FIKIH DISABILITAS : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maṡlaḥaḥ

advertisement
FIKIH DISABILITAS :
Studi Tentang Hukum Islam Berbasis
Maṡlaḥaḥ
M. Khoirul Hadi
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini adalah penelitian yang berbasis penelitian
pustaka, yang mengangkat tema disabilitas dalam
kajian hukum Islam. Diskusi ini menunjukkan bahwa
hukum Islam tengah menghadapi sejumlah problem
kontemporer seperti ketidakadilan gender, lingkungan,
terorisme dan lainnya. Artikel ini menyimpulkan satu
bahwa isu disabilitas telah didiskusikan sejak lama
dalam kitab fikih meskipun pembahasannya masih
samar. Kedua, tantangan formulasi fikih disabilitas
dimungkinkan denggan memanfaatkan kajian maslahah
dalam hukum Islam. Akomodasi ini mentasbihkkan
Islam sebagai Agama Rahmatal Lil Alamin.
Kata Kunci: Disabilitas, Hukum Islam, Maṡlaḥaḥ,
Maqāṣyid al-Syarī’ah.
ABSTRACT
This study is a librarian research dealts with disability
issues in Islamic Law (Fiqh). It shows that the Islamic
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
1
M. Khoirul Hadi
law faced its contemporary problems such inequality
gender, environment, terrorism and so on. This Article
concluded that the books of fiqh have been discussed this
issues long time ago although it has been discussed not
clearly. The challenge to develop Islamic law of disability
can be done by moslem scholar using maslahah concept.
The concept of maṣlahah shows that Islam is a religion
which bring a great concept of Rahmatal Lil Alamin.
Keywords: Difability, Islamic Law, Maṡlaḥaḥ, Maqāṣyid
al-Syarī’ah
A. Pendahuluan
Al-Quran merupakan sumber asasi ajaran Islam sebagai syariat
terakhir yang memberi petunjuk arah perjalanan hidup manusia.
Sebagai sumber akaran, Al-Quran menyediakan dasar hukum Islam.
Hukum Islam dalam konsepsi orang Muslim bukan semata katagori
normatif menyangkut aturan-aturan tingkah laku yang harus dipatuhi
belaka, melainkan juga adalah suatu katagori epitemik dalam arti
bahwa hukum merupakan suatu objek yang pengetahuan seorang
muslim mengenainya harus terjustifikasikan. Bukan suatu kebetulan
bahwa salah satu nama hukum Islam itu adalah fikih, dari kata Arab
al-fiqh, yang berarti paham, mengerti atau pengetahuan (Al-Gazhali,
1970: 11). Bahkan hukum itu sendiri oleh para ahli hukum Islam
diidentikkan dengan pengetahuan. bagi mereka pengetahuan tidak
saja berarti ilmu kedokteran atau astronomi, misalnya, melainkan
juga meliputi pengetahuan tentang tingkah laku yang diridai oleh
Tuhan dan norma-norma yang mengaturnya (Hallaq, 1986: 131).
Teori Hukum Islam (Ushūl Fiqh), sebagai disiplin yang mengkaji
hukum Islam, tidak hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan
legetimasi dalam suatu konteks sosial dan intitusional, tetapi melihat
persoalan hukum sebagai masalah epistomologi. Artinya pendekatan
teoritisasi Hukum Islam ditekankan pada prespektif pengetahuan
dan lebih tepatnya dilihat dari segi katagori pengetahuan yang pasti
2
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Fikih Disabilitas : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maslahah
(al-‘ilmu) sebagai dilawankan dengan pengetahuan tentatif (azzann). Ushul fikih tidak hanya berisi analisis mengenai argumen
dan penalaran hukum belaka, melainkan di dalamnya juga terdapat
pembicaraan mengenai logika formal, teologi dialektik, teori
linguistik dan elemen kontitutif usul fikih- yaitu adalah epistemologi
hukum semisal Qiyas dan fatwa untuk merespon permasalahan
aktual.Salah satu permasalahan aktual adalah kajian fikih yang era
baru ini adalah kasus soal fiqih bagi disabilitas atau penyandang
kebutuhan khusus menjadi salah keniscayaan. Perumusan fikih
disabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan bingkai maslahat,
maqasid syari’a dan keilmuan lain.
