BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering terjadi pada wanita baik di negara maju maupun kurang berkembang. Diperkirakan bahwa di seluruh dunia lebih dari 508.000 perempuan meninggal tahun 2011 karena kanker payudara (WHO 2013). Meskipun kanker payudara dianggap sebagai penyakit negara maju, tetapi hampir 50% kasus kanker payudara dan 58% kematian terjadi di negaranegara kurang berkembang (Ferlay et al., 2010). Angka kejadian kanker payudara sangat bervariasi di seluruh dunia dari 19,3 per 100.000 perempuan di Afrika Timur, 89,7 per 100.000 perempuan di Eropa Barat dan yang tinggi (lebih dari 80 per 100.000) terjadi di Negara-negara maju kecuali Jepang. Sedangkan angka kejadian di Negara berkembang yaitu sekitar kurang dari 40 per 100.000. Angka kejadian kanker payudara terendah ditemukan di negara – negara Afrika, tetapi angka kejadian kanker payudara tiap tahunnya meningkat (Ferlay et al., 2010). Di Indonesia sendiri berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) pada tahun 2010, kanker menjadi penyebab kematian nomor 3 dengan kejadian 7,7% dari seluruh penyebab kematian karena penyakit tidak menular, setelah stroke dan penyakit jantung. Sementara itu, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia (16,85%), disusul kanker leher 1 2 rahim (11,78%) berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007. Sedangkan pada tahun 2013 terjadi peningkatan angka kejadian penderita kanker berdasarkan data SIRS dengan proporsi sebesar 28,7% untuk kanker payudara, dan kanker leher rahim 12,8%, leukemia 10,4%, limfoma 8,3% dan kanker paru 7,8% pada pasien rawat inap maupun rawat jalan di seluruh RS di Indonesia (Depkes, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa kanker, khususnya kanker payudara merupakan penyakit yang memiliki angka kejadian tinggi bahkan tiap tahunnya meningkat. Penyebab pasti kanker payudara belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan multifaktorial. Proses timbulnya kanker payudara merupakan kejadian kompleks yang melibatkan berbagai faktor. Ciri-ciri kanker payudara yaitu adanya benjolan yang ada di dada yang kalau dilihat berbeda dengan daerah sekitarnya, dan biasanya disertai dengan rasa nyeri. Rasa nyeri pada kanker payudara biasanya muncul pada stadium lanjut (Lee, 2007). Gejala fisik yang ditimbulkan oleh kanker secara umum yaitu kelelahan, anoreksia, penurunan berat badan, demam, muntah dan rasa nyeri. Nyeri yang ditimbulkan memiliki dampak yang sangat besar pada kualitas hidup pasien dan merupakan gejala yang harus dipertimbangkan pada terapi kanker, karena hal ini dapat memperburuk kondisi bahkan dapat menimbulkan kecemasan, kesedihan dan keputusasaan pasien (Kirsten et al., 2013). Nyeri kanker (cancer pain) merupakan hal yang paling sering dialami oleh pasien kanker, secara keseluruhan sekitar sepertiganya diterapi dan hingga 80% nya mengalami nyeri yang luar biasa (Ripamonti et al., 2012). Dalam konteks seluruh dunia, ada sekitar 28 juta orang hidup dengan menderita kanker 3 dan World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 5,5 jutanya tidak memperoleh pengobatan yang efektif terhadap nyeri kanker yang dialami pasien (Foley, 2011). Nyeri kanker dapat disebabkan oleh kanker secara langsung, pengobatan kanker, atau kondisi non kanker. Khususnya nyeri kanker, dari 21 negara yang mewakili lima benua terkumpul data sebanyak 1.095 pasien kanker dengan nyeri cukup berat sehingga membutuhkan analgesik opioid. Dari hasil penelitian tersebut penyakit metastatik terjadi sekitar 70% pada pasien nyeri kanker. Nyeri bisa langsung dikaitkan dengan kanker untuk sebagian besar pasien, meskipun rasa sakit yang disebabkan oleh pengobatan kanker terjadi pada 1 dari 5 pasien kanker (Marcus, 2009). Pada kasus nyeri kanker pada kanker payudara memang membuat seorang pasien merasa tidak nyaman. Secara klinis 50% kanker payudara terjadi nyeri pada kanker, bahkan bisa menyebar ke nyeri punggung, nyeri bahu, nyeri dada, tapi sebagian besar karena metastasis tulang sel-sel kanker menyerang matriks tulang atau jaringan lunak sekitarnya. Hal ini dapat berpengaruh negatif pada pasien kanker payudara berupa gangguan psikologis dan perilaku disfungsional. Jika nyeri kanker tidak diterapi, menyebabkan terjadinya penurunan berbagai aspek kualitas hidup yang mempengaruhi perkembangan penyakit dan status fungsional pasien (Schenk, et al., 2008). Kesalahan yang sering terjadi dalam penanganan nyeri kanker yaitu tidak dilakukannya penilaian nyeri secara adekuat dan semuanya diterapi dengan analgesik opioid (Thomas & Catherine, 2015). 4 World Health Organization (WHO) mengembangkan pedoman (guidelines) untuk pengobatan nyeri kanker pada tahun 1986 (revisi tahun 1996), yang bertujuan untuk menurunkan kesalahan penggunaan analgesik. Pada pedoman (guidelines) tersebut berisi tentang jenis analgesik yang harus diresepkan dalam terapi nyeri kanker yang dikelompokkan berdasarkan tingkat nyeri yaitu ringan, sedang, dan berat. Untuk nyeri ringan, pasien harus menerima setidaknya obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) atau parasetamol dengan atau tanpa adjuvan. Jika nyeri tidak berkurang atau meningkat ke tingkat yang sedang, pasien harus diresepkan dengan opioid lemah misalnya kodein dengan atau tanpa adjuvan. Jika rasa nyeri dirasakan berat atau tidak bisa diobati dengan opioid lemah, maka direkomendasikan diterapi dengan opioid kuat dengan atau tanpa adjuvan (Gunita, 2010). Konsep dasar dalam penatalaksanaan nyeri kanker yang tepat dan sukses adalah dengan menggunakan opioid dan analgesik non opioid secara individual yang terkait dengan pemilihan analgesik, dosis serta waktu yang tepat sehingga dapat memaksimalkan terapi dan meminimalkan efek samping analgesik (Eduardo & Russell, 2010). Obat dari golongan opioid dianggap sebagai terapi andalan untuk penanganan pasien dengan nyeri kanker. Survei dari pasien rawat inap dan rawat jalan dengan nyeri kanker mengungkapkan bahwa 2 dari 3 pasien mendapatkan terapi obat yang adekuat. Sebelum penanganan nyeri kanker dilakukan, pasien dan keluarga pasien sebaiknya diberikan konseling tentang kemungkinan keberhasilan terapi nyeri, efek