pandangan hidup tokoh waska dalam naskah drama umang

advertisement
PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH
DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA
ARIFIN C. NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
Yunita
NIM. 109013000060
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH
DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA
ARIFIN C. NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
Yunita
NIM. 109013000060
Di bawah bimbingan
Novi Diah Haryanti, M.Hum
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
UJI REFERENSI
Seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul
“Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang Atawa
Orkes Madun II dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA” yang
disusun oleh Yunita dengan NIM 109013000060 Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, telah diuji kebenarannya oleh dosen pembimbing pada
tanggal 10 Maret 2014.
Jakarta, 11 Maret 2014
Pembimbing
Novi Diah Haryanti, M.Hum
KEMENTERIAN AGAMA
UIN JAKARTA
FITK
No. Dokumen
Tgl. Terbit
No. Revisi:
Hal
FORM (FR)
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia
:
:
:
:
FITK-FR-AKD-089
1 Maret 2010
01
1/1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
: Yunita
Tempat, Tgl Lahir
: Tangerang, 07 Juni 1991
NIM
: 109013000060
Jurusan
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi
: “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah
Drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II Karya
Arifin
C.
Noer
dan
Implikasinya
terhadap
Pembelajaran Sastra”
Dosen Pembimbing
: Novi Diah Haryanti, M.Hum.
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, Maret 2014
Mahasiswa Ybs.
Materai 6000
Yunita
NIM. 109013000060
ABSTRAK
Yunita, (109013000060), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Judul skripsi “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah
Drama Umang-umang atawa Orkes Madun II dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra”.
Sastra merupakan bagian kehidupan yang ceritanya diangkat dari peristiwa
nyata. Salah satu dari karya sastra adalah drama, suatu rekaan dunia kecil di atas
panggung yang melakonkan setiap peristiwa.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pandangan hidup seorang
tokoh dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C.
Noer.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
deskriptif. Subjek penelitian ini, yaitu pandangan hidup tokoh Waska dalam
naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer dan
sebagai objek penelitian adalah naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun
II yang berupa dialog-dialog. Tahapan analisis drama meliputi, pengumpulan
dokumentasi kemudian dijabarkan dengan memberikan analisis.
Hasil penelitian dapat penulis simpulkan bahwa pandangan hidup tokoh
Waska dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II, meliputi:
Pertama, ia menganggap bahwa di dunia ini tidak lagi diperlukannya cinta kasih,
semua hal itu malah akan membuat lemah dan tidak bergairah dalam hidup.
Kedua, pandangannya tentang penderitaan berubah, menurutnya, penderitaan
adalah ketika ia menikah dan memilii keluarga. Perempuan yang mencintainya
sepenuh hati dibiarkan menderita lantaran dibiarkannya, tetapi menurutnya,
penderitaan adalah ketika ia bersama dengan perempuan itu. Ia menganggap
semua impian besarnya akan gagal ketika ia memiliki cinta. Cinta itu simbol
kelemahan baginya. Ketiga, pandangan Waska tentang tanggung jawab yang
baginya itu kekokohan hidup, tanggung jawab yang ia miliki adalah tanggung
jawab terhadap waktu jika ingin menjadi orang besar. Keempat adalah pandangan
hidupnya tentang harapan. Harapan baginya adalah omong kosong. Berharap
sama saja menjatuhkan harga diri ke dalam lubang ketakutan.
Kata Kunci: Pandangan Hidup, Umang-umang Atawa Orkes Madun II,
Pembelajaran Sastra
i
ABSTRACT
Yunita, (109013000060) Educational Courses Indonesian Languange
and literature. Tarbiyah Science and Teacher Faculty. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Thesis Title “The Worldview Waska in Umang-umang
atawa Orkes Madun II Drama Script and their Implication with Literature
Study”.
Literature is a part of life that’s the real life who lift in their story. A part
of that’s is the Drama. The microcosm on the stage who act out each event.
The purpose of this study was to describe the character wordiew in
Umang-umang atawa Orkes Madun II Arifin C. Noer work.
The method used in this study is descriptive analysed method. The subject
of this study is the Worldview of Waska in Umang-umang atawa Orkes Madun II
Arifin C. Noer work, and as the object in this Umang-umang atawa Orkes Madun
II which consist of a dialog. The step to analyze this drama script including
documentation collect and then described with the analysed.
The result can the authors conclude that Waskas Worldiew in Umangumang atawa Orkes Madun II, including: First, he regard that in this world he
didn’t needed sense of love, because that’s all can make human weak and not
exited to begin the live. Second, his Worldiew of suffer, changed. For him suffer
is when he merried and choosed the family. He let the woman who love him
disappear, because for him suffer is when he together with that woman, so his big
dream can be continued when he throw out his sense of love. Third, for waska,
the responsible of time is the requirement, because if someone can be a “Big
Man” he must be responsible with the time. Fourth, his Wordview of hope. For
him, hope is nonsense. Because when someone started to hoped, he can falling to
the scared.
Key Word: Wordview, Umang-umang Atawa Orkes Madun II, literature study.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah
menganugerahkan nikmat Iman dan Islam serta kekuatan, dan atas rahmat karunia
serta hidayah-Nya, skripsi ini berhasil diselesaikan dengan baik. Shalawat
bermutiarakan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga,
sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkahnya
hingga akhir zaman nanti.
Tiada kata yang dapat penulis torehkan lagi, kecuali hanyalah ucapan
terima kasih yang tiada terkira atas bimbingan, dorongan serta masukan-masukan
positif untuk membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini. Oleh karena itu,
perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Nurlena Rifai, M.A., Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, MPd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia.
3. Dra. Hindun, MPd., selaku sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
4. Novi Diah Haryanti, M.Hum., Pembimbing yang dengan sabar dan
ikhlasnya telah memberi petunjuk, bimbingan, saran, masukan, dan
pengarahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan memberikan ilmu kepada
penulis.
6. Para staf perpustakaan, baik Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang
telah
membantu
penulis
dalam
mencari
referensi
untuk
menyelesaikan skripsi ini.
7. Ibunda dan ayahanda tercinta Maisyuri Candra Dewi dan Uding Saputra,
yang tak pernah letih merawat, mendoakan, mendukung, dan memberi
motivasi serta bantuan moril maupun materil kepada penulis dengan tulus
dan ikhlas. Skripsi ini sebagai bukti bakti penulis kepada Mama dan Papa.
iii
8. Adik-adikku tercinta Faizal Alqorni dan Lutfiah Azizah yang selalu
mendo’akan dan mendorong penulis untuk tetap semangat menyelesaikan
skripsi ini.
9. Bohari Muslim yang selalu menemani hari-hari penulis dalam proses
penulisan skripsi ini. Terima kasih kamu yang telah memberikan
bimbingan, kasih sayang, serta semangat kepada penulis.
10. Teman-teman kosant Sarbini, Kak Tanti, Hilda, Wiwi, Bebsy, Nina, Desi,
dan Manda. Terima kasih selalu menemani kala suka maupun duka.
Teman curhat dan keluh kesah. Teman bersama dalam segalanya. Dalam
melewati hari-hari ini tidak akan berarti tanpa ocehan dan laku kalian.
11. Sahabat-sahabatku tercinta di kampus, Hayatun, Rizki Dwi, Jelita, Bundo,
Oi, Dewi, Syena yang telah memberikan kenang-kenangan berupa
persahabatan. Menjalani kuliah bersama kalian sangat menyenangkan.
12. Keluarga besar PBSI UIN ’09, Pandawa dan Srikandi Sastra, Keluarga
besar Teater Syahid, dan Majelis Kantiniyah. Kalian adalah sahabat
sekaligus pengalaman terbaik yang tidak akan pernah penulis lupakan.
Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga
bantuan, bimbingan, semangat, doa, dan dukungan yang diberikan pada penulis
dibalas oleh Allah Swt. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan, semua itu dikarenakan keterbatasan pengalaman dan
pengetahuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran
serta masukan yang membangun sebagai bahan perbaikan dari berbagai pihak.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya penulis dan umumnya
bagi pembaca. Amin.
Jakarta, 11 Maret 2014
Yunita
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .........................................................................................................
i
ABSTRACT .......................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang...........................................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................
5
C. Pembatasan Masalah .................................................................
6
D. Rumusan Masalah .....................................................................
6
E. Tujuan Penelitian .......................................................................
7
F. Manfaat Penelitian .....................................................................
7
G. Metodologi Penelitian ...............................................................
7
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Hakikat Pandangan Hidup ......................................................... 10
B. Hakikat Drama........................................................................... 15
C. Unsur Intrinsik Drama ............................................................... 22
D. Unsur Ekstrinsik Drama ............................................................ 29
E. Drama sebagai Media Pembelajaran ......................................... 30
F. Penelitian yang Relevan ............................................................ 31
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG
A. Biografi Pengarang .................................................................... 34
B. Sinopsis ..................................................................................... 38
C. Tentang Caturlogi Orkes Madun dan Arti Kata Umang-umang 40
v
BAB IV
ANALISIS DATA: PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA
DALAM NASKAH DRAMA UMANG-UMANG ATAWA
ORKES MADUN II KARYA ARIFIN C. NOER
A. Unsur Intrinsik Naskah Drama Umang-umang Atawa Orkes
Madun II karya Arifin C. Noer. ................................................. 42
B. Pandangan Hidup Tokoh Waska ............................................... 73
C. Implikasi Naskah Drama terhadap Pembelajaran Sastra ........... 82
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................... 86
B. Saran .......................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 88
LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra pada umumnya tidak pernah melepaskan diri dalam
hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Karya sastra menampilkan
permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam kehidupan manusia yang
berkaitan dengan makna dari situasi sosial dan historis dalam kehidupan
manusia. Karya sastra bukan sekedar aspek permasalahan masyarakat yang
sederhana. Ia merupakan lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai
media, sedangkan bahasa itu sendiri adalah ciptaan sosial. Oleh karena itu,
dapat digambarkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan yang erat
kaitannya dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial.
Salah satu jenis karya sastra ialah drama, ia merupakan karya fiksi yang
bentuk fisiknya berupa dialog. Sama seperti karya sastra pada umumnya, kisah
di dalam drama diangkat dari kehidupan nyata. Kehidupan yang tidak terlepas
dari semua keadaan yang sudah nyata adanya, seperti belajar, berteman,
berkeluarga dan banyak lagi yang lainnya. Di dalam drama, semua itu
disajikan secara detail oleh pengarang melalui perilaku tokoh.
Drama ditulis untuk dipentaskan, dengan demikian ia memang
direncanakan untuk dihadapkan kepada penonton. Dalam situasi semacam itu,
maka ada unsur penting yang harus dipenuhi, yakni keabadian tema dan
kehangatan masalah sosial yang mendasari gagasannya dan yang sekaligus
merupakan perhatian khalayak pada masanya. Tanpa itu drama tidak akan
mendapatkan tempat dalam masyarakat.1 Demikianlah, tema dalam drama dan
tentunya dalam situasi apapun tema dalam drama selalu erat kaitannya dengan
perubahan sosial yang penting.
Drama dikelompokkan ke dalam karya sastra karena media yang
dipergunakan untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarangnya adalah
1
Sapardi Djoko Damono, Antologi Drama Indonesia, (Jakarta, The Henry Luce
Foundation, Inc, 2006), h. xii-xv
1
2
bahasa. Bahasa yang digunakan sangat bermacam-macam dan dapat
memberikan potret-potret kehidupan masyarakat sehari-hari, baik itu yang
tercermin dari prilaku tokoh atau lingkungan sosial yang ada dalam
masyarakat. Hal ini merupakan wujud pengalaman dan pengetahuan sekaligus
imajinasi yang dimiliki oleh pengarang yang kemudian dikemas dengan ribuan
kata-kata yang puitis. Pelibatan pengalaman inilah yang melatar belakangi
terciptanya karya tersebut.
Naskah drama adalah salah satu karya sastra yang dipilih Arifin C. Noer
sebagai proses kreatifnya. Banyak naskah yang kemudian digarapnya sendiri
menjadi sebuah pementasan. Beralih dari itu, penelitian ini tidak menekankan
pada pementasan, tetapi pada karya itu sendiri. Naskah drama yang berbeda
dari karya sastra yang lain, merupakan kumpulan dialog yang berderet, bertektok, dan berirama keseharian. Namun demikian, naskah drama adalah bagian
dari karya sastra yang mengandung unsur kesenian yang utuh.
Dalam penelitian ini, naskah drama Arifin yang diteliti adalah Umangumang Atawa Orkes Madun II. Umang-umang adalah sebuah kelompok atau
organisasi yang dipimpin oleh seorang pensiunan pelaut. Organisasi ini
mempunyai kebiasaan meludahi sebagai cerminan bahwa meludahi adalah
penghargaan tertinggi di kelompok tersebut. Kelompok ini sama sekali
berbeda dengan kelompok yang lain. Mereka adalah komplotan manusia yang
mencari tempat bagi kemiskinan, untuk memberontak dan merampok semesta.
Umang-umang Atawa Orkes Madun II mengisahkan tentang seorang
pemimpin perampok yang arogan dan sangat disegani, bernama Waska. Ia dan
komplotannya kerap kali melakukan aksi-aksi perampokan hingga disaat suatu
rencana perampokan besar akan dilakukannya, Waska menderita penyakit
aneh yang membuat semua anggotanya bingung dan sedih memikirkannya.
Ranggong dan Borok merupakan kaki tangan yang setia bagi Waska, mereka
berusaha mencari ramuan agar penyakit yang diderita pemimpinnya itu
lenyap. Akhirnya, mereka mendapatkan ramuan dadar bayi dari dukun sakti,
yang kemudian langsung mereka berikan kepada Waska. Efeknya, dengan
meminum ramuan itu, Waska dan kedua anak buahnya tidak dapat mati.
3
Naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II sering
dihubungkan dengan rekaman kehidupan kelam masyarakat miskin di negeri
ini pada masa lampau, sekarang, atau kelak di masa depan, di mana kejahatan
kerap timbul karena keterpaksaan. Hidup enggan, mati tak mau! Pilihan untuk
menjadi manusia jahat yang mengingkari hati nurani merupakan satu-satunya
jalan untuk bertahan hidup meskipun pilihan itu diselingi nafsu dan kepuasan.
Tuhan pun akhirnya memberikan sebuah hukuman kepada komplotan
perampok
itu
melalui
pemimpinnya
karena
gaung
kejahatan
yang
diteriakkannya. Tidak hanya itu, kisah percintaan Waska dengan mucikari
bernama Bigayah disuguhkan secara liar dan vulgar dalam naskah lakon ini.
Tetapi, kisah cinta dan kejayaan Waska makin meredup seperti api dalam
lampion, termakan waktu dan juga kekekalan hidupnya bersama kaki
tangannya yang setia. Upaya waska, Ranggong, dan Borok untuk membunuh
diri ditampilkan dalam beberapa adegan menjelang akhir cerita, kemudian hal
itu menjadi kesia-siaan, sebab melawan hukum alam seperti kematian sama
artinya dengan melawan kehendak Tuhan dan itu adalah harga mati yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi.
Sebagai pekerja seni, Arifin C Noer memberi sumbangan yang besar
bagi perkembangan seni peran di Indonesia. Karya-karya tulisnya berupa
naskah drama yang kemudian disutradarainya dan dipentaskan oleh Teater
Ketjil yang dipimpinnya, membuktikan kedudukannya sebagai salah satu
pencetus bentuk teater modern. Sebagai penulis naskah dan sutradara teater,
Arifin merupakan fenomena yang menarik dalam khasanah perkembangan
teater modern Indonesia. Selain giat mengembangkan apa-apa yang
disebutnya teater eksperimental, Arifin juga menjadikan kekayaan teater
tradisi Indonesia sebagai sumber kreativitas. Hal ini diakui oleh banyak
pengamat yang mengatakan bahwa teater Arifin adalah teater modern
Indonesia yang meng- Indonesia.
Di berbagai daerah, terutama di Jawa, mulai tampak kecenderungan
untuk menggunakan bahasa daerah dan memanfaatkan anasir teater tradisional
4
sebagai bahan untuk pengembangannya.2 Ini jelas merupakan kecenderungan
yang perlu mendapat perhatian terutama karena bahasa lisan yang beredar di
beberapa masyarakat bukanlah bahasa Indonesia yang baku dan bahwa
sebagian besar masyarakat di daerah masih lebih akrab dengan bahasa ibunya
meskipun dalam wujud yang oleh beberapa kalangan bisa saja dianggap
sebagai bahasa yang sudah rusak sebagai akibat dari adanya pengaruh timbal
balik dengan bahasa Indonesia. Hal ini tidak perlu diresahkan sebab pada
dasarnya drama menampilkan dialog yang tentunya bersumber pada bahasa
lisan yang dalam perkembangan bahasa kita tidak ada yang disebut baku.
Dengan bahasa semacam itulah masalah yang berakar dalam-dalam
pada masyarakat tertentu bisa ditangkap intinya untuk kemudian diangkat ke
pentas dan selanjutnya dipergunakan sebagai salah satu bahan bagi masyarakat
yang lebih luas untuk mempertimbangkan kembali konvensi moral dan sosial
yang selama ini menjadi keyakinan orang ramai. Dengan cara demikianlah
maka drama memiliki fungsi yang nyata dalam masyarakat. Fungsi yang nyata
di sini adalah pandangan masyarakat tentang kesenian drama sebagai cara
untuk menikmatinya. Sedangkan yang akan dibahas dalam penelitian ini
pandangan tidak tertuju pada masyarakat saja, melainkan kepada tokoh-tokoh
yang berdialog di dalam sebuah naskah drama. Pandangan itu meliputi; dalam
hal ini hanya berbatas pada naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun
II karya Arifin C. Noer, yaitu pandangan tentang masalah-masalah tertentu,
misalnya pandangan tentang masalah sosial yang terjadi di masyarakat,
pandangan tentang ideologi tokoh, dan pandangan terhadap agama/keyakinan.
Sudah kita ketahui sebelumnya, bahwa drama lahir dari kehidupan
sosial masyarakat. Dalam penelitian ini, naskah drama yang digarap
menggambarkan keadaan sosial yang carut-marut serta jauh dari kehidupan
yang layak. Namun demikian, pembahasan dalam penelitian ini berkaitan
dengan pengajaran sastra di sekolah. Pengajaran ini dimaksudkan agar siswa
dapat memperoleh pengalaman sastra dan pengetahuan sastra. Salah satu
upaya dalam mencapai tujuan pengajaran sastra yaitu, pengetahuan sastra
2
Ibid
5
yang diajarkan kepada siswa hendaknya berangkat dari suatu penghayatan atas
suatu karya sastra yang konkret. Hal ini dimaksudkan agar pengalaman sastra
yang diajarkan pada siswa melekat dan berakar kuat.
Selain membahas masalah sosial dan pandangan hidup di lingkungan
naskah dan masyarakat, pendidikan pun berperan aktif sebagai penyalur serta
sarana untuk masyarakat mendapatkan pengetahuan. Pendidikan adalah
sebuah wadah untuk menampung kebutaan-kebutaan pada masyarakat tentang
kehidupan. Pendidikan juga menjadi pemersatu beragam bahasa yang ada di
Indonesia menjadi satu bahasa saja, yaitu bahasa Indonesia. Pendidikan di sini,
berkaitan dengan pengajaran sastra, karena sastra merupakan hasil karya seni
yang cenderung angkuh karena mau mengungkapkan segalanya secara utuh.
Namun, tanpa membaca sastra manusia tidak bisa berkaca diri untuk
mengungkapkan kenyataan. Pengajaran sastra bukanlah semata-mata produk
khayalan, tetapi juga hasil produk pengalaman dan berpikir. Dalam dunia
pendidikan, sekolah adalah tempat utama untuk mendapatkan pengalaman
serta berpikir yang kreatif dan inovatif, maka dari itu, penulis mengangkat
judul “PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH
DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA ARIFIN
C. NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
SASTRA DI SMA.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah yang
dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya minat baca peserta didik terhadap karya sastra terutama naskah
drama.
2. Kurangnya sarana dan prasarana di sekolah untuk meningkatkan
kreativitas peserta didik terhadap pembelajaran drama, padahal, Umangumang Atawa Orkes Madun II relevan dengan dunia pendidikan karena
mengandung nilai sosial, moral, dan pandangan hidup, sehingga dapat
diimplikasikan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
6
3. Kurangnya perhatian peserta didik dalam mengkaji unsur intrinsik naskah
terutama pada pengkajian tokoh dan hal yang berkaitan dengan tokoh.
Misalnya, kepribadian tokoh, pandangan hidup tokoh, dan pandanganpandangan tentang masalah tertentu.
4. Kurangnya apresiasi masyarakat luas tentang drama sebagai bahan
pertimbangan dalam memperkenalkan nilai edukasi kepada anak-anak.
5. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari drama menjadikan kurangnya
minat peserta didik dalam mempelajari drama.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang
muncul dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah
peneliti agar objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam. Dalam naskah
drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II terdapat banyak permasalahan,
maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada:
1. Unsur intrinsik naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya
Arifin C. Noer.
2. Pandangan hidup tokoh Waska dalam naskah drama Umang-umang Atawa
Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.
3. Implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II terhadap
pembelajaran sastra di SMA.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah
penelitian seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana unsur intrinsik naskah drama Umang-umang Atawa Orkes
Madun II karya Arifin C. Noer?
2. Bagaimana pandangan hidup tokoh Waska dalam naskah drama Umangumang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer?
7
3. Bagaimana implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II
Karya Arifin C. Noer terhadap pembelajaran sastra di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik naskah drama Umang-umang
Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.
2. Mendeskripsikan Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama
Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.
3. Mendeskripsikan implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes
Madun II karya Arifin C. Noer. terhadap pembelajaran sastra di SMA.
F. Manfaat Penelitian
Drama merupakan mata rantai yang langsung menghubungkan sastra
dengan kehidupan kemanusiaan. Manusia tidak terlepas dari bidang keilmuan
dan seni berperan. Maka dari itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang bagus dan positif pada khazanah keilmuan dalam bidang
sastra, khususnya pengetahuan tentang pandangan hidup yang terdapat dalam
naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan wawasan
yang lebih terhadap pembaca, penulis, dan pecinta sastra. Khususnya dalam
dunia pendidikan, penelitian ini memberikan manfaat secara teoretis dalam
mengkaji metode-metode pengajaran sastra, yaitu pada pengajaran drama,
karena pengajaran drama merupakan kajian tentang aspek-aspek dan masalahmasalah kehidupan masyarakat dari sudut literer dan estetika.
G. Metodologi Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan objek kajian berupa
naskah drama, yaitu naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II
8
karya Arifin C Noer. Tempat yang digunakan dalam penelitian tidak
terikat pada satu tempat, karena objek yang dikaji berupa naskah (teks)
karya sastra yaitu naskah drama. Adapun waktu penelitian dimulai pada
September 2013.
2. Bentuk dan Strategi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang
dilakukan adalah secara intrinsik (yaitu pendekatan melalui isi karya sastra
itu sendiri), dan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang
mempengaruhi karya sastra).
“Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan
fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analis”.3 Secara etimologis,
deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis
yang berasal dari bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas,
urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan,
melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.
Metode gabungan yang lain, misalnya deskriptif komparatif, metode
dengan cara menguraikan dan membandingkan, dan metode deskriptif
induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti dengan
pemahaman dari dalam ke luar.