B. Pembahasan
1. Maqāṣyid al-Syarī’ah Sebagai Asas Fikih Disabilitas
Maqāṣyid asy-Syar’i atau maqāshid syarī’ah dan al-maqāshid
al-syar’iyyah mempunyai konotasi makna yang sama karena
istilah-istilah itu terbentuk dari dua ungsur, yakni maqāshid dan
syari’ah, dengan berbagai variasinya. Kata maqāshid adalah bentuk
plural dari kata maqsid yang berasal dari kata kerja qasāda, yang
berarti memaksudkan, atau menuju sesuatu (Ma’luf, 1986: 632; alMunawwir, 1984: 1208). Dalam pengertian ini maqāṣhid berarti
obyek sasaran dari suatu tindakan. Sementara kata syari’ah adalah
kebiasaan atau sunnah, Menurut Rahman (1979: 108) pada awalnya
kata syarī’ah dimaksudkan tuntunan dari Allah kepada Rasulnya.
Dalam pandangan ahli fikih hal itu mengalami penyempitan makna
(az-Zuhaily, 1986: 438) ketika syari’ah didefinisikan sebagai bagian
tertentu dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan amal perbuatan
lahir seorang muslim yang mukallaf (muslim yang layak menerima
beban kewajiban).Sungguhpun al-Syatibi, dianggap “Syaikh alMaqashid” tokoh utama teori tujuan hukum. Akan tetapi sayang
sekali ia tidak memberikan pengertian sedikitpun mengenai tujuan
hukum. Barang kali ia mengangap hal ini sudah cukup jelas, apalagi
salah satu bagian dari bukunya al-Muwāfaqāt yang secara khusus
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
3
M. Khoirul Hadi
membicarakan tujuan hukum . Ia menulis:
Bagi orang yang membaca kitab ini tidak boleh melihat dengan
kaca mata pemula dan penegah, akan tetapi hendaknya ia
memperkaya diri dengan ilmu syari’ah baik ushul maupun
furu’ dan serta ma’qul dan manqul dengan meninggalkan
taqlid dan fanatisme manzhab (Syatibi, tt: juz 1 87).
Ulama yang membahas tujuan hukum adalah Ibnu Asyur. Ia
membagi tujuan hukum itu ada dua, yaitu ada yang khusus ada yang
umum (1366: 50- 154). Ia menulis tujuan umum adalah:Maknamakna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan oleh pembuat
hukum, dalam semua atau sebagian besar kondisi penetapan hukum,
termasuk dalam katagori ini antara lain: memelihara ketertiban dan
mendatangkan kemaslahatan, menolak kemafsadatan menegakkan
persamaan manusia, menjadikan syari’ah berwibawa, di patuhi dan
dilaksanakan serta diciptakan umat yang solid, aman dan tenteram.
Sedangkan tujuan hukum yang khusus adalah :
Adalah tata cara yang dimaksudkan oleh pembuat hukum
untuk merealisasikan manfaat bagi manusia untuk memelihara
kemaslahatan dalam perbuatan tertentu, misalnya jaminan
kepercayaan dalam akad penggadaian, membina kerukuan
rumah tangga dalam akad perkawinan dan menghilangkan
mafsadah yang berkelanjutan dalam talak.al-Fasi memberikan
definisi tujuan hukum lebih ringkas yaitu:
Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh syariah dan rahasiarahasia di balik setiap ketetapan dalam hukum syariah.
Jika melihat dari seluruh definisi di atas terlihat benang merah
bahwa obyek dan sasaran serta kondisi yang hendak dicapai dengan
penetapan hukum, baik sasaran itu bersifat umum maupun khusus.
Sedangkan dalam literatur Ushul Fikih seringkali ditemukan istilah
makna, hikmah dan illat, ketiga istilah ini sebenarnya hampir
mendekati maqāṣhid syarī’ah walaupun para ahli fikih sering
menggunakan kata hikmah.