samping yang mungkin ditimbulkan akibat penggunaan obat-obat analgesik dan menginformasikan bahwa kemungkinan sembuh total dari nyeri yang 5 dirasakan tidak mungkin terjadi (Marcus, 2009). Penggunaan opioid sendiri digunakan untuk pengobatan nyeri dengan intensitas sedang hingga berat. Pemberian opioid harus dimulai dengan dosis rendah dan dapat ditingkatkan berdasarkan respon analgesik dan toleransi yang masih dapat diterima oleh tubuh pasien. Respon yang ditimbulkan oleh obat opioid ini berbeda-beda tergantung dari pasien dan jenis nyeri (Lussier & Beaulieu, 2015). Peran NSAID pada penatalaksanaan nyeri kanker sudah terbukti dalam pengobatan nyeri ringan dan dapat diberikan dengan opioid pada nyeri ringan hingga sedang. Penggunaan NSAID dapat mengurangi kenaikan dosis opioid atau memungkinkan penggunaan dosis opioid yang lebih rendah (Oscar, 2006). RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah rumah sakit umum kelas B, dan juga dapat menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Rumah sakit ini mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis terbatas. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta menerima pasien dengan diagnosa kanker payudara. Penelitian tentang penggunaan analgesik pada pasien kanker payudara di RS PKU Muhammadiyah belum pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan masalah tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pola terapi penggunaan analgesik pada penatalaksanaan nyeri terhadap pasien kanker payudara rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode 2014 – 2015. 6 B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pola penggunaan analgesik berdasarkan intensitas nyeri kanker payudara pada pasien rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2014 hingga 2015? 2. Bagaimanakah pola penggunaan analgesik sebagai premedikasi operasi kanker payudara pada pasien rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2014 hingga 2015? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola penggunaan analgesik berdasarkan intensitas nyeri kanker payudara pada pasien rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2014 hingga 2015. 2. Mengetahui pola penggunaan analgesik sebagai premedikasi operasi kanker payudara pada pasien rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2014 hingga 2015. D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai : 1. Salah satu sumber informasi yang dapat digunakan sebagai masukan dan sumber data bagi pihak RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta untuk membuat kebijakan terkait dengan standar terapi dalam formularium rumah sakit. 7 2. Salah satu sumber pengetahuan dan wawasan bagi peneliti terkait atau pembaca mengenai pola terapi penggunaan analgesik pada penatalaksanaan nyeri untuk penyakit kanker payudara. E. Tinjauan Pustaka 1. Kanker a. Definisi Kanker merupakan peningkatan pembelahan sel yang tidak teratur seperti sel normal yang tumbuh secara terus menerus, tidak terbatas tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berfungsi secara fisiologis. Tahap awal perkembangan sel kanker biasanya terbatas pada organ asal sel kanker, sedangkan kanker tingkat lanjut bisa tumbuh di luar jaringan asal sel kanker tersebut. Pada kanker tingkat lanjut terjadi karena sel kanker dapat didistribusikan melalui hematopoietik dan sistem limfatik ke seluruh jaringan tubuh (Manfred, 2009). b. Etiologi Kanker Pada umumnya, kanker timbul karena paparan terhadap suatu karsinogen secara berkali-kali dan aditif pada dosis tertentu, tetapi pada keadaan tertentu dapat juga timbul dari dosis tunggal karsinogen (Archer, 1992). 8 Terjadinya kanker dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti radikal bebas, metabolisme senyawa endogen dan eksogen yang menyebabkan karsinogenesis, paparan radiasi, merokok, faktor makanan, hormon, maupun keturunan (Carmen & Navarro, 2010). Menurut Vogelstein dan Kinzler (1998), kanker tidak disebabkan oleh agen tunggal tetapi interaksi oleh beberapa faktor yang menyebabkan sel normal menjadi sel ganas ketika satu atau lebih onkogen diaktifkan. Proses berubahnya sel normal menjadi sel ganas disebut dengan karsinogenesis. Karsinogenesis ini dibagi menjadi tiga fase utama yaitu fase inisiasi, fase promosi, dan fase progresi. 1) Fase Inisiasi Fase ini berlangsung cepat. Karsinogen kimia misalnya golongan alkylating dapat langsung menyerang tempat dalam molekul yang banyak elektronnya, disebut karsinogen nukleofilik. Karsinogen golongan lain misalnya golongan polycyclic aromatic hydrocarbon sebelum menyerang dikonversikan (diaktifkan) dulu secara metabolik (kimiawi) menjadi bentuk defisit elektron yang disebut karsinogen elektrofilik reaktif. Tempat yang diserang adalah asam nukleat (DNA/ RNA) atau protein dalam sel terutama di atom nitrogen, oksigen dan sulfur. Air dan glutation juga diserang, dalam beberapa kasus reaksi ini dikatalisasi oleh enzim seperti glutathione-S-transferase. Ikatan karsinogen dengan DNA menghasilkan lesi di materi genetik. RNA yang berikatan dengan 9 karsinogen bermodifikasi menjadi DNA yang dimutasi. Akibatnya terjadi kerusakan jaringan kronis, perubahan sistem imun tubuh, perubahan hormon atau berikatan dengan protein yang represif terhadap gen tertentu. Pada akhir fase inisiasi belum terlihat perubahan histologis dan biokimiawi hanya terlihat nekrosis sel dengan meningkatnya proliferasi sel (Archer, 1992; Benchimol, 1992). 2) Fase Promosi Sel terinisiasi dapat tetap tenang bila tidak dihidupkan oleh zat yang disebut promotor. Promotor sendiri tidak dapat menginduksi perubahan ke arah neoplasma sebelum bekerja pada sel terinisiasi, hal ini telah dibuktikan pada percobaan binatang. Bila promotor ditambahkan pada sel terinisiasi dalam kultur jaringan, sel ini akan berproliferasi. Jadi promotor adalah zat proliferatif. Promosi adalah proses yang menyebabkan sel terinisiasi berkembang menjadi sel preneoplasma oleh stimulus zat lain (promotor). Pada percobaan binatang dibuktikan terdapat karsinogen kimia yang bekerja sendiri sebagai inisiator dan promotor disebut karsinogen komplit (Benchimol, 1992; Hammond, 1975). 