Pertangungjawaban Pidana Notaris (Studi Kasus Putusan Perkara

advertisement
BAB II
PEMBAHASAN
A. TINJAUAN TENTANG NOTARIS
1. Pengertian Notaris Sebagai Pejabat Umum
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membentuk
akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud UUJN, dimana
hal tersebut ditujukan untuk menjamin kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum kepada masyarakat. Oleh karena itu, apabila dalam
implementasinya ternyata Notaris tidak dilindungi hak-haknya, maka
Notaris sebagai pelayan masyarakat sekaligus individu sebagai bagian yang
integral dalam sebuah negara, tidak mendapat perlindungan hukum maka
dapat menurunkan citra bangsa itu sendiri sebagai negara hukum.
Masyarakat mengenal istilah kenotariatan itu lebih kepada
profesinya, yaitu profesi Notaris.Profesi ini ada di Indonesia merupakan
peninggalan zaman penjajahan Hindia Belanda. Kenotariatan merupakan
lembaga peninggalan zaman Hindia Belanda yang diatur dengan aturan
Perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1860, tetapi
karena telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan hukum
masyarakat dan pemerintah maka selanjutnya sudah menjadi lembaga yang
terus menerus dipakai dalam hubungan-hubungan hukum hingga sekarang,
diantaranya
guna
diperolehnya
jaminan
kepastian
hukum
diterbitkannya akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna.
dengan
Kedudukan seorang Notaris sebagai suatu fungsionaris dalam
masyarakat hingga sekarang dirasakan masih disegani.Seseorang Notaris
biasanya dianggap sebagai pejabat tempat seseorang dapat memperoleh
nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta
ditetapkannya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuatan dokumen yang
kuat dalam suatu proses hukum.1
Pasal 1868 KUH Perdata memberikan wewenang kepada Notaris
untuk membuat akta otentik. Kewenangan tersebut kemudian dijabarkan
dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Sbtl. 1860 Nomor 3) yang
memberikan pengertian tentang Notaris, bunyinya sebagai berikut :2
“Notaris adalah Pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh
yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta
otentik, menjamin kepastian tunggalnya, menyimpan aktanya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”
R. Soegondo Notodisoerjo, dalam bukunya “Hukum Notariat di
Indonesia”, beliau membahas Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, sebagai
berikut :3
“Bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai
kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat,
meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak
berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai
kedudukan sebagai pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai
catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat
Tan Thong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, PT.Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2007, h 444
Staatblad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris Notaris, Pasal 1
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notaris Di Indonesia., h 1
akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat
akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh
Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat lain yang dikecualikan
dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu”.
Pasal 1 peraturan jabatan Notaris ini dimaksudkan untuk
memberikan penegasan bahwa Notaris adalah satu-satunya yang
mempunyai wewenang umum dalam hal pembuatan akta, bukan pejabat
lain. Pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu sebagaimana
telah ditugaskan oleh perundang-undangan. Pejabat lain yang ditunjuk
untuk membuat akta otentik selain Notaris adalah Pegawai Catatan Sipil
(Ambtenaar Van De Burgerlijke Stand). Pegawai Catatan Sipil ini
walaupun bukan ahli hukum, berhak untuk membuat akta-akta otentik
untuk hal-hal tersebut, yaitu akta kelahiran, perkawinan dan kematian.
Kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum memberikan wewenang
kepada Notaris untuk dapat membuat akta-akta otentik. Berbeda halnya
dengan pegawai Negeri karena meskipun mereka adalah pejabat dan
mempunyai tugas untuk melayani kepentingan umum, tetapi bukan
merupakan Pejabat Umum seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 Kitab
Undang-undang
Hukum
Perdata.
Notaris
bukan
pegawai
negeri
sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan kepegawaian.Notaris dalam
hal ini tidak menerima gaji, melainkan menerima honorarium dari
kliennya.
Adanya jabatan lain yang serupa dengan Notaris namun berbeda
yaitu Pegawai Negeri sebagaimana yang telah diutarakan di atas,
memperlihatkan bahwa sebenarnya Notaris mempunyai kedudukan khas
sebagai pejabat umum. Dimana Notaris sebagai pejabat umum tersebut
diangkat dan diberhentikan seperti pegawai negeri, tetapi bukan pegawai
negeri, Notaris menjalankan sebagian kewibawaannya pemerintah dalam
hal pembuatan akta-akta otentik sebagai dokumen resmi dan mempunyai
kekuatan bukti sempurna, selain mengikat para pihak juga mengharuskan
pihak di luarnya untuk turut menghormati akta-akta tersebut sebagai
dokumen resmi.
Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris harus disumpah terlebih
dahulu.Hal ini membawa konsekuensi bahwa dalam menjalankan
jabatannya.Notaris sebagai pejabat umum harus senantiasa menghayati
sumpah jabatannya yang termuat dalam Pasal 4 Undang-undang Jabatan
Notaris.Hal ini sebenarnya menegaskan bahwa jabatan sebagai Notaris
haruslah independen, dalam arti kata tidak memihak kepada pihak-pihak
tersebut, sehingga Notaris menjadi jabatan kepercayaan.
2. Hubungan Notaris dengan Penghadap
Ketika penghadap datang menemui Notaris dengan tujuan agar
tindakan hukum yang telah dilakukannya menjadi sah menurut hukum yang
berlaku sehingga menjadi bukti atas haknya, kemudian Notaris membuatkan
bukti atas permintaan penghadap berupa akta otentik maka dalam hal ini
memberikan landasan bagi Notaris dan penghadap melakukan hubungan
hukum. Oleh sebab itu Notaris wajib memastikan bahwa akta yang
dibuatnya telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sehingga dapat
melindungi kepetingan penghadap. Sehingga apabila dikemudian hari
terdapat permasalahan terhadap akta yang dibuatnya dan melibatkan Notaris
dalam sebuah proses peradilan dapat ditentukan sejauh mana kesalahan
Notaris apakah berupa wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Hubungan hukum antara Notaris dengan penghadap yang dapat di
masukkan sebagai perbuatan wanprestasi dalam sebuah gugatan apabila
hubungan tersebut terjadi berdasarkan sistem kotrak. Namun berdasarkan
tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh UUJN, hubungan
antara Notaris dengan penghadap bukanlah berdasarkan pada sistem
kontrak. Hal ini dikarenakan, penghadap menemui Notaris berdasarkan
keinginannya secara pribadi dan pada dasarnya semua Notaris terbuka untuk
siapa saja sehingga menjadi tidak tepat apabila dikatakan hubungan antara
Notaris dengan penghadap baru bisa terjadi ketika telah terjadi apabila telah
diperjajikan terlebih dahulu. Denga tidak adanya perjanjian baik secara lisan
maupun tulisan antara kedua belah pihak maka apabila kesalahan Notaris
yang dilakukannya selama menjabat sebagai Notaris dapat dikualifikasikan
dalam sebuah perbuatan wanprestasi bukanlah sebuah tuduhan yang tak
berdasar.
Ketika mengkualifikasikan kesalahan Notaris yang dilakukan selama
menjalankan jabatanya atas dasar perbuatan melawan hukum harus
diperjelas sejauh apa keterlibatan Notaris pada akta yang dibuatnya. Hal ini
dikarenakan, pembuatan sebuah akta otentik tidak akan pernah terjadi
apabila tidak berdasarkan atas permintaan dari penghadap yang berarti
keinginan penghadaplah yang dituangkan kedalam akta sesuai dengan
hukum yang berlaku. Sepanjang Notaris dalam membuat akta otentik
tersebut telah sesuai dengan tata cara dan persyaratan dalam pembuata akta
serta akta yang dibuatkan sesuai denga keinginan penghadap maka tuntutan
dalam bentuk perbutan melawan hukum tidak mugkin dilakukan. Namun
sebaliknya, berdasarkan Pasal 1869 BW yang menyatakan bahwa Notaris
dapat digugat dengan dasar perbuatan melawan hukum apabila akta yang
otentik yang dibuatnya memiliki kekuatan pembuktian menjadi akta
dibawah tangan dengan alasan :
a. Notaris tidak berwenang membuat akta yang bersangkutan;
b. Tidak mampunyaotaris yang bersangkutan dalam membuat akta;
b. Akta Notaris cacat dalam bentuknya.
Berdasarkan
penjelasan
sebelumnya,
dapat
dikatakan
bahwa
hubungan antara Notaris dengan penghadap bukanlah jenis hubungan yang
dapat menjadikan Notaris sebagai pihak yang bersalah sehingga menjadikan
Notaris sebagai Pihak yang harus ikut bertanggungjawab atas permasalahan
yang terjadi akibat akta yang dibuatnya. Hal ini terjadi karena hubungan
antara Notaris dengan penghadapnya merupakan hubungan yang khas
dengan karakter sebagai berikut :
a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tulisan
dalam bentuk kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan tertentu.
b. Penghadap datang ke hadapan Notaris berdasarkan kemampuan
Notaris dalam menuangkan keinginan para pihak menjadi sebuah
akta otentik sesuai hukumyang berlaku.
c. Hasil akhir dari tindakan Notaris berdasarkan kewenangan Notaris
yang berasal dari permintaan atau keinginan para pihak.
d. Notaris bukanlah pihak dalam akta yang dibuatnya.4
Namun apabila dalam proses pembuktian dapat dibuktikan sebaliknya,
bahwa selama melaksanakan tugas dan kewajibannya Notaris melakukan
kesalahan sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain maka Notaris
yang
bersangkutan
dapat
memiliki
kemungkinan
untuk
dimintai
pertanggungjawabanya.5s
1. Kode Etik Notaris
Profesi Notaris memiliki peran yang sangat penting untuk berada
ditengah-tengah lingkungan masyarakat karna sebagaimana tuntutan tugas
profesinya
menurut
Undang-Undang
yang
berlaku,
keberadaan
notarissangat berguna dalam memberikan jaminan akan kepastian serta
perlindungan hukum bagi masyarakat dalam pembuatan akta otentik
terhadap subjek hukum Perdata. Penggunaan akta otentik dalam proses
pembuktian hukum dikehidupan masyarakat memiliki arti yang sempurna,
yang berarti dengan keberadaan akta otentik dapat menunjukan sebuah
bukti kebenaran yang sebenarnya terkecuali keberadaan isi dari akta
otentik tersebut dapat dibuktikan sebaliknya. Pada proses pembuatan akta
otentik yang mengandung kebenaran formal,membutuhkan bantuan jasa
Notaris sebagai pihak yang memiliki pengetahuan pasti tentang arti
kepastian hukum dalam sebuah akta. Sehingga akta otentikitu akan dapat
4
5
Habib Adjie, Op.Cit, h 19
Ibid
dipahami dan diterima oleh semua pihak serta memiliki jaminan kepastian
hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Dalam menjalankan tugas tanggungjawabnyanotaris harus benarbenar mampu menunjukankredibilitasterbaik yang dimilikinyasebagai
seorang panutan oleh masyarakat, sehingga ketika seorang notaris bekerja
memenuhi tugasnya tidak adapihak yang akan dirugikan akibat
perbuatannya. Oleh karena itu, seorang notaris dituntut untuk lebih peka,
jujur dan adil kepada pihak yang terikatlangsung dalam akta yang
dibuatnya.
Dengan besarnya tanggungjawab atas profesi yang diembannya,
notaris memerlukan suatu aturan yang dapat membatasi sifat dan
hakekatnya dalam bekerja. Selain mengacu pada ketentuan UndangUndang Jabatan Notaris, notaris pula memiliki peraturan lain yang harus
bisa ia taati sebagai sebuah profesi secara beriringan dengan peraturannya
sebagai pejabat negara. Dan peraturan tersebut dinamakan Kode Etik
Notaris.Kode Etik Notaris di Indonesia dibuat oleh Organisasi Notaris
Indonesia atau yang dikenal dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI).Sama
halnya dengan Undang-Undang Notaris yang mengatur notaris sebagai
pejabat negara, kode etik notaris memiliki pengaturan mengenai
ketetentuan mengenai hal yang dibenarkan ataupun dilarang untuk
dilakukan oleh notaris sebagai sebuah profesi kerja.Menurut Bertens
sebagaimana yang disampaikan oleh Abdulkadir Muhammad, kode etik
profesi merupakan norma yang diterapkan dan diterima oleh kelompok
profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya
bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral
profesi itu di mata masyarakat.6
Kode etik dalam profesi notaris sangat penting keberadaannya bagi
profesi Notaris terkait tugas pekerjaannya yang berorientasi pada
legalisasi, sehingga kode etik tersebut dapat menjadi fundamen hukum
utama tentang status harta benda, hak dan kewajiban seorang klien yang
menggunakan jasa Notaris.7 Alasan lain mengapa seorang notaris wajib
melaksanakan tugas profesinyasesuai kode etik jabatan Notaris, karena
tanpa itu harkat dan martabat profesionalisme akan hilang sama sekali.8
Kode Etik Notaris Indonesiamenetetapkan beberapa kaidah yang
harus dipegang oleh Notaris sebagai sebuah profesi (selain UUJN),
diantaranya adalah :9
a. Kepribadian Notaris, hal ini dijabarkan kepada :
1) Dalam melaksanakan tugasnya dijiwai Pancsila, sadar dan
taat kepada hukum peraturan jabatan Notaris, sumpah
jabatan, kode etik Notaris dan berbahasa Indonesia yang
baik.
