tanggung jawab notaris dalam pengikatan jaminan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum.
Sebagai negara yang menganut prinsip negara hukum, maka negara menjamin
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran
dan keadilan bagi kehidupan masyarakatnya. Hal ini tentunya menuntut
antara lain, bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat
memerlukan adanya alat bukti tertulis yang menentukan dengan jelas hak dan
kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Alat bukti tertulis merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan oleh
semua
orang
dalam
mengisi
kehidupannya
terutama
pada
sistem
perekonomian yang memasuki era globalisasi. Kesadaran akan kebutuhan alat
bukti tertulis inilah yang memunculkan suatu pemikiran untuk membuat
suatu alat bukti tertulis berupa akta otentik yang dapat melindungi hak-hak
seseorang dalam berinteraksi dengan yang lainnya.
Keberadaan Akta otentik sebagai alat bukti tertulis, mempunyai
peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat,
dalam berbagai kegiatan ekonomi, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan,
kegiatan sosial, dan lain-lain. Kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa
akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan
kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada
tingkat nasional, regional, maupun global. Dengan
akta otentik dapat
2
ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan
sekaligus diharapkan pula dapat menghindari terjadinya sengketa.
Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (selanjudnya ditulis KUHPerdata) adalah suatu akta yang
dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana
akta dibuatnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang - Undang
Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang dimuat dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 117 (selanjutnya ditulis
Undang-Undang
Jabatan Notaris), Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk
membuat
akta
otentik
dan
kewenangan
lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Kedudukan Notaris
sebagai pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada Notaris tidak
pernah diberikan kepada pejabat lainnya, selama dan sepanjang kewenangan
tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya, maka kewenangan tersebut menjadi
kewenangan Notaris.
Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tersebut sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris
sebagai pejabat umum memiliki ciri utama yaitu pada kedudukannya yang
netral, tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan dan mandiri
(neben) serta bebas dari pengaruh siapapun termasuk kekuasaan eksekutif.
Bahkan lebih tegas dapat dikatakan bukan sebagai salah satu pihak, sebab
Notaris tidak akan membuat akta jika tidak ada keinginan atau kehendak dan
3
permintaan para pihak. Selain itu Notaris merupakan pejabat umum yang
diangkat untuk pembuatan alat-alat bukti tertulis, sehingga Notaris itu tidak
melakukan perbuatan yang dilakukan para pihak, tetapi hanya membuatkan
alat bukti tertulis bagi kedua belah pihak.
Kewenangan Notaris disamping diatur dalam Pasal 15 UndangUndang
Jabatan Notaris, juga ada kewenangan yang ditegaskan dalam
peraturan perundang-undangan yang lain, dalam arti peraturan perundangundangan yang bersangkutan menyebutkan dan menegaskan agar perbuatan
hukum tertentu wajib dibuat dengan akta notaris, antara lain Undang-Undang
nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserata BendaBenda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya ditulis Undang-Undang
Hak Tanggungan) yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 1996 nomor 42, yang dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak
Tanggungan yang menyatakan bahwa Surat kuasa membebankan hak
tanggungan harus dibuat dalam bentuk
akta Notaris atau akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah dan Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia (selanjutnya ditulis Undang-Undang Fidusia) yang dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 nomor 168, dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Fidusia yaitu pembebanan benda dengan
jaminan Fidusia dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan
merupakan akta jaminan fidusia.
Sehubungan dengan kewenangan Notaris tersebut maka Notaris
bertanggung jawab dalam mengemban kewenangan yang diberikan
kepadanya itu. Adapun tanggung jawab itu adalah :
4
a.
Tanggung jawab atas keotentikan formil akta, yaitu Notaris bertanggung
jawab mengenai waktu dan tempat pembuatan akta bahwasanya memang
benar sesuai dengan yang tertera dalam akta yang dibuatnya pada kepala
akta mengenai waktu dan pada penutup akta mengenai tempat. Notaris
bertanggung jawab mengenai identitas dari para penghadap dan
tindakanya dalam akta ini (komparisi memang benar demikian seperti
apa yang tertera dalam akta). Notaris bertanggung jawab mengenai
keabsahan tanda tangan atau cap jempol dari para penghadap dalam akta
dan memang benar tanda tangan/cap jempol para penghadap. Notaris
bertanggung jawab mengenai prosedur pembutan akta tersebut memang
benar sesuai dangan tata cara pembuatan akta otentik sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.
Tanggung jawab atas keotentikan formil akta begitu penting karena
memang keberadaan Notaris dimaksudkan untuk hal itu sehingga
Undang-Undang Jabatan Notaris menyiapkan suatu sanksi khusus atas
pelanggaran tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 84 UndangUndang Jabatan Notaris sebagaimana telah di uraikan di atas.
b. Tanggung jawab atas keotentikan materiil akta, yaitu bahwa isi dari akta
itu (dianggap) dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang
menyuruh membuat akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya
(termasuk ahli warisnya atau orang lain yang mendapat hak darinya).
Tanggunga jawab Notaris hanya menyatakan kebenaran dari apa yang di
saksikanya, dilihat, didengar dan dilakukan sendiri dan diterangkannya
dalam akta tersebut.
5
c. Tanggung jawab atas kerahasiaan akta yang dibuatnya. Hal ini sangat
penting karena jabatan Notaris
adalah jabatan kepercayaan. Seorang
Notaris yang tidak bisa menjaga kerahasiaan akta dan keterangan yang
diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya, lama kelamaan tidak akan
mendapat tempat dan tidak akan diterima oleh masyarakat. Orang tidak
akan mau mempercayakan rahasianya kepada Notaris bersangkutan.1
Notaris sebagai pejabat umum merupakan jabatan kepercayaan yang
bersumber dari negara dan masyarakat. Kepercayaan yang diberikan oleh
negara melalui ketentuan undang-undang yaitu dengan menjalankan sebagian
kekuasaan negara dibidang hukum perdata, antara lain mengatur hubunganhubungan hukum yang di lakukan oleh masyarakat untuk dituangkan dalam
suatu akta otentik, oleh karena itu ketika menjalankan tugasnya, Notaris wajib
diposisikan sebagai pejabat umum yang mengemban tugas negara. Sedangkan
kepercayaan masyarakat adalah dengan mempercayai atau menghendaki atau
meminta agar perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat dituangkan
dalam suatu akta otentik yang memiliki kekuatan bukti yang sempurna.
Sebagai alat bukti yang sempurna maksudnya adalah kebenaran yang
dinyatakan di dalam akta notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan alat bukti
yang lain. Undang-undang memberikan kekuatan pembuktian demikian itu
1
I Made Puryatma, 2010, Tanggung Jawab Notaris Dalam
Pembuatan Akta, Ikatan Notaris Indonesia Wilayah Bali NTT, Denpasar,
hal. 85
6
atas akta tersebut karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan Notaris sebagai
pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah.2
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, masyarakat yang telah
memberikan kepercayaan kepada Notaris, menghendaki pula agar Notaris
wajib merahasiakan setiap perbuatan hukum yang dituangkan dalam isi akta
beserta segala keterangan yang diberikan kepada Notaris dalam pembuatan
akta yang bersangkutan atau yang dikenal dengan rahasia jabatan Notaris.
Salah satu bagian dari sumpah/janji Notaris atau sumpah jabatan yaitu bahwa
Notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam
pelaksanaan jabatan Notaris, seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Jabatan Notaris.
Kewajiban merahasiakan mengenai isi akta dan keterangan yang
diperoleh dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris, secara tegas dapat pula
ditemukan dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) hurup e Undang-Undang
Jabatan Notaris adalah merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang
dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Dengan demikian batasannya hanya undang-undang
memerintahkan
2
Notaris
untuk
membuka
rahasia
saja yang dapat
isi
akta
dan
Putri A. R., 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator
Tugas-Tugas Jabatan Notaris yang berimplikasi Perbuatan Pidana, cetakan
pertama, P.T. Sofmedia, Jakarta, hal. 3
7
keterangan/pernyataan yang diketahui Notaris yang berkaitan dengan
pembuatan akta yang dimaksud3.
Selain pengecualian tersebut di atas diatur pula pada ketentuan Pasal
54 Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa Notaris hanya dapat memberikan,
memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta atau
kutipan akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli
waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan.
Akta yang dibuat oleh Notaris, mempunyai kepastian isi, kepastian
tanggal dan kepastian orangnya. Bahwa akta otentik itu mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya dan
mengikat para pihak serta berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Jadi apabila antara para pihak yang membuat perjanjian itu
terjadi sengketa, maka apa yang tersebut dalam akta merupakan suatu alat
bukti yang mengikat dan sempurna, harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus
dianggap sebagai benar (selama kebenarannya tidak dibuktikan lain) dan
tidak memerlukan tambahan pembuktian. Sehubungan dengan akta yang
dibuat oleh Notaris, menurut G.H.S Lumban Tobing, dalam Peraturan Jabatan
Notaris terdapat dua (2) golongan akta Notaris, antara lain :
1. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau yang dinamakan akta relaas atau
akta pejabat (ambtelijke akten); Akta pejabat yaitu dimana Notaris
menerangkan/memberikan dalam jabatannya sebagai pejabat umum
3
Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik
Terhadap UU no.30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, cet. Kedua, PT
Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut buku I), hal. 89
8
kesaksian dari apa yang dilihat, disaksikan dan dialaminya, yang dilakukan
oleh pihak lain. Termasuk di dalam akta relaas antara lain berita acara
rapat para pemegang saham dalam perseroan terbatas, akta pencatatan
budel, dan lainnya.
2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris atau dinamakan akta
partij (partij akten) dalam akta partij
dicantumkan secara otentik
keterangan-keterangan dari orang-orang yang bertindak sebagai pihakpihak dalam akta tersebut. Termasuk di dalam akta partij antara lain aktaakta yang memuat perjanjian hibah, jual beli, wasiat, kuasa, dan lain
sebagainya. 4
Keberadaan Notaris diharapkan dapat melindungi kepentingan hukum
masyarakat serta dapat memberikan pelayanan hukum dan penyuluhan
hukum kepada masyarakat khususnya dalam hal pembuatan akta, sehingga
masyarakat akan mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum.
Hal ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh peningkatan proses
pembangunan yang secara otomatis meningkatkan pula kebutuhan hukum
dalam masyarakat. Kebutuhan hukum dalam masyarakat dapat dilihat dengan
semakin banyaknya bentuk perjanjian dan pendirian badan usaha seperti
koperasi dan bank, mulai dari pendiriannya sampai dalam operasionalnya
sangat membutuhkan jasa Notaris.
Dalam perkembangan perekonomian saat ini, bank memiliki peran
utama dalam sistem keuangan di sebuah negara. Bank merupakan lembaga
keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, badan-badan pemerintah dan
4
G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Cet.
kelima Erlangga, Jakarta hal. 51
9
swasta, maupun perorangan menyimpan dananya. Melalui kegiatan
perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan
pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi sektor
perekonomian. Dalam fungsi tersebut, terdapat dua pihak yang berkorelasi,
yakni pengguna layanan bank dan penyelenggara bank, atau pihak bank dan
masyarakat. Oleh karena bagaimanapun juga, eksistensi sebuah bank, sangat
dipengaruhi oleh masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan Pasal 1 butir 2 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (untuk selanjutnya
ditulis Undang-Undang
Nomor 10
Tahun 1998) yang termuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, merumuskan
bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Berdasarkan rumusan tersebut terlihat bahwa lembaga perbankan
merupakan sebuah lembaga yang harus mampu dipercaya oleh tiap
nasabahnya, baik nasabah penyimpan maupun nasabah peminjam (nasabah
debitur). Melalui kepercayaan dari nasabahlah, sebuah bank mampu bertahan
untuk tetap menjalankan kegiatannya dalam menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkannya kembali ke masyarakat.
Untuk menggerakkan
usahanya, bank tidak hanya menjalankan
kegiatan menghimpun dan menyalurkan kembali dana dari dan kepada
10
masyarakat, tetapi lebih jauh menawarkan jasa-jasa usaha yang boleh
dilakukan. Sesuai dengan fungsi bank antara lain adalah untuk mencari dan
menghimpun dana serta menyalurkan kembali dana dari masyarakat, nasabah
penyimpanan memegang peranan penting terhadap pertumbuhan suatu bank,
sebab jumlah dana yang berhasil dihimpun atau disimpan tentunya akan
menentukan pula jumlah dana yang dapat dikembangkan oleh bank tersebut
dalam bentuk penanaman dana yang menghasilkan, misalnya pemberian
kredit, pembelian efek-efek dan lain-lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
dana yang dibutuhkan oleh bank dalam pengelolaan bank tidak semata-mata
hanya mengandalkan modal yang dimiliki oleh bank saja terutama pada para
pemegang saham tetapi bank harus sedemikian rupa dapat menggerakakn dan
memotivasi masyarakat untuk menyimpan dana yang dimilikinya, baik
berupa simpanan maupun dalam bentuk lainnya.
Penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh bank
dihimpun dalam bentuk simpanan. Pengertian simpanan disebutkan dalam
ketentuan Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito,
sertifikat deposito, tabungan, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu. Adapun pengertian dari bentuk simpanan tersebut
antara lain sebagai
berikut :
1. Simpanan Giro, menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu simpanan yang dapat digunakan
sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat
11
dengan menggunakan cek, bilyet giro dan sarana perintah pembayaran
lainnya.
2. Deposito berjangka, ketentuan Pasal 1 butir 7 Undang-Undang nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu simpanan yang penarikannya hanya
dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian nasabah
penyimpan dengan bank.
3. Sertifikat deposito, ketentuan Pasal 1 butir 8 Undang-Undang nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu simpanan dalam bentuk deposito
yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindah tangankan.
4. Tabungan, menurut ketentuan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu simpanan yang penarikannya hanya
dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat
ditarik dengan cek, bilyet, giro dan atau alat yang dapat dipersamakan
dengan itu.
Menurut Hermansyah, pada prinsipnya sumber dana dari suatu bank
itu terdiri dari empat sumber dana, yaitu ;
1. Dana yang bersumber dari bank sendiri;
2. Dana yang bersumber dari masyarakat;
3. Dana yang bersumber dari Bank Indonesia sebagai bank sentral;
4. Dana yang bersumber dari lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan
bukan bank. 5
Pengaturan gerak pelaksanaan bank harus sesuai dengan aktivitas
bank yang berkaitan dengan menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat
5
Hermansyah, 2009, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cet ke5, Kencana Prenada Media Goup, Jakarta, hal. 44
12
secara efektif dan efesien agar mencapai sasaran yang optimal, maka harus
pula diiringi dengan pembinaan dan pengawasan yang efektif dan optimal
pula. Sasaran yang hendak di capai dari upaya pembinaan dan pengawasan
tersebut adalah agar perbankan mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar
dan mampu menghadapi persaingan yang bersifat global, mampu melindungi
secara baik dana yang dititipkan masyarakat kepada bank, serta mampu
menyalurkan dana tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian
sarana pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa suatu bank tidak hanya
mempunyai kewajiban ekonomis dan legal kepada pemegang saham, tetapi
bank juga mempunyai kewajiban terhadap pihak lain yang berkaitan dengan
bank terutama untuk kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya, serta
untuk mendapatkan kepercayaan yang lebih dari masyarakat umum untuk
menyimpan dananya pada bank.
Aktivitas bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang
nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan ditetapkan salah satu azas dari
perbankan
di
Indonesia
adalah
azas
demokrasi
ekonomi
dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Persyaratan bank yang sehat dan mampu
melindungi dana yang dititipkan masyarakat kepadanya merupakan hal yang
sangat diperlukan guna menumbuhkan kepercayaan terhadap dunia
perbankan. Untuk itu prinsip kehati-hatian dalam mengelola dana haruslah
berpijak pada prinsip responsibilitas. Dengan penerapan prinsip ini
diharapkan timbulnya kepatuhan
pada aturan hukum yang berlaku dan
melakukan kegiatan secara bertanggungjawab kepada nasabah penyimpan
13
dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan para pihak yang
berkepentingan terhadap bank.
Kegagalan penyelenggaraan usaha-usaha perbankan lebih banyak
terjadi oleh karena kurang kehati-hatian pihak bank dalam mengelola dana
masyarakat. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan bank berada dalam
posisi sulit dan membahayakan. Jika ini terjadi maka Bank Indonesia sebagai
bank sentral akan mengambil kebijakan guna menyelamatkan posisi bank itu,
untuk kepentingan-kepentingan para pihak yang terkait dengan aktivitas bank
tersebut. Bank perlu diselamatkan, para nasabah bankpun perlu dilindungi.
Bagi bank hal ini menyangkut kelangsungan usahanya, sedangkan bagi
nasabah bank, hal ini menyangkut pula tentang hak (privat) yang
berhubungan dengan harta kekayaannya. Lebih jauh lagi upaya yang
demikian
itu
dimaksudkan
pula
untuk
menumbuhkan
kepercayaan
masyarakat terhadap dunia perbankan.
Bank merupakan lembaga keuangan yang mengandalkan kepercayaan
masyarakat, guna mempertahankan kepercayaan masyarakat dan eksistensi
dari bank tersebut, maka bank wajib untuk melindungi dana nasabah
penyimpan dan simpanannya serta juga berkewajiban menjaga kerahasiaan
terhadap dana nasabahnya dari pihak-pihak yang dapat merugikan nasabah,
bahkan hal itu tidak jarang dilakukan oleh pegawai bank itu sendiri. Oleh
karena itu nasabah bank sebagai konsumen perbankan patut dilindungi hak
dan kepentingannya.6
6
Lukman Santosa Az, 2011, Hak Dan Kewajiban Hukum Nasabah
Bank, Cetakan Pertama, Pustaka Yustisia, Jakarta Selatan, hal. 113
14
Kewajiban menjaminan kerahasian bank atas semua data-data dan
informasi
mengenai
nasabah
penyimpan
dan
simpanannya
dalam
hubungannya dengan bank, maka masyarakat mempercayai bank tersebut,
kemudian selanjutnya mereka akan mempercayakan uangnya pada bank atau
memanfaatkan jasa bank. Kepercayaan masyarakat lahir apabila dari bank ada
jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan
nasabah tidak disalahgunakan. Dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan
bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Ketentuan rahasia bank
berlaku pula bagi pihak terafiliasi dalam operasional bank.7
Berkenaan dengan perkembangan kondisi politik di dalam negeri dan
keadaan sosial, terutama yang menyangkut timbulnya kejahatan-kejahatan
dalam bidang money laundering dan kebutuhan akan adanya stabilitas
ekonomi, terutama stabilitas moneter, telah menimbulkan kebutuhan akan
peraturan kewajiban rahasia bank yang bersifat relatif. Sifat relatif yang
dimaksudkan bahwa kepentingan Negara, bangsa dan masyarakat umum
harus didahulukan dari pada kepentingan nasabah penyimpan secara pribadi,
maka kewajiban bank untuk melindungi kepentingan nasabah penyimpan dan
simpanannya secara individual itu (dalam arti tidak boleh mengungkapkan
keadaan keuangan nasabah penyimpan) harus dapat dikesampingkan.
Kepercayaan dari masyarakat dapat dikatakan sebagai kunci utama
bagi berkembang atau tidaknya sebuah lembaga perbankan. Berawal dari
kepercayaan masyarakat itulah maka keadaan nasabah wajib dirahasiakan.
Rahasia bank akan dapat lebih dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan
7
Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan Di Indonesia,
Cetakan ke V, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 169
15
bukan sekedar hanya sebagai kewajiban kontraktual di antara bank dan
nasabah, tetapi ditetapkan sebagai kewajiban pidana. Apabila hanya
ditetapkan sebagai kewajiban kontraktual belaka, maka kewajiban bank itu
menjadi kurang kokoh karena kewajiban kontraktual secara mudah dapat
disimpangi.
Dasar hukum dari ketentuan rahasia bank di Indonesia mula-mula
ialah Undang-Undang
nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tetapi
kemudian telah diubah dengan Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan. Pengertian rahasia bank oleh Undang-Undang nomor 7
Tahun 1992
tentang Perbankan diberikan dalam Pasal 1 butir 16 yang
berbunyi sebagai berikut:
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang
menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Pengertian ini telah
diubah dengan pengertian yang baru oleh Undang-Undang nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, yaitu dalam Pasal 1 butir 28 Undang-Undang
nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi sebagai berikut: Rahasia bank adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan Simpanannya.
Berdasarkan rumusan rahasia bank tersebut, jelaslah bahwa ruang
lingkup dari rahasia bank adalah hanya mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal 40 ayat (1)
menentukan Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana di maksud
16
Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44 A. dan ayat (2)
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula pada pihak
terafilasi.
Dalam penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang nomor 10 tahun
1998 tentang Perbankan, dinyatakan bahwa apabila nasabah bank adalah
nasabah penyimpan yang sekaligus sebagai nasabah debitur, bank wajib tetap
merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai
nasabah penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah
penyimpan bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank.
Berdasarkan ketentuan tersebut yang wajib dirahasiakan oleh pihak bank /
pihak yang terafiliasi hanya keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpananya. Apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus
juga nasabah debitur, bank wajib merahasiakan keterangan tentang nasabah
dalam kedudukanya sebagai nasabah penyimpan. Dengan demikikan jika
nasabah itu hanya berkedudukan sebagai nasabah debitur maka keterangan
tentang nasabah debitur tidak wajib dirahasiakan oleh bank / pihak terafiliasi.
Ketentuan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang nomor 10 tahun 1998
tentang Perbankan yang berkewajiban memegang teguh rahasia bank ialah;
Anggota Dewan Komisaris Bank, Anggota Direksi Bank, Pegawai Bank,
Pihak terafiliasi lainnya dari bank. Dalam Pasal 1 butir 22 Undang-Undang
nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan yang dimaksudkan dengan pihak
terafiliasi ialah:
a. anggota dewan komisaris, pengawas, pengelola atau kuasanya,
pejabat, atau karyawan Bank;
17
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, Pejabat atau
karyawan Bank, khusus bagi bank yang berbentuk badan hukum
koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akuntan
publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan
keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga
direksi, keluarga pengurus.
Pihak terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan dengan
kegiatan serta pengelolaan usaha jasa pelayanan yang diberikan oleh bank.
Hubungan tersebut melalui cara menggabungkan dirinya pada bank tetapi
dengan tidak kehilangan identitasnya. Penggabungan diri tersebut karena
keterikatan kepemilikan bahkan adanya keterikatan hubungan keluarga
dengan pihak tertentu, pengurusan maupun karena hubungan kerja biasa
seperti karyawan, atau hubungan kerja dalam rangka memberikan pelayanan
jasanya kepada bank seperti konsultan hukum8. Konsultan hukum yang
dimaksud adalah salah satu dari bagian pejabat yang berada diluar
kepengurusan bank, yang bertugas memberikan nasehat kepada pengurus
ataupun dapat bertindak sebagai kuasa hukum dari bank yang bersangkutan
dan dapat memberikan suatu penelitian hukum (legal audit) guna menentukan
legitimasi hukum (legal opinion) dalam prospektus sebagai salah satu
persyaratan untuk go public.9
Bank dapat dikatakan sebagai urat nadi perekonomian suatu negara,
oleh karena itu perkembangan dunia perbankan dapat menjadi indikator
kemajuan perekonomian negara yang bersangkutan. Semakin maju suatu
negara, maka semakin besar peranan perbankan dalam pembangunan negara
8
9
Ibid., hal. 278
Ibid., hal. 293
18
tersebut. Salah satu fungsi bank yaitu sebagai lembaga kredit, yaitu
Pemberian kredit kepada masyarakat merupakan usaha yang terpenting bank
dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga keuangan. Pengertian Kredit
menurut Pasal 1 butir 11 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kredit berupa
pemberian kredit merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, yang juga
sebagai aset utama yang sekaligus menunjukkan maju mundurnya bank yang
bersangkutan. Kredit yang diberikan oleh bank mengadung suatu resiko usaha
bagi bank. Resiko yang dimaksud adalah resiko terhadap kemungkinan kredit
itu tidak dibayar kembali oleh debiturnya yang akhirnya menimbulkan kredit
macet, sehingga dalam pelaksanaanya pemberian kredit oleh bank, harus
memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Guna mencegah dan
mengurangi resiko tersebut maka perbankkan diharuskan untuk melaksanakan
prinsip kehati-hatian, dengan memperhatikan obyek jaminan kredit. Terhadap
setiap obyek jaminan yang diserahkan debitur dan disetujuai oleh bank, harus
segera diikat sebagai jaminan hutang. Dengan demikian sangat dibutuhkan
peranan Notaris dan PPAT dalam memberikan jasa kepada bank untuk
membuat akta-akta seperti akta perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, akta
cessie, novasi dan akta-akta pengikatan jaminan berupa Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT), Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
19
(SKMHT), Jaminan Fidusia, Jaminan Deposito serta perjanjian-perjanjian
lainnya.
Dilihat dari pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 butir 7 UndangUndang nomor 10 tentang Perbankan, deposito adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan
perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Deposito berjangka menurut
undang-undang termasuk sebagai salah satu benda bergerak yang tidak
berwujud karena dianggap surat yang berharga. Deposito berjangka
merupakan suatu piutang atas nama dilihat dari bukti kepemilikan bilyet
deposito berjangka sehingga jika dijadikan jaminan kredit dengan cara
digadaikan.