Maqāṣid syar’iyyah memandang orang yang mempunyai
kebutuhan khusus (disabilitas) mempunyai hak yang sama dengan
4
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Fikih Disabilitas : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maslahah
orang normal dalam mendapatkan hak baik saat di dunia dan di
akhirat. Dalam hal pemeliharaan anak, Islam mengenal konsep
haḍanah atau perlindungan anak yang wajib dilakukan bagi setiap
kelurga. Anak adalah merupakan suatu amanat dari Allah yang harus
dijaga dalam seluruh kondisinya termasuk anak-anak berkebutuhan
khusus. Agama memberikan tuntunan atau cara beribadah bagi
kalangan difabel sebagaimana yang tertera di dalam-kitab- kitab
fikih baik dalam urusan ubudiyyah, muamalah maupun yang lain.
Maqasid Syari’ah adalah upaya untuk mewujudkan kemaslahatan
dan menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak
mudarat. Istilah yang sepadan dengan inti maqāṣhid syarī’ah adalah
maslahat, karena penetapan hukum senantiasa didasarkan atas
maslahat (Mualim, dan Yushaeni, , 2001: 50).Dalam kajian hukum
Islam, dimunculkan beberapa jenis maslahah. Pertama, Maslahah
Primer, yakni yang secara umum dikenal dengan kaidah yang lima,
yaitumenjaga agama, jiwa, akal, keturunan serta harta. Kelima kaidah
umum tersebut merupakan kaidah atau asas agama, kadah-kaidah
syariat, dan universalitas agama. Jika sebagian tidak dilaksanakan
maka akan mengakibatkan rusaknya agama Seluruh rangkaian
hukum Islam atau Syari’at yang terdiri dari Akidah, Ibadah, dan
Muamalat, dan Akhlaq, memenuhi unsure unsur lima kaidah umum
di atas. Oleh keran itu setiap amal akan selalu berlandasakan kajian
maslahat sebagai tujuan akhirnya.
Kedua, kemaslahatan sekunder, adalah kemaslahatan yang
harus ada dan di- penuhi untuk kebutuhan hidup, seperti jual beli,
pernikahan, dan semua jenis muamalat. Kemaslahatan sekunder
menempati posisi kedua setelah kemaslahatan primer. kemaslahtan
sekunder hanyalah mengikuti jejak kemaslahan primer. oleh karena
itu seluruh hukum yang berkaitan dengan kemaslahatan sekunder
tidak lepas dari kemaslahatan primer.
Ketiga, kemaslahatan tersier, adalah kemaslahatan yang
kembali pada bentuk adat istiadat, akhlak dan adab, Ketiga jenis
kemaslahatan tersebut berhubungan dengan kondisi difabilitas
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
5
M. Khoirul Hadi
harus dijiwai dengan prinsip-prinsip kemaslahatan dan mewujudkan
kemaslahatan kemanusiaan universal, dan melenyapkan segala
benuk kerusakan, dan kerugian.Dalam konteks regulasi di Indonesia,
terdapat Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2011 tentang Disabilitas
(Konvensi mengenai Hak-Hak penyandang Disabiltas ) pasal 3 ayat
1, 2dan 3. Pasal 3 ayat 1 berbunyi:
Penyandang disabilitas, negara neara pihak harus mengambil
semua kebijakan yang diperlukan untuk menjamin penuh
semua hak-hak penyandang disabilitas,
Dengan demikian, fikih disabilitas adalah fikih atau hukum
Islam yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan hak bagi
kalangan disabilitas. Hukum Islam Tentang Disabilitas
Survei literatur fikih tentang isu isu yang dilakukan oleh Risplercam berangkali adalah survey yang paling lengkap yang pernah
ditulis dalam bidang ini. Dalam bukunya Disability in Islamic
Law, dia membahas secara rinci, setiap pasal dalam bab-bab
klasik kitab fikih untuk menemukan bagaimana hukum Islam
menetapkan sejumlah aturan khusus bagi mereka yang karena
gangguan baik fisik dan atau mental tidak bisa dituntut untuk
mengerjakan aturan-aturan ibadah secara formal.
