Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 UMBI-UMBIAN UNTUK KETAHANAN PANGAN: MENAKAR POTENSI GAHOTAN Umi Purwandari Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura PO Box 2 Kamal, Jawa Timur. Pendahuluan Ketahanan pangan didefinisikan sebagai “semua orang mendapatkan akses fisik dan ekonomi sepanjang waktu, terhadap pangan yang bergizi dan aman dalam jumlah mencukupi kebutuhan diet, dalam bentuk angan sesuai pilihan/kesukaan untuk kehidupan yang aktif dan sehat”, menurut hasil World Food Summit pada tahun 1996 (FAO 2006). Ketahanan pangan menjadi masalah dunia, karena pada tahun 1990-an 850 juta orang mengalami kelaparan, yang tersebar di Afrika, Asia, Amerika Latin dan Eropa. Target FAO untuk menurunkan tingkat kelaparan ini menjadi setengahnya di tahun 2015 telah tercapai (FAO 2015). Di Asia, tingkat kelaparan pada sekitar tahun 1995 adalah 30,6 %, nagka ini menurun di tahun 2014-2015 menjadi 9,6 %, yang lebih baik daripada target MDG sebanyak 15 % (FAO 2015). Masih ada sebanyak setengah jumlah penderita kekurangan pangan yang masih harus diatasi. Ada empat dasar dalam ketahanan pangan menurut konsep FAO, yaitu ketersediaan fisik pangan, adanya akses fisik dan ekonomi masyarakat terhadap pangan, tingkat penggunaan pangan dalam bentuk pangan yang memenuhi kebutuhan nutrisi, dan keberlanjutan atau stabilitas ketiga faktor tersebut (FAO 2008). Ada tujuh indikator keberhasilan program ketahanan pangan, yaitu tingkat kematian, tingkat malnutrisi, ketersediaan pangan, keragaman pangan, ketersediaan air bersih, strategi adaptasi, dan aset penghidupan. ISBN: 978-602-7998-92-6 U-1 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Salah satu strategi penting yang digunakan FAO untuk mencapai ketahanan pangan adalah dengan memberdayakan system pangan tradisional. Pengetahuan dalam hal menentukan bahan pangan, menjaga kelestarian tanaman, pengetahuan budidaya dan pengolahannya, yang telah digunakan selama berabad-abad merupakan pengetahuan penting yang mendukung ketahanan pangan dan kesehatan (FAO 2009). Pangan tradisional umumnya sudah berkurang ketersediaannya karena terdesak oleh makanan-makanan impor baru yang didatangkan ke suatu wilayah. Meskipun demikian, makanan tradisional masih dianggap sebagai murni/segar, enak, sehat, bergizi, murah, danmemiliki fungsi social dan budaya (Lambden, Receveur, Kuhnlein 2007). Meninggalkan makanan tradisional bagi suatu etnik juga dapat mengakibatkan masalah kesehatan berupa kelebihan berat hingga obesitas, dan diabetes pada orang dewasa; serta kekurangan vitamin A dan kekerdilan, serta kerusakan gigi pada anak-anak (Englberger et al. 2009). Untuk mengatasinya, diperkenalkan kembali makanan-makanan tradisional mereka yang dibuat menggunakan sumberdaya yang ada di tempat tersebut, misalnya sayuran hijau, pisang, talas, sukun dan pandan-pandanan yang menyediakan sumber energy berkalori rendah, dan vitamin A (Englberger et al. 2009). Meningkatkan keanekaragaman makanan tradisional untuk mencegah malnutrisi dan menjaga kesehatan juga merupakan salah satu strategi ketahanan pangan (Creed-Kanashiro et al. 2009). Singkong merupakan bahan pangan yang banyak tumbuh di pedesaan di Indonesia, dan dianggap mudah cara budidayanya (Indarto dan Ulya 2012). Sekitar separuh dari hasil panen singkong digunakan untuk konsumsi petani sendiri. Gathot merupakan salah satu makanan tradisional dari Jawa, yang dibuat dari bahan dasar singkong. Gathot dibuat dengan membiarkan berbagai jenis jamur dan mikroorganisma lain tumbuh di singkong sedemikian sehingga diperoleh produk yang bagian dalamnya berwarna kehitaman. Cara pembuatan yang tidak ISBN: 978-602-7998-92-6 U-2 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 higienis kemungkinan menyebabkan makanan ini termasuk yang ditinggalkan. Meskipun Aspergillus flavus, salah satu jamur yang dapat