2) Memiliki perilaku professional dan ikut serta dalam
pembangunan nasional, terutama sekali dalam bidang
hukum.
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,
h77
7
Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat,
Notaris, Kurator, dan Pengurus), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h 133
8
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h 35
9
Supriadi, Etika& Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia,Sinar Grafika,
Jakarta, 2006, h 52.
3) Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan
kehormatan Notaris, baik didalam maupun diluar tugas
jabatannya.
b. Dalam menjalankan tugasnya, Notaris harus :
1) Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;
2) Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
jabatan Notaris;
3) Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan;
4) Menyadari kewajiban, bekerja mandiri, jujur tidak berpihak
dan dengan penuh rasa tanggung jawab yang berdasar pada
peraturan perundang-undangan serta isi sumpah jabatan
Notaris;
5) Meningkatkan ilmu pengetahuan yang dimiliki tidak
terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan;
6) Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat
dan Negara;
7) Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
memerlukan jasanya namun tidak mampu tanpa meminta
honorarium;
8) Memperlakukan kliean dengan baik tanpa membedabedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya;
9) Notaris memberikan penyuluhan hukum untuk mencapai
kesadaran hukum yang tinggi, agar anggota masyarakat
menyadari hak dan kewajibannya.
10) Melaksanakan serta mematuhi semua ketentuan tentang
honorarium yang ditetapkan perkumpulan;
11) Hormat-menghormati dengan rekan sejawat dalam suasana
kekeluargaan.
12) Saling menjaga dan membela kehormatan dan sifat
tolongmenolong secara konstruktif.
13) Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum
disebutkan sebagai kewajiban untuk ditaati dan
dilaksanakan.
c. Dalam menjalankan tugasnya, Notaris dilarang :
1) Memiliki lebih dari satu kantor sesuai dengan yang
ditetapkan oleh Undang-Undang, dan
2) Menggunakan perantara untuk mencari klien;
3) Menggunakan media massa yang bersifat promosi;
4) Menandatangani akta yang minuta aktanya telah
dipersiapkan oleh pihak lain;
5) Mengirimkan minuta akta kepada klien untuk ditanda
tangani;
6) Melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan
sesama.
Untuk dapat memastikan pelaksanaan kode etik notaris ini berjalan
sesuai dengan sebagaimana mestinya, peraturan kode etik notaris
menyebutkan pula dibuatnya Dewan Kehormatan baik di tingkat daerah,
tingkat wilayah dan tingkat pusat dalam yang bertugas, sebagai berikut :10
a. Melakukan pembinaan, bimbinga, pengawasan, pembenahan
anggota dalam menjunjung kode etik;
b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran
ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak
mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara
langsung;
c. Memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas
atas dugaan pelanggaran kode etik dan Jabatan Notaris.
Dan bagi para notaris yang ketahuan melanggar ketentuan kode
etik notaris oleh Dewan Kehormatan, maka notaris yang bersangkutan
harus menerima sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan.
Sanksi-sanksi yang dapat diberikan terhadap pelanggaran kode etik oleh
Notaris adalah, sebagai berikut :11
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan
Perkumpulan;
d. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan;
Dengan adanya sanksi tersebut, diharapkan agar Notaris dapat
berhati-hati dalam bekerja serta dapat lebih bertanggungjawab saat
menjalankan tugas profesinya dengan sebaik mungkin.
2. Kewenangan, Kewajiban Dan Larangan Jabatan Notaris Menurut
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
a. Kewenangan Jabatan Notaris
10
Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonsia, Pasal 1 ayat (8) huruf (a)
Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonsia, Pasal 6.
Notaris
sebagai
sebuah
jabatan
tentunya
memiliki
kewenangan tersendiri yang wajib untuk dipatuhi.Wewenangan
merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan
kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.12 Pada
bab III Pasal 15 dari UUJN telah diatur perihal kewenangan
Notaris yang mana disebutkan sebagai berikut :13
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau
yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam aktaotentik, menjamin kepastian
tanggal perbuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan datau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
Notaris berwenang pula :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat copi dari asli surat-surat dibawah tangan
berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana
ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan
surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukumsehubungan dengan
pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;
atau
g. Membuat akta risalah lelang.
12
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsiran Tematik Terhadap UU No.30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, PT. Rafika Aditama, Bandung, 2008, h 77.
13
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang
diatur dalam perundang-undangan.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas jelas bahwa Notaris
sebagai pejabat umum yang melaksanakan tugas dan pekerjaan
memberikan pelayanan publik atau pelayanan kepada masyarakat
untuk membuat akta-akta otentik, disamping itu Notaris juga
bertugas melakukan pendaftaran dan mengesahkan surat-surat yang
dibuat dibawah tangan.Selain itu,Notaris juga bertugas untuk
memberikan nasihat serta penjelasan mengenai Undang-Undang
kepada para pihak yang terkait.
Wewenang utama Notaris adalah membuat akta otentik,
tetapi tidak semua pembuat Akta Otentik menjadi wewenang
Notaris, misalkan Akta Kelahiran, Akta Pernikahan, serta Akta
Perceraian merupakan jenis akta yang dibuat oleh pejabat lain
selain Notaris.
Pasal 1868 KUHPer merupakan sumber untuk otoritas
terhadap Akta Notaris dan juga merupakan dasar legalitas
eksistensi dari Akta Notaris yang berbunyi sebagai berikut:14
1) Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang
pejabat umum.
2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang.
3) Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat
harus mempunyai wewenang untuk membuat akta
tersebut.
14
G.H.S. Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, h 51
b. Kewajiban Jabatan Notaris
Kewajiban
Notaris
merupakan
sesuatu
yang
wajib
dilakukan oleh Notaris yang dimana apabila dilakukan ataupun
dilanggar maka atas pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi
terhadap Notarisyang bersangkutan. Kewajiban tersebut diatur
pada Bab III Pasal 16 dari UUJN, yang dimana sebagai berikut :15
1) Dalam menjalankan kewajiban jabatanya, Notaris
berkewajiban :
a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak,
dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam
perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan
menyimpannya sebagai bagian dari protocol notaris;
c. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan
akta berdasarkan minuta akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang ini, kecuali ada alas an untuk
menolaknya;
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang
dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh
guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan
menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima
puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat
dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi
lebih dari satu buku, dan tahun pembuatannya pada
sampul setiap buku;
g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak
dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat
menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud
dalam huruf h atau daftar nilai yang berkenaan
dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen
yang bertugas dan bertanggung jawabnya dibidang
15
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada hari
minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman
daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stampel yang memuat lambang
negara Republik Indonesia dan pada ruang yang
melingkari dituliskan nama, jabatan dan tempat
kedudukan yang bersangkutan;
l. Membaca akta dihadapan penghadap dengan
dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi dan notaris;
m. Menerima magang calon notaris.
Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud
padaayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris
mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah akta:
a. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Penawaran pembayaran tunai;
c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak
diterimanya surat berharga;
d. Akta kuasa;
e. Keterangan kepemilikan; atau
f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan.
Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat
dibuat
lebih
dari
1 (satu)
rangkap,
ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang
sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis
kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk
semua".
Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama
penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu)
rangkap.
Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap
menghendaki agar akta tidak dibacakan karena
penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan
memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal
tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada
setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap,
saksi, dan Notaris.
Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf l dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta
yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak
berlaku untuk pembuatan akta wasiat.
c. Larangan Jabatan Notaris
Seorang Notaris dalam menjalankan tugasnya memiliki
batasan-batasan aturan sendiri.Dimana pembatasan ini dilakukan
agar Notaris tidak kebablasan dalam menjalankan praktik kerja dan
dapat bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukan.
Karena tanpa adanya batasan-batasan, seseorang cenderung akan
bertindak sewenang-wenang. Demi menghindari kejadian tersebut
pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan tersendiri
untuk membuat peraturan memberikan batasan kerja kepada
pejabat Notaris.16
Pada Pasal 17 UUJN telah mengatur adanya tindakan
larangan untuk dilakukan oleh seorang Notaris dalam menjalankan
praktiknya, larangan tersebut meliputi :17
a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh)
hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau
pegawai badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah atau badan usaha swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;
h. Menjadi Notaris Pengganti; atau
h 46-47
16
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009,
17
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan
dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan
yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
B. TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA
1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam
kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik,
sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang
mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak
pidana.Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum
pidana.Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwaperistiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak
pidana haruslah diberikan artiyang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan
jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari
dalam kehidupan masyarakat.18
Pengertian tindak pidana menurut Prof. DR. Bambang
Poernomo, SH,yaitu :19 “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan
yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
130
18
Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, h 62
19
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, h
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.” Adapun perumusan
tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan
akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal
kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis,
Prof.DR.
Bambang
Poernomo,
SH,
juga
berpendapat
mengenai
kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan
sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana.
Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan
pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk
mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar feit namun belum jelas
apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah sratfbaar feit
dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh
karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci
menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya,
hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga
ditengan-tengan
masyarakat
juga
dikenal
istilah
kejahatan
yang
menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat
reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana.
Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam
menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas
dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah
dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu
perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan
azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak
ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih
dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine
praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih
dahulu), ucapan ini berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum pidana
Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
aturan undang-undang;
b. Untuk
menentukan
adanya
perbuatan
pidana
tidak
bolehdigunakan analogi.
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan
yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi
untuk adanya kesalahan, hubungan antara keadaan dengan perbuatannya
yang menimbulkan kesalahan harus berupa kesengajaan atau kelapaan
yang dijelaskan sebagai berikut :
a. Kesengajaan (Dolus)
Menurut
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
(Crimineel Wetbook) Tahun 1809 mencantumkan mengenai
pengertian kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau
diperintahkan oleh Undang-Undang”. Yang berarti didalam
proses pembuktian, untuk mengetahui bahwa adanya unsur
kesengajaan didalam sebuah perbuatan diperlukan adanya
kejujuran dari pelaku untuk menyatakan perbuatan tersebut
benar telah dilakukan “dengan sengaja”.
Didalam hukum pidana terdapat 2 (dua) teori tentang
kesengajaan, dimana teori-teori tersebut dijelaskan sebagai
berikut :
1) Teori Kehendak (Wilstheorie)
Teori ini dikemukakan oleh von Hipple dalam
bukunya Die Grenze Vorsatz und Fahrlassgkeit
terbitan tahun 1903. Menurut von Hipple, kesengajaan
adalah kehendak membuat suatu tindakan dan
kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan
tersebut. Akibat dikendaki apabila akibat itu menjadi
maksud dari tindakan tersebut;
2) Teori Membahayakan (Voorstellingstheorie)
Teori ini diutarakan oleh Frank dalam bukunya
Festschrift
Geizen
tahun
1907.
Teori
ini
mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat
menghendaki suatu akibat; manusia hanya dapat
mengingini,
mengharapkan
dan
membayangkan
(voorstellen) kemungkinann adanya suatu akibat.
Perbuatan tesebut menjadi “sengaja” apabila akibat
yang ditimbulkan dari suatu tindakan dibayangkan
sebagai maksud dari tindakan itu. Oleh karena itu,
tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan
bayangan yang terlebih dahulu telah dibuatnya.
Dr. Laden Marpung, S.H., dalam bukunya Azas Teori
Praktik Hukum Pidana menambahkan, pada umumnya pakar
hukum pidana menerima adanya 3 (tiga) bentuk kesengajaan
(opzet), yaitu :20
1) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk);
Dalam VOS, definisi sengaja dengan maksud
adalah
apabila
pembuat
menghendaki
akibat
perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat
sebelumnya
sudah
mengetahui
bahwa
akibat
perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah tentu ia
tidak akan pernah mengetahui perbuatannya.
2) Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als
zekerheidsbewustzijin);
Adalah agar apa yang menjadi tujuan dapat
tercapai,
sebelumnya
harus
dilakuakan
suatu
perbuatan lain yang berupa pelanggaran juga.
3) Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan (dolus
eventualis).
Adalah bahwa seseorang melakukan perbuatan
dengan tujuan untuk menimbulkan sesuatu akibat
20
h 15-18
Laden Marpung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2005,
tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa
mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang
dan diancam oleh UU.
b. Kealpaan (Culpa)
Prof. Mr. D. Simon, menerangkan kealpaan adalah sebagai
berikut :
“ bahwa kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak
berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat
menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu
perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih mungkin juga
terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui
bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat
yang dilarang undang-undang.