Kajian ini penting karena literatur sebelumnya mengkaji
permasalahan ini secara datar. Ia menegaskan:The disabilities
are always mentioned as a matter of fact, as part the reality
that people are meant to live in, as aresult of the divine
wisdom and planning with wich Allah manage the icreation,
no emotional attitude, such as remorse, anger, despair, or
disappointment, accompanes, any of the discussions of
disabilities within the literature (Rispler, , 2007: 3). Fenomena
ini menunjukkan bahwa fikih bersikap toleran, menerima para
difabel apa adanya, mengakomodaasi kebutuhan khususnya
dalam memenuhi kewajiban-kewajiban keagamaan sebagai
seorang muslim. Islam memandang kondisi disabilitas bukan
merupakan hukuman, melainkan ujian dari Allah untuk
6
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Fikih Disabilitas : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maslahah
memperkuat keimanan. Akomodasi fikih kebutuhan khusus
kalangan difabel dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 1. Dispensasi Fikih Terhadap Penyandang Disabilitas
Menurut Risplem-Chaim.
Bab
Hukum
Taharah
Jenis Difabilitas
Sakit jiwa (ma’tuh)
gila (majnūn) hilang
akal, dan semisalnya
Lumpuh
Jenis Dispensasi Fikih
Tidak berkewajiban segala
jenis ibadah
Jika tidak ada yang
membawakan air, cukup
dengan tayamum.
salat
Tidak mampu berdiri, Berbaring atau
hilang akal
mengerjakan semampunya
Menghadap Buta
Mengadap kemana saja ia
kiblat
yakin,
Sholat jumat Buta, lumpuh,
Tidak wajib jumatan,
ketuaan, dan kondisi
tetapi tetap sholat dhuhur
keamanan.
di rumah, berdasarkan
kaidah hifẓhu adami afḍal
min hifẓhu al-Jamā’ah.
Puasa
sakit permanen (orang membayar denda
Tua)
haji
Sakit yang
tidak perlu pergi sendiri
menghalanginya pergi dan kalau secara eknomi
haji
mampu, ia wajib
membayar orang unuk
mewakilinya.
zakat
Sakit jiwa
wajib
Kesimpulan Risplem-Chaim tersebut sebenarnya terhampar
dalam hamper semua kitab fikihfikih. Dispensasi ini dibangun melalui
salah satu kaidah utama dalam fikih yang berbunyi al-masyaqqatu
tajlību al-taisir (kesulitan dalam hokum Islam justru mengakibatkan
kemudahan) Wujud kemudahan ini mencakup perlakuan khusus
terhadap penyandang disabilitas sebagaimana terlihat dalam
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
7
M. Khoirul Hadi
tabel dispensasi di atas dapat terlihat beberapa jenis kesulitan dan
dispensasi yang diberikan oleh fikih.
Kondisi disabilitas dapat dibagi dengan beberapa “zona
disabilitas”. Kaum lanjut usia seringkali mengalami kesulitan
berjalan sehingga harus menggunakan alat bantu seperti tongkat
dan atau kursi roda. Pengguna kursi roda membutuhkan ruang
yang lebih besar dengan kursi roda dan mobilitasnya. Disabilitas
netra membutuhkan ruang yang ‘bersih’ dari barang (supaya tidak
tersandung), dan rapih. Disabilitas rungu membutuhkan desain
khusus untuk aktifitas mereka. Disabilitas wicara menggunakan
bahasa isyarat dalam komunikasi juga membutuhkan ruang yang
‘bersih. Sementara ’disabilitas ganda/auitisme membutuhkan
penanganan khusus dan ruangan khusus. Disabilitas juga dapat
lahir karena sakit atau kecelakaan. Pemenuhan kebutuhan khusus
penyandang disabilitas ini memanjang mulai dari ruang privat
dalam ranah domestik hingga ruang publik. Pemerintah memberikan
sejumlah aturan untuk ruang-ruang umum dan ruang perkotaan.
