PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA ARIFIN C. NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh Yunita NIM. 109013000060 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA ARIFIN C. NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh Yunita NIM. 109013000060 Di bawah bimbingan Novi Diah Haryanti, M.Hum PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M UJI REFERENSI Seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA” yang disusun oleh Yunita dengan NIM 109013000060 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, telah diuji kebenarannya oleh dosen pembimbing pada tanggal 10 Maret 2014. Jakarta, 11 Maret 2014 Pembimbing Novi Diah Haryanti, M.Hum KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK No. Dokumen Tgl. Terbit No. Revisi: Hal FORM (FR) Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia : : : : FITK-FR-AKD-089 1 Maret 2010 01 1/1 SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Yunita Tempat, Tgl Lahir : Tangerang, 07 Juni 1991 NIM : 109013000060 Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Judul Skripsi : “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II Karya Arifin C. Noer dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra” Dosen Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M.Hum. dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah. Jakarta, Maret 2014 Mahasiswa Ybs. Materai 6000 Yunita NIM. 109013000060 ABSTRAK Yunita, (109013000060), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul skripsi “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang atawa Orkes Madun II dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra”. Sastra merupakan bagian kehidupan yang ceritanya diangkat dari peristiwa nyata. Salah satu dari karya sastra adalah drama, suatu rekaan dunia kecil di atas panggung yang melakonkan setiap peristiwa. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pandangan hidup seorang tokoh dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Subjek penelitian ini, yaitu pandangan hidup tokoh Waska dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer dan sebagai objek penelitian adalah naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II yang berupa dialog-dialog. Tahapan analisis drama meliputi, pengumpulan dokumentasi kemudian dijabarkan dengan memberikan analisis. Hasil penelitian dapat penulis simpulkan bahwa pandangan hidup tokoh Waska dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II, meliputi: Pertama, ia menganggap bahwa di dunia ini tidak lagi diperlukannya cinta kasih, semua hal itu malah akan membuat lemah dan tidak bergairah dalam hidup. Kedua, pandangannya tentang penderitaan berubah, menurutnya, penderitaan adalah ketika ia menikah dan memilii keluarga. Perempuan yang mencintainya sepenuh hati dibiarkan menderita lantaran dibiarkannya, tetapi menurutnya, penderitaan adalah ketika ia bersama dengan perempuan itu. Ia menganggap semua impian besarnya akan gagal ketika ia memiliki cinta. Cinta itu simbol kelemahan baginya. Ketiga, pandangan Waska tentang tanggung jawab yang baginya itu kekokohan hidup, tanggung jawab yang ia miliki adalah tanggung jawab terhadap waktu jika ingin menjadi orang besar. Keempat adalah pandangan hidupnya tentang harapan. Harapan baginya adalah omong kosong. Berharap sama saja menjatuhkan harga diri ke dalam lubang ketakutan. Kata Kunci: Pandangan Hidup, Umang-umang Atawa Orkes Madun II, Pembelajaran Sastra i ABSTRACT Yunita, (109013000060) Educational Courses Indonesian Languange and literature. Tarbiyah Science and Teacher Faculty. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Thesis Title “The Worldview Waska in Umang-umang atawa Orkes Madun II Drama Script and their Implication with Literature Study”. Literature is a part of life that’s the real life who lift in their story. A part of that’s is the Drama. The microcosm on the stage who act out each event. The purpose of this study was to describe the character wordiew in Umang-umang atawa Orkes Madun II Arifin C. Noer work. The method used in this study is descriptive analysed method. The subject of this study is the Worldview of Waska in Umang-umang atawa Orkes Madun II Arifin C. Noer work, and as the object in this Umang-umang atawa Orkes Madun II which consist of a dialog. The step to analyze this drama script including documentation collect and then described with the analysed. The result can the authors conclude that Waskas Worldiew in Umangumang atawa Orkes Madun II, including: First, he regard that in this world he didn’t needed sense of love, because that’s all can make human weak and not exited to begin the live. Second, his Worldiew of suffer, changed. For him suffer is when he merried and choosed the family. He let the woman who love him disappear, because for him suffer is when he together with that woman, so his big dream can be continued when he throw out his sense of love. Third, for waska, the responsible of time is the requirement, because if someone can be a “Big Man” he must be responsible with the time. Fourth, his Wordview of hope. For him, hope is nonsense. Because when someone started to hoped, he can falling to the scared. Key Word: Wordview, Umang-umang Atawa Orkes Madun II, literature study. ii KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah menganugerahkan nikmat Iman dan Islam serta kekuatan, dan atas rahmat karunia serta hidayah-Nya, skripsi ini berhasil diselesaikan dengan baik. Shalawat bermutiarakan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkahnya hingga akhir zaman nanti. Tiada kata yang dapat penulis torehkan lagi, kecuali hanyalah ucapan terima kasih yang tiada terkira atas bimbingan, dorongan serta masukan-masukan positif untuk membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Nurlena Rifai, M.A., Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, MPd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 3. Dra. Hindun, MPd., selaku sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 4. Novi Diah Haryanti, M.Hum., Pembimbing yang dengan sabar dan ikhlasnya telah memberi petunjuk, bimbingan, saran, masukan, dan pengarahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan memberikan ilmu kepada penulis. 6. Para staf perpustakaan, baik Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam mencari referensi untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. Ibunda dan ayahanda tercinta Maisyuri Candra Dewi dan Uding Saputra, yang tak pernah letih merawat, mendoakan, mendukung, dan memberi motivasi serta bantuan moril maupun materil kepada penulis dengan tulus dan ikhlas. Skripsi ini sebagai bukti bakti penulis kepada Mama dan Papa. iii 8. Adik-adikku tercinta Faizal Alqorni dan Lutfiah Azizah yang selalu mendo’akan dan mendorong penulis untuk tetap semangat menyelesaikan skripsi ini. 9. Bohari Muslim yang selalu menemani hari-hari penulis dalam proses penulisan skripsi ini. Terima kasih kamu yang telah memberikan bimbingan, kasih sayang, serta semangat kepada penulis. 10. Teman-teman kosant Sarbini, Kak Tanti, Hilda, Wiwi, Bebsy, Nina, Desi, dan Manda. Terima kasih selalu menemani kala suka maupun duka. Teman curhat dan keluh kesah. Teman bersama dalam segalanya. Dalam melewati hari-hari ini tidak akan berarti tanpa ocehan dan laku kalian. 11. Sahabat-sahabatku tercinta di kampus, Hayatun, Rizki Dwi, Jelita, Bundo, Oi, Dewi, Syena yang telah memberikan kenang-kenangan berupa persahabatan. Menjalani kuliah bersama kalian sangat menyenangkan. 12. Keluarga besar PBSI UIN ’09, Pandawa dan Srikandi Sastra, Keluarga besar Teater Syahid, dan Majelis Kantiniyah. Kalian adalah sahabat sekaligus pengalaman terbaik yang tidak akan pernah penulis lupakan. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga bantuan, bimbingan, semangat, doa, dan dukungan yang diberikan pada penulis dibalas oleh Allah Swt. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, semua itu dikarenakan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan yang membangun sebagai bahan perbaikan dari berbagai pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya penulis dan umumnya bagi pembaca. Amin. Jakarta, 11 Maret 2014 Yunita iv DAFTAR ISI ABSTRAK ......................................................................................................... i ABSTRACT ....................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii DAFTAR ISI ...................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1 A. Latar Belakang........................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah .................................................................. 5 C. Pembatasan Masalah ................................................................. 6 D. Rumusan Masalah ..................................................................... 6 E. Tujuan Penelitian ....................................................................... 7 F. Manfaat Penelitian ..................................................................... 7 G. Metodologi Penelitian ............................................................... 7 BAB II KAJIAN TEORETIS A. Hakikat Pandangan Hidup ......................................................... 10 B. Hakikat Drama........................................................................... 15 C. Unsur Intrinsik Drama ............................................................... 22 D. Unsur Ekstrinsik Drama ............................................................ 29 E. Drama sebagai Media Pembelajaran ......................................... 30 F. Penelitian yang Relevan ............................................................ 31 BAB III BIOGRAFI PENGARANG A. Biografi Pengarang .................................................................... 34 B. Sinopsis ..................................................................................... 38 C. Tentang Caturlogi Orkes Madun dan Arti Kata Umang-umang 40 v BAB IV ANALISIS DATA: PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA ARIFIN C. NOER A. Unsur Intrinsik Naskah Drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer. ................................................. 42 B. Pandangan Hidup Tokoh Waska ............................................... 73 C. Implikasi Naskah Drama terhadap Pembelajaran Sastra ........... 82 BAB V PENUTUP A. Simpulan .................................................................................... 86 B. Saran .......................................................................................... 87 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 88 LAMPIRAN vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra pada umumnya tidak pernah melepaskan diri dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Karya sastra menampilkan permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan makna dari situasi sosial dan historis dalam kehidupan manusia. Karya sastra bukan sekedar aspek permasalahan masyarakat yang sederhana. Ia merupakan lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai media, sedangkan bahasa itu sendiri adalah ciptaan sosial. Oleh karena itu, dapat digambarkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan yang erat kaitannya dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial. Salah satu jenis karya sastra ialah drama, ia merupakan karya fiksi yang bentuk fisiknya berupa dialog. Sama seperti karya sastra pada umumnya, kisah di dalam drama diangkat dari kehidupan nyata. Kehidupan yang tidak terlepas dari semua keadaan yang sudah nyata adanya, seperti belajar, berteman, berkeluarga dan banyak lagi yang lainnya. Di dalam drama, semua itu disajikan secara detail oleh pengarang melalui perilaku tokoh. Drama ditulis untuk dipentaskan, dengan demikian ia memang direncanakan untuk dihadapkan kepada penonton. Dalam situasi semacam itu, maka ada unsur penting yang harus dipenuhi, yakni keabadian tema dan kehangatan masalah sosial yang mendasari gagasannya dan yang sekaligus merupakan perhatian khalayak pada masanya. Tanpa itu drama tidak akan mendapatkan tempat dalam masyarakat.1 Demikianlah, tema dalam drama dan tentunya dalam situasi apapun tema dalam drama selalu erat kaitannya dengan perubahan sosial yang penting. Drama dikelompokkan ke dalam karya sastra karena media yang dipergunakan untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarangnya adalah 1 Sapardi Djoko Damono, Antologi Drama Indonesia, (Jakarta, The Henry Luce Foundation, Inc, 2006), h. xii-xv 1 2 bahasa. Bahasa yang digunakan sangat bermacam-macam dan dapat memberikan potret-potret kehidupan masyarakat sehari-hari, baik itu yang tercermin dari prilaku tokoh atau lingkungan sosial yang ada dalam masyarakat. Hal ini merupakan wujud pengalaman dan pengetahuan sekaligus imajinasi yang dimiliki oleh pengarang yang kemudian dikemas dengan ribuan kata-kata yang puitis. Pelibatan pengalaman inilah yang melatar belakangi terciptanya karya tersebut. Naskah drama adalah salah satu karya sastra yang dipilih Arifin C. Noer sebagai proses kreatifnya. Banyak naskah yang kemudian digarapnya sendiri menjadi sebuah pementasan. Beralih dari itu, penelitian ini tidak menekankan pada pementasan, tetapi pada karya itu sendiri. Naskah drama yang berbeda dari karya sastra yang lain, merupakan kumpulan dialog yang berderet, bertektok, dan berirama keseharian. Namun demikian, naskah drama adalah bagian dari karya sastra yang mengandung unsur kesenian yang utuh. Dalam penelitian ini, naskah drama Arifin yang diteliti adalah Umangumang Atawa Orkes Madun II. Umang-umang adalah sebuah kelompok atau organisasi yang dipimpin oleh seorang pensiunan pelaut. Organisasi ini mempunyai kebiasaan meludahi sebagai cerminan bahwa meludahi adalah penghargaan tertinggi di kelompok tersebut. Kelompok ini sama sekali berbeda dengan kelompok yang lain. Mereka adalah komplotan manusia yang mencari tempat bagi kemiskinan, untuk memberontak dan merampok semesta. Umang-umang Atawa Orkes Madun II mengisahkan tentang seorang pemimpin perampok yang arogan dan sangat disegani, bernama Waska. Ia dan komplotannya kerap kali melakukan aksi-aksi perampokan hingga disaat suatu rencana perampokan besar akan dilakukannya, Waska menderita penyakit aneh yang membuat semua anggotanya bingung dan sedih memikirkannya. Ranggong dan Borok merupakan kaki tangan yang setia bagi Waska, mereka berusaha mencari ramuan agar penyakit yang diderita pemimpinnya itu lenyap. Akhirnya, mereka mendapatkan ramuan dadar bayi dari dukun sakti, yang kemudian langsung mereka berikan kepada Waska. Efeknya, dengan meminum ramuan itu, Waska dan kedua anak buahnya tidak dapat mati. 3 Naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II sering dihubungkan dengan rekaman kehidupan kelam masyarakat miskin di negeri ini pada masa lampau, sekarang, atau kelak di masa depan, di mana kejahatan kerap timbul karena keterpaksaan. Hidup enggan, mati tak mau! Pilihan untuk menjadi manusia jahat yang mengingkari hati nurani merupakan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup meskipun pilihan itu diselingi nafsu dan kepuasan. Tuhan pun akhirnya memberikan sebuah hukuman kepada komplotan perampok itu melalui pemimpinnya karena gaung kejahatan yang diteriakkannya. Tidak hanya itu, kisah percintaan Waska dengan mucikari bernama Bigayah disuguhkan secara liar dan vulgar dalam naskah lakon ini. Tetapi, kisah cinta dan kejayaan Waska makin meredup seperti api dalam lampion, termakan waktu dan juga kekekalan hidupnya bersama kaki tangannya yang setia. Upaya waska, Ranggong, dan Borok untuk membunuh diri ditampilkan dalam beberapa adegan menjelang akhir cerita, kemudian hal itu menjadi kesia-siaan, sebab melawan hukum alam seperti kematian sama artinya dengan melawan kehendak Tuhan dan itu adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebagai pekerja seni, Arifin C Noer memberi sumbangan yang besar bagi perkembangan seni peran di Indonesia. Karya-karya tulisnya berupa naskah drama yang kemudian disutradarainya dan dipentaskan oleh Teater Ketjil yang dipimpinnya, membuktikan kedudukannya sebagai salah satu pencetus bentuk teater modern. Sebagai penulis naskah dan sutradara teater, Arifin merupakan fenomena yang menarik dalam khasanah perkembangan teater modern Indonesia. Selain giat mengembangkan apa-apa yang disebutnya teater eksperimental, Arifin juga menjadikan kekayaan teater tradisi Indonesia sebagai sumber kreativitas. Hal ini diakui oleh banyak pengamat yang mengatakan bahwa teater Arifin adalah teater modern Indonesia yang meng- Indonesia. Di berbagai daerah, terutama di Jawa, mulai tampak kecenderungan untuk menggunakan bahasa daerah dan memanfaatkan anasir teater tradisional 4 sebagai bahan untuk pengembangannya.2 Ini jelas merupakan kecenderungan yang perlu mendapat perhatian terutama karena bahasa lisan yang beredar di beberapa masyarakat bukanlah bahasa Indonesia yang baku dan bahwa sebagian besar masyarakat di daerah masih lebih akrab dengan bahasa ibunya meskipun dalam wujud yang oleh beberapa kalangan bisa saja dianggap sebagai bahasa yang sudah rusak sebagai akibat dari adanya pengaruh timbal balik dengan bahasa Indonesia. Hal ini tidak perlu diresahkan sebab pada dasarnya drama menampilkan dialog yang tentunya bersumber pada bahasa lisan yang dalam perkembangan bahasa kita tidak ada yang disebut baku. Dengan bahasa semacam itulah masalah yang berakar dalam-dalam pada masyarakat tertentu bisa ditangkap intinya untuk kemudian diangkat ke pentas dan selanjutnya dipergunakan sebagai salah satu bahan bagi masyarakat yang lebih luas untuk mempertimbangkan kembali konvensi moral dan sosial yang selama ini menjadi keyakinan orang ramai. Dengan cara demikianlah maka drama memiliki fungsi yang nyata dalam masyarakat. Fungsi yang nyata di sini adalah pandangan masyarakat tentang kesenian drama sebagai cara untuk menikmatinya. Sedangkan yang akan dibahas dalam penelitian ini pandangan tidak tertuju pada masyarakat saja, melainkan kepada tokoh-tokoh yang berdialog di dalam sebuah naskah drama. Pandangan itu meliputi; dalam hal ini hanya berbatas pada naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer, yaitu pandangan tentang masalah-masalah tertentu, misalnya pandangan tentang masalah sosial yang terjadi di masyarakat, pandangan tentang ideologi tokoh, dan pandangan terhadap agama/keyakinan. Sudah kita ketahui sebelumnya, bahwa drama lahir dari kehidupan sosial masyarakat. Dalam penelitian ini, naskah drama yang digarap menggambarkan keadaan sosial yang carut-marut serta jauh dari kehidupan yang layak. Namun demikian, pembahasan dalam penelitian ini berkaitan dengan pengajaran sastra di sekolah. Pengajaran ini dimaksudkan agar siswa dapat memperoleh pengalaman sastra dan pengetahuan sastra. Salah satu upaya dalam mencapai tujuan pengajaran sastra yaitu, pengetahuan sastra 2 Ibid 5 yang diajarkan kepada siswa hendaknya berangkat dari suatu penghayatan atas suatu karya sastra yang konkret. Hal ini dimaksudkan agar pengalaman sastra yang diajarkan pada siswa melekat dan berakar kuat. Selain membahas masalah sosial dan pandangan hidup di lingkungan naskah dan masyarakat, pendidikan pun berperan aktif sebagai penyalur serta sarana untuk masyarakat mendapatkan pengetahuan. Pendidikan adalah sebuah wadah untuk menampung kebutaan-kebutaan pada masyarakat tentang kehidupan. Pendidikan juga menjadi pemersatu beragam bahasa yang ada di Indonesia menjadi satu bahasa saja, yaitu bahasa Indonesia. Pendidikan di sini, berkaitan dengan pengajaran sastra, karena sastra merupakan hasil karya seni yang cenderung angkuh karena mau mengungkapkan segalanya secara utuh. Namun, tanpa membaca sastra manusia tidak bisa berkaca diri untuk mengungkapkan kenyataan. Pengajaran sastra bukanlah semata-mata produk khayalan, tetapi juga hasil produk pengalaman dan berpikir. Dalam dunia pendidikan, sekolah adalah tempat utama untuk mendapatkan pengalaman serta berpikir yang kreatif dan inovatif, maka dari itu, penulis mengangkat judul “PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA ARIFIN C. NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA.” B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya minat baca peserta didik terhadap karya sastra terutama naskah drama. 2. Kurangnya sarana dan prasarana di sekolah untuk meningkatkan kreativitas peserta didik terhadap pembelajaran drama, padahal, Umangumang Atawa Orkes Madun II relevan dengan dunia pendidikan karena mengandung nilai sosial, moral, dan pandangan hidup, sehingga dapat diimplikasikan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. 