menghasilkan aflatoxin, tumbuh di bagian luar gathotan (bahan mentah gathot), tetapi uji aflatoxin menggunakan teknik HPLC dan Elisa memberi hasil negative (Purwandari 2000). Meskipun pernah dilaporkan mengandung aflatoksin sebelumnya, tidak ada laporan resmi korban gangguan kesehatan akibat mengkonsumsi gathot. Tulisan ini mengulas penganekaragaman gathotan menjadi mi kering, kajian teknologi, dan analisis yang berkaitan dengan kesehatan sebagai akibat konsumsi mi gathotan. Proses Pembuatan Gathotan (gathot mentah) Gathotan adalah singkong yang bagian dalamnya berwarna hitam akibat pertumbuhan jamur Botryodiplodia theobromae (Purwandari 2000), yang merupakan pathogen tanaman, berasal dari tanah (Purwandari 2000). Secara tradisional, pembuatan gathotan adalah dengan mengupas singkong, mencucinya, memotong membujur menjadi dua bagian, atau dibiarkan utuh, kemudian diletakkan di atas atas rumah, atau di pematang, selama berbulan-bulan, tanpa perlindungan dari cuaca, sehingga tumbuh berbagai jamur, dan akhirnya bagian dalam singkong didominasi oleh warna hitam jamur B. theobromae (Purwandari 2000). Selama proses pembuatan gathotan, dilakukan penutupan tumpukan singkong pada malam hari, atau dilakukan penyiraman dengan air jika kelihatan terlalu kering. Hal ini dilakukan nampaknya untuk mengatur kelembaban sehingga jamur tetap tumbuh. Penutupn tumpukan singkong pada malam hari menciptakan lingkungan yang lembab. Pengaturan kelembaban ini sepertinya dipandang penting, sehingga ada cara pembuatan gathotan yang melalui proses yang dinamakan ‘empep’. Proses empep adalah penyimpanan potongan singkong yang telah dijemur 2 hari, di dalam sebuah bakul bamboo, kemudian ditutup tumpukan singkong itu dengan daun pisang. Proses empep berlangsung 2-3 hari, jika telah ada sedikit bercak warna ISBN: 978-602-7998-92-6 U-3 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 hitam di bagian dalam potongan singkong. Setelah proses empep, singkong lalu dijemur sehingga kering. Selama proses pengeringan itu, yang berlangsung sekitar 4-5 hari, area berwarna hitam semakin luas. Proses empep merupakan proses penciptaan lingkungan yang hangat dan lembab. Pembuatan gathotan melalui proses empep ini, didahului dengan tahap perendaman sehari semalam (24 jam). Setelah perendaman, singkong dicuci hingga bersih. Setelah perendaman, dilakukan penjemuran selama 2 hari hingga setengah kering, lalu dilanjutkan proses empep. Proses perendaman mungkin untuk melunakkan jaringan singkong agar memudahkan jamur tumbuh. Pada tahap ini, kemungkinan besar tumbuh pula bakteri atau yeast yang dapat mensintesa asam-asam organic. Kebanyakan jamur yang diisolasi dari gathotan adalah jamur-jamur yang berasal dari tanah. Jamur-jamur yang diisolasi dari bagian luar, kebanyakan jamur yang membentuk spora dalam jumlah banyak, misalnya Rhizopus oryzae, R. niger, Aspergillus flavus, A. niger, A. ochraceus, Penicillium spp., dan kadang diisolasi pula Trichoderma harzianum Rifai. Jamur yang diisolasi dari bagian dalam gathotan adalah Botryodiplodia theobrome Pat. B. theobromae merupakan jamur dari golongan fungi dematiaceous yang memiliki ciri hifa berwarna hitam. Jamur lain yang tergolong dematiaceus yang diisolasi dari gathotan adalah Alternaria sp., akan tetapi diisolasi dalam jumlah yang sangat sedikit dan dari beberapa sampel saja. Dengan demikian, sepertinya Alternaria sp. Merupakan kontaminan saja dalam fermentasi gathotan. B. theobromae merupakan jamur pathogen buah-buahan dan umbi-umbian pasca panen. Misalnya pada buah kakao dan mangga, uwi dan ketela rambat. Sehingga tidak mengherankan bahwa jamur ini juga mudah tumbuh di singkong. Kami membuat gathotan dengan cara menginokulasi singkong yang telah dikupas, dicuci, dan dijemur 2 hari, atau dikeringkan dalam mesin pengering (suhu 40°C, 4 jam), ditaburi ISBN: 978-602-7998-92-6 