bab ii landasan teori

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Retail
Menurut (Levy & Weitz, 2001) Retailing adalah sekumpulan aktivitas bisnis
yang menambah nilai produk atau jasa, kemudian dijual pada konsumen yang
menggunakan untuk dirinya sendiri atau keluarga.
Perkembangan retailing sekarang ini semakin pesat. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya department store dan hypermarket yang berdiri di kota-kota besar.
Dengan berkembangnya retail, maka menuntut pemasar mengembangkan strateginya
kembali untuk dapat bersaing dalam menarik dan memperahankan konsumen
potensial mereka. Dalam hal ini, ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi
pembelian konsumen terhadap kategori produk dan merek tertentu. Maka tidak
mengherankan, jika kini perkembangan retail store berusaha untuk menarik minat
beli konsumen.
2.1.1 Jenis-Jenis Pengecer
(Kotler, 2003) membagi retail store kedalam beberapa jenis yaitu: Toko
Barang Khusus (speciality store) merupakan lini produk yang sempit dengan ragam
pilihan yang mendalam; departement store merupakan beberapa lini produk dan
setiap lini beroperasi sebagai bagian departemen tersendiri, dikelola oleh pembeli.
8
9
atau pedagang khusus; pasar swalayan (supermarket) merupakan usaha yang
beroperasi dalam ukuran yang relatif besar, biaya yang rendah, margin yang rendah,
volume yang tinggi, dan dirancang untuk melayani sendiri kebutuhan konsumen; toko
kelontong (convinence store) merupakan toko yang relatif kecil, berlokasi di daerah
pemukiman dan memiliki jam buka yang lebih lama yaitu tujuh hari dalam seminggu,
serta menjual lini produk yang terbatas dengan perputaran barang yang tinggi;
pengecer off-price (off-price retailer) merupakan pedagang dengan membeli lebih
sedikit dari harga pedagang besar dan menjual lebih sedikit dari harga eceran; toko
diskon (discount store) dimana menjual barang-barang standar pada harga yang lebih
rendah dengan margin yang lebih rendah dan volume yang lebih tinggi; superstore
rata-rata memiliki ruang penjualan 35.000 kaki persegi, secara tradisional bertujuan
mempertemukan kebutuhan total konsumen untuk pembelian makanan dan bukan
makanan secara rutin dengan diberi tambahan pelayanan; catalog showroom
merupakan barang-barang yang bernilai tinggi, perputarannya cepat, dan barangbarang bermerek dengan harga diskon.
Nike, Inc. adalah salah satu perusahaan sepatu, pakaian dan alat-alat olahraga
Amerika Serikat yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Mereka terkenal
karena mensponsori beberapa olahragawan terkenal di dunia seperti Tiger Woods,
Ronaldo dan Michael Jordan. Selain itu mereka juga memiliki perjanjian dengan
berbagai tim sepak bola dunia. Nike telah beroperasi di Indonesia sejak 1988 dan
hampir sepertiga dari sepatu yang ada sekarang merupakan produk dari sana. Dalam
sebuah wawancara pers di November 1994, koordinator perusahaan Nike di
Indonesia, Tony Band, mengatakan perusahaan yang digunakan di Indonesia
10
berjumlah 11 kontraktor. Di antaranya merupakan bekas-bekas basis perusahaan
asosiasi Nike di Korea Selatan dan Taiwan -yang juga pada saat yang sama
menghasilkan untuk merek lain seperti Reebok, Adidas dan Puma-. Hubungan antara
Nike dan kontraktor di Indonesia cukup dekat. Setiap personil Nike di setiap pabrik di
Indonesia memeriksa kualitas dan pengerjaan yang memenuhi persyaratan ketat Nike.
(http://wapedia.mobi/id/Nike,_Inc.)
Nike yang sekarang mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari pasar
olahraga. Adapun pergerakan segmen yang dilakukan oleh perusahaan sepatu "Nike"
diantaranya: Kesuksesan Nike yang pertama adalah membuat sepatu lari yang hebat
untuk para pelari yang serius. Kemudian beralih pada sepatu untuk bermain bola
basket, tenis, dan sepakbola, selanjutnya Nike beralih lagi pada pembuatan sepatu
aerobik.
Nike akhirnya menyadari bahwa perusahaan dapat melakukan segmentasi
lebih lanjut bagi pasar sepatu bola basket, sepatu untuk pemain-pemain yang agresif,
bagi pemain-pemain yang memiliki lompatan tinggi, dan sebagainya. Nike beralih
pada penjualan pakaian yang digunakan oleh pemain-pemain dari berbagai jenis olah
raga. Berdasarkan penjelasan diatas bahwa saat ini perusahaan Nike sebagai market
leader dari sepatu olahraga dan memperluas produknya pada penjualan baju olah
raga. Tetapi saat ini Nike mempertimbangkan untuk menjual jasa-jasa olahraga
seperti pengelolaan karier atlet serta langkah yang dilakukan oleh Reebok sebagai
pesaing ketat Nike, melakukan resegmentasi pada keseluruhan pasar dengan
memperkenalkan sepatu bergaya untuk pasar pemakai santai yang dapat dikenakan
setiap hari tanpa melakukan kegiatan olahraga. Kini produk-produk Nike tidak hanya
11
sepatu, namun juga merambah ke produk lain seperti seperti jaket, topi, jam tangan,
serta produk olahraga lainnya. Baru-baru ini Nike juga memperkenalkan
pengembangan iPod yang bisa dikombinasikan pada sepatu lari. Dalam sepatu
dipasang chip yang mampu mengirimkan data ke iPod, yang salah satu fungsinya
adalah untuk menghitung jumlah langkah.
Produk kreatif dan inovatif memerlukan strategi pengembangan dan
manajeman yang baik. Hal ini pula yang dilakukan pihak Nike agar selalu eksis
dalam kancah dunia bisnis agar terus menghasilkan produk-produk yang berkualitas
fenomenal seperti rencana Nike di tahun 2011 untuk menjadi perusahaan bebas
karbon.
Di balik kesuksesan, intrik dan konflik selalu membayang, demikian juga
dengan Nike inc seperti yang terjadi di China, Vietnam, Indonesia dan Meksiko. Nike
dikritik karena berusaha menutupi kondisi kerja yang buruk serta eksploitasi buruh.
