Artikel PENDIDIKAN KEPENDUDUKAN BAGI REMAJA MASALAH DAN SOLUSI Oleh: Sunartiningsih, SE Tidak terasa, Kota Yogyakarta yang selama ini dianggap sebagai kota kecil, sekarang sudah semakin ramai sampai-sampai jalan raya pun seakan tidak memberi celah untuk jalan. Tanpa terasa penduduk di Yogyakarta sudah banyak. Dan penulis sangat yakin bahwa hal itu tidak hanya terjadi di Yogyakarta, tetapi juga di tingkat nasional Indonesia maupun dunia. Penulis jadi ikut pusing melihat kondisi kependudukan sekarang ini. Penulis mendapat informasi dari berbagai sumber, bahwa bumi yang kita pijak ini penduduknya sudah mencapai 7 milyar jiwa. Itu terjadi pada tahun 2011 lalu. Sementara jumlah 6 milyar dicapai baru tahun 1999. Sebuah jumlah yang sangat besar. Apalagi bumi ini luasnya tidak pernah bertambah dan dia tetap merupakan planet kecil di tata surya kita. Konon luasnya hanya 510 juta km2 yang 2/3 nya adalah lautan. Indonesia sendiri, menurut hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduknya telah mencapai 137,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun. Dalam tataran negara-negara di dunia, Indonesia menduduki ranking ke 4 negara dengan penduduk terbesar setelah RRC (1,3 milyar jiwa), India (998,1 juta jiwa), dan Amerika Serikat (276,2 juta jiwa). Yang mengerikan, ternyata laju pertumbuhan penduduk Indonesia ini meningkat dibandingkan satu dasawarsa lalu yang hanya 1,45%. Dan sekarang ini negara kita seakan-akan mencetak negara Singapura baru setiap tahun dalam hal jumlah penduduk, karena setiap tahun negara kita jumlah penduduknya bertambah antara 3 – 4 juta jiwa. Itu baru berbicara masalah kuantitas. Kalau kita berbicara masalah kualitas tidak kalah mengerikan, Dari sisi derajat kesehatan, kematian ibu dan bayi masih memprihatinkan. Sekarang ini di negara kita masih ada 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dan 34 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup. Sementara dari sisi pendidikan, 60% penduduk negara kita hanyalah berpendidikan SD atau lebih rendah. Dan dari sisi harapan hidup hanya 72 tahun bagi perempuan dan 68 tahun bagi laki-laki, jauh di bawah rata-rata negara maju yang telah mencapai angka minimal 75 tahun. Sehingga tidak mengherankan bila Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bangsa kita termasuk rendah bila disbanding dengan negara-negara di dunia, yakni nomor 124 dari 187 negara-negara di dunia. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN saja negara kita nomor 6 setelah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina. Penulis sebagai seorang Penyuluh KB dari Kabupaten Kulon Progo merasa turut prihatin akan hal ini. Beberapa masalah yang menyangkut kependudukan dalam bidang pendidikan akhirakhir ini juga banyak kita temui seperti: anak miskin dan terlantar sehingga sama sekali tidak bisa mengenyam pendidikan di sekolah, anak-anak yang putus sekolah, anak jalanan yang kurang mendapatkan kesempatan menikmati sekolah yang berkualitas ditambah lagi daya tampung sekolah yang terbatas. Sebagaimana telah penulis kemukakan di muka bahwa penulis akan membahas tulisan penulis yang berjudul “Pendidikan Kependudukan bagi Remaja, Masalah dan Solusinya”. Judul ini saya pilih dengan alasan bahwa jumlah remaja di Indonesia jumlah maupun proporsinya sangat besar. Berdasarkan informasi dari BKKBN saat ini jumlahnya tidak kurang dari 67,9 juta jiwa atau 28,6% dari total penduduk 137,6 juta jiwa. Selain itu remaja bila tidak diberi pengertian yang luas tentang masalah kependudukan dan kesehatan reproduksi, mereka memiliki potensi besar untuk menikah di usia muda dan akan menambah percepatan laju pertumbuhan penduduk yang telah meningkat dalam satu dasa warsa terakhir ini. Kalau kita berbicara masalah pendidikan, filosofinya adalah bagaimana kita merubah mindset dan pola pikir seseorang yang berlanjut pada perubahan sikap