Kemudian pendekatan intrinsik atau pendekatan melalui isi karya
sastra itu sendiri yang disebut pendekatan objektif. “Pendekatan objektif
merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang
dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.”4 Secara
histori pendekatan ini dapat ditelusuri pada zaman Aristoteles dengan
pertimbangan bahwa sebuah tragedi terdiri atas unsur-unsur kesatuan,
keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan. “Pendekatan objektif dengan
3
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2007), h. 53.
4
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1995),h.
73.
9
demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang
dikenal dengan analisis intrinsik.”5
3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah teknik
membaca dan mencatat, mengingat objek kajian dalam penelitian ini
adalah sebuah teks, yaitu berupa naskah drama Umangiumang Atawa
Orkes Madun II karya Arifin C Noer. Adapun langkah-langkah
pengumpulan datanya dikelompokkan berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan sebagai berikut:
a. Mengadakan studi kepustakaan untuk pengumpulan bahan.
Langkah awal penelitian ini adalah membaca beberapa pustaka
yang berhubungan dengan objek penelitian untuk mendapatkan
bahan;
b. Membaca naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II
untuk menganalisis keterjalinan antarunsur intrinsik dalam drama
tersebut;
c. Membaca naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II
untuk menganalisis pandangan tokoh Waska terhadap kehidupan
yang ada dalam naskah drama tersebut;
d. Menyimpulkan hasil analisis yang didasarkan pada analisis data
secara keseluruhan.
5
Kutha Ratna, Op,cit., h. 73
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Bab ini berisi tentang kajian kepustakaan yang didasarkan pada teori-teori
yang relevan, yang menyangkut pembahasan dalam penelitian ini. Teori-teori di
sini tentang pandangan hidup, naskah drama serta unsur intrinsiknya, implikasi
naskah terhadap pembelajaran sastra, dan juga penelitian yang relevan.
A. Hakikat Pandangan Hidup
Pemikiran merupakan hal yang mendasar ketika kita ingin atau akan
melakukan sesuatu, baik dalam hal berteman, memenuhi kebutuhan hidup,
bahkan mencari nafkah. Pada umumnya, sesuatu yang kita pikirkan akan
menjadi tolok ukur yang membatasi kita dalam memandang atau menilai
sesuatu. Pemikiran lahir ketika kita berusaha mengeja kemudian mengenal
dan menjadikannya suatu pandangan terhadap hal yang ada dan terjadi di
lingkungan sekitar kita. Hal tersebut tentu saja tidak selalu kebaikan, kadang
sesuatu yang baik menjadi tidak baik di mata kita, sedangkan yang tidak baik
senantiasa membuat kita merasa nyaman.
Sebagai makhluk yang beraktivitas baik fisik maupun psikologis,
manusia memiliki kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkungan di
mana tempat ia tinggal. Lingkungan sekitar kita sangat berpengaruh terhadap
pola pikir dan cara kita memandang sesuatu. Pandangan-pandangan itu yang
akan membuat kita kuat terhadap sesuatu bahkan lemah terhadap sesuatu
yang lain. Manusia pasti memiliki pandangan hidup walau bagaimanapun
bentuknya. Bagaimana kita memperlakukan pandangan hidup itu tergantung
pada orang yang bersangkutan. Ada yang memperlakukan pandangan hidup
sebagai sarana mencapai tujuan, dan ada pula yang memperlakukan sebagai
penimbul kesejahteraan, ketentraman, dan sebagainya.
Pandangan hidup banyak sekali macam dan
ragamnya. Akan tetapi pandangan hidup dapat
diklasifikasikan berdasarkan asalnya, yaitu terdiri atas
tiga macam: (1) Pandangan hidup yang berasal dari
agama yaitu pandangan hidup yang mutlak
kebenarannya, (2) pandangan hidup yang berupa
10
11
ideologi yang disesuaikan dengan kebudayaan dan
norma yang terdapat di negara tersebut, (3) pandangan
hidup hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif
kebenarannya.1
Pandangan hidup banyak macamnya, akan tetapi penulis membatasi
pandangan hidup tokoh dalam naskah drama ini hanya pada pandangan hidup
hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya. Oleh
karena itu, pembahasan yang dilakukan meliputi pandangan hidup tentang
cinta kasih kepada sesama manusia, pandangan hidup tentang penderitaan,
tanggung jawab, dan harapan. Semua itu akan penulis deskripsikan melalui
karakter tokoh Waska, pemeran utama dalam naskah drama ini.
Penulis membatasi penelitian ini hanya pada pandangan hidup hasil
renungan yang relatif kebenarannya saja, karena pandangan hidup yang
berkaitan dengan ke-Tuhan-an dan juga tentang kenegaraan tidak tersurat
dalam naskah ini.
Tokoh dalam drama adalah manusia yang mengisi panggung, yang
bermain serta mempunyai masalah-masalah sosial di lingkungannya. Ia juga
merupakan manusia yang berpikir kemudian bertindak. Semuanya disajikan
melalui dialog serta pengadeganan di atas panggung. Biasanya, masalahmasalah yang ditemui adalah “masalah-masalah sosial yang telah menghantui
manusia sejak adanya peradaban manusia karena dianggap sebagai
pengganggu kesejahteraan hidup mereka sehingga merangsang warga
masyarakat untuk mengidentifikasi, menganalisa, memahami, dan
memikirkan cara-cara untuk mengatasinya”.2
Manusia demi kelangsungan hidupnya harus mengadakan kerja sama
dengan sesama manusia. Ada yang berdasarkan ikatan perkawinan,
berdasarkan kesamaan profesi, dan lain sebagainya. Manusia dalam
kehidupannya memiliki tiga fungsi, pertama sebagai makhluk Tuhan, kedua
sebagai individu, dan ketiga sebagai makhluk sosial. Dari ketiga hal itu,
manusia harus memulai peradaban yang baik, yaitu di mana sebagai makhluk
individu harus memenuhi kebutuhan pribadinya. Menurut Koentjaraningrat,
“peradaban ialah bagian-bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti
1
M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar, (Surabaya: Usaha Nasional: 1988), h. 173
Drs. Lies Sudibyo, dkk. Ilmu Sosial Budaya Dasar. (Yogyakarta: C.V Andi OFFSET,
2013), h. 3
2
12
kesenian”.3 Oleh sebab itu, dalam menjalani kehidupan ini, manusia haruslah
berhati-hati dan memiliki rasa keindahan. Akan tetapi, yang ditampilkan
dalam naskah ini adalah keadaan yang sebaliknya. Lakon yang bermain
adalah kelompok manusia yang memiliki kesamaan nasib, yaitu nasib
terbuang. Terbuang dari kebiasaan-kebiasaan yang seharusnya dijalani oleh
manusia pada umumnya, karena “drama juga kadang-kadang mencemoohkan
sepenuhnya pada tindakan amoral masyarakat”.4
1. Pandangan Hidup Tentang Cinta Kasih
Menurut KBBI, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau rasa sayang
(kepada), ataupun rasa sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan
kata kasih, artinya perasaan sayang atau cinta (kepada) atau menaruh belas
kasihan. “Cinta kasih adalah ungkapan perasaan yang diwujudkan dengan
tingkah laku, seperti dengan kata-kata atau pernyataan, dengan tulisan,
dengan gerak, atau dengan media lainnya”.5 Ungkapan itu dapat ditujukan
kepada lawan jenis, orang tua, teman, dan lainnya. Misalnya ungkapan
dengan kata-kata, yaitu, aku cinta kamu, aku sayang kamu, atau terimakasih
telah menyayangiku setulusnya. Ungkapan dengan tingkah laku, misalnya
pelukan, ciuman, menjabat tangan, dan rangkulan. Ungkapan dengan media
misalnya dengan memberikan setangkai bunga, hadiah, dan sebagainya.
Setiap manusia membutuhkan cinta kasih antarsesamanya, karena “cinta
kasih adalah kebutuhan kodrati manusia yang merupakan bagian yang tidak
dapat diabaikan dalam kehidupan manusia “.6 “Namun demikian, soal
pemberian cinta kasih yang sempurna bukanlah yang hanya datang dari satu
arah, misalnya dari orang tua saja, tetapi juga sebaliknya, dari anak ke orang
3
Dr. Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar edisi kedua (Bandung: Prenada
Media Group, 2007), h. 45
4
Dr. Suwardi Endraswara, Teori Pengkajian Sosiologi Sastra (Yogyakarta: UNY Press,
2012), h. 52
5
Lies Soedibyo, Op,cit., h. 41
6
Ibid, h. 42
13
tuanya (to give and to take), jadi, cinta kasih baru terasa apabila ada dua
pihak yang sama-sama saling menerima sekaligus juga saling member”.7
2. Pandangan Hidup Tentang Penderitaan
Selain memiliki serta mengalami rasa cinta kasih, manusia juga
memiliki atau juga pernah mengalami perasaan yang tidak menyenangkan
seperti sakit hati, siksaan, dan rasa tidak enak, itu semua terjadi karena
manusia memiliki perasaan dan pikiran. Rasa tidak enak ini kadang bersarang
di dalam lingkungan kehidupan manusia, kadang juga di dalam hati atau
dalam pikiran. Rasa tidak menyenangkan ini bisa berupa tidak mendapat
pekerjaan, terasing, gagal dalam tujuan hidup, tidak memiliki cinta dan
sebagainya. Perasaan-perasaan di atas adalah perasaan derita atau
penderitaan. “Penderitaan dari kata derita yang berasal dari bahasa Sansekerta
“dhra” artinya menahan atau mengannggung”.8 Biasanya, yang termasuk
penderitaan ialah keluh kesah, kesengsaraan, kelapran, kekenyangan,
kepanasan, daln lain-lain. “Penderitaan adalah beban fisik atau jiwa manusia
yang dapat menekan diri manusia”.9 Penderitaan biasanya berupa rasa tidak
menyenangkan yang sedang dialami oleh manusia dalam keadaan yang tidak
diduga-duga. Penderitaan bersifat manusiawi, ia merupakan hal yang wajib
kita alami.
Koneksi antara perilaku manusia di dunia nyata dan kinerja sosial yang
dramatis adalah dua hal yang saling terkait. Realitas dunia dan aktivitas
sosial, hampir selalu ditampilkan dalam drama. Seakan-akan, drama juga
memuat konvensi sebagai dokumen sosial. Ketika drama membangun gedung
khusus untuk ritual dan pertunjukan dalam berbagai jenis, dari proses
peradilan untuk bercinta, ketika kita menetapkan adegan dan berdandan atau
dalam bentuk gaun yang diturunkan sedikit jelas konvensi ini ada kemiripan
7
Drs. Supartono Widyosiswoyo,M.M., Ilmu Budaya Dasar. (Bogor: Ghalia Indonesia,
1992), h. 50
8
Drs. Djoko Widagdho, dkk., Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.
81
9
Lis Soedibyo, Op,cid., h. 120
14
dengan kehidupan sosial.10 Hingga sampai sekarang saya pahami, drama jelas
merupakan sebuah interpretasi perilaku sosial sehari-hari dan tindakan
konsekuensial yang ditawarkan secara estetis.
3. Pandangan Hidup Tentang Tanggung Jawab
Setelah rasa cinta kasih dan penderitaan, manusia juga memiliki
pandangan tentang tanggung jawab dan harapan. Sebagai manusia yang
normal, tentulah mempunyai tanggung jawab dan harapan dalam hidupnya.
Hidup manusia di samping sebagai makhluk Tuhan dan makhluk individu,
juga merupakan makhluk sosial, hidup dalam lingkungan masyarakat. Di
dalam interaksi sosial manusia diberi tanggung jawab, di samping ia memiliki
hak juga memiliki kewajiban, dituntut adanya pengabdian dan pengorbanan.
Sebagai makhluk sosial yang beradab dan berbudaya manusia menilai
dan dinilai. Oleh karena itu, untuk mengerti dan menyadari bahwa perbuatan
yang dilakukannya itu baik atau tidak baik, maka dilakukan pertimbanganpertimbangan. Tanggung jawab adalah ciri manusia beradab. Dengan
demikian tanggung jawab berfungsi menyadari akibat baik buruknya
perbuatan yang dilakukan manusia. Menurut Suyadi MP, “tanggung jawab
adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang
disengaja maupun yang tidak disengaja, tanggung jawab juga berarti berbuat
sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya”.11
“Apabila dikaji, tanggung jawab itu adalah kewajiban atau beban yang
harus dipikul atau dipenuhi sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat,
atau akibat dan perbuatan pihak lain, atau sebagai pengabdian, pengorbanan
pihak lain”.12
Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan
segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan
hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan,
perkembangan, dan mati, dan seterusnya, serta terkait serta
berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam
10
Suwardi, Op,cit., h. 52-53
Lies Soedibyo, Op,cit., h. 103
12
Ibid, h. 102
11
15
sebuah hubungan timbal balik baik itu positif, maupun
negatif.13
4. Pandangan Hidup Tentang Harapan
Sebagai manusia, selama ia masih hidup, pastilah memiliki perasaan
berharap. Perbuatan atau tindakan yang mengandung motif, merupakan
tindakan yang mempunyai pengharapan, artinya bahwa tindakan-tindakan itu
ditujukan pada satu titik sasaran akhir, yaitu sebagai hasil imbalan atau upah
dari jerih payah yang telah dilaklukannya.
Menurut KBBI, harapan adalah keinginan untuk dijadikan kenyataan.
Oleh karena itu, harapan adalah keinginan yang timbul dalam diri manusia
berupa cita-cita atau keinginan yang akan dicapainya lewat perbuatan serta
tindakan. Tindakan dan perbuatan itu bisa bersifat pisitif dan negatif.
Bekerja dan belajar tanpa mengenal lelah adalah wujud pengekspresian
untuk mewujudkan harapan. Harapan-harapan itu meliputi: “harapan untuk
memperoleh kelangsungan hidup, memperoleh keamanan, untuk memiliki
hak dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai, memperoleh status atau
untuk diterima atau diakui di lingkungannya, dan harapan untuk memperoleh
perwujudan dan cita-cita”14.
B. Hakikat Drama
1. Pengertian Drama dan Naskah Drama
“Drama adalah salah satu bentuk genre sastra. Kata drama berasal
dari bahasa Yunani Dramoi yang artinya berbuat, bertindak, bereaksi, dan
menirukan”.15 “Drama atau sandiwara adalah seni yang mengungkapkan
pikiran atau perasaan orang dengan mempergunakan laku jasmani, dan
ucapan kata-kata”.16 Ini maksudnya adalah drama merupakan bagian dari
13
Elly, Op,cit., h. 178
Djoko Widagdho, Op,cit., h.187
15
Sihabudi, dkk, Bahasa Indonesia 2 edisi pertama (Surabaya: Amanah Pustaka, 2009),
14
h. 7
16
Rendra, Seni Drama Untuk Remaja, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1993), h. 97
16
seni yang tidak hanya berkumpul dalam imaji seseorang, melainkan
dipertontonkan di hadapan orang banyak/penonton.
Drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya
memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara
tokoh-tokoh yang ada. “Selain didominasi oleh cakapan yang langsung itu,
lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam
petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang
suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh”.17
Drama, yaitu kisah hidup dan kehidupan manusia
yang diceritakan atau diproyeksikan di atas pentas
sebagai suatu bentuk kwalitet komunikasi, situasi,
aksi, (dan segala apa yang terlihat dalam pentas baik
secara
obyektip
maupun
subyektip)
yang
menimbulkan perhatian, kehebatan, keterenyuhan, dan
ketegangan
perasaan
pada
pendengar
atau
penontonnya di mana konflik sikap dan sifat manusia
sebagai tulang punggungnya.18
Drama, like poetry and fiction, is an art of
words—mainly words of dialogue. People talking is
the basic dramatic situation. Drama is distinguished
from the other forms of literature by performability
and by the objectivity that performability implies.19
Dilihat dari beberapa pengertian drama di atas, drama memiliki dua
dimensi, yaitu drama sebagai teks sastra dan drama sebagai seni
pertunjukan atau seni lakon. Drama sebagai seni pertunjukan atau seni
lakon adalah perpaduan yang harmonis antara sekian banyak seni yang
mewujudkan suatu kisah kehidupan di atas pentas. Pertunjukan drama
haruslah indah dan menjelma menjadi kenikmatan yang diterima oleh
pikiran penontonnya. Naskah drama akan senantiasa berada di dalam
pikiran pembaca saja jika tidak dipentaskan. Akan tetapi, jika naskah
drama itu sudah berada di tangan seorang sutradara, pastilah kita akan
melihat potret kehidupan yang ada di sekitar kita. Sedangkan sebagai genre
17
Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra (Magelang: Indonesia Tera, 2006), h. 95
Adhy Asmara dr, Apresiasi Drama, (Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya, 1979), h. 12
19
Nine plays, Modern Drama, (Oslo: Uversity Of Oslo), h. ix
18
17
sastra, drama ditulis dengan menggunakan bahasa yang memikat dan
elegan. Drama dapat ditulis oleh pengarangnya dengan menggunakan
bahasa yang puitis.
Adapun para ahli yang memberikan definisi
kata drama, yaitu: Aris Toteles Mendefinisikan
drama sebagai tiruan manusia dalam gerak-gerik.
Menurut Balthazar Verhagen, drama adalah
kesenian yang melukiskan sikap dan sifat manusia
dengan gerak. Moulton mendefinisikannya sebagai
kehidupan yang dilukiskan dengan gerak.
Ferdinand Brunetierre mendefinisikan drama
sebagai kehendak manusia yang diungkapkan
dengan action. Sedangkan Alvin B. Kernan
menjelaskan bahwa drama berasal dari kata
“dram”yang berarti berbuat (to do) atau (to act).20
“Menurut John E. Dietrich, “drama adalah suatu ceritera dalam
bentuk dialog (antawacana)
tentang konflik (pertentangan) manusia,
diproyeksikan dengan ucapan dan perbuatan dari sebuah panggung kepada
penonton”.21 Dengan kata lain “drama merupakan bentuk yang paling
kongkrit yang secara artistik dapat menceritakan kembali situasi
kemanusiaan, dan hubungan kemanusiaan”.22
Sebagai istilah “drama” dan “teater” ini datang atau kita pinjam dari
khazanah kebudayaan Barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah ini
adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani yang pada
awalnya, baik drama maupun teater muncul dari rangkaian upacara
keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap para dewa.23 Pada masa awal
pertumbuhannya di Barat, sebagai bentuk upacara agama, drama
dilaksanakan di lapangan terbuka. Para penonton duduk melingkar atau
membentuk setengah lingkaran, sedangkan upacara dilakukan di tengah
20
Drs. Hasanuddin, M.Hum, Drama Karya dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa,
1996), h. 2
21
R.H. Prasmadji, B.A, Teknik Menyutradarai Drama Konvensional, (Jakarta: Balai
Pustaka: 1984), h. 10
22
Rizanur Gani, Pengajaran Sastra Indonesia, (Jakarta: Departemen pendidikan dan
kebudayaan: 1988), h. 253
23
Melani, Op,cit., h. 99
18
lingkaran tersebut. sementara pada teater di Yunani khususnya, tempat
penonton berada membentuk setengah lingkaran yang semakin besar
radiusnya, semakin tinggi tempat duduk penonton bersangkutan.24
“Perkembangan drama, pada gilirannya kemudian memperlihatkan
adanya pergeseran dari ritual keagamaan menuju kepada suatu eratoria,
suatu seni berbicara yang mempertimbangkan intonasi untuk mendapatkan
efektivitas komunikasi”.25 Dari oratoria ini, kemudian perkembangan
memperlihatkan adanya dua kecenderungan besar. Di satu pihak, ada
kecenderungan eratoria yang sarat dengan musik sebagai elemen
utamanya, yang hingga kini kita kenal dengan teater, dan dipihak lain
muncul pula bentuk eratoria yang hanya mengandalkan cakapan atau
dialog sebagai elemen utama seperti yang kini kita kenal sebagai naskah
drama.
“Naskah berasal dari bahasa Inggris manuskrip dan bahasa Prancis
manuscript, karangan yang ditulis tangan atau diketik, yang dipergunakan
sebagai dasar untuk mencetaknya".26 Naskah pada umumnya adalah
sebuah tulisan tangan yang dibukukan, yang bercerita tentang kehidupan
yang sangat lengkap dan panjang. Sedangkan naskah drama adalah
kumpulan dialog serta terdapat alur pemanggungan di dalamnya. Naskah
drama juga bisa diartikan sebagai rentetan tanya jawab antar lakon/peran
yang dibalut dengan bahasa keseharian. Walaupun semua karya sastra
sudah dipentaskan di kepala pembacanya, tetapi tetap saja naskah drama
yang ditulis dalam bentuk dialog memiliki kemungkinan akan dipentaskan.
Naskah drama juga sama halnya dengan prosa dan novel, memiliki konflik
dan unsur intrinsik yang sama. Hanya saja naskah drama berbentuk dialog
dan merupakan bahan dasar sebuah pementasan. Tidak akan sempurna
sebuah naskah drama apabila tidak dipentaskan.
24
Ibid, h. 99
Ibid, h. 100
26
Hasanuddin M. Hum, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Penerbit Titian Ilmu
Bandung, 2004)
25
19
“Naskah drama adalah suatu cerita drama dalam bentuk antawacana
(dialog) atau dalam bentuk tanya jawab antarpelaku”.27 Naskah drama
sangat beragam coraknya, ada naskah drama yang ringan, berbobot, dan
ada pula yang rumit, naskah drama yang berbobot (baik) adalah naskah
yang bersifat naratif dan konflik karakter, karena mudah dimengerti baik
sebagai karya sastra maupun sebagai seni pertunjukan.28 Suatu naskah
drama yang baik adalah naskah yang memiliki persyaratan nilai dramatik
dan teatrikal, yaitu tidak mengandung masalah yang atau pertanyaan yang
sulit ditemukan jawabannya, dialognya menggunakan bahasa keseharian,
dan tema yang diungkapkan menyangkut soal kehidupan. Naskah yang
rumit yaitu naskah yang alur ceritanya sulit ditangkap, temanya anti tema,
plotnya anti plot, sehingga jika dipentaskan, penonton harus membacanya
terlebih dahulu. Bagaimanapun naskah drama adalah ciptaan manusia yang
harus mengandung keindahan dan hakikatnya tersimpul dalam suatu
perpaduan yang harmonis antara kehidupan perasaan yang indah yang
ditulis oleh seniman. Sebagai karya sastra ia menjelma dalam kata-kata,
sedangkan dalam pertunjukan ia menjelma dalam perpaduan yang
harmonis antara sekian banyak seni yang mewujudkan suatu kisah
kehidupan di atas pentas.
Sifat-sifat naskah yaitu: (1) estetis, mencerminkan
dan memupuk rasa keindahan, (2) etis, membimbing
kea rah peradaban dan kesusilaan bangsa dan manusia,
(3) edukatif, membawa ke arah kemajuan (bersifat
mendidik), (4) konsultif, memberikan penerangan dan
penyuluhan atas problema dalam masyarakat, (5)
rekreatif, memberikan hiburan kepada publik atau
penonton.29
2. Karakteristik Drama dan Bagian Pembantu Drama
Pada umumnya, drama memiliki dua dimensi, yaitu drama sebagai
karya sastra yang memiliki unsur cerita dan juga sebagai seni pertunjukan
27
R.H. prasmadji, B.A, Op,cit., h. 17
Tuti Mutia, Religiusitas naskah drama Kapai-KapaiKarya Arifin C. Noer, Skripsi,
tidak dipublikasikan, 2012, h. 15
29
Ibid, h. 16
28
20
yang tidak terlepas dari seni lakon dan seni teater. Biarpun kedua aspek
tersebut terpisah, yang satu berupa naskah dan yang satu lagi berupa
pementasan, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
terpisah.
