1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering terjadi pada wanita
baik di negara maju maupun kurang berkembang. Diperkirakan bahwa di seluruh
dunia lebih dari 508.000 perempuan meninggal tahun 2011 karena kanker payudara
(WHO 2013). Meskipun kanker payudara dianggap sebagai penyakit negara maju,
tetapi hampir 50% kasus kanker payudara dan 58% kematian terjadi di negaranegara kurang berkembang (Ferlay et al., 2010).
Angka kejadian kanker payudara sangat bervariasi di seluruh dunia dari 19,3
per 100.000 perempuan di Afrika Timur, 89,7 per 100.000 perempuan di Eropa
Barat dan yang tinggi (lebih dari 80 per 100.000) terjadi di Negara-negara maju
kecuali Jepang. Sedangkan angka kejadian di Negara berkembang yaitu sekitar
kurang dari 40 per 100.000. Angka kejadian kanker payudara terendah ditemukan
di negara – negara Afrika, tetapi angka kejadian kanker payudara tiap tahunnya
meningkat (Ferlay et al., 2010).
Di Indonesia sendiri berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS)
pada tahun 2010, kanker menjadi penyebab kematian nomor 3 dengan kejadian
7,7% dari seluruh penyebab kematian karena penyakit tidak menular, setelah stroke
dan penyakit jantung. Sementara itu, kanker payudara menempati urutan pertama
pada pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia (16,85%), disusul kanker leher
1
2
rahim (11,78%) berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun
2007. Sedangkan pada tahun 2013 terjadi peningkatan angka kejadian penderita
kanker berdasarkan data SIRS dengan proporsi sebesar 28,7% untuk kanker
payudara, dan kanker leher rahim 12,8%, leukemia 10,4%, limfoma 8,3% dan
kanker paru 7,8% pada pasien rawat inap maupun rawat jalan di seluruh RS di
Indonesia (Depkes, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa kanker, khususnya kanker
payudara merupakan penyakit yang memiliki angka kejadian tinggi bahkan tiap
tahunnya meningkat.
Penyebab pasti kanker payudara belum diketahui secara pasti, namun
diperkirakan multifaktorial. Proses timbulnya kanker payudara merupakan kejadian
kompleks yang melibatkan berbagai faktor. Ciri-ciri kanker payudara yaitu adanya
benjolan yang ada di dada yang kalau dilihat berbeda dengan daerah
sekitarnya, dan biasanya disertai dengan rasa nyeri. Rasa nyeri pada kanker
payudara biasanya muncul pada stadium lanjut (Lee, 2007). Gejala fisik yang
ditimbulkan oleh kanker secara umum yaitu kelelahan, anoreksia, penurunan berat
badan, demam, muntah dan rasa nyeri. Nyeri yang ditimbulkan memiliki dampak
yang sangat besar pada kualitas hidup pasien dan merupakan gejala yang harus
dipertimbangkan pada terapi kanker, karena hal ini dapat memperburuk kondisi
bahkan dapat menimbulkan kecemasan, kesedihan dan keputusasaan pasien
(Kirsten et al., 2013). Nyeri kanker (cancer pain) merupakan hal yang paling sering
dialami oleh pasien kanker, secara keseluruhan sekitar sepertiganya diterapi dan
hingga 80% nya mengalami nyeri yang luar biasa (Ripamonti et al., 2012). Dalam
konteks seluruh dunia, ada sekitar 28 juta orang hidup dengan menderita kanker
3
dan World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 5,5 jutanya tidak
memperoleh pengobatan yang efektif terhadap nyeri kanker yang dialami pasien
(Foley, 2011).
Nyeri kanker dapat disebabkan oleh kanker secara langsung, pengobatan
kanker, atau kondisi non kanker. Khususnya nyeri kanker, dari 21 negara yang
mewakili lima benua terkumpul data sebanyak 1.095 pasien kanker dengan nyeri
cukup berat sehingga membutuhkan analgesik opioid. Dari hasil penelitian tersebut
penyakit metastatik terjadi sekitar 70% pada pasien nyeri kanker. Nyeri bisa
langsung dikaitkan dengan kanker untuk sebagian besar pasien, meskipun rasa sakit
yang disebabkan oleh pengobatan kanker terjadi pada 1 dari 5 pasien kanker
(Marcus, 2009).
Pada kasus nyeri kanker pada kanker payudara memang membuat seorang
pasien merasa tidak nyaman. Secara klinis 50% kanker payudara terjadi nyeri pada
kanker, bahkan bisa menyebar ke nyeri punggung, nyeri bahu, nyeri dada, tapi
sebagian besar karena metastasis tulang sel-sel kanker menyerang matriks tulang
atau jaringan lunak sekitarnya. Hal ini dapat berpengaruh negatif pada pasien
kanker payudara berupa gangguan psikologis dan perilaku disfungsional. Jika nyeri
kanker tidak diterapi, menyebabkan terjadinya penurunan berbagai aspek kualitas
hidup yang mempengaruhi perkembangan penyakit dan status fungsional pasien
(Schenk, et al., 2008). Kesalahan yang sering terjadi dalam penanganan nyeri
kanker yaitu tidak dilakukannya penilaian nyeri secara adekuat dan semuanya
diterapi dengan analgesik opioid (Thomas & Catherine, 2015).
4
World Health Organization (WHO) mengembangkan pedoman (guidelines)
untuk pengobatan nyeri kanker pada tahun 1986 (revisi tahun 1996), yang bertujuan
untuk menurunkan kesalahan penggunaan analgesik. Pada pedoman (guidelines)
tersebut berisi tentang jenis analgesik yang harus diresepkan dalam terapi nyeri
kanker yang dikelompokkan berdasarkan tingkat nyeri yaitu ringan, sedang, dan
berat. Untuk nyeri ringan, pasien harus menerima setidaknya obat anti inflamasi
nonsteroid (NSAID) atau parasetamol dengan atau tanpa adjuvan. Jika nyeri tidak
berkurang atau meningkat ke tingkat yang sedang, pasien harus diresepkan dengan
opioid lemah misalnya kodein dengan atau tanpa adjuvan. Jika rasa nyeri dirasakan
berat atau tidak bisa diobati dengan opioid lemah, maka direkomendasikan diterapi
dengan opioid kuat dengan atau tanpa adjuvan (Gunita, 2010).
Konsep dasar dalam penatalaksanaan nyeri kanker yang tepat dan sukses
adalah dengan menggunakan opioid dan analgesik non opioid secara individual
yang terkait dengan pemilihan analgesik, dosis serta waktu yang tepat sehingga
dapat memaksimalkan terapi dan meminimalkan efek samping analgesik (Eduardo
& Russell, 2010).
Obat dari golongan opioid dianggap sebagai terapi andalan untuk
penanganan pasien dengan nyeri kanker. Survei dari pasien rawat inap dan rawat
jalan dengan nyeri kanker mengungkapkan bahwa 2 dari 3 pasien mendapatkan
terapi obat yang adekuat. Sebelum penanganan nyeri kanker dilakukan, pasien dan
keluarga pasien sebaiknya diberikan konseling tentang kemungkinan keberhasilan
terapi nyeri, efek samping yang mungkin ditimbulkan akibat penggunaan obat-obat
analgesik dan menginformasikan bahwa kemungkinan sembuh total dari nyeri yang
5
dirasakan tidak mungkin terjadi (Marcus, 2009). Penggunaan opioid sendiri
digunakan untuk pengobatan nyeri dengan intensitas sedang hingga berat.