U-4 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 dengan potongan gathotan kering yang diambil dari pembuatan gathotan sebelumnya. Kami juga membuat gathotan dengan menggunakan inoculum berupa parutan singkong setengah kering yang diberi potongan gathotan, sehingga parutan singkong ditumbuhi jamur B. theobromae. Inokulum parutan singkong itu kemudian ditanam di lubang di singkong setengah kering, ditutup, dan disimpan dalam tempat tertutup untuk menjaga kelembaban. Setelah penyimpanan 2 hari, potongan singkong kemudian dijemur di panas matahari hingga kering, sekitar 3 hari. Cara ini dapat mempersinngkat cara pembuatan gathotan, dari beberap minggu atau bulan, menjadi sekitar 5 hari. Meskipun pembuatan gathotan dengan menggunakan jamur tunggal B. theobromae lebih cepat, namun belum dikaji apakah ada peran jamur lain yang selalu diisolasi dari gathotan dalam jumlah banyak, seperti Rhizopus oryzae, pada kualitas gathotan. Rhizopus oryzae merupakan jamur yang dapat menghasilkan beberapa jenis enzim untuk mendegradasi pati, sehingga mungkin memiliki peran dalam perombakan pati selama fermentasi gathotan. Selain itu, produksi metabolit sekunder jamur dapat dipicu oleh adanya jamur lain. Demikian pula, belum dikaji pengaruh produksi metabolit-metabolit sekunder terhadap kualitas gathotan. Sifat Tekstural Tepung dan Pati Gathotan Sifat gelatinisasi tepung dan pati gathotan, secara umum lebih tinggi daripada tepung atau pati singkong, kecuali pada parameter suhu puncak. Suhu puncak tepung (73,7°C) atau pati gathotan (85,7°C) berada pada kisaran teratas suhu puncak tepung ataupun pati singkong (Charoenkul et al. 2011). Waktu puncak tepung gathotan adalah 9,33 menit, sedangkan waktu puncak pati gathotan adalah 9,87 menit, menunjukkan bahwa tepung atau pati gathotan lebih tahan perlakuan panas, dibandingkan tepung atau pati singkong pada umumnya (Charoenkul et al. 2011). Proses fermentasi mungkin merupakan penyebab perubahan sifat tekstural ini. ISBN: 978-602-7998-92-6 U-5 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Proses pembuatan mi dari gathotan Tepung gathotan dibuat menjadi mi kering, dengan cara mencampurkan tepung gathotan dengan gel yang dibuat dari tepung gathotan (Purwandari et al. 2014a). Proporsi tepung terhadap gel, dan proporsi air yang digunakan untuk membuat gel, mempengaruhi kekerasan (hardness) dan kelengketan (adhesiveness) mi gathotan yang dihasilkan. Mi gathotan termasuk relatif lebih tinggi daripada mi gandum, yaitu mendekati 6000 g. Demikian pula, kelengketan mi gathotan lebih tinggi dibandingkan mi gandum, yaitu sekitar -1000 g. Tingkat kehilangan saat masak (cooking loss) mi gathotan cenderung lebih rendah daripada mi gandum. Akan tetapi tingkat kesukaan terhadap semua parameter sensoris (kesukaan pada warna, rasa, bau, tekstur di mulut, dan kesukaan keseluruhan) mi gathotan lebih rendah (nilai 4-5) daripada mi gandum (nilai 7-8). Warna mi gathotan yang hitam, tekstur yang keras dan bau serta rasa yang belum familiar, kemungkinan menyebabkan tingkat kesukaan menjadi lebih rendah dibandingkan mi gandum yang sudah sangat dikenal. Hasil analisis faktor menunjukkan bahwa kesukaan terhadap tekstur di mulut merupakan faktor utama penentu kesukaan keseluruhan terhadap mi gathotan. Kami mengkaji pengaruh waktu inkubasi, suhu inkubasi, persentase inoculum, lama perendaman, dan lama pengeringan singkong segar, terhadap pertumbuhan B. theobromae dalam proses pembuatan gathotan (Purwandari et al. 2014d). dengan menggunakan desain Response Surface Methodology, diketahui bahwa lama inkubasi, suhu inkubasi, dan lama pengeringan singkong segar, memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan miselia B. theobromae. Hasil optimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan miselia dapat dimaksimumkan dengan mengatur kondisi proses sebagai