Nike juga adalah perusahaan besar yang tidak memiliki pabrik. Karena mereka lebih
senang untuk outsourcing kebutuhan-kebutuhan mereka terutama kepada sektor
informal, ataupun perusahaan lainnya, sehingga mengefisienkan dan meminimalisir
ongkos produksi.
Disinilah pembuktian kekuatan merek dagang dan faktor-faktor pendukung
lainnya ikut memegang peranan yang penting. Banyaknya masalah ataupun konflik
yang terpublikasi, tidak akan membuat kosumen beralih ke merek lain. Hal ini karena
ikatan psikologis antara Nike dengan konsumen. Nike mampu menciptakan loyalitas
dengan para konsumen. Keterlibatan mereka dengan produk Nike ini menjadi lebih
totalitas. Konsumen secara emosional sangat terlibat dengan produk tersebut. Karena
12
mereka juga terlibat dalam komunitas, bisa dibayangkan bila kemudian loyalitas
mereka menjadi tinggi. Beralih dari merek Nike, sama saja mereka harus
meninggalkan komunitas mereka.
(http://globalmarketingpost.blogspot.com/2010/05/studi-kasus-nike.html)
2.2 Merek
Merek telah menjadi salah satu elemen penting yang turut memberi
kontribusi terhadap kesuksesan suatu perusahaan. Setiap pemilik merek atau peritel
berharap agar merek mereka bisa menjadi top of mind dalam memori konsumen.
Umumnya merek digunakan oleh konsumen sebagai petunjuk untuk mengevaluasi
kualitas suatu produk, hal ini menjadi suatu hal yang menyebabkan peritel untuk
lebih fokus dalam membangun citra merek yang kuat untuk produk-produk mereka.
Dalam dunia industri, istilah merek menjadi salah satu kata yang populer
dalam kehidupan sehari-hari. Merek sekarang tidak hanya dikaitkan oleh produk
tetapi juga dengan berbagai strategi yang dilakukan oleh perusahaan (Knapp, 2000).
Merek mempunyai makna yang berbeda-beda bagi para produsen. Menurut
Hermawan Kertajaya (dalam Simamora, 2002), perusahaan memiliki cara yang
berbeda-beda dalam memandang merek. Hal itu tergantungan pada tipe pemasaran
yang digunakan oleh perusahaan tersebut. Berikut ini adalah tipe-tipe pemasaran yang
biasa digunakan oleh berbagai perusahaan:
1. No marketing, tipe pemasaran ini dilakukan pada saat perusahaan
memonopoli pasar dan tidak memiliki pesaing. Konsumen pasti mencari
13
produk karena tidak ada pilihan. Dalam hal ini, merek hanya dianggap sekedar
nama.
2. Mass marketing, tipe pemasaran ini dilakukan ketika perusahaan sudah
memiliki pesaing walaupun pesaingnya lemah, untuk itu perusahaan masih
menguasai sebagian besar pasar dengan melakukan pemasaran massal (mass
marketing), dan pada saat ini merek tidak lebih dari sekedar mengenalkan
produk (brand awarness).
3. Segmented marketing, dilakukan pada saat persaingan mulai ketat, oleh karena
itu perusahaan perlu melakukan segmentasi pasar. Dalam tipe pemasaran ini,
perusahaan harus menancapkan citra yang baik tentang mereknya, karena itu
merek diperlukan sebagai jangkar asosiasi (brand association).
4. Niche marketing, ketika persaingan bertambah ketat lagi, perusahaan tidak
bisa hanya mengandalkan segmen, melainkan ceruk pasar (niche marketing)
yang ukurannya lebih kecil tetapi memiliki perilaku khas. Oleh karena itu,
perusahaan perlu menciptakan kesan bahwa mereknya berkualitas, karena itu
merek adalah persepsi kualitas (perceived quality).
5. Individualized marketing, ketika sudah mencapai puncak persaingan, bagi
perusahaan merek berkaitan dengan loyalitas (brand loyalty). Dalam puncak
persaingan tentunya jumlah pesaing sangat banyak dengan berbagai strategi
yang digunakan dan konsumen tidak mau hanya sekedar dipandang sebagai
pembeli saja, karena itu perusahaan harus menjalin kemitraan dengan
konsumen melalui individualized marketing.
14
2.3 Citra Merek
Citra merek merupakan serangkaian asosiasi yang ada dalam benak konsumen
terhadap suatu merek, biasanya terorganisasi menjadi suatu makna. Hubungan
terhadap suatu merek akan semakin kuat jika didasarkan pada pengalaman dan
mendapat banyak informasi. Citra atau asosiasi merepresentasikan persepsi yang bisa
merefleksikan keyataan yang objektif ataupun tidak. Citra yang terbentuk dari
asosiasi inilah yang mendasari dari keputusan membeli bahkan loyalitas merek dari
konsumen. Konsumen lebih sering membeli produk dengan merek yang terkenal
karena merasa lebih nyaman dengan hal-hal yang sudah dikenal, adanya asumsi
bahwa merek terkenal lebih dapat diandalkan, selalu tersedia dan mudah dicari, dan
memiliki kualitas yang tidak diragukan, sehingga merek yang lebih dikenal lebih
sering dipilih konsumen daripada merek yang tidak. (Aaker, 1991, p.99-100).
Hasil penelitian (Martin, 1998, Syrgy, 1990, Syrgy, 1992) menemukan bahwa
serangkaian perasaan, ide, dan sikap yang dimiliki konsumen terhadap suatu merek
merupakan aspek penting dalam perilaku pembelian. Citra merek didefinisikan
sebagai sekumpulan atribut spesifik yang berelasi dengan produk, merek, dan
konsumen pengetahuan, perasaan, dan sikap terhadap merek yang disimpan individu
di dalam memori. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai simbol,
merek sangat mempengaruhi status dan harga diri konsumen. Penelitian-penelitian ini
juga menyebutkan bahwa suatu merek lebih mungkin dibeli dan dikonsumsi jika
konsumen mengenali hubungan simbolis yang sama antara citra merek dengan citra
15
diri konsumen baik citra diri ideal maupun citra diri aktual. (Arnould, Price &
Zinkan, 2005, h.120-122).