3) Fase Progresi Fase ini berlangsung berbulan-bulan. Pada awal fase ini, sel preneoplasma dalam stadium metaplasia berkembang progresif menjadi stadium displasia sebelum menjadi neoplasma. Terjadi ekspansi populasi sel-sel ini secara spontan dan ireversibel. Sel-sel menjadi kurang responsif 10 terhadap sistem imunitas tubuh dan regulasi sel. Pada esofagus epitel berlapis gepeng berubah atau metaplasia menjadi epitel selapis torak yang kemudian berkembang menjadi jaringan dalam keadaan displasia yang kemudian berkembang menjadi neoplasma. Pada kolon, polip adalah bentuk metaplasia. Pada tingkat metaplasia dan permulaan displasia (ringan sampai sedang) masih bisa terjadi regresi atau remisi yang spontan ke tingkat lebih awal yang frekuensinya makin menurun dengan bertambahnya progresivitas lesi tersebut. Belum banyak diketahui perubahan yang terjadi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Batas yang pasti perubahan lesi preneoplasma menjadi neoplasma sulit ditentukan. Pada akhir fase ini gambaran histologis dan klinis menunjukkan keganasan (Hammond, 1975; Ryser, 1975). 2. Kanker Payudara a. Definisi Kanker payudara adalah suatu keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara (Depkes RI, 2009). Dua variabel yang paling terkait dengan kejadian kanker payudara yaitu umur dan jenis kelamin. Meskipun kanker payudara risikonya lebih besar pada perempuan, tetapi sekitar 2.030 kasus kanker payudara terjadi pada laki-laki di Amerika Serikat pada tahun 2007. Kejadian kanker payudara meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Sebuah statistik kanker payudara menunjukkan bahwa 1 dari 8 perempuan akan terkena 11 kanker payudara. Statistik lain yang lebih relevan yaitu dengan menggunakan metode berdasarkan interval umur, yang menunjukkan bahwa risiko perempuan yang terkena kanker payudara pada rentang umur kurang dari 40 tahun yaitu sekitar 1 dari 233 perempuan, dan lebih dari setengahnya berisiko pada perempuan dengan umur 60 tahun keatas (Dipiro et al, 2008). b. Etiologi Kanker Payudara Penyebab kanker payudara belum diketahui secara pasti, tetapi sejumlah faktor yang terkait sudah diketahui. Mungkin salah satu faktor yang paling bermakna adalah umur seorang perempuan ketika memiliki bayi pertamanya. Memiliki bayi pada usia dini tampaknya memberikan perlindungan terhadap perempuan terhadap kanker payudara. Kanker payudara biasanya paling sedikit terjadi pada perempuan yang memiliki bayi pertamanya saat umur dini, dan sering terjadi pada perempuan yang belum memiliki bayi pertamanya sampai setelah usia 35 tahun. Hal ini dikaitkan dengan perempuan yang menyusui bayinya dapat memberikan perlindungan atau mengurangi risiko terkena kanker payudara meskipun buktinya kurang jelas (Stephens & Aigner, 2009). Usia seorang perempuan saat mengalami menstruasi pertama dan usia menopause juga mempengaruhi terjadinya kanker payudara. Menstruasi dini dan menopause terlambat dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara. Menurut Stephens dan Aigner (2009) menyatakan bahwa semakin lama siklus kehidupan reproduksi perempuan semakin besar risiko 12 perkembangan kanker payudara. Hal ini mungkin disebabkan oleh paparan produksi estrogen yang berkepanjangan dan berulang. Kanker payudara sangat berhubungan dengan kelebihan berat badan, kurang olahraga, dan merokok. Beberapa penelitian telah melaporkan hubungan kanker payudara dengan diet tinggi lemak, terutama lemak hewani jenuh, meskipun hal ini belum ditemukan dalam semua studi. Trauma payudara juga kadang-kadang dicurigai sebagai penyebab kanker payudara tetapi hal ini belum ada bukti yang pasti. Faktor risiko yang paling besar terhadap terjadinya kanker payudara adalah riwayat keluarga (Stephens & Aigner, 2009). Tabel I. Faktor-faktor yang menyebabkan kanker payudara (Kelsey et al., 1993) No. Faktor penyebab kanker payudara 1 Menarche dini 2 Menopause terlambat 3 Obesitas (Perempuan postmenopausal) 4 Terapi penggantian estrogen 5 Usia melahirkan anak pertama yang terlalu tua 6 Kontrasepsi oral 7 Nulliparity Hasil penelitian lain menyatakan bahwa etiologi kanker payudara merupakan multifaktorial yang melibatkan diet, faktor reproduksi dan ketidakseimbangan hormon yang terkait. Faktor-faktor risiko yang diketahui menyebabkan kanker payudara (Tabel I) dapat terjadi karena kumulatif pejanan dari estrogen dan progesteron. Hormon-hormon ini tidak menjadi genotoksik, 13 tetapi mempengaruhi laju pembelahan sel. Pengaruh hormon-hormon ini terhadap tingkat kanker payudara dimanifestasikan pada proliferasi dari sel epitel payudara. Aktivasi onkogen dan inaktivasi gen supresor tumor (misalnya BRCA1, TP53) menghasilkan perubahan urutan genetik yang menyebabkan fenotipe ganas. c. Manifestasi Klinis Kanker Payudara Secara umum tanda awal kanker payudara ditandai dengan benjolan yang tidak nyeri pada payudara, biasanya soliter, unilateral, padat, keras, tidak teratur, dan tidak dapat digerakkan. Beberapa kasus tanda awal kanker payudara muncul kemerahan pada benjolan, nyeri, hangat dan pengerasan. Payudara adalah organ yang kompleks yang terdiri dari kulit, jaringan subkutan, jaringan lemak, percabangan duktus dan struktur kelenjar. Berbagai penyakit yang mempengaruhi struktur ini dapat menghasilkan massa yang teraba. Selain itu, perubahan fisiologis yang berhubungan dengan siklus menstruasi dapat menyebabkan kelainan payudara. Penyebab umum dari massa payudara pada wanita adalah fibroadenoma, penyakit fibrokistik, karsinoma, dan nekrosis lemak (Dipiro et al., 2008). d. Faktor Risiko Kanker payudara dapat berkembang akibat 2 faktor risiko utama, yaitu keseimbangan hormon dan genetik. Hormon yang memainkan peran penting dalam perkembangan kanker payudara adalah hormon estrogen dan progesteron. Ketidakseimbangan kedua hormon ini dalam tubuh dapat 14 meningkatkan risiko kanker payudara. Hal tersebut terjadi karena pada sel payudara terdapat reseptor dari hormon estrogen dan progesteron yang akan merima sinyal perintah untuk melakukan pembelahan sel. Apabila jumlah kedua hormon ini meningkat maka akan terjadi pembelahan sel yang berlebihan yang dapat menjadi kanker (Anonim, 2015). Gen BRCA, BRCA1, dan BRCA2, merupakan gen supresor kanker yang berfungsi untuk regulasi transkripsi, perbaikan DNA dan kontrol siklus sel. Mutasi pada gen ini dapat menyebabkan kanker prostat, payudara, pankreas, usus besar, dan melanoma (Vinay et al., 2005). Selain 2 faktor risiko utama tersebut, terdapat pula faktor risiko pendukung kanker payudara dapat berkembang. Beberapa diantara faktor – faktor risiko tersebut adalah: (American Cancer Society, 2013; Vinay et al., 2005). 