Kealpaan dapat terjadi apabila seseorang tetap melakukan
perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga
akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh si
pelaku merupakan syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak
dapat
diduga
lebih
dahulu
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya kealpaan.
Tentu dalam hal mempertimbangkan ada atau tidaknya
“dapat diduga lebih dahulu” itu, harus memperhatikan
pribadi si pelaku. Kealpaan dengan keadaan-keadaan yang
menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan yang diancam
dengan hukuman, terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui
bahwa keadaan-keadaan itu tidak ada.”21
Dr. Laden Marpung, S.H., dalam bukunya Azas Teori Praktik
Hukum Pidana membedakan kealpaan menjadi 2 (dua), yaitu
:22
1) Kealpaan dengan kesadaran (beweste schuld)
Dalam hal ini, pelaku tidak membayangkan atau
menduga akan timbul suatu akibat, tetapi walaupun ia
21
22
Simons, Geschiedenis van het Wetboek van Strafrecht, Batavia: Noorhoff, 1935, h 1
Dr. Laden Marpung, S.H., op. cit., h 26
berusaha untuk mencegah, tetap menimbulkan akibat
tersebut.
2) Kealpaan tanpa kesadaran (onbeweste schuld)
Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau
menduga timbulnya suatu akibat yang dilarang dan
diancam hukum oleh undang-undang, sedang ia
seharusnya memeperhitungkan akan timbulnya akibat
tertentu
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Dalam menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsurunsurnya, maka yang mula-mula dapat temukan adalah disebutkan sesuatu
tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu
tindakan yang terlarang oleh undang-undang.Setiap tindak pidana yang
terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada
umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur
subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke
dalamnya
yaitu
hatinya.Sedangkan
segala
sesuatu
yang
terkandung
di
unsur
objektif
adalah
unsur-unsur
yang
dalam
ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan
mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.23
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus atau Culpa);
b. Maksud (Voornemen) pada suatu percobaan atau pogging
seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedachte raad) seperti
yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut
Pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan
tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP
Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:
a. Sifat melanggar hukum (wederrechtelicjkheid);
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang
pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal
415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris
dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut
Pasal 398 KUHP.
c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana
sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
C. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing biasa disebut
dengan teoreken-baardheid atau criminal responsibility yang menjurus
kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah
23
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia; PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, h 193.
seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu
tindakan pidana yang terjadi atau tidak.24
Dalam Pasal 27konsep KUHP tahun 1982-1983, pada menyatakan
bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskanya celaan yang
objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara
obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatanya.25
Dilihat
dari
sudut
perbuatan,
seseorang
akan
dimintai
pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan yang dilakukannya apabila
tindakan tersebut dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum serta
tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk
pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari pelakunya, maka hanya
seseorang yang dianggap mampu bertanggung jawab atas hal yang telah
diperbuatnyalah
yang
dapat
dimintai
pertanggungjawaban
atas
perbuatannya.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka pertanggungjawaban pidana
atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu :
a. Kemampuan
untuk
bertanggungjawab
atau
dapat
dimintai
pertanggungjawaban dari si pembuat.
24
S.R Sianturi,Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, Cetakan IV,
Alumni Ahaem Peteheam,Jakarta, 1996, h 245.
25
Djoko Prakoso ,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Liberty
Yogyakarta , Yogyakarta , 1987,h 75.
b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si
pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu : Disengaja
(dolus) dan Sikap kurang hati-hati atau lalai (culpa).
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan
pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik
dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu
dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.Dan
kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang
baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan
(volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan
keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai
konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu
menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya
perbuatan,ia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana,
orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam
menentukan
orang
yang
dianggap
mampu
bertanggungjawab, Satochid Kartanegara menyatakan harus memenuhi
setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu :26
a. Keadaan jiwa seseorang normal, sehingga ia bebas atau memiliki
kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan
yang ia lakukan;
26
Satochid Kartanegara, dalam Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, h 149.
b. Keadaan jiwa seseorang normal, sehingga ia memiliki kemampuan
untuk dapat mengerti nilai perbuatan berikut akibatnya,
c. Keadaan jiwa seseorang normal, sehingga ia memiliki kemampuan
untuk menyadari, menginsyafi bahwa perbuatannya itu merupakan
perbuatan tercela, dilarang hukum atau oleh masyarakat maupun
tata peraturan.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan
dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk
membedakan antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang di larang
atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang
menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan
penuh kesadaran.
2. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana
Menurut KUHP, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban
atas tindak pidana yang dilakukannya apabila dapat dibuktikannya unsurunsur, berupa :
a. Adanya Pelanggaran
Ditemukannya sebuah pelanggaran adalah hal yang
terpenting untuk dibuktikan dalam sebuah perkara pidana.
Karena dengan adanya sebuah pelanggaran maka pidana
menjadi sah untuk dijalankan. Untuk membuktikan sebuah
pelanggaran itu benar terjadi maka diperlukan adanya
kesengajaan atau kealpaan yang menjadi dasar perbuatan itu
dilakukan pelaku.
b. Memiliki Kemampuan untuk Bertanggungjawab.
Menyinggung masalah kemampuan seseorang untuk
bertanggungjawab maka hal yang harus diperhatikan adalah
berkaitan dengan kejiwaan orang tersebut saat ia melakukan
sebuah perbuatan yang menimbulkan akibat itu.
Walaupun KUHP tidak menyebutkan secara jelas
bagaimanakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban
akan perbuatannya, namun Pasal 44 ayat (1) KUHP
memberikan batasan tentang bagaimana seseorang dianggap
tidak memiliki kemapuan untuk bertanggung jawab sehingga
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana kepadanya.
Sehingga untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana harus merumuskan Pasal
44 KUHP secara sebaliknya, dimana perumusan itu menjadi
sebagai berikut :
1) Tidak memiliki kecacatan pada jiwanya; dan
2) Tidak memiliki kecacatan pada tubuhnya.
D. PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM NOTARIS
Notaris di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dibatasi
dengan aturan-aturan, pembatasan ini dilakukan agar seorang Notaris
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya memiliki tanggungjawab
serta integritas tinggi dalam menjalankan profesinya. Karna tanpa adanya
pembatas seseorang akan cenderung sewenang-wenang atas kekuasaan
yang dimilikinya. Demi membatasi kekuasaan atas kewenangan yang
diberikan kepadanya baik UUJN maupun Kode Etik Jabatan Notaris
menetapkan batasan-batasan larangan yang wajib untuk dipatuhi serta
sebagai pedoman kerja bagi seorang Notaris.
Meskipun
sedemikian
jelas
diketahui
bahwa
sejak
awal
mengucapkan sumpah jabatannya bahwa sebagai seorang Notaris memiliki
batasan aturan atas kewenangan yang diberikan kepadanya hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa ketika seorang Notaris beracara terdapat
pelanggaran terhadap larangan-larangan yang ada sehingga bagi Notaris
yang melanggar sudah semestinya dimintai pertanggungjawaban atas
kesalahan yang telah dilakukan berupa sanksi.
Sebagai pedoman utama bagi seorang Notaris menjalankan
profesinya, Pada Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN menetapkan dua jenis sanksi
yang dapat diberikan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris
yaitu :
1. Sanksi Perdata
Sanksi ini akan diberikan kepada Notaris yang
bersangkutan
apabila
Penghadap
memiliki
kekuatan
pembuktian sehingga akta yang dibuatnya menjadi akta di
bawah tangan atau bahkan batal demi hukum. Sanksi ini
berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga.
Sebuah akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta bawah tangan apabila :
a) Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan
(sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 yang merujuk
kepada Pasal 40 UUJN);
b) Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan
(sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 yang merujuk
kepada Pasal 39 dan 40);
c) Cacat dalam bentuknya (sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf (l) dan Pasal 16 ayat (7) dan ayat
(8) UUJN).
Sedangkan sebuah akta notaris dinyatakan batal demi
hukum apabila :
a) Melanggar kewajiban sebagaimana yang dimaksudkan
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (i) UUJN;
b) Melanggar kewajiban sebagaimana yang dimaksudkan
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (k) UUJN;
c) Melanggar ketentuan Pasal 44 UUJN;
d) Melanggar ketentuan Pasal 48 UUJN;
e) Melanggar ketentuan Pasal 49 UUJN;
f) Melanggar ketentuan Pasal 50 UUJN;
g) Melanggar ketentuan Pasal 51 UUJN.
2. Sanksi Administratif
Sanksi administratif merupakan sanksi yang diberikan
secara berjenjang kepada Notaris akibat pelanggarannya tugas
kewenangan yang diberkan kepadanya. Jenis pelanggaran
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sehingga dapat
mendatangkan sanksi administratif disebutkan UUJN dalam
Pasal sebagai berikut :
a) Melanggar ketentuan Pasal 7 huruf (a) sampai dengan (c)
b) Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf (a) samapai
dengan (k)
c) Melanggar ketentuan Pasal 17 huruf (a) sampai dengan
(i)
d) Melanggar ketentuan Pasal 20
e) Melanggar ketentuan Pasal 27 huruf (a) sampai dengan
(c)
f) Melanggar ketentuan Pasl 32
g) Melanggar ketentuan Pasal 37
h) Melanggar ketentuan Pasal 54
i) Melanggar ketentuan Pasal 58 huruf (a) sampai dengan
(d)
j) Melanggar ketentuan Pasal 59 huruf (a) sampai dengan
huruf (h)
k) Melanggar ketentuan Pasal 63 huruf ayat (1) sampai
dengan ayat (5).
Dalam prosesnya secara berkala satu kali dalam setahun
Majelis Pengawas Daerah melakukan pemeriksaan ketaatan
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, apabila dari hasil
laporannya ditemukan adanya dugaan pelanggaran kode etik
maka Majelis Pengawas Daerah akan melaporkan hasil
temuannya ke Majelis Pengawas Wilayah. Dengan laporan itu
Majelis Pengawas Daerah dapat melakukan pemanggilan
terhadap Notaris sebagai terlapor serta melakukan sidang
untuk memeriksa dan memberikan keputusan atas laporan
tersebut dimana hasil putusannya akan berupa teguran lisan
atau tertulis. Setelahnya hasil putusan tersebut dilaporkan ke
Majelis Pengawas Pusat dalam tingkat banding akan
menghasilkan
putusan
pemberhentian
sementara
atau
pemberhentian dengan tidak hormat. Dalam hal pemberian
sanksi
berupa
pemberhentian
sementara
ataupun
pemberhentian dengan tidak hormat hal ini harus berdasarkan
persetujuan Menteri.27
E. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS
Notaris sebagai pejabat umum sekaligus pula sebagai profesi,
posisinya sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian hukum
bagi masyarakat.Notaris seyogianya ada agar mencegahan (preventif)
terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat
bukti yang paling sempurna di pengadilan.Namun apabila dalam hal ini
justru notaris yang dihadapkan sebagai pesakitan di Pengadilan terkait
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Sanksi Administratif Terhadap Notaris (Sebagai
Pejabat Publik), PT. Reflika Aditama, Bandung 2008.
tugas dan tanggungjawab profesinya, harus diperjelas sejauh manaNotaris
terlibat
sehingga
dapat
dipersalahkan
sertadimintai
pertanggungjawabannya khususnya yang dalam kasus pidana.
Apabila dipahami tugas dan kewenangan yang diberikan oleh
pemerintah kepada notaris dalam mengolah surat otentik,yaitu hanya
sebagai pihak yang kepadanya dimohonkan selaku pejabat yang memiliki
kewenangan untuk membuatkan sebuah bukti hukum tertulis dapat
memperkecil kemungkinannotaris menjadi pihak yang terlibat dalam
sebuah perkara pidana. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa
notaris dapat dibawa ke ranah pidana. Karna buktinya masih bisa
ditemukan bahwa seorang notaris yang pekerjaannya berada dijalur ranah
hukum Perdata namun atas pelanggaran yang dilakukannya dibawa ke
ranah hukum pidana.
Tanggung jawab hukum pidana akan muncul apabila Notaris telah
melakukan perbuatan hukum yang dilarang oleh KUHP atau dengan kata
lain Notaris wajib terbukti melakukan perbuatan melawan hukum pidana
baik secara sengaja maupun atas kelalaiannya sehingga berakibat kerugian
bagi pihak lain. Tidak seperti penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran pada
lingkup hukum Perdata yang memiliki jenjang pemberian sanksi kepada
notaris sesuai jenis pelanggaran yang dilakukannya, dalam menentukan
sejauhmana pertanggungjawaban pidana yang dapat diberikan kepada
seorang notaris atas pelanggarannya UUJN tidak secara jelas menyebutkan
seperti apa pertanggungjawaban pidana akan diberikan namun Pasal 13
UUJN menegaskan bahwa :
“Notaris akan diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri,
apabila dijatuhi pidana penjara berdasarkan pada putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum dengan pidana
penjara 5 tahun atau lebih.”
