PEMIKIRAN MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ TENTANG FILSAFAT SEJARAH Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) Oleh Muslim NIM: 104033101064 JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2011 M. PEMIKIRAN MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ TENTANG FILSAFAT SEJARAH SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) Oleh: MUSLIM NIM: 104033101064 Di bawah Bimbingan Dr. Syamsuri, MA. NIP. 19590405 198903 1003 JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431/2011 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul Pemikiran Murtadhâ Muththahharȋ tentang Filsafat Sejarah telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 05 April 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada program studi Aqidah Filsafat. Jakarta, 20 Juni 2011 SIDANG MUNAQASYAH Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Drs. Agus Darmadji, M.Fils NIP.19610827 199303 1 002 Dra. Tien Rohmatin, MA NIP. 19680803 199403 2 002 Penguji I Penguji II Drs. Nanang Tahqiq, MA NIP. 19660201 199103 1001 Dra. Tien Rohmatin, MA NIP. 19680803 199403 2 002 Pembimbing Dr. Syamsuri, MA NIP. 19590405 198903 1003 iii KATA PENGANTAR Maha suci Tuhanku yang telah menciptakan akal kepada manusia. Sembah dan sujud hamba hanya kepada-Nya. Sungguh luar biasa ciptaan-Nya, akal dapat menentukan yang baik dan yang benar. Tanpanya, manusia jelas akan kehilangan makna yang terdalam. “Law kunnâ nasma’u aw na’qilu mâ kunnâ fȋ ashâbi alsya’ȋr”, “sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” Shalawat dan salam hamba selalu haturkan pada junjungan Nabi Muhammad, sebagai nabi yang telah membawa perubahan dan transformasi radikal dalam sejarah jaman umat manusia. Ajarannya tak akan pernah padam dalam setiap perdebatan ilmiah di ruang-ruang akademis, dan rakyat jelata sekalipun. Ajarannya telah mengerutkan akal manusia untuk terus berpikir dan berobsesi menuju perubahan-perubahan yang revolusioner, sehingga tetap dinamis mengkreasi karya-karya kontemporer. Penulis juga merasa bersyukur, karena telah merampungkan tugas akhir kuliah yakni penulisan skripsi. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa tanpa kontribusi pemikiran, gagasan serta dorongan berbagai pihak, sulit dibayangkan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu, dengan segala hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada: 1. Dr. Syamsuri, sebagai pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyusun skrispi ini. 2. Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Dra. Tien Rahmatin, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat, iv beserta seluruh staf pengajar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis selama menjalankan studi di fakultas ini. 3. Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin 4. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 5. Selanjutnya, salam ta′zhȋm penulis kepada ayahanda H. Masturoh dan Ibunda Hj. Aminah, yang selalu mendorong dan mendoakan penulis untuk terus melanjutkan pendidikan. Buaian dan kasing sayang yang diberikan mereka sungguh tak akan pernah terbalas oleh penulis 6. Kepada kakak-kakak tercinta H. Saiful Bahri SH beserta istri tercinta Hj. Siti Chadijah, Maemunah beserta suami terkasih (Bang Habibi) terima kasih atas segala bimbingan dan kontribusi moril maupun materil. Juga adik-adikku Rahmah Wati dan Ahmad Sifa, salam super. 7. Delove Dhea Markhamatul Aeni S.Farm, yang telah mendedikasikan dirinya untuk penulis dengan cinta dan kasih sayangnya yang selalu setia baik suka maupun duka dan selalu memotivasi penulis untuk selalu berkarya dan bekerja keras dalam menjalani kehidupan karena hidup adalah “samadengan” (=). 8. Kepada rekan-rekan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 2010-2012, semoga kepengurusan ini mampu mewarnai HMI dengan tradisi miliknya sendiri yang telah diprakarsai dan v diteladankan oleh para pendiri dan senior serta mampu menjadi pengimbang yang kreatif, cerdas, dan solutif. 9. Rekan-rekan Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 2008-2009, terima kasih atas kebersamaannya. 10. Rekan-rekan seperjuangan di BEM F Ushuluddin 2006-2007 Fajar dan Iweng, terima kasih atas kesolidan dalam kepengurusan sehingga mampu menciptakan kreasi yang gemilang. Salam sukses selalu. 11. Kawan-kawan kepengurusan BEM J 2005-2006, terima kasih atas kekompakan, semoga tetap menjadi creatif minority. 12. Komunitas Freedom Circle (KFC) dan Akademi Merdeka se Indonesia terima kasih atas suguhan intelektualnya yang selalu mendakwahkan kebebasan berpikir untuk keluar dari terali penjara intelektual. 13. Ali Kemal, Hasan al Banna, M. Hajid, Yosep, Ridwan, Mia Romadinia, dan kawan-kawan angkatan 2004 Aqidah Filsafat lainnya, terima kasih atas kongkow-kongkow kreatifnya. 14. Shul Amir, Shul Iqbal, Lhemot, Hazami, Rosi, Mu’ammar Midan, Aris, Abenk, dan kawan-kawan lainnya, terima kasih atas futsalnya. 15. Funny, Ibel, Upi, Lisa, dan rekan-rekan pengurus Komisariat Kedokteran lainnya, terima kasih atas karaokeannya. 16. Serta semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak disebutkan satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada kalian semua. vi Kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Sebagai penutup hanya doa jualah yang dapat penulis mohonkan kepada Allah swt, semoga selalu membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Ciputat, 04 Januari 2011 Penulis vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN ا a س s ك k ب b ش sy ل l ت t ص sh م m ث ts ض dh ن n ج j ط th و w ح h ظ zh ه h خ kh ع ‘ ء ’ د d غ gh ى y ذ dz ف f ر r ق q â = a panjang ȋ = i panjang û = u panjang DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING KATA PENGANTAR ……………………………………………... iii …………………………………………………… vii DAFTAR ISI ……………………………………………………………. viii TRANSLITERASI BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah ……………………………………. 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah …………………………….. 6 C. Tujuan Penelitian …………………………………………… 6 D. Manfaat Penelitian ………………………………………….. 7 E. Metode Penelitian …………………………………………… 7 F. Tinjauan Pustaka …………………………………………….. 8 G. Sistematika Penulisan ………………………………………. 11 BAB II BIOGRAFI MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ …………………… 12 A. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatannya ……… 12 B. Karya-Karya Murtadhȃ Muththahharȋ ………………………. 16 BAB III STUDI TENTANG SEJARAH DAN FILSAFAT SEJARAH … 22 A. Munculnya Filsafat Sejarah ………………………………… 22 B. Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah …...………………….. 23 C. Filsafat Sejarah dalam Islam …………………………………. 26 D. Filsafat Sejarah di Barat ……………………………………… 45 viii ix BAB IV PEMIKIRAN MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ TENTANG FILSAFAT SEJARAH ………………………………………….. 58 A. Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah ……………………... 58 B. Sifat dan Gerak Sejarah ……………………………………… 64 C. Evolusi dan Perubahan Sejarah ……………………………….. 77 D. Kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap Konsep Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis Karl Marx ………………. 85 BAB V PENUTUP ………………………………………………………. 92 A. Kesimpulan …………………………………………………... 92 B. Saran-saran ………………………………………………….. 95 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 96 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Filsafat sejarah merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari rangkaian keilmuan filsafat secara umum. Filsafat sejarah memiliki sudut pandang yang sangat berbeda dengan kajian sejarah atau kajian lainnya dalam hal bagaimana merespon dan mengamati peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi dalam kehidupan di muka bumi. Dalam tinjauan filsafat sejarah, sejarah bukan hanya menuliskan kejadian atau peristiwa secara kronoligis yang terjadi pada masa lampau, akan tetapi filsafat sejarah meninjau lebih dalam tentang pola dan karakter dari peristiwa-peristiwa yang mengemuka. Lahirnya filsafat sejarah, menurut peneliti modern, karena kecenderungan manusia yang terkenal sebagai “hewan sejarah”. Manusia, sejak zaman kuno tidak henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang ada dan yang terjadi di sekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang bisa menguraikan geraknya dari segi faktor-faktor yang membangkitkan dan dari akibat-akibat yang dihasilkannya.1 Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada pemahaman dan pengkajian itu secara filosofis. 1 Effat Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pusataka, 1986), h. 112-113. 1 2 Beberapa tokoh bermunculan dari ranah filsafat sejarah baik itu tokoh filsafat dari Islam maupun Barat. Filsafat Sejarah di Barat mengalami perkembangan yang menakjubkan. Perkembangan itu ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir besar di bidang ini. Antara lain, ST. Agustinus (1354-1430), terkenal dengan paham sejarah teologis, August Comte (1798-1854), dengan filsafat positivisme hukum, Herbert Spencer (1820-1903), dengan teori evolusi – di samping yang dikembangkan oleh Darwin Oswald Spengler (1880-1936), terkenal dengan teori daur kultur sejarahnya yaitu masa timbul, tumbuh, menua, dan hancur, G.W.F. Hegel (1770-1831), terkenal dengan filsafat sejarah spekulatif, filsafat sejarah formal dan material, Karl Marx (1818-1883) dengan materialisme historisnya, dan Arnold J. Toynbee (1889-1975) dengan teorinya tentang tantangan dan jawaban (challenge and response) atau yang terkenal dengan hukum kebudayaan dan pada hakekatnya juga disebut Hukum Sejarah.2 Berbeda dengan perkembangan filsafat sejarah Barat, filsafat sejarah Islam, kelihatan memiliki pasang surut dan uncontinuity, baik dalam pemunculan teori maupun dalam hal kemunculan para pemikir dan tokoh-tokohnya. Ibn Khaldûn misalnya, diakui baik oleh pemikir Islam sendiri (Timur) maupun oleh non Islam di Barat, merupakan “Bapak Filsafat Sejarah Islam” yang sangat berjasa. Ia dengan teorinya, The Culture Cycle Theory of History yang sangat terkenal itu, kelihatan tidak diikuti oleh pemikir dan generasi Muslim sesudahnya. 2 Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam, (Yogyakarta: Ar-ruzz Press, 2002), h. 13-14. 3 Dengan demikian, rentang tali perjalanan dan diskursus filsafat sejarah dalam Islam seolah terputus tanpa ada kontinuitas.3 Baru pada paro pertama abad ke 20, mulai muncul pemikir-pemikir Islam dengan karya-karya monumentalnya. Di antaranya Malik bin Nabi dari Maroko, Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan Abdul Hamid Shiddiqi dari Pakistan, serta Murtadhȃ Muththahharȋ dari Iran yang menjadi objek pembahasan dalam skripsi ini. Berbeda dengan di dunia Islam, di Barat, teori filsafat sejarah terus diasah dan diuji. Kehadiran teori “Dialektika Materialisme Historis” yang dipelopori oleh Karl Marx misalnya, merupakan penyahutan terhadap teori “Dialektika”-nya Hegel.4 Islam menaruh perhatian yang besar terhadap sejarah. Sekitar dua per tiga dari keseluruhan ayat al-Qur’ân yang terdiri atas 6660 ayat lebih itu, memiliki nilai-nilai atau norma sejarah. Al-Qur’ân berbicara tentang perubahan dalam sejarah, di mana perubahan itu menurut penegasan Allah sangat ditentukan oleh kebaikan dan keburukan perbuatan manusia. Hal ini seperti kebiadaban kaum kafir terhadap Nabi Muhammad, yang diabadikan oleh Allah swt. Dalam firmanNya; “Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan” (QS. an-Nahl: 127).5 3 Ibid, h.14. Ibid, h. 14-15. 5 Mazheruddin Siddiqi, Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah. Penerjemah Nur Rachmi et.al (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 1. 4 4 Di samping itu, al-Qur’ân juga berbicara sebab-sebab khusus terjadinya disintegrasi sosial-bangsa yang disebabkan oleh tingkah polah dan ulah manusia sendiri yang sudah terlalu jauh menyimpang dari sendi-sendi kebenaran hakiki. Dalam ranah ini, Allah swt. telah berfirman dalam QS. al-An’âm: 131: “Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah.” Maksud ayat ini antara lain, Allah tidak akan mengadzab penduduk satu desa atau kota meskipun mereka berbuat kekafiran, sebelum diutus rasul yang akan memberi peringatan kepada mereka. Akan tetapi kalau telah diutus seorang rasul kepada mereka, dengan kitab suci yang ditinggalkan sebagai pedoman hidupnya, dan mereka tetap berbuat kezaliman dan kekufuran, maka Allah swt. akan mengazab mereka di dunia dan di akhirat kelak.6 Begitu juga dalam QS. Hûd: 117, Allah swt. menyebutkan, “tidak sekalikali membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduk negeri itu adalah orang-orang yang berbuat kebaikan”. Maksud ayat ini, dengan jelas Allah swt. menyatakan bahwa pembinasaan dan pendatangan musibah dari-Nya baru ditimpakan, jika satu kampung atau masyarakat suatu negara berbuat kezaliman. Karena itu, nyata pula bahwa perhatian Allah swt. terhadap tingkah polah dan perubahan-perubahan yang terjadi pada manusia begitu besar.7 Pengungkapan selintas tentang ayat-ayat di atas, dapat dikatakan bahwasanya Islam memandang bahwa kehidupan merupakan proses yang 6 7 Mazheruddin Siddiqi, Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah, h. 1. Mazheruddin Siddiqi, Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah, h. 20. 