1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan

advertisement
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan konservasi hutan atau pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
hutan secara bijaksana di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, menunjukkan adanya
dinamika yang spesifik, yaitu selaras dengan perubahan ekosistem hutan dan
senantiasa berhubungan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Pulau
Jawa merupakan contoh wilayah yang memiliki hutan tanaman hasil budidaya
manusia yang cukup luas, dan sangat erat hubungannya dengan perkembangan
kebutuhan sebagai penyangga kehidupan dan jasa lingkungan, kondisi sosial
ekonomi serta struktur masyarakat di sekitar kawasan hutan, dan produksi barang
(kayu, getah dan lainnya).
Hutan tanaman di Pulau Jawa yang menonjol adalah hutan tanaman jati,
baik di dalam kawasan hutan milik negara maupun hutan milik rakyat. Untuk
kawasan hutan tanaman jati milik negara sudah merupakan kegiatan pengelolaan
dan pemanfaatan yang tetap dan berkelanjutan, yaitu ditinjau dari segi kepastian
hukum dalam penataan kawasan, pemilihan jenis pohon target yang ditanam, dan
kebersamaan masyarakat sebagai mitra kerja. Menurut Kartasubrata (1992),
pengelolaan hutan tanaman jati tersebut telah berlangsung sejak tahun 1897 dan
sudah dikelola dengan baik atas dasar usulan A.E.J. Bruinsma, yaitu dengan
dibentuknya ”houtvesterij” (a relatively small management unit) yang saat ini
dikenal sebagai kesatuan pemangkuan hutan (KPH). Jadi, sebenarnya kebijakan,
peraturan dan kegiatan operasional dalam pengelolaan hutan jati sejak bagian
kedua abad ke 19 terbukti telah menerapkan Sustainable Yield Principle dan
1
memiliki komitmen terhadap Sustainable Forest Management. Hal ini berarti
lebih dari satu abad bangsa Indonesia telah memiliki pengalaman dalam kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan hutan tanaman jati. Kegiatan tersebut pada saat ini
dilaksanakan oleh Perum Perhutani sebagai perusahaan milik negara.
Dalam perjalanan pelaksanaan pengelolaan hutan tanaman jati di Pulau
Jawa, dari waktu ke waktu terbukti telah terjadi penurunan baik terhadap
produktivitas (Marsono, 2002b) maupun kondisi kualitas tegakan hutannya
(Rohman, 2008). Dasar penurunan produktivitas dapat ditinjau atas dasar data
produksi kayu jati, yaitu tahun 1992 sebanyak 780.000 m3/tahun dengan hutan jati
seluas 600.800 hektar (Revilla dan Setyarso, 1992); produksi tahun 2000
sebanyak 726.654 m3/tahun dalam bentuk log untuk memasok perusahaan kayu
jati di Indonesia (Asosiasi Mebel Indonesia, 2001 dalam Siregar, 2005); dan
produksi tahun 2005 sebanyak 354.644 m3/tahun (Anonim, 2006). Dari sisi lain,
Rohman (2008) menyatakan bahwa sejak dekade 1960-an hutan jati di Jawa terus
mengalami
proses
kemerosotan
kualitas
tegakan.
Faktor-faktor
yang
menimbulkan kerusakan hutan sebagian besar telah menyebabkan adanya tegakan
yang didominasi oleh kelas umur muda (KU I dan KU II). Susunan kelas hutan
tersebut dapat menimbulkan masalah berkaitan dengan tidak banyak tegakan yang
siap ditebang.
Banyak faktor diduga sebagai penyebab yang melatar-belakangi terjadinya
penurunan tersebut, menurut Riyanto dan Pahlana (2012),dapat sebagai akibat
gangguan yang ditimbulkan dari interaksi hutan dengan faktor sosial ekonomi
maupun faktor pengelolaan. Beberapa ganguan dari faktor sosial ekonomi adalah
2
adanya pencurian/penjarahan, penggembalaan liar dan kebakaran. Beberapa
gangguan dari faktor pengelolaan diantaranya adalah penanaman jati secara
monokultur secara terus menerus sehingga terjadi pengurasan hara oleh tanaman
jati. Kegiatan pemungutan kayu tersebut tanpa menyisakan sedikitpun biomasa
tanaman untuk bahan dekomposisi sebagai unsure hara, dan ditambah input
kegiatan tumpang sari tanpa perlakuan konservasi tanah dan air. Gangguan
tersebut dapat menyebabkan degradasi kualitas lahan hutan yang terindikasi
melalui penurunan kesuburan tanah dan penurunan bonita.