Pemberian opioid harus dimulai dengan dosis rendah dan dapat ditingkatkan
berdasarkan respon analgesik dan toleransi yang masih dapat diterima oleh tubuh
pasien. Respon yang ditimbulkan oleh obat opioid ini berbeda-beda tergantung dari
pasien dan jenis nyeri (Lussier & Beaulieu, 2015).
Peran NSAID pada penatalaksanaan nyeri kanker sudah terbukti dalam
pengobatan nyeri ringan dan dapat diberikan dengan opioid pada nyeri ringan
hingga sedang. Penggunaan NSAID dapat mengurangi kenaikan dosis opioid atau
memungkinkan penggunaan dosis opioid yang lebih rendah (Oscar, 2006).
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah rumah sakit umum kelas B,
dan juga dapat menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Rumah
sakit ini mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis
terbatas. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta menerima pasien dengan diagnosa
kanker payudara. Penelitian tentang penggunaan analgesik pada pasien kanker
payudara di RS PKU Muhammadiyah belum pernah dilakukan sebelumnya.
Berdasarkan masalah tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
pola terapi penggunaan analgesik pada penatalaksanaan nyeri terhadap pasien
kanker payudara rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode 2014
– 2015.
6
B. Perumusan Masalah
1.
Bagaimanakah pola penggunaan analgesik berdasarkan intensitas nyeri
kanker payudara pada pasien rawat inap di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta periode tahun 2014 hingga 2015?
2.
Bagaimanakah pola penggunaan analgesik sebagai premedikasi operasi
kanker payudara pada pasien rawat inap di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta periode tahun 2014 hingga 2015?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui pola penggunaan analgesik berdasarkan intensitas nyeri
kanker payudara pada pasien rawat inap di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta periode tahun 2014 hingga 2015.
2.
Mengetahui pola penggunaan analgesik sebagai premedikasi operasi
kanker payudara pada pasien rawat inap di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta periode tahun 2014 hingga 2015.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :
1.
Salah satu sumber informasi yang dapat digunakan sebagai masukan dan
sumber data bagi pihak RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta untuk membuat
kebijakan terkait dengan standar terapi dalam formularium rumah sakit.
7
2.
Salah satu sumber pengetahuan dan wawasan bagi peneliti terkait atau
pembaca mengenai pola terapi penggunaan analgesik pada penatalaksanaan
nyeri untuk penyakit kanker payudara.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Kanker
a.
Definisi
Kanker merupakan peningkatan pembelahan sel yang tidak teratur
seperti sel normal yang tumbuh secara terus menerus, tidak terbatas tidak
terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berfungsi secara fisiologis.
Tahap awal perkembangan sel kanker biasanya terbatas pada organ asal sel
kanker, sedangkan kanker tingkat lanjut bisa tumbuh di luar jaringan asal sel
kanker tersebut. Pada kanker tingkat lanjut terjadi karena sel kanker dapat
didistribusikan melalui hematopoietik dan sistem limfatik ke seluruh jaringan
tubuh (Manfred, 2009).
b. Etiologi Kanker
Pada umumnya, kanker timbul karena paparan terhadap suatu
karsinogen secara berkali-kali dan aditif pada dosis tertentu, tetapi pada
keadaan tertentu dapat juga timbul dari dosis tunggal karsinogen (Archer,
1992).
8
Terjadinya kanker dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti radikal
bebas, metabolisme senyawa endogen dan eksogen yang menyebabkan
karsinogenesis, paparan radiasi, merokok, faktor makanan, hormon, maupun
keturunan (Carmen & Navarro, 2010).
Menurut Vogelstein dan Kinzler (1998), kanker tidak disebabkan oleh
agen tunggal tetapi interaksi oleh beberapa faktor yang menyebabkan sel
normal menjadi sel ganas ketika satu atau lebih onkogen diaktifkan. Proses
berubahnya sel normal menjadi sel ganas disebut dengan karsinogenesis.
Karsinogenesis ini dibagi menjadi tiga fase utama yaitu fase inisiasi, fase
promosi, dan fase progresi.
1) Fase Inisiasi
Fase ini berlangsung cepat. Karsinogen kimia misalnya golongan
alkylating dapat langsung menyerang tempat dalam molekul yang banyak
elektronnya, disebut karsinogen nukleofilik. Karsinogen golongan lain
misalnya golongan polycyclic aromatic hydrocarbon sebelum menyerang
dikonversikan (diaktifkan) dulu secara metabolik (kimiawi) menjadi
bentuk defisit elektron yang disebut karsinogen elektrofilik reaktif.
Tempat yang diserang adalah asam nukleat (DNA/ RNA) atau protein
dalam sel terutama di atom nitrogen, oksigen dan sulfur. Air dan glutation
juga diserang, dalam beberapa kasus reaksi ini dikatalisasi oleh enzim
seperti glutathione-S-transferase. Ikatan karsinogen dengan DNA
menghasilkan lesi di materi genetik. RNA yang berikatan dengan
9
karsinogen bermodifikasi menjadi DNA yang dimutasi. Akibatnya terjadi
kerusakan jaringan kronis, perubahan sistem imun tubuh, perubahan
hormon atau berikatan dengan protein yang represif terhadap gen tertentu.
Pada akhir fase inisiasi belum terlihat perubahan histologis dan biokimiawi
hanya terlihat nekrosis sel dengan meningkatnya proliferasi sel (Archer,
1992; Benchimol, 1992).
2) Fase Promosi
Sel terinisiasi dapat tetap tenang bila tidak dihidupkan oleh zat
yang disebut promotor. Promotor sendiri tidak dapat menginduksi
perubahan ke arah neoplasma sebelum bekerja pada sel terinisiasi, hal ini
telah dibuktikan pada percobaan binatang. Bila promotor ditambahkan
pada sel terinisiasi dalam kultur jaringan, sel ini akan berproliferasi. Jadi
promotor adalah zat
proliferatif. Promosi
adalah
proses
yang
menyebabkan sel terinisiasi berkembang menjadi sel preneoplasma oleh
stimulus zat lain (promotor). Pada percobaan binatang dibuktikan terdapat
karsinogen kimia yang bekerja sendiri sebagai inisiator dan promotor
disebut karsinogen komplit (Benchimol, 1992; Hammond, 1975).
3) Fase Progresi
Fase ini berlangsung berbulan-bulan. Pada awal fase ini, sel
preneoplasma dalam stadium metaplasia berkembang progresif menjadi
stadium displasia sebelum menjadi neoplasma. Terjadi ekspansi populasi
sel-sel ini secara spontan dan ireversibel. Sel-sel menjadi kurang responsif
10
terhadap sistem imunitas tubuh dan regulasi sel. Pada esofagus epitel
berlapis gepeng berubah atau metaplasia menjadi epitel selapis torak yang
kemudian berkembang menjadi jaringan dalam keadaan displasia yang
kemudian berkembang menjadi neoplasma. Pada kolon, polip adalah
bentuk metaplasia. Pada tingkat metaplasia dan permulaan displasia
(ringan sampai sedang) masih bisa terjadi regresi atau remisi yang spontan
ke tingkat lebih awal yang frekuensinya makin menurun dengan
bertambahnya progresivitas lesi tersebut. Belum banyak diketahui
perubahan yang terjadi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Batas
yang pasti perubahan lesi preneoplasma menjadi neoplasma sulit
ditentukan. Pada akhir fase ini gambaran histologis dan klinis
menunjukkan keganasan (Hammond, 1975; Ryser, 1975).