2.3.1 Faktor-Faktor yang membentuk Citra merek
(Glen, 1974) mengemukakan pentingnya faktor lingkungan dan personal
sebagai awal terbentuknya suatu citra merek, karena faktor lingkungan dan personal
mempengaruhi persepsi seseorang. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
adalah; atribut-atribut tekhnis yang ada pada suatu produk dimana faktor ini dapat
dikontrol oleh produsen, selain itu juga, sosial budaya termasuk dalam faktor ini.
Faktor personal adalah; kesiapan mental konsumen untuk melakukan proses persepsi,
pengalaman konsumen sendiri, mood, kebutuhan serta motivasi konsumen. Citra
merupakan produk akhir dari sikap awal dan pengetahuan yang terbentuk lewat
proses pengulangan yang dinamis karena pengalaman. (Arnould, Price & Zinkan,
2005).
Menurut (Runyon, 1980), citra merek terbentuk dari stimulus tertentu yang
ditampilkan oleh produk tersebut, yang menimbulkan respon tertentu pada diri
konsumen.
1. Stimulus yang muncul dalam citra merek tidak hanya terbatas pada stimulus
yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup stimulus yang bersifat psikologis.
Ada tiga sifat stimulus yang dapat membentuk citra merek yaitu stimulus
yang bersifat fisik, seperti atribut-atribut teknis dari produk tertentu; stimulus
16
yang bersifat psikologis, seperti nama merek; stimulus yang mencakup sifat
keduanya, seperti kemasan produk atau iklan produk.
2. Datangnya stimulus menimbulkan respon dari konsumen. Ada dua respon
yang mempengaruhi pikiran seseorang, yang membentuk citra merek yaitu
respon rasional, penilaian mengenai performa aktual dari merek yang
dikaitkan dengan harga pokok tersebut, dan respon emosional kecenderungan
perasaan yang timbul dari merek tersebut.
Menurut (Timmerman, 1999), citra merek sering terkonseptualisasi sebagai
sebuah koleksi dari semua asosiasi yang berhubungan dengan sebuah merek.
Citra merek terdiri dari:
1. Faktor fisik : karakteristik fisik dari merek tersebut, seperti desain
kemasan, logo, nama merek, fungsi dan kegunaan produk dari merek
itu;
2. Faktor psikologis : dibentuk oleh emosi, kepercayaan, nilai,
kepribadian yang dianggap oleh konsumen menggambarkan produk
dari merek tersebut.
Citra merek sangat erat kaitannya dengan apa yang orang pikirkan, rasakan
terhadap sesuatu merek tertentu sehingga dalam citra merek faktor psikologis lebih
banyak berperan dibandingkan faktor fisik dari merek tersebut.
17
2.3.2 Komponen Citra Merek
Menurut (Hogan, 2005) citra merek merupakan asosiasi dari semua informasi
yang tersedia mengenai produk, jasa dan perusahaan dari merek yang dimaksud.
Informasi ini didapat dari dua cara, yang pertama melalui pengalaman konsumen
secara langsung, yang terdiri dari kepuasan fungsional dan kepuasan emosional.
Kedua, persepsi yang dibentuk oleh perusahaan dari merek tersebut melalui berbagai
macam bentuk komunikasi, seperti iklan, promosi, hubungan masyarakat, logo,
fasilitas retail, sikap karyawan dalam melayani penjualan, dan performa pelayanan.
Citra pada suatu merek merefleksikan image dari perspektif konsumen dan
melihat janji yang dibuat merek tersebut pada konsumennya. Citra merek terdiri atas
asosiasi konsumen pada kelebihan produk dan karakteristik personal yang dilihat oleh
konsumen pada merek tersebut. Menurut (Davis, 2000), citra merek memiliki dua
komponen, yaitu:
1. Brand Associations (Asosiasi Merek)
Asosiasi terhadap karakteristik produk atau jasa yang dilekatkan oleh
konsumen pada merek tersebut, termasuk persepsi konsumen mengenai janjijanji yang dibuat oleh merek tersebut, positif maupun negatif, dan harapan
mengenai usaha-usaha untuk mempertahankan kepuasan konsumen dari
merek tersebut. Suatu merek memiliki akar yang kuat, ketika merek tersebut
diasosiasikan dengan nilai-nilai yang mewakili atau yang diinginkan oleh
konsumen. Asosiasi merek membantu pemasar mengerti kelebihan dari merek
yang tersampaikan pada konsumen.
18
2. Brand Personal/ Personality (Persona/Kepribadian Merek)
Merupakan
serangkaian karakteristik
manusia
yang
oleh
konsumen
diasosiasikan dengan merek tersebut, seperti, kepribadian, penampilan, nilainilai, kesukaan, gender, ukuran, bentuk, etnis, inteligensi, kelas sosioekonomi,
dan pendidikan. Hal ini
membuat
merek seakan-akan hidup dan
mempermudah konsumen mendeskripsikannya, serta faktor penentu apakah
konsumen ingin diasosiasikan dengan merek tersebut atau tidak. Persona
merek membantu pemasar lebih mengerti kelebihan dan kekurangan merek
tersebut dan cara memposisikan merek secara tepat.
2.4 Karakteristik Produk
Menurut (kotler, 1997), produk adalah segala sesuatu tang dapat ditawarkan
ke suatu pasar unuk memenuhi keinginan atau kebutuhan. Produk-produk yang
dipasarkan meliputi barang fisik, jasa, orang, tempat, organisasi dan gagasan.
Sedangkan menurut (Ryerson, 2009) karakteristik suatu produk merupakan modal
atau atribut penting, sejauh produk tersebut mampu memberikan keuntungan untuk
memenuhi tujuan yang lebih besar. Dalam industri fashion, tiap produsen berlombalomba untuk menciptakan produk dan model baru yang bertujuan untuk mendapatkan
pangsa pasar yang lebih. Perusahaan yang dapat menciptakan suatu produk yang
memiliki kelebihan dalam tiap karakteristik produknya, tentunya memiliki nilai
tambah yang menjadi suatu kelebihan di dalam perusahaan tersebut, sehingga dapat
meningkatkan target konsumennya.
19
Menurut (kotler, 1997), pemasar biasanya mengklasifikasikan produk
berdasarkan macam-macam karakteristik produk, yaitu (1) daya tahan dan wujud.