Bank mengklasifikasikan deposito sebagai jaminan tambahan yang
menguntungkan karena memiliki tingkat kepastian nominal yang sudah pasti
dan likuiditasnyapun paling likuid dibanding dengan jaminan lainnya. Oleh
karena itu, jika memungkinkan, jaminan inilah yang dimintakan kepada calon
debitur untuk diserahkan. Selain faktor kepastian dan likuiditas tersebut,
alasan lain bagi Bank memberikan jaminan deposito atas kreditnya adalah
proses persetujuan kreditnya mudah, cepat, tidak berbelit-belit serta biayanya
kecil. Selebihnya adalah faktor psikologis penggunaan kredit juga turut
menjadi pertimbangan nasabah dimana dengan menggunakan kredit bank,
debitur merasa lebih bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangannya.
Dalam pengikatan akta Jaminan Deposito, dimana nasabah penyimpan
sebagai subyek perjanjian dan deposito merupakan simpanan dari nasabah
penyimpan sebagai obyek perjanjian, yang wajib untuk dirahasiakan oleh
20
Notaris dan pihak bank dalam kaitannya dengan rahasia bank. Notaris sebagai
pihak yang memberikan jasanya kepada bank, dimana bank menghendaki
agar Notaris merahasiakan segala perbuatan hukum yang dituangkan dalam
isi akta dan segala keterangan yang diberikan kepada Notaris dalam
pembuatan akta yang dimaksud.
Arti penting Notaris adalah untuk memberikan kepastian hukum,
memberikan nasehat-nasehat dan pendapat-pendapat agar para pihak yang
melakukan perbuatan hukum dijamin kerahasiaannya sesuai dengan koridor
hukum yang berlaku. Notaris juga diharapkan berperan dalam rangka
memberikan perlindungan-perlindungan hukum kepada
masyarakat yang
akan melakukan perbuatan hukum dihadapannya.
Berdasarkan uraian di atas terdapat
kekaburan norma10 dalam
ketentuan Pasal 1 butir 22 huruf c tentang pihak terafiliasi dalam UndangUndang nomor 10 tahhun 1998 tentang Perbankan, yang merumuskan :
pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akuntan publik,
penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya.
Ketentuan ini tidak
mencantumkan secara jelas apakah Notaris dalam memberikan jasa kepada
bank dalam pembuatan akta jaminan deposito, ikut sebagai pihak terafiliasi,
sehingga ada kekaburan norma dalam Pasal tersebut yang berdampak pada
kerahasiaan bank dan bagaimana tanggung jawab Notaris dalam pengikatan
jaminan Deposito, apakah tunduk pada ketentuan rahasia bank yang diatur
dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan atau tunduk
10
Pengertian kabur adalah pengertian yang isinya tidak dapat
ditetapkan secara persis sehingga lingkupnya tidak jelas, J.J.H.
Bruggink,1999, Rechts Reflecties (Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa
Arief Sidharta), Cetakan ke-II, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 6
21
pada Rahasia Jabatan Notaris yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris. Dengan demikian ada konflik norma antara rahasia bank dengan
rahasia jabatan Notaris.
Berkenaan dengan kekaburan norma dan konflik norma tesebut di
atas, penting untuk dilakukan penelitian diangkat sebagai karya ilmiah dalam
bentuk tesis dengan judul TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM
PENGIKATAN
JAMINAN
DEPOSITO
BERKAITAN
DENGAN
RAHASIA BANK.
Untuk menunjukkan originalitas dari tulisan ini, dikemukakan
beberapa karya tulisan yang ada kaitannya dengan judul tesis ini yaitu sebagai
berikut:
1. Tesis yang ditulis oleh THI Teresa Tarigan, Universitas Indonesia dengan
judul Tinjauan Yuridis Mengenai Rahasia Bank Dalam Pemberian Jasa
Notaris Terhadap Bank dan Pengecualian Rahasia Bank dan Rahasia
Jabatan Notaris dengan rumusan masalah :
1. Bagaimana pengaturan ketentuan rahasia bank secara khusus dalam
kaitanya dengan pemberian jasa notaris terhadap bank ?
2. Bagaimana pengaturan mengenai pengecualian keberlakuan ketentuan
rahasia bank dan rahasia jabatan notaris dalam Undang-Undang nomor
8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pembrantasan tindak pidana
pencucian uang di indonesia ?
2. Tesis yang ditulis oleh EVIE MURNIATY, Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang dengan judul Tanggung
22
Jawab Notaris Dalam Hal Terjadi Pelanggaran Kode
Etik, dengan
rumusan masalah ;
1. Bagaimanakah tanggung jawab notaris dalam hal terjadi pelanggaran
kode etik ?
2. Bagimana akibat hukum jika terjadi pelanggaran kode etik oleh
Notaris ?
3. Tesis yang ditulis oleh Yenny Lestari Wilamarta, Program Studi Magister
Kenotariatan,Universitas Indonesia, dengan judul Rahasia Notaris, Hak
Ingkar Dan Perlindungan Hukum Bagi Notaris
Yang Membuka Isi
(Rahasia) Akta, rumusan masalah yang diteliti dalam tulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah Notaris diperbolehkan membuka isi (rahasia) akta yang
dibuatnya kepada lembaga penyidik atau lembaga penuntut?
2. Apakah Notaris dapat menggunakan hak ingkar yang terdapat dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris bila bertentangan dengan undangundang lainnya?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Notaris yang membuka isi
(rahasia) akta ?
Penelusuran kepustakaan melalui internet, tidak ditemukan adanya
kesamaan dalam hal isi maupun substansi karya tulis yang telah dimuat
sebelumnya, oleh karena itu tingkat originalitas penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya.
23
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka
dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana kedudukan Notaris dalam pengikatan jaminan deposito
berkaitan dengan rahasia bank?
b. Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan
jasanya kepada bank dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan
dengan rahasia bank?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat
umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu
hukum dalam bidang Hukum perbankkan, serta menghubungkannya dengan
Hukum Kenotariatan mengenai kedudukan dan tanggung jawab Notaris
sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank dalam pengikatan
jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mendalami permasalahan
hukum yaitu :
a.
Untuk mendalami dan menganalisis permasalahan hukum mengenai
kedudukan Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank
dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank.
24
b. Untuk
mendalami dan menganalisis permasalahan hukum mengenai
tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada
bank dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank.
1.4. Manfaat penelitian
Setiap penelitian tentu harus memiliki manfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan hukum, maka penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan menambah referensi
dalam bidang Ilmu Hukum khususnya dalam bidang Hukum Perbankkan dan
Hukum Kenotariatan
mengenai kedudukan dan tanggung jawab Notaris
sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank berkaitan dalam
pembuatan akta jaminan deposito dengan rahasia bank.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
imformasi bagi Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank
dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank dan
memberikan pengetahuan kepada masyarakat khususnya mengenai rahasia
bank.
1.5. Landasan Teoritis
Dalam hal adanya peraturan perundang-undangan yang tidak jelas
atau kabur, oleh karena itu harus ditemukan hukumnya dengan menjelaskan,
menafsirkan peraturan
perundang-perundangannya. Untuk mengkaji dan
menjawab masalah pertama yang ada dalam tesis ini digunakan metode
25
penafsiran ekstentif atau penafsiran memperluas yaitu memperluas pengertian
atau istilah yang ada dalam suatu undang-undang. Penafsiran ini masih
berpegang pada ketentuan undang-undang, oleh karenanya dapat diuji oleh
pihak lain (objektif).
Penafsiran ekstentif atau penafsiran memperluas untuk mengkaji dan
menjawab permasalahan kedudukan Notaris dalam pengikatan jaminan
deposito berkaitan dengan rahasia bank terutama dalam ketentuan Pasal 40
dan Pasal 1 butir 22 hurup c tentang pihak terafiliasi dalam Undang-Undang
nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang merumuskan : pihak yang
memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akuntan publik,
penilai,
konsultan hukum, dan konsultan lainnya. Ketentuan ini tidak mencantumkan
secara jelas apakah Notaris dalam memberikan jasanya berupa pengikatan
jaminan deposito ikut sebagai pihak terafiliasi. Apakah maksud pembuat
undang-undang, Notaris itu termasuk konsultan lainnya dalam pasal tersebut.
Dengan demikian ada kekaburan norma terhadap pengertian konsultan
lainnya yang mengandung pengertian yang tidak jelas dalam Pasal tersebut di
atas akan berdampak pada ketentuan kerahasiaan bank, sedangkan untuk
mengkaji dan menjawab masalah kedua dalam tesis ini,
dimana adanya
konflik norma hukum antara rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dengan rahasia jabatan notaris yang
diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, dengan demikian dalam
membahas masalah tersebut menggunakan salah satu asas hukum yaitu asas
lex specialis derogat lex generalis, dimana Undang-Undang Nomor 10 tahun
1998 tentang Perbankan merupakan ketentuan khusus sedangkan Undang-
26
Undang Jabatan Notaris merupakan ketentuan umum, dalam arti Notaris
khususnya dalam membuat akta jaminan deposito tunduk pada ketentuan
rahasia bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun
1998 tentang Perbankan,
sedangkan Notaris dalam membuat akta pada
umumnya tunduk pada rahasia jabatan Notaris sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris.
1.5.1. Teori Kewenangan
Teori kewenangan ini dikemukakan dengan tujuan untuk membahas
dan menganalisa masalah tentang kewenangan Notaris dalam memberikan
jasanya kepada bank dalam pembuatan akta pengikatan jaminan deposito.
Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan
kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan11.
Menurut S.F. Marbun wewenang mengandung arti kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis adalah
kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang
yang berlaku
untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.12 Wewenang dalam hukum
administrasi dapat diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau mandat.13
Wewenang yang diperoleh secara atribusi merupakan pemberian
wewenang yang
baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan
perundang-udangan atau aturan hukum. Wewenang secara delegasi
11
Habib Adjie, (buku I ) Op. Cit., hal. 77
H. Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi,,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 57
13
Habib Adjie, (buku I), Loc. Cit
12
27
merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu
peraturan perudang-udangan atau aturan hukum.14
Notaris adalah pejabat umum yang memperoleh wewenang secara
Atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh Undang Undang Jabatan Notaris15. Kewenangan tersebut adalah untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Jabatan Notaris. Kewenangan tersebut termuat dalam dalam Pasal 15
ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam ketentuan Pasal
15 Undang-Undang Jabatan Notaris terlihat bahwa wewenang utama Notaris
adalah membuat akta. Namun Notaris berwenang pula memberikan
penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
Wewenang utama dari Notaris adalah membuat akta otentik. Wewenang
Notaris dalam membuat akta meliputi 4 (empat) hal yaitu :
a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;
b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang), untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat;
c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu
dibuat;
d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Apabila salah satu persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka akta
yang dibuatnya itu adalah tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan
14
15
Habib Adjie, (buku I), Loc. Cit
Habib Adjie, (buku I), Op. Cit, hal. 78.
28
seperti akta yang dibuat dibawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh
para penghadap.
Menurut G.H.S. Lumban Tobing, bahwa Notaris selain membuat
akta otentik, juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan
(waarmerken dan legaliseren) surat-surat/akta-akta yang dibuat dibawah
tangan dan memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undangundang kepada pihak bersangkutan.16
1.5.2. Teori Perlindungan Hukum
Teori ini dipergunakan dengan tujuan untuk membahas dan
menganalisis masalah kewajiban bank kepada nasabah penyimpan dan
simpanannya berkaitan dengan rahasia bank, sehubungan dengan bank
menjalankan fungsinya dalam menyalurkan dananya, yang berupa pemberian
kredit dan guna melindungi dananya bank mengikat jaminan kredit tersebut
dengan jaminan deposito, dan Notaris sebagai pihak yang memberikan
jasanya kepada bank berupa akta pengikatan jaminan deposito berkaitan
dengan rahasia bank.
Menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum melindungi kepentingan
seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk
bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut17. Pengalokasian kekuasaan
ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan
kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak.
Dengan demikian, tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut
16
17
G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit, hal. 37
Hermansyah, Op. Cit, hal. 145
29
sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan
oleh hukum kepada seseorang.
Bank sebagai lembaga perbankkan merupakan suatu lembaga yang
tergantung dari kepercayaan masyarakat dalam arti tanpa adanya kepercayaan
dari masyarakat, maka bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan
usahanya dengan baik. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila dunia
perbankan harus sedemikian menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan
memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama
kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan. Dengan perkataan lain,
dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangpercayaan
masyarakat terhadap dunia perbankan, yang pada saat ini tengah gencar
melakukan ekspansi untuk mencari dan menjaring nasabah, maka
perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan terhadap kemungkinan
terjadinya kerugian sangat diperlukan.
Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan
Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat
dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu :
a. Perlindungan secara implisit (Implicit deposit protection), yaitu
perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank
yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank.
Perlindungan ini yang diperoleh melalui ;
1) peraturan perundang-undangan dibidang perbankan;
2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang
efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia;
30
3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada
khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya;
4) memelihara tingkat kesehatan bank;
5) melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian;
6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah, dan;
7) menyediakan infomasi risiko pada nasabah.
b. Perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu
perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin
simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan,
lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yng disimpan
pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui
pembentukan
lembaga
yang
menjamin
simpanan
masyarakat,
sebagaiman diatur dalam Keputusan Presiden RI No.26 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum. 18
Perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dapat ditemukan dalam
kewajiban bank dalam menjaga kerahasian bank. Ada 2 teori tentang rahasia
bank dikemukakan oleh Hermasyah, yaitu :
1. Teori Rahasia Bank Bersifat Mutlak
Menurut teori rahasia bank yang bersifat mutlak atau absolut ini, bank
mempunyai kewajiban yang mutlak untuk menyimpan rahasia atau
keterangan-keterangan mengenai nasabahnya yang diketahui oleh bank dalam
18
Hermansyah, Op.Cit, hal 132
31
keadaan apapun.Penetapan sanksi yang tergolong berat dapat dikenakan
kepada pelanggar rahasia bank.
2. Teori Rahasia Bank Bersifat Relatif
Teori rahasia bank yang bersifat relatif ini justru memberikan ruang
bagi bank untuk membuka rahasia atau keterangan-keterangan mengenai
nasabahnya apabila memang ada keadaan yang mendesak menuntut untuk itu,
antara lain adalah untuk kepentingan Negara.19
Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang menjalankan profesi
dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan
dan jaminan, demi tercapainya kepastian hukum. Notaris sebagai pejabat
umum dalam menjalankan jabatannya seharusnya memang diberikan
perlindungan. Perlindungan sebagaimana dimaksud:
1. Untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk
ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan
persidangan.
2. Merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta.
3. Menjaga minuta akta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta
atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris.
Bahwa perlindungan hukum yang dimaksud tidak diberikan kepada
pribadi Notaris akan tetapi kepada profesi dan jabatan Notaris yang
mengemban amanat dan kepercayaan masyarakat. Akan tetapi dalam
menjalankan jabatannya untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, seorang
19
Hermansyah, Op.Cit, hal 133.
32
Notaris pada suatu waktu diharuskan memberikan keterangan dengan tetap
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada.
1.5.3. Teori Pertanggung Jawaban Hukum
Teori ini dipergunakan dengan tujuan untuk membahas dan
menganalisis masalah tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang
memberikan jasanya kepada bank dalam pembuatan akta jaminan deposito
berkaitan
rahasia
bank.
Dalam
penyelanggaraan
kenegaraan
dan
pemerintahan, pertanggung-jawaban itu melekat pada jabatan, yang secara
yuridis dilekati dengan kewenangan. Dalam perspektif hukum publik, adanya
kewenangan inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan
dengan prinsip umum tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.20
Menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasi
pertanggung jawaban pejabat yaitu:
a.
teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena
tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban
tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b.
teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada
jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau
20
Ridwan HR, 2011,Hukum Administrasi Negara, cet. Ke-6,PT
Rajagrafindo Persada, hal. 334
33
kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan
berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.21
Pemberian kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta
sebagaiamana
diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Menurut
perspektif hukum publik adanya kewenangan terhadap akta–akta yang di buat
sejalan dengan prinsip umum yaitu tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban. Para ahli umumnya berpendapat bahwa, kalau terjadi pelanggaran
jabatan Notaris, maka ada 4 dimensi pertanggung jawab Notaris yaitu :
1. Pertanggung jawab administrasi, antara lain berupa : pemberhentian dari
jabatan (sementara dan tetap);
2. Pertanggung jawab perdata;
3. Pertanggung jawab pidana;
4. Pertanggung jawab moral/spritual menurut agama yang bersangkutan. 22
1.6 Metode Penelitian
Tesis ini Penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau penelitian hukum
kepustakaan23.
Penelitian ini merupakan suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, yang
beranjak dari kekaburan norma di dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, yang terkait mengenai kedudukan dan tanggung
21
http: //sonny - tobelo.blogspot.com/2010/12/teori - pertanggung
jawaban.html, tanggal 5 mei 2013
22
A Ratu Tanah Boleng, 2010, Tanggung Jawab Notaris Secara
Perdata dan Pidana, Serta Implementasinya Dalam Putusan Hakim Diskusi
Panel Ikatan Notaris Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia pengurus wilayah
bali dan NTT hal. 162
23
Soerjono Seokanto dan Sri Mahmudji, 2009, Penelitian Hukum
Normatif, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 13.
34
jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada bank dalam
pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank.
1.6.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum
normatif. Sesuai dengan karakter dan tradisi ilmu hukum, maka penelitian
normatif merupakan ciri khas dari ilmu hukum. Pendekatan-pendekatan yang
digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-Undang
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historiscal approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).24
Dalam penulisan tesis ini dipergunakan dua pendekatan yaitu
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep
(conceptual approach). Penggunaan kedua pendekatan ini dimaksudkan
untuk memperoleh kajian yang menyeluruh mengenai hal-hal yang berkaitan
kedudukan Notaris sebagai pihak yang memberikan jasa kepada bank dalam
pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank dan tanggung
jawab Notaris berkaitan dengan rahasia bank .
Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang
sedang
ditangani25.
Dalam penelitian ini perundang-
undangan yang ditelaah yang terkait dengan kedudukan dan tanggung jawab
Notaris sebagai pihak yang memberikan jasa kepada bank berkaitan dengan
24
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana
Prenada Media Goup, hal. 93
25
Ibid
35
rahasia bank yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris yang terkait dengan
Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankkan.
Pendekatan konsep (conceptual approach) yang beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
hukum26. Pendekatan konsep ini di pergunakan untuk meletakan konsepkonsep hukum tentang rahasia bank dan rahasia jabatan notaris.
1.6.2 Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum digunakan istilah bahan hukum atau source
of law. Black’s Law Dictionary memberi definisi bahwa source of law adalah
something (such as constitution, treaty, statute, or custom) that provides
authorities for legislation and for judicial decisions, a point of origin for law
or legal analysis.27 (sumber hukum terdiri dari konstitusi, perjanjian, undangundang dan kebiasaan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan
bagi kekuasaan legislatif dan yudikatif tentang original hukum atau analisis
hukum).
Sumber bahan hukum dalam penelitian hukum dapat dibedakan
menjadi tiga sumber bahan hukum, yaitu sumber bahan hukum primer,
sumber bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Dalam
penelitian normatif ini bahan hukum yang digunakan bersumber dari
kepustakaan terdiri dari tiga jenis bahan hukum yaitu :
26
Ibid, hal. 137
Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, West
Publishing Co, St. Paul-Minnessota, hal. 1400
27
36
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan diperoleh
dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bidang yang akan
diteliti, yaitu :
(1) Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indnesia Tahun 1998 Nomor 182);
(2) Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117);
(3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
(4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer28, seperti buku-buku hukum yang
terkait dengan kenotariatan dan perbankan, jurnal hukum, karya tulis hukum,
pendapat pakar hukum. Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder
antara lain buku-buku hukum yang terkait dengan kenotariatan dan
perbankan, jurnal hukum, karya tulis hukum, pendapat pakar hukum.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus
hukum dan ensiklopedia29. Penelitian ini mengunakan bahan hukum tersier
yaitu ensiklopedia dengan mengutip bahan hukum melalui internet.
28
Amirudin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penilitian
Hukum, Cet ke-6, PT. Rajagrafindo Persada, hal. 32
29
Soerjono Seokanto dan Sri Mahmudji, Loc. Cit.
37
1.6.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan bahan hukum yang
digunakan dengan metoda bola salju, metoda bola salju adalah metoda
dimana bahan hukum dikumpulkan melalui beberapa literatur kemudian dari
beberapa literatur tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung
literatur tersebut.
1.6.4 Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, bahan hukum dianalisis dengan teknik
deskripsi, teknik kontruksi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi. Teknik
deskripsi adalah teknik dasar analisis yang menguraikan apa adanya terhadap
suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum30.
Dalam hal ini deskripsi dilakukan terhadap beberapa peraturan
perundang undangan yang menunjukan adanya kekaburan norma mengenai
kedudukan dan tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan
jasanya kepada bank dalam pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan
rahasia bank, yang dimulai dari Undang-Undang
nomor 10 tahun 1998
tentang Perbankan dan Undang-Undang Jabatan Notaris, kemudian
menggunakan teknik kontruksi berupa pembentukan kontruksi yuridis dengan
melakukan analogi dan pembalikan proposisi (acontrario), kedudukan dan
tanggung jawab Notaris dalam memberikan jasanya pada bank kepada bank
tentang rahasia bank.
Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, benar
atau salah, setuju atau tidak setuju, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap
30
Soerjono Seokanto dan Sri Mahmudji, Op. Cit., hal. 49
38
suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang
tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
Teknik ini digunakan untuk menentukan tepat atau tidak tepatkah suatu
pandangan terkait dengan kedudukan dan tanggung jawab Notaris dalam
memberikan jasanya kepada bank berkaitan dengan rahasia bank. Teknik
argumentasi, adalah teknik yang tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi
karena penilaian harus berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum, makin banyak
argumen makin menunjukan kedalaman penalaran hukum. Tehnik ini
digunakan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan terhadap permasalahan
yang dibahas.
Setelah semua bahan hukum terkumpul kemudian diklasifikasikan
secara kualitatif sesuai dengan rumusan masalah. Bahan hukum tersebut
dianalisis dengan teori-teori yang relevan kemudian disimpulkan untuk
menjawab masalah-masalah tersebut dan akhirnya bahan hukum tersebut
disajikan secara deskretif analisis.
39
BAB II
TINJUAN UMUM TENTANG NOTARIS, DEPOSITO
DAN RAHASIA BANK
2.1 Tinjuan Umum Tentang Notaris
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Keberadaan Notaris
Keberadaan lembaga Notaris dilandasi atas kebutuhan akan suatu
alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi. Adanya alat bukti lain yang
mengikat, mengingat alat bukti saksi kurang memadai lagi, sebab sesuai
dengan perkembangan masyarakat, perjanjian-perjanjian yang dilaksanakan
anggota masyarakat semakin rumit dan kompleks.
Notaris berasal dari kata “notarius” (tulisan romawi klasik), yaitu
nama yang diberikan pada orang-orang Romawi di mana tugasnya
menjalankan pekerjaan menulis atau orang-orang yang membuat catatan pada
masa itu31. Hampir selama seabad lebih, eksistensi notaris dalam memangku
jabatannya didasarkan pada ketentuan Reglement Of Het Notaris Ambt In
Indonesia Nomor 1860 : 3 yang mulai berlaku 1 Juli 1860. Dalam kurun
waktu itu, Peraturan Jabatan Notaris mengalami beberapa kali perubahan.
Pada saat ini, Notaris telah memiliki Undang-Undang tersendiri dengan
lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris.
Pengertian Notaris diatur dalam Pasal 1 Ord, stbl. 1860 nomor 3
tentang Jabatan Notaris di Indonesia mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860,
Notaris adalah pejabat umum, yang satu-satunya berwenang untuk membuat
31
G.H.S Lumban Tobing, Op. Cit., hal 5.
40
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan
umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan pada pejabat atau orang lain32.
Setelah Indonesia merdeka, keberadaan Notaris di Indonesia tetap
diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan (AP) Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang ada
masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar. Demi untuk kepentingan Notaris dan untuk melayani
kepentingan masyarakat Indonesia, maka pemerintah berupaya pada tanggal 6
Oktober 2004 mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2004 nomor 117.
Sejak
berlakunya
Undang-Undang
Jabatan
Notaris
maka
berdasarkan Pasal 91 Undang-Undang Jabatan Notaris telah mencabut dan
menyatakan tidak berlaku lagi:
1.
2.
3.
4.
Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stbl. 1860:3)
sebagaimana telah dirubah terakhir dalam Lembaran Negara 1945
Nomor 101;
Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan
Wakil Notaris Sementara (Lembar Negara Tahun 1954 Nomor 101,
Tambahan Lembar Negara Nomor 700);
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
32
36
Budi Untung, 2005, Visi Global Notaris, Andi, Yogyakarta, hal.
41
5.
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379);
dan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji
Jabatan Notaris.