2.
Kanker Payudara
a.
Definisi
Kanker payudara adalah suatu keganasan yang berasal dari sel kelenjar,
saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara, tidak termasuk kulit
payudara (Depkes RI, 2009). Dua variabel yang paling terkait dengan kejadian
kanker payudara yaitu umur dan jenis kelamin. Meskipun kanker payudara
risikonya lebih besar pada perempuan, tetapi sekitar 2.030 kasus kanker
payudara terjadi pada laki-laki di Amerika Serikat pada tahun 2007. Kejadian
kanker payudara meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Sebuah
statistik kanker payudara menunjukkan bahwa 1 dari 8 perempuan akan terkena
11
kanker payudara. Statistik lain yang lebih relevan yaitu dengan menggunakan
metode berdasarkan interval umur, yang menunjukkan bahwa risiko
perempuan yang terkena kanker payudara pada rentang umur kurang dari 40
tahun yaitu sekitar 1 dari 233 perempuan, dan lebih dari setengahnya berisiko
pada perempuan dengan umur 60 tahun keatas (Dipiro et al, 2008).
b. Etiologi Kanker Payudara
Penyebab kanker payudara belum diketahui secara pasti, tetapi
sejumlah faktor yang terkait sudah diketahui. Mungkin salah satu faktor yang
paling bermakna adalah umur seorang perempuan ketika memiliki bayi
pertamanya. Memiliki bayi pada usia dini tampaknya memberikan
perlindungan terhadap perempuan terhadap kanker payudara. Kanker payudara
biasanya paling sedikit terjadi pada perempuan yang memiliki bayi pertamanya
saat umur dini, dan sering terjadi pada perempuan yang belum memiliki bayi
pertamanya sampai setelah usia 35 tahun. Hal ini dikaitkan dengan perempuan
yang menyusui bayinya dapat memberikan perlindungan atau mengurangi
risiko terkena kanker payudara meskipun buktinya kurang jelas (Stephens &
Aigner, 2009).
Usia seorang perempuan saat mengalami menstruasi pertama dan usia
menopause juga mempengaruhi terjadinya kanker payudara. Menstruasi dini
dan menopause terlambat dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker
payudara. Menurut Stephens dan Aigner (2009) menyatakan bahwa semakin
lama siklus kehidupan reproduksi perempuan semakin besar risiko
12
perkembangan kanker payudara. Hal ini mungkin disebabkan oleh paparan
produksi estrogen yang berkepanjangan dan berulang.
Kanker payudara sangat berhubungan dengan kelebihan berat badan,
kurang olahraga, dan merokok. Beberapa penelitian telah melaporkan
hubungan kanker payudara dengan diet tinggi lemak, terutama lemak hewani
jenuh, meskipun hal ini belum ditemukan dalam semua studi. Trauma payudara
juga kadang-kadang dicurigai sebagai penyebab kanker payudara tetapi hal ini
belum ada bukti yang pasti. Faktor risiko yang paling besar terhadap terjadinya
kanker payudara adalah riwayat keluarga (Stephens & Aigner, 2009).
Tabel I. Faktor-faktor yang menyebabkan kanker payudara (Kelsey et al., 1993)
No.
Faktor penyebab kanker payudara
1
Menarche dini
2
Menopause terlambat
3
Obesitas (Perempuan postmenopausal)
4
Terapi penggantian estrogen
5
Usia melahirkan anak pertama yang terlalu tua
6
Kontrasepsi oral
7
Nulliparity
Hasil penelitian lain menyatakan bahwa etiologi kanker payudara
merupakan multifaktorial yang melibatkan diet, faktor reproduksi dan
ketidakseimbangan hormon yang terkait. Faktor-faktor risiko yang diketahui
menyebabkan kanker payudara (Tabel I) dapat terjadi karena kumulatif pejanan
dari estrogen dan progesteron. Hormon-hormon ini tidak menjadi genotoksik,
13
tetapi mempengaruhi laju pembelahan sel. Pengaruh hormon-hormon ini
terhadap tingkat kanker payudara dimanifestasikan pada proliferasi dari sel
epitel payudara. Aktivasi onkogen dan inaktivasi gen supresor tumor (misalnya
BRCA1, TP53) menghasilkan perubahan urutan genetik yang menyebabkan
fenotipe ganas.
c.
Manifestasi Klinis Kanker Payudara
Secara umum tanda awal kanker payudara ditandai dengan benjolan
yang tidak nyeri pada payudara, biasanya soliter, unilateral, padat, keras, tidak
teratur, dan tidak dapat digerakkan. Beberapa kasus tanda awal kanker
payudara muncul kemerahan pada benjolan, nyeri, hangat dan pengerasan.
Payudara adalah organ yang kompleks yang terdiri dari kulit, jaringan
subkutan, jaringan lemak, percabangan duktus dan struktur kelenjar. Berbagai
penyakit yang mempengaruhi struktur ini dapat menghasilkan massa yang
teraba. Selain itu, perubahan fisiologis yang berhubungan dengan siklus
menstruasi dapat menyebabkan kelainan payudara. Penyebab umum dari massa
payudara pada wanita adalah fibroadenoma, penyakit fibrokistik, karsinoma,
dan nekrosis lemak (Dipiro et al., 2008).
d. Faktor Risiko
Kanker payudara dapat berkembang akibat 2 faktor risiko utama, yaitu
keseimbangan hormon dan genetik. Hormon yang memainkan peran penting
dalam perkembangan kanker payudara adalah hormon estrogen dan
progesteron. Ketidakseimbangan kedua hormon ini dalam tubuh dapat
14
meningkatkan risiko kanker payudara. Hal tersebut terjadi karena pada sel
payudara terdapat reseptor dari hormon estrogen dan progesteron yang akan
merima sinyal perintah untuk melakukan pembelahan sel. Apabila jumlah
kedua hormon ini meningkat maka akan terjadi pembelahan sel yang
berlebihan yang dapat menjadi kanker (Anonim, 2015).
Gen BRCA, BRCA1, dan BRCA2, merupakan gen supresor kanker
yang berfungsi untuk regulasi transkripsi, perbaikan DNA dan kontrol siklus
sel. Mutasi pada gen ini dapat menyebabkan kanker prostat, payudara,
pankreas, usus besar, dan melanoma (Vinay et al., 2005).
Selain 2 faktor risiko utama tersebut, terdapat pula faktor risiko
pendukung kanker payudara dapat berkembang. Beberapa diantara faktor –
faktor risiko tersebut adalah: (American Cancer Society, 2013; Vinay et al.,
2005).
1) Umur. 2 dari 8 kasus kanker payudara ditemukan pada wanita yang
berumur lebih dari 55 tahun. Selain itu usia yang lebih muda saat
mendapatkan haid pun dapat menambah risiko mendapatkan kanker
payudara.
2) Faktor keturunan. Wanita yang memiliki sejarah keluarga dengan kanker
payudara mempunyai risiko yang lebih besar dibanding dengan wanita
lain.