1) Umur. 2 dari 8 kasus kanker payudara ditemukan pada wanita yang berumur lebih dari 55 tahun. Selain itu usia yang lebih muda saat mendapatkan haid pun dapat menambah risiko mendapatkan kanker payudara. 2) Faktor keturunan. Wanita yang memiliki sejarah keluarga dengan kanker payudara mempunyai risiko yang lebih besar dibanding dengan wanita lain. 3) Obesitas. Obesitas dapat meningkatkan risiko terkena kanker payudara karena jaringan lemak yang berlebihan akan memproduksi hormon 15 estrogen secara berlebihan pula. Selain itu kadar insulin yang tinggi berkaitan erat dengan beberapa kanker, salah satunya kanker payudara. 4) Paparan hormon estrogen dan progesteron akibat terapi hormon. Menggunakan terapi hormon saat menopause akan menambah risiko kanker payudara bahkan risiko kematian akibat kanker tersebut. 5) Alkohol. Wanita yang mengonsumsi 2-5 gelas alkohol per hari mempunyai 1,5 risiko lebih besar terkena kanker payudara dibandingkan wanita yang tidak mengonsumsi alkohol. Selain kanker payudara alkohol juga dapat meningkatkan risiko terkena kanker jenis lainnya. 6) Paparan radiasi. Pada remaja wanita yang pernah melakukan terapi radiasi di daerah dada sebagai terapi dari penyakit ini, akan meningkatkan risiko kanker payudara. Hal tersebut dikarenakan payudara masih mengalami pertumbuhan. Akan tetapi jika terapi radiasi dilakukan setelah umur 40 tahun keatas dimana payudara tidak lagi mengalami pertumbuhan, tidak akan meningkatkan risiko kanker payudara. e. Klasifikasi 1) Berdasarkan Stadium Stadium penyakit kanker adalah suatu keadaan dari hasil penelitian dokter saat mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita pasiennya, sudah sejauh manakah tingkat penyebaran kanker tersebut baik ke organ 16 atau jaringan sekitar maupun penyebaran ke tempat lain. Stadium hanya dikenal pada tumor ganas atau kanker dan tidak ada pada tumor jinak. Untuk menentukan suatu stadium, harus dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya yaitu histopatologi atau PA, rontgen, USG, dan bila memungkinkan dengan CT scan, scintigrafi, dan lain-lain. Banyak sekali cara untuk menentukan stadium, namun yang paling banyak digunakan saat ini adalah stadium kanker berdasarkan klasifikasi sistem TNM yang direkomendasikan oleh UICC (International Union Against Cancer dari World Helath Organization)/AJCC (American Joint Committee On Cancer yang disponsori oleh American Cancer Society dan American College of Surgeons). Menurut The American Joint Commite (2002), tahapan kanker payudara sebagai berikut: Stadium 0 : Tidak ditemukan tumor Stadium Tis : Kanker insitu terbagi menjadi DCIS (Ductal Carsinoma In Situ), LCIS (Lobural Carsinoma In Situ), dan paget. Stadium I : Tumor dengan diameter lebih dari 2 cm atau kurang dan tanpa penyebaran jauh atau regional. Stadium II : Tumor dengan diameter lebih dari 2 tetapi kurang dari 5 cm pada ukuran terbesar. Stadium III : Tumor lebih dari 5 cm pada ukuran terbesar. 17 Stadium IV : Tumor dengan perluasan pada dinding dada dan/atau kulit (ulserasi atau nodul kulit). Stadium IVa : Tumor dengan perluasan dinding dada, tapi tidak hanya termasuk otot pektolaris adherence/invation. Stadium IVb : Tumor mengalami ulserasi dan/atau ipsilateral/satellite nodules dan/atau edema pada kulit, tetapi tidak termasuk dalam kriteria inflamasi karsinoma. Stadium IVc : Kriteria stadium IVb dan IVc. Stadium IVd : Tumor mengalami inflamasi karsinoma. 2) Sistem TNM TNM merupakan singkatan dari “T” yaitu tumor size atau ukuran tumor, “N” yaitu node atau kelenjar getah bening regional dan “M” yaitu metastasis atau penyebaran jauh. Ketiga faktor T, N, dan M dinilai baik secara klinis sebelum dilakukan operasi, juga sesudah operasi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi (PA). Pada kanker payudara, penilaian TNM sebagai berikut: 18 Ukuran Tumor (T) Tabel II. Klasifikasi Ukuran Tumor Berdasarkan Sistem TNM (Djamaloeddin, 2005) Ukuran Tumor (T) Interpretasi T0 Tidak ada bukti adanya suatu tumor Tis Lobular carninoma in situ (LCIS), ductus carninoma in situ (DCIS), atau Paget’s disease T1 T1a T1b Diameter tumor ≤ 2cm Tidak ada pelekatan ke fasia atau otot pektoralis Dengan pelekatan ke fasia atau otot pektoralis T2 T2a T2b Diameter tumor 2-5 cm Tidak ada pelekatan ke fasia atau otot pektoralis Dengan pelekatan ke fasia atau otot pektoralis T3 T3a T3b Diameter tumor ≤ 5 cm Tidak ada pelekatan ke fasia atau otot pektoralis Dengan pelekatan ke fasia atau otot pektoralis T4 Beberapa pun diameternya, tumor telah melekat pada dinding dada dan mengenai pectoral lymph anode Dengan fiksasi ke dinding toraks Dengan edema, infiltrasi, atau ulserasi di kulit T4a T4b Palpable Lymph Node (N) Tabel III. Klasifikasi Palpable Lymph Node Berdasarkan Sistem TNM (Djamaloeddin, 2005) Palpable Lymph Node Interpretasi (N) N0 Kanker belum menyebar ke lymph node N1 Kanker telah menyebar ke axillary lymph node ipsilateral dan dapat digerakkan N2 Kanker telah menyebar ke axillary lymph node ipsilateral dan melekat antara satu sama lain (konglumerasi) atau melekat pada struktur lengan N3 Kanker telah menyebar ke mammary lymph node atau supraclavicular lymph node ipsilateral 19 Metastase (M) Tabel IV. Klasifikasi Metastase Berdasarkan Sistem TNM (Djamaloeddin, 2005) Metastase (M) Interpretasi M0 Tidak ada metastase ke organ yang jauh M1 Metastase ke organ jauh Setelah masing-masing faktor T, N, M didapatkan, ketiga faktor tersebut kemudian digabungkan dan akan diperoleh stadium kanker seperti terlihat pada Tabel V. Tabel V. Stadium Numerik Kanker Payudara Stadium Ukuran Tumor (Dipiro et al, 2008) Stadium Ukuran Tumor Palpable Lymph Node Metastase 0 Tis N0 M0 I T1 N0 M0 T0, T1 N1 M0 T2 N0 M0 T2 N1 M0 T3 N0 M0 T0, T1, T2, T3 N2 M0 T3 N1 M0 T4 N0 M0 T4 N1 M0 T4 N2 M0 IIIC T N3 M0 IV T N M1 IIA IIB IIIA IIIB 20 1) Penanganan Kanker Payudara Ada beberapa jenis terapi yang dapat diterapkan pada pasien kanker payudara tergantung pada stadium kanker itu sendiri. 