STUDI BIOFISIK LABAN DI KOTA TERPADU MANDIRI (KTM) TRANSMIGRASI TAMPO LORE, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN LAND BIOPHYSIC STUDY AT INDEPENDENT INTEGRATED CITY (IIC) OF TR ANSMIGRATION TAMPO LORE, POSO, CENTRAL SULAWESI TO IMPROVE CASH CROP Bistok Hasiholan Simanjuntak1 ABSTRACT Transmigration programs aimed to improving society welfare, increased and equitable regional development, and strengthen national unity. In accordance with these goals, the Ministry of Manpower and Transmigration has made Independent Integrated City (IJC) in the transmigration area in the Tampo Lore on the Napu Plateau. Napu plateau is one area in Central Sulawesi is a region-specific conditions and the potential for the development of superior agricultural crops, particularly food crops. Therefore, for the development businesses in the IIC s leading food crops Lore Tampa an analysis of /and biophysical. Biophysical studies carried out to determine the suitabil­ ity of food crops and to see a limiting factor in efforts to determine the agricultural development policy. Land biophysically study is using survey methods for collecting primary and secondary data. Data analysis was used the basic of ALES program. The results of the analysis shows (1) The IIC Tampa Lore in Napu Plateau, Central Sulawesi has soil ordo are Inceptisols and Entisols, with total annual rainfall 1564 mm, the minimum air temperature ranges of 15.4 •c and the maximum air temperature of 31, 5•C. While in the zone Agroclimate region IIC Tampa Lore has a Zone E1 with only suitable for secondary (staple) crop cultivation and it is not suitable for rice cultivation; (2) The IIC Tampo Lore on Napu Plateau, Central Sulawesi has a suitable land class is S2 (moderately suitable) to S3 (based on marginal) for the development of food crops such as maize, soybean, wheat, ipomoea batatas, cassava; (3) The limiting factors for the development of food crops in IIC Lore Tampo is a limitation of oxygen availability, water availability and rooting media. Keywords: land biophysic, transmigration, cash crop commodities ABSTRAK Program transmigrasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Sesuai dengan tujuan tersebut, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi membuat kebijakan program Kota Terpadu Mandiri (KTM) di wilayah transmigrasi Tampa Lore di dataran tinggi Napu. Dataran tinggi Napu adalah salah satu wilayah di Sulawesi Tengah dengan kondisi wilayah adalah spesifik dan potensial untuk pengembangan tanaman pertanian unggulan, khususnya tanaman pangan. 0/eh karena itu untuk usaha pengembangan tanaman pangan unggulan di KTM Tampo Lore maka dilakukan kajian biofisik lahan. Kajian biofisik dilakukan untuk menentukan kesesuaian tanaman pangan serta untuk melihat faktor pembatas dalam usaha untuk menentukan kebijakan pengembangan pertanian tanaman pangan. Kajian biofisik menggunakan metoda survei untuk pengumpulan data primer dan sekunder. Ana/isis data menggunakan dasar program ALES. Hasil ana/isis evaluasi lahan (Program ALES) menunjukkan 1) Wilayah KTM Tampa Lore di dataran tinggi Napu, Sulawesi Tengah memiliki ordo tanah Inceptisol dan Entisol, 1 Laboratorium Tanah dan Air, Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana n. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711 9 AGRIC Vol.22, No.1, Juli 2010: 9-19 dengan total curah hujan tahunan 1564 mm, kisaran suhu udara minimum 15,4oC dan suhu udara rata maksimum 31,5oC. Sedangkan zona Agroklimat di Wilayah KTM Tampo Lore ada/ah Zona El yaitu hanya sesuai untuk budidaya tanaman palawija dan tidak sesuai untuk budidaya tanaman padi; 2) Wi/ayah KTM Tampo Lore di Dataran tinggi Napu, Sulawesi Tengah memiliki k/as kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) hingga S3 (sesuai marjinal) untuk pengembangan tanaman pangan seperti jagung, kedelai gandum, kete/a rambat, ubi kayu; 3) Faktor pembatas untuk pengembangan tanaman pangan di KTM Tampo Lore adalah keterbatasan dari ketersediaan oksigen, media perakaran dan ketersediaan air. Kata kunci:biofisik, transmigrasi, komoditi tanaman pangan PENDAHULUAN Program transmigrasi yang diselenggarakan pemerintah