3) Obesitas. Obesitas dapat meningkatkan risiko terkena kanker payudara
karena jaringan lemak yang berlebihan akan memproduksi hormon
15
estrogen secara berlebihan pula. Selain itu kadar insulin yang tinggi
berkaitan erat dengan beberapa kanker, salah satunya kanker payudara.
4) Paparan hormon estrogen dan progesteron akibat terapi hormon.
Menggunakan terapi hormon saat menopause akan menambah risiko
kanker payudara bahkan risiko kematian akibat kanker tersebut.
5) Alkohol. Wanita yang mengonsumsi 2-5 gelas alkohol per hari
mempunyai 1,5 risiko lebih besar terkena kanker payudara dibandingkan
wanita yang tidak mengonsumsi alkohol. Selain kanker payudara alkohol
juga dapat meningkatkan risiko terkena kanker jenis lainnya.
6) Paparan radiasi. Pada remaja wanita yang pernah melakukan terapi radiasi
di daerah dada sebagai terapi dari penyakit ini, akan meningkatkan risiko
kanker payudara. Hal tersebut dikarenakan payudara masih mengalami
pertumbuhan. Akan tetapi jika terapi radiasi dilakukan setelah umur 40
tahun keatas dimana payudara tidak lagi mengalami pertumbuhan, tidak
akan meningkatkan risiko kanker payudara.
e.
Klasifikasi
1) Berdasarkan Stadium
Stadium penyakit kanker adalah suatu keadaan dari hasil penelitian
dokter saat mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita pasiennya,
sudah sejauh manakah tingkat penyebaran kanker tersebut baik ke organ
16
atau jaringan sekitar maupun penyebaran ke tempat lain. Stadium hanya
dikenal pada tumor ganas atau kanker dan tidak ada pada tumor jinak.
Untuk menentukan suatu stadium, harus dilakukan pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya yaitu histopatologi atau PA,
rontgen, USG, dan bila memungkinkan dengan CT scan, scintigrafi, dan
lain-lain. Banyak sekali cara untuk menentukan stadium, namun yang
paling banyak digunakan saat ini adalah stadium kanker berdasarkan
klasifikasi sistem TNM yang direkomendasikan oleh UICC (International
Union Against Cancer dari World Helath Organization)/AJCC (American
Joint Committee On Cancer yang disponsori oleh American Cancer
Society dan American College of Surgeons).
Menurut The American Joint Commite (2002), tahapan kanker
payudara sebagai berikut:
Stadium 0
: Tidak ditemukan tumor
Stadium Tis
: Kanker insitu terbagi menjadi DCIS (Ductal
Carsinoma In Situ), LCIS (Lobural Carsinoma In
Situ), dan paget.
Stadium I
: Tumor dengan diameter lebih dari 2 cm atau
kurang dan tanpa penyebaran jauh atau regional.
Stadium II
: Tumor dengan diameter lebih dari 2 tetapi kurang
dari 5 cm pada ukuran terbesar.
Stadium III
: Tumor lebih dari 5 cm pada ukuran terbesar.
17
Stadium IV
: Tumor dengan perluasan pada dinding dada
dan/atau kulit (ulserasi atau nodul kulit).
Stadium IVa : Tumor dengan perluasan dinding dada, tapi tidak
hanya
termasuk
otot
pektolaris
adherence/invation.
Stadium IVb : Tumor
mengalami
ulserasi
dan/atau
ipsilateral/satellite nodules dan/atau edema pada
kulit, tetapi tidak termasuk dalam kriteria
inflamasi karsinoma.
Stadium IVc : Kriteria stadium IVb dan IVc.
Stadium IVd : Tumor mengalami inflamasi karsinoma.
2) Sistem TNM
TNM merupakan singkatan dari “T” yaitu tumor size atau ukuran
tumor, “N” yaitu node atau kelenjar getah bening regional dan “M” yaitu
metastasis atau penyebaran jauh. Ketiga faktor T, N, dan M dinilai baik
secara klinis sebelum dilakukan operasi, juga sesudah operasi dan
dilakukan pemeriksaan histopatologi (PA). Pada kanker payudara,
penilaian TNM sebagai berikut:
18
Ukuran Tumor (T)
Tabel II. Klasifikasi Ukuran Tumor Berdasarkan Sistem TNM (Djamaloeddin, 2005)
Ukuran
Tumor (T)
Interpretasi
T0
Tidak ada bukti adanya suatu tumor
Tis
Lobular carninoma in situ (LCIS), ductus carninoma in situ
(DCIS), atau Paget’s disease
T1
T1a
T1b
Diameter tumor ≤ 2cm
Tidak ada pelekatan ke fasia atau otot pektoralis
Dengan pelekatan ke fasia atau otot pektoralis
T2
T2a
T2b
Diameter tumor 2-5 cm
Tidak ada pelekatan ke fasia atau otot pektoralis
Dengan pelekatan ke fasia atau otot pektoralis
T3
T3a
T3b
Diameter tumor ≤ 5 cm
Tidak ada pelekatan ke fasia atau otot pektoralis
Dengan pelekatan ke fasia atau otot pektoralis
T4
Beberapa pun diameternya, tumor telah melekat pada dinding
dada dan mengenai pectoral lymph anode
Dengan fiksasi ke dinding toraks
Dengan edema, infiltrasi, atau ulserasi di kulit
T4a
T4b
Palpable Lymph Node (N)
Tabel III. Klasifikasi Palpable Lymph Node Berdasarkan Sistem TNM
(Djamaloeddin, 2005)
Palpable
Lymph Node
Interpretasi
(N)
N0
Kanker belum menyebar ke lymph node
N1
Kanker telah menyebar ke axillary lymph node ipsilateral dan
dapat digerakkan
N2
Kanker telah menyebar ke axillary lymph node ipsilateral dan
melekat antara satu sama lain (konglumerasi) atau melekat pada
struktur lengan
N3
Kanker telah menyebar ke mammary lymph node atau
supraclavicular lymph node ipsilateral
19
Metastase (M)
Tabel IV. Klasifikasi Metastase Berdasarkan Sistem TNM
(Djamaloeddin, 2005)
Metastase (M)
Interpretasi
M0
Tidak ada metastase ke organ yang jauh
M1
Metastase ke organ jauh
Setelah masing-masing faktor T, N, M didapatkan, ketiga faktor
tersebut kemudian digabungkan dan akan diperoleh stadium kanker seperti
terlihat pada Tabel V.
Tabel V. Stadium Numerik Kanker Payudara Stadium Ukuran Tumor
(Dipiro et al, 2008)
Stadium
Ukuran Tumor
Palpable Lymph Node
Metastase
0
Tis
N0
M0
I
T1
N0
M0
T0, T1
N1
M0
T2
N0
M0
T2
N1
M0
T3
N0
M0
T0, T1, T2, T3
N2
M0
T3
N1
M0
T4
N0
M0
T4
N1
M0
T4
N2
M0
IIIC
T
N3
M0
IV
T
N
M1
IIA
IIB
IIIA
IIIB
20
1) Penanganan Kanker Payudara
Ada beberapa jenis terapi yang dapat diterapkan pada pasien kanker
payudara tergantung pada stadium kanker itu sendiri.
1) Mastektomi
Mastektomi adalah pengangkatan payudara, ada 3 jenis
mastektomi yaitu (Tjindarbumi, 1982):
a) Modified Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh
payudara, jaringan payudara di tulang dada, tulang selangka dan
tulang iga, serta benjolan di sekitar ketiak.
b) Total (Simple) Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh
payudara saja, tetapi bukan kelenjar di ketiak.
c) Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan sebagian dari
payudara. Biasanya disebut lumpectomy, yaitu pengangkatan hanya
pada jaringan yang mengandung sel kanker, bukan seluruh payudara.
