BAB II PEMBAHASAN A. TINJAUAN TENTANG NOTARIS 1. Pengertian Notaris Sebagai Pejabat Umum Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membentuk akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud UUJN, dimana hal tersebut ditujukan untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum kepada masyarakat. Oleh karena itu, apabila dalam implementasinya ternyata Notaris tidak dilindungi hak-haknya, maka Notaris sebagai pelayan masyarakat sekaligus individu sebagai bagian yang integral dalam sebuah negara, tidak mendapat perlindungan hukum maka dapat menurunkan citra bangsa itu sendiri sebagai negara hukum. Masyarakat mengenal istilah kenotariatan itu lebih kepada profesinya, yaitu profesi Notaris.Profesi ini ada di Indonesia merupakan peninggalan zaman penjajahan Hindia Belanda. Kenotariatan merupakan lembaga peninggalan zaman Hindia Belanda yang diatur dengan aturan Perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1860, tetapi karena telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan hukum masyarakat dan pemerintah maka selanjutnya sudah menjadi lembaga yang terus menerus dipakai dalam hubungan-hubungan hukum hingga sekarang, diantaranya guna diperolehnya jaminan kepastian hukum diterbitkannya akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna. dengan Kedudukan seorang Notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat hingga sekarang dirasakan masih disegani.Seseorang Notaris biasanya dianggap sebagai pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuatan dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.1 Pasal 1868 KUH Perdata memberikan wewenang kepada Notaris untuk membuat akta otentik. Kewenangan tersebut kemudian dijabarkan dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Sbtl. 1860 Nomor 3) yang memberikan pengertian tentang Notaris, bunyinya sebagai berikut :2 “Notaris adalah Pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tunggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain” R. Soegondo Notodisoerjo, dalam bukunya “Hukum Notariat di Indonesia”, beliau membahas Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, sebagai berikut :3 “Bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat Tan Thong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2007, h 444 Staatblad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris Notaris, Pasal 1 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notaris Di Indonesia., h 1 akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat lain yang dikecualikan dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu”. Pasal 1 peraturan jabatan Notaris ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa Notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang umum dalam hal pembuatan akta, bukan pejabat lain. Pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu sebagaimana telah ditugaskan oleh perundang-undangan. Pejabat lain yang ditunjuk untuk membuat akta otentik selain Notaris adalah Pegawai Catatan Sipil (Ambtenaar Van De Burgerlijke Stand). Pegawai Catatan Sipil ini walaupun bukan ahli hukum, berhak untuk membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tersebut, yaitu akta kelahiran, perkawinan dan kematian. Kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum memberikan wewenang kepada Notaris untuk dapat membuat akta-akta otentik. Berbeda halnya dengan pegawai Negeri karena meskipun mereka adalah pejabat dan mempunyai tugas untuk melayani kepentingan umum, tetapi bukan merupakan Pejabat Umum seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Notaris bukan pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan kepegawaian.Notaris dalam hal ini tidak menerima gaji, melainkan menerima honorarium dari kliennya. Adanya jabatan lain yang serupa dengan Notaris namun berbeda yaitu Pegawai Negeri sebagaimana yang telah diutarakan di atas, memperlihatkan bahwa sebenarnya Notaris mempunyai kedudukan khas sebagai pejabat umum. Dimana Notaris sebagai pejabat umum tersebut diangkat dan diberhentikan seperti pegawai negeri, tetapi bukan pegawai negeri, Notaris menjalankan sebagian kewibawaannya pemerintah dalam hal pembuatan akta-akta otentik sebagai dokumen resmi dan mempunyai kekuatan bukti sempurna, selain mengikat para pihak juga mengharuskan pihak di luarnya untuk turut menghormati akta-akta tersebut sebagai dokumen resmi. Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris harus disumpah terlebih dahulu.Hal ini membawa konsekuensi bahwa dalam menjalankan jabatannya.Notaris sebagai pejabat umum harus senantiasa menghayati sumpah jabatannya yang termuat dalam Pasal 4 Undang-undang Jabatan Notaris.Hal ini sebenarnya menegaskan bahwa jabatan sebagai Notaris haruslah independen, dalam arti kata tidak memihak kepada pihak-pihak tersebut, sehingga Notaris menjadi jabatan kepercayaan. 2. Hubungan Notaris dengan Penghadap Ketika penghadap datang menemui Notaris dengan tujuan agar tindakan hukum yang telah dilakukannya menjadi sah menurut hukum yang berlaku sehingga menjadi bukti atas haknya, kemudian Notaris membuatkan bukti atas permintaan penghadap berupa akta otentik maka dalam hal ini memberikan landasan bagi Notaris dan penghadap melakukan hubungan hukum. Oleh sebab itu Notaris wajib memastikan bahwa akta yang dibuatnya telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sehingga dapat melindungi kepetingan penghadap. Sehingga apabila dikemudian hari terdapat permasalahan terhadap akta yang dibuatnya dan melibatkan Notaris dalam sebuah proses peradilan dapat ditentukan sejauh mana kesalahan Notaris apakah berupa wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Hubungan hukum antara Notaris dengan penghadap yang dapat di masukkan sebagai perbuatan wanprestasi dalam sebuah gugatan apabila hubungan tersebut terjadi berdasarkan sistem kotrak. Namun berdasarkan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh UUJN, hubungan antara Notaris dengan penghadap bukanlah berdasarkan pada sistem kontrak. Hal ini dikarenakan, penghadap menemui Notaris berdasarkan keinginannya secara pribadi dan pada dasarnya semua Notaris terbuka untuk siapa saja sehingga menjadi tidak tepat apabila dikatakan hubungan antara Notaris dengan penghadap baru bisa terjadi ketika telah terjadi apabila telah diperjajikan terlebih dahulu. Denga tidak adanya perjanjian baik secara lisan maupun tulisan antara kedua belah pihak maka apabila kesalahan Notaris yang dilakukannya selama menjabat sebagai Notaris dapat dikualifikasikan dalam sebuah perbuatan wanprestasi bukanlah sebuah tuduhan yang tak berdasar. Ketika mengkualifikasikan kesalahan Notaris yang dilakukan selama menjalankan jabatanya atas dasar perbuatan melawan hukum harus diperjelas sejauh apa keterlibatan Notaris pada akta yang dibuatnya. Hal ini dikarenakan, pembuatan sebuah akta otentik tidak akan pernah terjadi apabila tidak berdasarkan atas permintaan dari penghadap yang berarti keinginan penghadaplah yang dituangkan kedalam akta sesuai dengan hukum yang berlaku. Sepanjang Notaris dalam membuat akta otentik tersebut telah sesuai dengan tata cara dan persyaratan dalam pembuata akta serta akta yang dibuatkan sesuai denga keinginan penghadap maka tuntutan dalam bentuk perbutan melawan hukum tidak mugkin dilakukan. Namun sebaliknya, berdasarkan Pasal 1869 BW yang menyatakan bahwa Notaris dapat digugat dengan dasar perbuatan melawan hukum apabila akta yang otentik yang dibuatnya memiliki kekuatan pembuktian menjadi akta dibawah tangan dengan alasan : a. Notaris tidak berwenang membuat akta yang bersangkutan; b. Tidak mampunyaotaris yang bersangkutan dalam membuat akta; b. Akta Notaris cacat dalam bentuknya. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa hubungan antara Notaris dengan penghadap bukanlah jenis hubungan yang dapat menjadikan Notaris sebagai pihak yang bersalah sehingga menjadikan Notaris sebagai Pihak yang harus ikut bertanggungjawab atas permasalahan yang terjadi akibat akta yang dibuatnya. Hal ini terjadi karena hubungan antara Notaris dengan penghadapnya merupakan hubungan yang khas dengan karakter sebagai berikut : a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tulisan dalam bentuk kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. b. Penghadap datang ke hadapan Notaris berdasarkan kemampuan Notaris dalam menuangkan keinginan para pihak menjadi sebuah akta otentik sesuai hukumyang berlaku. c. Hasil akhir dari tindakan Notaris berdasarkan kewenangan Notaris yang berasal dari permintaan atau keinginan para pihak. d. Notaris bukanlah pihak dalam akta yang dibuatnya.4 Namun apabila dalam proses pembuktian dapat dibuktikan sebaliknya, bahwa selama melaksanakan tugas dan kewajibannya Notaris melakukan kesalahan sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain maka Notaris yang bersangkutan dapat memiliki kemungkinan untuk dimintai pertanggungjawabanya.5s 1. Kode Etik Notaris Profesi Notaris memiliki peran yang sangat penting untuk berada ditengah-tengah lingkungan masyarakat karna sebagaimana tuntutan tugas profesinya menurut Undang-Undang yang berlaku, keberadaan notarissangat berguna dalam memberikan jaminan akan kepastian serta perlindungan hukum bagi masyarakat dalam pembuatan akta otentik terhadap subjek hukum Perdata. Penggunaan akta otentik dalam proses pembuktian hukum dikehidupan masyarakat memiliki arti yang sempurna, yang berarti dengan keberadaan akta otentik dapat menunjukan sebuah bukti kebenaran yang sebenarnya terkecuali keberadaan isi dari akta otentik tersebut dapat dibuktikan sebaliknya. Pada proses pembuatan akta otentik yang mengandung kebenaran formal,membutuhkan bantuan jasa Notaris sebagai pihak yang memiliki pengetahuan pasti tentang arti kepastian hukum dalam sebuah akta. Sehingga akta otentikitu akan dapat 4 5 Habib Adjie, Op.Cit, h 19 Ibid dipahami dan diterima oleh semua pihak serta memiliki jaminan kepastian hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat. Dalam menjalankan tugas tanggungjawabnyanotaris harus benarbenar mampu menunjukankredibilitasterbaik yang dimilikinyasebagai seorang panutan oleh masyarakat, sehingga ketika seorang notaris bekerja memenuhi tugasnya tidak adapihak yang akan dirugikan akibat perbuatannya. Oleh karena itu, seorang notaris dituntut untuk lebih peka, jujur dan adil kepada pihak yang terikatlangsung dalam akta yang dibuatnya. Dengan besarnya tanggungjawab atas profesi yang diembannya, notaris memerlukan suatu aturan yang dapat membatasi sifat dan hakekatnya dalam bekerja. Selain mengacu pada ketentuan UndangUndang Jabatan Notaris, notaris pula memiliki peraturan lain yang harus bisa ia taati sebagai sebuah profesi secara beriringan dengan peraturannya sebagai pejabat negara. Dan peraturan tersebut dinamakan Kode Etik Notaris.Kode Etik Notaris di Indonesia dibuat oleh Organisasi Notaris Indonesia atau yang dikenal dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI).Sama halnya dengan Undang-Undang Notaris yang mengatur notaris sebagai pejabat negara, kode etik notaris memiliki pengaturan mengenai ketetentuan mengenai hal yang dibenarkan ataupun dilarang untuk dilakukan oleh notaris sebagai sebuah profesi kerja.Menurut Bertens sebagaimana yang disampaikan oleh Abdulkadir Muhammad, kode etik profesi merupakan norma yang diterapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.6 Kode etik dalam profesi notaris sangat penting keberadaannya bagi profesi Notaris terkait tugas pekerjaannya yang berorientasi pada legalisasi, sehingga kode etik tersebut dapat menjadi fundamen hukum utama tentang status harta benda, hak dan kewajiban seorang klien yang menggunakan jasa Notaris.7 Alasan lain mengapa seorang notaris wajib melaksanakan tugas profesinyasesuai kode etik jabatan Notaris, karena tanpa itu harkat dan martabat profesionalisme akan hilang sama sekali.8 Kode Etik Notaris Indonesiamenetetapkan beberapa kaidah yang harus dipegang oleh Notaris sebagai sebuah profesi (selain UUJN), diantaranya adalah :9 a. Kepribadian Notaris, hal ini dijabarkan kepada : 1) Dalam melaksanakan tugasnya dijiwai Pancsila, sadar dan taat kepada hukum peraturan jabatan Notaris, sumpah jabatan, kode etik Notaris dan berbahasa Indonesia yang baik. 2) Memiliki perilaku professional dan ikut serta dalam pembangunan nasional, terutama sekali dalam bidang hukum. Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h77 7 Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h 133 8 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h 35 9 Supriadi, Etika& Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h 52. 3) Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan Notaris, baik didalam maupun diluar tugas jabatannya. b. Dalam menjalankan tugasnya, Notaris harus : 1) Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik; 2) Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris; 3) Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan; 4) Menyadari kewajiban, bekerja mandiri, jujur tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggung jawab yang berdasar pada peraturan perundang-undangan serta isi sumpah jabatan Notaris; 5) Meningkatkan ilmu pengetahuan yang dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan; 6) Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara; 7) Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya namun tidak mampu tanpa meminta honorarium; 8) Memperlakukan kliean dengan baik tanpa membedabedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya; 9) Notaris memberikan penyuluhan hukum untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi, agar anggota masyarakat menyadari hak dan kewajibannya. 10) Melaksanakan serta mematuhi semua ketentuan tentang honorarium yang ditetapkan perkumpulan; 11) Hormat-menghormati dengan rekan sejawat dalam suasana kekeluargaan. 12) Saling menjaga dan membela kehormatan dan sifat tolongmenolong secara konstruktif. 13) Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebutkan sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan. c. Dalam menjalankan tugasnya, Notaris dilarang : 1) Memiliki lebih dari satu kantor sesuai dengan yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan 2) Menggunakan perantara untuk mencari klien; 3) Menggunakan media massa yang bersifat promosi; 4) Menandatangani akta yang minuta aktanya telah dipersiapkan oleh pihak lain; 5) Mengirimkan minuta akta kepada klien untuk ditanda tangani; 6) Melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama. Untuk dapat memastikan pelaksanaan kode etik notaris ini berjalan sesuai dengan sebagaimana mestinya, peraturan kode etik notaris menyebutkan pula dibuatnya Dewan Kehormatan baik di tingkat daerah, tingkat wilayah dan tingkat pusat dalam yang bertugas, sebagai berikut :10 a. Melakukan pembinaan, bimbinga, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung kode etik; b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung; c. Memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan Jabatan Notaris. Dan bagi para notaris yang ketahuan melanggar ketentuan kode etik notaris oleh Dewan Kehormatan, maka notaris yang bersangkutan harus menerima sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. Sanksi-sanksi yang dapat diberikan terhadap pelanggaran kode etik oleh Notaris adalah, sebagai berikut :11 a. Teguran; b. Peringatan; c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan; d. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan; Dengan adanya sanksi tersebut, diharapkan agar Notaris dapat berhati-hati dalam bekerja serta dapat lebih bertanggungjawab saat menjalankan tugas profesinya dengan sebaik mungkin. 2. Kewenangan, Kewajiban Dan Larangan Jabatan Notaris Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris a. Kewenangan Jabatan Notaris 10 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonsia, Pasal 1 ayat (8) huruf (a) Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonsia, Pasal 6. Notaris sebagai sebuah jabatan tentunya memiliki kewenangan tersendiri yang wajib untuk dipatuhi.Wewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.12 Pada bab III Pasal 15 dari UUJN telah diatur perihal kewenangan Notaris yang mana disebutkan sebagai berikut :13 Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam aktaotentik, menjamin kepastian tanggal perbuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan datau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Notaris berwenang pula : a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat copi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukumsehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat akta risalah lelang. 12 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsiran Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PT. Rafika Aditama, Bandung, 2008, h 77. 13 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam perundang-undangan. Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas jelas bahwa Notaris sebagai pejabat umum yang melaksanakan tugas dan pekerjaan memberikan pelayanan publik atau pelayanan kepada masyarakat untuk membuat akta-akta otentik, disamping itu Notaris juga bertugas melakukan pendaftaran dan mengesahkan surat-surat yang dibuat dibawah tangan.Selain itu,Notaris juga bertugas untuk memberikan nasihat serta penjelasan mengenai Undang-Undang kepada para pihak yang terkait. Wewenang utama Notaris adalah membuat akta otentik, tetapi tidak semua pembuat Akta Otentik menjadi wewenang Notaris, misalkan Akta Kelahiran, Akta Pernikahan, serta Akta Perceraian merupakan jenis akta yang dibuat oleh pejabat lain selain Notaris. Pasal 1868 KUHPer merupakan sumber untuk otoritas terhadap Akta Notaris dan juga merupakan dasar legalitas eksistensi dari Akta Notaris yang berbunyi sebagai berikut:14 1) Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum. 2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. 3) Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. 14 G.H.S. Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, h 51 b. Kewajiban Jabatan Notaris Kewajiban Notaris merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh Notaris yang dimana apabila dilakukan ataupun dilanggar maka atas pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi terhadap Notarisyang bersangkutan. Kewajiban tersebut diatur pada Bab III Pasal 16 dari UUJN, yang dimana sebagai berikut :15 1) Dalam menjalankan kewajiban jabatanya, Notaris berkewajiban : a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protocol notaris; c. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta; d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alas an untuk menolaknya; e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nilai yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang bertugas dan bertanggung jawabnya dibidang 15 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada hari minggu pertama setiap bulan berikutnya; j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; k. Mempunyai cap/stampel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkari dituliskan nama, jabatan dan tempat kedudukan yang bersangkutan; l. Membaca akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris; m. Menerima magang calon notaris. Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta: a. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; b. Penawaran pembayaran tunai; c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; d. Akta kuasa; e. Keterangan kepemilikan; atau f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua". Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap. Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. 9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat. c. Larangan Jabatan Notaris Seorang Notaris dalam menjalankan tugasnya memiliki batasan-batasan aturan sendiri.Dimana pembatasan ini dilakukan agar Notaris tidak kebablasan dalam menjalankan praktik kerja dan dapat bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukan. Karena tanpa adanya batasan-batasan, seseorang cenderung akan bertindak sewenang-wenang. Demi menghindari kejadian tersebut pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan tersendiri untuk membuat peraturan memberikan batasan kerja kepada pejabat Notaris.16 Pada Pasal 17 UUJN telah mengatur adanya tindakan larangan untuk dilakukan oleh seorang Notaris dalam menjalankan praktiknya, larangan tersebut meliputi :17 a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. Merangkap sebagai pegawai negeri; d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat; f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris; h. Menjadi Notaris Pengganti; atau h 46-47 16 Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009, 17 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. B. TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA 1. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwaperistiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan artiyang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.18 Pengertian tindak pidana menurut Prof. DR. Bambang Poernomo, SH,yaitu :19 “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 130 18 Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, h 62 19 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, h bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.” Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Prof.DR. Bambang Poernomo, SH, juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana. Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah sratfbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengan-tengan masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana. Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu: a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak bolehdigunakan analogi. c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan, hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan kesalahan harus berupa kesengajaan atau kelapaan yang dijelaskan sebagai berikut : a. Kesengajaan (Dolus) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Crimineel Wetbook) Tahun 1809 mencantumkan mengenai pengertian kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-Undang”. Yang berarti didalam proses pembuktian, untuk mengetahui bahwa adanya unsur kesengajaan didalam sebuah perbuatan diperlukan adanya kejujuran dari pelaku untuk menyatakan perbuatan tersebut benar telah dilakukan “dengan sengaja”. Didalam hukum pidana terdapat 2 (dua) teori tentang kesengajaan, dimana teori-teori tersebut dijelaskan sebagai berikut : 1) Teori Kehendak (Wilstheorie) Teori ini dikemukakan oleh von Hipple dalam bukunya Die Grenze Vorsatz und Fahrlassgkeit terbitan tahun 1903. Menurut von Hipple, kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan tersebut. Akibat dikendaki apabila akibat itu menjadi maksud dari tindakan tersebut; 2) Teori Membahayakan (Voorstellingstheorie) Teori ini diutarakan oleh Frank dalam bukunya Festschrift Geizen tahun 1907. Teori ini mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat; manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan dan membayangkan (voorstellen) kemungkinann adanya suatu akibat. Perbuatan tesebut menjadi “sengaja” apabila akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud dari tindakan itu. Oleh karena itu, tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuatnya. Dr. Laden Marpung, S.H., dalam bukunya Azas Teori Praktik Hukum Pidana menambahkan, pada umumnya pakar hukum pidana menerima adanya 3 (tiga) bentuk kesengajaan (opzet), yaitu :20 1) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk); Dalam VOS, definisi sengaja dengan maksud adalah apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak akan pernah mengetahui perbuatannya. 2) Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijin); Adalah agar apa yang menjadi tujuan dapat tercapai, sebelumnya harus dilakuakan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran juga. 3) Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus eventualis). Adalah bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan sesuatu akibat 20 h 15-18 Laden Marpung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2005, tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh UU. b. Kealpaan (Culpa) Prof. Mr. D. Simon, menerangkan kealpaan adalah sebagai berikut : “ bahwa kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan dapat terjadi apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh si pelaku merupakan syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya kealpaan. Tentu dalam hal mempertimbangkan ada atau tidaknya “dapat diduga lebih dahulu” itu, harus memperhatikan pribadi si pelaku. Kealpaan dengan keadaan-keadaan yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan yang diancam dengan hukuman, terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui bahwa keadaan-keadaan itu tidak ada.”21 Dr. Laden Marpung, S.H., dalam bukunya Azas Teori Praktik Hukum Pidana membedakan kealpaan menjadi 2 (dua), yaitu :22 1) Kealpaan dengan kesadaran (beweste schuld) Dalam hal ini, pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbul suatu akibat, tetapi walaupun ia 21 22 Simons, Geschiedenis van het Wetboek van Strafrecht, Batavia: Noorhoff, 1935, h 1 Dr. Laden Marpung, S.H., op. cit., h 26 berusaha untuk mencegah, tetap menimbulkan akibat tersebut. 2) Kealpaan tanpa kesadaran (onbeweste schuld) Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukum oleh undang-undang, sedang ia seharusnya memeperhitungkan akan timbulnya akibat tertentu 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsurunsurnya, maka yang mula-mula dapat temukan adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang.Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu hatinya.Sedangkan segala sesuatu yang terkandung di unsur objektif adalah unsur-unsur yang dalam ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.23 Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus atau Culpa); b. Maksud (Voornemen) pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedachte raad) seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah: a. Sifat melanggar hukum (wederrechtelicjkheid); b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. C. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA 1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing biasa disebut dengan teoreken-baardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah 23 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia; PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h 193. seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.24 Dalam Pasal 27konsep KUHP tahun 1982-1983, pada menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskanya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuatanya.25 Dilihat dari sudut perbuatan, seseorang akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan yang dilakukannya apabila tindakan tersebut dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari pelakunya, maka hanya seseorang yang dianggap mampu bertanggung jawab atas hal yang telah diperbuatnyalah yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Berdasarkan pernyataan tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu : a. Kemampuan untuk bertanggungjawab atau dapat dimintai pertanggungjawaban dari si pembuat. 24 S.R Sianturi,Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, Cetakan IV, Alumni Ahaem Peteheam,Jakarta, 1996, h 245. 25 Djoko Prakoso ,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Liberty Yogyakarta , Yogyakarta , 1987,h 75. b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu : Disengaja (dolus) dan Sikap kurang hati-hati atau lalai (culpa). c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.Dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan,ia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam menentukan orang yang dianggap mampu bertanggungjawab, Satochid Kartanegara menyatakan harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu :26 a. Keadaan jiwa seseorang normal, sehingga ia bebas atau memiliki kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan; 26 Satochid Kartanegara, dalam Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, h 149. b. Keadaan jiwa seseorang normal, sehingga ia memiliki kemampuan untuk dapat mengerti nilai perbuatan berikut akibatnya, c. Keadaan jiwa seseorang normal, sehingga ia memiliki kemampuan untuk menyadari, menginsyafi bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan tercela, dilarang hukum atau oleh masyarakat maupun tata peraturan. Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang di larang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran. 2. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana Menurut KUHP, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya apabila dapat dibuktikannya unsurunsur, berupa : a. Adanya Pelanggaran Ditemukannya sebuah pelanggaran adalah hal yang terpenting untuk dibuktikan dalam sebuah perkara pidana. Karena dengan adanya sebuah pelanggaran maka pidana menjadi sah untuk dijalankan. Untuk membuktikan sebuah pelanggaran itu benar terjadi maka diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan yang menjadi dasar perbuatan itu dilakukan pelaku. b. Memiliki Kemampuan untuk Bertanggungjawab. Menyinggung masalah kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab maka hal yang harus diperhatikan adalah berkaitan dengan kejiwaan orang tersebut saat ia melakukan sebuah perbuatan yang menimbulkan akibat itu. Walaupun KUHP tidak menyebutkan secara jelas bagaimanakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban akan perbuatannya, namun Pasal 44 ayat (1) KUHP memberikan batasan tentang bagaimana seseorang dianggap tidak memiliki kemapuan untuk bertanggung jawab sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana kepadanya. Sehingga untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana harus merumuskan Pasal 44 KUHP secara sebaliknya, dimana perumusan itu menjadi sebagai berikut : 1) Tidak memiliki kecacatan pada jiwanya; dan 2) Tidak memiliki kecacatan pada tubuhnya. D. PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM NOTARIS Notaris di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dibatasi dengan aturan-aturan, pembatasan ini dilakukan agar seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya memiliki tanggungjawab serta integritas tinggi dalam menjalankan profesinya. Karna tanpa adanya pembatas seseorang akan cenderung sewenang-wenang atas kekuasaan yang dimilikinya. Demi membatasi kekuasaan atas kewenangan yang diberikan kepadanya baik UUJN maupun Kode Etik Jabatan Notaris menetapkan batasan-batasan larangan yang wajib untuk dipatuhi serta sebagai pedoman kerja bagi seorang Notaris. Meskipun sedemikian jelas diketahui bahwa sejak awal mengucapkan sumpah jabatannya bahwa sebagai seorang Notaris memiliki batasan aturan atas kewenangan yang diberikan kepadanya hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa ketika seorang Notaris beracara terdapat pelanggaran terhadap larangan-larangan yang ada sehingga bagi Notaris yang melanggar sudah semestinya dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan yang telah dilakukan berupa sanksi. Sebagai pedoman utama bagi seorang Notaris menjalankan profesinya, Pada Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN menetapkan dua jenis sanksi yang dapat diberikan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris yaitu : 1. Sanksi Perdata Sanksi ini akan diberikan kepada Notaris yang bersangkutan apabila Penghadap memiliki kekuatan pembuktian sehingga akta yang dibuatnya menjadi akta di bawah tangan atau bahkan batal demi hukum. Sanksi ini berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Sebuah akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta bawah tangan apabila : a) Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan (sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 yang merujuk kepada Pasal 40 UUJN); b) Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan (sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 yang merujuk kepada Pasal 39 dan 40); c) Cacat dalam bentuknya (sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (l) dan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8) UUJN). Sedangkan sebuah akta notaris dinyatakan batal demi hukum apabila : a) Melanggar kewajiban sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (i) UUJN; b) Melanggar kewajiban sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (k) UUJN; c) Melanggar ketentuan Pasal 44 UUJN; d) Melanggar ketentuan Pasal 48 UUJN; e) Melanggar ketentuan Pasal 49 UUJN; f) Melanggar ketentuan Pasal 50 UUJN; g) Melanggar ketentuan Pasal 51 UUJN. 2. Sanksi Administratif Sanksi administratif merupakan sanksi yang diberikan secara berjenjang kepada Notaris akibat pelanggarannya tugas kewenangan yang diberkan kepadanya. Jenis pelanggaran Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sehingga dapat mendatangkan sanksi administratif disebutkan UUJN dalam Pasal sebagai berikut : a) Melanggar ketentuan Pasal 7 huruf (a) sampai dengan (c) b) Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf (a) samapai dengan (k) c) Melanggar ketentuan Pasal 17 huruf (a) sampai dengan (i) d) Melanggar ketentuan Pasal 20 e) Melanggar ketentuan Pasal 27 huruf (a) sampai dengan (c) f) Melanggar ketentuan Pasl 32 g) Melanggar ketentuan Pasal 37 h) Melanggar ketentuan Pasal 54 i) Melanggar ketentuan Pasal 58 huruf (a) sampai dengan (d) j) Melanggar ketentuan Pasal 59 huruf (a) sampai dengan huruf (h) k) Melanggar ketentuan Pasal 63 huruf ayat (1) sampai dengan ayat (5). Dalam prosesnya secara berkala satu kali dalam setahun Majelis Pengawas Daerah melakukan pemeriksaan ketaatan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, apabila dari hasil laporannya ditemukan adanya dugaan pelanggaran kode etik maka Majelis Pengawas Daerah akan melaporkan hasil temuannya ke Majelis Pengawas Wilayah. Dengan laporan itu Majelis Pengawas Daerah dapat melakukan pemanggilan terhadap Notaris sebagai terlapor serta melakukan sidang untuk memeriksa dan memberikan keputusan atas laporan tersebut dimana hasil putusannya akan berupa teguran lisan atau tertulis. Setelahnya hasil putusan tersebut dilaporkan ke Majelis Pengawas Pusat dalam tingkat banding akan menghasilkan putusan pemberhentian sementara atau pemberhentian dengan tidak hormat. Dalam hal pemberian sanksi berupa pemberhentian sementara ataupun pemberhentian dengan tidak hormat hal ini harus berdasarkan persetujuan Menteri.27 E. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS Notaris sebagai pejabat umum sekaligus pula sebagai profesi, posisinya sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat.Notaris seyogianya ada agar mencegahan (preventif) terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan.Namun apabila dalam hal ini justru notaris yang dihadapkan sebagai pesakitan di Pengadilan terkait Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Sanksi Administratif Terhadap Notaris (Sebagai Pejabat Publik), PT. Reflika Aditama, Bandung 2008. tugas dan tanggungjawab profesinya, harus diperjelas sejauh manaNotaris terlibat sehingga dapat dipersalahkan sertadimintai pertanggungjawabannya khususnya yang dalam kasus pidana. Apabila dipahami tugas dan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kepada notaris dalam mengolah surat otentik,yaitu hanya sebagai pihak yang kepadanya dimohonkan selaku pejabat yang memiliki kewenangan untuk membuatkan sebuah bukti hukum tertulis dapat memperkecil kemungkinannotaris menjadi pihak yang terlibat dalam sebuah perkara pidana. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa notaris dapat dibawa ke ranah pidana. Karna buktinya masih bisa ditemukan bahwa seorang notaris yang pekerjaannya berada dijalur ranah hukum Perdata namun atas pelanggaran yang dilakukannya dibawa ke ranah hukum pidana. Tanggung jawab hukum pidana akan muncul apabila Notaris telah melakukan perbuatan hukum yang dilarang oleh KUHP atau dengan kata lain Notaris wajib terbukti melakukan perbuatan melawan hukum pidana baik secara sengaja maupun atas kelalaiannya sehingga berakibat kerugian bagi pihak lain. Tidak seperti penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran pada lingkup hukum Perdata yang memiliki jenjang pemberian sanksi kepada notaris sesuai jenis pelanggaran yang dilakukannya, dalam menentukan sejauhmana pertanggungjawaban pidana yang dapat diberikan kepada seorang notaris atas pelanggarannya UUJN tidak secara jelas menyebutkan seperti apa pertanggungjawaban pidana akan diberikan namun Pasal 13 UUJN menegaskan bahwa : “Notaris akan diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri, apabila dijatuhi pidana penjara berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.” Berdasarkan bunyi Pasal yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan Notaris yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah Notaris yang kepadanya dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan didepan Pengadilan bersalah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur pelanggaran tindak pidana dan putus oleh Majelis Hakim pidana penjara 5 tahun atau lebih. Meskipun dengan pernyataan seperti ini tidak dapat menyimpulkan bahwa tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana yang memiliki keterkaitan dengan tugas kewenangannya sebagai Notaris atau tidak. Namun hal ini mengisyaratkan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap seorang Notaris bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. F. TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai seorang pejabat umum yang diangkat untuk kepentingan Negara, didalam menjalankan tugas jabatannya harus berpegang teguh pada UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris. karena tanpa itu hakat dan martabat profesionalisme sebagai seorang pejabat Negara akan hilang. Demi menjaga harkat dan martabat profesionalisme sebagai pejabat Negara, seorang Notaris harus memiliki sikap serta prinsip antara keseimbangan antara mengejar kepentingan materi mapun kepentingan umum. Namun didalam praktiknya, tidak sedikit pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Notaris berujung menjadi perkara hukum pidana. Oleh karena mementingkan kepentingan pihak tertentu sehingga menyebabkan kerugian bagi orang lain. Dalam lingkup kerja profesi Notaris, jenis pelanggaran yang dapat menyebabkan seorang Notaris diperkara pidanakan terbagi dua, yaitu : 1. Membuat Surat Palsu Menurut Lamintang perbuatan membuat surat palsu terjadi bilamana awalnya belum ada sesuatu surat apapun kemudian dibuat surat dengan isi yang seluruhnya atau sebagian bertentangan dengan kebenaran.28Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu dapat berupa beberapa hal sebagai berikut :29 a. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak sesuai atau bertentangan dengankebenaran.perbuatan ini disebut dengan pemalsuan secara intelektual (Intellectueele valsheid). b. Membuat surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain dari pembuat surat. Palsunya surat ini terletak pada asal atau isi pembuat surat. Pembuatan ini disebut pemalsuan secara materiil (materiel valsheid). Di samping isi dan asalnya sebuah surat yang disebut surat palsu juga apabila tanda tangannya tidak benar. Hal ini bisa terjadi dalam hal :30 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1982, h 189 Adami Chawazi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2000, h 100 a. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada; b. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuan ataupun tidak; c. Tanda tangan yang dimaksud disini termasuk tandatangan dengan menggunakan cap atau stampel tanda. Perbuatan membuat surat palsu dapat mengenai tanda tangan maupun isi dari tulisan atau surat, dimana perbuatan itu menggambarkan secara palsu bahwa surat itu, baik secara keseluruhan maupun isinya berasal dari seseorang yang namanya tercantum dalam tulisan tersebut. 2. Memalsukan Surat Memalsukan surat merupakan perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun, oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruhnya menjadi lain atau berbeda dengan isi surat semula. Bilamana perbuatan tersebut dilakukan oleh pihak yang tidak berhak, tidak penting apakah dengan perbuatan tersebut lalu isinya menjadi benar, maka pemalsuan surat telah terjadi. Sama seperti membuat surat palsu, memalsukan surat juga dapat terjadi pada sebagian ataupun seluruh isi surat.31 Didalam KUHP diatur beberapa pasal mengenai pemalsuan surat yang dapat ditujukan bagi Notaris bilamana perbuatannya dibuktikan memenuhi unsur didalamnya, yaitu : 1. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP 31 Adam Chazawi, Op.Cit, h 100-101 Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan 2. Pasal 264 Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik 3. Pasal 55 jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP. Melakukan atau turut serta melakukan membuat surat palsu 4. Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau Pasal 266 KUHP. Membantu membuat surat palsu/yang dipalsukan G. HASIL PENELITIAN 5. Kasus Posisi PT. Indo Venner Utama adalah Perseroan Terbatas yang berkedudukan di Surakarta, didirikan berdasar Akta No. 37 tanggal 10 November 1957, dengan susunan pemegang saham, sebagai berikut : • Gunawan Sutanto, saham seri A 2.000 lembar dan Saham Seri B 1.333 lembar; • Andi Sutanto, saham seri A 2.000 lembar dan Saham Seri B 1.334 lembar; • Agus Sutanto, saham Seri A 2.000 lembar dan Saham Seri B 1.333 lembar. Bahwa setiap lembar sahamnya bernilai Rp. 1.000.000,00,- (satu juta rupiah). Sejak meninggalnya Gunawan Sutanto tanggal 22 Januari 1989, selanjutnya saham-sahamnya diwariskan kepada istrinya Yunita Koeswoyo. PT. Indo Venner Utama Bergerak di bidang perindustrian perkayuan pembuatan teak playwood, furniture, construction dari kayu, perdagangan umum terutama hasil kayu, pemborongan umum (general kontraktor), pengangkutan darat dan ekspedisi, dan laveransir memiliki struktur kepengurusan, sebagai berikut : • Direktur I : Andi Sutanto; • Direktur II : Andi Pratikyo; • Komisaris : Agus Sutanto. Pada tanggal 2 Desember 2005, Yunita Koeswoyo dan Andi Sutanto selaku pemegang saham mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur I PT.Indo Veneer Utama untuk mengadakan RUPS dengan agenda penyesuaian Anggaran Dasar PT.Indo Veneer Utama dengan Undang-Undang Nomor1 tahun1995 tentang Peseroan Terbatas, namun hingga tanggal 20 Desember 2005, Direktur I PT.Indo Veneer Utama tidak memanggil para pemegang saham dan tidak mengadakan RUPS. Kemudian tanggal 21 Desember 2005 tanpa didasarkan dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Surakarta, Andi Sutanto bersamasama dengan Yunita Koeswoyo dalam kedudukan sebagai pemegang saham, melakukan pemanggilan kepada para pemegang saham untuk melaksanakan RUPS Luar Biasa sebanyak dua kali dengan agenda penyesuaian Anggaran Dasar PT.Indo Veneer Utama dengan UndangUndang No. 1 tahun1995 tentang Peseroan Terbatas dan Perubahan Struktur Pengurus PT.Indo Veneer Utama. Dengan konfirmasi pada tanggal 6 Januari 2006, di Kantor PT. Indo Venner Utama, CV. INDOJATI dengan alamat Jl. Adisucipto, Surakarta. Berdasarkan undangan pemegang saham tertanggal 21 Desember 2005, pada tanggal 6 Januari 2006,bertempat dikantor PT. Indo Venner Utama,CV. INDOJATI dengan alamat Jl. Adisucipto, Surakarta diadakan RUPS pada pukul 10.00 – 11.30 WIB, dimana dalam rapat tersebut dihadiri oleh : a. Yunita Koeswoyo (atas warisan dari suaminya Gunawan Sutanto alm), sebagai pemilik 2.000 saham seri A dan 1.333 saham seri B, yang tiap-tiap saham sebesar Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) atau seluruhnya sebesar Rp 3.333.000.000,(tiga milyard tigaratus tigapuluh juta rupiah); b. Andi Sutanto, sebagai pemilik 2.000 saham seri A dan 1.334 saham seri B, yang tiap-tiap saham sebesar Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) atau seluruhnya sebesar Rp 3.334.000.000,(tiga milyard tigaratus tigapuluh empatjuta rupiah). c. Anne Patricia Sutanto (sebagai juru bicara Andi Sutanto yang pada saat itu menderita stroke). Menghasilakan keputusan, yaitu melakukan penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PT. Indo Venner Utama yang lama dengan Undang-Undang Nomor1 tahun1995 tentang Peseroan Terbatas. Karena yang hadir didalam rapat tersebut telah mewakili pemilik 6.667 (enamribu enamratus enampuluh tujuh) saham, tiap-tiap saham Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau seluruhnya sebesar Rp. 6.667.000.000,- (enam milyard enamratus enampuluh tujuhjuta rupiah) dalam PT.Indo Veneer Utama yang berkedudukan di Surakarta, telah memenuhi 2/3 dari seluruh saham yang telah dikeluarkan oleh perusahaan, sebagaimana Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun1995 tentang Peseroan Terbatas telah memenuhi korum yang hadir dalam rapat. Sehingga hasil keputusan ini dianggap telah sah, meskipun tanpa kehadiran dan persetujuan pemilik saham lainnya yaitu Agus Sutanto. Kemudian pada pukul 11.30 WIB, masih pada hari yang sama tanggal 6 Januari 2006,Yunita Koeswoyo yang didampingi oleh Anne Patricia Sutanto (hanya sebagai pendamping)menemui Notaris Tjondro Santoso, S.H.,bertempat dikantor Notaris Jl.Mr.Muh Yamin No.114 Surakarta, dengan maksud untuk meminta dibuatkan Pernyataan Keputusan RapatPT.Indo Veneer Utama dengan membawa alat bukti, sebagai berikut : 1. Akta Pendirian PT. Anggaran Dasar PT.Indo Veneer Utama yang lama serta hasil berita acara Rapat Umum Pemilik Saham (RUPS) PT.Indo Veneer Utama yang berlangsung pada hari Jumat, tanggal 6 Januari 2006, Pukul 10.00 WIB; 2. Surat permohonan pengadaan rapat kepada Direktur I tertanggal 2 Desember 2005; 3. Bukti pengiriman surat undangantanggal 21 Desember 2005 kepada pemilik saham dalam rangka pengadaan rapat, yang ditandatangani Yunita Koeswoyo dan Andi Sutanto yang ditujukan kepada Yunita Koeswoyo, Andi Sutanto dan Agus Sutanto; 4. Undangan RUPS PT. Indo Veneer Utama dengan konfirmasi hari Jumat, tanggal 6 januari 2006, Pukul 10.00 WIB, bertempat dikantor PT. Indo Venner Utama, CV. INDOJATI, Jl. Adi Sucipto, Surakarta. Dengan agenda Penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tanggadengan Undang-Undang No.1 tahun1995 tentang Peseroan Terbatas; b. KTP Anne Patricia Sutanto, Yunita Koeswoyo dan Andi Sutanto.32 Setelah Notaris Tjondro Santoso, S.H.,mempelajari data pendukung berupa Berita Acara Rapat dan Anggaran Dasar, lalu oleh Notaris Tjondro Santoso, S.H., dibuatkan Akta No.2 tentang penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PT. Indo Venner Utama yang lama dengan Undang-Undang No. 1 tahun1995 