bertuj uan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (masyarakat pendatang dan masyarakat lokal), peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta memperkukuh per­ satuan dan kesatuan bangsa. Sejalan dengan tujuan tersebut, Departemen Tenaga Keija dan Transmigrasi mencanangkan kebijakan program Kota Terpadu Mandiri {KTM) di wilayah transmigrasi. Kota Terpadu Mandiri {KTM) adalah kawasan transmigrasi yang dikembangkan sebagai wilayah kota dengan kelengkapan berbagai sarana dan prasarana secara terpadu sehingga akan menjadi sebuah kawasan yang mandiri s erta sebagai pusat pertumbuhan produksi dan ekonomi. Basis perekonomian masyarakat di daerah KTM adalah sektor pertanian, sehingga produktivitas lahan yang tinggi menjadi tumpuan utama dalam pem­ bangunan sektor ekonomi di wilayah Kota Terpadu Mandiri (KTM). Pembangunan per­ tanian di sebuah kawasan Kota Terpadu Mandiri {KTM) diarahkan sebagai aktivitas pertanian modem yang berfungsi sebagai basis pertum­ buhan sektor ekonomi, yang menerapkan agro­ teknologi spesiflk lokasi, ramah lingkungan, eflsien, berdaya saing dan tangguh. Salah satu kawasan Kota Terpadu Mandiri {KTM) yang dikembangkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah KTM Tampo Lore yang terletak di wilayah dataran tinggi Napu di Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah. Saat ini dataran tinggi Napu 10 merupakan kawasan transmigrasi sebagai penyangga produksi hortikultura di Sulawesi Tengah, akan tetapi berdasarkan agroekologinya potensial juga untuk produksi tanaman pangan dan perkebunan. Dataran tinggi N apu memiliki ketinggian 1100 - 1200 m dpl, suhu udara berkisar antara 20-30°C, curah hujan 1564 mmJ tahun sehingga daerah tersebut ideal untuk pengembangan (1) Tanaman sayuran dataran tinggi seperti kentang, tomat, wortel, kubis, bawang putih, daun bawang, (2) Tanaman pangan seperti gandum, ketela rambat, jagung, ketela pohon, (3) Tanaman buah-buahan seperti jeruk, alpokat dan kelengkeng, dan (4) Tanaman industri seperti teh, kopi arabika, dan tebu. Tingkat pemanfaatan lahan di wilayah dataran tinggi Napu belum optimal karena lahan yang ada masih berupa lahan alang-alang. Peningkatan eflsiensi dalam pengelolaan lahan menjadi prioritas agar mampu menghasilkan produk pertanian unggulan yang dapat mem­ berikan peningkatan kesejahteraan petani. Pengembangan produk pertanian unggulan di suatu wilayah harus didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah, sehingga tercermin adanya pengembangan wilayah atas dasar komoditas unggulan. Pemilihan komoditas lillJbllP.lan-(t.ammum �'bW.., r.J:.l£&�m..wo., ptt.vr­ nakan) dan perikanan harus mengacu pada kai­ dah kecocokan wilayah pengembangan dari aspek teknis budi daya sehingga meningkatkan efisiensi usaha dan melestarikan lingkungan. Di dalam sistem pertanian, lahan merupakan alat produksi yang mempunyai peran sebagai tempat Studi Biofisik Kot aTerpadu Mandiri (KTM) Transmigrasi Tampo Lore Kabupaten Poso Sulawesi Tengah (Bistok Hasiholan Simanjuntak) pertumbuhan tanaman, menyediakan unsur hara, tepat dan berkelanjutan. Konsep dasar zona sumber air, tempat peredaran udara, dan tampat agroekosistem adalah penyederhanaan dan berlangsungnya berbagai macam kegiatan pengelompokan agroekosistem yang beragam pengelolaan. Oleh karena itu pengetahuan tentang tersebut ke dalam bentuk klasifikasi yang lebih sifat-sifat dan karakteristik lahan merupakan dasar aplikatif. Pembagian wilayah ke dalam zone-zone dari usaha pengembangan komoditi unggulan. berdasarkan kemiripan (similarity) karakteristik Lahan atau land adalah suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat iklim, terrain, dan tanah, akan memberikan keragaan tanaman yang tidak berbeda secara nyata (FAO, 1996). siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah Data potensi sumberdaya lahan yang jelas dan tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, akurat sangat diperlukan untuk menyusun arahan relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta pengembangan komoditas pertanian baik oleh segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas petani, dinas/instansi pemerintah maupun para manusia di