Undang-Undang mengatur agar bangunan-bangunan umum seperti
mall, rumah sakit, restoran dan perkantoran mempunyai akses besar
untuk kaum disabilitas. Keberpihakan kepada penyandang diabilitas
ini termasuk memberikan aturan untuk mempekerjakan kaum
disabilitas dalam kehidupan profesionalitas perkantoran paling
sedikit 10%. Disabilitas memiliki beberapa jenis dan bisa terjadi
selama masa hidup seseorang atau sejak orang tersebut terlahir ke
dunia. Pertama, adalah disabilitas fisik merupakan gangguan pada
tubuh yang membatasi fungsi fisik salah satu anggota badan bahkan
lebih atau kemampuan motorik seseorang. Termasuk disabilitas fisik
adalah gangguan yang membatasi sisi lain dari kehidupan sehari-hari
misalnya karena gangguan pernapasan dan epilepsi. Kedua, disabilitas
mental yaitu sebuah istilah yang menggambarkan berbagai kondisi
emosional dan mental. Gangguan kejiwaan adalah istilah yang
digunakan pada saat disabilitas mental secara signifikan mengganggu
kinerja aktivitas hidup yang besar, misalnya saja seperti mengganggu
8
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Fikih Disabilitas : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maslahah
belajar, berkomunikasi dan bekerja serta lain sebagainya. ketiga,
Disabilitas intelektual merupakan suatu pengertian yang sangat luas
mencakup berbagai kekurangan intelektual, diantaranya juga adalah
keterbelakangan mental. Sebagai contohnya adalah seorang anak
yang mengalami ketidakmampuan dalam belajar. Dan disabilitas
intelektual ini bisa muncul pada seseorang dengan usia berapa pun.
Keempat disabilitas sensorik merupakan gangguan yang terjadi
pada salah satu indera. Istilah ini biasanya digunakan terutama pada
penyandang disabilitas yang mengacu pada gangguan pendengaran,
penglihatan dan indera lainnya juga bisa terganggu. kelima, Disabilitas
perkembangan merupakan suatu disabilitas yang menyebabkan
suatu masalah dengan pertumbuhan dan juga perkembangan tubuh.
Meskipun istilah disabilitas perkembangan sering digunakan sebagai
ungkapan halus untuk disabilitas intelektual, istilah tersebut juga
mencakup berbagai kondisi kesehatan bawaan yang tidak mempunyai
komponen intelektual atau mental, contohnya spina bifida.
Kajian fikih diharapkan bersifat akomodatif memberikan
respon yang cepat bagi isu disabilitas. Meski telah ada secara samar,
tetapi literatur fikih dipandang kurang tanggap dalam merespon isu
penyandang disabilitas dalam hukum Islam, padahal fatwa Syeikh
Tantawi pada tahun 2000 telah mengharuskan adanya petugas
bahasa isyarat di samping khatib untuk menerjemahkan khutbah
bagi jamaah yang mengalami kondisi tuna rungu, Fatwa syeikh
Tantowi sukses membatalkan fatwa yang lama yang menyatakan
haram menerjemahkan bahasa isyarat karena mengangu kekhusyuan
jamaah.
Jika ditelisik setidaknya terdapat dua faktor penting tidak
terjawabnya konsep disabilitas dalam pandangan fikih pertama,
karena fikih terlalu fokus terhadap persoalan kebutuhan manusia,
dan bukan pada hak yang layak diterima, dan kedua karena subjek
fikih berupa perorangan bukan intitusional.
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
9
M. Khoirul Hadi
C. Simpulan
Artikel ini menemukan isu disabilitas dalam fikih menunjuk
beberapa kondisi. Pertama bahwa fikih difabel itu ada tetapi masih
samar samar, karena belum keberpihakan fikih terhadap hak-hak
disabilitas. Kedua, konsep untuk membangun fikih disabilitas dapat
dilakukan melalui konsep maqashid sayri’ah. Dengan demikian
peerjaan rumah tentang fikih disabilitas menjadi tantangan bagi
kaum muslimin termasuk masyarakat muslim Indonesai masih
belum atau “kurang” dalam memperhatikan konsep fikih disabilitas.
10
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Fikih Disabilitas : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maslahah
DAFTAR PUSTAKA
A. Rofiq (Ed), (2004)., Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta : Teras.
Abd al-Ghani, Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad, tt, al-Musāwādah
fī Uṣūl al-fiqih. Matba’ah al-Madani, Mesir.
