anestesi untuk pasien-pasien dengan penyakit-penyakit

advertisement
BAB 27
ANESTESI UNTUK PASIEN-PASIEN DENGAN
PENYAKIT-PENYAKIT NEUROLOGIK DAN PSIKIATRIK
Konsep-Konsep Penting
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Suatu bruit servikal yang tanpa gejala tidak akan menyebabkan peningkatan risiko terjadinya stroke
setelah operasi akan tetapi akan meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner yang
telah ada.
Tahanan terhadap blokade neuromuskular – seperti yang diukur melalui pengamatan train-of-four –
dapat dilihat pada ekstrimitas yang mengalami parese ; oleh sebab itu blokade neuromuskular seharusnya
diamati pada sisi yang tidak mengalami parese. Suksinilkolin seharusnya dihindari pada pasien-pasien
dengan riwayat penyakit stroke yang terjadi baru-baru ini sama halnya dengan keadaan kehilangan
massa otot yang sangat besar karena risiko akan terjadinya keadaan hiperkalemia.
Jika terjadi keadaan kejang, maka prioritas utamanya adalah mempertahankan jalan nafas agar selalu
terbuka dan asupan oksigen yang mencukupi. Pemberian thiopental intravena (50-100 mg), fenitoin
intravena (500-1000 mg secara perlahan-lahan), atau golongan benzodiazepin seperti diazepam intravena
(5-10 mg) atau midazolam (1-5 mg) dapat digunakan untuk menghentikan keadaan kejang tersebut.
Induksi anestesi pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi jangka panjang levodopa dapat
menyebabkan keadaan baik itu hipotensi atau hipertensi yang sangat nyata sekali keadaannya.
Peningkatan temperatur tubuh menyebabkan eksaserbasi dari gejala-gejala, yang kiranya disebabkan
oleh penurunan konduksi saraf.
Risiko utama dari anestesi yang dilakukan pada pasien-pasien dengan disfungsi otonom adalah hipotensi
yang sangat berat sekali, sebagai akibat dari aliran darah pada serebral dan koroner.
Pasien-pasien dengan transeksi yang besar seringkali mengalami gangguan pada refleks aliran udaranya
dan lebih jauh lagi menyebabkan terjadinya keadaan hipoksemia dengan cara penurunan kapasitas
residual fungsionalnya. Hipotensi dan bradikardi seringkali terjadi sebelum induksi dimulai.
Hiperrefleksia otonom dapat diperkirakan terjadi pada pasien-pasien dengan lesi diatas T6 dan dapat
dipresipitasi dengan tindakan-tindakan pembedahan.
Interaksi yang paling utama antara obat-obat anestesi dan antidepresan trisiklik adalah respon yang
sangat berlebihan baik terhadap kerja tidak langsung vasopresor dan stimulasi simpatis.
Opioid seharusnya digunakan dengan hati-hati pada pasien-pasien yang mendapatkan pengobatan
penghambat monoamine oksidase karena walaupun jarang terjadi tetapi reaksi yang sangat serius
terhadap opioid ini telah dilaporkan sebelumnya. Kebanyakan reaksi serius tersebut berhubungan dengan
meperidine, yang menyebabkan terjadinya hipertermia, kejang, dan koma.
Penyakit serebrovaskular merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian. Pasien-pasien dengan
riwayat stroke, transient ischemic attack (TIA), atau sumbatan-sumbatan pembuluh darah ekstrakranial yang
tanpa gejala seringkali berada di ruang operasi untuk prosedur-prosedur yang tidak berhubungan sama sekali.
Bab ini membahas mengenai pendekatan secara umum terhadap pasien-pasien tersebut seperti halnya dengan
pasien-pasien yang mempunyai gangguan neurologik lainnya.. Bab 21 membahas pengelolaan anestetik
terhadap pasien-pasien yang menjalani operasi arteri karotis.
Penyakit neurologik non-vaskular dan gangguan psikiatrik jarang ditemui pada pasien-pasien yang
akan dioperasi dan seringkali diabaikan keberadaannya. Untungnya teknik-teknik anestesi khusus tidak
diperlukan kecuali jika terjadi keadaan peningkatan tekanan intrakranial (ICP). Akan tetapi, seorang ahli
anestesi harus memiliki pengertian dasar yang baik akan gangguan mayor neurologik dan psikiatrik beserta
dengan terapi obat-obatannya ; kegagalan dalam mengenal efek samping yang potensial dari interaksi obatobat anestesi dapat menyebabkan kematian saat operasi yang seharusnya dapat dihindari.
1
PENYAKIT SEREBROVASKULAR
Pertimbangan-pertimbangan Sebelum Operasi
Insidensi terjadinya penyakit serebrovaskular yang bermakna pada pasien-pasien bedah tidak
diketahui akan tetapi jumlahnya meningkat dengan bertambahnya usia. Pasien-pasien yang telah diketahui
penyakit serebrovaskularnya biasanya memiliki riwayat penyakit TIA atau stroke. Bruit servikal yang tanpa
gejala terjadi hingga mencapai 4% dari pasien-pasien diatas usia 40 tahun tetapi tidak mengindikasikan
secara bermakna adanya sumbatan pada arteri karotis. Secara menyeluruh kurang dari 10% pasien-pasien
dengan bruit tanpa gejala mempunyai lesi-lesi arteri karotis yang bermakna secara hemodinamik. Lebih jauh
lagi, tidak adanya bruit bukan berarti menandakan tidak adanya sumbatan karotis yang bermakna.
Risiko pasca operasi stroke meningkat dengan bertambahnya usia dari pasien tersebut dan bervariasi
sesuai dengan tipe operasinya. Secara keseluruhan risiko dari operasi non neurologis stroke adalah rendah,
tetapi lebih tinggi pada pasien-pasien yang menjalankan operasi kardiovaskular. Kejadian stroke setelah
anestesi umum dan operasi berkisar antara 0,08 hingga 0,4%. Bahkan pada pasien-pasien dengan penyakit
serebrovaskular yang telah diketahui, risikonya hanya 0,4-3,3%. Bruit servikal yang tanpa gejala tidak
menyebabkan peningkatan risiko terjadinya stroke setelah operasi tetapi mungkin meningkatkan penyakit
arteri koroner yang telah ada sebelumnya (lihat Bab 20). Pasien-pasien yang menjalani prosedur pembukaan
jantung untuk penyakit valvular merupakan risiko tertinggi untuk kejadian stroke pasca operasi (insidensi
sekitar 4%), sama halnya untuk pasien-pasien yang menjalankan operasi pada aorta thoracic. Angka kematian
kejadian stroke pasca operasi dapat mencapai nilai setinggi 20%. Stroke yang terjadi setelah operasi
pembukaan jantung biasanya disebabkan oleh emboli udara, fibrin, atau debris kalsium. Stroke yang terjadi
setelah operasi aorta thoracic terutama disebabkan oleh emboli atau iskemia sekunder akibat klem-silang
yang terlalu lama dari penutupan klem hingga pencabutan arteri karotis. Patofisiologi terjadinya stroke pasca
operasi akibat operasi non-kardiovaskular masih belum jelas tetapi dapat menyebabkan hipotensi atau
hipertensi berat yang berkepanjangan. Hipotensi dengan hipoperfusi yang berat dapat terjadi pada trombosis
intraserebral dan infark, sedangkan hipertensi terjadi akibat perdarahan kedalam plak karotis atau perdarahan
intraserebral (stroke perdarahan) ; hipertensi yang berkepanjangan juga dapat merusak sawar darah otak dan
menyebabkan terjadinya edema serebral (lihat Bab 25). Periode waktu setelah mengalami stroke hingga
seorang pasien dapat secara aman dilakukan anestesi masih belum dapat ditentukan. Abnormalitas dalam
aliran darah regional dan laju metabolisme tubuh biasanya akan kembali seperti semula setelah 2 minggu,
sedangkan perubahan dalam respon terhadap CO2 dan perubahan dalam sawar darah otak memerlukan waktu
lebih dari 4 minggu. Kebanyakan dokter menunda prosedur elektif minimal selama 6-26 minggu setelah
terjadinya stroke yang lengkap.
Pasien-pasien dengan TIA memiliki riwayat gangguan yang sementara (<24 jam) dan secara definisi
tidak memiliki gangguan neurologik sisa. Serangan tersebut diperkirakan akibat emboli agregat fibrin-platelet
atau debris atheromatous yang berasal dari plak di dalam saluran ekstrakranial. Gangguan penglihatan
unilateral, kebaalan atau kelemahan dari ekstrimitas yang unilateral, atau afasia merupakan suatu kecurigaan
ke arah penyakit karotis, sedangkan gangguan penglihatan bilateral, rasa pusing, ataksia, disartria, kelemahan
bilateral, atau amnesia merupakan kecurigaan kearah penyakit vertebro-basiler. Pasien-pasien dengan TIA
mempunyai kesempatan sebanyak 30-40% untuk terjadinya stroke trombotik dalam waktu 5 tahun ;
kebanyakan terjadi dalam tahun pertama (50%). Pasien-pasien dengan TIA seharusnya tidak menjalankan
prosedur operasi elektif tanpa evaluasi medis yang cukup yaitu secara umum paling sedikit melakukan
pemeriksaan non invasif pencitraan aliran darah (Doppler) dan pemeriksaan pencitraan lainnya. Keberadaan
plak ulseratif melebihi 60% penutupannya merupakan indikasi umum untuk dilakukannya endarterectomy
karotis jika pasien tersebut tidak memiliki keadaan-keadaan lain yang membahayakan. Jika pasien tersebut
mengalami gejala, maka intervensi secara bedah lebih dipilih dibandingkan terapi secara medis (obat-obatan)
jika stenosisnya melebihi 50%.