5 menyejarah, di mana kekuasaan berlaku serta bergerak ke depan dan ke belakang, maju atau mundur, kaya atau miskin, berhasil atau gagal. Murtadhȃ Muththahharȋ adalah seorang ulama intelektual abad ke-20 yang dijadikan sebagai salah seorang model sarjana Islam yang telah memenuhi tiga syarat yang banyak diimpikan, tetapi jarang bertemu dalam satu pribadi yaitu akar yang kokoh pada studi Islam tradisional, penguasaan memadai atas ilmu-ilmu non-agama, dan sebagai penulis yang sangat produktif sehingga memiliki karyakarya nyata di bidang sosial. Selain itu, Muthahhari juga memiliki latar belakang yang kuat dalam filsafat dan ‘irfân (gnosis). Dia telah berupaya menerapkan kedua hal tersebut pada tataran realitas sosial kontemporer. Dari sekian banyak karyanya, ia memiliki pemikiran yang komprehensif mengenai filsafat sejarah, di mana pemikirannya tersebut dilandaskan pada ayatayat al-Qur’ân. Kajiannya tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan kerangka pemikiran baru tentang filsafat sejarah tetapi juga untuk melawan pemikiran-pemikiran sejarah yang ada terutama pemikiran Karl Marx tentang materialisme dialektis dan materialisme historis. Murtadhȃ Muththahharȋ, mendefinisikan sejarah sebagai satu ilmu dalam empat pengertian, yang pertama, secara khusus sebagai ilmu tentang fenomena serial dari pribadi dan individual, kedua, sebagai sebuah narasi, ketiga, ilmu tentang being (maujud atau eksistensi), bukan sebaliknya sebagai ilmu becoming, keempat, ilmu berkenaan tentang masa lalu, bukan masa sekarang. Pada sisi lain, Muththahharȋ, dalam mendefinisikan sejarah, dengan cara membagi sejarah dalam tiga cara dan arti. Di antara ketiga cara itu memiliki 6 hubugan yang tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi yang menjadi fokus perhatian dan prioritas pembahasannya yang agak lebih luas hanya dua, yaitu sejarah ilmiah dan filsafat sejarah.8 Walaupun demikian, ketiga pengertiaannya tetap akan diungkapkan dalam skripsi ini. Pembahasan lebih luas mengenai gagasan filsafat sejarah Muththahharȋ, penulis membahasnya pada bab-bab selanjutnya. Dari latar belakang pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam pembahasan skripsi yang berjudul “Pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang Filsafat Sejarah”. B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis membatasi dan memfokuskan pada pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah serta kritiknya terhadap materialisme dialektis dan materialisme historis Karl Marx. Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah a. Bagaimana pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah b. Bagaimana kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap materialisme dialektis dan materialisme historis karl marx C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini yaitu: 8 Murtadhȃ Muththahharȋ, Man and Universe. Penerjemah Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera, 2002), h. 303-305 7 1. Sebagai upaya memahami pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah. 2. Menelaah pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ bagaimana ia mengulas tentang filsafat sejarah yang di dalamnya ia menjelaskan sifat dan gerak sejarah serta kritik tajamnya terhadap pemikiran Karl Marx tentang materialisme dialektis dan materialisme historis 3. Menelaah gagasan dan perkembangan filsafat sejarah dalam Islam D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian skripsi ini, secara teoritis, berguna untuk mengembangkan diskursus keilmuan di bidang pemikiran filsafat sejarah. Oleh karenanya penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat menggugah para peneliti untuk mengkaji dan mengembangkan pemikiran filsafat sejarah. Di samping itu penelitian skripsi tentang filsafat sejarah ini sangat mungkin untuk dijadikan sebagai sumber inspirasi atau pedoman dalam mengamati sifat dan gerak sejarah kehidupan umat manusia secara global. E. METODE PENELITAN Penelitian skripsi ini merupakan studi kepustakaan (library research). Objek material penelitian ini adalah pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ secara umum dan objek formalnya berhubungan dengan pemikirannya seputar persoalan filsafat sejarah meliputi pengertian dasar dari filsafat sejarah, sifat, dan gerak 8 sejarah disertai juga kritiknya terhadap materialisme dialektis dan materialisme historis Karl Marx. Sumber dan data primernya adalah karya-karya yang langsung ditulis oleh Murtadhȃ Muththahharȋ baik itu yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, mengingat karyakarya orisinil Murtadhȃ Muththahharȋ sebagian besar ditulis dalam bahasa Iran. Sedangkan sumber sekunder ialah karya-karya yang membahas tentang filsafat sejarah. Sumber-sumber sekunder inilah yang penulis gunakan untuk menganalisis pandangan Murtadhȃ Muththahharȋ. Adapun dalam hal pembahasannya, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Artinya menggunakan sumber-sumber yang ada lalu mendeskripsikannya, kemudian dianalisis mengenai bagaimana pemikiran Murtadhȃ Muthahharȋ tentang filsafat sejarah. Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini disandarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), Jakarta, Ceqda, 2007. F. TINJAUAN PUSTAKA Sepanjang pengamatan dan pengetahuan penulis, sudah terdapat beberapa penelitian yang mengkaji pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ, di antaranya yaitu: 1. Yuli Astuti dengan judul Kebebasan Manusia dalam Perspektif John Stuart Mill dan Murtadhȃ Muththahharȋ (Sebuah Studi Komparasi). (Skripsi: Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2001 M). 9 Dalam skripsi tersebut, ia melakukan studi komparatif terhadap dua pemikir yang berbeda kultur dan menaruh perhatian pada masalah kebebasan manusia. Menurutnya, terdapat persamaan dan perbedaan dalam pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ dan John Stuart Mill mengenai kebebasan. 2. Izkar Sobah dengan judul Kejahatan dan Keadilan Tuhan dalam Perspektif Teologi Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi: Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006). Dalam skripsi tersebut ia menulis bahwa Tuhan Maha adil dan kejahatan tidak membuat-Nya untuk tidak adil. Sesungguhnya Tuhan menyayangi hamba-hamba-Nya. Adapun adanya kejahatan dan keburukan adalah bukti kasih sayang-Nya sebagai bentuk ujian bagi manusia untuk menjadi lebih baik dan hal ini adalah tanda bahwa Tuhan selalu memperhatikannya. 3. Muniroh dengan judul Konsep Fitrah Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008). Dalam skripsi tersebut ia mengatakan bahwa yang dimaksudkan Muththahharȋ adalah fitrah yang berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan dan prinsip-prinsip berpikir yang tak lain bersifat fitrah. Manusia itu sendiri memiliki fitrah di antaranya ialah dalam hal mencari kebenaran atau kesempurnaan, condong kepada kebaikan, cenderung kepada keindahan, berkarya dan cinta (menyembah). 10 4. Nurdin Kadir dengan judul Konsep Zuhud Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi Program Studi Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2008). Dalam penelitiannya tersebut, ia mengatakan bahwa terdapat pemikiran tentang zuhud yang dianggapnya bias dari makna sebenarnya dan Muththahharȋ mencoba untuk meluruskan pemikiran tersebut. Bagi Muththahharȋ arti zuhud adalah perasaan puas dengan kehidupan yang sederhana dalam hal makan, berpakaian, dan bertempat tinggal. Dalam semua aspek kehidupannya, orang zuhud akan merasa puas dengan kehidupan yang sederhana. Berbagai kajian tentang pemikiran Murtadha Muththahhari sebagaimana dipaparkan di atas sangat penting dan kontributif bagi skripsi ini, setidak-tidaknya sebagai bahan pengayaan dan perbandingan dalam pembahasannya. Akan tetapi, hemat penulis, dari sejumlah pembahasan tersebut tidak satu pun yang mengkaji pemikiran Filsafat Sejarah Murtadhȃ Muththahharȋ secara serius dan mendalam sebagaimana yang akan penulis bahas dalam skripsi ini. 11 G. SISTEMATIKA PENULISAN Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab, terdiri dari: Bab I Pendahuluan meliputi: latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II Biografi Murtadhȃ Muththahharȋ meliputi: latar belakang pendidikan, karier, dan kegiatan, dan karya-karya Murtadhȃ Muththahharȋ Bab III Studi tentang sejarah dan filsafat sejarah yang pembahasannya meliputi: munculnya filsafat sejarah, perngertian sejarah dan filsafat sejarah, filsafat sejarah dalam Islam, dan filsafat sejarah di Barat Bab IV Pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah yang pembahasannya meliputi: pengertian sejarah dan filsafat sejarah, sifat dan gerak sejarah, dan kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap konsep materialisme dialektis dan materialisme historis Karl Marx BAB V Penutup yang meliputi: kesimpulan dan saran-saran. BAB II BIOGRAFI MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ A. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatannya Al-Syâhid Ayatullah Murtadhȃ Muththahharȋ lahir pada tanggal 2 februari 1920/1338 Hijriyah di Fariman, dekat Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum Muslim Syiah yang besar di Iran Timur. Ayahnya bernama Muhammad Husein Muthahharȋ, adalah ulama cukup terkemuka.1 Pada usia 12 tahun, Muththahharȋ mulai belajar agama secara formal di Masyhad, yang kemudian menumbuhkan kecintaannya pada filsafat, teologi, dan tasawuf (‘irfân). Kecintaan ini berada pada dirinya sepanjang hidupnya dan membentuk pandangan menyeluruh tentang agama. Figur di Masyhad yang mendapat curahan perhatian terbesar Muththahharȋ adalah Mirza Mahdi Syahidi Razavi, seorang guru filsafat. Namun, Razavi wafat pada 1936, ketika Muthahhari belum cukup umur mengikuti kuliah-kuliahnya. Ia meninggalkan Masyhad pada tahun berikutnya, sebagian karena alasan ini, untuk belajar di lembaga pengajaran di Qum yang kian diminati oleh banyak siswa.2 Di Qum Muththahharȋ belajar di bawah bimbingan dua ayatullah: Borojerdi dan Khomeini. Selagi menjadi mahasiswa, Muththahharȋ menunjukkan minat yang besar pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Gurunya yang utama dalam filsafat adalah Allamah Thabathaba′i. Ia mengenal secara mendalam segala aliran filsafat sejak Aristoteles sampai Sartre. Ia membaca 11 jilid tebal 1 Murtadha Muthahhari, Kritik Islam Terhadap Materialisme. Penerjemah Akmal Kamil (Jakarta: Islamic Center Jakarta al-Huda, 2001), h. 9 2 Ibid., h. 9 12 13 Kisah Peradaban, Kelezatan Filsafat, dan buku-buku lainnya yang ditulis oleh Will Durant. Ia menelaah tulisan Sigmund Freud, Bertrand Russel, Albert Eisntein, Erich Fromm, Alexis Carrel, dan pemikir-pemikir lainnya dari Barat. Tetapi, berbeda dengan sebagian cendekiawan pesantren yang mempelajari Barat karena rasa rendah diri –lalu bersuara lantang mengutip pakar-pakar Barat dan malu-malu menyebut pemikir-pemikir Islam – Muththahharȋ tampil dengan suara Islam yang fasih. Pada 1934, dalam usia 36 tahun, ia mengajar logika, filsafat, dan fiqh di Fakultas Teologia, Universitas Teheran. Ia juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang diasuhnya: kuliah fiqh, kuliah al-ushủl, kuliah ilmu kalam, kuliah al-′irfân (Tasawuf), kuliah logika, dan kuliah filsafat. Otaknya yang cemerlang dan ilmunya yang luas dapat memberikan kehidupan yang nyaman baginya. Tetapi, ia memilih badai daripada damai. Ia banyak menulis dan aktif berdakwah. Khutbahnya di Radio Teheran masih terdengar sampai 1382 H. Tulisan-tulisannya sampai kini masih dibaca orang tanpa kehilangan aktualitas. Ia temasuk arsitek Revolusi Islam di Iran. Jika Ali Syari’ati dapat disebut wakil intelektual yang ulama, Muththahharȋ adalah wakil ulama yang sekaligus intelektual.3 Muththahharȋ berjuang bukan sekadar lewat pena dan lidahnya. Ia juga memberikan segala yang dimilikinya. Pada 1963, ia ditahan bersama Ayatullah Khomeini. Ketika