sedangkan dalam perkara perdata pelanggaran terhadap aspek formal dinilai sebagai suatu tindakan melanggar hukum dan hal ini dilakukzan dengan mengajukan gugatan terhadap Notaris yang bersangkutan. Pengingkaran terhadap aspek formal ini harus dilakukan oleh penghadap sendiri, bukan oleh Notaris atau pihak lainnya.124Apabila terbukti, prosedur dari pembuatan akta notaris tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam 123 124 Habib Adjie (buku I), Op.Cit., hal. 30 Habib Adjie (buku III), Op.Cit., hal. 25 124 Undang-Undang Jabatan Notaris, maka akan mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum, dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris. Ketentuan Pasal 84 ini adalah ketentuan yang menunjukkan bahwa secara formil notaris bertanggung jawab atas keabsahan akta otentik yang dibuatnya dan jika ternyata terdapat cacat hukum sehingga akta tersebut kehilangan otensitasnya serta merugikan pihak yang berkepentingan maka notaris dapat dituntut untuk mengganti biaya, ganti rugi dan bunga. Mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada notaris sebagai pribadi menurut Pasal 85 UUJN dapat berupa : a. b. c. d. e. Teguran lisan; Teguran tertulis; Pemberhentian sementara; Pemberhentian dengan hormat; atau Pemberhentian dengan tidak hormat. Dalam penjatuhan sanksi perlu dikaitkan dengan sasaran, sifat dan prosedur sanksi-sanksi tersebut. Penjatuhan sanksi perdata, administratif, dan pidana mempunyai sasaran, sifat, dan prosedur yang berbeda. 125 Sanksi administratif dan sanksi perdata dengan sasaran yaitu perbuatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, dan sanksi pidana dengan sasaran, yaitu pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut. 125 Habieb Adjie (buku I), Op.Cit., hal. 123. 125 Dalam administratif, aturan hukum tertentu, disamping dijatuhi sanksi juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara kumulatif) yang bersifat condemnatoir (puniitf) atau menghukum. Dalam kaitan ini, UndangUndang Jabatan Notaris tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris. Bila terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum.126 Bilamana sebuah akta notaris dijadikan alat untuk melakukan suatu tindak pidana oleh mereka yang namanya tercantum dalam akta notaris, maka hal tersebut bukan tujuan akta seperti itu, dengan demikian mereka yang namanya tercantum dalam akta atau yang memanfaatkan akta tersebut dengan tujuan untuk melakukan suatu tindak pidana harus bertanggungjawab. Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut diatas dilanggar, artinya disamping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bila ternyata akta Jaminan Deposito yang dibuat oleh Notaris terbukti melanggar batasan tersebut atau memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, maka Notaris diwajibkan memberikan ganti rugi, biaya, dan bunga kepada para pihak yang menderita kerugian. Selain itu, Notaris dapat dijatuhi sanksi perdata dengan cara menggugat Notaris yang bersangkutan ke pengadilan. Sanksi administratif dijatuhkan kepada Notaris karena terjadi pelanggaran terhadap 126 Habieb Adjie (buku I), Op.Cit., hal. 124. 126 segala kewajiban dan pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang dikategorikan sebagai suatu pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi administratif dan sanksi kode etik. 4.2. Perlindungan Hukum Notaris Sebagai Pejabat Umum Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan profesinya di bidang pelayanan jasa hukum kepada masyarakat dipayungi oleh undangundang, dalam undang-undang jabatan Notaris tersebut, Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan, demi tercapainya kepastian hukum. Bahwa Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya seharusnya memang diberikan perlindungan. Perlindungan sebagaimana dimaksud: 1. Untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan persidangan. 2. Merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. 3. Menjaga minuta akta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. Bahwa perlindungan hukum yang dimaksud tidak diberikan kepada pribadi Notaris akan tetapi kepada profesi dan jabatan Notaris yang mengemban amanat dan kepercayaan masyarakat. Akan tetapi dalam menjalankan jabatannya untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, seorang Notaris pada suatu waktu diharuskan memberikan keterangan dengan tetap 127 memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada127. Dengan kata lain perlindungan hukum Notaris sebelum menjalankan jabatannya telah dilakukan yaitu, dalam mengucapkan Sumpah Jabatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam sumpah jabatan Notaris ditetapkan, bahwa Notaris