masa lalu dan sekarang; yang investor secara efektif, efisien dan berwawasan kesemuanya itu be1pengaruh terbadap penggunaan lingkungan. Kesesuaian komoditas maupun laban oleh manusia pada saat sekarang dan di masa sistem pertanian yang dikembangkan sesuai mendatang(FAO, 1995). Lahan memilikibanyak dengan kondisi biofisik dan agroklimat akan dapat fungsi antara lain fungsi produksi, fungsi meningkatkan produktivitas dan efisiensi lingkungan biotik, fungsi pengatur iklim, fungsi usahatani. Arahan pewilayahan komoditas hidrologi, fungsi penyimpanan (sumber) bahan pertanian pada akhirnya dapat dimanfaatkan mentah dan mineral, fungsi pengendali sampah untuk menyusun arahan pengembangan sistem dan polusi, fungsi ruang kehidupan, fungsi pertanian yang lebih operasional pada tingkat penghubung spasial. Berdasarkan fungsi lahan perencanaan Kabupaten. Berdasarkan dari latar sebagai tempat produksi pertanian maka Sys, et belakang diatas maka dilakukan kajian biofisik al. (1991) mengemukakan enam kelompok besar lahan di KTM Tampo Lore(dataran tinggi Napu) sumberdaya lahan yang paling penting bagi dalam rangka arahan untuk pengembangan pertanian, yaitu iklim, relief dan formasi geologis, tanaman pangan. tanah, air, vegetasi, dan anasir artifisial(buatan). Enam faktor tersebut hingga batas tertentu mem­ METODE PENELITIAN pengaruhi potensi dan kemampuan lahan untuk Dalam pelaksanaan penetapan potensi lahan penggunaan bidang pertanian. untuk pengembangan tanaman pangan digunakan Penggunaan lahan secara optimal dan bijaksana perlu dilaksanakan agar lahan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya sesuai dengan daya dukung lahan dan terj aga produktifitas secara berkesinambungan. Arahan penggunaan lahan untuk budidaya tanaman secara berkelanjutan harus sesuai dengan kemampuan agroeko­ sistemnya. Keragaman agroekosistem terdiri atas biofisik, agroklimat, ekonomi dan sosial budaya, dimana data tersebut digunakan sebagai dasar pewilayahan komoditas pertanian maupun sejumlah data survey, analisis laboratorium dan pengumpulan data sekunder untuk biofisik lahan yang ditujuan untuk evaluasi lahan setiap jenis komoditas pertanian yang direkomendasikan untuk dikembangkan. Data biofisik yang dicari meliputi: (1) data tanah yang terdiri dari data morfologi tanah; tanah; (3) (2) data hasil analisis kimia data satuan peta tanah atau Repre­ sentative Soil Series; dan (4) data iklim yang meliputi data curah hujan, temperatur, kecepatan angin, lama penyinaran, dan kelembaban udara. arahan pengembangan sistem pertanian yang 11 AGRJC Vol.22, No.1, Juli 2010: 9-19 Metoda evaluasi laban dilakukan dengan pengembangan pertanian pada pada dasarnya menggunakan program ALES (Automated La nd Evaluation Syste m), sedangkan kelas kesesuaian ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, dan ter­ 1ahan secara fisik dibedakan atas 4 kelas rain (lereng, topografi/ relief), batuan di per­ (Djaenudin eta!, 2001), dan secara lebih jelasnya mukaan dan di dalam penampang tanah serta dapat dilihat pada Tabel l . Evaluasi laban adalab singkapan batuan (rock outcrop), hidrologi, dan proses dalam menduga kelas kesesuaian laban persyaratan penggunaan laban atau persyaratan dan potensi laban untuk penggunaan tertentu, baik tumbuh tanaman. untuk pertanian maupun non pertanian. Kelas kesesuaian laban suatu wilayab untuk suatu Tabel 1. Kelas Kesesuaian Laban Secara Fisik Kelas Simbol Nama Pengertian S1 Sangat Sesuai Tanpa atau sedikit pembatas untuk penggunaannya 2 S2 Cukup Sesuai Tingkat pembatas sedang untuk penggunaanya 3 S3 Sesuai Marjinal Tingkat pembatas berat untuk penggunaanya 4 N Tidak Sesuai Penggunaanya tidak memungkinkan BASIL DAN PEMBAHASAN Biofisik Wilayah penanaman tanaman keras. Luas laban yang ada di dataran tinggi Napu sekitar 40.932 ha, di mana laban yang mempunyai kelerengan < 3% (Datar) Sys, eta!. (1991) mengemukakan enam kelompok seluas 2.664,67 ha (6,51 %), lahan dengan besar sumberdaya laban yang paling penting bagi kelerengan 3-8%(Agak datar atau Landai) seluas pertanian, yaitu (i) iklim, (ii) relief dan formasi 9.598,55 ha (23,45%, laban kelerengan 8-15% geologis,(iii) tanah,(iv) air,(v) vegetasi, dan (vi) (Berombak atau agak curam) seluas 2.967,57 ha anasir artifisial (buatan). Enam faktor tersebut (7,25%), laban berkelerengan 16-40% (berbukit hingga batas tertentu mempengaruhi potensi dan atau curam) seluas 1.371,22 ha(3,35%) dan laban kemampuan laban untuk penggunaan bidang berkelerengan > 40% (bergunung atau sangat pertanian. Hasil kajian biofisik laban yang telab curam) seluas 24.325,89 ha (59,43%). dilakukan adalab sebagai berikut: a. Terrain dan Topografi Berdasarkan penelitian Muljady, dkk (2008) babwa potensi pengembangan pertanian laban basah dan laban kering di dataran tinggi Napu hanya sekitar 9.214 ha (25,24 %) yaitu pada daerab depresi aluvial (1,40%), dataran aluvial (15,16%) dan koluvial (8,68%). S isanya merupakan daerah pegunungan serta lainnya (74,76%). Daerab depresi aluvial merupakan daerah dengan kondisi drainase yang jelek sedangkan daerah pegunungan merupakan daerah berlereng terjal yang seharusnya untuk 12 Berdasarkan kelerengan tersebut maka daerah yang ideal untuk area tanaman semusim (hortikultura dan tanaman pangan) berada pada daerah dengan kelerengan <8% atau seluas 12.263,23 ha, apabila digunakan laban dengan kemiringan lereng hingga 15% yang disertai dengan teknik pengolahan tanab konservasi maka daerab penanaman tanaman semusim yang dapat digunakan seluas 15.230,80 ha. Sementara itu lahan dengan kelerengan 16% - 40% (seluas 1.371,22 ha) dapat diusabakan untuk budidaya tanaman keras yang disertai dengan teknologi konservasi dan daerab dengan kelerengan > 40% idealnya untuk area konservasi. Studi Biofisik Kot aTerpadu Mandiri (KTM) Transmigrasi Tampo Lore Kabupaten Poso Sulawesi Tengah (Bistok Hasiholan Simanjuntak) berombak, berbukit dan bergunung. Bahan induk b. Tanah pada relief datar, agak datar, dan berombak terdiri Berdasarkan Peta Tanah Semi Detail 1 :50.000, Universitas SamRatulangi Manado (1995), maka dari aluvium pasir, liat, dan koluvium, sedangkan pada relief berbukit tanah di dataran tinggi Napu terdiri atas 2 ordo dan bergunung terdiri dari andesitik, granitik, dan kuarsit. Untuk lebih tanah, 2 sub ordo tanah dan 16 famili tanah yang jelasnya mengenai jenis ordo tanah, sub ordo, dan terdapat dalam 20 satuan peta tanah (SPT). Ordo famili dapat dilihat pada Tabe12 tanah didominasi oleh Inceptisols dan Entisols yang menyebar pada relief datar, agak datar, Tabel 2. Ordo, Sub Ordo dan Familia Tanah Ordo Sub Ordo Inceptisols Aquepts (Soil Txonomi) di Daerah Dataran Tinggi Napu Seri Familia Typic Tropaquepts, berlempung halus diatas Salu, Wuasa, Alitupu berlempung kasar, campuran, tidak masam, isotermik Typic Tropaquepts, berlempung halus diatas berliat, Wanga campuran, tidak masam, isotermik Typic Tropaquepts, berlempung halus, campuran, Alitupu tidak masam, isotermik Aerie Tropaquepts, halus campuran, tidak masam, Pembala isotermik Histic Tropaquepts, halus diatas skeletal berliat, Kombari campuran, tidak masam, isotermik Tropepts Typic Eutropepts, skeletal berlempung, campuran, Atuloi, Tontibula isotermik Typic Eutropepts, berlempung halus diatas berpasir, Sena campuran, isotermik Typic Eutropepts, skeletal berliat, campuran, Pohoria, Bariri, Kie isotermik Typic Dystropepts, berlempung halus campuran, Salunamang, Eha-eha; isotermik satu, Mbarana Typic Dystropepts, skeletal berlempung, campuran, Maliwuko, Sedoa, Salipa isotermik Typic Dystropepts, sangat halus, halus campuran, Tamungkueha isotermik Typic Dystropepts, skeletal berliat di atas berliat, Maholo, Maholo Satu campuran, isotermik Typic Dystropepts, berlempung di atas skeletal Hambu berliat , campuran, isotermik Entisols Aquents Tropic Fluvaquents, berlempung halus, campuran, Toe masam, isotermik Orthents Typic Troporthents, berlempung kasar, campuran , Watumaeta isotermik Typic Troporthents, skeletal berliat, campuran, Dodolo tidak masam, isotermik. Sumber : Peta Tanah Semi Detaill:50.000, Universitas Sam Ratulangi Manado, 1995 13 AGRIC Vo1.22, No. 1, Juli 2010: 9 - 19 tebal, kadang ada satu lapisan bajak karena sudah Secara umum Inceptisols adalah tanah permulaan, belum matang (immature) dengan perkembangan mulai diusahakan manusia, tanah ini masih subur profil yang lebih lemah dibandingkan