Khomeini dibuang ke Turki, ia mengambil alih imamah dan menggerakkan para ulama mujahidin. Bersama ulama lainnya, ia mendirikan 3 Jalaluddin Rakhmat, “Muththahhari: Sebuah Model buat Para Ulama,” dalam Murtadha Muthahhari, Membumikan Kitab Suci Manusia dan Agama (Bandung: Mizan 2007), h. 13 14 Husainiya-yi Irsyad sebagai markas kebangkitan intelektual Islam. Ia turut pula menghimpun dana buat para pengungsi Palestina. Sebagai ulama, ia pun menjadi imam Masjid Al-Jawad dan mengubah masjid itu menjadi pusat gerakan politik Islam. Pada 1972 Husyainiya-yi Irsyad dan Masjid Al-Jawab dilarang secara politik oleh rezim Syah dan Muththahharȋ kembali lagi masuk penjara. Kemudian ia bebas lagi. Pengalaman penjara tidak mengubah langkahnya. Ia melanjutkan kegiatan-kegiatan politiknya. Pada 1978, ketika Muththahharȋ mengecam pembuangan Ayatullah Muntazerri, rezim Syah melarang semua kuliah dan khutbahnya.4 Di samping itu, ia juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya “Jam’iyah Ulama Militan” (Jami’ayi Ruhaniyat-i Mubariz). Sedemikian banyaknya peran aktif yang dilakukan dalam mendukung gerakan revolusi membuat dirinya juga sangat dekat dengan Imam Khomeini. Setelah Imam pindah ke tempat pembuangannya di Paris, Muththahharȋ temasuk di antara kelompok ulama yang ikut dan berkonsultasi. Pada 12 Januari 1979 Muthahharȋ diangkat sebagai ketua Dewan Revolusi Islam yang anggotanya antara lain Bazargab, Yazdi, Qotbzadeh, Behesyti, Bahonar, dan Rafsanjani. Pada tanggal 1 Mei 1979 aktivitasnya dalam mendukung dan mengembangkan Revolusi dihentikan secara brutal oleh kelompok Furqan. Dia dibunuh setelah memimpin rapat Dewan Revolusi Islam di rumah Dr. Yadullah Sahabi. Sebuah peluru bersarang tepat mengenai kepalanya dan tembus di atas 4 Jalaluddin Rakhmat, “Kata Pengantar,” Muththahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama, dalam Murtadhâ Muththahharȋ, Membumikan Kitab Suci Manusia dan Agama., h. 14 15 kelopak matanya. Meskipun ketika syahid dia adalah ketua Dewan Revolusi Islam, tetapi dirinya tidak dapat dipisahkan dari dunia pemikiran dan tulisan.5 Kehidupan Muththahharȋ diabdikan untuk perjuangan politik dan perjuangan ideologis. 6 Dalam hal perjuangan ideologis ia menulis tentang masalah-masalah filsafat, sosial, akhlak, fiqh, dan sejarah. Muthahhari adalah salah seorang tokoh yang mampu memformulasikan konsep al-Qur’an dalam paradigma yang jelas terutama yang berkaitan dengan filsafat sejarah. Pemikirannya berkenaan dengan filsafat sejarah (philosophy of history) banyak ditujukan untuk mengkritik filsafat materialisme. Muththahharȋ sendiri mulai menaruh minat kepada filsafat materialis, khususnya Marxisme, tak lama setelah mempelajari secara resmi ilmu-ilmu rasional. Menurut hematnya, pada sekitar 1946 ia mulai mempelajari terjemahanterjemahan Persia literatur Marxis yang diterbitkan oleh partai Tudeh, organisasi Marxis besar di Iran dan ketika itu merupakan suatu kekuatan penting di arena politik. Selain itu, ia membaca tulisan-tulisan Taqi Arani, teoritisi utama partai Tudeh, maupun penerbitan-penerbitan Marxis dalam bahasa Arab yang berasal dari Mesir. Mulanya ia agak sulit memahami teks-teks ini, sebab ia belum mengenal terminologi filsafat modern. Dengan terus-menerus berupaya keras termasuk dengan menyusun sinopsis buku Elementary Principles of Philosophy 5 Muththahharȋ, Kritik Islam Terhadap Materialisme, h. 10-11 Perjuangan ideologis yang dilakukan Muthahharȋ adalah upaya untuk menyikapi problema yang dihadapi masyarakat pada era beliau hidup, beliau memiliki perjuangan ideologis jangka pendek dan jangka panjang. Perjuangan jangka pendek beliau lakukan untuk melawan kebijakan-kebijakan elit politik Iran yang mencoba untuk melemahkan semangat keislaman masyarakat Iran, serta melawan pemikiran-pemikiran yang dinilai berbahaya bagi moralitas umat Islam. Sedangkan perjuangan ideologis jangka panjang didorong oleh empat faktor yaitu: pertama, gerakan meniru Barat, kedua, gerakan meniru Timur, ketiga, Marxisme, Keempat, kebutuhan akan pengenalan pengetahuan Islam. Lihat Hamid Algar, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, Sang Mujtahid, penyunting, Haidar Bagir, (Bandung: Yayasan Muthahhari 1988) h. 56-58 6 16 karya George Pulitzer –akhirnya ia menguasai filsafat materialisme. Sejumlah besar penolakan terhadap Marxisme telah dieseikan di dunia Islam, baik di Iran maupun di lain tempat, namun hampir semuanya tak lebih berkisar pada ketidaksesuaian Marxisme dengan keyakinan keagamaan serta ketidakkonsistenannya dengan kegagalan politis parta-partai politik Marxis.7 B. Karya-Karya Murtadhȃ Muththahharȋ Murtadhȃ Muththahharȋ merupakan filosof Muslim Syiah kontemporer yang menghasilkan banyak karya. Meskipun disibukkan dengan berbagai aktivitas sosial politik dan kerja intelektual semisal mengajar dan berdiskusi, Muththahharȋ tetap dapat mengkonsentrasikan diri untuk menuangkan gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan yang berjumlah sekitar enam puluhan dan hingga kini dapat dikonsumsi oleh banyak kalangan. Di antara karya-karya tersebut adalah : 1. Inna al-dȋn ′indallâh al-Islâm, buku ini diterbitkan oleh penerbit Mansyûrat al-Rabȋ dan telah diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dengan judul Islam dan Tantangan Zaman dan diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1417 H/1996 M. Di dalam buku ini terdapat dua hal yang ingin dicapai, pertama, bagaimana umat Islam mengetahui secara benar ajaran Islam yang murni sebagai bentuk filsafat sosial dan keyakinan ketuhanan, pola pikir, dan kepercayaan yang konstruktif dan kemprehensif. Kedua, bagaimana Islam menyikapi perubahan zaman yang setiap saat mengalami perubahan, tidak 7 Hamid Algar, Murtadha Muththahhari Sang Mujahid, Sang Mujtahid, penyunting, Haidar Bagir, (Bandung: Yayasan Muthahhari 1988), h. 32-33 17 tetap, dan semakin bertambah kompleks, sementara pada saat bersamaan Islam adalah agama yang secara esensial bersifat tetap dan tidak berubah. Sebagai sebuah agama samawi terakhir dan paripurna, Islam dan segenap doktrinnya sama sekali tidak tidak mengalami penghapusan dan perubahan – ia bersifat abadi. Tepat pada titik ini, timbul berbagai pertanyaan ihwal relevansi Islam dengan berbagai tuntutan dan tantangan zaman. Mampukah Islam menghadapi tuntutan dan tantangan zaman? Mungkinkah dua hal yang saling bertentangan bisa berjalan seiring dan berpadu? Bagaimana mungkin Islam yang bersifat tetap dan tidak berubah sanggup menuntun dan membimbing zaman yang selalu berubah dan tidak tetap? 2. The Cause Rersponsible for Materialist Tendencies in the West. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Kritik Islam terhadap Materialisme. Buku tersebut merupakan karya Muthahharȋ yang sangat diminati dunia kampus dan aktifis. Dalam buku ini, dia mengkritisi secara tajam konsepsi filsafat ketuhanan yang dibangun dari doktrin kaku gereja; yang kemudian mengantar manusia memandang semua realitas hanya terbatas pada wilayah materi semata-mata. Dengan kepiawaiannya dalam membaca sudut pandang filsafat dan sosiologi Barat serta telaahnya yang mendalam tentang nash-nash al-Qur’ân, Muththahharȋ membuktikan kepada kita betapa rancunya doktrin-doktrin yang ada dalam ajaran materialisme. Bahkan secara yakin Muththahharȋ berkesimpulan bahwa paham materialisme pada hakekatnya tiada lain adalah sisa-sisa peninggalan peradaban manusia 18 yang hampir punah; dan karenanya tidak dapat dijadikan pandangan dunia di abad modern. 3. Introduction to Kalâm. Buku ini telah diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan Judul Mengenal Ilmu Kalam: Cara Menembus Kebuntuan Berfikir, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Zahra. Di dalam buku ini Muththahharȋ membahas doktrin-doktrin dasar ulama kalâm beserta modifikasinya meskipun merujuk dari pemahaman teologi Muktazilah dan Asyariyah, akan tetapi teologi yang ditawarkan Muththahharȋ telah menampilkan wajah menengah yang mencoba mengambil posisi tengah. 4. Membumikan Kitab Suci, Manusia dan Agama. Buku ini diterjemahkan dari beberapa buku berbahasa Arab dan Inggris karya Murtadhȃ Muththahharȋ, yang diterbitkan oleh Free Islamic literatures, Inc, Houston, Texas. Buku ini merupakan proyek Muthahharȋ dalam menyikapi krisis manusia kontemporer yang telah meluas yakni ketika fragmentasi, kehampa-maknaan, ketiadaantujuan, kekosongan, kekacauan yang tidak terhingga, represi negara adidaya, dan perang destruktif melawan kemanusiaan telah menjadi semakin merajalela. Oleh karenanya manusia membutuhkan kedamaian spiritual dan batiniah. Manusia semakin membutuhkan makna dan arah dalam hidup serta memerlukan iman terhadap suatu Realitas Transenden yang melampaui kebutuhan-kebutuhan material manusia. Beliau mengulas secara gamblang mengenai arti penting agama serta iman dalam konteks perkembangan manusia kontemporer saat ini. 19 5. Ȃsha’i bâulum-e Islâmi, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pengantar ke Ilmu-ilmu Islam yang terdiri dari tujuh bagian, masing-masing tentang: Logika, Filsafat, Kalâm, ‘irfân, Fiqh, Ushul Fiqh, dan Etika. Di sini pula, Muththahharȋ menjelaskan pentingnya epistemologi dan metodologi dalam pemikiran maupun perjuangan Islam. Keduanya merupakan kunci untuk menguasai ilmu-ilmu Islam. 6. Man and Universe (1417 H/1997 M), karya ini diterbitkan oleh penerbit Ansariyah Publication, Qum. Juga telah diterbikan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Manusia dan Alam Semesta : Konsepsi Islam tentang Jagat Raya oleh PT Lentera Basritama pada tahun 1422 H/2002 M. Buku ini membahas poin-poin penting berkenaan dengan manusia dan alam semesta. Di dalamnya, Muththahharȋ mengupas konsep manusia dan binatang, ilmu pengetahuan dan agama, majhab pemikiran, sumber-sumber pemikiran dalam Islam, konsepsi alam semesta, tauhid dan syrik, kearifan dan keadilam ilahi, wahyu dan kenabian serta masalah imamah (kepemimpinan) dan akhirat. 7. Falsafatul Akhlâk, buku ini sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan Judul Filsafat Moral oleh penerbit al-Huda pada tahun 2009. Buku ini merupakan panduan reformasi moral sekaligus tawaran solusi bagi krisis moral. Dalam buku ini, Muththahharȋ mempertanyakan kembali pengertian perbuatan-perbuatan moral manusia yang dianggap sudah tinggal pakai (taken for granted), sembari mengkritisi dan mendekonstruksi berbagai pandangan moral baik dalam tradisi Barat maupun Timur, kemudian merekonstruksi sebuah paradigma moral Islam. 20 8. Al-‘Adl Ilâhi (1401 H/1981 M), buku sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Keadilan Ilahi oleh penerbit Mizan pada tahun 1413 H/1992 M. Dalam buku tersebut, Muththahharȋ melakukan eksplorasi atas tema penting dalam khazanah keilmuan-keislaman tersebut, sekaligus mendemonstrasikan wawasan luasnya untuk membuktikan pernyataannya itu. Dalam mengkaji keadilan ini, beliau menggunakan pendekatan naqli (pendekatan berdasarkan nash-nash dan hadis) sekaligus aqliah (pendekatan filosofis berdasarkan rasio). Muththahharȋ menjelaskan secara panjang lebar perdebatan menarik berkaitan dengan soal ini –suatu perdebatan panjang yang akhirnya menghasilkan dua majhab teologis terkenal dalam pemikiran Islam, yaitu asy′ariah dan mu’tazilah. Kemudian, dia juga menjelaskan munculnya soal prinsip keadilan dalam dunia fiqh yang dicerminkan dengan pertentangan antara ahli qiyas dan ahli hadȋs. 