Naskah
drama
ditulis
dengan
memperhatikan
segi
pemanggungan, sedangkan pementasan tidak terlepas dari alur naskah itu
sendiri.
Drama memiliki jenis berdasarkan temanya, yaitu drama tragedi atau
duka cerita, yaitu drama yang penuh dengan kesedihan, kemalangan. Hal
ini disebabkan pelaku utama dari awal cerita sampai akhir pertunjukan
senantiasa kandas dalam melawan nasibnya yang buruk. Contoh lakon
drama tragedi yang buruk adalah Kapai-kapai karya Arifin C. Noer.30
Komedi atau suka cerita yaitu drama penggeli hati. Di mana isinya penuh
dengan sindiran atau kecaman terhadap orang-orang atau suatu keadaan
pelaku yang dilebih-lebihkan, drama tragedi dan komedi, yaitu drama yang
penuh dengan kesedihan, tetapi juga hal-hal yang mengembirakanmenggelikan hati, opera, yaitu drama yang berisikan nyanyian dan musik
pada sebagian besar penampilannya, operette, yaitu drama jenis opera tapi
yang lebih pendek, tableau, drama tanpa kata-kata dari si pelaku, mirip
pantomim, dagelan, yaitu suatu pementasan cerita yang sudah dipenuhi
unsur-unsur lawakan/badutan, drama minikata, yaitu drama yang pada saat
dipentaskannya boleh dikatakan hampir tidak menggunakan dialog sama
sekali, dan sendratari, seni drama tari, tanpa dialog dari pemainnya. Dilihat
dari jenis drama yang telah dipaparkan,
Umang-umang Atawa Orkes
Madun II ini termasuk ke dalam drama jenis tragedi atau duka cerita.
“Sebagai naskah lakon atau naskah yang akan dipentaskan, drama
memiliki beberapa bagian pembantu, antara lain: (1) Babak, merupakan
bagian terbesar dalam sebuah lakon drama. Lakon itu sendiri bisa saja
hanya terdiri dari satu, dua, tiga, atau empat babak dan mungkin pula
lebih”.
30
31
Dalam lakon Umang-umang Atawa Orkes Madun II ini terdiri
Adhy asmara, Op,cit., h. 50
Ibid, h. 46
31
21
dari 3 babak dan 76 halaman. Dan di setiap babaknya ditandai dengan
bunyi lonceng. ”Bagian pertama. Lonceng dua kal”.32(2) Adegan, adalah
bagian dalam babak lakon drama. Sebuah adegan hanya akan
menggambarkan satu suasana yang merupakan rangkaian dari rentetan
suasana-suasana yang terdapat dalam pembabakan lakon drama tersebut.
“Rombongan waska makin banyak muncul tak beraturan untuk kemudian
menyebar
dan
menyelinap
menjauhi
pentas.”33(3)
Prolog,
kata
pendahuluan dalam suatu lakon drama sebagai pengantar tentang suatu
lakon yang akan disajikan nanti kepada penonton. Dalam naskah drama
ini, tidak terdapat prolog, tetapi langsung diawali dengan bunyi lonceng
dan adegan. Mungkin jika dipentaskan, prolog akan dibuat oleh seorang
sutradara. (4) Dialog atau percakapan, tapi akan lebih tepat kalau disebut
wawankata karena antara tokoh-tokoh dalam lakon drama satu sama
lainnya adalah lawan untuk kata-kata yang dilemparkan oleh masingmasing tokoh itu sendiri.
Waska : Borok!!
Borok : Gua di kuburan cina, Waska34
(5) Monolog, adalah percakapan seorang pelaku (aktor) dengan dirinya
sendiri.35
Waska: Aku pernah mengharap, tapi
aku tidak pernah mendapat. Aku
pernah memilih, tapi aku ditolak, selalu
ditolak.
Kemiskinan
telah
menodongku,
kelaparan
telah
menodongku dan aku tak rela
dicincang oleh kemiskinan dan
kelaparan,
maka
kutodongkan
36
kekayaan dan makanan.
32
Arifin C. Noer, Umang-umang atawa Orkes Madun II, tidak dipublikasikan, h. 1
Ibid, h. 1
34
Ibid, h. 3
35
Adhy asmara, Op,cit., h. 48
36
Arifin, Op,cit., h. 24
33
22
C. Unsur Intrinsik Drama
“Drama naskah disebut juga sastra lakon”.37 Sebagai salah satu bentuk
karya sastra, maka drama tidak terlepas dari unsur intrinsik sebuah karya
seperti pada roman maupun puisi. Kesenian drama, meskipun merupakan seni
yang otonom, tetapi ia juga merupakan gabungan dari unsur-unsur kesenian
lain; seperti karya sastra dalam penulisan lakonnya, seni peran atau seni laku
yang dikenal lebih lanjut dengan mimik atau pantomimik, seni deklamasi dan
kadang-kadang ditambah pula dengan seni musik, seni suara, seni tari. Daya
tarik lainnya dengan adanya seni arsitek teater yang mempunyai ciri-ciri yang
khas. Tetapi dari kesemuanya itu, unsur yang paling pokok dalam seni drama,
yaitu, pemain (lakon dalam pertunjukan), panggung (tempat pertunjukan), dan
penonton. Apabila salah satu di antara ketiga tersebut tidak ada, maka drama
tidak dikatakan sebagai seni pertunjukan.
“Sebagai prosa, khususnya, pada karya drama pun dapat dijumpai pula
adanya elemen-elemen tokoh, alur, dan kerangka situasi cerita yang saling
menunjang satu dengan lainnya”.38 Sebagai pembaca karya sastra, khususnya
drama, tugas kita tidaklah habis hanya dengan membaca saja, akan tetapi ada
hal-hal yang harus kita ketahui atau kita pelajari, misalnya, bagaimana cerita
itu tercipta atau apa yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Untuk itu,
kita perlu mengkajinya, karena hal-hal tersebut tidak disampaikan secara
eksplisit oleh pengarang.
1. Tema
Hal pertama yang harus kita ketahui dalam sebuah karya drama adalah
tema. “Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya
sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang
menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan”.39 Setiap karya sastra,
37
Herman J Waluyo, Drama: Teori dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Hanindita Graha
Widia, 2001), h. 6
38
Melani, Op,cit., h. 106
39
Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h.
68
23
termasuk drama pasti memiliki tema yang merupakan gagasan umum dari
keseluruhan cerita, tema itu sendiri membicarakan tentang ide pokok atau hal
yang mendasari isi cerita. Tema tidak disampaikan langsung oleh pengarang
kepada pembaca, akan tetapi ia hadir secara implisit melalui isi cerita.
“Tema merupakan “struktur dalam” dari sebuah karya sastra”.40 Dalam
drama, tema akan dikembangkan melalui alur dramatik dalam plot oleh tokohtokoh dengan perwatakan yang memungkinkan konflik dan diformulasikan
dalam bentuk dialog. Dialog tersebut yang merunutkan tema dari para
lakon/naskah. “Semakin kuat, lengkap, dan mendalam pengalaman jiwa
pengarangnya akan semakin kuat tema yang dikemukakan”.41 Tema yang
kuat, lengkap, dan mendalam biasanya lahir karena pengarang berada dalam
suasana jiwa yang luar biasa. Suasana di mana ia menjadi lakon dalam
naskah/pementasannya. Konflik batin di dalam sebuah naskah drama haruslah
benar-benar dihayati oleh pengarang, karena dengan tema semacam itu,
pembaca akan lebih mudah dan cepat menangkap dan menafsirkan tema yang
dimaksud oleh pengarang.
2. Plot/Alur
Plot merupakan unsur utama pembangun karya drama. Plot atau alur
sebuah
cerita
ini
sangat
penting
tujuannya
karena
untuk
melihat
kesinambungan antara masing-masing penyajian peristiwa dalam karya sastra.
Stanton mengemukakan bahwa “plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian,
namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa
yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain”.42
Plot ini sendiri merupakan kegiatan dalam memilih cerita, misalnya di tahap
awal itu dinamakan pengenalan, jadi setiap cerita terdapat bagiannya yang
sudah disusun secara apik dan indah oleh pengarang. Tahapan di dalam plot
berfungsi untuk mengetahui urutan waktu penceritaan sebagaimana tahapan
awal di dalam sebuah karya berisikan tentang informasi penting yang
40
Herman, Op,cit., h.26
Ibid, h. 24
42
Burhan, Op,cit., h. 113
41
24
berkaitan dengan peristiwa-peristiwa pada tahap selanjutnya. Biasanya, tahap
pertama disebut tahap pengenalan. Pada tahap ini pengarang memperkenalkan
tokoh-tokoh dramanya dengan watak masing-masing. Pada tahap kedua, alur
peristiwa yang terjadi di dalam sebuah karya biasanya ditandai dengan adanya
konflik antarpelaku yang merupakan bagian paling menegangkan di dalam
sebuah karya. biasanya konflik di sini tidak terlalu serius, hanya pertikaian
awal antarpelaku atau masalah yang dialami oleh para lakon. Dari tahap
pengenalan sebelumnya, sekarang sudah lebih mendalam karena adanya
pertikaian.
Kemudian tahap ketiga yang merupakan tahap klimaks atau titik puncak
cerita. biasanya, konflik yang meningkat itu akan meningkat terus sampai
mencapai titik gawat dari sebuah cerita. Pengarang yang pintar memanjakan
pembaca, pasti akan dibuat geregetan karena keingintahuan pembaca terhadap
akhir cerita yang dibaca. Akhirnya, tahap ini disebut tahap peleraian yang
menampilkan adegan klimaks suatu karya. Di mana dalam tahap ini konflik
sudah mereda atau menurun. Tokoh-tokoh yang memanaskan situasi atau
meruncingkan konflik telah mati atau menemukan jalan pemecahan. Dalam
naskah drama Arifin C. Noer, biasanya akhir dalam ceritanya membutuhkan
penjelasan akhir seperti cerita dalam wayang. Akan tetapi dalam naskah drama
yang dibahas ini, akhir ceritanya menggantung karena merupakan naskah
caturlogi yang berkesinambungan dengan naskah-naskah yang lainnya.
Naskah drama Umang-umang ini merupakan serial kedua dari caturlogi Orkes
Madun, maka dari itu akhir ceritanya tidak ada penjelasan.
3. Tokoh dan Penokohan
Berbicara tentang plot dan unsur lainnya, tokoh dan penokohan di
dalam sebuah karya tidaklah boleh terlupakan, hal ini sangat penting karena
tanpa adanya tokoh (pemain) di dalam sebuah karya, maka tidak akan ada
yang mencipta peristiwa dan tidak akan ada konflik dalam peristiwa tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Waluyu, mengemukakan “penokohan ialah cara
pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana
25
ia menggambarkan watak tokoh-tokoh itu”.43 Tokoh di dalam sebuah cerita
haruslah jelas dan memiliki karakter yang kuat untuk membangun cerita dan
menciptakan suasana yang merujuk pada sifat dan sikap para tokoh sehingga
dapat ditafsirkan oleh pembaca. “Tokoh menurut Abrams, adalah orang(orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan”.44 Tokoh memanglah ciptaan pengarang dari imajinasinya, tapi
tokoh merupakan seseorang yang hidup secara wajar sebagaimana ia
menjalani kehidupan ini. Berlaku baik, memiliki moral yang bagus, dan
merencanakan berbagai hal selayaknya manusia yang memiliki kehidupan dan
kebiasaan.
Tokoh atau penokohan erat kaitannya dengan perwatakan. Di dalam
sebuah drama, watak tokoh disajikan melalui dialog-dialog yang dilontarkan
oleh para lakon. Biasanya, hal itu berhubungan dengan nama, jenis kelamin,
tipe fisik, jabatan, dan keadaan jiwanya. Pada naskah drama Arifin ini, tokohtokoh disajikan lewat sutradara yang memainkan dramanya sendiri yaitu
sebagai tokoh utama. Ia sangat jelas menggambarkan keadaan fisik serta
kejiwaan tokoh tersebut. “Dalam wayang kulit atau wayang orang, tokohtokohnya sudah memiliki watak yang khas, yang didukung pula dengan gerakgerik, suara, panjang pendeknya dialog, jenis kalimat, dan ungkapan yang
digunakan”.45 Ciri khas naskah drama Arifin adalah dalam tokohnya ia
menyisipkan tokoh wayang sebagai pusat cerita atau malah membalikkan
watak yang sebenarnya dimiliki wayang menjadi berbeda di tangannya. Akan
tetapi tetap saja ia tidak terlepas oleh ketradisionalan dalam karyanya.
4. Dialog
Ciri khas suatu drama adalah naskah yang berbentuk percakapan atau
dialog. Ragam bahasa dalam dialog antar tokoh merupakan ragam lisan yang
43
Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2000), h. 30
Burhan, Op,cit., h. 165
45
Herman, Op,cit., h. 14
44
26
komunikatif. Untuk mengetahui sifat dan sikap seorang tokoh, dalam karya
drama, kita mengetahuinya lewat dialog-dialog yang berfungsi sebagai tuturan
dari tokoh satu ke tokoh lainnya. Di dalam dialog terdapat informasi tentang
cerita, atau ide-ide, bahkan hal-hal yang bersifat pandangan hidup. Dialog
dalam drama haruslah ragam bahasa tutur karena jika pembicaraan sepasang
kekasih tidaklah harus menggunakan kelengkapan bahasa. Dialognya haruslah
akrab dan intim, jika kalimatnya lengkap, maka dialog antarkekasih tersebut
tidak akan hidup.
Dialog merupakan kumpulan tanya-jawab antarpelaku yang berfungsi
menciptakan peristiwa di dalam karya drama. Salah satu hal yang
membedakan karya drama dengan karya yang lainnya yaitu, bahwa karya
drama berbentuk dialog. Dialog melancarkan cerita atau lakon, mencerminkan
pikiran tokoh cerita, mengungkapkan watak para tokoh cerita, dan dialog juga
berfungsi menggerakan cerita dan melihat watak atau kepribadian tokoh
cerita. Biasanya pada awal cerita dialog-dialog yang disajikan adalah dialog
yang panjang, karena sebagai penjelasan tentang tokoh-tokoh yang dimaikan.
“Dialog juga harus bersifat estetis, artinya memiliki keindahan bahasa”.46 Hal
ini disebabkan karena kenyataan yang ditampilkan di pentas harus lebih indah
dari kenyataan yang benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
naskah drama umang-umang yang akan dibahas ini pun memiliki keindahan
dialog yang disajikan, karena naskah drama juga merupakan keperluan
pementasan dan juga merupakan karya sastra. Maka dari itu, bahasa yang
digunakan
haruslah
mengandung
keindahan
bahasa
dan
tetap
saja
mengandung unsur bahasa lisan atau bahasa keseharian.
Seorang pengarang drama yang sudah berpengalaman tentulah akan
mampu memadukan unsur estetis dan unsur komunikatif itu. Arifin C. Noer
adalah salah satu pengarang yang memadukan unsur kecapakan tersebut,
karena pada saat mencipta karya drama, pengarang yang berasal dari pentas
seni ini akan membayangkan kemungkinan pementasan.
46
Ibid, h. 21
27
5. Latar/Setting
Selain berbentuk dialog, drama juga tidak terlepas oleh “latar atau
setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan”.47 Latar termasuk bagian penting di dalam sebuah
karya drama, karena dari situ pembaca akan mengetahui kejadian apa dan
kapan peristiwa itu terjadi. Jika di dalam pementasan, latar berperan untuk
memudahkan pemain sekaligus sutradara untuk merealisasikan kegiatannya di
panggung. Membaca sebuah karya drama, tentu saja kita dihadapkan pada
tempat atau lokasi-lokasi kejadian serta waktu kejadian peristiwa, misalnya,
nama kota, nama jalan, desa, pagi, sore, malam, dan lain-lain yang menandai
jalannya alur cerita.
Menurut Sudjiman, unsur yang membangun latar dapat dikatakan
“bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan, yang berkaitan dengan
waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra”.48
Latar dalam karya sastra tidak benar-benar disajikan pengarang secara jelas
dan gamblang, melainkan mereka bersifat eksplisit, seperti kepercayaan,
kebudayaan, adat istiadat, dan sebagainya. Begitu juga pada latar waktunya
tidak dijelaskan dengan angka, tetapi disajikan lewat peristiwa yang sedang
terjadi pada saat itu. Ini dimaksudkan agar pembaca tidak hanya terfokus pada
karya drama itu saja, tetapi menelusuri lebih dalam lagi apa yang terjadi dan
apa yang dimiliki oleh latar yang membawa peristiwa itu terjadi.
“Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu,
dan sosial”.49 Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat dengan namanama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan
dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Latar waktu
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Kejelasan waktu dalam karya drama
47
Burhan, Op,cit., h. 216
Nani Tuloli, Op,Cit., h. 52
49
Burhan, Op,cit., h. 227
48
28
biasanya ditandai keadaan sosial di suatu daerah tertentu, keadaan yang
sedang hangat dibicarakan bahkan dialami oleh sebagian masyarakat. Latar
sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.50 Bagi
pembaca, latar sosial disajikan oleh pengarang lewat status sosial tokoh,
kebiasaan hidup, adat istiadat, pandangan hidup, tradisi, cara berpikir, cara
bertindak, dan juga keyakinan.
6. Amanat
Di setiap karya sastra, ada hal-hal yang mengilhami kita atau hal yang
harus kita ambil dan kita perbaiki untuk kehidupan kita. Sebut saja itu adalah
upah kita setelah beberapa waktu membacanya bahkan mementaskannya
(untuk karya drama). Hal itu, dalam karya fiksi disebut amanat. Amanat
sendiri lahir ketika kita sudah selesai membaca, mengkaji, bahkan
mementaskannya. Ia berisi pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca lewat tulisannya.
Amanat dalam sebuah drama akan lebih mudah dihayati, jika drama itu
dipentaskan. Amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara
praktis. Ia merupakan pesan dari pengarang yang memerlukan penafsiran
sebagai bentuk bahwa kita mampu memetik manfaatnya. Setiap pembaca
berbeda-beda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya, dan semuanya
cenderung dibenarkan. Misalnya seperti kisah wayang yang diambil dari
Mahabarata biasanya memberikan amanat bahwa kebaikan akan mengalahkan
kejahatan. Amanat tersebut merupakan perang bagi diri sendiri yang sebagai
manusia memiliki sisi baik dan sisi jahat. Begitulah drama yang dipentaskan
memang sangatlah lekat dengan kehidupan kita.
“Dalam naskah drama diperlukan juga petunjuk teknis, yang sering pula
disebut teks samping”.51 Teks samping ini memberikan petunjuk teknis
tentang tokoh, waktu, suasana pentas, musik, keluar masuknya aktor atau
50
Ibid, h. 233
Herman, Op,cit., h. 29
51
29
aktris, keras lemahnya dialog, dan sebagainya. Teks samping ini biasanya
ditulis dengan tulisan yang berbeda dari dialog, biasanya ditulis miring atau
huruf kapital semua. Dalam naskah drama Umang-umang ini, teks samping
ditulis dengan hurup kapital. Teks samping sangat berguna untuk memberikan
petunjuk kepada pemain jika naskah drama ini dipentaskan, dan juga kepada
pembaca jika tidak dipentaskan. Untuk keperluan pementasan, teks samping
memberikan petunjuk kapan aktor harus diam, jeda antarkedua pemain, suara
berbisik, keadaan pemain seperti batuk, dan sebagainya. Di dalam naskah itu
dijelaskan secara jelas dan gamblang, yang berbeda hanya di dalam naskah
drama hal itu ditulis, sedangkan dalam pementasan teks samping berupa
panduan atau bisa disebut bukan dialog.
D. Unsur Ekstrinsik Drama
Unsur ekstrinsik merupakan unsur yang berada di luar karya sastra,
tetapi secara tidak langsung, ia memengaruhi terciptanya sebuah karya lewat
latar belakang sosial pengarang. “Ekstrinsik ialah unsur-unsur pengaruh luar
(eksplanasi) dan unsur lahiriah yang terdapat dalam karya sastra itu”.52
Menurut Welleck dan Warren, bagian yang termasuk unsur “ekstrinsik karya
sastra adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi
karya sastra yang ditulisnya”.53 Misalnya karya Arifin ini, ia memasukan
unsur Cirebon lewat nama-nama tokoh dalam naskahnya. “Unsur ekstrinsik
berikutnya adalah keadaan psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang
(yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan
prinsip psikologi dalam karya”.54 Misalnya keadaan psikologis pengarang
memengaruhi keadaan tema, bahasa, serta alur cerita dalam karyanya.
52
P. Suparman Natawijaya, Apresiasi Sastra dan Budaya, (Jakarta: PT Interma, 1982),
h. 101
53
Burhan, Op,cit., h. 24
Ibid, h. 24
54
30
E. Drama sebagai Media Pembelajaran
“Pengajaran drama di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua
golongan, yaitu: (1) pengajaran teks drama yang termasuk sastra, dan (2)
pementasan drama yang termasuk bidang teater”.55 Media pembelajaran secara
umum adalah alat bantu proses belajar-mengajar yang digunakan untuk
merangsang pikiran, perasaan, perhatian, serta keterampilan siswa sehingga
terjadinya proses pembelajaran.
Sebagai media pembelajaran, drama dapat dikategorikan sebagai
pembelajaran teori drama dan pembelajaran apresiasi drama.Masing-masing
pembelajaran ini terdiri atas dua jenis, yaitu teori tentang teks naskah drama
dan apresiasi pementasan drama. Dalam apresiasi itulah, naskah maupun
pementasan adalah hal penting karena teori termasuk dalam kawasan kognitif,
dan apresiasi dalam kawasan afektif. Untuk meningkatkan daya apresiasi
siswa, maka langkah yang ditempuh adalah meningkatkan kemampuan
membaca karya sastra, dalam hal ini adalah naskah drama. Hal ini
dimaksudkan agar siswa memiliki pengetahuan luas tentang sastra, seni, dan
budaya yang terkandung di dalam drama (baik dalam segi pementasan dan
teori serta karya).
Mempelajari naskah drama, dapat memperkaya kemampuan membaca
dan memahami jalan cerita, tema, masalah tentang masyarakat, dan juga
melalui dialog-dialog pelakunya, siswa juga belajar tentang bahasa lisan dan
kemampuan tampil percaya diri di depan kelas.Pengajaran drama juga dapat
melatih keterampilan berbahasa siswa, yaitu menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis. Siswa akan menyimak naskah yang dibacakan oleh siswa lainnya
yang kemudian ia menganalisis naskah tersebut menjadi tulisan yang
kemudian membacakan juga hasil analisisnya di depan kelas.Drama sangat
penting bagi bagi pendidikan karena dapat mengungkapkan lebih banyak
tentang kemanusiaan dalam segala kekompekan dan konflik-konfliknya itulah
yang membentuk pembelajaran drama. “Drama tidak hanya cermin
55
Herman, Op,cit., h. 156
31
lingkungan,
tetapi
juga
membantu
kita
untuk
menumbuhkan rasa simpati, imajinasi, dan pengertian”.
menanggulanginya,
56
Drama yang baik diajarkan di sekolah harus
memiliki
tujuan-tujuan
khusus,
yaitu:
(1)
pengembangan kenikmatan dan keterampilan membaca
dan menafsirkan drama, dan memperkenalkan siswa
dengan sejumlah karya yang signifikan. (2) pengenalan
tradisi drama dan dan peranannya dalam sejarah
kemanusiaan. (3) pengembangan dasar dan citrarasa
terhadap drama, film, dan televise. (4) perangsangan
perhatian terhadap permainan drama dari penunjangan
selera masyarakat. (5) peningkatan pengertian siswa
tentang pentingnya drama sebagai sumber pemekaran
kawasan terhadap masalah-masalah pribadi dan
sosial.57
Apabila tujuan-tujuan di atas dapat dilaksanakan dengan baik, maka
drama mendapat tempat di dalam kurikulum, sehingga keterampilanketerampilan drama dapat dikembangkan dalam bentuk proses belajarmengajar yang terpola.