Notaris adalah seorang pejabat negara/pejabat umum dan mewakili
kekuasaan umum negara yang diangkat oleh negara untuk melakukan tugastugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya
kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum, sebagai pejabat
pembuat akta otentik dalam hal hukum keperdataan untuk kepentingan
pembuktian atau sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam
arti apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima, kecuali pihak
yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara
memuaskan dihadapan persidangan pengadilan, sebagaimana tercantum
dalam penjelasan umum Undang-Undang Jabatan Notaris.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris Bab I Pasal 1
ayat (1) Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini. Memperhatikan pengertian Notaris tersebut, dapat dijelaskan
bahwa Notaris adalah:
1. Pejabat Umum
Status Notaris sebagai pejabat umum diberikan oleh undang-undang
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris.
Sebagai pejabat umum, Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Negara
berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Notaris diangkat
dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
42
Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, adalah merupakan organ
negara yang menjalankan sebagian dari tugas dan kewenangan negara yaitu
berupa tugas dan kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dalam rangka
pemberian pelayanan kepada masyarakat umum dibidang keperdataan,
khususnya dalam pembuatan akta. Notaris sebagai pejabat umum, dalam arti
kewenangan yang ada pada Notaris tidak pernah diberikan kepada pejabatpejabat lainnya, selama atau sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi
kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya, maka kewenangan tersebut menjadi kewenangan
Notaris. Wewenang
Notaris tercantum dalam pasal 15 Undang-Undang
Jabatan Notaris.
Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai
wewenang dengan pengecualian, dengan mengkategorikan Notaris sebagai
pejabat publik, dalam hal ini publik yang bermakna hukum, bukan publik
sebagai khalayak umum.33 Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama
dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan
sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari
produk masing-masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat
Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan
hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Notaris sebagai pejabat publik yang bukan pejabat atau
33
Habib Adjie, 2007, Sanksi Administratif terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik Berkaitan Dengan Pembuatan Akta Berdasarkan UndangUndang Jabatan Notaris, Disertasi, Universitas Airlangga (selanjutnya ditulis
Habib Adjie II), Surabaya, hal. 62
43
Badan Tata Usaha Negara34.
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri, pengangkatan tersebut diatur dalam
Pasal 2 Undang-Undang
Jabatan Notaris, sedangkan untuk dapat diangkat sebagai Notaris, harus
memenuhi persyaratan-persyaratan dalam Pasal 3 Undang-Undang Jabatan
Notaris, antara lain :
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh tahun);
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berijasah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai
karyawan
notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut
pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi
Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariaan.
g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau
tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang
dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.
2. Berwenang membuat akta otentik
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menyatakan bahwa
notaris merupakan satu-satunya pejabat umum yang berwenang untuk
membuat
akta
otentik,
kecuali
undang-undang
menugaskan
atau
mengecualikan kepada pejabat lain atau orang lain. Pejabat umum yang
dimaksud oleh pasal 1868 KUHPerdata hanyalah Notaris, karena hingga saat
ini tidak ada satupun undang-undang yang mengatur tentang pejabat umum
selain Undang-Undang Jabatan Notaris. Otentisitas suatu akta menurut Pasal
1868 KUHPerdata adalah jika akta tersebut dibuat dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang untuk itu, berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Jadi
34
Ibid., hal 51
44
pejabat umum yang memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam pasal
1868 KUHPerdata hanyalah Notaris35.
Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum
dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat dalam membuat
perjanjian, membuat akta beserta pengesahannya yang dipergunakan sebagai
alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau
perbuatan hukum. Selain memenuhi syarat yang telah ditentukan undangundang agar suatu akta menjadi otentik, seorang Notaris dalam melaksanakan
tugasnya tersebut wajib dengan penuh disiplin, professional dan integritas
moralnya tidak boleh diragukan. Apa yang tertuang dalam awal dan akhir
akta yang menjadi tanggung jawab Notaris adalah ungkapan yang
mencerminkan keadaan yang sebenar-benarnya pada saat pembuatan akta
tersebut.
3. Ditentukan oleh Undang-Undang
Undang-Undang Jabatan Notaris merupakan unifikasi dibidang
pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk
undang-undang yang mengatur tentang jabatan Notaris di Indonesia, sehingga
segala hal yang berkaitan dengan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada
Undang-Undang Jabatan Notaris. Kalaupun saat ini ada pejabat umum lain
yang diberi wewenang untuk membuat akta tertentu, tetapi pejabat tersebut
tidak diatur berdasarkan undang-undang dan sebagaimana ditentukan Pasal
1868 KUHPerdata.
35
Husni Thamrin, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris,
LaksBank PresSindo, Yogyakarta, hal 75.
45
Jabatan Notaris merupakan jabatan yang keberadaannya dikehendaki
guna mewujudkan hubungan hukum diantara subyek-subyek hukum yang
bersifat perdata. Notaris sebagai salah satu pejabat umum mempunyai
peranan penting yang dipercaya oleh pemerintah dan masyarakat untuk
membantu pemerintah dalam melayani masyarakat, menjamin kepastian,
ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau
di hadapannya, mengingat akta otentik sebagai alat bukti
terkuat dan
memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila
terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat.
Notaris sebagai salah satu penegak hukum, karena Notaris membuat
alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Alat bukti tertulis
yang dimaksud adalah akta otentik yang dibuat oleh Notaris, yaitu surat yang
sengaja dibuat sebagai alat bukti, berkenaan dengan perbuatan-perbuatan
hukum dibidang keperdatan yang dilakukan oleh para pihak. Para ahli hukum
berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai
bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan
penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat
membuktikan bahwa apa yang diterangkan oleh Notaris dalam aktanya adalah
tidak benar.
Notaris adalah pejabat umum yang berfungsi menjamin otentisitas
pada tulisan-tulisannya (akta) harus mengingat, bahwa akta yang dibuat oleh
atau dihadapannya adalah akta otentik yang menjadi dokumen/arsip negara,
dan perjanjian yang dinyatakan di dalamnya menjadi undang-undang bagi
46
mereka yang membuatnya, demikian sesuai dengan Pasal 1337 KUHPerdata
jo Pasal 1338 KUHPerdata.
Berdasarkan wewenang yang diberikan oleh pemerintah, Notaris
disebut sebagai pejabat umum, namun Notaris bukanlah pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang Kepegawaian. Notaris terikat dengan peraturan jabatan pemerintah,
Notaris tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah, tetapi memperoleh
gaji dari honorarium atau fee dari kliennya. Notaris dapat dikatakan sebagai
pegawai pemerintah yang tidak menerima gaji dari pemerintah, Notaris
dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari
pemerintah.36 Oleh karena itu, bukan saja Notaris yang harus dilindungi tetapi
juga para konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa Notaris.
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus memiliki
keterampilan profesional di bidang hukum, juga harus dilandasi dengan
tanggungjawab dan moral yang tinggi maupun nilai-nilai dan etika, sehingga
dapat menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan hukum dan
kepentingan masyarakat.37 Notaris dalam melaksanakan tugasnya secara
profesional harus menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak
berpihak dan penuh rasa tanggungjawab dan memberikan pelayanan hukum
kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya untuk
36
Suhrawardi K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Cetakan kelima,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 34
37
Profesi adalah pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan
keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan
memperoleh penghasilan. Pekerja yang menjalankan profesi disebut
profesional. Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum, Cetakan
ke-II, PT Citra Aditya Bakti, hal. 58
47
kepentingan umum (public). Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya
seorang Notaris harus berpegang teguh pada Kode Etik Jabatan Notaris sebab
tanpa itu, harkat dan martabat profesionalisme akan hilang38.
Menurut Abdulkadir Muhammad, bahwa Notaris harus memiliki
perilaku
profesional
(profesional
behaviour).
Unsur-unsur
perilaku
profesional adalah sebagai berikut :
1. keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman tinggi;
2. integritas moral artinya menghindari sesuatu yang tidak baik walaupun
imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi diselaraskan dengan
nilai-nilai kemasyarakatan, sopan santun, dan agama;
3. jujur tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada diri
sendiri;
4. tidak semata-mata pertimbangan uang, melainkan juga pengamdian,
tidak membedakan antara orang mampu dan tidak mampu;
5. berpegang teguh pada kode etik profesi karena didalamnya ditentukan
segala prilaku yang harus dimiliki oleh Notaris, termasuk berbahasa
Indonesia yang sempurna.39
Notaris merupakan salah satu aparat hukum dibidang keperdataan
sebagai pejabat umum harus professional karena mewakili Negara
menjalankan tugas dan fungsi sosialnya di dalam pembuatan akta sebagai alat
bukti berupa akta otentik. Salah satu perwujudan dari fungsi sosial Notaris
adalah
memberikan
keringanan
biaya
(honorarium)
atau
bahkan
membebaskannya, para pihak yang membutuhkan jasa Notaris tersebut
menunjukkan bukti keterangan tidak mampu dari kelurahan atau pejabat yang
berwenang, yang mana hal ini diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Jabatan
Notaris.
38
39
Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., hal 35
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 90
48
2.1.2 Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum
Wewenang yang diberikan kepada Notaris pada prinsipnya merupakan
wewenang yang bersifat umum. Wewenang yang bersifat umum artinya
bahwa wewenang ini meliputi pembuatan segala jenis akta, kecuali yang
dikecualikan tidak dibuat oleh Notaris. Perkataan ini juga mengandung arti
bahwa pejabat-pejabat lain, selain Notaris hanya mempunyai kewenangan
akta tertentu saja dan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya.
Wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Mengenai
atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. Van Wijk/Willem konijnenbelt
mendefinisikan sebagai berikut:
a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undangundang kepada organ pemerintah.
b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan organ lain atas namanya.40
Sejalan dengan pengertian wewenang yang dikemukakan oleh
Sadjijino, bahwa secara teoritis pemerintah memperoleh wewenang melalui
tiga cara dan sekaligus melekat sebagai wewenangnya, yaitu :
a. Wewenang artibusi (atributie bevoegdheid), adalah wewenang pemerintah
yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan;
40
Ridwan HR, Op. Cit., hal. 102
49
b. Wewenang delegasi (delegatie bevogdheid), adalah wewenang yang
diperoleh atas dasar pelimpahan wewenag dari badan/organ pemerintahan
yang lain.
c. Wewenang mandat (mandaaat bevogdheid), adalah pelimpahan wewenang
yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan,
kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan.41
Notaris adalah pejabat umum yang memperoleh wewenang secara
Atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh Undang Undang Jabatan Notaris42. Kewenangan tersebut adalah untuk membuat
akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Jabatan Notaris. Kewenangan tersebut termuat dalam dalam Pasal
15 Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam ketentuan Pasal 15 UndangUndang Jabatan Notaris terlihat bahwa wewenang utama Notaris adalah
membuat akta.
Sejalan
dengan
wewenang
yang
diperoleh
Notaris,
dapat
dikemukakan cara perolehan wewenang atribusi yaitu ;
(a)
cara
perolehannya
melalui
perundang-undangan
yaitu,
Notaris
memperoleh wewenang dari Undang-Undang Jabatan Notaris;
(b) kekuatan mengikatnya yaitu, tetap melekat sebelum ada perubahan
peraturan perundang-undangan;
(c)
tanggungjawab
dan
tanggunggugat
yaitu,
penerima
wewenang
bertangungjawab mutlak akibat yang timbul dari wewenang adalah,
Notaris dalam menjalankan kewenangannya, membuat akta notaris
41
42
Sadjijono, Op. Cit., hal 65
Habib Adjie I, Op. Cit, hal. 78
50
bertanggungjawab pada aspek formal dari akta dan harus sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris;
(d) hubungan wewenang adalah, hubungan hukum pembentuk undangundang dengan organ pemerintah yaitu, Notaris diangkat oleh
pemerintah.43
Notaris sebagai suatu jabatan mempunyai wewenang tertentu
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UndangUndang Jabatan Notaris. Wewanang utama Notaris meliputi : membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan / atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
Selain wewenang utama tersebut, wewenang Notaris meliputi juga;
mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; membubuhkan surat-surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; membuat kopi dari asli
surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana
ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; melakukan
pengesahan
43
kecocokan
fotokopi
dengan
surat
aslinya;
memberikan
Analisis dari pengertian istilah wewenang Notaris yang
memperoleh wewenang atribusi, Sadjijono, Op. Cit., hal.67
51
penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; membuat akta yang
berkaitan dengan pertanahan; dan membuat akta risalah lelang.
Sehubungan
dengan
wewenang
Notaris
dalam
memberikan
penyuluhan hukum berkaitan dengan pembuatan akta, menurut R. Sugondo
Notodisuryo, menyatakan bahwa Notaris dalam memberikan bantuannya,
baik nasehat-nasehat maupun dengan
penyusunan kata yang kemudian
dituangkan dalam akta, sehingga dapat dicapai apa yang dibutuhkan oleh
pihak-pihak yang membutuhkan jasanya tanpa meninggalkan hukum yang
berlaku. Bahkan Notaris dengan tindakannya itu dapat menimbulkan kasuskasus hukum baru (neubildung) dan mencari penyelesaian-penyelesaian
dimana hukum/undang-undang tidak mengatur atau tidak mengatur secara
jelas mengenai suatu kasus, sehingga dengan demikian Notaris ikut serta
menemukan hukum baru (rechtsvinding) dengan memperhatikan segala hal
yang menyangkutnya antara lain hal-hal yang menyangkut tata hidup
masyarakat.44
Salah satu wewenang Notaris yaitu, memberi nasehat hukum dan
memberi imformasi dalam rangka pembuatan akta otentik, sebagaimana
diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-Undang Jabatan Notaris.
Dalam membuat akta otentik, tidak hanya menerima begitu saja apa yang
diminta oleh pihak/penghadap untuk dituangkan ke dalam akta, tetapi juga
harus berperan aktif dengan membuat penilaian terhadap isi dari akta yang
dimintakan kepadanya dan tidak perlu ragu untuk menyatakan keberatan atau
44
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia
Suatu Penjelasan, cetakan kedua, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 8
52
menolak, jika kepentingan pihak yang memintanya tidak sesuai dengan
kelayakan maupun undang-undang.45
Akta sebagai alat bukti tertulis dalam hal-hal tertentu merupakan bukti
kuat (lengkap) bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Mereka yang
menandatangani suatu akta bertanggung jawab dan terikat akan isinya.46
Akta yang dibuat oleh Notaris akan menjadi akta otentik, apabila Notaris
mempunyai wewenang yang meliputi empat hal, yaitu;
a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu.
Notaris berwenang untuk membuat akta otentik berdasakan Pasal 15 ayat
(1) Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu Notaris berwenang membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik sepanjang
pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Dapat
diartikan pula Notaris memiliki wewenang tersebut sepanjang tidak
dikecualikan kepada pejabat lain. Dengan demikian Wewenang Notaris
membuat akta otentik bersifat umum sedangkan para pejabat lainnya
memiliki wewenang yang terbatas.
b. Notaris berwenang sepanjang mengenai orang (-orang), untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat. Dalam menjalankan kewenangannya untuk membuat
45
A.A. Andi Prajitno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan
Siapa Notaris di Indonesia, Cetakan I, CV Putra Media Nusantara, Surabaya,
hal. 4
46
Komar Andasasmita, 1981, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung,
hal. 47
53
akta otentik, Notaris tidak dapat melakukannya untuk kepentingan setiap
orang. Namun
terdapat batasan, dimana seorang Notaris tidak dapat
membuat akta. Batasan ini termuat dalam Pasal 52 ayat (1) UndangUndang Jabatan Notaris, yaitu Notaris tidak diperkenankan membuat akta
untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa
pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat
ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu
kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Hal ini diperlukan untuk
menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta sehingga tidak memihak
dan menyalahgunakan jabatannya.
c. Notaris berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat.
Notaris dalam melaksanakan kewenangannya untuk membuat akta otentik,
apabila akta tersebut dibuat dan diselesaikan berada didalam lingkup
tempat kedudukan dan wilayah jabatannya. Menurut Pasal 18 ayat (1)
dinyatakan bahwa seorang Notaris memiliki tempat kedudukan di sebuah
kabupaten/kota dan Pasal 19 (1) ditentukan bahwa seorang Notaris
mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh propinsi pada tempat
kedudukannya.
d. Notaris berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Dalam
membuat suatu akta otentik, seorang Notaris harus dalam keadaan aktif
memangku jabatannya sebagai Notaris. Dalam artian ia tidak sedang
menjalani cuti atau sedang diberhentikan untuk sementara waktu. Jabatan
54
Notaris memiliki karakter yang berkesinambungan. Ketika seorang Notaris
sedang menjalani cuti jabatan maka ia harus merekomendasikan seseorang
untuk
nantinya
diangkat
menjadi
Notaris
Pengganti
untuk
menggantikannya.
Wewenang merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan
diberikan kepada suatu jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan atau aturan hukum. Seorang Notaris dalam melaksanakan
wewenang (membuat akta otentik) dibatasi oleh koridor-koridor aturan.
Pembatasan ini dilakukan agar Notaris tidak kebablasan dalam menjalankan
pratiknya dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukan. Tanpa
adanya pembatasan, seseorang akan bertindak sewenang-wenang.47Batasan
Notaris diatur sebagaimana
tercantum dalam Pasal 17 Undang-Undang
Jabatan Notaris, tindakan yang dilarang dilakukan oleh Notaris antara lain
meliputi:
1. Larangan menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya.
2. Larangan meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari tujuh hari kerja
tanpa alasan yang sah.
3. Larangan melakukan rangkap jabatan dalam bentuk apapun.
4. Larangan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.
Notaris dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh
pemerintah sebagai profesi mulia (offium nobile) maksudnya adalah dalam
melaksanakan tugas dan jabatannya tidaklah semata-mata untuk kepentingan
pribadi, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat, serta mempunyai
47
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Cetakan
I, Raih Asa Sukses, Jakarta hal. 46
55
kewajiban untuk menjamin kebenaran akta-akta yang dibuatnya, sehingga
akta otentik tersebut memiliki kekuatan pembuktian hukum yang kuat dan
sempurna, karena itu seorang Notaris dituntut bertindak jujur dan adil bagi
semua pihak.48
Notaris dalam posisinya sebagai pejabat umum dan sekaligus sebagai
profesi mulia (offium nobile) bertugas membuat akta otentik yang memiliki
kekuatan
pembuktian
hukum
yang
kuat
dan
sempurna,
sehingga
keberadaannya sangat diperlukan oleh masyarakat. Keberadaan tersebut
sudah seharusnya kinerja profesi Notaris tersebut diawasi dan dipantau oleh
lembaga semi independen, agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Oleh karena itu perlu adanya lembaga yang berfungsi untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan agar kewenangan tersebut dilaksanakan sesuai
dengan makna sumpah jabatannya, yaitu bahwa Notaris akan melaksanakan
jabatannya dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak memihak.
Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan
mengenai pengawasan terhadap Notaris adalah ;
1. Pasal 67 sampai dengan Pasal 81 Undang-Undang Jabatan Notaris .
2. Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia nomor
M.39.PW.07.10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Majelis
Pengawas Notaris.
3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan
Anggota, Pemberhentian Anggota Susunan Organisasi Tata Kerja
dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris49.
48
Abdul Bari Azed, 2009, Kebijakan Penguatan Fungsi Kelembagaan
Majelis Pengawas Notaris, Notariat, Edisi XI Maret 2009, Jakarta , hal. 90
49
Habib Adjie, 2011, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat
Tata Usaha Negara, cetakan kesatu, PT Refika Aditama, (selanjutnya ditulis
Habib Adjie III), hal. 6
56
Majelis Pengawas Notaris adalah suatu badan yang mempunyai
kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan
terhadap Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (6). Secara
yuridis pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri, akan tetapi
pelaksanaan atau pengawasan tersebut dilimpahkan kepada Majelis Pengawas
yang dibentuk oleh Menteri berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur :
a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang
b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang
c. Ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang
Fungsi pembinaan dan pengawasan kepada Notaris ditujukan agar
dalam menjalankan jabatannya Notaris senantiasa mematuhi dan memahami
aturan baik yang berupa kode etik maupun ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, karena bila seorang Notaris melakukan pelanggaran
akan dikenakan sanksi.50 Majelis Pengawas Notaris bertugas mengawasi
pelaksanaan jabatan notaris yang terdiri atas:
1. Majelis Pengawas Daerah (selanjutnya akan ditulis dengan MPD), MPD
dibentuk dan berkedudukan serta mempunyai tugas pengawasan di tingkat
Kabupaten atau Kota. Tugas dan wewenag MPD diatur sebagaimaan
dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang Jabatan Notaris.
MPD dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris, dalam
melaksanakan tugasnya dengan selalu memperhatikan dan melihat
relevansi serta urgensi seorang Notaris dipanggil sebagai saksi maupun
sebagai tersangka, dengan pengambilan minuta atau fotocopynya maupun
50
Abdul Bari Azed, Op. Cit, Hal. 92
57
surat-surat yang dilekatkan pada minuta tersebut untuk proses pengadilan,
penyidikan atau penuntutan.51
2. Majelis Pengawas Wilayah (selanjutnya akan ditulis dengan MPW),
sebagaimana diatur dalam Pasal 72 sampai dengan Pasal 75 UndangUndang Jabatan Notaris. Tugas dan wewenang MPW terbatas pada tingkat
wilayah atau ibukota propinsi. Adapun tugas utama MPW adalah
memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat. Keputusan
teguran dari MPW bersifat final tetapi untuk skorsing dan pemecatan dapat
diajukan banding.
3. Majelis Pengawas Pusat (selanjutnya akan ditulis dengan MPP), mengenai
MPP pengaturannya pada Pasal 76 Undang-Undang Jabatan Notaris, MPP
dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, yang berwenang
memanggil notaris untuk disidang dan memberikan sanksi kepada notaris
yang melanggar pada tingkat banding. Selanjutnya MPP wajib
menyampaikan laporan kepada menteri terkait dengan keputusan yang
dibuat diteruskan kepada MPW dan MPD serta organisasi notaris.
Notaris memperoleh kewenangan melalui undang-undang, yaitu
wewenang untuk menuangkan semua perbuatan, perjanjian dan penetapan
yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang dikehendaki
oleh pihak (-pihak) yang sengaja datang kehadapan Notaris untuk meminta
mengkonstantir keterangan itu kedalam akta otentik agar akta yang dibuatnya
51
Putri A. R., Op. Cit., hal 85
58
memiliki kekuatan bukti lengkap dan memiliki keabsahannya. Peran Notaris
hanyalah media (alat) untuk lahirnya suatu akta otentik.52
Suatu akta memiliki suatu karakter yang otentik yaitu bila akta
tersebut mempunyai daya bukti antara pihak-pihak dan terhadap pihak ketiga,
maka akta tersebut harus dibuat merupakan suatu tulisan dalam bentuk
demikian rupa dan jaminan bagi pihak-pihak, bahwa perbuatan-perbuatan
atau keterangan-keterangannya yang dikemukakan memberikan suatu bukti
yang tidak dapat dihilangkan.53
Akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang Notaris mempunyai
kekuatan pembuktiaan sebagai akta otentik, bukan karena penetapan undangundang, melainkan karena dibuat oleh atau dihadapan seorang Notaris, yang
tentunya dalam menjalankan jabatannya Notaris tersebut harus patuh pada
seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan
jabatannya dalam membuat akta otentik.
Suatu akta otentik yang disebut telah memenuhi otentisitas suatu akta,
apabila telah memenuhi 3 unsur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1868
KUHPerdata, antara lain :
a) Akta itu dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang;
Dalam hal ini adalah Undang-Undang Jabatan Notaris sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (7) yang berbunyi: Akta Notaris adalah akta otentik
52
Pieter Latumeten, 2009, Kebatalan dan Degradasi Kekuatan Bukti
Akta Notaris Serta Model Aktanya, Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia,
Surabaya, hal. 1.
53
Muhammad Adam, 1985, Asal-Usul Dan Sejarah Akta Notarial,
CV. Sinar Baru, Bandung, hal. 31
59
yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tatacara yang
ditetapkan dalam Undang-Undang.
b) Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang
pejabat umum;
Dalam hal ini Notaris berwenang untuk membuat akta sesuai dengan
bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris yang berbunyi,
Notaris adalah pejabat umum yang berwewenang untuk membuat akta
otentik, dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini. Ketentuan ini juga berhubungan dengan kewajiban dari Notaris
untuk membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi dan Notaris.
c) Pejabat Umum itu mempunyai kewenangan untuk membuat akta;
Dalam hai ini pejabat umum yang dimaksud berwenang untuk
membuat akta ditempat dimana akta tersebut dibuat, dalam arti membacakan
akta kepada para penghadap dan penandatanganan akta. Hal ini berhubungan
dengan Pasal 17 hurup (a) Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu Notaris
dilarang menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya dan Pasal 18
Undang-Undang Jabatan Notaris yang antara lain berbunyi Notaris
mempunyai wilayah propinsi dari tempat kedudukannya.
Berhubungan dengan keontentikan akta, menurut Habib Adjie
karekter yuridis akta Notaris adalah :
1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh
undang-undang (Undang-Undang Jabatan Notaris);
2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan
keinginan Notaris;
60
3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal
ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak
atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.