9. Pendekatan filsafat Sejarah, Menguak Masa Depan Umat Manusia (1411 H/1991). Buku ini merupakan kumpulan tulisan Murtadhȃ Muththahharȋ yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Hidayah dalam bahasa Indonesia. Di dalam buku tersebut, Muththahharȋ menguraikan mengenai konsep sejarah dalam Islam. Muththahharȋ percaya bahwa gerak sejarah bersifat progresif, karena menurutnya sifat esensial manusia adalah baik. Kalaupun pada saat-saat tertentu keburukan (fujur/qubh) mendominasi sifat kebaikan (husn)manusia, hal itu hanyalah sebuah pengalaman kemunduran atau kemerosotan relatif kehidupan manusia saja.. 21 Jadi, konsep Islam merupakan gabungan antara determinisme yang mengambil bentuk sunnah Allah dan sifat progresif sejarah dan kebebasan manusia serta peran manusia dalam berayun di antara kejayaan (rise) dan kemerosotan (decline) –antara, menggunakan terminologi al-Quran, ahsan taqwȋm dan asfal sâfilȋn. Mengenai sifat progresif gerak sejarah ini, betapapun menyiratkan determinisme, tak ada sesuatu yang salah di dalamnya, karena ia hanya memberikan optimisme bagi hidup manusia di muka bumi. BAB III STUDI TENTANG SEJARAH DAN FILSAFAT SEJARAH A. Munculnya Filsafat Sejarah Manusia sejak zaman kuno tidak henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang terjadi di sekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang bisa menguraikan geraknya –dari segi faktor-faktor yang membangkitkannya dan dari akibat-akibat yang dihasilkannya. Oleh karenanya banyak peneliti yang mengatakan bahwa manusia adalah “hewan sejarah.”1 Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia, merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada pemahaman dan pengkajian peristiwa itu secara filosofis. Kenyataan tersebut dapat dilihat ketika manusia berada dalam era mitologis sebagaimana pernyataan Effat Syarqawi di dalam buku filsafat kebudayaan. Menurutnya, pada masa mitologis itu manusia memuja dewa-dewa, kekuatan-kekuatan gaib, dan alam dalam upayanya menafsirkan secara teleologis hubungan berbagai peristiwa. Selanjutnya, dengan perkembangan kemampuan manusia untuk menguasai alam lewat penemuan-penemuan ilmiah, bergeraklah penafsiran sejarah dari suatu kronik peristiwa-peristiwa ke metode sejarah pragmatis.2 1 2 Effat Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 112-113 Ibid., h. 113 22 23 Sementara ahli yang pertama kali menggunakan istilah filsafat sejarah adalah Voltaire.3 Mula-mula Voltaire menggunakannya dalam kata pengantar karyanya yang berjudul Essay sur les moere et l’espirit des nations. Kata pengantar buku itu sendiri berjudul Philosophie de l’historie, yang berarti filsafat sejarah. Buku tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis Voltaire dalam rentang tahun 1753-1758 M. Sejak saat itu, tepatnya istilah filsafat sejarah digunakan Voltaire pada tahun 1756 M, istilah filsafat sejarah mulai dikenal di kalangan pemikir dan intelektual.4 B. Pengetian Sejarah dan Filsafat Sejarah Sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun” berarti pohon. Kata ini memberikan gambaran mengenai pengertian ilmu sejarah secara analogis karena memberikan persepsi tentang pertumbuhan peradaban manusia yang mirip dengan “pohon” tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon rindang dan berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau pesanpesan sejarah di dalamnya diperlukan kemampuan untuk menarik pesan-pesan yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah di dalamnya.5 Sedangkan menurut Kuntowijoyo, sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Tetapi jangan dibayangkan sebagai membangun masa lalu untuk kepentingan masa lalu sendiri, itu antikuarianisme dan bukan sejarah. Dengan bahasa sederhana, ia mengibaratkan 3 Francois Marie Arout Voltaire lahir di Paris pada 21 November 1694 dan meninggal 30 Mei 1778. Ia seorang filosof dan pujangga (literary)tersohor dan sangat berpengaruh dalam masa pencerahan (enlightenment) di Perancis pada abad ke-18 M. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 57 4 Robin George Collingwood, The Idea of History, (London, New York: Oxford University Press, 1976), h. 1-2 5 Ahmah Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah (Bandung: Mizan, 1995), h. 20 24 dengan bermain-main batang korek yang terserak-serak tidak jelas, kemudian menyusunnya jadi petak-petakan, orang-orangan, rumah-rumahan, dan sebagainya. Ada definisi sejarah yang tautologis yang mengatakan bahwa sejarah ialah apa yang dikerjakan sejarawan. Tautologi ini menegaskan bahwa sejarawan mempunyai kebebasan dalam rekonstruksi. Yang mengikat sejarawan adalah hanyalah “batang korek” yang berupa fakta sejarah. Jadi yang direkonstruksi sejarah ialah apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh orang. Sejarawan dapat menulis apa saja, asalkan memenuhi syarat untuk disebut sejarah.6 Pendapat lain dikatakan oleh Louis Gottschalk, kata Inggris history (sejarah) berasal dari kata benda Yunani istoria, yang berarti ilmu. Dalam penggunaannya oleh filsuf Yunani Aristoteles, istoria berarti suatu penelaahan sistematis mengenai perangkat gejala alam, entah susunan kronologis merupakan suatu faktor atau tidak di dalam penelaahan; penggunaan itu, meskipun jarang, masih tetap hidup di dalam bahasa Inggris pada sebutan natural history. Akan tetapi dalam perkembangan zaman, kata Latin yang sama artinya yakni scientia lebih sering dipergunakan untuk menyebutkan penelaahan sistematis nonkronologis mengenai gejala alam; sedangkan kata istoria biasanya diperuntukkan bagi penelaahan mengenai gejala-gejala, terutama hal ihwal manusia dalam urutan kronologis. Menurut definisi yang paling umum, kata history kini berarti “masa lampau umat manusia”. Bandingkan dengan kata Jerman untuk sejarah, yakni 6 h. 17 Prof.Dr. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 1995), 25 Geischicte, yang berasal dari kata geschelen yang berarti terjadi. Geischicte adalah sesuatu yang telah terjadi. Arti ini acapkali dijumpai dalam ucapan-ucapan yang terlalu sering dipakai seperti “semua sejarah mengakarkan sesuatu” atau “pelajaran-pelajaran sejarah”. 7 Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian filsafat sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabadabad sebelumnya. Kedua, sejarah bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya. Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang mengandung dua segi berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama berkenaan dengan kajian metodelogi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis. Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian kritis atas metode sejarawan. Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari filsafat, yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern dengan cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis apa yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari tabiat pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian, dan hubungan antara pikiran-pikiran manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan metode yang dipergunakan dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar. 7 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Penerjemah Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 1985), h. 27 26 Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini, perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya.8 C. Filsafat Sejarah Dalam Islam Di dalam Islam, terdapat beberapa pemikir yang menguasai bidang filsafat sejarah yang tidak asing lagi baik di Timur maupun di Barat. Misalnya, Ibn Khaldûn yang dianggap sebagai representasi periode Klasik. Selanjutnya yaitu beberapa tokoh pemikir Muslim Modern, seperti Malik Bin Nabi, Murtadhâ Muththahharȋ, Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan Abdul Hamid Siddiqi. Untuk melihat bagaimana perkembangan pemikiran kesejarahan-filsafat sejarah dalam Islam, sebagai alternatif untuk kelengkapan tinjauan ini, penulis akan mengulas sejumlah pemikiran tokoh di bidang filsafat sejarah, yaitu Ibn Khaldun sebagai representasi dari masa klasik dan Ali Syariati sebagai representasi masa modern. 8 Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, h. 114-115 27 1. Konsep Filsafat Sejarah Ibn Khaldûn9 Menurut Khaldûn, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya. Hukum-hukum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah fenomena sosial. Menurutnya, ashhâbiyah merupakan asas berdirinya suatu negara dan faktor ekonomis adalah faktor terpenting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat.10 Ibnu Khaldûn terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle Theory of History, yaitu satu teori filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan di dunia Timur dan Barat tentang kematangannya. Dalam teori tersebut, Khaldûn berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban. Ia mengalami masa lahirnya, masa naik (masa berkembang), masa puncaknya, kemudian masa menurun dan akhirnya masa lenyap atau hancur. Khaldûn mengistilahkan siklus itu dengan “tiga tangga peradaban”. Sekadar 9 Abû Zaid ‘Abd Al-Rahmân ibn Khaldûn Al-Hadramȋ lahir di Tunis pada 732 H/1332 M dan meninggal di Kairo pada 808 H/1406 M, setelah lima tahun sebelumnya bertemu dengan Tȋmûr Lenk di luar tembok Kota Damaskus. Selama hidupnya, ia kerap disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan diplomatik da politik, Ibn Khaldûn banyak menggunakan waktunya untuk belajar, mengajar, dan menulis. Secara umum dapat dikatakan bahwa ia tak henti-hentinya berusaha memuaskan dua kebutuhan dasarnya: pertama tindakan politik dan kedua pengetahuan ilmiah. Sementara ia gagal dalam mencapai tujuan pertama demi kepuasan, ia berhasil meraih yang kedua –meskipun relatif terlambat dalam hidupnya. Salah satu karya besarnya adalah Muqaddimah, dalam karya tersebut, Ibn Khaldûn merumuskan sebuah filsafat sejarah yang tak pelak lagi merupakan karya terbesar dari jenisnya yang pernah disusun oleh seorang tokoh dalam sejarah. Objek khususnya sendiri yaitu peradaban manusia dan organisasi sosial. Sejarahnya juga mempunyai masalah-masalah khas sendiri –yaitu menjelaskan kondisi-kondisi berkaitan yang berkaitan satu sama lain dengan esensi peradaban. Perhatian khusus diberikan pada interaksi antara faktor alami dan faktor non-fisik yang mendasari budaya manusia yang berpusat pada kekuasaan negara. Dalam Muqaddimah, ia juga menyelidiki fenomena manusia dan institusi sosial yang bertumpu pada kerajinan, sains, dan penyebarannya. Daya dorong di balik proses historis itu, menurutnya, berada dalam ashhâbiyah. “Semangat kelompok” ini menimbulkan tindakan politik yang mengarah pada perebutan terhadap alat-alat negara. Abderrahmane Lakhsassi, “Ibn Khaldûn,” dalam Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama). Penerjemah Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 446 10 Dr. Zainab al-Khudhariri, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), h. 62 28 ilustrasi, Khaldûn menegaskan bahwa kesatuan suku Badui dapat mengantarkan pada terbentuknya suatu negara; dan cara hidup yang berpindah-pindah akan menghasilkan kejayaan dan berakhir pada kehancuran. Di samping itu, Ibnu Khaldûn berafiliasi dengan beberapa aliran filsafat sejarah. Pertama, ia berafiliasi dengan aliran sejarah sosial yang berpendapat bahwa fenomena-fenomena sosial dapat diinterpretasikan, dan teori-teorinya dapat diikhtisarkan dari fakta-fakta sejarah. Tokoh-tokoh aliran ini pada zaman modern di antaranya ialah Jean Bodin dan Vico. Kedua, ia dapat dipandang berafiliasi dengan aliran ekonomi, yang menginterpretasikan sejarah secara materialistis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis serta merujukkan perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomena pada faktor-faktor ekonomis. Tokoh yang terkenal dengan aliran ini ialah Karl Marx. Meski dari aspek ini ia dapat dipandang sebagai seorang penyeru aliran tersebut, namun ia tidak meninjau fenomena-fenomena sosial dan perubahan historis hanya dari aspek ekonomis saja. Ia juga meninjau dari sudut faktor-faktor lainnya dan lebih menekankan faktor-faktor lain. Ketiga, ia juga dipandang berafiliasi pada aliran geografis yang memandang manusia sebagai putra alam lingkungan dan kondisikondisi alam di sekitarnya. Menurut pendapat yang terakhir ini lingkungan alamlah yang membentuk masyarakat-masyarakat dan kebiasaan-kebiasaannya. Namun pandangan ini belakangan tidak lagi diterima, sebab kini terbukti bahwa 29 selain dipengaruhi lingkungan, manusia juga mempengaruhi lingkungan. Jadi antara keduanya terjadi interaksi yang saling mempengaruhi.11 a. Faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan sejarah dan perkembangannya Perkembangan menurut Ibn Khaldûn tidaklah berupa lingkaran dan garis yang lurus, melainkan berbentuk spiral. Sebagai contoh, adalah perkembangan negara. Negara mana pun, setiap kali mencapai puncak kejayaan dan kebudayaannya, akan memasuki masa senja dan mulai mengalami keruntuhan untuk digantikan negara baru. Negara baru ini tidak bermula dari nol, tetapi mengambil peninggalan negara lama, melengkapinya, menciptakan kebudayaan yang lebih maju yang berbeda dari kebudayaan negara sebelumnya, meski perbedaan ini tidak nampak sehingga sulit diamati. Namun dengan berulangkalinya daur ini berlangsung, perbedaan tersebut akan tampak makin jelas bilamana mereka memerintah suatu negara dan pemerintahan maka tidak boleh tidak mereka akan menggunakan tradisi orang-orang sebelum mereka. Mereka akan banyak menimba dari tradisi itu dan mereka tidak akan melupakan tradisi generasi mereka. Meski demikian ada perbedaan antara tradisi negara ini dengan tradisi generasi sebelumnya. Kemudian apabila muncul lagi negara lain setelah mereka, tradisinya pun bercampur dengan tradisi mereka dan sebagian tradisi bertentangan dengan tradisi mereka. Perbedaan tradisi negara yang terakhir ini semakin berbeda dari tradisi generasi pertama. 