BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jimenez (2008) menulis bahwa manusia selalu tertarik pada jawaban atas pertanyaan: “what is a good life?”. Seringkali, kehidupan yang baik dihubungkan dengan kesejahteraan dan kehidupan yang bahagia. Bagaimana kita mendefinisikan kesejahteraan sangat memengaruhi pengajaran, pola asuh, dan praktik pemerintahan kita. Semua itu karena keseluruhan upaya tersebut bertujuan untuk mengubah manusia menjadi lebih baik, sehingga dibutuhkan beberapa pandangan mengenai what “the better” is (Ryan & Deci, 2001). Kesejahteraan mencerminkan peningkatan kesadaran bahwa efek positif tidak hanya lawan dari efek negatif dan bukan ketiadaan dari mental illness. Ryan dan Deci (2001) mencatat bahwa selama abad terakhir fokus psikologi pada ameliorasi (peninggian makna) psikopatologi selalu dibayangi konsep dari kesejahteraan dan pertumbuhan pribadi. Kubovy (dalam Ryan & Deci, 2001) menuliskan perspektif mengenai kesejahteraan berdiri pada dua kutub yang berbeda. Perspektif hedonis cenderung berfokus pada kesenangan pikiran serta tubuh. Pandangan ini percaya bahwa kesejahteraan terdiri dari kesenangan subyektif serta pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan yang ditafsirkan sebagai penilaian tentang elemen baik dan buruk (Diener dalam Ryan & Deci, 2001). 1 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 2 Sebaliknya, perspektif eudaimonia berpendapat bahwa kesejahteraan membutuhkan kemampuan untuk membedakan antara keinginan subyektif yang mengarah pada kesenangan sesaat dan kebutuhan-kebutuhan yang berakar pada sifat manusia dan realisasinya kondusif untuk pertumbuhan manusia yang pada akhirnya menghasilkan “kesejahteraan” (Fromm dalam Ryan & Deci, 2001). Dengan kata lain, kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam ekspresi kebajikan, yaitu dalam menentukan apa yang layak dan tidak layak dilakukan. Dalam perspektif ini, kesejahteraan dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat spiritual dan tidak kasat mata tetapi dapat dirasakan. Hal ini biasanya dikait-kaitkan dengan ajaran agama yang menghendaki agar pemeluknya lebih mengutamakan kebaikan bagi sesama, mampu membedakan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, katakan, maupun pikirkan, serta menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan dan sesama. Dari topik-topik tersebut kemudian diikuti beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan makna kesejahteraan psikologis. Seperti, seberapa besar perbedaan kesejahteraan pada masing-masing individu? Bagaimana peran emosi dalam kesejahteraan? Sejauhmana kesehatan fisik terkait dengan kesejahteraan? Dan beberapa lainnya menghubungkan kesejahteraan dengan faktor-faktor seperti kekayaan, pemuasan hubungan, dan pencapaian tujuan. Hal ini berbanding lurus dengan Badan Pusat Statistik (2015) yang menghitung indeks kebahagiaan pada tahun 2015 di Jakarta dimana kepuasan terhadap seluruh domain kehidupan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 3 dan kondisi keamanan menjadi tolak ukur kebahagiaan masyarakat. Selain itu, individu yang menikah, memiliki anak, dan mengenyam tingkat pendidikan yang tinggi juga dinilai lebih bahagia ketimbang mereka yang tidak melalui fase itu. Ryan dan Deci (2001) mencatat kedua perspektif, hedonisme dan eudaimonisme – mengasumsikan dua pandangan yang berbeda mengenai standar masyarakat yang baik dan sifat masing-masing manusia. Oleh karena itu, mereka mengajukan pernyataan yang berbeda tentang perkembangan dan bagaimana proses sosial berhubungan dengan kesejahteraan. Kesejahteraan, baik itu dari perspektif hedonis maupun perspektif eudaimonia tanpa disadari menjadi bagian dari kehidupan makhluk hidup terutama manusia. Kesejahteraan menjadi salah satu tujuan manusia yang berusaha untuk dicapai. Dari segi sifat, kesejahteraan dapat dilihat dari beberapa bentuk, misalnya kesejahteran fisik yang menunjuk pada kesehatan jasmani, kesejahteraan rohani yang dikaitkan pada pemenuhan kebutuhan rohani atau spiritualitas, kesejahteraan materi yang diasosiasisan dengan kepemilikan