Produk dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok menurut daya tahan dan
wujudnya (a) barang yang terpakai habis (nondurable goods) adalah barang berwujud
yang biasanya dikonsumsi dalam satu atau beberapa kali penggunaan (b) barang
tahan lama (durable goods) adalah barang berwujud yang biasanya dapat digunakan
banyak kali. (2) klasifikasi barang konsumen. Konsumen membeli sangat banyak
macam barang. Barang-barang ini dapat diklasifikasikan berdasarkan kebiasaan
berbelanja konsumen, yaitu (a) convenience goods adalah barang-barang yang
biasanya sering dibeli konsumen, segera dan dengan usaha minimum. Convenience
goods dapat dibagi lagi menjadi tiga, yaitu (1) staples adalah barang yang dibeli
konsumensecara teratur. (2) impulse goods dibeli berdasarkan keinginan perencanaan
atau usaha karena para pembeli mungkin tidak berfikir untuk membeli sampai mereka
melihatnya. (3) emergency goods dibeli saat kebutuhan itu mendesak. (b) shopping
goods adalah barang-barang yang karakteristiknya berdasarkan kesesuaian, kualitas,
harga dan gaya dalam proses pemilihan dan pemelinya. Shopping goods dibagi
menjadi dua, yaitu (1) homogenous shopping goods adalah barang-barang yang
serupa kualitasnya tetapi cukup beda harganya perbandingan belanja. (2)
heterogenous shopping goods adalah barang-barang keistimewaan produk sering
lebih penting bagi konsumen daripada harganya. (c) unsought goods adalah barangbarang yang tidak diketahui konsumen atau diketahui namun secara normal
konsumen tidak beerfikir untuk membelinya. (3) klasifikasi barang industri. Barang
industri dapat diklasifikasikan berdasarkan cara mereka memasuki proses produksi
20
dan harga relatifnya. Dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu (a). Bahan baku
dan suku cadang adalah barang-barang yang sepenuhnya masuk ke produk. (b)
barang modal adalah barang-barang tahan lama yang memudahkan pengemangan
dan/atau pengelolaan produk akhir. (c) perlengkapan dan jasa adalah barang atau jasa
tidak tahan lama yang membantu pengembangan dan/atau pengelolaan produk akhir.
2.5 Lingkungan Toko
Menurut (Hatane, 2005), lingkungan toko merupakan salah satu faktor yang
sangat penting dalam usaha retail, khususnya yang bergerak dibidang fashion.
Dengan adanya elemen-elemen lingkungan toko yang mendukung dan menarik, maka
dapat menimbulkan keinginan didalam diri konsumen untuk tertarik membeli produk
yang ada di dalam toko retail tersebut. Sehingga secara tidak langsung dapat
meningkatkan target penjualan toko retail tersebut.
Lingkungan mengacu pada semua karakteristik fisik dan sosial konsumen,
termasuk objek fisik (produk dan toko), hubungan ruang (lokasi toko dan produk
dalam toko), dan prilaku sosial dari orang lain (siapa saja yang di sekitar dan apa saja
yang mereka lakukan). Menurut (Paul dan Jerry, 2002), lingkungan terdiri dari dua
macam, yaitu: lingkungan makro, termasuk skala besar, faktor-faktor lingkungan luar
seperti iklim, kondisi ekonomi, sistem politik, dan kondisi alam. Faktor-faktor
lingkungan makro ini mempunyai pengaruh hukum atas prilaku, seperti ketika
keadaan ekonomi mempengaruhi jumlah beanja rumah tangga, mobil dan barang.
Lingkungan mikro berhubungan dengan aspek nyata fisik dan sosial lingkungan
21
seseorang, seperti lantai yang kotor, karyawan toko yang cerewet, cuacana panas,
atau anggota keluarga atau rumah tangga. Faktor skala kecil dapat berpengaruh
langsung pada prilaku spesifik konsumen, pendapat, dan perasaan. Seperti orang lebih
memilih tidak untuk berlama-lama dalam keadaan kotor, di dalam toko yang ramai;
konsumen harus menunggu sampai sore untuk belanja selama cuaca panas, dan
merasa marah dalam antrian yang panjang dan lama ketika anda ingin pulang.
Menurut (Peter dan Olsen, 2002), membagi lingkungan menjadi 2 (dua) aspek dan
dimensi yaitu: aspek lingkungan sosial, termasuk semua interaksi sosial diantara dan
di sekitar orang lain, secara langsung ataupun secara tidak langsung, dan aspek
lingkungan fisik termasuk semua yang bukan manusia, yang dapat dibagi menjadi
element yang mempunyai ruang atau tidak mempunyai ruang. Element yang
mempunyai ruang meliputi objek fisik dari semua jenis (termasuk produk dan merek)
seperti negara, kota, toko, dan dalam desain interior. Element tidak mempunyai ruang
meliputi faktor tidak nyata seperti temperatur, kelembaban, penerangan, tingkat
kebisingan, dan waktu.
2.6 Country Of Origin
Dalam pasar global yang semakin terhubung serta sangat kompetitif,
pemerintah dan pemasar sangat memperhatikan bagaimana sikap dan kepercayaan
mengenai negara mereka mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen dan
bisnis. Country of origin adalah tempat dimana suatu produk di produksi. Efek dari
country of origin di negara maju cenderung lebih kecil (Elliot dan Comoron, 1994).
22
Di negara maju, masyarakat cenderung lebih tertarik untuk membeli produk lokal
daripada produk import, karena mereka mengetahui kualitas produknya. Sedangkan
negara berkembang memiliki dampak country of origin lebih besar. Masyarakat
negara berkembang lebih menyukai merek luar negeri karena percaya memiliki
kualitas yang tinggi.
Dalam beberapa penelitian (Ahmed dan d’Astous: 2004; Kaynak dan Kara,
2002; Hyder, 2000) disepakati bahwa konsumen mempunyai persepsi tertentu
mengenai lokasi atau negara tempat suatu produk dihasilkan. Ketika konsumen hanya
mempunyai informasi lokasi suatu produk dihasilkan, maka dalam pengambilan
keputusan pembelian akan dipengaruhi oleh persepsi konsumen akan negara tersebut.
Efek dari country of origin sering dijelaskan dalam tingkat pembangunan
ekonomi negara asal (Cordell, 1991, 1992; Gaedeke, 1973; Schooler, 1971; schooler
& wildt, 1968; tse & gorn, 1993; wang & lamb, 1983). Penelitian mengusulkan efek
hierarki berdasarkan tingkat pembangunan ekonomi, yang menunjukkan bahwa
evaluasi produk tertinggi cenderung kepada negara dengan tingkat pembangunan
yang tinggi, diikuti oleh negara-negara industri baru, dan terendah untuk Eropa
Timur/ negara-negara sosialis dan negara-negara berkembang.