1) Mastektomi Mastektomi adalah pengangkatan payudara, ada 3 jenis mastektomi yaitu (Tjindarbumi, 1982): a) Modified Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara, jaringan payudara di tulang dada, tulang selangka dan tulang iga, serta benjolan di sekitar ketiak. b) Total (Simple) Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh payudara saja, tetapi bukan kelenjar di ketiak. c) Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan sebagian dari payudara. Biasanya disebut lumpectomy, yaitu pengangkatan hanya pada jaringan yang mengandung sel kanker, bukan seluruh payudara. Operasi ini selalu diikuti dengan pemberian radioterapi dan dianjurkan pada pasien yang sel kankernya berukuran 2 cm dan letaknya dipinggir payudara. 2) Radioterapi Menurut Desen (2008) radioterapi dibagi menjadi 3 tujuan yaitu: a) Radioterapi murni kuratif, yaitu digunakan ketika pasien yang memiliki kontraindikasi atau menolak operasi. 21 b) Radioterapi adjuvan, yaitu terapi radiasi yang penting dalam terapi kombinasi. Menurut pengaturan waktu dapat dibagi menjadi radioterapi pra operasi dan pasca operasi. Radioterapi pra operasi dilakukan pada pasien stadium lanjut lokalisasi sedangkan radioterapi pasca operasi adalah radioterapi seluruh payudara yang dapat ditambah radioterapi. c) Radioterapi paliatif, yaitu terapi untuk pasien kanker payudara stadium lanjut dengan rekurensi dan metastasis. Tetapi ini digunakan untuk meredakan nyeri. 3) Kemoterapi Kemoterapi adalah terapi dengan obat yang dapat membunuh sel kanker yang dapat diberikan secara intravena atau peroral. Obat tersebut mengikuti aliran darah untuk mencapai sel kanker pada semua bagian tubuh. Kemoterapi direkomendasikan berdasarkan ukuran tumor, stadium tumor, serta ada atau tidaknya keterkaitan limfa nodi (The American Cancer Society, 2012). Kemoterapi dapat diberikan dalam berbagai tujuan, yaitu: a) Neoadjuvan (sebelum tindakan pembedahan) b) Adjuvan (sesudah tindakan pembedahan) c) Therapeutic chemotherapy diberikan pada metastatic breast cancer dengan tujuan paliatif, tanpa menutup kemungkinan memperpanjang survival. 22 d) Paliatif, sebagai usaha paliatif untuk memperbaiki kualitas hidup penderita. e) Metronomic chemotherapy (cyclophospamide) sebagai anti angiogenesis. Tabel VI. Agen Kemoterapi yang sering digunakan pada kasus kanker payudara berdasarkan American Cancer Society dan National Cancer Comprehensive Network (NCCN, 2006) Kemoterapi Adjuvant Kemoterapi Adjuvant untuk Tumor HER-2 Negatif FAC/CAF FEC/CEF AC EC TAC A CMF E CMF CMF AC x 4 ATC FEC T fluorouracil/doxorubicin/cyclophosphamide cyclophosphamide/epirubicin/fluorouracil doxorubicin/cyclophosphamide dengan atau tanpa paclitaxel epirubicin/cyclophosphamide docetaxel/doxorubicin/cyclophosphamide dengan bantuan filgrastim doxorubicin dilanjutkan dengan cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil epirubicin dilanjutkan dengan cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil doxorubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan paclitaxel 4x, tiap 2 minggu ditambah dengan filgrastim doxorubicin dilanjutkan dengan paclitaxel dilanjutkan dengan cyclophosphamide, tiap 2 minggu ditambah dengan filgrastim fluorouracil/epirubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan docetaxel Kemoterapi Adjuvant untuk Tumor HER-2 Positif Adjuvant : AC → T + Trastuzumab Neoadjuvant : Doxorubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan paclitaxel dengan trastuzumab T + Trastuzumab → CEF + Trastuzumab Paclitaxel ditambahkan dengan trastuzumab dan dilanjutkan cyclophosphamide/epirubicin/fluorouracil ditambah trastuzumab 23 Kemoterapi biasanya menunjukkan hasil yang lebih baik jika dikombinasi dengan terapi lainnya seperti terapi hormon dan operasi. Kemoterapi juga digunakan untuk menangani kanker payudara yang sudah mengalami metastase ke daerah lain, seperti lymph node, serta kanker payudara kambuhan (NCCN, 2006). Efek samping umum dari kemoterapi diantaranya kelesuan, mual dan muntah, rambut rontok, mukositis, sepresi sumsum tulang, dan tromboemboli (Barber et al., 2008). 3. Nyeri Kanker Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya (aktual) atau potensi kerusakan jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan tersebut. Nyeri merupakan persepsi yang kompleks, yang rasanya dapat sangat bervariasi antara satu orang dengan yang lainya, meskipun mereka mendapatkan cedera atau penyakit yang relatif sama. Nyeri (pain) berasal dari kata peone (Bahasa Latin) dan poine (Bahasa Yunani) yang berarti penalti atau hukuman. Menurut Aristoteles, nyeri adalah suatu perasaan, nafsu jiwa dimana jantung merupakan sumber nyeri tersebut. Menurut Descartes, Galen, dan Vesalius, nyeri adalah sensasi dimana otak mempunyai peran utama. Muller, Van Frey, dan Goldscheider (abad 19), mengaitkan nyeri dengan neuroreseptor, nociseptor, dan input sensorik. Teori-teori tersebut akhirnya berkembang ke dalam definisi nyeri (Ikawati, 2011). 24 Nyeri kanker biasanya termasuk jenis nyeri kronik (Djoerban et al., 2006). Nyeri kronik adalah sensasi nyeri terus menerus yang disebabkan oleh kerusakan jaringan atau penyebab lain, dan sering kali mempengaruhi perilaku dan gaya hidup penderita. Jenis kanker yang sering disertai rasa nyeri adalah kanker tulang, kanker mulut, traktus urogenital, payudara, dan paru-paru (Ventafridda, 1988). Beberapa karakteristik yang membedakan nyeri kanker dengan nyeri kronik lain adalah nyeri dapat dirasakan di beberapa tempat, jenis nyerinya heterogen (somatik, viseral, dan neuropatik), intensitasnya relatif berat dan bersifat progresif. Yang dimaksud dengan progresif adalah biasanya nyeri kanker ditandai dengan kekambuhan, remisi, kemudian muncul lagi di lokasi yang lain, tergantung dari respons terapi dan aktivitas penyakit (Slatkin, 2006). a. Patofisiologi Nyeri Ada 4 proses fisiologi terjadinya nyeri secara umum yaitu proses transduksi (perubahan rangsang menjadi impuls nyeri); transmisi (penerusan impuls