Berdasarkan bunyi Pasal yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan
Notaris yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah Notaris
yang kepadanya dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan didepan
Pengadilan bersalah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur
pelanggaran tindak pidana dan putus oleh Majelis Hakim pidana penjara 5
tahun atau lebih. Meskipun dengan pernyataan seperti ini tidak dapat
menyimpulkan bahwa tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana
yang memiliki keterkaitan dengan tugas kewenangannya sebagai Notaris
atau tidak. Namun hal ini mengisyaratkan bahwa pertanggungjawaban
pidana terhadap seorang Notaris bukanlah hal yang mustahil untuk
dilakukan.
F. TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS
Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai seorang pejabat
umum yang diangkat untuk kepentingan Negara, didalam menjalankan tugas
jabatannya harus berpegang teguh pada UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris.
karena tanpa itu hakat dan martabat profesionalisme sebagai seorang pejabat
Negara akan hilang. Demi menjaga harkat dan martabat profesionalisme
sebagai pejabat Negara, seorang Notaris harus memiliki sikap serta prinsip
antara keseimbangan antara mengejar kepentingan materi mapun kepentingan
umum.
Namun didalam praktiknya, tidak sedikit pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan Notaris berujung menjadi perkara hukum pidana. Oleh karena
mementingkan kepentingan pihak tertentu sehingga menyebabkan kerugian
bagi orang lain. Dalam lingkup kerja profesi Notaris, jenis pelanggaran yang
dapat menyebabkan seorang Notaris diperkara pidanakan terbagi dua, yaitu :
1. Membuat Surat Palsu
Menurut Lamintang perbuatan membuat surat palsu terjadi
bilamana awalnya belum ada sesuatu surat apapun kemudian
dibuat surat dengan isi yang seluruhnya atau sebagian
bertentangan dengan kebenaran.28Palsu artinya tidak benar atau
bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu
dapat berupa beberapa hal sebagai berikut :29
a. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isinya
tidak
sesuai
atau
bertentangan
dengankebenaran.perbuatan
ini
disebut
dengan
pemalsuan secara intelektual (Intellectueele valsheid).
b. Membuat surat yang seolah-olah surat itu berasal dari
orang lain selain dari pembuat surat. Palsunya surat ini
terletak pada asal atau isi pembuat surat. Pembuatan ini
disebut pemalsuan secara materiil (materiel valsheid).
Di samping isi dan asalnya sebuah surat yang disebut surat palsu
juga apabila tanda tangannya tidak benar. Hal ini bisa terjadi
dalam hal :30
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,
Bandung, 1982, h 189
Adami Chawazi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2000, h
100
a. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang
tidak ada;
b. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik
dengan persetujuan ataupun tidak;
c. Tanda tangan yang dimaksud disini termasuk
tandatangan dengan menggunakan cap atau stampel
tanda.
Perbuatan membuat surat palsu dapat mengenai tanda
tangan maupun isi dari tulisan atau surat, dimana perbuatan itu
menggambarkan secara palsu bahwa surat itu, baik secara
keseluruhan maupun isinya berasal dari seseorang yang
namanya tercantum dalam tulisan tersebut.
2. Memalsukan Surat
Memalsukan surat merupakan perbuatan
mengubah
dengan cara bagaimanapun, oleh orang yang tidak berhak atas
sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruhnya menjadi
lain atau berbeda dengan isi surat semula. Bilamana perbuatan
tersebut dilakukan oleh pihak yang tidak berhak, tidak penting
apakah dengan perbuatan tersebut lalu isinya menjadi benar,
maka pemalsuan surat telah terjadi. Sama seperti membuat surat
palsu, memalsukan surat juga dapat terjadi pada sebagian
ataupun seluruh isi surat.31
Didalam KUHP diatur beberapa pasal mengenai pemalsuan surat yang
dapat ditujukan bagi Notaris bilamana perbuatannya dibuktikan memenuhi
unsur didalamnya, yaitu :
1. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP
31
Adam Chazawi, Op.Cit, h 100-101
Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat
palsu/yang dipalsukan
2. Pasal 264
Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik
3. Pasal 55 jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau
Pasal 266 KUHP.
Melakukan atau turut serta melakukan membuat surat palsu
4. Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau Pasal 266
KUHP.
Membantu membuat surat palsu/yang dipalsukan
G. HASIL PENELITIAN
5. Kasus Posisi
PT.
Indo
Venner
Utama
adalah
Perseroan
Terbatas
yang
berkedudukan di Surakarta, didirikan berdasar Akta No. 37 tanggal 10
November 1957, dengan susunan pemegang saham, sebagai berikut :
•
Gunawan Sutanto, saham seri A 2.000 lembar dan Saham Seri
B 1.333 lembar;
•
Andi Sutanto, saham seri A 2.000 lembar dan Saham Seri B
1.334 lembar;
•
Agus Sutanto, saham Seri A 2.000 lembar dan Saham Seri B
1.333 lembar.
Bahwa setiap lembar sahamnya bernilai Rp. 1.000.000,00,- (satu juta
rupiah). Sejak meninggalnya Gunawan Sutanto tanggal 22 Januari 1989,
selanjutnya
saham-sahamnya
diwariskan
kepada
istrinya
Yunita
Koeswoyo.
PT. Indo Venner Utama Bergerak di bidang perindustrian
perkayuan pembuatan teak playwood, furniture, construction dari kayu,
perdagangan umum terutama hasil kayu, pemborongan umum (general
kontraktor), pengangkutan darat dan ekspedisi, dan laveransir memiliki
struktur kepengurusan, sebagai berikut :
•
Direktur I
:
Andi Sutanto;
•
Direktur II
:
Andi Pratikyo;
•
Komisaris
:
Agus Sutanto.
Pada tanggal 2 Desember 2005, Yunita Koeswoyo dan Andi
Sutanto selaku pemegang saham mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Direktur I PT.Indo Veneer Utama untuk mengadakan RUPS
dengan agenda penyesuaian Anggaran Dasar
PT.Indo Veneer Utama
dengan Undang-Undang Nomor1 tahun1995 tentang Peseroan Terbatas,
namun hingga tanggal 20 Desember 2005, Direktur I PT.Indo Veneer
Utama tidak memanggil para pemegang saham dan tidak mengadakan
RUPS. Kemudian tanggal 21 Desember 2005 tanpa didasarkan dengan
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Surakarta, Andi Sutanto bersamasama dengan Yunita Koeswoyo dalam kedudukan sebagai pemegang
saham, melakukan pemanggilan kepada para pemegang saham untuk
melaksanakan RUPS Luar Biasa sebanyak dua kali dengan agenda
penyesuaian Anggaran Dasar PT.Indo Veneer Utama dengan UndangUndang No. 1 tahun1995 tentang Peseroan Terbatas dan Perubahan
Struktur Pengurus PT.Indo Veneer Utama. Dengan konfirmasi pada
tanggal 6 Januari 2006, di Kantor PT. Indo Venner Utama, CV.
INDOJATI dengan alamat Jl. Adisucipto, Surakarta.
Berdasarkan undangan pemegang saham tertanggal 21 Desember
2005, pada tanggal 6 Januari 2006,bertempat dikantor PT. Indo Venner
Utama,CV. INDOJATI dengan alamat Jl. Adisucipto, Surakarta diadakan
RUPS pada pukul 10.00 – 11.30 WIB, dimana dalam rapat tersebut
dihadiri oleh :
a. Yunita Koeswoyo (atas warisan dari suaminya Gunawan
Sutanto alm), sebagai pemilik 2.000 saham seri A dan 1.333
saham seri B, yang tiap-tiap saham sebesar Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) atau seluruhnya sebesar Rp 3.333.000.000,(tiga milyard tigaratus tigapuluh juta rupiah);
b. Andi Sutanto, sebagai pemilik 2.000 saham seri A dan 1.334
saham seri B, yang tiap-tiap saham sebesar Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) atau seluruhnya sebesar Rp 3.334.000.000,(tiga milyard tigaratus tigapuluh empatjuta rupiah).
c. Anne Patricia Sutanto (sebagai juru bicara Andi Sutanto yang
pada saat itu menderita stroke).
Menghasilakan keputusan, yaitu melakukan penyesuaian Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga PT. Indo Venner Utama yang lama dengan
Undang-Undang Nomor1 tahun1995 tentang Peseroan Terbatas. Karena
yang hadir didalam rapat tersebut telah mewakili pemilik 6.667 (enamribu
enamratus enampuluh tujuh) saham, tiap-tiap saham Rp. 1.000.000,- (satu
juta rupiah) atau seluruhnya sebesar Rp. 6.667.000.000,- (enam milyard
enamratus enampuluh tujuhjuta rupiah) dalam PT.Indo Veneer Utama
yang berkedudukan di Surakarta, telah memenuhi 2/3 dari seluruh saham
yang telah dikeluarkan oleh perusahaan, sebagaimana Pasal 75 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 tahun1995 tentang Peseroan Terbatas telah
memenuhi korum yang hadir dalam rapat. Sehingga hasil keputusan ini
dianggap telah sah, meskipun tanpa kehadiran dan persetujuan pemilik
saham lainnya yaitu Agus Sutanto.
Kemudian pada pukul 11.30 WIB, masih pada hari yang sama
tanggal 6 Januari 2006,Yunita Koeswoyo yang didampingi oleh Anne
Patricia Sutanto (hanya sebagai pendamping)menemui Notaris Tjondro
Santoso, S.H.,bertempat dikantor Notaris Jl.Mr.Muh Yamin No.114
Surakarta, dengan maksud untuk meminta dibuatkan Pernyataan
Keputusan RapatPT.Indo Veneer Utama dengan membawa alat bukti,
sebagai berikut :
1. Akta Pendirian PT. Anggaran Dasar PT.Indo Veneer Utama
yang lama serta hasil berita acara Rapat Umum Pemilik Saham
(RUPS) PT.Indo Veneer Utama yang berlangsung pada hari
Jumat, tanggal 6 Januari 2006, Pukul 10.00 WIB;
2. Surat permohonan pengadaan rapat kepada Direktur I
tertanggal 2 Desember 2005;
3. Bukti pengiriman surat undangantanggal 21 Desember 2005
kepada pemilik saham dalam rangka pengadaan rapat, yang
ditandatangani Yunita Koeswoyo dan Andi Sutanto yang
ditujukan kepada Yunita Koeswoyo, Andi Sutanto dan Agus
Sutanto;
4. Undangan RUPS PT. Indo Veneer Utama dengan konfirmasi
hari Jumat, tanggal 6 januari 2006, Pukul 10.00 WIB,
bertempat dikantor PT. Indo Venner Utama, CV. INDOJATI,
Jl. Adi Sucipto, Surakarta. Dengan agenda Penyesuaian
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tanggadengan
Undang-Undang No.1 tahun1995 tentang Peseroan Terbatas;
b. KTP Anne Patricia Sutanto, Yunita Koeswoyo dan Andi
Sutanto.32
Setelah
Notaris
Tjondro
Santoso,
S.H.,mempelajari
data
pendukung berupa Berita Acara Rapat dan Anggaran Dasar, lalu oleh
Notaris Tjondro Santoso, S.H., dibuatkan Akta No.2 tentang penyesuaian
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PT. Indo Venner Utama
yang lama dengan Undang-Undang No. 1 tahun1995 tentang Peseroan
Terbatas, yang isinya dibacakan dengan dua isi point penting, yaitu :
1. Penyesuaian
Anggaran
Dasar
dan
Anggaran
Rumah
TanggaPT.Indo Veneer Utamadengan Undang-Undang No.1
Tahun1995 tentang Peseroan Terbatas;
2. Perubahan pengurus PT.Indo Veneer Utama.
Setelah dibacakan Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006, akta tersebut
ditandatangani pada Pukul 12.00 WIB dan selesai Pukul 13.00 WIB
dengan jumlah halaman 47 lembar yangsalinan aktanya diambil pada
tanggal 13 Januari 2006
Masihpada hari yang sama tanggal 6 Januari 2006, datang Anne
Patricia Sutantoyang bertindak mewakili PT.Indo Veneer Utama
berdasarkan atas Kuasa para hadirin pemegang saham pada Rapat Umum
Pemegang Saham Luar Biasa Dalam Perseroan Terbatas PT. Indo Venner
Utama yang telah diselenggarakan pada tanggal 6 Januari 2006, Pukul
14.00 WIB,bertempat dikantorPT.Indo Veneer Utama,CV. INDOJATI di
Jl. Adisucipto, Surakarta. Yang mana dalam rapat tersebut telah dihadiri
pemegang saham, yaitu :
32
Putusan No. 141/Pid.B/2009/PN.Ska, h 97
a. Lisa Sutanto (bertindak berdasarkan surat kuasa dari Yunita
Koeswoyo), sebagai pemilik 2.000 saham seri A dan 1.333
saham seri B,yang tiap-tiap saham sebesar Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) atau seluruhnya sebesar Rp 3.333.000.000,(tiga milyard tigaratus tigapuluh juta rupiah);
b. Anne Patricia Sutanto (bertindak berdasarkan surat kuasa dari
Andi Sutanto), sebagai pemilik 2.000 saham seri A dan 1.334
saham seri B, yang tiap-tiap saham sebesar Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) atau seluruhnya sebesar Rp 3.334.000.000,(tiga milyard tigaratus tigapuluh empatjuta rupiah).