uang dan benda-benda material lainnya, maupun kesejahteraan dalam bentuk perasaan aman. Dalam teori perkembangan, ketika seseorang telah sampai pada ujung tahap remaja akhir, saatnya ia masuk pada tahap dewasa awal. Terdapat beberapa pandangan mengenai kedewasaan. Menurut definisi psikologis, kedewasaan tidak ditandai oleh kriteria eksternal, tetapi oleh indikator internal seperti otonomi, kontrol diri, dan tanggung jawab pribadi – bahwa indikator tersebut lebih http://digilib.mercubuana.ac.id/ 4 merupakan kerangka berpikir daripada peristiwa yang terpisah-pisah (Shanahan, Prfeli & Mortimer, 2005). Memasuki alam kedewasaan, seorang laki-laki harus mempersiapkan diri untuk dapat hidup dan menghidupi keluarganya. Ia harus mulai bekerja mencari nafkah dan membina karirnya. Kaum perempuan juga harus mempersiapkan diri untuk berumah tangga. Di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya pria dan wanita mempunyai peranan yang berbeda. Laki-laki mencari nafkah, agresif, dan dominan, sedangkan perempuan mengurus rumah tangga, pasif dan lebih submisif. Perbedaan itu tidak semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor biologis, tetapi lebih banyak lagi ditentukan oleh faktor-faktor kebudayaan (Sarwono, 2010). Pada tahap ini baik laki-laki maupun perempuan diharapkan mampu mencapai kebebasan finansial dengan bekerja. Pada tahun 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada sekitar 122,4 juta angkatan kerja di Indonesia. Dan hal ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Vaillant (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009), semasa usia dua puluhan, dan sebagian berusia tiga puluhan, mereka mencapai hak otonomi, menikah, dan memiliki anak, serta persahabatan. Mereka bekerja keras demi karier dan mengabdikan diri pada keluarga mereka. Orang dewasa membentuk struktur hidup mereka pada masa yang tumpang tindih antara usia 20 hingga 25 tahun, masing-masing dibagi atas fase awal dan fase puncak. Pada fase dewasa awal, mereka membangun struktur hidup sementara (Levinson, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 5 Ia meninggalkan rumah orang tuanya, mungkin untuk meneruskan ke perguruan tinggi atau bergabung dengan angkatan bersenjata, serta menjadi mandiri secara finansial dan emosional. Ia memilih sebuah pekerjaan, mungkin seorang istri atau suami dan membangun mimpi tentang apa yang dia harapkan untuk dicapai di masa depan. Pada transisi usia tiga puluhan, mereka mengevaluasi ulang seluruh struktur hidupnya. Kemudian pada fase puncak masa dewasa awal, ia menjadi mapan dan menentukan berbagai tujuan (misalnya, jabatan guru besar dengan penghasilan tertentu) dan waktu untuk mencapainya (misalnya, pada usia 40). Ia menambatkan hidupnya pada keluarga, pekerjaan, dan komunitas. Tidak hanya dari segi fisiologis, kognitif, dan psikososial individu saja yang berbeda dari waktu ke waktu sejalan dengan pertumbuhannya, dari segi penalaran moralpun terjadi perubahan secara bertahap mengikuti usia perkembangan dan juga dipengaruhi oleh pengalaman masing-masing individu. Moralitas merupakan salah satu karakteristik penting diri manusia sebagai makhluk sosial. Kita seringkali melakukan penilaian baik dan buruk, dan penilaian tersebut berpengaruh pada bagaimana kita berperilaku dan memperlakukan orang lain. Moralitas terkait dengan budaya, agama, dan aspek-aspek sosial lainnya (Rahman, 2013). Beberapa menganggap orang yang bermoral dan berperilaku baik berarti menjalankan ajaran agamanya dengan baik pula. Bagi sebagian besar orang, agama merupakan fondasi hidup yang penting dimana ajarannya menjadi tolak ukur dalam bersikap dan bertingkah laku dalam masyarakat. Banyak timbul pertanyaan seperti: “Apa sebabnya orang itu beriman http://digilib.mercubuana.ac.id/ 6 dan beragama? Apakah yang mendorong manusia untuk beragama, untuk mengimani apa yang tidak dilihatnya?”