Penetapan jenis tanaman jati secara murni dalam sistem silvikultur tebang
habis telah menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi ekosistem hutan, yaitu
secara ekologis terjadinya penyederhanaan terhadap struktur hutan dan
keanekaragaman jenis tumbuhan penyusun hutan yang bersangkutan (Marsono,
2002b). Kondisi ini telah menimbulkan perubahan atribut fungsi maupun
peningkatan kerentanan ekosistem hutan tanaman jati terhadap berbagai jenis
gangguan baik bio-fisik (angin, kebakaran, hama penyakit dan benalu) maupun
sosial (pencurian kayu dan penggembalaan ternak).
Di sisi lain, produktivitas hutan berkaitan erat dengan aspek kesuburan
tempat tumbuh, yaitu terjaganya lapisan tanah olah yang memadai bagi
pertumbuhan suatu tegakan hutan. Oleh karena itu pengelolaan hutan sudah
seharusnya mengacu pada kaidah-kaidah ekologis yang ada di dalam suatu
ekosistem hutan alam. Menurut Lamprecht (1989), praktek silvikultur di banyak
negara tropika masih dipengaruhi oleh aturan dan pengalaman yang diimport dari
negara beriklim sedang, sehingga menjadi penting untuk memperhatikan dan
3
memahami kondisi ekosistem hutan alami di daerah tropika yang masih kurang
dan belum diketahui. Dalam banyak kasus, sejumlah fungsi penting, dalam jangka
panjang, dapat dipenuhi secara memuaskan jika hutan tropika dikelola dengan
mengadopsi sedekat mungkin dengan kondisi alaminya.
Hutan tanaman jati sebagai ekosistem hutan hasil budidaya manusia bukan
hanya sekedar kumpulan pohon-pohon utama jati, melainkan juga termasuk
proses interaksi komponen-komponen lain penyusun hutan tanaman tersebut
dengan lingkungannya. Dalam ekosistem hutan tanaman jati ada atribut
interaction dan interdependency, menurut Kimmins (1987), begitu lengkap
keterkaitan berbagai komponen hidup dan tidak hidup dalam suatu ekosistem
hutan; bahwa perubahan yang terjadi dalam komponen apapun akan
mengakibatkan perubahan berikutnya di hamper semua komponen yang lain. Jadi,
apabila hutan tanaman jati tidak dikelola dengan baik dapat mengalami penurunan
kualitas tegakan. Perubahan kualitas tegakan ditandai dengan meningkatnya luas
kelas hutan tanaman jati umur muda yang telah terjadi diwilayah hutan Perum
Perhutani, termasuk di wilayah KPH Ngawi.
Ketika keberhasilan pengelolaan hutan tanaman jati tergantung pada
keberhasilan pertumbuhan tanaman jati, maka secara ekologis pertumbuhan
tanaman jati tersebut selaras dengan perlakuan pengelolaan sehingga setiap
petak/anak petak dapat mengalami perubahan struktur tegakan dan fungsi ekologis
selama waktu pertumbuhannya. Hal ini terjadi terutama pada petak/anak petak
yang ditujukan untuk memproduksi kayu jati dan baik untuk perusahaan tebang
habis dan produktif (Kelas Umur I sampai Miskin Riap), dengan jenis perlakuan
4
perusahaan berupa input tumpangsari, penjarangan, dan teresan dilanjutkan
panenan. Di sisi lain, produktivitas hutan tanaman jati tergantung pada produksi
biomas (pertambahan riap pohon) secara berkelanjutan yang tergantung pada
kondisi tempat tumbuh, dan kondisi ini harus dilindungi dari berbagai gangguan.
Dengan demikian, untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman jati selama
proses pertumbuhannya dalam waktu satu daur membutuhkan tindakan konservasi
berbasis ekosistem dengan cara mengadopsi sedekat mungkin kondisi alaminya.
Menurut Brontowiyono (2010), konservasi dimaksudkan sebagai suatu
usaha pengelolaan dalam memanfaatkan sumberdaya alam sehingga dapat
menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan untuk generasi
manusia saat ini dan generasi yang akan datang. Aspek-aspek dalam konservasi
ini meliputi perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan,
restorasi dan penguatan lingkungan alam. Hal ini berarti konservasi tidak
bertentangan dengan pemanfaatan aneka ragam varietas, jenis dan ekosistem
untuk kepentingan manusia secara maksimal selama pemanfaatan tersebut
dilakukan secara berkelanjutan.