dengan hila merupakan bahan dari alluvium seperti pada tanah matang dan masih banyak memiliki sifat wilayah dataran tinggi Napu, tetapi menjadi tidak bahan induknya. Beberapa Inceptisols terdapat subur hila tanah tersebut gersang. Jadi Entisols dalam keseimbangan dengan lingkungan dan pada umumnya adalah tanah dengan kedalaman tidak akan matang hila lingkungan tidak berubah. solum dangkal dengan batuan dasar yang jelas Proses pembentukan tanah Inceptisols dipengaruhi terlihat dan pro:fil tanah yang belum jelas. Entisols adanya bahan induk tanah sangat resisten, posisi sebagai tanah yang barn berkembang akan tetapi landscape yang ekstrim yaitu daerah lembah tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau atau dapat juga pada daerah yang curam serta bahan induk tanah saja tetapi telah terjadi proses permukaan geomorfologi yang muda sehingga pedogenesis tanah dan akumulasi garam, besi pembentukan tanah belum lanjut. P ad a oksida dan lainnya mungkin ditemukan pada pembentukan tanah ini tidak ada proses pedo­ kedalaman lebih dari 1 m. Pada Entisols yang geniklpembentukan tanah yang dominan kecuali terbentuk dari material endapan subur maka leaching/pencucian meskipun semua proses dapat diusahakan untuk area pertanian. Oleh pedogenik adalah aktif. Di lembah-lembah yang karena itu penggunaan Entisols pada daerah selalu tergenang air terjadi proses gleisasi subur umumnya untuk padi sawah, tanaman buah, sehingga terbentuk tanah dengan khroma rendah eagar alam, hutan (pada daerah berlereng) serta sehingga akan terbentuk wama tanah yang pucat padang gembalaan temak. Hasil analisis tanah keabu-abuan. Di tempat dengan bahan induk pada Entisol di Watumaeta menunjukkan resistent maka proses pembentukan liat terhambat. kandungan N, P, K dan BO serta pH sebagai berikut pada Tabel3. Wilayah Watumaeta adalah Sementara itu, secara umum Entisols digolongkan daerah ibu kota Kecamatan Lore Utara dengan pada tanah barn (berkembang) tanah ini meru­ relief datar hingga berombak, sangat potensial pakan tanah mineral tidak dengan horison untuk pengembangan tanaman semusim (tanaman permulaan, regolith (materiallbatuan lepas) yang pangan dan hortikultura) Tabel3. Analisis Kimia Tanah pada Entisol di Watumaeta No Tanah Nitrogen Total Fosfat Tersedia (N -%) (P20 -ppm ) Nilai HCI25% (P20 mg/100gr) Harkat Nilai Harkat Nilai Kalium J;ersedia (K20 -ppm) Kalium Total HCI25% (K20 mg/IOOgr) Harkat Nilai Harkat Nilai Harkat 21.32 SR 10.08 R 0.23 s 44.43 ST 67.08 ST 2 0.20 R 31.18 T 63.55 ST 21.06 SR 10.04 R 3 0.26 s 44.10 ST 66.99 ST 32.48 SR 12.08 R 4 0.19 R 39.18 ST 65.68 ST 67.68 R 18.36 R 5 0.19 R 26.46 T 62.29 ST 58.64 R 16.75 R Keterangan: - SR 14 Fosfat Total = Sangat Rendah; - R = Rendah; - S = Sedang; - T = Tinggi; - ST = Sangat Tinggi Studi Biofisik Kot aTerpadu Mandiri (KTM) Transmigrasi Tampa Lore Kabupaten Paso Sulawesi Tengah (Bistok Hasiholan Simanjuntak) Tabel4. Analisis Kimia Tanah pada Entisol di Watumaeta Nilai Harkat Nilai Keterangan 1 20.98 s 6.28 ST 4.89 Masam 2 20.35 s 5.59 T 4.85 Masam 3 20.52 s 5.77 T 4.82 Masam 4 19.33 s 44 . 6 T 4.98 Masam 5 19.62 s 4.78 T 4.86 Masam Keterangan: - SR c. pH(H20) Bahan Organik (%) KTK No Tanah = Sangat Rendah; - R = Rendah; - S = Kondisi Iklim Sedang; - T = Tinggi; - ST = Sangat Tinggi karena itu menurut Oldeman (1975) maka dataran Secara makro bahwa semenanjung utara Sulawesi Tengah dilintasi oleh garis katulistiwa sehingga pengaruh iklim tropis sangat terasa di daerah Sulawesi Tengah. Kondisi demikian menjadikan pola curah hujan di Sulawesi Tengah tidak dipengaruhi pola monsum, jadi umumnya distribusi curah hujan bulanan akan te.tjadi secara maksimum pada 21 Maret dan 23 September yaitu saat kedudukan matahari tepat di atas ekuator. Akan tetapi berdasarkan Tabel4 yaitu data curah hujan tahun 1984 hingga 2004 dari stasiun klimatologi Wuasa menunjukan dataran tinggi Napu (Kecamatan Lore Utara) hampir sepanjang tahun te.tjadi hujan dan curah hujan bulanan tertinggi berada pada bulan April dan Nopember. tinggi Napu memiliki Zona Agroklimat E1 (terdapat kurang dari 3 bulan basah berturutan dalam satu tahun dan kurang dari 2 bulan kering). Menurut Zona Agroklimat