. Selayaknya kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi untuk bertahan hidup, kebutuhan rohani yang juga harus dipenuhi untuk menciptakan individu yang sehat secara fisiologis juga memahami nilainilai kebaikan dan nilai moral yang menjadi mekanisme pertahanan dirinya terhadap hal-hal yang berbau negatif. Dari sekian banyak individu yang beragama, segelintirnya memilih untuk sepenuhnya mengabdi kepada Tuhan dan sesama. Dalam pengabdian mereka, tidak menikah dan berkeluarga merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Seperti halnya biksu dan biksuni. Biksu dan biksuni merupakan pemuka agama Buddha. Biksu sebutan untuk laki-laki dan biksuni sebutan untuk perempuan. Agama Buddha sendiri merupakan salah satu dari enam agama yang diakui di Indonesia di samping agama Islam, Kristen Protestan, Khatolik, Hindu dan Kong Hu Cu. Dimana jumlah pemeluknya menempati peringkat kelima terbanyak di Indonesia dengan presentase 0,72% atau sekitar 1.703.254 jiwa (dikutip dari Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2014). Karena jumlahnya yang tergolong minoritas, umat buddha seringkali tidak mendapat tempat atau perhatian yang layak. Hal ini berimbas pada minimnya pengetahuan masyarakat mengenai agama buddha dan sistem-sistem yang membangunnya. Padahal pengenalan akan semua kebudayaan dan kepercayaan yang ada di Indonesia dapat membantu menumbuhkan sikap toleransi dan terbuka antar umat beragama serta mengurangi gesekan berbau SARA (suku, agama, dan ras) yang seringkali menjadi pemicu dari konflik yang terjadi di negara ini. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 7 Hadikusuma (1993) menulis, agama Buddha timbul sekitar abad keenam sebelum Masehi, sebagai reaksi terhadap sistem upacara keagamaan Hindu Brahmana yang terlampau kaku. Pada mulanya ia bukan merupakan agama tetapi hanya suatu ajaran untuk melepaskan diri dari ‘sangsara’ (samsara) dengan tenaga sendiri, sebagaimana dilakukan Sang Buddha. Tetapi kemudian ajaran ini berubah menjadi agama dalam arti pembebasan karena adanya taufik dan berkah Dewa. Tiga aliran besar agama buddha yang berkembang pesat di Indonesia adalah aliran hinayana, aliran mahayana, dan aliran tantrayana. Secara garis besar, ketiganya bertitik tolak pada pertapa Gautama dalam mencapai kebuddhaannya. Namun tetap ada beberapa aspek yang membedakannya, seperti aliran hinayana disebut bersikap lebih konservatif atau ortodoks dan aliran mahayana yang lebih bersifat logis dan realis dan aliran tantrayana yang lebih bersifat visual (Edward, 2010). Agama buddha sendiri tidak tergolong dalam agama monoteistik yang menyakini bahwa Tuhan merupakan Pribadi tertinggi. Sehingga dalam pengajarannya, agama buddha tidak bertitik tolak pada ajaran ketuhanan (Hadikusuma, 1993). Bagaimana umat dan pemuka agama buddha memandang dan merumuskan dasar-dasar moralitas yang dimiliki hampir semua agama tanpa melibatkan Tuhan sebagai tokoh sentral merupakan topik yang menarik untuk digali. Papalia, Olds dan Feldman (2009) menulis pilihan-pilihan pribadi yang dibuat pada masa dewasa membangun sebuah struktur sepanjang hayat; http://digilib.mercubuana.ac.id/ 8 memutuskan untuk menjadi berbeda membutuhkan pertimbangan yang matang dan waktu yang tidak sebentar. Demikian juga dalam mempertimbangkan sebuah keputusan yang harus dijalankan seseorang seumur hidupnya. Ketika seorang pria maupun wanita masuk ke tahap dewasa awal, maka hal yang lumrah baginya untuk merencanakan hidupnya kedepan termasuk membina hubungan yang serius dengan orang lain atau yang biasa disebut menikah. Banyak alasan yang menjadi tolak ukur pernikahan, diantaranya memenuhi kebutuhan biologis secara resmi dimata hukum dan agama, melanjutkan keturunan, dan beberapa percaya bahwa menikah merupakan salah satu bentuk ibadah. Akan tetapi hal tersebut tidak belaku bagi seorang biksu dan biksuni. Biksu dan biksuni merupakan laki-laki dan perempuan yang ditahbiskan untuk menjalani kehidupan monastik dan terikat dengan sekian banyak peraturan. Mereka tidak boleh menikah dan mengabdikan hidupnya untuk melayani sesama makhluk hidup dengan berlandaskan cinta kasih pada sesama. Menjadi seorang biksu dan biksuni berarti rela diikat dengan peraturan-peraturan moralitas tertentu (Hadikusuma, 1993). Mereka berusaha sepenuhnya untuk terus membaharui diri dan mencapai kedamaian serta pencerahan batin juga menolak hal-hal duniawi dan lebih mengejar hal-hal yang bersifat spiritual. Setelah tahun 1990, ketika agama Buddha mulai bangkit kembali di Mongolia, menjadi seorang biksu atau biarawan dianggap sebuah pekerjaan dan pendeta menerima penghasilan yang kecil. Dapat dikatakan hal ini menjadi motivasi yang kuat untuk masuk ke biara, mengingat prospek yang suram bagi sebagian besar penduduk pada saat itu (Paulenz, 2003). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 9 Menjadi seorang biksu dan biksuni menurut padangan masyarakat secara luas adalah sebagai “cara hidup yang tidak wajar”. Jika seorang laki-laki atau perempuan yang masih berusia muda dan ia ingin menjadi seorang biksu atau biksuni, ia dianggap aneh. Sehingga kehidupan sebagai seorang biksu dan biksuni ini jarang diminati. Bahkan ada beberapa anggapan negatif / miring dari masyarakat Buddhis itu sendiri, jika ingin menjadi seorang biksu, entah itu dikatakan putus cinta, pria yang dianggap tidak normal, pria yang lari dari tanggung jawab serta himpitan ekonomi yang tinggi. (Phaladhammo, 2013). Menampik pandangan negatif masyarakat awam mengenai alasan seseorang menjadi biksu dan biksuni, beberapa pandangan lain menulis bahwa biksu dan biksuni merupakan orang yang dengan tulus ingin menjadikan dunia tempat yang lebih baik melalui praktik agama dengan penuh welas asih. Mereka melihat bahwa dengan menciptakan sebab dari kelahiran kembali yang baik, dengan menyucikan dan mengembangkan batin mereka, mereka akan dapat menuntun makhluk lain menuju kebahagiaan terakhir melalui jalan dharma. Mereka yang hidup selibat tetap memahami hal-hal yang memberi manfaat besar bagi orang tuanya dan pelayanan bagi masyarakat. Meskipun menduduki realisasi tinggi hampir tidak mungkin terjadi dalam kehidupan ini, mereka memiliki perspektif luas dan bekerja demi kebahagian dan faedah jangka panjang. Mereka memiliki sistem nilai yang berbeda dari kaum awam dan menerapkan sistem nilai tersebut karena mereka meyakini bahwa berbeda tidaklah salah. Orang yang menjalani kehidupan monastik meninggalkan kehidupan keluarga, tapi tidak berarti mereka menolak keluarganya. Meski mereka ingin http://digilib.mercubuana.ac.id/ 10 menyingkirkan emosi-emosi pengganggu yaitu kemelekatan terhadap keluarga mereka, mereka masih menghargai kebaikan orangtua mereka dan sangat perhatian pada mereka. Daripada membatasi perhatian pada segelintir manusia, orang yang menjalani kehidupan ini mengembangkan cinta kasih tak terbatas bagi semua dan memperlakukan semua mahkhuk sebagai bagian dari keluarga mereka. Menjadi seorang biksu atau biksuni tidaklah mudah. Pilihannya untuk tidak menikah merupakan komitmen yang harus dijalani seumur hidup. Disaat pria dan wanita seumurannya berusaha menjalin komitmen dengan pasangannya, memiliki seorang istri atau suami merupakan ajaran yang bertentangan bagi seorang biksu dan biksuni. Mereka juga tidak lagi memiliki tempat tinggal selain wihara yang akan menaunginya selama mereka masih berstatus sebagai biksu atau biksuni. Mereka tidak lagi mengejar hal-hal yang bersifat materi. Mereka juga harus meninggalkan keluarga demi mencapai hidup yang seutuhnya murni. Dalam kesehariannya, mereka melakukan ritual meditasi sebagai kebutuhan untuk mencapai penerangan batin. Kehidupan tersebut tentulah kehidupan yang sangat bertolak belakang dengan orang awam kebanyakan. Memutuskan tidak menikah, rajin bermeditasi, dan memerangi kejahatan hanya sebagian dari komitmen yang dijalani seorang biksu dan biksuni. Para biksu yang dikenal atruis dan tidak mementingkan diri sendiri bahkan tidak takut untuk mengambil tindakan ekstrim sebagai bentuk protes atau untuk menentang suatu kebijakan yang dianggap merugikan salah satu pihak. Seperti misalnya beberapa aksi tindakan bakar diri para biksu di Tibet dan Sri Lanka sebagai http://digilib.mercubuana.ac.id/ 11 bentuk protesnya terhadap isu politik yang dihadapi negara tersebut (Haviland, 2013). Perbedaan jalan hidup ini seringkali menimbulkan pertanyaan dari masyarakat awam, “bagaimana seorang biksu dan biksuni mendefinisikan kesejahteraan? Dan sejahterakah mereka dengan berbagai macam peraturan tersebut?”