Kemudian, untuk pengertian berbasis ekosistem berarti melindungi semua
fungsi hutan pada semua skala sepanjang waktu sebagai prioritas pertama dan
berupaya melestarikan keanekaragaman nilai manfaat dalam batas-batas kapasitas
ekologi. Dengan kata lain, memusatkan perhatian pertama kali pada ‘apa yang
ditinggalkan’ dan kemudian baru memperhatikan ‘apa yang dimanfaatkan’ tanpa
harus menimbulkan kerusakan ekosistem (Sultan, 2012). Jika hutan tanaman jati
dikelola dengan sistem silvikultur tebang habis, maka pengelolaan yang
5
bertanggung jawab secara ekologi berarti rencana dan aktivitas dikembangkan dan
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga melindungi, menjaga dan memperbaiki
fungsi penuh ekosistem. Penjagaan fungsi penuh itu dilakukan terhadap struktur,
komposisi tumbuhan mulai dari skala bentang lahan sampai skala komunitas yang
paling kecil baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Sultan, 2012);
dengan tujuan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan
dengan praktek manajemen yang sensitif ekologis dengan memadukan
pertimbangan ekonomi, ekologi, sosial dan teknologi (Schlaepfer, 1997 dalam
Purnomo dkk., 2013).
Kawasan hutan KPH Ngawi terdiri atas 8(delapan) bagian hutan (BH), yaitu
Kedunggalar Utara, Kedunggalar Selatan, Kedawak, Getas, Ngandong, Geneng,
Walikukun Utara dan Walikukun Selatan. Dalam rangka pengaturan kelestarian
hasil dan dengan kondisi potensi sumberdaya hutan yang ada, maka masingmasing bagian hutan dikelola dengan penetapan daur yang berbeda (antara 20 - 60
tahun). Penetapan daur tersebut berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama
Perum Perhutani No. 101/042.1/Can/Dir, tanggal 26 Maret 2010; perihal
Penetapan Daur dan Koreksi RPKH KPH Tuban, Madura, Ngawi, Blitar dan
Jember (Anonim, 2010), yaitu: (1). Untuk 4 lokasi bagian hutan (BH Walikukun
Utara, Kedunggalar Utara, Kedunggalar Selatan, dan Geneng) menggunakan daur
60 tahun; (2). Untuk 2 lokasi bagian hutan (BH Getas dan Ngandong)
menggunakan daur 50 tahun; dan (3). Untuk 2 lokasi bagian hutan (BH
Walikukun Selatan dan Kedawak) menggunakan daur 20 tahun.
6
Kelebihan kondisi wilayah Bagian Hutan Kedunggalar Utara dibanding
wilayah bagian hutan lainnya di KPH Ngawi adalah wilayah ini memiliki hutan
tanaman jati kelas umur sedang (KU III dan IV) dan kelas umur tua (≥ KU V)
cukup baik dan dikelola dengan daur 60 tahun, berada di tengah-tengah kawasan
kesatuan pemangkuan hutan diantara bagian hutan yang lainnya, tidak banyak
desa di sekitar kawasan sehingga tidak banyak gangguan. Kondisi hutan tanaman
jati kelas umur I pada awal jangka seluas 1.241,3 ha (22,5 %) adalah karena
penjarahan (pengerjaan lahan secara liar, perencekan dan pencurian) sehingga
banyak petak-petak hutan berupa tanah kosong yang terekam pada risalah akhir
jangka, kemudian ditanami sebagai tanaman kelas umur muda (Sutarso, 2014
komunikasi pribadi). Penggunaan nama kelas umur muda, sedang dan tua
berdasarkan hasil penelitian Astuty (2009), yaitu hasil digitasi terhadap citra
IKONOS wilayah Bagian Hutan Bancar, KPH Jatirogo yang dapat dibedakan
menjadi beberapa obyek seperti tanaman jati kelas umur muda (KU I-KU II),
kelas umur sedang (KU III-KU IV), dan kelas umur tua (≥ KU V).
