TRANSFORMASI PENGEMBANGAN TRADISI PONDOK PESANTREN Agus Fawait (PKPBA UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Email: [email protected]) Abstract: Pesantren is believed to be an alternative for solving educational problems that occur at this time. One of the changes management is the appearance of the tradition’s development of pesantren that combines Islamic education with general education, professional systems and methods, and provisioning skills to students. Thus, pesantren which originally only focused on Salaf education, now some pesantren incorporate salafi materials on general subjects. In addition, pesantren are also trying to provide educational institutions in accordance with the student needs. This is equipped with managerial techniques appropriate to the changing demands. Keywords: Transformation, Pesantren, Tradition, and Development. Pendahuluan Seiring dengan mainstream perkembangan sains dan teknologi atau yang dikenal dengan era globalisasi,137 pesantren dihadapkan pada beberapa perubahan sosial budaya yang tak terelakkan.138 Globalisasi berarti liberalisasi perdagangan dan investasi , regulasi, privatisasi, adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah. Dengan kata lain globalisasi adalah neo-liberalisme yang pada intinya membiarkan pasar bekerja secara bebas. Abd. A’la, Pembaharuan Pesantren. (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2006), 7. Globalisasi secara sederhana dapat disebutkan dengan satu kata : “mendunia”. Artinya, sistem kehidupan Internasional, lintas bangsa, negara, budaya dan agama. Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, (Tangerang:Lentera Hati, 2007), 9. 138 Kemajuan informasi-komunikasi telah menembus benteng budaya pesantren. Dinamika sosial-ekonomi (lokal, nasional, internasional) telah mengharuskan pesantren tampil dalam persaingan dunia pasar bebas (free market). Marzuki 137 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren Sebagai konsekuensi logis, hal tersebut harus direspon secara mutualistis dan menuntut pesantren untuk berbenah diri menuju perubahan. Hal ini, tentu sebagai imbas dari retorika perkembangan zaman yang menuntut semua lini diwarnai dengan tawaran canggih teknologi informasi. Walaupun pada hakikatnya, semua itu harus sedikit menenggelamkan ciri khas pondok pesantren yang menjadi warisan sejarah dari para pendahulu pondok pesantren. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, memiliki sejarah yang cukup dramatis yang kemunculannya dimulai sejak islam datang dan berkembang di bumi Nusantara. Kondisinya saat itu terikat pada nilai-nilai tradisional, sehingga untuk menghijrahkan ketradisionalan-nya, pesantren masih sangat sulit karena pembaharuan dianggap sebagai ancaman besar yang akan menggilas nilai-nilai murni “tradisional” di dunia pesantren. Dunia pesantren memperlihatkan dirinya bagaikan bangunan luas, yang tak pernah kunjung berubah. Ia menginginkan masyarakat luar berubah tapi dirinya tidak mau berubah. Karena itu, pesantren menjadi orientasi bagi isu-isu modernisasi139 dan pembangunan yang dilancarkan rezim negara.140 Kiprah pesantren patut diperhitungkan survevisasinya sebagai lembaga pendidikan Islam. Majid menjelaskan, kalau di nilai dari sejak kemunculannya, pesantren telah lama menjadi lembaga pendidiWahid, (Eds.). 2001. Pesantern Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. (Jakarta:Pustaka Hidayah), 210. 139 Pemaknaan yang mudah mengenai modernisasi adalah pergeseran sikap atau mentalitas untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Sedangkan modernisme adalah sebuah upaya menafsirkan kembali ajaran-ajaran tradisional untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Norcholis Madjid menyatakan Pengertian yang mudah mengenai modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan perngertian rasionalisasi. Muzanni, (Eds) Spiritualitas Baru, Agama dan Aspirasi Rakyat. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004), 231.Ali Murtopo menambahkan bahwa modernisasi sebagai proses dimana perkembangan diatur, disusun dan diselenggarakan menurut sesuatu pemikiran menggunakan alat-alat yang tersedia, baik materiil maupun orientasi etis serta ilmu dan keterampilan untuk mencapai tujuan dangan seefisien mungkin. Muzanni, (Eds) Spiritualitas Baru , 226. 140 Amin Haedari, Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern. (Jakarta: DivaPustaka, 2005), 42. | 94 Agus Fawait kan yang memiliki kontribusi penting dalam ikut andil mencerdaskan kehidupan bangsa.141 Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral. Melihat dari gerakan dan peran Pondok Pesantren yang begitu energik dalam membangun bangsa, maka tidak salah kalau Ki Hajar Dewantara pernah mencita-citakan pesantren sebagai sistem pendidikan nasional. Dengan alasan, pesantren dari sejak kemunculannya telah melakukan reformasi besar dalam mencerdaskan kader-kader bangsa dan agama. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga pendidikan tersebut sudah begitu nampak dan jelas. Karena keunikannya itu, Ki Hajar Dewantara mengatakan, selain sudah melekat di hati manusia Indonesia, model inipun merupakan hasil kreasi budaya bangsa Indonesia, setidaknya Jawa yang patut dipertahankan dan dikembangkan.142 Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat sehingga bisa dikatakan pesantren sebagai model pendidikan berbasis masyarakat.143 Machali menambahkan, pesantren berdiri atas inisiatif masyarakat muslim yang tujuan utamanya adalah untuk mendidik generasi muda agar memahami dan mengamalkan ajaran- Nurcholis Madjid, 2000. Pesantren Dari Pendidikan Hingga Politik. Bina Pesantren : 7(81):10. 142 Nurcholis Madjid, 2000. Pesantren Dari Pendidikan., 10 143 Secara substansial, pesantren merupakan institusi keagamaan yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Lembaga ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memosisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dalam pengertiannya yang transformatif. Abd. A’la, Pembaharuan Pesantren (Yogyakarta:Pustaka Pesantren, 2006), 2. 141 95 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren ajaran islam dengan baik.144 Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi, sejak kapan mulai munculnya pesantren, belum ada pendapat yang pasti dan kesepakatan tentang hal tersebut hanya saja Madjid mengatakan lembaga ini sudah ada sejak beratus tahun yang lalu. Belum diketahui secara persis pada tahun berapa pesantren pertama kali muncul sebagai pusat-pusat pendidikan-agama di Indonesia.145 Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah selain pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, juga merupakan gerakan-gerakan protes serta perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dan masa itu pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren. Di mana gerakan protes tersebut selalu dimotori dari dan oleh para penghuni pesantren. Dari itu, Aribowo menjelaskan, Kita bisa saksikan beberapa tokoh pedesaan dan pertanian yang menjadi pemimpin perlawanan terhadap rezim Hindia Belanda berasal dari para guru agama dan Kiai haji (KH).146 Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa yang menjadi misi utama pesantren adalah mencetak kader atau intelektual muslim yang memiliki ilmu agama yang mumpuni dengan metode, kekhasan dan tradisi yang menjadi karakteristik pesantren. Secara potensial hal tersebut bisa dijadikan dasar pijak dalam menyikapi globalisasi. Namun persoalannya adalah bagaimana mengembangkan tradisi tersebut dalam dunia pesantren dan upaya membumikannya dalam Imam Machali, 2006. Pendidikan Islam Berbasis Masyarakat. An-Nur Jurnal Studi Islam. 