F. Penelitian yang Relevan
Adapun penelitian yang relevan ini dilakukan untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan seperti menyontek karya orang lain dan sebagainya.
Untuk menhindari hal-hal tersebut, akan penulis paparkan tentang perbedaan
di antara masing-masing judul dan masalah yang dibahas.
Skripsi yang berjudul “Religiusitas Naskah Drama Kapai-Kapai Karya
Arifin C. Noer dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Drama” karya Tuti
Mutia ini adalah skripsi Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada
tahun 2013. Mendeskripsikan tentang nilai-nilai religi yang terkandung dalam
naskah tersebut. Hasil penelitiannya meliputi: Pertama, religiusitas otentik
atau religiusitas secara langsung, yaitu penuntutan ke arah yang lebih baik,
dalam hal ini adalah sikap tolong-menolong, kesungguhan, kepasrahan, dan
56
Rizanur Gani, Op,cit., h. 258
Ibid, h. 260
57
32
ketakwaan. Kedua, religiusitas agamis atau religiusitas tidak langsung dalam
menanggapi Tuhan, manusia melewati jalur agama tertentu yang bersifat
formal dan resmi (bukan syariat): I’tikadiyah, amaliyah. Naskah drama Kapaikapai karya Arifin C. Noer merupakan naskah yang religiusitas yang
religiusitas yang ditampilkan melalui tokoh utama dan kakek sebagai tokoh
tambahan. Nilai religi yang disampaikan pengarang dapat dijadikan sebagai
media pembelajaran yang sesuai dan mendidik.58 Persamaan yang terdapat
dalam skripsi ini adalah sama-sama meneliti naskah drama dan pengarangnya
yang sama. Sedangkan perbedaannya adalah objek yang dikajinya.
“Semiotika dalam Naskah Drama Umang-umang Karya Arifin C. Noer”
oleh Soediro Satoto. Mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 1997 ini,
penelitiannya berisi tentang semiotik karya, yaitu mengkaji simbol-simbol
yang terdapat dalam naskah drama. Persamaan pada penelitian ini, yaitu samasama meneliti judul naskah drama dan pengarang yang sama. Sedangkan
perbedaannya terdapat pada hasil kajiannya.
“Watak dan Perilaku Tokoh Jumena Martawangsa Dalam Naskah
Drama Sumur Tanpa Dasar Karya Arifin C. Noer”. Skripsi ini ditulis oleh
Muhammad Imam Turmudji, seorang mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra
di Universitas Semarang pada tahun 2003. Tujuan dalam penelitian ini
mendeskripsikan watak dan perilaku tokoh Jumena dan fungsi tokoh Jumena
sebagai pemantik konflik. Hasil penelitiannya menunjukkan berbagai macam
watak dan perilaku tokoh Jumena dan fungsi tokoh Jumena sebagai pemantik
konflik damlam naskah drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer.
Persamaan pada penelitian ini yaitu sama-sama meneliti naskah drama dari
pengarang yang sama. Sedangkan perbedaan pada penelitian ini adalah naskah
yang dikaji dan hasil kajiannya.59
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang penulis paparkan di atas, skripsi
berjudul Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umangumang atawa Orkes Madun II ini belum pernah ada yang menggunakan judul
58
Tuti Mutia, h. i
http://journal.unnes.ac.id/sju/indexphp/jsi/article/iew/2390, diunduh pada 10 Maret
20014 pukul 20.00
59
33
yang sama. Oleh karena itu, peneliti mengangkat judul tersebut sebagai syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana.
BAB III
BIOGRAFI
Bab ini berisi tentang riwayat hidup Arifin C. Noer, seorang sineas dan juga
seorang dramawan yang karya tulisnya menjadi objek penelitian penulis dalam
pembuatan skripsi.
A. Biografi Pengarang
Arifin C. Noer adalah anak kedua dari Mohammad Adnan, seorang
tukang sate di daerah Cirebon. Arifin sudah memulai kiprahnya dalam dunia
seni sejak masih SMP. Ia menamatkan SD di Taman Siswa Cirebon, kemudian
melanjutkan ke SMP Muhammadiyah Cirebon. Namun demikian, ketika
SMA, ia masuk SMA jurnalistik di Solo. Ia melanjutkan perguruan tingginya
di Fakultas Sosial Politik di Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta dan
International Writing Program di Universitas Lowa, Amerika Serikat.1
Arifin, mulai mengenal dunia sastra serta teater saat masih duduk di
bangku SMP. Pada masa itulah karya-karya puisinya ia kirimkan ke majalah
yang terbit di Cirebon dan Bandung, honornya ia belikan buku cerita, baik
dalam maupun luar negeri. Sejak kecil ia memang gemar membaca,
khususnya buku anak-anak terbitan Balai Pustaka 1950-an. Baik fiksi-ilmiah
maupun petualangan Karl May. Tetapi yang paling digemarinya adalah buku
biografi orang-orang besar. Karena, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari
pengalaman serta kerja keras mereka. Hal itu kemudian sangat mempengaruhi
filsafat hidupnya untuk gemar bekerja dan berpikir keras.
Selama aktif di sekolah, ia sempat menjadi pemimpin umum majalah
sekolah dengan sekretarisnya Nani Wijaya (aktris sekaligus istri almarhum
Misbach Yusa Biran). Di luar sekolah, ia selalu melakukan aktivis di RRI
Cirebon. Di situ ia bergaul dengan para seniman Cirebon antara lain Mus
Mualim, Indra Soeradi, dan kemudian Titik Puspa. Di RRI ia mengasuh ruang
puisi serta membuat sandiwara-sandiwara radio. Pada usia 16 tahun, tepatnya
1
Yayat, Hendrayana, Umang-umang Arifin Impian-impian Kemelaratan. (Bandung:
Pikiran Rakyat, 1976), h. 5
34
35
saat kelas II SMP, pada 1957, Arifin menciptakan naskah sandiwaranya yang
pertama berjudul Dekaden57, disusul naskah keduanya yang ia tulis saat
duduk di kelas III SMP: Dunia yang Retak.
Menurut Indra Soeradi, aktor dan seniman Cirebon yang „menemukan‟
sekaligus guru N. Riantiarno (Teater Koma), suatu kali pada 1960-an, oleh
Arifin ia pernah diminta membaca beberapa naskah sandiwaranya antara
lain, Tengul, Sumur Tanpa Dasar dan Kasir Kita. Ia tidak mengira bahwa
berpuluh tahun kemudian, naskah-naskah tersebut menjadi cikal bakal
bangkitnya teater Indonesia Baru.2
Menginjak bangku SMA, Arifin merasa kecintaannya terhadap kesenian
semakin memuncak. Ia menjadi penanggung jawab kolom kesenian di koran
setempat, menjadi juri dalam pelbagai lomba kesenian, pembicara dalam
pertemuan peminat teater se-Cirebon, menerjemahkan naskah „berat‟ Komedi
Manusia karya William Sarojan, bahkan sempat menjadi juara dua Bintang
Radio se-Cirebon untuk jenis seriosa. Dan, pada usia SMA, Arifin telah
menciptakan naskah monolog Jangan Lupakan Saya.
Akibat kesibukannya dalam aktivitas kesenian, ia tak hanya dikeluarkan
dari sekolah tetapi juga telah membuat amarah Bapaknya. Apalagi, saat Arifin
memutuskan untuk menjadi seniman saja dan bertekad mau pergi ke Jakarta.
Akibatnya, ia kemudian dikirim ke pesantren Djamsaren di Solo, dan
meneruskan sekolahnya ke SMA Jurnalistik, Solo. Di pesantren itulah lahir
naskah Aminah yang menurut Arifin, merupakan naskah “dewasa”nya yang
pertama. Naskah itu kemudian populer pada 1960-an, karena banyak
dipentaskan oleh grup-grup drama di Jawa.
Tidak hanya dalam dunia teater, Arifin paggilan pria berkepala botak
yang dilahirkan 10 Maret 1941 di Cirebon ini, adalah juga seorang sineas
(orang yang ahli tata cara pembuatan film) yang lengkap. Dia bukan hanya
bisa menyutradarai, tetapi pandai pula menulis cerita dan dijadikan skenario.
Arifin sendiri menulis cerita dan skenario dalam film Bibir Mer, dan langsung
2
Dendy Sugono, Enskiklopedia Sastra Indonesia Modern, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2009), 34-36
36
menjadi sutradara, maka apa yang ingin disampaikan ke penonton bisa
diterima secara utuh. Kelancaran bertutur, dan menyelesaikan konflik yang
tidak bertele-tele menjadi ciri khas dan sekaligus kekuatan film-film Arifin.
Untuk sampai ke Bibir Mer, Arifin telah melakukan perjalanan panjang. Dia
giat mementaskan sandiwara sejak tahun 1957. Pertama kali, waktu itu dia
menulis dan sekaligus sebagai sutradara pementasan berjudul Dunia yang
Retak. Tiga tahun kemudian melanjutkan sekolah ke Solo, sampai di sana
bergabung dalam Himpunan Peminat Sastra Surakarta (HPSS), sambil
mencanangkan hari puisi.
Kreativitasnya dibidang penulisan puisi dan drama makin berkembang
sejak pindah ke Yogyakarta. Ditahun 1960, dia bergabung dengan WS Rendra
dalam lingkungan Drama Jogya, dan kemudian ia masuk Teater Muslim
pimpinan Mohammad di Ponegoro. Di situlah, lahir drama Nenek Tercinta,
pemenang pertama sayembara penulisan lakon Teater Muslim. Karyanya yang
lain adalah Mega-mega, pemenang kedua sayembara naskah drama Badan
Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI) tepatnya tahun 1967.3
Arifin membentuk Teater Ketjil setelah hijrah ke Jakarta. Teater ketjil
adalah sebuah perkumpulan sandiwara atau teater, terutama yang bersifat
eksperimental. Didirikan di Jakarta pada tahun 1968 oleh Arifin C Noer.
Untuk membina anggota-anggotanya dan peminat-peminat lain, perkumpulan
kekeluargaan ini juga memiliki kelas latihan atau diskusi bernama lab teater
ketjil. Pada tahun 1972 naskah dramanya berjudul Kapai-kapai memenangkan
hadiah pertama dalam sayembara penulisan lakon DKJ. Kristisi sastra dan
drama menilai Arifin sebagai salah satu pembaharu dalam dunia drama di
Indonesia, karya-karya drama dan puisinya mempunyai jalinan yang kuat,
puisi-puisinya kuat dramatik, sedangkan drama-dramanya puitik sekali.
Berikut ini adalah karya Arifin semasa hidupnya: Buku kumpulan
sajaknya, Nurul Aini(1963), Siti Aisah (1964),Puisi-puisiyang Kehilangan
Puisi (1967),Selamat Pagi, Jajang (1979), danNyanyian Sepi (1995).
3
Ibid
37
Buku-buku dramanya adalah Lampu Neon (1960), Matahari di Sebuah
Djalan Ketjil (1963), Nenek Tertjinta (1963), Prita Istri Kita (1967), MegaMega (1967), Sepasang Pengantin(1968),Kapai-Kapai (1970),Sumur Tanpa
Dasar (1971),Kasir Kita (1972),Tengul (1973), Orkes Madun I atawa
Madekur dan Tarkeni (1974), Umang-Umang (1976), Sandek Pemuda Pekerja
(1979),Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I (1984),Ari-Ari atawa
Interograsi II (1986), dan Ozon atawa Orkes Madun IV (1989).
Selain itu, ia juga menyutradarai banyak film dan sinetron serta menulis
skenarionya, antara lain, Pemberang (1972),Rio Anakku (1973),Melawan
Badai (1974),Petualang-Petualang (1974), Suci Sang Primadona (1978),
Harmoniku (1979), Lingkaran-Lingkaran (1980), Serangan Fajar (1981),
Pengkhianatan G.30 S/PKI (1983), Matahari-Matahari (1985), Sumur Tanpa
Dasar (1989), Taksi (1990), danKeris (1995). Karena film dan sinetron
garapannya itu, Arifin C. Noer dapat menyabet piala The Golden Harvest pada
Festival Film Asia (1972), piala Citra dalam Festival Film Indonesia (1973,
1974, 1990), dan piala Vidia dalam Fistival Sinetron Indonesia (1995). Film
garapannya yang mendapat penghargaan terbesar selama pemerintahan Orde
Baru adalah Pengkhianatan G.30.S/PKI yang dibintangi Umar Kayam. Film
ini selalu diputar setiap tahun melalui TVRI dalam memperingati "Hari
Kesaktian Pancasila" dan baru diberhentikan setelah pemerintahan Orde Baru
tumbang.
Sebagai sastrawan yang unggul dan kreatif, ia juga sering mendapat
hadiah sastra, antara lain, (1) Pemenang Sayembara Penulisan Naskah Lakon
dari Teater Muslim, Yogyakarta (1963) atas karyanya "Matahari di Sebuah
Djalan Ketjil" dan "Nenek Tertjinta", (2) Anugerah Seni dari Pemerintah
Republik Indonesia (1972) atas jasanya dalam mengembangkan kesenian di
Indonesia, (3) Hadiah Sastra ASEAN dari Putra Mahkota Thailand (1990) atas
karyanya Ozon, dan (4) Hadiah Sastra dari Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (1990). Dramanya Kapai-Kapai diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dengan judul Moths dan diterbitkan
di Kuala Lumpur, Malaysia.
38
Karya Selamat Pagi, Jajang menjadi mas kawin dari pernikahannya
dengan Jajang. Sebelum dengan Jajang, Arifin telah menikah dengan Nurul
Aini dan dikaruniai dua anak. Ia wafat pada 28 Mei 1995 di Jakarta,
karena liver cirrhosis (kelainan pada hati). Ia meninggalkan Jajang, Teater
Ketjil, dunia teater dan film Indonesia yang sangat khas dan unik, serta empat
orang anak: Vita Ariavita, Veda Amritha (dari Nurul Aini), serta Nitta Nazyra
dan Marah Laut (dari Jajang).
B. Sinopsis
Umang-umang atawa orkes madun II karya Arifin ini adalah naskah
kedua dari caturlogi4 orkes madun. Bercerita tentang kemelaratan dan proses
menuju kesejahteraan. Waska seorang tokoh utama sekaligus sutradara dalam
lakon ini adalah lelaki tua yang mempunyai rencana spektakuler, yaitu
merampok semesta. Waska adalah seorang bekas kelasi yang sudah cukup tua.
Ia dimitoskan oleh kawanan-kawanannya sebagai pemimpin terhormat, kuat,
dan tidak boleh mati demi mencapai cita-cita mereka yaitu kehidupan yang
layak. Karena kemiskinan di desa, membuat mereka lari ke kota. Tetapi di
kota, mereka tidak menjadi kaya. Mereka tetap miskin, dan kemiskinan inilah
yang memojokan mereka untuk melakukan kejahatan-kejahatan.
Bersama dengan anak buahnya, ia siap merampok semesta. Tak ada
tempat yang ramah bagi kemelaratan, tidak di desa, tidak juga di kota. Maka,
kemelaratan menampilkan dirinya dalam bentuk kejahatan. Kejahatan inilah
yang menyemangati Waska akan keberadaanya di dunia.
Mulanya, waska adalah seorang humanis, humoris, dan bisa
menertawakan dirinya sendiri. Sayangnya nasib buruk selalu membuntutinya.
Waska berada di lembah kemiskinan yang menyeretnya jadi pemimpin
gerombolan penjahat dan dipuja nyaris seperti nabi. Dia dilukiskan begitu
dekat dengan Sang Nabi tapi juga dekat dengan Dajjal. Waska yang dikenal
4
Empat naskah dramatik Arifin C. Noer: Madekur Tarkeni, Umang-umang, Sandek
Pemuda Pekerja, dan Ozone.
39
oleh kroni-kroninya sebagai sosok yang kuat, tiba-tiba berubah lemah akibat
sebuah penyakit aneh yang diderita dan tidak tahu apa sebabnya.
Waska yang sakit-sakitan kiranya tidak dapat menjalankan misinya
untuk merampok semesta, datanglah Bigayah, pelacur tua yang ingin menikahi
Waska, yang mencintai Waska dengan sepenuh hatinya. Tetapi sayang sekali,
Bigayah ditolak mentah-mentah oleh Waska lantaran Ia tak ingin menikah.
Karena yang ia lakukan hanyalah kejahatan, dan menikah bukanlah soal
kejahatan.
Setengah abad lebih Waska menunggu saat yang tepat untuk
melaksanakan rencana besarnya. Dia menggagas penjarahan semesta yang
mengerahkan seluruh penjahat dan menjarah seluruh kota. Di tengah sakit
yang parah dia mengomandoi penjarahan itu tanpa bisa dihalang-halangi oleh
peringatan tokoh Jonathan, sahabat senimannya.
Ranggong dan Borok yang merupakan tangan kanan kesayangan
Waska, kemudian mencari penawar. Dadar bayi. Ya, dadar bayi adalah
penawar yang dianjurkan dukun untuk menyembuhkan penyakit Waska.
Setelah mendapat beberapa lahat bayi, dengan susah payah mereka menyuruh
dukun untuk membuatkannya—dengan negosiasi harga tentunya. Berkat
ramuan itu, Waska dapat hidup kembali. Ranggong dan Borok pun ikut makan
dadar bayi tersebut.
Di luar dugaan, khasiat jamu tersebut membuat waska dan kawankawannya hidup abadi sepanjang lebih dari lima generasi manusia. Mereka
pun jatuh bosan karena mereka tidak juga mati, apalagi mereka hanya dalam
keadaan serba “diam” sedangkan yang lain, senantiasa “bergerak”. Jamu yang
mereka minum ternyata tidak ada penawarnya. Mereka melakukan segala cara
untuk mengakhiri hidup mereka. Tapi sayang, semua cara yang dilakukan
hanyalah sia-sia. Mereka tetap hidup dan bernapas seperti layaknya orang
hidup. Mereka ditinggalkan generasinya, ditinggalkan oleh kaki-kaki yang
melangkah maju-mundur, ditinggalkan oleh musim yang terus berulang.
Sampai pada akhirnya, mereka hanya diam menggantung kakinya di pinggiran
40
laut sambil memancing, karena memikirkan untuk menceburkan diri ke laut
pun tak ada guna.
Mereka membutuhkan mati seperti halnya makhluk hidup yang pernah
mereka temui. Mereka merasa bahwa mati merupakan ketenangan jiwa.
Ketika kita mati, artinya beban hidup yang mengelilingi kita tidak akan berani
datang kembali.
C. Tentang Caturlogi Orkes Madun dan arti kata Umang-umang
Orkes madun adalah sebuah lakon panjang yang merupakan nyanyian
kemiskinan abad XX, kemiskinan badan dan kemiskinan jiwa, kemiskinan
ekonomis dan kemiskinan metafisis. Tokoh-tokoh dalam lakon ini terdiri dari
Rombongan Para Nabi dan Para Badut yang dikepalai Semar. Kedua
rombongan berkenalana dari abad ke abad menghibur manusia dari lakon
deritanya. Para Nabi dengan nyanyian-nyanyian, Para Badut dengan
pertunjukan-pertunjukan sandiwara. Semuanya dibalut dengan semangat
gembira, jenaka, dan cendikia.5
Keempat
teks
dramatik
caturlogi
drama
orkes
madun
dapat
dikategorikan sebagai teks radikal, dengan berbagai ciri atau kekhasan, dan
penyimpangan, baik bentuk maupun isinya, termasuk juga cirinya sebagai
drama tragik-komedi. Jadi, bukan radikal dalam pengertian sosial dan politik
yang berkonotasi negatif karena ekstrem dan anarkis.
Umang-umang ini adalah salah satu karya Arifin yang memiliki arti
Semantik, kata umang-umang adalah binatang laut jenis ketam atau siput kecil
yang lemah. Hidup di lumpur di tepi pantai, atau numpang bersarang di bekas
sarang binatang lain yang tidak lagi digunakan. Dalam kondisi dan posisinya
yang kecil lagi lemah, umang-umang dikejar-kejar binatang lainnya yang lebih
besar untuk menjadi atau dijadikan makanan atau mangsanya. Pengunaan kata
Umang-umang ini, menurut keterangan Arifin C Noer mengingatkan ketika
dia berada di pantai laut jawa di daerah Cirebon, asal kelahiran Arifin C Noer,
5
h. 4
Dokumentasi sastra H.B. Jassin,Umang-umang: kesadaran ACN. (Jakarta: Pelita, 1976),
41
dia melihat binatang laut umang-umang yang kecil dikejar-kejar binatang laut
lainnya yang lebih besar untuk dijadikan mangsanya. Serial kedua lakon Orkes
Madun II ini melukiskan manusia lemah yang dikejar-kejar manusia kuat
untuk dijadikan mangsanya. Maka, tokoh Waska yang ini berkeinginan
menjadi kuat untuk membalaskan dendam kesumatnya kepada para pengejar
makhluk-makhluk kecil untuk dijadikan mangsanya. Oleh karena itu, Waska
ingin menjadi kuat agar dapat melampiaskan dendamnya untuk membalas
dengan cara menodong penodong, merampas perampas, dan merampok
perampok.
Menurut KBBI, arti kedua umang-umang adalah orang yang suka
berpakaian bagus, tapi bukan kepunyaannya sendiri, secara metaforis dapat
dimaknai sebagai orang yang suka menggunakan atau memanfaatkan hal-hal
atau kekuasaan yang bagus, besar, tetapi itu bukan milik/haknya sendiri tentu
tidak pas, mungkin bahkan kedodoran.
BAB IV
ANALISIS
Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang atawa
Orkes Madun II Karya Arifin C. Noer.
Pada bab iv ini peneliti akan melakukan analisis, mulai dari unsur
intrinsik, ekstrinsik, serta pengajaran drama di sekolah.
A. Unsur Intrinsik Naskah Drama Umang-umang atawa Orkes Madun II
Karya Arifin C. Noer.
1. Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang berhubungan dengan premis
drama sekaligus berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah naskah
dan sudut pandang yang dikemukakan oleh pengarangnya.1 Naskah drama
Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer bertemakan
kemiskinan dan cara menanggulangi kemiskinan itu sendiri.
Waska : Aku pernah memilih, tapi aku ditolak, selalu
ditolak. Kemiskinan telah menodongku, kelaparan telah
menodongku, dan aku tak rela dicincang oleh kemiskinan
dan kelaparan, maka kutodongkan kekayaan”.2
Melalui judul yang sangat sederhana ini, umang-umang memiliki
makna yang sangat dalam. Umang-umang atau yang kita kenal sebagai
kelomang adalah binatang laut jenis ketam atau siput kecil yang lemah.
Hidup di lumpur di tepi pantai, atau numpang bersarang di bekas sarang
binatang lain yang tidak lagi digunakan.Umang-umang yang dipimpin oleh
Waska adalah kumpulan orang terbuang atau orang miskin yang numpang
secara paksa pada harta orang lain, yaitu dengan cara merampok,
menodong, dan sebagainya. Kumpulan orang-orang terbuang ini memiliki
cara menanggulangi kemiskinannya.