Untuk kondisi kelas hutan berdasarkan data dalam Buku Model RPKHPDE 2. Kelas Perusahaan Jati di KPH Ngawi, Jangka Perusahaan 01 Januari 2009
s.d. 31 Desember 2018 (Anonim, 2008a), di wilayah Bagian Hutan Kedunggalar
Utara, KPH Ngawi menunjukkan sebaran kelas umur (KU) tanaman jati yang
tidak normal dengan adanya kelas umur muda(KU I dan KU II) yang cukup luas
(yaitu mencapai 46,2% dari luas hutan tanaman jati produktif) (Tabel 1.1). Hal
ini mendorong pemikiran tentang perlunya kajian aspek konservasi dalam
kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan tanaman jati tersebut, untuk
7
Tabel 1.1. Kondisi hutan tanaman jati di Bagian Hutan Kedunggalar Utara, KPH
Ngawi, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, Jangka Perusahaan
01 Januari2009s.d. 31 Desember 2018.
No.
Kelas Hutan
Untuk produksi
A. Baik untuk produksi kayu jati
1. Baik untuk perusahaan tebang habis
a. Produktif
a. KU I
b. KU II
c. KU III
d. KU IV
e. KU V
f. KU VI
g. KU VII
h. KU VIII
i. Miskinriap (MR)
Jumlah produktif
b. Tidak produktif
j. Tanah kosong (TK)
k. Lap tbang hbs jngka lampau (LTJL)
l. Tanaman kayu lain (TKL)
m. Tan jatibrtmbkurang (TJBK)
n. Hutan alam kayu lain (HAKL)
Jumlah tidak produktif
Jumlah baik untuk perusahaan tebang habis
2. Tidak baik untuk perusahaan tebang habis
Jumlah untuk produksi kayu jati
B Bukan untuk produksi kayu jati (KPS,TJKL)
Jumlah untuk produksi
Bukan untuk produksi (TBP,LDTI)
Jumlah kawasan hutan
Sumber : Anonim (2008a)
Luas (Ha)
%
1.241,30
547,00
415,90
567,00
350,80
189,60
193,90
88,70
278,00
3.872,20
22,5
9,9
7,6
10,3
6,4
3,4
3,5
1,6
5,1
70,3
232,30
37,40
44,00
1.303,10
16,10
1.632,60
5.505,10
5.505,10
246,30
5.751,40
299,00
6.050,40
4,2
0,7
0,8
23,7
0,3
29,7
-
mendukung pertumbuhan dan peningkatan kualitas tegakan jati. Kawasan ini
memiliki ragam topografi dan kondisi social penduduk yang semakin baik
tanggapannya terhadap upaya pelestarian hutan tanaman jati (Hasanbahri dkk.,
2008). Hutan tanaman jati selain diharapkan mampu memenuhi kebutuhan
perusahaan (negara) dan masyarakat secara ekonomis, juga harus memberikan
peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian
8
usaha maupun kelestarian lingkungan hutan sebagaipenyangga kehidupan.
Masyarakat perlu mengenal dan memahami makna ekologis struktur dan fungsi
kawawan hutan tanaman jati sebagai ekosistem penyangga kehidupan.
Apabila dilihat pada Tabel 1.1. dapat diinterpretasikan bahwa di wilayah
Bagian Hutan Kedunggalar Utara memiliki kondisi kelas hutan dengan komposisi
kelas umur muda yang cukup luas. Pada kawasan hutan seluas 3.323,7 hektar
atau 60,4 % merupakan kawasan hutan dengan kondisi lahan relatif terbuka
(Gambar1.1, Gambar1.2, Gambar1.3 dan Gambar1.4) yang terdiri atas kelas umur
muda (KU I dan KU II), tegakan jati bertumbuhan kurang (TJBK), dan tanah
kosong.
Gambar 1.1. Foto kelas umur muda
(KU I)
Gambar 1.2. Foto tanah kosong
siap tanam
Gambar 1.3. Foto tanaman jati umur
satu tahun
Gambar 1.4. Foto anak petak TJBK
9
Untuk kawasan hutan yang relatif tertutup tajuk (antara lain Gambar 1.5 dan
Gambar1.6) mencakup luas sekitar 2.083,9 ha (37,9 %) yang terdiri atas kelas
umur sedang (KU III - IV) dan kelas umur tua (≥ KU V). Dengan semakin
terbukanya tajuk pohon dalam suatu petak/anak petak hutan jati dalam kawasan
yang relatif luas (lebih dari setengah total luas di Bagian Hutan Kedunggalar
Utara), maka dapat diinterpretasikan bahwa dalam kurun waktu sebelum tahun
2009 telah terjadi gangguan. Di sisi lain, dimungkinkan adanya kegiatan
penanaman terhadap petak-petak hutan yang berasal dari petak tanah kosong,
areal bekas tebangan miskin riap,
maupun petak tegakan jati bertumbuhan
kurang.