Persiapan Sebelum Operasi
Penilaian sebelum operasi memerlukan evaluasi neurologis dan kardiovaskular yang sangat baik. Tipe dari
stroke, ada tidaknya defisit neurologis, dan pemanjangan gejala sisa harus ditentukan. Stroke trombotik
merupakan yang terutama terjadi dan biasanya terjadi pada pasien-pasien dengan atherosklerosis
2
menyeluruh. Kebanyakan pasien adalah orang-orang tua dan mempunyai keadaan-keadaan penyakit penyerta
seperti hipertensi, hiperlipidemia, dan diabetes. Penyakit arteri koroner yang telah ada sebelumnya dan
gangguan ginjal merupakan hal yang biasa terjadi. Stroke emboli kebanyakan sering dihubungkan dengan
penyakit katup mitral atau endokarditis atau setelah dilakukan penggantian katup. Stroke perdarahan secara
tipikal disebabkan hipertensi yang menaik, ruptur aneurisma serebral, atau malformasi arteriovena. Banyak
pasien, dengan TIA atau stroke non-perdarahan mendapatkan terapi jangka panjang dengan warfarin atau
antiplatelet. Risiko untuk menghentikan terapi tersebut selama beberapa hari sekitar operasi tampaknya kecil.
Pemeriksaan waktu pembekuan dan waktu perdarahan seharusnya digunakan untuk mengkonfirmasi efek
kebalikan yang timbul mendekati operasi. Jika hemostasis untuk pembedahan telah tercapai (12-48 jam),
antikoagulan atau aspirin dapat diberikan setelah operasi selesai.
Bagaimanapun bentuk prosedur atau tipe anestesi yang akan diberikan, keadaan-keadaan hipertensi,
angina, gagal jantung kongestif, dan hiperglikemia harus berada dalam keadaan terkontrol sebelum operasi.
Seluruh pasien hendaknya tetap mendapatkan pengobatan yang biasanya mereka dapatkan hingga pada saat
operasi dengan pengecualian untuk diuretika dan insulin. Manajemen diabetes dan hiperglikemia dibahas
pada Bab 36.
Tatalaksana Saat Operasi
Meskipun beberapa klinisi mempercayai bahwa anestesi regional lebih aman dibandingkan dengan anestesi
umum untuk pasien-pasien tersebut, penelitian-penelitian yang mengarah kesana masih kurang. Tidak ada
satu teknik anestesi yang lebih superior terhadap teknik yang lainnya. Tekanan darah harus dipertahankan
sesuai atau sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan normalnya karena ada pergeseran ke kanan dalam
autoregulasi serebral (Gambar 27-1) (lihat Bab 25). Vasopresor sebaiknya tidak digunakan untuk
mempertahankan tekanan darah, karena bila penggunaannya berlebih dapat menyebabkan terjadinya iskemia
miokardium. Vasodilator atau penghambat adrenergik dapat digunakan selama periode stimulasi yang
intensif dan saat keadaan bahaya. Penggunaan agen penghambat neruromuskular (NMBA) mempermudah
pengelolaan anestetik dengan cara memberikan keadaan operasi yang optimal dan juga membuat
penyesuaian kedalaman anestesi yang lebih baik. Perubahan tekanan darah yang lebar merupakan hal yang
tidak diinginkan dan dapat menyebabkan terjadinya komplikasi kardiak dan serebral setelah operasi.
Penggunaan ekstrimitas yang parese atau paralisis untuk memonitor blokade neruomuskular dapat
terjadi pada yang mengalami overdosis. Tahanan terhadap blokade neuromuskular – seperti yang diukur
melalui pengamatan train-of-four – dapat dilihat pada ekstrimitas yang mengalami parese ; oleh sebab itu
blokade neuromuskular seharusnya diamati pada sisi yang tidak mengalami parese. Suksinilkolin seharusnya
dihindari pada pasien-pasien dengan riwayat penyakit stroke yang terjadi baru-baru ini sama halnya dengan
keadaan kehilangan massa otot yang sangat besar karena risiko akan terjadinya keadaan hiperkalemia.
C
B
F
CPP
Gambar 27-1. Pergeseran ke kanan terjadi pada aliran darah serebral (CBF) terlihat pada pasien dengan
hipertensi kronik. CPP, tekanan perfusi serebral.
3
GANGGUAN KEJANG
Pertimbangan-pertimbangan Sebelum Operasi
Kejang menandakan terjadinya abnormalitas aktivitas listrik di dalam otak. Kejang tersebut dapat
merupakan perwujudan dari penyakit susunan saraf pusat, kelainan sistemik, ataupun dapat berupa suatu hal
yang idiopatik. Mekanisme-mekanisme yang mendasarinya diperkirakan sebagai berikut (1) hilangnya
aktivitas penghambatan oleh asam γ-aminobutirat (GABA), (2) pelepasan yang berlebihan dari asam amino
yang bersifat eksitatori (glutamat), dan (3) peningkatan pelepasan letupan saraf akibat dari abnormalitas
listrik yang diperantarai oleh kalsium. Hingga mencapai 2% dari populasi dapat mengalami kejang selama
masa hidupnya. Epilepsi merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan aktivitas kejang paroksismal yang
rekuren. Individu sehat yang mengalami kejang terisolasi non-rekuren bukan dikatakan menderita epilepsi.
Aktivitas kejang dapat terletak secara spesifik pada suatu area di otak atau dapat juga secara
menyeluruh. Lebih jauh lagi, fokus awal kejang yang bersifat lokal dapat menyebar secara bertahap menjadi
kejang umum. Skema klasifikasi yang sederhana dapat dilihat pada Tabel 27-1. Kejang parsial (atau disebut
juga fokal) secara klinis akan memberikan gejala-gejala motorik, sensorik, otonom, atau psikiatrik sesuai
dengan area kortikal yang dipengaruhinya. Kejang fokal yang berhubungan dengan gangguan kesadaran
dinamakan dengan kejang kompleks parsial (lobus psikomotor atau lobus temporal). Kejang yang bersifat
umum ditandai dengan aktivitas listrik bilateral yang simetris tanpa adanya permulaan yang bersifat lokal.
Hasil dari aktivitas listrik tersebut akan menyebabkan abnormalitas dari aktivitas motorik, kehilangan
kesadaran, atau kedua-duanya. Aktivitas umum yang menghasilkan kesadaran yang terisolasi dan hilang
sesaat dinamakan kejang absense (petit mal). Kejang umum lainnya biasanya diklasifikasikan sesuai dengan
tipe dari aktivitas motoriknya. Kejang tonik-klonik (grand mal) merupakan jenis kejang yang biasa terjadi
dan ditandai dengan kehilangan kesadaran yang diikuti dengan aktivitas motor yang klonik kemudian tonik.
Penatalaksanaan Sebelum Operasi
Penilaian sebelum operasi pada pasien-pasien dengan gangguan kejang harus difokuskan pada
penyebab dan tipe dari aktivitas kejangnya dan juga terhadap obat-obatan yang digunakan pasien untuk
mengobati kejangnya tersebut. Kejang yang terjadi pada orang dewasa biasanya terutama disebabkan oleh
lesi otak struktural (trauma kepala, tumor, degenerasi, atau stroke) atau abnormalitas metabolik (uremia,
gagal hepar, hipoglikemia, hipokalsemia, atau karena toksisitas obat atau efek withdrawal dari obat). Kejang
yang idiopatik biasa terjadi pada anak-anak tetapi dapat bertahan hingga masa dewasa. Penilaian anestesi
harus difokuskan pertama-tama pada kelainan yang mendasarinya dan kedua pada kejangnya. Tatalaksana
terhadap pasien-pasien dengan suatu lesi yang besar atau peningkatan ICP dibahas pada Bab 26.
Tabel27-1 Klasifikasi Kejang
Parsial (Fokal)
Simpel
Kompleks
Umum sekunder tonik-klonik
Umum
Absense (petit mal)
Mioklonik
Klonik
Tonik
Tonik-klonik (grand mal)
Atonik
Tidak terklasifikasikan
Karakter-karakter dari masing-masing tipe kejang sangat penting untuk mendeteksi aktivitasnya
selama operasi berlangsung. Kejang – terutama kejang grand mal – merupakan faktor yang sangat
mempersulit pada pasien-pasien operasi dan harus diobati dengan cepat untuk menghindarkan cedera
4
muskuloskeletal lainnya, hipoventilasi, hipoksemia, dan aspirasi dari isi lambung (gastrointestinal). Bahkan
kejang yang parsial dapat berkembang menjadi kejang yang grand mal. Jika terjadi keadaan kejang, maka
prioritas utamanya adalah mempertahankan jalan nafas agar selalu terbuka dan asupan oksigen yang
mencukupi. Pemberian thiopental intravena (50-100 mg), fenitoin intravena (500-1000 mg secara perlahanlahan), atau golongan benzodiazepin seperti diazepam intravena (5-10 mg) atau midazolam (1-5 mg) dapat
digunakan untuk menghentikan keadaan kejang tersebut.
Kebanyakan pasien dengan gangguan kejang mendapatkan obat antiepilepsi ([AED] antikonvulsif)
sebelum operasi (Tabel 27-2). Terapi obat-obatan tersebut harus dilihat kegunaannya dan toksisitasnya.
Fenitoin, karbamazepin, dan valproat digunakan untuk kejang umum tonik-klonik. Fenitoin dan valproat
sering digunakan untuk kejang parsial. Efek samping obat dan tanda-tanda keracunan harus dapat diketahui
secara klinis dan juga secara laboratorium. Karbamazepin, etosuksimide, felbamat, dan valproat dapat
menyebabkan depresi pada sumsum tulang dan hepatotoksisitas. Pada kadar toksik, kebanyakan obat-obatan
akan menyebabkan ataksia, pusing, bingung, dan sedasi. Kadar obat AED dalam darah biasanya telah
tersedia di laboratorium rumah sakit dan harus dicek pada pasien-pasien dengan tanda-tanda keracunan dan
juga pada mereka yang memiliki riwayat kejang akhir-akhir ini. AED seharusnya secara ideal diteruskan
selama menjalankan operasi untuk mempertahankan kadar terapeutik. Untungnya, kebanyakan obat-obat
memiliki waktu paruh yang cukup lama, sehingga bila pemberian dosis terlambat atau tertinggal tidak akan
memberikan suatu hal yang kritikal.
Tabel 27-2 Antikonvulsan yang biasa digunakan dan dosisnya1.