berjanji di bawah sumpah untuk merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuanketentuan peraturan-peraturan itu dan Pasal 54 yang berisikan larangan bagi para Notaris untuk memberikan grosse, salinan dan kutipan atau memperlihatkan atau memberitahukan isi akta-aktanya selain kepada orangorang yang langsung berkepentingan pada akta itu, para ahli waris dan para penerima hak mereka, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam peraturanperaturan umum dan untuk proses Peradilan. Oleh karena itu, bahwa sebelum dibuat suatu akta oleh Notaris, senantiasa diadakan pembicaraan terlebih dahulu mengenai segala sesuatu yang diinginkan oleh para penghadap/klien dan yang juga perlu diketahui oleh Notaris untuk kemudian dituangkan dalam suatu akta. Sebagai lembaga kepercayaan, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan semua apa yang diberitahukan kepadanya selaku Notaris, sekalipun ada sebagian tidak dicantumkan dalam akta, Notaris tidaklah bebas untuk memberitahukan apa yang diberitahukan kepadanya selaku Notaris oleh kliennya pada waktu persiapan untuk pembuatan suatu akta. Kewajiban untuk merahasiakannya, selain diharuskan oleh Undang-undang, juga oleh kepentingan Notaris itu sendiri karena apabila Notaris tidak dapat membatasi dirinya akan mengalami 127 Majalah Berita Bulanan Notaris/PPAT, 2006, RENVOI No.32/Th.III/Januari 2006, PT.Jurnal Renvoi Mediatama, Jakarta, hal. 63. 128 akibatnya didalam praktek, ia akan segera kehilangan kepercayaan publik dan ia tidak lagi diangggap sebagai orang/lembaga kepercayaan. Mengingat akta yang dibuat dihadapan Notaris merupakan akta pihak-pihak yang datang menghadap, maka hubungan hukum antara Notaris dengan klien bukan hubungan hukum yang terjadi karena adanya sesuatu yang diperjanjikan, sebagaimana biasa dilakukan oleh para pihak dalam membuat suatu perjanjian. Ketika penghadap datang ke Notaris agar tindakan atau perbuatannya diformulasikan ke dalam akta otentik sesuai dengan kewenangan Notaris, dan kemudian Notaris membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, maka dalam hal ini memberikan landasan kepada Notaris dan para penghadap telah terjadi hubungan hukum. Oleh karena itu, Notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut telah sesuai menurut aturan hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan yang bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut. Dengan hubungan hukum seperti itu, maka perlu ditentukan kedudukan hubungan hukum tersebut yang merupakan awal dari tanggunggugat Notaris. Menurut Syafran Sofyan hubungan hukum antara Notaris dan para penghadap, bukan merupakan hubungan kontraktual antara satu pihak dengan pihak yang lainnya, para penghadap datang ke Notaris atas kesadaran sendiri dan mengutarakan keinginannya dihadapan Notaris yang kemudian dituangkan dalam bentuk akta notaris sesuai dengan aturan yang berlaku.128 Selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, bukan saja 128 Syafran Sofyan, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Notaris, Minuta, Edisi Perdana, PT Media Informasi Utama, Surabaya, hal. 61 129 karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Undang-Undang Jabatan Notaris memberikan kewenangan dan kewajiban bagi Notaris yang dengan dasar kewenangan dan kewajiban tersebut, Notaris memperoleh perlindungan hukum didalam menjalankan profesinya. Sepanjang Notaris melaksanakan tugas jabatannya sesuai Undang-Undang Jabatan Notaris, dan telah memenuhi semua tata cara dan persyaratan dalam pembuatan akta, dan akta yang bersangkutan telah pula sesuai dengan keinginan dan kehendak para pihak yang menghadap Notaris, maka tuntutan dalam bentuk perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tidak mungkin untuk dilakukan. Sehubungan dengan perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya, Soegeng Santoso mengemukakan, Pasal 50 KUHP yang antara lain berbunyi, barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum. Pasal ini adalah merupakan perlindungan hukum bagi Notaris yang dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, artinya Notaris dimaksud telah menjalankan tugas dan jabatanya secara profesional.129 Undang-Undang Jabatan Notaris telah memberikan suatu prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap Notaris, perlindungan hukum 129 Soegeng Santoso, 2005, Menggapai Notaris Profesional, Materi Pra Kongres XIX Ikatan Notaris Indonesia, Makasar, hal. 5. 