Dari suatu segi pandang konseptual, country of origin membangun
pendekatan literatur pada dua tingkat yang berbeda: (1) mewakili gambaran suatu
negara, (2) mewakili gambaran suatu produk; sebagian besar country of origin
mewakili gambaran suatu produk, dan, seringkali ukuran gambar produk dengan
suatu negara membingungkan. Seringkali country of origin mempunyai arti yang
mirip dengan pengaruh lingkungan, persepsi negeri, stereotypical kepercayaan, sikap
23
negri umum, dan negeri evaluasi. Kondisi yang sama berlaku juga untuk product
image yang mana sering dikenal sebagai produk kepercayaan, country of origin
kepercayaan, gambaran merek, sikap produk, produk country of origin, produk
persepsi, evaluasi produk, mutu produk, negeri mempengaruhi dan bahkan ‘country
image”.
2.6.1 Persepsi Konsumen tentang Country Of Origin
Menurut (Kotler, 2008) Pemasar global tahu bahwa pembeli mempunyai sikap
dan kepercayaan berbeda tentang merek dan produk dari berbagai negara. Persepsi
negara asal ini dapat mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen secara
langsung dan tidak langsung. Persepsi bisa dimasukkan sebagai atribut daam
pengambilan keputusan atau memengaruhi atribut lain dalam proses (“ jika produk
merupakan produk dari Prancis, produk itu pasti penuh gaya “). Fakta bahwa merek
dianggap berhasil di pangung global dapat meningkatkan kredibilitas dan rasa
hormat. Beberapa studi menemukan hal sebagai berikut:
1. Orang sering bersifat etnosentris dan lebih suka menggunakan produk dalam
negeri mereka sendiri, kecuali mereka berasal dari negara yang kurang maju.
2. Semakin bagus citra negara, semakin penting lable “Made in...” harus
ditampilkan.
3. Dampak asal negara bervariasi dengan jenis produk. Konsumen ingin tahu di
mana sebuah mobil dibuat, tetapi tidak untuk minyak pelumasnya.
24
4. Negara tertentu menikmati reputasi atas barang tertentu: Jepang untuk mobil
dan elektronik konsumen; Amerika Serikat untuk inovasi teknologi tinggi,
minuman ringan, mainan dan barang mewah.
5. Kadang-kadang persepsi negara asal dapat meliputi seluruh produk negara
tersebut. Dalam salah satu studi, konsumen Cina di Hong Kong menganggap
produk AS sebagai produk yang bergengsi, produk Jepang sebagai produk
yang inovatif, dan produk Cina sebagai produk yang murah.
Pemasar harus melihat persepsi negara asal dari perspektif domestik dan asing. Di
pasar domestik, persepsi ini dapat menggugah rasa patriotisme atau mengingatkan
konsumen akan masa lalu mereka. Ketika perdagangan International tumbuh,
konsumen dapat memandang merek tertentu sebagai sesuatu yang penting secara
simbolis dalam warisan budaya dan identitas mereka.
Menurut (Kaynak dan Hyder, 2000), terdapat empat pendekatan dalam
county-of-origin. Keempat pendekatan tersebut adalah, single cue studies, multi-cue
studies, conjoint analysis dan environmental analysis. Pada pendekatan yang pertama,
dalam melakukan evaluasi produk konsumen menggunakan dasar baik intrinsik
maupun ekstrinsik. Seperti misalnya penggunaan county of origin sebagai single cue
dalam riset mengenai produk tertentu. Konsumen memandang produk-produk
tersebut sangat erat dengan negara tertentu, misalnya produk anggur dari Prancis.
Pada pendekatan kedua, selain county of origin digunakan sebagai faktor dalam
evaluasi produk, terdapat faktor-faktor lain yang diteliti seperti misalnya harga,
merek dan sebagainya.
25
Diyakini bahwa dua pendekatan tersebut masih mempunyai kelemahan, maka
didesainlah pendekatan ketiga untuk mengakomodasi kelemahan dua pendekatan
terdahulu. Pada conjoint analysis ini peneliti dimungkinkan untuk mengukur seberapa
besar nilai konsumen terhadap atribut-atribut produk. Secara lebih jelas, peneliti bisa
melihat alasan dibalik keputusan konsumen dalam memilih produk asing versus
produk domestik. Pada pendekatan terakhir, environmental analysis, faktor-faktor
lingkungan dimasukkan. Studi tentang faktor-faktor lingkungan terkait dengan
kondisi sosio ekonomi dan teknologi negara suplier. Perlu dipahami bagaimana
berbagai faktor lingkungan akan mempengaruhi persepsi konsumen mengenai produk
dan merek asing maupun domestik.
2.7 Kepuasan Pelanggan
Menurut Hatane Samuel dan (Foedjiawati, 2005) Kunci keberhasilan
perusahaan yang berada dalam industri yang tingkat persaingan dan perubahan
lingkungan yang tinggi terletak pada seberapa jauh perusahaan tersebut dapat
memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Konsumen yang puas terhadap
merek atau produk tertentu cenderung untuk membeli kembali merek atau produk
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan konsumen merupakan faktor kunci
bagi konsumen dalam melakukan pembelian ulang. Sementara pembelian yang
dilakukan berulang-ulang merupakan faktor terbesar dalam peningkatan volume
penjualan di dalam perusahaan tersebut. Selanjutnya konsumen yang puas tersebut
sangat dimungkinkan untuk mempengaruhi lingkungannya untuk mengkonsumsi
26
merek atau produk yang telah mereka anggap memberikan rasa kepuasan akan merek
dan produk tersebut. Keadaan ini akan sangat membantu perusahaan dalam
mempromosikan produknya. Dari penjelasan di atas nampak jelas bahwa kepuasan
konsumen merupakan faktor yang penting bagi kelangsungan hidup perusahaan untuk
bertahan dalam persaingan di indusrti, khususnya industri fashion.