dengan pusat supraspinal); modulasi dan persepsi (interaksi impuls dengan pusat kognisi dan afeksi, dimana jika impuls telah mencapai korteks otak akan dirasakan sebagai nyeri (Morgan & Mikhail, 2002). Transduksi merupakan proses dimana suatu rangsangan nyeri (noxious stimuli) yang diubah menjadi aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf sensorik. Rangsangan nyeri tersebut akan menyebabkan keluarnya zat kimia penghasil nyeri yang terlepas di sekeliling ujung saraf nosiseptif. Rangsangan nyeri itu sendiri dapat berupa rangsangan fisik (tekanan), suhu 25 (panas), atau kimia (substansi nyeri). Substansi penimbul nyeri dapat berasal dari: sel yang rusak, sehingga ada zat yang keluar dari sel ke ekstra sel; sintesis oleh enzim lokal dengan menggunakan bahan yang berasal dari sel yang rusak; plasma dan sel darah akibat radang yang terjadi sekunder setelah kerusakan jaringan; sekresi ujung saraf nosiseptif. Jenis senyawa penimbul nyeri tersebut adalah ion K, asetilkolin, prostaglandin, leukotrin, histamin, serotonin, bradikidin, ATP, substansi P. Mekanisme terjadinya impuls listrik oleh senyawa tersebut belum jelas benar, tetapi telah diketahui bahwa sebagian dari senyawa tersebut seperti asetilkolin, histamin, ATP dan substansi P juga berfungsi sebagai neurotransmitter (Suryono, 2003; Stoelting & Hillier, 2006). Transmisi merupakan proses penyaluran impuls dari ujung saraf nosiseptif oleh beberapa neuron untuk menuju ke korteks otak. Impuls-impuls nosiseptif ini berjalan menuju modula spinalis melalui saraf sensorik aferen khusus. Serat-serat bermielin kecil, serat-serat Aδ menghantarkan signal-signal nosiseptif menuju ke medula spinalis. Kecepatan hantaran oleh serat C jauh lebih lambat dari kecepatan hantaran serat Aδ. Sebagai serabut saraf pada kuadran anterior lateral dari spinal cord yang berjalan menuju ke otak, serabut saraf ini diatur oleh dua jalur yang berbeda yang dikenal sebagai traktus spinotalamikus untuk mencapai talamus. Traktus spinotalamikus lateral (neurospinothalamus) bersinaps di bagian lateral talamus dan memproyeksikan diri pada korteks somatosensori, menunjukkan sensorik dan aspek diskriminatif dari perasaan nyeri. Traktus spinotalamikus medial (paleospinotalamikus) mempunyai multipel sinaps pada batang otak, talamus 26 medial dan hipotalamus, kemudian akan berdifusi ke area korteks dan sistem limbik untuk memberikan informasi dari aspek persepsi nyeri (Suryono, 2003; Stoelting & Hillier, 2006). Modulasi adalah proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medula spinalis. Serat-serat aferen sensorik masuk ke medula spinalis melalui bagian dorsal dan mengadakan hubungan dengan sel-sel interneuron medula spinalis pada kornu dorsalis. Umumnya serat-serat Aδ dan serat C bersinaps pada lamina I sampai IV, pada daerah yang diperantarai oleh substansi P yaitu pada substansi gelatinosa. Sejumlah neurotransmitter seperti substansi P, glutamat, kalsitonin, serta sistem reseptor lainnya seperti opioid, alfa adrenergik dan serotonergik, mengatur proses input nosiseptif pada medula spinalis (Suryono, 2003; Stoelting & Hillier, 2006) Persepsi merupakan proses akhir dari interaksi di atas dan pada akhirnya menimbulkan perasaan yang bersifat subjektif dan pengalaman emosional yang disebut dengan nyeri serta bersifat individual. Impuls dan medula spinalis berjalan menuju ke otak melalui suatu proses khusus yaitu somatosensorik asenden. Persepsi nyeri tergantung derajat kerusakan jaringan dan modifikasi impuls yang masuk akibat suatu rangsang. Persepsi ini dipengaruhi oleh suku bangsa, pengalaman terhadap nyeri sebelumnya, rasa takut, rasa cemas, sedangkan jenis kelamin tidak terlalu memperlihatkan perbedaan (Morgan & Mikhail, 2002). 27 b. Klasifikasi Berdasarkan lamanya nyeri, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis, yang berbeda cukup signifikan. 1) Nyeri Akut Nyeri karena memiliki penyebab mengidentifikasi dan diharapkan dapat disembuhkan dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, rasa sakit yang dialami selama endotrakeal suction atau ganti perubahan posisi bisa diharapkan berakhir ketika pengobatan selesai. Demikian pula nyeri pada insisi atau daerah cedera diharapkan berhenti begitu sembuh. 2) Nyeri Kronis Nyeri ini disebabkan oleh mekanisme fisiologis yang kurang dipahami dengan baik. Nyeri kronis berbeda dengan nyeri akut, dapat berlangsung untuk jangka waktu yang harus diidentifikasi lebih lama dan mungkin khusus atau tidak mungkin untuk terobati sepenuhnya. Banyak pasien kritis di ICU terutama mereka yang berusia lanjut, mengalami baik nyeri akut dan kronis sekaligus. Berdasarkan asalnya, nyeri terbagi menjadi nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulasi langsung pada reseptor nyeri, baik secara mekanis, atau melalui rangsang kimia atau panas. Nyeri nosiseptif dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu nyeri somatik dan visceral (Ikawati, 2011). Nyeri visceral melibatkan 28 organ-organ dalam tubuh. Nyeri diakibatkan karena kerusakan jaringan pada organ, misalnya pada hati. Nyeri tidak dapat ditunjukkan, tetapi nyeri dapat digambarkan seperti nyeri perut, rasa tajam. Nyeri somatik melibatkan kulit, tulang, dan otot pada bagian tertentu. Nyeri neuropatik disebabkan karena adanya penekanan pada struktur perifer atau sentral sistem saraf pusat (Anonim, 2005a). c. Faktor-faktor Nyeri Kanker Nyeri yang ditimbulkan oleh pasien kanker dapat terjadi sebagai dampak dari kanker itu sendiri, komplikasi dari pengobatan kanker seperti pembedahan, kemoterapi, atau radioterapi dan penyebab lain yang tidak berhubungan dengan kanker (Weingart et al., 2012). Beberapa faktor-faktor nyeri yang ditimbulkan oleh penderita kanker yaitu: 1) Kanker itu sendiri Menurut Sukardja (2000), nyeri disebabkan oleh kanker itu sendiri sebanyak 70%. Kejadian nyeri kanker semakin meningkat bersamaan dengan meningkatnya progresivitas penyakit yaitu sebesar 28% pasien kanker stadium awal, 50-70% pasien kanker yang mendapat kemoterapi, dan 64-80% pasien yang telah berada pada tahap akhir penyakit (Van den Beuken et al., 2007). Nyeri dapat terjadi pada 50-70% penderita kanker stadium awal dan 90% pada pasien kanker dengan stadium lanjut (Daut & Cleeland, 1982). 