Gambar 1.5. Foto kelas umur sedang
(K.U. IV)
Gambar 1.6. Foto kelas umur tua
(≥K.U. V)
Apabila kawasan hutan tanaman jatiyang baik untuk perusahaan tebang
habis dengan persentase kelas umur muda cukup besar dengan struktur hutan yang
terbuka terhadap masuknya air hujan, maka secara ekologis akan berdampak
negative pada fungsi perlindungan kesuburan tanah akibat proses erosi yang
mungkin terjadi. Hal ini menjadi jelas ketika hasil-hasil penelitian yang telah ada
menyajikan informasi, yaitu seberapa besar peran strata tajuk pohon dan
10
tumbuhan bawah, diameter dan kerapatan pohon hutan tanaman jati terhadap
perubahan aliran air hujan tersebut. Morgan dan Duzant (2008) menyatakan
bahwa atas dasar hasil pengalaman di lapangan, vegetation-based strategies
adalah cara yang efektif untuk mengatasi erosi pada semua tipe tanah, dan
pendapat ini selaras dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan
bahwa hilangnya tanah kurang sensitive pada lereng yang tertutup tumbuhan (Lal,
1976 dan Quinn, dkk., 1980 dalam Morgan dan Duzant, 2008).
Dengan mempelajari kondisi ekologis petak-petak hutan tanaman jati yang
baik untuk perusahaan tebang habis dan produktif di wilayah Bagian Hutan
Kedunggalar Utara, KPH Ngawi, maka diharapkan dapat diketahui adanya
pengelompokkan petak-petak hutan tersebut menjadi unit-unit kegiatan konservasi
berbasis ekosistem (berdasarkan kemiripan kondisi bio-fisik yang nyata yang
dijumpai di lapangan). Dengan informasi tentang kondisi bio-fisik masing-masing
kelompok petak hutan secara rinci (antara lain struktur vegetasi, komposisi jenis
tumbuhan penyusun, luas penutupan tumbuhan bawah, sifat fisik dan kimia tanah,
dan topografi lahan), maka pihak pengelola dapat menentukan petak-petak hutan
tertentu yang memiliki kemampuan untuk dikelola sebagai kawasan produksi
kayu jati secara intensif dan petak-petak hutan lainnya yang perlu dipertahankan
untuk fungsi perlindungan maupun produksi jasa lingkungan.
B. Rumusan Masalah
Di beberapa daerah, luas hutan sudah berada di bawah tuntutan minimum
sehingga fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan menjadi tidak optimal
11
(Soerjogoeritno, 2001). Di Pulau Jawa sendiri dengan luas hutan sekitar 23%,
sedang menghadapi permasalahan yang menyangkut keberlanjutan ketersediaan
air. Pada 1930, Pulau Jawa masih mampu memasok 4.700 meter kubik per kapita
per tahun. Diperkirakan pada 2020 total potensinya tinggal 1.200 meter kubik per
kapita per tahun, dari potensi tersebut hanya 35 persen yang layak secara
ekonomis untuk dikelola (Anonim, 2010a). Dengan demikian, pihak Perum
Perhutani sebagai pengelola hutan di Pulau Jawa diharapkan mampu
mengupayakan tindakan yang lebih baik, yaitu selain memproduksi hasil hutan
(berupa kayu jati dan lainnya) juga supaya menjaga struktur dan fungsi ekologis
serta fungsi lainnya sebagai jasa hutan dari kawasan hutan yang dikelola, antara
lain air sungai (Gambar1.7), dan jangan sampai struktur hutan rusak akibat
tumbuhan bawah terbakar (Gambar1.8), karena kebakaran hutan tanaman jati
selalu terjadi setiap tahun selama musim kemarau.
Gambar1.7. Foto air sungai di tengah
hutan Jati
Gambar 1.8. Foto struktur hutan
jati rusak akibat terbakar
Kawasan hutan tanaman jati sebagian besar terdapat pada lahan datar dan
berbukit-berbukit rendah. Di wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa
Timur, hutan tanaman jati tumbuh di atas tanah yang kurang baik atau tidak amat
subur, biasanya pada tanah batu kapur, tanah mergel atau nepal, tanah kwarter;
12
dan di beberapa lokasi tumbuh di atas tanah asal dari tanah gunung api. Sejak
awal pengelolaan hutan tanaman jati di Jawa diupayakan untuk menjadi penutup
tanah-tanah yang jelek sehingga terhindar dari bahaya erosi, tanah longsor dan
sebagainya (Poerwokoesoemo, 1953).