Waska : Ranggong, sejak muda saya memimpikan
memimpin suatu operasi besar secara simultan.
1
2
Herman, Op,cit., h. 24
Arifin, Op,cit., h. 24
42
43
Seluruh penjuru kota kita serang, kita rampok habishabisan. Paling sedikit 130 bank yang ada, 400
pabrik, 2000 perusahaan menengah dan kecil dan
ribuan toko-toko dan warung-warung yang ada di
kota ini, akan kita gedor secara serempak.
Mendadak. Pasti. Pasti menetas impian tua saya ini.
Jumlah kita, anak-anak lapar dan dahaga sudah
menjadi rongga mulut raksasa yang juga akan
mengancam keheningan langit. Kehadiran kita yang
bersama ini akan menggetarkan para nabi dan
malaikat.3
Dialog di atas adalah rencana Waska merampok secara simultan
untuk menanggulangi kemiskinan kelompoknya. Merugikan orang lain
dan memiliki apa yang bukan miliknya. Hal ini sama seperti umangumang dalam kehidupan, ia merampok sarang yang lebih baik dan lebih
bagus untuk kelangsungan hidupnya. Ia rela membunuh sang empunya
sarang untuk tempat tinggalnya kelak.
Kemiskinan dengan berbagai jenisnya, merupakan tema sentral
caturlogi naskah drama Orkes Madun. Selain kemiskinan ekonomi,
kemiskinan jiwa, moral, dan kemiskinan metafisis juga disajikan dengan
jelas oleh Arifin dalam naskah lakon ini.
Waska
: Kami bertiga berdiri bagaikan
trisula yang berkarat yang digenggam bermilyar
tangan lapar dan dahaga, lapar badan, dan lapar
jiwa.4
Debleng
: Betapapun hina dinanya orang
yang ada dalam kubur ini, Tuhan, namun terimalah
dia. Barangkali ia hanyalah serbuk kayu, barangkali
ia hanyalah arang, barangkali ia hanyalah daki,
barangkali ia hanyalah karat pada besi tua, namun
tak bisa dipungkiri ia adalah milikMu, makhlukMu,
maka terimalah ia kembali dalam rahasiaMu.
Kejahatan yang dilakukan orang dalam kubur ini
betul-betul kelewatan, Tuhan. Ia telah menghina
dirinya habis-habisan. Sekali lagi, Tuhan, terimalah
ia karena Engkau pun tahu kami tak bisa
menyimpannya. Amin...5
3
Arifin, Op,cit., h. 5
Ibid, h. 70
5
Ibid, h. 4
4
44
Dialog di atas menampilkan bahwa kejahatan memang tidak layak
diterima, akan tetapi, jiwa makhluk tersebut memiliki Tuhan dan harus
mempertanggung jawabkannya kelak di alam lain.
Waska dan komplotannya berjuang memberantas kemiskinan
untuk kesejahteraan dengan cara apapun. Waska berkeinginan untuk
jangan pernah menutupi kejahatan-kejahatan yang terjadi di sekitar kita.
Apabila hanya kebaikan saja yang ditampilkan, mana bisa hal itu disebut
kebaikan. Seringnya kita tidak menyadari bahwa hal-hal yang ada di
sekitar kita hanya menutupi kejahatan saja, bukan memperbaikinya. Di
sini, Arifin secara terang-terangan mengungkapkan kejahatan yang pada
hakikatnya adalah sisi lain dari diri kita sendiri. Manusia memiliki dua sisi,
yang satu sifat baik, dan yang satu lagi bisa dikatakan sifat kejam atau
tidak memiliki rasa belas kasih. Maka, jika kita menginginkan sesuatu,
janganlah pernah untuk berpura-pura baik atau membohongi diri sendiri
untuk kelihatan baik di mata orang lain. Arifin mengajarkan untuk
bersikap biasa, jika kejahatan yang akan engkau lakukan, maka
bertindaklah seperti orang jahat. Tampilkanlah kebaikanmu, maka kau
akan dilindungi Tuhanmu, dan jangan malu menampilkan kejahatanmu
jika memang itu perlu.
Arifin menampilkan kejahatan karena tokoh-tokoh yang berperan
memiliki profesi yang dinilai buruk oleh masyarakat. Itu semua bukan
keinginan mereka semata, keadaanlah yang membuat mereka seperti itu.
Koor
: Kemiskinan telah menghalau kami ke
kota yang penuh kemiskinan ini. Kemiskinan telah
mengajar
mencuri,
mencopet,
menjambret,
menodong, menggarong. Desa telah mengusir kami.
Kota telah mengusir kami. Apakah langit juga akan
mengusir kami?6
Kemiskinan memang telah menggerogoti kelompok ini, cara
menanggulanginya tidak dengan berdiam diri dan pasrah terhadap nasib.
Mereka menerobos segala yang berbau konvensional. Mereka merampok
6
Arifin, Op,cit., h. 47
45
semesta untuk menanggulangi kemiskinan yang menyelimuti mereka.
Keadaan tidak akan memberimu kesempatan jika yang kau lakukan hanya
berdiam diri.
Itulah tema dalam drama, segala yang berbau tentang memberantas
kemiskinan terjadi dalam lakon naskah ini. Selanjutnya, peneliti akan
mendeskripsikan tentang tokoh sekaligus penokohannya dalam naskah
drama Umang-umang atawa Orkes Madun II ini.
2. Tokoh dan Penokohan
“Tokoh dalam fiksi adalah manusia yang diciptakan atau direka oleh
pengarang”.7 Sebagai manusia yang memiliki masalah serta problema
kehidupan, tokoh yang dihadirkan pun berperan dalam menciptakan
konflik serta alur bagi kehidupannya. Tokoh-tokoh yang berperan dalam
naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer
ini, yaitu Waska, Borok, Ranggong, Bigayah, Debleng, Gustav, Japar,
Buang, Nabi-nabi, Embah, Embah Putri, Seniman/Jonathan, Tukang Jamu,
Tukang Sekoteng, Tukang Kue, Tukang pijat, Anak kecil, Juru kunci,
Anaknya, Engkos, Dajjal, Dan lain-lain.
Apabila diklasifikasikan dalam kategori penokohan seperti pada
analisis sastra, naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya
Arifin C. Noer memiliki tiga kategori. Pertama tokoh sentral-antagonis,
meliputi: Waska, Borok, dan Ranggong. Kedua, tokoh sentral-protagonis,
yaitu Semar, Seniman/Jonatan. Ketiga, tokoh pendukung, yaitu Bigayah
dan juga tokoh-tokoh pembantu seperti Debleng, Buang, Gustav, Embah,
Embah Putri, Anak, Tukang Jamu, Tukang Sekoteng, Tukang Kue, satu,
Tukang pijat, Anak kecil, Juru kunci, Anaknya, Dajjal, Engkos, dan Japar.
Berikut ini analisis ketiga jenis penokohan tersebut.
a. Tokoh Sentral-Antagonis
Waska, Borok, dan Ranggong adalah tokoh sentral-antagonis, dari
ketiganya, Waska adalah yang mendalangi setiap adegan dalam cerita.
Waska adalah pemimpin kelompok serta biang keladi pertikaian dalam
7
Nani Tuloli, Op,cit., h. 28
46
naskah lakon ini. Borok dan Ranggong adalah tokoh yang berkaitan
penting dengan Waska.
Waska adalah seorang pemimpin komplotan yang disegani anak
buahnya.
Nabi
: Kenapa Waska?
Gustav
: Waska, pemimpin besar kami,
pemimpin umat manusia, sedang menderita sakit.
Bahkan pada detik-detik ini ia sedang dalam
keadaan inkoma, sakaratulmaut.
Nabi
: Kalian kelewatan, betul-betul
kelewatan. Tuhan, ampunilah mereka karena
mereka menangisi waska.
Debleng
: Ya, kami menangisi Waska.
Nabi
: Waska, kalian tangisi? Nggak
masuk akal, nggak masuk akal. Waska? Orang
macam itu?
Gustav
: Orang katamu? Dia lebih dari
orang.
Ranggong
: Orang katamu? Dia raja. Dia
pembesar. Dia pembela. Dia penghibur. Dia juga
adalah sebuah kendi air di suatu jalan lenggang di
suatu desa yang tandus. Dan Tuhan pun tahu tangi
kami adalah ucapan spontan terima kasih kami.8
Begitulah pendapat mereka tentang Waska, seorang pemimpin
komplotan yang ditakuti, dikagumi, dan semua orang patuh padanya.
Mereka sangat patuh, hal ini terlihat pada dialog ketika berikut ini.
Waska
Ranggong
tiga belas.
Waska
Borok
Waska
Japar
: Ranggong!
: Ranggong di sini, Waska, di becak nomor
: Borok!
: Gua di kuburan cina, Waska.
: Japar!
: Aku dalam bus kota, orang tua!9
Meskipun Waska dihormati, dikagumi, dan dipatuhi, ia tetap tidak
ingin disembah layaknya Tuhan. Waska juga makhluk Tuhan, hanya saja
kedudukannya di hadapan anak buahnya dianggap dewa.
8
Arifin, Op,cit., h. 10
Ibid, h. 3
9
47
Waska
: Engkos!
Engkos
: Engkos tadi sudah diludahi, Waska.
Waska
: Keluar sebentar, bajingan. Ke sini!
ENGKOS
MENDEKATI
WASKA
DENGAN
LANGKAHNYA JONGKOK ALA KRATON JAWA
ATAWA SUNDA. DAN MELIHAT INI BUKAN MAIN
MENYALA AMARAH WASKA.10
Waska sangat tidak suka kepada orang yang merendahkan dirinya di
hadapan orang lain, sekalipun di hadapannya. Sebagai pemimpin, Waska
juga mengajarkan kebaikan pada anak buahnya. Ia betul-betul seorang
pemimpin yang bijaksana dan dapat menghargai waktu.
Engkos
: Waska, kita sudah tujuh jam
mengintip nonstop. Bagaimana seterusnya?
Waska
: Betul-betul anjing kurapan budak
setan. Nggak sabaran. mana bisa dia menjadi
penjahat besar tanpa memiliki ketahanan
menghadapi waktu.11
Waska memiliki prinsip seorang pemimpin, seorang penyabar,
seorang yang pernah berlayar mengarungi waktu. Ia menginginkan anak
buahnya menghargai setiap detik waktu yang berjalan dan tetap
mengawasi keadaan di sekitarnya tanpa rasa bosan. Seperti ia juga yang
seorang bekas kelasi, berlayar penuh kesabaran dan tawakal.
Jonathan
: Kamu kehilangan sesuatu tapi
kamu tidak menyadarinya, Waska. Cobalah
sebentar kennangkan semuanya secara utuh.
Berlakulah adil, timbanglah satu demi satu dari
seluruh yang kau miliki.
Waska
: Janganlah mencoba mengorekngorek masa lampauku. Sentimental! Dan lagi
apakah kamu kira ketika aku menjadi kelasi
lantaran didorong oleh romantik keremajaan
keluarga ningrat? Seperti romantik semangat
kesenianmu yang penuh skandal itu?12
10
Ibid
Ibid, h. 2
12
Ibid, h. 49
11
48
Sekalipun waska orang yang ditakuti, ia juga punya kelemahan atau
rasa takut terhadap sesuatu. Hal yang ia takuti adalah Bigayah, perempuan
yang mencintainya habis-habisan.
Bigayah
: Waska! Waska!
Waska
: Pasti suara itu. Aku mendengar
suara itu. Aku tidak pernah merasa takut kecuali
setiap hari mendengar suara itu. suara itu seperti
suara mendiang ibuku yang tidak pernah jelas
wajahnya. Suara itu seperti suara istriku yang tidak
pernah ada. Suara itu seperti suara anak
perempuanku yang tidak akan pernah lahir, dan
aku takut. Aku berubah jadi badut menghadapi
menghadapi cobaan ini. bigayahkah itu?
Bigayah
: Ya Waska, Bigayahmu!13
Waska tidak pernah mencintai seorang perempuan. Ia tak
menginginkan hubungan serius kepada perempuan. Ia pun tak menikah. Ia
adalah penjahat, maka dari itu ia tak menginginkan ada perempuan di
sisinya.
Bigayah
: Jangan bersembunyi, Waska.
Jangan bersembunyi. Biar saja polisi-polisi dan
kamtib-kamtib menangkap kita, asalkan kita bisa
tetap bercinta. Biarkan kita terjaring Dewi Ratih
dan Kamjaya, Waska. Nasib buruk, kesialan,
kemelaratan dan penyakit jangan pula kita biarkan
memunaskan cinta kita. Melarat sudah, penyakitan
sudah, tapi janganlah kita dimakan kebencian.
Waska
: Aku tidak bersembunyi, aku
bertapa, aku bersemedi, aku menghitung jumlah
semut yang pernah ada dan jumlah tarikan napas
yang selama ini. Jangan dekati aku. Kalau cintamu
tidak atau belum mendapatkan balasan dari hatiku,
adalah karena pikiranku yang jahanam serta penuh
kepongahan yang adalah bagaikan putra Nuh nan
durhaka.14
Sebagai pemimpin besar yang hidup di tengah kemiskinan, maka
Waska pun memiliki rencana yang sangat besar pula. Rencana merampok
13
Ibid, h. 18
Ibid, h. 19
14
49
semesta, dalam naskah drama ini diceritakan bagaimana obsesi Waska
terhadap rencananya itu.
Waska
: Ranggong!
Ranggong
: Saya, Waska!?
Waska
: Sebentar lagi kumpulkan semua
orang!
Ranggong
: Di sini, Waska?
Waska
: Kalau mungkin dan kalau sempat
hubungi juga para sesepuh kita dan bawa ke sini.
Para pelacur yang masih melayani tamu-tamunya
biar menyusul belakangan, asa kamu beritahu juga.
Lalu kalau kebetulan ketemu Borok, bilang
padanya saya tidak sabar menunggu jamu yang
dijanjikannya.
Ranggong
: Baik, Waska!
Waka
: Rasanya saya harus menceritakan
rencana besar juga. Saya kira inilah malamnya.
Hampir setengah abad saya nantikan malam serupa
ini, anginnya serupa ini, ketetapan hati serupa ini.
Tuhan, impian besar dan spektakuler itu telah
mengganggu selera makanku, telah mengganggu
tidurku, telah mengganggu selera syahwatku
selama hampir setengah abad. Ranggong….
Ranggong
: Ya, Waska!
Waska
: Ranggong, sejak muda saya
memimpikan memimpin suatu operasi besar secara
simultan. Seluruh penjuru kota kita serang, kita
rampok habis-habisan. Paling sedikit 130 bank
yang ada, 400 pabrik, 2000 perusahaan menengah
dan kecil dan ribuan toko-toko dan warungwarung yang ada di kota ini, akan kita gedor
secara serempak. Mendadak. Pasti. Pasti menetas
impian tua saya ini. Jumlah kita, anak-anak lapar
dan dahaga sudah menjadi rongga mulut raksasa
yang juga akan mengancam keheningan langit.
Kehadiran kita yang bersama ini akan
menggetarkan para nabi dan malaikat.15
Akan tetapi, di tengah rencana spektakulernya itu, Waska menderita
penyakit yang kita tidak tahu apa namanya. Hingga ia memerintahkan
anak buahnya Borok dan Ranggong untuk mencari jamu dadar bayi.
15
Ibid, h. 5
50
Semar
: Sebagian orang menganggap
tokoh Waska itu sebagai lelaki atau jawara tua
setengah sinting. Eksentrik kaya seniman besar.
Sebagian lagi menganggap penyakitnya itu sebagai
guna-guna atau tenung yang dilontarkan orang atau
atau
musuhnya.
Tapi
sebagaian
lagi
menganggapnya pada saat seperti itu ia sedang
bercakap-cakap dengan „Yang Maha Kuasa‟
mengingat kedudukannya nyaris seperti nabi. Saya
sendiri sebagai semar yang memerankan tokoh itu
cuma menganggapnya sebagai tokoh yang sangat
kocak yang sadar akan kekocakkannya serta
kekocakkan lingkungannya.16
Kemudian tokoh Borok dan Ranggong yang merupakan anak buah
setia Waska. Mereka juga disebut tokoh antagonis karena perbuatannya
sama persis dengan Waska.
Waska
: Kamu gagah laksana golok. Tapi
kamu juga indah laksana fajar. Kamu memang
golokku dan fajarku. Sudah berapa lama kamu
menjadi perampok?
Ranggong
: Tepatnya lupa, Waska. Seingat
saya, selepas sekolah dasar sya sudah mulai
mencuri kecil-kecilan dan sekarang umur saya
lebih empat puluh tahun.
Waska
: Pengalaman penjara?
Ranggong
: Tiga kali tiga tempat.
Waska
: Senior kamu, Ranggong, dan itu
artinya kamu bisa mengambil alih peran lebih
besar dalam impian saya itu. kawin?
Ranggong
: Tidak, Waska, seperti kamu juga.
Waska
: Sempurna. Kamu orang kedua
setelah Borok. Persis seperti impian saya. Ya, ya,
kamu dan Borok seperti tangan kanan dan tangan
kiri, seperti busur dan anak panahnya, lengkap.17
Dalam hal kejahatan yang sama dengan Waska, Borok dan
Ranggong pun sangat setia. Mereka menuruti keinginan Waska yang
sedang sekarat untuk membawakan jamu dadar bayi sebagai obat penawar.
16
Ibid, h. 7.
Ibid, h 5
17
51
Ranggong : Artinya, untuk menyambung
umur, kita harus tega mengerjakan hal-hal
sebagai berikut, satu, membunuh bayi. Dua,
membedah bayi. Tiga, merenggut jantung bayi.
Empat,
mengeringkan,
menjemur,
atau
memanggang jantung bayi. Lima, menumbuk
jantung bayi kering sampai halus. Enam,
meminum wedang yang mengandung bubuk
jantung bayi.18
Ranggong dan Borok memang anak buah yang setia, sampai pada
mereka meminum jamu dadar bayi bersama-sama dan tidak mati pun
bersama-sama.
Borok
: Kita bunuh diri saja, pak.
LALU MEREKA SALING BERPANDANGAN
SELAMAT TINGGAL DAN SELANJUTNYA
MEREKA BERUSAHA MENUSUK PERUT
MEREKA
MASING-MASING
DENGAN
TANGKAI KAIL (WALISAN)
TAPI SEBELUM TERLANJUR, ORANGORANG
DATANG
BERMUNCULAN
MENGGAGALKAN
NIAT
MEREKA,
SEKUAT
TENAGA
ORANG-ORANG
MENGHALANGI
PERBUATAN
NEKAD
MEREKA, LALU SETELAH KETIGANYA
KEMBALI
TENANG
ORANG-ORANG
KELUAR.
Waska
: Nggak jadi mati kita?
Ranggong : Kebaikan yang jelek!
Borok
: Pokoknya jahat.
Ranggong : Kita berantem saja yuk bunuhbunuhan?
Begitulah ketiganya mencari jalan keluar untuk mati. Mulai dari
berantem, saling memaki, melompat ke jurang, tapi semuanya tidak ada
hasil. Mereka hidup abadi sampai mereka bosan.
18
Ibid, h 39
52
b. Tokoh sentral-protagonis
Tokoh
sentral
protagonis
adalah
tokoh
yang
bersebrangan
pemikirannnya terhadap tokoh antagonis, tokoh-tokoh di sini meliputi:
Semar dan Jonathan/Seniman.
Semar adalah tokoh utama atau wujud lain dari seorang Waska. Ia
sama sekali berbeda dengan Waska, bahkan ia tak menyukai sifat Waska
itu sendiri. Ia juga merupakan sutradara dalam lakon naskah ini.
Semar
: Apakah yang sedang terjadi atau
telah terjadi, para penonoton? Nah saya Semar,
pemimpin rombongan sandiwara ini tanpa tedeng
aling-aling ingin menjelaskan apa adanya….19
Semar yang walaupun wujud lain dari Waska, tetapi ia adalah yang
tidak menyetujui rencana spektakuler Waska. Ia juga tidak menyukai
pribadi dan karakter Waska.
Semar
: Yang maki-maki dan meludahi
tadi Waska, bukan saya. Terus terang saya
pribadi gak suka sama Waska.
Semar, sebagai kepala rombongan dan sekaligus sutradara dalam
lakon ini berpendapat bahwa tokoh yang diperankan Waska sangatlah
kocak.
Semar
: …..Saya sendiri sebagai Semar,
menganggap tokoh yang saya perankan ini sangat
kocak yang sadar akan kekocakkannya dan
kekocakkan lingkungannya.
Semar
: Waska memang keras
20
kepala
Tokoh Semar adalah wujud lain dari tokoh Waska yang karena tokoh
Waska tidak dapat mati hingga akhir. Usia semar dalam naskah drama
Orkes Madun I atawa Madekur dan Tarkeni adalah 2400 tahun. Dalam
pewayangan, tokoh Semar adalah tokoh Batara Ismaya yang tidak
mengenal mati. Itu mengapa tokoh Waska yang sudah dimakan penyakit
tidak juga mati.
19
Ibid, h. 3
Ibid, h. 39
20
53
Di akhir cerita, Semar tidak pernah muncul lagi dalam diri Waska,
akan tetapi Waska bukanlah Waska yang seutuhnya. Semar memang tidak
bernaung lagi dalam tubuh Waska, melainkan meninggalkan warisan yang
berupa keabadian.
Kemudian tokoh Jonathan/seniman yang tidak setuju dengan jalan
hidup Waska dan segala yang dikerjakan Waska, terutama rencana
spektakulernya. Jonathan sengaja mempermainkan pikiran Waska dengan
mengingatkannya tentang masa lalu dan cita-cita Waska terdahulu.
Jonatan
: Kamu tidak pingin berlayar lagi?
Waska
: Aku sudah tua. Maksudku aku
punya pekerjaan lebih besar.
Jonatan
: Amarahmu maksudmu?
Waska
: Apalah namanya tapi yang penting
besar dan penting buat kemanusiaan. Dan aku
minta supaya kamu jangan mencoba mengorekngorek masa lampauku, yang pernah kamu tahu
dan yang pernah kamu dengar.
Kemunculan Jonatan bisa dikatakan jarang berdialog dengan tokohtokoh lain karena ia hanya sibuk dengan keseniannya sendiri. Ia sibuk
memainkan biola bahkan ia sama sekali tidak berada dalam satu panggung.
Ia hanya menonton dan sesekali member komentar jika ada kehebohan.
Jonatan
: Sebentar, Waska, aku kira
amarahmu mulai tak tentu arah. Terus teranag
aku tak hendak berdebat soal kesenianku, tapi
kamu sendiri tahu kesenian yang kamu bicarakan
sudah lama aku tinggalkan dan kamu sendiri juga
tahu bagaimana selama ini aku menulis serta
menyanyi tentang kalian, tentang kamu.
Waska
: Kalau begitu kamu sedang
memainkan sekandal yang lain dan mungkin yang
lebih besar lagi. Jonatan, ternyata jiwamu
cacingan, atau mungkin kamu idiot tanpa
diketahui sejarah. Selama ini kamu mengira
nyanyian kamu, kesenian kamu mewakili
kelaparan kami, amarah kami? Cuah! Ilusi!!! Dan
lebih dari itu, sambil membungkam rasa
persahabatanku padamu, aku menuduhmu, aku
mendakwa kamu telah mengatas namakan kami,
54
penderitaan-penderitaan kami dan kamu telah
mendapat keuntungan dan kehormatan.