29 Pada dasarnya, mekanisme patofisiologi nyeri kanker secara umum tidak diketahui secara pasti. Namun perubahan neuropharmacologic dan neurophysiologic pada tulang, jaringan lunak, pembuluh limfe, pembuluh darah, syaraf dan vicera akan mengaktivasi dan membuat nociceptor dan mechanoreceptor lebih intensif. Hal ini disebabkan karena faktor mekanis (infiltrasi dan tekanan tumor) atau stimulus kimia (metastasis ke tulang) sehingga menyebabkan nyeri akut, intermiten dan berkelanjutan (Foley, 1986). Dari semua penderita nyeri, 1/5 nyeri hanya pada satu tempat, 3/5 nyeri pada dua hingga tiga tempat, sedangkan 1/5 sisanya mengalami nyeri lebih dari empat tempat (Sukardja, 2000). 2) Komplikasi pengobatan kanker Pengobatan kanker juga dapat mempengaruhi nyeri pada pasien kanker (Hagen, 2010). Sebanyak 10-20% nyeri pada pasien kanker disebabkan oleh komplikasi bedah (infeksi, hematom, edema, fibrosis), komplikasi radioterapi (radionekrose, dermatitis, fibrosis), dan komplikasi kemoterapi (neuritis, miosistis, mukositis) (Sukardja, 2000). Nyeri diakibatkan oleh prosedur terapi dalam pemeriksaan invasif seperti aspirasi jarum halus, pemeriksaan radiologi dengan kontras, dan pungki lumbal atau tindakan biopsi sumsum tulang, baik insisional maupun eksesional (Lebovits, 2006). Nyeri juga terjadi akibat efek samping atau toksisitas pengobatan yang disebabkan oleh kemoterapi atau radiasi (McGuire, 2004). 30 3) Faktor lain yang tidak berhubungan dengan kanker Nyeri secara tidak langsung dipengaruhi oleh kondisi lain yang tidak berhubungan dengan kanker seperti konstipasi, emboli paru, dekubitus, kandidiasis, neuralgia pasca herpes, kontraksi otot, dan trombosis vena (Kusumawati, 2008). Sedangkan penyakit lain yang dapat menimbulkan rasa nyeri antara lain penyakit muskuloskeletal, arthtritis, penyakit kardiovaskuler, dan migrain (Sukardja, 2000). d. Penilaian Derajat Nyeri Penilaian nyeri kanker membutuhkan anamnesis yang lengkap serta pemeriksaan fisik yang menyeluruh karena penilaian yang tidak adekuat akan menjadi penghalang penatalaksanaan yang efektif (Djoerban et al., 2006). Anamnesis harus diarahkan pada karakteristik nyeri, lokasi nyeri, waktu timbulnya nyeri, intensitas nyeri, berat ringannya nyeri, dan faktor-faktor yang memperberat atau meringankan nyeri (Eisenberg et al., 1996). Pengkajian dan pengukuran derajat nyeri pada pasien kanker harus dapat mengakomodasi kompleksitas dan multidimensial pengalaman nyeri. Pengukuran nyeri bertujuan untuk membantu dalam memutuskan pilihan terapi dan mengevaluasi keefektifan relatif dari terapi yang diberikan (Melzack & Katz, 2004). Saat ini terdapat lebih dari 100 metode untuk mengukur rasa nyeri. Alat (instrumen) untuk mengukur nyeri hendaknya mudah dimengerti dan digunakan serta mudah dinilai dan sensitif terhadap perubahan kecil dalam 31 intensitas nyeri. Instrumen yang paling sering digunakan adalah pengukuran intensitas nyeri undimensional yang menggunakan analog visual (visual analogue) atau peringkat numerik (numerical ratting) (Djoerban et al., 2006). 1) Skala analog visual (Visual Analogue Scale/ VAS) VAS merupakan garis horizontal skala sepanjang 100 mm dengan penilaian dari ujung awal yang mengidentifikasikan “tidak ada nyeri” hingga ujung akhir yang menyatakan “nyeri senyeri-nyerinya” (Melzack, 1998). Dalam pengkajian, pasien diminta untuk memberikan nilai pada garis sesuai dengan tingkat nyeri yang dirasakan. Intensitas nyeri dinilai dengan mengukur jauh jarak titik yang ditunjuk oleh pasien dari titik “tidak nyeri” (Fuller dan Ayers, 2000). VAS merupakan instrumen yang sering digunakan dalam penelitian untuk mengukur nyeri secara cepat. 0 (mm) tidak ada nyeri 100(mm) sangat nyeri Gambar 1. Skala analog visual (Visual Analogue Scale / VAS) 2) Numerical Ratting Scale (NRS) NRS merupakan garis horizontal berisi rentang intensitas nyeri. Skala yang digunakan adalah 0 sampai 5, 0 sampai 10, atau 0 sampai 100. Nol menunjukkan bahwa tidak ada nyeri dan skor tertinggi menunjukkan nyeri senyeri-nyerinya. (Purwandaru, 2007). Interpretasi NSR adalah nilai 32 1-4 menunjukkan nyeri ringan, 5-7 nyeri sedang, dan 8-10 nyeri berat (Breivik et al., 2006). Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat Gambar 2. Numerical Ratting Scale (NRS) 3) Faces Pain Rating Scale Skala ini menggambarkan enam sketsa wajah masing-masing dengan nilai angka, dimulai dengan senang, senyum sampai dengan sedih dan menangis. Skala ini disertakan dengan tidak nyeri sampai dengan nyeri sangat hebat (Wong et al., 1999). Gambar 3. Face Pain Rating Scale e. Terapi Nyeri Pada tahun 1986, World Health Organization (WHO) mengusulkan strategi penanganan nyeri kanker yang dikenal dengan WHO 3-step ladder. Berdasarkan WHO 3-step ladder, penanganan nyeri kanker dimulai dengan pemberian non opioid kemudian opioid lemah serta opioid kuat. Berdasarkan 33 WHO analgesik opioid adalah pilihan utama dalam penanganan nyeri dan diklasifikasikan berdasarkan kemampuan dalam mengatasi nyeri, mulai dari nyeri ringan, nyeri ringan hingga sedang, dan sedang hingga berat. Analgesik opioid sering dikombinasikan dengan obat non opioid seperti parasetamol atau dengan non streroid anti-inflammatory drugs (NSAIDs) dan dengan adjuvan seperti antidepresan, antikonvulsan, anestesi lokal, injeksi pada titik pemicu untuk terapi spasme otot, injeksi streroid untuk mengurangi inflamasi jaringan, dan akupuntur (Ikawati, 2011). Pemberian obat untuk menangani nyeri kanker berpedoman pada metode WHO dengan konsep dasar: 1) Melalui mulut (by the oral) Upayakan pemberian obat secara oral selama mungkin sepanjang penderita masih bisa menggunakan obat peroral. 2) Berdasarkan jam/waktu (by the clock) Obat harus diberikan secara reguler menurut waktunya yang telah ditentukan dan sesuai dosis sampai penderita merasa bebas nyeri. Dosis berikutnya harus diberikan sebelum kerja obat selesai, hanya dengan cara ini maka nyeri dapat terkontrol secara kontinu. 