Hutan tanaman jati yang dikelola oleh Perum Perhutani, untuk wilayah
Divisi Regional Jawa Timur sendiri mempunyai luas hutan produksi 811.453
hektar. Luas kawasan hutan yang diusahakan untuk hutan produksi kayu Jati
mencakup 593.718 hektar dan 217.735 hektar untuk hutan produksi kayu Rimba.
Kedua tipe hutan tanaman (jati dan rimba) tersebut merupakan ekosistem hutan
dengan karakteristik ekosistem yang berbeda, sehingga menuntut cara pengelolaan
yang berbeda pula.Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang berlaku setempat
dan perlu diwujudkan dengan perbedaan peraturan pengelolaannya. Untuk
membangun hutan tanaman yang berkelanjutan diperlukan pendekatan setempat
yang berbasis ekosistem ini, karena di lapangan ada ragam kondisi bio-fisik hutan
yang cukup besar (Marsono dkk., 2002).
Berkaitan dengan idealisme Sustainable Forest Management (SFM), Jones
dan Andinson (2003) menyatakan bahwa untuk menterjemahkan sasaran
pengelolaan sumberdaya hutan ke dalam strategi pengelolaan secara berkelanjutan
(lestari) dan rencana operasional yang lebih spesifik (terhadap suatu kawasan
hutan tertentu) adalah merupakan suatu tantangan bagi lembaga atau pengusaha
bidang kehutanan, yaitu untuk mencoba mengadopsi idealisme dari pengelolaan
hutan berkelanjutan tersebut. Adapun tujuan dari pengelolaan hutan berkelanjutan
sebagai konsep yang dinamis dan berkembang adalah untuk mempertahankan dan
13
meningkatkan nilai ekonomi, social dan lingkungan dari semua jenis hutan, untuk
kepentingan generasi sekarang dan mendatang (Anonim, 2009a). Perumusan
pengelolaan hutan berkelanjutan tersebut juga dimasukan kedalam UU Kehutanan
No. 41/1999, pada bagian kedua “Asas dan Tujuan” (Anonim, 1999).
Menurut Sumitro (2005), sumberdaya hutan secara historis makin lama
makin susut, makin langka dan makin mahal, sehingga aspek konservasi
sumberdaya alam makin mahal. Inilah mengapa kegiatan konservasi sumberdaya
alam makin mencuat untuk diperhatikan di setiap kegiatan bahkan di setiap tapak
kawasan. Dengan demikian, kegiatan konservasi dalam praktek, bagaimanapun
tak mungkin terlaksana kecuali bersamaan dengan pemahaman tentang
keuntungan ekonomi jangka pendek dan jangka panjang bagi pendapatan negara
dan masyarakat di sekitarnya.
Adanya upaya Perum Perhutani untuk mengembangkan tanaman jati plus
Perhutani (JPP) mengindikasikan perlunya pemahaman terhadap aspek konservasi
lahan, yaitu dengan penetapan petak-petak hutan yang memiliki topografi yang
sesuai dengan kelas kemampuan lahan. Dengan kata lain, keuntungan jangka
pendek yang ingin diraih melalui program silvikultur intensif tanaman jati plus,
menurut Na’iem (2013, komunikasi pribadi), hanya diperlukan sekitar 5% luas
kawasan suatu KPH dengan lahan subur, topografi datar, solum dalam, drainase
baik, dan aman dari gangguan pencurian. Berdasarkan konsep kemampuan lahan
(Arsyad, 2006) seyogyanya upaya tersebut lebih diutamakan pada lahan-lahan
yang memiliki kelas lereng 0-8% dengan kelas kemampuan lahan I dan II.
Penilaian kemampuan lahan, menurut Notohadiprawiro (1991), dimaksudkan
14
untuk menetapkan pembenahan pengelolaan yang diperlukan untuk mencegah
degradasi lahan.