Jonatan
: Aku menyesal sekali persahabatan
kita yang berpuluh tahun berakhir seperti ini,
maksudku kamu putus secara sepihak dan keji
seperti ini. tapi sebelum segala sesuatunya
berakhir aku minta supaya kamu sudi
mendengarkan penjelasan-penjelasan tentang
kesenian saya, tentang akhlak dan tentang nilai
persahabatan.
Sifat dan sikap Jonatan dianggap keterlaluan oleh Waska, karena
mereka pernah menjadi sahabat yang melakukan pekerjaan secara
bersama-sama,
perjalanan
bersama-sama,
keinginan
bersama-sama,
segalanya bersama-sama.
Jelas sekali Waska lupa akan persahabatannya dengan Jonatan, ia
lupa segalanya. Akan tetapi, Waska bukanlah orang yang munafik, ia jelas
mengatakan kepada Jonatan bahwa ia tak menyukai Jonatan sedikitpun
untuk saat itu. Ia jelas menolak secara terang-terangan tanpa basa-basi dan
tanpa perihal apapun. Tidak seperti Jonatan yang munafik, yang merusak
orang lain untuk kesenangan dirinya sendiri, untuk ketenaran dirinya
sendiri.
c. Tokoh pendukung
Bigayah adalah seorang pelacur tua yang sangat mencintai Waska. Ia
merelakan apapun Waska. Namun tak disangka, Waska justru menolak
mentah-mentah cinta suci dari Bigayah karena sesuatu alasan.
Bigayah
: Sudah hampir empat puluh tahun
aku dirundung cinta suci atasmu, Waska,
masihkah kau menampik?
Waska
: Aku mohon janganlah engkau
memperdengarkan suaramu. Frekuensi suaramu
sedemikian rupa menyebabkan gendang telingaku
terluka dan jantung melipatkan debarannya tujuh
ribu kali perdetik. Aku mohon, Bigayah, aku
mohon.
Bigayah
: Bungkus ketupat empat puluh
lebaran yang lalu suguhanku yang kau makan
55
masih kusimpan sebagai kenang-kenangan,
Waska. Juga punting minak jingo yang kamu
hisap empat puluh tahun yang lau masih kusimpn
sebgai tanda bukti kasihku padamu, Waska.
Bahkan tikar yang kita pergunakan pertama kali
malam itu, empat puluh cap gomeh yang lalu
masih tergantung sebagai hiasan dinding
rumahku, Waska.
Empat puluh Waska, angka yang cukup banyak
dan cukup baik, masihkah kau menolak
lamaranku, kehadiranku, cintaku. Waska, pada
usiamu yang hampir seratus tahun seperti sekrang
ini kau memerlukan seorang teman dalam
kekosonganmu dan kesunyianmu.21
Sungguh begitu setianya Bigayah kepada Waska, tapi cintanya
berpetuk sebelah tangan. Waska orang kuat dan hebat yang menganggap
pernikahan adalah omong kosong belaka. Oleh karena itu, ia tidak mau
menikah atau terikat dengan orang lain.
Kemudian ada Nabi yang menjadi pendukung dalam naskah drama
ini. nabi menganggap kelompok yang dipimpin oleh Waska hanyalah para
manusia yang putus asa dan ketakutan dalam mengahdapi kenyataan.
Nabi : Tapi, Waska, apakah kamu tidak
menyadari, sebenarnya kamu dan kawankawanmu sedang diliputi oleh suatu sikap
keputusasaan yang sangat gelap mengerikan?22
Itulah penggambaran tokoh-tokoh dalam naskah drama Umangumang atawa orkes madun II ini. Penggambaran tokoh berfungsi untuk
memperkenalkan sifat dan sikap lakon dalam menjalani kehidupan di
dalam naskah. Ketika tokoh sudah dijelaskan dan dideskripsikan, penulis
melanjutkan analis unsur intrinsik berikutnya, yaitu mengenai alur.
3. Alur
Alur merupakan jalan cerita dalam sebuah karya sastra. Ia
mencipta setiap peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra.
21
Arifin, Op,Cit., h. 29
Ibid, h. 37
22
56
Naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II ini terdiri
dari tiga bagian (babak) dan tidak terdapat jumlah serta nomor-nomor
adegan. Bagian pertama terdiri dari 34 halaman, bagian kedua terdiridari
15 halaman, dan bagian ketiga terdiri dari 29 halaman.
Sebagai naskah drama, jika naskah drama ini diasosiasikan seperti
manusia, naskah atau pertunjukannya memiliki dua wajah, dua
kepribadian. Wajah pertama, Waska dengan umang-umang sebagai bala
tentaranya. Wajah kedua adalah Semar dan para anggota aktif orkes
madun.
Bagian pertama adalah pengenalan atau pelukisan awal cerita. Di
mana dalam tahap ini pembaca diperkenalkan dengan tokoh-tokoh drama
dengan watak masing-masing. Dalam naskah drama Umang-umang,
Waska adalah tokoh utama sekaligus pemimpin sebuah kelompok.
Kelompok ini terbentuk karena mereka memiliki kesamaan nasib dan
kebutuhan.
Diceritakan ada rombongan orkes keliling yang di pimpin oleh
Semar. Rombongan orkes ini akan mementaskan tentang seorang penjahat
berumur panjang bernama Waska.
Waska
: Aku akan memulai uraian panjang
dalam pertemuan besar ini dengan suatu
kebenaran. Dan kebenaran itu berbunyi bahwa
“Lihatlah, kami yang terdiri dari berbagai agama,
keyakinan, kepercayaan, berbagai suku, berbagai
daerah telah dikumpulkan dan disatukan oleh
ikatan nasib yang kuat dan tekad semangat yang
kuat!” Ya, anak-anaku kita telah disatukan oleh
kesamaan nasib dan tidak oleh apa yang disebut
kebajikan atau agama, apalagi kebenaran. Atau
dengan kalimat yang lain, kita telah dipersatukan
oleh kebutuhan-kebutuhan dasar kita sebagai
insan. Amin.23
Kelompok ini adalah bentukan dari rombongan orkes madun yang
dipimpin oleh Semar, sutradara sekaligus memainkan peran Waska.
23
Ibid, h. 44
57
Semar
: Nah, saya Semar, pemimpin
rombongan sandiwara ini tanpa tedeng aling-aling
ingin menjelaskan apa adanya. Para penonton,
percayalah dan yakinlah bahwa mereka tadi sedang
dalam perjalanan dipimpin oleh seorang penjahat
besar bernama Waska, yang kebetulan saya
mainkan sendiri sambil sekaligus menyutradarai.
Lantas, perjalanan ke manakah, para penonton?
Jawabannya: Tontonlah sandiwara ini.24
Berawal dari kehidupan kepala rombongan ini, yaitu Waska, yang
memiliki cita-cita merampok semesta. Ia adalah tokoh antagonis karena
berwatak keras kepala, diktator, dan menjadi sumber pertikaian dalam
lakon ini. Waska memiliki dua anak buah yang setia, yaitu Borok dan
Ranggong yang watak dan perilakunya mirip dengan yang dijalani oleh
Waska, akan tetapi sangat patuh dan tunduk kepada pemimpinnya itu.
Ranggong : Kamu lebih tua, jauh lebih tua dari
pada saya, tapi kamu juga lebih kuat dalam segala
hal. Kamu adalah tauladanku. Kamu adalah citacitaku.kamu
adalah
panduku.
Waska,
kebanggaanku berkibar-kibar setiap kali aku
menatap garis-garis wajahmu yang tajam
bagaikan mata pisau membara.25
Begitu mulia dan sangat diagungkan Waska dalam kelompoknya.
Hingga apa-apa yang diperintahkan Waska tak ada yang berani menolak.
Dalam hal kejahatan, Borok dan Ranggong dikatakan sangat
sempurna oleh Waska karena jalan hidup yang mereka lakoni sama dengan
jalan hidup yang dilakoni Waska, yaitu mencuri, dipenjara, dan tidak
menikah. Semua itu disukai Waska karena mereka tidak akan memiliki
kesibukan lain selain melayani dan mengikuti Waska.
Bagian kedua adalah bagian komplikasi atau pertikaian awal.
Waska seorang pemimpin yang sangat gagah dan dianggap putra Nabi
Nuh ternyata memiliki penyakit yang begitu memedihkan. Konflik atau
pertikaian dalam lakon ini dimulai karena pemimpin kelompok yang
24
Ibid, h. 3
Ibid, h. 27
25
58
istimewa itu menderita penyakit yang aneh. Di mana, Waska tidak hanya
memiliki konflik pada dirinya saja (konflik internal). Ia pun memiliki
konflik di luar dirinya sendiri, yaitu dengan cintanya dan dengan
sahabatanya (konflik eksternal).
Konflik internal yang dimiliki Waska bahwa ia menderita penyakit
aneh dan penyakitnya itu perlu disembuhkan agar rencana spektakulernya
dalam merampok semesta itu terwujud. Tiba-tiba saja, ketika Waska dan
bala tentaranya sedang mengadakan pertemuan, ia sakit kemudian rebahan
dan kaku.
DEBLENG
LALU
MENGGUNCANGGUNCANGKAN TUBUH WASKA, TAPI
WASKA TIDAK BEREAKSI SAMA SEKALI.
MELIHAT KEADAAN TUANNYA YANG
LUAR BIASA INI, SEGERA SAJA ORANGORANG
SAMA
MENGGUNCANGGUNCANGKAN
TUBUH
WASKA.
SEMUANYA DILIPUTI KECEMASAN.
Semua orang menjadi cemas dan bingung. Kalau tidak ada Waska
pemimpin besar itu, siapa yang akan memimpin mereka nanti? Waska
yang sakit-sakitan kiranya tidak dapat menjalankan misinya untuk
merampok semesta.
Semar : Sebagaian orang menganggap tokoh
Waska itu sebagai laki-laki atau jawara tua
setengah sinting, eksentrik kayak seniman
besar. Sebagian lagi menganggap penyakitnya
itu sebagai akibat guna-guna.
Banyak dugaan-dugaan atas penyakit yang diderita Waska,
sementara bala tentaranya meributkan siapa yang akan menjadi pemimpin.
Mereka bertengkar satu sama lain tentang siapa yang akan menjadi
pemimpin. Saling beradu pendapat dan saling merasa dirinya paling hebat.
Mereka membenarkan bahwa siapa yang paling kuat dalam hal bertarung,
dialah yang layak menggantikan Waska. Padahal, setengah abad lebih
Waska menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan rencana besarnya.
59
Dia menggagas penjarahan semesta yang mengerahkan seluruh penjahat
dan menjarah seluruh kota.
Konflik eksternal yang menimpa Waska yaitu kemunculan
Bigayah, pelacur tua yang ingin menikahi Waska, yang mencintai Waska
dengan sepenuh hatinya. Ia memaksa Waska untuk menikahinya dan
hidup bersama dengannya.
Bigayah : Saya betul-betul tidak habis mengerti
kenapa Waska selalu menolak setiap kali saya ajak
kawin.26
Bigayah tidak jera jika hanya ditolak Waska, ia terus mendatangi
Waska dan akan merawatnya, ia tidak percaya bahwa seorang Waska
tidak mencintainya. Tanpa peduli rencana besar Waska, Bigayah terusterusan mengejar Waska.
Kemudian konflik eksternal lainnya, yaitu dengan munculnya
sosok
Jonatan, sahabat Waska yang selalu memberikan peringatan-
peringatan serta mencoba menggali masa lalu Waska untuk menghalangi
rencana besar Waska. Kemunculan Jonatan sangat tidak diduga-duga, ia
hadir untuk menggagalkan rencana Waska dan bala tentaranya. Jonatan
terus-terusan membujuk Waska agar mengingat masa lalunya ketika
mereka berdua sedang berlayar dilautan lepas.
Begitu berkecamuk pikiran Waska. Hampir ia tidak dapat minum,
dan makan, serta tidur dengan tenang atas rencana besarnya itu.
Bagian ketiga atau titik puncak cerita, di sini konflik yang
meningkat itu akan meningkat terus sampai mencapai klimaks atau titik
puncak atau puncak kegawatan dalam cerita.
Di tengah sakitnya yang begitu parah, Waska tetap memiliki anak
buah yang setia, yaitu Ranggong dan Borok yang merupakan tangan kanan
dan tangan kiri kesayangan Waska, yang kemudian mencari penawar
untuk kesembuhan Waska.
26
Ibid, h. 32
60
Ranggong : Ya, Embah tologlah kami. berikan
jamu itu. nyawa Waska sudah getas sekali.
Beberapa detik saja Embah terlambat menolong,
putuslah semuanya.
Embah
: Kenapa? Kenapa kalau putus? dan
lagi apa benar putus? apa kamu tahu? Putus?
begitu? Orang-orang macam kalianlah yang
membuat hidup menjadi bising. Sekarang aku
minta supaya kalian jangan lagi mengganggu
tidurku. Malam sudah larut. Aku harus tidur.
Sayang sekali yang memiliki resep jamu itu tidak mau
memberikannya kepada mereka berdua. Si tukang jamu malah tidur pulas.
Borok dan Ranggong melalukan berbagai cara untuk membangunkannya.
Mulai
dari
memanggil-manggil
sampai
mengguncang-guncangkan
tubuhnya. akhirnya, karena keadaan di sekitarnya tidak membiarkannya
untuk tidur, Embah Wiku bangun dengan malas-malasan.
Kemudian mereka berdebat atas jamu Dadar Bayi yang tidak akan
diberikan Embah kepda Ranggong dan Borok. Setelah perdebatan yang
sangat panjang dan sangat sengit itu, akhirnya Embah menyerah dan
memberikan resep kepada mereka berdua.
Borok
: Kami tidak perlu minum mbah.
Kami perlu minum jamu itu.
Embah Putri : Duduk saja dulu. Soal jamu itu
soal sepele.
LALU KETIGANYA DUDUK
Embah Putri : Kami punya banyak macam jamu.
Jamu klingsir, galian singset, jamu nafsu kuda,
jamu kanker, jamu saraf…….
Borok
: Bukan jamu itu, Mbah.
Embah Putri : Embah tahu, jangan cerewet.
Kamu menginginkan jamu dadar bayi.
Tidak hanya itu, Embah Putri walaupun tukang jamu tetap tidak
bisa meracik jamu itu sendiri. Ramuan-ramuannya harus diracik sendiri
oleh Borok dan Ranggong. Embah putri hanya memberikan resepnya saja.
Dadar bayi. Ya, dadar bayi adalah penawar yang dianjurkan dukun untuk
61
menyembuhkan penyakit Waska, karena bahan-bahannya dibuat dari
jantung bayi yang dikeringkan.
Ranggong : Jadi, kami harus mendapatkan
jantung bayi dan mengeringkannya, mbah?
Embah Putri : Ya, kamu tega? Mengeringkannya
lalu kamu tumbuk sampai halus dan selanjutnya
dapat kamu minum bersama minuman apa saja
asal panas. Nah, kamu tega?
Setelah berpamitan dan dengan syarat yang telah diberikan Embah
Putri, berangkatlah Borok dan Ranggong ke kuburan untuk mencari mayat
bayi. Di pekuburan, mereka bertemu Juru Kunci dan Anaknya. Penggalian
serta pengambilan mayat bayi dibantu oleh Juru Kunci dan anaknya.
KOOR
: Empat belas pemain mencangkul
bersama. Empat belas pocong bayi dicomot
bersama. Mot!27
Setelah lima belas pocong bayi yang dikumpulkan oleh Juru kunci
dan Anaknya, kemudian mereka bertengkar dengan Borok dan Ranggong
atas tidak setujunya Juru Kunci karena yang diambil oleh Borok dan
Ranggong bukan kain kafan, melainkan mayat bayi yang lima belas itu.
Juru kunci tidak setuju karena biasanya, orang-orang yang datang ke sana
hanya mengambil kain kafan. Akhirnya, karena merasa niat dan kerjanya
ada yang menghalangi, langsung saja Borok membunuh Juru Kunci
beserta Anaknya.
Juru Kunci : Berhenti! Kalau nggak berhenti
gua granat.
Borok
: Modar! Gua granat duluan. Bum!
TUBUH JURU KUNCI BERSERAK.
Si Anak
: Lu bunuh babe gua?
Borok
: Modar! Bum!
TUBUH SI ANAK BERSERAK.
Juru kunci dan anaknya pun mati dibunuh oleh Borok. Akhirnya
Borok dan Ranggong meracik jamu dan kemudian akan pulang menemui
Waska dan memberikan jamu itu.
27
Ibid, h. 66
62
Di tengah sakitnya dan menunggu jamu yang sedang dibawa oleh
anak buahnya, Waska dengan susah hati menolak keinginan Bigayah yang
mengajaknya menikah. Bigayah terus merayu Waska dan Waska terus
menghindari Bigayah. Kejadian ini berulang-ulang, Bigayah selalu
menghampiri Waska dan sangat lemah untuk meladeninya.
Kemudian Jonatan yang terus mengintimidasi Waska akan masa
lalunya. Ia menganggap Waska telah melupakan persahabatan mereka
ketika mereka di kapal dulu. Waska merasa tidak kuat menghadapi ocehan
Jonatan yang begitu membuatnya marah. Akhirnya, dengan berat hati,
Waska memutuskan persahabatannya dengan Jonatan, si seniman yang
selalu berbohong atas cerita yang ditulisnya.
Bagian keempat adalah resolusi atau penyelesaian, di mana pada
tahap ini konflik telah mereda atau menurun. Tokoh-tokoh yang
menghalangi jalan Waska untuk merampok semesta ada yang mati dan ada
yang diam hanya menonton saja. Seperti Jonatan dan Bigayah, mereka
hanya ikut menonton dan diam seribu bahasa.
Ranggong : Kita menang Borok.
LALU KETIGANYA BERDIRI DI PUCUK
BUKIT SEMENTARA PARA PENGIKUT
MEREKA
MEMENUHI
LEMBAH.
TERJALNYA DAERAH ITU BUKAN MAIN.
DAN
MATAHARI
BUKAN
MAIN
TERIKNYA.
Waska
: Dalam beberapa detik lagi kita
akan mendengarkan nafas amarah kita yang
dihembuskan oleh gas bau bacin dari perut kita
yang kosong, melanda sebagai wadah epidemik
yang tak akan tertahankan oleh kota yang
sombong ini. di bukit terjal ini kami berdiri
bagaikan batang lilin hitam dengan nyala ungu.
Waska berpidato atas kemenangannya. Ia tak jadi mati. Ia sembuh
total dan seperti muda kembali. Ia Berjaya dan ia merampok semesta
bersama komplotannya. Tujuannya tercapai, cita-citanya tercapai.Akan
tetapi, efeknya sangat signifikan, mereka bertiga tidak jadi mati.
63
Naskah drama ini menyajikan alur secara langsung dengan
peristiwa-peistiwa dan konflik yang berurutan. Konfliknya sudah
ditampilkan di awal cerita, karena ini adalah naskah kedua setelah
Madekur Tarkeni. Oleh karena itu, sudah kita ketahui bersama bahwa
sebagian kecil ceritanya sudah digambarkan di naskah sebelumnya.
Naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II menggunakan alur
maju, yaitu peristiwa yang disajikan dibuat secara merunut dan kronologis.
4. Setting/latar
“Setting atau tempat kejadian cerita sering pula disebut latar”.28
Penentuan ini harus secara cermat sebab naskah drama harus juga
memberikan kemungkinan untuk dipentaskan. Setting biasanya memiliki
tiga dimensi, yaitu: tempat, ruang, dan waktu.
Latar tempat pada naskah lakon ini terletak di Jakarta, atau lebih
tepatnya di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, yaitu di Kota Tua.
Satu : Nggak nengok dulu di gerbong?
Kata gerbong di sini adalah sebutan pada gerbong tua, yaitu istilah
untuk Kota Tua di Jakarta Barat, karena berada di wilayah yang strategis
atau dekat dengan laut. Pada sejarahnya, Belanda memilih daerah-daerah
dekat laut untuk dijadikan pusat perdagangan. Oleh karena itu, ciri-ciri
lingkungan sejarah di Kota Tua banyak menunjukkan kekuatan politik
kolonial VOC yang berorientasikan politik dagang militer melalui
kekuatan maritimnya.29Begitu pula Waska yang seorang bekas kelasi atau
pensiunan pelaut. Dialog-dialog lain yang menyatakan bahwa latar tempat
pada stasiun kereta api/gerbong.
Bigayah
: Tapi kok situ berani melarang
saya bicara keras padahal keras itu adat saya dan
di stasiun tua ini adat serta kepribadian di junjung
tinggi.
28
Herman, Op,cit., h. 23
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Sejarah
Kotatua, (Jakarta : Jaya Raya, 2007), h. 87
29
64
Satu
: Betul bigayah, kami berkumpul di
sekitar gerbong tua karena di dalam gerbong itu
Waska sedang berkelahi dengan ajalnya.
Di Kota Tua wilayah Jakarta Barat juga banyak terdapat masyarakat
Tionghoa atau yang disebut orang-orang Cina.
Waska
: Borok!
Borok
: Gua di kuburan Cina, Waska.30
Ketika dipanggil oleh Waska, Borok mengatakan bahwa ia di kuburan
Cina. Itu pertanda bahwa latar tempat yang digunakan oleh pengarang
adalah sekitar wilayah Jakarta Barat di Gerbong Tua dan di kuburan Cina.
Drama bertujuan untuk dipentaskan, maka dari itu latar tempat lebih
dipusatkan hanya pada satu tempat saja. Ada beberapa tempat seperti
rumah, kuburan, dan sungai. Boleh jadi itu semua masih berada di sekitar
Jakarta.
Setelah tempat dianalisis, latar waktu yang menandakan kapan
peristiwa itu terjadi juga harus dianalisis. Latar waktu berarti juga zaman
terjadinya lakon itu. Latar waktu dalam naskah ini tidak dipaparkan oleh
pengarang, akan tetapi naskah ini hadir di tahun 1976.31 Biasanya
pengarang adalah pencatat sejarah yang baik, karena tulisannya berupa
peristiwa-peristiwa yang kadang peristiwa itu menyembunyikan dirinya
dari masyarakat. Tugas pengarang adalah menguak setiap rahasia yang
patut diketahui.
Naskah dibuat ketika mahasiswa berkumpul untuk menolak
kedatangan Perdana Menteri Jepang, yaitu Tanaka Kakuei. Pada tahun
1974 berdekatan dengan pementasan naskah Umang-umang ini, yaitu pada
tahun 1976. Di sini, Arifin ingin mengingatkan pada penonton bahwa telah
terjadi pemberontakan besar oleh mahasiswa akan kedatangan Perdana
Menteri Jepang.
Di hari kelabu itu, pusat pertokoan yang dikenal dengan Proyek
Senen di Jakarta dibakar masa. Unjuk rasa mahasiswa yang berakhir rusuh
30
31
Arifin, Op,cit., h. 5
Arifin, Op,cit., h. 87
65
itu dikenal sebagai Malari, Peristiwa Limabelas Januari tentang kerusuhan
sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974 di Jakarta. Peristiwa Malari
dilatari kemarahan rakyat karena melambungnya harga beras dan bahan
kebutuhan pokok. Penyebabnya adalah resesi dunia sejak 1973 lantaran
embargo minyak oleh negara-negara Arab dan melambungnya harga
minyak dunia. Ekspresi kemarahan itu muncul melalui mahasiswa karena
selama enam bulan sebelumnya mereka diminta Soemitro mengkritik
pemerintah dengan alasan untuk memberikan umpan balik atas kebijakan
pemerintah.32
Selain melakukan aksi, kelompok mahasiswa juga mengatur strategi
agar dapat melakukan pertemuan dengan mahasiswa yang lain. Hal ini
sama dengan yang tercatat dalam naskah, Waska si pemimpin komplotan
yang mengumpulkan setiap balatentaranya.