tentang Peseroan Terbatas, yang isinya dibacakan dengan dua isi point penting, yaitu : 1. Penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah TanggaPT.Indo Veneer Utamadengan Undang-Undang No.1 Tahun1995 tentang Peseroan Terbatas; 2. Perubahan pengurus PT.Indo Veneer Utama. Setelah dibacakan Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006, akta tersebut ditandatangani pada Pukul 12.00 WIB dan selesai Pukul 13.00 WIB dengan jumlah halaman 47 lembar yangsalinan aktanya diambil pada tanggal 13 Januari 2006 Masihpada hari yang sama tanggal 6 Januari 2006, datang Anne Patricia Sutantoyang bertindak mewakili PT.Indo Veneer Utama berdasarkan atas Kuasa para hadirin pemegang saham pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Dalam Perseroan Terbatas PT. Indo Venner Utama yang telah diselenggarakan pada tanggal 6 Januari 2006, Pukul 14.00 WIB,bertempat dikantorPT.Indo Veneer Utama,CV. INDOJATI di Jl. Adisucipto, Surakarta. Yang mana dalam rapat tersebut telah dihadiri pemegang saham, yaitu : 32 Putusan No. 141/Pid.B/2009/PN.Ska, h 97 a. Lisa Sutanto (bertindak berdasarkan surat kuasa dari Yunita Koeswoyo), sebagai pemilik 2.000 saham seri A dan 1.333 saham seri B,yang tiap-tiap saham sebesar Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) atau seluruhnya sebesar Rp 3.333.000.000,(tiga milyard tigaratus tigapuluh juta rupiah); b. Anne Patricia Sutanto (bertindak berdasarkan surat kuasa dari Andi Sutanto), sebagai pemilik 2.000 saham seri A dan 1.334 saham seri B, yang tiap-tiap saham sebesar Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) atau seluruhnya sebesar Rp 3.334.000.000,(tiga milyard tigaratus tigapuluh empatjuta rupiah). Dimana dalam rapat tersebut menghasilkan keputusan rapat berupa Perubahan Struktur Pengurus dalam PT. Indo Venner Utama, menemui secara langsung Notaris Tjondro Santoso, S.H., Pukul 14.30 WIB, bertempat dikantor Notaris Jl. Mr. Muh Yamin No.114 Surakarta,untukmeminta dibuatkan Akta tentangPernyataan Keputusan Rapat (PKR) dengan membawa bukti pendukung berupa :33 c. Anggaran Dasar lama; d. Surat kuasa tanggal 6 Januari 2006 kepada Lisa Sutanto, yang bertindak mewakiliYunita untuk mengikuti RUPS Luar Biasa. e. Berita Acara Rapat, dll. Setelahmempelajari semua bukti yang ada,Notaris Tjondro Santoso, S.H., membuatkan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006tentang Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. 33 Putusan No. 141/Pid.B/2009/PN.Ska, Hal 98 Indo Venner Utama, yang juga dinyatakan bahwa Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006dibuat berdasarkan Akta No.2 tanggal 06 Januari 2006 tentang Penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PT. Indo Venner Utama yang lama dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Peseroan Terbatas. Yang dimana pada Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 memiliki point penting yaitu, sebagai berikut : Merubah kepengurusan PT. Indo Venner Utama yang sama dan di ganti dengan pengurus yang baru, yaitu : • Direktur I : Anne Patricia Sutanto; • Direktur II : Indra Gunardi; • Komisaris : Yenny Sutanto; Yang setelah dibacakan isi Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 tersebut, kemudian ditandatangani pada hari itu juga dengan jumlah 7 halaman.Dan salinan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 diambilAnne Patricia Sutanto pada tanggal 7 Januari 2006. Pada tanggal 9 Januari 2006, Agus Sutanto mendapat fax dari PT. Indo Venner Utama mengenai hasil RUPS yang telah diadaakan oleh PT. Indo Venner Utama tanggal 6 Januari 2006 berikut pemberitahuan mengenai perubahan kepengurusan posisi Agus Sutanto yang semula sebagai komisaris PT. Indo Venner Utama digantikan Yenny Sutanto. Merasa bahwa dirinya tidak diundang dalam RUPS tersebut, ia mengkonfirmasi keberadaan Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 serta Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, ternyata kedua akta tersebut belum didaftarkan sehingga Agus Sutanto merasa bahwa dirinya masih memiliki hak sebagai komisaris. Meskipun mengetahui bahwa salinan akta No. 2 dan No. 3 yang dipegangnya belum disahkan oleh pihak yang berwenang, namun Anne Patricia selaku Direktur I yang baru berdasarkan akta tersebut, telah mempergunakannya untuk berhubungan dengan pihak ketiga. Penggunaan akta No. 2 dan Akta No. 3 bahkan sebelum akta tersebut disahkan, disebutkan sebagai berikut : 1. Merubah kepengurusanan PT. Indo Venner Utama; 2. Merubah speciment tanda tangan Agus Sutanto pada Rekening PT.Indo Veneer Utama di Bank Mandiri Cabang Pembantu S. Parman Jakarta dengan No. Rek. 116.00.02111247.3 (USA) dan No. Rek. 116.00.02.11248.1 (Rp) pada tanggal 11 Januari 2006 (namun ditolak oleh pihak Bank).Diajukan kembali tanggal 28 Maret 2006 karena dilampiri Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 yang telah memperoleh persetujuan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tanggal 16 Maret 2006 namun kembali ditolak karena pada copyan salinan Akta No.3 tanggal 6 Januari 2006 terdapat perbedaan jumlah halaman dengan copyan salinan akta yang diberikan sebelumnya.34 34 Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, Kesaksian Spoke Meneger Bank Mandiri Cabang Jakarta S. Parman, h 35-37 3. Mengambil uang di perusahaan dan menguasai perusahaan, berikut tagihan-tagihan import hasil perusaan dan mengambil uang di bank. Diwaktu dan tempat yang berlaianan, saat mempelajari akta No. 3 sebelum dikirimkan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Notaris Tjondro Santoso, S.H., menemukan kesalahan pengetikan pada salinan Akta No. 3 dibagian promise akta (sebelum akta pokok) ada dua paragraf dan harus diperbaiki. Kemudian Notaris Tjondro Santoso, S.H., menghubungi Anne Patricia untuk menarik kembali Akta No. 3 tersebut. Dan setelah selesai Notaris Tjondro Santoso, S.Hmengembalikan lagi Akta No. 3 pada tanggal 13 Januari 2006, dengan jumlah 10 halaman.Dimana Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 yang berjumlah 7 halaman kemudian dimusnahkan. Kemudian Notaris Tjondro Santoso, S.H., mengirimkan Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 serta Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Yang mana masing-masing akta memiliki keterangan pengesahan sebagai berikut : a. Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006. Dikirimkan pada tanggal 15 Maret 2006 ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan mendapatkan Persetujuan (sah) tanggal 16 Maret 2006. b. Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006. Dikirimkan pada tanggal 24 Mei 2006 ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Pelaporan diterima (sah) tanggal 30 Mei 2006. Dengan barudisahkannya akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 tanggal 16 Maret 2006 dan No. 3 tanggal 6 Januari 2006 tanggal 30 Mei 2006, tetapi bahkan sebelum kedua akta tersebut belum mendapatkan pengesahan pihak yang berwajib dalam hal ini Meteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, karena pernyataan telah mendapatkan pengesahan oleh pihak yang berwajib oleh Notaris Tjondro Santoso, S.H., membuat pihak lain yaitu Agus Sutanto merasa sangat dirugikan haknya. Meskipun saham Agus Sutanto tidak hilang, tapi Ia tetap merasa telah dirugikan karena tidak lagi menjabat sebagai Komisaris PT. Indo Venner Utama dan perusahaan dipailitkan di Jakarta akibat penggunaan kedua akta tersebut. Dengan alasan tersebut, kemudian Agus Sutanto melaporkan ke POLDA Jawa Tengah, yang berdasarkan Laporan Polisi dengan No.Pl : LP/98/VII/2006 tertanggal 19 Juli 2006 penyidik POLDA menetapkan 3 (Tiga) orang Tersangka, yaitu : Anne Patricia Sutanto, Yunita Koeswoyo dan Notaris Tjondro Santoso, S.H dengan perkara yang berbeda. Perkara dengan Tersangka Anne Patricia Sutanto yang oleh Jaksa pada Kejaksaan Jawa Tengah ditetapkan sebagai Terdakwa dan diajukan ke pengadilan yang selanjutnya diadili di Pengadilan Negeri Surakarta dalam perkara pidana No : 343/Pid.B/2007PN.Ska dan oleh Majelis Hakim telah di jatuhkan putusan pada hari Rabu, tanggal 30 Januari 2008 dengan putusan yang pada pokoknya : Terdakwan Anne Patricia Sutanto tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dan membebaskan Terdakwa dari semua dakwaan Jaksa. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta tersebut diamini pada tingkat banding oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. NO : 914K/PID/2008 tanggal 11 September 2008, sehingga putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht van gewijsde) terhitung sejak tanggal 11 September 2008. Bahwa dengan adanya putusan bebas atas nama Terdakwa Anne Patricia Sutanto tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, kemudian terhadap Tersangka Yunita Koeswoyo oleh POLDA Jawa Tengah berdasarkan Surat DIRESKRIM POLDA JATENG No.Pol : B/115b/XII/2008/Reskrim tertanggal 15 Desember 2008 telah diterbitkan : Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP.3) terhitung mulai tanggal 5 Desember 2008 dengan alasan sebagai berikut : a. Tidak terdapat cukup bukti. b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana. c. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang penyidikan dihentikan demi hukum. Meskipun dengan adanya putusan bebas kepada Anne Patrica Sutanto dan keputusan SP.3 bagi Yunita Koeswoyo tidak serta merta melepaskan Tjondro Santoso, S.H., dari jeratan hukum, oleh Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dan menetapkan Tjondro Santoso, S.H., Terdakwa pelaku tunggal dalam tindak pidana memalsukan akta otentik dengan perkara No.141/Pid.B/2009/PN.Ska jo No.167/Pid/2010/PT.Smg jo No.1860K/Pid/2010. 2. Identitas Identitas Terdakwa :35 • Nama : TJONDRO SANTOSO, SH. BinTIRTO ; • Tempat Lahir : Surakarta ; • Umur/ Tanggal Lahir : 64 Tahun / 18 Agustus 1945 ; • Jenis Kelamin : Laki - laki ; • Kebangsaan : Indonesia ; • Tempat Tinggal : Kampung Penularan, RT.05, RW. 06, KelurahanPanularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta ; • Agama : Katholik ; • Pekerjaan : Notaris ; 3. Dakwaan a. Primair Bahwa Terdakwa Tjondro Santoso, S.H. selaku notaris pada hari Jumat tanggal 6 Januari 2006 sekiranya jam 13.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain dalam bulan Januari 2006 bertempat di kantor Notaris Jl. Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta atau setidak-tidaknya di salah satu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, telah membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu hak yang dilakukan terhadap akta-akta otentik yang dilakukan Terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut : 35 Putusan Mahkamah Agung No. 878/Panmud.Pid/1860K/PID/2010, h 1 - - - - - - - - 36 Bahwa berawal pada tanggal 6 Januari 2006 Terdakwa telah kedatangan 2 (dua) orang perempuan yang mengaku bernama Yunita Koeswoyo dan Anne Patricia Sutanto; Bahwa 2 orang perempuan tersebut datang dikantor Notaris milik Terdakwa di Jl. Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta dalam jam yang berlainan dengan tujuan untuk diminta dibuatkan akta; Bahwa atas permintaan para penghadap tersebut Terdakwa, membuatkan akte yang terdiri dari 2 (dua) akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 dan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006; Bahwa Terdakwa dalam membuat kedua akta telah memalsukan keterangan palsu atau keterangan yang tidak benar karena dalam akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 oleh Terdakwa telah dicantumkan kalimat / kata-kata telah mendapat pengesahan dari pihak yang berwajib, padahal yang sebenarnya akte No. 2 tanggal 6 Januari 2006 tersebut belum mendapat pengesahan dari pihak yang berwajib dan belum jadi, baru mendapat pengesahan pada tanggal 16 Maret 2006; Bahwa akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 yang belum mendapat pengesahan dari pihak yang berwajib dan belum jadi tersebut oleh Terdakwa telah dipergunakan sebagai dasar pertimbangan pembuatan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006, sehingga terbitlah akta No. 3 Januari 2006; Bahwa salinan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 yang diserahkan Terdakwa pada tanggal 7 Januari 2006 dengan salinan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 yang diserahkan Terdakwa pada tanggal 13 Januari 2006 juga terdapat perbedaan yaitu pada akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 yang diserahkan Terdakwa pada tanggal 7 Januari 2006 terdiri dari 7 (tujuh) halaman sedangkan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 yang diserahkan Terdakwa tanggal 13 Januari 2006 terdiri dari 10 (sepuluh) halaman; Bahwa akta No. 3 tanggl 6 Januari 2006, tersebut oleh pemohon telah diperguanakan dengan pihak ke tiga dengan tujuan untuk merubah specimen tanda tangan di BII cabang Solo dan Bank Mandiri Jakarta dan juga untuk menguasai asset dan mengambil alih jabatan Direktur pada PT Indo Venner Utama Surakarta; Bahwa atas perbuatan Terdakwa saksi Agus Sutanto salah satu pemegang saham merasa dirugikan, selanjutnya melaporkan kepada yang berwajib guna pengusutan lebih lanjut.36 Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, h 3-5 b. Subsidair Bahwa ia Terdakwa Tjondro Santoso, S.H. selaku Notaris bersama dengan ANNE PATRICIA SUTANTO (dalam berkas tersendiri) baik secara bersama-sama atau bertindak sendiri-sendiri pada Jum’at tanggal 6 Januari 2006 sekira jam 13.00 WIB atau setidaktidaknya pada waktu lain dalam bulan Januari 2006, bertempat di Kantor Notaris Jl. Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta, atau setidaktidaknya ditempat lain yang masih termasuk dalam Daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, telah melakukan, turut serta melakukan perbuatan, menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, seolah-olah, keterangannya sesuai dengan kebenaran, yang dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut : - - - - Berawal pada tanggal 6 Januari 2006 di kantor milik Terdakwa yaitu kantor Notaris Tjondro Santoso, S.H. di Jl. Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta sekira jam 11.30 telah kedatangan seseorang bernama Yunita Koeswoyo, dengan membawa persyaratan pendukung untuk meminta dibuatkan Akta; Selanjutnya Terdakwa membuat Pernyataan Keputusan Rapat, kemudian oleh Notaris Tjondro Santoso dibuatkan akta, sehingga terbitlah akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 tentang Penyesuaian UU No. 1 tahun 1995; Bahwa sekira jam 15.30 WIB masih tanggal 6 Januari 2006, datang lagi seseorang perempuan menghadap Terdakwa dan mengaku bernama Anne Patricia langsung bertemu Terdakwa; Bahwa Anne Patricia datang ke kantor milik Terdakwa tersebut bertujuan untuk membuat akta; Bahwa pada tanggal 7 Januari 2006 Anne Patricia menerima Salinan akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 dan Salinan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006, padahal salinan akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 belum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.; - - - - Bahwa Terdakwa pada saat membuat akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006, akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 belum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Namun oleh Terdakwa telah dipergunakan sebagai dasar pembuatan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006; Bahwa pada akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006, halaman 5 dari Akta yang 7 lembar oleh Terdakwa telah dimasukan keterangan yang tidak benar, yang ditulis telah memperoleh pengesahan dari pihak yang berwajib, padahal akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 tersebut memperoleh pengesahan baru tanggal 16 Maret 2006; Bahwa setelah akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 oleh Terdakwa diserahkan kepada penghadap / Anne Patricia, kemudian akta tersebut telah dipergunakan merubah speciment tanda tangan di Bank Mandiri Jakarta dan mengambil alih dari atas nama ANDI SUTANTO berubah menjadi atas nama ANNE PATRICIA SUTANTO; Bahwa atas perbuatan Terdakwa saksi Agus Sutanto salah satu pemegang saham merasa dirugikan, selanjutnya melaporkan kepada yang berwajib guna pengusutan lebih lanjut;37 c. Lebih Subsidair Bahwa ia Terdakwa TJONDRO SANTOSO, S.H. selaku Notaris bersama dengan ANNE PATRICIA SUTANTO (dalam berkas perkara tersendiri) baik secara bersama-sama atau bertindak sendirisendiri pada tanggal 6 Januari 2006 sekira jam 13.00 WIB atau setidaktidaknya pada waktu lain dalam bulan Januari 2006, bertempat di kantor Notaris Jl. Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta, atau setidak-tidaknya ditempat lain yang masih termasuk dalam Daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, telah sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan memasukan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, seolah-olah, keterangannya sesuai 37 Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, h 5-7 dengan kebenaran, yang dilakukan Terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut : - - - - - - - - Berawal pada tanggal 6 Januari 2006 di kantor milik Terdakwa yaitu kantor Notaris Tjondro Santoso, S.H. di Jl. Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta sekira jam 11.30 telah kedatangan seseorang bernama Yunita Koeswoyo, dengan membawa persyaratan pendukung untuk meminta dibuatkan Akta; Selanjutnya Terdakwa membuat Pernyataan Keputusan Rapat, kemudian oleh Notaris Tjondro Santoso dibuatkan akta, sehingga terbitlah akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 tentang Penyesuaian UU No. 1 tahun 1995; Bahwa, sekira jam 15.30 WIB masih Tanggal 6 Januari 2006 datang lagi seorang perempuan menghadap Terdakwa dan mengaku bernama Anne Patricia langsung bertemu Terdakwa; Bahwa, Anne Patricia datang ke kantor Notaris milik Terdakwa tersebut bertujuan membuat akta; Bahwa pada tanggal 7 Januari 2006 Anne Patricia menerima salianan akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 dan salianan akta No.3 tanggal 6 Januari 2006, padahal salinan akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 belum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.; Bahwa Terdakwa pada saat membuat akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006, akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 belum mendapat penegsahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I., namuna oleh Terdakwa telah dipergunakan sebagai dasar pembuatan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006; Bahwa pada akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006, halaman 5 dari yang 7 (tujuh) lembar oleh Terdakwa telah dimasukan keterangan yang tidak benar, yang ditulis telah memperoleh pengesahan dari pihak yang berwajib padahal akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 tersebut memperoleh pengesahan baru tanggal 16 Maret 2006; Bahwa setelah akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 oleh Terdakwa diserahkan kepada penghadap / Anne Patricia, kemudian akte tersebut dipergunakan merubah specimen tanda tangan di Bank Mandiri Jakarta dan mengambil alih dari atas nama ANDI SUTANTO menjadi atas nama ANNE PATRICIA SUTANTO; Bahwa atas perbuatan Terdakwa saksi Agus Sutanto salah satu pemegang saham merasa dirugikan, selanjutnya melaporkan kepada pihak yang berwajib guna pengusutan lebih lanjut.38 4. Fakta Hukum di Persidangan Dalam membuktikan kebenaran dakwaan Penuntut Umum di dalam persidangan, diperlukan adanya pembuktian yang senyatanya dianggap sebagai sebuah alat bukti yang sah oleh Undang-Undang. Hal ini dikarenakan Hukum Pidana memiliki tujuan penting yaitu mendapatkan kebenaran yang bersifat materil. Pasal 184 KUHAP menyatakan alat bukti yang dikatakan sah adalah sebagai berikut : a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Petunjuk; d. Surat; e. Keterangan Terdakwa. Didalam kasus ini, alat bukti yang disampaikan pada persidangan diuraikan sebagai berikut : a. Keterangan Saksi Berdasarkan keterangan-keterangan saksi yang disampaikan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta, Penulis menemukan beberapa point penting yaitu bahwa : 1. Bahwa pada tanggal 6 Januari 2006 bertempat dikantor Notaris Jl. Mr. Muh Yamin No.114 Surakarta, dalam kurun waktu yang berbeda yaitu pukul 11.30 WIB dan 15.30 WIB, Tjondro 38 Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, hal 7-8 Santoso ditemui oleh dua orang wanita dari PT. Indo Venner Utama meminta dibuatkan akta PKR. 2. Bahwa kedua penghadap tersebut adalah Yunita Koeswoyo dan Anne Patricia Sutanto. 3. Bahwa pada Yunita Koeswoyo, Tjondro Santoso membuatkan Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 tentang Penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PT. Indo Venner Utama yang lama dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Peseroan Terbatas yang selesai dan ditanda tangani pada hari itu juga. 4. Bahwa pada Anne Patricia Sutanto, Tjondo Santoso membuatkan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 tentang Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Indo Venner Utama. 5. Bahwa meskipun belum mendapatkan pengesahan dari Meteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, salinan akta No. 2 dan No. 3 telah dikembalikan kepada penghadap. 6. Bahwa Agus Sutanto telah diundang untuk berhadadir dalam RUPS maupun RUPS Luar Biasa PT. Indo Venner Utama yang undangannya telah dialamatkan sesuai data yang dimiliki Perusahaan dan tercatat dalam resi pengiriman. 7. Bahwa karena pada RUPS Agus Sutanto tidak hadir hingga waktu yang ditetapkan, maka RUPS tetap berjalan karna jumlah yang hadir telah memenuhi 2/3 dari pemegang saham. 8. Bahwa pada RUPS Luar Biasa, Agus Sutanto tidak dikonfirmasi lagi kehadirannya.. 9. Bahwa sejak tanggal 19 Juli 2006, Agus Sutanto tidak menjabat sebagai Komisaris PT. Indo Venner Utama. 10. Bahwa jumlah halaman pada salinan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 sebelum dan setelah renvoi memiliki perbedaan. 11. Bahwa renvoi pada salinan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 mengalami 2 (dua) kali perubahan. Pertama sebelum akta ditandatangani, kedua setelah salinan akta dikembalikan sehingga ditarik kembali. 12. Bahwa pada saat salinan akta dikembalikan pada pemohon, pemohon mengetahui bahwa akta tersebut belum mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib. 13. Bahwa pada tanggal 11 Januari 2006 Bank Mandiri cabang Jakarta S. Parman menerima copyan salinan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 total 7 halaman dari Anne Patricia Sutanto dan Yenny Sutanto guna melakukan perubahan speciment tanda tangan namun ditolak pihak Bank. 14. Bahwa setelah Akta No.2 tanggal 6 Januari 2006 disahkan oleh Menteri, pada tanggal 28 Juni 2006 salinan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 yang masih belum mendapat pengesahan digunakan kembali untuk mengajukan perubahan speciment tanda tangan namun kembali ditolak pihak Bank karena jumlah halamannya yang berbeda menjadi 10 halaman.39 b. Keterangan Ahli Berdasarkan keterangan-keterangan ahli dari ilmu hukum kenotariatan dan saksi ahli dari ilmu hukum koorporasi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta, penulis menemukan beberapa point penting terkait kasus yang ada, bahwa : 1. Bahwa seorang notaris dibenarkan membuat dua akta yang berhubungan didalam satu hari meskipun akta yang pertama belum mendapatkan pengesahan; 2. Bahwa seorang notaris dibenarkan pula mencantumkan sebuah akta yang belum mendapatkan pengesahan kedalam yang baru akan dibuatnya selama kedua akta tersebut memiliki keterkaitan; 3. Bahwa akta mengenai RUPS merupakan Akta Parte, sehingga bukan kewenangan notaris untuk bertanggungjawab atas bukti materiilnya; 4. Bahwa apabila yang mengajukan RUPS adalah pemegang saham maka wajib mengajukan permohonan ke pengadilan dengan kepentingan masing-masing yang tidak puas, minimal 39 Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, Keterangan saksi berdasarkan kerterangan Agus Sutanto, Sarmini (karyawati di kantor Notaris Tjondro Santoso bagian PPAT), Tyas Dratis Tiana BintiSutarto (perkerja bagian notariil dikantor Notaris Tjondro Santoso), Akmaliah Binti Anis Mustafa (Spoke Manager Bank Mandiri Cab. Jakarta S. Parman), Yunita Koeswoyo, Lisa Sutanto & Anne Patricia Sutanto. 