Oleh karena itu, penelitian ini berkait dengan pencarian tindakan konservasi
hutan tanaman jati berbasis ekosistem, yaitu selaras dengan pendekatan ekosistem
yang dituangkan dalam Konvensi Keanekaragaman Biologis sebagai strategi
untuk
pengelolaan
terpadu
tanah, air dan sumber daya
hidup yang
mempromosikan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan dengan cara
yang adil. Dalam hal ini, prinsip konservasi terhadap struktur ekosistem dan
berfungsi untuk mempertahankan jasa ekosistem, harus menjadi prioritas sasaran
dalam pendekatan ekosistem (Anonim, 2004).
Pertanyaan yang timbul dari permasalahan tersebut ialah: 1). Bagaimana
sebaran dan berapa luas petak-petak hutan tanaman jati kelas umur muda di
Bagian Hutan Kedunggalar Utara yang potensial dan aman untuk pengembangan
tanaman jati secara intensif berdasarkan kelas lereng? 2). Bagaimana kondisi biofisik masing-masing unit ekologis yang ditetapkan pada petak-petak hutan untuk
produksi kayu jati di kawasan yang baik untuk tebang habis dan produktif,
berdasarkan faktor iklim, kelerengan, jenis tanah dan kelas umur tanaman jati di
wilayah Bagian Hutan Kedunggalar Utara? 3). Apakah antara petak-petak hutan
tanaman jati dan baik untuk perusahaan tebang habis yang produktif memiliki
kemiripan parameter bio-fisik dan sosial sehingga membentuk satuan kelompok
ekosistem (klaster unit ekologis) yang berbeda dengan kelompok lain? 4). Apakah
ada perbedaan skenario tindakan konservasi untuk peningkatan produktivitas
15
hutan tanaman jati yang berkelanjutan sesuai dengan kondisi struktur yang
terbentuk pada tiap-tiap satuan kelompok ekosistem yang berbeda?
Atas dasar rumusan masalah tersebut di muka, maka pentingnya penelitian
ini adalah pengembangan pengenalan karakter masing-masing petak hutan
tanaman jati, yang baik untuk perusahaan tebang habis yang produktif. Hal ini
dapat dijadikan landasan pelaksanaan tindakan konservasi berbasis ekosistem
pada hutan tanaman jati oleh Perum Perhutani, ke arah pemantapan fungsi
ekologis tanpa mengabaikan fungsi ekonomi dan sosialnya.
Untuk mendapatkan informasi kelompok-kelompok ekosistem yang lebih
akurat di lapangan, maka penelitian ini diperlukan peta pendukung
yang
memadai. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan
bagi kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan tanaman jati yang berkelanjutan
di Pulau Jawa pada umumnya.
C. Tujuan Penelitian
Atas dasar uraian dan perumusan masalah tersebut di muka, maka tujuan
penelitian di kawasan hutan tanaman jatiBagian Hutan Kedunggalar, KPH Ngawi
ialah untuk:
1). Mengetahui sebaran dan luas petak-petak hutan tanaman jati kelas umur muda
produktif yang potensial dan aman untuk pengembangan tanaman jati secara
intensif berdasarkan kelas lereng.
2). Mendiskripsi kondisi bio-fisik unit-unit ekologi yang ditetapkan berdasarkan
faktor iklim, kelerengan, jenis tanah dan kelas umur tanaman jati dari petak-
16
petak di kawasan hutan tanaman jati yang baik untuk perusahaan tebang habis
dan produktif (KU I – KU VII).
3). Menganalisis petak-petak hutan tanaman jati KU I sampai KU VII pada
masing-masing unit ekologis yang memiliki kemiripan parameter bio-fisik
tertentu dan sosial sehingga membentuk ragam klaster unit ekologis.
4). Membangun ketetapan tema konservasi berbasis ekosistem yang sesuai dengan
kontribusi parameter bio-fisik dan sosial pembentuk masing-masing klaster
unit ekologis untuk membangun hutan tanaman jati yang produktif.
D. Manfaat Penelitian
Keberagaman satuan ekosistem di kawasan hutan tanaman jati
mengisyaratkan perlunya perlakuan yang berbeda di antara satuan ekosistem
tersebut, walaupun berada dalam satu kesatuan pemangkuan hutan (KPH) yang
sama. Oleh karena itu kegunaan dari penelitian ini ialah untuk menyediakan hasil
pemikiran tentang skenario konservasi berbasis ekosistem yang relevan dengan
perubahan dinamika perilaku ekosistem hutan tanaman jati dan masyarakat di
wilayah Bagian Hutan Kedunggalar Utara, KPH Ngawi. Dengan demikian, ada
jalan keluar untuk melaksanakan upaya peningkatan produktivitas hutan tanaman
jati dengan tindakan konservasi hutan yang mampu memenuhi keberlanjutan
fungsi ekologis hutan tanaman jati.