berikut: suhu inkubasi 34,5C, lama inkubasi 2,4 hari, perendaman selama 26,4 jam, lama pengeringan 3,7 jam pada suhu 40°C, dan inoculum sebanyak 2%. ISBN: 978-602-7998-92-6 U-6 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Gel gathotan sebagai pembentuk tekstur mi bebas gluten dari tepung-tepung non konvensional Gel mi gathotan telah digunakan sebagai pembentuk tekstur dari beberapa mi yang dibuat menggunakan tepung non konvensional misalnya tepung sukun, pisang, dan talas. Mi sukun dibuat dengan mencampurkan tepung sukun dengan gel tepung gathotan dengan proporsi sekitar 1:1 (Purwandari et al. 2014b). Tergantung kadar air dalam gel dan proporsi tepung sukun yang dicampurkan dengan gel, kekerasan mi sukun (2520 g) dapat setara dengan mi gandum atau dua kali lebih keras (2520-5074 g), dengan kelengketan yang cukup tinggi (-458 hingga -1097 g). Akan tetapi mi sukun memiliki waktu masak yang setara dengan mi gandum, yaitu antar 3-4 menit. Kelemahan yang menonjol mi sukun adalah kehilangan saat masak yang tinggi, yaitu 12,45 hingga 17,04 %. Kekerasan mi pisang (2049-2606 g) yang setara dengan kekerasan mi gandum. Akan tetapi kekerasan mi talas (2393-4055 g) lebih tinggi daripada mi gandum. Kedua mi memiliki kelengketan yang lebih rendah dibandingkan mi gathotan, akan tetapi mi talas tergolong lengket (nilai adhesiveness -100,900 hingga -587,900 g). Sedangkan mi pisang relative tidak lengket (nilai adhesiveness -19,600 hingga -52,600 g). Sifat Fungsional mi gathotan Aktifitas Antioksidan Mi gathotan menunjukkan aktifitas antioksidan yang tinggi, yaitu sebesar 84,26% yang ditunjukkan dengan tingkat penghambatan DPPH (Purwandari et al. 2014c). Sedangkan mi lain yang menggunakan gathotan sebagai pembentuk tekstur, juga memiliki aktifitas penghambatan DPPH yang tergolong tinggi, yaitu 91,61% pada mi pisang, dan 86,03% pada mi talas. Kadar antioksidan pada mi gathotan kemungkinan disebabkan oleh melanin yang memberi warna hitam miselia jamur Botryodiplodia theobromae. Pigmen melanin pada jamur dapat memberi efek ISBN: 978-602-7998-92-6 U-7 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 antioksidan (Goncalves and Pombeiro-Spouchiado 2002). B. theobromae dilaporkan mampu menghasilkan senyawa taxol dengan aktifitas antioksidan yang tinggi (Pandi et al. 2010). Pisang banyak mengandung senyawa fenolik, seperti galaktokatekin yang ada di pisang dalam jumlah banyak (Someya et al. 2002). Demikian pula, talas memiliki kadar senyawa antioksidan yang cukup tinggi (Goncalves et al. 2013). Tingginya aktifitas antioksidan mi talas ataupun pisang yang mengandung tepung gathotan kemungkinan disebabkan oleh kadar antioksidan pada tepung pisang dan talasnya, sebab hanya sedikit tepung gathotan yang digunakan dalam proses pembuatannya. Efek Hipoglisemik Mi gathotan juga menunjukkan efek hipoglisemik. Dengan menggunakan 10 sukarelawan dan mengikuti prosedur standar, kadar gula darah postprandial sukarelawan yang mengkonsumsi mi gathotan lebih rendah secara signifikan (p<0,05) sejak menit ke-80 hingga akhir uji (menit ke-120) setelah konsumsi, dibandingkan kadar gula darah setelah mengkonsumsi roti putih sebagai makanan standar. Singkong dilaporkan termasuk makanan dengan indeks glisemik yang tinggi, yaitu sekitar 84 (Ramdath et al. 2004). Kemampuan penurunan kadar gula darah oleh mi gathotan kemungkinan karena perubahan struktur pati akibat fermentasi sedemikian sehingga menjadi pati yang relative sulit dicerna. Dari penelitian kami yang terpisah, pati gathotan memiliki kristalinitas yang lebih tinggi daripada pati singkong, dan juga bahkan lebih tinggi daripada pati legume, yang mungkin menurunkan daya cernanya. Satiety power Uji satiety power digunakan untuk mengetahui efek konsumsi mi gathotan pada respon kenyang (Purwandari et ale. Manuskrip diterima untuk publikasi). Digunakan 30 sukarelawan, dan