10% dari pemegang saham, dan notaris mestinya telah mengetahui betul tentang hal ini; 5. Bahwa mengenai materi akta merupakan tanggungjawab dari para pihak, sedangkan untuk formalnya suatu akta, maka yang bertanggungjawab adalah notaris; 6. Apabila terdapat kesalahan terhadap salinan akta yang dibuatnya, Notaris berhak menarik kembali untuk diganti dengan yang benar; 7. Apabila terhadap akta belum mendapatkan pengesahan namun telah digunakan, maka itu merupakan tanggungjawab dari pihak yang menghadap; 8. Bahwa para pihak yang memberikan persetujuan akan ikut bertanggungjawab apabila ada kesalahan; 9. Bahwa perubahan Anggaran Dasar yang apabila memerlukan persetuajuan Menteri, maka sepanjang Anggaran Dasar itu belum mendapatkan persetujuan Anggaran Dasar tersebut belum berlaku. Tetapi apabila perubahan Anggaran Dasar dalam konteks penyesuaian yang mengacu pada UndangUndang PT bukan merupakan masalah; 10. Apabila akta telah ditandatangani maka akta tersebut menjadi sah. Namun berkaitan dengan mulai berlakunya secara efektif perlu dicermati, apabila RUPS itu berisi tentang perubahan susunan kepengurusan Perseroan maka akta tersebut telah berlaku efektif sejak tanggal ditetapkan karna bukan merupakan perubahan anggaran dasar; 11. Bahwa apabila para pihak memasukan data yang tidak benar, maka Notaris harus menolak, kalau para pihak tetap memaksa agar datanya dimasukkan dalam akta, maka menjadi tanggungjawab notaris apabila terjadi sesuatu; 12. Berkaitan dengan RUPS, maka Notaris wajib memeriksa prosedur RUPS benarkah ada undangannya dan sudah memenuhi persyarakatan atau belum kemudian dari korum apakah sudah terpenuhi atau belum, setelah semuanya terlengkapi barulah beita acara rapat dapat dituangkan ke dalam akta40 c. Surat Didalam kasus ini, yang menjadi bukti surat di persidangan adalah Akta Pernyataan Keputusan Rapat yang dibuat oleh Tjondro Santoso selaku notaris yang diangkat berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman SK. Men. Keh. R.I No. M-05-HT. 03.01-Th 1985, Tgl 9-2-1985 adalah akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 tentang Penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PT. Indo Venner Utama yang lama dengan Undang- 40 Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, Keterangan Saksi Ahli Djoko Sukisno, S.H., C.N., Hendrikus Subekti, S.H., Prof. Dr. Sri Rejeki Hartono, S.H., Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum., Pieter E.Latumaten, S.H., M.H., SPN. Undang No. 1 tahun 1995 tentang Peseroan Terbatas dan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 tentang Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Indo Venner Utama d. Petunjuk Berdasarkan uraian diatas diperoleh petunjuk sebagai berikut : 1. Bahwa benar, dalam melaksanakan RUPS maupun RUPS Luar Biasa PT. Indo Venner Utama yang berlangsung tanggal 6 Januari 2006 di Surakarta telah mengundang Agus Sutano sebagai salah satu pemegang saham. 2. Bahwa benar, meskipun RUPS maupun RUPS Luar Biasa PT. Indo Venner Utama yang berlangsung tanggal 6 Januari 2006 di Surakartatanpa izin Ketua Pengadilan setempat, namun Tjondro Santoso tetap membuatkan Akta. 3. Bahwa benar, sejak perubahan kepengurusan yang disepakati bersama dan dituangkan dalam Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 Agus Sutanto yang kedudukannya sebagai Komisaris PT. Indo Venner Utama digantikan Yenny Sutanto yang perubahannya telah bersifat mengikat bagi mereka meskipun laporannya belum mendapat pengesahan dari pihak yang berwajib. 4. Bahwa benar, perbuatan Tjondro Santoso mencantumkan Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 ke dalam Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 diperbolehkan menurut ilmu hukum kenotariatan karena kedua akta tersebut memiliki keterkaitan. 5. Bahwa benar, telah terjadi renvoi sebanyak 2 (dua) kali pada akta No. 3 sebelum penandatanganan dan setelah penandatanganan yang mengakibatkan akta tersebut memiliki jumlah total halaman berbeda. 6. Bahwa benar, meskipun sejak kedua akta telah bersifat mengikat bagi yang namanya tercantum didalamnya namun penggunaan akta masih belum berlaku secara efektif sebelum akta tersebut mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib. 7. Bahwa benar, pada salinan akta yang telah dikembalikan Tjondro Santoso dipergunakan Anne Patricia mewakili perusahaan kepada pihak ketiga meskipun mengetahui akta tersebut belum mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib merupakan tanggungjawab penghadap. e. Keterangan Terdakwa Berdasarkan keterangan yang disampaikan dalam persidangan, Tjondro Santoso menyampaikan ponit kesaksiannya sebagai berikut : 1. Bahwa pada tanggal 6 Januari 2006 bertempat dikantor Notaris Jl. Mr. Muh Yamin No.114 Surakarta telah ditemui oleh Yunita Koeswoyo dan Anne Patrcia dalam kurun waktu yang berbeda meminta dibuatkan akta. 2. Bahwa berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Tjondro Santoso menyatakan RUPS yang membahas perubahan anggaran dasar perusahaan yang dilakukan oleh pemegang saham tidak memerlukan izin Ketua Pengadilan setempat. 3. Bahwa pada saat mencantumkan Akta No. 2 ke dalam Akta No. 3, Akta No. 2 belum mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib. 4. Bahwa akta No. 2 pengesahannya dengan Persetujuan, sedangkan Akta No. 3 cukup Dilaporkan. 5. Bahwa Tjondro Santoso menyerahkan salinan Akta No. 3 meskipun belum dilaporkan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 6. Bahwa saat menyerahkan salinan akta No. 3 yang belum dilaporkan kepada Meteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Tjondro Santoso mengatakan kepada penghadap silahkan digunakan padahal Tjondro Santoso menyadari akta tersebut belum dapat digunakan hingga mendapatkan pengesahan. 7. Bahwa akta No. 2 mendapatkan Persetujuan tanggal 16 Maret 2006, sedangkan Akta No. 3 Pelaporan diterima tanggal 30 Mei 2006. 5. Tuntutan Dalam perkara tindak pidana memalsukan akta otentik, Tjondro Santoso S.H., oleh Penuntut Umum dituntut berdasarkan dakwaan Primair Pasal 264 ayat (1) KUHP yaitu memenuhi unsur tindak pidana memalsukan akta otentik dengan putusan Pidana Penjara selama 2 (dua) Tahun pada tingkat Pengadilan Negeri, Pidana Penjara 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan pada tingkat Pengadilan Tinggi dan Bebas pada tingkat Mahkamah Agung. 6. Putusan Pengadilan Pasal 1 butir (11) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa “Putusan Pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini”.41 Oleh karna itu, berdasarkan Pasal tersebut diatas maka dalam memberikan Putusan sebuah perkara, hendaklah seorang Hakim wajib berlandaskan hukum yang berlaku adilan serta tidak memihak pada sisi manapun (impartial). Hal ini menjadi sanggat penting untuk diwujudnyatakan, agar apa yang telah diputuskan oleh Hakim dapat menjadi sebuah bukti tentang adanya jaminan perlindungan hukum yang pasti oleh Negara untuk memperlakukan sama setiap warganya dimata hukum sehingga memberikan rasa aman dan damai. 41 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir (1) Dalam perkara tindak pidana dengan Terdakwa Notaris Tjondro Santoso, S.H, yang telah melalui tiga tahap peradilan yaitu Pengadilan Negeri, Penggadilan Tinggi serta yang Terakhir Mahkamah Agung. Dimana tiap-tiap tahapan pengadilan, Majelis Hakim memberikan Putusan yang berbeda-beda. Putusan-putusan Majelis Hakim tersebut dinyatakan sebagai berikut : a. Pengadilan Negeri Memutuskan Terdakwa Notaris Tjondro Santoso, S.H bersalah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaanPrimair Pasal 264 ayat (1) KUHP, menjatuhkan vonnis pidana penjara 2 (dua) tahun;42 b. Pengadilan Tinggi Memutuskan Terdakwa Notaris Tjondro Santoso, S.H bersalah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaanPrimair Pasal 264 ayat (1) KUHP, mejatuhkan vonnis pidana penjara 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;43 c. Mahkamah Agung Memutuskan Terdakwa Notaris Tjondro Santoso, S.H tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Primair, Subsidair maupun Lebih Subsidair. Dibebaskan dari segala tuntutan Penuntut Umum, serta 42 Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska 43 Putusan Pengadilan Tinggi No. 167/PID/2010/PT.Smg memulihkan hak Terdakwa dalam Kemampuan, Kedudukan dan Harkat serta Martabatnya.44 C. PERTIMBANGAN HAKIM Dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan suatu perkarakhususnya perkara pidana, tidak jarang ditemui bahwa Hakim memerlukan waktu yang cukup panjang agar dapat menghasilkan sebuah Putusan. Hal ini disebabkan banyaknya kendala didalam persidangan yang mungkin harus dilalui oleh Hakim untuk dapat sampai pada point paling penting dalam perkara tersebut sehingga diharapkan dapat menghasilkan Putusan akhir yang terbaik bagi kedua belah pihak. Pada perkara pidana yang menyeret seorang yang berprofesi Notaris sebagai pihak pesakitan serta dianggap sebagai pelaku tunggal atas tindak pidana memalsukan akta otentik, bukanlah menjadi perihal yang mudah untuk dapat menentukan sisi adil yang diharapkan oleh kedua belah pihak yang terkait. Selain telah tercipta kerugian bagi salah satu pihak yang menginginkan haknya untuk diperjuangkan, namun disisi lain minimnya pembahasan tentang sejauh mana pelanggaran yang dilakukan seorang Notaris dapat pertanggungjawabankan secara Pidana menurut UU No. 30 tahun 2004 sebagai Undang-Undang yang mengatur Jabatan Notaris.Sehingga menuntut Majelis Hakim untuk benar-benar wajib mempertimbangkan dengan teliti pada aturan Hukum yang berlaku sehingga dapat mewujudkan keadilan yang sebenarnya. 