Dengan ditemukannya skenario konservasi hutan tanaman jati berbasis
ekosistem di Bagian Hutan Kedunggalar Utara, KPH Ngawi diharapkan dapat
dijadikan bahan pertimbangan dan penentuan kebijakan bagi pengelola hutan
17
tanaman jati di KPH Ngawi khususnya, dan para pengelola hutan tanaman jati di
Pulau Jawa pada umumnya. Hal ini sangat penting dalam menjaga
keberlangsungan pengelolaan hutan yang bertumpu pada keberlanjutan fungsi
ekosistem hutan tanaman jati untuk produksi kayu, penyangga kehidupan liar,
perlindungan sumberdaya tanah dan air, serta peningkatan kesejahteraan
masyarakat di sekitarnya yang ramah lingkungan.
E. Keaslian Penelitian (Novelty)
Penelitian disertasi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu pada
ekosistem hutan yang digunakan, metode penentuan kelompok ekosistem dan
tujuannya. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Hastuti (2010), bahwa ada
beberapa penelitian yang telah dilakukan berkait dengan klasifikasi ekosistem
dengan pendekatan pengelompokan tipe ekosistem yang berbeda. Warsito (1999)
melakukan kajian klasifikasi ekologis pada ekosistem hutantropis Lombok Barat,
mulai dari dataran pantai sampai dengan pegunungan. Unit ekologis ekosistem
hutan tropis Lombok Barat ditetapkan berdasarkan kemiripan tanah, regim lengas
dan bentuk lahan. Tujuan dari penelitian antara lain rancang bangun unit ekologis
untuk membuat klasifikasi hutan tropis Lombok Barat berdasarkan pada kondisi
vegetasinya dan klasifikasi kondisi vegetasi berdasarkan pada factor fisik. Untuk
penelitian Poedjirahajoe (2006) pada ekosistem hutan mangrove di kawasan
Pantai Utara Jawa Tengah, penetapan unit ekologis ekosistem hutan mangrove
tersebut berdasarkan pada kondisi bio-fisik ekosistem hutan mangrove, yaitu
kemiringan pantai, ketebalan lumpur, tahun tanam dan salinitas. Kajian
18
selanjutnya pada setiap unit ekologis mencakup factor fisik dan kandungan kimia
dari substrat tumbuh dan kondisi vegetasi yang meliputi kerapatan dan tinggi
tanaman. Klasifikasi unit ekologis dilakukan berdasarkan aspek fisik dan aspek
biologis yang bertujuan menentukan klasifikasi lahan yang mempunyai kesamaan
kondisi habitat di kawasan hutan mangrove. Penetapan unit ekologis bertujuan
untuk klasifikasi lahan potensial sebagai upaya rehabilitasi mangrove di Pantai
Utara Jawa Tengah. Sementara itu, penelitian Hastuti (2010) di Taman Nasional
Gunung Merbabu yang pengelolaannya atas dasar system zonasi, klasifikasi
ekosistem berdasarkan pada aspek biologis, fisik dan aspek social ekonomi. Dasar
pertimbangan memasukkan aspek social ekonomi adalah keberadaan masyarakat
sekitar kawasan hutan merupakan satu kesatuan ekosistem yang memiliki
interaksi kuat dengan kawasan TNGMb. Penelitian ini mengungkapkan
keterkaitan aspek biologis, fisik dan sosial ekonomi dalam pembentukan klasterklaster ekosistem TNGMb.
Penelitian pada hutan tanaman jati di wilayah Bagian Hutan Kedunggalar
Utara, KPH Ngawi menekankan pada skenario tindakan konservasi berbasis
ekosistem pada kelompok petak hutan kelas umur produktif yang terbentuk
(klaster unit ekologis). Dasar penetapan klasifikasi kelompok petak disini adalah
keterwakilan dinamika ekosistem dari masing-masing petak contoh yang berasal
dari sekumpulan petak-petak yang memiliki kesamaan iklim, jenis tanah, kelas
lereng, dan kelas umur tanaman jati. Klasifikasi kelompok petak ini digunakan
sebagai landasan perumusan skenario tindakan konservasi untuk peningkatan
produktivitas hutan tanaman jati, yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
19
Download