2 (5):353 145 Nurcholis Madjid, 2000. Pesantren Dari Pendidikan., 11 146 Aribowo. Perspektif Baru Pesantren dan Pengembangan Masyarkat (Surabaya : Yayasan Ti Guna Bhakti, 2001), 69. 144 | 96 Agus Fawait keseharian santri dan masyarakat, serta merelevansikan tradisi-tradisi tersebut dalam konteks kekinian? A’la mengusulkan, agar dilakukan pengembalian pendidikan pada makna hakiki.147 Dari itu, yang harus difikirkan oleh para pengelola pondok pesantrendan akademisi pendidikan islam adalah menyuguhkan format baru serta racikanracikan ide tentang prospek pondok pesantren masa depan. Sehingga dengan begitu pesantren mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan secara arif akan dapat menyikapi globalisasi secara kritis dan bijak. Di samping persoalan di atas, di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren dipacu memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memposisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru di berbagai bidang, baik pada sisi tradisi keilmuannya, seting lembaga yang ada di dalamnya dan teknik manajerial “kepemimpinan”, tujuannya tidak lain agar pesantren mampu meningkatkan mutu dan kualitasnya. Dari itu A’la mengungkapkan bahwa pesantren harus mampu mencari solusi yang benar-benar mencerahkan, sehingga pada satu sisi dapat menumbuhkankembangkan kaum santri yang memiliki wawasan luas yang gamang menghadapi modernitas dan sekaligus tidak kehilangan identitas dan jati dirinya dan pada sisi lain dapat mengantarkan masyarkat menjadi komunitas yang menyadari tentang persoalan yang dihadapi dan mampu mengatasi dengan penuh kemandirian dan keadaban.148 Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan 147 148 A’la, Pembaharuan, 10 A’la, Pembaharuan, 8 97 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren adanya pembaharuan pada aspek kelembagaan, keilmuan dan manajerial di dunia pesantren. Jika aspek-aspek tersebut tidak mendapatkan perhatian yang proporsional dan akademis untuk segera dibenahi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, tentu akan mengancam survival pesantren di era sekarang dan mendatang. Dengan begitu, pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan agama dan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab, ketika metode yang diterapkan masih berkutat pada caracara lama “tradisional” yang ketinggalan zaman alias “kuno”, maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya. Tinjauan Historis Pondok Pesantren Memahami pesantren, tentu terlebih dahulu kita harus tau alur historis perjalanan pondok pesantren. Ada spekulasi menarik mengatakan bahwa pesantren ada sebelum masa Islam.149 Pernyataan ini bisa jadi benar karena Indonesia sebelum masuknya agama islam, kental dengan agama hindu-budha.150 Sebagaimana lembaga pendidikan indigenous, pesantren memiliki akar sosiohistoris yang sangat kua, sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya, dan sekaligus bertahan ditengah berbagai gelombang pembaharuan. Kalau kita menerima spekulasi bahwa pesantren telah ada sebelum masa islam, maka sangatlah boleh jadi ia merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan diluar istana. Dan jika ini benar, berarti pesantren merupakan semacam lembaga “counter culture” (budaya tandingan) terhadap budaya keilmuan yang dimonopoli kalangan istana dan elit brahmana. Mohammad Asrori Alfa, (Eds.) Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer. Malang:UIN Malang Press, 2009), 111. 150 Berbicara tentang masuknya islam ke Indonesia, sepertinya masih banyak pertanyaan mengenai sejarah pertama kali masuk dan perkembangannya. Dalam seminar masuknya agama islam ke Indonesia yang dilaksanakan di Medan pada tahun 1963 menyimpulkan bahwa :(a) Menurut sumber bukti yang terbaru, islam pertama kali datang di Indonesia pada abad ke 7 M. / 1 H. di bawa oleh pedagang dan muballigh dari arab. (b) Daerah yang pertama kali dimasuki ialah pantai barat pulau sumatera yaitu daerah baros, tempat kelahiran ulama’ besar bernama Hamzah Fansyuri. Adapun kerajaan islam yang pertama ialah di Pase. (c) Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang islam bangsa Indonesia ikut aktif dalam mengambil bagian yang berperan, dan proses itu berjalan secara damai. (d) Keda149 | 98 Agus Fawait Pernyataan diatas, di perkuat oleh pendapat Karl A. Steenbring yang menyatakan bahwa sistem pesantren sudah digunakan secara umum sebagai wadah pengajaran agama Hindu Jawa. Setelah islam tersebar di Jawa, sistem itu kemudian diambil alih oleh islam.151 Pernyataan tersebut juga di pertegas oleh Mansour sebagai berikut : Di Jawa, umat islam mentransfer lembaga keagamaan hindubudha menjadi pesantren, umat islam Minangkabau mengambil alih surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan islam, dan demikian pula masyarakat Aceh mentransfer lembaga masyarakat meunasah sebagai lembaga pendidikan islam.”152 Seiring dengan perkembangan pesantren di indonesia, mungkin hal tersebut bisa diseleraskan dengan pendapat Ziemiek yang menjelaskan bahwa pesantren itu berasal dari masa sebelum Islam serta mempunyai kesamaan dengan Budha dalam bentuk asrama. Islam telah masuk ke wilayah kepulauan Asia Tenggara jauh lebih dini dari pada perkiraan semula, yaitu sudah sejak pertengahan abad ke 9, tampaknya masuk akal, bahwa pendidikan agama yang melembaga berabad-abad berkembang secara paralel.153 Berkaitan dengan pendapat diatas, mungkin bisa di mediasi oleh pendapat Mansour yang menjelaskan bahwa pada abad ke 15 M, pesantren telah di dirikan oleh para penyebar agama Islam, di antranya Wali Songo. Untuk menyebarkan agama islam, mereka mendirikan masjid dan asrama untuk santri-santri.154 Dikalangan para ahli sejarah terdapat perbedaan pendapat tentangan islam di Indonesia ikut mencerdaskan rakyat dan membina karakter bangsa. Karakter tersebut dapat dibuktikan pada perlawanan rakyat melawan penjajahan bangsa asing dan daya tahannya mempertahankan karakter tersebut selama dalam zaman penjajahan barat dalam waktu 350 Tahun. (Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam 1997), 133-134 151 Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat; Reinventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi (Surabaya:Imtiyaz, 2011), 20. 