3) Berdasarkan anak tangga (by the ladder) Obat diberikan berdasarkan anak tangga analgesik WHO, bagi pasien dengan nyeri ringan sedang (anak tangga 1-WHO) diberikan analgesik non opioid misalnya aspirin, parasetamol, dan NSAID dengan 34 atau tanpa adjuvan, jika nyeri meningkat (anak tangga 2-WHO) diberikan analgesik opioid lemah misalnya kodein, dengan atau tanpa adjuvan, jika nyeri meningkat (anak tangga 3-WHO) akan mendapat analgesik opioid kuat misalnya morfin, dengan atau tanpa analgesik non opioid dan adjuvan. Gambar 4. WHO 3-step analgesic ladder a) Nyeri ringan Analgesik non opioid seperti parasetamol dan/atau obat NSAID diindikasikan untuk terapi nyeri ringan. Obat-obat tersebut juga sangat berguna untuk nyeri tulang dan nyeri jaringan lunak. Pada pasien nyeri 35 ringan yang menggunakan parasetamol, perlu adanya kontrol dosis terutama bagi pasien yang memiliki disfungsi hati karena penyakit metastasis atau kemoterapi, terutama jika ada riwayat penyakit akibat penyalahgunaan alkohol. Penggunaan NSAID pada pasien yang memiliki riwayat penyakit lambung dapat diminimalkan dengan penggunaan jangka pendek, pilihan utamanya adalah agen selektif cyclooxygenase-2 (COX-2) dan/atau inhibitor pompa proton atau misoprostol. Trombositopenia atau disfungsi trombosit yang umumnya terjadi baik karena kanker atau karena terapi kanker, akan kontraindikasi pada penggunaan NSAID non selektif tetapi tidak pada agen selektif COX-2. b) Nyeri sedang Penggunaan opioid lemah disarankan jika nyeri yang dirasakan oleh pasien pada step 1 WHO 3-step ladder tidak terkontrol, seperti kodein maupun tramadol. c) Nyeri kuat Nyeri berat biasanya ditanggulangi dengan immediate release morphine. Preparat ini memiliki waktu paruh 2-4 jam. Dosis obat ini adalah 1-2-mg setiap 3-4 jam, dengan dosis maksimal 400 mg/hari. Setelah kebutuhan harian dapat ditentukan, preparat dapat diubah menjadi sustained release morphine. Morpin jenis ini dapat diberikan setiap 8-12 jam (Dureja, 2004; Edward et al., 2006). 36 f. Obat Analgesik Terdapat 2 macam analgesik untuk kanker yaitu analgesik murni yang bekerja langsung untuk menghilangkan rasa nyeri dan koanalgesik yang bekerja memperkuat efek obat-obat analgesik murni dalam upaya menghilangkan rasa nyeri pada kanker. Beberapa contoh obat analgesik murni yaitu non opioid (aspirin, parasetamol, NSAID), weak opioid (kodein, dihidrokodein, dextropropoxyphene), dan strong opioid (morfin, diamorfin, fenazocine, oxycodone, fentanil). Sedangkan obat-obat koanalgesik yang sering digunakan adalah kortikosteroid, relaksan otot (diazepam, baclofen, dantrolone), obat-obat psikotropik (phenotiazines, butirophenone dan benzodiazepin, antidepresan dan antikonfulsan). Penggunaan obat untuk mengatasi nyeri bersifat individual, 3 golongan obat yang dipakai baik secara tunggal ataupun kombinasi untuk penanganan nyeri penderita kanker yaitu: 1) Analgesik non opioid Analgesik non opioid mempunyai khasiat analgesik dan antipiretik, mempunyai batas khasiat maksimal tidak menimbulkan toleransi, ketergantungan fisik maupun psikis. Cara kerja analgesik non opioid adalah menghambat enzim siklooksigenase sehingga menghambat pembentukan prostaglandin termasuk prostaglandin E2. Prostaglandin E2 mengadakan sensitisasi reseptor nyeri pada saraf perifer terhadap penghantaran rasa nyeri, yang termasuk obat analgesik non opioid adalah 37 aspirin, parasetamol, obat anti inflamasi dan obat non steroid lainnya (Padzdur et al., 2001). 2) Analgesik opioid Obat analgesik opioid menekan rasa nyeri dengan cara menghambat penerusan rasa nyeri dalam susunan saraf pusat (SSP). Yang termasuk analgesik opioid adalah kodein, morfin, fentanil transdermal (Padzdur et al., 2001). Kombinasi analgesik non opioid dan opioid dapat memberikan khasiat yang lebih besar. 3) Analgesik adjuvan Adjuvan adalah obat yang membantu mengurangi nyeri, obat ini dapat diberikan pada semua intensitas nyeri sebagai tambahan, obat yang termasuk kelompok ini antara lain: a) Antikonvulsan Karbamazepin, gabapentin merupakan obat-obatan yang mampu menekan spontaneous neural firing, obat-obat ini sangat efektif dalam mengobati neuralgia. Pada penderita kanker obat-obat ini sangat bermanfaat untuk pengelolaan nyeri feaferensasi yang nyerinya sering bersifat shooting pain. Dosis awal karbamazepin 100 mg/hari yang dinaikkan 100 mg/hari selama 3-4 hari sampai mencapai dosis total 400 mg. Dosis awal gabapentin dimulai dengan 100 mg/hari dan dititrasi sampai pasien dapat mentoleransi efek samping (Kumar et al., 2002). 38 b) Antidepresan Anti depresan tidak hanya digunakan untuk mengatasi gejala depresi tapi juga berguna untuk mengontrol nyeri deaferensasi. Golongan trisiklik meliputi imiramin, amitriptilin merupakan anti depresan yang banyak digunakan. Dosis 10-25 mg diberikan sekali pada malam hari dapat menghilangkan nyeri deaferensasi disertai peningkatan tidur. Dosis ini dapat dinaikkan menjadi 50-75 mg guna memperoleh efek anti depresi yang optimal, obat ini digunakan karena sekitar 25% penderita nyeri kanker mengalami depresi (Kumar et al., 2002). c) Neuroleptik Klorpromazin merupakan obat neuroleptik yang tidak memiliki daya analgesik tetapi dapat mengurangi kecemasan yang akan menambah perluasan nyeri. Dosis 10-25 mg setiap 4-8 jam (Kumar et al., 2002). d) Ansiolitik Diazepam merupakan yang paling banyak digunakan untuk pengobatan kecemasan dan mencegah spasme otot, umumnya kecemasan timbul bersamaan dengan timbulnya rasa nyeri, namun kecemasan biasanya hilang bersamaan dengan hilangnya nyeri. Dosis 510 mg diberikan per oral 1-2 kali sehari (Kumar et al., 2002). e) Kortikostreroid Prednisolon dan deksametason yang paling sering digunakan sangat berguna untuk menghilangkan nyeri akibat adanya kompresi pada 39 saraf, mengurangi nyeri tulang, serta mengurangi sakit kepala karena peningkatan tekanan intrakranial. Untuk nyeri akibat kompresi saraf dosis prednisolon 10 mg dan deksametason 4 mg per oral tiap 6-8 jam. Dosis ini dapat diturunkan setelah pemberian melebihi 7-10 hari (Kumar et al., 2002). F. Keterangan Empirik Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola penggunaan analgesik berdasarkan intensitas nyeri dan pola penggunaan analgesik pada premedikasi operasi terhadap penderita kanker payudara pada pasien rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode 2014 – 2015.