E1 oleh Oldeman (1975) maka daerah dataran tinggi Napu hanya sesuai untuk budidaya tanaman palawija dan tidak sesuai untuk budidaya tanaman padi. Kecukupan air aman untuk budidaya tanaman padi (satu kali tanam) bila terjadi secara berturutan minimal 5 bulan basah(curah hujan bulanan >200 mm) dan apabila bulan basah tersebut secara berturutan lebih dari 9 bulan maka dapat dibudidayakan tanaman padi 2 kali dalam 1 tahun. Oleh karena secara Zona Agroklimat di dataran tinggi Napu kurang sesuai untuk tanaman padi, maka tanaman padi yang diusahakan di daerah dataran tinggi Napu maka Berdasarkan Tabel 4 maka Klas Iklim menurut produksinya akan rendah, karena umumnya Schmidth & Ferguson (1951) untuk dataran tinggi kerapatan fluktuasi radiasi matahari rendah Napu yang rata-rata memiliki sepanjang tahun. Di samping itu daerah dengan , 11 bulan basah (>100 mm) dan 1 bulan lembab (100- 60 mm) serta tidak memiliki bulan kering (< 60 mm) maka dataran tinggi Napu memiliki nilai Q (quotien) 0 sehingga memiliki Tipe IklimA yaitu daerah yang ketinggian lebih dari 1000 mdpl akan terjadi kemunduran saat pan en oleh semua j enis tanaman sebagai akibat tingginya AHU (Acumulation Heat Unit). sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis. Akan tetapi bila didasarkan pada Zona Agro­ klimat Oldeman (1975) menunjukkan dataran tinggi Napu tidak memiliki bulan basah (>200 mm), hanya memiliki 1 bulan kering dan 11 bulan lembab (200 - 100 (100 mm) mm). Oleh 15 AGRJC Vo1.22, No.1, Juli 2010: 9-19 Tabel 5. Curah hujan bulanan di Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso Stasiun Klimato1ogi Wuasa Curah Hujan Rata-rata Bu1anan (mm) E1evasi (m dp1) 1100 Jum1ah Jan Peb Mrt Apr Mei Jun Ju1 Agst Sept Okt Nop Des 136 101 138 195 1 18 146 92 1 14 104 126 165 129 (mm) 1564 Sumber: data curah hujan 1984-2000, BPP Wuasa Kab. Poso Muljady dkk (2008) menyatakan dataran tinggi Napu di Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso, yang memiliki ketinggian tempat 1.100 m dpl, memiliki suhu rata-rata minimum 15,4"C dan suhu udara rata maksimum 31 ,soc. Di sisi lain dataran tinggi Napu hampir sepanjang tahun tezjadi turun hujan walaupun besarnya curah hujan bulanan < 200 mm, namun kondisi demikian (hujan sepanjang tahun dan suhu udara rendah) telah mampu menjadikan kelembaban udara cukup tinggi, kondisi ini demikian umumnya akan memacu perkembangan mikroorganisme peng­ ganggu tanaman. Rencana Pengembangan Tanaman Pangan a. Jenis Tanaman Masyarakat wilayah KTM Tampo Lore yang terletak di dataran tinggi Napu telah lama mengusahakan tanaman hortikultura jenis sayuran seperti wortel, kubis, tomat, sawi, petsai, cabe, daun bawang, dan buncis. Sementara itu untuk tanaman pangan yang umum diusabakan masyarakat adalah ketela pohon, ubi jalar, talas serta padi. Berdasarkan dari (1) Data biofisik seperti tanah, terrain-topografi, iklim dan persya­ ratan tumbuh tanaman; (2) Zona Agroklimat Oldeman (1975) yang menunjukanwilayah dataran tinggi Napu masuk dalam zona agroklimat E1 yaitu wilayah yang hanya sesuai untuk budidaya tanaman palawija dan tidak sesuai untuk budidaya tanaman padi; (3) Evaluasi laban dengan program ALES (Automated Land Evaluation System) dan kelas kesesuaian laban (Djaenudin et al, 1996 dan 2001), maka komoditas tanaman pangan yang potensial dikembangkan di KTM Tampo Lore, dapat dilihat pada Tabe16. Tanaman pangan yang direkomendasikan pada Tabel 6 mempunyai peranan strategis dalam pengembangan pertanian di wilayah KTM Tampo Lore, hal ini dikarenakan komoditas tersebut memiliki nilai sosial dan ekonomi yang sanga tinggi, serta komoditas tersebut mampu untuk mempertabankan ketabanan pangan untuk lokal dan nasional Tabel 6. Jenis Tanaman Pangan yang Potensian Dikembangkan di KTM Tampo Lore Jenis Tanaman Kesesuaian Laban 1 Jagung (Zea mays) S2 (cukup sesuai) 2 Kedelai (Glycine max) S2 (cukup sesuai) No 3 Gandum (Triticum aestivum) S3 (sesuai mrujinal) 4 Ketela rambat (Ipomoea batatas) S2 (cukup sesuai) 5 Ubi Kayu (Manihot utilisina) S2 (cukup sesuai) b. Faktor Pembatas dalam Mengusahakao Tanaman Pangan Tabel 5 menunjukkan babwa kesesuaian laban komoditas tanaman pangan untuk jagung, kedelai, gandum, ketela