130 terhadap Notaris dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris yang menetapkan, bahwa untuk proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang untuk mengambil fotokopi minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan dengan Persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD). Kemudian MPD melaksanakan rapat pleno dan hasil rapat tersebut dapat dijadikan penyidik sebagai dasar melakukan pemanggilan. Sesuai dengan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran kode etik. Berdasarkan ketentuan tersebut harus diartikan bahwa sebagaimana Majelis Pengawas Notaris merupakan organ penegak hukum yang satu-satunya berwenang menentukan ada atau tidaknya kesalahan dalam pelanggaran profesi jabatan Notaris. Peranan Majelis Pengawas Notaris untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi Notaris sebagai suatu profesi dari campur tangan pihak manapun termasuk pengadilan dalam menentukan kesalahan Notaris dalam menjalankan jabatannya. Namun ketika Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Putusan Nomor : 49/PUU – X/2012 (selanjutnya ditulis MKRI) memutuskan telah meniadakan atau mengakhiri kewenangan MPD yang tercantum dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, seakan-akan tidak ada perlindungan hukum bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Notaris tidak perlu kawatir atas Putusan MKRI tersebut, karena masih ada 131 instrument lain berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris dan undangundang yang lain yang memberikan perlindungan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, yaitu pada jabatan Notaris telah ada melekat Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht). Hak dan Kewajiban Ingkar Notaris (setelah berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris) tidak pernah dipergunakan Notaris, karena para Notaris berlindung dalam kewenangan MPD (Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris). Bahkah sebenarnya Hak dan Kewajiban Ingkar telah ada sejak lembaga kenotariatan lahir. Setelah frasa dengan persetujuan MPD tersebut bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Maka Notaris wajib untuk mempergunakan Hak dan kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri Notaris, tapi untuk kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada Notaris, bahwa Notaris dipercaya oleh para pihak mampu menyimpan semua keterangan atau pernyataan para pihak yang pernah diberikan di hadapan Notaris yang berkaitan dalam pembuatan akta. Hak ingkar adalah merupakan konsekuensi dari adanya kewajiban merahasiakan sesuatu yang diketahuinya. Sebagaimana dimaksud dalam sumpah jabatan Notaris yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Jabatan Notaris yang antara lain berbunyi: Saya bersumpah/berjanji: ... . bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab saya sebagai Notaris. 132 bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Makna dari kalimat tersebut di atas yang merupakan bagian dari sumpah jabatan ini, menurut Yudara, adalah Notaris wajib tidak ngomong, tegasnya Notaris hukumnya wajib tidak bicara. Jadi disini bukan hak, karena hak ingkar boleh dipakai atau tidak dipakai, tetapi dalam hal ini sekali lagi hukumnya wajib bagi Notaris untuk diam.130 Sumpah Jabatan Notaris dalam Pasal 4 dan kewajiban Notaris dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e serta Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris mewajibkan Notaris untuk tidak bicara, sekalipun di muka pengadilan, artinya tidak dibolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat dalam akta. Ketiga pasal tersebut mengandung arti sama tentang sumpah/janji yang mempunyai makna kerahasian tentang akta yang dibuat oleh Notaris terjamin dan tidak tersetuh oleh pemerintah, kecuali undang-undang menentukan lain. Notaris tidak hanya berhak untuk bicara, akan tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak bicara. Kewajiban tersebut menjadi sebuah kewajiban ingkar yang melekat pada tugas jabatannya. Kewajiban ingkar ini dapat berakhir manakala terdapat peraturan perundang-undangan yang memerintahkan Notaris untuk membuka rahasia jabatannya. Kewajiban ingkar diatur pula dalam ketentuan KUH Perdata dan KUHP. Berdasarkan ketentuan Pasal 1909 KUHPerdata, mewajibkan setiap orang yang cakap untuk menjadi saksi, untuk memberikan kesaksian di muka 130 Yudara, N.G, 2005, Pokok-Pokok Pemikiran Diseputar Kedudukan Dan Fungsi Notaris Serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum Indonesia, Materi Pra Kongres Ikatan Notaris Indonesia ke , 1 Juli 2005, hal. 9 133 pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap mereka yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak diperbolehkan untuk berbicara, demikian juga tidak berlaku terhadap mereka, yang berdasarkan Pasal 1909 ayat (2) angka 3e KUHPerdata disebutkan bahwa siapa saja yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakan sesuatu, namun