Dosis Harian2 (mg)
Obat
Karbamazepin
800-1600
Felbamat
2400-3600
Gabapentin
900-3600
Lamotrigine
300-500
Fenitoin
300-400
Tiagabine
32-56
Topiramat
200-400
Valproat
1000-3000
1 : Dicetak ulang, dengan ijin, dari Samuels MA : Update in Neurology. Ann Intern Med 1998 ; 129:878
2 : Dosis harian total yang biasa digunakan pada orang dewasa.
Tatalaksana Pada Saat Operasi
Dalam memilih agen-agen anestesi, obat-obatan dengan kemungkinan berpotensi menjadi
epileptogenik harus dihindari. Ketamin dan metoheksital (dalam dosis kecil) secara teoritis dapat
mempresipitasi terjadinya aktivitas kejang dan oleh karena itu sebaiknya dihindari pemakaiannya. Secara
teoritis, dosis besar dari atrakurium dan cisatrakurium atau meperidin dapat menjadi suatu hal yang
kontraindikasi karena pernah dilaporkan adanya efek potensial epileptogenik dari metabolit-metabolitnya,
laudanosine dan normeperidine. Induksi enzim mikrosomal hepatik harusnya dipantau pada terapi AED
kronik. Induksi enzim dapat meningkatkan kebutuhan dosis dan frekuensi pemberian obat anestesi intravena
dan NMBA yang non-depolarisasi dan dapat meningkatkan potensi terjadinya hepatotoksik akibat halotan.
PENYAKIT DEGENERATIF & DEMIELINASI
Penyakit Parkinson
Pertimbangan-pertimbangan sebelum operasi.
Penyakit Parkinson (PD) merupakan gangguan pergerakan yang biasanya terjadi pada orang-orang
berusia 50-70 tahun ; penyakit ini mempunyai prevalensi sebesar 3% di Amerika Serikat dan Kanada.
Penyakit neurodegeneratif ini ditandai dengan bradikinesia, rigiditas, ketidakstabilan postural, dan tremor
5
pada saat istirahat (pill-rolling). Gejala tambahan lain yang dapat terjadi antara lain yaitu facial masking,
hipofonia, disfagia, dan festinasi. Peningkatan masalah dalam kebekuan, rigiditas, dan tremor pada akhirnya
menghasilkan keterbatasan dalam kapasitas fisik. Pada awal terkena penyakit ini, fungsi intelektual biasanya
tidak terganggu, tetapi penurunan fungsi intelektual dapat terjadi dan bahkan dapat menjadi sangat parah
dengan berjalannya penyakit tersebut. PD disebabkan oleh karena kehilangan dopamin yang progresif di
nigrostriatum, dengan derajat kehilangan dopamin berkaitan dengan bradikinesia yang terjadi. Dengan
terjadinya kehilangan dopamin, aktivitas dari nukleus GABA di basal ganglia meningkat, sehingga
menyebabkan inhibisi talamus dan nukleus-nukleus di batang otak. Inhibisi talamus tersebut akan
menyebabkan penekanan pada sistem motorik di korteks, sehingga terjadilah diskinesia, rigiditas,
ketidakstabilan postural, dan tremor yang merupakan karakteristik dari penyakit ini.
Pengobatan ditunjukan untuk mengontrol gejala yang timbul. Berbagai macam obat dapat digunakan
untuk penyakit yang ringan, termasuk agen antikolinergik triheksifenidil, benztropin, dan etopropazin ;
penghambat monoamin oksidase (MAO) ireversibel, selegiline, dan rasagiline ; dan obat antivital, amantadin.
Penyakit yang sedang hingga berat biasanya secara farmakologi diobati dengan agen-agen dopaminergik,
baik levodopa (prekursor dari dopamin) ataupun agonis reseptor dopamin. Levodopa yang diberikan
bersama-sama dengan penghambat dekarboksilase dengan tujuan menghambat pemecahan obat tersebut di
perifer (sehingga dapat meningkatkan penghantaran ke sentral dan menurunkan dosis levodopa yang
diperlukan untuk mengontrol gejala-gejala yang ada) merupakan terapi yang paling efektif dan digunakan
untuk mengobati penyakit yang sedang hingga berat. Penghambat katekol metiltransferase (COMT) juga
digunakan untuk mencegah dekarboksilase levodopa dan termasuk Stalevo, dan Tolcapone. Levodopa
tersedia baik dalam bentuk formula cepat lepas, dengan durasi kerja secara berturut-turut 2-4 jam dan 3-6 jam
dan dapat dihancurkan dan dicampur dalam bentuk cairan.
Efek samping yang dapat terjadi yaitu mual,
muntah, diskinesia, ngantuk/tidur yang tiba-tiba, fluktuasi motorik, iritabilitas otot jantung, dan hipotensi
ortostatik. Yang terakhir dpaat disebabkan oleh kekurangan katekolamin (penghambatan umpan balik negatif
kronik) dan kekurangan volume, mungkin akibat sekunder dari efek natriuresis.
Agonis dopamin-reseptor termasuk baik ergot (bromokriptin, kabergolin, lisurid, dan apomorfin),
dan derivat non ergot (pramipexole, dan ropinirole). Apomorfin dapat diberikan secara intravena ataupun
secara subkutaneus untuk terapi penyelamatan cepat selama periode kosong, fluktuasi motorik yang parah
untuk PD. Derivat non ergot menunjukkan memiliki keuntungan bila digunakan secara monoterapi pada awal
PD ; semua agonis dopamin-reseptor akan efektif jika diberikan dalam kombinasi terapi dengan levodopa
untuk pengobatan PD yang sedang hingga berat. Efek samping serupa dengan yang ditemukan pada
penggunaan levodopa dan sebagai tambahannya yaitu sakit kepala, pusing, dan halusinasi. Fibrosis pulmonal
dan retroperitoneal, efusi pleura dan penebalan pleura, sindroma Raynaudm, dan eritromialgia merupakan
efek samping yang biasa terjadi pada penggunaan derivat ergot dibandingkan dengan derivat non ergot.
Terapi pembedahan untuk PD termasuk didalamnya baik itu prosedur ablatif (talamotomi dan
palidotomi) juga stimulasi listrik terhadap nukleus intermediat ventral dari talamus, globus palidus internus,
atau nukleus subtalamikus. Palidotomi efektif untuk mengobati diskinesia dan gejala hilang dari PD (7090%) sama juga halnya untuk gejala-gejala tremor, rigiditas, bradikinesia, dan cara berjalan dari penyakit
tersebut. Talamotomi paling efektif untuk mengobati tremor kontralateral, tetapi tidak untuk gejala-gejala
lain dari penyakit ini, dan telah diganti secara luas dengan penggunaan stimulasi talamus. Efikasi dari
stimulasi otak dalam dari thalamus berhubungan dengan efek tremornya ; stimulasi tersebut mempunyai efek
yang kecil bahkan tidak ada efeknya terhadap gejala-gejala lain dari PD. Stimulasi subtalamus telah
menunjukkan peningkatan perbaikan gejala primer dari PD dan menurunkan jumlah waktu hilang dan jumlah
pengobatan yang diperlukan untuk meredakan gejala, dengan bilateral, jika dibandingkan dengan unilateral,
stimulasi mempunyai efikasi yang lebih baik lagi. Terdapat beberapa penurunan fungsi kognitif akibat
pengobatan tersebut dan oleh karena ini harus digunakan secara hati-hati pada pasien-pasien dengan
gangguan kognitif. Efek dari stimulasi globus palidus internus sama denagn efek dari palidotomi, dengan
perbaikan lebih baik pada diskinesia dan pemendekan waktu hilang.
Pertimbangan-pertimbangan Anestesi
Pengobatan untuk PD harus dilanjutkan selama operasi, termasuk pada saat pagi haru menjelang
operasi, karena waktu paruh dari levodopa singkat. Efek withdrawal dari levodopa dapat menyebabkan
keadaan yang lebih parah dari rigiditas otot dan dapat mempengaruhi ventilasi. Fenotiazine, butirofenon
(droperidol), dan metoklorpramide dapat mengeksaserbasi gejala-gejala sebagai konsekuensi dari aktivitas
anti dopaminergiknya dan sebaiknya dihindari penggunaannya. Antikolinergik (atropin) atau antihistamine
6
(difenhidramin) dapat digunakan untuk mengatasi gejala-gejala eksaserbasi akut. Difenhidramin terutama
sangat berguna untuk premedikasi dan sedasi saat operasi pada pasien-pasien dengan tremor. Induksi anestesi
pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi jangka panjang levodopa dapat menyebabkan keadaan baik itu
hipotensi atau hipertensi yang sangat nyata sekali keadaannya. Hipovolemia relatif, kekurangan katekolamin,
instabilitas otonom, dan sensitisasi terhadap katekolamin mungkin penyebab dari keadaan tersebut diatas.
Tekanan darah arteri harus dipantau dengan baik. Hipotensi yang bermakna sebaiknya diobati dengan dosis
kecil vasopresor kerja langsung seperti fenilefrin. Iritabilitas jantung dapat dengan segera menyebabkan
aritmia, sehingga halotan, ketamin , dan larutan anestesi likal yang mengandung epinefrin harus digunakan
dengan hati-hati. Meskipun respon terhadap NMBA secara umum normal, kejadian yang jarang seperti
hiperkalemia akibat suksinilkolin telah dilaporkan. Ventilasi yang cukup dan refleks saluran udara yang
cukup harus dinilai dengan baik mendekati ekstubasi pada pasien-pasien dengan penyakit sedang hingga
berat.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pasien-pasien yang gagal dengan pengobatan medis
merupakan kandidat untuk dilakukan tindakan bedah, contohnya, terapi ablatif seperti talamotomi atau
palidotomi atau implantasi stimulator otak dalam pada nukleur subtalamikus, nukleus intermediat ventral,
atau globus palidus internus. Karena anestesi umum mengubah ambang batas untuk stimulasi, peletakan
eletkroda yang benar dana berpengaruh. Kraniotomi dalam keadaan bangun dilakukan untuk operasi epilepsi
telah berjalan untuk beberapa waktu, dan kemudian berkembang untuk prosedur stimulasi otak dalam juga.