Dimana dalam rapat tersebut menghasilkan keputusan rapat berupa
Perubahan Struktur Pengurus dalam PT. Indo Venner Utama, menemui
secara langsung Notaris Tjondro Santoso, S.H., Pukul 14.30 WIB,
bertempat
dikantor
Notaris
Jl.
Mr.
Muh
Yamin
No.114
Surakarta,untukmeminta dibuatkan Akta tentangPernyataan Keputusan
Rapat (PKR) dengan membawa bukti pendukung berupa :33
c. Anggaran Dasar lama;
d. Surat kuasa tanggal 6 Januari 2006 kepada Lisa Sutanto, yang
bertindak mewakiliYunita untuk mengikuti RUPS Luar Biasa.
e. Berita Acara Rapat, dll.
Setelahmempelajari semua bukti yang ada,Notaris Tjondro
Santoso, S.H., membuatkan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006tentang
Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT.
33
Putusan No. 141/Pid.B/2009/PN.Ska, Hal 98
Indo Venner Utama, yang juga dinyatakan bahwa Akta No. 3 tanggal 6
Januari 2006dibuat berdasarkan Akta No.2 tanggal 06 Januari 2006
tentang Penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PT.
Indo Venner Utama yang lama dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1995
tentang Peseroan Terbatas. Yang dimana pada Akta No. 3 tanggal 6
Januari 2006 memiliki point penting yaitu, sebagai berikut :
Merubah kepengurusan PT. Indo Venner Utama yang sama dan di
ganti dengan pengurus yang baru, yaitu :
•
Direktur I
: Anne Patricia Sutanto;
•
Direktur II
: Indra Gunardi;
•
Komisaris
: Yenny Sutanto;
Yang setelah dibacakan isi Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 tersebut,
kemudian ditandatangani pada hari itu juga dengan jumlah 7 halaman.Dan
salinan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 diambilAnne Patricia Sutanto
pada tanggal 7 Januari 2006.
Pada tanggal 9 Januari 2006, Agus Sutanto mendapat fax dari PT.
Indo Venner Utama mengenai hasil RUPS yang telah diadaakan oleh PT.
Indo Venner Utama tanggal 6 Januari 2006 berikut pemberitahuan
mengenai perubahan kepengurusan posisi Agus Sutanto yang semula
sebagai komisaris PT. Indo Venner Utama digantikan Yenny Sutanto.
Merasa bahwa dirinya tidak diundang dalam RUPS tersebut, ia
mengkonfirmasi keberadaan Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 serta Akta
No. 3 tanggal 6 Januari 2006 ke Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, ternyata kedua akta tersebut belum
didaftarkan sehingga Agus Sutanto merasa bahwa dirinya masih memiliki
hak sebagai komisaris.
Meskipun mengetahui bahwa salinan akta No. 2 dan No. 3 yang
dipegangnya belum disahkan oleh pihak yang berwenang, namun Anne
Patricia selaku Direktur I yang baru berdasarkan akta tersebut, telah
mempergunakannya untuk berhubungan dengan pihak ketiga. Penggunaan
akta No. 2 dan Akta No. 3 bahkan sebelum akta tersebut disahkan,
disebutkan sebagai berikut :
1. Merubah kepengurusanan PT. Indo Venner Utama;
2. Merubah speciment tanda tangan Agus Sutanto pada Rekening
PT.Indo Veneer Utama di Bank Mandiri Cabang Pembantu S.
Parman Jakarta dengan No. Rek. 116.00.02111247.3 (USA)
dan No. Rek. 116.00.02.11248.1 (Rp) pada tanggal 11 Januari
2006 (namun ditolak oleh pihak Bank).Diajukan kembali
tanggal 28 Maret 2006 karena dilampiri Akta No. 2 tanggal 6
Januari 2006 yang telah memperoleh persetujuan dari
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia tanggal 16 Maret 2006 namun kembali ditolak
karena pada copyan salinan Akta No.3 tanggal 6 Januari 2006
terdapat perbedaan jumlah halaman dengan copyan salinan
akta yang diberikan sebelumnya.34
34
Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, Kesaksian Spoke Meneger Bank
Mandiri Cabang Jakarta S. Parman, h 35-37
3. Mengambil uang di perusahaan dan menguasai perusahaan,
berikut tagihan-tagihan import hasil perusaan dan mengambil
uang di bank.
Diwaktu dan tempat yang berlaianan, saat mempelajari akta No. 3
sebelum dikirimkan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Notaris Tjondro Santoso, S.H., menemukan kesalahan
pengetikan pada salinan Akta No. 3 dibagian promise akta (sebelum akta
pokok) ada dua paragraf dan harus diperbaiki. Kemudian Notaris Tjondro
Santoso, S.H., menghubungi Anne Patricia untuk menarik kembali Akta
No.
3
tersebut.
Dan
setelah
selesai
Notaris
Tjondro
Santoso,
S.Hmengembalikan lagi Akta No. 3 pada tanggal 13 Januari 2006, dengan
jumlah 10 halaman.Dimana Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 yang
berjumlah 7 halaman kemudian dimusnahkan.
Kemudian Notaris Tjondro Santoso, S.H., mengirimkan Akta No.
2 tanggal 6 Januari 2006 serta Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 ke
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Yang
mana masing-masing akta memiliki keterangan pengesahan sebagai
berikut :
a. Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006.
Dikirimkan pada tanggal 15 Maret 2006 ke Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan
mendapatkan Persetujuan (sah) tanggal 16 Maret 2006.
b. Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006.
Dikirimkan pada tanggal 24 Mei 2006 ke Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan
Pelaporan diterima (sah) tanggal 30 Mei 2006.
Dengan barudisahkannya akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006
tanggal 16 Maret 2006 dan No. 3 tanggal 6 Januari 2006 tanggal 30 Mei
2006, tetapi bahkan sebelum kedua akta tersebut belum mendapatkan
pengesahan pihak yang berwajib dalam hal ini Meteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, karena pernyataan telah mendapatkan
pengesahan oleh pihak yang berwajib oleh Notaris Tjondro Santoso, S.H.,
membuat pihak lain yaitu Agus Sutanto merasa sangat dirugikan haknya.
Meskipun saham Agus Sutanto tidak hilang, tapi Ia tetap merasa telah
dirugikan karena tidak lagi menjabat sebagai Komisaris PT. Indo Venner
Utama dan perusahaan dipailitkan di Jakarta akibat penggunaan kedua akta
tersebut.
Dengan alasan tersebut, kemudian Agus Sutanto melaporkan ke
POLDA Jawa Tengah, yang berdasarkan Laporan Polisi dengan No.Pl :
LP/98/VII/2006 tertanggal 19 Juli 2006 penyidik POLDA menetapkan 3
(Tiga) orang Tersangka, yaitu : Anne Patricia Sutanto, Yunita Koeswoyo
dan Notaris Tjondro Santoso, S.H dengan perkara yang berbeda.
Perkara dengan Tersangka Anne Patricia Sutanto yang oleh Jaksa
pada Kejaksaan Jawa Tengah ditetapkan sebagai Terdakwa dan diajukan
ke pengadilan yang selanjutnya diadili di Pengadilan Negeri Surakarta
dalam perkara pidana No : 343/Pid.B/2007PN.Ska dan oleh Majelis Hakim
telah di jatuhkan putusan pada hari Rabu, tanggal 30 Januari 2008 dengan
putusan yang pada pokoknya : Terdakwan Anne Patricia Sutanto tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dan
membebaskan Terdakwa dari semua dakwaan Jaksa. Putusan Pengadilan
Negeri Surakarta tersebut diamini pada tingkat banding oleh Putusan
Mahkamah Agung R.I. NO : 914K/PID/2008 tanggal 11 September 2008,
sehingga putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht
van gewijsde) terhitung sejak tanggal 11 September 2008.
Bahwa dengan adanya putusan bebas atas nama Terdakwa Anne
Patricia Sutanto tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, kemudian
terhadap Tersangka Yunita Koeswoyo oleh POLDA Jawa Tengah
berdasarkan
Surat
DIRESKRIM
POLDA
JATENG
No.Pol
:
B/115b/XII/2008/Reskrim tertanggal 15 Desember 2008 telah diterbitkan :
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP.3) terhitung mulai tanggal 5
Desember 2008 dengan alasan sebagai berikut :
a. Tidak terdapat cukup bukti.
b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana.
c. Sesuai
dengan
ketentuan
Undang-Undang
penyidikan
dihentikan demi hukum.
Meskipun dengan adanya putusan bebas kepada Anne Patrica
Sutanto dan keputusan SP.3 bagi Yunita Koeswoyo tidak serta merta
melepaskan Tjondro Santoso, S.H., dari jeratan hukum, oleh Jaksa pada
Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dan menetapkan Tjondro Santoso, S.H.,
Terdakwa pelaku tunggal dalam tindak pidana memalsukan akta otentik
dengan perkara No.141/Pid.B/2009/PN.Ska jo No.167/Pid/2010/PT.Smg
jo No.1860K/Pid/2010.
2. Identitas
Identitas Terdakwa :35
•
Nama
: TJONDRO SANTOSO, SH. BinTIRTO ;
•
Tempat Lahir
: Surakarta ;
•
Umur/ Tanggal Lahir : 64 Tahun / 18 Agustus 1945 ;
•
Jenis Kelamin
: Laki - laki ;
•
Kebangsaan
: Indonesia ;
•
Tempat Tinggal
: Kampung Penularan, RT.05, RW. 06,
KelurahanPanularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta ;
•
Agama
: Katholik ;
•
Pekerjaan
: Notaris ;
3. Dakwaan
a. Primair
Bahwa Terdakwa Tjondro Santoso, S.H. selaku notaris pada
hari Jumat tanggal 6 Januari 2006 sekiranya jam 13.00 WIB atau
setidak-tidaknya pada suatu waktu lain dalam bulan Januari 2006
bertempat di kantor Notaris Jl. Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta atau
setidak-tidaknya di salah satu tempat lain yang masih termasuk dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, telah membuat surat palsu
atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu hak yang
dilakukan terhadap akta-akta otentik yang dilakukan Terdakwa dengan
cara-cara sebagai berikut :
35
Putusan Mahkamah Agung No. 878/Panmud.Pid/1860K/PID/2010, h 1
-
-
-
-
-
-
-
-
36
Bahwa berawal pada tanggal 6 Januari 2006 Terdakwa telah
kedatangan 2 (dua)
orang perempuan yang mengaku bernama Yunita
Koeswoyo dan Anne Patricia Sutanto;
Bahwa 2 orang perempuan tersebut datang dikantor Notaris
milik Terdakwa di Jl. Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta
dalam jam yang berlainan dengan tujuan untuk diminta
dibuatkan akta;
Bahwa atas permintaan para penghadap tersebut Terdakwa,
membuatkan akte yang terdiri dari 2 (dua) akta No. 2
tanggal 6 Januari 2006 dan akta No. 3 tanggal 6 Januari
2006;
Bahwa Terdakwa dalam membuat kedua akta telah
memalsukan keterangan palsu atau keterangan yang tidak
benar karena dalam akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 oleh
Terdakwa telah dicantumkan kalimat / kata-kata telah
mendapat pengesahan dari pihak yang berwajib, padahal
yang sebenarnya akte No. 2 tanggal 6 Januari 2006 tersebut
belum mendapat pengesahan dari pihak yang berwajib dan
belum jadi, baru mendapat pengesahan pada tanggal 16
Maret 2006;
Bahwa akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 yang belum
mendapat pengesahan dari pihak yang berwajib dan belum
jadi tersebut oleh Terdakwa telah dipergunakan sebagai
dasar pertimbangan pembuatan akta No. 3 tanggal 6 Januari
2006, sehingga terbitlah akta No. 3 Januari 2006;
Bahwa salinan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 yang
diserahkan Terdakwa pada tanggal 7 Januari 2006 dengan
salinan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 yang diserahkan
Terdakwa pada tanggal 13 Januari 2006 juga terdapat
perbedaan yaitu pada akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006
yang diserahkan Terdakwa pada tanggal 7 Januari 2006
terdiri dari 7 (tujuh) halaman sedangkan akta No. 3 tanggal
6 Januari 2006 yang diserahkan Terdakwa tanggal 13
Januari 2006 terdiri dari 10 (sepuluh) halaman;
Bahwa akta No. 3 tanggl 6 Januari 2006, tersebut oleh
pemohon telah diperguanakan dengan pihak ke tiga dengan
tujuan untuk merubah specimen tanda tangan di BII cabang
Solo dan Bank Mandiri Jakarta dan juga untuk menguasai
asset dan mengambil alih jabatan Direktur pada PT Indo
Venner Utama Surakarta;
Bahwa atas perbuatan Terdakwa saksi Agus Sutanto salah
satu pemegang saham merasa dirugikan, selanjutnya
melaporkan kepada yang berwajib guna pengusutan lebih
lanjut.36
Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, h 3-5
b. Subsidair
Bahwa ia Terdakwa Tjondro Santoso, S.H. selaku Notaris
bersama dengan ANNE PATRICIA SUTANTO (dalam berkas
tersendiri) baik secara bersama-sama atau bertindak sendiri-sendiri pada
Jum’at tanggal 6 Januari 2006 sekira jam 13.00 WIB atau setidaktidaknya pada waktu lain dalam bulan Januari 2006, bertempat di
Kantor Notaris Jl. Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta, atau setidaktidaknya ditempat lain yang masih termasuk dalam Daerah hukum
Pengadilan Negeri Surakarta, telah melakukan, turut serta melakukan
perbuatan, menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh
akta itu, seolah-olah, keterangannya sesuai dengan kebenaran, yang
dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut :
-
-
-
-
Berawal pada tanggal 6 Januari 2006 di kantor milik
Terdakwa yaitu kantor Notaris Tjondro Santoso, S.H. di Jl.
Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta sekira jam 11.30 telah
kedatangan seseorang bernama Yunita Koeswoyo, dengan
membawa persyaratan pendukung untuk meminta dibuatkan
Akta;
Selanjutnya Terdakwa membuat Pernyataan Keputusan
Rapat, kemudian oleh Notaris Tjondro Santoso dibuatkan
akta, sehingga terbitlah akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006
tentang Penyesuaian UU No. 1 tahun 1995;
Bahwa sekira jam 15.30 WIB masih tanggal 6 Januari 2006,
datang lagi seseorang perempuan menghadap Terdakwa dan
mengaku bernama Anne Patricia langsung bertemu
Terdakwa;
Bahwa Anne Patricia datang ke kantor milik Terdakwa
tersebut bertujuan untuk membuat akta;
Bahwa pada tanggal 7 Januari 2006 Anne Patricia
menerima Salinan akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 dan
Salinan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006, padahal salinan
akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 belum mendapat
pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
R.I.;
-
-
-
-
Bahwa Terdakwa pada saat membuat akta No. 3 tanggal 6
Januari 2006, akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 belum
mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI. Namun oleh Terdakwa telah dipergunakan
sebagai dasar pembuatan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006;
Bahwa pada akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006, halaman 5
dari Akta yang 7 lembar oleh Terdakwa telah dimasukan
keterangan yang tidak benar, yang ditulis telah memperoleh
pengesahan dari pihak yang berwajib, padahal akta No. 2
tanggal 6 Januari 2006 tersebut memperoleh pengesahan
baru tanggal 16 Maret 2006;
Bahwa setelah akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 oleh
Terdakwa diserahkan kepada penghadap / Anne Patricia,
kemudian akta tersebut telah dipergunakan merubah
speciment tanda tangan di Bank Mandiri Jakarta dan
mengambil alih dari atas nama ANDI SUTANTO berubah
menjadi atas nama ANNE PATRICIA SUTANTO;
Bahwa atas perbuatan Terdakwa saksi Agus Sutanto salah
satu pemegang saham merasa dirugikan, selanjutnya
melaporkan kepada yang berwajib guna pengusutan lebih
lanjut;37
c. Lebih Subsidair
Bahwa ia Terdakwa TJONDRO SANTOSO, S.H. selaku
Notaris bersama dengan ANNE PATRICIA SUTANTO (dalam berkas
perkara tersendiri) baik secara bersama-sama atau bertindak sendirisendiri pada tanggal 6 Januari 2006 sekira jam 13.00 WIB atau setidaktidaknya pada waktu lain dalam bulan Januari 2006, bertempat di kantor
Notaris Jl. Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta, atau setidak-tidaknya
ditempat lain yang masih termasuk dalam Daerah hukum Pengadilan
Negeri Surakarta, telah sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan memasukan keterangan palsu ke
dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya
harus dinyatakan oleh akta itu, seolah-olah, keterangannya sesuai
37
Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, h 5-7
dengan kebenaran, yang dilakukan Terdakwa dengan cara-cara sebagai
berikut :
-
-
-
-
-
-
-
-
Berawal pada tanggal 6 Januari 2006 di kantor milik
Terdakwa yaitu kantor Notaris Tjondro Santoso, S.H. di Jl.
Mr. Muh Yamin No. 114 Surakarta sekira jam 11.30 telah
kedatangan seseorang bernama Yunita Koeswoyo, dengan
membawa persyaratan pendukung untuk meminta dibuatkan
Akta;
Selanjutnya Terdakwa membuat Pernyataan Keputusan
Rapat, kemudian oleh Notaris Tjondro Santoso dibuatkan
akta, sehingga terbitlah akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006
tentang Penyesuaian UU No. 1 tahun 1995;
Bahwa, sekira jam 15.30 WIB masih Tanggal 6 Januari
2006 datang lagi seorang perempuan menghadap Terdakwa
dan mengaku bernama Anne Patricia langsung bertemu
Terdakwa;
Bahwa, Anne Patricia datang ke kantor Notaris milik
Terdakwa tersebut bertujuan membuat akta;
Bahwa pada tanggal 7 Januari 2006 Anne Patricia
menerima salianan akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 dan
salianan akta No.3 tanggal 6 Januari 2006, padahal salinan
akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 belum mendapat
pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
R.I.;
Bahwa Terdakwa pada saat membuat akta No. 3 tanggal 6
Januari 2006, akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 belum
mendapat penegsahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia R.I., namuna oleh Terdakwa telah dipergunakan
sebagai dasar pembuatan akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006;
Bahwa pada akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006, halaman 5
dari yang 7 (tujuh) lembar oleh Terdakwa telah dimasukan
keterangan yang tidak benar, yang ditulis telah memperoleh
pengesahan dari pihak yang berwajib padahal akta No. 2
tanggal 6 Januari 2006 tersebut memperoleh pengesahan
baru tanggal 16 Maret 2006;
Bahwa setelah akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 oleh
Terdakwa diserahkan kepada penghadap / Anne Patricia,
kemudian akte tersebut dipergunakan merubah specimen
tanda tangan di Bank Mandiri Jakarta dan mengambil alih
dari atas nama ANDI SUTANTO menjadi atas nama
ANNE PATRICIA SUTANTO;
Bahwa atas perbuatan Terdakwa saksi Agus Sutanto salah
satu pemegang saham merasa dirugikan, selanjutnya
melaporkan kepada pihak yang berwajib guna pengusutan
lebih lanjut.38
4. Fakta Hukum di Persidangan
Dalam membuktikan kebenaran dakwaan Penuntut Umum di
dalam persidangan, diperlukan adanya pembuktian yang senyatanya
dianggap sebagai sebuah alat bukti yang sah oleh Undang-Undang. Hal
ini dikarenakan Hukum Pidana memiliki tujuan penting yaitu
mendapatkan kebenaran yang bersifat materil. Pasal 184 KUHAP
menyatakan alat bukti yang dikatakan sah adalah sebagai berikut :
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Petunjuk;
d. Surat;
e. Keterangan Terdakwa.
Didalam kasus ini, alat bukti yang disampaikan pada
persidangan diuraikan sebagai berikut :
a. Keterangan Saksi
Berdasarkan keterangan-keterangan saksi yang disampaikan dalam
persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta, Penulis menemukan
beberapa point penting yaitu bahwa :
1.
Bahwa pada tanggal 6 Januari 2006 bertempat dikantor Notaris
Jl. Mr. Muh Yamin No.114 Surakarta, dalam kurun waktu
yang berbeda yaitu pukul 11.30 WIB dan 15.30 WIB, Tjondro
38
Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, hal 7-8
Santoso ditemui oleh dua orang wanita dari PT. Indo Venner
Utama meminta dibuatkan akta PKR.
2.
Bahwa kedua penghadap tersebut adalah Yunita Koeswoyo
dan Anne Patricia Sutanto.
3.
Bahwa pada Yunita Koeswoyo, Tjondro Santoso membuatkan
Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 tentang Penyesuaian
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PT. Indo
Venner Utama yang lama dengan Undang-Undang No. 1 tahun
1995 tentang Peseroan Terbatas yang selesai dan ditanda
tangani pada hari itu juga.
4.
Bahwa
pada
Anne
Patricia
Sutanto,
Tjondo
Santoso
membuatkan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 tentang
Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa PT. Indo Venner Utama.
5.
Bahwa meskipun belum mendapatkan pengesahan dari Meteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, salinan
akta No. 2 dan No. 3 telah dikembalikan kepada penghadap.
6.
Bahwa Agus Sutanto telah diundang untuk berhadadir dalam
RUPS maupun RUPS Luar Biasa PT. Indo Venner Utama yang
undangannya telah dialamatkan sesuai data yang dimiliki
Perusahaan dan tercatat dalam resi pengiriman.
7.
Bahwa karena pada RUPS Agus Sutanto tidak hadir hingga
waktu yang ditetapkan, maka RUPS tetap berjalan karna
jumlah yang hadir telah memenuhi 2/3 dari pemegang saham.
8.
Bahwa pada RUPS Luar Biasa, Agus Sutanto tidak
dikonfirmasi lagi kehadirannya..
9.
Bahwa sejak tanggal 19 Juli 2006, Agus Sutanto tidak
menjabat sebagai Komisaris PT. Indo Venner Utama.
10. Bahwa jumlah halaman pada salinan Akta No. 3 tanggal 6
Januari 2006 sebelum dan setelah renvoi memiliki perbedaan.
11. Bahwa renvoi pada salinan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006
mengalami 2 (dua) kali perubahan. Pertama sebelum akta
ditandatangani, kedua setelah salinan akta dikembalikan
sehingga ditarik kembali.
12. Bahwa pada saat salinan akta dikembalikan pada pemohon,
pemohon mengetahui bahwa akta tersebut belum mendapatkan
pengesahan dari pihak yang berwajib.
13. Bahwa pada tanggal 11 Januari 2006 Bank Mandiri cabang
Jakarta S. Parman menerima copyan salinan Akta No. 3
tanggal 6 Januari 2006 total 7 halaman dari Anne Patricia
Sutanto dan Yenny Sutanto guna melakukan perubahan
speciment tanda tangan namun ditolak pihak Bank.
14. Bahwa setelah Akta No.2 tanggal 6 Januari 2006 disahkan oleh
Menteri, pada tanggal 28 Juni 2006 salinan Akta No. 3 tanggal
6 Januari 2006 yang masih belum mendapat pengesahan
digunakan kembali untuk mengajukan perubahan speciment
tanda tangan namun kembali ditolak pihak Bank karena jumlah
halamannya yang berbeda menjadi 10 halaman.39
b. Keterangan Ahli
Berdasarkan
keterangan-keterangan
ahli
dari
ilmu
hukum
kenotariatan dan saksi ahli dari ilmu hukum koorporasi dalam
persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta, penulis menemukan
beberapa point penting terkait kasus yang ada, bahwa :
1.
Bahwa seorang notaris dibenarkan membuat dua akta yang
berhubungan didalam satu hari meskipun akta yang pertama
belum mendapatkan pengesahan;
2.
Bahwa seorang notaris dibenarkan pula mencantumkan sebuah
akta yang belum mendapatkan pengesahan kedalam yang baru
akan dibuatnya selama kedua akta tersebut memiliki
keterkaitan;
3.
Bahwa akta mengenai RUPS merupakan Akta Parte, sehingga
bukan kewenangan notaris untuk bertanggungjawab atas bukti
materiilnya;
4.
Bahwa apabila yang mengajukan RUPS adalah pemegang
saham maka wajib mengajukan permohonan ke pengadilan
dengan kepentingan masing-masing yang tidak puas, minimal
39
Putusan Pengadilan
No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, Keterangan saksi berdasarkan
kerterangan Agus Sutanto, Sarmini (karyawati di kantor Notaris Tjondro Santoso bagian PPAT),
Tyas Dratis Tiana BintiSutarto (perkerja bagian notariil dikantor Notaris Tjondro Santoso),
Akmaliah Binti Anis Mustafa (Spoke Manager Bank Mandiri Cab. Jakarta S. Parman), Yunita
Koeswoyo, Lisa Sutanto & Anne Patricia Sutanto.