152 Mansour dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Depag RI, 2005), 46 153 Ziemiek, Pesantren dalam Perubahan, 17 154 Mansoru dan Mahfud, Rekonstruksi Sejarah, 46 99 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren tang pendirian pesantren. Pertama, pendiri pertama pesantren di Jawa Syekh Maulana Malik Ibrahim,155 yang dikenal dengan sebutan Syaikh Mahribi dari Gujarat India.156 Kedua, Di Ampel Denta Sunan Ampel telah mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu pemuda islam.157 Ketiga, Disamping Sunan Ampel, ada pula yang beranggapan sunan Gunung Jati di Cirebon sebagai pendiri pesantren pertama.158 Dari polarisasi pendapat diatas, sangat memungkinkan bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim sebagai peletak dasar dan sendi-sendi pertama pesantren, Sunan Ampel sebagai penerus yang mengimplementasikan pembinaan pertama di Jawa Timur, sedangkan sunan Gunung Jati meneruskan jejak langkah senior sebelumnya juga mendirikan pesantren di Jawa Barat. Walaupun lembaga-lembaga pendidikan islam di masa awal tidak di sebut dengan istilah pesantren, di sepakati bahwa lembagalembaga itu adalah cikal bakal dari sistem pendidikan pesantren. Pada permulaan pendidikan islam, pelaksanaannya dilaksanakan di surau-surau (langgar) atau di masjid. Tujuan utama dari pelaksanaan ini adalah untuk memberi pelajaran agama serta semangat menuntut ilmu bagi anak-anak. Dari pusat pendidikan seperti inilah hingga akhirnya menjadi awal dimulainya terbentuknya pendidikan pondok pesantren. Pondok pesantren tumbuh sebagai perwujudan dari strategi umat islam untuk mempertahankan eksistensinya terhadap pengaruh penjajahan barat serta untuk menampung anak-anak bangsa yang waktu itu tidak mengenyam pendidikan. Lain dari itu, pesantren juga didirikan karena surau (langgar) atau mesjid tempat diselenggaraPesantren yang usianya sudah cukup tua, konon pesantren pertama kali di dirikan tahun 1997 oleh Sunan Maulana Malik Ibrahim. Sunarto Al Qurtubi, KH. MA. Sahal Mahfudh, Era Baru Fiqih Indonesia, (Ygyakarta : Cermin, 1999), 129. 156 Halim Soebahar, Transformasi Pendidikan Islam, Refleksi tentang Kesinambungan dan Perubahan, (Jember:STAIN Jember, 2010), 7 157 Mansour dan Mahfud, Rekonstruksi Sejarah, 46 158 Mujammil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, (Jakarta :Erlangga, 2005), 9 155 | 100 Agus Fawait kannya pendidikan agama ini tidak lagi dapat menampung jumlah anak-anak yang ingin mengaji. Disamping itu juga didorong oleh keinginan untuk lebih mengintensifkan pendidikan agama pada anak-anak. Maka para guru ngaji atau kiai dengan bantuan masyarakat memperluas bangunan disekitar surau, langgar dan masjid untuk tempat mengaji sekaligus asrama bagi anak-anak didik. Dengan begitu anak-anak tidak perlu pulang bolak-balik ke rumah mereka. Anakanak bisa tinggal di asrama yang telah di sediakan yang akhirnya disebut pondok pesantren. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren.159 Ide untuk keberkembangan pesantren memang mengalami perhelatan dan pertempuran pemikiran, namun walaupun kondisinya masih dalam perhelatan pemikiran dan banyak dari kalangan yang tidak setuju dengan pola pendidikan ala pesantren, tidak sewajarnya hal tersebut dipatahkan atau bahkan berusaha untuk menghancurkan pesantren. Karena pesantren adalah hasil kreasi dari masyarakat indonesia dan patut menjadi sample lembaga pendidikan yang murni di kelola oleh masyrakat. Tilaar mengatakan bahwa, apabila dewasa ini kita berbicara inovasi pendidikan nasional untuk mencari pendidikan yang di kelola oleh masyarakat (community besade management) maka pesantren adalah contoh yang arhaic dari pendidikan tersebut.160 Zuhri juga menambahkan bahwa, Alam Pesantren terkenal bebas dan demokratis. Tetapi disana, usaha pembinaan mental dan spirit, katahanan dan kemauan berdiri sidiri amatlah kuat. Sebab itu, benar juga kalau dikatakan bahwa pesantren adalah suatu subkultur dalam kehidupan masyarakat kita sebagai suatu bangsa.161 Dari itu, dalam tulisan Abdur Rahman Wahid yang telah dikutip oleh Haedari mengatakan, ada tiga elemen dasar yang mampu Sulthon Masyhud, Manajemen Pondok Pesantren ( Jakarta : Diva Pustaka, 2005), 1. Ade Irawan, dkk, Mendagangkan Sekolah, Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta (Jakarta:ICW, 2004), 51. 161 Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren (Yogyakarta:LKis, 2008), 87. 159 160 101 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren membentuk pondok pesantren sebagai sebuah subkultur. Pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkoptasi oleh Negara. Kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad. Dan ketiga, sistem nilai (Value sistem) yang digunkan adalah bagian dari masyarakat luas.162 Dari ketiga elemen tadi, dapat dipahami bahwa, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang keberadaannya di bangun berdasarkan kepemimpinan paternalistik tidak bergantung pada kebijakan pemerintah serta kerjasama masyarakat luas dalam pembangunannya. Melihat dari catatan sejarah, pondok pesantren sudah berperan sebagai lembaga pendidikan sehingga tidak heran kalau saat ini ribuan pondok pesantren telah berdiri dan berkembang. Tentu, kalau melihat pada sejarahnya, sudah banyak masyarakat Indonesia yang merasakan pendidikan pondok pesantren serta sukses dengan pelantara pendidikan pondok pesantren. Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren Dalam stratifikasi masyarakat Indonesia yang homogen, kedudukan pesantren masih belum jelas posisinya, artinya ada perbedaan corak pandang masyarakat terhadap penilaian tentang pondok pesantren. Hal ini tentu menjadi sebuah tandatanya besar mengingat lembaga pendidikan pesantren yang ada semenjak ratusan tahun yang lalu kini masih menyisakan sejumlah kelemahan dan kekurangan yang mengakibatkan lembaga ini masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Namun secara umum kenyataan tersebut tidak dapat di lepaskan dari peran dan pengakuan masyarakat pedesaan yang menyimpan fanatisme yang tinggi terhadap pesantren. Pengaruh utama pesantren atas kehidupan masyarakat terletak pada hubungan perorangan yang menembus segala hambatan yang di akibatkan oleh perbedaan strata yang ada diamasyarakat. KomuAmin Haedari, Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern (Jakarta:Diva Pustaka, 2005), 51. 162 | 102 Agus Fawait nikasi kiai dan masyarakat sebagai sebuah senjata membangun kharisma dan pengaruh terhadap masyarakat, dengan jalur pusat pendalaman spiritual, serta perannya sebagai ahli dakwah. Abdurrahman Wahid menerangkan bahwa daya tarik yang secara individual dimiliki masing-masing pesantren ini, menentukan banyak sedikitnya jumlah santri yang belajar didalamnya.163 Namun hal-hal seperti ini perlu diantisipasi dalam rangka survevisasi pesantren kedepan. Langkah-langkah yang digunakan oleh banyak pesantren dalam hal ini ialah dengan cara mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang menjadi tuntutan masyarakat, seperti halnya diberdirikannya sekolah umum “madrasah/sekolah”, lembaga-lembaga pengembangan keterampilan atau bahkan perguruan tinggi walaupun sifatnya masih sporadis.164 Dari kenyataan tersebut Mastuhu menjelaskan bahwa Fungsi pesantren saat ini ada dua. Pertama, sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi), dan pendidikan non formal yang secara khusus mengajarkan agama yang sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran oleh ulama’ fiqih, hadits, tafsir, tauhid, dan tasawuf yang hidup antara abad ke 7-13 masehi. Kitab-kitab yang pelajari meliputi tauhid, tafsir, hadits, fikih, usuhul fikih, tasawuf, bahasa arab (nahwu shorrof, balaghah, dan tajwid), mantik, dan akhlak. Kedua, sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak dari segala lapisan masyarakat muslim, tanpa membeda-bedakan tingkat sosial ekonomi Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta : CV. Dharma Bhakti, 1978), 32. 