Dua teknik yang dianjurkan - kraniotomi dalam keadaan benar-benar bangun dengan sedasi yang berat dan
pendekatan dimana pasien mendapatkan anestesi umum, biasanya anestesi total intravena dengan propofol
dan remifentanil, dan masker saluran udara laringeal untuk mengatur aliran udara. Berlanjut pada prosedur
pembedahan, infusan intravena dihentikan dan masker saluran udara laringeal dilepas. Pasien dapat kembali
dianestesi jika implantasi dari lead-lead elektroda telah selesai terpasang. Tujuan yang sama dapat dicapai
dengan anestesi inhalasi kerja singkat, seperti sevofluran atau desflurane.
PENYAKIT ALZHEIMER
Pertimbangan-pertimbangan sebelum operasi
Penyakit neurodegeneratif, meningkat kejadiannya pada pasien-pasien berusia 70 tahun atau lebih,
dan sering menjurus kearah demensia. Sehubungan dengan kehilangan substansia abu-abu, pasien-pasien
yang lanjut usia mempunyai perubahan respon farmakokinetik dan farmakodinamik terhadap banyak obatobatan sehingga keadaan tersebut menjadi suatu tantangan ketika akan melakukan induksi dan
mempertahankan anestesi atau sedasi. Penyakit Alzheimer (AD) merupakan penyakit neruodegeneratif yang
biasa terjadi ; merupakan penyebab kurang lebih 40-80% kasus dari seluruh kasus demensia, dengan
prevalensi kurang lebih 20% pada pasien-pasien diatas usia 80 tahun. Penyakit ini ditandai dengan penurunan
fungsi intelektual (demensia) yang lambat. Gangguan memori, memutuskan, mengambil keputusan, dan
labilitas emosional yang progresif merupakan kunci dari penyakit ini. Pada akhir dari penyakit ini, tandatanda ekstrapiramidal yang berat, apraksia dan aphakia seringkali muncul. Meskipun atrofi otak pada
beberapa keadaan normal seiring dengan berjalannya waktu, pasien-pasien dengan AD biasanya
menunjukkan atrofi kortikal yang jelas dengan pembesaran ventrikel. Kunci utama patologis dari AD adalah
neurofibrillary tangle yang mengandung protein mikrotubular yang terfosforilasi dan plak neuritik yang
terdiri dari peptida β-amiloid.
Dalam ketidakadaannya pengobatan efektif, pengobatan ditunjukkan untuk mencegah kemunduran
lebih jauh lagi dan jika tidak memungkinkan, memperlambat laju kemundurannya dan mengobati gejala yang
timbul. Penghambat kolinesterase, yang termasuk di dalamnya acrine, donepezil, galantamine, dan
rivastigmine, seringkali diberikan untuk memperlambat kemunduran status mental.
Pertimbangan-Pertimbangan Anestesi
Penangangan anestesi terhadap pasien-pasien dengan penyakit sedang hingga berat seringkali
dihambat dengan disorientasi dan sifat tidak kooperatif. Gangguan kognitif yang signifikan merupakan suatu
hal yang sering dipantau pada pasien-pasien lanjut usia dan sering dilakukan selama 1-3 hari sebelum
operasi. Pasien-pasien seperti itu membutuhkan penegasan dan penjelasan yang berulang-ulang. Persetujuan
7
harus didapatkan dari keluarga atau penjaganya yang legal jika pasien secara legal tidak kompeten, tetapi
pasien masih dapat dimintai tanda tangan persetujuan jika memungkinkan, sebelum mereka membawanya ke
ruang operasi. Karena penggunaan obat-obatan kerja sentral harus diminimalisir, premedikasi biasanya tidak
diberikan, dan jika diberikan pun maka hanya dalam dosis kecil saja. Anestesi regional hanya dilakukan jika
pasien berada dalam keadaan yang kooperatif. Agen-agen inhalasi lebih dipilih untuk anestesi umum karena
proses eliminasinya yang cepat. Antikolinergik kerja sentral, seperti atropin dan skopolamin, secara teoritis
dapat menyebabkan rasa pusing setelah operasi selesai. Glikopirolat, yang tidak dapat menembus sawar
darah otak, dapat dipilih sebagai agen antikolinergik jika diperlukan.
MULTIPEL SKLEROSIS
Pertimbangan-pertimbangan Sebelum Operasi
Multipel sklerosis ditandai dengan proses demielinisasi reversibel pada beberapa lokasi dan acak
tempatnya di otak dan sumsum belakang ; suatu proses peradangan kronik yang pada akhirnya akan
menyebabkan parut (gliosis). Penyakit ini dapat berupa kelainan otoimun yang diawali dengan suatu proses
infeksi virus. Penyakit ini biasanya terjadi pada pasien-pasien berusia antara 20 dan 40 tahun, dengan
perbandingan 2:1 dimana lebih didominasi oleh wanita, dan diikuti dengan serangan yang sering yang tidak
dapat diprediksikan dan juga dapat terjadi remisi. Dengan berjalannya waktu maka remisi pun berjalan
menjadi kurang sempurna, dan penyakit ini bersifat progresif dan membuat seseorang menjadi tidak
berdaya ; hampir 50% dari pasien-pasien yang telah didiagnosis selama 15 tahun akan memerlukan bantuan
untuk berjalan. Manifestasi klinis tergantung dari lokasi yang dipengaruhinya tetapi seringnya terjadi
gangguan sensorik (parestesia), gangguan penglihatan (neuritis optik dan dipoplia), dan kelemahan motorik.
Gejala-gejala timbul selama beberapa hari dan kemudian akan menghilang selama berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan. Diagnosis dini dari eksaserbasi seringkali dikonfirmasi degnan analisis cairan serebrospinal
dan pencitraan dengan MRI. Remielinisasi terbatas dan seringkali gagal untuk terjadi. Lebih jauh lagi,
kehilangan akson dapat terjadi. Perubahan dalam fungsi neurologis seringkali berhubungan dengan
perubahan dari konduksi aksonal. Konduksi dapat terjadi dengan menyebrang akson yang demielinisasi tetapi
hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama faktor temperatur. Peningkatan temperatur tubuh
menyebabkan eksaserbasi dari gejala-gejala, yang kiranya disebabkan oleh penurunan konduksi saraf.
Pengobatan multipel sklerosis mungkin diutamakan untuk mengobati gejala yang ada atau secara
simtomatik atau mungkin diupayakan untuk menghentikan proses dari penyakitnya. Diazepam, dantrolene,
atau baclofen dan dalam kasus-kasus yang sulit disembuhkan, pemberian baclofen dengan sistem intratekal
digunakan untuk mengontrol spastisitas ; betanekol dan obat antikolinergik lainnya sangat berguna untuk
retensi urin. Diestesia yang nyeri dapat diobati dengan menggunakan karbamazepin, fenitoin, atau obat-obat
antidepresan (lihat Bab 18). Glukokortikoid dapat menurunkan derajat keparahan dan durasi dari serangan
akut. Kasus-kasus relaps pada yang resisten-kortikosteroid mempunyai respon terhadap lima hingga tujuh
kali pemberian penggantian plasma yang diberikan dalam dosis alternate. Interferon β1b, interferon β1a, dan
glatiramer asetat dapat menurunkan frekuensi kejadian relaps hingga mencapai 30%. Imunosupresi dengan
azatioprine atau siklofosfamid juga dapat dicoba diberikan untuk menghentikan progresifitas penyakit, akan
tetapi terdapat keterbatasan bukti ilmiah yang mendukung terhadap pendekatan dengan terapi tersebut.
Asosiasi Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan (FDA) akhir-akhir ini telah menyetujui mitoxantrone
untuk mengobati multipel sklerosis yang relapsnya agresif dan progresif.
Pertimbangan-pertimbangan Anestesi
Efek dari stres, anestesi, dan operasi pada penyakit ini masih menjadi suatu hal yang diperdebatkan.
Efek yang merusak telah ditentukan tetapi masih belum dapat dibuktikan. Secara keseluruhan, efek dari
anestesi masih belum dapat diprediksikan. Tindakan bedah elektif harus dihindari selama kejadian relaps
meskipun teknik anestesi yang dilakukan benar. Penjelasan sebelum operasi kepada pasien perlu ditekankan
bahwa efek dari stres selama operasi dan anestesi yang diberikan pada pasien tersebut akan menyebabkan
gejala yang ada menjadi tambah buruk. Anestesi spinal telah diketahui dapat menyebabkan eksaserbasi dari
penyakit. Epidural dan teknik anestesi regional lainnya tampaknya tidak memiliki efek samping, terutama
dalam bidang kebidanan. Tidak terdapat interaksi yang spesifik dengan anestesi umum yang telah diketahui.
Pasien dengan penyakit yang telah lanjut mempunyai sistem kardiovaskular yang labil akibat dari disfungsi
sistem otonomnya. Dalam keadaan parese atau paralisis, penggunaan suksinilkolin harus dihindari karena
dapat menyebabkan hiperkalemia. Walaupun teknik anestesi telah dilakukan dengan baik, peningkatan
8
temperatur tubuh tetap harus dihindari. Serabut-serabut saraf yang demielinisasi sangat sensitif terhadap
peningkatan temperatur ; peningkatan temperatur walaupun hanya sebesar 0,5ºC dapat menyebabkan
hambatan konduksi secara sempurna.
9
AMILOTROPIK LATERAL SKLEROSIS
Penyakit serabut saraf motorik merupakan suatu penyakit neurodegeneratif yang biasa terjadi juga,
dimana amilotropik lateral sklerosis (ALS) merupakan jenis penyakitnya yang paling sering. Penyebab dari
ALS belum diketahui dengan pasti, walaupun sebagian kecil pasien memiliki bentuk keturunan dari penyakit
ini dengan adanya defek pada gen superoksid dismutase-1 (SOD 1). ALS merupakan penyakit yang bersifat
sangat progresif baik pada sistem upper motor neuron dan juga pada lower motor neuron. Secara klinis,
pasien-pasien mengalami penyakit ini pada usia dekade kelima atau keenam dengan gejala kelemahan otot,
atrofi, fasikulasi, dan juga spastisitas. Penyakit ini pada awalnya akan bersifat tidak simetris tetapi dengan
berjalannya waktu selama 2-3 tahun maka penyakit ini akan bersifat menyeluruh menyerang seluruh tubuh,
termasuk mengenai seluruh tulang dan otot-otot bulbar. Kelemahan otot-otot pernafasan yang progresif
membuat pasien lebih mudah untuk mengalami aspirasi dan akhirnya akan menyebabkan kematian karena
terjadinya gagal pernafasan. Walaupun jantung tidak dipengaruhi tetapi gangguan otonom dapat terlihat
dengan jelas. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ALS tersebut.