dan tingkah laku. Dalam konteks ini, pendidikan diterjemahkan sebagai proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pembelajaran yang tersistem sehingga dapat berubah ke arah yang lebih baik. Sedangkan kependudukan diartikan sebagai hal ihwal yang berkaitan dengan penduduk (jumlah, struktur, pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, dan kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya, agama serta lingkungan penduduk setempat). Dengan demikian, pendidikan kependudukan merupakan pendidikan yang bertujuan untuk menggugah kesadaran dan kepedulian seluruh lapisan masyarakat (termasuk remaja) terhadap masalah kependudukan dan dampaknya, serta upaya yang harus dilakukan agar taraf hidupnya naik serta berperilaku hidup yang berwawasan kependudukan. Pendidikan kependudukan yang diharapkan dapat mendukung pencapaian visi Program KB yakni “Penduduk Tumbuh Seimbang 2015” dan Millenium Development Goals (MDGs) serta Pembangunan Berwawasan kependudukan sendiri ini dapat dilakukan melalui jalur formal, non formal maupun informal. Perilaku Hidup Berwawasan Kependudukan (PHBK) sendiri merupakan upaya memberdayakan masyarakat agar tahu, mau dan mampu mempraktekkan kehidupan berwawasan kependudukan serta berperan aktif dalam gerakan Keluarga Berencana (KB) di masyarakat. Terdapat 10 butir PHBK yang diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat, terutama Pasangan Usia Subur (PUS) dan remaja. Kesepuluh butir tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penundaan Usia perkawinan (PUP); laki - laki 25 tahun, perempuan 20 tahun 2. Memiliki 2 anak lebih baik (sekarang 2 anak cukup) 3. Pengaturan jarak kelahiran 4. Penggunaan alat kontrasepsi 5. Usah ekonomi keluarga 6. Persalinan ditolong tenaga kesehatan 7. Pelaporan setiap kelahiran, kematian dan perpindahan 8. Keluarga ramah anak dan lingkungan 9. Keluarga berkarakter (Sosial, Budaya dan Agama ) 10. Keluarga peduli pendidikan Dengan pendidikan kependudukan diharapkan masyarakat dan remaja memiliki 4 (empat) sikap peduli, yakni: (1) Peduli terhadap manusia dan kebutuhannya, (2) Peduli terhadap pertumbuhan penduduk dan kehidupan ekonominya, (3) Peduli terhadap pertumbuhan penduduk dan kehidupan sosial, budaya dan agama, (4) Peduli terhadap pertumbuhan penduduk dan lingkungan hidup. Persoalannya, tidaklah mudah memberikan pendidikan kependudukan ini pada para remaja kita. Setidaknya ada tiga faktor penyebab mengapa hal ini sulit dilakukan. Pertama, masih sangat sedikit para kepala sekolah/guru, tokoh formal dan non formal kita yang memiliki pengetahuan cukup memadai tentang kependudukan sehingga respon mereka terhadap pendidikan kependudukan selama ini kurang memenuhi harapan. Di lingkungan keluarga, para orangtua juga belum banyak yang tahu tentang pendidikan kependudukan ini. Kedua, adalah sebuah realitas bahwa sekarang ini dengan perkembangan teknologi informasi dan industri telekomunikasi telah menyebabkan para remaja kita sibuk dengan aktivitas pribadinya seperti menonton televisi, melanglang buana di dunia maya melalui internet, berkomunikasi melalui HP, Tablet, Gadget, atau bermain games dan aktivitas lainnya yang bersifat pribadi. Sehingga setelah jam- jam sekolah mereka hampir tidak ada waktu untuk berkumpul dengan teman-temannya apalagi dalam pertemuan resmi di dusun atau desa. Ketiga, pemberian pendidikan kependudukan di sekolah juga akan menemui banyak kendala. Salah satunya adalah padatnya jadwal pelajaran di sekolah. Bahkan menurut informasi yang penulis peroleh, kurikulum pendidikan di Indonesia merupakan kurikulum yang terpadat di dunia. Belum lagi respon sekolah terhadap pendidikan kependudukan dipastikan juga tidak sama, termasuk yang menjadi persoalan adalah siapa yang akan memberikan, kapan waktunya dan bagaimana pembiayaannya. Mengingat bahaya pertumbuhan yang cepat di negara kita yang telah