6 3. Kurangnya perhatian peserta didik dalam mengkaji unsur intrinsik naskah terutama pada pengkajian tokoh dan hal yang berkaitan dengan tokoh. Misalnya, kepribadian tokoh, pandangan hidup tokoh, dan pandanganpandangan tentang masalah tertentu. 4. Kurangnya apresiasi masyarakat luas tentang drama sebagai bahan pertimbangan dalam memperkenalkan nilai edukasi kepada anak-anak. 5. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari drama menjadikan kurangnya minat peserta didik dalam mempelajari drama. C. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah peneliti agar objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam. Dalam naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II terdapat banyak permasalahan, maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada: 1. Unsur intrinsik naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer. 2. Pandangan hidup tokoh Waska dalam naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer. 3. Implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II terhadap pembelajaran sastra di SMA. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana unsur intrinsik naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer? 2. Bagaimana pandangan hidup tokoh Waska dalam naskah drama Umangumang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer? 7 3. Bagaimana implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II Karya Arifin C. Noer terhadap pembelajaran sastra di SMA? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer. 2. Mendeskripsikan Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer. 3. Mendeskripsikan implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer. terhadap pembelajaran sastra di SMA. F. Manfaat Penelitian Drama merupakan mata rantai yang langsung menghubungkan sastra dengan kehidupan kemanusiaan. Manusia tidak terlepas dari bidang keilmuan dan seni berperan. Maka dari itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bagus dan positif pada khazanah keilmuan dalam bidang sastra, khususnya pengetahuan tentang pandangan hidup yang terdapat dalam naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan wawasan yang lebih terhadap pembaca, penulis, dan pecinta sastra. Khususnya dalam dunia pendidikan, penelitian ini memberikan manfaat secara teoretis dalam mengkaji metode-metode pengajaran sastra, yaitu pada pengajaran drama, karena pengajaran drama merupakan kajian tentang aspek-aspek dan masalahmasalah kehidupan masyarakat dari sudut literer dan estetika. G. Metodologi Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan objek kajian berupa naskah drama, yaitu naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II 8 karya Arifin C Noer. Tempat yang digunakan dalam penelitian tidak terikat pada satu tempat, karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) karya sastra yaitu naskah drama. Adapun waktu penelitian dimulai pada September 2013. 2. Bentuk dan Strategi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan adalah secara intrinsik (yaitu pendekatan melalui isi karya sastra itu sendiri), dan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang mempengaruhi karya sastra). “Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analis”.3 Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya deskriptif komparatif, metode dengan cara menguraikan dan membandingkan, dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari dalam ke luar. Kemudian pendekatan intrinsik atau pendekatan melalui isi karya sastra itu sendiri yang disebut pendekatan objektif. “Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.”4 Secara histori pendekatan ini dapat ditelusuri pada zaman Aristoteles dengan pertimbangan bahwa sebuah tragedi terdiri atas unsur-unsur kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan. “Pendekatan objektif dengan 3 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), h. 53. 4 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1995),h. 73. 9 demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik.”5 3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah teknik membaca dan mencatat, mengingat objek kajian dalam penelitian ini adalah sebuah teks, yaitu berupa naskah drama Umangiumang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C Noer. Adapun langkah-langkah pengumpulan datanya dikelompokkan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebagai berikut: a. Mengadakan studi kepustakaan untuk pengumpulan bahan. Langkah awal penelitian ini adalah membaca beberapa pustaka yang berhubungan dengan objek penelitian untuk mendapatkan bahan; b. Membaca naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II untuk menganalisis keterjalinan antarunsur intrinsik dalam drama tersebut; c. Membaca naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II untuk menganalisis pandangan tokoh Waska terhadap kehidupan yang ada dalam naskah drama tersebut; d. Menyimpulkan hasil analisis yang didasarkan pada analisis data secara keseluruhan. 5 Kutha Ratna, Op,cit., h. 73 BAB II TINJAUAN TEORITIS Bab ini berisi tentang kajian kepustakaan yang didasarkan pada teori-teori yang relevan, yang menyangkut pembahasan dalam penelitian ini. Teori-teori di sini tentang pandangan hidup, naskah drama serta unsur intrinsiknya, implikasi naskah terhadap pembelajaran sastra, dan juga penelitian yang relevan. A. Hakikat Pandangan Hidup Pemikiran merupakan hal yang mendasar ketika kita ingin atau akan melakukan sesuatu, baik dalam hal berteman, memenuhi kebutuhan hidup, bahkan mencari nafkah. Pada umumnya, sesuatu yang kita pikirkan akan menjadi tolok ukur yang membatasi kita dalam memandang atau menilai sesuatu. Pemikiran lahir ketika kita berusaha mengeja kemudian mengenal dan menjadikannya suatu pandangan terhadap hal yang ada dan terjadi di lingkungan sekitar kita. Hal tersebut tentu saja tidak selalu kebaikan, kadang sesuatu yang baik menjadi tidak baik di mata kita, sedangkan yang tidak baik senantiasa membuat kita merasa nyaman. Sebagai makhluk yang beraktivitas baik fisik maupun psikologis, manusia memiliki kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkungan di mana tempat ia tinggal. Lingkungan sekitar kita sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan cara kita memandang sesuatu. Pandangan-pandangan itu yang akan membuat kita kuat terhadap sesuatu bahkan lemah terhadap sesuatu yang lain. Manusia pasti memiliki pandangan hidup walau bagaimanapun bentuknya. Bagaimana kita memperlakukan pandangan hidup itu tergantung pada orang yang bersangkutan. Ada yang memperlakukan pandangan hidup sebagai sarana mencapai tujuan, dan ada pula yang memperlakukan sebagai penimbul kesejahteraan, ketentraman, dan sebagainya. Pandangan hidup banyak sekali macam dan ragamnya. Akan tetapi pandangan hidup dapat diklasifikasikan berdasarkan asalnya, yaitu terdiri atas tiga macam: (1) Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu pandangan hidup yang mutlak kebenarannya, (2) pandangan hidup yang berupa 10 11 ideologi yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang terdapat di negara tersebut, (3) pandangan hidup hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya.1 Pandangan hidup banyak macamnya, akan tetapi penulis membatasi pandangan hidup tokoh dalam naskah drama ini hanya pada pandangan hidup hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya. Oleh karena itu, pembahasan yang dilakukan meliputi pandangan hidup tentang cinta kasih kepada sesama manusia, pandangan hidup tentang penderitaan, tanggung jawab, dan harapan. Semua itu akan penulis deskripsikan melalui karakter tokoh Waska, pemeran utama dalam naskah drama ini. Penulis membatasi penelitian ini hanya pada pandangan hidup hasil renungan yang relatif kebenarannya saja, karena pandangan hidup yang berkaitan dengan ke-Tuhan-an dan juga tentang kenegaraan tidak tersurat dalam naskah ini. Tokoh dalam drama adalah manusia yang mengisi panggung, yang bermain serta mempunyai masalah-masalah sosial di lingkungannya. Ia juga merupakan manusia yang berpikir kemudian bertindak. Semuanya disajikan melalui dialog serta pengadeganan di atas panggung. Biasanya, masalahmasalah yang ditemui adalah “masalah-masalah sosial yang telah menghantui manusia sejak adanya peradaban manusia karena dianggap sebagai pengganggu kesejahteraan hidup mereka sehingga merangsang warga masyarakat untuk mengidentifikasi, menganalisa, memahami, dan memikirkan cara-cara untuk mengatasinya”.2 Manusia demi kelangsungan hidupnya harus mengadakan kerja sama dengan sesama manusia. Ada yang berdasarkan ikatan perkawinan, berdasarkan kesamaan profesi, dan lain sebagainya. Manusia dalam kehidupannya memiliki tiga fungsi, pertama sebagai makhluk Tuhan, kedua sebagai individu, dan ketiga sebagai makhluk sosial. Dari ketiga hal itu, manusia harus memulai peradaban yang baik, yaitu di mana sebagai makhluk individu harus memenuhi kebutuhan pribadinya. Menurut Koentjaraningrat, “peradaban ialah bagian-bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti 1 M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar, (Surabaya: Usaha Nasional: 1988), h. 173 Drs. Lies Sudibyo, dkk. Ilmu Sosial Budaya Dasar. (Yogyakarta: C.V Andi OFFSET, 2013), h. 3 2 12 kesenian”.3 Oleh sebab itu, dalam menjalani kehidupan ini, manusia haruslah berhati-hati dan memiliki rasa keindahan. Akan tetapi, yang ditampilkan dalam naskah ini adalah keadaan yang sebaliknya. Lakon yang bermain adalah kelompok manusia yang memiliki kesamaan nasib, yaitu nasib terbuang. Terbuang dari kebiasaan-kebiasaan yang seharusnya dijalani oleh manusia pada umumnya, karena “drama juga kadang-kadang mencemoohkan sepenuhnya pada tindakan amoral masyarakat”.4 1. Pandangan Hidup Tentang Cinta Kasih Menurut KBBI, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau rasa sayang (kepada), ataupun rasa sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan kata kasih, artinya perasaan sayang atau cinta (kepada) atau menaruh belas kasihan. “Cinta kasih adalah ungkapan perasaan yang diwujudkan dengan tingkah laku, seperti dengan kata-kata atau pernyataan, dengan tulisan, dengan gerak, atau dengan media lainnya”.5 Ungkapan itu dapat ditujukan kepada lawan jenis, orang tua, teman, dan lainnya. Misalnya ungkapan dengan kata-kata, yaitu, aku cinta kamu, aku sayang kamu, atau terimakasih telah menyayangiku setulusnya. Ungkapan dengan tingkah laku, misalnya pelukan, ciuman, menjabat tangan, dan rangkulan. Ungkapan dengan media misalnya dengan memberikan setangkai bunga, hadiah, dan sebagainya. Setiap manusia membutuhkan cinta kasih antarsesamanya, karena “cinta kasih adalah kebutuhan kodrati manusia yang merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia “.6 “Namun demikian, soal pemberian cinta kasih yang sempurna bukanlah yang hanya datang dari satu arah, misalnya dari orang tua saja, tetapi juga sebaliknya, dari anak ke orang 3 Dr. Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar edisi kedua (Bandung: Prenada Media Group, 2007), h. 45 4 Dr. Suwardi Endraswara, Teori Pengkajian Sosiologi Sastra (Yogyakarta: UNY Press, 2012), h. 52 5 Lies Soedibyo, Op,cit., h. 41 6 Ibid, h. 42 13 tuanya (to give and to take), jadi, cinta kasih baru terasa apabila ada dua pihak yang sama-sama saling menerima sekaligus juga saling member”.7 2. Pandangan Hidup Tentang Penderitaan Selain memiliki serta mengalami rasa cinta kasih, manusia juga memiliki atau juga pernah mengalami perasaan yang tidak menyenangkan seperti sakit hati, siksaan, dan rasa tidak enak, itu semua terjadi karena manusia memiliki perasaan dan pikiran. Rasa tidak enak ini kadang bersarang di dalam lingkungan kehidupan manusia, kadang juga di dalam hati atau dalam pikiran. Rasa tidak menyenangkan ini bisa berupa tidak mendapat pekerjaan, terasing, gagal dalam tujuan hidup, tidak memiliki cinta dan sebagainya. Perasaan-perasaan di atas adalah perasaan derita atau penderitaan. “Penderitaan dari kata derita yang berasal dari bahasa Sansekerta “dhra” artinya menahan atau mengannggung”.8 Biasanya, yang termasuk penderitaan ialah keluh kesah, kesengsaraan, kelapran, kekenyangan, kepanasan, daln lain-lain. “Penderitaan adalah beban fisik atau jiwa manusia yang dapat menekan diri manusia”.9 Penderitaan biasanya berupa rasa tidak menyenangkan yang sedang dialami oleh manusia dalam keadaan yang tidak diduga-duga. Penderitaan bersifat manusiawi, ia merupakan hal yang wajib kita alami. Koneksi antara perilaku manusia di dunia nyata dan kinerja sosial yang dramatis adalah dua hal yang saling terkait. Realitas dunia dan aktivitas sosial, hampir selalu ditampilkan dalam drama. Seakan-akan, drama juga memuat konvensi sebagai dokumen sosial. Ketika drama membangun gedung khusus untuk ritual dan pertunjukan dalam berbagai jenis, dari proses peradilan untuk bercinta, ketika kita menetapkan adegan dan berdandan atau dalam bentuk gaun yang diturunkan sedikit jelas konvensi ini ada kemiripan 7 Drs. Supartono Widyosiswoyo,M.M., Ilmu Budaya Dasar. (Bogor: Ghalia Indonesia, 1992), h. 50 8 Drs. Djoko Widagdho, dkk., Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 81 9 Lis Soedibyo, Op,cid., h. 120 14 dengan kehidupan sosial.10 Hingga sampai sekarang saya pahami, drama jelas merupakan sebuah interpretasi perilaku sosial sehari-hari dan tindakan konsekuensial yang ditawarkan secara estetis. 3. Pandangan Hidup Tentang Tanggung Jawab Setelah rasa cinta kasih dan penderitaan, manusia juga memiliki pandangan tentang tanggung jawab dan harapan. Sebagai manusia yang normal, tentulah mempunyai tanggung jawab dan harapan dalam hidupnya. Hidup manusia di samping sebagai makhluk Tuhan dan makhluk individu, juga merupakan makhluk sosial, hidup dalam lingkungan masyarakat. Di dalam interaksi sosial manusia diberi tanggung jawab, di samping ia memiliki hak juga memiliki kewajiban, dituntut adanya pengabdian dan pengorbanan. Sebagai makhluk sosial yang beradab dan berbudaya manusia menilai dan dinilai. Oleh karena itu, untuk mengerti dan menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya itu baik atau tidak baik, maka dilakukan pertimbanganpertimbangan. Tanggung jawab adalah ciri manusia beradab. Dengan demikian tanggung jawab berfungsi menyadari akibat baik buruknya perbuatan yang dilakukan manusia. Menurut Suyadi MP, “tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja, tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya”.11 “Apabila dikaji, tanggung jawab itu adalah kewajiban atau beban yang harus dipikul atau dipenuhi sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat, atau akibat dan perbuatan pihak lain, atau sebagai pengabdian, pengorbanan pihak lain”.12 Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, dan mati, dan seterusnya, serta terkait serta berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam 10 Suwardi, Op,cit., h. 52-53 Lies Soedibyo, Op,cit., h. 103 12 Ibid, h. 102 11 15 sebuah hubungan timbal balik baik itu positif, maupun negatif.13 4. Pandangan Hidup Tentang Harapan Sebagai manusia, selama ia masih hidup, pastilah memiliki perasaan berharap. Perbuatan atau tindakan yang mengandung motif, merupakan tindakan yang mempunyai pengharapan, artinya bahwa tindakan-tindakan itu ditujukan pada satu titik sasaran akhir, yaitu sebagai hasil imbalan atau upah dari jerih payah yang telah dilaklukannya. Menurut KBBI, harapan adalah keinginan untuk dijadikan kenyataan. Oleh karena itu, harapan adalah keinginan yang timbul dalam diri manusia berupa cita-cita atau keinginan yang akan dicapainya lewat perbuatan serta tindakan. Tindakan dan perbuatan itu bisa bersifat pisitif dan negatif. Bekerja dan belajar tanpa mengenal lelah adalah wujud pengekspresian untuk mewujudkan harapan. Harapan-harapan itu meliputi: “harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup, memperoleh keamanan, untuk memiliki hak dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai, memperoleh status atau untuk diterima atau diakui di lingkungannya, dan harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita”14. B. Hakikat Drama 1. Pengertian Drama dan Naskah Drama “Drama adalah salah satu bentuk genre sastra. Kata drama berasal dari bahasa Yunani Dramoi yang artinya berbuat, bertindak, bereaksi, dan menirukan”.15 “Drama atau sandiwara adalah seni yang mengungkapkan pikiran atau perasaan orang dengan mempergunakan laku jasmani, dan ucapan kata-kata”.16 Ini maksudnya adalah drama merupakan bagian dari 13 Elly, Op,cit., h. 178 Djoko Widagdho, Op,cit., h.187 15 Sihabudi, dkk, Bahasa Indonesia 2 edisi pertama (Surabaya: Amanah Pustaka, 2009), 14 h. 7 16 Rendra, Seni Drama Untuk Remaja, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1993), h. 97 16 seni yang tidak hanya berkumpul dalam imaji seseorang, melainkan dipertontonkan di hadapan orang banyak/penonton. Drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. “Selain didominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh”.17 Drama, yaitu kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan atau diproyeksikan di atas pentas sebagai suatu bentuk kwalitet komunikasi, situasi, aksi, (dan segala apa yang terlihat dalam pentas baik secara obyektip maupun subyektip) yang menimbulkan perhatian, kehebatan, keterenyuhan, dan ketegangan perasaan pada pendengar atau penontonnya di mana konflik sikap dan sifat manusia sebagai tulang punggungnya.18 Drama, like poetry and fiction, is an art of words—mainly words of dialogue. People talking is the basic dramatic situation. Drama is distinguished from the other forms of literature by performability and by the objectivity that performability implies.19 Dilihat dari beberapa pengertian drama di atas, drama memiliki dua dimensi, yaitu drama sebagai teks sastra dan drama sebagai seni pertunjukan atau seni lakon. Drama sebagai seni pertunjukan atau seni lakon adalah perpaduan yang harmonis antara sekian banyak seni yang mewujudkan suatu kisah kehidupan di atas pentas. Pertunjukan drama haruslah indah dan menjelma menjadi kenikmatan yang diterima oleh pikiran penontonnya. Naskah drama akan senantiasa berada di dalam pikiran pembaca saja jika tidak dipentaskan. Akan tetapi, jika naskah drama itu sudah berada di tangan seorang sutradara, pastilah kita akan melihat potret kehidupan yang ada di sekitar kita. Sedangkan sebagai genre 17 Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra (Magelang: Indonesia Tera, 2006), h. 95 Adhy Asmara dr, Apresiasi Drama, (Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya, 1979), h. 12 19 Nine plays, Modern Drama, (Oslo: Uversity Of Oslo), h. ix 18 17 sastra, drama ditulis dengan menggunakan bahasa yang memikat dan elegan. Drama dapat ditulis oleh pengarangnya dengan menggunakan bahasa yang puitis. Adapun para ahli yang memberikan definisi kata drama, yaitu: Aris Toteles Mendefinisikan drama sebagai tiruan manusia dalam gerak-gerik. Menurut Balthazar Verhagen, drama adalah kesenian yang melukiskan sikap dan sifat manusia dengan gerak. Moulton mendefinisikannya sebagai kehidupan yang dilukiskan dengan gerak. Ferdinand Brunetierre mendefinisikan drama sebagai kehendak manusia yang diungkapkan dengan action. Sedangkan Alvin B. Kernan menjelaskan bahwa drama berasal dari kata “dram”yang berarti berbuat (to do) atau (to act).20 “Menurut John E. Dietrich, “drama adalah suatu ceritera dalam bentuk dialog (antawacana) tentang konflik (pertentangan) manusia, diproyeksikan dengan ucapan dan perbuatan dari sebuah panggung kepada penonton”.21 Dengan kata lain “drama merupakan bentuk yang paling kongkrit yang secara artistik dapat menceritakan kembali situasi kemanusiaan, dan hubungan kemanusiaan”.22 Sebagai istilah “drama” dan “teater” ini datang atau kita pinjam dari khazanah kebudayaan Barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah ini adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani yang pada awalnya, baik drama maupun teater muncul dari rangkaian upacara keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap para dewa.23 Pada masa awal pertumbuhannya di Barat, sebagai bentuk upacara agama, drama dilaksanakan di lapangan terbuka. Para penonton duduk melingkar atau membentuk setengah lingkaran, sedangkan upacara dilakukan di tengah 20 Drs. Hasanuddin, M.Hum, Drama Karya dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa, 1996), h. 2 21 R.H. Prasmadji, B.A, Teknik Menyutradarai Drama Konvensional, (Jakarta: Balai Pustaka: 1984), h. 10 22 Rizanur Gani, Pengajaran Sastra Indonesia, (Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan: 1988), h. 253 23 Melani, Op,cit., h. 99 18 lingkaran tersebut. sementara pada teater di Yunani khususnya, tempat penonton berada membentuk setengah lingkaran yang semakin besar radiusnya, semakin tinggi tempat duduk penonton bersangkutan.24 “Perkembangan drama, pada gilirannya kemudian memperlihatkan adanya pergeseran dari ritual keagamaan menuju kepada suatu eratoria, suatu seni berbicara yang mempertimbangkan intonasi untuk mendapatkan efektivitas komunikasi”.25 Dari oratoria ini, kemudian perkembangan memperlihatkan adanya dua kecenderungan besar. Di satu pihak, ada kecenderungan eratoria yang sarat dengan musik sebagai elemen utamanya, yang hingga kini kita kenal dengan teater, dan dipihak lain muncul pula bentuk eratoria yang hanya mengandalkan cakapan atau dialog sebagai elemen utama seperti yang kini kita kenal sebagai naskah drama. “Naskah berasal dari bahasa Inggris manuskrip dan bahasa Prancis manuscript, karangan yang ditulis tangan atau diketik, yang dipergunakan sebagai dasar untuk mencetaknya".26 Naskah pada umumnya adalah sebuah tulisan tangan yang dibukukan, yang bercerita tentang kehidupan yang sangat lengkap dan panjang. Sedangkan naskah drama adalah kumpulan dialog serta terdapat alur pemanggungan di dalamnya. Naskah drama juga bisa diartikan sebagai rentetan tanya jawab antar lakon/peran yang dibalut dengan bahasa keseharian. Walaupun semua karya sastra sudah dipentaskan di kepala pembacanya, tetapi tetap saja naskah drama yang ditulis dalam bentuk dialog memiliki kemungkinan akan dipentaskan. Naskah drama juga sama halnya dengan prosa dan novel, memiliki konflik dan unsur intrinsik yang sama. Hanya saja naskah drama berbentuk dialog dan merupakan bahan dasar sebuah pementasan. Tidak akan sempurna sebuah naskah drama apabila tidak dipentaskan. 