Operasi ini selalu diikuti dengan pemberian radioterapi dan
dianjurkan pada pasien yang sel kankernya berukuran 2 cm dan
letaknya dipinggir payudara.
2) Radioterapi
Menurut Desen (2008) radioterapi dibagi menjadi 3 tujuan yaitu:
a) Radioterapi murni kuratif, yaitu digunakan ketika pasien yang
memiliki kontraindikasi atau menolak operasi.
21
b) Radioterapi adjuvan, yaitu terapi radiasi yang penting dalam terapi
kombinasi. Menurut pengaturan waktu dapat dibagi menjadi
radioterapi pra operasi dan pasca operasi. Radioterapi pra operasi
dilakukan pada pasien stadium lanjut lokalisasi sedangkan
radioterapi pasca operasi adalah radioterapi seluruh payudara yang
dapat ditambah radioterapi.
c) Radioterapi paliatif, yaitu terapi untuk pasien kanker payudara
stadium lanjut dengan rekurensi dan metastasis. Tetapi ini digunakan
untuk meredakan nyeri.
3) Kemoterapi
Kemoterapi adalah terapi dengan obat yang dapat membunuh sel
kanker yang dapat diberikan secara intravena atau peroral. Obat tersebut
mengikuti aliran darah untuk mencapai sel kanker pada semua bagian
tubuh. Kemoterapi direkomendasikan berdasarkan ukuran tumor,
stadium tumor, serta ada atau tidaknya keterkaitan limfa nodi (The
American Cancer Society, 2012).
Kemoterapi dapat diberikan dalam berbagai tujuan, yaitu:
a) Neoadjuvan (sebelum tindakan pembedahan)
b) Adjuvan (sesudah tindakan pembedahan)
c) Therapeutic chemotherapy diberikan pada metastatic breast cancer
dengan tujuan paliatif, tanpa menutup kemungkinan memperpanjang
survival.
22
d) Paliatif, sebagai usaha paliatif untuk memperbaiki kualitas hidup
penderita.
e) Metronomic
chemotherapy
(cyclophospamide)
sebagai
anti
angiogenesis.
Tabel VI. Agen Kemoterapi yang sering digunakan pada kasus kanker payudara
berdasarkan American Cancer Society dan National Cancer Comprehensive Network
(NCCN, 2006)
Kemoterapi Adjuvant
Kemoterapi Adjuvant untuk Tumor HER-2 Negatif
FAC/CAF
FEC/CEF
AC
EC
TAC
A CMF
E  CMF
CMF
AC x 4
ATC
FEC  T
fluorouracil/doxorubicin/cyclophosphamide
cyclophosphamide/epirubicin/fluorouracil
doxorubicin/cyclophosphamide dengan atau tanpa paclitaxel
epirubicin/cyclophosphamide
docetaxel/doxorubicin/cyclophosphamide dengan bantuan
filgrastim
doxorubicin dilanjutkan dengan
cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil
epirubicin dilanjutkan dengan
cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil
cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil
doxorubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan paclitaxel
4x, tiap 2 minggu ditambah dengan filgrastim
doxorubicin dilanjutkan dengan paclitaxel dilanjutkan dengan
cyclophosphamide, tiap 2 minggu ditambah dengan filgrastim
fluorouracil/epirubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan
docetaxel
Kemoterapi Adjuvant untuk Tumor HER-2 Positif
Adjuvant :
AC → T +
Trastuzumab
Neoadjuvant :
Doxorubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan paclitaxel
dengan trastuzumab
T + Trastuzumab
→ CEF +
Trastuzumab
Paclitaxel ditambahkan dengan trastuzumab dan dilanjutkan
cyclophosphamide/epirubicin/fluorouracil ditambah
trastuzumab
23
Kemoterapi biasanya menunjukkan hasil yang lebih baik jika
dikombinasi dengan terapi lainnya seperti terapi hormon dan operasi.
Kemoterapi juga digunakan untuk menangani kanker payudara yang
sudah mengalami metastase ke daerah lain, seperti lymph node, serta
kanker payudara kambuhan (NCCN, 2006).
Efek samping umum dari kemoterapi diantaranya kelesuan, mual
dan muntah, rambut rontok, mukositis, sepresi sumsum tulang, dan
tromboemboli (Barber et al., 2008).
3.
Nyeri Kanker
Nyeri
adalah
pengalaman
sensorik
dan
emosional
yang
tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya (aktual) atau potensi kerusakan
jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan tersebut. Nyeri merupakan
persepsi yang kompleks, yang rasanya dapat sangat bervariasi antara satu orang
dengan yang lainya, meskipun mereka mendapatkan cedera atau penyakit yang
relatif sama. Nyeri (pain) berasal dari kata peone (Bahasa Latin) dan poine (Bahasa
Yunani) yang berarti penalti atau hukuman. Menurut Aristoteles, nyeri adalah suatu
perasaan, nafsu jiwa dimana jantung merupakan sumber nyeri tersebut. Menurut
Descartes, Galen, dan Vesalius, nyeri adalah sensasi dimana otak mempunyai peran
utama. Muller, Van Frey, dan Goldscheider (abad 19), mengaitkan nyeri dengan
neuroreseptor, nociseptor, dan input sensorik. Teori-teori tersebut akhirnya
berkembang ke dalam definisi nyeri (Ikawati, 2011).
24
Nyeri kanker biasanya termasuk jenis nyeri kronik (Djoerban et al., 2006).
Nyeri kronik adalah sensasi nyeri terus menerus yang disebabkan oleh kerusakan
jaringan atau penyebab lain, dan sering kali mempengaruhi perilaku dan gaya hidup
penderita. Jenis kanker yang sering disertai rasa nyeri adalah kanker tulang, kanker
mulut, traktus urogenital, payudara, dan paru-paru (Ventafridda, 1988).
Beberapa karakteristik yang membedakan nyeri kanker dengan nyeri kronik
lain adalah nyeri dapat dirasakan di beberapa tempat, jenis nyerinya heterogen
(somatik, viseral, dan neuropatik), intensitasnya relatif berat dan bersifat progresif.
Yang dimaksud dengan progresif adalah biasanya nyeri kanker ditandai dengan
kekambuhan, remisi, kemudian muncul lagi di lokasi yang lain, tergantung dari
respons terapi dan aktivitas penyakit (Slatkin, 2006).
a.
Patofisiologi Nyeri
Ada 4 proses fisiologi terjadinya nyeri secara umum yaitu proses
transduksi (perubahan rangsang menjadi impuls nyeri); transmisi (penerusan
impuls dengan pusat supraspinal); modulasi dan persepsi (interaksi impuls
dengan pusat kognisi dan afeksi, dimana jika impuls telah mencapai korteks
otak akan dirasakan sebagai nyeri (Morgan & Mikhail, 2002).
Transduksi merupakan proses dimana suatu rangsangan nyeri (noxious
stimuli) yang diubah menjadi aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung
saraf sensorik. Rangsangan nyeri tersebut akan menyebabkan keluarnya zat
kimia penghasil nyeri yang terlepas di sekeliling ujung saraf nosiseptif.