4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun terikat
dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang
tercantum dalam akta tersebut;
5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas
kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada
yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan
permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak
mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.54
Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata, alat pembuktian meliputi bukti
tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Pada perkara perdata,
alat bukti tertulis merupakan alat bukti utama, karena dalam lalu lintas
keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan alat bukti yang
dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan. Apabila suatu akta dibuat telah
memenuhi syarat otensitas seperti yang telah ditentukan undang-undang maka
akta tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, artinya apa yang
dinyatakan dalam akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang
berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan
di hadapan persidangan pengadilan.
Terhadap suatu akta otentik yang
ditunjukkan pada Hakim, pejabat lain atau siapa saja, maka wajib mengakui
kebenaran akta tersebut sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Dengan kata lain
beban pembuktian untuk menyatakan apa yang termuat dalam akta tersebut,
benar atau tidak benar berada pada pihak yang berkepentingan tersebut.
54
Habib Adjie, 2011, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris,
cetakan ke satu, PT Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib
Adjie IV) hal. 17
61
Suatu akta otentik berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata akan
memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya
kepada para pihak serta para ahli warisnya dan orang-orang yang
mendapatkan hak dari padanya. Ini berarti akta otentik mempunyai kekuatan
bukti sedemikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri
sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi hakim, akta otentik ini
merupakan bukti wajib atau keharusan, oleh karena itulah maka akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian baik lahiriyah, formal maupun materiil.
Ada tiga kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh suatu akta otentik,
yaitu kekuatan pembuktian lahiriah, formil, dan materiil.
a. Kekuatan pembuktian lahiriah
Kekuatan lahiriah merupakan kekuatan dari akta itu sendiri untuk
membuktikan keabsahan dirinya sebagai akta otentik (acta publica probant
sese ipsa).55 Kekuatan ini terdapat baik dalam akta pejabat maupun akta
pihak. Jika dilihat dari lahirnya suatu akta otentik, bila telah dibuat sesuai
dengan aturan yang ditentukan mengenai syarat akta otentik dalam undangundang maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai dapat
dibuktikan akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Pembuktian ini
harus dilakukan oleh pihak yang menyangkal otentitas dari akta notaris itu.
Penilaian pembuktiannya harus didasarkan pada syarat akta notaris sebagai
akta otentik yaitu, akta tersebut lahir ditentukan oleh peraturan perundangundangan, dari pejabat yang membuatnya, wewenang pembuat aktanya,
bentuk aktanya dan sifat aktanya.
55
Habib Adjie I, Op .Cit, hal. 26.
62
Kemampuan membuktikan keabsahan diri sebagai akta otentik ini
tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan.56 Dalam hal
pembuktian, ini menjadikan perbedaan antara akta otentik dan akta di bawah
tangan.
b. Kekuatan pembuktian formil
Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian formil, artinya
akta tersebut membuktikan kebenaran dari tindakan dan perbuatan pejabat
yang dituangkan dalam akta otentik. Akta otentik secara formil membuktikan
kebenaran
dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, waktu
menghadap, tempat akta dibuat dan keaslian paraf dan tanda tangan para
pihak/penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat,
disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta relaas) dan mencatatkan
keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak).
Keterangan tersebut mempunyai kepastian hukum dan mengikat kepada siapa
saja akta tersebut ditujukan. Dengan kekuatan pembuktian formil ini,
memberikan kepastian bahwa segala sesuatu kejadian dan fakta yang tertuang
dalam akta tersebut memang benar dilakukan atau diterangkan oleh
penghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur
pembuatan akta yang telah ditentukan. Pada akta di bawah tangan, tidak
mempunyai
kekuatan
pembuktian
formil
kecuali
bila
menandatangani akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya.57
c. Kekuatan pembuktian materil
56
57
G. H. S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 56.
G. H. S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 56.
pihak
yang
63
Akta otentik memberikan bukti yang sempurna mengenai segala apa
yang menjadi pokok isi dari akta itu, dianggap, dibuktikan sebagai yang
benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai
tanda bukti terhadap dirinya.58
Pembuktian materil suatu akta adalah terletak pada kebenaran isi akta
tersebut, maksudnya adalah bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan
pembuktian
yang
sah
bagi
pihak-pihak
yang
membuat
akta.
Perkataan/keinginan/perbuatan penghadap atau pihak yang dituangkan dalam
akta berlaku sebagai yang benar. Akta otentik tidak hanya membuktikan
bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang dituliskan disitu, tetapi juga
bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.59
Demikian pula pada akta-akta yang dibuat dihadapan Notaris,
mempunyai kekuatan pembuktian materil oleh karena peristiwa atau
perbuatan hukum yang dinyatakan oleh para pihak dan dikonstatir oleh
Notaris dalam akta itu adalah benar-benar terjadi dan akta notaris sebagai akta
otentik yang berupa akta para pihak, maka isi dan keterangan ataupun
perbuatan hukum yang tercantum dalam akta itu berlaku terhadap pihak-pihak
yang memberikan keterangan itu dan untuk keuntungan serta kepentingan
siapa akta itu diberikan. Apabila terdapat kekeliruan atau kepalsuan dari
keterangan yang tertuang dalam akta notaris tersebut, maka kekeliruan dan
kepalsuan itu menjadi tanggung jawab para pihak yang memberikan
keterangan. Akta pihak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
bagi para pihak dan mereka yang memperoleh hak daripadanya.
58
59
G. H. S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 56.
Habib Adjie (buku I), Op. Cit., hal. 27
64
Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan akta notaris
sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat
dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek
tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.60
Karakter yuridis akta notaris adalah akta notaris merupakan keinginan
atau kehendak dari para pihak yang datang menghadap Notaris, tanpa adanya
keinginan seperti itu, akta notaris tidak akan pernah dibuat. Hal ini berarti
pula isi akta tersebut merupakan tanggungjawab para pihak, Notaris hanya
memberikan penjelasan kepada para penghadap, agar tindakannya yang
dituangkan dalam akta sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Jika akta
notaris yang berangkutan, dirasakan tidak sesuai oleh para pihak atau harus
diubah sesuai keadaan, maka para pihaklah yang dapat membatalkan isi akta
bersangkutan, maka para pihak harus datang kembali ke Notaris untuk
membatalkan akta notaris tersebut.
Akta Notaris sesuai dengan undang-undang terbagi dalam dua
golongan yaitu akta yang dibuat oleh Notaris dinamakan juga akta relaas atau
akta pejabat (ambtelijke akten) dan akta yang dibuat dihadapan Notaris
disebut juga akta partij (partij akten). Walaupun dari penggolongan ini
terdapat perbedaan, dalam hal pembuktian kedua golongan akta ini
mempunyai kekuatan pembuktian yang sama sebagai akta otentik yaitu
terkuat dan terpenuh.
60
Habib Adjie (buku I), Op. Cit., hal. 28.
65
2.1.3. Rahasia Jabatan Notaris dan Pelanggarannya
Jabatan Notaris dalam proses pembangunan sangat dibutuhkan oleh
masyarakat guna memperoleh perlindungan demi tercapainya kepastian
hukum. Salah satu bentuk perlindungan tersebut antara lain Notaris wajib
untuk
menyimpan
rahasia
mengenai
akta
yang
dibuatnya
dan
keterangan/pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta,
kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan
memberikan keterangan/pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya.
Telah menjadi asas hukum publik bahwa seorang pejabat umum,
sebelum menjalankan jabatannya dengan sah harus terlebih dahulu
mengangkat sumpah (di ambil sumpahnya). Selama hal tersebut belum
dilakukan, maka jabatan itu tidak boleh atau tidak dapat dijalankan dengan
sah.61 Mengenai sumpah/janji dalam pelaksanaan jabatan Notaris diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menyatakan bahwa
Notaris sebelum menjalankan jabatannya, mengucapkan sumpah/janji,
menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk dan janjijanji antara lain bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang
diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Kewajiban merahasiakan ini lebih
luas karena meliputi keterangan yang diperoleh Notaris dalam pelaksanaan
jabatannya,
karena jabatan yang dipangku oleh Notaris adalah jabatan
kepercayaan dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan
sesuatu kepercayaan kepadanya.
61
G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit., hal 114
66
Kewajiban menyimpan atau memegang rahasia ini dapat pula
diketahui dari
Pasal 4 ayat (2) poin ke-4 Sumpah Jabatan Notaris
menyatakan; bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang
diperoleh dalam pelaskanaan jabatan, selaras dengan ketentuan-ketentuan
peraturan ini, etika
profesi juga memberikan kewajiban bagi kaum
profesional hukum sebagai aparat atau pejabat untuk memegang teguh rahasia
profesi, menghormati martabat negara, pemerintah serta menghormati
wibawa peradilan.62 Oleh karena itu secara etika pula tidak dibenarkan kaum
profesional hukum membuka rahasia yang diberitahukan, dipercayakan dan
diperolehnya, dari kliennya. Oleh karena itu, Notaris dalam menjalankan
jabatannya, berkewajiban merahasiakan akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain, sebagaimana diatur dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-Undang Jabatan Notaris. Ditegaskan pula
dalam penjelasan huruf e bahwa kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi
kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut. Sudah menjadi
kewajiban Notaris untuk mempertahankan rahasia jabatan tersebut karena jika
melakukan pelanggaran terhadap Pasal tersebut dapat dikenai sanksi dalam
Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris.
Pelanggaran terhadap kewajiban menjaga kerahasiaan jabatan dapat
mengakibatkan notaris dikenakan sanksi oleh Majelis Pengawas Notaris, hal
62
Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., hal 32
67
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris antara
lain :
a.
b.
c.
d.
e.
teguran lisan;
teguran tertulis;
pemberhentian sementara;
pemberhentian dengan hormat;
pemberhentian dengan tidak hormat oleh Menteri atas usul Majelis
Pengawas Pusat.
Berdasarkan ketentuan yang di atur dalam Pasal 4 tersebut, Notaris
yang diangkat itu sebelum mengangkat sumpah tidak diperkenankan untuk
melakukan suatu pekerjaan yang termasuk dalam bidang Jabatan Notaris.
Sebelum diadakan sumpah jabatan bagi seorang Notaris, tidak berhak untuk
membuat akta otentik. Apabila seorang Notaris melanggar ketentuan tersebut,
maka selain dikenakan sanksi, akta yang dibuat oleh Notaris tersebut tidak
akan mempunyai sifat otentik melainkan hanya berlaku sebagai akta di bawah
tangan, apabila di tandatangani oleh para pihak.
Pasal 322 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
ditulis KUHP) juga menyatakan bahwa, barangsiapa dengan sengaja
membuka rahasia yang ia wajib menyimpannya oleh karena jabatan atau
pekerjaannya, baik sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya 9 (sembilan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 600,- (enam ratus rupiah).
Apabila akibat dibukanya rahasia seseorang oleh Notaris atau
karyawan Notaris, sehingga menjadi diketahui oleh masyarakat dan
mengakibatkan kerugian bagi orang yang bersangkutan, maka Notaris
tersebut dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata
menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
68
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Kewajiban Notaris berdasarkan Pasal 4 dan 16 huruf e UndangUndang Jabatan Notaris, Pasal 332 ayat (1) KUHP serta Pasal 1365
KUHPerdata yang telah dijabarkan di atas, maka sudah jelas bahwa Notaris
harus
merahasiakan
yang berhubungan
dengan
jabatannya.
Notaris
berkewajiban untuk merahasiakan isi aktanya, bahkan Notaris wajib
merahasiakan semua keterangan mulai dari persiapan pembuatan akta hingga
selesainya pembuatan suatu akta.
2.2. Tinjuan Umum Tentang Deposito Dalam Perbankan
2.2.1. Konsep-konsep Deposito Dan Dasar Hukum Deposito Dalam
Perbankan.
Pengertian deposito secara umum diartikan sebagai simpanan pihak
ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka
waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dan bank yang
bersangkutan.63 Definisi deposito menurut perbankan adalah suatu simpanan
uang pada bank dengan jangka waktu tertentu oleh badan hukum atau
perorangan yang mendapat bunga tiap-tiap bulan dalam jumlah yang tetap.64
Simpanan deposito pada saat ini digemari oleh para pengusaha karena
mempunyai kekuatan untuk dijadikan jaminan kredit.65 Keuntungan lainnya
adalah ;
63
Hermansyah, Op. Cit., hal. 47
Sigit Trihartono, 1996, Masalah Perbankan, Cetakan ke-2, CV.
Aneka, Solo, hal. 92
65
Ibid., hal. 93
64
69
(a). Bank Indonesia menjamin sepenuhnya pembayaran kembali nominal
deposito pada tanggal pelunasannya;
(b). Pemerintah tidak akan mengusut asal-usul uang yang didepositokan;
(c). Bank-bank penyelenggara tabungan deposito akan memegang teguh
rahasia pada pemegang deposito/rahasia perbankannya.66
Berdasarkan Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Perbankan Nomor 10
tahun 1998 tentang Perbankan deposito adalah simpanan yang penarikannya
hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah
penyimpan dengan bank. Pemilikan atas deposito ini dibuktikan dengan suatu
surat yang dikenal dengan bilyet deposito. Berdasarkan Pasal tersebut,
deposito dikategorikan sebagai bentuk simpanan dana oleh nasabah
penyimpan (deposan) kepada pihak bank, dimana berdasarkan perjanjian
antara keduanya, dana itu dapat ditarik kembali oleh nasabah setelah jangka
waktu tertentu.
Sehubungan dengan pengertian-pengertian di atas, maka dapat
terlihat 2 (dua) unsur yang terkandung dalam deposito, yaitu :
1. Penarikan hanya dapat dilakukan dalam waktu tertentu, yang berarti bahwa
penarikan simpanan dalam bentuk deposito hanya dapat dilakukan oleh si
penyimpan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah
penyimban dengan bank;
2. Cara penarikan, dalam hal ini apabila batas waktu yang tertuang dalam
perjanjian deposito tersebut telah jatuh tempo, maka si penyimpan dapat
66
Ibid.
70
menarik deposito tersebut atau memperpanjang dengan suatu waktu yang
diinginkannya67.
Deposito merupakan simpanan atau penyerahan dana oleh nasabah
untuk disimpan pada bank, dimana mengandung pengertian bahwa bank yang
menerima simpanan berhak untuk memakai dana tersebut untuk keperluan
pemenuhan keuangan operasinal bank, sedangkan hak bagi nasabah
penyimpan dana (deposan) adalah menerima bunga yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan giro atau jenis simpanan lainnya. Dalam praktek
perbankan berlaku ketentuan bahwa nasabah penyimpan dana yang
menyimpan dananya kepada bank dilakukan bukan dengan cuma-cuma,
artinya nasabah berhak untuk menerima bunga atas dana yang disimpan pada
bank tersebut.68
Mengenai suku bunga deposito dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 22/65/KEP/DIR dan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 22/135/UPG tertanggal 1 Desember 1989 yang
merupakan salah satu kebijaksanaan dari Paket Desember 1989, maka semua
bank dibebaskan untuk mengatur sendiri ketentuan dan suku bunga bagi
deposito masing-masing sesuai dengan kebutuhan. Sebelumnya bank milik
pemerintah dalam menjalankan kegiatan penghimpunan dana melalui
deposito diatur secara ketat dalam hal ketentuan dan suku bunganya yaitu
sesuai dengan Ketentuan Instruksi Presiden Nomor 28 tahun 1968 yang diatur
lebih lanjut tentang suku bunganya dengan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 5/4/KEP/DIR tertanggal 31 Mei 1972 dan kemudian diubah
67
68
Hermansyah, Op. Cit., hal 47
Lukman Santoso AZ, Op., Cit., hal. 94
71
dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 22/65/KEP/DIR, dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/UPUM tertanggal 1 Juni 1983.
Pemerintah tidak akan mengadakan pengusutan untuk keperluan
pajak mengenai asal usul uang yang disimpan dalam bentuk deposito, akan
tetapi atas bunganya pemerintah memungut pajak sebagai pajak penghasilan
sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 1971 tentang Pajak atas
Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito,
dan Tabungan, beserta peraturan pelaksanaannya berupa Keputusan Menteri
Keuangan nomor 1287/KMK.04/1991 tentang Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito Berjangka,
Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito dan Tabungan.
Manfaat memiliki deposito bagi masyarakat yang mempercayai
dananya pada bank, adalah pemilik dapat menghimpun kekayaan secara
diam-diam (silent Find Raising) tanpa susah payah melakukan kegiatan
usaha, sedangkan keuntungan bagi bank adalah penyediaan likuiditas untuk
penarikan dana dapat diperhitungkan dan diperkirakan secara akurat.
Pemilik deposito (deposan) dapat menarik bunga atas simpanan
deposito secara tunai setiap jangka waktu tertentu ataupun ditransfer ke suatu
rekening deposan. Untuk kemudahan, Nasabah biasanya juga membuka
rekening tabungan untuk menampung bunga atas deposito tersebut yang telah
jatuh tempo dan tidak diperpanjang lagi. Selain itu, bunga dari simpanan
deposito dapat juga langsung dicairkan dan ditambahkan secara otomatis
kedalam simpanan deposito milik nasabah tanpa harus dimasukkan kedalam
rekening tabungan.
72
2.2.2 Macam-macam Deposito Dalam Perbankan
Perkembangan yang demikian pesat di bidang perbankan tidak
terlepas dari peran nasabah penyimpanan atau masyarakat yang menyimpan
dananya pada bank. Jenis simpanan dalam bentuk deposito lebih disenangi
oleh masyarakat atau nasabah penyimpan. Macam-macam deposito antara
lain;
a) Deposito Berjangka
Pemerintah memperkenalkan deposito berjangka secara serentak
pada
tanggal
15
September
1968
berdasarkan
Instruksi
Presiden
Nomor:28/1968. Deposito ini dikenal dengan Deposito Berjangka untuk
pembangunan. Latar belakang dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor: 28
tahun 1968 adalah untuk lebih memanfaatkan perkreditan serta dana-dana
dari kalangan masyarakat untuk mensukseskan stabilitas dan pembangunan
ekonomi.
Muhamad Djumhamad memberikan definisi deopsito berjangka
adalah simpanan yang mempunyai tanggal jatuh tempo yang telah ditetapkan,
dibuktikan dengan instrumen tertulis, dan menghasilkan bunga yang tetap
bagi nasabah selama usia kontrak. Dengan demikian, apabila waktu yang
ditentukan
telah
habis,
deposan
dapat
menarik
depositonya
atau
memperpanjang dengan suatu periode yang dibutuhkan.69
Deposito merupakan simpanan dana dari masyarakat kepada bank
mempunyai karakteristik, antara lain;
1. Surat berharga yang diterbitkan oleh bank berdasarkan atas nama,
sehingga tidak dapat diperjual-belikan;
69
Muhamad Djumhana, Op., Cit., hal. 357
73
2. Jangka waktu penarikannya telah ditentukan terlebih dahulu sesuai
dengan yang diperjanjikan;
3. Bunga dibayar setiap bulan pada hari bayarnya atau sekaligus pada
saat jatuh tempo;
4. Dapat dijadikan jaminan kredit;
5. Penyerahan hak cukup dengan cara cessie.70
Deposito Berjangka diadakan dengan tujuan untuk memberikan
bimbingan pada masyarakat
agar tidak
begitu saja menghabiskan
pendapatannya hanya untuk keperluan makan dan pakaian, tetapi juga agar
memanfaatkan jumlah pendapatan yang terbatas tersebut untuk kepentingan
yang lebih berguna. Selain itu dengan gerakan ini diharapkan agar lebih
memperkenalkan bank kepada masyarakat umum.
b) Sertifikat Deposito
Sertifikat deposito merupakan salah satu jenis simpanan dana
masyarakat. Menurut Hermansyah, Pengertian sertifikat deposito adalah
simpanan berjangka atas pembawa atau atas tunjuk, yang dengan izin Bank
Indonesia dikeluarkan oleh bank sebagai bukti simpanan yang dapat
diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.71 Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998
tentang Perbankan, dikemukakan bahwa yang dimaksud Sertifikat Deposito
adalah
simpanan
dalam
bentuk
deposito
yang
sertifikat
bukti
penyimpanannya dapat dipindahtangankan.
Bunga yang ditetapkan oleh setiap bank yang menerbitkan sertifikat
deposito berbeda satu dengan lain, karena tergantung dari kemampuan dan
70
Johannes Ibrahim, 2004, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi
Dalam Hukum Positif, Cetakan Pertama, Bandung, CV. Utomo, hal. 87
71
Hermansyah, Op.Cit., hal. 48
74
kebutuhan bank yang bersangkutan atas dana yang ingin ditarik dari
masyarakat. Dengan demikian sertifikat deposito adalah simpanan dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank mempunyai karakteristik, antara
lain;
1. Surat berharga yang ditertibkan oleh bank berdasarkan atas
tunjuk/pembawa, sehingga dapat diperjual-belikan;
2. Merupakan instrumen pasar uang;
3. Jangka waktu dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan;
4. Bunga dapat dibayar (diskonto) atau dapat pula dibayarkan dibelakang
pada saat jatuh tempo;
5. Dapat dijadikan jaminan kredit;
6. Jangka waktunya minimal 1 (satu) bulan dan maksimal 24 bulan;
7. Nilai nominal minimal Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).72
c) Simpanan Deposito On Call
Simpanan deposito on call merupakan deposito dengan jangka waktu
yang relatif pendek.73 Umumnya jangka waktu minimal 7 hari dan paling
lama kurang dari satu bulan. Deposito On Call dapat diterbitkan atas nama
baik perorangan maupun lembaga dan biasanya dalam jumlah yang besar.
Dengan demikian karekteristik dari deposito On Call antara lain :
1. Surat berharga yang ditertibkan oleh bank berdasarkan atas nama,
sehingga tidak dapat diperjual-belikan;
2. Jangka waktu penarikannya telah ditentukan terlebih dahulu sesuai
dengan yang diperjanjikan;
3. Bunga dibayar setiap bulan pada hari bayarnya atau sekaligus pada
saat jatuh tempo;
4. Dapat dijadikan jaminan kredit;
5. Penyerahan hak cukup dengan cara cessie.74
Pemerintah memungut pajak dari bunga simpanan deposito sebagai
pajak penghasilan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No: 74 tahun 1971
72
Johannes Ibrahim, Op.Cit., hal 88
Hermasyah Op. Cit, hal. 89
74
Hermasyah Op. Cit., hal. 87
73
75
tentang Pajak atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Bank Indonesia,
Sertifikat Deposito, dan Tabungan. Dengan memiliki deposito seperti ini,
pemilik dapat menghimpun kekayaan secara diam-diam (silent Find Raising)
tanpa susah payah melakukan kegiatan usaha, sedangkan keuntungan bagi
bank adalah penyediaan likuiditas untuk penarikan dana dapat diperhitungkan
dan diperkirakan secara akurat.
2.2.3. Deposito sebagai jaminan dalam pemberian Kredit Dalam
Perbankan
Bank sebagai lembaga keuangan mempunyai peranan yang sangat
penting dalam peningkatan di bidang ekonomi, hal ini ditandai dengan
meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat yang berdampak langsung
terhadap peningkatan usaha dan kebutuhan manusia yang semakin tinggi,
namun peningkatan tersebut tidak selalu diikuti oleh kemampuan finansial
dari pelaku ekonomi. Salah satu cara yang dilakukan pelaku ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan finansialnya adalah dengan cara meminjam dana atau
modal yang dikenal dengan istilah kredit, baik melalui bank umum
pemerintah maupun melalui bank umum swasta.
Kredit yang dipinjamkan oleh bank kepada masyarakat sumber
dananya bukan hanya dari dana milik Bank sendiri, karena modal perbankan
juga sangat terbatas, tetapi merupakan dana-dana masyarakat yang disimpan
dalam bank tersebut, sehingga perbankan berlomba-lomba menarik dan
mengumpulkan dana masyarakat. Dana masyarakat yang disimpan pada bank
pada umumnya dalam bentuk tabungan, deposito,Giro, sertifikat deposito dan
lain-lain.
76
Manfaat deposito berjangka bila ditinjau dari segi bank, adalah
merupakan salah satu kegiatan bank untuk mengumpulkan dana (uang) yang
berlebih yang diperlukan bank dalam menunjang kegiatan pokoknya yang
berupa pemberian kredit kepada masyarakat, karena dana deposito cenderung
mengendap sampai waktu jatuh tempo meskipun biayanya tinggi
75
. Jika
deposito ini ditinjau dari segi dana yang terdapat dalam suatu negara, maka
tujuan utamanya adalah untuk lebih memanfaatkan perkreditan dan
mensukseskan pelaksanaan stabilitas dan pembangunan ekonomi, dalam
tujuan ini ditekankan bahwa dana-dana itu hendaknya dari kalangan
masyarakat.
Keuntungan yang diperoleh bank, dengan semakin banyaknya
masyarakat menyimpan uangnya dalam bentuk deposito adalah dengan dana
deposito bank mempunyai kepastian tentang kapan dana itu akan ditarik
sehingga pihak bank dapat mengantisipasi kapan harus menyediakan dana
dalam jumlah tertentu, maka bank harus membayar dana ini dengan tingkat
bunga yang relatif lebih besar dibandingkan dengan simpanan dalam bentuk
yang lain. Sedangkan dari sisi deposan dan nasabah, cenderung lebih
menyukai menyimpan kelebihan dananya dalam bentuk deposito berjangka
sesuai dengan jangka waktu yang diinginkannya karena simpanan ini
menawarkan tingkat bunga yang relative lebih tinggi.