24 Ibid, h. 99 Ibid, h. 100 26 Hasanuddin M. Hum, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Penerbit Titian Ilmu Bandung, 2004) 25 19 “Naskah drama adalah suatu cerita drama dalam bentuk antawacana (dialog) atau dalam bentuk tanya jawab antarpelaku”.27 Naskah drama sangat beragam coraknya, ada naskah drama yang ringan, berbobot, dan ada pula yang rumit, naskah drama yang berbobot (baik) adalah naskah yang bersifat naratif dan konflik karakter, karena mudah dimengerti baik sebagai karya sastra maupun sebagai seni pertunjukan.28 Suatu naskah drama yang baik adalah naskah yang memiliki persyaratan nilai dramatik dan teatrikal, yaitu tidak mengandung masalah yang atau pertanyaan yang sulit ditemukan jawabannya, dialognya menggunakan bahasa keseharian, dan tema yang diungkapkan menyangkut soal kehidupan. Naskah yang rumit yaitu naskah yang alur ceritanya sulit ditangkap, temanya anti tema, plotnya anti plot, sehingga jika dipentaskan, penonton harus membacanya terlebih dahulu. Bagaimanapun naskah drama adalah ciptaan manusia yang harus mengandung keindahan dan hakikatnya tersimpul dalam suatu perpaduan yang harmonis antara kehidupan perasaan yang indah yang ditulis oleh seniman. Sebagai karya sastra ia menjelma dalam kata-kata, sedangkan dalam pertunjukan ia menjelma dalam perpaduan yang harmonis antara sekian banyak seni yang mewujudkan suatu kisah kehidupan di atas pentas. Sifat-sifat naskah yaitu: (1) estetis, mencerminkan dan memupuk rasa keindahan, (2) etis, membimbing kea rah peradaban dan kesusilaan bangsa dan manusia, (3) edukatif, membawa ke arah kemajuan (bersifat mendidik), (4) konsultif, memberikan penerangan dan penyuluhan atas problema dalam masyarakat, (5) rekreatif, memberikan hiburan kepada publik atau penonton.29 2. Karakteristik Drama dan Bagian Pembantu Drama Pada umumnya, drama memiliki dua dimensi, yaitu drama sebagai karya sastra yang memiliki unsur cerita dan juga sebagai seni pertunjukan 27 R.H. prasmadji, B.A, Op,cit., h. 17 Tuti Mutia, Religiusitas naskah drama Kapai-KapaiKarya Arifin C. Noer, Skripsi, tidak dipublikasikan, 2012, h. 15 29 Ibid, h. 16 28 20 yang tidak terlepas dari seni lakon dan seni teater. Biarpun kedua aspek tersebut terpisah, yang satu berupa naskah dan yang satu lagi berupa pementasan, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah. Naskah drama ditulis dengan memperhatikan segi pemanggungan, sedangkan pementasan tidak terlepas dari alur naskah itu sendiri. Drama memiliki jenis berdasarkan temanya, yaitu drama tragedi atau duka cerita, yaitu drama yang penuh dengan kesedihan, kemalangan. Hal ini disebabkan pelaku utama dari awal cerita sampai akhir pertunjukan senantiasa kandas dalam melawan nasibnya yang buruk. Contoh lakon drama tragedi yang buruk adalah Kapai-kapai karya Arifin C. Noer.30 Komedi atau suka cerita yaitu drama penggeli hati. Di mana isinya penuh dengan sindiran atau kecaman terhadap orang-orang atau suatu keadaan pelaku yang dilebih-lebihkan, drama tragedi dan komedi, yaitu drama yang penuh dengan kesedihan, tetapi juga hal-hal yang mengembirakanmenggelikan hati, opera, yaitu drama yang berisikan nyanyian dan musik pada sebagian besar penampilannya, operette, yaitu drama jenis opera tapi yang lebih pendek, tableau, drama tanpa kata-kata dari si pelaku, mirip pantomim, dagelan, yaitu suatu pementasan cerita yang sudah dipenuhi unsur-unsur lawakan/badutan, drama minikata, yaitu drama yang pada saat dipentaskannya boleh dikatakan hampir tidak menggunakan dialog sama sekali, dan sendratari, seni drama tari, tanpa dialog dari pemainnya. Dilihat dari jenis drama yang telah dipaparkan, Umang-umang Atawa Orkes Madun II ini termasuk ke dalam drama jenis tragedi atau duka cerita. “Sebagai naskah lakon atau naskah yang akan dipentaskan, drama memiliki beberapa bagian pembantu, antara lain: (1) Babak, merupakan bagian terbesar dalam sebuah lakon drama. Lakon itu sendiri bisa saja hanya terdiri dari satu, dua, tiga, atau empat babak dan mungkin pula lebih”. 30 31 Dalam lakon Umang-umang Atawa Orkes Madun II ini terdiri Adhy asmara, Op,cit., h. 50 Ibid, h. 46 31 21 dari 3 babak dan 76 halaman. Dan di setiap babaknya ditandai dengan bunyi lonceng. ”Bagian pertama. Lonceng dua kal”.32(2) Adegan, adalah bagian dalam babak lakon drama. Sebuah adegan hanya akan menggambarkan satu suasana yang merupakan rangkaian dari rentetan suasana-suasana yang terdapat dalam pembabakan lakon drama tersebut. “Rombongan waska makin banyak muncul tak beraturan untuk kemudian menyebar dan menyelinap menjauhi pentas.”33(3) Prolog, kata pendahuluan dalam suatu lakon drama sebagai pengantar tentang suatu lakon yang akan disajikan nanti kepada penonton. Dalam naskah drama ini, tidak terdapat prolog, tetapi langsung diawali dengan bunyi lonceng dan adegan. Mungkin jika dipentaskan, prolog akan dibuat oleh seorang sutradara. (4) Dialog atau percakapan, tapi akan lebih tepat kalau disebut wawankata karena antara tokoh-tokoh dalam lakon drama satu sama lainnya adalah lawan untuk kata-kata yang dilemparkan oleh masingmasing tokoh itu sendiri. Waska : Borok!! Borok : Gua di kuburan cina, Waska34 (5) Monolog, adalah percakapan seorang pelaku (aktor) dengan dirinya sendiri.35 Waska: Aku pernah mengharap, tapi aku tidak pernah mendapat. Aku pernah memilih, tapi aku ditolak, selalu ditolak. Kemiskinan telah menodongku, kelaparan telah menodongku dan aku tak rela dicincang oleh kemiskinan dan kelaparan, maka kutodongkan 36 kekayaan dan makanan. 32 Arifin C. Noer, Umang-umang atawa Orkes Madun II, tidak dipublikasikan, h. 1 Ibid, h. 1 34 Ibid, h. 3 35 Adhy asmara, Op,cit., h. 48 36 Arifin, Op,cit., h. 24 33 22 C. Unsur Intrinsik Drama “Drama naskah disebut juga sastra lakon”.37 Sebagai salah satu bentuk karya sastra, maka drama tidak terlepas dari unsur intrinsik sebuah karya seperti pada roman maupun puisi. Kesenian drama, meskipun merupakan seni yang otonom, tetapi ia juga merupakan gabungan dari unsur-unsur kesenian lain; seperti karya sastra dalam penulisan lakonnya, seni peran atau seni laku yang dikenal lebih lanjut dengan mimik atau pantomimik, seni deklamasi dan kadang-kadang ditambah pula dengan seni musik, seni suara, seni tari. Daya tarik lainnya dengan adanya seni arsitek teater yang mempunyai ciri-ciri yang khas. Tetapi dari kesemuanya itu, unsur yang paling pokok dalam seni drama, yaitu, pemain (lakon dalam pertunjukan), panggung (tempat pertunjukan), dan penonton. Apabila salah satu di antara ketiga tersebut tidak ada, maka drama tidak dikatakan sebagai seni pertunjukan. “Sebagai prosa, khususnya, pada karya drama pun dapat dijumpai pula adanya elemen-elemen tokoh, alur, dan kerangka situasi cerita yang saling menunjang satu dengan lainnya”.38 Sebagai pembaca karya sastra, khususnya drama, tugas kita tidaklah habis hanya dengan membaca saja, akan tetapi ada hal-hal yang harus kita ketahui atau kita pelajari, misalnya, bagaimana cerita itu tercipta atau apa yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Untuk itu, kita perlu mengkajinya, karena hal-hal tersebut tidak disampaikan secara eksplisit oleh pengarang. 1. Tema Hal pertama yang harus kita ketahui dalam sebuah karya drama adalah tema. “Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan”.39 Setiap karya sastra, 37 Herman J Waluyo, Drama: Teori dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2001), h. 6 38 Melani, Op,cit., h. 106 39 Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 68 23 termasuk drama pasti memiliki tema yang merupakan gagasan umum dari keseluruhan cerita, tema itu sendiri membicarakan tentang ide pokok atau hal yang mendasari isi cerita. Tema tidak disampaikan langsung oleh pengarang kepada pembaca, akan tetapi ia hadir secara implisit melalui isi cerita. “Tema merupakan “struktur dalam” dari sebuah karya sastra”.40 Dalam drama, tema akan dikembangkan melalui alur dramatik dalam plot oleh tokohtokoh dengan perwatakan yang memungkinkan konflik dan diformulasikan dalam bentuk dialog. Dialog tersebut yang merunutkan tema dari para lakon/naskah. “Semakin kuat, lengkap, dan mendalam pengalaman jiwa pengarangnya akan semakin kuat tema yang dikemukakan”.41 Tema yang kuat, lengkap, dan mendalam biasanya lahir karena pengarang berada dalam suasana jiwa yang luar biasa. Suasana di mana ia menjadi lakon dalam naskah/pementasannya. Konflik batin di dalam sebuah naskah drama haruslah benar-benar dihayati oleh pengarang, karena dengan tema semacam itu, pembaca akan lebih mudah dan cepat menangkap dan menafsirkan tema yang dimaksud oleh pengarang. 2. Plot/Alur Plot merupakan unsur utama pembangun karya drama. Plot atau alur sebuah cerita ini sangat penting tujuannya karena untuk melihat kesinambungan antara masing-masing penyajian peristiwa dalam karya sastra. Stanton mengemukakan bahwa “plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain”.42 Plot ini sendiri merupakan kegiatan dalam memilih cerita, misalnya di tahap awal itu dinamakan pengenalan, jadi setiap cerita terdapat bagiannya yang sudah disusun secara apik dan indah oleh pengarang. Tahapan di dalam plot berfungsi untuk mengetahui urutan waktu penceritaan sebagaimana tahapan awal di dalam sebuah karya berisikan tentang informasi penting yang 40 Herman, Op,cit., h.26 Ibid, h. 24 42 Burhan, Op,cit., h. 113 41 24 berkaitan dengan peristiwa-peristiwa pada tahap selanjutnya. Biasanya, tahap pertama disebut tahap pengenalan. Pada tahap ini pengarang memperkenalkan tokoh-tokoh dramanya dengan watak masing-masing. Pada tahap kedua, alur peristiwa yang terjadi di dalam sebuah karya biasanya ditandai dengan adanya konflik antarpelaku yang merupakan bagian paling menegangkan di dalam sebuah karya. biasanya konflik di sini tidak terlalu serius, hanya pertikaian awal antarpelaku atau masalah yang dialami oleh para lakon. Dari tahap pengenalan sebelumnya, sekarang sudah lebih mendalam karena adanya pertikaian. Kemudian tahap ketiga yang merupakan tahap klimaks atau titik puncak cerita. biasanya, konflik yang meningkat itu akan meningkat terus sampai mencapai titik gawat dari sebuah cerita. Pengarang yang pintar memanjakan pembaca, pasti akan dibuat geregetan karena keingintahuan pembaca terhadap akhir cerita yang dibaca. Akhirnya, tahap ini disebut tahap peleraian yang menampilkan adegan klimaks suatu karya. Di mana dalam tahap ini konflik sudah mereda atau menurun. Tokoh-tokoh yang memanaskan situasi atau meruncingkan konflik telah mati atau menemukan jalan pemecahan. Dalam naskah drama Arifin C. Noer, biasanya akhir dalam ceritanya membutuhkan penjelasan akhir seperti cerita dalam wayang. Akan tetapi dalam naskah drama yang dibahas ini, akhir ceritanya menggantung karena merupakan naskah caturlogi yang berkesinambungan dengan naskah-naskah yang lainnya. Naskah drama Umang-umang ini merupakan serial kedua dari caturlogi Orkes Madun, maka dari itu akhir ceritanya tidak ada penjelasan. 3. Tokoh dan Penokohan Berbicara tentang plot dan unsur lainnya, tokoh dan penokohan di dalam sebuah karya tidaklah boleh terlupakan, hal ini sangat penting karena tanpa adanya tokoh (pemain) di dalam sebuah karya, maka tidak akan ada yang mencipta peristiwa dan tidak akan ada konflik dalam peristiwa tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Waluyu, mengemukakan “penokohan ialah cara pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana 25 ia menggambarkan watak tokoh-tokoh itu”.43 Tokoh di dalam sebuah cerita haruslah jelas dan memiliki karakter yang kuat untuk membangun cerita dan menciptakan suasana yang merujuk pada sifat dan sikap para tokoh sehingga dapat ditafsirkan oleh pembaca. “Tokoh menurut Abrams, adalah orang(orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”.44 Tokoh memanglah ciptaan pengarang dari imajinasinya, tapi tokoh merupakan seseorang yang hidup secara wajar sebagaimana ia menjalani kehidupan ini. Berlaku baik, memiliki moral yang bagus, dan merencanakan berbagai hal selayaknya manusia yang memiliki kehidupan dan kebiasaan. Tokoh atau penokohan erat kaitannya dengan perwatakan. Di dalam sebuah drama, watak tokoh disajikan melalui dialog-dialog yang dilontarkan oleh para lakon. Biasanya, hal itu berhubungan dengan nama, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan, dan keadaan jiwanya. Pada naskah drama Arifin ini, tokohtokoh disajikan lewat sutradara yang memainkan dramanya sendiri yaitu sebagai tokoh utama. Ia sangat jelas menggambarkan keadaan fisik serta kejiwaan tokoh tersebut. “Dalam wayang kulit atau wayang orang, tokohtokohnya sudah memiliki watak yang khas, yang didukung pula dengan gerakgerik, suara, panjang pendeknya dialog, jenis kalimat, dan ungkapan yang digunakan”.45 Ciri khas naskah drama Arifin adalah dalam tokohnya ia menyisipkan tokoh wayang sebagai pusat cerita atau malah membalikkan watak yang sebenarnya dimiliki wayang menjadi berbeda di tangannya. Akan tetapi tetap saja ia tidak terlepas oleh ketradisionalan dalam karyanya. 4. Dialog Ciri khas suatu drama adalah naskah yang berbentuk percakapan atau dialog. Ragam bahasa dalam dialog antar tokoh merupakan ragam lisan yang 43 Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2000), h. 30 Burhan, Op,cit., h. 165 45 Herman, Op,cit., h. 14 44 26 komunikatif. Untuk mengetahui sifat dan sikap seorang tokoh, dalam karya drama, kita mengetahuinya lewat dialog-dialog yang berfungsi sebagai tuturan dari tokoh satu ke tokoh lainnya. Di dalam dialog terdapat informasi tentang cerita, atau ide-ide, bahkan hal-hal yang bersifat pandangan hidup. Dialog dalam drama haruslah ragam bahasa tutur karena jika pembicaraan sepasang kekasih tidaklah harus menggunakan kelengkapan bahasa. Dialognya haruslah akrab dan intim, jika kalimatnya lengkap, maka dialog antarkekasih tersebut tidak akan hidup. Dialog merupakan kumpulan tanya-jawab antarpelaku yang berfungsi menciptakan peristiwa di dalam karya drama. Salah satu hal yang membedakan karya drama dengan karya yang lainnya yaitu, bahwa karya drama berbentuk dialog. Dialog melancarkan cerita atau lakon, mencerminkan pikiran tokoh cerita, mengungkapkan watak para tokoh cerita, dan dialog juga berfungsi menggerakan cerita dan melihat watak atau kepribadian tokoh cerita. Biasanya pada awal cerita dialog-dialog yang disajikan adalah dialog yang panjang, karena sebagai penjelasan tentang tokoh-tokoh yang dimaikan. “Dialog juga harus bersifat estetis, artinya memiliki keindahan bahasa”.46 Hal ini disebabkan karena kenyataan yang ditampilkan di pentas harus lebih indah dari kenyataan yang benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam naskah drama umang-umang yang akan dibahas ini pun memiliki keindahan dialog yang disajikan, karena naskah drama juga merupakan keperluan pementasan dan juga merupakan karya sastra. Maka dari itu, bahasa yang digunakan haruslah mengandung keindahan bahasa dan tetap saja mengandung unsur bahasa lisan atau bahasa keseharian. Seorang pengarang drama yang sudah berpengalaman tentulah akan mampu memadukan unsur estetis dan unsur komunikatif itu. Arifin C. Noer adalah salah satu pengarang yang memadukan unsur kecapakan tersebut, karena pada saat mencipta karya drama, pengarang yang berasal dari pentas seni ini akan membayangkan kemungkinan pementasan. 46 Ibid, h. 21 27 5. Latar/Setting Selain berbentuk dialog, drama juga tidak terlepas oleh “latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan”.47 Latar termasuk bagian penting di dalam sebuah karya drama, karena dari situ pembaca akan mengetahui kejadian apa dan kapan peristiwa itu terjadi. Jika di dalam pementasan, latar berperan untuk memudahkan pemain sekaligus sutradara untuk merealisasikan kegiatannya di panggung. Membaca sebuah karya drama, tentu saja kita dihadapkan pada tempat atau lokasi-lokasi kejadian serta waktu kejadian peristiwa, misalnya, nama kota, nama jalan, desa, pagi, sore, malam, dan lain-lain yang menandai jalannya alur cerita. Menurut Sudjiman, unsur yang membangun latar dapat dikatakan “bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan, yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra”.48 Latar dalam karya sastra tidak benar-benar disajikan pengarang secara jelas dan gamblang, melainkan mereka bersifat eksplisit, seperti kepercayaan, kebudayaan, adat istiadat, dan sebagainya. Begitu juga pada latar waktunya tidak dijelaskan dengan angka, tetapi disajikan lewat peristiwa yang sedang terjadi pada saat itu. Ini dimaksudkan agar pembaca tidak hanya terfokus pada karya drama itu saja, tetapi menelusuri lebih dalam lagi apa yang terjadi dan apa yang dimiliki oleh latar yang membawa peristiwa itu terjadi. “Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial”.49 Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat dengan namanama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Kejelasan waktu dalam karya drama 47 Burhan, Op,cit., h. 216 Nani Tuloli, Op,Cit., h. 52 49 Burhan, Op,cit., h. 227 48 28 biasanya ditandai keadaan sosial di suatu daerah tertentu, keadaan yang sedang hangat dibicarakan bahkan dialami oleh sebagian masyarakat. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.50 Bagi pembaca, latar sosial disajikan oleh pengarang lewat status sosial tokoh, kebiasaan hidup, adat istiadat, pandangan hidup, tradisi, cara berpikir, cara bertindak, dan juga keyakinan. 