164 Idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi serta membekali santri dengan pengetahuan yang akhirnya mereka akan mampu berkiprah dalam peradaban zaman modern. Pertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya kitab kuning sebagai KBM wajib santri yang dikombinasikan dengan pengetahuan modern yaitu pemahaman bahasa asing yang optimal serta sains dan tekhhologi yang mumpuni. Lebih dari itu, pesantren juga harus mendirikan lembaga-lembaga pendidikan formal seperti RA/TK, MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA bahkan pada tingkat Perguruan Tinggi (Universitas). Jika hal ini terjadi, akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan fuqoha, pemikir serta kader-kader islam yang mumpuni serta memiliki pola pikir kolaboratif. 163 103 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren orang tuanya. Biaya hidup di pesantren relatif lebih murah dari pada belajar diluar pesantren.165 Dari rumusan fungsi tersebut diharapkan pesantren betul-betul mampu menjalankan kiprahnya sebagai lembaga pendidikan yang multi fungsi, artinya tidak hanya menyodorkan pendidikan agama, namun juga menyediakan segudang lembaga pendidikan dan tempat kursus keterampilan yang akhirnya mampu menelorkan calon pemimpin, eksekutif, pembisnis dan para pengusaha yang semua itu berasal dari santri-santri pondok pesantren. Dari apa yang diuraikan, tampak ternyata pesantren telah melakukan pembenahan dan pengembangan tradisi serta pembentukan tata nilai yang ada didalamnya. Namun, tak dapat dipungkiri pesantren tidak akan dapat terlepas dari garis sejarah, yang mana dari perubahan itu akan menjadi tantangan-tantangan besar bagi pondok pesantren, karena perubahan dan pembaharuan, sedikit banyak akan menggilas tradisi lama yang menjadi modal awal kelahiran pondok pesantren. Dari itu Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa Pesantren dewasa ini berada di persimpangan jalan yang sangat menentukan bagi keberlanjutan hidup sendiri. Pesantren harus menentukan pilihan dari berbagai macam alternatif, yang tidak semuanya mengembirakan.166 Jadi pada hakikatnya, saat ini pesantren diuji dengan sejumlah tekanan yang saling berlawanan arah, ini merupakan sebuah uji teori antara sistem paradigma tradisional dengan paradigma modern. Dari situlah pesantren harus memiliki keseimbangan guna memadukan dua paradigma tersebut, yang akhirnya akan tercipta sebuah pesantren yang benar-benar menjadi alternatif dan solusi terhadap tuntutan masyarakat saat ini. Kini sudah cukup jelas bagi orang-orang lainnya bahwa masyarakat kita tengah melalui berbagai perubahan menyeluruh, dan bahwa jenis pendidikan yang dibutuhkan dalam masyarakat 165 166 Mastuhu, Dinamika Sistem, 59-60. Wahid, Bungan Rampai, 39. | 104 Agus Fawait seprti juga berubah secara radikal.167 Langkah yang paling arif dalam upaya pengembangan pesantren adalah bagaimana mengembangkan pesantren sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat global, yaitu sumber daya umat muslim yang tidak gagap sains-teknologi, tetapi tetap mempertahankan kekhasan pesantren sebagai lembaga pendidikan islam yang menitikberatkan pada pembinaan akhlak masyarakat.168 Untuk itu, yang perlu diperhatikan pesantren ke depan adalah harus menatap modernisasi dan globalisasi sebagai ajang kontestasi pendidikan. Pesantren harus benar-benar mampu memberikan pendidikan alternatif yang mengarah pada pengembangan spiritual dan intelektual. Tradisi Keilmuan Pondok Pesantren Tradisi keilmuan di pesantren, memilki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Walaupun secara tidak sadar, juga mengandung manifestasi yang bebeda dengan corak keilmuan yang ada pada pendidikan islam secara khusus. Pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang memiliki ciri khas tertentu telah menampilkan tradisi keilmuannya sendiri. Akan tetapi tradisi ini mengalami perkembangan dari masa ke masa dan menampilkan manifestasi yang berubah dari waktu ke waktu. Jika merujuk sumber tradisi keilmuan pesantren yaitu alQur’an, Hadist, ijma dan qiyas, yang ditemukan dalam teks-teks kitab kuning menunjukkan bahwa keilmuan pesantren masih konsisten dengan kitab kuning yang menjadi ciri khas keilmuannya. Menurut Abdurrahman Wahid, pesantren dalam wujudnya yang sekarang memiliki sistem pengajaran yang di kenal dengan pengajian kitab kuning.169 Dalam pondok pesantren, materi-materi keislaman yang diWilliam F. O’neil, Ideologi-idelogi Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), 5 168 Suharto, Dari Pesantren untuk Umat, 31. 169 Wahid, Menggerakkan Tradisi, 214 167 105 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren ajarkan ialah diambilkan dari kitab-kitab islam klasik (kitab kuning), terutama karangan-karangan salafu as shalih yang menganut paham syafi’iyah. Dan pembahasannya-pun bersifat doktrinal ajaran-ajaran islam. Namun, perlu dipahami bahwa dalam pondok pesantren terdapat ciri khas keilmuan tertentu yang menunjukkan bahwa pesantren tersebut mampu mencetak santri yang nantinya akan ahli dalam bidang keilmuan yang diprioritaskan oleh sebuah pondok pesantren. Pada abad ke 13 yang menengarai awal kemunculan pondok pesantren Indonesia, pada masa itu pusat keilmuan pesantren berorientasi pada pengembangan fiqh sufistik “tasawuf”. Menurut Abdurrahman Wahid:170 “Tasawuf adalah orientasi yang menentukan corak dan watak tradisi keilmuan pesantren. Buku-buku tasawuf yang menggabungkan fiqh dan amal-amal akhlak merupakan bahan pelajaran utama. Diantanya adalah bidayah al Hidayah dari imam Al Ghazali yang merupakan fiqh sufistik paling menonjol selama berabad-abad, bahkan sampai saat ini di pesantrenpesantren.” Pada periode selanjutnya tepatnya pada abad ke 16 sampai abad ke 18, keilmuan pesantren masih tetap berkisar dalam ranah tasawuf. Menurut Mujib dkk, pembelajaran di pesantren waktu itu merujuk kepada kitab-kitab tasawuf panteistis, dan hanya ada dua kitab fiqh yaitu : Al Taqrib fi al Fiqh dan Al Idhaah fi al Fiqh.171 Pada abad ke-19 yang mengindikasikan sebagai awal perkembangan keilmuan pesantren yang di tengarai oleh banyaknya pelajarpelajar Indonesia yang belajar di timur tengah yang memberikan manifestasi baru terhdap keilmuan pesantren. Menurut Wahid, manifestasi keilmuan yang dikembangkan ialah pendalaman ilmu fiqh secara tuntas. Perdebatan mengenai hukum agama dilakukan dengan serius, tidak hanya melakukan kajian terhadap kitab fiqh yang besar-besar, malinkan juga dengan mengembangkan alat-alat bantunya, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu-ilmu tafsir, ilmu-ilmu hadits, dan ilmuWahid, Menggerakkan Tradisi, 222 A. Mujib dkk, Intelektualisme Pesantren, Potret Tokoh dan cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2004), 3. 170 171 | 106 Agus Fawait ilmu akhlak.172 Dalam diskripsi diatas, menjadi bukti bahwa keilmuan pesantren mengalami perkembangan dari masa-kemasa, sehingga pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, corak keilmuan pesantren ditentukan oleh setiap masing-masing pondok dan kiai yang mengkhususkan pada satu bidang pengetahuan. K.H. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng terkenal dengan haditsnya, sedangkan pesantren Jampes Kediri terkenal dengan Sufinya.173 Dalam penelitian yang dilakukan L.C.W. van den Berg, mayoritas dari kitab kuning yang diberlakukan dalam lingkungan pesantren adalah kitab fiqih. Diantara kitab-kitab tersebut adalah Safinatun Najah, Sullamut Taufiq, Minhaj al Qawim, Al Hawasyi al Madaniyah, Fathu al Qarib, Al Iqna’, Bujairimi, Al Muharrar, Manhaju al Thalibin, Fathu al Wahab, Tuhfatu al Muhtaj dan Fath al Mu’in. Dan dalam bidang tasawuf diajarkan Ihya’ Ulum al Din.174 Walau demikian, meskipun pesantren memiliki ciri khas keilmuan tertentu bukan berarti hanya mengajarkan ilmu yang menjadi orientasi utamanya, melainkan juga mengajarkan ilmu-ilmu yang mendukung terhadap keilmuan santri. Dhofier menjelaskan, kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan kedalam 8 kelompok : a. nahwu (syntax) dan saraf (morfologi); 2. fiqh; 3. Usul fiqh; 4. Hadits; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawuf dan Etika, dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.175 Biasanya pada pesantren juga terdapat penjenjangan pengajaran yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan santri. Dalam belajar kitab misalnya, jika santri telah belajar kitab Fathu al Qoribu al Mujib maka akan ditingkatkan lagi pada kitab yang sifatnya lebih tinggi yaitu Kitab Fathu al Mu’in. Jika pada pelajaran nahwu sebelumnya digunakan Kitab Imriti maka selanjutnya di pelajari kitab Al Fiyah ibnu al Malik, begitu juga dengan ilmu-ilmu (kitab-kitab) yang lainnya. Wahid, Menggerakkan Tradisi, 225 Dhofier, Tradisi Pesantren, 22. 174 Mujib, Intelektualisme Pesantren, 3. 175 Dhofier, Tradisi Pesantren, 50. 172 173 107 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren “Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqih, usul fiqh dan tasawuf. Kesemuanya ini dapat pula digolongkan kedalam tiga kelompok yaitu: 1. Kitab-kitab dasar; 2. Kitab-kitab tingkat menengah; 3. Kitab-kitab besar”.176 Dari sekian jumlah kitab kuning yang diterapkan di pesantren, tentu itu harus memiliki bebarapa metode. Sebagaimana dijelaskan oleh Babun Suharto, bahwa kitab-kitab kuning dipelajari dengan bebarapa metode: Pertama, metode hafalan. Dalam metode ini, santri diwajibkan menghafal kitab-kitab atau teks-teks bahasa Arab secara individual, sementara kiai atau ustadz menjelaskan arti kata demi kata. Kitabkitab yang dihafalkan biasanya berupa nadzam (sajak), seperti: Aqidatul Awam, Hidayatul al Shibyan, ‘Awamil, Imrithi, Alfiyah ibn Malik, dan sebagainya. Kedua, metode wetonan-bandongan. Di dalam metode ini, kiailah yang menentukan adanya pengajian dan kitab yang akan dikaji, dimana pengajian itu diberikan secara kelompok. Para santri biasanya membentuk sepertiga lingkaran di sekeliling kiai sambil membawa kitab yang telah ditentukan. Prosesnya, kiai membaca, menrtikan dan menjelaskan isi kitab, sedangkan para santri mendengarkan, menyimak dan mencatat keterangan kiai dalam kitab itu. Ketiga, metode sorogan, yaitu metode individual dimana seorang santri menghadap kiai untuk mengkaji suatu kitab. Pengajian jenis ini biasanya diberikan kepada para santri tingkat atas (ulya). Akan tetapi, metode ini juga bisa di tempuh santri pemula yang ingin memperoleh kematangan untuk mengikuti pengajian wetonanbandongan. Berbeda dengan metode sebelumnya, di dalam metode ini santrilah yang aktif di dalam pengajian, sedangkan kiai mengoreksi atau memberi penjelasan tambahan. Keempat, metode mudzakarah/musyawarah. Sedikitnya ada dua model mudzakarah yang banyak dijumpai di pesantren-pesantren. Per176 Dhofier, Tradisi Pesantren, 50. | 108 Agus Fawait tama, mudzakarah yang diinisiasi dan dilakukan oleh sejumlah santri sendiri. Biasanya, mudzakarah itu dilakukan dengan mengangkat suatu permasalahan tertentu untuk kemudian dipercaya dengan merujuk kepada kitab-kitab kuning. Kedua, mudzakarah yang langsung dipimpin oleh kiai. Materi mudzakarah itu berasal dari hasil mudzakarah yang diinisiasi oleh santri, namun masih belum diperoleh jawaban yang jelas.177 Dari itu dapat dipahami bahwa, pesantren sebetulnya telah lama menerapkan kurikulum walaupun pada kenyataannya tidak ada istilah kurikulum. Di pondok pesantren hal tersebut terkenal dengan istilah tradisi keilmuan. Dari corak keilmuan seperti ini, tidak dapat dipungkiri bahwa konteks zaman telah berbeda, untuk itu diperlukan format pengembangan keilmuan santri yang sesuai dengan konteks zaman dan memenuhi tuntutan masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya santri perlu diberikan bukan hanya ilmu-ilmu yang terkait dengan ritual keseharian yang bersifat praktis dan pragmatis melainkan ilmu-ilmu yang bersifat penalaran yang menggunakan referensi wahyu. Dalam hal ini, kapasitas kiai merupakan faktor yang menentukan pengembangan kurikulum tersebut. Hal itu tentunya untuk meningkatkan kualitas keilmuan santri pondok pesantren. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat mengambil ide yang telah diketuk tularkan oleh Syeh Wahid Hasyim sebagai founding father pesantern modern yaitu, agar para santri yang belajar di pondok pesantren lebih banyak menggunakan potensi akal pikirnya guna menyelesaikan problematika kemasyarakatan, bukan hanya persoalan yang berhubungan dengan masalah agama, ritual dan ibadah namun juga problem riil yang dihadapi masyarakat Islam, salah satunya adalah persoalan ekonomi yang sering menjadi problem serius ummat Islam. Maka, santri harus memperkuat diri dengan berbagai macam keahlian.178 Dengan demikian, diperlukan adanya design atau format kuri- 177 178 Suharto, Dari Pesantren untuk Umat, 122. Basori, The Founding Father, 104. 109 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren kulum atau pengembangan keilmuan yang spesifik dan berorintasi pada keterampilan. Dalam konteks era modernisasi, ide pembaharuan kurikulum pondok pesantren, sebenarnya telah banyak diaktualisasikan oleh pondok pesantren. Namun masih banyak lembaga pondok pesantren lainnya yang menyisakan pola-pola sistem kurikulum tradisional dengan tanpa diimbangi dengan perubahan dan dan tuntutan era modernisasi. Maka dari situlah akhirnya, lahirlah sebuah pemikiran bahwa ‘Al Muhafadhatu alaa Qadimi As Shalih wa al Akhdu ala jadidi al ashalah’ masih difahami separuh-separuh, padahal dari qa’idah tersebut sudah jelas bahwa umat islam dianjurkan untuk mengambil sesuatu yang baru, namun jangan meninggalkan yang lama selagi masih dinilai baik. Untuk itu, format kurikulum yang seharusnya direalisasikan oleh pondok pesantren ialah perpaduan antara kurikulum salaf dengan sistem pendidikan modern. Hal ini diharapkan agar pesantren mampu mewujudkan kader-kader yang siap bertempur dalam era modernisasi yaitu kader yang kritis, kreatif dan inovatif serta progresif dan tidak ortodok, sehingga santri siap kapan dan dimana saja jika dibutuhkan oleh masyarakat, serta bisa melangkah kamanapun yang dia mau, artinya tidak hanya terkoptasi pada satu ruang, yaitu ruang kosong yang sepi akan peradaban dan kejayaan. Sementara Haedari yang dikutip oleh Basori mengatakan bahwa sebagai lembaga pendidikan, maka kurikulum pengajaran pesantren setidaknya mimiliki orientasi terhadap dinamika kekinian.179 Artinya, lembaga pendidikan pondok pesantren harus lebih meningkatkan kurikulum yang ada yaitu disamping kurikulum yang diarahkan pada pemahamanan keagamaan, seharusnya juga memasukkan materi sosial dan kenegaraan. Untuk lebih spesifiknya, idealnya pesantren kedepan harus menerapkan ilmu-ilmu yang bersifat 'aqliyah, naqliyah dan lisaniyah. Ilmu-ilmu 'aqliyah adalah ilmu yang bersumber dari asas pemikiran dan penelitian manusia seperti: ilmu pasti, biologi, fisika dan sains, 179 Basori, The Founding Father, 105. | 110 Agus Fawait sedangkan ilmu-ilmu nagliyah adalah ilmu-ilmu yang bersumber dari Al Quran dan al-Hadits, seperti tafsir, hadis, fiqh, tauhid, dan sebagainya. sedangkan ilmu-ilmu lisaniyah ialah ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, arud, dan sebagainya. Dari