11 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 63 30 Dengan berlalunya waktu, sedikit demi sedikit terjadi perubahan dan akhirnya berkesudahan dengan perbedaan secara total.12 Menurut Khaldûn, ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi dan mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu. Ketiganya yaitu: 1) Faktor Ekonomi Dalam pandangan Ibnu Khaldûn sebagaimana yang dikutip oleh Zainab al-Khudairi dalam buku Filsafat Sejarah Ibnu Khaldûn, banyak orang-orang kota yang tenggelam dalam kemewahan, mencari kesenangan dan keduniaan, bebas melabuhkan hawa nafsunya, sehingga jiwa mereka berlumur dengan kejahatan dan jauh dari jalan kebaikan. Adapun orang-orang desa, sekalipun juga menyukai kehidupan duniawi, terpaksa membatasi dirinya pada hal-hal yang sangat perlu saja. Mereka tidak berusaha memperturutkan keinginannya untuk bermewah-mewah dan bersuka ria. Adat kebiasaan dan perbuatan mereka bersahaja, karena itu mereka tidak begitu menjadi sasaran aib perbuatan jahat dan durhaka dibanding dengan orang-orang kota.13 Sementara dalam membicarakan sifat-sifat keberanian orang-orang desa yang tidak kita temukan lagi pada orang-orang kota. Menurut Ibn Khaldûn, karena orang kota sudah terbiasa hidup senang, aman, dan tenteram, menyerahkan tugas mempertahankan jiwa dan harta kekayaan 12 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 81 13 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 86 31 mereka kepada penguasa dan tentara. Dikelilingi tembok yang tebaltebal, dilindungi berbagai macam pertahanan, maka mereka hidup aman dan lupa mempergunakan senjata. Orang-orang desa memiliki keistimewaan yakni kesederhanaan dan keberanian. Oleh karena itu mereka tahu bagaimana mempertahankan diri dari setiap serangan, masyarakat mereka benar-benar mandiri dan tidak menerima tekanan apapun. Mereka bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, cenderung pada kebajikan, cinta pada keutamaan, dan benci pada kejahatan dan perbuatan yang hina.14 Sedangkan masyarakat kota, yang asalnya juga dari desa dan kemudian menjadi penduduk kota akibat perkembangan bentuk dan pola kehidupan mereka, watak kehidupan kota telah memaksa mereka mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan baru, di mana pada masyarakat desa hal ini bisa diabaikan. Kemewahan pun menyelundup dalam kehidupan dan adat istiadat mereka dari segala arah, dan karena tenggelam dalam kenikmatan hidup dan kemalasan, nilai-nilai pun mulai pudar. Semuanya ini membuat melemahnya kegiatan ekonomi, sebab mayoritas penduduk dalam keadaan menganggur. Sesuai dengan karakter mereka, kini mereka kehilangan keberaniaan dan keperkasaan. Oleh karena itu mereka pun membutuhkan perlindungan, suatu hal yang mendorong perlu adanya negara.15 14 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 86 15 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani, h. 87 32 Dari keterangan di atas, tampak bahwa Ibn Khaldûn mengkonsepsikan, faktor ekonomi sebagai salah satu yang terpenting dalam mengendalikan kehidupan sosial, organisasi politik, moral masyarakat, dan pikiran mereka. Faktor ekonomi dipandang sebagai faktor terpenting dan utama, tetapi bukanlah faktor satu-satunya. Menurutnya, masih ada faktor lain, yaitu faktor lingkungan, geografis, dan iklim serta faktor agama. 2) Faktor Geografis, Lingkungan, dan Iklim. Menurut Ibn Khaldûn, lingkungan fisik besar dampaknya terhadap masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat dipengaruhi bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil bumi yang dihasilkannya, dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Ini berarti alam membatasi kegiatan manusia dan menciptakan batas-batas apa-apa yang ia lakukan. Selain itu alam juga mempengaruhi sifat-sfiat fisik dan psikis manusia, dan malah juga mempengaruhi kehidupan kulturalnya.16 Ibnu Khaldûn membagi bumi menjadi tujuh bagian. Sebagian, yakni bagian ketiga, keempat, dan kelima, berhawa sedang. Sebagian yang lain, yakni bagian pertama dan ketujuh, sangat panas. Menurut Ibn Khaldûn, kawasan-kawasan yang beriklim sedang adalah tempat-tempat maraknya kebudayaan. Sedang kawasan-kawasan yang sangat dingin dan panas tidak mungkin menyajikan suatu kebudayaan dengan peringkat 16 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 89 33 yang sama dengan kebudayaan kawasan-kawasan beriklim sedang. Pendapat Ibn Khaldûn inilah sebabnya kita dapati ilmu pengetahuan, industri, bangunan-bangunan, pakaian, makanan, dan buah-buahan, bahkan hewan-hewan dan segala apa yang hidup di tiga kawasan sedang ini, memiliki ciri-ciri sedang dan sederhana. Manusia-manusia yang mendiami kawasan-kawasan tersebut sedang pula postur tubuhnya, warna kulitnya, sopan santunnya, dan juga agamanya. 17 Sebagian besar nabi-nabi diturunkan di kawasan-kawasan utara dan selatan. Karena pada nabi dan utusan Allah hanya diutus kepada ummat manusia yang paling sempurna, baik tubuh maupun pikirannya, yaitu umat yang lebih bisa menerima ajaran-ajaran yang dibawa. Adapun penduduk kawasan-kawasan yang jauh di ujung, seperti penduduk kawasan kesatu, kedua, keenam, dan ketujuh, adalah jauh dalam segala hal. Tempat kediaman mereka terbuat dari tanah liat atau seperti bambu. Makanan mereka terdiri dari jawawut dan buah-buahan liar. Pakaian mereka dari daun-daunan atau kulit. Sebagian mereka malahan pergi ke sana ke mari tanpa busana. Buah-buahan dan hasil utama tanah mereka adalah aneh dan jauh dari memadai. Mereka mempergunakan tembaga, besi, atau kulit sebagai ganti emas atau perak, untuk alat jual-beli. Watak mereka sangat dekat dengan watak binatang buas. Pada umumnya mereka sama sekali tidak mengetahui kenabian dan tidak mengikuti sedikitpun hukum-hukum agama, kecuali sebagian kecil 17 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, h. 13 34 dari mereka yag hidup berbatasan dengan kawasan-kawasan yang beriklim sedang.18 Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa Ibn Khaldûn mengasumsikan bahwa iklim, lingkungan, dam geografis, ikut membawa dampak terhadap tubuh, moral, akal pikiran, kegiatan, dan kebudayaan manusia. Oleh karenanya, berdasarkan pendapat ini, dapat dipastikan, bahwa iklim, lingkungan, dan geografis merupakan salah satu faktor lain yang ikut mempengaruhi dan mengendalikan laju sejarah manusia. 3) Faktor Agama Menurut Ibn Khaldûn hubungan antara Allah dan alam manusia tampak pada setiap ruang dan waktu. Menurutnya, Allah menjadikan segala sesuatu yang ada dalam alam untuk manusia dan sebagai anugerah kepadanya. Dalam berbagai ayat al-Qur’an Allah menyatakan bahwa Dia menjadikan segala yang ada di antara langit dan bumi bagi manusia dan menundukkan laut dan segala hewan baginya pula. Kekuasaan manusia terentang di atas seluruh alam dengan segala isinya sehingga Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya.19 Khaldûn juga mengatakan kehidupan sosial mungkin berlangsung tanpa agama, dan politik dapat tegak tanpa aturan agama. Namun agamaagamalah yang mendorong perkembangan ke depan dan menjadikan kehidupan sosial lebih utama. Sebab semangat agama dapat meredakan 18 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, h. 13. Lihat. Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadi Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 83-106 19 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 97 35 pertentangan dan iri hari yang dirasakan oleh salah satu anggota dari golongan itu terhadap anggota lainnya dan menuntun mereka ke arah kebenaran. Jika sekali perhatian mereka telah terpusat pada kebenaran maka tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi mereka. Sebab pandangan mereka adalah sama dan tujuan yang mereka kejar pun serupa dan satu, sehingga membuat mereka bersedia berjuang sampai mati. Inilah yang terjadi pada bangsa Arab sewaktu penaklukan Islam yang mula-mula. Sebab tentara Islam dalam perang Yarmuk dan Qadisiah berjumlah kurang dari 30.000 orang, padahal tentara Persia di Qadisiah berjumlah 120.000 orang, sedangkan tentara Heraclitus terdiri dari 400.000 orang. Meskipun demikian kedua lawan itu tidak sanggup berhadapan dengan tentara Arab dan kedua-duanya dikalahkan. 20 Penuturan di atas membuktikan bahwasanya agama sangat memberikan peran dalam jalannya perkembangan sejarah. b. Hukum-Hukum Determinisme Sejarah Determinisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu kausa atau berbagai kausa, dan semuanya itu tidak mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda, kecuali apabila terjadi perbedaan di dalam kausa-kausanya. Menurut Ibn Khaldûn, ada tiga hukum determinisme sejarah yaitu, pertama, hukum kausalitas, Ibn Khaldun menerapkan dan menjadikan hukum ini sebagai salah satu di antara dua prinsip sejarah – filsafat sejarah. Ia meyakini adanya hubungan kausalitas antara kenyataan20 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 99. Lihat. Ibn Khaldun, Muqaddimah.Penerjemah Ahmadi Thaha, h. 192-197 36 kenyataan dan fenomena-fenomena. Ia berasumsi bahwa semua realitas di alam ini, dapat dicari hukum kausalitasnya. Apa saja yang ada di dunia yang diciptakan ini, baik berupa benda maupun perbuatan (dari manusia atau binatang) menunjukkan terdapatnya sebab-sebab yang membawa semua itu kepada perwujudannya. Dan sebaliknya masing-masing dari sebab-sebab ini adalah suatu kejadian yang menunjukkan adanya sebab-sebab yang mendahuluinya. Karena itu susunan sebab-sebab itu akan terus meningkat hingga sampai kepada sebab (yang sebenarnya) dari segala sebab. Yang mengadakan dan menciptakan semua ini –segala puji bagi-Nya yang tidak ada Tuhan melainkan Dia. Peningkatan sebab-sebab itu akan semakin meluas sehingga akal tidak mampu memahaminya. 21 Ada beberapa pengecualian dalam hukum kausalitas yang diyakini Ibn Khaldûn. Pengecualian-pengecualian itu berbentuk dampak hal luar biasa yang berbentuk mukjizat-mukjizat para nabi dan karamah-karamah para wali: “Ketahuilah sesungguhnya Allah SWT memilih di antara manusia sejumlah pribadi yang diberi kelebihan dengan diturunkannya firman-Nya kepada mereka dan diciptakan dengan pengetahuan-Nya.” Mereka dijadikan sebagai perantara antara Ia dengan hamba-hamba-Nya. Di antara yang dikaruniakan kepada mereka ialah pengetahuan-pengetahuan seperti hal-hal biasa lewat ucapan-ucapan mereka dan berita-berita tentang hal-hal ghaib 21 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 111 37 yang tidak diketahui manusia dan tidak dapat mereka ketahui kecuali dari Allah.22 Kedua, Hukum peniruan. Peniruan menurut Ibn Khaldûn, merupakan suatu hukum yang umum. Peniruan ini mendorong gerak perkembangan ke depan, sebab kadang-kadang peniruan merupakan peniruan terhadap hal yang lebih baik. Si peniru sendiri selalu melengkapi apa yang ditirunya dengan apa yang ia miliki, sehingga dengan ini terciptalah sesuatu yang baru.23 Ketiga, Hukum perbedaan, perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya timbul dari upaya penyerupaan dan peniruan. Keadaan yang demikian ini juga berlaku pada negara, di mana negara yang muncul belakangan, akan berupaya meniru negara sebelumnya. Hal ini tidak akan terjadi kecuali jika terdapat suatu landasan yang membedakan antara keduanya, sementara upaya-upaya penyerupaan yang terus menerus pada akhirnya akan membuat terjadinya perbedaan secara total. Ini karena si peniru hanya mengambil apa yang ia kagumi dan kemudian melengkapinya, sehingga timbul jalinan baru yang agak berbeda dari apa yang ia tiru. Kemudian muncul peniru lainnya yang pada gilirannya perbedaan antara yang pertama dan yang ketiga pun semakin besar. Dari sini tampak jelas bahwa antara hukum peniruan dan hukum perbedaan terjalin suatu hubungan dialektis. Sebab, perbedaan akan mendorong pada upaya untuk 22 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 111-112 23 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h.114 38 meniru dan dengan berulang kalinya peniruan akan membuat terjadinya perubahan. Ibnu Khaldûn lebih jauh menghubungkan, bahwa perbedaanperbedaan yang semakin membesar tersebut terjadi karena faktor geografis, fisik, ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi, dan agama. Dari itu jelaslah bahwa pendapat Ibn Khaldun tentang determinisme sejarah berjalin kuat dengan faktor yang mengendalikan dan mempengaruhi perjalanan sejarah, sebagaimana penulis jelaskan di atas.24 24 Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’ Utsmani h. 115-116 39 2. Pemikiran Sejarah ′Alȋ Syarȋ′ati25 ′Alȋ Syarȋ′ati berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dan sekaligus keterpaksaan. Dia dapat berbuat semaunya dan pada saat yang bersamaan tunduk pada determinisme. Kerangka determinisme ini merupakan hukum umum yang mengatur proses perkembangan sosial dan sejarah, yang menurut Hegel, cenderung ke arah pertentangan progresif sesuatu yang mutlak atau ideal. Hal ini kemudian disebut Syarȋ′ati sebagai“gerak maju sejarah menuju terwujudnya kesadaran akan Allah pada manusia.” Karena manusia sebagai makhluk, merupakan manifestasi kehendak Allah, yaitu kehendak pada serba kesadaran akan yang mutlak (Khalik). Di sisi lain, manusia di muka bumi ini sebagai khalifah-Nya. Oleh karenanya sejarah tidak mungkin terjadi secara kebetulan, peristiwa terjadi tanpa campur tangan Tuhan, tanpa tujuan, tanpa 25 Satu revolusi yang dicatat oleh beberapa sarjana tingkat dunia sebagai revolusi yang paling spektakuler sepanjang sejarah dunia adalah revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Imam Khomeini di Iran. Namun di balik gemuruh revolusi Islam itu juga tak dapat diabaikan peran besar salah satu aktor intelektual utamanya: Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati. Ia dilahirkan pada 1933 di Mazinan, Pinggiran kota Sabzevar, Iran. Dan meninggal pada 16 Mei 1977 di Inggris. Ayahnya seorang orator nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya. Syarȋ′ati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi Islam. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian. Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati mempelajari dan menghayati banyak mazhab pemikiran filsafat, teologi, sosiologi dengan satu sudut pandang Islami. Sebagian orang menyebutkan bahwa dia adalah Muslim Muhajir (yang berhijrah) yang muncul dari kedalaman samudra misitisisme (tasawuf) timur, lalu mendaki ketinggian pesona gunung sains sosial Barat. Namun tidak sampai terperangkap pesona itu, lalu dia kembali ke tengah-tengah kita dengan semua permata yang didapat dari perjalanannya. Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati juga bukan seorang fanatik reaksioner yang melawan apapun yang baru tanpa suatu ilmu pengetahuan; dia juga bukanlah seorang “intelektual terbaratkan” yang meniru segala dari Barat tanpa pertimbangan yang indipenden. Untuk memperjuangkan ideologinya Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati menulis banyak buku. Dalam semua tulisannya, dia berusaha menyajikan gambaran yang jernih dan asli tentang Islam. Dia sangat percaya bahwa kaum intelektual dan generasi muda dapat dengan sukses merealisasikan kebenaran keimanannya dan berupaya melakukan perubahan sosial dengan sukses. Di antara karya-karyanya yaitu Haji, Islamologi, Refleksi Seorang Muslim yang Prihatin terhadap Penderitaan Rakyat Tertindas dan banyak lagi karya-karyanya yang sampai saat ini masih diulas dan dikaji oleh banyak kalangan. Ali Rahnema, ′Alȋ Syarȋ′ati: Guru, Penceramah, Pemberontak,” dalam Ali Rahnema, ed., Para Perintis Zaman Baru Islam. Penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), h.205-222 40 maksud dan makna. Akan tetapi sejarah berawal dari titik tertentu dan harus berakhir pada titik tertentu, dengan tujuan dan arah tertentu pula.26 Para penulis dan penulis Barat Modern seringkali menoleh pada mitologi Yunani dalam usaha menemukan lebih jauh berbagai makna yang lebih jelas dalam kaitannya dengan sejarah manusia. Mitos dewa-dewa Olympus, Jupiter, Promotheus, Sisypus, Atlantus, Apollo, dan lain sebagainya penuh dengan simbol-simbol dan renungan-renungan mendalam tentang sejarah manusia di masa lalu yang jauh. Menurut Syarȋ′ati, dalam kitab suci Islam juga terdapat berbagai cerita dan legenda serupa yang sarat dan kaya raya dengan idea-idea dan simbol-simbol mendalam. Cerita tentang Qabil dan Habil yang diceritakan dalam Qur’an merupakan salah satu cerita yang sangat dalam maknanya dalam hubungan arti sejarah. Jika ditafsirkan secara simbolis cerita-cerita tersebut dapat menguak makna yang sangat dalam di dalam sejarah.27 Qabil dan Habil adalah anak-anak Adam. Menurut Syarȋ′ati, apa yang terjadi di antara keduanya merupakan suatu cerita penting yang mengandung arti simbolik mendalam tentang awal sejarah manusia. Sumber konflik di antara Qabil dan Habil adalah sebagai berikut : mereka telah dipertunangkan dengan saudara perempuan mereka masing-masing. Tetapi Qabil tidak puas, ia lebih memilih saudara perempuan yang telah diperuntukkan bagi Habil, daripada tunangannya sendiri. Ketidakpuasannya berubah menjadi pemberontakan, dan ia menemukan dirinya telah melanggar apa yang menjadi milik saudaranya. Seperti itulah 26 Ali Rahnema, “Ali Syari’ati: Guru, Penceramah, Pemberontak,” dalam Ali Rahnema, ed., Para Perintis Zaman Baru Islam. Penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), h. 227 27 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1982), h. 38 41 dimulainya perang pertama antara kedua manusia itu. Dan demikianlah sejarah manusia dimulai di muka bumi ini. Bila Adam merepresentasika jenis manusia pertama, maka Qabil dan Habil mensimbolisasi permulaan sejarah manusia. 28 Mula-mula terjadilah suatu perdebatan dan perdebatan itu dihadapkan pada Adam. Adam mendengarkan tuntutan masing-masing dan kemudian mengusulkan agar mereka mempersembahkan pengorbanan. Barang siapa diterima pengorbanannya akan mendapatkan saudara perempuan yang diperebutkan dan yang kalah harus menerima hasilnya. Kedua belah pihak menyetujui syarat-syarat yang diusulkan Adam. Habil mempersembahkan seekor onta muda yang gemuk, hewan terbaik di antara ternaknya, yang sudah tentu diterima. Sedangkan Qabil membawa seonggok gandum yang telah layu, sakit, dan tanpa isi, sebagai pengorbanan di hadapan Tuhan. Tentu saja pengorbanan itu tidak diterima. Qabil menemukan kegagalan lain ketika menyadari bahwa pengorbanannya tidak diterima. Oleh karena itu ia menjadi penasaran dan semakin tidak puas, yang mendorongnya semakin bertindak secara agresif sehingga ia memutuskan membunuh saudaranya. Dan hal ini merupakan pertumpahan darah pertama dalam sejarah manusia yang pertama, pembunuhan pertama yang dilakukan oleh saudara atas saudaranya sendiri.29 Cerita tentang Qabil dan Habil menunjukkan bagaimana persatuan kemanusiaan yang berasal dari orang tua yang sama berubah menjadi konflik dan pertentangan abadi. Cinta sesama saudara berubah menjadi permusuhan, persatuan menjadi perpecahan. Demikianlah halaman pertama sejarah dinodai 28 29 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. h. 39 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. h. 40 42 dengan pembunuhan yang berlanjut pertentangan, perang, kejahatan, segregasi, dan fragmentasi sosial antara keturunan-keturunan Adam secara susul-menyusul. Pertanyaannya kemudian, apakah sebab dari tindakan kekerasan yang pertama ini? Orang tidak dapat mengatakan bahwa lingkungan Qabil, keluarganya, pendidikannya, dan masyarakatnya berbeda dari Habil. Namun perbedaan apakah yang mengubah Qabil menjadi seorang pembunuh dan Habil menjadi seorang yang saleh dan cinta damai? Perbedaan ini terletak pada pekerjaan mereka, persembahan Qabil yang berupa seonggok gandum menunjukkan bahwa ia seorang petani. Sedangkan persembahan Habil yang berupa seekor onta menunjukkan bahwa ia seorang penggembala. Habil nampaknya mewakili tahap sejarah eksistensi manusia tergantung pada alam, berburu, mencari ikan dan menjinakkan binatang-binatang buas. Sebaliknya Qabil mewakili zaman pemilikan pribadi dan tahap pertanian ketika sumber-sumber produksi dimonopoli oleh sebuah kelas penguasa. Juga pada zaman monopolisme inilah perjuangan untuk merebut kekuasaan sosial, ekonomik, dan kultural mulai mempengaruhi masyarakat manusia. Sebagaimana kita ketahui, zaman pertama kehidupan manusia di muka bumi adalah zaman pastoralisme (penggembalaan), zaman berburu dan mencari ikan. Pada zaman ini tidak ada sesuatupun yang dimiliki secara pribadi atau dimonopoli, oleh karena sumber-sumber produksi melimpah terdapat di lautan, sungai-sungai, hutan, dan padang belantara. Alam merupakan suatu pasar terbuka, penuh dengan berbagai karunia dan kekayaan yang tersedia bagi semua orang untuk menikmatinya. Ini adalah zaman Habil dalam sejarah 43 ketika seluruh manusia secara bebas dapat menjangkau seluruh sumber-sumber alam. Ketamakan, monopolisme, pemilikian pribadi, dan keakuan masih belum terdapat dalam masyarakat manusia. Sebaliknya, Qabil mewakili periode sejarah di mana alam, tanah Tuhan, dimiliki dan dinamakan dengan nama pemiliknya. Dalam rangka menambah milik pribadinya, manusia kemudian memperlemah dan merampas manusia-manusia lain sehingga mereka dapat dijadikan hamba dan budaknya. Karena manusia ingin memiliki alam, masyarakat manusia terbagi menjadi dua, antara tuan dan budak, antara penguasa dan yang dikuasai, antara penindas dan yang tertidas, antara pembunuh dan yang jadi korban.30 Dengan demikian menurut Syarȋ′ati, sangat jelas bahwa pembunuhan pertama itu bersesuaian dengan zaman pemilikan pribadi dan monopolisme, ketika persatuan kemanusiaan mengalami disintegrasi, dan ketika hubungan persaudaraan merosot menjadi aksi-aksi pembunuhan. Dengan pembunuhan atas Habil, sejarah berubah dari tahap persatuan ke tahap dualitas, dari tahap kehidupan pastoral dan komunal ke arah kehidupan berdasarkan individualisme dan monopolisme. Pada umumnya, dengan matinya Habil, sejarah mulai berubah memasuki zaman Qabil –suatu periode yang mengakhiri kehidupan tanpa dosa dan pastoralisme periode Habil. Sejak Qabil hidup sepeninggal Habil, kita sayang sekali ditakdirkan menjadi anak-cucu Qabil. Dengan berlangsungnya kehidupan Qabil, lebih lanjut Shariati menjelaskan, maka tradisi Qabil terus berlangsung dan mulailah sebuah periode sejarah di muka bumi, yang mempengaruhi masyarakat manusia dan kebudayaan 30 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais, h. 41 44 pada masa-masa mendatang. Namun Qabil lebih dari sekedar manusia. Ia adalah agama yang tidak dimaksudkan untuk mengingkari Tuhan atau meragukan eksistensi-Nya di jagat raya. Walaupun agama ini juga merupakan agama yang dipeluk Adam, Qabil menggunakannya sedemikian rupa untuk membenarkan dan mendukung kepentingan-kepentingan dan kebutuhannya. Demikianlah bermula tradisi “Qabili” dalam permulaan agama Adam. Sebaliknya dalam kehidupan Habil dan dalam tradisi Habil agama ini tetap terus menampilkan kebenaran dan kebajikan-kebajikan manusia. Jadi selalu terdapat perjuangan terus-menerus antara dua tradisi atau agama sepanjang zaman, dan masyarakat manusia hampirhampir mustahil tanpa dipengaruhi oleh konflik dualistik ini.31 Kehidupan era “Qabilian” ini adalah era kehidupan di mana manusia bermusuhan dengan manusia, saudara membunuh saudara, kemanusiaan hidup dalam masyarakat yang terbagi-bagi dan bermusuhan. Qabil dan kelasnya selalu berusaha merampas massa agar dapat memperkuat kekuasaan dan memperkaya elit yang sedang memerintah. Massa kemanusiaan yang luas dan banyak telah ditindas dan diperbudak supaya anak-cucu Qabil dapat hidup dalam kenikmatan berlebihan. Akan tetapi Syarȋ′ati memiliki keyakinan, bahwa di kalangan umat manusia akan muncul sebuah kesadaran baru tentang keesaan akan menunjukkan komitmennya untuk memerangi kehidupan model Qabilian sehingga manusia akan memperoleh kembali keesaannya yang orisinal. Kesadaran baru tersebut mencurahkan dirinya untuk memulihkan kembali makna spiritual bagi alam, 31 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais, h. 42 45 untuk menolong manusia mencapai kesadaran keagamaannya, dan untuk membangunkan manusia pada misinya sebagai wakil atau khalifah Tuhan di muka bumi sebagai pembentuk nasibnya sendiri dan nasib seluruh umat manusia. Pandangan hidup yang utuh berdasarkan keesaan pada hakekatnya bertentangan dengan berbagai inkonsistensi dalam masyarakat, dalam umat manusia, dalam dunia eksistensi, antara dunia fisis dan metafisis. Dalam kitab-kitab suci agama monoteistik, manusia dan alam dilihat sebagai memiliki makna, tujuan, dan kesadaran diri. Alam semesta tidak dituduh sebagai absurd, tanpa maksud, dan bersikap tak acuh pada kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia. Manusia dilihat sebagai makhluk merdeka dan memiliki potensialitas tanpa batas. Nasibnya ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Dalam bahasa Qur’an, “tauhid” (keesaan) memberkati manusia dengan kebijakan dan kebenaran. 