10% dari pemegang saham, dan notaris mestinya telah
mengetahui betul tentang hal ini;
5.
Bahwa mengenai materi akta merupakan tanggungjawab dari
para pihak, sedangkan untuk formalnya suatu akta, maka yang
bertanggungjawab adalah notaris;
6.
Apabila terdapat kesalahan terhadap salinan akta yang
dibuatnya, Notaris berhak menarik kembali untuk diganti
dengan yang benar;
7.
Apabila terhadap akta belum mendapatkan pengesahan namun
telah digunakan, maka itu merupakan tanggungjawab dari
pihak yang menghadap;
8.
Bahwa para pihak yang memberikan persetujuan akan ikut
bertanggungjawab apabila ada kesalahan;
9.
Bahwa perubahan Anggaran Dasar yang apabila memerlukan
persetuajuan Menteri, maka sepanjang Anggaran Dasar itu
belum mendapatkan persetujuan Anggaran Dasar tersebut
belum berlaku. Tetapi apabila perubahan Anggaran Dasar
dalam konteks penyesuaian yang mengacu pada UndangUndang PT bukan merupakan masalah;
10. Apabila akta telah ditandatangani maka akta tersebut menjadi
sah. Namun berkaitan dengan mulai berlakunya secara efektif
perlu dicermati, apabila RUPS itu berisi tentang perubahan
susunan kepengurusan Perseroan maka akta tersebut telah
berlaku efektif sejak tanggal ditetapkan karna bukan
merupakan perubahan anggaran dasar;
11. Bahwa apabila para pihak memasukan data yang tidak benar,
maka Notaris harus menolak, kalau para pihak tetap memaksa
agar
datanya dimasukkan
dalam akta,
maka
menjadi
tanggungjawab notaris apabila terjadi sesuatu;
12. Berkaitan dengan RUPS, maka Notaris wajib memeriksa
prosedur RUPS benarkah ada undangannya dan sudah
memenuhi persyarakatan atau belum kemudian dari korum
apakah sudah terpenuhi atau belum, setelah semuanya
terlengkapi barulah beita acara rapat dapat dituangkan ke
dalam akta40
c. Surat
Didalam kasus ini, yang menjadi bukti surat di persidangan adalah
Akta Pernyataan Keputusan Rapat yang dibuat oleh Tjondro
Santoso selaku notaris yang diangkat berdasarkan Keputusan
Menteri Kehakiman SK. Men. Keh. R.I No. M-05-HT. 03.01-Th
1985, Tgl 9-2-1985 adalah akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006
tentang Penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga PT. Indo Venner Utama yang lama dengan Undang-
40 Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska, Keterangan Saksi Ahli
Djoko Sukisno, S.H., C.N., Hendrikus Subekti, S.H., Prof. Dr. Sri Rejeki Hartono, S.H.,
Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum., Pieter E.Latumaten, S.H., M.H., SPN.
Undang No. 1 tahun 1995 tentang Peseroan Terbatas dan akta No.
3 tanggal 6 Januari 2006 tentang Pernyataan Keputusan Rapat
Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Indo Venner Utama
d. Petunjuk
Berdasarkan uraian diatas diperoleh petunjuk sebagai berikut :
1.
Bahwa benar, dalam melaksanakan RUPS maupun RUPS Luar
Biasa PT. Indo Venner Utama yang berlangsung tanggal 6
Januari 2006 di Surakarta telah mengundang Agus Sutano
sebagai salah satu pemegang saham.
2.
Bahwa benar, meskipun RUPS maupun RUPS Luar Biasa PT.
Indo Venner Utama yang berlangsung tanggal 6 Januari 2006
di Surakartatanpa izin Ketua Pengadilan setempat, namun
Tjondro Santoso tetap membuatkan Akta.
3.
Bahwa benar, sejak perubahan kepengurusan yang disepakati
bersama dan dituangkan dalam Akta No. 3 tanggal 6 Januari
2006 Agus Sutanto yang kedudukannya sebagai Komisaris PT.
Indo
Venner
Utama
digantikan
Yenny
Sutanto
yang
perubahannya telah bersifat mengikat bagi mereka meskipun
laporannya belum mendapat pengesahan dari pihak yang
berwajib.
4.
Bahwa benar, perbuatan Tjondro Santoso mencantumkan Akta
No. 2 tanggal 6 Januari 2006 ke dalam Akta No. 3 tanggal 6
Januari 2006 diperbolehkan menurut ilmu hukum kenotariatan
karena kedua akta tersebut memiliki keterkaitan.
5.
Bahwa benar, telah terjadi renvoi sebanyak 2 (dua) kali pada
akta
No.
3
sebelum
penandatanganan
dan
setelah
penandatanganan yang mengakibatkan akta tersebut memiliki
jumlah total halaman berbeda.
6.
Bahwa benar, meskipun sejak kedua akta telah bersifat
mengikat bagi yang namanya tercantum didalamnya namun
penggunaan akta masih belum berlaku secara efektif sebelum
akta tersebut mendapatkan pengesahan dari pihak yang
berwajib.
7.
Bahwa benar, pada salinan akta yang telah dikembalikan
Tjondro Santoso dipergunakan Anne Patricia mewakili
perusahaan kepada pihak ketiga meskipun mengetahui akta
tersebut belum mendapatkan pengesahan dari pihak yang
berwajib merupakan tanggungjawab penghadap.
e. Keterangan Terdakwa
Berdasarkan keterangan yang disampaikan dalam persidangan,
Tjondro Santoso menyampaikan ponit kesaksiannya sebagai
berikut :
1.
Bahwa pada tanggal 6 Januari 2006 bertempat dikantor
Notaris Jl. Mr. Muh Yamin No.114 Surakarta telah ditemui
oleh Yunita Koeswoyo dan Anne Patrcia dalam kurun waktu
yang berbeda meminta dibuatkan akta.
2.
Bahwa berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun
1995
tentang
Perseroan
Terbatas,
Tjondro
Santoso
menyatakan RUPS yang membahas perubahan anggaran
dasar perusahaan yang dilakukan oleh pemegang saham tidak
memerlukan izin Ketua Pengadilan setempat.
3.
Bahwa pada saat mencantumkan Akta No. 2 ke dalam Akta
No. 3, Akta No. 2 belum mendapatkan pengesahan dari pihak
yang berwajib.
4.
Bahwa akta No. 2 pengesahannya dengan Persetujuan,
sedangkan Akta No. 3 cukup Dilaporkan.
5.
Bahwa Tjondro Santoso menyerahkan salinan Akta No. 3
meskipun belum dilaporkan ke Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia.
6.
Bahwa saat menyerahkan salinan akta No. 3 yang belum
dilaporkan kepada Meteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Tjondro Santoso mengatakan kepada
penghadap silahkan digunakan padahal Tjondro Santoso
menyadari akta tersebut belum dapat digunakan hingga
mendapatkan pengesahan.
7.
Bahwa akta No. 2 mendapatkan Persetujuan tanggal 16 Maret
2006, sedangkan Akta No. 3 Pelaporan diterima tanggal 30
Mei 2006.
5. Tuntutan
Dalam perkara tindak pidana memalsukan akta otentik,
Tjondro Santoso S.H., oleh Penuntut Umum dituntut berdasarkan
dakwaan Primair Pasal 264 ayat (1) KUHP yaitu memenuhi unsur
tindak pidana memalsukan akta otentik dengan putusan Pidana
Penjara selama 2 (dua) Tahun pada tingkat Pengadilan Negeri, Pidana
Penjara 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan pada tingkat Pengadilan Tinggi
dan Bebas pada tingkat Mahkamah Agung.
6. Putusan Pengadilan
Pasal 1 butir (11) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
menyebutkan bahwa “Putusan Pengadilan adalah pernyataan Hakim
yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini”.41
Oleh karna itu, berdasarkan Pasal tersebut diatas maka dalam
memberikan Putusan sebuah perkara, hendaklah seorang Hakim wajib
berlandaskan hukum yang berlaku adilan serta tidak memihak pada
sisi manapun (impartial). Hal ini menjadi sanggat penting untuk
diwujudnyatakan, agar apa yang telah diputuskan oleh Hakim dapat
menjadi sebuah bukti tentang adanya jaminan perlindungan hukum
yang pasti oleh Negara untuk memperlakukan sama setiap warganya
dimata hukum sehingga memberikan rasa aman dan damai.
41
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir (1)
Dalam perkara tindak pidana dengan Terdakwa Notaris
Tjondro Santoso, S.H, yang telah melalui tiga tahap peradilan yaitu
Pengadilan
Negeri,
Penggadilan
Tinggi
serta yang
Terakhir
Mahkamah Agung. Dimana tiap-tiap tahapan pengadilan, Majelis
Hakim memberikan Putusan yang berbeda-beda. Putusan-putusan
Majelis Hakim tersebut dinyatakan sebagai berikut :
a. Pengadilan Negeri
Memutuskan Terdakwa Notaris Tjondro Santoso, S.H
bersalah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaanPrimair Pasal 264 ayat (1)
KUHP, menjatuhkan vonnis pidana penjara 2 (dua) tahun;42
b. Pengadilan Tinggi
Memutuskan Terdakwa Notaris Tjondro Santoso, S.H
bersalah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaanPrimair Pasal 264 ayat (1)
KUHP, mejatuhkan vonnis pidana penjara 1 (satu) tahun
dan 6 (enam) bulan;43
c. Mahkamah Agung
Memutuskan Terdakwa Notaris Tjondro Santoso, S.H tidak
terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan
dalam dakwaan Primair, Subsidair maupun Lebih Subsidair.
Dibebaskan dari segala tuntutan Penuntut Umum, serta
42
Putusan Pengadilan No. 141/PID.B/2009/PN.Ska
43
Putusan Pengadilan Tinggi No. 167/PID/2010/PT.Smg
memulihkan hak Terdakwa dalam Kemampuan, Kedudukan
dan Harkat serta Martabatnya.44
C. PERTIMBANGAN HAKIM
Dalam
menjalankan
tugasnya
menyelesaikan
suatu
perkarakhususnya perkara pidana, tidak jarang ditemui bahwa Hakim
memerlukan waktu yang cukup panjang agar dapat menghasilkan sebuah
Putusan. Hal ini disebabkan banyaknya kendala didalam persidangan yang
mungkin harus dilalui oleh Hakim untuk dapat sampai pada point paling
penting dalam perkara tersebut sehingga diharapkan dapat menghasilkan
Putusan akhir yang terbaik bagi kedua belah pihak.
Pada perkara pidana yang menyeret seorang yang berprofesi Notaris
sebagai pihak pesakitan serta dianggap sebagai pelaku tunggal atas tindak
pidana memalsukan akta otentik, bukanlah menjadi perihal yang mudah untuk
dapat menentukan sisi adil yang diharapkan oleh kedua belah pihak yang
terkait. Selain telah tercipta kerugian bagi salah satu pihak yang
menginginkan haknya untuk diperjuangkan, namun disisi lain minimnya
pembahasan tentang sejauh mana pelanggaran yang dilakukan seorang
Notaris dapat pertanggungjawabankan secara Pidana menurut UU No. 30
tahun 2004 sebagai Undang-Undang yang mengatur Jabatan Notaris.Sehingga
menuntut Majelis Hakim untuk benar-benar wajib mempertimbangkan
dengan teliti pada aturan Hukum yang berlaku sehingga dapat mewujudkan
keadilan yang sebenarnya.
44
Putusan Mahkamah Agung No. 1860K/PID/2010
Terkait pembahasan yang menjadi dasar pertimbangan Hakim pada
perkara Pidana memalsukan akta otentik ini dengan Terdakwa seorang
Notaris, pada 3 (tiga) kali tahap peradilan, baik Majelis Hakim pada tingkat
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung memiliki
pertimbangan masing-masing dalam memahami perkara ini. Yang mana
pertimbangan Majelis Hakim disampaikan pada tabel berikut :
Tabel 1. Pertimbangan Hakim
Tingkat
Pengadilan
No.
1.
PN. Surakarta45
2.
PT. Semarang46
3.
Unsur-Unsur Pasal Dakwaan Yang
Terpenuhi
1
2
3
4
Mahkamah
Agung47
Keterangan Tabel Unsur Pada Pasal 246 ayat (1) KUHP
Unsur 1 : Barang Siapa
Unsur 2 : Membuat surat otentik palsu atau memalsukan surat otentik yangdapat
menerbitkan sesuatu hak perjanjian (kewajiban), atau sesuatu
45
Lampiran I
46
Lampiran II
47
Lampiran III
pembebasan utang atau yang boleh digunakan sebagai keterangan
bagi sesuatu perbuatan
Unsur 3 : dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang
lainmenggunakan
surat-surat
itu
seolah-olah
asli
dan
tidakdipalsukan.