Perkembangan pemberian jaminan kredit yang cukup positif dalam
praktek perbankan saat
ini adalah pemberian jaminan berupa deposito
berjangka maupun dengan sertipikat deposito. Deposito berjangka adalah
75
Muhamad Djumhana, Op. Cit., hal. 357
77
produk penempatan dana yang aman dan menguntungkan yang tersedia dalam
jangka waktu 1, 3, 6 dan 12 bulan dengan tingkat bunga yang relative lebih
tinggi. Untuk mengakomodir demand pemberian jaminan dalam bentuk
deposito berjangka tersebut, Bank menciptakan suatu produk kredit yang
cukup ekslusif dengan nama Kredit dengan Jaminan Deposito yang lazimnya
disebut kredit back to back. Para pihak yang terlibat dalam pengikatan kredit
dengan jaminan deposito berjangka yaitu Pihak Bank/kreditur, pihak
peminjam/debitur, pihak pemilik agunan, biasanya pemilik agunan adalah
debitur.
Pemberian kredit dengan jaminan deposito umumnya dapat dijadikan
jaminan tunggal dalam mendapatkan fasilitas kredit dalam arti tidak
dibutuhkan jaminan tambahan sepanjang jumlah kredit yang diajukan tidak
melebihi jumlah deposito. Apabila jumlah kredit yang dimohonkan oleh calon
debitur melebihi jumlah deposito, maka Bank menghendaki adanya jaminan
tambahan, umumnya jaminan tambahan itu berupa sertifikat bidang tanah
tertentu milik pemohon (calon debitur).
2.3 Tinjuan Umum Tentang Rahasia Bank
2.3.1 Pengertian dan Ruang lingkup dari Rahasia Bank
Istilah Rahasia Bank di kenal di negara manapun di dunia ini yang
mempunyai lembaga keuangan bank. Rahasia bank tidak bedanya dengan
rahasia yang harus di pegang teguh oleh para professional seperti Dokter yang
wajib merahasiakan hal-hal yang menyangkut penyakit pasiennya. Bahkan
kalau rahasia di maksud tidak di pegang teguh dan dibocorkan kepada pihak
lain, maka atas tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi, baik perdata
78
maupun pidana. Ketentuan rahasia bank di Indonesia tercantum dalam
Undang-Undang Perbankan.
Semakin berkembangnya lembaga perbankkan saat ini, dikarenakan
adanya prinsip kerahasiaan yang dipegah teguh oleh bank yang dikenal
dengan istilah rahasia bank. Kerahasiaan informasi dalam kegiatan
perbankkan pada dasarnya untuk kepentingan bank itu sendiri, sebab sebagai
lembaga keuangan, bank harus mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Kepercayaan masyarakat itu akan lahir apabila semua data hubungan
masyarakat dengan bank tersebut dapat tersimpan dan dirahasiakan. Hal ini
membawa konsekuensi kepada bank, yaitu bank berkewajiban untuk menjaga
rahasia tersebut, sebagai timbal balik dari kepercayaan yang diberikan
masyarakat kepada bank selaku lembaga keuangan pengelola keuangan atau
sumber dana masyarakat.
Ada anggapan sebahagian orang bahwa kerahasiaan bank bisa
merugikan masyarakat, nasabah nakal bisa berlindung pada ketentuan rahasia
bank. Kerahasiaan bank harus di buka untuk kepentingan para penitip dana
dan sebagainya. Sedangkan di pihak lain menghendaki dan menegaskan
bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank karena masyarakat hanya
akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank
apabila dari pihak bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang
simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan.
Masyarakat akan mempercayai bank dengan adanya jaminan
kerahasian atas semua data masyarakat dalam hubungannya dengan bank,
selanjutnya mayarakat akan mempercayakan uangnya pada bank atau
79
memanfaatkan jasa bank. Kepercayaan masyarakat lahir apabila dari bank ada
jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan
nasabah tidak disalahgunakan. Adanya ketentuan rahasia bank tersebut
mewajibkan bank memegang teguh rahasia bank. Kewajiban memegang
teguh rahasia bank berlaku pula bagi pihak terafiliasi dalam operasional bank.
Dasar hukum dari ketentuan rahasia bank di Indonesia mula-mula
adalah Undang-Undang nomor Tahun 1992 tentang Perbankan tetapi
kemudian telah di ubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Pengertian rahasia bank oleh Undang-undang nomor 7 Tahun 1992 diberikan
oleh Pasal 1 ayat (16) yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut : Rahasia
bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal
lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib
dirahasiakan.
Pengertian ini telah di ubah dengan pengertian baru yang diatur dalam
Pasal 1 ayat (28) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perbankan,yaitu Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya. Selain
memberikan rumusan dari pengertiannya, Undang-Undang nomor 10 tahun
1998 tentang Perbankan juga memberikan rumusan mengenai siapa saja yang
wajib memegang rahasia bank, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 ayat
(1), yaitu Bank wajib merahasiakan keteranagn mengenai Nasabah
Penyimpan dan simpananya, kecuali dalam hal sebagaimana di maksud dalam
Pasal 41, Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44 A. Ayat (2)
80
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak
Terafiliasi.
Menurut Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998
tentang
Perbankan, maksud dari kata-kata segala sesuatu yang berhubungan dengan
dalam definisi tersebut, dalam penjelasan Pasal 1 angka 28 hanya disebut
cukup jelas. Namun Penjelasan dalam Pasal 40 ayat (1) adalah apabila
nasabah bank adalah Nasabah penyimpanan yang sekaligus juga sebagai
Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah
dalam kedudukanya sebagai Nasabah Penyimpan. Dalam penjelasan ayat
tersebut dinyatakan pula bahwa keterangan mengenai nasabah selain sebagai
nasabah penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan
bank. Berdasarkan uraian di atas, kiranya dapat ditafsirkan bahwa yang
dimaksud dengan keterangan adalah informasi, sehingga yang wajib
dirahasiakan oleh bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpananya, seperti kapan
simpanan ditempatkan, simpanan ditempatkan dengan tunai atau melalui
transfer atau dengan menyetor cek/bilyet giro dan sebagainya.
2.3.2 Pihak-Pihak Berkewajian Memegang Teguh Rahasia Bank
Pihak-pihak yang wajib memegang teguh rahasia bank menurut Pasal
40 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
berkewajiban memegang teguh rahasia bank ialah:
yang
Anggota Dewan
Komisaris Bank, Anggota Direksi Bank, Pegawai Bank, Pihak terafiliasi
lainnya dari bank.
81
Menurut Pasal 1 butir 22 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan yang dimaksudkan dengan pihak terafiliasi ialah:
a. anggota dewan komisaris, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat,
atau karyawan Bank;
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, Pejabat atau
karyawan Bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akuntan
publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan
keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi,
keluarga pengurus.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa di satu pihak
kepentingan masyarakat menghendaki supaya kewajiban rahasia bank
dipegang teguh oleh perbankan, namun di pihak lain jangan sampai untuk
hal-hal tertentu kepentingan masyarakat tersisihkan justru apabila kewajiban
rahasia bank itu dilaksanakan dengan teguh. Untuk keperluan itu, masyarakat
justru menginginkan agar untuk hal-hal tertentu kewajiban rahasia bank itu
hendaknya dapat dikecualikan.
Pengecualian untuk membuka rahasia bank diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dalam pasal 40 ayat (1)
yaitu;
1. Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian kepada
pejabat pajak berdasarkan perintah Pimpinan Bank Indonesia atas
permintaan Menteri Keuangan (Pasal 41).
2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan
Urusan Piutang Dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara dapat
diberikan pengecualian kepada pejabat Badan Urusan Piutang Dan
82
Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara atas izin Pimpinan Bank
Indonesia (Pasal 41A).
3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dapat diberikan
pengecualian kepada polisi, jaksa atau hakim atas izin Pimpinan Bank
Indonesia (Pasal 42).
4. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat diberikan
pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia
(Pasal 43).
5. Dalam rangka tukar-menukar informasi di antara bank kepada bank lain
dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan
Bank Indonesia (Pasal 44). Termasuk di dalam pengertian tukar menukar
informasi antar bank itu adalah dalam penggunaan ATM bersama.
6. Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan secara
tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin
Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 44A ayat (1)).
7. Ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dalam hal nasabah
penyimpan telah meninggal dunia (Pasal 44A ayat (2)).
Sehubungan dengan pengecualian tersebut di atas, apabila pihakpihak lain (selain yang telah ditentukan sebagai pihak-pihak yang boleh
memperoleh pengecualian) meminta penjelasan mengenai keadaan keuangan
suatu nasabah dari suatu bank, jelas jawabannya adalah tidak boleh. Misalnya
saja, apabila Dewan Perwakilan Rakyat (yang notabene adalah lembaga
tinggi negara yang mewakili rakyat atau kepentingan umum, dengan
demikian segala tindakannya tentu dilandasi oleh kepentingan umum)
83
menghendaki agar bank dalam suatu sidang dengar pendapat mengungkapkan
tentang nasabah penyimpan atau simpanannya, maka bank tidak boleh
memberikan keterangan yang demikian itu.
2.3.3. Teori Rahasia Bank dan Perlindungan Hukum Bagi Nasabah
Penyimpan
Bank sebagai suatu lembaga keuangan yang berfungsi menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, sudah sepatutnya menerapkan
ketentuan rahasia bank secara konsisten dan bertanggungjawab sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melindungi kepentingan
nasabahnya. Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang
sangat penting bagi nasabah penyimpan dan simpananya, sebab apabila
masyarakat penyimpan tidak mempercayai bank tersebut maka masyarakat
penyimpan tidak akan menyimpan uangnya pada bank tersebut.
Ada 2 teori tentang rahasia bank yang dikemukakan oleh
Muhammad Djumhana, dalam bukunya Hukum Perbankan di Indonesia,
yaitu : rahasia bank yang bersifat mutlak dan rahasia bank yang bersifat
nisbi.76Teori rahasia bank bersifat mutlak, yaitu bahwa bank berkewajiban
menyimpan rahasia nasabah yang diketahui oleh bank karena kegiatan
usahanya dalam keadaan apapun, biasa atau dalam keadaan luar biasa. Teori
ini sangat menonjolkan kepentingan indivudu, sehingga kepentingan Negara
dan masyarakat sering terabaikan. Teori ini dianut oleh bank-bank Swiss.
Pengertian teori rahasia bank bersifat nisbi, yaitu bahwa bank
diperbolehkan membuka rahasia nasabahnya jika untuk suatu kepentingan
76
Muhammad Djumhana, Op.Cit., hal. 172
84
mendesak77, misalnya demi kepentingan Negara. Teori ini banyak dianut oleh
negara-negara di dunia dalam sistem perbankan mereka. Rahasia bank harus
tetap dilaksanakan tetapi prinsip tersebut secara hukum tidak terlalu sulit
untuk diterobos. Ada pengecualian yang harus dipegang pula disamping
adanya tuntutan pelaksanaan rahasia bank secara konsisten dan bertanggung
jawab oleh bank.
Teori rahasia bank dalam lembaga perbankan secara umum dapat
diberlakukan secara mutlak dan relatif. Negara-negara didunia pun menganut
prinsip kerahasiaan tersebut sebagai sebuah kelaziman dalam dunia
perbankan. Bagi negara-negara yang menganut rahasia bank yang bersifat
mutlak maka dunia perbankan menjadi tempat yang sangat menguntungkan
bagi nasabah untuk menyimpan dananya. Disebabkan karena rahasia bank
betul-betul dipegang teguh, dan rahasia bank sangat sulit untuk dapat dibuka.
Keuntungan bank yang menganut prinsip teori mutlak adalah
terjaminnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga perbankan sehingga
roda kehidupan sebuah bank akan lancar bergulir. Akan tetapi prinsip tersebut
juga membawa dampak negatif yaitu dapat digunakannya lembaga perbankan
sebagai sarang kejahatan. Bank dapat disalahgunakan untuk menampung
dana-dana masyarakat dengan asal usul yang kurang jelas dan yang pasti
dengan perlindungan yang sangat kuat atau mutlak tersebut peluang untuk
menyembunyikan kekayaan seseorang dari target pemeriksaan dibidang
perpajakan akan sulit sekali ditembus78.
77
78
Muhamad Djumhana, Loc.Cit.,
Muhamad Djumhana, Op.Cit., hal 173
85
Bagi Negara yang menganut prinsip rahasia bank yang diberlakukan
secara relatif atau secara moderat, maka dunia perbankan dalam operasioanal
dapat memberikan informasi kerahasian dengan pengecualian. Sebagaimana
telah disebutkan pada uraian teori rahasia bank secara relatif bahwa prinsip
ini melindungi nasabah disertai dengan perkecualian yang lebih mudah untuk
ditembus. Ketika seorang nasabah didapati atau diduga sebagai wajib pajak
yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan, maka masih dimungkinkan
adanya akses yang diberikan kepada petugas pemeriksa pajak untuk
menikmati penerobosan rahasia bank sehingga terbuka pintu untuk
mendapatkan segala informasi yang diperlukan dalam rangka melakukan
pemeriksaan terhadap kebenaran pembayaran pajak seseorang. Pembukaan
rahasia bank dengan prinsip ini cenderung lebih mudah dilakukan dan
biasanya Negara menyediakan prosedur yang tidak terlalu rumit.
Sisi positif dari rahasia bank yang diberlakukan secara relatif,
adanya pemberian data dan imformasi yang menyangkut kerahasian bank
pada pihak lain dimungkinkan. Sedangkan sisi negatif yang terjadi pada
rahasia bank yang mudah dibuka adalah adanya kemungkinan turunnya
kuantitas dana masyarakat yang diserahkan pada bank dan dalam jangka
panjang tentu akan mempengaruhi kehidupan lembaga perbankan di suatu
negara. Masyarakat tertentu akan lebih memilih untuk menyimpan dananya
ke negara lain yang lebih menguntungkan bagi nasabah.
Prinsip atau teori yang mendasari ketentuan rahasia bank di Indonesia,
yaitu prinsip atau teori yang bersifat relatif79, hal ini dapat dilihat dengan
79
Muhamad Djumhana, Op.Cit., hal. 174
86
adanya pengecualian dalam ketentuan rahasia bank memungkinkan untuk
kepentingan tertentu suatu badan atau instansi diperbolehkan meminta
keterangan mengenai keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan pengecualian
rahasia bank ini diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang nomor 10
tahun 1998 tentang perbankan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat di ketahui bahwa pada
dasarnya rahasia bank menjadi perlindungan bagi nasabah penyimpan yaitu,
sebagai sebuah jaminan yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabahnya
baik secara mutlak ataupun relatif, dalam rangka menjaga kepercayaan
nasabah yang juga mempercayakan dananya kepada bank (timbal balik).
Meskipun pada awalnya kelahiran rahasia bank lebih banyak untuk
kepentingan bank itu sendiri.
87
BAB III
KEDUDUKAN NOTARIS DALAM PENGIKATAN DEPOSITO
BERKAITAN DENGAN RAHASIA BANK
3.1 Jaminan Kredit Dalam Perbankan
Salah satu fungsi bank dalam kegiatan usaha perbankan adalah
berupa pemberian kredit. Definisi pemberian kredit menurut de Wet op het
consumptief
geld-krediet adalah penyerahan secara langsung atau tidak
langsung sejumlah uang atau sejumlah yang mempunyai nilai uang kepada
orang dengan kewajiban untuk mengembalikan sejumlah uang atau sejumlah
yang mempunyai nilai uang80.
Pemberian kredit merupakan pemberian pinjaman uang oleh bank
kepada anggota masyarakat, yang umumnya disertai dengan penyerahan
jaminan kredit oleh debitur (peminjam). Jaminan kredit yang diterima bank
dari debitur termasuk sebagai salah satu obyek yang berkaitan dengan
kepentingan bank. Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai
jaminan yang baik dan berharga sehingga akan dapat memenuhi fungsifungsinya, antara lain dengan memperhatikan aspek hukum yang terkait
termasuk aspek hukum jaminan.
Sehubungan dengan hukum jaminan, ada beberapa sarjana yang
mendefinisikan mengenai hukum jaminan, yaitu; menurut M. Bahsan, hukum
jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan
dengan penjaminan dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang
80
53
F. Molenaar, 1985, Krediet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, hal.
88
terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat
ini.81Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang
mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang
debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang
jaminan piutang seseorang.82 Definisi ini difokuskan pada pengaturan hakhak kreditur semata-mata, tetapi juga erat kaitannya dengan debitur.
Sedangkan yang menjadi objek kajiannya adalah benda jaminan; Sementara
itu, Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima
jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan
fasilitas kredit.83
Dengan demikian Unsur-unsur yang tercantum di dalam definisi
hukum jaminan adalah :
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi 2
macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak
tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum
jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini
terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan.
81
M. Bahsan, 2008, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan
Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 3
82
J. Satrio, 2007, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 3
83
Salim HS, 2008 , Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 6.
89
2. Adanya pemberi dan penerima jaminan
Orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan
kepada penerima jaminan disebut pemberi jaminan, yang bertindak sebagai
pemberi jaminan ini adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan
fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut dengan debitur. Sedangkan penerima
jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari
pemberi jaminan, yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah orang
atau badan hukum. Badan hukum adalah lembaga yang memberikan fasilitas
kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan nonbank.
3. Adanya jaminan
Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah
jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang
berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda
tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan jaminan nonkebendaan.
4. Adanya fasilitas kredit
Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan
untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan
nonbank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan
kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan nonbank percaya bahwa
debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu
juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan nonbank dapat
memberikan kredit kepadanya. Pemahaman tentang hukum jaminan
sebagaimana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku sangat diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan
90
penyerahan jaminan kredit dapat mengamankan kepentingannya, antara lain
bagi bank sebagai pihak pemberi kredit. Peraturan perundang-undangan yang
memuat ketentuan hukum jaminan antara lain adalah KUHPerdata dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, sedangkan yang berupa undang-undang,
misalnya Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserata Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya
Undang-Undang Hak Tanggungan) yang termuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1996 nomor 42 dan Undang-Undang nomor 42
tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya ditulis Undang-Undang
Fidusia) yang termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
1999 nomor 168.
Jaminan merupakan kebutuhan kreditur untuk memperkecil risiko
apabila debitur tidak mampu menyelesaikan segala kewajiban yang
berkenaan dengan kredit yang telah dicairkan. Dengan adanya jaminan ini,
apabila debitur tidak mampu membayar, maka kreditur dapat memaksakan
pembayaran atas kredit yang telah diberikannya84. Terhadap jaminan ini akan
timbul masalah manakala seorang debitur memiliki lebih dari seorang
kreditur di mana masing-masing kreditur menginginkan haknya didahulukan.
Hukum mengantisipasi keadaan demikian dengan membuat jaminan yang
secara khusus diperjanjikan dengan hak-hak istimewa seperti hak tanggungan,
fiducia, gadai, maupun cessie piutang. Kreditur yang memegang hak tersebut
memiliki hak utama untuk mendapatkan pembayaran kredit seluruhnya dari
84
Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, hal. 67.
91
hasil penjualan benda jaminan. Apabila terdapat kelebihan dalam penjualan
benda jaminan terebut dapat diberikan kepada kreditur lain.
Dasar hukum jaminan dalam pemberian kredit perbankan adalah
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan
yang menyatakan bahwa : Dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
Keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk
melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan yang dimaksud
adalah bahwa bank wajib melakukan analisa kredit atas permohonan kredit
yang diajukan oleh calon debitur, bank harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari
nasabah debitur serta menerapkan pedoman perkreditan dalam melaksanakan
perkreditannya.
Sehubungan dengan ketentuan undang-undang yang mengatur
tentang pelaksanaan pemberian kredit tersebut, maka dalam menerima
jaminan kredit hendaklah memenuhi 2 (dua) kriteria yaitu Marketable dan
Secured.
1. Marketable, artinya bila jaminan tersebut hendak dieksekusi, dapat segera
dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.
2. Secured, artinya jaminan kredit mengikat secara yuridis formal sehingga
apabila suatu hari nanti nasabah debitur melakukan wanprestasi (cedera
92
janji), maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan
eksekusi.85
Jaminan kredit dalam praktik dunia perbankan terdiri dari jaminan
perorangan dan jaminan kebendaan.86
1. Jaminan Perorangan
Jaminan perorangan dalam Pasal 1820 KUHPerdata disebut sebagai
penanggungan utang. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jaminan
perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna
kepentingan pihak si berpiutang (kreditur), mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatan si berutang manakala orang tersebut tidak memenuhinya.
Pelaksanaan perjanjian selalu dibuat oleh pihak ketiga yang menjamin
terpenuhnya kewajiban membayar kredit tersebut, baik diketahui maupun
tidak diketahui oleh debitur. Dengan adanya pihak ketiga sebagai penjamin,
apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka pihak ketiga
inilah yang akan melaksanakan kewajibannya. Perlindungan hak terhadap
pihak ketiga dalam menjalankan kewajibannya tidak terlepas dari ketentuan
Pasal 1831 yang berbunyi : “Si penanggung (pihak ketiga) tidaklah wajib
membayar kepada si berpiutang selain jika si berutang lalai, sedangkan
benda-benda si berutang ini harus lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi
utangnya.” Dalam praktiknya, bank tetap meminta pihak ketiga untuk
melepas hak tersebut. Sehingga apabila debitur wanprestasi, bank dapat
85
Irma Devita Purnamasari, 2011, Hukum Jaminan Perbankan,
Bandung, Kaifa, hal 20
86
Ibid., hal. 3
93
segera melakukan penagihan langsung kepada pihak ketiga. Tujuan pelepasan
hak tersebut agar pihak bank lebih mudah mendapatkan hak pembayaran
kreditnya. Bank juga mengantisipasi kendala penarikan pembayaran yang
bisa jadi karena harta benda yang dimiliki debitur tidak marketable seperti
yang diharapkan.
2. Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu,
berupa bagian dari harta kekayaan debitur atau penjamin sehingga
memberikan kedudukan preference (diutamakan) kepada kreditur lainnya atas
benda tersebut. Jadi jika debitur wansprestasi (kredit macet) ada benda yang
cecara khusus untuk dijual oleh kreditur agar dapat melunasi utang debitur
tersebut.87 Adapun jaminan kebendaan terdiri dari :
a. Barang tidak bergerak (barang tetap), menurut sifatnya adalah benda yang
karena kodrat benda yang bersangkutan memang tidak bisa dipindahkan.88
Benda atau barang tidak bergerak dapat berupa tanah dan benda-benda
lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, seperti
bangunan dan tanaman yang ditanam diatas tanah dan tidak mudah
dipindah-pindahkan. Jenis jamian ini dibebani dengan Hak Tanggungan
sesuai dengan undang-undang.
b. Barang bergerak menurut sifatnya adalah benda yang dapat berpindah atau
dipindahkan.89 Barang bergerak terdiri atas barang yang berwujud dan
87
Ibid, hal 4
Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di
Bidang Kenotariatan, Cetakan ke II, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
228
89
Ibid.
88
94
yang tidak berwujud. Contohnya mobil, Piutang Dagang (tagihan atas hasil
usaha atau pekerjaan), tagihan (piutang) terhadap proyek-proyek yang
sedang dikerjakan, Saham-saham dan sebagainya. Jenis jamianan ini
dibebani dengan jaminan fidusia sesuai dengan Undang-Undang Fidusia,
Tetapi untuk surat yang mempunyai harga mungkin masih perlu penegasan
apakah termasuk sebagai barang-barang berwujud atau tidak berwujud
misalnya saldo tabungan dan saldo giro yang seharusnya dibedakan dari
bilyet deposito atau sertipikat deposito.90
Pemberian jaminan dalam perjanjian kredit diharuskan dalam dunia
perbankan konvensional karena pada dasarnya, sumber dana yang disalurkan
berasal dari masyarakat atau tabungan masyarakat. Namun, pada peraturan
kredit perbankan jaminan kebendaan merupakan jaminan tambahan yang
disebut sebagai agunan. Jadi sebenarnya menurut Undang-Undang nomor 10
tahun 1998 tentang Perbankan, jaminan dan agunan merupakan dua unsur
yang berbeda. Jaminan pokok merupakan keyakinan, sedangkan jaminan
tambahan adalah sesuatu yang dapat menguatkan keyakinan bank, yaitu
agunan. Mengenai agunan sebagai jaminan tambahan, secara tegas diatur
dalam Pasal 1 butir 23, yang berbunyi : “Agunan adalah jaminan tambahan
yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian
fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.”