Penekanan utama dari penatalaksanaan penyakit ini adalah perawatan yang baik terhadap sistem
pernafasannya. Sama halnya dengan pasien-pasien yang mempunyai penyakit lower motor neuron,
suksinilkolin merupakan suatu hal yang kontraindikasi karena risikonya untuk terjadi hiperkalemia.
Penggunaan NMBA yang non depolarisasi harus digunakan sesekali saja jika diperlukan, karena pasienpasien sering mengalami sensitifitas yang berlebih. Ventilasi yang cukup perlu dipantau dan dinilai dengan
hati-hati baik pada saat operasi maupun setelah operasi selesai ; ekstubasi mungkin diperlukan dalam
keadaan tertentu. Kesulitan untuk menghentikan ventilasi mekanik setelah selesai operasi jarang terjadi pada
pasien-pasien dengan penyakit yang sedang hingga berat.
SINDROMA GUILLAIN-BARRE
Sindroma Guillain-Barre (GBS), suatu penyakit yang menyerang satu hingga empat orang setiap
100.000 penduduk, ditandai dengan gejala-gejala yang terjadi secara cepat yaitu paralisis motorik, arefleksia,
dan parestesia yang bervariasi. Subtipe dari GBS yaitu peradangan akut polineuropati demielinisasi (sekitar
75% dari kasus-kasus yang ada), neuropati aksonal motorik akut (dengan adanya antibodi yang melawan
ganglion), dan neuropati aksonal sensorik motorik akut. Keterlibatan sistem bulbar, termasuk didalamnya
paralisis otot-otot pernafasan merupakan komplikasi yang sering terjadi. Secara patologis, penyakit ini
tampaknya merupakan suatu penyakit imunologis yang menyerang selubung mielin dari serabut saraf perifer,
terutama pada lower motor neuron. Dalam banyak kasus, sindroma ini terjadi setelah adanya infeksi virus
pada sistem pernafasan dan gastrointestinal ; penyakit ini juga dapat tampak seperti suatu sindroma
paraneoplastik yang berhubungan dengan penyakit Hodgkin atau sebagai komplikasi dari infeksi virus HIV.
Beberapa pasien memiliki respon yang baik terhadap plasmaferesis. Prognosis dari penyakit ini biasanya
baik, dengan hampir kebanyakan pasien sembuh dengan sempurna, tetapi sayangnya sekitar 10% akan
meninggal karena komplikasi-komplikasi yang dialaminya dan sekitar 10% nya lagi akan mengalami gejala
neurologis sekuele dalam jangka waktu panjang.
Sehubungan dengan komplikasi pernafasannya, penatalaksanaan anestesi dipersulit dengan labilitas
dari sistem saraf otonom. Respon hipertensi dan hipotensi yang berlebihan dapat terjadi selama anestesi.
Seperti halnya penyakit lower motor neuron lainnya, maka penggunaan suksinilkolin harus dihindari karena
risiko terjadinya hiperkalemia. Penggunaan anestesi secara regional pada pasien-pasien ini masih merupakan
suatu hal yang kontroversial, karena terdapat beberapa laporan kasus yang mengatakan bahwa pasien-pasien
yang mendapatkan anestesi regional ini mengalami GBS atau yang telah memiliki GBS menjadi tambah
parah keadaannya.
DISFUNGI OTONOMIK
Pertimbangan-pertimbangan Sebelum Operasi
Disfungsi otonom, atau disotonomia, dapat disebabkan oleh gangguan segmental atau menyeluruh
dari sistem saraf pusat ataupun sistem saraf perifer. Gejala-gejala yang timbul dapat bersifat umum,
segmental, maupun fokal. Penyakit ini dapat bersifat kongenital, keturunan, maupun didapat. Manifestasi
10
yang sering terjadi dari penyakit ini dapat berupa impotensi ; disfungsi pada kandung kemih dan
gastrointestinal ; pengaturan abnormal dari cairan tubuh ; penurunan kemampuan berkeringat, lakrimasi, dan
salivasi ; dan hipotensi ortostatik. Gejala yang terakhir merupakan gejala yang paling serius dari disfungsi
otonom.
Disfungsi otonom yang didapat dapat diisolasi (murni karena kegagalan otonom), bagian dari proses
degeneratif menyeluruh (sindroma Shy-Drager, atrofi olivopontoserebelar), bagian dari proses neurologis
segmental (multipel sklerosis, siringomielia, distrofi refleks simpatetik, atau cedera sumsum belakang), atau
perwujudan dari kelainan yang mempengaruhi sistem saraf perifer (GBS, diabetes, alkoholisme kronik,
amiloidosis, atau porfiria). Pengobatan ditujukkan untuk meningkatkan asupan garam, posisi tidur dalam
keadaan Trendelenburg yang terbalik (untuk meminimalkan diuresis nokturnal), dan berbagai macam terapi
obat-obatan. Terapi obat-obatan tersebut meliputi mineralokortikoid (fludrokortison – Florinef), inhibitor
prostaglandin (ibuprofen), penghambat β- adrenergik, simpatomimetik, atau antagonis dopamin
(metoklopramide). Analog vasopresin yaitu desmopresin (DDAVP) atau analog somatostatin yaitu octreotide
(Sandostatin) juga dapat dicoba.
Disotonomia kongenital atau keturunan terutama terjadi pada anak-anak Ashkenazi Jewish dan
biasanya sering disebut sebagai sindroma Riley-Day. Disfungsi otonom terlihat jelas pada kehilangan sensasi
secara menyeluruh dan labilitas emosional. Lebih jauh lagi, pasien-pasien yang memiliki predisposisi untuk
terjadi krisis disotonomia dapat dicetuskan dengan stres dan ditandai dengan hipertensi yang nyata sekali,
takikardia, nyeri abdomen, diaforesis, dan muntah. Diazepam intravena dapat diberikan untuk mengatasi
keadaan tersebut diatas. Disotonomia yang diturunkan berhubungan dengan defisiensi dari dopamin βhidroksilase. Pemberian dari α-dihidrofenilserin (α-DOPS) dapat memperbaiki gejala-gejala pada pasienpasien tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan Anestesi
Risiko utama dari anestesi yang dilakukan pada pasien-pasien dengan disfungsi otonom adalah
hipotensi yang sangat berat sekali, sebagai akibat dari aliran darah pada serebral dan koroner. Hipertensi
yang tinggi juga dapat membahayakan. Kebanyakan pasien mengalami hipovolemik secara kronis. Efek
vasodilator dari anestesi secara spinal dan epidural tidak dapat ditoleransi dengan baik. Hal yang serupa juga
terjadi pada efek vasodilator dan depresan jantung dari kebanyakan agen-agen anestesi umum yang jika
dikombinasikan dengan tekanan positif aliran udara dapat menjadi suatu hal yang berbahaya. Pemantauan
tekanan darah intraarterial yang terus menerus perlu dilakukan. Hipotensi yang terjadi sebaiknya diobati
dengan pemberian cairan dan vasopresor kerja langsung. Vasopresor yang digunakan lebih disukai dengan
agen yang kerja tidak langsung. Peningkatan sensitifitas terhadap vasopresor akibat denervasi sensitifitas
perlu diamati. Kehilangan darah juga tidak dapat ditolerir dengan baik ; memantau tekanan vena sentralin
atau tekanan arteri pulmonalis merupakan suatu hal yang sangat penting ketika terjadi perpindahan cairan
yang signifikan. Temperatur tubuh juga harus dipantau dengan seksama. Pasien-pasien dengan keadaan
anhidrosis dapat dengan mudah untuk mengalami hiperpireksia.
SIRINGOMIELIA
Siringomielia terjadi akibat proses kavitasi yang progresif di dalam sumsum belakang. Dalam
banyak kasus, obstruksi aliran cairan serebrospinal dari ventrikel keempat merupakan penyebab dari penyakit
ini. Banyak pasien memiliki abnormalitas pada kraniovertebralnya, terutama dalam bentuk malformasi
Arnold-Chiari. Peningkatan tekanan pada bagian tengah saluran sumsum belakang menghasilkan pelebaran
atau divertikulasi terhadap titik kavitasinya. Siringomielia biasanya mempengaruhi tulang belakang servikal,
menyebabkan defisit sensorik dan motorik pada ekstrimitas bagian atas dan seringkali juga menyebabkan
skoliosis thoracic. Pelebaran ke atas ke arah medula (siringobulbia) menyebabkan keadaan defisit saraf
kranialis. Jalur pintas ventrikular-peritoneal dan prosedur dekompresif lainnya mempunyai tingkat
kesuksesan yang bervariasi di dalam menghentikan penyakit tersebut.
Penilaian anestesi sebaiknya difokuskan terhadap defisit neurologis yang ada dan juga terhadap
gangguan pulmonal yang disebabkan karena skoliosis. Tes fungsi paru dan analisis gas darah dapat
memberikan peranan yang penting. Instabilitas otonom dapat terjadi pada pasien-pasien dengan lesi-lesi yang
luas. Suksinilkolin sebaiknya dihindari penggunaannya karena risiko terjadi hiperkalemia. Ventilasi yang
cukup dan NMBA non depolarisasi yang cukup perlu dicapai sebelum dilakukannya ekstubasi.