Abd Rahman, Khalid, (1986)., Uṣūl al-Tafsir wa Qawā’iduhu. Beirut
: Dar al-Nafa’is.
Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad Abd al-Ghani, al-Musāwādah fī
Uṣūl al-fiqh, Matba’ah al-Madani, Kairo Mesir,
Al-Gazhali, (1970)., al-Must}asfa min ilm al-Usul kairo: Syirkah atTiba’ah al-Fannaiyyah al-Muttahidah.
Al-Gazhali, Abu Hamid, (1970)., al-Mustasfa min ilm al-Usul kairo:
Syirkah at-Tiba’ah al-Fannaiyyah al-Muttahidah.
--------, (1970)., Qāidah Jalīlah Fī al-Tawāsūl wa al-Wasīlah. Beirut:
Maktab Islami.
--------, -------,Bayân Talbîs al-Jahmiyyah (software Maktabah
Syâmilah).
-------, --------, Minhâj as-Sunnah an-Nabāwiyyah (software Maktabah
Syâmilah).
-------, --------,Tafsir al-Kabīr. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
-------, dan Ibnu Qayyim al-jauziyyah, (1982)., al-Qiyās Fi al-Syarī’ah
al-Islami, Beirut lebanon: Dar al-Afaq al-Jadidah.
Anwar, Rosihon, (2006)., Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia.
Baidan, Nashruddi, (2005)., Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Diyab, Abd Qadir Isa,,tt, Al-Mizan al-Adil li Tamyiz al-Haqq min
al-Bathil. Damasykus.
Hallaq, (1986)., “On the Origins of The controversy about The
Existence of Mujtahids and The Gate of Ijtihad, “ SI, 63.
Hallaq, Wael B, (1986)., “On the Origins of The controversy about
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
11
M. Khoirul Hadi
The Existence of Mujtahids and The Gate of Ijtihad, “ SI, 63
Isma’il, Muhammad Bakr, (1991)., Dirāsat fī ‘Ulūm al-Qur’ān . Kairo
: Dar al-Manar.
Jeanette Wakin, “Interprtation of the Divine Comand in The
Jurisprudence of Muawwaq al-Din Ibn Qudamah, dalam ILJ,
M. Ghalib M, 1998, Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya. Jakarta
: Paramadina.
Mansur, Salim ibn Abd Aziz Ali. (tt.), Uṣūl al-Fiqh wa Ibn Taimiyyah
juz 2. Tk: tp.tt.
Marzuq, Abi Hamid bin, (1967)., Barū’at al-Asy’ariyyīn min ‘Aqaid
al-Mukhalifīn, Damasykus : Al-Ilmu.
Muhammad, Yusuf Khatar, tt, Al-Mausū’ah al-Yûsūfiyyah fi alBayāni Adillati as-Shūfiyyah.
Salim, Abd Mu’in (Ed). (2005).. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta
: Teras.
Taimiyyah, Ibn, tt, Majmu’ al-Fatāwa (Software Maktabah Syamilah).
Taimiyyah, Ibnu (1970)., Qāidah Jalīlah Fi al-Tawāsūl wa al-Wasīlah
(Beirut : Maktab Islami.
Taimiyyah, Ibnu, dan Ibnu Qayyim al-Zaujiyyah, (1982)., al-Qiyās Fi
al-Syari’ah al-Islami, Beirut lebanon: Dar al-Afaq al-Jadidah.
Tim Puslitbang Lektur Keagamaan. (2003).. Pedoman Transliterasi
Arab-Latin. Jakarta : Proyek Pengkajian dan Pengembangan
Lektur Pendidikan Agama.
Yusuf Khatar, Isma’il, Muhammad Bakr, (1991)., Dirāsat fī Ulūm alQur’ān . Kairo : Dar al-Manar.
Zaharah, Muhammad, tt, Ibn Taimiyyah Hayūtuhu wa AsruhuAruhu wa Fiquhu Dar al-fikr, al-Arabi.
12
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Download