Buang
: Saudara-saudaraku, segeralah
kumpul di alun-alun, maksud saya di kompleks
kuburan berbagai bangsa dan berbagai agama. Di atas
tanah yang di dalamnya kursi leluhur kita itu Waska
pemimpin jempolan akan mebagi-bagikan impian
spektakuler dan kolosalnya dari ketentraman jiwa
kita.33
Kejadian mengumpulkan bala tentara Waska dan para mahasiswa dari
setiap golongan yang mendukung rencana Hariman Siregar itu ada
kemiripan. Waska dan bala tentaranya akan merampok semesta, sedangkan
Hariman dan orang-orang yang mendukungnya akan menguak semua
kesalahan pemerintahan pada saat itu. waska dan bala tentaranya
mengadakan rapat di sekitar daerah Jakarta, sedangkan Hariman sering
mengadakan pertemuan di Jl. Telukbetung, kediaman Jajang Pamoentjak,
istri dari almarhum Arifin C. Noer.
Waska dan baa tentaranya merampok besar-besaran dengan
menghancurkan toko-toko, pabrik-pabrik, dan bangunan yang ada di
32
Jopie Lasut, Malari : Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA, (Depok:
Yayasan Penghayat Keadilan, 2001), h. 91
33
Arifin, Op,cit., h. 40
66
sekitar Jakarta. Di dalam sejarah pun tercatat bahwa peristiwa Malari
mengadakan aksi pembakaran dan pengrusakan terhadap bangunanbangunan yang ada di Jakarta. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor
rusak atau dibakar, 144 buah gedung rusak atau terbakar, dan 160
kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Wilayah pertokoan
Senen menjadi titik perhatian kala itu, mengingat pembangunan pertokoan
yang memakan biaya Rp2,7 Milyar habis dilahap api.34 Pada waktu itu
kurs
Dollar
masih
25
rupiah,
begitu
banyak
kerugian
akibat
pemberontakan mahasiswa.
Ironisnya, hingga saat ini sebagian orang masih mempertanyakan
siapa dalang dibalik peristiwa kerusuhan tersebut. Salah seorang
mahasiswa Universitas Indonesia yang bernama Hariman menyebutkan
bahwa Malari sebagai puncak dari gerakan kritis terhadap konsep
pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru saat itu.
Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang
memandanganya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing,
terutama Jepang. beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai
ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Aspri (asisten pribadi)
Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dll) yang
memiliki kekuasaan teramat besar. Ada pula analisis tentang friksi elite
militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo.
Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak dikemudian
hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto vs Prabowo).
Peristiwa
pemberontakan
mahasiswa
terhadap
pemerintah
ini
digambarkan oleh Arifin sebagai komplotan Umang-umang yang arti
semantisnya adalah orang yang memakai baju atau celana milik orang lain.
Jelas, satu mahasiswa yang mengatur dan bertindak sesuka hati tanpa tahu
apa yang ia lakukan. Padahal, ini adalah kerja Pemerintah untuk
membangun Negara. Mahasiswa malah serta-merta merusak dan ingin
menggagalkan rencana Pemerintah. Akhirnya, rencana menggagalkan itu
34
Jopie Lasut, Op,cit., h. 91
67
jelas gagal total. Hal tersebut malah merugikan masyarakat dan
Pemerintah. Itulah, seorang mahasiswa yang berani mengambil hak atas
cara kerja pemerintah, ketika ditangannya, rencana itu malah hancur dan
kedodoran, tidak pantas.
Bisa jadi memang arti semantis umang-umang di sini mengibaratkan
pemerintah yang menguras habis uang rakyat untuk modal pembangunan
dan kerja sama dengan negara Asing dengan menaikan harga-harga hingga
melambung tinggi. Menaikan harga saat itu bisa saja hanya alasan
pemerintah, padahal uang rakyat dilahap habis untuk keperluan pribadinya.
Itulah pemerintah yang memakai uang rakyat, masa kepemimpinannya
menjadi kedodoran dan tidak pantas, banyak yang menentang.
Kemudian latar ruang yang disebut tempat kejadian atau keadaan
keperluan untuk pementasan. Misalnya, di ruang keluarga modern yang
kaya akan lain dari ruang keluarga tradisional yang miskin. Hal ini
dibutuhkan untuk keperluan pemanggungan.
Ruang dalam naskah ini adalah kehidupan miskin.
Koor : Kemiskinan telah menghalau kami ke
kota yang penuh kemiskinan ini. Kemiskinan
telah mengajar mencuri, mencopet, menjambret,
menodong, menggarong. Desa telah mengusir
kami. Kota telah mengusir kami. Apakah langit
juga akan mengusir kami?35
Kemiskinan sudah pasti dirasakan masyarakat Jakarta saat itu
setelah kejadian Malari yang membakar hangus semua bangunan dan
kendaraan. Kemiskinan moral, kemiskinan tata negara, dan kemiskinan
pendapat tentang negara di bawah kekuasaan Soeharto, Orde Baru. Wajar
saja jika mahasiswa mengadakan kerja sama antarmahasiswa lainnya
untuk melawan pemerintahan.
35
Ibid, h. 47
68
5. Dialog
Bahasa yang digunakan dalam naskah drama biasanya berbentuk
dialog. Dialog-dialog inilah yang membentuk konflik serta jalan cerita
pada sebuah naskah drama. Dialog biasanya berupa bahasa lisan atau
bahasa sehari-sehari, tetapi di dalam sebuah karya sastra, dialog juga
bersifat estetis seperti yang dikemukakan oleh ahli. “Dialog juga harus
bersifat estetis, artinya memiliki keindahan bahasa”.36
Dialog menggunakan bahasa lisan yang tidak baku karena naskah
drama bertujuan untuk dipentaskan. Sedangkan sifatnya yang estetis
menunjukkan bahwa naskah drama adalah keperluan karya sastra sebagai
bahan bacaan.
Contoh dialog sehari-hari dengan bahasa lisan yang tidak baku.
Ranggong
:Jangan
terlalu
berkepanjangan, Bigayah. Kasihan Waska,
kasihan jiwanya.
Debleng
: Kalau terlalu lama
mengangis nanti serak.
Ranggong
: Jangan ngaco, Debleng!37
Dialog ini dikatakan tidak baku karena bahasa yang dipakai bahasa
sehari-hari, tidak menggunakan bahasa intelek atau puitis. Berikut ini
adalah contoh dialog dengan menggunakan bahasa yang estetis.
Debleng
: Betapapun hina dinanya orang
yang ada dalam kubur ini, Tuhan, namun
terimalah dia. Barangkali ia hanyalah serbuk
kayu, barangkali ia hanyalah arang, barangkali ia
hanyalah daki, barangkali ia hanyalah karat pada
besi tua, namun tak bisa dipungkiri ia adalah
milikMu, makhlukMu, maka terimalah ia karena
Engkau tahu kami tak bisa menyimpannya.
Mengapa dikatakan estetis, karena dialog di atas mengandung unsur
puitis yang menggunakan bahasa kiasan atau gaya bahasa metafora38, yaitu
“Barangkali ia hanyalah karat pada besi tua,….”
36
Herman. Op,ci.t, h. 21
Arifin, Op,cit., h. 31
38
Melani, Op,cit., h. 40
37
69
Embah
: Malam sudah larut, angin sangat
lembut
Dan saya sudah siap akan hanyut, tidur,
Istirahat dari siang gerah dan kemelut39
Dialog di atas juga dikatakan sebagai dialog yang menggunakan
bahasa yang estetis, artinya mengandung unsur keindahan atau unsur
puitis. Ada kesamaan bunyi di dalam dialog tersebut, sehingga dialog
tersebut dikatakan estetis atau mengandung unsur keindahan. Ada juga
beberapa dialog yang mengandung unsur puitis lainnya seperti di bawah
ini.
Embah:
Kalau besok matahari menggeliat,
diapun akan menyaksikan aku juga menggeliat,
segar penuh rasa terimakasih kepada udara, pada
burung-burung yang berkicau, kepada semua
saja, yang kuhirup yang kurasa, yang kuraba,
yang kulihat, yang kudengar, yang kupirikan,
yang kubayangkan, semua saja, yang kadang
menyedihkan, yang kadang menggembirakan.
Atau barangkali besok aku diam, kaku,
membeku, tidak lagi ikut menggeliat bersama
kuntum-kuntum bunga, namun pasti jiwaku tetap
segar, tetap penuh rasa terimakasih kepada
semua saja, juga kepada ketabahanku.40
Begitulah dialog dalam drama, menggunakan bahasa sehari-hari dan
bahasa yang puitis juga, karena ia termasuk dalam karya sastra.
selanjutnya kita akan membahas amanat yang terkandung dalam naskah
drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.
6. Amanat
Amanat adalah pesan yang disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca lewat karyanya. Amanat dalam naskah drama ini adalah seperti
berikut.
Embah Putri : Kita harus hidup artinya kita juga
harus mati. Hidup membutuhkan mati. Dan alam
39
Arifin, Op,cit., h. 48
Ibid, h. 48-49
40
70
memiliki sesuatu sistim manajemen dan
organisasi yang paling sempurna. Dan alam
selalu efisien dalam segala hal. Anak-anakku,
setiap makhluk mempunyai batas waktu hidup
yang pada dasarnya telah disesuaikan dengan
kemampuan makhluk itu dalam rangka
kesemestaan. Di luar atau keluar dari kerangka ini
akan menyebabkan kegoncangan-kegoncangan,
baik pada semesta maupun pada yang
bersangkutan sendiri. Yakinlah bahwa setiap
penyelewengan hanya akan menghasilkan
penyelewengan juga.41
Amanat yang disampaikan ini perihal menjaga alam, kematian, serta
akibatnya. Kita sebagai makhluk yang hidup di bumi yang memiliki
kekayaan alam yang berlimpah, haruslah pintar dalam mengolah serta
menyuburkan. Jika kita merusak ekosistim alam, maka alam pun akan
membalas dendam dengan caranya sendiri. Jangan serakah terhadap alam
dan juga pada diri sendiri, bersikaplah efisien dan memanfaatkan segala
yang ada dan mengolahnya kembali. Seperti yang terkandung dalam QS.
Ar-Rum (30) Ayat 41-42.





41
Ibid, h. 56
71
Ayat 41 memiliki arti bahwa “Telah nampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar). Sedangkan ayat 42 memiliki arti
“Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu
adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”
Isi kandungan dari ayat tersebut menjelaskan bahwa selain untuk
beribadah kepada Allah, manusia juga diciptakan Allah sebagai khalifah di
muka bumi. Kerusakan berupa musibah, bencana, dan malapetaka yang
terjadi di permukaan bumi baik di darat maupun di laut disebabkan oleh
ulah manusia itu sendiri. Kerusakan yang terjadi melalui lima bidang
kehidupan, pertama kerusakan di bidang keimanan. Kedua, kerusakan
dalam bidang mental dan intelektual. Ketiga, kerusakan dalam bidang
pembinaan dan kehidupan keluarga. Keempat, kerusakan dalam bidang
martabat manusia dan kelima kerusakan dalam bidang material dan
sumber daya alam.
Dalam alquran juga terdapat ayat yang menjelaskan tentang larangan
bunuh diri.
Bunuh diri sangat dilarang dan dibenci oleh Allah SWT karena
hanya Dialah yang berhak mengambil kehidupan yang telah Dia berikan.
Dengan bunuh diri, seseorang akan merasakan penderitaan tiga kali, yaitu
penderitaaan di dunia yang mendorongnya berbuat seperti itu, penderitaan
menjelang kematiannya, dan penderitaan yang kekal di akhirat nanti.
Berikut surat An-Nisa ayat 29-30 tentang larangan memakan harta
orang lain dan bunuh diri,
72



yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. Pada ayat 30 mengandung arti “dan barang siapa
berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak
akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah.
kedua ayat ini menegaskan agar umat islam menghargai harta dan
jiwa orang lain, sama seperti mereka menghormati jiwa dan hartanya
sendiri dan janganlah mereka berlaku keji dan zalim. Segala bentuk
pemerkosaan terhadap harta orang lain adalah perbuatan tercela, kecuali
berazaskan transaksi yang sah serta pemiliknya melakukan transaksi ini
dengan kerelaan yang penuh. Melanggar harta orang lain adalah kezaliman
jiwa pelakunya, dari itulah, perbuatan yang dilakukan nanti mendatangkan
hukuman dan siksaan yang berat.
Dari dua ayat di atas, terdapat beberapa pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam menghormati kepemilikan pribadi dan kerelaan pemilik
merupakan syarat bertransaksi.
2. Sistem ekonomi yang tidak benar hanya akan melahirkan
kesenjangan sosial yang akan melahirkan masalah sosial.
73
3. Islam melarang tindak pencurian dan penipuan yang dapat
merugikan orang lain.
4. Jiwa manusia itu mulia, maka dari itu islam mengharamkan hukum
bunuh diri atau membunuh orang lain.
5. Allah Swt mengasihi manusia, tetapi tetap bersikap tegas terhadap
para pelaku kezaliman, karena hak masyarakat sangat penting di
sisi Allah.
Sesungguhnya setiap makhluk yang hidup memerlukan mati. Waska,
Borok, dan Ranggong adalah makhluk hidup yang membutuhkan mati.
Mereka mencari mati agar mereka dapat terlepas dari beban-beban hidup
yang bersifat materialis. Mereka membutuhka mati untuk memperoleh
ketenangan jiwa. Itulah yang mereka lakukan untuk memperoleh
ketenangan. Tidak di desa, tidak di kota, tidak juga kematian, semuanya
ingin tenang.
B. Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang
Karya Arifin C. Noer.
1. Pandangan Tokoh Waska tentang Cinta Kasih
Waska adalah tokoh utama yang mencipta konflik dan mencipta
setiap peristiwa. Waska adalah sosok yang anti-kemapanan. Antikemapanan beragam macamnya. Terkait latar waktu, anti-kemapanan di
sini adalah anti terhadap pemerintahan Orde Baru.
Waska bukanlah seorang pelaut yang melalui jalur pendidikan untuk
melakukan pekerjaannya itu. Ia hanya korban pemerintahan yang
mengandalkan pengalaman. Setelah pemerintahan berganti, lepaslah tugas
Waska untuk mengarungi lautan. Layaknya seorang pelaut, ia hanya hidup
sendiri di tengah samudera, tidak mengenal orangtua, kerabat, bahkan
cinta. Akan tetapi, ketika ia berada di daratan dan memimpin komplotan,
ia dikenalkan banyak hal. Walaupun begitu, tetap saja cara pandangnya
terhadap dunia masih seperti ketika ia di lautan.
74
Pandangan hidup Waska tentang cinta kasih adalah bahwa ia tidak
mengakui keberadaan cinta. Ia menampik adanya keberadaan cinta dan
keberadaan Bigayah, mucikari lokal di lingkungan Waska. Meskipun
Bigayah sangat sering mendekati Waska, akan tetapi Waska selalu
menampik dan memilih untuk lari.
Bigayah
: Sudah hampir empat puluh tahun aku
dirundung cinta suci atasmu, Waska, masihkah kau
menampik?
Begitu berartinya Waska bagi Bigayah, sampai-sampai segala hal
yang berkaitan dengan Waska ia simpan rapih dalam hatinya dan
kebiasaannya. Akan tetapi, Waska selalu menjauh dan pergi dari hadapan
Bigayah.
Bigayah
: Jangan bersembunyi, Waska. Jangan
bersembunyi. Biar saja polisi-polisi dan kamtib-kamtib
menangkap kita, asalkan kita bisa tetap bercinta.
Biarkan kita terjaring Dewi Ratih dan Kamajaya,
Waska. Nasib buruk, kesialan, kemelaratan, dan
penyakit jangan pula kita biarkan memusnahkan cinta
kita. Melarat sudah, penyakitan sudah, tapi janganlah
kita dimakan kebencian.
Waska memang menampik keberadaan cinta, akan tetapi bukan
berarti ia tidak pernah merasakan cinta. Ia juga merasakan cinta layaknya
manusia biasa. Ia pernah juga mengakui bahwa ia rindu dengan Bigayah,
bahkan pada saat ia sedang dalam keadaan panik, ia selalu meneriakan
nama Bigayah, bukan nama Tuhan atau sosok superior lainnya.
Waska
: Aku mohon janganlah engkau
memperdengarkan suaramu. Frekuensi suaramu
sedemikian rupa menyebabkan gendang telingaku
terluka dan jantung melipatkan debarannya tujuh ribu
kali perdetik. Aku mohon, Bigayah, aku mohon.
Apabila kita merasakan cinta, pastilah degupan jantung kita berlipatlipat cepatnya. Itulah bukti bahwa Waska merasakan cintanya kepada
Bigayah. Tetapi ia menampiknya dan menolaknya mentah-mentah. Itu
semua ia lakukan karena ia adalah penjahat besar yang tidak akan
75
menikah. Baginya, menikah adalah omong kosong belaka yang terdapat
dalam dongeng.
Waska
: Kalau cintamu tidak atau belum
mendapatkan balasan dari hatiku, adalah karena
pikiranku yang jahanam serta penuh kepongahan yang
adalah bagaikan putra Nuh nan durhaka.42
Menurut Waska, jika ia mencintai berarti rencana besarnya untuk
merampok semesta akan sia-sia. Ia sombong dengan dirinya sendiri yang
menurutnya ia bisa hidup tanpa pendamping hidup. Ia melakukan hal-hal
yang bersebrangan dengan masyarakat umum seperti menikah, memiliki
keturunan, dan sebagainya.
Setiap manusia, khususnya laki-laki yang gagal dalam menjalankan
rencananya karena dijanjikan tiga hal; Harta, Tahta, dan Wanita. Ketiga
hal itu yang sedari dulu menjadi rayuan dan hasutan yang membuat
seseorang tidak tahan untuk tidak menolaknya. Hariman Siregar, dalam
kasusnya tidak menampik cinta, justru ia menampik harta dan tahta.
Sebelum dipenjarakan oleh Soeharto, Hariman sempat bertemu Soeharto
dan ia dijanjikan akan mendapatkan hadiah jika rencananya mengajak
mahasiswa lain terhadap aksi anti-jepang yang bekerja sama dalam
pembangunan Indonesia dibatalkan. Sama halnya dengan Umang-umang,
Arifin menggambarkan Waska yang menampik cinta karena harta dan
tahta tentu tidak akan menjadi penggoda untuk menggagalkan rencana
Waska dalam merampok semesta. Waska dan bala tentaranya hidup dalam
kemiskinan, tidak mungkin harta dan tahta menjadi simbol untuk
menggagalkan rencana besar Waska. Oleh karena itu, Arifin membuat
Waska menampik cinta. Pengaruhnya sama-sama besar ketika dihadapkan
oleh tiga hal tersebut, harta, tahta, dan wanita.
42
Ibid, h. 19
76
2. Pandangan Tokoh Waska tentang Penderitaan.
Waska dan bala tentaranya (umang-umang) memang sudah akrab
dengan penderitaan, hidup dalam penderitaan, tergencet, subordinat, tidak
diterima masyarakat, dan lain-lain. Penderitaan-penderitaan yang mereka
alami akhirnya membuka keyakinan bahwa ternyata mereka semua
ditakdirkan untuk menjadi entitas yang selalu bersebrangan dengan apapun
yang masyarakat umum menyatakannya sebagai „mapan‟.
Waska
: Tidak Jonatan, segala tindak-tandukkku,
langkah-langkahku, sepak-terjangku, semua perbuatanperbuatanku didorong oleh semangat mencari makan
sebagai layaknya jenis hewan lainnya. dan segala
ocehanmu tentang akhlak, budi pekerti, tentang moral,
tentang tetek bengek lainnya, sekarang aku tahu
hanyalah tetek bengek orang yang kenyang dan tidak
untuk orang yang lapar. Mereka mempeributkan semua
itu hanyalah agar waktu makan mereka tidak
terganggu. Dan segala macam omong kosong itu
secara bangga kamu nyanyikan di mana-mana dan
kamu mendapatkan tepuk tangan, lemparan bunga,
lemparan uang, lemparan makanan, bahkan lemparan
kehormatan. Suatu skandal terbesar yang tak pernah
terungkap.43
Misalnya, mendapatkan uang dengan bekerja. Akan tetapi yang
dilakukan mereka adalah mereka mendapatkan uang dengan merampok.
Mereka merampok semata-mata bukan hanya untuk menyambung hidup,
melainkan hendak menyatakan bahwa merampok dengan mengajar murid
taman kanak-kanak adalah sama saja derajatnya. Seperti halnya Jonatan, ia
mendapatkan uang dan segala macamnya dengan menulis puisi tentang
kemiskinan yang kemudian ia mendapatkan apresiasi yang bagus dari
masyarakat atas gambaran kemiskinan yang ia buat.
Seorang pengarang mempunyai pengaruh yang besar terhadap tokoh
yang ia buat dalam karyanya. Begitu pula dengan Arifin C. Noer yang
membuat tokoh
43
Ibid, h. 72-73
Waska
menjadi
seorang pembangkang
terhadap
77
pemerintahan yang nyatanya pada masa pengarang tersebut menulis
naskah ini, rezim orde baru sedang melakukan hegemoni besar-besaran.
Sebagai naskah drama, jika naskah drama ini diasosiasikan seperti
manusia, naskah atau pertunjukannya memiliki dua wajah, dua
kepribadian. Wajah pertama, Waska dengan umang-umang sebagai bala
tentaranya. Wajah kedua adalah Semar dan para anggota aktif orkes
madun.
Dalam kehidupannya, Arifin menggambarkan Waska adalah seorang
cendikiawan dan Semar adalah pemimpin yang memiliki umur panjang,
seperti pemerintahan Soeharto dengan kemiliterannya, 32 tahun. Masa
kepemimpinan paling lama di Indonesia.
Semar yang hanya menonton Waska dan bala tentaranya yang asik
merampok semesta sama halnya dengan Soeharto yang menonton saja
ketika kaum cendikiawan memberontak atas kepemimpinannya dengan
melibatkan kerja sama dari negara asing. Gerakan cendikiawan yang
menentang pihak asing untuk bekerja sama ini digambarkan oleh Arifin
lewat umang-umangnya lewat perampokan besar-besaran yang pada saat
itu sedang gaungnya pembangunan di tangan kepemimpinan Soeharto.
Waska digambarkan sedang menyusun rencana besar untuk mengubah
cara pandang bala tentaranya agar mengikuti caranya menentang
pemerintahan yang sedang melakukan pembangunan besar-besaran, akan
tetapi pemerintah tidak pernah melihat bahwa rakyat kecil menderita
akibat perekonomian melemah dan pembangunan terus maju pesat.
Pemerintahan Orde Baru berjanji akan membangun ekonomi
nasional dan meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde Baru
memang mampu membangun ekonomi nasional, tetapi tidak mampu
meningkatkan
taraf
pendidikan
dan
kesejahteraan.
Orde
Baru
mengembangkan gaya pemerintahan yang paternalistik, namun juga
menindas. Orde Baru berusaha mencari keterlibatan rakyat untuk
mendapatkan legitimasi, tetapi hanya lewat cara-cara yang dikendalikan
dengan
cermat.