11
CEDERA SUMSUM BELAKANG
Pertimbangan-pertimbangan Sebelum Operasi
Kebanyakan cedera sumsum belakang merupakan traumatik dan sering kali dalam bentuk transeksi
yang parsial ataupun komplit. Kebanyakan cedera disebabkan karena fraktur dan dislokasi dari columna
vertebralis. Mekanisme yang terjadi biasanya kompresi dan fleksi dari tulang belakang thorakal atau ekstensi
dari tulang belakang servikal. Manifestasi klinis yang timbul tergantung dari tingkat transeksinya. Cedera
diatas C3-5 (persarafan diafragmatika) membuat pasien memerlukan bantuan ventilasi agar dapat bertahan
hidup. Transeksi diatas T1 menyebabkan quadriplegia, sedangkan jika diatas L4 akan menyebabkan
paraplegia. Transeksi yang paling sering terjadi adalah pada C5-6 dan T12-L1. Transeksi sumsum belakang
yang akut memberikan gejala hilangnya sensasi, paralisis flasid, dan hilangnya refleks spinal dibawah tingkat
cedera yang terjadi. Penemuan tersebut menandakan bahwa shok spinal akan terjadi dalam waktu 1-3 minggu
kedepan.
Selama perjalanan penyakit beberapa minggu ke depan, refleks spinal secara bertahap akan kembali
membaik, bersama-sama dengan spasme otot dan tanda-tanda overaktifitas simpatetik. Kompresi pada tulang
belakang torakal yang bawah dan tulang belakang lumbal menyebabkan sindroma cauda equina (konus
medularis). Sindroma tersebut biasanya merupakan cedera yang tidak komplit karena mengenai serabut
sarafnya bukan mengenai sumsum belakangnya.
Overaktivitas dari sistem saraf simpatis biasa terjadi transeksi T5 atau keatas tetapi jarang terjadi
pada cedera dibawah T10. Gangguan pada impuls penghambatan menurun yang normal pada sumsum
belakang menyebabkan hiperrefleksia otonom. Perangsangan secara kutaneus maupun viseral dibawah
tingkat cedera dapat menginduksi terjadinya refleks otonomik yang berat : gangguan simpatis menyebabkan
hipertensi dan vasokonstriksi dibawah transeksi dan refleks bradikardia yang diperantarai oleh baroreseptor
dan vasodilatasi diatas transeksi. Aritmia jantung jarang terjadi.
Penanganan secara bedah yang emergensi dilakukan jika terdapat kemungkinan adanya kompresi
kembali yang potensial dari sumsum belakang akibat dislokasi batang vertebra atau fragmen-fragmen
tulangnya. Penanganan secara operasi juga diperlukan pada keadaan instabilitas spinal untuk mencegah
cedera yang lebih lanjut. Pasien-pasien juga dapat masuk ke dalam ruang operasi jika terjadi komplikasi yang
lambat terjadi ataupun karena kelainan lainnya.
Pertimbangan-pertimbangan Anestesi
A. Transeksi Akut
Penangangan anestesi tergantung dari lamanya cedera yang telah terjadi. Pada awal terjadinya
cedera akut, penekanannya ditunjukkan untuk mencegah kerusakan sumsum belakang lebih jauh lagi akibat
pergerakan oleh pasien tersebut, manipulasi saluran pernafasan, dan melakukan posisi yang tepat. Terapi
kortikosteroid dosis tinggi (metilprednisolon : 30mg/kg selama satu jam pertama diikuti dengan 5,4
mg/kg/jam selama 23 jam berikutnya) digunakan untuk 24 jam pertama penanganan cedera untuk
memperbaiki gejala-gejala neurologisnya. Kepala harus dipertahankan pada posisi netral dengan
menggunakan stabilisasi tegak dengan bantuan seseorang atau dalam keadaan traksi selama proses intubasi
berlangsung. Intubasi dengan menggunakan alat fiberoptik setelah dilakukan anestesi topikal merupakan cara
yang paling aman. Pasien-pasien dengan transeksi yang besar seringkali mengalami gangguan pada refleks
aliran udaranya dan lebih jauh lagi menyebabkan terjadinya keadaan hipoksemia dengan cara penurunan
kapasitas residual fungsionalnya. Hipotensi dan bradikardi seringkali terjadi sebelum induksi dimulai.
Pemantauan tekanan arterial secara langsung harus dilakukan. Pemantauan tekanan vena sentralis dan juga
tekanan arteri pulmonalis juga mempermudah penilaian. Bolus cairan intravena dan penggunaan ketamin
untuk anestesi dapat mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut lagi ; vasopresor mungkin juga
diperlukan. Suksinilkolin dapat digunakan secara hati-hati pada 24 jam pertama tetapi tidak untuk berikutnya
karena risiko terjadi hiperkalemia. Hiperkalemia tersebut dapat terjadi dalam minggu pertama setelah
12
terjadinyacedera dan disebabkan pelepasan yang berlebihan dari kalium secara sekunder akibat proliferasi
reseptor asetikolin diluar klep sinaptik neuromuskular.
B. Transeksi Kronik
Penanganan anestesi pada pasien-pasien transeksi non akut dipersulit dengan adanya kemungkina
hiperrefleksia otonomik sebagai akibat dari hiperkalemia. Hiperrefleksia otonom dapat diperkirakan terjadi
pada pasien-pasien dengan lesi diatas T6 dan dapat dipresipitasi dengan tindakan-tindakan pembedahan.
Anestesia secara regional dan anestesi umum dalam merupakan cara yang efektif untuk mencegah terjadinya
hiperrefleksia. Meskipun demikian banyak dokter enggan menggunakan anestesi spinal dan epidural pada
pasien-pasien tersebut karena kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam menentukan kadar anestesi yang
diperlukan, hipotensi yang berat, dan kesulitan teknis akibat dari deformitas yang ada. Hipertensi yang berat
terjadi akibat edema pulmonal, iskemia miokardium ; atau perdarahan serebral dan harus diobati dengan
cepat. Vasodilator arterial kerja langsung dan agen penghambat α-adrenergik harus tersedia dan dengan cepat
diberikan. Walaupun risiko hiperkalemia yang diinduksi penggunaan suksinilkolin menurun dalam waktu 6
bulan setelah cedera, penggunaan NMBA non depolarisasi masih lebih disukai. Pemberian dosis kecil dari
NMBA non depolarisasi tidak dapat mencegah hiperkalemia. Temperatur tubuh harus dipantau dengan baik,
terutama pada pasien-pasien dengan transeksi diatas T1, karena vasodilatasi kronik dan hilangnya reflek
vasokontriksi kutaneus yang normal akan dapat menyebabkan keadaan hipotermia.
Banyak pasien pada akhirnya akan mengalami insufisiensi ginjal yang progresif karena deposisi dari
calculi dan amiloid yang rekuren. Obat-obatan yang diekskresika melalui ginjal harus dihindari
pemakaiannya pada pasien-pasien tersebut (lihat Bab 31).
GANGGUAN PSIKIATRIK
Depresi
Depresi merupakan gangguan mood yang ditandai dengan kesedihan dan rasa pesimisme.
Penyebabnya multifaktorial, tetapi pengobatan farmakologis berdasarkan asumsi bahwa manifestasi penyakit
tersebut disebabkan defisiensi otak atas dopamin, norepinefrin, dan serotonin atau perubahan aktivitas
reseptornya. Hingga 50% pasien-pasien dengan depresi mayor mensekresikan dengan sangat berlebihan
kortisol dan mempunyai sekresi sikardian yang abnormal. Pengobatan farmakologis saat ini menggunakan
tiga kelas terapi obat-obatan yang meningkatkan kadar neurotransmiter di dalam otak ; antidepresan trisiklik,
penghambat monoamin oksidase (MAO), dan antidipresan atipikal. Mekanisme kerja dari obat-obatan
tersebut dapat menghasilkan interaksi anestesi yang serius. Terapi elektrokonvulsif (ECT) lebih sering
digunakan untuk kasus-kasus yang refrakter dan berat dan digunakan untuk profilaksis saat penderita kembali
ke nilai dasarnya. Penggunaan anestesi umum untuk ECT secara umum dapat diterima dengan baik karena
keamanannya.
Antidepresan Trisiklik
Antidepresan trisiklik dapat digunakan untuk pengobatan depresi dan sindroma rasa sakit yang
kronik (lihat bab 18) Tabel 27-3. Semua Antidepresan trisiklik bekerja pada sinaps saraf dengan
menghambat pengambilan kembali dari katekolamin,serotonin, atau keduanya (Lihat tabel 18-8).
Desipramine (Norpramin dan Pertofrane) dan Nortriptyline (Pamelor dan Aventyl) umum digunakan karena
kurang sedasi dan cenderung memiliki sedikit efek samping. Agen lain yang sering bersifat sedasi termasuk
Amitriptyline (Elavil [ditarik dari pasar]), Imipramin (Tofranil dan Janamine), Protryptiline (vivactil),
Amoxapine (Asendin), Doxepin (sinequan dan Adapin), dan trimipramine (Sumontil). Clomipraminez
(Anafranil) digunakan untuk pengobatan obsesif kompulsif disorder. Sebagian besar antidepresan trisiklik
juga bekerja sebagai antikolinergik yang signifikan (antimuskarinik); mulut kering, pandangan kabur,
memperpanjang pengosongan lambung dan retensi urin. Efek seperti Quinidine termasuk takikardi, inverse
13
atau pendataran gelombang T, pemanjangan interval PR,QRS dan QT. Amitriptiline yang paling banyak
berefek antikolinergik, sedangkan Doxepin berefek paling sedikit pada jantung.
St.John Wort makin sering digunakan sebagai terapi melawan depresi yang over (Over the counter),
karena menginduksi enzim hati, jumlah obat lain dalam darah dapat menurun, kadang dengan komplikasi
serius. Selama evaluasi preoperative, penggunaan semua pengobatan over the counter harus dipertimbangkan
kembali.
Obat-obatan anti depresan sering dilanjutkan pada perioperatif. Kebutuhan akan zat anestesi
meningkat diduga karena peningkatan aktivitas katekolamin telah dilaporkan akibat agen ini. Potensiasi
(peningkatan efek) agen antikolinergik sentral (atropine dan skopolamin) dapat meningkatkan kemungkinan
bingung (confuse) dan delirium post operatif. Interaksi yang paling penting antara obat anestesi dan
antidepresan trisiklik adalah respon berlebihan dari kerja vasopressin indirek dan perangsangan simpatis.