6. Amanat Di setiap karya sastra, ada hal-hal yang mengilhami kita atau hal yang harus kita ambil dan kita perbaiki untuk kehidupan kita. Sebut saja itu adalah upah kita setelah beberapa waktu membacanya bahkan mementaskannya (untuk karya drama). Hal itu, dalam karya fiksi disebut amanat. Amanat sendiri lahir ketika kita sudah selesai membaca, mengkaji, bahkan mementaskannya. Ia berisi pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca lewat tulisannya. Amanat dalam sebuah drama akan lebih mudah dihayati, jika drama itu dipentaskan. Amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis. Ia merupakan pesan dari pengarang yang memerlukan penafsiran sebagai bentuk bahwa kita mampu memetik manfaatnya. Setiap pembaca berbeda-beda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya, dan semuanya cenderung dibenarkan. Misalnya seperti kisah wayang yang diambil dari Mahabarata biasanya memberikan amanat bahwa kebaikan akan mengalahkan kejahatan. Amanat tersebut merupakan perang bagi diri sendiri yang sebagai manusia memiliki sisi baik dan sisi jahat. Begitulah drama yang dipentaskan memang sangatlah lekat dengan kehidupan kita. “Dalam naskah drama diperlukan juga petunjuk teknis, yang sering pula disebut teks samping”.51 Teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas, musik, keluar masuknya aktor atau 50 Ibid, h. 233 Herman, Op,cit., h. 29 51 29 aktris, keras lemahnya dialog, dan sebagainya. Teks samping ini biasanya ditulis dengan tulisan yang berbeda dari dialog, biasanya ditulis miring atau huruf kapital semua. Dalam naskah drama Umang-umang ini, teks samping ditulis dengan hurup kapital. Teks samping sangat berguna untuk memberikan petunjuk kepada pemain jika naskah drama ini dipentaskan, dan juga kepada pembaca jika tidak dipentaskan. Untuk keperluan pementasan, teks samping memberikan petunjuk kapan aktor harus diam, jeda antarkedua pemain, suara berbisik, keadaan pemain seperti batuk, dan sebagainya. Di dalam naskah itu dijelaskan secara jelas dan gamblang, yang berbeda hanya di dalam naskah drama hal itu ditulis, sedangkan dalam pementasan teks samping berupa panduan atau bisa disebut bukan dialog. D. Unsur Ekstrinsik Drama Unsur ekstrinsik merupakan unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung, ia memengaruhi terciptanya sebuah karya lewat latar belakang sosial pengarang. “Ekstrinsik ialah unsur-unsur pengaruh luar (eksplanasi) dan unsur lahiriah yang terdapat dalam karya sastra itu”.52 Menurut Welleck dan Warren, bagian yang termasuk unsur “ekstrinsik karya sastra adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya”.53 Misalnya karya Arifin ini, ia memasukan unsur Cirebon lewat nama-nama tokoh dalam naskahnya. “Unsur ekstrinsik berikutnya adalah keadaan psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya”.54 Misalnya keadaan psikologis pengarang memengaruhi keadaan tema, bahasa, serta alur cerita dalam karyanya. 52 P. Suparman Natawijaya, Apresiasi Sastra dan Budaya, (Jakarta: PT Interma, 1982), h. 101 53 Burhan, Op,cit., h. 24 Ibid, h. 24 54 30 E. Drama sebagai Media Pembelajaran “Pengajaran drama di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu: (1) pengajaran teks drama yang termasuk sastra, dan (2) pementasan drama yang termasuk bidang teater”.55 Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar-mengajar yang digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, serta keterampilan siswa sehingga terjadinya proses pembelajaran. Sebagai media pembelajaran, drama dapat dikategorikan sebagai pembelajaran teori drama dan pembelajaran apresiasi drama.Masing-masing pembelajaran ini terdiri atas dua jenis, yaitu teori tentang teks naskah drama dan apresiasi pementasan drama. Dalam apresiasi itulah, naskah maupun pementasan adalah hal penting karena teori termasuk dalam kawasan kognitif, dan apresiasi dalam kawasan afektif. Untuk meningkatkan daya apresiasi siswa, maka langkah yang ditempuh adalah meningkatkan kemampuan membaca karya sastra, dalam hal ini adalah naskah drama. Hal ini dimaksudkan agar siswa memiliki pengetahuan luas tentang sastra, seni, dan budaya yang terkandung di dalam drama (baik dalam segi pementasan dan teori serta karya). Mempelajari naskah drama, dapat memperkaya kemampuan membaca dan memahami jalan cerita, tema, masalah tentang masyarakat, dan juga melalui dialog-dialog pelakunya, siswa juga belajar tentang bahasa lisan dan kemampuan tampil percaya diri di depan kelas.Pengajaran drama juga dapat melatih keterampilan berbahasa siswa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Siswa akan menyimak naskah yang dibacakan oleh siswa lainnya yang kemudian ia menganalisis naskah tersebut menjadi tulisan yang kemudian membacakan juga hasil analisisnya di depan kelas.Drama sangat penting bagi bagi pendidikan karena dapat mengungkapkan lebih banyak tentang kemanusiaan dalam segala kekompekan dan konflik-konfliknya itulah yang membentuk pembelajaran drama. “Drama tidak hanya cermin 55 Herman, Op,cit., h. 156 31 lingkungan, tetapi juga membantu kita untuk menumbuhkan rasa simpati, imajinasi, dan pengertian”. menanggulanginya, 56 Drama yang baik diajarkan di sekolah harus memiliki tujuan-tujuan khusus, yaitu: (1) pengembangan kenikmatan dan keterampilan membaca dan menafsirkan drama, dan memperkenalkan siswa dengan sejumlah karya yang signifikan. (2) pengenalan tradisi drama dan dan peranannya dalam sejarah kemanusiaan. (3) pengembangan dasar dan citrarasa terhadap drama, film, dan televise. (4) perangsangan perhatian terhadap permainan drama dari penunjangan selera masyarakat. (5) peningkatan pengertian siswa tentang pentingnya drama sebagai sumber pemekaran kawasan terhadap masalah-masalah pribadi dan sosial.57 Apabila tujuan-tujuan di atas dapat dilaksanakan dengan baik, maka drama mendapat tempat di dalam kurikulum, sehingga keterampilanketerampilan drama dapat dikembangkan dalam bentuk proses belajarmengajar yang terpola. F. Penelitian yang Relevan Adapun penelitian yang relevan ini dilakukan untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan seperti menyontek karya orang lain dan sebagainya. Untuk menhindari hal-hal tersebut, akan penulis paparkan tentang perbedaan di antara masing-masing judul dan masalah yang dibahas. Skripsi yang berjudul “Religiusitas Naskah Drama Kapai-Kapai Karya Arifin C. Noer dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Drama” karya Tuti Mutia ini adalah skripsi Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2013. Mendeskripsikan tentang nilai-nilai religi yang terkandung dalam naskah tersebut. Hasil penelitiannya meliputi: Pertama, religiusitas otentik atau religiusitas secara langsung, yaitu penuntutan ke arah yang lebih baik, dalam hal ini adalah sikap tolong-menolong, kesungguhan, kepasrahan, dan 56 Rizanur Gani, Op,cit., h. 258 Ibid, h. 260 57 32 ketakwaan. Kedua, religiusitas agamis atau religiusitas tidak langsung dalam menanggapi Tuhan, manusia melewati jalur agama tertentu yang bersifat formal dan resmi (bukan syariat): I’tikadiyah, amaliyah. Naskah drama Kapaikapai karya Arifin C. Noer merupakan naskah yang religiusitas yang religiusitas yang ditampilkan melalui tokoh utama dan kakek sebagai tokoh tambahan. Nilai religi yang disampaikan pengarang dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang sesuai dan mendidik.58 Persamaan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sama-sama meneliti naskah drama dan pengarangnya yang sama. Sedangkan perbedaannya adalah objek yang dikajinya. “Semiotika dalam Naskah Drama Umang-umang Karya Arifin C. Noer” oleh Soediro Satoto. Mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 1997 ini, penelitiannya berisi tentang semiotik karya, yaitu mengkaji simbol-simbol yang terdapat dalam naskah drama. Persamaan pada penelitian ini, yaitu samasama meneliti judul naskah drama dan pengarang yang sama. Sedangkan perbedaannya terdapat pada hasil kajiannya. “Watak dan Perilaku Tokoh Jumena Martawangsa Dalam Naskah Drama Sumur Tanpa Dasar Karya Arifin C. Noer”. Skripsi ini ditulis oleh Muhammad Imam Turmudji, seorang mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra di Universitas Semarang pada tahun 2003. Tujuan dalam penelitian ini mendeskripsikan watak dan perilaku tokoh Jumena dan fungsi tokoh Jumena sebagai pemantik konflik. Hasil penelitiannya menunjukkan berbagai macam watak dan perilaku tokoh Jumena dan fungsi tokoh Jumena sebagai pemantik konflik damlam naskah drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer. Persamaan pada penelitian ini yaitu sama-sama meneliti naskah drama dari pengarang yang sama. Sedangkan perbedaan pada penelitian ini adalah naskah yang dikaji dan hasil kajiannya.59 Berdasarkan penelitian sebelumnya yang penulis paparkan di atas, skripsi berjudul Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umangumang atawa Orkes Madun II ini belum pernah ada yang menggunakan judul 58 Tuti Mutia, h. i http://journal.unnes.ac.id/sju/indexphp/jsi/article/iew/2390, diunduh pada 10 Maret 20014 pukul 20.00 59 33 yang sama. Oleh karena itu, peneliti mengangkat judul tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana. BAB III BIOGRAFI Bab ini berisi tentang riwayat hidup Arifin C. Noer, seorang sineas dan juga seorang dramawan yang karya tulisnya menjadi objek penelitian penulis dalam pembuatan skripsi. A. Biografi Pengarang Arifin C. Noer adalah anak kedua dari Mohammad Adnan, seorang tukang sate di daerah Cirebon. Arifin sudah memulai kiprahnya dalam dunia seni sejak masih SMP. Ia menamatkan SD di Taman Siswa Cirebon, kemudian melanjutkan ke SMP Muhammadiyah Cirebon. Namun demikian, ketika SMA, ia masuk SMA jurnalistik di Solo. Ia melanjutkan perguruan tingginya di Fakultas Sosial Politik di Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta dan International Writing Program di Universitas Lowa, Amerika Serikat.1 Arifin, mulai mengenal dunia sastra serta teater saat masih duduk di bangku SMP. Pada masa itulah karya-karya puisinya ia kirimkan ke majalah yang terbit di Cirebon dan Bandung, honornya ia belikan buku cerita, baik dalam maupun luar negeri. Sejak kecil ia memang gemar membaca, khususnya buku anak-anak terbitan Balai Pustaka 1950-an. Baik fiksi-ilmiah maupun petualangan Karl May. Tetapi yang paling digemarinya adalah buku biografi orang-orang besar. Karena, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman serta kerja keras mereka. Hal itu kemudian sangat mempengaruhi filsafat hidupnya untuk gemar bekerja dan berpikir keras. Selama aktif di sekolah, ia sempat menjadi pemimpin umum majalah sekolah dengan sekretarisnya Nani Wijaya (aktris sekaligus istri almarhum Misbach Yusa Biran). Di luar sekolah, ia selalu melakukan aktivis di RRI Cirebon. Di situ ia bergaul dengan para seniman Cirebon antara lain Mus Mualim, Indra Soeradi, dan kemudian Titik Puspa. Di RRI ia mengasuh ruang puisi serta membuat sandiwara-sandiwara radio. Pada usia 16 tahun, tepatnya 1 Yayat, Hendrayana, Umang-umang Arifin Impian-impian Kemelaratan. (Bandung: Pikiran Rakyat, 1976), h. 5 34 35 saat kelas II SMP, pada 1957, Arifin menciptakan naskah sandiwaranya yang pertama berjudul Dekaden57, disusul naskah keduanya yang ia tulis saat duduk di kelas III SMP: Dunia yang Retak. Menurut Indra Soeradi, aktor dan seniman Cirebon yang „menemukan‟ sekaligus guru N. Riantiarno (Teater Koma), suatu kali pada 1960-an, oleh Arifin ia pernah diminta membaca beberapa naskah sandiwaranya antara lain, Tengul, Sumur Tanpa Dasar dan Kasir Kita. Ia tidak mengira bahwa berpuluh tahun kemudian, naskah-naskah tersebut menjadi cikal bakal bangkitnya teater Indonesia Baru.2 Menginjak bangku SMA, Arifin merasa kecintaannya terhadap kesenian semakin memuncak. Ia menjadi penanggung jawab kolom kesenian di koran setempat, menjadi juri dalam pelbagai lomba kesenian, pembicara dalam pertemuan peminat teater se-Cirebon, menerjemahkan naskah „berat‟ Komedi Manusia karya William Sarojan, bahkan sempat menjadi juara dua Bintang Radio se-Cirebon untuk jenis seriosa. Dan, pada usia SMA, Arifin telah menciptakan naskah monolog Jangan Lupakan Saya. Akibat kesibukannya dalam aktivitas kesenian, ia tak hanya dikeluarkan dari sekolah tetapi juga telah membuat amarah Bapaknya. Apalagi, saat Arifin memutuskan untuk menjadi seniman saja dan bertekad mau pergi ke Jakarta. Akibatnya, ia kemudian dikirim ke pesantren Djamsaren di Solo, dan meneruskan sekolahnya ke SMA Jurnalistik, Solo. Di pesantren itulah lahir naskah Aminah yang menurut Arifin, merupakan naskah “dewasa”nya yang pertama. Naskah itu kemudian populer pada 1960-an, karena banyak dipentaskan oleh grup-grup drama di Jawa. Tidak hanya dalam dunia teater, Arifin paggilan pria berkepala botak yang dilahirkan 10 Maret 1941 di Cirebon ini, adalah juga seorang sineas (orang yang ahli tata cara pembuatan film) yang lengkap. Dia bukan hanya bisa menyutradarai, tetapi pandai pula menulis cerita dan dijadikan skenario. Arifin sendiri menulis cerita dan skenario dalam film Bibir Mer, dan langsung 2 Dendy Sugono, Enskiklopedia Sastra Indonesia Modern, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2009), 34-36 36 menjadi sutradara, maka apa yang ingin disampaikan ke penonton bisa diterima secara utuh. Kelancaran bertutur, dan menyelesaikan konflik yang tidak bertele-tele menjadi ciri khas dan sekaligus kekuatan film-film Arifin. Untuk sampai ke Bibir Mer, Arifin telah melakukan perjalanan panjang. Dia giat mementaskan sandiwara sejak tahun 1957. Pertama kali, waktu itu dia menulis dan sekaligus sebagai sutradara pementasan berjudul Dunia yang Retak. Tiga tahun kemudian melanjutkan sekolah ke Solo, sampai di sana bergabung dalam Himpunan Peminat Sastra Surakarta (HPSS), sambil mencanangkan hari puisi. Kreativitasnya dibidang penulisan puisi dan drama makin berkembang sejak pindah ke Yogyakarta. Ditahun 1960, dia bergabung dengan WS Rendra dalam lingkungan Drama Jogya, dan kemudian ia masuk Teater Muslim pimpinan Mohammad di Ponegoro. Di situlah, lahir drama Nenek Tercinta, pemenang pertama sayembara penulisan lakon Teater Muslim. Karyanya yang lain adalah Mega-mega, pemenang kedua sayembara naskah drama Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI) tepatnya tahun 1967.3 Arifin membentuk Teater Ketjil setelah hijrah ke Jakarta. Teater ketjil adalah sebuah perkumpulan sandiwara atau teater, terutama yang bersifat eksperimental. Didirikan di Jakarta pada tahun 1968 oleh Arifin C Noer. Untuk membina anggota-anggotanya dan peminat-peminat lain, perkumpulan kekeluargaan ini juga memiliki kelas latihan atau diskusi bernama lab teater ketjil. Pada tahun 1972 naskah dramanya berjudul Kapai-kapai memenangkan hadiah pertama dalam sayembara penulisan lakon DKJ. Kristisi sastra dan drama menilai Arifin sebagai salah satu pembaharu dalam dunia drama di Indonesia, karya-karya drama dan puisinya mempunyai jalinan yang kuat, puisi-puisinya kuat dramatik, sedangkan drama-dramanya puitik sekali. Berikut ini adalah karya Arifin semasa hidupnya: Buku kumpulan sajaknya, Nurul Aini(1963), Siti Aisah (1964),Puisi-puisiyang Kehilangan Puisi (1967),Selamat Pagi, Jajang (1979), danNyanyian Sepi (1995). 3 Ibid 37 Buku-buku dramanya adalah Lampu Neon (1960), Matahari di Sebuah Djalan Ketjil (1963), Nenek Tertjinta (1963), Prita Istri Kita (1967), MegaMega (1967), Sepasang Pengantin(1968),Kapai-Kapai (1970),Sumur Tanpa Dasar (1971),Kasir Kita (1972),Tengul (1973), Orkes Madun I atawa Madekur dan Tarkeni (1974), Umang-Umang (1976), Sandek Pemuda Pekerja (1979),Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I (1984),Ari-Ari atawa Interograsi II (1986), dan Ozon atawa Orkes Madun IV (1989). Selain itu, ia juga menyutradarai banyak film dan sinetron serta menulis skenarionya, antara lain, Pemberang (1972),Rio Anakku (1973),Melawan Badai (1974),Petualang-Petualang (1974), Suci Sang Primadona (1978), Harmoniku (1979), Lingkaran-Lingkaran (1980), Serangan Fajar (1981), Pengkhianatan G.30 S/PKI (1983), Matahari-Matahari (1985), Sumur Tanpa Dasar (1989), Taksi (1990), danKeris (1995). Karena film dan sinetron garapannya itu, Arifin C. Noer dapat menyabet piala The Golden Harvest pada Festival Film Asia (1972), piala Citra dalam Festival Film Indonesia (1973, 1974, 1990), dan piala Vidia dalam Fistival Sinetron Indonesia (1995). Film garapannya yang mendapat penghargaan terbesar selama pemerintahan Orde Baru adalah Pengkhianatan G.30.S/PKI yang dibintangi Umar Kayam. Film ini selalu diputar setiap tahun melalui TVRI dalam memperingati "Hari Kesaktian Pancasila" dan baru diberhentikan setelah pemerintahan Orde Baru tumbang. Sebagai sastrawan yang unggul dan kreatif, ia juga sering mendapat hadiah sastra, antara lain, (1) Pemenang Sayembara Penulisan Naskah Lakon dari Teater Muslim, Yogyakarta (1963) atas karyanya "Matahari di Sebuah Djalan Ketjil" dan "Nenek Tertjinta", (2) Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1972) atas jasanya dalam mengembangkan kesenian di Indonesia, (3) Hadiah Sastra ASEAN dari Putra Mahkota Thailand (1990) atas karyanya Ozon, dan (4) Hadiah Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1990). Dramanya Kapai-Kapai diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dengan judul Moths dan diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia. 38 Karya Selamat Pagi, Jajang menjadi mas kawin dari pernikahannya dengan Jajang. Sebelum dengan Jajang, Arifin telah menikah dengan Nurul Aini dan dikaruniai dua anak. Ia wafat pada 28 Mei 1995 di Jakarta, karena liver cirrhosis (kelainan pada hati). Ia meninggalkan Jajang, Teater Ketjil, dunia teater dan film Indonesia yang sangat khas dan unik, serta empat orang anak: Vita Ariavita, Veda Amritha (dari Nurul Aini), serta Nitta Nazyra dan Marah Laut (dari Jajang). B. Sinopsis Umang-umang atawa orkes madun II karya Arifin ini adalah naskah kedua dari caturlogi4 orkes madun. Bercerita tentang kemelaratan dan proses menuju kesejahteraan. Waska seorang tokoh utama sekaligus sutradara dalam lakon ini adalah lelaki tua yang mempunyai rencana spektakuler, yaitu merampok semesta. Waska adalah seorang bekas kelasi yang sudah cukup tua. Ia dimitoskan oleh kawanan-kawanannya sebagai pemimpin terhormat, kuat, dan tidak boleh mati demi mencapai cita-cita mereka yaitu kehidupan yang layak. Karena kemiskinan di desa, membuat mereka lari ke kota. Tetapi di kota, mereka tidak menjadi kaya. Mereka tetap miskin, dan kemiskinan inilah yang memojokan mereka untuk melakukan kejahatan-kejahatan. Bersama dengan anak buahnya, ia siap merampok semesta. Tak ada tempat yang ramah bagi kemelaratan, tidak di desa, tidak juga di kota. Maka, kemelaratan menampilkan dirinya dalam bentuk kejahatan. Kejahatan inilah yang menyemangati Waska akan keberadaanya di dunia. Mulanya, waska adalah seorang humanis, humoris, dan bisa menertawakan dirinya sendiri. Sayangnya nasib buruk selalu membuntutinya. Waska berada di lembah kemiskinan yang menyeretnya jadi pemimpin gerombolan penjahat dan dipuja nyaris seperti nabi. Dia dilukiskan begitu dekat dengan Sang Nabi tapi juga dekat dengan Dajjal. Waska yang dikenal 4 Empat naskah dramatik Arifin C. Noer: Madekur Tarkeni, Umang-umang, Sandek Pemuda Pekerja, dan Ozone. 