32 D. FILSAFAT SEJARAH DI BARAT Sebagaimana penulis kemukakan di bab pertama, bahwa filsafat sejarah di Barat mengalami perkembangan yang menakjubkan. Perkembangan tersebut ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir besar di bidang ini. Antara lain, St. Agustinus (1354-1430), terkenal dengan Paham Sejarah Teologis, August Comte (1798-1854), dengan Filsafat Positivisme Hukum, Herbert Spencer (1820-1903), dengan teori evolusi –di samping oyang dikembangkan oleh Darwin Oswald Spengler (1880-1936), terkenal dengan teori Daur Kultur Sejarahnya yaitu masa 32 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais, h. 59 46 timbul, tumbuh, menua, dan hancur, G.W.F. Hegel (1770-1831), terkenal dengan Filsafat Sejarah Spekulatif, Filsafat Sejarah Formal dan Material, Karl Marx (1818-1883) dengan Materialisme Historisnya, dan Arnold J. Toynbee (18891975) dengan teorinya tentang Tantangan dan Jawaban (Challenge and Response) atau yang terkenal dengan Hukum Kebudayaan dan pada hakekatnya juga disebut Hukum Sejarah. Hanya saja pada pembahasan pemikiran filsafat sejarah di Barat ini, penulis mewakilinya dengan menuliskan gagasan Karl Marx, karena ia dianggap sebagai pelanjut dan penerus teori Hegel, yang di sana-sini telah dimodifikasi secara signifikan. Di samping itu, di dalam skripsi ini, penulis memaparkan kritik Muthahhari terhadap materialisme historis Karl Marx sehingga pembaca dapat menelaah dengan seksama perdebatan dua pemikir tersebut mengenai filsafat sejarah. Sekitar abad ke delapan belas dan awal ke sembilan belas, Marx33 mendapatkan dirinya dalam lingkungan semangat Romantisisme34 33 yang Karl Heinrich Marx, putera tertua dari pasangan Heinrich dan Henrietta Marx, dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier, Rheinland Jerman. Dan meninggal pada tanggal 17 Maret 1883. Ia adalah pemikir abad ke sembilan belas yang memiliki pengaruh langsung, permanen dan kuat terhadap umat manusia. Baik selama hidup maupun setelah kematiannya, dia membuktikan kekuatan pengaruh moral dan intelektualnya terhadap para pengikutnya, yang kekuatannya unik bahkan di zaman keemasan demokratik nasionalisme, sebuah zaman yang memunculkan pahlawan-pahlawan dan tokoh-tokoh martir romantik yang hampir-hampir melegenda, dan kehidupan dan kata-katanya mendominasi imajinasi massa dan menciptakan sebuah tradisi revolusioner baru di Eropa. Das Kapital, karya besar Karl Marx, membawanya pada ketenaran abadi, buku tersebut menjelma menjadi kitab suci kaum buruh. Karena memang Das Kapital memiiliki pengaruh yang luar biasa terhadap kaum proletar di ujung dunia mana pun, bahkan Isaiah Berlin mengatakan bahwa di antara lembaran-lembaran buku ini tersurat nasib yang tak bisa disangkal tentang tenggelamnya kapitalisme. Selain itu, Manifesto Komunis yang lahir satu setengah abad silam adalah buku yang sangat terkenal dan tetap paling banyak dibaca di seluruh dunia –setara dengan Bible. Berbeda dengan Das Kapital Das Kapital yang cenderung ilmiah dan analitis, Manifesto Komunis lebih tepat disebut sebagai pamflet. Sampai kini, kita pun masih bisa menyaksikan teori-teori Marxian yang tidak tergoyahkan seperti: alienasi, penindasan, 47 berkembang di Eropa. Romantisisme adalah sebuah situasi dan tradisi pemikiran filsafat yang telah mengantarkan dan membesarkan Marx. Hanya saja kemudian situasi dan tradisi itu kelihatan menjadi cemeti bagi Marx, karena penafsiran seperti itu dianggap telah menjerumuskan manusia pada keterasingan (alienasi), tentang diri dan pemikirannya sendiri. Ada beberapa pendekatan-pendekatan yang dimaksud (sebelum Marx) akan penulis ungkapkan sebagai berikut. Pertama, penafsiran sejarah dilakukan melalui pendekatan agama. Aliran ini mengatakan bahwa sumber penggerak dari seluruh kejadian adalah berlakunya ketentuan Tuhan. Raga serta corak perkembangan manusia tidak lain adalah melaksanakan kehendak Tuhan. Kelemahan dari pendekatan ini adalah tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan dari kenyataan bahwa manusia adalah tidak pernah secara pasti mengetahui kemauan Tuhan. Kedua, penafsiran sejarah secara politis, yakni dengan mengatakan bahwa penggerak sejarah adalah kaisar-kaisar, raja, para ksatria dan serdadu, pembuat undang-undang serta politisi. Erat kaitannya dengan penafsiran ini adalah pendekatan dari sudut kepahlawanan. Thomas Carlyle adalah orang tersohor yang memasyarakatkan tafsiran jenis ini. Rumusannya yang terkenal adalah sejarah dunia hanyalah biografi dari orang- perjuangan kelas, atau kritik ideologi. Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx. Penerjemah Eri Setiyawati, Alkhatab, Silvester G Sukur (Surabaya: Pustaka Promothea, 2000), h. 1-10 34 Romantisisme, suatu gerakan merentang dari akhir abad ke delapan belas hingga pertengahan abad ke sembilan belas. Namun pengaruhnya masih dirasakan dalam dunia modern. Romantisisme ini meliputi dan mempengaruhi kehidupan spiritual dalam segala dimensinya. Ia mencita-citakan kembalinya manusia harmoni dan keselarasan sempurna, serta sekaligus menginginkan terciptanya suatu keadaan di mana individu dan masyarakat kembali menyatu tanpa campur tangan penengah. Dengan demikian, romantisisme dengan tegas menolak tradisi liberalisme, beserta teori kontrak sosial yang dipopulerkan oleh pemikir seperi Jean Jacques Rousseau. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedian, 2005), h. 959. 48 orang besar.35 Kelompok ini dapat mengambil bentuk berupa manusia yang bertindak sebagai dewa, sebagai nabi, orang suci, penyair, penulis dan sebagai raja. Kelemahan utama penafsiran sejarah macam ini karena terlalu menekankan peranan sosok perseorangan dan akibatnya melalaikan aspek kultural, ekonomi, sosial, dan agama. Cara penafsiran sejarah sebelum Marx yang ketiga adalah dengan mengedepankan peranan ide dan gagasan sebagai sebab utama timbulnya proses sejarah. Menurut corak penafsiran sejarah ini, bahwa sebab utama timbulnya proses sejarah adalah karena ide atau gagasan dan pemikiran seseorang. Ide atau gagasan seorang pemikir mampu menggerakkan dan memunculkan peristiwa sejarah, baik dalam wujud damai maupun perang, dalam kondisi stabil atau tidak. Terakhir, yaitu penafsiran sejarah dengan melihat pergolakan dan peperangan yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. Fenomena dari setiap kejadian sejarah dikembalikan pada silih bergantinya pergolakan dan peperangan.36 1. Penafsiran Sejarah Karl Marx Marx dengan materialisme historisnya bertumpu pada dalil bahwa produksi dan distribusi barang-barang serta jasa merupakan dasar untuk membantu manusia mengembangkan eksistensinya. Dengan kata lain, penafsiran sejarah dari aspek ekonomi ini menempatkan pertukaran barang dan jasa sebagai syarat untuk menata segenap lembaga sosial yang ada. Menurut Marx, masyarakat harus selalu dipahami dalam kerangka struktur, yakni terdiri dari suprastruktur (lapisan atas) dan infrastruktur (lapisan bawah). Suprastruktur merupakan cermin 35 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 130 36 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 131-132 49 kristalisasi lapisan bawah yang didalamnya memuat bidang sosial, budaya, politik, filsafat, agama, dan kesenian. Sedang motor penggerak dari masyarakat dimaksud adalah terungkap dalam peristiwa ekonomi. Jadi basis gerak masyarakat dikembalikan pada kondisi-kondisi material. Kehidupan sosial ekonomi (man social being) ditempatkan sebagai perangkat yang mendasari setiap kiprah kesadaran manusia (man social consciousness). Dengan kata lain, faktor ekonomi selalu menjadi penentu, sedang faktor kesadaran harus ditentukan oleh kondisi material yang tercipta.37 a. Materialisme Dialektis Materialisme dialektis bertitik tolak dari materi sebagai satu-satunya kenyataan. Karl Marx mengartikan dialektika materialisme sebagai keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus tanpa ada yang mengantari. Dari proses itu kemudian timbul kesadaran melalui proses pertentangan. Materi yang dimaksud menjadi sumber keberadaan bendabenda alamiah, senantiasa bergerak dan berubah tanpa henti-hentinya. Dalam pergerakan dan perubahan itu terjadi perkembangan menuju tingkatan yang lebih tinggi. Tidak melalui proses yang lamban melainkan secara dialektis yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang pada hakikatnya sudah mengandung benih perkembangan itu sendiri. Menurut teori ini, akan timbul benda-benda lapisan tinggi dari lapisan rendah, yaitu benda hidup dari benda tidak hidup, manusia yang berkesadaran dari binatang tanpa menunjuk kepada adanya kekuatan cipta 37 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 133 50 kreatif dari luar. Proses aksi serta reaksi di dalam alam dapat diterangkan sebagai manifestasi dari gerakan materi yang berdialektis. Dengan kata lain, dialektika materialisme tidak lain adalah sejarah perkembangan alam berdasarkan benih yang hadir dari kekuatan yang ada pada dirinya. 38 Dua gagasan pokok yang diambil oleh Karl Marx dari Hegel, yaitu terjadinya pertentangan antara segi-segi yang berlawanan dan gagasan bahwa segala sesuatu berkembang terus. Dari dua basis ini dipergunakan kemudian untuk perspektif lain, sebab teori asal hukum dialektika terbatas berlakunya pada dunia abstrak yang penerjemahannya mengambil wadah dalam pikiran manusia. Marx justru membalik, bahwa dialektika itu berlakunya di dalam dunia yang nyata (real), materi atau dunia benda kongkrit. Dengan kata lain, segala sesuatu bersifat rohani merupakan buah hasil dari materi atau sebaliknya.39 Dari pemikiran tersebut, didapatkan gagasan bahwa setiap benda atau keadaan dalam dirinya sendiri menimbulkan segi-segi berlawanan dan bertentangan satu sama lain. Kejadian ini adalah awal dari kontradiksi intern yang menyertai setiap fenomena kejadian kebendaan. Pertarungan antara keadaan yang bertentangan akan melahirkan keseimbangan dan akhirnya akan muncul benda atau keadaan yang telah dinegasikan. Materialisme Marx merupakan kontinuitas dari gagasan Hegel yang kemudian dimodifikasi dari corak triadik dialektis Hegel. Marx mengharapkan semua gagasan baru yang dimunculkan harus berintegrasi 38 39 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h.110 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1981), h. 80 51 langsung dengan kondisi zamannya. Oleh karenanya, arah filsafatnya cenderung pada praktis sosial revolusioner. Menurut Marx, filsafat dialektis bukan lagi bertugas memahami perihal keterasingan atau alienasi, tetapi upaya bagaimana menghapus keterasingan, tidak sekedar memahami masyarakat berkelas tempat bersemi ketidakadilan dan penghisapan, akan tetapi bagaimana ketidakadilan dan penghisapan dihapuskan. Berdasarkan kecenderungan ini, maka tinjauan materialisme dialektis menghasilkan kenyataan bahwa kebutuhan utama untuk melibatkan subyek dalam filsafatnya, yaitu memahami alam kebendaan lewat manusia yaitu manusia dalam dimensi sosialnya yang hidup dalam suatu masyarakat yang berpraksis. Aspek subjek dan objek bersatupadu dalam filsafat yang mengarahkan perhatian kepada hasil aktivitas manusia. Dengan kata lain, benda dan aktivitas subyektif mendapatkan tempat tertinggi dalam persatuannya. Menurutnya juga, seorang filosof bukan hanya mengubah pengertiannya tentang dunia, akan tetapi bagaimana mengubah dunia itu sendiri.40 b. Materialisme Historis Dalam materialisme historis diungkapkan bahwa manusia hanya dapat dipahami selama ia ditempatkan dalam konteks sejarah. Manusia pada hakekatnya adalah insan bersejarah. Selanjutnya bila diandaikan bahwa sejarah terpatri dalam peristiwa-peristiwa masyarakat, maka seyogyanya pada saat yang sama sejarah juga diletakkan dalam keterkaitannya dengan 40 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 35 52 masyarakat. Manusia sebagai pemangku sejarah tidak lain hanyalah keseluruhan relasi-relasi masyarakat. Sebagaimana penulis kemukakan di atas, bahwa teori materialisme historis bertumpu pada dalil bahwa produksi dan distribusi barang-barang serta jasa merupakan dasar untuk membantu manusia mengembangkan eksistensinya. Dengan kata lain, penafsiran sejarah dari aspek ekonomi ini menempatkan pertukaran barang dan jasa sebagai syarat untuk menata segenap lembaga sosial yang ada. Masyarakat harus selalu dipahami dalam kerangka struktur, yakni terdiri suprastruktur dan infrastruktur. Jadi basis gerak masyarakat dikembalikan pada kondisi-kondisi material. Bertolak dari interpretasi ekonomi terhadap sejarah inilah yang kelak dirinci lebih lanjut dalam dinamika perubahan sosial kekuatan produksi