Unsur 4 : penggunaan surat otentik tersebut dapat mendatangkan suatu
kerugian48
Berdasarkan table tersebut dapat dijelaskan bahwa pada tingkat
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Terdakwa dinyatakan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Primair karena
menurut Majelis Hakim semua unsur Pasal terpenuhi dalam diri Terdakwa.
Sedangkan ditingkat Mahkamah Agung Terdakwa perbuatannya tidak
memenuhi unsur Pasal-Pasal yang didakwakan sehingga Mahkamah Agung
membebaskan Terdakwa.
D. ANALISA
Pertanggungjawaban pidana dapat dimintai terhadap seseorang yang
atas tindakannya apabila dapat dibuktikan sebagai perbuatan melawan hukum
serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk
pidana yang dilakukannya. Berdasarkan pernyataan tersebut menunjukan
bahwa kemampuan bertanggungjawab memiliki keterkaitan yang penting
dengan faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan
dan yang dilarang atau melanggar hukum dan yang kedua faktor perasaan
48
Uraian unsur-Unsur yang terkandung dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP.
atau kehendak yang menentukan kehendaknya sehingga dapat menunjukan
bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran.
Didalam putusan pidana dengan terdakwa Tjondro Santoso, SH. dalam
Persidangannya menghasilkan Putusan yang berbeda antara Judex Factie
dengan Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA). Berkaitan dakwaan JPU
yang pada pokoknya adalah Tjondro Santoso SH. bersalah karena didalam
Akta No. 3 tanggal 6 Januari yang dibuatnya menyatakan bahwa akta tersebut
dibuat berdasarkan pada Akta No. 2 tanggal 6 Januari 2006 sebagai akta yang
telah mendapatkan Pengesahan dari Menteri Hukum Dan HAM padahal
faktanya tidak demikian, baik Judex Factiemaupun Majelis Hakim MA
memiliki pandangan yang berbeda dalam mempertimbangkan dalam
memberikan Putusan. Judex Factie dalam putusannya menyatakan bahwa
Terdakwa dalam hal menjalankan tugas dan kewenangannya terbukti
melakukan kesalahan memalsukan akta otentik sebagaimana yang menjadi
dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), berbeda halnya dengan Putusan
Majelis Hakim MA menyatakan bahwa Tjondro Santoso, SH., dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Notaris telah sesuai dengan
hukum yang berlaku sehingga harus dibebaskan dari segala tuduhan.
Dalam perkara ini dakwaan yang disusun oleh JPU merupakan dakwaan
Subsidair, yang berarti apabila dakwaan Primair telah terbukti maka dakwaan
lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Sebagai dakwaan Primair dalam kasus ini
JPU menggunakan Pasal 264 ayat (1) ke (1) KUHP. Dimana menurut Judex
Factie dalam perkara ini keseluruhan unsur terpenuhi. Sehubungan dengan
putusan tersebut, apabila memperhatikan hal yang menjadi pertimbangan
Judex Factie dalam memberikan putusan dikaitkan dengan perbuatan pidana
yang dilakukan Tjondro Santoso, SH., yang menjadi pokok dalam perkara ini
serta unsur pidana yang tekandung dalam Pasal 264 ayat (1) ke (1), Penulis
memiliki analisa yang berbeda dengan Judex Factie. Analisa tersebut Penulis
jabarkan sebagai berikut :
1. Barang siapa
Yang dalam hal ini dimaksud dengan barang siapa adalah siapa saja
yang dinyatakan telah cakap hukum, yang berarti dapat menyadang
hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum
dapat berupa individu (naturelijk person). Di dalam kasus ini yang
merupakan subjek hukum adalah Tjondro Santoso, SH. Yang mana
berdasarkan
menjalani
keterangan
persidangan,
serta
kecakapan
Terdakwa
Terdakwa
merupakan
selama
orang
yang
dinyatakan cakap hukum.
2. Membuat surat otentik palsu atau memalsukan surat otentik yang
dapat menerbitkan suatu hak perjanjian (kewajiban), atau suatu
pembebasan utang atau yang boleh digunakan sebagai keterangan
bagi sesuatu perbuatan.
Berdasarkan pengertian membuat surat palsu yang berarti membuat
sebuah surat dalam hal ini berupa akta berdasarkan keterangan
yang tidak benar menjadi unsur tindakan yang dilakukan Terdakwa
menurut hemat Penulis tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan tugas
kewenangan yang diberikan padanya Notaris merupakan seorang
yang
memiliki
kewenangan
berdasarkan
permintaan
dari
Penghadap. Yang berarti apabila tidak ada permintaan dari
penghadap seorang Notaris tidak akan pernah membuatkan sebuah
Akta. Sehingga keterangan Palsu atau tidak yang ditertuang
didalam Akta tersebut bukanlah menjadi tanggungjawab dari
Notaris yang mengolahkan karna Notaris bukanlah pihak yang
terikat dengan adanya Akta tersebut.
3. Dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain
menggunakan surat-surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan.
Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum
pidana dilarang untuk dilakukan dan bagi yang melanggar akan
diancam dengan pidana. Kesalahan yang terkandung didalam
sebuah perbuatan pidana merupakan hubungan antara keadaan
dengan perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan atau dengan
kealpaan. Dalam kasus ini, Judex Facti menyatakan bahwa Tjondro
Santoso, SH telah dengan sengaja memberikan salinan Akta No. 3
tanggal 6 Januari 2006 kepada Anne Sutanto pada tanggal 7 Januari
2006 meskipun Akte tersebut diketahui belum mendapatkan
Persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM. Didalam hemat
Penulis, terhadap unsur ini apabila dikaitkan dengan kesaksian
Terdakwa di Persidangan merupakan perbuatan yang dilakukan
dengan kesengajaan. Berdasarkan kesaksian tersebut ketika
Terdakwa menyerahkan salinan Akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006
kepada Anne Sutanto, Terdakwa mengetahui dengan jelas bahwa
Akta tersebut belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat
terhadap pihak luar.
Namun apabila perbuatan tersebut dikatakan sebagai perbuatan
pidana menyuruh orang lain menggunakan surat tersebut seolaholah asli, unsur tersebut tidak terpenuhi. Hal ini dikarenakan, surat
yang digunakan bukanlah surat palsu tetapi surat yang belum
mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwenang sehingga
tidak dapat dikatakan perbuatan menyuruh menggunakan surat
palsu seolah-olah asli. Disamping itu, berdasarkan keterangan dari
Anne Sutanto bahwa ketika menggunakan salinan Akta No. 3
tanggal 6 Januari 2006 bahwa sebenarnya Anne Sutanto
mengetahui dengan jelas bahwa Akta tersebut belum dapat
dipergunakan terhadap pihak luar dan ternyata tetap dipergunakan
Anne Sutanto untuk merubah Speciment tanda tangan Rekening
PT. Indo Venner Utama di Bank Mandiri Cabang S.Parman Jakarta
bukanlah merupakan tindak kesengjaan yang harus menjadi
tanggung jawab Terdakwa sebagai Notaris. Ditambah lagi
pengajuan
perubahan
Speciment
tanda
tanggan
ketika
menggunakan salinan Akta No. 3 sebelum mendapat Pengesahan
dari Menteri Hukum dan HAM ditolak oleh Pihak Bank, baru
kemudian terjadi perubahan speciment tanda tangan setelah Akta
No. 3 tanggal 6 Januari 2006 mendapatkan Pengesahan dari
Menteri Hukum dan HAM. Sehingga menurut hemat Penulis
bukanlah merupakan sebuah perbuatan pidana karena tidak
menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.
4. Penggunaan surat otentik tersebut dapat mendatangkan kerugian.
Terhadap
unsur
ini,
Judex
Facti
dalam
pertimbangannya
menyatakan bahwa kerugian yang diderita oleh Agus Sutanto
diakibatkan penggunaan surat palsu menurut hemat Penulis tidak
dapat dibuktikan. Berdasarkan keterangan ahli di Persidangan
menyatakan bahwa apabila isi dari Akta berupa hasil RUPS tentang
perubahan kepengurusan perseoran maka akta tersebut berlaku
efektif sejak tanggal ditetapkannya karena bukan merupakan
perubahan Anggaran Dasar. Dengan kata lain dalam kasus ini,
terhadap Akta No. 3 yang berisikan mengenai perubahan
kepengurusan perseroan yang menyatakan bahwa posisi Agus
Sutanto
telah
digantikan
bukanlah
diputuskan
dengan
menggunakan surat palsu karena akta tersebut telah belaku efektif.
Berdasarkan analisa Penulis terhadap Pasal yang unsur tidak pidana
menurut Judex Factie telah terpenuhi keseluruhannya sehingga menjadi dasar
mempidanakan Tjondro Santoso, SH. menurut Penulis merupakan tindakan
yang tidak cermat. Ditambah lagi putusan bersalah tersebut Judex Factie
berikan kepada Terdakwa berdasarkan potongan kalimat yang bahkan tidak
mencapai satu alinea sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
untuk menjelaskan keseluruhan makna dari akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006
menurut Penulis bukanlah tindakan yang benar untuk dilakukan.
Namun bukan berarti didalam kasus ini, Penulis menyatakan Tjondro
Santoso, SH. sebagai pihak yang tidak bersalah. Dalam memaknai kata
“memberikan keterangan palsu” pada Pasal 264 ayat (1) ke (1) KUHP,
Penulis berpendapat tidak dapat ditujukan pada potongan kalimat yang
dikutip JPU dalam dari akta No. 3 tanggal 6 Januari 2006 melainkan
perbuatan lain yang di lakukan oleh Tjondro Santoso, SH. dalam proses
pembuatan Akta.
Sebagaimana keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa
serta Petunjuk yang diungkapkan selama Persidangan di Pengadilan Negeri
Surakarta guna membuktikan dakwaan JPU atas keterlibatan Tjondro
Santoso, SH., dalam masalah ini terdapat beberapa kesalahan yang bahkan
secara sengaja dan dengan penuh kesadaran dilakukan Tjondro Santoso, SH.
Berdasarkan Pasal 66 ayat (2) jo Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang
No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana disampaikan
sanksi ahli di Persidangan menyatakan, apabila yang mengajukan Rapat
Umum Pemegang Saham merupakan Pemegang Saham, Direksi mapun
Komisaris wajib mengajukan permohonan melakukan pemanggilan sendiri
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
Perseroan berada. Faktanya didalam penyelenggaraan RUPS oleh PT. Indo
Venner Utama sebagaimana disampaikan oleh Sanksi Yunita Koeswoyo tidak
berdasarkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Meskipun sejak
awal mengetahui bahwa terdapat peraturan seperti itu dan hal ini tidak
dipenuhi oleh pihak pemegang saham PT. Indo Venner Utama Tjondro
Sontoso, SH. tetap saja membuatkan Akta PKR sebagaimana permintaan
Penghadap. Sebagai bukti kesadaran Tjondro Santoso, SH., dengan sengaja
melakukan perbuatan yang bisa dikualifikasikan sebagai pelanggaran tindak
pidana adalah ketika dalam keketerangannya Tjondro Santoso, SH.,
menyatakan bahwa RUPS yang dilakukan oleh pemegang saham tidak
memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Sebagai seseorang
pejabat yang mengetahui bahwa peraturan tersebut ada tetapi justru
menyatakan sebaliknya dan tetap Akta sebagaimana yang diinginkannya,
menunjukan bahwa Tjondro Santoso, SH. dalam menjalankan tugas dan
kewenangan Penghadap secara sadar dengan sengaja melawan UndangUndang. Sehingga oleh karena perbuatannya sudah semestinya Tjondro
Santoso, SH. dapat dimintai pertanggungjawaban pidana kepadanya.
Meski didalam kasus ini ditemukan indikasi pelanggaran tindak
pidana yang dilakukan oleh Tjondro Santoso, SH., yang berarti olehnya dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana Putusan Judex Factie.
Namun khusus dalam perkara ini, Penulis sependapat dengan Putusan Majelis
Hakim MA untuk membebaskan Tjondro Santoso, SH. Sebagaimana alasan
permohonan pengajuan kasasi Tjondro Santoso, SH. Bahwa Tjondro Santoso,
SH. atas perkara ini tidak pernah diperiksa oleh Majelis Pengawas Daerah
(MPD). Hal ini bertentangan dengan mekanisme yang ditetapkan oleh UUJN.
Berdasarkan Pasal 66 UUJN, menyatakan dalam kaitan panggilan terhadap
seorang Notaris untuk dimintai keterangan atas laporan pihak lain, maka
pihak Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim harus berdasarkan persetujuan
MPD. Ketentuan ini bersifat imperatif atau perintah, artinya bilamana pihak
Kepolisian, Kejaksaan maupun Hakim menyepelekannya dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang. Sehingga perkara ini sejak
awal merupakan perkara yang cacat hukum sehingga tidak dapat dilanjutkan.
Download