39 oleh kroni-kroninya sebagai sosok yang kuat, tiba-tiba berubah lemah akibat sebuah penyakit aneh yang diderita dan tidak tahu apa sebabnya. Waska yang sakit-sakitan kiranya tidak dapat menjalankan misinya untuk merampok semesta, datanglah Bigayah, pelacur tua yang ingin menikahi Waska, yang mencintai Waska dengan sepenuh hatinya. Tetapi sayang sekali, Bigayah ditolak mentah-mentah oleh Waska lantaran Ia tak ingin menikah. Karena yang ia lakukan hanyalah kejahatan, dan menikah bukanlah soal kejahatan. Setengah abad lebih Waska menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan rencana besarnya. Dia menggagas penjarahan semesta yang mengerahkan seluruh penjahat dan menjarah seluruh kota. Di tengah sakit yang parah dia mengomandoi penjarahan itu tanpa bisa dihalang-halangi oleh peringatan tokoh Jonathan, sahabat senimannya. Ranggong dan Borok yang merupakan tangan kanan kesayangan Waska, kemudian mencari penawar. Dadar bayi. Ya, dadar bayi adalah penawar yang dianjurkan dukun untuk menyembuhkan penyakit Waska. Setelah mendapat beberapa lahat bayi, dengan susah payah mereka menyuruh dukun untuk membuatkannya—dengan negosiasi harga tentunya. Berkat ramuan itu, Waska dapat hidup kembali. Ranggong dan Borok pun ikut makan dadar bayi tersebut. Di luar dugaan, khasiat jamu tersebut membuat waska dan kawankawannya hidup abadi sepanjang lebih dari lima generasi manusia. Mereka pun jatuh bosan karena mereka tidak juga mati, apalagi mereka hanya dalam keadaan serba “diam” sedangkan yang lain, senantiasa “bergerak”. Jamu yang mereka minum ternyata tidak ada penawarnya. Mereka melakukan segala cara untuk mengakhiri hidup mereka. Tapi sayang, semua cara yang dilakukan hanyalah sia-sia. Mereka tetap hidup dan bernapas seperti layaknya orang hidup. Mereka ditinggalkan generasinya, ditinggalkan oleh kaki-kaki yang melangkah maju-mundur, ditinggalkan oleh musim yang terus berulang. Sampai pada akhirnya, mereka hanya diam menggantung kakinya di pinggiran 40 laut sambil memancing, karena memikirkan untuk menceburkan diri ke laut pun tak ada guna. Mereka membutuhkan mati seperti halnya makhluk hidup yang pernah mereka temui. Mereka merasa bahwa mati merupakan ketenangan jiwa. Ketika kita mati, artinya beban hidup yang mengelilingi kita tidak akan berani datang kembali. C. Tentang Caturlogi Orkes Madun dan arti kata Umang-umang Orkes madun adalah sebuah lakon panjang yang merupakan nyanyian kemiskinan abad XX, kemiskinan badan dan kemiskinan jiwa, kemiskinan ekonomis dan kemiskinan metafisis. Tokoh-tokoh dalam lakon ini terdiri dari Rombongan Para Nabi dan Para Badut yang dikepalai Semar. Kedua rombongan berkenalana dari abad ke abad menghibur manusia dari lakon deritanya. Para Nabi dengan nyanyian-nyanyian, Para Badut dengan pertunjukan-pertunjukan sandiwara. Semuanya dibalut dengan semangat gembira, jenaka, dan cendikia.5 Keempat teks dramatik caturlogi drama orkes madun dapat dikategorikan sebagai teks radikal, dengan berbagai ciri atau kekhasan, dan penyimpangan, baik bentuk maupun isinya, termasuk juga cirinya sebagai drama tragik-komedi. Jadi, bukan radikal dalam pengertian sosial dan politik yang berkonotasi negatif karena ekstrem dan anarkis. Umang-umang ini adalah salah satu karya Arifin yang memiliki arti Semantik, kata umang-umang adalah binatang laut jenis ketam atau siput kecil yang lemah. Hidup di lumpur di tepi pantai, atau numpang bersarang di bekas sarang binatang lain yang tidak lagi digunakan. Dalam kondisi dan posisinya yang kecil lagi lemah, umang-umang dikejar-kejar binatang lainnya yang lebih besar untuk menjadi atau dijadikan makanan atau mangsanya. Pengunaan kata Umang-umang ini, menurut keterangan Arifin C Noer mengingatkan ketika dia berada di pantai laut jawa di daerah Cirebon, asal kelahiran Arifin C Noer, 5 h. 4 Dokumentasi sastra H.B. Jassin,Umang-umang: kesadaran ACN. (Jakarta: Pelita, 1976), 41 dia melihat binatang laut umang-umang yang kecil dikejar-kejar binatang laut lainnya yang lebih besar untuk dijadikan mangsanya. Serial kedua lakon Orkes Madun II ini melukiskan manusia lemah yang dikejar-kejar manusia kuat untuk dijadikan mangsanya. Maka, tokoh Waska yang ini berkeinginan menjadi kuat untuk membalaskan dendam kesumatnya kepada para pengejar makhluk-makhluk kecil untuk dijadikan mangsanya. Oleh karena itu, Waska ingin menjadi kuat agar dapat melampiaskan dendamnya untuk membalas dengan cara menodong penodong, merampas perampas, dan merampok perampok. Menurut KBBI, arti kedua umang-umang adalah orang yang suka berpakaian bagus, tapi bukan kepunyaannya sendiri, secara metaforis dapat dimaknai sebagai orang yang suka menggunakan atau memanfaatkan hal-hal atau kekuasaan yang bagus, besar, tetapi itu bukan milik/haknya sendiri tentu tidak pas, mungkin bahkan kedodoran. BAB IV ANALISIS Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang atawa Orkes Madun II Karya Arifin C. Noer. Pada bab iv ini peneliti akan melakukan analisis, mulai dari unsur intrinsik, ekstrinsik, serta pengajaran drama di sekolah. A. Unsur Intrinsik Naskah Drama Umang-umang atawa Orkes Madun II Karya Arifin C. Noer. 1. Tema Tema merupakan gagasan pokok yang berhubungan dengan premis drama sekaligus berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah naskah dan sudut pandang yang dikemukakan oleh pengarangnya.1 Naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer bertemakan kemiskinan dan cara menanggulangi kemiskinan itu sendiri. Waska : Aku pernah memilih, tapi aku ditolak, selalu ditolak. Kemiskinan telah menodongku, kelaparan telah menodongku, dan aku tak rela dicincang oleh kemiskinan dan kelaparan, maka kutodongkan kekayaan”.2 Melalui judul yang sangat sederhana ini, umang-umang memiliki makna yang sangat dalam. Umang-umang atau yang kita kenal sebagai kelomang adalah binatang laut jenis ketam atau siput kecil yang lemah. Hidup di lumpur di tepi pantai, atau numpang bersarang di bekas sarang binatang lain yang tidak lagi digunakan.Umang-umang yang dipimpin oleh Waska adalah kumpulan orang terbuang atau orang miskin yang numpang secara paksa pada harta orang lain, yaitu dengan cara merampok, menodong, dan sebagainya. Kumpulan orang-orang terbuang ini memiliki cara menanggulangi kemiskinannya. Waska : Ranggong, sejak muda saya memimpikan memimpin suatu operasi besar secara simultan. 1 2 Herman, Op,cit., h. 24 Arifin, Op,cit., h. 24 42 43 Seluruh penjuru kota kita serang, kita rampok habishabisan. Paling sedikit 130 bank yang ada, 400 pabrik, 2000 perusahaan menengah dan kecil dan ribuan toko-toko dan warung-warung yang ada di kota ini, akan kita gedor secara serempak. Mendadak. Pasti. Pasti menetas impian tua saya ini. Jumlah kita, anak-anak lapar dan dahaga sudah menjadi rongga mulut raksasa yang juga akan mengancam keheningan langit. Kehadiran kita yang bersama ini akan menggetarkan para nabi dan malaikat.3 Dialog di atas adalah rencana Waska merampok secara simultan untuk menanggulangi kemiskinan kelompoknya. Merugikan orang lain dan memiliki apa yang bukan miliknya. Hal ini sama seperti umangumang dalam kehidupan, ia merampok sarang yang lebih baik dan lebih bagus untuk kelangsungan hidupnya. Ia rela membunuh sang empunya sarang untuk tempat tinggalnya kelak. Kemiskinan dengan berbagai jenisnya, merupakan tema sentral caturlogi naskah drama Orkes Madun. Selain kemiskinan ekonomi, kemiskinan jiwa, moral, dan kemiskinan metafisis juga disajikan dengan jelas oleh Arifin dalam naskah lakon ini. Waska : Kami bertiga berdiri bagaikan trisula yang berkarat yang digenggam bermilyar tangan lapar dan dahaga, lapar badan, dan lapar jiwa.4 Debleng : Betapapun hina dinanya orang yang ada dalam kubur ini, Tuhan, namun terimalah dia. Barangkali ia hanyalah serbuk kayu, barangkali ia hanyalah arang, barangkali ia hanyalah daki, barangkali ia hanyalah karat pada besi tua, namun tak bisa dipungkiri ia adalah milikMu, makhlukMu, maka terimalah ia kembali dalam rahasiaMu. Kejahatan yang dilakukan orang dalam kubur ini betul-betul kelewatan, Tuhan. Ia telah menghina dirinya habis-habisan. Sekali lagi, Tuhan, terimalah ia karena Engkau pun tahu kami tak bisa menyimpannya. Amin...5 3 Arifin, Op,cit., h. 5 Ibid, h. 70 5 Ibid, h. 4 4 44 Dialog di atas menampilkan bahwa kejahatan memang tidak layak diterima, akan tetapi, jiwa makhluk tersebut memiliki Tuhan dan harus mempertanggung jawabkannya kelak di alam lain. Waska dan komplotannya berjuang memberantas kemiskinan untuk kesejahteraan dengan cara apapun. Waska berkeinginan untuk jangan pernah menutupi kejahatan-kejahatan yang terjadi di sekitar kita. Apabila hanya kebaikan saja yang ditampilkan, mana bisa hal itu disebut kebaikan. Seringnya kita tidak menyadari bahwa hal-hal yang ada di sekitar kita hanya menutupi kejahatan saja, bukan memperbaikinya. Di sini, Arifin secara terang-terangan mengungkapkan kejahatan yang pada hakikatnya adalah sisi lain dari diri kita sendiri. Manusia memiliki dua sisi, yang satu sifat baik, dan yang satu lagi bisa dikatakan sifat kejam atau tidak memiliki rasa belas kasih. Maka, jika kita menginginkan sesuatu, janganlah pernah untuk berpura-pura baik atau membohongi diri sendiri untuk kelihatan baik di mata orang lain. Arifin mengajarkan untuk bersikap biasa, jika kejahatan yang akan engkau lakukan, maka bertindaklah seperti orang jahat. Tampilkanlah kebaikanmu, maka kau akan dilindungi Tuhanmu, dan jangan malu menampilkan kejahatanmu jika memang itu perlu. Arifin menampilkan kejahatan karena tokoh-tokoh yang berperan memiliki profesi yang dinilai buruk oleh masyarakat. Itu semua bukan keinginan mereka semata, keadaanlah yang membuat mereka seperti itu. Koor : Kemiskinan telah menghalau kami ke kota yang penuh kemiskinan ini. Kemiskinan telah mengajar mencuri, mencopet, menjambret, menodong, menggarong. Desa telah mengusir kami. Kota telah mengusir kami. Apakah langit juga akan mengusir kami?6 Kemiskinan memang telah menggerogoti kelompok ini, cara menanggulanginya tidak dengan berdiam diri dan pasrah terhadap nasib. Mereka menerobos segala yang berbau konvensional. Mereka merampok 6 Arifin, Op,cit., h. 47 45 semesta untuk menanggulangi kemiskinan yang menyelimuti mereka. Keadaan tidak akan memberimu kesempatan jika yang kau lakukan hanya berdiam diri. Itulah tema dalam drama, segala yang berbau tentang memberantas kemiskinan terjadi dalam lakon naskah ini. Selanjutnya, peneliti akan mendeskripsikan tentang tokoh sekaligus penokohannya dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II ini. 2. Tokoh dan Penokohan “Tokoh dalam fiksi adalah manusia yang diciptakan atau direka oleh pengarang”.7 Sebagai manusia yang memiliki masalah serta problema kehidupan, tokoh yang dihadirkan pun berperan dalam menciptakan konflik serta alur bagi kehidupannya. Tokoh-tokoh yang berperan dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer ini, yaitu Waska, Borok, Ranggong, Bigayah, Debleng, Gustav, Japar, Buang, Nabi-nabi, Embah, Embah Putri, Seniman/Jonathan, Tukang Jamu, Tukang Sekoteng, Tukang Kue, Tukang pijat, Anak kecil, Juru kunci, Anaknya, Engkos, Dajjal, Dan lain-lain. Apabila diklasifikasikan dalam kategori penokohan seperti pada analisis sastra, naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer memiliki tiga kategori. Pertama tokoh sentral-antagonis, meliputi: Waska, Borok, dan Ranggong. Kedua, tokoh sentral-protagonis, yaitu Semar, Seniman/Jonatan. Ketiga, tokoh pendukung, yaitu Bigayah dan juga tokoh-tokoh pembantu seperti Debleng, Buang, Gustav, Embah, Embah Putri, Anak, Tukang Jamu, Tukang Sekoteng, Tukang Kue, satu, Tukang pijat, Anak kecil, Juru kunci, Anaknya, Dajjal, Engkos, dan Japar. Berikut ini analisis ketiga jenis penokohan tersebut. a. Tokoh Sentral-Antagonis Waska, Borok, dan Ranggong adalah tokoh sentral-antagonis, dari ketiganya, Waska adalah yang mendalangi setiap adegan dalam cerita. Waska adalah pemimpin kelompok serta biang keladi pertikaian dalam 7 Nani Tuloli, Op,cit., h. 28 46 naskah lakon ini. Borok dan Ranggong adalah tokoh yang berkaitan penting dengan Waska. Waska adalah seorang pemimpin komplotan yang disegani anak buahnya. Nabi : Kenapa Waska? Gustav : Waska, pemimpin besar kami, pemimpin umat manusia, sedang menderita sakit. Bahkan pada detik-detik ini ia sedang dalam keadaan inkoma, sakaratulmaut. Nabi : Kalian kelewatan, betul-betul kelewatan. Tuhan, ampunilah mereka karena mereka menangisi waska. Debleng : Ya, kami menangisi Waska. Nabi : Waska, kalian tangisi? Nggak masuk akal, nggak masuk akal. Waska? Orang macam itu? Gustav : Orang katamu? Dia lebih dari orang. Ranggong : Orang katamu? Dia raja. Dia pembesar. Dia pembela. Dia penghibur. Dia juga adalah sebuah kendi air di suatu jalan lenggang di suatu desa yang tandus. Dan Tuhan pun tahu tangi kami adalah ucapan spontan terima kasih kami.8 Begitulah pendapat mereka tentang Waska, seorang pemimpin komplotan yang ditakuti, dikagumi, dan semua orang patuh padanya. Mereka sangat patuh, hal ini terlihat pada dialog ketika berikut ini. Waska Ranggong tiga belas. Waska Borok Waska Japar : Ranggong! : Ranggong di sini, Waska, di becak nomor : Borok! : Gua di kuburan cina, Waska. : Japar! : Aku dalam bus kota, orang tua!9 Meskipun Waska dihormati, dikagumi, dan dipatuhi, ia tetap tidak ingin disembah layaknya Tuhan. Waska juga makhluk Tuhan, hanya saja kedudukannya di hadapan anak buahnya dianggap dewa. 8 Arifin, Op,cit., h. 10 Ibid, h. 3 9 47 Waska : Engkos! Engkos : Engkos tadi sudah diludahi, Waska. Waska : Keluar sebentar, bajingan. Ke sini! ENGKOS MENDEKATI WASKA DENGAN LANGKAHNYA JONGKOK ALA KRATON JAWA ATAWA SUNDA. DAN MELIHAT INI BUKAN MAIN MENYALA AMARAH WASKA.10 Waska sangat tidak suka kepada orang yang merendahkan dirinya di hadapan orang lain, sekalipun di hadapannya. Sebagai pemimpin, Waska juga mengajarkan kebaikan pada anak buahnya. Ia betul-betul seorang pemimpin yang bijaksana dan dapat menghargai waktu. Engkos : Waska, kita sudah tujuh jam mengintip nonstop. Bagaimana seterusnya? Waska : Betul-betul anjing kurapan budak setan. Nggak sabaran. mana bisa dia menjadi penjahat besar tanpa memiliki ketahanan menghadapi waktu.11 Waska memiliki prinsip seorang pemimpin, seorang penyabar, seorang yang pernah berlayar mengarungi waktu. Ia menginginkan anak buahnya menghargai setiap detik waktu yang berjalan dan tetap mengawasi keadaan di sekitarnya tanpa rasa bosan. Seperti ia juga yang seorang bekas kelasi, berlayar penuh kesabaran dan tawakal. Jonathan : Kamu kehilangan sesuatu tapi kamu tidak menyadarinya, Waska. Cobalah sebentar kennangkan semuanya secara utuh. Berlakulah adil, timbanglah satu demi satu dari seluruh yang kau miliki. Waska : Janganlah mencoba mengorekngorek masa lampauku. Sentimental! Dan lagi apakah kamu kira ketika aku menjadi kelasi lantaran didorong oleh romantik keremajaan keluarga ningrat? Seperti romantik semangat kesenianmu yang penuh skandal itu?12 10 Ibid Ibid, h. 2 12 Ibid, h. 49 11 48 Sekalipun waska orang yang ditakuti, ia juga punya kelemahan atau rasa takut terhadap sesuatu. Hal yang ia takuti adalah Bigayah, perempuan yang mencintainya habis-habisan. Bigayah : Waska! Waska! Waska : Pasti suara itu. Aku mendengar suara itu. Aku tidak pernah merasa takut kecuali setiap hari mendengar suara itu. suara itu seperti suara mendiang ibuku yang tidak pernah jelas wajahnya. Suara itu seperti suara istriku yang tidak pernah ada. Suara itu seperti suara anak perempuanku yang tidak akan pernah lahir, dan aku takut. Aku berubah jadi badut menghadapi menghadapi cobaan ini. bigayahkah itu? Bigayah : Ya Waska, Bigayahmu!13 Waska tidak pernah mencintai seorang perempuan. Ia tak menginginkan hubungan serius kepada perempuan. Ia pun tak menikah. Ia adalah penjahat, maka dari itu ia tak menginginkan ada perempuan di sisinya. Bigayah : Jangan bersembunyi, Waska. Jangan bersembunyi. Biar saja polisi-polisi dan kamtib-kamtib menangkap kita, asalkan kita bisa tetap bercinta. Biarkan kita terjaring Dewi Ratih dan Kamjaya, Waska. Nasib buruk, kesialan, kemelaratan dan penyakit jangan pula kita biarkan memunaskan cinta kita. Melarat sudah, penyakitan sudah, tapi janganlah kita dimakan kebencian. Waska : Aku tidak bersembunyi, aku bertapa, aku bersemedi, aku menghitung jumlah semut yang pernah ada dan jumlah tarikan napas yang selama ini. Jangan dekati aku. Kalau cintamu tidak atau belum mendapatkan balasan dari hatiku, adalah karena pikiranku yang jahanam serta penuh kepongahan yang adalah bagaikan putra Nuh nan durhaka.14 Sebagai pemimpin besar yang hidup di tengah kemiskinan, maka Waska pun memiliki rencana yang sangat besar pula. Rencana merampok 13 Ibid, h. 18 Ibid, h. 19 14 49 semesta, dalam naskah drama ini diceritakan bagaimana obsesi Waska terhadap rencananya itu. Waska : Ranggong! Ranggong : Saya, Waska!? Waska : Sebentar lagi kumpulkan semua orang! Ranggong : Di sini, Waska? Waska : Kalau mungkin dan kalau sempat hubungi juga para sesepuh kita dan bawa ke sini. Para pelacur yang masih melayani tamu-tamunya biar menyusul belakangan, asa kamu beritahu juga. Lalu kalau kebetulan ketemu Borok, bilang padanya saya tidak sabar menunggu jamu yang dijanjikannya. Ranggong : Baik, Waska! Waka : Rasanya saya harus menceritakan rencana besar juga. Saya kira inilah malamnya. Hampir setengah abad saya nantikan malam serupa ini, anginnya serupa ini, ketetapan hati serupa ini. Tuhan, impian besar dan spektakuler itu telah mengganggu selera makanku, telah mengganggu tidurku, telah mengganggu selera syahwatku selama hampir setengah abad. Ranggong…. Ranggong : Ya, Waska! Waska : Ranggong, sejak muda saya memimpikan memimpin suatu operasi besar secara simultan. Seluruh penjuru kota kita serang, kita rampok habis-habisan. Paling sedikit 130 bank yang ada, 400 pabrik, 2000 perusahaan menengah dan kecil dan ribuan toko-toko dan warungwarung yang ada di kota ini, akan kita gedor secara serempak. Mendadak. Pasti. Pasti menetas impian tua saya ini. Jumlah kita, anak-anak lapar dan dahaga sudah menjadi rongga mulut raksasa yang juga akan mengancam keheningan langit. Kehadiran kita yang bersama ini akan menggetarkan para nabi dan malaikat.15 Akan tetapi, di tengah rencana spektakulernya itu, Waska menderita penyakit yang kita tidak tahu apa namanya. Hingga ia memerintahkan anak buahnya Borok dan Ranggong untuk mencari jamu dadar bayi. 15 Ibid, h. 5 50 Semar : Sebagian orang menganggap tokoh Waska itu sebagai lelaki atau jawara tua setengah sinting. Eksentrik kaya seniman besar. Sebagian lagi menganggap penyakitnya itu sebagai guna-guna atau tenung yang dilontarkan orang atau atau musuhnya. Tapi sebagaian lagi menganggapnya pada saat seperti itu ia sedang bercakap-cakap dengan „Yang Maha Kuasa‟ mengingat kedudukannya nyaris seperti nabi. Saya sendiri sebagai semar yang memerankan tokoh itu cuma menganggapnya sebagai tokoh yang sangat kocak yang sadar akan kekocakkannya serta kekocakkan lingkungannya.16 Kemudian tokoh Borok dan Ranggong yang merupakan anak buah setia Waska. Mereka juga disebut tokoh antagonis karena perbuatannya sama persis dengan Waska. Waska : Kamu gagah laksana golok. Tapi kamu juga indah laksana fajar. Kamu memang golokku dan fajarku. Sudah berapa lama kamu menjadi perampok? Ranggong : Tepatnya lupa, Waska. Seingat saya, selepas sekolah dasar sya sudah mulai mencuri kecil-kecilan dan sekarang umur saya lebih empat puluh tahun. Waska : Pengalaman penjara? Ranggong : Tiga kali tiga tempat. Waska : Senior kamu, Ranggong, dan itu artinya kamu bisa mengambil alih peran lebih besar dalam impian saya itu. kawin? Ranggong : Tidak, Waska, seperti kamu juga. Waska : Sempurna. Kamu orang kedua setelah Borok. Persis seperti impian saya. Ya, ya, kamu dan Borok seperti tangan kanan dan tangan kiri, seperti busur dan anak panahnya, lengkap.17 Dalam hal kejahatan yang sama dengan Waska, Borok dan Ranggong pun sangat setia. Mereka menuruti keinginan Waska yang sedang sekarat untuk membawakan jamu dadar bayi sebagai obat penawar. 16 Ibid, h. 7. Ibid, h 5 17 51 Ranggong : Artinya, untuk menyambung umur, kita harus tega mengerjakan hal-hal sebagai berikut, satu, membunuh bayi. Dua, membedah bayi. Tiga, merenggut jantung bayi. Empat, mengeringkan, menjemur, atau memanggang jantung bayi. Lima, menumbuk jantung bayi kering sampai halus. Enam, meminum wedang yang mengandung bubuk jantung bayi.18 Ranggong dan Borok memang anak buah yang setia, sampai pada mereka meminum jamu dadar bayi bersama-sama dan tidak mati pun bersama-sama. Borok : Kita bunuh diri saja, pak. LALU MEREKA SALING BERPANDANGAN SELAMAT TINGGAL DAN SELANJUTNYA MEREKA BERUSAHA MENUSUK PERUT MEREKA MASING-MASING DENGAN TANGKAI KAIL (WALISAN) TAPI SEBELUM TERLANJUR, ORANGORANG DATANG BERMUNCULAN MENGGAGALKAN NIAT MEREKA, SEKUAT TENAGA ORANG-ORANG MENGHALANGI PERBUATAN NEKAD MEREKA, LALU SETELAH KETIGANYA KEMBALI TENANG ORANG-ORANG KELUAR. Waska : Nggak jadi mati kita? Ranggong : Kebaikan yang jelek! Borok : Pokoknya jahat. Ranggong : Kita berantem saja yuk bunuhbunuhan? Begitulah ketiganya mencari jalan keluar untuk mati. Mulai dari berantem, saling memaki, melompat ke jurang, tapi semuanya tidak ada hasil. Mereka hidup abadi sampai mereka bosan. 