hanya yang mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan jabatannya itu. Oleh karena itu dapat mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi dengan jalan menuntut penggunaan hak ingkarnya. Hak ingkar merupakan pengecualian terhadap ketentuan Pasal 1909 ayat (1) yakni bahwa setiap orang dipanggil sebagai saksi, wajib memberikan kesaksian.131 Hak ingkar sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP yang menentukan bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. Dasar filosofi hak ingkar bagi jabatanjabatan kepercayaan terletak pada kepentingan masyarakat, maksudnya apabila seseorang yang berada dalam keadaan kesulitan, dapat menghubungi seseorang kepercayaan untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkannya di bidang yuridis, medis atau kerohanian dengan keyakinan bahwa ia akan mendapat nasehat-nasehat, yang tidak merugikan baginya dan keterangan tersebut dapat disimpan sebagai rahasia. Senada dengan pendapat tersebut 131 G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal 120. 134 adalah pendapat G.H.S Lumban tobing, dengan mendasarkan pada pendapat Pitlo dan C. Asser.132 4.3. Tanggung Jawab Notaris berkaitan dengan Rahasia Bank Salah satu faktor untuk dapat memelihara dan meningkatkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan perbankan pada umumnya ialah kepatuhan bank terhadap kewajiban memegang teguh rahasia bank. Maksudnya adalah menyangkut dapat atau tidaknya bank dipercaya oleh nasabah yang menyimpan dananya pada bank tersebut untuk tidak mengungkapkan simpanan nasabah, identitas nasabah tersebut kepada pihak lain. Dengan kata lain, tergantung kepada kemampuan bank itu untuk menjunjung tinggi dan mematuhi serta menjaga kerahasiaan bank. Rahasia bank akan dapat lebih dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan bukan sekedar hanya sebagai kewajiban kontraktual di antara bank dan nasabah, tetapi ditetapkan sebagai kewajiban pidana. Bila hanya ditetapkan sebagai kewajiban kontraktual belaka, maka kewajiban bank itu menjadi kurang kokoh karena kewajiban kontraktual secara mudah dapat disimpangi. Pengertian rahasia bank dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, yang mengartikan rahasia bank sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya. Pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya memang tidak ada penjelasannya secara rinci, namun pengertian rahasia bank sebagaimana 132 C. Asser mengatakan bahwa kepada mereka yang diberikan hak ingkar oleh undang-undang, bukan untuk kepentingan mereka sendiri, akan tetapi adalah untuk kepentingan masyarakat umum, Op. Cit., hal. 125 135 ditetapkan dalam undang-udang tersebut secara tegas membatasi kedudukan nasabah yang wajib dirahasiakan keterangannya, yakni hanya Nasabah Penyimpan dan simpanannya. Secara yuridis disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 butir 17 UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, bahwa yang dimaksud dengan Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito (berjangka), sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.133 Dalam penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan ditegaskan, bilamana nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank dan pihak terafiliasi. Notaris dalam memberikan pelayanan jasanya kepada bank berupa pengikatan jaminan deposito, dimana nasabah penyimpan sebagai subyek perjanjian dan deposito merupakan simpanan dari nasabah penyimpan sebagai obyek perjanjian dalam pengikatan jaminan deposito tersebut. Ini berarti Notaris telah mengetahui terlebih dahulu keterangan mengenai 133 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 242. 136 Nasabah Penyimpan dan Simpanannya. Oleh karena itu, Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu dalam pembuatan akta Jaminan Deposito tersebut yang dibuat dihadapannya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka Notaris memberikan jasanya kepada bank dalam membuat akta Jaminan Deposito adalah termasuk pihak terafiliasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 22 UndangUndang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan, dengan demikian Notaris ikut sebagai pihak yang harus tunduk pada pengaturan tentang rahasia bank. Sebagai konsekwensinya Notaris wajib untuk merahasikan segala keterangan yang diperolehnya terkait dengan akta yang dibuat dihadapannya. Sejalan dengan hal tersebut, Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank, selain tunduk pada ketentuan rahasia jabatan notaris sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, juga harus tunduk pada ketentuan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Guna mengetahui hubungan kententuan