44 Putusan Mahkamah Agung No. 1860K/PID/2010 Terkait pembahasan yang menjadi dasar pertimbangan Hakim pada perkara Pidana memalsukan akta otentik ini dengan Terdakwa seorang Notaris, pada 3 (tiga) kali tahap peradilan, baik Majelis Hakim pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung memiliki pertimbangan masing-masing dalam memahami perkara ini. Yang mana pertimbangan Majelis Hakim disampaikan pada tabel berikut : Tabel 1. Pertimbangan Hakim Tingkat Pengadilan No. 1. PN. Surakarta45 2. PT. Semarang46 3. Unsur-Unsur Pasal Dakwaan Yang Terpenuhi 1 2 3 4 Mahkamah Agung47 Keterangan Tabel Unsur Pada Pasal 246 ayat (1) KUHP Unsur 1 : Barang Siapa Unsur 2 : Membuat surat otentik palsu atau memalsukan surat otentik yangdapat menerbitkan sesuatu hak perjanjian (kewajiban), atau sesuatu 45 Lampiran I 46 Lampiran II 47 Lampiran III pembebasan utang atau yang boleh digunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan Unsur 3 : dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lainmenggunakan surat-surat itu seolah-olah asli dan tidakdipalsukan. Unsur 4 : penggunaan surat otentik tersebut dapat mendatangkan suatu kerugian48 Berdasarkan table tersebut dapat dijelaskan bahwa pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Primair karena menurut Majelis Hakim semua unsur Pasal terpenuhi dalam diri Terdakwa. Sedangkan ditingkat Mahkamah Agung Terdakwa perbuatannya tidak memenuhi unsur Pasal-Pasal yang didakwakan sehingga Mahkamah Agung membebaskan Terdakwa. D. ANALISA Pertanggungjawaban pidana dapat dimintai terhadap seseorang yang atas tindakannya apabila dapat dibuktikan sebagai perbuatan melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Berdasarkan pernyataan tersebut menunjukan bahwa kemampuan bertanggungjawab memiliki keterkaitan yang penting dengan faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang atau melanggar hukum dan yang kedua faktor perasaan 48 Uraian unsur-Unsur yang terkandung dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP. atau kehendak yang menentukan kehendaknya sehingga dapat menunjukan bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran. Didalam putusan pidana dengan terdakwa Tjondro Santoso, SH. dalam Persidangannya menghasilkan Putusan yang berbeda antara Judex Factie dengan Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA). Berkaitan dakwaan JPU yang pada pokoknya adalah Tjondro Santoso SH. bersalah karena didalam Akta No. 3 tanggal 6 Januari yang dibuatnya menyatakan bahwa akta tersebut dibuat berdasarkan pada Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 sebagai akta yang telah mendapatkan Pengesahan dari Menteri Hukum Dan HAM padahal faktanya tidak demikian, baik Judex Factiemaupun Majelis Hakim MA memiliki pandangan yang berbeda dalam mempertimbangkan dalam memberikan Putusan. Judex Factie dalam putusannya menyatakan bahwa Terdakwa dalam hal menjalankan tugas dan kewenangannya terbukti melakukan kesalahan memalsukan akta otentik sebagaimana yang menjadi dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), berbeda halnya dengan Putusan Majelis Hakim MA menyatakan bahwa Tjondro Santoso, SH., dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Notaris telah sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga harus dibebaskan dari segala tuduhan. Dalam perkara ini dakwaan yang disusun oleh JPU merupakan dakwaan Subsidair, yang berarti apabila dakwaan Primair telah terbukti maka dakwaan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Sebagai dakwaan Primair dalam kasus ini JPU menggunakan Pasal 264 ayat (1) ke (1) KUHP. Dimana menurut Judex Factie dalam perkara ini keseluruhan unsur terpenuhi. Sehubungan dengan putusan tersebut, apabila memperhatikan hal yang menjadi pertimbangan Judex Factie dalam memberikan putusan dikaitkan dengan perbuatan pidana yang dilakukan Tjondro Santoso, SH., yang menjadi pokok dalam perkara ini serta unsur pidana yang tekandung dalam Pasal 264 ayat (1) ke (1), Penulis memiliki analisa yang berbeda dengan Judex Factie. Analisa tersebut Penulis jabarkan sebagai berikut : 1. Barang siapa Yang dalam hal ini dimaksud dengan barang siapa adalah siapa saja yang dinyatakan telah cakap hukum, yang berarti dapat menyadang hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dapat berupa individu (naturelijk person). Di dalam kasus ini yang merupakan subjek hukum adalah Tjondro Santoso, SH. Yang mana berdasarkan menjalani keterangan persidangan, serta kecakapan Terdakwa Terdakwa merupakan selama orang yang dinyatakan cakap hukum. 2. Membuat surat otentik palsu atau memalsukan surat otentik yang dapat menerbitkan suatu hak perjanjian (kewajiban), atau suatu pembebasan utang atau yang boleh digunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan. Berdasarkan pengertian membuat surat palsu yang berarti membuat sebuah surat dalam hal ini berupa akta berdasarkan keterangan yang tidak benar menjadi unsur tindakan yang dilakukan Terdakwa menurut hemat Penulis tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan tugas kewenangan yang diberikan padanya Notaris merupakan seorang yang memiliki kewenangan berdasarkan permintaan dari Penghadap. Yang berarti apabila tidak ada permintaan dari penghadap seorang Notaris tidak akan pernah membuatkan sebuah Akta. Sehingga keterangan Palsu atau tidak yang ditertuang didalam Akta tersebut bukanlah menjadi tanggungjawab dari Notaris yang mengolahkan karna Notaris bukanlah pihak yang terikat dengan adanya Akta tersebut. 3. Dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan. Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang untuk dilakukan dan bagi yang melanggar akan diancam dengan pidana. Kesalahan yang terkandung didalam sebuah perbuatan pidana merupakan hubungan antara keadaan dengan perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan atau dengan kealpaan. Dalam kasus ini, Judex Facti menyatakan bahwa Tjondro Santoso, SH telah dengan sengaja memberikan salinan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 kepada Anne Sutanto pada tanggal 7 Januari 2006 meskipun Akte tersebut diketahui belum mendapatkan Persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM. Didalam hemat Penulis, terhadap unsur ini apabila dikaitkan dengan kesaksian Terdakwa di Persidangan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan. Berdasarkan kesaksian tersebut ketika Terdakwa menyerahkan salinan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 kepada Anne Sutanto, Terdakwa mengetahui dengan jelas bahwa Akta tersebut belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap pihak luar. Namun apabila perbuatan tersebut dikatakan sebagai perbuatan pidana menyuruh orang lain menggunakan surat tersebut seolaholah asli, unsur tersebut tidak terpenuhi. Hal ini dikarenakan, surat yang digunakan bukanlah surat palsu tetapi surat yang belum mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwenang sehingga tidak dapat dikatakan perbuatan menyuruh menggunakan surat palsu seolah-olah asli. Disamping itu, berdasarkan keterangan dari Anne Sutanto bahwa ketika menggunakan salinan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 bahwa sebenarnya Anne Sutanto mengetahui dengan jelas bahwa Akta tersebut belum dapat dipergunakan terhadap pihak luar dan ternyata tetap dipergunakan Anne Sutanto untuk merubah Speciment tanda tangan Rekening PT. Indo Venner Utama di Bank Mandiri Cabang S.Parman Jakarta bukanlah merupakan tindak kesengjaan yang harus menjadi tanggung jawab Terdakwa sebagai Notaris. Ditambah lagi pengajuan perubahan Speciment tanda tanggan ketika menggunakan salinan Akta No. 3 sebelum mendapat Pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM ditolak oleh Pihak Bank, baru kemudian terjadi perubahan speciment tanda tangan setelah Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 mendapatkan Pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Sehingga menurut hemat Penulis bukanlah merupakan sebuah perbuatan pidana karena tidak menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. 4. Penggunaan surat otentik tersebut dapat mendatangkan kerugian. Terhadap unsur ini, Judex Facti dalam pertimbangannya menyatakan bahwa kerugian yang diderita oleh Agus Sutanto diakibatkan penggunaan surat palsu menurut hemat Penulis tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan keterangan ahli di Persidangan menyatakan bahwa apabila isi dari Akta berupa hasil RUPS tentang perubahan kepengurusan perseoran maka akta tersebut berlaku efektif sejak tanggal ditetapkannya karena bukan merupakan perubahan Anggaran Dasar. Dengan kata lain dalam kasus ini, terhadap Akta No. 3 yang berisikan mengenai perubahan kepengurusan perseroan yang menyatakan bahwa posisi Agus Sutanto telah digantikan bukanlah diputuskan dengan menggunakan surat palsu karena akta tersebut telah belaku efektif. Berdasarkan analisa Penulis terhadap Pasal yang unsur tidak pidana menurut Judex Factie telah terpenuhi keseluruhannya sehingga menjadi dasar mempidanakan Tjondro Santoso, SH. menurut Penulis merupakan tindakan yang tidak cermat. Ditambah lagi putusan bersalah tersebut Judex Factie berikan kepada Terdakwa berdasarkan potongan kalimat yang bahkan tidak mencapai satu alinea sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menjelaskan keseluruhan makna dari akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 menurut Penulis bukanlah tindakan yang benar untuk dilakukan. Namun bukan berarti didalam kasus ini, Penulis menyatakan Tjondro Santoso, SH. sebagai pihak yang tidak bersalah. Dalam memaknai kata “memberikan keterangan palsu” pada Pasal 264 ayat (1) ke (1) KUHP, Penulis berpendapat tidak dapat ditujukan pada potongan kalimat yang dikutip JPU dalam dari akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 melainkan perbuatan lain yang di lakukan oleh Tjondro Santoso, SH. dalam proses pembuatan Akta. Sebagaimana keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa serta Petunjuk yang diungkapkan selama Persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta guna membuktikan dakwaan JPU atas keterlibatan Tjondro Santoso, SH., dalam masalah ini terdapat beberapa kesalahan yang bahkan secara sengaja dan dengan penuh kesadaran dilakukan Tjondro Santoso, SH. Berdasarkan Pasal 66 ayat (2) jo Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana disampaikan sanksi ahli di Persidangan menyatakan, apabila yang mengajukan Rapat Umum Pemegang Saham merupakan Pemegang Saham, Direksi mapun Komisaris wajib mengajukan permohonan melakukan pemanggilan sendiri kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Perseroan berada. Faktanya didalam penyelenggaraan RUPS oleh PT. Indo Venner Utama sebagaimana disampaikan oleh Sanksi Yunita Koeswoyo tidak berdasarkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Meskipun sejak awal mengetahui bahwa terdapat peraturan seperti itu dan hal ini tidak dipenuhi oleh pihak pemegang saham PT. Indo Venner Utama Tjondro Sontoso, SH. tetap saja membuatkan Akta PKR sebagaimana permintaan Penghadap. Sebagai bukti kesadaran Tjondro Santoso, SH., dengan sengaja melakukan perbuatan yang bisa dikualifikasikan sebagai pelanggaran tindak pidana adalah ketika dalam keketerangannya Tjondro Santoso, SH., menyatakan bahwa RUPS yang dilakukan oleh pemegang saham tidak memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Sebagai seseorang pejabat yang mengetahui bahwa peraturan tersebut ada tetapi justru menyatakan sebaliknya dan tetap Akta sebagaimana yang diinginkannya, menunjukan bahwa Tjondro Santoso, SH. dalam menjalankan tugas dan kewenangan Penghadap secara sadar dengan sengaja melawan UndangUndang. Sehingga oleh karena perbuatannya sudah semestinya Tjondro Santoso, SH. dapat dimintai pertanggungjawaban pidana kepadanya. Meski didalam kasus ini ditemukan indikasi pelanggaran tindak pidana yang dilakukan oleh Tjondro Santoso, SH., yang berarti olehnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana Putusan Judex Factie. Namun khusus dalam perkara ini, Penulis sependapat dengan Putusan Majelis Hakim MA untuk membebaskan Tjondro Santoso, SH. Sebagaimana alasan permohonan pengajuan kasasi Tjondro Santoso, SH. Bahwa Tjondro Santoso, SH. atas perkara ini tidak pernah diperiksa oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD). Hal ini bertentangan dengan mekanisme yang ditetapkan oleh UUJN. Berdasarkan Pasal 66 UUJN, menyatakan dalam kaitan panggilan terhadap seorang Notaris untuk dimintai keterangan atas laporan pihak lain, maka pihak Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim harus berdasarkan persetujuan MPD. Ketentuan ini bersifat imperatif atau perintah, artinya bilamana pihak Kepolisian, Kejaksaan maupun Hakim menyepelekannya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang. Sehingga perkara ini sejak awal merupakan perkara yang cacat hukum sehingga tidak dapat dilanjutkan.