18 Ibid, h 39 52 b. Tokoh sentral-protagonis Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang bersebrangan pemikirannnya terhadap tokoh antagonis, tokoh-tokoh di sini meliputi: Semar dan Jonathan/Seniman. Semar adalah tokoh utama atau wujud lain dari seorang Waska. Ia sama sekali berbeda dengan Waska, bahkan ia tak menyukai sifat Waska itu sendiri. Ia juga merupakan sutradara dalam lakon naskah ini. Semar : Apakah yang sedang terjadi atau telah terjadi, para penonoton? Nah saya Semar, pemimpin rombongan sandiwara ini tanpa tedeng aling-aling ingin menjelaskan apa adanya….19 Semar yang walaupun wujud lain dari Waska, tetapi ia adalah yang tidak menyetujui rencana spektakuler Waska. Ia juga tidak menyukai pribadi dan karakter Waska. Semar : Yang maki-maki dan meludahi tadi Waska, bukan saya. Terus terang saya pribadi gak suka sama Waska. Semar, sebagai kepala rombongan dan sekaligus sutradara dalam lakon ini berpendapat bahwa tokoh yang diperankan Waska sangatlah kocak. Semar : …..Saya sendiri sebagai Semar, menganggap tokoh yang saya perankan ini sangat kocak yang sadar akan kekocakkannya dan kekocakkan lingkungannya. Semar : Waska memang keras 20 kepala Tokoh Semar adalah wujud lain dari tokoh Waska yang karena tokoh Waska tidak dapat mati hingga akhir. Usia semar dalam naskah drama Orkes Madun I atawa Madekur dan Tarkeni adalah 2400 tahun. Dalam pewayangan, tokoh Semar adalah tokoh Batara Ismaya yang tidak mengenal mati. Itu mengapa tokoh Waska yang sudah dimakan penyakit tidak juga mati. 19 Ibid, h. 3 Ibid, h. 39 20 53 Di akhir cerita, Semar tidak pernah muncul lagi dalam diri Waska, akan tetapi Waska bukanlah Waska yang seutuhnya. Semar memang tidak bernaung lagi dalam tubuh Waska, melainkan meninggalkan warisan yang berupa keabadian. Kemudian tokoh Jonathan/seniman yang tidak setuju dengan jalan hidup Waska dan segala yang dikerjakan Waska, terutama rencana spektakulernya. Jonathan sengaja mempermainkan pikiran Waska dengan mengingatkannya tentang masa lalu dan cita-cita Waska terdahulu. Jonatan : Kamu tidak pingin berlayar lagi? Waska : Aku sudah tua. Maksudku aku punya pekerjaan lebih besar. Jonatan : Amarahmu maksudmu? Waska : Apalah namanya tapi yang penting besar dan penting buat kemanusiaan. Dan aku minta supaya kamu jangan mencoba mengorekngorek masa lampauku, yang pernah kamu tahu dan yang pernah kamu dengar. Kemunculan Jonatan bisa dikatakan jarang berdialog dengan tokohtokoh lain karena ia hanya sibuk dengan keseniannya sendiri. Ia sibuk memainkan biola bahkan ia sama sekali tidak berada dalam satu panggung. Ia hanya menonton dan sesekali member komentar jika ada kehebohan. Jonatan : Sebentar, Waska, aku kira amarahmu mulai tak tentu arah. Terus teranag aku tak hendak berdebat soal kesenianku, tapi kamu sendiri tahu kesenian yang kamu bicarakan sudah lama aku tinggalkan dan kamu sendiri juga tahu bagaimana selama ini aku menulis serta menyanyi tentang kalian, tentang kamu. Waska : Kalau begitu kamu sedang memainkan sekandal yang lain dan mungkin yang lebih besar lagi. Jonatan, ternyata jiwamu cacingan, atau mungkin kamu idiot tanpa diketahui sejarah. Selama ini kamu mengira nyanyian kamu, kesenian kamu mewakili kelaparan kami, amarah kami? Cuah! Ilusi!!! Dan lebih dari itu, sambil membungkam rasa persahabatanku padamu, aku menuduhmu, aku mendakwa kamu telah mengatas namakan kami, 54 penderitaan-penderitaan kami dan kamu telah mendapat keuntungan dan kehormatan. Jonatan : Aku menyesal sekali persahabatan kita yang berpuluh tahun berakhir seperti ini, maksudku kamu putus secara sepihak dan keji seperti ini. tapi sebelum segala sesuatunya berakhir aku minta supaya kamu sudi mendengarkan penjelasan-penjelasan tentang kesenian saya, tentang akhlak dan tentang nilai persahabatan. Sifat dan sikap Jonatan dianggap keterlaluan oleh Waska, karena mereka pernah menjadi sahabat yang melakukan pekerjaan secara bersama-sama, perjalanan bersama-sama, keinginan bersama-sama, segalanya bersama-sama. Jelas sekali Waska lupa akan persahabatannya dengan Jonatan, ia lupa segalanya. Akan tetapi, Waska bukanlah orang yang munafik, ia jelas mengatakan kepada Jonatan bahwa ia tak menyukai Jonatan sedikitpun untuk saat itu. Ia jelas menolak secara terang-terangan tanpa basa-basi dan tanpa perihal apapun. Tidak seperti Jonatan yang munafik, yang merusak orang lain untuk kesenangan dirinya sendiri, untuk ketenaran dirinya sendiri. c. Tokoh pendukung Bigayah adalah seorang pelacur tua yang sangat mencintai Waska. Ia merelakan apapun Waska. Namun tak disangka, Waska justru menolak mentah-mentah cinta suci dari Bigayah karena sesuatu alasan. Bigayah : Sudah hampir empat puluh tahun aku dirundung cinta suci atasmu, Waska, masihkah kau menampik? Waska : Aku mohon janganlah engkau memperdengarkan suaramu. Frekuensi suaramu sedemikian rupa menyebabkan gendang telingaku terluka dan jantung melipatkan debarannya tujuh ribu kali perdetik. Aku mohon, Bigayah, aku mohon. Bigayah : Bungkus ketupat empat puluh lebaran yang lalu suguhanku yang kau makan 55 masih kusimpan sebagai kenang-kenangan, Waska. Juga punting minak jingo yang kamu hisap empat puluh tahun yang lau masih kusimpn sebgai tanda bukti kasihku padamu, Waska. Bahkan tikar yang kita pergunakan pertama kali malam itu, empat puluh cap gomeh yang lalu masih tergantung sebagai hiasan dinding rumahku, Waska. Empat puluh Waska, angka yang cukup banyak dan cukup baik, masihkah kau menolak lamaranku, kehadiranku, cintaku. Waska, pada usiamu yang hampir seratus tahun seperti sekrang ini kau memerlukan seorang teman dalam kekosonganmu dan kesunyianmu.21 Sungguh begitu setianya Bigayah kepada Waska, tapi cintanya berpetuk sebelah tangan. Waska orang kuat dan hebat yang menganggap pernikahan adalah omong kosong belaka. Oleh karena itu, ia tidak mau menikah atau terikat dengan orang lain. Kemudian ada Nabi yang menjadi pendukung dalam naskah drama ini. nabi menganggap kelompok yang dipimpin oleh Waska hanyalah para manusia yang putus asa dan ketakutan dalam mengahdapi kenyataan. Nabi : Tapi, Waska, apakah kamu tidak menyadari, sebenarnya kamu dan kawankawanmu sedang diliputi oleh suatu sikap keputusasaan yang sangat gelap mengerikan?22 Itulah penggambaran tokoh-tokoh dalam naskah drama Umangumang atawa orkes madun II ini. Penggambaran tokoh berfungsi untuk memperkenalkan sifat dan sikap lakon dalam menjalani kehidupan di dalam naskah. Ketika tokoh sudah dijelaskan dan dideskripsikan, penulis melanjutkan analis unsur intrinsik berikutnya, yaitu mengenai alur. 3. Alur Alur merupakan jalan cerita dalam sebuah karya sastra. Ia mencipta setiap peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. 21 Arifin, Op,Cit., h. 29 Ibid, h. 37 22 56 Naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II ini terdiri dari tiga bagian (babak) dan tidak terdapat jumlah serta nomor-nomor adegan. Bagian pertama terdiri dari 34 halaman, bagian kedua terdiridari 15 halaman, dan bagian ketiga terdiri dari 29 halaman. Sebagai naskah drama, jika naskah drama ini diasosiasikan seperti manusia, naskah atau pertunjukannya memiliki dua wajah, dua kepribadian. Wajah pertama, Waska dengan umang-umang sebagai bala tentaranya. Wajah kedua adalah Semar dan para anggota aktif orkes madun. Bagian pertama adalah pengenalan atau pelukisan awal cerita. Di mana dalam tahap ini pembaca diperkenalkan dengan tokoh-tokoh drama dengan watak masing-masing. Dalam naskah drama Umang-umang, Waska adalah tokoh utama sekaligus pemimpin sebuah kelompok. Kelompok ini terbentuk karena mereka memiliki kesamaan nasib dan kebutuhan. Diceritakan ada rombongan orkes keliling yang di pimpin oleh Semar. Rombongan orkes ini akan mementaskan tentang seorang penjahat berumur panjang bernama Waska. Waska : Aku akan memulai uraian panjang dalam pertemuan besar ini dengan suatu kebenaran. Dan kebenaran itu berbunyi bahwa “Lihatlah, kami yang terdiri dari berbagai agama, keyakinan, kepercayaan, berbagai suku, berbagai daerah telah dikumpulkan dan disatukan oleh ikatan nasib yang kuat dan tekad semangat yang kuat!” Ya, anak-anaku kita telah disatukan oleh kesamaan nasib dan tidak oleh apa yang disebut kebajikan atau agama, apalagi kebenaran. Atau dengan kalimat yang lain, kita telah dipersatukan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar kita sebagai insan. Amin.23 Kelompok ini adalah bentukan dari rombongan orkes madun yang dipimpin oleh Semar, sutradara sekaligus memainkan peran Waska. 23 Ibid, h. 44 57 Semar : Nah, saya Semar, pemimpin rombongan sandiwara ini tanpa tedeng aling-aling ingin menjelaskan apa adanya. Para penonton, percayalah dan yakinlah bahwa mereka tadi sedang dalam perjalanan dipimpin oleh seorang penjahat besar bernama Waska, yang kebetulan saya mainkan sendiri sambil sekaligus menyutradarai. Lantas, perjalanan ke manakah, para penonton? Jawabannya: Tontonlah sandiwara ini.24 Berawal dari kehidupan kepala rombongan ini, yaitu Waska, yang memiliki cita-cita merampok semesta. Ia adalah tokoh antagonis karena berwatak keras kepala, diktator, dan menjadi sumber pertikaian dalam lakon ini. Waska memiliki dua anak buah yang setia, yaitu Borok dan Ranggong yang watak dan perilakunya mirip dengan yang dijalani oleh Waska, akan tetapi sangat patuh dan tunduk kepada pemimpinnya itu. Ranggong : Kamu lebih tua, jauh lebih tua dari pada saya, tapi kamu juga lebih kuat dalam segala hal. Kamu adalah tauladanku. Kamu adalah citacitaku.kamu adalah panduku. Waska, kebanggaanku berkibar-kibar setiap kali aku menatap garis-garis wajahmu yang tajam bagaikan mata pisau membara.25 Begitu mulia dan sangat diagungkan Waska dalam kelompoknya. Hingga apa-apa yang diperintahkan Waska tak ada yang berani menolak. Dalam hal kejahatan, Borok dan Ranggong dikatakan sangat sempurna oleh Waska karena jalan hidup yang mereka lakoni sama dengan jalan hidup yang dilakoni Waska, yaitu mencuri, dipenjara, dan tidak menikah. Semua itu disukai Waska karena mereka tidak akan memiliki kesibukan lain selain melayani dan mengikuti Waska. Bagian kedua adalah bagian komplikasi atau pertikaian awal. Waska seorang pemimpin yang sangat gagah dan dianggap putra Nabi Nuh ternyata memiliki penyakit yang begitu memedihkan. Konflik atau pertikaian dalam lakon ini dimulai karena pemimpin kelompok yang 24 Ibid, h. 3 Ibid, h. 27 25 58 istimewa itu menderita penyakit yang aneh. Di mana, Waska tidak hanya memiliki konflik pada dirinya saja (konflik internal). Ia pun memiliki konflik di luar dirinya sendiri, yaitu dengan cintanya dan dengan sahabatanya (konflik eksternal). Konflik internal yang dimiliki Waska bahwa ia menderita penyakit aneh dan penyakitnya itu perlu disembuhkan agar rencana spektakulernya dalam merampok semesta itu terwujud. Tiba-tiba saja, ketika Waska dan bala tentaranya sedang mengadakan pertemuan, ia sakit kemudian rebahan dan kaku. DEBLENG LALU MENGGUNCANGGUNCANGKAN TUBUH WASKA, TAPI WASKA TIDAK BEREAKSI SAMA SEKALI. MELIHAT KEADAAN TUANNYA YANG LUAR BIASA INI, SEGERA SAJA ORANGORANG SAMA MENGGUNCANGGUNCANGKAN TUBUH WASKA. SEMUANYA DILIPUTI KECEMASAN. Semua orang menjadi cemas dan bingung. Kalau tidak ada Waska pemimpin besar itu, siapa yang akan memimpin mereka nanti? Waska yang sakit-sakitan kiranya tidak dapat menjalankan misinya untuk merampok semesta. Semar : Sebagaian orang menganggap tokoh Waska itu sebagai laki-laki atau jawara tua setengah sinting, eksentrik kayak seniman besar. Sebagian lagi menganggap penyakitnya itu sebagai akibat guna-guna. Banyak dugaan-dugaan atas penyakit yang diderita Waska, sementara bala tentaranya meributkan siapa yang akan menjadi pemimpin. Mereka bertengkar satu sama lain tentang siapa yang akan menjadi pemimpin. Saling beradu pendapat dan saling merasa dirinya paling hebat. Mereka membenarkan bahwa siapa yang paling kuat dalam hal bertarung, dialah yang layak menggantikan Waska. Padahal, setengah abad lebih Waska menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan rencana besarnya. 59 Dia menggagas penjarahan semesta yang mengerahkan seluruh penjahat dan menjarah seluruh kota. Konflik eksternal yang menimpa Waska yaitu kemunculan Bigayah, pelacur tua yang ingin menikahi Waska, yang mencintai Waska dengan sepenuh hatinya. Ia memaksa Waska untuk menikahinya dan hidup bersama dengannya. Bigayah : Saya betul-betul tidak habis mengerti kenapa Waska selalu menolak setiap kali saya ajak kawin.26 Bigayah tidak jera jika hanya ditolak Waska, ia terus mendatangi Waska dan akan merawatnya, ia tidak percaya bahwa seorang Waska tidak mencintainya. Tanpa peduli rencana besar Waska, Bigayah terusterusan mengejar Waska. Kemudian konflik eksternal lainnya, yaitu dengan munculnya sosok Jonatan, sahabat Waska yang selalu memberikan peringatan- peringatan serta mencoba menggali masa lalu Waska untuk menghalangi rencana besar Waska. Kemunculan Jonatan sangat tidak diduga-duga, ia hadir untuk menggagalkan rencana Waska dan bala tentaranya. Jonatan terus-terusan membujuk Waska agar mengingat masa lalunya ketika mereka berdua sedang berlayar dilautan lepas. Begitu berkecamuk pikiran Waska. Hampir ia tidak dapat minum, dan makan, serta tidur dengan tenang atas rencana besarnya itu. Bagian ketiga atau titik puncak cerita, di sini konflik yang meningkat itu akan meningkat terus sampai mencapai klimaks atau titik puncak atau puncak kegawatan dalam cerita. Di tengah sakitnya yang begitu parah, Waska tetap memiliki anak buah yang setia, yaitu Ranggong dan Borok yang merupakan tangan kanan dan tangan kiri kesayangan Waska, yang kemudian mencari penawar untuk kesembuhan Waska. 26 Ibid, h. 32 60 Ranggong : Ya, Embah tologlah kami. berikan jamu itu. nyawa Waska sudah getas sekali. Beberapa detik saja Embah terlambat menolong, putuslah semuanya. Embah : Kenapa? Kenapa kalau putus? dan lagi apa benar putus? apa kamu tahu? Putus? begitu? Orang-orang macam kalianlah yang membuat hidup menjadi bising. Sekarang aku minta supaya kalian jangan lagi mengganggu tidurku. Malam sudah larut. Aku harus tidur. Sayang sekali yang memiliki resep jamu itu tidak mau memberikannya kepada mereka berdua. Si tukang jamu malah tidur pulas. Borok dan Ranggong melalukan berbagai cara untuk membangunkannya. Mulai dari memanggil-manggil sampai mengguncang-guncangkan tubuhnya. akhirnya, karena keadaan di sekitarnya tidak membiarkannya untuk tidur, Embah Wiku bangun dengan malas-malasan. Kemudian mereka berdebat atas jamu Dadar Bayi yang tidak akan diberikan Embah kepda Ranggong dan Borok. Setelah perdebatan yang sangat panjang dan sangat sengit itu, akhirnya Embah menyerah dan memberikan resep kepada mereka berdua. Borok : Kami tidak perlu minum mbah. Kami perlu minum jamu itu. Embah Putri : Duduk saja dulu. Soal jamu itu soal sepele. LALU KETIGANYA DUDUK Embah Putri : Kami punya banyak macam jamu. Jamu klingsir, galian singset, jamu nafsu kuda, jamu kanker, jamu saraf……. Borok : Bukan jamu itu, Mbah. Embah Putri : Embah tahu, jangan cerewet. Kamu menginginkan jamu dadar bayi. Tidak hanya itu, Embah Putri walaupun tukang jamu tetap tidak bisa meracik jamu itu sendiri. Ramuan-ramuannya harus diracik sendiri oleh Borok dan Ranggong. Embah putri hanya memberikan resepnya saja. Dadar bayi. Ya, dadar bayi adalah penawar yang dianjurkan dukun untuk 61 menyembuhkan penyakit Waska, karena bahan-bahannya dibuat dari jantung bayi yang dikeringkan. Ranggong : Jadi, kami harus mendapatkan jantung bayi dan mengeringkannya, mbah? Embah Putri : Ya, kamu tega? Mengeringkannya lalu kamu tumbuk sampai halus dan selanjutnya dapat kamu minum bersama minuman apa saja asal panas. Nah, kamu tega? Setelah berpamitan dan dengan syarat yang telah diberikan Embah Putri, berangkatlah Borok dan Ranggong ke kuburan untuk mencari mayat bayi. Di pekuburan, mereka bertemu Juru Kunci dan Anaknya. Penggalian serta pengambilan mayat bayi dibantu oleh Juru Kunci dan anaknya. KOOR : Empat belas pemain mencangkul bersama. Empat belas pocong bayi dicomot bersama. Mot!27 Setelah lima belas pocong bayi yang dikumpulkan oleh Juru kunci dan Anaknya, kemudian mereka bertengkar dengan Borok dan Ranggong atas tidak setujunya Juru Kunci karena yang diambil oleh Borok dan Ranggong bukan kain kafan, melainkan mayat bayi yang lima belas itu. Juru kunci tidak setuju karena biasanya, orang-orang yang datang ke sana hanya mengambil kain kafan. Akhirnya, karena merasa niat dan kerjanya ada yang menghalangi, langsung saja Borok membunuh Juru Kunci beserta Anaknya. Juru Kunci : Berhenti! Kalau nggak berhenti gua granat. Borok : Modar! Gua granat duluan. Bum! TUBUH JURU KUNCI BERSERAK. Si Anak : Lu bunuh babe gua? Borok : Modar! Bum! TUBUH SI ANAK BERSERAK. Juru kunci dan anaknya pun mati dibunuh oleh Borok. Akhirnya Borok dan Ranggong meracik jamu dan kemudian akan pulang menemui Waska dan memberikan jamu itu. 27 Ibid, h. 66 62 Di tengah sakitnya dan menunggu jamu yang sedang dibawa oleh anak buahnya, Waska dengan susah hati menolak keinginan Bigayah yang mengajaknya menikah. Bigayah terus merayu Waska dan Waska terus menghindari Bigayah. Kejadian ini berulang-ulang, Bigayah selalu menghampiri Waska dan sangat lemah untuk meladeninya. Kemudian Jonatan yang terus mengintimidasi Waska akan masa lalunya. Ia menganggap Waska telah melupakan persahabatan mereka ketika mereka di kapal dulu. Waska merasa tidak kuat menghadapi ocehan Jonatan yang begitu membuatnya marah. Akhirnya, dengan berat hati, Waska memutuskan persahabatannya dengan Jonatan, si seniman yang selalu berbohong atas cerita yang ditulisnya. Bagian keempat adalah resolusi atau penyelesaian, di mana pada tahap ini konflik telah mereda atau menurun. Tokoh-tokoh yang menghalangi jalan Waska untuk merampok semesta ada yang mati dan ada yang diam hanya menonton saja. Seperti Jonatan dan Bigayah, mereka hanya ikut menonton dan diam seribu bahasa. Ranggong : Kita menang Borok. LALU KETIGANYA BERDIRI DI PUCUK BUKIT SEMENTARA PARA PENGIKUT MEREKA MEMENUHI LEMBAH. TERJALNYA DAERAH ITU BUKAN MAIN. DAN MATAHARI BUKAN MAIN TERIKNYA. Waska : Dalam beberapa detik lagi kita akan mendengarkan nafas amarah kita yang dihembuskan oleh gas bau bacin dari perut kita yang kosong, melanda sebagai wadah epidemik yang tak akan tertahankan oleh kota yang sombong ini. di bukit terjal ini kami berdiri bagaikan batang lilin hitam dengan nyala ungu. Waska berpidato atas kemenangannya. Ia tak jadi mati. Ia sembuh total dan seperti muda kembali. Ia Berjaya dan ia merampok semesta bersama komplotannya. Tujuannya tercapai, cita-citanya tercapai.Akan tetapi, efeknya sangat signifikan, mereka bertiga tidak jadi mati. 63 Naskah drama ini menyajikan alur secara langsung dengan peristiwa-peistiwa dan konflik yang berurutan. Konfliknya sudah ditampilkan di awal cerita, karena ini adalah naskah kedua setelah Madekur Tarkeni. Oleh karena itu, sudah kita ketahui bersama bahwa sebagian kecil ceritanya sudah digambarkan di naskah sebelumnya. Naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II menggunakan alur maju, yaitu peristiwa yang disajikan dibuat secara merunut dan kronologis. 4. Setting/latar “Setting atau tempat kejadian cerita sering pula disebut latar”.28 Penentuan ini harus secara cermat sebab naskah drama harus juga memberikan kemungkinan untuk dipentaskan. Setting biasanya memiliki tiga dimensi, yaitu: tempat, ruang, dan waktu. Latar tempat pada naskah lakon ini terletak di Jakarta, atau lebih tepatnya di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, yaitu di Kota Tua. Satu : Nggak nengok dulu di gerbong? Kata gerbong di sini adalah sebutan pada gerbong tua, yaitu istilah untuk Kota Tua di Jakarta Barat, karena berada di wilayah yang strategis atau dekat dengan laut. Pada sejarahnya, Belanda memilih daerah-daerah dekat laut untuk dijadikan pusat perdagangan. Oleh karena itu, ciri-ciri lingkungan sejarah di Kota Tua banyak menunjukkan kekuatan politik kolonial VOC yang berorientasikan politik dagang militer melalui kekuatan maritimnya.29Begitu pula Waska yang seorang bekas kelasi atau pensiunan pelaut. Dialog-dialog lain yang menyatakan bahwa latar tempat pada stasiun kereta api/gerbong. Bigayah : Tapi kok situ berani melarang saya bicara keras padahal keras itu adat saya dan di stasiun tua ini adat serta kepribadian di junjung tinggi. 28 Herman, Op,cit., h. 23 Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Sejarah Kotatua, (Jakarta : Jaya Raya, 2007), h. 87 29 64 Satu : Betul bigayah, kami berkumpul di sekitar gerbong tua karena di dalam gerbong itu Waska sedang berkelahi dengan ajalnya. Di Kota Tua wilayah Jakarta Barat juga banyak terdapat masyarakat Tionghoa atau yang disebut orang-orang Cina. Waska : Borok! Borok : Gua di kuburan Cina, Waska.30 Ketika dipanggil oleh Waska, Borok mengatakan bahwa ia di kuburan Cina. Itu pertanda bahwa latar tempat yang digunakan oleh pengarang adalah sekitar wilayah Jakarta Barat di Gerbong Tua dan di kuburan Cina. Drama bertujuan untuk dipentaskan, maka dari itu latar tempat lebih dipusatkan hanya pada satu tempat saja. Ada beberapa tempat seperti rumah, kuburan, dan sungai. Boleh jadi itu semua masih berada di sekitar Jakarta. Setelah tempat dianalisis, latar waktu yang menandakan kapan peristiwa itu terjadi juga harus dianalisis. Latar waktu berarti juga zaman terjadinya lakon itu. Latar waktu dalam naskah ini tidak dipaparkan oleh pengarang, akan tetapi naskah ini hadir di tahun 1976.31 Biasanya pengarang adalah pencatat sejarah yang baik, karena tulisannya berupa peristiwa-peristiwa yang kadang peristiwa itu menyembunyikan dirinya dari masyarakat. Tugas pengarang adalah menguak setiap rahasia yang patut diketahui. Naskah dibuat ketika mahasiswa berkumpul untuk menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang, yaitu Tanaka Kakuei. Pada tahun 1974 berdekatan dengan pementasan naskah Umang-umang ini, yaitu pada tahun 1976. Di sini, Arifin ingin mengingatkan pada penonton bahwa telah terjadi pemberontakan besar oleh mahasiswa akan kedatangan Perdana Menteri Jepang. Di hari kelabu itu, pusat pertokoan yang dikenal dengan Proyek Senen di Jakarta dibakar masa. Unjuk rasa mahasiswa yang berakhir rusuh 30 31 Arifin, Op,cit., h. 5 Arifin, Op,cit., h. 87 65 itu dikenal sebagai Malari, Peristiwa Limabelas Januari tentang kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974 di Jakarta. Peristiwa Malari dilatari kemarahan rakyat karena melambungnya harga beras dan bahan kebutuhan pokok. Penyebabnya adalah resesi dunia sejak 1973 lantaran embargo minyak oleh negara-negara Arab dan melambungnya harga minyak dunia. Ekspresi kemarahan itu muncul melalui mahasiswa karena selama enam bulan sebelumnya mereka diminta Soemitro mengkritik pemerintah dengan alasan untuk memberikan umpan balik atas kebijakan pemerintah.32 Selain melakukan aksi, kelompok mahasiswa juga mengatur strategi agar dapat melakukan pertemuan dengan mahasiswa yang lain. Hal ini sama dengan yang tercatat dalam naskah, Waska si pemimpin komplotan yang mengumpulkan setiap balatentaranya. Buang : Saudara-saudaraku, segeralah kumpul di alun-alun, maksud saya di kompleks kuburan berbagai bangsa dan berbagai agama. Di atas tanah yang di dalamnya kursi leluhur kita itu Waska pemimpin jempolan akan mebagi-bagikan impian spektakuler dan kolosalnya dari ketentraman jiwa kita.33 Kejadian mengumpulkan bala tentara Waska dan para mahasiswa dari setiap golongan yang mendukung rencana Hariman Siregar itu ada kemiripan. Waska dan bala tentaranya akan merampok semesta, sedangkan Hariman dan orang-orang yang mendukungnya akan menguak semua kesalahan pemerintahan pada saat itu. waska dan bala tentaranya mengadakan rapat di sekitar daerah Jakarta, sedangkan Hariman sering mengadakan pertemuan di Jl. Telukbetung, kediaman Jajang Pamoentjak, istri dari almarhum Arifin C. Noer. Waska dan baa tentaranya merampok besar-besaran dengan menghancurkan toko-toko, pabrik-pabrik, dan bangunan yang ada di 32 Jopie Lasut, Malari : Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA, (Depok: Yayasan Penghayat Keadilan, 2001), h. 91 33 Arifin, Op,cit., h. 40 66 sekitar Jakarta. Di dalam sejarah pun tercatat bahwa peristiwa Malari mengadakan aksi pembakaran dan pengrusakan terhadap bangunanbangunan yang ada di Jakarta. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 buah gedung rusak atau terbakar, dan 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Wilayah pertokoan Senen menjadi titik perhatian kala itu, mengingat pembangunan pertokoan yang memakan biaya Rp2,7 Milyar habis dilahap api.34 Pada waktu itu kurs Dollar masih 25 rupiah, begitu banyak kerugian akibat pemberontakan mahasiswa. Ironisnya, hingga saat ini sebagian orang masih mempertanyakan siapa dalang dibalik peristiwa kerusuhan tersebut. Salah seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang bernama Hariman menyebutkan bahwa Malari sebagai puncak dari gerakan kritis terhadap konsep pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru saat itu. Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandanganya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Aspri (asisten pribadi) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dll) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Ada pula analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo. Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak dikemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto vs Prabowo). Peristiwa pemberontakan mahasiswa terhadap pemerintah ini digambarkan oleh Arifin sebagai komplotan Umang-umang yang arti semantisnya adalah orang yang memakai baju atau celana milik orang lain. Jelas, satu mahasiswa yang mengatur dan bertindak sesuka hati tanpa tahu apa yang ia lakukan. Padahal, ini adalah kerja Pemerintah untuk membangun Negara. Mahasiswa malah serta-merta merusak dan ingin menggagalkan rencana Pemerintah. Akhirnya, rencana menggagalkan itu 34 Jopie Lasut, Op,cit., h. 91 67 jelas gagal total. Hal tersebut malah merugikan masyarakat dan Pemerintah. Itulah, seorang mahasiswa yang berani mengambil hak atas cara kerja pemerintah, ketika ditangannya, rencana itu malah hancur dan kedodoran, tidak pantas. Bisa jadi memang arti semantis umang-umang di sini mengibaratkan pemerintah yang menguras habis uang rakyat untuk modal pembangunan dan kerja sama dengan negara Asing dengan menaikan harga-harga hingga melambung tinggi. Menaikan harga saat itu bisa saja hanya alasan pemerintah, padahal uang rakyat dilahap habis untuk keperluan pribadinya. Itulah pemerintah yang memakai uang rakyat, masa kepemimpinannya menjadi kedodoran dan tidak pantas, banyak yang menentang. Kemudian latar ruang yang disebut tempat kejadian atau keadaan keperluan untuk pementasan. Misalnya, di ruang keluarga modern yang kaya akan lain dari ruang keluarga tradisional yang miskin. Hal ini dibutuhkan untuk keperluan pemanggungan. Ruang dalam naskah ini adalah kehidupan miskin. Koor : Kemiskinan telah menghalau kami ke kota yang penuh kemiskinan ini. Kemiskinan telah mengajar mencuri, mencopet, menjambret, menodong, menggarong. Desa telah mengusir kami. Kota telah mengusir kami. Apakah langit juga akan mengusir kami?35 Kemiskinan sudah pasti dirasakan masyarakat Jakarta saat itu setelah kejadian Malari yang membakar hangus semua bangunan dan kendaraan. Kemiskinan moral, kemiskinan tata negara, dan kemiskinan pendapat tentang negara di bawah kekuasaan Soeharto, Orde Baru. Wajar saja jika mahasiswa mengadakan kerja sama antarmahasiswa lainnya untuk melawan pemerintahan. 35 Ibid, h. 47 68 5. Dialog Bahasa yang digunakan dalam naskah drama biasanya berbentuk dialog. Dialog-dialog inilah yang membentuk konflik serta jalan cerita pada sebuah naskah drama. Dialog biasanya berupa bahasa lisan atau bahasa sehari-sehari, tetapi di dalam sebuah karya sastra, dialog juga bersifat estetis seperti yang dikemukakan oleh ahli. “Dialog juga harus bersifat estetis, artinya memiliki keindahan bahasa”.36 Dialog menggunakan bahasa lisan yang tidak baku karena naskah drama bertujuan untuk dipentaskan. Sedangkan sifatnya yang estetis menunjukkan bahwa naskah drama adalah keperluan karya sastra sebagai bahan bacaan. Contoh dialog sehari-hari dengan bahasa lisan yang tidak baku. Ranggong :Jangan terlalu berkepanjangan, Bigayah. Kasihan Waska, kasihan jiwanya. Debleng : Kalau terlalu lama mengangis nanti serak. Ranggong : Jangan ngaco, Debleng!37 Dialog ini dikatakan tidak baku karena bahasa yang dipakai bahasa sehari-hari, tidak menggunakan bahasa intelek atau puitis. Berikut ini adalah contoh dialog dengan menggunakan bahasa yang estetis. Debleng : Betapapun hina dinanya orang yang ada dalam kubur ini, Tuhan, namun terimalah dia. Barangkali ia hanyalah serbuk kayu, barangkali ia hanyalah arang, barangkali ia hanyalah daki, barangkali ia hanyalah karat pada besi tua, namun tak bisa dipungkiri ia adalah milikMu, makhlukMu, maka terimalah ia karena Engkau tahu kami tak bisa menyimpannya. Mengapa dikatakan estetis, karena dialog di atas mengandung unsur puitis yang menggunakan bahasa kiasan atau gaya bahasa metafora38, yaitu “Barangkali ia hanyalah karat pada besi tua,….” 36 Herman. Op,ci.t, h. 21 Arifin, Op,cit., h. 31 38 Melani, Op,cit., h. 40 37 69 Embah : Malam sudah larut, angin sangat lembut Dan saya sudah siap akan hanyut, tidur, Istirahat dari siang gerah dan kemelut39 Dialog di atas juga dikatakan sebagai dialog yang menggunakan bahasa yang estetis, artinya mengandung unsur keindahan atau unsur puitis. Ada kesamaan bunyi di dalam dialog tersebut, sehingga dialog tersebut dikatakan estetis atau mengandung unsur keindahan. Ada juga beberapa dialog yang mengandung unsur puitis lainnya seperti di bawah ini. Embah: Kalau besok matahari menggeliat, diapun akan menyaksikan aku juga menggeliat, segar penuh rasa terimakasih kepada udara, pada burung-burung yang berkicau, kepada semua saja, yang kuhirup yang kurasa, yang kuraba, yang kulihat, yang kudengar, yang kupirikan, yang kubayangkan, semua saja, yang kadang menyedihkan, yang kadang menggembirakan. Atau barangkali besok aku diam, kaku, membeku, tidak lagi ikut menggeliat bersama kuntum-kuntum bunga, namun pasti jiwaku tetap segar, tetap penuh rasa terimakasih kepada semua saja, juga kepada ketabahanku.40 Begitulah dialog dalam drama, menggunakan bahasa sehari-hari dan bahasa yang puitis juga, karena ia termasuk dalam karya sastra. selanjutnya kita akan membahas amanat yang terkandung dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer. 6. Amanat Amanat adalah pesan yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca lewat karyanya. Amanat dalam naskah drama ini adalah seperti berikut. Embah Putri : Kita harus hidup artinya kita juga harus mati. Hidup membutuhkan mati. Dan alam 39 Arifin, Op,cit., h. 48 Ibid, h. 48-49 40 70 memiliki sesuatu sistim manajemen dan organisasi yang paling sempurna. Dan alam selalu efisien dalam segala hal. Anak-anakku, setiap makhluk mempunyai batas waktu hidup yang pada dasarnya telah disesuaikan dengan kemampuan makhluk itu dalam rangka kesemestaan. Di luar atau keluar dari kerangka ini akan menyebabkan kegoncangan-kegoncangan, baik pada semesta maupun pada yang bersangkutan sendiri. Yakinlah bahwa setiap penyelewengan hanya akan menghasilkan penyelewengan juga.41 Amanat yang disampaikan ini perihal menjaga alam, kematian, serta akibatnya. Kita sebagai makhluk yang hidup di bumi yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah, haruslah pintar dalam mengolah serta menyuburkan. Jika kita merusak ekosistim alam, maka alam pun akan membalas dendam dengan caranya sendiri. Jangan serakah terhadap alam dan juga pada diri sendiri, bersikaplah efisien dan memanfaatkan segala yang ada dan mengolahnya kembali. Seperti yang terkandung dalam QS. Ar-Rum (30) Ayat 41-42. 41 Ibid, h. 56 71 Ayat 41 memiliki arti bahwa “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Sedangkan ayat 42 memiliki arti “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” Isi kandungan dari ayat tersebut menjelaskan bahwa selain untuk beribadah kepada Allah, manusia juga diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi. Kerusakan berupa musibah, bencana, dan malapetaka yang terjadi di permukaan bumi baik di darat maupun di laut disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Kerusakan yang terjadi melalui lima bidang kehidupan, pertama kerusakan di bidang keimanan. Kedua, kerusakan dalam bidang mental dan intelektual. Ketiga, kerusakan dalam bidang pembinaan dan kehidupan keluarga. Keempat, kerusakan dalam bidang martabat manusia dan kelima kerusakan dalam bidang material dan sumber daya alam. Dalam alquran juga terdapat ayat yang menjelaskan tentang larangan bunuh diri. Bunuh diri sangat dilarang dan dibenci oleh Allah SWT karena hanya Dialah yang berhak mengambil kehidupan yang telah Dia berikan. Dengan bunuh diri, seseorang akan merasakan penderitaan tiga kali, yaitu penderitaaan di dunia yang mendorongnya berbuat seperti itu, penderitaan menjelang kematiannya, dan penderitaan yang kekal di akhirat nanti. Berikut surat An-Nisa ayat 29-30 tentang larangan memakan harta orang lain dan bunuh diri, 72 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Pada ayat 30 mengandung arti “dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. kedua ayat ini menegaskan agar umat islam menghargai harta dan jiwa orang lain, sama seperti mereka menghormati jiwa dan hartanya sendiri dan janganlah mereka berlaku keji dan zalim. Segala bentuk pemerkosaan terhadap harta orang lain adalah perbuatan tercela, kecuali berazaskan transaksi yang sah serta pemiliknya melakukan transaksi ini dengan kerelaan yang penuh. Melanggar harta orang lain adalah kezaliman jiwa pelakunya, dari itulah, perbuatan yang dilakukan nanti mendatangkan hukuman dan siksaan yang berat. Dari dua ayat di atas, terdapat beberapa pelajaran yang dapat dipetik: 1. Islam menghormati kepemilikan pribadi dan kerelaan pemilik merupakan syarat bertransaksi. 2. Sistem ekonomi yang tidak benar hanya akan melahirkan kesenjangan sosial yang akan melahirkan masalah sosial. 73 3. Islam melarang tindak pencurian dan penipuan yang dapat merugikan orang lain. 4. Jiwa manusia itu mulia, maka dari itu islam mengharamkan hukum bunuh diri atau membunuh orang lain. 5. Allah Swt mengasihi manusia, tetapi tetap bersikap tegas terhadap para pelaku kezaliman, karena hak masyarakat sangat penting di sisi Allah. Sesungguhnya setiap makhluk yang hidup memerlukan mati. Waska, Borok, dan Ranggong adalah makhluk hidup yang membutuhkan mati. Mereka mencari mati agar mereka dapat terlepas dari beban-beban hidup yang bersifat materialis. Mereka membutuhka mati untuk memperoleh ketenangan jiwa. Itulah yang mereka lakukan untuk memperoleh ketenangan. Tidak di desa, tidak di kota, tidak juga kematian, semuanya ingin tenang. B. Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang Karya Arifin C. Noer. 1. Pandangan Tokoh Waska tentang Cinta Kasih Waska adalah tokoh utama yang mencipta konflik dan mencipta setiap peristiwa. Waska adalah sosok yang anti-kemapanan. Antikemapanan beragam macamnya. Terkait latar waktu, anti-kemapanan di sini adalah anti terhadap pemerintahan Orde Baru. Waska bukanlah seorang pelaut yang melalui jalur pendidikan untuk melakukan pekerjaannya itu. Ia hanya korban pemerintahan yang mengandalkan pengalaman. Setelah pemerintahan berganti, lepaslah tugas Waska untuk mengarungi lautan. Layaknya seorang pelaut, ia hanya hidup sendiri di tengah samudera, tidak mengenal orangtua, kerabat, bahkan cinta. Akan tetapi, ketika ia berada di daratan dan memimpin komplotan, ia dikenalkan banyak hal. Walaupun begitu, tetap saja cara pandangnya terhadap dunia masih seperti ketika ia di lautan. 74 Pandangan hidup Waska tentang cinta kasih adalah bahwa ia tidak mengakui keberadaan cinta. Ia menampik adanya keberadaan cinta dan keberadaan Bigayah, mucikari lokal di lingkungan Waska. Meskipun Bigayah sangat sering mendekati Waska, akan tetapi Waska selalu menampik dan memilih untuk lari. Bigayah : Sudah hampir empat puluh tahun aku dirundung cinta suci atasmu, Waska, masihkah kau menampik? Begitu berartinya Waska bagi Bigayah, sampai-sampai segala hal yang berkaitan dengan Waska ia simpan rapih dalam hatinya dan kebiasaannya. Akan tetapi, Waska selalu menjauh dan pergi dari hadapan Bigayah. Bigayah : Jangan bersembunyi, Waska. Jangan bersembunyi. Biar saja polisi-polisi dan kamtib-kamtib menangkap kita, asalkan kita bisa tetap bercinta. Biarkan kita terjaring Dewi Ratih dan Kamajaya, Waska. Nasib buruk, kesialan, kemelaratan, dan penyakit jangan pula kita biarkan memusnahkan cinta kita. Melarat sudah, penyakitan sudah, tapi janganlah kita dimakan kebencian. Waska memang menampik keberadaan cinta, akan tetapi bukan berarti ia tidak pernah merasakan cinta. Ia juga merasakan cinta layaknya manusia biasa. Ia pernah juga mengakui bahwa ia rindu dengan Bigayah, bahkan pada saat ia sedang dalam keadaan panik, ia selalu meneriakan nama Bigayah, bukan nama Tuhan atau sosok superior lainnya. Waska : Aku mohon janganlah engkau memperdengarkan suaramu. Frekuensi suaramu sedemikian rupa menyebabkan gendang telingaku terluka dan jantung melipatkan debarannya tujuh ribu kali perdetik. Aku mohon, Bigayah, aku mohon. Apabila kita merasakan cinta, pastilah degupan jantung kita berlipatlipat cepatnya. Itulah bukti bahwa Waska merasakan cintanya kepada Bigayah. Tetapi ia menampiknya dan menolaknya mentah-mentah. Itu semua ia lakukan karena ia adalah penjahat besar yang tidak akan 75 menikah. Baginya, menikah adalah omong kosong belaka yang terdapat dalam dongeng. Waska : Kalau cintamu tidak atau belum mendapatkan balasan dari hatiku, adalah karena pikiranku yang jahanam serta penuh kepongahan yang adalah bagaikan putra Nuh nan durhaka.42 Menurut Waska, jika ia mencintai berarti rencana besarnya untuk merampok semesta akan sia-sia. Ia sombong dengan dirinya sendiri yang menurutnya ia bisa hidup tanpa pendamping hidup. Ia melakukan hal-hal yang bersebrangan dengan masyarakat umum seperti menikah, memiliki keturunan, dan sebagainya. Setiap manusia, khususnya laki-laki yang gagal dalam menjalankan rencananya karena dijanjikan tiga hal; Harta, Tahta, dan Wanita. Ketiga hal itu yang sedari dulu menjadi rayuan dan hasutan yang membuat seseorang tidak tahan untuk tidak menolaknya. Hariman Siregar, dalam kasusnya tidak menampik cinta, justru ia menampik harta dan tahta. Sebelum dipenjarakan oleh Soeharto, Hariman sempat bertemu Soeharto dan ia dijanjikan akan mendapatkan hadiah jika rencananya mengajak mahasiswa lain terhadap aksi anti-jepang yang bekerja sama dalam pembangunan Indonesia dibatalkan. Sama halnya dengan Umang-umang, Arifin menggambarkan Waska yang menampik cinta karena harta dan tahta tentu tidak akan menjadi penggoda untuk menggagalkan rencana Waska dalam merampok semesta. Waska dan bala tentaranya hidup dalam kemiskinan, tidak mungkin harta dan tahta menjadi simbol untuk menggagalkan rencana besar Waska. Oleh karena itu, Arifin membuat Waska menampik cinta. Pengaruhnya sama-sama besar ketika dihadapkan oleh tiga hal tersebut, harta, tahta, dan wanita. 42 Ibid, h. 19 76 2. Pandangan Tokoh Waska tentang Penderitaan. Waska dan bala tentaranya (umang-umang) memang sudah akrab dengan penderitaan, hidup dalam penderitaan, tergencet, subordinat, tidak diterima masyarakat, dan lain-lain. Penderitaan-penderitaan yang mereka alami akhirnya membuka keyakinan bahwa ternyata mereka semua ditakdirkan untuk menjadi entitas yang selalu bersebrangan dengan apapun yang masyarakat umum menyatakannya sebagai „mapan‟. Waska : Tidak Jonatan, segala tindak-tandukkku, langkah-langkahku, sepak-terjangku, semua perbuatanperbuatanku didorong oleh semangat mencari makan sebagai layaknya jenis hewan lainnya. dan segala ocehanmu tentang akhlak, budi pekerti, tentang moral, tentang tetek bengek lainnya, sekarang aku tahu hanyalah tetek bengek orang yang kenyang dan tidak untuk orang yang lapar. Mereka mempeributkan semua itu hanyalah agar waktu makan mereka tidak terganggu. Dan segala macam omong kosong itu secara bangga kamu nyanyikan di mana-mana dan kamu mendapatkan tepuk tangan, lemparan bunga, lemparan uang, lemparan makanan, bahkan lemparan kehormatan. Suatu skandal terbesar yang tak pernah terungkap.43 Misalnya, mendapatkan uang dengan bekerja. Akan tetapi yang dilakukan mereka adalah mereka mendapatkan uang dengan merampok. Mereka merampok semata-mata bukan hanya untuk menyambung hidup, melainkan hendak menyatakan bahwa merampok dengan mengajar murid taman kanak-kanak adalah sama saja derajatnya. Seperti halnya Jonatan, ia mendapatkan uang dan segala macamnya dengan menulis puisi tentang kemiskinan yang kemudian ia mendapatkan apresiasi yang bagus dari masyarakat atas gambaran kemiskinan yang ia buat. Seorang pengarang mempunyai pengaruh yang besar terhadap tokoh yang ia buat dalam karyanya. Begitu pula dengan Arifin C. Noer yang membuat tokoh 43 Ibid, h. 72-73 Waska menjadi seorang pembangkang terhadap 77 pemerintahan yang nyatanya pada masa pengarang tersebut menulis naskah ini, rezim orde baru sedang melakukan hegemoni besar-besaran. Sebagai naskah drama, jika naskah drama ini diasosiasikan seperti manusia, naskah atau pertunjukannya memiliki dua wajah, dua kepribadian. Wajah pertama, Waska dengan umang-umang sebagai bala tentaranya. Wajah kedua adalah Semar dan para anggota aktif orkes madun. Dalam kehidupannya, Arifin menggambarkan Waska adalah seorang cendikiawan dan Semar adalah pemimpin yang memiliki umur panjang, seperti pemerintahan Soeharto dengan kemiliterannya, 32 tahun. Masa kepemimpinan paling lama di Indonesia. Semar yang hanya menonton Waska dan bala tentaranya yang asik merampok semesta sama halnya dengan Soeharto yang menonton saja ketika kaum cendikiawan memberontak atas kepemimpinannya dengan melibatkan kerja sama dari negara asing. Gerakan cendikiawan yang menentang pihak asing untuk bekerja sama ini digambarkan oleh Arifin lewat umang-umangnya lewat perampokan besar-besaran yang pada saat itu sedang gaungnya pembangunan di tangan kepemimpinan Soeharto. Waska digambarkan sedang menyusun rencana besar untuk mengubah cara pandang bala tentaranya agar mengikuti caranya menentang pemerintahan yang sedang melakukan pembangunan besar-besaran, akan tetapi pemerintah tidak pernah melihat bahwa rakyat kecil menderita akibat perekonomian melemah dan pembangunan terus maju pesat. Pemerintahan Orde Baru berjanji akan membangun ekonomi nasional dan meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde Baru memang mampu membangun ekonomi nasional, tetapi tidak mampu meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde Baru mengembangkan gaya pemerintahan yang paternalistik, namun juga menindas. Orde Baru berusaha mencari keterlibatan rakyat untuk mendapatkan legitimasi, tetapi hanya lewat cara-cara yang dikendalikan dengan cermat. Sebagian besar pembangunan ekonomi nasional 78 bergantung pada perusahaan asing dan hanya terjadi pertumbuhan kecil pada industri pribumi.44 Itulah bukti sejarah yang ditulis oleh seorang sastrawan apabila tidak ada orang yang pada waktu itu tidak dapat menulis secara terang-terangan karena takut pada pemerintah, yaitu pemerintahan Orde Baru ditangan Soeharto. Pada akhirnya, elite Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, keluarga, dan kroni-kroninya menciptakan bentuk