Rangsangan nyeri itu sendiri dapat berupa rangsangan fisik (tekanan), suhu
25
(panas), atau kimia (substansi nyeri). Substansi penimbul nyeri dapat berasal
dari: sel yang rusak, sehingga ada zat yang keluar dari sel ke ekstra sel; sintesis
oleh enzim lokal dengan menggunakan bahan yang berasal dari sel yang rusak;
plasma dan sel darah akibat radang yang terjadi sekunder setelah kerusakan
jaringan; sekresi ujung saraf nosiseptif. Jenis senyawa penimbul nyeri tersebut
adalah ion K, asetilkolin, prostaglandin, leukotrin, histamin, serotonin,
bradikidin, ATP, substansi P. Mekanisme terjadinya impuls listrik oleh
senyawa tersebut belum jelas benar, tetapi telah diketahui bahwa sebagian dari
senyawa tersebut seperti asetilkolin, histamin, ATP dan substansi P juga
berfungsi sebagai neurotransmitter (Suryono, 2003; Stoelting & Hillier, 2006).
Transmisi merupakan proses penyaluran impuls dari ujung saraf
nosiseptif oleh beberapa neuron untuk menuju ke korteks otak. Impuls-impuls
nosiseptif ini berjalan menuju modula spinalis melalui saraf sensorik aferen
khusus. Serat-serat bermielin kecil, serat-serat Aδ menghantarkan signal-signal
nosiseptif menuju ke medula spinalis. Kecepatan hantaran oleh serat C jauh
lebih lambat dari kecepatan hantaran serat Aδ. Sebagai serabut saraf pada
kuadran anterior lateral dari spinal cord yang berjalan menuju ke otak, serabut
saraf ini diatur oleh dua jalur yang berbeda yang dikenal sebagai traktus
spinotalamikus untuk mencapai talamus. Traktus spinotalamikus lateral
(neurospinothalamus)
bersinaps
di
bagian
lateral
talamus
dan
memproyeksikan diri pada korteks somatosensori, menunjukkan sensorik dan
aspek diskriminatif dari perasaan nyeri. Traktus spinotalamikus medial
(paleospinotalamikus) mempunyai multipel sinaps pada batang otak, talamus
26
medial dan hipotalamus, kemudian akan berdifusi ke area korteks dan sistem
limbik untuk memberikan informasi dari aspek persepsi nyeri (Suryono, 2003;
Stoelting & Hillier, 2006).
Modulasi adalah proses interaksi antara sistem analgesik endogen
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medula spinalis. Serat-serat
aferen sensorik masuk ke medula spinalis melalui bagian dorsal dan
mengadakan hubungan dengan sel-sel interneuron medula spinalis pada kornu
dorsalis. Umumnya serat-serat Aδ dan serat C bersinaps pada lamina I sampai
IV, pada daerah yang diperantarai oleh substansi P yaitu pada substansi
gelatinosa. Sejumlah neurotransmitter seperti substansi P, glutamat, kalsitonin,
serta sistem reseptor lainnya seperti opioid, alfa adrenergik dan serotonergik,
mengatur proses input nosiseptif pada medula spinalis (Suryono, 2003;
Stoelting & Hillier, 2006)
Persepsi merupakan proses akhir dari interaksi di atas dan pada
akhirnya menimbulkan perasaan yang bersifat subjektif dan pengalaman
emosional yang disebut dengan nyeri serta bersifat individual. Impuls dan
medula spinalis berjalan menuju ke otak melalui suatu proses khusus yaitu
somatosensorik asenden. Persepsi nyeri tergantung derajat kerusakan jaringan
dan modifikasi impuls yang masuk akibat suatu rangsang. Persepsi ini
dipengaruhi oleh suku bangsa, pengalaman terhadap nyeri sebelumnya, rasa
takut, rasa cemas, sedangkan jenis kelamin tidak terlalu memperlihatkan
perbedaan (Morgan & Mikhail, 2002).
27
b. Klasifikasi
Berdasarkan lamanya nyeri, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan
nyeri kronis, yang berbeda cukup signifikan.
1) Nyeri Akut
Nyeri karena memiliki penyebab mengidentifikasi dan diharapkan
dapat disembuhkan dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, rasa sakit yang
dialami selama endotrakeal suction atau ganti perubahan posisi bisa
diharapkan berakhir ketika pengobatan selesai. Demikian pula nyeri pada
insisi atau daerah cedera diharapkan berhenti begitu sembuh.
2) Nyeri Kronis
Nyeri ini disebabkan oleh mekanisme fisiologis yang kurang
dipahami dengan baik. Nyeri kronis berbeda dengan nyeri akut, dapat
berlangsung untuk jangka waktu yang harus diidentifikasi lebih lama dan
mungkin khusus atau tidak mungkin untuk terobati sepenuhnya. Banyak
pasien kritis di ICU terutama mereka yang berusia lanjut, mengalami baik
nyeri akut dan kronis sekaligus.
Berdasarkan asalnya, nyeri terbagi menjadi nyeri nosiseptif dan
nyeri neuropati. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh
stimulasi langsung pada reseptor nyeri, baik secara mekanis, atau melalui
rangsang kimia atau panas. Nyeri nosiseptif dibedakan menjadi 2 jenis,
yaitu nyeri somatik dan visceral (Ikawati, 2011). Nyeri visceral melibatkan
28
organ-organ dalam tubuh. Nyeri diakibatkan karena kerusakan jaringan
pada organ, misalnya pada hati. Nyeri tidak dapat ditunjukkan, tetapi nyeri
dapat digambarkan seperti nyeri perut, rasa tajam. Nyeri somatik
melibatkan kulit, tulang, dan otot pada bagian tertentu. Nyeri neuropatik
disebabkan karena adanya penekanan pada struktur perifer atau sentral
sistem saraf pusat (Anonim, 2005a).
c.
Faktor-faktor Nyeri Kanker
Nyeri yang ditimbulkan oleh pasien kanker dapat terjadi sebagai
dampak dari kanker itu sendiri, komplikasi dari pengobatan kanker seperti
pembedahan, kemoterapi, atau radioterapi dan penyebab lain yang tidak
berhubungan dengan kanker (Weingart et al., 2012). Beberapa faktor-faktor
nyeri yang ditimbulkan oleh penderita kanker yaitu:
1) Kanker itu sendiri
Menurut Sukardja (2000), nyeri disebabkan oleh kanker itu sendiri
sebanyak 70%. Kejadian nyeri kanker semakin meningkat bersamaan
dengan meningkatnya progresivitas penyakit yaitu sebesar 28% pasien
kanker stadium awal, 50-70% pasien kanker yang mendapat kemoterapi,
dan 64-80% pasien yang telah berada pada tahap akhir penyakit (Van den
Beuken et al., 2007). Nyeri dapat terjadi pada 50-70% penderita kanker
stadium awal dan 90% pada pasien kanker dengan stadium lanjut (Daut &
Cleeland, 1982).
29
Pada dasarnya, mekanisme patofisiologi nyeri kanker secara umum
tidak diketahui secara pasti. Namun perubahan neuropharmacologic dan
neurophysiologic pada tulang, jaringan lunak, pembuluh limfe, pembuluh
darah, syaraf dan vicera akan mengaktivasi dan membuat nociceptor dan
mechanoreceptor lebih intensif. Hal ini disebabkan karena faktor mekanis
(infiltrasi dan tekanan tumor) atau stimulus kimia (metastasis ke tulang)
sehingga menyebabkan nyeri akut, intermiten dan berkelanjutan (Foley,
1986). Dari semua penderita nyeri, 1/5 nyeri hanya pada satu tempat, 3/5
nyeri pada dua hingga tiga tempat, sedangkan 1/5 sisanya mengalami nyeri
lebih dari empat tempat (Sukardja, 2000).