Sebagian
besar
pembangunan
ekonomi
nasional
78
bergantung pada perusahaan asing dan hanya terjadi pertumbuhan kecil
pada industri pribumi.44
Itulah bukti sejarah yang ditulis oleh seorang sastrawan apabila tidak
ada orang yang pada waktu itu tidak dapat menulis secara terang-terangan
karena takut pada pemerintah, yaitu pemerintahan Orde Baru ditangan
Soeharto. Pada akhirnya, elite Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto,
keluarga, dan kroni-kroninya menciptakan bentuk pemerintahan yang
terkadang disebut kleptokrasi: pemerintahan yang dipimpin oleh para
pencuri.45
3. Pandangan Waska tentang Tanggung Jawab.
Menurut WJS. Poerwodarminto, “tanggung jawab adalah suatu yang
menjadi kewajiban (keharusan) untuk dilaksanakan, dibahas, dan
sebagainya”.46
Waska sangat menghargai setiap detik yang ia lakukan. Ia sangat
bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Menurutnya, tanggung jawab
adalah suatu kepercayaan hidup. Tidak bertanggung jawab sama saja
dengan tidak memiliki cita-cita. Itu bentuk tanggung jawabnya terhadap
hal yang ia inginkan.
Engkos
: Waska, kita sudah tujuh jam
mengintip nonstop, bagaimana seterusnya?
Waska
: Betul-betul anjing kurapan budak
setan itu. nggak sabaran. Mana bisa ia menjadi
penjahat besar tanpa memiliki ketahanan
menghadapi waktu.
Bertanggung jawab itu dimulai dari hal kecil, misalnya dalam
menghadapi waktu. Kalau dalam mengahadapi waktu saja kita tidak bisa
bertanggung jawab, bagaimana dengan perihal yang lain? Menurut Waska,
tanggung jawab adalah perwujudan kesadaran akan kewajibannya, maka
44
Jopie Lasut, Malari : Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA, (Depok:
Yayasan Penghayat Keadilan, 2001), h. 10
45
Ibid
46
Lies, Op,cit., h. 103
79
dari itu, apabila ada bala tentaranya melakukan hal diluar keinginannya
atau tidak mewujudkan kesadarannya akan kewajibannya, pasti Waska
tidak menyukainya. Hal yang tidak diinginkan Waska, yaitu bahwa bala
tentaranya tidak sabar dan tidak memiliki tanggung jawab terhadap waktu.
Menurutnya, apabila ingin menjadi penjahat besar haruslah sabar dan
harus seksama dalam memperhatikan, baik itu memperhatikan lawan,
bahkan kawan. Agar sewaktu-waktu, hal itu akan mengajari kita
bagaimana caranya bertindak selanjutnya.
Menghargai waktu adalah bentuk tanggung jawab paling mendasar
bagi Waska. Dari situlah kita berusaha dengan sekuat tenaga untuk
mencapai kesadaran kita akan tanggung jawab. Menurutnya, jika kita
mencintai atau menginginkan sesuatu, kita harus menjalani setiap detik
dari prosesnya. Tidak boleh lemah, tidak banyak bicara, tidak banyak
mengeluh, apalagi murung dan gagal. Pandangan hidup Waska akan
tanggung jawab adalah perihal membuktikan dan bekerja keras. Ia rela
melakukan apapun agar rencana besarnya dalam merampok semesta
berhasil. Walaupun akibatnya ia tak dapat mati.
Begitulah Waska, apapun yang diinginkannya harus dilaksankan
dengan baik dan dengan berbagai cara yang baik. Menurutnya, jika sesuatu
dijalankan dengan mementingkan proses, apapun hasilnya, pasti akan
berpengaruh pada hati, pikiran, maupun jiwa. Pada saat itu Waska
memang akan melakukan kegiatan yang sangat besar dan terencana,
karena ia dan komplotannya memang diasingkan dari dunia luar.
Perbuatan besar itu tidak akan ia sia-siakan hanya karena salah satu bala
tentaranya tidak bertanggung jawab terhadap waktu. Oleh karena itu ia
membunuh Engkos karena tidak sabar menghadapi waktu.
SAMBIL MELUDAHKAN SEDERETAN KATAKATA UMPATAN, WASKA MELEMPARI
ENGKOS DENGAN BATU DAN APA SAJA
YANG DIDAPAT. ORANG-ORANG YANG
MENONTON
PUN
IKUT
MELEMPARI,
MEREKA BARU BERHENTI KETIKA ENGKOS
SUDAH NGGAK BERKUTIK LAGI.
80
Membunuh di sini adalah simbol untuk menjelaskan bahwa hal yang
buruk (tidak menghargai waktu, disiplin) itu dihilangkan. Semua hal yang
kita lakukan pasti ada akibatnya dan harus harus ada yang dikorbankan.
4. Pandangan Hidup Waska tentang harapan.
Setiap manusia yang hidup pasti memiliki harapan. Harapan adalah
keinginan yang diimpikan atau sesuatu itu belum terjadi. Apabila kita
ingin mewujudkannya, diperlukan kerja keras serta kegigihan yang kuat.
Pandangan Waska tentang harapan adalah keputusasaan. Ia
menganggap dirinya adalah orang yang terbuang dari kehidupan nyata.
Pekerjaan tidak ia miliki, keluarga dan kebahagiaan dalam keluarga hanya
dongeng menurutnya, berharap untuk diakui masyarakat pun sudah tidak
bisa ia lakukan. Akhirnya, mengumpulkan manusia-manusia yang
memiliki kesamaan nasib dengannya dan menjadi penjahat besar adalah
harapan barunya bagi kelangsungan hidup yang ia jalani.
Waska
: Aku pernah memilih, tapi aku
ditolak, selalu ditolak. Kemiskinan telah
menodongku, kelaparan telah menodongku, dan
aku tak rela dicincang oleh kemiskinan dan
kelaparan, maka kutodongkan kekayaan”.47
Kehidupan yang kejam memang tidak pernah memberi ampun bagi
siapa saja yang tidak memiliki tempat pada kekayaan. Kemiskinan adalah
komedi bagi kekayaan, yang mana ceritanya sangat perih megiris ulu hati,
akan tetapi tetap ditertawakan karena kebodohan. Miskin adalah simbol
kebodohan di zaman itu, tetapi Waska memiliki harapan yang besar, yaitu
membalas dendam atas kepongahan dan kekayaan.
Harapan manusia sangatlah banyak, begitupun Waska yang berharap
terlalu banyak. Berharap pada kenyataan ia diasingkan, berharap pada
hidup layak, ia tidak menjadi apa-apa. Akhirnya, ketika semua sudah habis
ia harap, ia ingin sekali mendapat ketenangan yang menurutnya adalah
47
Arifin, Op,cit., h. 24
81
kematian, ya, dia berharap mati. Ia ingin mati untuk mendapatkan
ketenangan. Menurutnya, mati itu berarti ia terlepas dari beban hidup dan
kebisingan akan kebutuhan yang begitu memaksa untuk dipenuhi.
Kematian menurutnya adalah sumber ketenangan, yaitu segala
sesuatu yang ia anggap tenang dan terhindar dari kehidupan nyata. Akan
tetapi sangat disayangkan, kematian yang ia inginkan tidak ia peroleh. Ia
dikhianati mentah-mentah oleh kehidupan. Harapan adalah sesuatu yang
harus kita kerjakan untuk mencapainya. Untuk mencapai kematian itu, ia
mencoba membunuh dirinya sendiri dengan berbagai cara. Akhirnya, siasia. Ia tetap hidup sampai di naskah drama selanjutnya.
Sebagai naskah drama, jika naskah drama ini diasosiasikan seperti
manusia, naskah atau pertunjukannya memiliki dua wajah, dua
kepribadian. Wajah pertama, Waska dengan umang-umang sebagai bala
tentaranya. Wajah kedua adalah Semar dan para anggota aktif orkes
madun.
Waska tidak dapat mati karena ia adalah wujud lain dari Semar, yang
mana dalam naskah sebelumnya, yaitu Orkes Madun I atawa Madekur dan
Tarkeni, usia Semar adalah 2400 tahun. Dalam pewayangan, tokoh Semar
adalah tokoh Batara Ismaya yang tidak mengenal mati. Itu mengapa tokoh
Waska yang sudah dimakan penyakit itu tidak juga mati.
Di akhir cerita, Semar tidak pernah muncul lagi dalam diri Waska,
akan tetapi Waska bukanlah Waska yang seutuhnya. Semar memang tidak
bernaung lagi dalam tubuh Waska, melainkan meninggalkan warisan yang
berupa keabadian. Semar sering berganti wujud menjadi Waska, dalam
pewayangan, Semar dikenal sebagai Dewa yang mengejawantah, “apabila
diperlukan dalam penyelesaian tuntutan yang sangat penting, Semar
berubah wujud menjadi Sang-hyang Ismaya”48 atau Batara Ismaya
48
Suwandono, dkk, Ensiklopedi Wayang Purwa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 470
82
C. Implikasi naskah drama Umang-umang terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia
Menurut KBBI, kata implikasi berarti keterlibatan atau keadaan terlibat.
Implikasi dalam sebuah naskah drama berarti melibatkan naskah drama dalam
pembelajaran sastra di sekolah. Dalam penelitian ini, yang diimplikasikan
kedalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah naskah drama
Umang-umang karya Arifin C. Noer.
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, drama merupakan bagian dari
materi ajar bahasa dan sastra Indonesia yang tercantum dalam GBPP sekolah
menengah atas (SMA). Oleh sebab itu, materi ajar ini harus disuguhkan sesuai
dengan kompetensi yang ingin dicapai, yaitu siswa mampu memahami drama
dan menganalisa pementasan drama, serta memerankan tokoh dalam drama.
Drama adalah bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan
mengasyikan para pemain dan penonton sehingga sangat digemari
masyarakat. Selain mudah disesuaikan untuk dimainkan dan dinikmati
masyarakat segala umur, drama sangat tinggi nilai pendidikannya. “Drama
merupakan peragaan tingkah laku manusia yang mendasar, drama baru dapat
disusun dan dipentaskan dengan berhasil jika diikuti pengamatan yang teliti
baik oleh penulis, maupun para pemainnya”.49
Apabila mencermati kompetensi materi ajar drama yang terpapar dalam
silabus kelas IX, maka materi ajar ini diarahkan agar siswa tidak terbatas
mengetahui sejauh mana memahami tema, watak tokoh, alur, serta konflik
dalam drama saja. Pelibatan langsung seperti pementasan drama juga
dibutuhkan untuk mengasah peserta didik ke arah kemampuan dalam
menghadapi kenyataan di luar sekolah. Salah satu upaya dalam mencapai
tujuan pengajaran sastra yaitu, pengetahuan sastra yang diajarkan kepada
siswa hendaknya berangkat dari suatu penghayatan atas suatu karya sastra
yang kongkrit. Hal ini dimaksudkan agar pengalaman sastra yang diajarkan
pada siswa melekat dan berakar kuat.
49
B. Brahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: KANISIUS, 1988), h. 89
83
Kenyataannya, kegiatan mementaskan drama dalam materi ajar jarang
sekali dilakukan. Hal ini disebabkan ruang dan waktu yang tersedia dalam
kurikulum untuk mengarahkan siswa ke arah tersebut cukup terbatas.
Mengacu pada alasan itulah, sebagian guru tidak mengarahkan secara optimal
peserta didik untuk menggali kemampuan mereka dalam menyusun naskah
drama dan bagaimana mementaskannya. Semua itu terlepas agar materi yang
diajarkan tidak bertumpu pada kemampuan kognitif semata.
Padahal, dunia drama adalah dunia yang menyenangkan bagi peserta
didik seusia mereka, karena dalam prosesnya, mereka dapat bermain serta
berekspresi dengan bebas tanpa sekat yang membatasi ruang ekspresi yang
ditampilkannya. Kenyamanan yang menyenangkan adalah hal yang tidak
dapat ditawar bila guru ingin membangun kepercayaan diri peserta didik.
Dengan kepercayaan diri, maka mereka dengan senang hati mengeksplor
segala kreativitasnya dan selalu ingin berbuat/berlaku.
Pengajaran drama di SMA tidaklah direncanakan untuk melahirkan
dramawan-dramawan muda atau Arifin-arifin muda. Melainkan untuk
melahirkan kelompok remaja siswa yang meminati dan menggairahi drama.
Dalam prosesnya, drama sangat berpengaruh dalam pengembangan
karakter, penguatan karakter, dan pengembangan mental peserta didik, karena
yang diajarkan di panggung kecil itu, bagaimana tubuh manusia di atas
panggung memiliki sosok yang kuat dan juga karakter yang kuat. Drama
berada pada wilayah rohani (sesuatu yang bersih tidak ada niat buruk), maka
dari itu, si pemain harus melatih dirinya sedemikian rupa, karena tubuhnya
merupakan pusat artistik dan di atas panggung ia bekerja sama dengan orang
banyak dan juga ia mengemban pesan untuk disampaikan pada orang banyak.
Mempelajari drama, artinya kita belajar mengenal dan memahami satu sama
lain, karena ia hidup dalam satu komunitas. Konsekuensinya adalah
bagaimana satu sama lain saling mengenal, dan mengenalnya pun bukan
secara basa-basi. Tetapi mengenal yang intim, artinya mengenal kekurangan
dan kelebihan orang yang di dalamnya, di mana mengenal kekurangan
kelebihan itu menjadi modal dasar untuk masuk ke dalam wilayah penciptaan.
84
Artinya proses dalam drama memberikan ruang seadanya untuk mereka
bersikap jujur di atas panggung. Ini yang menjadi pijakan dasar bagaimana
peserta didik harus memproses dirinya secara optimal. Peserta didik tidak bisa
memperlakukan panggung semena-mena, karena panggung seperti ruang
belajar untuk kita bersikap penuh kejujuran, penghargaan, dan kerendahan
hati, agar yang dihadirkan itu bersifat apa adanya. Seni adalah sesuatu yang
dapat menyentuh, karena ia berada di wilayah rohani, yaitu sesuatu yang
sakral, bersih, tidak ada tendensi, pretensi, dan tidak ada niatan buruk. Apabila
sesuatu tidak ada niatan buruk, tidak ada niatan jahat, disampaikan apa adanya
dan setulusnya, baik dengan kemasan komedi maupun tragedi, akan tetapi
dapat membuat penonton tersentuh. Itulah fungsi seni sebenarnya, cukup
dengan menyentuh penonton.
“Drama merupakan bentuk yang paling kongkrit, yang secara artistik
dapat
menciptakan
kembali
situasi
kemanusiaan
dan
hubungan
kemanusiaan”.50 Ini dimaksudkan untuk menanamkan kesadaran pada peserta
didik, bahwa drama memiliki fungsi yang esensial dalam pembinaan proses
pemanusiaan insan-insan modern yang selalu dilanda oleh konflik-konflik
yang tak terselesaikan. Kebiasaan-kebiasaan itu dihadirkan dalam drama lewat
instrumen yang sangat penting dalam proses penginternalisasian perananperanan sosial setiap individu di dalam masyarakat. Maka dari itu, proses yang
dilakukan peserta didik dalam mempelajari drama sudah tertanam dalam diri
sehingga hanya memperkuat dan memperdalam peran yang dimainkan.
Pengajaran di dalam drama tidak semata-mata berperan dan
berlenggak-lenggok di atas panggung, tidak juga mengantarkan peserta didik
pada kemampuan melakonkan kehidupan, tetapi memikirkan dan lebih
merenungi makna kehidupan yang sedang dan akan dihadapinya di masa
depan. Dalam hubungannya, drama merupakan mata rantai yang langsung
menghubungkan sastra dengan kehidupan kemanusian. Olehnya, perancangan
50
Drs. Rizanur Gani, Pengajaran Sastra Indonesia, (Jakarta: Departemen pendidikan dan
kebudayaan, 1988), h.323
85
dan pelaksaan pengajaran drama hendaknya mampu mengantarkan peserta
didik ke arah proses memanusiakan diri secara lebih jujur dan terhormat.
Proses belajar drama bukan hanya sekedar proses pelengkap, tetapi
merupakan proses belajar-mengajar yang serius. Walaupun kelihatannya
secara sepintas lalu peserta didik hanya „main-main‟, tetapi main-main yang
sungguhan. Peserta didik dilatih menjadi pribadi yang tangguh, yang mampu
menentukan dan melaksanakan sendiri peran-perannya, mengambil sikap yang
tepat dan mandiri. Guru tidak akan mungkin banyak berbuat jika peserta didik
tidak tampil dalam kondisi yang kreatif. Sebab, dalam drama moderen,
kemampuan
pengembangan
improvisasi
sangat
diperlukan.
Dengan
improvisasi itu, siswa mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap
peran yang dibeban kepadanya. Sesungguhnya, akting yang menawan dari
seorang dramawan besar seperti Arifin, Rendra, dan Putu Wijaya terletak pada
kemampuan improvisasi yang luar biasa. Terkadang, mereka memunculkan
interpretasi yang mencengangkan, yang mungkin tidak terjabarkan dalam
naskah drama tersebut. Di sinilah kematangan seorang aktor diuji, sehingga
penampilannya bukan hanya menawan dan mempesona, tetapi mengantarkan
penonton pada proses berpikir yang mencerminkan kadar renungannya.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin ini
merupakan naskah nyanyian kemiskinan moral dan kemiskinan jiwa.
Waska adalah tokoh utama pemimpin kelompok manusia yang
memiliki kesamaan nasib, yaitu hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan
menjadi tema sentral dalam naskah ini. Tokoh-tokoh yang bermain pun
memiliki nasib yang tidak jauh dari kemiskinan. Alur dalam naskah ini
dipadatkan dengan peristiwa-peristiwa yang kronologis dan berurutan.
Seperti halnya kehidupan sehari-hari, dialog dalam naskah juga
menggunakan bahasa sehari-hari yang verbal.
2. Hidup dalam kemiskinan membuat pandangan tentang hidup tokoh
Waska berubah. Pertama, ia menganggap bahwa di dunia ini tidak lagi
diperlukannya cinta kasih, semua hal itu malah akan membuat lemah
dan tidak bergairah dalam hidup. Kedua, pandangannya tentang
penderitaan berubah, menurutnya, penderitaan adalah ketika ia
menikah dan memilii keluarga. Perempuan yang mencintainya sepenuh
hati dibiarkan menderita lantaran dibiarkannya, tetapi menurutnya,
penderitaan adalah ketika ia bersama dengan perempuan itu. Ia
menganggap semua impian besarnya akan gagal ketika ia memiliki
cinta. Cinta itu simbol kelemahan baginya. Ketiga, pandangan Waska
tentang tanggung jawab yang baginya itu kekokohan hidup, tanggung
jawab yang ia miliki adalah tanggung jawab terhadap waktu jika ingin
menjadi orang besar. Keempat adalah pandangan hidupnya tentang
harapan. Harapan baginya adalah omong kosong. Berharap sama saja
menjatuhkan harga diri ke dalam lubang ketakutan.
3. Implikasi drama terhadap pembelajaran sastra untuk mendidik peserta
didik ke arah kemanusiaan. Pengajaran di dalam drama tidak sematamata berperan dan berlenggak-lenggok di atas panggung, tidak juga
mengantarkan peserta didik pada kemampuan melakonkan kehidupan,
86
87
tetapi memikirkan dan lebih merenungi makna kehidupan yang sedang
dan akan dihadapinya di masa depan. Dalam hubungannya, drama
merupakan mata rantai yang langsung menghubungkan sastra dengan
kehidupan kemanusiann. Jadi, perancangan dan pelaksaan pengajaran
drama hendaknya mampu mengantarkan peserta didik ke arah proses
memanusiakan diri secara lebih jujur dan terhormat.
B. Saran
Dari simpulan di atas, penulis memberikan beberapa saran yang
konstruktif bagi pembaca dan khususnya bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Bagi Guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, agar mampu
merangsang peserta didik dengan metode-metode yang diajarkan di sekolah
sehingga pembelajaran dapat dicapai sesuai dengan kurikulum yang
ditetapkan. Bagi peserta didik, yaitu mampu membaca teks naskah drama,
menganalisis, kemudian mengapresiasikannya dalam bentuk pertunjukan dan
dalam prosesnya dapat mengambil hikmahnya. Bagi sekolah diharapkan
menyediakan sarana dan prasana sebagai penunjang keterampilan peserta
didik dalam berkarya. Bagi peneliti lain, diharapkan menjadi lebih baik dan
memiliki semangat yang tinggi dalam menapresiasi drama.
DAFTAR PUSTAKA
Asmara, Adhy, Apresiasi Drama, Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya, 1979.
BA, Prasmadji, Teknik Menyutradarai Drama Konvensional, Jakarta: Balai
Pustaka 1984
Brahmanto, B, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: KANISIUS, 1988.
Budianta, Melani, dkk, Membaca Sastra, Magelang: Indonesia Tera, 2006.
Damono, Sapardi, Antologi Drama Indonesia, Jakarta, The Henry Luce
Foundation, Inc, 2006.
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Jakarta, Sejarah Kotatua, Jakarta: Jakarta
Culture and Heritage, 2007.
Effendy, Bisri, Majalah Kebudayaan; Nasib Kultur Pesisir di Cirebon, Depok:
Desantara Utama, 2002.
Endraswara, Suwardi, Teori Pengkajian Sosiologi Sastra, Yogyakarta: UNY
Press, 2012.
Gani, Rizanur, Pengajaran Sastra Indonesia, Jakarta: Departemen pendidikan dan
kebudayaan, 1988.
Hasanuddin, Ensiklopedi Sastra Indonesia, Bandung: Penerbit Titian Ilmu
Bandung, 2004.
Hendrayana, Yayat, Umang-umang Arifin Impian-impian Kemelaratan, Bandung:
Pikiran Rakyat, 1976.
http://journal.unnes.ac.id/sju/indexphp/jsi/article/iew/2390,
diunduh
pada
10
Maret 20014 pukul 20.00 WIB.
Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia; dilengkapi Ejaan Yang Disempurnakan
dan Kosa Kata Baru, Surabaya: Cahaya Agency, 1997
Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik; Edisi keempat, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Kutha Ratna, NyomanTeori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2007.
Lasut, Jopie, Malari: Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA, Jakarta:
Yayasan Penghayat Keadilan, 2001.
88
89
Mustopo, M. Habib, Ilmu Budaya Dasar, Surabaya: Usaha Nasional: 1988.
Mutia, Tuti, Religiusitas naskah drama Kapai-KapaiKarya Arifin C. Noer, Skripsi
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,tidak dipublikasikan, 2012.
Natawijaya, P. Suparman, Apresiasi Sastra dan Budaya, Jakarta: PT Interma,
1982.
N, N, Umang-umang: kesadaran ACN. Jakarta: Pelita, 1976
Noer, Arifin, C, Umang-umang atawa Orkes Madun II, Dokumentasi Dewan
Kesenian Jakarta. 1976
Nurgiyantoro, Burhan,Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada Press,
1995.
Plays, Nine, Modern Drama, Oslo: University Of Oslo, 2001.
Rendra, Seni Drama Untuk Remaja, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1993.
Sudibyo, Lies, dkk. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta: C.V Andi OFFSET,
2013.
Setiadi, Elly, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar edisi kedua, Bandung: Prenada
Media Group, 2007.
Sihabudi, dkk, Bahasa Indonesia 2 edisi pertama, Surabaya: Amanah Pustaka,
2009.
Sugono, Dendy, Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2009.
Sulaeman, Munandar, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT Refika Aditama, 1998.
Suwandono, dkk, Ensiklopedi Wayang Purwa, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Tuloli, Nani, Teori Fiksi, Gorontalo: Nurul Jannah, 2000.
Waluyo, Herman J, Drama: Teori dan Pengajarannya, Yogyakarta: Hanindita
Graha Widia, 2001.
Widagdho, Djoko, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
W, Supartono, Ilmu Budaya Dasar, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.
Download