Selanjutnya menurut Singgih (Santoso, 2009), Untuk dapat memuaskan
konsumennya, perusahaan dapat mulai dari mencari tahu kebutuhan dan keinginan itu
sendiri. Atau dengan kata lain perusahaan haru dapat mengetahui motif konsumen
dalam membeli suatu produk. Apakah konsumen membeli produk untuk memperoleh
manfaat inti dari produk atau merek tersebut, atau mereka mereka membeli produk
tersebut akan memperoleh tambahan manfaat dari produk yang dibelinya.
Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi pelanggan menyangkut produk atau
jasa dalam kaitannya apakah produk atau jasa tersebut sudah sesuai dengan
kebutuhan dan harapannya (Zeithaml & Bitner, 2000). Kegagalan dari sebuah produk
atau jasa dalam memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen diasumsikan dapat
mengakibatkan dissatisfaction. Kepuasan pelanggan akan dipengaruhi oleh fitur
produk atau jasa yang spesifik dan persepsi mutu. Kepuasan juga akan dipengaruhi
oleh tanggapan-tanggapan pelanggan secara emosional, kedudukan kelas sosialnya,
dan persepsi mereka (Zeithaml & Bitner, 2000).
Kepuasan pelanggan timbul dari adanya respon emosional terhadap produk
yang digunakan, khususnya ketika mereka membandingkan kinerja yang ia rasakan
dibandingkan dengan harapannya, yang prosesnya dapat dilihat pada gamar berikut:
27
Gambar 2.1. Model Kepuasan – Ketidakpuasan Pelanggan
Sumber: (Hasan, 2008)
Indikator dari sebuah produk adalah paket nilai (value package) yang dapat
dideteksi dari perasaan subyektif pelanggan atau calon pelanggan. Oleh karena itu,
perusahaan yang sukses adalah apabila mampu menciptakan dan menghaantarkan
paket nilai produk yang dapat dinikmati pelanggan sebagai sesuatu yang unggul
dibanding pesaing. Kepuasan pelanggan dibentuk oleh harapan dan persepsi
28
pelanggan terhadap sebuah produk yang memiliki nilai unggul. Kepuasan pelanggan
merupakan fungsi dasar dari sejumlah value produk yang dipersepsikan oleh
pelanggan sebelum menggunakannya. (Lesmana, 2009).
2.8 Loyalitas Pelanggan
(Oliver, 1999) mendefinisikan loyalitas konsumen adalah suatu keyakinan
yang teguh dan tidak berubah dari konsumen kepada perusahaan, dimana konsumen
memiliki suatu komitmen untuk melakukan pembelian ulang di masa mendatang
secara konsisten, dan akibat dari komitmen ini terjadi pembelian merek atau
sekelompok merek yang sama, meskipun pengaruh situasi dan usaha pemasaran
mempunyai potensi yang dapat menyebabkan konsumen beralih kepada produk lain.
Sedangkan secara praktis, loyalitas dapat didefinisikan (Griffin, 2005) sebagai
perilaku pembelian non-random yang diungkapkan oleh waktu ke waktu oleh
beberapa unit pengambilan keputusan. Kata non-random berarti konsumen memiliki
prasangka spesifik mengenai apa yang akan dibeli dan dari siapa. Atau dengan kata
lain pembelian yang terjadi bukan merupakan peristiwa acak.
2.8.1 Fase-Fase Loyalitas
Menurut (Oliver, 1999), loyalitas akan melalui fase-fase loyalitas sebagai
berikut: (1) cognitive loyalty, (2) affactive loyalty, (3) conative loyalty dan (4) action
loyalty.
29
1. Cognitive loyalty
Adalah tahap pertama dalam fase loyalitas. Pada tahap ini tersedianya
informasi
mengenai
atribut-atribut
produk
bagi
konsumen
mengidentifikasikan bahwa merek tersebut menjadi salah satu preferensi dari
alternatif merek yang ada. Loyalitas pada tahap ini diarahkan langsung kepada
produk karena informasi ini (tingkat performance attribut merk)
2. Affective loyalty
Pada tahap ini konsumen sudah menyenangi (liking) sebagai satu sikap
kumulatif kepuasan menggunakan produk dalam beberapa transaksi. Pada
tahap ini komitmen dirujuk sebagai affective loyalty dan disimpan dalam
pikiran konsumen sebagai kognitif dan affective.
3. Conative loyalty
Tahap selanjutnya dari loyalitas adalah conative (behavioral intention)
yang dipengaruhi oleh pengalaman positif konsumen dalam menggunakan
produk. Namun dalam tahap ini konsumen masih dalam tahap menginginkan
untuk membeli kembali, keinginan ini dapat saja merupakan suatu antisipasi
namun belum tentu terealisasi secara aksi.
4. Action loyalty
Pada tahap ini minat-minat tersebut diterjemahkan dalam suatu aksi.
Dalam tahap ini konsumen mempunyai suatu keinginan untuk mengatasi
hambatan-hambatan yang mungkin menghalangi niatnya untuk membeli
kembali.
30
Selain memiliki kolerasi langsung dengan tingkat laba suatu perusahaan
(Griffin, 2005), loyalitas konsumen juga memberikan keuntungan-keuntungan
sebagai berikut: (1) tingkat sensitifitas harga dari konsumen akan lebih rendah, (2)
mengurangi biaya dalam mendapatkan konsumen baru, (3) meningkatkan tingkat
keuntungan perusahaan.
Dari sisi praktisnya, (Griffin, 2005) mengatakan bahwa konsumen yang loyal
akan memberikan keuntungan sebagai berikut bagi perusahaan: (1) meningkatkan
keuntungan perusahaan, (2) mengurangi biaya transaksi, seperti biaya negosiasi
kontrak dan proses order, (3) mengurangi biaya perputaran konsumen karena jumlah
pelanggan yang hilang berkurang, (4) meningkatkan penjualan cross-selling sehingga
pangsa pelanggan juga menjadi meningkat, (5) mendapatkan word of mouth yang
positif, (6) mengurangi biaya kegagalan.
2.9 Model konseptual dan Hipotesis
2.9.1 Mode Konseptual
Penelitian ini akan menganalisis tentang sejauh mana citra merek (brand
image), karakteristik produk, store environment dan country of origin mempengaruhi
kepuasan pelanggan dan loyalitas.
31
Gambar 2.2. Model Konseptual
2.9.2 Hipotesis
Loyalitas konsumen terhadap suatu produk dapat terbentuk setelah individuindividu konsumen menerima dan merasakan adanya kepuasan akan produk tersebut.