2) Komplikasi pengobatan kanker
Pengobatan kanker juga dapat mempengaruhi nyeri pada pasien
kanker (Hagen, 2010). Sebanyak 10-20% nyeri pada pasien kanker
disebabkan oleh komplikasi bedah (infeksi, hematom, edema, fibrosis),
komplikasi radioterapi (radionekrose, dermatitis, fibrosis), dan komplikasi
kemoterapi (neuritis, miosistis, mukositis) (Sukardja, 2000).
Nyeri diakibatkan oleh prosedur terapi dalam pemeriksaan invasif
seperti aspirasi jarum halus, pemeriksaan radiologi dengan kontras, dan
pungki lumbal atau tindakan biopsi sumsum tulang, baik insisional
maupun eksesional (Lebovits, 2006). Nyeri juga terjadi akibat efek
samping atau toksisitas pengobatan yang disebabkan oleh kemoterapi atau
radiasi (McGuire, 2004).
30
3) Faktor lain yang tidak berhubungan dengan kanker
Nyeri secara tidak langsung dipengaruhi oleh kondisi lain yang
tidak berhubungan dengan kanker seperti konstipasi, emboli paru,
dekubitus, kandidiasis, neuralgia pasca herpes, kontraksi otot, dan
trombosis vena (Kusumawati, 2008). Sedangkan penyakit lain yang dapat
menimbulkan rasa nyeri antara lain penyakit muskuloskeletal, arthtritis,
penyakit kardiovaskuler, dan migrain (Sukardja, 2000).
d. Penilaian Derajat Nyeri
Penilaian nyeri kanker membutuhkan anamnesis yang lengkap serta
pemeriksaan fisik yang menyeluruh karena penilaian yang tidak adekuat akan
menjadi penghalang penatalaksanaan yang efektif (Djoerban et al., 2006).
Anamnesis harus diarahkan pada karakteristik nyeri, lokasi nyeri, waktu
timbulnya nyeri, intensitas nyeri, berat ringannya nyeri, dan faktor-faktor yang
memperberat atau meringankan nyeri (Eisenberg et al., 1996). Pengkajian dan
pengukuran derajat nyeri pada pasien kanker harus dapat mengakomodasi
kompleksitas dan multidimensial pengalaman nyeri. Pengukuran nyeri
bertujuan untuk
membantu
dalam memutuskan pilihan terapi dan
mengevaluasi keefektifan relatif dari terapi yang diberikan (Melzack & Katz,
2004).
Saat ini terdapat lebih dari 100 metode untuk mengukur rasa nyeri. Alat
(instrumen) untuk mengukur nyeri hendaknya mudah dimengerti dan
digunakan serta mudah dinilai dan sensitif terhadap perubahan kecil dalam
31
intensitas nyeri. Instrumen yang paling sering digunakan adalah pengukuran
intensitas nyeri undimensional yang menggunakan analog visual (visual
analogue) atau peringkat numerik (numerical ratting) (Djoerban et al., 2006).
1) Skala analog visual (Visual Analogue Scale/ VAS)
VAS merupakan garis horizontal skala sepanjang 100 mm dengan
penilaian dari ujung awal yang mengidentifikasikan “tidak ada nyeri”
hingga ujung akhir yang menyatakan “nyeri senyeri-nyerinya” (Melzack,
1998). Dalam pengkajian, pasien diminta untuk memberikan nilai pada
garis sesuai dengan tingkat nyeri yang dirasakan. Intensitas nyeri dinilai
dengan mengukur jauh jarak titik yang ditunjuk oleh pasien dari titik “tidak
nyeri” (Fuller dan Ayers, 2000). VAS merupakan instrumen yang sering
digunakan dalam penelitian untuk mengukur nyeri secara cepat.
0 (mm)
tidak ada nyeri
100(mm)
sangat nyeri
Gambar 1. Skala analog visual (Visual Analogue Scale / VAS)
2) Numerical Ratting Scale (NRS)
NRS merupakan garis horizontal berisi rentang intensitas nyeri.
Skala yang digunakan adalah 0 sampai 5, 0 sampai 10, atau 0 sampai 100.
Nol menunjukkan bahwa tidak ada nyeri dan skor tertinggi menunjukkan
nyeri senyeri-nyerinya. (Purwandaru, 2007). Interpretasi NSR adalah nilai
32
1-4 menunjukkan nyeri ringan, 5-7 nyeri sedang, dan 8-10 nyeri berat
(Breivik et al., 2006).
Nyeri Ringan
Nyeri Sedang
Nyeri Berat
Gambar 2. Numerical Ratting Scale (NRS)
3) Faces Pain Rating Scale
Skala ini menggambarkan enam sketsa wajah masing-masing
dengan nilai angka, dimulai dengan senang, senyum sampai dengan sedih
dan menangis. Skala ini disertakan dengan tidak nyeri sampai dengan nyeri
sangat hebat (Wong et al., 1999).
Gambar 3. Face Pain Rating Scale
e.
Terapi Nyeri
Pada tahun 1986, World Health Organization (WHO) mengusulkan
strategi penanganan nyeri kanker yang dikenal dengan WHO 3-step ladder.
Berdasarkan WHO 3-step ladder, penanganan nyeri kanker dimulai dengan
pemberian non opioid kemudian opioid lemah serta opioid kuat. Berdasarkan
33
WHO analgesik opioid adalah pilihan utama dalam penanganan nyeri dan
diklasifikasikan berdasarkan kemampuan dalam mengatasi nyeri, mulai dari
nyeri ringan, nyeri ringan hingga sedang, dan sedang hingga berat. Analgesik
opioid sering dikombinasikan dengan obat non opioid seperti parasetamol atau
dengan non streroid anti-inflammatory drugs (NSAIDs) dan dengan adjuvan
seperti antidepresan, antikonvulsan, anestesi lokal, injeksi pada titik pemicu
untuk terapi spasme otot, injeksi streroid untuk mengurangi inflamasi jaringan,
dan akupuntur (Ikawati, 2011).
Pemberian obat untuk menangani nyeri kanker berpedoman pada
metode WHO dengan konsep dasar:
1) Melalui mulut (by the oral)
Upayakan pemberian obat secara oral selama mungkin sepanjang
penderita masih bisa menggunakan obat peroral.
2) Berdasarkan jam/waktu (by the clock)
Obat harus diberikan secara reguler menurut waktunya yang telah
ditentukan dan sesuai dosis sampai penderita merasa bebas nyeri. Dosis
berikutnya harus diberikan sebelum kerja obat selesai, hanya dengan cara
ini maka nyeri dapat terkontrol secara kontinu.
3) Berdasarkan anak tangga (by the ladder)
Obat diberikan berdasarkan anak tangga analgesik WHO, bagi
pasien dengan nyeri ringan sedang (anak tangga 1-WHO) diberikan
analgesik non opioid misalnya aspirin, parasetamol, dan NSAID dengan
34
atau tanpa adjuvan, jika nyeri meningkat (anak tangga 2-WHO) diberikan
analgesik opioid lemah misalnya kodein, dengan atau tanpa adjuvan, jika
nyeri meningkat (anak tangga 3-WHO) akan mendapat analgesik opioid
kuat misalnya morfin, dengan atau tanpa analgesik non opioid dan
adjuvan.