uraian diatas, tentunya harus difahami bahwa pengembangan keilmuan atau lebih spesifiknya pengembangan kurikulum merupakan tuntutan yang menjadi agenda penting bagi pondok pesantren untuk merelevansikannya dengan era modernisasi “globalisasi”. Dalam rangka merancang kurikulum berbasis pesantren, yang perlu dipertimbangkan adalah prinsip-prinsip perancangan kurikulum pesantren. Menurut Halim ada beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun kurikulum yang relevan adalah sebagai berikut :180 Pertama, dasar filosofis Negara yang berlangsung dan mengarahkan tujuan pendidikan nasional. Kedua, dasar sosiologis yang menyangkut keadaan masyarakat, ekonomi, adat istiadat, budaya, kesehatan, dan sebagainya. Ketiga, dasar psikologis yang mempertimbangkan factor-faktor terkandung dalam diri sasaran pendidikan-pelatihan, misalnya, minat, kebutuhan, kemampuan, pengalaman dan sebagainya. Keempat, dasar organisasi, dimana kurikulum disajikan dalam bentuk tertentu baik dalam luas bahan, isi maupun urutan. Dari prinsip tersebut, akan dapat melahirkan rumusan tujuan kurikulum, tujuan kurikulum pesantren yang dimaksud adalah : Pertama, tujuan umum, yang identik dengan tujuan pendidikan nasional. Kedua, tujuan institusional, yaitu tujuan lembaga atau ponpes bersangkutan. Ketiga, tujuan kurikuler, yakni tujuan dari setiap bidang studi atau mata pelajaran. Keempat, tujuan instruksional, yakni tujuan yang sudah spesifik yang mencakup suatu pengetahuan, sikap atau ketrampilan yang akan di capai dengan pemberian kuliah yang bersangkutan.181 180 181 A. Halim, dkk, Manajemen Pesantren, (Yogyakarta. LKis, 2005), 16. Halim, Manajemen, 17. 111 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren Dengan rumusan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, dalam rangka menyusun kurikulum yang relevan, pesantren harus berusaha menyesuaikan kurikulum yang ada dengan tuntutan perubahan zaman. Dengan demikian, sistem pembelajaran, keilmuan dan kurikulum yang ada di pondok pesantren tidak akan terkoptasi pada paradigma lama yaitu tradisionalisme. Dari itu, dalam upaya mengembangkan kurikulum pesantren, setidaknya harus memiliki langkah yang sistematis. Sulton menyebutkan beberapa langkah yang harus dilakukan dalam hal ini, antara lain:182 (1) Melakukan kajian kebutuhan (need essesment) untuk mengetahui faktor penentu kurikulum serta latar belakangnya. (2) Menentukan mata pelajaran yang akan diajarkan. (3) Merumuskan tujuan pembelajaran. (4) Menentukan Hasil Belajar yang diharapkan dari siswa dalam tiap mata pelajaran. (5) Merumuskan topik-topik tiaptiap mata pelajaran. (6) Menentukan syarat-syarat yang di tuntut dari siswa. (7) Menetukan bahan yang harus di baca siswa. (8) Menentukan setrategi mengajar yang serasi, serta menyediakan alat peraga dan sumber belajar mengajar. (9) Menentukan alat evaluasi hasil belajar dan skala penilaiannya. (10) Membuat rancangan rencana penilaian kurikulum secara menyeluruh dan strategis pebaikannya. Pemaparan diatas merupakan serumpun acuan yang di perlu diterapkan oleh pondok pesantren dalam rangka mengembangkan keilmuannya. Jadi jelas bahwa, dalam upaya pengembangan keilmuan “kurikulum”, yang perlu digaris bawahi adalah, peninjauan secara kontekstual terhadap kondisi dan kebutuhan, serta minat para santri. Jika pesantren sudah melakukan kajian-kajian yang mendasar terhadap kebutuhan tersebut, maka ada sedikit keyakinan alumni pondok pesantren akan lebih berkualitas dari alumni lembaga pendidikan umum. Bahkan pesantren yang pengaruhnya sudah mulai rapuh dan kurang diminati oleh masyarakat akademis, dengan perubahan tersebut akan menjadi lembaga di idolakan masyarakat. Pengkombinasian model keilmuan modern dan tradisional se182 Sulthon, Manajemen, 79-81. | 112 Agus Fawait pertinya menjadi acuan ideal yang perlu dilakukan oleh pondok pesantren. Menurut Abdurrahman Wahid, kepentingan pembuatan model-model kurikulum itu adalah untuk menyediakan tingkatan ilmiah minimal bagi pengetahuan agama di pondok pesantren. Dengan tercapainya tingkatan minimal itu, pesantren bersangkutan dapat memasukkan unsur-unsur pendidikan non agama ke dalam kurikulumnya, tanpa membahayakan kelestarian tugas pokok pesantren sebagai pengemban ilmu-ilmu agama yang dilandasi oleh ketiga unsur iman, islam dan ikhsan.183 Beberapa ketentuan haruslah dijadikan batasan dalam penyusunan model-model kurikulum dimaksud. Pertama, ketentuan untuk menghindarkan pengulangan (adamu al tikrar), sepanjang tidak dimaksudkan untuk pendalaman (ta’ammuq) dan penjenjangan (tadarruj). Kedua, pemberian tekanan pada latihan-latihan (tamrinat). Ketiga, tidak dihindari adanya lompatan-lompatan yang tidak berurutan dalam penerapan buku-buku wajib (kutub al muqarrarah), selama masa pendidikan dari tahun ke tahun. Sebagai misalnya, dari Al Jurumiyah di tahun pertama, melalui Al-Imrithi di tahun kedua, dan disudahi dengan Al Fiyah untuk nahwu di tahun ke tiga.184 Dari sejumlah kurikulum pondok pesantren tersebut, selanjutnya pesantren perlu mengadakan akulturasi serta “naturalisasi” pesantren dengan perkembangan zaman kebutuhan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan dengan cara memasukkan mata pelajaran umum yang mengarah pada life skill santri pondok pesantren. Tujuan pengembangan pesantren dengan demikian adalah integrasi antara pengetahuan agama dan non-agama, sehingga lulusan yang dihasilkan akan memiliki kepribadian yang untuk dan bulat, yang menggabungkan dalam dirinya unsur-unsur kimanan yang kuat dan penguasaan atas pengetahuan secara berimbang.185 Dari program pengembangan kurikulum yang dimikian, pesantren akan mampu mencetak manusia-manusia yang memiliki caWahid, Menggerakkan Tradisi, 121. Wahid, Menggerakkan Tradisi, 121-122. 185 Wahid, Menggerakkan Tradisi, 137 183 184 113 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren krawala pemikiran yang luas, pandangan hidup yang matan, pendekatan yang praktis dan berwatak multisektoral dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapai. Disamping ide diatas, tidak kalah pentingnya pesantren juga memasukkan ilmu-ilmu keterampilan yang menunjang terhadap masa depan santri. Menurut Haedari, keterampilan yang bisa di terapkan di pondok pesantren bisa berupa keterampilan beternak, bercocok taman, menjahit bahkan menerapkan keterampilan kerajinan tangan. Dan hal tersebut di sesuaikan dengan latar belakang para santri.186 Pembekalan ilmu keterampilan terhadap santri tentu merupakan hal yang positif, karena hal tersebut sebagai sebuah integrasi antara ilmu agama yang dimiliki oleh santri dengan skill keterampilan untuk masa depan meraka. Ide tersebut sebenarya telah lama di rekomendasikan oleh Mulyanto yang berikut: “Departemen agama selaku instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas pembinaan perguruan-perguruan agama, termasuk pondok pesantren, beberapa tahun terakhir ini menganjurkan kepada pondok pesantren untuk memberikan pendidikan-pendidikan agama dan juga memberikan pengetahuan umum, pendidikan keterampilan, kepramukaan, kesehatan, olah raga dan pendidikan kesenian.187 Haedari, Panorama Pesantren, 85 Mulyanto Sumardi, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:CV. Dharma Bhakti, 1978), 44. Dari hasil laporan Sumardi, bahwa berdasarkan pada hasil keputusan seminar Pondok Pesantren seluruh Indonesia yang diadakan di IAIN Sunan Kalijaga pada bulan Juli 1965 dan