pemerintahan yang terkadang disebut kleptokrasi: pemerintahan yang dipimpin oleh para pencuri.45 3. Pandangan Waska tentang Tanggung Jawab. Menurut WJS. Poerwodarminto, “tanggung jawab adalah suatu yang menjadi kewajiban (keharusan) untuk dilaksanakan, dibahas, dan sebagainya”.46 Waska sangat menghargai setiap detik yang ia lakukan. Ia sangat bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Menurutnya, tanggung jawab adalah suatu kepercayaan hidup. Tidak bertanggung jawab sama saja dengan tidak memiliki cita-cita. Itu bentuk tanggung jawabnya terhadap hal yang ia inginkan. Engkos : Waska, kita sudah tujuh jam mengintip nonstop, bagaimana seterusnya? Waska : Betul-betul anjing kurapan budak setan itu. nggak sabaran. Mana bisa ia menjadi penjahat besar tanpa memiliki ketahanan menghadapi waktu. Bertanggung jawab itu dimulai dari hal kecil, misalnya dalam menghadapi waktu. Kalau dalam mengahadapi waktu saja kita tidak bisa bertanggung jawab, bagaimana dengan perihal yang lain? Menurut Waska, tanggung jawab adalah perwujudan kesadaran akan kewajibannya, maka 44 Jopie Lasut, Malari : Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA, (Depok: Yayasan Penghayat Keadilan, 2001), h. 10 45 Ibid 46 Lies, Op,cit., h. 103 79 dari itu, apabila ada bala tentaranya melakukan hal diluar keinginannya atau tidak mewujudkan kesadarannya akan kewajibannya, pasti Waska tidak menyukainya. Hal yang tidak diinginkan Waska, yaitu bahwa bala tentaranya tidak sabar dan tidak memiliki tanggung jawab terhadap waktu. Menurutnya, apabila ingin menjadi penjahat besar haruslah sabar dan harus seksama dalam memperhatikan, baik itu memperhatikan lawan, bahkan kawan. Agar sewaktu-waktu, hal itu akan mengajari kita bagaimana caranya bertindak selanjutnya. Menghargai waktu adalah bentuk tanggung jawab paling mendasar bagi Waska. Dari situlah kita berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai kesadaran kita akan tanggung jawab. Menurutnya, jika kita mencintai atau menginginkan sesuatu, kita harus menjalani setiap detik dari prosesnya. Tidak boleh lemah, tidak banyak bicara, tidak banyak mengeluh, apalagi murung dan gagal. Pandangan hidup Waska akan tanggung jawab adalah perihal membuktikan dan bekerja keras. Ia rela melakukan apapun agar rencana besarnya dalam merampok semesta berhasil. Walaupun akibatnya ia tak dapat mati. Begitulah Waska, apapun yang diinginkannya harus dilaksankan dengan baik dan dengan berbagai cara yang baik. Menurutnya, jika sesuatu dijalankan dengan mementingkan proses, apapun hasilnya, pasti akan berpengaruh pada hati, pikiran, maupun jiwa. Pada saat itu Waska memang akan melakukan kegiatan yang sangat besar dan terencana, karena ia dan komplotannya memang diasingkan dari dunia luar. Perbuatan besar itu tidak akan ia sia-siakan hanya karena salah satu bala tentaranya tidak bertanggung jawab terhadap waktu. Oleh karena itu ia membunuh Engkos karena tidak sabar menghadapi waktu. SAMBIL MELUDAHKAN SEDERETAN KATAKATA UMPATAN, WASKA MELEMPARI ENGKOS DENGAN BATU DAN APA SAJA YANG DIDAPAT. ORANG-ORANG YANG MENONTON PUN IKUT MELEMPARI, MEREKA BARU BERHENTI KETIKA ENGKOS SUDAH NGGAK BERKUTIK LAGI. 80 Membunuh di sini adalah simbol untuk menjelaskan bahwa hal yang buruk (tidak menghargai waktu, disiplin) itu dihilangkan. Semua hal yang kita lakukan pasti ada akibatnya dan harus harus ada yang dikorbankan. 4. Pandangan Hidup Waska tentang harapan. Setiap manusia yang hidup pasti memiliki harapan. Harapan adalah keinginan yang diimpikan atau sesuatu itu belum terjadi. Apabila kita ingin mewujudkannya, diperlukan kerja keras serta kegigihan yang kuat. Pandangan Waska tentang harapan adalah keputusasaan. Ia menganggap dirinya adalah orang yang terbuang dari kehidupan nyata. Pekerjaan tidak ia miliki, keluarga dan kebahagiaan dalam keluarga hanya dongeng menurutnya, berharap untuk diakui masyarakat pun sudah tidak bisa ia lakukan. Akhirnya, mengumpulkan manusia-manusia yang memiliki kesamaan nasib dengannya dan menjadi penjahat besar adalah harapan barunya bagi kelangsungan hidup yang ia jalani. Waska : Aku pernah memilih, tapi aku ditolak, selalu ditolak. Kemiskinan telah menodongku, kelaparan telah menodongku, dan aku tak rela dicincang oleh kemiskinan dan kelaparan, maka kutodongkan kekayaan”.47 Kehidupan yang kejam memang tidak pernah memberi ampun bagi siapa saja yang tidak memiliki tempat pada kekayaan. Kemiskinan adalah komedi bagi kekayaan, yang mana ceritanya sangat perih megiris ulu hati, akan tetapi tetap ditertawakan karena kebodohan. Miskin adalah simbol kebodohan di zaman itu, tetapi Waska memiliki harapan yang besar, yaitu membalas dendam atas kepongahan dan kekayaan. Harapan manusia sangatlah banyak, begitupun Waska yang berharap terlalu banyak. Berharap pada kenyataan ia diasingkan, berharap pada hidup layak, ia tidak menjadi apa-apa. Akhirnya, ketika semua sudah habis ia harap, ia ingin sekali mendapat ketenangan yang menurutnya adalah 47 Arifin, Op,cit., h. 24 81 kematian, ya, dia berharap mati. Ia ingin mati untuk mendapatkan ketenangan. Menurutnya, mati itu berarti ia terlepas dari beban hidup dan kebisingan akan kebutuhan yang begitu memaksa untuk dipenuhi. Kematian menurutnya adalah sumber ketenangan, yaitu segala sesuatu yang ia anggap tenang dan terhindar dari kehidupan nyata. Akan tetapi sangat disayangkan, kematian yang ia inginkan tidak ia peroleh. Ia dikhianati mentah-mentah oleh kehidupan. Harapan adalah sesuatu yang harus kita kerjakan untuk mencapainya. Untuk mencapai kematian itu, ia mencoba membunuh dirinya sendiri dengan berbagai cara. Akhirnya, siasia. Ia tetap hidup sampai di naskah drama selanjutnya. Sebagai naskah drama, jika naskah drama ini diasosiasikan seperti manusia, naskah atau pertunjukannya memiliki dua wajah, dua kepribadian. Wajah pertama, Waska dengan umang-umang sebagai bala tentaranya. Wajah kedua adalah Semar dan para anggota aktif orkes madun. Waska tidak dapat mati karena ia adalah wujud lain dari Semar, yang mana dalam naskah sebelumnya, yaitu Orkes Madun I atawa Madekur dan Tarkeni, usia Semar adalah 2400 tahun. Dalam pewayangan, tokoh Semar adalah tokoh Batara Ismaya yang tidak mengenal mati. Itu mengapa tokoh Waska yang sudah dimakan penyakit itu tidak juga mati. Di akhir cerita, Semar tidak pernah muncul lagi dalam diri Waska, akan tetapi Waska bukanlah Waska yang seutuhnya. Semar memang tidak bernaung lagi dalam tubuh Waska, melainkan meninggalkan warisan yang berupa keabadian. Semar sering berganti wujud menjadi Waska, dalam pewayangan, Semar dikenal sebagai Dewa yang mengejawantah, “apabila diperlukan dalam penyelesaian tuntutan yang sangat penting, Semar berubah wujud menjadi Sang-hyang Ismaya”48 atau Batara Ismaya 48 Suwandono, dkk, Ensiklopedi Wayang Purwa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 470 82 C. Implikasi naskah drama Umang-umang terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Menurut KBBI, kata implikasi berarti keterlibatan atau keadaan terlibat. Implikasi dalam sebuah naskah drama berarti melibatkan naskah drama dalam pembelajaran sastra di sekolah. Dalam penelitian ini, yang diimplikasikan kedalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah naskah drama Umang-umang karya Arifin C. Noer. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, drama merupakan bagian dari materi ajar bahasa dan sastra Indonesia yang tercantum dalam GBPP sekolah menengah atas (SMA). Oleh sebab itu, materi ajar ini harus disuguhkan sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai, yaitu siswa mampu memahami drama dan menganalisa pementasan drama, serta memerankan tokoh dalam drama. Drama adalah bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan mengasyikan para pemain dan penonton sehingga sangat digemari masyarakat. Selain mudah disesuaikan untuk dimainkan dan dinikmati masyarakat segala umur, drama sangat tinggi nilai pendidikannya. “Drama merupakan peragaan tingkah laku manusia yang mendasar, drama baru dapat disusun dan dipentaskan dengan berhasil jika diikuti pengamatan yang teliti baik oleh penulis, maupun para pemainnya”.49 Apabila mencermati kompetensi materi ajar drama yang terpapar dalam silabus kelas IX, maka materi ajar ini diarahkan agar siswa tidak terbatas mengetahui sejauh mana memahami tema, watak tokoh, alur, serta konflik dalam drama saja. Pelibatan langsung seperti pementasan drama juga dibutuhkan untuk mengasah peserta didik ke arah kemampuan dalam menghadapi kenyataan di luar sekolah. Salah satu upaya dalam mencapai tujuan pengajaran sastra yaitu, pengetahuan sastra yang diajarkan kepada siswa hendaknya berangkat dari suatu penghayatan atas suatu karya sastra yang kongkrit. Hal ini dimaksudkan agar pengalaman sastra yang diajarkan pada siswa melekat dan berakar kuat. 49 B. Brahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: KANISIUS, 1988), h. 89 83 Kenyataannya, kegiatan mementaskan drama dalam materi ajar jarang sekali dilakukan. Hal ini disebabkan ruang dan waktu yang tersedia dalam kurikulum untuk mengarahkan siswa ke arah tersebut cukup terbatas. Mengacu pada alasan itulah, sebagian guru tidak mengarahkan secara optimal peserta didik untuk menggali kemampuan mereka dalam menyusun naskah drama dan bagaimana mementaskannya. Semua itu terlepas agar materi yang diajarkan tidak bertumpu pada kemampuan kognitif semata. Padahal, dunia drama adalah dunia yang menyenangkan bagi peserta didik seusia mereka, karena dalam prosesnya, mereka dapat bermain serta berekspresi dengan bebas tanpa sekat yang membatasi ruang ekspresi yang ditampilkannya. Kenyamanan yang menyenangkan adalah hal yang tidak dapat ditawar bila guru ingin membangun kepercayaan diri peserta didik. Dengan kepercayaan diri, maka mereka dengan senang hati mengeksplor segala kreativitasnya dan selalu ingin berbuat/berlaku. Pengajaran drama di SMA tidaklah direncanakan untuk melahirkan dramawan-dramawan muda atau Arifin-arifin muda. Melainkan untuk melahirkan kelompok remaja siswa yang meminati dan menggairahi drama. Dalam prosesnya, drama sangat berpengaruh dalam pengembangan karakter, penguatan karakter, dan pengembangan mental peserta didik, karena yang diajarkan di panggung kecil itu, bagaimana tubuh manusia di atas panggung memiliki sosok yang kuat dan juga karakter yang kuat. Drama berada pada wilayah rohani (sesuatu yang bersih tidak ada niat buruk), maka dari itu, si pemain harus melatih dirinya sedemikian rupa, karena tubuhnya merupakan pusat artistik dan di atas panggung ia bekerja sama dengan orang banyak dan juga ia mengemban pesan untuk disampaikan pada orang banyak. Mempelajari drama, artinya kita belajar mengenal dan memahami satu sama lain, karena ia hidup dalam satu komunitas. Konsekuensinya adalah bagaimana satu sama lain saling mengenal, dan mengenalnya pun bukan secara basa-basi. Tetapi mengenal yang intim, artinya mengenal kekurangan dan kelebihan orang yang di dalamnya, di mana mengenal kekurangan kelebihan itu menjadi modal dasar untuk masuk ke dalam wilayah penciptaan. 84 Artinya proses dalam drama memberikan ruang seadanya untuk mereka bersikap jujur di atas panggung. Ini yang menjadi pijakan dasar bagaimana peserta didik harus memproses dirinya secara optimal. Peserta didik tidak bisa memperlakukan panggung semena-mena, karena panggung seperti ruang belajar untuk kita bersikap penuh kejujuran, penghargaan, dan kerendahan hati, agar yang dihadirkan itu bersifat apa adanya. Seni adalah sesuatu yang dapat menyentuh, karena ia berada di wilayah rohani, yaitu sesuatu yang sakral, bersih, tidak ada tendensi, pretensi, dan tidak ada niatan buruk. Apabila sesuatu tidak ada niatan buruk, tidak ada niatan jahat, disampaikan apa adanya dan setulusnya, baik dengan kemasan komedi maupun tragedi, akan tetapi dapat membuat penonton tersentuh. Itulah fungsi seni sebenarnya, cukup dengan menyentuh penonton. “Drama merupakan bentuk yang paling kongkrit, yang secara artistik dapat menciptakan kembali situasi kemanusiaan dan hubungan kemanusiaan”.50 Ini dimaksudkan untuk menanamkan kesadaran pada peserta didik, bahwa drama memiliki fungsi yang esensial dalam pembinaan proses pemanusiaan insan-insan modern yang selalu dilanda oleh konflik-konflik yang tak terselesaikan. Kebiasaan-kebiasaan itu dihadirkan dalam drama lewat instrumen yang sangat penting dalam proses penginternalisasian perananperanan sosial setiap individu di dalam masyarakat. Maka dari itu, proses yang dilakukan peserta didik dalam mempelajari drama sudah tertanam dalam diri sehingga hanya memperkuat dan memperdalam peran yang dimainkan. Pengajaran di dalam drama tidak semata-mata berperan dan berlenggak-lenggok di atas panggung, tidak juga mengantarkan peserta didik pada kemampuan melakonkan kehidupan, tetapi memikirkan dan lebih merenungi makna kehidupan yang sedang dan akan dihadapinya di masa depan. Dalam hubungannya, drama merupakan mata rantai yang langsung menghubungkan sastra dengan kehidupan kemanusian. Olehnya, perancangan 50 Drs. Rizanur Gani, Pengajaran Sastra Indonesia, (Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1988), h.323 85 dan pelaksaan pengajaran drama hendaknya mampu mengantarkan peserta didik ke arah proses memanusiakan diri secara lebih jujur dan terhormat. Proses belajar drama bukan hanya sekedar proses pelengkap, tetapi merupakan proses belajar-mengajar yang serius. Walaupun kelihatannya secara sepintas lalu peserta didik hanya „main-main‟, tetapi main-main yang sungguhan. Peserta didik dilatih menjadi pribadi yang tangguh, yang mampu menentukan dan melaksanakan sendiri peran-perannya, mengambil sikap yang tepat dan mandiri. Guru tidak akan mungkin banyak berbuat jika peserta didik tidak tampil dalam kondisi yang kreatif. Sebab, dalam drama moderen, kemampuan pengembangan improvisasi sangat diperlukan. Dengan improvisasi itu, siswa mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap peran yang dibeban kepadanya. Sesungguhnya, akting yang menawan dari seorang dramawan besar seperti Arifin, Rendra, dan Putu Wijaya terletak pada kemampuan improvisasi yang luar biasa. Terkadang, mereka memunculkan interpretasi yang mencengangkan, yang mungkin tidak terjabarkan dalam naskah drama tersebut. Di sinilah kematangan seorang aktor diuji, sehingga penampilannya bukan hanya menawan dan mempesona, tetapi mengantarkan penonton pada proses berpikir yang mencerminkan kadar renungannya. BAB V PENUTUP A. Simpulan 1. Naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin ini merupakan naskah nyanyian kemiskinan moral dan kemiskinan jiwa. Waska adalah tokoh utama pemimpin kelompok manusia yang memiliki kesamaan nasib, yaitu hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan menjadi tema sentral dalam naskah ini. Tokoh-tokoh yang bermain pun memiliki nasib yang tidak jauh dari kemiskinan. Alur dalam naskah ini dipadatkan dengan peristiwa-peristiwa yang kronologis dan berurutan. Seperti halnya kehidupan sehari-hari, dialog dalam naskah juga menggunakan bahasa sehari-hari yang verbal. 2. Hidup dalam kemiskinan membuat pandangan tentang hidup tokoh Waska berubah. Pertama, ia menganggap bahwa di dunia ini tidak lagi diperlukannya cinta kasih, semua hal itu malah akan membuat lemah dan tidak bergairah dalam hidup. Kedua, pandangannya tentang penderitaan berubah, menurutnya, penderitaan adalah ketika ia menikah dan memilii keluarga. Perempuan yang mencintainya sepenuh hati dibiarkan menderita lantaran dibiarkannya, tetapi menurutnya, penderitaan adalah ketika ia bersama dengan perempuan itu. Ia menganggap semua impian besarnya akan gagal ketika ia memiliki cinta. Cinta itu simbol kelemahan baginya. Ketiga, pandangan Waska tentang tanggung jawab yang baginya itu kekokohan hidup, tanggung jawab yang ia miliki adalah tanggung jawab terhadap waktu jika ingin menjadi orang besar. Keempat adalah pandangan hidupnya tentang harapan. Harapan baginya adalah omong kosong. Berharap sama saja menjatuhkan harga diri ke dalam lubang ketakutan. 3. Implikasi drama terhadap pembelajaran sastra untuk mendidik peserta didik ke arah kemanusiaan. Pengajaran di dalam drama tidak sematamata berperan dan berlenggak-lenggok di atas panggung, tidak juga mengantarkan peserta didik pada kemampuan melakonkan kehidupan, 86 87 tetapi memikirkan dan lebih merenungi makna kehidupan yang sedang dan akan dihadapinya di masa depan. Dalam hubungannya, drama merupakan mata rantai yang langsung menghubungkan sastra dengan kehidupan kemanusiann. Jadi, perancangan dan pelaksaan pengajaran drama hendaknya mampu mengantarkan peserta didik ke arah proses memanusiakan diri secara lebih jujur dan terhormat. B. Saran Dari simpulan di atas, penulis memberikan beberapa saran yang konstruktif bagi pembaca dan khususnya bagi dunia pendidikan di Indonesia. Bagi Guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, agar mampu merangsang peserta didik dengan metode-metode yang diajarkan di sekolah sehingga pembelajaran dapat dicapai sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Bagi peserta didik, yaitu mampu membaca teks naskah drama, menganalisis, kemudian mengapresiasikannya dalam bentuk pertunjukan dan dalam prosesnya dapat mengambil hikmahnya. Bagi sekolah diharapkan menyediakan sarana dan prasana sebagai penunjang keterampilan peserta didik dalam berkarya. Bagi peneliti lain, diharapkan menjadi lebih baik dan memiliki semangat yang tinggi dalam menapresiasi drama. DAFTAR PUSTAKA Asmara, Adhy, Apresiasi Drama, Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya, 1979. BA, Prasmadji, Teknik Menyutradarai Drama Konvensional, Jakarta: Balai Pustaka 1984 Brahmanto, B, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: KANISIUS, 1988. Budianta, Melani, dkk, Membaca Sastra, Magelang: Indonesia Tera, 2006. Damono, Sapardi, Antologi Drama Indonesia, Jakarta, The Henry Luce Foundation, Inc, 2006. Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Jakarta, Sejarah Kotatua, Jakarta: Jakarta Culture and Heritage, 2007. Effendy, Bisri, Majalah Kebudayaan; Nasib Kultur Pesisir di Cirebon, Depok: Desantara Utama, 2002. Endraswara, Suwardi, Teori Pengkajian Sosiologi Sastra, Yogyakarta: UNY Press, 2012. Gani, Rizanur, Pengajaran Sastra Indonesia, Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1988. Hasanuddin, Ensiklopedi Sastra Indonesia, Bandung: Penerbit Titian Ilmu Bandung, 2004. Hendrayana, Yayat, Umang-umang Arifin Impian-impian Kemelaratan, Bandung: Pikiran Rakyat, 1976. http://journal.unnes.ac.id/sju/indexphp/jsi/article/iew/2390, diunduh pada 10 Maret 20014 pukul 20.00 WIB. Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia; dilengkapi Ejaan Yang Disempurnakan dan Kosa Kata Baru, Surabaya: Cahaya Agency, 1997 Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik; Edisi keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Kutha Ratna, NyomanTeori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007. Lasut, Jopie, Malari: Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA, Jakarta: Yayasan Penghayat Keadilan, 2001. 88 89 Mustopo, M. Habib, Ilmu Budaya Dasar, Surabaya: Usaha Nasional: 1988. Mutia, Tuti, Religiusitas naskah drama Kapai-KapaiKarya Arifin C. Noer, Skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,tidak dipublikasikan, 2012. Natawijaya, P. Suparman, Apresiasi Sastra dan Budaya, Jakarta: PT Interma, 1982. N, N, Umang-umang: kesadaran ACN. Jakarta: Pelita, 1976 Noer, Arifin, C, Umang-umang atawa Orkes Madun II, Dokumentasi Dewan Kesenian Jakarta. 1976 Nurgiyantoro, Burhan,Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1995. Plays, Nine, Modern Drama, Oslo: University Of Oslo, 2001. Rendra, Seni Drama Untuk Remaja, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1993. Sudibyo, Lies, dkk. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta: C.V Andi OFFSET, 2013. Setiadi, Elly, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar edisi kedua, Bandung: Prenada Media Group, 2007. Sihabudi, dkk, Bahasa Indonesia 2 edisi pertama, Surabaya: Amanah Pustaka, 2009. Sugono, Dendy, Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009. Sulaeman, Munandar, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT Refika Aditama, 1998. Suwandono, dkk, Ensiklopedi Wayang Purwa, Jakarta: Balai Pustaka, 1991. Tuloli, Nani, Teori Fiksi, Gorontalo: Nurul Jannah, 2000. Waluyo, Herman J, Drama: Teori dan Pengajarannya, Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2001. Widagdho, Djoko, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2008. W, Supartono, Ilmu Budaya Dasar, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.