Bank sebagai pemberi kredit hendaknya sepenuhnya memahami dan
mematuhi ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang menetapkan bahwa segala
hak kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
90
M. Bahsan, Op. Cit, hal. 108
95
yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan
untuk segala perikatannya. Semua harta kekayaan debitur secara otomatis
menjadi jaminan atas kredit yang diterimanya dari bank, dan dalam praktek
perbankan mengenai harta debitur sebagaimana yang dimaksud oleh
ketentuan KUHPerdata
sering dicantumkan dalam ketentuan perjanjian
kredit. Sehubungan dengan itu hukum jaminan sangat berkaitan dengan
kegiatan perbankan, terutama dalam perjanjian kredit yang dilakukannya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan perekonomian saat
ini penerapan hukum jaminan lebih banyak ditemukan dalam kegiatan
perjanjian kredit perbankan.
Pengertian perjanjian menurut Agus Yudha Hernoko, adalah
perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau
saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih91. Perjanjian
dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak
atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu.
Perjanjian memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa dan perjanjian
ditujukan
untuk
memperjelas
hubungan
hukum.92
Perjanjian
yang
menciptakan perikatan merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara
mandiri mengatur hubungan-hubungan hukum diantara mereka. Perikatan
dapat dirumuskan sebagai hubungan hukum harta kekayaan antara dua orang
(atau lebih), dimana pihak yang satu (debitur) wajib melakukan suatu
91
Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian Asas
Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Edisi Pertama, Cetakan Ke-2,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 18
92
Artadi I Ketut dan Rai Asmara Putra I Dewa Nyoman, 2010,
Implementasi Ketentuan- ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan
Kontrak, Cetakan Pertama, Udayana University Press, Denpasar, hal. 28
96
prestasi, sedangkan pihak yang lain (kreditur) berhak atas prestasi
itu.93Sejalan dengan pendapat C.Asser yang mengemukakan ciri utama
perikatan ialah, bahwa ia merupakan suatu hubungan antara orang-orang,
dengan hubungan mana seseorang berhak meminta sesuatu penunaian/prestasi
dari orang lain, dan orang tersebut terakhir mempunyai kewajiban
terhadapnya. Bila suatu perikatan diadakan, maka terwujudlah di suatu pihak
suatu hak, sementara dipihak lainnya terwujud suatu kewajiban yang sesuai
dengan hak tersebut.94
Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa perjanjian kredit.
Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak
nasabah. Suatu perjanjian utang piutang sering disertai dengan perjanjian
pengikatan jaminan utang. Demikian pula, dalam hal pemberian kredit selain
dibuat perjanjian kreditnya, hendaknya segera diikuti pula dengan pembuatan
perjanjian pengikatan obyek jaminan kredit.95
Bank dalam menyalurkan dana untuk kredit harus didasarkan adanya
suatu jaminan. Adapun yang dimaksud jaminan dalam pemberian kredit
menurut Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor
23/69/KEP/DIR tanggal 28 Pebruari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit
yaitu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai
dengan yang diperjanjikan. Sedangkan “guna memperoleh keyakinan tersebut
93
J.H. Nieuwenhus, 1985, Hoofdstukken Verbintenissenrecht
(Pokok-Pokok Hukum Perikatan terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya,
hal. 1
94
c.Asser, 1991, Handieiding Tot de Beofening Van Het Nederlands
Burgerlijk Recht (Pedoman Untuk Pengkajian Hukum Perdata diterjemahkan
oleh Sulaiman Binol), Dian Rakyat, Cetakan pertama, Jakarta, hal. 5
95
M.Bahsan, Op. Cit., hal. 119
97
maka bank sebelum memberikan kreditnya harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari
debitur”96
Pengertian jaminan kredit, adalah suatu bentuk tanggungan atas
pelaksanaan suatu prestasi yang berupa pengembalian kredit berdasarkan
pada suatu perjanjian kredit. Peranan jaminan dalam suatu pemberian kredit,
adalah untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul dengan tidak
dibayarnya kembali kredit yang diberikan.
Pemberian kredit dalam perbankan pada umumnya dilakukan dengan
dua perjanjian yaitu, perjanjian pertama dengan perjanjian pokok adalah
perjanjian yang mendasari atau mengakibatkan dibuatnya perjanjian
lain,97contohnya berupa perjanjian kredit yang dibuat bersama debitur dalam
rangka kegiatan usaha pemberian kredit perbankan. Sedangakan perjanjian
kedua dengan perjanjian accessoir (perjanjian buntut atau perjanjian turutan)
adalah perjanjian yang dibuat berdasarkan atau berkaitan dengan perjanjian
pokok, mengabdi pada perjanjian pokok.
98
Perjanjian accessoir timbul
(terjadi) karena adanya perjanjian pokok yang mendasarinya, contohnya
berupa perjanjian pengikatan obyek jaminan kredit yang dibuat bank bersama
debitur atau pemilik obyek jaminan kredit.99
Berkaitan dengan perjanjian pokok dan perjanjian accessoir ini,
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai berikut;
96
Muhamad Djumhana, Op.Cit., hal. 510
Muhamad Djumhana, Op.Cit., hal 132
98
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan Di
Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Cet ke-1,
Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 37
99
M.Bahsan, Op. Cit., hal 133
97
98
1.
Tidak ada suatu Perjanjian accessoir bila sebelumnya tidak ada perjanjian
pokok. Perjanjian pengikatan jaminan utang dibuat karena adanya
perjanjian kredit. Perjanjian pengikatan obyek jaminan kredit dibuat
berdasarkan perjanjian kredit yang telah ditanda tangani oleh bank dan
debitur.
2.
Bila perjanjian pokok berakhir maka perjajnian accessoir harus diakhiri.
Perjanjian pengikatan kredit harus diakhiri dengan berakhirnya perjanjian
kredit karena pinjaman debitur kepada bank telah dilunasi, dengan
demikian perjanjian kredit sudah berakhir.
Dalam perjanjian kredit selalu diikuti dengan penyerahan jaminan
dan pengusaan jaminan, guna menjamin pelunasan utang debitur pada
kreditur. Keharusan adanya pengikatan jaminan dan penguasaan jaminan
kredit merupakan bagian dari persyaratan adminstratif
yang sudah
diselesaikan sebelum kredit dicairkan dananya kepada debitur. Terhadap
setiap objek jaminan kredit yang diserahkan debitur dan disetujui bank, harus
segera diikat sebagai jaminan utang. Bank seharusnya mengikat objek
jaminan kredit secara sempurna, yaitu dengan mengikuti ketentuan
perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan utang. Adanya
persyaratan administratif yang ditetapkan dalam peraturan internal bank,
adalah untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, hendaknya bank tidak
menyetujui permohonan penarikan kredit yang diajukan debitur sebelum
seluruh persyaratan administratif diselesaikan oleh debitur, termasuk
mengenai pengikatan jaminan dan penguasaan jaminan kreditnya.
99
3.2 Pengikatan Jaminan Deposito sebagai Jaminan Kredit Dalam
Perbankan
Bank dalam memberikan kredit kepada masyarakat, harus didasarkan
pada prinsip kehati-hatian dengan menekan resiko sekecil mungkin. Resiko
yang dimaksud adalah resiko kemungkinan kredit itu tidak dapat dibayar
kembali oleh debiturnya, yang akhirnya menimbulkan kredit macet. Oleh
karena itu dalam memberikan kredit kepada debitur selain melakukan
berbagai analisis secara teknis dan financial juga dilakukan pengamanan dari
segi hukum, diantaranya melalui pengikatan jaminan kredit. Menurut M.
Bahsan, terdapat empat lembaga jaminan yang dapat dipergunakan untuk
mengikat jaminan utang, yaitu gadai, hipotik, hak tanggungan dan jaminan
fidusia100. Sehubungan dengan pengikatan jamianan
dalam praktik
perbankan, dapat dilakukan dengan tiga cara antara lain ;
1. Pengikatan jaminan kredit melalui lembaga jaminan yaitu dengan cara
pengikatan obyek jaminan kredit secara sempurna melalui suatu lembaga
jaminan yang berlaku yang sesuai dengan jenis obyek jaminan yang
diterimanya. Sehubungan dengan pengikatan jaminan ini, adapun
keuntungan dari pengikatan melalui lembaga jaminan adalah :
(a) Bank mempunyai hak kebendaan terhadap obyek jaminan kredit;
(b) Bank mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain untuk
memperoleh pelunasan kredit dari hasil penjualan obyek jaminan
kredit bila debitur ingkar janji;
100
M.Bahsan, Op. Cit., hal. 134
100
(c) Bank akan mempunyai kepastian hukum terhadap pengikatan obyek
jaminan kredit;
(d) Bank mempunyai kemudahan untuk mencairkan obyek jaminan.
Pengikatan jaminan ini misalkan dengan pengikatan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan, Hak Tanggungan, Fidusia dan
Gadai.
2. Pengikatan jaminan yang tidak memenuhi ketentuan lembaga jaminan
yaitu pengikatan jaminan yang dilakukan dengan cara tidak sempurna
atau tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan dalam suatu lembaga
jaminan, misalnya pengikatan fiduasia yang tidak didaftarkan.
3. Pengikatan jaminan kredit yang tidak menggunakan lembaga jaminan;
Dalam praktik perbankan, terdapat obyek jaminan kredit yang sama
sekali tidak diikat melalui suatu lembaga jaminan. Bank tetap mensyaratkan
adanya peyerahan obyek jaminan kredit dari debitur dan menerimanya, tetapi
tidak melakukan pengikatan melalui lembaga jaminan yang berkaitan dengan
obyek jaminan kredit tersebut. Pertimbangan bank tidak mengikat obyek
jaminan antara lain karena berkaitan dengan pemberian kredit mikro dan kecil
yang nilai kreditnya relatif kecil, jangka waktu kredit yang pendek, terhadap
obyek jaminan kredit ini, bank menempuh kebijaksanaan antara lain berupa
tindakan :
(a) Pencantuman klausula jaminan kredit dalam perjanjian kredit;
(b) Penguasaan dokumen obyek jaminan kredit oleh bank;
(c) Penyerahan surat kuasa menjual oleh debitur kepada bank;
101
(d) Penyerahan surat pernyataan dari pihak ketiga dan atau debitur kepada
bank.
Salah satu jenis simpanan dana dari masyarakat kepada bank, dapat
berupa sertipfikat deposito dan deposito berjangka adalah termasuk dalam
kategori benda bergerak yang tidak berwujud, sehingga
dapat dibebani
dengan hak gadai. Terhadap gadai atas benda bergerak tersebut maka hukum
yang berlaku adalah ketentuan dalam KUH Perdata Pasal 1150 sampai
dengan Pasal 1160.
Gadai menurut ketentuan Pasal 1150 KUHPerdata adalah hak yang
diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh
debitur atau orang lain atas namanya, untuk menjamin suatu utang dan yang
memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari benda
tersebut lebih dahulu daripada kreditur lainnya, kecuali biaya untuk melelang
benda tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk pemeliharaan setelah
benda itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan101.
Hak gadai terjadi dengan penyerahan benda gadai secara nyata
sehingga benda tersebut berada di bawah kekuasaan kreditur. Hak kebendaan
(jaminan) atas benda bergerak itu ada pada pemegang gadai. Hal tersebut
tercantum dalam Pasal 1152 ayat 1 KUH Perdata : Hak gadai atas bendabenda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa
barang gadainya dibawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga,
tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.
101
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia,
Cetakan Revisi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 171
102
Sebagai hak kebendaan atas jaminan, gadai mempunyai sifat-sifat
khusus sebagai berikut :
(a) Gadai bersifat asesor (accessoir) artinya perjanjian jaminan gadai
mengikuti perjanjian pokok atau perjanjian kreditnya. Sejalan dengan
pendapat Abdulkadir Muhammad, adanya gadai tergantung pada adanya
perjanjian pokok utang-piutang. Tanpa perjanjian pokok utang-piutang tidak
ada gadai.102 Artinya perjanjian ini (jaminan gadai) berlaku dan baru timbul
sepanjang masih terdapat utang pituang di antara pemberi gadai dan penerima
gadai. Dalam hal utang tersebut berakhir, berakhir pulalah perjanjian jaminan
gadai tersebut. Perjanjian jaminan ini fungsi untuk menjaga jangan sampai si
berutang itu lalai membayar kembali utangnya.
(b) Gadai bersifat jaminan utang, yaitu benda jaminan harus dikuasai dan
disimpan oleh kreditur.103Sejalan dengan pendapat Irma Devita Purnamasari,
benda yang digadaikan berada dibawah kekuasaan kreditur selaku penerima
gadai.104Artinya setelah utang yang timbul dengan jaminan benda tersebut
lunas, maka benda tersebut baru dikembalikan oleh penerima gadai.
Umumnya, benda yang digadaikan berupa benda bergerak seperti emas atau
hak kebendaan yang tidak bertubuh, seperti deposito dan saham.105
(c) Gadai bersifat tidak dapat dibagi-bagi, artinya sebagian hak gadai itu tidak
menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian dari hutang. Gadai tetap melekat
102
Ibid., hal. 172
Ibid.
104
Irma Devita Purnamasari, Op. Cit., hal. 132
105
Irma Devita Purnamasari, Op. Cit., hal. 132
103
103
atas seluruh bendanya.106 Hal ini ditentukan dalam Pasal 1160 KUHPerdata,
bahwa benda gadai melekat secara utuh pada utangnya meskipun debitur
meninggal atau benda gadai tersebut diwariskan secara terbagi-bagi, tetapi
hak gadai atas benda yang digadaikan tidak dapat hapus begitu saja hingga
seluruh utang telah dilunasi.
(d) Memberikan hak preference (didahulukan) kepada pemegangnya. Dengan
adanya benda bergerak yang ditetapkan secara khusus melalui perjanjian
gadai, otomatis pemegang benda yang digadaikan tersebut berkedudukan
sebagai kreditur preference. Artinya dalam hal debitur (pemberi gadai) macet,
maka kreditur punya hak utama untuk memperoleh pelunasan dari barang
yang digadaikan tersebut, dengan cara menjual atau melalui pelelangan.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, kalau yang digadaikan itu
berwujud surat piutang atas nama maka syarat-syaratnya adalah :
1. Harus ada perjanjian gadai;
2. Harus ada pemberitahuan kepada debitur dari piutang yang digadaikan
itu.107
Deposito yang berupa deposito berjangka merupakan suatu piutang
atas nama. Piutang atas nama adalah hak menagih dari kreditur terhadap
debitur tertentu, berdasarkan suatu perikatan. Apabila suatu piutang atas nama
hendak digadaikan, menurut Pasal 1153 KUHPerdata maka harus dilakukan
dengan pemberitahuan perihal penggadaiannya kepada debitur. Dalam
pemberitahukan
ini
debitur
106
dapat
meminta
bukti
tertulis
perihal
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata: Hukum
Benda, Cetakan keempat, Liberty, Yogyakarta, hal. 98
107
Ibid., hal 100
104
penggadaiannya dan persetujuannya dari pemberi gadai. Setelah itu debitur
hanya dapat membayar hutangnya kepada pemegang gadai. Bentuk
pemberitahuan ini dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan.
Pengikatan jaminan deposito dalam perbankan didahului dengan
melakukan perjanjian kredit antara debitur dan kreditur sebagai perjanjian
pokok dimana didalamnya disebutkan jaminan deposito. Pengikatan jaminan
deposito dilakukan dengan pembuatan akta jaminan deposito antara pemilik
deposito dengan pihak bank. Pengikatan tersebut dapat dibuat secara akta
notariil maupun dibawah tangan guna menjamin pelunasan utang dalam
perjanjian kredit. Selanjutnya pemilik deposito menyerahkan bilyet deposito
yang dijaminkan kepada bank, penyerahan tersebut merupakan penyerahan
yang nyata artinya bilyet deposito tersebut harus diserahkan dibawah
kekuasaan bank, tidak boleh hanya berdasarkan pernyataan dari pemberi
gadai saja. Penyerahan nyata tersebut dilakukan bersamaan dengan
penyerahan yuridis dengan demikian penyerahan tersebut merupakan unsur
sahnya gadai.
3.3. Kedudukan Notaris Dalam Pengikatan Jaminan Deposito berkaitan
Rahasia Bank
Notaris sebagai suatu jabatan mempunyai wewenang tertentu
sebagaimana
dalam
Undang-Undang
Jabatan
Notaris,
sangat
besar
peranannya bagi bangsa dan negara, karena sebagian dari tugas negara di
bidang keperdataan dijalankan oleh Notaris, khususnya dalam memberikan
kepastian hukum, baik dalam perjanjian, kontrak dan pengikatan lainnya yang
memberikan kepastian hukum, dengan maksud untuk membantu dan
105
melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat
otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum para penghadap.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud yang tercantum dalam Pasal
15 Undang-Undang Jabatan Notaris. Akta Notaris adalah akta otentik yang
dibuat dihadapan Notaris menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris adalah pejabat umum yang bertugas
melayani kepentingan masyarakat, khususnya dibidang perbankan dalam
bidang jasa kenotariatan, seperti pengikatan jaminan kredit.
Sehubungan dengan jasa Notaris yang diperlukan oleh bank dalam
kaitannya dengan pemberian kredit pada masyarakat,
antara lain dalam
bentuk akta otentik yang meliputi akta perjanjian kredit dan akta pengikatan
jaminan, akta-akta yang dibuat antara lain;
a. Surat kuasa membebankan hak tanggungan, ketentuan formal mengenai
bentuk Surat kuasa membebankan hak tanggungan dapat dilihat dalam
rumusan
Pasal 15 ayat (1)
menyatakan bahwa
Undang-Undang Hak Tanggungan yang
Surat kuasa membebankan hak tanggungan harus
dibuat dalam bentuk akta Notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Dengan demikian berarti Surat kuasa membebankan hak tanggungan yang
tidak dibuat dengan akta Notaris atau tidak;ah berlaku sebagai Surat kuasa
membebankan hak tanggungan108;
b.
Akta fidusia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Fidusia yaitu pembebanan benda dengan jaminan Fidusia dibuat
108
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja. 2005, Hak Tanggungan,
Ed.1, Cet. 3, Kencana, Jakarta, hal 78
106
dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta
jaminan fidusia. Undang-Undang Fidusia menetapkan perjanjian fidusia
harus dibuat dengan akta Notaris, mengingat obyek jaminan fidusia pada
umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka sudah
sewajarnyabentuk akta otentiklah yang dianggap paling dapat menjamin
kepastian hukum berkenaan dengan obyek Jaminan Fidusia109.
c.
Akta Gadai adalah akta pemberian jaminan dalam bentuk gadai yang
dibuat secara otentik dan berisi penyerahan penguasaan atas suatu barang
serta kuasa untuk mengambil alih barang yang digadaikan tersebut, jika
utang yang dijamin dengan barang tersebut macet.110
Bentuk jaminan gadai bebas, artinya dapat diadakan secara tertulis dan
dapat pula secara lisan. Jika diadakan secara tertulis, dapat dengan akta
otentik yang dibuat dimuka Notaris, dapat pula dengan akta tidak otentik
(onderhans acte/akta dibawah tangan) yang dibuat oleh para pihak saja111.
Pengikatan Jaminan Deposito, yang biasanya dilakukan secara tertulis
baik dalam bentuk akta Notaris maupun dibawah tangan.
Ada perbedaan
antara kedua jenis pengikatan tersebut, yaitu dalam hal pembuktian.
Pengikatan jaminan deposito dengan akta otentik yang tentunya akan
memberikan kekuatan
pembuktian yang sempurna bagi para pihak yang
membuatnya. Sebagai alat bukti
yang sempurna maksudnya adalah
kebenaran yang dinyatakan di dalam akta notaris itu tidak perlu dibuktikan
dengan alat bukti yang lain. Sedangkan pengikatan jaminan deposito yang
109
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Jamian Fidusia, PT
RajaGrafindo Persada, Jakatra, hal.136
110
Irma Devita Purnamasari, Op. Cit., hal. 190
111
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal 172
107
dibuat dibawah tangan mempunyai pembuktian sepanjang para pihak
mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak, jika para
pihak mengakuinya, maka akta tersebut
mempunyai pembuktian yang
sempurna sebagaimana akta otentik, jika salah satu pihak tidak mengakuinya,
maka beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta
tersebut, dan penilaian penyangkalan atas alat bukti tersebut diserahkan
kepada hakim. Baik dalam bentuk dibawah tangan maupun akta otentik
keduanya harus memenuhi rumusan mengenai sahnya perjanjian berdasarkan
Pasal 1320 KUHPer dan secara materil mengikat para pihak yang
membuatnya (Pasal 1338 KUHPer) sebagai suatu perjanjian yang harus
ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda).112
Notaris merupakan jabatan kepercayaan, hal ini mengandung makna,
yaitu mereka yang menjalankan tugas jabatan dapat dipercaya dan karena
jabatan Notaris sebagai jabatan kepercayaan dan orang yang menjalankan
tugas jabatan juga dapat dipercaya, yang keduanya saling menunjang. Oleh
karena itu Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya punya kewajiban
merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan sebagaimana ternyata dalam Pasal 4 Undang-Undang Jabatan Notaris,
kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN).
Ditegaskan pula dalam Penjelasan huruf e bahwa kewajiban untuk
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat
lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait
112
Habib Adjie, Op.Cit,. hal 92
108
dengan
akta
tersebut.
Sudah
menjadi
kewajiban
Notaris
untuk
mempertahankan rahasia jabatan tersebut. Dengan demikian batasannya
hanya undang-undang
saja yang dapat memerintahkan Notaris untuk
membuka rahasia isi akta dan keterangan/pernyataan yang diketahui Notaris
yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud.
Selain pengecualian tersebut diatas diatur pula pada ketentuan Pasal
54 Undang-Undang Jabatan Notaris yang mengatur bahwa Notaris hanya
dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, grosse
akta, salinan akta atau kutipan akta kepada orang yang berkepentingan
langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Bank sebagai suatu lembaga yang melindungi dana nasabah juga
berkewajiban menjaga kerahasiaan terhadap dana nasabahnya dari pihakpihak yang dapat merugikan nasabah. Sebaliknya masyarakat yang
mempercayakan dananya untuk dikelola oleh bank juga harus dilindungi
terhadap tindakan yang semena-mena yang dilakukan oleh bank yang dapat
merugikan nasabahnya. Dalam hal bank menjalankan salah satu fungsinya
antara lain yaitu;
1.
Menghimpun dana dari masyarakat, bank sebagai lembaga kepercayaan,
agar dapat terus menerus menjalankan kegiatan usahanya dan terhindar
dari kekurangan dana, maka bank memerlukan dana yang salah satunya
berasal nasabah penyimpan. Masyarakat
akan menyimpan dan
mempercayakan dana yang dimilikinya pada lembaga perbankan ataupun
memanfatkan jasa perbankan lainnya apabila dari lembaga perbankan
109
tersebut ada jaminan bahwa lembaga perbankan memegang teguh
ketentuan rahasia bank yaitu wajib merahasiakan mengenai simpanan
dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan oleh mereka
yang bergerak di dalam kegiatan perbankan tersebut atau pihak lain yang
tidak berhak dan berkepentingan. Ketentuan tesebut menegaskan bahwa
lembaga perbankan harus memegang teguh keterangan yang tercatat
olehnya dimana ketentuan itu juga berlaku bagi pihak terafiliasi dalam
kegiatan operasional perbankan tersebut;
2.
menyalurkan kredit kepada masyarakat bank dalam mengikat jaminan
kredit memerlukan jasa Notaris, agar perjanjian yang dibuat antara bank
dan nasabah memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, untuk itu
diperlukan peran Notaris untuk membuat perjanjian tersebut dalam
bentuk otentik. Dalam hal ini Notaris juga berperan untuk memberikan
penyuluhan hukum kepada para pihak agar perjanjian yang dibuat sesuai
dengan hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku, berikut segala
dokumen pendukung dalam pembuatan akta tersebut. Hal ini senyata
dengan wewenang Notaris dalam Pasal 15 ayat (2) hurup e yang
menetapkan bahwa Notaris berwenang memberikan penyuluhan hukum
sehubungan dengan pembuatan akta.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang nomor 10
tentang perbankan yang mewajibkan bank dan pihak terafiliasi untuk
merahasiakan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya dan Pasal 1
butir 22 Undang-Undang nomor 10 tentang Perbankan yang menetapkan,
salah satu pihak terafiliasi diantaranya adalah pihak yang memberikan
110
jasanya kepada bank yang meliputi akuntan publik penilai, konsultan hukum
dan konsultan lainnya : sebagai contoh, dalam pengikatan jaminan deposito
yang di buat dihadapan Notaris, dimana nasabah penyimpan merupakan
subyek dari akta jaminan deposito dan obyek dari jaminan tersebut adalah
dananya yang berbentuk deposito, ini berarti Notaris yang memberikan
jasanya kepada bank, dalam pembuatan akta jaminan deposito tersebut
mengetahui jumlah simpanan yang dimiliki debitur sebagai nasabah
penyimpan dana. Sebagai konsekuensinya, Notaris yang memberikan jasanya
kepada bank dalam pembuatan akta jaminan deposito wajib merahasiakan
simpanan nasabah penyimpan yang terdapat pada bank-bank tertentu dan
segala keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta jaminan
deposito, terkait dengan nasabah penyimpan dan simpanannya sehubungan
dengan akta yang dibuatnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Notaris yang memberikan jasanya
kepada bank dalam membuat akta pengikatan jaminan deposito antara bank
dan nasabah penyimpan yang sekaligus sebagai nasabah debitur, bank wajib
tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai
nasabah penyimpan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 dan penjelasan dari
Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 yaitu antara lain
bahwa apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpanan yang sekaligus
juga sebagai nasabah debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan
tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan, maka
Notaris yang memberikan jasanya dalam pembuatan akta jaminan deposito
termasuk pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 22
111
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan,
ketentuan ini tidak dicantumkan secara jelas
kedudukan
akan tetapi
Notaris dalam
memberikan jasanya kepada bank, yang berupa pengikatan jaminan deposito
termasuk sebagai pihak terafiliasi. Apakah maksud pembuat undang-undang,
Notaris itu termasuk konsultan lainnya dalam pasal tersebut. Jika dilihat dari
kewenangan Notaris dalam Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris, selain
membuat akta juga berwenang memberikan penyuluhan hukum atau
konsultasi sehubungan dengan pembuatan akta jaminan deposito. Dengan
demikian ada kekaburan norma terhadap pengertian konsultan lainnya yang
mengandung pengertian yang tidak jelas dalam Pasal tersebut diatas, hal ini
akan berdampak pada ketentuan kerahasiaan bank.