Seminar pendidikan pada perguruan agama yang diadaskan oleh Proyek peningkatan Penelitian kegamaan Departemen Agama pada bula Juni 1971 di Tugu-Bogor, kedua seminar ini memutuskan agar di Pondok Pesantren diadakan pendidikan keahlian seperti Pertukangan, pertanian, dasn pembaharuan kurikulum, disamping pembinaan pendidikan personel, organisasi dan administrasi. Sumardi, Sejarah Singkat, 44. selanjutnya Menurut Mukti Ali, pada masa orde Baru pondok pesantren telah dilancarkan dengan lima komponen pendidikan yaitu : (a) Pengajaran dan pendidikan Agama, (b) Keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar, (c) Kepramukaan, dimana pendidikan dan disiplin agama dapat dilakukan dengan perantraan kegiatan pramuka, (d) Kesehatan dan olah raga. Ini perlu diingatkan di Pondok Pesantren, karena ternyata masih banyak pondok pesantren yang kurang mengambil perhatian terhadap kesehatan dan olahraga. (e) Kesenian yang berna- 186 187 | 114 Agus Fawait Dari ide penerapan ilmu keterampilan tersebut, pesantren bukan hanya akan mencetak pelajar-pelajar yang pandai dalam ilmu agama, meleinkan mereka juga akan mampu berkiprah dalam kehidupan masyarakat dengan potensi keterampilan yang dimiliki. Dari paparan diatas, memungkinkan pesantren akan menjadi lembaga pendidikan alternatif sebagaimana yang di cita-citakan oleh masyarakat. Serta menjalankan tujuannya sesuai dengan amanah UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam artian, pesantren dalam hal ini tidak hanya menjadi media yang mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat doktrinal melainkan ilmu-ilmu yang bersifat penalaran dan keterampilan. Karena pada hakikatnya, ilmu adalah suatu alat dalam meraih kebenaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Mastuhu yang menjelaskan tujuan akhir dari ilmu adalah untuk menemukan kebenaran di dunia ini.188 Tradisi Kelembagaan Pondok Pesantren Pesantren sebagai basis utama orang Islam untuk menimba ilmu-ilmu yang notabennya mengalami perubahan yang cukup signifikan, hal ini jelas ketika gerbang modernisasi di buka dan menjamur dimana-mana. Sehingga, pesantren yang merupakan ciri khas pendidikan islam menerima bias imbas langsung di segala bidang. Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai zaman modernisme, yaitu suatu zaman yang telah menekankan pada manusia untuk berfikir dengan nalar rasional. Dari sini peranan pesantren mulai mengalami perubahan yang cukup signifikan. Tapi, penjelasan di atas kiranya cukup untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Hal tersebut sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia pada awal mulanya berperan sebagai pusat pembelajaran ilmu-ilmu fas islam. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. (Jakarta : Rajawali, 1985), 21 188Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, (Tangerang:Lentera Hati, 2007),154. 115 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren agama dan dakwah islam. Turmudzi mengatakan sebelum sistem pendidikan modern di perkenalkan oleh Belanda, pesantren adalah satu-satunya sistem pendidikan yang ada di Indonesia.189 Pada masa kejayaannya, artinya pesantren pra abad ke-20 yang disebut era tradisional, dimana pesantren diidealisasikan sebagai pusat pentransformasian nilai-nilai ajaran islam. Pada waktu itu, sistem pendidikan yang dipakai ialah dengan sistem sorogan dan bandongan. Dhofier dalam Turmudzi mengatakan bahwa, pesantren biasanya menggunakan sistem pembelajaran tradisional. Ada beberapa teknik mengajar, tapi yang paling umum digunakan adalah bandongan dan sorogan.190 Perubahan sistem pendidikan pesantren mulanya berawal dari ekspansi sistem pendidikan umum yang terlalu berlebih-lebihan sehingga pendidikan islam dalam konteks ini banyak yang tidak bertahan, terutama sistem pendidikan yang dikomandoi oleh Kolonial Belanda di Indonesia. Pada pertengahan abad ke-19 pendidikan tradisional masih banyak yang bertahan namun hampir menjelang abad ke-20 inilah yang ditengarai sebagai pembaharuan dan modernisasi besar-besaran sebagai bentuk komunitas dari ekspansi sistem pendidikan ala Kolonial. Hal tersebut diatas jelas merupakan persoalan besar yang menjadi agenda dalam upaya pembenahan diri pesantren agar mampu menjawab tantangan zaman. Namun yang perlu digaris bawahi, seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat serta melahirkan penerus para ulama’ dan kader-kader muda islam yang mampu berkiprah dalam peradaban zaman modern, pesantren seharusnya secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan, pembenahan serta penguatan diri dalam menghadapi era modernisasi. Namun demikian, yang perlu di catat bahwa zaman sekarang bukan zaman seperti masanya Saifuddin Zuhri di saat mengenyam 189 190 Turmudzi, Perselingkuhan Kiai, 37. Turmudzi, Perselingkuhan Kiai , 35. | 116 Agus Fawait pendidikan pesantren. Zaman sekarang adalah zaman yang penuh dengan perubahan pola fakir manusia. Zaini menjelaskan bahwa pesantren pada akhir-akhir ini merupakan fenomena adanya keraguan tentang keberadaan pesantren, termasuk santri yang ada didalamnya.191 Dari sini jelas sudah bahwa kondisi pesantren ketika berkutat pada sistem pendidikan tradisional, pesantren hanya akan menghadapi masalah besar, yaitu sebuah tanda akan gulung tikar. Mahfudh menambahkan Tradisi keimuan pesantren memang dapat dipetahankan supaya tidak menurun kualitasnya dibanding dengan generasi sebelumnya, tetapi jelas akan sangat tertinggal oleh semangat dan perkembangan tradisi keilmuan diluar. Pada akhirnya, pesantren harus rela menjadi penonton perkembangan keilmuan, bahkan dibidang keilmuan agama yang sudah terlanjur diklaim sebagai “wilayah tradisional” pesantren.192 Pada zaman ini, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul ketika pesantren tetap memperhatikan khazanah tradisi yang selama ini telah umum dikalangan pondok pesantren dengan kaidah hukum yang menarik untuk dikaji, diresapi dan diaplikasikan oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mesti merespon tantangan zaman. Kaidah itu berbunyi “Al Muhafadhatu alaa Qadimi as Shalih wa al Akhdu ala Jadidi al Ashalah”.193 Dari hal ini, dapat diambil kesimpulan bahwa, pesantren sebagai lembaga pendidikan islam dianjurkan untuk mengambil sesuatu yang baru “modern” selagi itu dinilai positif namun jangan sekali-sekali meninggalkan ciri khas lama yang telah menjadi kelebihan pondok pesantren selagi sesuatu yang lama tersebut masih relevan dan berdampak positif. Hal ini diharapkan agar pesantren mampu mempertahankan diri dan eksis dalam arus globalisasi serta mampu menyalurkan ide dalam mencerahkan kehiWahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri. Yogyakarta : LKPSM, 1994), 86. Sahal Mahfud, Pesantren Mencari Makna. (Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999), 104. 193 Hasil Muktammar Pondok Pesantren (rabitha ma’ahid pertama pada tahun 1959). Zubaedi, Pengembangan Masyarakat Berbasis Pesantren: Kontribusi Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh Dalam Perubahan Nilai-Nilai Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 289. 