Dan kepuasan konsumen tersebut dapat terbentuk dengan adanya beberapa faktor
yang mempengaruhi, antara lain: citra merek, karakteristik produk, store
environment, dan country of origin. Dalam merumuskan hubungan antara faktorfaktor tersebut, dapat dilihat melalui penjelasan dibawah ini:
32
Citra perusahaan atau toko dalam pandangan perusahaan sebagai sebuah
merek biasanya diukur dari persepsi konsumen mengenai kinerja toko atau
perusahaan bersangkutan. Hal ini menjadi dasar pemikiran yang menyangkut
keanekaragaman dari persepsi nilai. Misalnya, pelanggan nampaknya akan lebih
terpuaskan dengan tawaran yang menyediakan apa yang diperlukan konsumen,
inginkan, maupun keinginan meningkatkan sehubungan dengan biaya yang
dikeluarkan (Johnson, 1998; Szymanski & Henard, 2001). Citra (image) toko atau
perusahaan dapat didefinisikan sebagai cara dimana konsumen memandang toko atau
perusahaan.
Dalam jurnal tersebut ditemukan bahwa yang terpenting untuk kepuasan
pelanggan adalah toko sebagai sebuah merek. Pengecer harus ahli dalam penjualan
eceran. Pelanggan terpuaskan ketika toko rapi dan menyenangkan serta ketika mereka
merasakan bahwa toko memahami kebutuhan mereka. Hanya dengan segmen
pelanggan tertentu tertarik akan merek toko. Pelanggan terpuaskan menjadi setia.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:
Hipotesis 1: Citra Merek memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan.
Karakteristik produk yang menarik dan melekat dalam suatu merek tertentu,
merupakan salah satu faktor penting dalam memicu minat konsumen untuk membeli
produk tersebut. Kualitas yang bagus didalam produk tersebut, juga memicu perilaku
konsumen untuk membeli secara terus-menerus pada merek tertentu, khususnya di
dalam industri fashion. Dalam industri fashion, karaktersistik suatu produk
33
merupakan faktor terpenting dalam andil kosumen untuk membeli barang tersebut,
dan karakteristik produk juga akan terus melekat dalam merek tersebut.
Di dalam jurnal (Asmani, 2005), menjelaskan bahwa perusahaan harus
mampu merebut hati pasar sasarannya untuk mencapai volume penjualan tertentu
agar tetap bertahan atau mengembangkan usahanya dalam industri yang sudah
dipilihnya. Dalam kondisi seperti ini kepuasan konsumen mempunyai peranan yang
cukup penting bagi perusahaan. Karena secanggih atau sebagus produk yang
dihasilkan oleh perusahaan, jika konsumen tidak menyukainya, baik karena terlalu
mahal atau terlalu rumit dalam penggunaannya, maka produk tersebut tidak ada
artinya. Pada kenyataan lain mungkin saja konsumen enggan membeli merek tertentu
karena produknya kurang berkualitas, tetapi mungkin mereka pernah dikecewakan
dalam pelayanan pada saat atau pasca pembelian. Fenomena ini menunjukkan bahwa
untuk memuaskan konsumen bukan merupakan suatu permasalahan yang sederhana
tetapi merupakan permasalahan yang komplek yang saling terkait. Berdasarkan
asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut:
Hipotesis 2: Karakteristik Produk memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan
pelanggan.
Dilihat dari jenis retail, produk yang dijual dan merek tertentu, maka
lingkungan dimana toko tersebut berada sangatlah penting. Keputusan pembelian
yang dilakukan belum tentu direncanakan, terdapat pembelian yang tidak
direncanakan akibat adanya rangsangan lingkungan belanja. Implikasi dari
lingkungan belanja terhadap perilaku pembelian mendukung asumsi bahwa jasa
34
layanan fisik menyediakan lingkungan yang mempengaruhi perilaku konsumen,
dihubungkan dengan karakteristik lingkungan konsumsi fisik (Bitner, Booms dan
Tetreault, 1990; Cole dan Gaeth, 1990). Secara spesifik, dokumentasi mengenai
suasanan sebuah lingkungan belanja serta lingkungan retail dapat mengubah emosi
konsumen (Donovan dan Rossiter, 1992). Perubahan emosi mengubah suasana hati
konsumen yang mempengaruhi keduanya, yaitu perilaku pembelian dan evaluasi
adanya emosional yang menyebabkan ternjadinya kepuasan yang timbul di dalam diri
konsumen. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai
berikut:
Hipotesis 3: Store Environment memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan
pelanggan.
Telah diketahui bahwa lokasi dimana produk dihasilkan akan mempengaruhi
niat beli maupun keputusan pembelian oleh konsumen. Suatu Negara akan
dipersepsikan mempunyai reputasi yang ekslusif atas suatu produk tertentu. Namun
demikian country of origin merupakan salah satu penentu keputusan pembelian oleh
konsumen. Menurut (Lin dan Kao, 2004), country of origin akan menciptakan suatu
persepsi tertentu akan suatu merek atau produk, dimana persepsi bisa positif maupun
negatif. Pada level berikutnya persepsi positif akan mendorong terciptanya kepuasan
di dalam diri konsumen. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya
adalah sebagai berikut:
Hipotesis 4: Country Of Origin memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan
pelanggan.
35
Dijelaskan bahwa kepuasan pelanggan merupakan awal yang diperlukan
dalam pembentukan loyalitas pelanggan (Fitzel 1998; Fornell 1992), selanjutnya
(Faullant, 2008) menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah faktor penentu
utama dari loyalitas konsumen. Hal ini didasari oleh penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh (Mittal & Kamakura, 2001; Reicheld & Sasser, 1990; serta Zeithaml
1996), yang menunjukkan asosiasi yang positif antara kepuasan dan pembelian
kembali. Efek positif dari kepuasan terhadap loyalitas direfleksikan pada intensitas
konsumen melakukan pembelian kembali dari produk maupun jasa dan dia bersedia
untuk merekomendasikannya kepada orang lain. Sebagai konsekuensinya perusahaan
harus dapat memantapkan dasar konsumen yang stabil yang dengan demikian dapat
mengurangi akuisisi dan biaya transaksi serta menekan pengurangan pendapatan.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut:
Hipotesis 5: kepuasan pelanggan memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas.