prosedur sebagaimana dalam prosedur standar, untuk mengkaji satiety power mi gathotan. ISBN: 978-602-7998-92-6 U-8 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Parameter yang diukur adalah tingkat rasa lapar (hunger feeling), tingkat rasa kenyang (feeling of fullness), tingkat keinginan untuk makan (desire to eat), dan berapa banyak makanan yang ingin dimakan (how much food wanted to be taken), dalam bentuk skor 1-9, dan dibanding dengan makanan standar berupa mi kering dari gandum. Hasilnya menunjukkan bahwa, meskipun sukarelawan hanya mengkonsumsi separuh berat mi dibandingkan mi kering gandum, tetapi tingkat rasa kenyang yang diperoleh lebih tinggi daripada jika makan mi kering gandum. Demikian pula, keinginan makan, jumlah makanan yang ingin dimakan, dan rasa lapar setelah mengkonsumsi mi gathotan, lebih rendah daripada jika mengkonsumsi mi kering gandum. Hasil uji satiety power ini masih harus diteliti lebih lanjut dalam hal apakah tidak ada faktor lain yang mempengaruhi penilaian komponen dalam satiety power. Satiety dipengaruhi oleh banyak faktor, meliputi sensoris, kognitif, pasca pencernaan, dan pasca penyerapan nutrisinya (Chamber et al. 2015). Faktor yang mungkin berpengaruh adalah warna mi gathotan yang hitam, yang mungkin menurunkan minat panelis untuk makan. Demikian pula rasa yang asing mi gathotan. Meskipun demikian, ada pula kemungkinan kontribusi kekenyalan dan densitas mi gathotan yang tinggi mampu memberikan efek satiety power yang lebih baik. Serat pangan yang memiliki viskositas tinggi meningkatkan satiety (Chambers et al. 2015). Mi gathotan lebih kenyal daripada mi biasa. Viskositas gel tepung gathotan juga tergolong tinggi, dan lebih tinggi daripada terigu. Efek hipolipidemik Pengujian efek konsumsi mi gathotan terhadap profil lipida darah dilakukan dengan menggunakan dua kelompok tikus wistar yang diberi pakan standard (sebagai control) dan pakan mi gathotan kering (sebagai perlakuan). Tikus yang diberi pakan standar ataupun pakan mi gathotan memiliki berat badan yang tidak berbeda pada awal periode pengujian, dan ISBN: 978-602-7998-92-6 U-9 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang tidak berbeda. Akan tetapi, pada akhir masa uji, berat badan tikus perlakuan hanya sekitar sepertiga dari berat tikus kontrol. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok tikus yang diberi pakan mi gathotan memiliki kadar trigliserida dan HDL (lipoprotein densitas tinggi) yang lebih rendah dibandingkan tikus yang diberi pakan standar. Kadar LDL kedua kelompok tikus tersebut tidak berbeda. Kadar kolesterol bukan HDL (non-HDL-C) adalah dihitung dari total kolesterol dikurangi LDL, yang dipandang lebih berkorelasi pada kesehatan pembuluh darah jantung (Kilgore et al. 2014). Tikus perlakuan menunjukkan kadar non-HDL-C yang lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol. Mi gathotan nampaknya kandidat makanan yang dapat digunakan unutuk mengontrol berat tubuh dan kadar lipida darah. Penutup Gathotan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi makanan fungsional pendukung ketahanan pangan, yang tidak hanya mengatasi kelaparan, tetapi juga mendukung kesehatan, dengan tingkat ketersediaan bahan yang cukup baik di seluruh wilayah Indonesia. Hal yang masih perlu ditingkatkan adalah tingkat penerimaan sensoris produk ini. Daftar Pustaka Chambers L, McCrikerd K, Yeomans Y. 2015. Optimising foods for satiety. Trends in Food Science & Technology 41:149-160. Charoenkul N, Uttapap D, Pathipanawat W, Takeda Y. 2011. Physicochemical characteristics of starches and flours from cassava varieties having different cooking root texture. LWTFood Science and Technology 44:1774-1781. Creed-Kanashiro HM, Carvasco M, Abad M, Tuesta I. 2013. Promotion of traditional foods to improve the nutritional and health of the Awajún of the Cenepa River