mengenai rahasia jabatan notaris yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan ketentuan rahasia bank pada kewajiban untuk memegang teguh rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka dalam hal ini berlaku prinsip Lex Spesialis Derogat Lex Generalis artinya peraturan yang lebih khusus mengenyampingkan ketentuan peraturan yang lebih umum. Dimana Undang-Undang Perbankan merupakan ketentuan khusus dan Undang-Undang Jabatan Notaris merupakan ketentuan umum, 137 dalam arti Notaris yang memberikan jasa bagi Bank berupa pengikatan jaminan deposito, wajib menyimpan rahasia Bank khususnya untuk akta-akta yang dibuat antara bank dengan nasabah penyimpan. Rahasia Jabatan Notaris mencakup isi akta dan keterangan yang diberikan berkaitan dengan pembuatan akta namun jika isi akta dan keterangan yang diberikan berkaitan dengan hubungan antara nasabah dengan bank, maka Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank berupa pembuatan Akta Jaminan Deposito hal tersebut tunduk pada Undang-Undang Perbankan. Apabila Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank, maka Notaris harus bertanggung jawab dan dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbakan yang berupa ancaman pidana dan denda secara akumulatif.134Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Pebankan, pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank dikatagorikan sebagai tindak pidana kejahatan. Oleh karena itu pelanggar ketentuan kerahasiaan bank, apabila dibandingkan hanya sekedar dikatagorikan sebagai tindak pidana pelanggaran, maka tentunya perlu diberi sanksi hukum pidana yang lebih berat lagi.135 Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, sanksi pidana atas pelanggaran ketentuan rahasia bank ini bervariasi. Ada ciri khas dari sanksi pidana terhadap pelanggaran rahasia bank, yaitu: 1. terdapat ancaman hukuman minimal disamping ancaman maksimal; 134 135 Hermansyah, op.cit, hal 141 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit.,hal. 518. 138 2. antara ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda bersifat kumulatif, bukan alternatif; 3. tidak ada korelasi antara berat ringannya ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda. 136 Secara eksplisit ada dua jenis tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 47 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berkaitan dengan rahasia bank yaitu : 1. Tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang tanpa membawa perintah atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi unuk memberikan keterangan yang harus dirahasiakan oleh bank. 2. Tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota Komisaris, Direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasikan oleh bank. 137 Ketentuan Pasal 47 ayat (1) menyebutkan bahwa barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi unuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). 136 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit.,hal. 519. Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 15 137 139 Sehubungan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) diatas, yang perlu dipermasalahkan apakah pihak yang memaksa dapat dituntut telah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 47 ayat (1), sekalipun pihak yang memaksa tidak sampai berhasil membuat pihak bank atau pihak terafiliasi memberikan keterangan yang diminta secara paksa. Ataukah pihak yang memaksa dapat dikenai pidana karena melaukan percobaan tindak pidana berdasarkan Pasal 47 ayat (1). Menurut Remy Sjahdeini karena tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 47 ayat ( 1) itu merupakan tindak pidana formal, maka pihak yang memaksa tersebut dapat saja dituntut atau dikenai pidana sekalipun tidak sampai berhasil membuat pihak bank atau pihak terafiliasi memberikan keterangan yang diminta itu. 138 Menurut Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Perbankan yaitu Anggota Komisaris, Direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasikan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, menunjukan bahwa sanksi pidana yang berupa pidana penjara dan denda dikenakan kepada pihak terafiliasi termasuk Notaris yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasikan menurut ketentuan Pasal 40. Selanjutnya ketentuan Pasal 47 A menentukan bahwa : 138 Sutan Remy Sjahdeinim, Rahasia Bank Berbagai Masalah dan Sekitarnya, Tidak dipublikasikan, tanpa tahun, hal. 51-52 140 Anggota Dewan Komisaris. Direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 A dan Pasal 44 A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 47 A tersebut di atas, mengatur mengenai sanksi yang dikenakan kepada Anggota