Sehubungan
dengan
kekaburan
norma
tersebut,
maka
penulis
menggunakan metode penafsiran ekstentif atau penafsiran memperluas yaitu
memperluas pengertian atau istilah konsultan lainnya. Penafsiran ekstentif
atau penafsiran memperluas dipergunakan untuk mengkaji dan menjawab
permasalahan kedudukan Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank,
berupa pengikatan jaminan deposito berkaitan dengan rahasia bank terutama
dalam
ketentuan Pasal 40 dan
Pasal 1 butir 22 huruf c tentang pihak
terafiliasi dalam hurup c Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang
Perbankan, yang merumuskan : pihak yang memberikan jasanya kepada
Bank, antara lain : akuntan publik , penilai, konsultan hukum, dan konsultan
lainnya, jelaslah yang dimaksud konsultan lainnya dalam ketentuan Pasal 1
butir 22 Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan meliputi
Notaris dalam kedudukannya memberikan jasa kepada bank berkaitan dengan
112
pembuatan akta jaminan deposito yang berkaitan dengan ketentuan rahasia
bank.
Notaris sebagai pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk
membuat akta otentik dalam memberikan jasanya terhadap bank khususnya
pada pembuatan akta pengikatan jaminan deposito yang berkaitan dengan
debitur yang sekaligus sebagai nasabah penyimpan, selain tunduk pada
ketentuan rahasia jabatan Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 16
ayat 1 hurup e dan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris, juga harus
tunduk pada ketentuan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang
nomor 10 tentang Perbankan.
Notaris dalam kedudukannya sebagai pihak
terafiliasi yang memberikan jasanya pada bank dan wajib menyimpan rahasia
bank khususnya untuk akta pengikatan jaminan deposito yang dibuat antara
bank dan nasabah. Dengan demikian rahasia jabatan Notaris, mencakup isi
akta dan keterangan yang diberikan berkaitan dengan pembuatan akta
pengikatan jaminan tunduk berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris,
namun jika memberikan informasi mengenai isi akta dan keterangan yang
diberikan berkaitan dengan hubungan antara nasabah dengan bank khususnya
dalam kegiatannya menyalurkan dana dalam bentuk kredit yang memerlukan
pengikatan jaminan deposito, maka hal tersebut tunduk pada rahasia bank
berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Perbankan.
Rahasia bank diperlukan sebagai salah satu faktor untuk menjaga
kepercayaan nasabah penyimpan, dimungkinkan dibuka untuk kepentingan
perpajakan, penyelesaian piutang bank, kepentingan peradilan dalam perkara
pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, dalam rangka
113
tukar menukar informasi antar bank, atas permintaan, persetujuan atau kuasa
dari nasabah dan permintaan ahli waris yang sah dari nasabah yang telah
meninggal dunia. Pengecualian rahasia bank tersebut sebagaimana diatur
dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A
Undang-Undang nomor 10 tentang Perbankan.
114
BAB IV
TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PENGIKATAN
DEPOSITO BERKAITAN DENGAN RAHASIA BANK
4.1. Tanggung jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Jaminan Deposito
Mengenai pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang dibuatnya,
digunakan teori pertanggungjawaban, untuk membahas dan menganalisis
masalah tanggung jawab Notaris sebagai pihak yang memberikan jasanya
kepada bank dalam pembuatan akta jaminan deosito berkaitan rahasia bank.
Notaris adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Negara
berdasarkan ketentuan undang-undang untuk membuat akta otentik, guna
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan alat bukti
tertulis. Pemberian kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta
sebagaiamana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, menimbulkan
pertanggujawaban atas penggunaan wewenang itu. Menurut perpsektif hukum
publik
adanya
kewenangan
Notaris
untuk
membuat
akta
otentik,
menimbulkan pertanggungjawaban atas akta yang dibuatnya, hal ini sejalan
dengan prinsip umum yaitu tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.
A.D. Belinfante mengatakan “niemand kan een bevoegdheid uitoefenen
zonder verantwordig schulding te zijn of zonder dat of die uitoefening
controle bestaan”. (tidak seorang pun dapat melaksanakan kewenangan tanpa
memikul
kewajiban
tanggung
jawab
atau
tanpa
ada
pelaksanaan
pengawasan).113 Teori lain yang juga penulis gunakan dalam membahasan
masalah pertanggungjawaban yang melekat pada pejabat yaitu, teori yang
113
A.D. Belinfante, 1983, Beginselen Van Nederlandse Staatsrecht,
Samsom Uitgeverij, hal. 21
115
dikemukan oleh
Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasi
pertanggung jawaban pejabat yaitu:
a. teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya
itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab
ditujukan pada manusia selaku pribadi. Sehubungan dengan Notaris
sebagai pejabat umum apabila dalam menjalankan kewenangannya, jika
terbukti Notaris melakukan pelanggaran dalam aspek matriil dari akta
Notaris, maka Notaris yang bersangkuatan dapat dituntut ganti rugi atas
kerugian terhadap pihak penghadap. Misalnya dalam pembuatan akta
tersebut Notaris bersikap tidak netral, hanya menguntungkan salah satu
pihak.
b. teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada
jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau
kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan
berimplikasi pada tanggung jawab yang
dipergunakan
untuk
menganalisa
harus ditanggung. Teori ini
Notaris
yang
menjalankan
kewenangannya membuat akta, jika terbukti seorang Notaris melakukan
pelanggaran dari aspek formal, maka sesuai dengan Undang-Undang
Jabatan Notaris seharusnya dijatuhi sanksi perdata atau sanksi administrasi
tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik notaris.
116
Kewenangan utama Notaris adalah membuat akta otentik, untuk
menyatakan terjadinya hukum antara dua pihak dalam sebuah akta. Dalam
akta tersebut memuat perbuatan hukum dari pihak-pihak yang meminta atau
menghendaki secara mufakat perbuatan hukum tersebut untuk dituangkan
dalam suatu akta otentik.114 Pihak-pihak dalam akta itulah yang terikat pada
isi dari suatu akta. Jika dalam suatu akta lahir suatu hak dan kewajiban, maka
satu pihak wajib memenuhi materi apa yang diperjanjikan dan pihak lain
berhak untuk menuntut. Notaris hanyalah pembuat untuk lahirnya suatu akta
otentik.115 Jika terjadi suatu sengketa mengenai apa yang diperjanjikan dalam
suatu akta notaris, Notaris tidak terlibat sama sekali dalam pelaksanaan suatu
kewajiban atau dalam hal menuntut suatu akta. Notaris berada diluar hukum
pihak-pihak. Sehubungan dengan hal tersebut, Habbib Adjie mengatakan
bahwa dalam pembuatan suatu akta, Notaris sama sekali tidak bisa
disalahkan, karena apa yang tertuang dalam akta itu adalah keinginan para
pihak.116
Notaris dalam menjalankan fungsinya, kepadanya dituntut tanggung
jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat
akta.
Adapun tanggung jawab itu adalah :
a. Tanggung jawab atas keotentikan formil akta;
b. Tanggung jawab atas keotentikan materiil akta;
c. Tanggung jawab atas kerahasiaan akta yang dibuatnya.
114
G.H.S. Lumban Tobing,Op.Cit., hal 39
G.H.S. Lumban Tobing,Op.Cit., hal 39
116
Putri A. R, Op. Cit., hal.8
115
117
Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang
berhubungan dengan kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya., dibedakan
menjadi empat poin, yakni :
1.
Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil
terhadap akta yang dibuatnya;
2.
Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil
dalam akta yang dibuatnya;
3.
Tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris (UndangUndang Jabatan Notaris) terhadap kebenaran materiil dalam akta yang
dibuatnya;
4.
Tanggung
jawab
Notaris
dalam
menjalankan
tugas
jabatannya
berdasarkan kode etik notaris.117
Berkaitan dengan tanggung jawab Notaris, dalam penjelasan umum
Undang-Undang Jabatan Notaris menunjukan bahwa notaris hanya sekedar
bertanggung jawab terhadap formalitas dari suatu akta otentik dan tidak
terhadap materi akta otentik tersebut. Hal ini mewajibkan Notaris untuk
bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan semacam nasihat hukum
bagi para pihak yang meminta petunjuk hukum pada Notaris yang
bersangkutan.
Sejalan
dengan
hal
tersebut
maka
Notaris
dipertanggungjawabkan atas kebenaran materiil suatu akta.
dapat
Melalui
konstruksi penjelasan Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas
117
Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif
Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal. 34.
118
kebenaran materiil suatu akta yang dibuatnya. Apabila ternyata Notaris
tersebut tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang
berkaitan dengan akta yang dibuatnya, menyebabkan salah satu pihak merasa
tertipu atas ketidaktahuannya. Untuk itulah disarankan bagi Notaris untuk
memberikan informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui para
pihak dalam pembuatan akta.
Sehubungan dengan pemberian jasa Notaris kepada bank dalam
pengikatan jaminan deposito,
Notaris membuat Akta Jaminan Deposito,
karena ada permintaan dari bank dan debitur, sebagai para pihak yang
menghadap, tanpa ada permintaan dari para pihak, Notaris tidak akan
membuat akta apapun, dan Notaris membuatkan akta yang dimaksud
berdasarkan alat bukti atau keterangan atau pernyataan para pihak yang
dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan kepada atau di hadapan
Notaris, dan selanjutnya Notaris membingkainya secara lahiriah (kekuatan
pembuktian keluar), formil dan materil dalam bentuk akta notaris, dengan
tetap berpijak pada aturan hukum atau tata cara atau prosedur pembuatan akta
dan aturan hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum yang bersangkutan
yang dituangkan dalam akta.
Selain menuangkan keinginan para pihak dalam pembuatan suatu akta,
Notaris dalam hal ini juga memberikan nasihat hukum yang sesuai dengan
permasalahan yang ada, apapun nasihat hukum yang diberikan kepada para
pihak dan kemudian dituangkan dalam akta yang bersangkutan tetap sebagai
keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak dan bukan
119
sebagai keterangan atau pernyataan Notaris.118Hal ini terbukti dengan adanya
pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang diwajibkan dalam pembuatan
akta Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang
Jabatan Notaris, akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau
dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris.
Sehubungan dengan pembubuhan tanda tangan dalam pembuatan akta
notaris, menurut J. J. De Joncheere sebagaimana yang dikutip oleh Tan
Thong Kie, penandatanganan mempunyai arti yuridis sebagai berikut: suatu
pernyataan kemauan pembuat tanda tangan (penandatangan), bahwa ia
dengan membubuhkan tanda tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki
agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri119.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa jika Notaris
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa pembuatan akta
notaris terutama dalam memberikan jasanya kepada bank, dalam membuat
Akta Jaminan Deposito telah sesuai dengan aturan hukum, sebagaimana halhal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
kedudukan Notaris tetap bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan
atau membantu para pihak dalam kualifikasi hukum pidana atau sebagai
tergugat dalam perkara perdata. Hal ini dikarenakan Notaris berada diluar
para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Jika terjadi wansprestasi
diantara salah satu pihak, maka para pihaklah yang bertanggungjawab,
118
Habieb Adjie (buku I), Op. Cit., hal. 24
Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek
Notaris, cetakan pertama, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 473
119
120
kecuali apabila Notaris di dalam menjalankan tugas jabatannya dengan
sengaja melakukan suatu perbuatan yang merugikan salah satu atau kedua
belah pihak yang menghadap di dalam pembuatan suatu akta dan hal itu
benar-benar diketahui, bahwa sesuatu yang dilakukan oleh Notaris misalnya
bertentangan dengan undang-undang, maka Notaris dapat dimintakan
tanggunggugat berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Demikian
juga sebaliknya, apabila Notaris dalam menjalankan
tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat atau orang-orang yang
membutuhkan jasanya dalam pengesahan atau pembuatan suatu akta
kemudian didalam akta itu terdapat suatu klausula yang bertentangan
misalnya dengan Undang-Undang sehingga menimbulkan kerugian terhadap
orang lain, sedangkan para pihak yang menghadap sama sekali tidak
mengetahuinya, maka dengan sifat pasif atau diam itu Notaris yang
bersangkutan dapat dikenakan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Demikian
pula apabila Notaris membuat
akta, kemudian
mencantumkan sesuatu di dalam akta tidak seperti yang diperintahkan oleh
para pihak maka terhadap perbuatan seperti ini berdasarkan Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Notaris dapat dikatakan telah melakukan
perbuatan melawan hukum dan jika akibat dari perbuatannya telah
menimbulkan suatu kerugian pada orang lain atau kliennya, Notaris wajib
membayar ganti kerugian yang ditimbulkan tersebut.
Dalam memeriksa Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuat
dihadapan atau dibuat oleh Notaris yang bersangkutan, parameternya harus
121
kepada prosedur pembuatan akta Notaris, dalam hal ini Undang-Undang
Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Jika semua prosedur sudah
dilakukan, maka akta yang bersangkutan tetap mengikat mereka yang
membuatnya di hadapan Notaris.120
Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna, sehingga para pihak yang membaca akta tersebut harus
melihat apa adanya, dan Notaris tidak perlu membuktikan apapun atas akta
yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Sehingga orang lain yang menilai
atau menyatakan akta Notaris itu tidak benar, maka mereka yang menilai atau
menyatakan tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai
prosedur hukum yang berlaku.
Namun dalam praktik, apabila ada akta
notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lainnya, Notaris ditarik
sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu
tindak pidana, yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu kedalam
akta notaris yang berarti Notaris tidak kebal hukum. Notaris dapat dikenakan
sanksi pidana jika dapat dibuktikan di pengadilan bahwa secara sengaja atau
tidak sengaja bersama-sama dengan para pihak/penghadap membuat akta
dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap
tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain.121
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, seorang Notaris yang dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti
melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai sanksi berupa sanksi
perdata, administrasi dan kode etik notaris. Ada kalanya dalam praktik
120
121
Habib Adjie ( buku III), Op. Cit., hal. 25
Putri A. R., Op. Cit., hal. 59
122
ditemukan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan
Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi perdata atau administrasi atau kode
etik notaris, tetapi ditarik atau diklualifikasikan sebagai suatu tindakan pidana
yang dilakukan oleh Notaris dengan dasar Notaris telah membuat surat palsu
atau memalsukan akta. Menurut Habib Adjie pengkualifikasian tersebut
berkaitan dengan aspek-aspek seperti;
a. kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap;
b. pihak (siapa-siapa) yang menghadap notaris;
c. tanda tangan yang menghadap;
d. salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;
e. salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan
f. minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta
dikeluarkan.122
Apabila aspek formal dari akta notaris seperti tersebut diatas,
dijadikan batasan-batasan dalam memidanakan seorang Notaris dan jika
terbukti seorang Notaris melakukan pelanggaran dari aspek formal, maka
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
seharusnya dijatuhi sanksi perdata atau sanksi administrasi tergantung pada
jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik notaris. Sedangkan dari aspek
materiil dari akta notaris, segala hal yang tertuang harus dinilai benar sebagai
pernyataan atau keterangan Notaris dalam akta, hal apa saja yang harus ada
secara materiil dalam akta harus mempunyai batasan tertentu. Menentukan
batasan seperti itu tergantung dari apa yang dilihat, didengar oleh Notaris atau
yang dinyatakan, diterangkan oleh para pihak dihadapan Notaris. Jika akan
membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat
membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang
122
Habib Adjie (buku I), Op.Cit., hal 25
123
sebenarnya dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek
materiil dari akta Notaris. Hal ini dikarenakan isi atau materi dari akta
merupakan kehendak atau keinginan para pihak dan Notaris hanya
menuangkan kehendak tersebut dalam akta, oleh karena itu
merupakan
tanggung jawab para pihak sendiri, kecuali dapat dibuktikan bahwa Notaris
dengan sengaja menguntungkan salah satu pihak penghadap tertentu saja.
Menurut Habib Adjie, pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan
dengan batasan jika;
1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahir, formal maupun
materil akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta
direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh
Notaris, bersama-sama (sepakat) para penghadap untuk dijadikan
dasar untuk melakukan suatu tindak pidana;
2. Ada tindakan hukum dari Notaris yang membuat akta dihadapan atau
oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan Undang-Undang Jabatan
Notaris tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris; dan
3. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang
berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini
Majelis Pengawas Notaris.123
Mempidanakan Notaris dengan alasan-alasan pada aspek formal
akta, tidak akan membatalkan akta notaris, yang dijadikan obyek perkara
pidana tersebut, dengan demikian akta yang bersangkutan tetap mengikat para
pihak. Sedangkan dalam perkara perdata pelanggaran terhadap aspek formal
dinilai sebagai suatu tindakan melanggar hukum dan hal ini dilakukzan
dengan
mengajukan
gugatan
terhadap
Notaris
yang
bersangkutan.
Pengingkaran terhadap aspek formal ini harus dilakukan oleh penghadap
sendiri, bukan oleh Notaris atau pihak lainnya.124Apabila terbukti, prosedur
dari pembuatan akta notaris tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam
123
124
Habib Adjie (buku I), Op.Cit., hal. 30
Habib Adjie (buku III), Op.Cit., hal. 25
124
Undang-Undang Jabatan Notaris, maka akan mengakibatkan suatu akta hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu
akta menjadi batal demi hukum, dapat menjadi alasan bagi pihak yang
menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga
kepada Notaris. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang
Jabatan Notaris.
Ketentuan Pasal 84 ini adalah ketentuan yang menunjukkan bahwa
secara formil notaris bertanggung jawab atas keabsahan akta otentik yang
dibuatnya dan jika ternyata terdapat cacat hukum sehingga akta tersebut
kehilangan otensitasnya serta merugikan pihak yang berkepentingan maka
notaris dapat dituntut untuk mengganti biaya, ganti rugi dan bunga.
Mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada notaris sebagai pribadi
menurut Pasal 85 UUJN dapat berupa :
a.
b.
c.
d.
e.
Teguran lisan;
Teguran tertulis;
Pemberhentian sementara;
Pemberhentian dengan hormat; atau
Pemberhentian dengan tidak hormat.
Dalam penjatuhan sanksi perlu dikaitkan dengan sasaran, sifat dan
prosedur sanksi-sanksi tersebut. Penjatuhan sanksi perdata, administratif, dan
pidana mempunyai sasaran, sifat, dan prosedur yang berbeda. 125 Sanksi
administratif dan sanksi perdata dengan sasaran yaitu perbuatan yang
dilakukan oleh yang bersangkutan, dan sanksi pidana dengan sasaran, yaitu
pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut.
125
Habieb Adjie (buku I), Op.Cit., hal. 123.
125
Dalam
administratif,
aturan
hukum
tertentu,
disamping
dijatuhi
sanksi
juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara kumulatif) yang
bersifat condemnatoir (puniitf) atau menghukum. Dalam kaitan ini, UndangUndang Jabatan Notaris tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang
melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris. Bila terjadi hal seperti itu maka
terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum.126
Bilamana sebuah akta notaris dijadikan alat untuk melakukan suatu
tindak pidana oleh mereka yang namanya tercantum dalam akta notaris, maka
hal tersebut bukan tujuan akta seperti itu, dengan demikian mereka yang
namanya tercantum dalam akta atau yang memanfaatkan akta tersebut dengan
tujuan untuk melakukan suatu tindak pidana harus bertanggungjawab.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang
batasan-batasan sebagaimana tersebut diatas dilanggar, artinya disamping
memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris dan Kode Etik Jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan
yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Bila ternyata akta Jaminan Deposito yang dibuat oleh Notaris
terbukti melanggar batasan tersebut atau memenuhi rumusan pelanggaran
yang tersebut dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, maka Notaris
diwajibkan memberikan ganti rugi, biaya, dan bunga kepada para pihak yang
menderita kerugian. Selain itu, Notaris dapat dijatuhi sanksi perdata dengan
cara menggugat Notaris yang bersangkutan ke pengadilan. Sanksi
administratif dijatuhkan kepada Notaris karena terjadi pelanggaran terhadap
126
Habieb Adjie (buku I), Op.Cit., hal. 124.
126
segala kewajiban dan pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang dikategorikan
sebagai suatu pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi administratif dan sanksi
kode etik.
4.2. Perlindungan Hukum Notaris Sebagai Pejabat Umum
Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan profesinya di
bidang pelayanan jasa hukum kepada masyarakat dipayungi oleh undangundang, dalam undang-undang jabatan Notaris tersebut, Notaris merupakan
jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada
masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan, demi tercapainya
kepastian hukum.
Bahwa
Notaris
sebagai
pejabat
umum
dalam
menjalankan
jabatannya seharusnya memang diberikan perlindungan. Perlindungan
sebagaimana dimaksud:
1. Untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk
ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan
persidangan.
2. Merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta.
3. Menjaga minuta akta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta
atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris.
Bahwa perlindungan hukum yang dimaksud tidak diberikan kepada
pribadi Notaris akan tetapi kepada profesi dan jabatan Notaris yang
mengemban amanat dan kepercayaan masyarakat. Akan tetapi dalam
menjalankan jabatannya untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, seorang
Notaris pada suatu waktu diharuskan memberikan keterangan dengan tetap
127
memperhatikan
ketentuan-ketentuan
yang
ada127.
Dengan
kata
lain
perlindungan hukum Notaris sebelum menjalankan jabatannya telah
dilakukan yaitu, dalam mengucapkan Sumpah Jabatan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam
sumpah jabatan Notaris ditetapkan, bahwa Notaris berjanji di bawah sumpah
untuk merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuanketentuan peraturan-peraturan itu dan Pasal 54 yang berisikan larangan bagi
para Notaris untuk memberikan grosse, salinan dan kutipan atau
memperlihatkan atau memberitahukan isi akta-aktanya selain kepada orangorang yang langsung berkepentingan pada akta itu, para ahli waris dan para
penerima hak mereka, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam peraturanperaturan umum dan untuk proses Peradilan.
Oleh karena itu, bahwa sebelum dibuat suatu akta oleh Notaris,
senantiasa diadakan pembicaraan terlebih dahulu mengenai segala sesuatu
yang diinginkan oleh para penghadap/klien dan yang juga perlu diketahui
oleh Notaris untuk kemudian dituangkan dalam suatu akta. Sebagai lembaga
kepercayaan, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan semua apa yang
diberitahukan kepadanya selaku Notaris, sekalipun ada sebagian tidak
dicantumkan dalam akta, Notaris tidaklah bebas untuk memberitahukan apa
yang diberitahukan kepadanya selaku Notaris oleh kliennya pada waktu
persiapan untuk pembuatan suatu akta. Kewajiban untuk merahasiakannya,
selain diharuskan oleh Undang-undang, juga oleh kepentingan Notaris itu
sendiri karena apabila Notaris tidak dapat membatasi dirinya akan mengalami
127
Majalah Berita Bulanan Notaris/PPAT, 2006,
RENVOI
No.32/Th.III/Januari 2006, PT.Jurnal Renvoi Mediatama, Jakarta, hal. 63.
128
akibatnya didalam praktek, ia akan segera kehilangan kepercayaan publik dan
ia tidak lagi diangggap sebagai orang/lembaga kepercayaan.
Mengingat akta yang dibuat dihadapan Notaris merupakan akta
pihak-pihak yang datang menghadap, maka hubungan hukum antara Notaris
dengan klien bukan hubungan hukum yang terjadi karena adanya sesuatu
yang diperjanjikan, sebagaimana biasa dilakukan oleh para pihak dalam
membuat suatu perjanjian. Ketika penghadap datang ke Notaris agar tindakan
atau perbuatannya diformulasikan ke dalam akta otentik sesuai dengan
kewenangan Notaris, dan kemudian Notaris membuatkan akta atas
permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, maka dalam hal ini
memberikan landasan kepada Notaris dan para penghadap telah terjadi
hubungan hukum. Oleh karena itu, Notaris harus menjamin bahwa akta yang
dibuat tersebut telah sesuai menurut aturan hukum yang sudah ditentukan,
sehingga kepentingan yang bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut.
Dengan hubungan hukum seperti itu, maka perlu ditentukan kedudukan
hubungan hukum tersebut yang merupakan awal dari tanggunggugat Notaris.