Penggunaan Pancuronium, ketamin, meperidine, dan epinefrin yang mengandung larutan anestesi lokal harus
dicegah (khususnya selama anestesi halotan). Pengobatan lama dengan antidepresan trisiklik dilaporkan
mengurangi/menghabiskan katekolamin jantung. Secara teoritis meningkatkan potensi efek menekan jantung
akibat anestesi. Jika hipotensi terjadi dosis kecil vasopressin kerja langsung (direct acting) harus digunakan
dibanding agen kerja tak langsung. Antikolinergik amitriptilin kadang menyebabkan delirium post operatif.
MAO Inhibitor
MAO Inhibitor mungkin lebih efektif bagi pesien dengan depresi pada serangan panik dan
kecemasan yang menonjol. MAO inhbitor ini memblokade deaminasi oksidatif dari amino secara alami.
Setidaknya dua MAO isoenzim (tipe A dan B) dengan selektivitas substrat yang berbeda telah diketahui.
MAO A selektif untuk serotonin, dopamine, dan norepinefrin, sedangkan MAO B selektif pada tiramin dan
feniletilamine. Saat ini agen MAO yang efektif mengobati depresi adalah Non selektif MAO inhibitor.
Termasuk golongan ini adalah phenelzin (Nardil), Isocarboxazid (Marplan) dan tranylcypromine (Parnate).
Selectif MAO inhibitor (lihat diatas) tidak efektif untuk pengobatan depresi. Agen non selektif juga
mempengaruhi banyak enzim selain MAO. Efek samping termasuk hipotensi orthostatic, agitasi, tremor,
kejang, spasme otot, retensi urin, parestesia dan jaundice. Efek hipotensi mungkin berhubungan dengan
akumulasi neurotrasnsmitter yang salah (false neurotransmitter) (Octopamine). Kejadian sekuele yang paling
serius adalah krisis hipertensi yang terjadi setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung tiramin (keju
dan anggur merah).
Pelaksanaan tidak melanjutkan MAO inhibitor setidaknya dua minggu sebelum operasi elektif tidak
lagi direkomendasikan dengan pengecualian pada tranylcipromine, agen ini memproduksi penghambat enzim
yang ireversibel. 2 minggu penundaan ini cukup memberikan peluang regenerasi enzim yang baru. Beberapa
penelitian menunjukkan pasien aman anestesinya, setidaknya untuk ECT tanpa periode menunggu. Phenelzin
dapat menurunkan aktivitas plasma kolinesterase dan memperpanjang durasi suksinil koline. Opioid harus
sering diperhatikan pada pasien yang menerima MAO inhibitor, jarang terjadi namun reaksi serius akibat
opioid telah dilaporkan. Reaksi serius sering berhubungan dengan meperidine, diantaranya hipertermia,
kejang dan koma. Sama halnya dengan trisiklik antidepresan, respon berlebihan vasopresin dan stimulasi
simpatis harus diwaspadai. Jika vasopresin sangat dibutuhkan, agen kerja langsung dengan dosis kecil dapat
digunakan. Obat-obatan yang meningkatkan aktivitas simpatis diantaranya ketamin, pancuroium dan
epinefrin (dalam anestesi lokal) harus dihindari.
Antidepresan Atipikal
Umumnya antidepresan atipikal selektif pada penghambat pengambilan kembali serotonin.
Termasuk didalamnya Fluoxetine (Prozac) yang tersedia dalam sediaan 1 kali perminggu, sertraline (Zoloft)
dan paroxetine (Paxil), dimana beberapa dokter mempertimbangkan sebagai pilihan pertama untuk depresi.
Agen ini memiliki sedikit atau tidak sama sekali aktivitas antikolinergik dan tidak mempengaruhi kondisi
jantung. Efek samping utama adalah sakit kepala, agitasi, dan insomnia. Agen atipikal lain termasuk
didalamnya bupropion (Welbutrin), venlafaxine(Effexor), juga tersedia dalam formula pelepasan panjang
(extended release), trazodone (Desyrel), nefazodone (Serzone), fluvoxamine (Luvox), maprotiline (Ludiomil)
dan mirtazapine (Remeron), tersedia dalam oral disintegrating tablet (Remeron soltab). Maprotiline jarang
digunakan karena meningkatkan insidensi kejang. Bupropion terutama menghambat pengambilan kembali
dopamin. Interaksi obat anestesi dengan antidepresan atipikal kurang dilaporkan.
MANIA/ MANIC
Mania adalah kelainan mood yang ditandai dengtan elasi, hiperaktif, flight of ideas. Episode manik dapat
bergantian dengan depresi pada pasien dengan kelainan bipolar. Mania berhubungan dengan aktivitas
norepinefrin yang berlebihan diotak., Lithium (Eskalith,Lithobia) dan lamotrigine (Lamictal) merupakan obat
14
pilihan untuk mengobati episode akut dan mencegah rekurensinya, sama halnya dengan menekan episode
depresi. Penggunaan lithium bersamaan dengan antipsikotik (haloperidol) atau benzodiazepine (lorazepam)
penting digunakan selama mania akut. Pengobatan alternatif termasuk asam valproat ,carbamazepine dan
aripiprazole ( Abilify) dapat untuk ECT.
Mekanisme kerja lithium sangat sulit dipahami. Litium memiliki dosis terapi yang pendek, dengan
konsentrasi dalam darah yang diharapkan antara 0,8 dan 1,0 mEq/L. Efek samping termasuk perubahan
gelombang T yang reversibel. Leukositisis ringan dan keadaan tertentu hipotiroidisme dan sindrom resistanvasopresin seperti pada Diabetes Insipidus. Konsentrasi toksik dalam darah menyebabkan bingung, sedasi,
kelemahan otot, tremor dan bicara kacau (meracau). Konsentrasi yang tinggi berakibat pada pelebaran
kompleks QRS, blok atrioventrikular, hipotensi dan kejang-kejang.
Meskipun lithium dilaporkan mengurangi konsentrasi alveolar dan memperpanjang durasi beberapa
NMBAs, secara klinis efek ini sedikit, namun fungsi neuromuskular harus dipantau ketat ketika NMBAs
digunakan. Hal yang patut dipikirkan adalah kemungkinan keracunan perioperatif. Blood level harus
diperiksa perioperatif. Deplesi Na menurunkan ekskresi lithium pada ginjal dan menyebabkan keracunan
lithium. Pembatasan cairan dan overdiuresis harus dicegah.
Schizoprenia
Pasien dengan schizoprenia memiliki gangguan pada proses berfikir, withdrawal, delusi paranoid
dan halusinasi dengar. Kelainan ini berhubungan dengan aktivitas dopaminergik yang berlebihan di dalam
otak. Obat antipsikotik dianggap sebagai pengobatan efektif untuk mengendalikan penyakit ini.
Antipsikotik yang sering digunakan adalah phenotiazine, thioxanthen, fenilbutilpiperadine,
dihidroindolones, dibenzapines, benzisoxazoles dan turunan kuinolone. Juga sering digunakan haloperidol
(haldol), chlorpromazine (Thorazines), risperidones (Risperdal), molindone (Moban), clozapine (Clozaril),
fluphenazine (Prolixin), trifluoperazine (Stelazine), thiothixene (Navane), perphenazine
(Trilafon),
aripiprazole (Abilify) dan thioridazine (Melalril). Semua oabat-obatan ini memiliki kandungan yang sama
dengan variasi yang sedikit. Clozapine dapat efektif pada pasien yang tidak dapat diobati dengan obat lain.
Efek antipsikotik pada agen ini timbul akibat aktivitas antagonis dopamine. Paling sering adalah sedasi dan
anxiolitik ringan. Semua berpotensi antiemetik kecuali thiorodazine. (lihat bab 8). Blokade α adrenergik
ringan dan aktivitas antikolinergik dapat ditemui. Efek samping diantaranya hipotensi orthostatik, reaksi
distonia akut, manifestasi seperti parkinsonianisme. Risperidone dan Clozapine berefek sedikit pada aktivitas
extrapiramidal, namun clozapine berhubungan signifikan dengan insidensi granulositopenia. Pendataran
gelombangT , Depresi Segmen ST dan Pemanjangan interval PR dan QT juga ditemukan,khususnya pada
pasien yang mengkonsumsi thioridazine.
Secara umum pasien yang dikendalikan dengan antipsikotik memiliki sedikit masalah. Melanjutkan
pengobatan antipsikotik periopertaif diperbolehkan. Megurangi kebutuhan obat anestesi dapat dilakukan pada
beberapa pasien. Blokade α adrenergik umumnya dapat dikompensasikan. Penggunaan ketamin harus
dicegah karena antipsikotik menurnkan ambang batas kejang.
Neuroleptik Malignant Syndrome
Neuroleptik malignant sindrom merupakan komplikasi yang jarang. Timbul pada pasien dengan
antipsikotik setelah beberapa jam atau minggu setelah obat diberikan. Meperidine dan Metoclopramide dapat
sebagai pencetus sindrom ini. Mekanismenya berhubungan dengan blokade dopamin pada basal ganglia dan
hipothalamus serta gangguan pada termoregulasi. Pada kejadian berat mirip dengan Hipertemi malignant.
Dapat ditemukan Kekakuan otot, hipertermi, rabdomiolisis, ketidakstabilan otonom dan gangguan kesadaran.
Level Kreatinin Kinase dapat tinggi. Angka mortalitas mendekati 20-30 % dengan kematian terjadi akibat
gagal ginjal atau aritmia. Pengobatan dengan dantrolene sangat efektif. Bromocriptine, agonis dopamin juga
efektif. Meskipun biopsi otot umumnya normal, pasien dengan riwayat sindrom neuroleptik malignant harus
diterapi sama halnya dengan pasien yang rentan hipertermi malignant (lihat bab 44)
Penyalahgunaan zat
Gangguan perilaku dari penyalahgunaan substansi psikotropik (mempengaruhi otak) berasal dari
obat-obatan yang beredar luas di masyarakat (alkohol), obat yang diresepkan (cth.diazepam) dan bahan ilegal
(kokain). Faktor lingkungan sosial dan mungkin juga faktor genetik dapat mempengaruhi perilaku tipe ini.