Gambar 4. WHO 3-step analgesic ladder
a) Nyeri ringan
Analgesik non opioid seperti parasetamol dan/atau obat NSAID
diindikasikan untuk terapi nyeri ringan. Obat-obat tersebut juga sangat
berguna untuk nyeri tulang dan nyeri jaringan lunak. Pada pasien nyeri
35
ringan yang menggunakan parasetamol, perlu adanya kontrol dosis
terutama bagi pasien yang memiliki disfungsi hati karena penyakit
metastasis atau kemoterapi, terutama jika ada riwayat penyakit akibat
penyalahgunaan alkohol. Penggunaan NSAID pada pasien yang
memiliki riwayat penyakit lambung dapat diminimalkan dengan
penggunaan jangka pendek, pilihan utamanya adalah agen selektif
cyclooxygenase-2 (COX-2) dan/atau inhibitor pompa proton atau
misoprostol. Trombositopenia atau disfungsi trombosit yang umumnya
terjadi baik karena kanker atau karena terapi kanker, akan kontraindikasi
pada penggunaan NSAID non selektif tetapi tidak pada agen selektif
COX-2.
b) Nyeri sedang
Penggunaan opioid lemah disarankan jika nyeri yang dirasakan
oleh pasien pada step 1 WHO 3-step ladder tidak terkontrol, seperti
kodein maupun tramadol.
c) Nyeri kuat
Nyeri berat biasanya ditanggulangi dengan immediate release
morphine. Preparat ini memiliki waktu paruh 2-4 jam. Dosis obat ini
adalah 1-2-mg setiap 3-4 jam, dengan dosis maksimal 400 mg/hari.
Setelah kebutuhan harian dapat ditentukan, preparat dapat diubah
menjadi sustained release morphine. Morpin jenis ini dapat diberikan
setiap 8-12 jam (Dureja, 2004; Edward et al., 2006).
36
f.
Obat Analgesik
Terdapat 2 macam analgesik untuk kanker yaitu analgesik murni yang
bekerja langsung untuk menghilangkan rasa nyeri dan koanalgesik yang
bekerja memperkuat efek obat-obat analgesik murni dalam upaya
menghilangkan rasa nyeri pada kanker. Beberapa contoh obat analgesik murni
yaitu non opioid (aspirin, parasetamol, NSAID), weak opioid (kodein,
dihidrokodein, dextropropoxyphene), dan strong opioid (morfin, diamorfin,
fenazocine, oxycodone, fentanil). Sedangkan obat-obat koanalgesik yang
sering digunakan adalah kortikosteroid, relaksan otot (diazepam, baclofen,
dantrolone), obat-obat psikotropik (phenotiazines, butirophenone dan
benzodiazepin, antidepresan dan antikonfulsan).
Penggunaan obat untuk mengatasi nyeri bersifat individual, 3 golongan
obat yang dipakai baik secara tunggal ataupun kombinasi untuk penanganan
nyeri penderita kanker yaitu:
1) Analgesik non opioid
Analgesik non opioid mempunyai khasiat analgesik dan
antipiretik, mempunyai batas khasiat maksimal tidak menimbulkan
toleransi, ketergantungan fisik maupun psikis. Cara kerja analgesik non
opioid adalah menghambat enzim siklooksigenase sehingga menghambat
pembentukan prostaglandin termasuk prostaglandin E2. Prostaglandin E2
mengadakan sensitisasi reseptor nyeri pada saraf perifer terhadap
penghantaran rasa nyeri, yang termasuk obat analgesik non opioid adalah
37
aspirin, parasetamol, obat anti inflamasi dan obat non steroid lainnya
(Padzdur et al., 2001).
2) Analgesik opioid
Obat analgesik opioid menekan rasa nyeri dengan cara
menghambat penerusan rasa nyeri dalam susunan saraf pusat (SSP). Yang
termasuk analgesik opioid adalah kodein, morfin, fentanil transdermal
(Padzdur et al., 2001). Kombinasi analgesik non opioid dan opioid dapat
memberikan khasiat yang lebih besar.
3) Analgesik adjuvan
Adjuvan adalah obat yang membantu mengurangi nyeri, obat ini
dapat diberikan pada semua intensitas nyeri sebagai tambahan, obat yang
termasuk kelompok ini antara lain:
a) Antikonvulsan
Karbamazepin, gabapentin merupakan obat-obatan yang mampu
menekan spontaneous neural firing, obat-obat ini sangat efektif dalam
mengobati neuralgia. Pada penderita kanker obat-obat ini sangat
bermanfaat untuk pengelolaan nyeri feaferensasi yang nyerinya sering
bersifat shooting pain. Dosis awal karbamazepin 100 mg/hari yang
dinaikkan 100 mg/hari selama 3-4 hari sampai mencapai dosis total 400
mg. Dosis awal gabapentin dimulai dengan 100 mg/hari dan dititrasi
sampai pasien dapat mentoleransi efek samping (Kumar et al., 2002).
38
b) Antidepresan
Anti depresan tidak hanya digunakan untuk mengatasi gejala
depresi tapi juga berguna untuk mengontrol nyeri deaferensasi. Golongan
trisiklik meliputi imiramin, amitriptilin merupakan anti depresan yang
banyak digunakan. Dosis 10-25 mg diberikan sekali pada malam hari
dapat menghilangkan nyeri deaferensasi disertai peningkatan tidur. Dosis
ini dapat dinaikkan menjadi 50-75 mg guna memperoleh efek anti depresi
yang optimal, obat ini digunakan karena sekitar 25% penderita nyeri
kanker mengalami depresi (Kumar et al., 2002).
c) Neuroleptik
Klorpromazin merupakan obat neuroleptik yang tidak memiliki
daya analgesik tetapi dapat mengurangi kecemasan yang akan menambah
perluasan nyeri. Dosis 10-25 mg setiap 4-8 jam (Kumar et al., 2002).
d) Ansiolitik
Diazepam merupakan yang paling banyak digunakan untuk
pengobatan kecemasan dan mencegah spasme otot, umumnya
kecemasan timbul bersamaan dengan timbulnya rasa nyeri, namun
kecemasan biasanya hilang bersamaan dengan hilangnya nyeri. Dosis 510 mg diberikan per oral 1-2 kali sehari (Kumar et al., 2002).
e) Kortikostreroid
Prednisolon dan deksametason yang paling sering digunakan
sangat berguna untuk menghilangkan nyeri akibat adanya kompresi pada
39
saraf, mengurangi nyeri tulang, serta mengurangi sakit kepala karena
peningkatan tekanan intrakranial. Untuk nyeri akibat kompresi saraf
dosis prednisolon 10 mg dan deksametason 4 mg per oral tiap 6-8 jam.
Dosis ini dapat diturunkan setelah pemberian melebihi 7-10 hari (Kumar
et al., 2002).
F. Keterangan Empirik
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola penggunaan analgesik
berdasarkan intensitas nyeri dan pola penggunaan analgesik pada premedikasi
operasi terhadap penderita kanker payudara pada pasien rawat inap di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta periode 2014 – 2015.
Download