Dukungan empiris dalam hubungan antara merek perusahaan denga loyalitas
pelanggan sangat langka, namun demikian ada beberapa hasil penelitian yang
diangkat oleh (Anisimova, 2007) diantaranya adalah mengemukakan persepsi
perlindungan merek perusahaan berpengaruh besar terhadap perilaku pembelian
merek. Walaupun pemahaman konsumen terhadap merek sangat berpengaruh
terhadap perilaku pembelian, namun pandangan perilaku saja tidak cukup untuk
menjelaskan proses pengembangan loyalitas (Dick & Besu, 1994). Mertenson
berdasarkan penelitian sebelumnya menyatakan bahwa toko dengan citra yang baik
dapat menciptakan kepuasan pelanggan yang pada akhirnya menuntun kearah
36
loyalitas. Merek pabrik membawa pula merek perusahaan atau toko. Jika konsumen
suka bagaimana retailer beroperasi sebagai seorang retailer dan pilihan merek yang
ada di tokonya, mereka berasumsi untuk terpuaskan dengan toko tersebut. Pelanggan
terpuaskan diharapkan untuk menjadi pelanggan setia. Berdasarkan asumsi tersebut,
maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut:
Hipotesis 6: Citra Merek memiliki pengaruh positif terhadap Loyalitas.
Menghadapi selera yang beragam, perusahaan dituntut untuk serba
meningkatkan inovasi dan peka terhadap perubahan dan keinginan pasar, Sehingga
mampu memberikan derajad kepuasan yang memenuhi kepuasan. Umumnya
konsumen akan memutuskan untuk melakukan pembelian atas suatu produk yang
berkualitas baik dengan memiliki karakteristik yang sesuai dengan keinginan
konsumen serta tingkat kepuasan yang tinggi, sehingga konsumen akan terusmenerus menggunakannya. Demikian halnya dengan produk olah raga khususnya
sepatu yang saat ini beredar dipasaran memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Dimana kelebihan dan kekurangan yang ada pada tiap merek tersebut
memiliki fungsi yang berbeda dari masing-masing produk yang dikeluarkan (Hatane,
2005). Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah sebagai
berikut:
Hipotesis 7: karakteristik produk memiliki pengaruh positif terhadap Loyalitas.
Lingkungan toko merupakan faktor pendukung bagi terciptanya loyalitas
pelanggan. Dengan lingkungan toko yang baik, pelanggan bukan hanya berminat
37
untuk mengunjungi, merasa nyaman tetapi juga memiliki kesetiaan terhadap toko
tersebut. Elemen-elemen lingkungan toko adalah citra toko, atmosfer toko dan
pertunjukkan toko. (Gladys, 2009)
Pengetahuan tentang pelanggan merupakan kunci dalam merencanakan suatu
strategi pemasaran yang baik. Pelanggan dapat menjadi asset perusahaan yang paling
berharga, sehingga perusahaan perlu untuk menciptakan sekaligus menjaga kondisi
tersebut, (Ambier, Bhattacharya, Edell, Keller, Lemon, dan Mittal, 2002). Perusahaan
membutuhkan informasi pelanggan yang efektif dari dalam ruang toko dan
mengembangkan menjadi stimulus terhadap perilaku pembelian produk secara umum.
Pengecer membutuhkan informasi tersebut untuk menentukan efisiensi penggunaan
sumberdaya yang dirancang dalam menambah penjualan dan juga dapat
mendefrensiasi ruang toko sebagai salah satu strategi bersaing terhadap pesaing,
(Abratt dan Goodey, 1990).
Implikasi dari lingkungan belanja terhadap perilaku pembelian mendukung
asumsi bahwa jasa layanan fisik menyediakan lingkungan yang mempengaruhi
perilaku konsumen, dihubungkan dengan karakteristik lingkungan konsumsi fisik
(Bitner, Booms dan Tetreault, 1990; Cole dan Gaeth, 1990; Eroglu dan Machleit,
1990; Iyer, 1989). Secara spesifik, dokumentasi mengenai suasana sebuah lingkungan
belanja serta lingkungan retail dapat mengubah emosi konsumen (Donovan dan
Rossiter, 1982; Donovan, 1994). Perubahan emosi mengubah suasana hati konsumen
yang mempengaruhi keduanya yaitu perilaku pembelian dan evaluasi tempat belanja
konsumen semula (Babin, Darden dan Griffin, 1994; Dawson, Bloch dan Ridgway,
1990; Gardner, 1985). Toko dapat menawarkan suasana atau lingkungan yang dapat
38
mempengaruhi pola perilaku keputusan. konsumen (Baker, Grewal, dan Parasuraman,
1994). Lingkungan belanja dan suasana hati dapat mempengaruhi seseorang untuk
melakukan pembelian ulang dalam waktu tertentu
Hipotesis 8 : lingkungan toko memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas.
Salah satu efek dari pasar terbuka adalah masuknya merek-merek asing ke
Indonesia. Merek asing yang masuk ke pasar Indonesia meliputi banyak industri.
Salah satu industri yang diserbu merek asing adalah industri fashion. Dalam industri
fashion, faktor negara asalah merupakan faktor yang terpenting, yang menimbulkan
adanya loyalitas pada konsumen. Dalam beberapa penelitian (Aatous, 2004)
konsumen memiliki persepsi tertentu mengenai negara asal tempat suatu produk
dihasilkan. Ketika konsumen mendapatkan informasi mengenai negara produk
tersebut diproduksi, maka dalam melakukan pembelian akan mempengaruhi persepsi
konsumen sehingga timbul perasaan emosional dan kepercayaan, sehingga
terbentuknya loyalitas akan merek tertentu tanpa memperhatikan faktor-faktor lain.
Dalam jurnal Noviandra Krisjanti juga dijelaskan dimana negara maju dipersepsikan
mempunyai kolerasi yang positif dengan kualitas produk dan loyalitas. Salah satu
produk yang mengangkat informasi “made-in” adalah Oli Top 1 yang selalu
mengedepankan informasi “dibuat di Amerika”. Berdasarkan asumsi tersebut, maka
hipotesis selanjutnya adalah sebagai berikut:
Hipotesis 9: Country Of Origin memiliki pengaruh positif terhadap Loyalitas.
Download