I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja

advertisement
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa yang
diikuti dengan
perubahan hormon, emosi, penilaian, identitas dan bentuk fisik (ABA, 2004). Masalah
kesehatan gigi dan mulut yang sering dialami para remaja antara lain karies, maloklusi,
gingivitis, stomatitis dan halitosis ( Tarwoto dkk, 2010 sit Liling, 2013 ). Prevalensi
maloklusi remaja di Indonesia sebesar 89% pada tahun 2006 (Dewi, 2008).
Maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi lengkung geligi (rahang)
di luar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi menurut Angle diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu kelas I (neutroklusi), kelas II (distoklusi), dan kelas III (mesioklusi).
Maloklusi dapat disebabkan tidak adanya keseimbangan dentofasial yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu keturunan, lingkungan, etnik, fungsional, patologi, pertumbuhan, dan
perkembangan (Rahardjo, 2008).
Klasifikasi Angle merupakan pengelompokan yang paling banyak digunakan dalam
penelitian epidemiologi maloklusi di dunia (Hasan dan Rahimah, 2007). Penilaian maloklusi
menggunakan klasifikasi Angle masih mempunyai kekurangan untuk mengukur tingkat
keparahan maloklusi. Indeks maloklusi merupakan salah satu solusi untuk mengurangi
derajat subjektivitas pada klasifikasi Angle (Rahardjo, 2009). Indeks maloklusi terus
berkembang seiring waktu yang menghasilkan banyak indeks pengukuran (Agarwal dan
Mathur, 2012). Dental Aesthetic Index (DAI) merupakan gabungan penilaian aspek fisik dan
estetika oklusi, serta persepsi pasien dalam penampilan gigi. WHO mengakui bahwa DAI
merupakan penghitungan standar dalam pengukuran maloklusi (Peres dkk., 2011).
Maloklusi memberikan pengaruh negatif terhadap fungsi pengunyahan dan berbicara,
serta dapat mempengaruhi psikologis remaja berupa menurunnya kepercayaan diri terhadap
penampilan, sehingga remaja
berusaha menutup mulut karena malu untuk tersenyum
(Mandall dkk., 1999). Batool dkk. (2009) menjelaskan bahwa maloklusi bukan merupakan
suatu penyakit tetapi penyimpangan gigi yang memiliki efek pada psikologi seseorang,
seperti berusaha untuk menutupi mulutnya. Anak-anak dan remaja dengan penampilan gigi
yang buruk seringkali menjadi sasaran ejekan teman-temannya, sehingga terjadi hambatan
interaksi sosial (BOS, 2008).
Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang bersifat
psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik. Psikososial remaja dibagi
menjadi tiga yaitu, remaja awal (early adolescent) usia 12-14 tahun, remaja pertengahan
(middle adolescent) usia 15-17 tahun, dan remaja akhir (late adolescent) usia 18 tahun keatas
(Batubara, 2010). Perkembangan psikososial remaja dapat ditandai dengan penekanan
masalah pengembangan otonomi, identitas diri, dan orientasi mengenai masa depan (ChienTie, 2010).
Dampak psikososial akibat maloklusi merupakan suatu fenomena yang dapat
digambarkan sebagai suatu keadaan ketidaknyamanan
yang berhubungan dengan
penampilan, penghambatan interaksi sosial, perasaan ketidakbahagiaan dan perbandingan diri
dengan orang lain (Khan dan Fida, 2008). Peningkatan keparahan maloklusi berpengaruh
terhadap meningkatnya dampak psikososial akibat estetika gigi (Bellot-Arcis dkk., 2013).
Psychosocial Impact of Dental Aesthetics Questionnaire’ (PIDAQ) bertujuan untuk
mengukur dampak psikologi serta sosial dari maloklusi (Klages dkk., 2006).
Penilaian persepsi maloklusi seseorang menurut Elham dkk. (2005) dipengaruhi oleh
jenis kelamin, umur, serta tempat tinggal. Baubiniene dan Sidlauskas (2009) membenarkan
bahwa tempat tinggal juga bisa mempengaruhi tingkat kepuasan penampilan gigi, dimana
menurut Poonam (2011) remaja di pedesaan lebih dapat menerima penampilan gigi
dibandingkan remaja perkotaan yang sangat memperhatikan penampilan. Pernyataan ini
diperkuat oleh Deli dkk. (2008) yang menyatakan bahwa remaja pedesaan lebih bisa
mentolerir maloklusi dibandingkan remaja di perkotaan.
Berdasarkan uraian diatas, perbedaan persepsi mengenai penampilan gigi pada remaja
di perkotaan dan pedesaan menyebabkan penulis ingin meneliti hubungan antara tingkat
keparahan maloklusi dan status psikososial remaja di perkotaan dan di pedesaan. Indeks DAI
digunakan untuk mengukur tingkat keparahan maloklusi. PIDAQ digunakan untuk mengukur
dampak psikososial dari maloklusi.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah diuraikan, dapat ditarik permasalahan :
1. Apakah terdapat hubungan antara tingkat keparahan maloklusi dan status psikosial remaja
di perkotaan?
2. Apakah terdapat hubungan antara tingkat keparahan maloklusi dan status psikosial remaja
di pedesaan?
3. Apakah terdapat perbedaan status psikososial antara remaja di perkotaan dan pedesaan?
C. Keaslian Penelitian
Bellot-Arcis dkk. (2013) dalam penelitian Psychosocial Impact Maloclussion in Spanish
Adolescent menjelaskan bahwa tingkat keparahan maloklusi remaja berdampak pada
psikosisal seiring dengan keparahan maloklusi. Elham (2005) dalam penelitian Self
Perception Among North Jordanian School Children menyimpulkan persepsi penampilan
gigi berbeda pada remaja di kota dan desa. Sejauh ini belum terdapat penelitian mengenai
hubungan antara tingkat keparahan maloklusi dan status psikososial remaja di perkotaan dan
pedesaan.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1.
Hubungan antara tingkat keparahan maloklusi dan status psikosial remaja di perkotaan.
2.
Hubungan antara tingkat keparahan maloklusi dan status psikosial remaja di pedesaan.
3.
Perbedaan status psikososial antara remaja di perkotaan dan pedesaan.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat , yaitu :
1. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat mengenai pentingnya perawatan
ortodontik untuk meningkatkan status psikososial individu.
2. Memberikan manfaat kepada praktisi ortodontik agar dapat memberikan motivasi kepada
pasien untuk mengurangi dampak psikososial selama perawatan.
Download