191 192 117 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren dupan bangsa serta sebagai sebuah bentuk pengkawalan terhadap prosesi berjalannya modernisasi. Dari itu tampak jelas, bahwa tidak mungkin kita paksakan suatu pembaharuan (inovasi) yang bersifat radikal atas Pondok Pesantren. Segala usaha ke arah itu harus di lakukan melalui pendekatan psikologis dan pedagogis. Pembinaan yang di inginkan dalam hal ini adalah terletak pada intensifikasi dan ekstensifikasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren.194 Lain dari itu, A’la menambahkan bahwa, Pembacaan kembali terhadap turats dalam bentuk Al Qadimi al Shalih tersebut berimplikasi langsung terhadap Al Jadidi Al Ashalah. Hal ini dimungkinkan terjadi sebab rumusan nilai-nilai kemadirian pesantren, misalnya menuntut kearifan pesantren untuk selalu menyikapi perubahan dan meletakkannya sebagai suatu kemestian yang harus dijalani.195 Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa sekarang dan yang akan datang di tuntut berbenah dan menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Tapi, perubahan dan pembenahan yang dimaksud bukan berarti pesantren harus meninggalkan sistem lama yang telah menjadi ciri khas pondok pesantren apalagi meninggalkan kitab kuning yang selama ini sudah menjadi keharusan pondok pesantren menerapkan pembelajaran tersebut. Namun upaya ini diharapkan dapat merubah pola-pola strategik pondok pesantren yang berkaitan dengan masa depan pesantren. Rofik, menawarkan konsekuensi yang mesti dilakukan oleh pondok pesantren ialah, harus merubah paradigma pendidikannya agar tak ditinggalkan oleh “masyarakat modern”, dari klasik menjadi lebih ilmiah, logik dan modern, terutama sekali untuk memenuhi bekal hidup hari esok bagi anak didik.196 Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007), 23. 195 A’la, Pembaharuan, 25. 196 A. Rofik, dkk, Pemberdayaan Pesantren Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2005), 11 194 | 118 Agus Fawait Jadi jelas, perubahan dan pembenahan pendidikan yang terdapat dalam pondok pesantren seharusnya menjadi agenda dan bahan renungan pondok pesantren. Memang, agenda modernisasi pesantren, pada dasarnya merupakan sebuah benturan pemikiran antara ulama’ salaf dengan masyarakat modern. Namun hal ini tidak dapat dielakkan lagi, pembaharuan sudah menjadi hukum alam yang harus di geluti oleh pondok pesantren. Walau bagaimanapun, pesantren sebagai lembaga pendidikan islam harus mempertimbangkan kondisi internalnya yang selama ini direalisasikan sebagai lembaga pendidikan tradisional. Penutup Ada beberapa hal yang perlu kami simpulkan dalam tulisan ini mengenai transformasi pengembangan tradisi pondok pesantren. Pesantren sebagai basis utama orang Islam untuk menimba ilmu-ilmu yang notabennya mengalami perubahan yang cukup signifikan, hal ini jelas ketika gerbang modernisasi di buka dan menjamur dimana-mana. Sehingga, pesantren yang merupakan ciri khas pendidikan islam menerima bias imbas langsung di segala bidang. Dari hal tersebut, maka patut jika pondok Pesantren dikategorikan sebagai lembaga pendidikan islam serta dilegitimasi hasil karya rakyat dan kultur budaya bangsa Indonesia yang keberadaannya telah menyamai umur masyarakt Islam Indonesia, sehingga lembaga pendidikan ini dikatakan sebagai lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia dan hasil dari kreasi budaya bangsa. Dari itu tampak jelas, bahwa tidak mungkin kita paksakan suatu pembaharuan (inovasi) yang bersifat radikal atas Pondok Pesantren. Segala usaha ke arah itu harus di lakukan melalui pendekatan psikologis dan pedagogis. Pembinaan yang di inginkan dalam hal ini adalah terletak pada intensifikasi dan ekstensifikasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren. 119 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren Daftar Pustaka A. Halim, dkk, 2005. Manajemen Pesantren, Yogyakarta. LKis A. Mujib dkk, 2004. Intelektualisme Pesantren, Potret Tokoh dan cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren, Jakarta : Diva Pustaka A. Rofik, dkk, 2005. Pemberdayaan Pesantren Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Yogyakarta : Pustaka Pesantren Abd. A’la, 2006. Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta : Pustaka Pesantren Abdurrahma, Mas’ ud, 2004. Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi Yogyakarta : LKis Abdurrahman Wahid, 1978. Bunga Rampai Pesantren. Jakarta : CV. Dharma Bhakti Ade Irawan, dkk, 2004. Mendagangkan Sekolah, Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta. Jakarta:ICW Amin Haedari, 2005. Panorama Pesantren Dalam Cakrawala Modern Jakarta:Diva Pustaka Aribowo. 2001. Perspektif Baru Pesantren dan Pengembangan Masyarkat. Surabaya : Yayasan Ti Guna Bhakti Ary Ginanjar Agustian, 2005. Rahasia Sukses Memabangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Jakarta : Arga Babun Suharto, 2011. Dari Pesantren untuk Umat; Reinventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi. Surabaya:Imtiyaz Dirdjosanjoto, Pradjarta. 1999. Memelihara Umat. Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta : LKis | 120 Agus Fawait Halim Soebahar, 2010. Transformasi Pendidikan Islam, Refleksi tentang Kesinambungan dan Perubahan, Jember:STAIN Jember Imam Machali, 2006. Pendidikan Islam Berbasis Masyarakat. An-Nur Jurnal Studi Islam Khoiro Ummatin. 2002. Perilaku Politik Kiai. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Manfred Ziemek, 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial. Jakarta : P3M Mansour dan Mahfud Junaedi, 2005. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:Depag RI Marzuki Wahid, (Eds.). 2001. Pesantern Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Jakarta:Pustaka Hidayah Mastuhu, 1994. Dinamika sistem pendidikan pesantren, Jakarta : Inis Mastuhu, 2007. Sistem Pendidikan Nasional Visioner, Tangerang:Lentera Hati Mastuki. 2004.BSinergi Madrasah dan Pondok Pesantren Suatu Konsep Pengembangan Mutu Madrasah. Jakarta : Departemen Agama RI Mohammad Asrori Alfa, (Eds.). 2009. Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer. Malang:UIN Malang Press Mujamil Qomar, 2007. Manajemen Pendidikan Islam. Surabaya : Erlangga Mujammil Qomar, 2005. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, Jakarta :Erlangga Mukti Ali, 1985. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta : Rajawali Mulyanto Sumardi, 1978. Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:CV. Dharma Bhakti 121 | Volume 5. No. 01. Maret 2013 Transformasi Pengembangan Tradisi Pondok Pesantren Muzanni, (Eds), 2004. Spiritualitas Baru, Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Muzayyin Arifin, 2007. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara Nur Khalik Ridwan, 2009. NU dan Neo Liberalisme Tantangan dan Harapan Menjelang satu Abad. Yogyakarta : Lkis Nurcholis Madjid, 2000. Pesantren Dari Pendidikan Hingga Politik. Bina Pesantren Sahal Mahfud, 1999. Pesantren Mencari Makna. Jakarta : Pustaka Ciganjur Saifuddin Zuhri, 2008. Guruku Orang-Orang Dari Pesantren. Yogyakarta:LKis Setditjen Pendidikan Islam, 2009. Statistik Pendidikan Tahun 2009. Jakarta:Kemenag RI Sulthon Masyhud, 2005. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta : Diva Pustaka Sunarto Al Qurtubi, 1999. KH. MA. Sahal Mahfudh, Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta : Cermin Syafaruddin. 2005. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pres Wahid Zaini, 1994. Dunia Pemikiran Kaum Santri. Yogyakarta : LKPSM Zubaedi, 2007. Pengembangan Masyarakat Berbasis Pesantren: Kontribusi Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh Dalam Perubahan Nilai-Nilai Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. | 122