Komisaris, direksi, pegawai bank dan pihak terafiliasi termasuk Notaris yang telah mengabaikan kewajiban untuk memberikan keterangan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 A dan Pasal 44 A. 141 BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan di atas, simpulan yang dapat ditarik adalah : 1. Kedudukan Notaris dalam hal membuat akta jaminan deposito termasuk sebagai pihak terafiliasi, karena dalam jaminan deposito yang menjadi subyek akta jaminan deposito adalah nasabah penyimpan dan obyek akta jaminan deposito adalah simpanannya yang merupakan ruang lingkup dari rahasia bank, sehingga dalam hal ini Notaris wajib merahasiakan segala keterangan yang diperolehnya terkait dengan akta yang dibuat dihadapannya. Dengan demikian Notaris yang membuat akta jaminan deposito tunduk pada ketentuan rahasia bank. Namun dalam hal Notaris membuat akta secara umum yang tidak berkaitan dengan rahasia bank, maka kedudukan Notaris tersebut tidak termasuk pihak terafiliasi. 2. Pada dasarnya Notaris bertanggung jawab terhadap setiap akta yang dibuatnya dan apabila Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenakan sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan notaris berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam hal Notaris memberikan jasanya kepada bank, khususnya dalam pengikatan jaminan deposito terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank, maka Notaris harus bertanggung jawab dan dapat dikenakan sanksi berupa pidana dan denda secara akumulatif sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 10 tentang Perbankan 142 5.2. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut : 1. Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan profesinya di bidang pelayanan jasa hukum kepada bank dipayungi oleh undang-undang, untuk itu perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan, demi tercapainya kepastian hukum. Oleh karena itu pemerintah sebagai lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai legeslatif dapat merubah atau merevisi ketentuan tentang pihak terafiliasi dalam ketentuan Pasal 1 butir 22 huruf c Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, memperjelas kedudukan Notaris sebagai pihak terafiliasi, sehingga tidak ada kekaburan norma yang dapat berpengaruh pada kerahasiaan bank. 2. Notaris sebagai jabatan kepercayaan dalam menjalankan tugas jabatannya selain harus berlandaskan pada moralitas dan integritas yang tinggi, juga menyesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Peraturan Perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Jabatan Notaris. Apabila hal itu dilanggar, maka tidak hanya menimbulkan kerugian bagi diri Notaris itu sendiri tetapi juga bagi para pihak yang menghadap, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap itikad baik pelaksanaan tugas jabatan Notaris akan mengalami krisis kepercayaan. 143 DAFTAR PUSTAKA A. Buku – Buku Adam, Muhammad, 1985, Asal-Usul Dan Sejarah Akta Notarial, CV. Sinar Baru, Bandung. Abdulkadir, Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2001, Etika Profesi Hukum, Cetakan ke-II, PT Citra Aditya Bandung. Adjie, Habib, 2010, Bandung. Bakti, Hukum Notaris Indonesia, PT. Refika Aditama, ______, 2011, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, cetakan ke satu, PT Refika Aditama, Bandung ______, 2011, Majelis Pengawas Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung. Amirudin dan Zainal Asikin. 2012. Pengantar Metode Penilitian Hukum. Cet ke-6. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Andasasmita, Komar, 1981, Notaris I , Sumur Bandung, Bandung Artadi I Ketut dan Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuanketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Cetakan Pertama, Udayana University Press, Denpasar. Asser, C., 1991, Handieiding Tot de Beofening Van Het Nederlands Burgerlijk Recht (Pedoman Untuk Pengkajian Hukum Perdata diterjemahkan oleh Sulaiman Binol), Dian Rakyat, Cetakan pertama, Jakarta. Bahsan M., 2008, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Belinfante, A.D., 1983, Beginselen Van Nederlandse Staatsrecht, Samsom Uitgeverij Bruggink, J.J.H, 1999, Rechts Reflecties (Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta), Cetakan ke-II, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 144 Djumhana, Muhammad, 2000, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. F. Molenaar, 1985, Krediet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle Gazali, Djoni S dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan ,Sinar Grafika, Jakarta. Ghofur, Abdul, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta. Harun, Badriyah, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Hermansyah, 2009, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cet ke-5, Kencana Prenada Media Goup, Jakarta. Hernoko, Agus Yudha, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, LaksBang Mediatama, Yogyakarta. Ibrahim, Johannes, 2004, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif, Cetakan Pertama, CV. Utomo, Bandung. Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, cetakan pertama, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta Koesoemawati, Ira dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Goup, Surabaya. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2005, Hak Tanggungan, Ed.1, Cet. 3, Kencana, Jakarta. Nieuwenhus, J.H., 1985, Hoofdstukken Verbintenissenrecht (Pokok-Pokok Hukum Perikatan terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya. Notodisoerjo R, Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, cetakan kedua, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Prajitno, A. A. Andi, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris Di Indonesia. Putra Media Nusantara, Surabaya. 145 Putri A. R, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris (Indikator TugasTugas Jabatan Notaris yang Berimplikasi Perbuatan Pidana, P.T. Sofmedia,cetakan pertama. Purnamasari, Irma Devita, Bandung. 2011, Hukum Jaminan Perbankan, Kaifa, Puryatma, I Made, 2010, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta, Ikatan Notaris Indonesia Wilayah Bali NTT, Denpasar. Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. _______, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Yoyakarta Sadjijono, H., 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Presseindo, Yogyakarta. Salim HS, 2008. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Santosa Az, Lukman, 2011, Hak Dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Cetakan Pertama, Pustaka Yustisia, Jakarta Selatan. Satrio, J., 2007, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Seokanto, Soerjono dan Sri Mahmudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta Soesilo, R, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok – Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta. Subekti, R, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta. Subekti, R, dan Tjitrosudibio, R, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta. Suhrawardi, K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta. 146 Thamrin, Husni, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBank PresSindo, Yogyakarta. Trihartono, Sigit, 1996, Masalah Perbankan, Cetakan ke-2, CV. Aneka, Solo. Tobing G.H.S., Lumban, 1999, Erlangga, Jakarta. Peraturan Jabatan Notaris, Cet. kelima Untung, Budi, 2005, Visi Global Notaris, Andi, Yogyakarta Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, 2000, Jamian Fidusia, RajaGrafindo Persada, Jakatra. PT B. Majalah Latumeten, Pieter, 2009, Kebatalan dan Degradasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya, Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Surabaya. Sjahdeinim, Sutan Remy Rahasia Bank Berbagai Masalah dan Sekitarnya, Tidak dipublikasikan, tanpa tahun. Santoso, Soegeng, 2005, Menggapai Notaris Profesional, Materi Pra Kongres XIX Ikatan Notaris Indonesia, Makasar. Sofyan, Syafran, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Notaris, Minuta, Edisi Perdana, PT Media Informasi Utama, Surabaya. Majalah Berita Bulanan Notaris/PPAT, RENVOI No.32/Th.III/Januari 2006, PT.Jurn al Renvoi Mediatama, Jakarta. Yudara, N.G, 2005, Pokok-Pokok Pemikiran Diseputar Kedudukan Dan Fungsi Notaris Serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum Indonesia, C. Disertasi dan Tesis Adjie, Habib, 2007, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik Berkaitan Dengan Pembuatan Akta Berdasarkan Undang - Undang Jabatan Notaris, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 147 D. Internet Sonny Pungus, 2010 Teori – pertanggung jawaban (tanggal 5 Mei 2013) tersedia pada http://sonny-tobelo.blogspot.com/2010/12/teoripertanggungjawaban .html,. E. Peraturan Perundang-undangan : Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserata Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1996 nomor 42) Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lem baran Negara Republik Indnesia Tahun 1998 Nomor 182) Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 nomor 168) Undang–Undang nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117). Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 1971 tentang Pajak atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito, dan Tabungan. Keputusan Menteri Keuangan nomor 1287/KMK.04/1991 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito dan Tabungan.