in Peru. In ISBN: 978-602-7998-92-6 U-10 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Indigenous People’s Food Systems & Well-being. Kuhnlein H, Erasmus B, Spigelski D, Burlingame B (Editor). FAO. Rome. Englberger L, Lorens A, Pedrus P, Albert K, Levendusky A, Hagilmai W, Paul Y, Moses P, Jim R, Jose S, Nelber D, Santos G, Kaufer L, Larsen K, Pretrick ME, Kuhnlein HV. 2013. Let’s Go Local! Pohnpei promotes local food production and nutrition for health. In Indigenous People’s Food Systems & Well-being. Kuhnlein H, Erasmus B, Spigelski D, Burlingame B (Editor). FAO. Rome. FAO. 2006. Food Security-Policy Brief, June 2006 Issue 2. www.fao.org/forestry/ FAO. 2008. An Introduction to the basic concept of food security. In Food Security Information for Action – Practical Guides. www.fao.org/docrep/013/al93be00.pdf FAO. 2009. FAO and traditional knowledge: The linkage with sustainability, food security and climate change impacts. www.fao.org/docrep/011/i0841e/i0841e00 FAO. 2015. The state of food insecurity in the world in brief 2015. www.fao.org/hunger/en/ Goncalves dCRR, Pombeiro-Spuchiado SR. 2005. Antioxidant activity of the melanin pigment extracted from Aspergillus nidulans. Biol Pharm Bull 28(6):1129-1131 Goncalves RF, Silva AMS, Silva AM, Valentao P, Ferreres F, Gil-Izquierdo A, Silva JB, Santos D, Andrade PB. 2013. Influence of taro (Colocasia esculenta L. Schott) growth conditions on the phenolic composition and biological properties. Food Chemistry 141:3480-3485. Indarto C, Ulya M. 2012. Potensi ubi-ubian di wilayah Madura. Seminar Kedaulatan Pangan dan Energi 2012. Fakultas Pertanian, Universsitas Trunojoyo Madura. ISBN: 978-602-7998-92-6 U-11 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Kilgore, M., Muntner, P., Woolley, M., Sharma, P., Bittner, V. and Rosenson, R. S. 2014. Discordance between high non-HDL cholesterol and high LDL-cholesterol among US adults. Journal of Clinical Lipidology 8: 86-93. Lambden J, Receveur O, Kuhnlein HV. 2007. Traditional food. International Journal of Circumpolar Health 66(4):308-319. Pandi M, Manikandan R, Muthumary J. 2010. Anticancer activity of fungal taxol derived from Botryodiplodia theobromae Pat. An endophytic fungus, against 7,12 dimethyl ben(a)antracene (DMBA)-induced mammary gland carcinogenesis in Sprague dawley rats. Biomedicine & Pharmacotheraphy 64:48-53. Purwandari U. 2000. Aflatoxin in gathotan in relation to fungal distribution. Master Thesis. RMIT. Melbourne. Australia. Purwandari, U., Hidayati, D., Tamam, B., Arifin, S. 2014. Gluten-free Noodle Made from Gathotan (An Indonesian Fungal Fermented Cassava) Flour: Cooking Quality, Textural, and Sensory Properties. International Food Research Journal 21(4): 1615-1621. Purwandari, U., Khoiri, A., Muchlis, M., Noriandita, B., Zeni, N.F., Lisdayana, N., Fauziyah, E. 2014. Textural, Cooking Quality, and Sensory Evaluation of Gluten-free Noodle Made from Breadfruit, Konjac, or Pumpkin Flour. International Food Research Journal 21(4): 1623-1627. Purwandari, U., Nava, N., Hidayati, D. 2014. Modeling and Optimising the Growth of Lasiodiplodia theobromae during Gathotan Fermentation. Microbiology Indonesia 8(3): 112-120. ISBN: 978-602-7998-92-6 U-12 Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015 Purwandari, U., Tristiana, G.R., Hidayati, D. 2014. Gluten-free Noodle Made From Gathotan Flour:Antioxidant Activity and Effect of Consumption on Blood Glucose Level. International Food Research Journal 21(4): 1629-1634. Ramdath DD, Isaac RL, Teelucksingh S, Wolever TM. 2004. Glycaemic index of selected staples commonly eaten in the Carribean and the effects of boiling and crushing. British Journal of Nutrition 91(6):971-977. Someya S, Yoshiki Y, Okubo K. 2002. Antioxidants compounds from bananas (Musa Cavendish). Food Chem 79:351-354. ISBN: 978-602-7998-92-6 U-13