rambat, dan ubi kayu (singkong) bervariasi dari Klas S2 (cukup 16 sesuai), dan S3 (sesuai mazjinal). Adapun faktor pembatas dari pengembangan komoditas tersebut adalah sebagai berikut: 1. Jagung (Zea mays) Berdasarkan data iklim (suhu dan curah hujan) dan kondisi tanah yang ada maka Studi Biofisik Kot aTerpadu Mandiri (KTM) Transmigrasi Tampo Lore Kabupaten Poso Sulawesi Tengah (Bistok Hasiholan Simanjuntak) dataran tinggi Napu memiliki kesesuaian 4. lahan 82 (cukup sesuai) dengan faktor pembatas curab hujan tahunan > 1200 mm Berdasarkan data iklim (suhu dan curah hujan) dan kondisi tanab yang ada maka . Berdasarkan dari jenis tanah yang ada dataran tinggi Napu memiliki kesesuaian (Inceptisols dan Entisols) maka dapat tetjadi lahan 82 (cukup sesuai) dengan faktor keterbatasan media perakaran akibat dari pembatas curab hujan tabunan solum tanab dan perkembanan profil tanab 1500 mm . (Inceptisols dan Entisols) maka dapat tetjadi faktor pembatas yang ada maka dapat keterbatasan media perakaran akibat dari a'ifalilliCan cfengan pengofa.tian tana.ti <fan solurn tanab dan perkembangan profil tanab drainase diperbaiki (Muljady dkk, 2008, yang belum berkembang. Untuk mengatasi Djaenudin dkk. 2001) faktor pembatas yang ada maka dapat Kedelai (Glycine max) dilakukan dengan pengolaban tanah dan drainase diperbaiki (Muljady dkk, 2008, Berdasarkan data iklim (suhu dan curab Djaenudin dkk. 2001) hujan) dan kondisi tanah yang ada maka dataran tinggi Napu memiliki kesesuaian lahan 82 ( cukup sesuai) dengan faktor pembatas curab hujan tahunan > Berdasarkan dari j enis tanah yang ada yang belum berkembang. Untuk mengatasi 2. Ketela rambat (Ipomoea batatas) > 1100 mm 5. Ubi Kayu (Manihot esculenta) Berdasarkan data iklim (suhu dan curab . Berdasarkan dari jenis tanah yang ada hujan) dan kondisi tanab yang ada maka (Inceptisols dan Entisols) maka dapat tetjadi dataran tinggi Napu memiliki kesesuaian keterbatasan media perakaran akibat dari laban 82 dengan faktor pembatas keter­ solum tanab dan perkembanan profil tanab sediaan air, oksigen, dan media perakaran yang belum berkembang. Untuk mengatasi yang terbatas akibat dari solum tanab dan faktor pembatas yang ada maka dapat perkembanan profil tanah yang belum dilakukan dengan pengolahan tanah dan berkembang. Untuk mengatasi faktor drainase diperbaiki (Muljady dkk, 2008, pembatas yang ada maka dapat dilakukan Djaenudin dkk. 2001) dengan pengolahan tanah dan drainase Gandum (Triticum aestivum) dkk. 2001) diperbaiki (Muljady dkk, 2008, Djaenudin 3. Berdasarkan data iklim (suhu dan curab hujan) dan kondisi tanab yang ada maka c. Model Pengelolaan dataran tinggi Napu memiliki kesesuaian Memperhatikan arah pembangunan pertanian laban 83 disebuah kawasan Kota Terpadu Mandiri (KTM) (sesuai matjinal) dengan faktor pembatas curab hujan tahunan > 1250 mm . adalab sebagai aktivitas pertanian modem yang Berdasarkan dari jenis tanah yang ada berfungsi sebagai basis pertumbuhan sektor (Inceptisols dan Entisols) maka dapat tetjadi ekonomi, yang menerapkan agroteknologi spesifik keterbatasan media perakaran akibat dari lokasi, ramah lingkungan, efisien, berdaya saing solum tanah dan perkembanan profil tanab dan tangguh, maka pengelolaan pengembangan yang belum berkembang. Untuk mengatasi tanaman pangan di dataran tinggi N apu di faktor pembatas yang ada maka dapat dasarkan pada model Gambar 1. dilakukan dengan pengolahan tanah dan drainase diperbaiki (Muljady dkk, 2008, Djaenudin dkk. 2001) 17 AGRIC Vo1.22, No.1, Juli 2010: 9-19 Pemasaran Hasil 1. Lokal 2. Nasional Pengembangan Tanaman Pangan 1. Teknologl Speslflk Lokasl 2. Sesual daya dukung llngkungan Pengolahan Hasll Panen Unit Pengolahan Llmbah "Pupuk Orgahlk" (;::====� Limbah Sisa Panen Pemasaran Hasil 1. Lokal 2. Nasional 3. lntemasional Gambar 1. Model Pengembangan Tanaman Pangan eli Dataran Tinggi Napu Berdasarkan Gambar 1 maka pengelolaan tanaman pangan bersifat tertutup yang artinya 3. Faktor pemba tas pada pengembangan tanaman pangan di KTM Tampo L ore limbah hasil pengembangan tanaman pangan adalah ketersediaan oksigen, media perakaran akan diolah menj adi produk pupuk organik. dan ketersediaan air. Pupuk organik yang di kembangkan akan digunakan kembali dalam pengembangan tanaman yang ada serta dipasarkan baik dalam skala terbatas maupun luas. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA Amien, 1., E. Susanti dan E. Alemina. 1992. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dengan Pendekatan Agroekologi Dalam Prosiding Simposium Mete oro logi Per­ Berdasarkan hasil kajian maka dapat disimpulkan tanianm,Malang,20-22Agustus 1991 (Buku 1. IT, hlm. 493-5110. PERIDMPL Bogor. Wilayah KTM Tampo Lore di Dataran tinggi Napu, Sulawesi Tengah memiliki ordo tanah Balai Penelitian Tanah. 2003. Petunjuk Teknis Inceptisol dan Entisol, dengan total curah Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. hujan tahunan 1564 mm, kisaran suhu udara Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak minimum 15,4°C dan suhu udara rata Bogor. maksimum 31,50C. Adapun ZonaAgroklimat di Wilayah KTM Tampo Lore masuk dalam Zona E1 yaitu hanya sesuai untuk buelidaya tanaman palawija dan tidak sesuai untuk budidaya tanaman paeli. 2. Wilayah KTM Tampo Lore eli Dataran tinggi Napu, Sulawesi Tengah memiliki klas 18 Djaenudduin, D., M. Hendrisman, K. Nugroho, D. G. Rossiter dan E. R. Jordens, 1996. Evaluasi Lahan Sistem Ot omatisas Untuk M embantu Pemetaan Tanah, LREP-II, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) hingga Djaenudin D, Marwan H, H. Subagyo, Anny S3 (sesuai mru:jinal) untuk pengembangan Mulyani, dan N. Suharta. 2001. Kriteria tanaman pangan seperti jagung, kedelai Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas gandum, ketela rambat, ubi kayu. Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengem- Studi Biofisik Kot aTerpadu Mandiri (KTM) Transmigrasi Tampo Lore Kabupaten Poso Sulawesi Tengah (Bistok Hasiholan Simanjuntak) bangan Tanah dan Agroklimat. Dinas Pertanian Pemerintah Kabupaten Poso. 2009. Profil Pertanian Kawasan Lembah Napu. Dinas Pertanian Kabupaten Poso FAO, 1989. Guidelinesfor Land Use Planning, FAO, Rome, Italy. FAO, 1995. Planning for Sustainable Use ofLand Resources. Toward a New Approach. FAO Land and Water bulletin, FAO, Rome. FAO. 1996. Agro-Ecological Zoning Guidelines. FAO Soil Bulletin 73. Rome. Herrmann, T. 1993. Crop Rotation Sustainbility Index, Soil and Water Conservation, South Aust Dept. Primary Industries. Muljady D. Mario, Lintje Hutahaean, dan R.H.Anasiru. 2008. Potensi Pengem­ bangan Hortikultura di Dataran Tinggi Napu, Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Reddy, S.A. 1983. Agroclimatic Classification of The Semi-Arid Tropics I, AMethod for Computation of Classificatory Variables. Agric. Meteorol., 30: 185-200. Rossiter, D. G., 1994. Land Evaluation, Cornell University, Ithaca, New York, USA. Rossiter, D. G. and Van Wambeke, Armand R., 1997, Automated Land EvaluationSystem: ALES version 4.65d User's Manual, Cornell University, Ithaca, New York, USA Schmidt, F.H., andJ.H.A F erguson, 1951. Rain­ fall Type Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verh. No.42. Jawatan Met. dan Geofisik, Djakarta. Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy, Slh edition 1998. Nasional Resources Conservation Service, USDA. Syafrudin, T Rumajar,JG Kindangen, R. Aksono, A. Negara, D. Bulo dan J. Limbongan. 1999. Ana/isis Zona Agroekologi (Zae) Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan (Bio-Fisik) Propinsi Sulawesi Tengah. Agroklimat. 2001. Petunjuk Teknis Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Penyusunan Peta Pewilayahan Komo­ (BPTP) Biromaru. Pusat Penelitian Sosial ditas Per tanian Berdasar kan Zona Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Agroekologi (Z A E) Skala 1:50.000. Pengembangan Pertanian. Departemen Puslittanah. Pertanian Oldeman,L.R.l975. AgroclimaticMap ofJava. Sys, C, E.Evan Ranst and J. Debaveye. 1993. Contr. Centr. Res. Inst. Agr ic. Bogor. Land Evaluation (Part 1 ,2,3). Agriculture No.17. CRIA, Bogor. Publication No 7, General Administration Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan, PPTA, Bogor. for Development Cooperation. Belgium. Universitas Sam Ratulangi . 1995. Peta Tanah Semi Detail Kabupaten Poso, Lembar Lembah Napu 1 :50.000. Manado 19