. Disaat orang lain berlomba-lomba untuk mencapai kesuksesan finansial, karir, dan rumah tangga, mereka justru memilih jalan yang sebaliknya. Ketika individu lain seusianya berusaha menjalin komitmen dengan orang lain, dan bahkan beberapa memutuskan menikah, tidak berumah tangga justru salah satu aturan yang harus mereka patuhi. Disaat orang lain seusianya berusaha duduk dalam sebuah jabatan dan mengejar karir, mereka justru menolak memperkaya diri dan bahkan bersedia hidup sangat sederhana dengan tidak membebankan diri pada kewajiban mengejar materi. Hal yang paling penting dalam tahap perkembangan dewasa awal adalah pemenuhan kebutuhan akan intimacy. Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) mengemukakan bahwa individu dewasa awal yang mampu membina intimacy atau menjalin komitmen dengan orang lain akan terbebas dari perasaan terisolasi atau terpaku pada diri sendiri (self-absorbed). Apabila seorang indvidu gagal membentuk ikatan sosial yang kuat, maka akan menimbulkan perasaan kesepian, cemas, dan tidak percaya diri. Hal itu menunjukkan adanya hubungan antara intimacy dan kesejahtaraan psikologis individu (psychological well-being). Maka pada kaum biksu dan biksuni (dengan larangan akan pernikahan dan memperkaya diri sendiri) yang memasuki usia dewasa awal menimbulkan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 12 pertanyaan mengenai kesejahteraan psikologisnya. Bagaimana seorang biksu dan biksuni yang diikat dengan sekian banyak peraturan wihara tetap mampu mendefinisikan kesejahteraan dan kebahagiaan pribadi sebagai seorang individu. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kesejahteraan psikologis biksu dan biksuni dewasa awal, dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep psychological well-being yang dibuat oleh Ryff (1989). Konsep psychological well-being dari Ryff sendiri terbagi ke dalam enam dimensi, yaitu: penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Penelitian ini akan melihat bagaimana gambaran psychological well-being pada biksu dan biksuni dewasa awal. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimana gambaran psychological well-being pada biksu dan biksuni dewasa awal di Jakarta?” Beberapa pertanyaan turunan spesifik adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran psychological well-being pada biksu dan biksuni dewasa awal? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada psychological well-being biksu dan biksuni dewasa awal? http://digilib.mercubuana.ac.id/ 13 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran dimensi-dimensi psychological well-being dan faktor-faktor yang berpengaruh pada psychological well-being pada biksu dan biksuni dewasa awal. D. Manfaat Penelitian Dari hasil perumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara akademik maupun praktis bagi pembacanya. 1. Manfaat Akademik Penelitian ini diharapkan dapat: a. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis mengenai psychological well-being pada biksu dan biksuni dewasa awal. b. Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi psychological wellbeing pada biksu dan biksuni dewasa awal. c. Memperkaya referensi bagi penelitian akademik selanjutnya dengan bidang kajian serupa. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat: a. Memberikan gambaran psychological well-being pada biksu dan biksuni dewasa awal http://digilib.mercubuana.ac.id/ 14 b. Memperkaya informasi bagi kaum awam mengenai kehidupan monastik (kehidupan di mana seseorang membaktikan hidupnya semata-mata bagi karya rohani dengan jalan menyangkali tujuan-tujuan duniawi). c. Memberikan tambahan informasi bagi lembaga yang bergerak dalam bidang keagamaan dalam mengatasi masalah-masalah yang mungkin timbul antar sesama pemuka agama, khususnya agama Buddha. d. Memberikan wacana bagi masyarakat untuk belajar dari kehidupan biksu dan menerapkan kesederhanaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. http://digilib.mercubuana.ac.id/