ada depan mata, tidak ada alasan bagi kita untuk menunda-nunda pelaksanaan pendidikan kependudukan kepada masyarakat luas khususnya remaja. Dengan demikian, apapun masalah dan tantangannya, kita harus mencari jalan keluar untuk mengantisipasinya. Menurut pemikiran penulis, ada empat upaya yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi permasalahan tersebut agar nantinya pelaksanaan pendidikan kependudukan dapat berjalan lancar baik melalui jalur pendidikan formal, non formal maupun informal. Keempat cara tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, menggemakan perlunya pendidikan kependudukan sebaik mungkin melalui kegiatan promosi seluas-luasnya melalui semua saluran media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) yang ada seperti televisi, radio, internet, jejaring sosial (facebook, twitter), pemasangan pamflet, baliho, pembuatan mural/lukisan dinding, penyebarluasan leaflet, stiker, dan sebagainya. Dengan demikian para remaja kita menjadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang pendidikan kependudukan tersebut. Kedua, mengemas pendidikan kependudukan sebaik mungkin sehingga menumbuhkan minat remaja untuk mengikutinya dan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan kependudukan ini dapat tercapai. Bila perlu, penyampaian materi pendidikan kependudukan ini dikemas dalam bentuk diskusi, debat, atau dalam bentuk permainan/outbond. Penggunaan semacam kantong pesan kependudukan untuk mempermudah jalannya proses pertemuan penyuluhan merupakan ide kreatif yang dapat dilakukan dengan melibatkan nara sumber yang berkompeten, misalnya pakar kependudukan, pakar pendidikan atau pakar kesehatan. Ketiga, perlu adanya upaya penyiapan SDM yang berkualitas dalam hal pendidikan kependudukan ini melalui kegiatan pelatihan yang intensif oleh BKKBN sebagai penanggungjawab kegiatan ini. Peserta pelatihan adalah para kepala sekolah/guru, tokoh formal dan non formal, kepala keluarga dan remaja terpilih yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan para remaja atau masyarakat pada umumnya. Akan lebih bagus bila di antara mereka terdapat tokoh-tokoh pelajar atau tokoh pemuda yang berpengaruh di lingkungannya. Keempat, pemerintah khususnya BKKBN perlu menggugah kepedulian semua elemen masyarakat dalam kegiatan pendidikan kependudukan ini, baik itu tokoh formal, non formal, maupun informal melalui pendekatan serta upaya advokasi yang efektif dan berkelanjutan. Termasuk di dalamnya tokoh-tokoh LSM atau lembaga masyarakat yang peduli terhadap pendidikan kependudukan ini. Dan jangan sampai lupa, melibatkan kelompok PIK Remaja yang memiliki Pendidik Sebaya (PS) dan Konselor Sebaya (KS) karena mereka selama ini sudah sangat paham bagaimana caranya menyampaikan berbagai informasi tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang menarik minat remaja untuk mengikutinya. Sehingga menurut pandangan penulis tidaklah terlalu salah bila kita memanfaatkannya untuk kepentingan pendidikan kependudukan. Apalagi hal ini terkait dengan program Generasi berencana (GenRe) yang selama ini banyak disosialisasikan BKKBN. Terkait dengan hal tersebut, mengakhirki tulisan ini penulis menghimbau kepada BKKBN untuk tidak segan-segan melakukan kerjasama antara Dinas/Instansi terkait agar pendidikan kependudukan bagi remaja ini dapat berjalan sukses dan hasilnya benar-benar dapat dirasakan. Terutama dengan Dinas Pendidikan yang selama ini mendidik sebagian besar remaja kita melalui formal. Juga perlu dipikirkan untuk memasukkan pembelajaran mengenai kependudukan ini ke dalam kurikulum SMA dan yang sederajat. Sehingga remaja mengenal program pendidikan kependudukan sejak dini dalam rangka mengatasi masalah kependudukan serta memberikan solusi bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang. Sunartiningsih, SE Penyuluh KB Kecamatan Panjatan Kabupaten Kulon Progo