Menurut Syafran Sofyan hubungan hukum antara Notaris dan para
penghadap, bukan merupakan hubungan kontraktual antara satu pihak dengan
pihak yang lainnya, para penghadap datang ke Notaris atas kesadaran sendiri
dan mengutarakan keinginannya dihadapan Notaris yang kemudian
dituangkan dalam bentuk akta notaris sesuai dengan aturan yang berlaku.128
Selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, bukan saja
128
Syafran Sofyan, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Profesi
Notaris, Minuta, Edisi Perdana, PT Media Informasi Utama, Surabaya, hal.
61
129
karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena
dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan
kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum
bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara
keseluruhan.
Undang-Undang Jabatan Notaris memberikan kewenangan dan
kewajiban bagi Notaris yang dengan dasar kewenangan dan kewajiban
tersebut, Notaris memperoleh perlindungan hukum didalam menjalankan
profesinya. Sepanjang Notaris melaksanakan tugas jabatannya sesuai
Undang-Undang Jabatan Notaris, dan telah memenuhi semua tata cara dan
persyaratan dalam pembuatan akta, dan akta yang bersangkutan telah pula
sesuai dengan keinginan dan kehendak para pihak yang menghadap Notaris,
maka tuntutan dalam bentuk perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata tidak mungkin untuk dilakukan.
Sehubungan dengan perlindungan hukum dalam menjalankan
profesinya, Soegeng Santoso mengemukakan, Pasal 50 KUHP yang antara
lain berbunyi, barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan
peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum. Pasal ini adalah merupakan
perlindungan hukum bagi Notaris yang dalam melaksanakan tugas dan
jabatannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, artinya Notaris dimaksud
telah menjalankan tugas dan jabatanya secara profesional.129
Undang-Undang Jabatan Notaris telah memberikan suatu prosedur
khusus dalam penegakan hukum terhadap Notaris, perlindungan hukum
129
Soegeng Santoso, 2005, Menggapai Notaris Profesional, Materi
Pra Kongres XIX Ikatan Notaris Indonesia, Makasar, hal. 5.
130
terhadap Notaris dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris
yang menetapkan, bahwa untuk proses peradilan, penyidik, penuntut umum,
atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang untuk
mengambil fotokopi minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada
minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan dengan Persetujuan
Majelis Pengawas Daerah (MPD). Kemudian MPD melaksanakan rapat pleno
dan hasil rapat tersebut dapat dijadikan penyidik sebagai dasar melakukan
pemanggilan.
Sesuai dengan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris,
Majelis Pengawas berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa
dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran kode etik. Berdasarkan
ketentuan tersebut harus diartikan bahwa sebagaimana Majelis Pengawas
Notaris merupakan organ penegak hukum yang satu-satunya berwenang
menentukan ada atau tidaknya kesalahan dalam pelanggaran profesi jabatan
Notaris. Peranan Majelis Pengawas Notaris untuk memberikan jaminan
kepastian hukum bagi Notaris sebagai suatu profesi dari campur tangan pihak
manapun termasuk pengadilan dalam menentukan kesalahan Notaris dalam
menjalankan jabatannya.
Namun ketika Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan
Putusan Nomor : 49/PUU – X/2012 (selanjutnya ditulis MKRI) memutuskan
telah meniadakan atau mengakhiri kewenangan MPD yang tercantum dalam
Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, seakan-akan tidak ada
perlindungan hukum bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.
Notaris tidak perlu kawatir atas Putusan MKRI tersebut, karena masih ada
131
instrument lain berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris dan undangundang yang lain yang memberikan perlindungan kepada Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya, yaitu pada jabatan Notaris telah ada melekat
Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht).
Hak dan Kewajiban Ingkar Notaris (setelah berlakunya Undang-Undang
Jabatan Notaris) tidak pernah dipergunakan Notaris, karena para Notaris
berlindung dalam kewenangan MPD (Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang
Jabatan Notaris). Bahkah sebenarnya Hak dan Kewajiban Ingkar telah ada
sejak lembaga kenotariatan lahir.
Setelah frasa dengan persetujuan MPD tersebut bertentangan dengan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi. Maka Notaris wajib untuk mempergunakan Hak dan kewajiban
ingkar bukan untuk kepentingan diri Notaris, tapi untuk kepentingan para
pihak yang telah mempercayakan kepada Notaris, bahwa Notaris dipercaya
oleh para pihak mampu menyimpan semua keterangan atau pernyataan para
pihak yang pernah diberikan di hadapan Notaris yang berkaitan dalam
pembuatan akta.
Hak ingkar adalah merupakan konsekuensi dari adanya kewajiban
merahasiakan sesuatu yang diketahuinya. Sebagaimana dimaksud dalam
sumpah jabatan Notaris yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Jabatan
Notaris yang antara lain berbunyi:
Saya bersumpah/berjanji:
... . bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan
menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi,
kehormatan, martabat dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.
132
bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh
dalam pelaksanaan jabatan saya.
Makna dari kalimat tersebut di atas yang merupakan bagian dari sumpah
jabatan ini, menurut Yudara, adalah Notaris wajib tidak ngomong, tegasnya
Notaris hukumnya wajib tidak bicara. Jadi disini bukan hak, karena hak
ingkar boleh dipakai atau tidak dipakai, tetapi dalam hal ini sekali lagi
hukumnya wajib bagi Notaris untuk diam.130
Sumpah Jabatan Notaris dalam Pasal 4 dan kewajiban Notaris dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf e serta Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris
mewajibkan Notaris untuk tidak bicara, sekalipun di muka pengadilan, artinya
tidak dibolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat
dalam akta. Ketiga pasal tersebut mengandung arti sama tentang sumpah/janji
yang mempunyai makna kerahasian tentang akta yang dibuat oleh Notaris
terjamin dan tidak tersetuh oleh pemerintah, kecuali undang-undang
menentukan lain. Notaris tidak hanya berhak untuk bicara, akan tetapi
mempunyai kewajiban untuk tidak bicara. Kewajiban tersebut menjadi sebuah
kewajiban ingkar yang melekat pada tugas jabatannya. Kewajiban ingkar ini
dapat berakhir manakala terdapat peraturan perundang-undangan yang
memerintahkan Notaris untuk membuka rahasia jabatannya.
Kewajiban ingkar diatur pula dalam ketentuan KUH Perdata dan
KUHP. Berdasarkan ketentuan Pasal 1909 KUHPerdata, mewajibkan setiap
orang yang cakap untuk menjadi saksi, untuk memberikan kesaksian di muka
130
Yudara, N.G, 2005, Pokok-Pokok Pemikiran Diseputar
Kedudukan Dan Fungsi Notaris Serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum
Indonesia, Materi Pra Kongres Ikatan Notaris Indonesia ke , 1 Juli 2005, hal.
9
133
pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap mereka yang berdasarkan
ketentuan perundang-undangan tidak diperbolehkan untuk
berbicara,
demikian juga tidak berlaku terhadap mereka, yang berdasarkan Pasal 1909
ayat (2) angka 3e KUHPerdata disebutkan bahwa siapa saja yang karena
kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya
menurut undang-undang
diwajibkan untuk merahasiakan sesuatu, namun hanya yang mengenai hal-hal
yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan jabatannya
itu. Oleh karena itu dapat mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri
sebagai saksi dengan jalan menuntut penggunaan hak ingkarnya. Hak ingkar
merupakan pengecualian terhadap ketentuan Pasal 1909 ayat (1) yakni bahwa
setiap orang dipanggil sebagai saksi, wajib memberikan kesaksian.131
Hak ingkar sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP yang
menentukan bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari
kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal
yang dipercayakan kepada mereka. Dasar filosofi hak ingkar bagi jabatanjabatan kepercayaan terletak pada kepentingan masyarakat, maksudnya
apabila seseorang yang berada dalam keadaan kesulitan, dapat menghubungi
seseorang kepercayaan untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkannya di
bidang yuridis, medis atau kerohanian dengan keyakinan bahwa ia akan
mendapat nasehat-nasehat, yang tidak merugikan baginya dan keterangan
tersebut dapat disimpan sebagai rahasia. Senada dengan pendapat tersebut
131
G.H.S. Lumban Tobing, Op.cit., hal 120.
134
adalah pendapat G.H.S Lumban tobing, dengan mendasarkan pada pendapat
Pitlo dan C. Asser.132
4.3. Tanggung Jawab Notaris berkaitan dengan Rahasia Bank
Salah satu faktor untuk dapat memelihara dan meningkatkan kadar
kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan perbankan
pada umumnya ialah kepatuhan bank terhadap kewajiban memegang teguh
rahasia bank. Maksudnya adalah menyangkut dapat atau tidaknya bank
dipercaya oleh nasabah yang menyimpan dananya pada bank tersebut untuk
tidak mengungkapkan simpanan nasabah, identitas nasabah tersebut kepada
pihak lain. Dengan kata lain, tergantung kepada kemampuan bank itu untuk
menjunjung tinggi dan mematuhi serta menjaga kerahasiaan bank. Rahasia
bank akan dapat lebih dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan bukan
sekedar hanya sebagai kewajiban kontraktual di antara bank dan nasabah,
tetapi ditetapkan sebagai kewajiban pidana. Bila hanya ditetapkan sebagai
kewajiban kontraktual belaka, maka kewajiban bank itu menjadi kurang
kokoh karena kewajiban kontraktual secara mudah dapat disimpangi.
Pengertian rahasia bank dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 Tentang Perbankan, yang mengartikan rahasia bank sebagai segala
sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan
dan Simpanannya. Pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya memang tidak
ada penjelasannya secara rinci, namun pengertian rahasia bank sebagaimana
132
C. Asser mengatakan bahwa kepada mereka yang diberikan hak
ingkar oleh undang-undang, bukan untuk kepentingan mereka sendiri, akan
tetapi adalah untuk kepentingan masyarakat umum, Op. Cit., hal. 125
135
ditetapkan dalam undang-udang tersebut secara tegas membatasi kedudukan
nasabah yang wajib dirahasiakan keterangannya, yakni hanya Nasabah
Penyimpan dan simpanannya.
Secara yuridis disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 butir 17 UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, bahwa yang dimaksud
dengan Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di
bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah
yang bersangkutan. Sedangkan Simpanan adalah dana yang dipercayakan
oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana
dalam bentuk giro, deposito (berjangka), sertifikat deposito, tabungan
dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.133
Dalam penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan ditegaskan, bilamana nasabah bank adalah Nasabah
Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap
merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai
Nasabah Penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah
Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank
dan pihak terafiliasi.
Notaris dalam memberikan pelayanan jasanya kepada bank berupa
pengikatan jaminan deposito, dimana nasabah penyimpan sebagai subyek
perjanjian dan deposito merupakan simpanan dari nasabah penyimpan
sebagai obyek perjanjian dalam pengikatan jaminan deposito tersebut. Ini
berarti Notaris telah mengetahui terlebih dahulu keterangan mengenai
133
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan,
Cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 242.
136
Nasabah Penyimpan dan Simpanannya. Oleh karena itu, Notaris
wajib
merahasiakan segala sesuatu dalam pembuatan akta Jaminan Deposito
tersebut yang dibuat dihadapannya dan segala keterangan yang diperoleh
guna pembuatan akta tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka Notaris memberikan
jasanya kepada bank dalam membuat akta Jaminan Deposito adalah termasuk
pihak terafiliasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 22 UndangUndang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan, dengan demikian Notaris
ikut sebagai pihak yang harus tunduk pada pengaturan tentang rahasia bank.
Sebagai konsekwensinya Notaris wajib untuk merahasikan segala keterangan
yang diperolehnya terkait dengan akta yang dibuat dihadapannya. Sejalan
dengan hal tersebut, Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank, selain
tunduk pada ketentuan rahasia jabatan notaris sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris, juga harus tunduk pada ketentuan rahasia
bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan.
Guna mengetahui hubungan kententuan mengenai rahasia jabatan
notaris yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan ketentuan
rahasia bank pada kewajiban untuk memegang teguh rahasia bank yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka
dalam hal ini berlaku prinsip Lex Spesialis Derogat Lex Generalis artinya
peraturan yang lebih khusus mengenyampingkan ketentuan peraturan yang
lebih umum.
Dimana Undang-Undang Perbankan merupakan ketentuan
khusus dan Undang-Undang Jabatan Notaris merupakan ketentuan umum,
137
dalam arti Notaris yang memberikan jasa bagi Bank berupa pengikatan
jaminan deposito, wajib menyimpan rahasia Bank khususnya untuk akta-akta
yang dibuat antara bank dengan nasabah penyimpan. Rahasia Jabatan Notaris
mencakup isi akta dan keterangan yang diberikan berkaitan dengan
pembuatan akta namun jika isi akta dan keterangan yang diberikan berkaitan
dengan hubungan antara nasabah dengan bank, maka Notaris dalam
memberikan jasanya kepada bank berupa pembuatan Akta Jaminan Deposito
hal tersebut tunduk pada Undang-Undang Perbankan.
Apabila Notaris dalam memberikan jasanya kepada bank terbukti
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank, maka Notaris harus
bertanggung jawab dan dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbakan
yang berupa
ancaman pidana dan denda secara akumulatif.134Sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Pebankan,
pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank dikatagorikan sebagai tindak
pidana kejahatan. Oleh karena itu pelanggar ketentuan kerahasiaan bank,
apabila dibandingkan hanya sekedar dikatagorikan sebagai tindak pidana
pelanggaran, maka tentunya perlu diberi sanksi hukum pidana yang lebih
berat lagi.135
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan,
sanksi pidana atas pelanggaran ketentuan rahasia bank ini bervariasi. Ada ciri
khas dari sanksi pidana terhadap pelanggaran rahasia bank, yaitu:
1. terdapat ancaman hukuman minimal disamping ancaman maksimal;
134
135
Hermansyah, op.cit, hal 141
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit.,hal. 518.
138
2. antara ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda bersifat
kumulatif, bukan alternatif;
3. tidak ada korelasi antara berat ringannya ancaman hukuman penjara
dengan hukuman denda. 136
Secara eksplisit ada dua jenis tindak pidana yang ditentukan dalam
Pasal 47 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berkaitan dengan
rahasia bank yaitu :
1. Tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang tanpa membawa perintah
atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia dengan sengaja memaksa bank
atau pihak terafiliasi unuk memberikan keterangan
yang harus
dirahasiakan oleh bank.
2. Tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota Komisaris, Direksi, pegawai
bank atau pihak terafiliasi lainnya yang sengaja memberikan keterangan
yang wajib dirahasikan oleh bank. 137
Ketentuan Pasal 47 ayat (1) menyebutkan bahwa barang siapa tanpa
membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan
sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi unuk memberikan keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
136
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit.,hal. 519.
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan
Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Cetakan Ketiga, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 15
137
139
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) diatas, yang perlu
dipermasalahkan apakah pihak yang memaksa dapat dituntut telah melakukan
tindak pidana berdasarkan Pasal 47 ayat (1), sekalipun pihak yang memaksa
tidak sampai berhasil membuat pihak bank atau pihak terafiliasi memberikan
keterangan yang diminta secara paksa. Ataukah pihak yang memaksa dapat
dikenai pidana karena melaukan percobaan tindak pidana berdasarkan Pasal
47 ayat (1). Menurut Remy Sjahdeini karena tindak pidana yang ditentukan
dalam Pasal 47 ayat ( 1) itu merupakan tindak pidana formal, maka pihak
yang memaksa tersebut dapat saja dituntut atau dikenai pidana sekalipun
tidak sampai berhasil membuat pihak bank atau pihak terafiliasi memberikan
keterangan yang diminta itu. 138
Menurut Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Perbankan yaitu Anggota
Komisaris, Direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang sengaja
memberikan keterangan yang wajib dirahasikan menurut Pasal 40, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah).
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, menunjukan bahwa sanksi
pidana yang berupa pidana penjara dan denda dikenakan kepada pihak
terafiliasi termasuk Notaris yang sengaja memberikan keterangan yang wajib
dirahasikan menurut ketentuan Pasal 40. Selanjutnya ketentuan Pasal 47 A
menentukan bahwa :
138
Sutan Remy Sjahdeinim, Rahasia Bank Berbagai Masalah dan
Sekitarnya, Tidak dipublikasikan, tanpa tahun, hal. 51-52
140
Anggota Dewan Komisaris. Direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi
lainnya yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib
dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 A dan Pasal 44 A,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
Berdasarkan ketentuan Pasal 47 A
tersebut di atas, mengatur mengenai
sanksi yang dikenakan kepada Anggota Komisaris, direksi, pegawai bank dan
pihak terafiliasi termasuk Notaris yang telah mengabaikan kewajiban untuk
memberikan keterangan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 A dan Pasal
44 A.
141
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, simpulan yang dapat
ditarik adalah :
1. Kedudukan Notaris dalam hal membuat akta jaminan deposito termasuk
sebagai pihak terafiliasi, karena dalam jaminan deposito yang menjadi
subyek akta jaminan deposito adalah nasabah penyimpan dan obyek akta
jaminan deposito adalah simpanannya yang merupakan ruang lingkup dari
rahasia bank, sehingga dalam hal ini Notaris wajib merahasiakan segala
keterangan
yang diperolehnya
terkait
dengan akta
yang dibuat
dihadapannya. Dengan demikian Notaris yang membuat akta jaminan
deposito tunduk pada ketentuan rahasia bank. Namun dalam hal Notaris
membuat akta secara umum yang tidak berkaitan dengan rahasia bank,
maka kedudukan Notaris tersebut tidak termasuk pihak terafiliasi.
2. Pada dasarnya Notaris bertanggung jawab terhadap setiap akta yang
dibuatnya dan apabila Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenakan sanksi,
berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan notaris
berdasarkan Undang-Undang Jabatan
Notaris.
Dalam hal Notaris
memberikan jasanya kepada bank, khususnya dalam pengikatan jaminan
deposito terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank,
maka Notaris harus bertanggung jawab dan dapat dikenakan sanksi berupa
pidana dan denda secara akumulatif sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 10 tentang Perbankan
142
5.2. Saran-saran
Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
telah
dilakukan
dapat
disampaikan saran-saran sebagai berikut :
1. Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan profesinya di bidang
pelayanan jasa hukum kepada bank dipayungi oleh undang-undang, untuk
itu perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan, demi tercapainya
kepastian hukum. Oleh karena itu pemerintah sebagai lembaga eksekutif
dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai legeslatif dapat merubah atau
merevisi ketentuan tentang pihak terafiliasi dalam ketentuan Pasal 1 butir
22 huruf c Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan,
memperjelas kedudukan Notaris sebagai pihak terafiliasi, sehingga tidak
ada kekaburan norma yang dapat berpengaruh pada kerahasiaan bank.
2. Notaris sebagai jabatan kepercayaan dalam menjalankan tugas jabatannya
selain harus berlandaskan pada moralitas dan integritas yang tinggi, juga
menyesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Peraturan
Perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Jabatan Notaris. Apabila
hal itu dilanggar, maka tidak hanya menimbulkan kerugian bagi diri Notaris
itu sendiri tetapi juga bagi para pihak yang menghadap, sehingga kepercayaan
masyarakat terhadap itikad baik pelaksanaan tugas jabatan Notaris akan
mengalami krisis kepercayaan.
143
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – Buku
Adam, Muhammad, 1985, Asal-Usul Dan Sejarah Akta Notarial, CV. Sinar
Baru, Bandung.
Abdulkadir, Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
_______, 2001, Etika Profesi Hukum, Cetakan ke-II, PT Citra Aditya
Bandung.
Adjie, Habib, 2010,
Bandung.
Bakti,
Hukum Notaris Indonesia, PT. Refika Aditama,
______, 2011, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, cetakan ke satu, PT
Refika Aditama, Bandung
______, 2011, Majelis Pengawas Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung.
Amirudin dan Zainal Asikin. 2012. Pengantar Metode Penilitian Hukum.
Cet ke-6. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Andasasmita, Komar, 1981, Notaris I , Sumur Bandung, Bandung
Artadi I Ketut dan Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuanketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak,
Cetakan Pertama, Udayana University Press, Denpasar.
Asser, C., 1991, Handieiding Tot de Beofening Van Het Nederlands
Burgerlijk Recht (Pedoman Untuk Pengkajian Hukum Perdata
diterjemahkan oleh Sulaiman Binol), Dian Rakyat, Cetakan pertama,
Jakarta.
Bahsan M., 2008, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Belinfante, A.D., 1983, Beginselen Van Nederlandse Staatsrecht, Samsom
Uitgeverij
Bruggink, J.J.H, 1999, Rechts Reflecties (Refleksi Tentang Hukum, alih
bahasa Arief Sidharta), Cetakan ke-II, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
144
Djumhana, Muhammad, 2000, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
F. Molenaar, 1985, Krediet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle
Gazali, Djoni S dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan ,Sinar
Grafika, Jakarta.
Ghofur, Abdul, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum
dan Etika, UII Press, Yogyakarta.
Harun, Badriyah, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta.
Hermansyah, 2009, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cet ke-5,
Kencana Prenada Media Goup, Jakarta.
Hernoko, Agus Yudha, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas
Dalam Kontrak Komersial, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, LaksBang
Mediatama, Yogyakarta.
Ibrahim, Johannes, 2004, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum
Positif, Cetakan Pertama, CV. Utomo, Bandung.
Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris,
cetakan pertama, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
Koesoemawati, Ira dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa Sukses,
Jakarta
Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Goup, Surabaya.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2005, Hak Tanggungan, Ed.1, Cet.
3, Kencana, Jakarta.
Nieuwenhus, J.H., 1985, Hoofdstukken Verbintenissenrecht (Pokok-Pokok
Hukum Perikatan terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya.
Notodisoerjo R, Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu
Penjelasan, cetakan kedua, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Prajitno, A. A. Andi, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa
Notaris Di Indonesia. Putra Media Nusantara, Surabaya.
145
Putri A. R, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris (Indikator TugasTugas Jabatan Notaris yang Berimplikasi Perbuatan Pidana, P.T.
Sofmedia,cetakan pertama.
Purnamasari, Irma Devita,
Bandung.
2011, Hukum Jaminan Perbankan, Kaifa,
Puryatma, I Made, 2010, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta,
Ikatan Notaris Indonesia Wilayah Bali NTT, Denpasar.
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
_______, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Yoyakarta
Sadjijono, H., 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang
Presseindo, Yogyakarta.
Salim HS, 2008. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Santosa Az, Lukman, 2011, Hak Dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank,
Cetakan Pertama, Pustaka Yustisia, Jakarta Selatan.
Satrio, J., 2007, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Seokanto, Soerjono dan Sri Mahmudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Soesilo, R, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok
– Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Liberty,
Yogyakarta.
Subekti, R, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta.
Subekti, R, dan Tjitrosudibio, R, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
Suhrawardi, K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika,
Jakarta.
146
Thamrin, Husni, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBank
PresSindo, Yogyakarta.
Trihartono, Sigit, 1996, Masalah Perbankan, Cetakan ke-2, CV. Aneka,
Solo.
Tobing G.H.S., Lumban, 1999,
Erlangga, Jakarta.
Peraturan Jabatan Notaris, Cet. kelima
Untung, Budi, 2005, Visi Global Notaris, Andi, Yogyakarta
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, 2000, Jamian Fidusia,
RajaGrafindo Persada, Jakatra.
PT
B. Majalah
Latumeten, Pieter, 2009, Kebatalan dan Degradasi Kekuatan Bukti Akta
Notaris Serta Model Aktanya, Kongres XX Ikatan Notaris
Indonesia, Surabaya.
Sjahdeinim, Sutan Remy Rahasia Bank Berbagai Masalah dan Sekitarnya,
Tidak dipublikasikan, tanpa tahun.
Santoso, Soegeng, 2005, Menggapai Notaris Profesional, Materi Pra Kongres
XIX Ikatan Notaris Indonesia, Makasar.
Sofyan, Syafran, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Notaris,
Minuta, Edisi Perdana, PT Media Informasi Utama, Surabaya.
Majalah Berita Bulanan Notaris/PPAT, RENVOI No.32/Th.III/Januari 2006,
PT.Jurn al Renvoi Mediatama, Jakarta.
Yudara, N.G, 2005, Pokok-Pokok Pemikiran Diseputar Kedudukan Dan
Fungsi Notaris Serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum
Indonesia,
C. Disertasi dan Tesis
Adjie, Habib, 2007, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris
Sebagai Pejabat Publik Berkaitan Dengan Pembuatan Akta
Berdasarkan Undang - Undang Jabatan Notaris, Disertasi,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya
147
D. Internet
Sonny Pungus, 2010 Teori – pertanggung jawaban (tanggal 5 Mei 2013)
tersedia pada http://sonny-tobelo.blogspot.com/2010/12/teoripertanggungjawaban .html,.
E. Peraturan Perundang-undangan :
Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserata Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1996 nomor 42)
Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lem baran
Negara Republik Indnesia Tahun 1998 Nomor 182)
Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1999 nomor 168)
Undang–Undang nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117).
Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 1971 tentang Pajak atas Bunga
Deposito Berjangka, Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito,
dan Tabungan.
Keputusan Menteri Keuangan nomor 1287/KMK.04/1991 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan atas
Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat
Deposito dan Tabungan.
Download