”Kebutuhan” dari bahan tersebut, mulai dari intensitas hasrat ringan sampai kompulsif yang mempengaruhi
hidup pasien. Secara khusus dengan penyalahgunaan yang kronis (lama) , berkembang toleransi obat dan
ketergantungan fisik dan psikis pada pasien tersebut bergantung pada tingkatannya. Ketergantungan fisik
sering ditemukan pada opioid, barbiturat,alkohol dan benzodiazepin. Komplikasi yang mengancam jiwa
terjadi akibat overaktivitas simpatis yang berkembang selama putus obat (withdrawal). Penghentian obat
pada barbiturat berpotensi paling lethal dan berbahaya dibanding gejala withdrawal lainnya.
15
Tabel 27-4 efek akut dan kronis dari berbagai obat yang sering disalahgunakan dengan pemberian anestesi.
Substansi
Opioids
Barbiturat
Alkohol
Marijuana
Benzodiazepines
Amfetamin
Kokain
Fencyilidine
Acute
↓
Kronik
↑
↓
↓
↑
↑
↓
↓
0
↑
↑2
↑2
↓
↓
0
?
1
↓Menurun; ↑,meningkat; 0 tidak berefek; ? tidak diketahui.
Berhubungan dengan stimulasi simpatis
2
Pengetahuan tentang jenis obat yang disalahgunakan pasien preoperatif dapat mencegah efek
samping interaksi obat,memperkirakan toleransi obat anestei, dan mengetahui withdrawal dari obat tersebut.
Riwayat jenis penyalahgunaan obat dapat dengan sukarela diceritakan pasien ( Biasanya pada pertanyaan
langsung) atau pertanyaan yang sifatnya samar. Kecurigaaan yang tinggi pada pasien sering dibutuhkan.
Kecendrungan sociopathic sulit dideteksi selama wawancara singkat. Adanya banyak luka parut berupa titiktitik pada jalur vena permukaan sangat perlu untuk memikirkan penyalahgunaan zat. Beberapa penggunaan
obat suntik relatif tinggi insidensi infeksi kulit,tromboplebitis, malnutrisi, endocarditis, hepatitis B dan C
serta infeksi HIV.
Penggunaan anestesi pada pasien dengan penyalahgunaan obat bervariasi tergantung apakah
penggunaanya akut atau kronik (Lihat tabel 27-4). Prosedur elektif harus ditunda pada pasien intoksikasi akut
dan tanda putus obat. Ketika operasi sepertinya sangat penting pada pasien dengan ketergantungan fisik,
dosis perioperatif dari obat yang disalahgunakan harus disediakan atau obat-obatan khusus dapat diberikan
untuk mencegah withdrawal. Pada kasus ketergantungan opioid, semua opioid dapat digunakan sedangkan
untuk alkohol ,bisanya benzodiazepin digunakan sebagai pengganti. Toleransi dari obat-obatan anestesi
sering ditemukan namun tidak selalu dapat diprediksi. Anestesi regional dapat dipertimbangkan jika
memungkinkan, untuk general anestesia, teknik volatile inhalasi mungkin digemari sehingga kedalaman
anestesi dapat ditentukan menurut kebutuhan individu. Opioid dengan campuran aktivitas agonis-antagonis
harus dicegah pada pasien ketergantungan opioid karena beberapa obat dapat mencetuskan withdrawal akut.
Klonidin berguna sebagai tambahan pada pengobatan sindrom putus obat post operatif.
Diskusi kasus : Anestesia untuk pasien dengan Elektrokonvulsive terapi (ECT)
Seorang laki-laki 64 tahun dengan depresi yang refrakter dijadwalkan untuk Elektrokonvulsif terapi
(ECT)
Bagaimana ECT diberikan?
ECT dilakukan pada satu atau dua hemisfer otak untuk menginduksi kejang, Variabelnya adalah
pola stimulus, amplitudo dan durasi. Tujuannya untuk memproduksi kejang yang terapeutik 30-60 detik
dalam satu durasi. Stimuli listrik biasanya diberikan sampai kejang terapeutik terinduksi. Efek terapi yang
baik dicapai sampai total 400-700 kejang detik telah terinduksi. Karena hanya 1 pengobatan diberikan
perhari, pasien biasanya dijadwalkan diulang 2-3 kali perminggu. Peningkatan kehilangan memori sering
terjadi seiring peningkatan jumlah terapi khusunya ketika elektroda diberikan bilateral.
Kenapa anestesia penting?
Ketika efektivitas ECT telah ditemukan, antusias menurun pada komunitas medis karena obatobatan tidak digunakan untuk mengontrol kejamnya kejang pada prosedur ini. Mengakibatkan insidensi
gangguan muskuloskeletal yang relatif tinggi. Lebih jauh lagi ketika NMBA digunakan tunggal, pasien
terkadang paralisis dan bangun sebelum shock. Penggunaan rutin Anestesi Umum untuk menjamin amnesia
dan blokade neuromuskular untuk mencegah cedera memperbaharui ketertarikan pada ECT. Angka kematian
ECT saat ini diperkirakan 1 kematian per 10.000 pengobatan. Meskipun beberapa psikiater memberikan
16
anestesi, namun kehadiran anestesiologist sangat diperlukan untuk optimalisasi manajemen airway dan
monitoring cardiovaskular.
Apakah Efek Fisiologis dari Kejang Yang Diinduksi ECT?
Kejang berhubungan dengan pelepasan inisasi parasimpatis yang diikuti pelepasan lebih rentan dari
simpatis. Fase inisial dicirikan dengan bradikardi dan peningkatan sekresi. Tanda bradikardi (<30x/menit)
dan kejadian asistol singkat (sampai 6detik) sering ditemukan. Setelah itu Hipertensi dan Bradikardi dapat
bertahan sampai beberapa menit. Ketidakseimbangan autonom yang singkat dapat menyebabkan aritmia dan
abnormalitas gelombang T pada EKG. Cerebral Blood Flow dan ICP,Tekanan intragaster dan tekanan intra
okular semuanya secara singkat meningkat.
Apakah ada Kontraindikasi pada ECT?
Kontraindikasi adalah infark miokard yang baru (biasanya <3 bulan), stroke (<1bulan) dan adanya
massa intrakranial atau peningkatan ICP apapun sebabnya. Kontraindikasi relatif diantaranya angina, gagal
jantung yang tak terkontrol, penyakit paru yang signifikan, patah tulang, osteoporosis berat, hamil,glaukoma
dan ablasio retina.
Apa hal yang penting dipertimbangkan dalam memilih obat anestesi?
Amnesia dibutuhkan hanya untuk periode yang pendek (1-5 menit) dimulai ketika NMBAdiberikan
sampai kejang terapeutik telah berhasil diinduksi. Kejang itu sendiri biasanya hasil periode pendek dari
Amnesia anterograde, somnolen dan bingung. Akibatnya hanya obat induksi yang short acting yang
diperlukan. Lebih jauh lagi, karena kebanyakan agen induksi (barbiturat,etomidqate,benzodiazepine dan
propofol) memiliki efek antikonvulsan, dosis kecil obat tersebut dapat digunakan. Ambang batas kejang
meningkat dan durasi kejang diturunkan dengan obat-obatan ini.
Diikuti preoksigenasi yang cukup,methohexital ,5-1 mg/kg sering digunakan. Propofol 1-1,5 mg/kg
dapat digunakan namun dosis tinggi dapat mengurangi durasi kejang. Benzodiazepin meningkatkan ambang
kejang dan menurunkan durasi, ketamin meningkatkan durasi kejang namun jarang digunakan karena dapat
meningkatkan kejadian terlambat sadar.,mual dan ataxia juga berhubungan dengan halusinasi selama
emergensi. Penggunaan etomidate juga memperpanjang masa recovery. Opioid short acting seperti alfentanil
tidak diberikan tunggal karena tidak konsisten menyebabkan amnesia. Bagaimanapun Alfentanil (10-25
mg/kg) dapat berguna sebagai tambahan ketika dosis sangat kecil methohexital (10-20 mg) diberikan pada
pasien dengan ambang kejang yang tinggi. Dalam dosis yang sangat kecil, metohexital dapat menambah
aktivitas kejang . Peningkatan ambang kejang ini dapat diamati pada subsequent ECT.
Blokade neuromuskular dibutuhkan pada saat stimulasi elektrikal sampai akhir kejang. Obat short
acting seperti succinylcholine (0,25-0,5 mg/kg) sering dipilih. Ventilasi mask terkontrol menggunakan
kantong inflasi sendiri atau sistem sirkulasi anestesi dibutuhkan sampai respirasi spontan didapat.
Bisakah durasi kejang meningkat tanpa peningkatan rangsangan listrik?
Hiperventilasi dapat meningkatkan durasi kejang dan rutin digunakan pada beberapa center. Kafein
Intravena 125-250 mg (diberikan lambat) telah dilaporkan dapat meningkatkan durasi kejang.
Monitoring apa saja selama ECT?
Monitoring harus sama halnya dengan penggunaan anestesi umum. Aktivitas kejang kadang-kadang
dipantau dengan EEG yang tidak diproses. Juga dapat dipantau anggota gerak yang diisolasi. Torniquet
ditingkatkan pada satu lengan sebelum injeksi suksisnil koline, mencegah masuknya NMBA dan
memudahkan pengamatan aktivitas motorik kejang pada lengan tersebut.
Bagaimana efek samping hemodinamik kejang dapat dikendalikan pada pasien dengan
kardiovaskuler yang terbatas.?
Efek parasimpatis yang berlebihan harus diatasi dengan atropin. Kenyataannya,premedikasi dengan
glikopirolat digemari baik untuk mencegah sekresi berlebihan yang berhubungan dengan kejang maupun
mengurangi bradikardi. Nitrogliserin, Nifedipine dan α & β adrenergik bloker telah berhasil digunakan untuk
mengendalikan manifestasi simpatis. Dosis tinggi β adrenergik bloker (Esmolol,200 mg) bagaimanapun telah
dilaporkan mengurangi durasi kejang.
Bagaimana Jika pasien memiliki alat pacu jantung?
Pasien dengan alat pacu jantung aman jika menggunakan ECT, namun magnet harus sipa disediakan
untuk mengubah alat pacu jantung tersebut menjadi mode yang tepat sesuai dengan yang diperlukan.
17
Download