dan hubungan produksi, maka Marx menurunkan tesis sejarah perkembangan masyarakat, yaitu sejarah kemanusiaan yang berubah dari satu formasi ekonomi ke formasi yang lebih baru. Meningkat dalam lompatan-lompatan yang revolusioner. Tahap perkembangan yang dimaksud adalah: Pertama,41 masyarakat komunal primitif yaitu tahap masyarakat yang memakai alat-alat bekerja yang sifatnya sangat sederhana. Alat produksi itu bukan milik pribadi, tetapi menjadi milik komunal. Patut dicatat bahwa dalam masyarakat primitif ini belum dikenal surplus produksi di atas tingkat konsumsi, karena setiap orang masih mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Keadaan ini tidak berlangsung lama sebab 41 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 135 53 masyarakat mulai menciptakan alat-alat yang dapat memperbesar produksi – periode zaman batu lalu meloncat kepada penggunaan tembaga dan besi. Perbaikan alat produksi pada saat yang sama menimbulkan perubahanperubahan sosial, pada titik inilah pembagian kerja dalam berproduksi tidak dapat dihindari. Pertukaran barang-barang mulai berkembang luas, meski mekanisme pasar yang diciptakan masih sederhana. Akhirnya keperluan menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan orang lain meningkat, diperlukan kemudian kaum pekerja dalam rangka produksi. Hal ini berarti mulai tercipta hubungan produksi (relation of production) dalam masyarakat komunal itu. Kedua,42 masyarakat perbudakan (slavery), tercipta berkat hubungan produksi antara orang-orang yang memiliki alat-alat produksi dengan orang yang hanya memiliki tenaga kerja. Bermula dari cara kerja model ini menyebabkan berlipatgandanya keuntungan pemilik produksi. Budak yang bekerja diberi upah yang minim untuk mempertahankan tingkat kerjanya dan supaya tidak mati. Bila pembagian kerja dan spesialisasi menerobos bidang-bidang kehidupan seperti pekerjaan tangan dan pertanian, maka spesialisasi itu sekaligus mendorong meningkatkan keterampilan dan perbaikan alat-alat produksi. Marx menilai bahwa pada tingkat perkembangan masyarakat ini, nafkah kerja budak sudah di bawah standar murah dan di saat yang sama pemilik alat-alat produksi tidak mau memperbaiki alat produksi yang dimilikinya. Namun pada saat itu pula 42 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 136 54 budak makin lama makin sadar akan kedudukannya (akan manfaat tenaganya). Mulai tidak ketidakpuasan atas kedudukannya di dalam hubungan produksi. Ketidakpuasan ini menjadi awal perselisihan dua kelompok masyarkat, budak dan pemilik alat produksi. Ketiga,43 tingkat perkembangan masyarakat feodal bermula setelah runtuhnya masyarakat perbudakan. Masyarakat baru ini ditandai dengan pertentangan yang muncul di dalamnya. Pemilikan alat produksi terpusat pada kaum bangsawan, khususnya pemilik tanah. Para buruh tani yang berasal dari kelas budak yang dimerdekakan. Mereka mengerjakan tanah untuk kaum feodal, kemudian setelah itu mengerjakan tanah miliknya sendiri. Hubungan produksi macam ini mendorong adanya perbaikan produksi dan cara produksi di sektor pertanian, maksudnya agar petani menghasilkan pendapatan yang layak. Dengan demikian, sistem feodal sebenarnya mengubah cara-cara kehidupan sosial. Dari kerangka ini lahir dua golongan kelas di dalam masyarakat –puncaknya menjelma dalam sistem kapitalis yaitu kelas feodal tuan tanah yang menguasai perhubungan sosial dan kelas petani yang bertugas melayani tuan tanah dimaksud. Kepentingan kedua kelas ini berbeda-beda, kaum feodal lebih memikirkan keuntungan yang lebih besar karena itu mereka memperlebar sektor penghasilannya lewat pabrik-pabrik. Akibatnya muncul pedagangpedagang yang mencari pasar dan melemparkan hasil-hasil produksi yang selalu bertambah. Fenomena baru yang tidak dapat dibendung kehadirannya 43 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 137 55 yaitu terbentuknya alat produksi dan sistem kapitalis yang menghendaki hapusnya masyarakat feodalisme. Kelas kaya baru ini (kelas borjuis) yang memiliki alat-alat produksi menempuh segala cara untuk terbentuknya pasar bebas yang menyangkut didalamnya sektor buruh, sistem kerja, dan penggajian maupun ketentuan tarip pertukaran barang seperti yang diberlakukan dalam masyarakat feodalis. Proses dialektika sejarah ini pada akhirnya membuktikan bahwa sistem masyarakat feodal memang tidak mampu membendung lahirnya masyarakat kapitalis. Keempat, masyarakat kapitalis, seperti telah disebutkan menghendaki kebebasan dalam mekanisme perekonomian. Hubungan produksi dalam sistem ini didasarkan pada pemilikan individual masingmasing orang terhadap alat produksi. Kelas kapitalis memperkerjakan kaum buruh yang terpaksa menjual tenaganya karena tidak memiliki pabrik dan alat produksi lainnya, maka dalam sistem kapitalis terlihat adanya fenomena baru yaitu, hubungan produksi yang memungkinkan terus menerus meningkatnya alat produksi, caranya adalah memperbaharui pabrik-pabrik, modernisasi mesin-mesin dengan menggunakan tenaga uap dan listrik. Akibat langsung dari sistem macam ini adalah kerja menjadi terspesialisasi, aktifitas persaingan mencari pasaran hasil produksi menjadi tugas utama kaum kapitalis, sedang pada saat yang sama upah dan kesejahteraan yang tidak kunjung datang menjadi dambaan kaum pekerja. 44 44 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 137 56 Pada analisis selanjutnya, ditemukan dua kelas dalam masyarakat yang kepentingannya saling bertentangan, kelas proletar dan kelas borjuis yang mewakili kaum kapitalis pemilik alat produksi. Perbedaan kepentingan ini makin lama makin memuncak yang artinya muncul apa yang disebut pertentangan kelas. Perjuangan kelas dan pertentangan kelas berakhir dengan terbentuknya masyarakat tanpa perbedaan kelas. Ciri masyarakat utama ini adalah pemilikan yang sifatnya sosial terhadap alat-alat produksi. Kelima, masyarakat sosialis, yang dipahami sebagai formulasi terakhir dari lima tahap perkembangan sejarah Marx adalah masyarakat dengan sistem pemilikan produksi yang disandarkan atas hak milik sosial (social ownership). Hubungan produksi merupakan jalinan kerjasama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan diri dari eksploitasi. Jadi, sistem sosialis ini dirancang untuk memberi kebebasan bagi manusia, untuk mencapai harkat martabatnya dengan tanpa penindasan. Atau dengan kata lain, tahap ini menginginkan terhapusnya kelas-kelas dalam masyarakat. Hanya saja menurut Marx, untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, bukanlah pekerjaan mudah. Sebab kelas kapitalis dan borjuis itu sudah mengakar dalam gerak kehidupan masyarakat secara luas. Menurutnya, untuk pencapaian ke arah itu, haruslah dirubah dari sistem itu sendiri, di samping dengan cara revolusioner.45 Menurut Marx, dari kelima tahapan perkembangan sejarah ini ditemukan dua faktor kunci yang mendasari proses di dalamnya; 45 Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h.138 57 pertama,kekuatan-kekuatan produksi, dan kedua, adalah hubunganhubungan produksi. Kekuatan produksi meliputi orang yang bekerja, alatalat produksi yang dipergunakan dalam proses produksi. Sedangkan hubungan-hubungan produksi adalah hubungan manusia dengan alam, hubungan antara pekerja dengan tuannya (kaum kapitalis atau kaum borjuis), yang dalam hubungan itu, berakhir dengan pertentangan yang didasari oleh perbedaan dan dialektika di antara kepentingan mereka. BAB IV PEMIKIRAN MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ TENTANG FILSAFAT SEJARAH A. Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah Menurut Muththahharȋ, pengertian sejarah dapat dilihat dalam tiga cabang yang satu sama lain saling berhubungan erat. Pertama, sejarah adalah cabang dari pengetahuan tentang peristiwa masa lalu dan kondisi yang berkaitan dengan masyarakat masa lalu. Cabang pengetahuan yang menjelaskan tentang kejadian, peristiwa, dan masyarakat masa lalu disebut dengan sejarah. Begitu juga dengan biografi, kisah penaklukan, dan kisah orang-orang termasyhur yang disusun semua bangsa, termasuk dalam kategori ini. Dalam pengertian ini, Muththahharȋ secara ringkas memberikan rincian sebagai berikut, pertama bahwa arti sejarah adalah pengetahuan tentang masalah individu dan peristiwa yang berkenaan dengan individu bukan pengetahuan tentang hukum umum atau aturan pergaulan. Kedua, sejarah adalah ilmu rawian atau transferan. Ketiga, sejarah adalah pengetahuan tentang “wujud” bukan tentang “menjadi”. Keempat, sejarah berkaitan dengan masa lalu, bukan dengan masa sekarang.1 Kedua, dalam pengertian lain, arti sejarah adalah cabang pengetahuan tentang aturan dan tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat di masa lalu. 1 Murtadhâ Muththahharȋ, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya. Penerjemah Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera, 2002), h. 303. Martyr Murtadâ Muthahhari, Society and History. Translator Mahliqâ Qarâ’i (Jakarta: Islamic Culture and Relations Organization), p.50 58 59 Aturan dan tradisi ini disimpulkan dari studi dan analisis atas peristiwa masa lalu. Subjek atau pokok persoalan yang dibahasnya yaitu peristiwa dan kejadian masa lalu yang berfungsi sebagai pendahuluan untuk cabang sejarah ini. Sesungguhnya peristiwa masa lalu yang relevan dengan sejarah dalam pengertian seperti ini, dapat disamakan dengan material yang dikumpulkan fisikawan di laboratoriumnya untuk ditelaah, dianalisis, dan dieksperimen dengan tujuan mengetahui karakteristik dan mengetahui hukum umum yang berkaitan dengan material itu. Dalam pengertian kedua ini, pekerjaan sejarawan adalah menemukan karakter peristiwa sejarah dan mengetahui hubungan sebab-akibatnya sehingga dapat disimpulkan beberapa aturan umum yang berlaku pada semua peristiwa serupa di masa lalu dan sekarang. Cabang sejarah ini oleh Muththahharȋ disebut “sejarah ilmiah”.2 Peristiwa masa lalu menjadi bahan dasar dalam sejarah ilmiah, ia menjadi objek yang ditelaah dan dianalisis untuk diambil sebuah aturan umum dari peristiwa tersebut. Hal ini tidak saja menjadi dokumen sejarah tetapi juga bermanfaat untuk dijadikan sebagai pisau analisis untuk mengamati peristiwaperistiwa yang terjadi saat ini dan yang akan datang. Sejarah ilmiah bermanfaat sebagai sumber pengetahuan, dan membantu manusia mengendalikan masa depannya. Ada perbedaan yang mencolok antara tugas peneliti sejarah ilmiah dengan tugas peneliti ilmu alam. Ilmuwan alam dalam penyelidikan bahan-bahan penelitiannya merupakan suatu rantai kejadian nyata dan dapat dibuktikan, dan 2 Murtadha Muththahharȋ, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, h. 304 60 karenanya seluruh penyelidikan, analisis dan hasilnya tentu dapat dirasa dan dibuktikan secara bendawi dengan berulang kali. Adapun bahan telaah ilmuwan sejarah ilmiah adalah peristiwa di masa lalu itu sendiri. Sehingga bahan penyelidikannya pun bahan yang tidak ada lagi di masa sekarang. Penyelidikannya berdasarkan setumpuk catatan dan jawaban tentang rangkaian peristiwa masa lalu. Jadi, analisis sejarah atau sejarawan dalam kerja ilmiahnya berdasarkan pada sejauh itu bersifat logis dan rasional, bukan berdasarkan pada bukti dari luar yang dapat diuji kebenarannya. Dengan begitu sejarawan membuat analisisnya di laboratorium pikiran dan akalnya, dengan peralatan logika dan penyimpulan. Ketiga, kata “sejarah” dalam pengertian ketiga digunakan untuk menunjukkan filsafat sejarah, yaitu pengetahuan tentang perkembangan dan hukum-hukum yang mengatur perubahan masyarakat dari tahap ke tahap. Dengan kata lain, filsafat sejarah menjelaskan tentang “menjadi”-nya masyarakat, bukan tentang “wujud” masyarakat saja. Jadi, sejarah ilmiah yang menjadi subjeknya adalah kemaujudan masyarakat. Sedangkan subjek filsafat sejarah adalah tentang “menjadi” masyarakat yang menunjukkan gerak.3 Sejarah dalam makna filsafat sejarah ini merupakan telaah tentang evolusi4 masyarakat, dari satu tahap ke tahap lain. Ia tidak hanya merupakan pengetahuan 3 Murtadhâ Muththahharȋ, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya. Penerjemah Ilyas Hasan, h. 305 4 Muthahhari memberikan pengertian secara khusus tentang makna evolusi, beliau berujar banyak hal pada awalnya kelihatan sedemikian jelas sehingga tidak membutuhkan definisi. Tetapi ketika seseorang mencoba mendefinisikannya, ia menghadapi kesukaran dan berbagai macam kesulitan. Pertama-tama beliau menjelaskan perbedaan antara evolusi dan kemajuan (progress). Apakah kemajuan sama dengan evolusi, dan apakah evolusi identik dengan kemajuan? Menurutnya, kedua kata itu mempunyai satu perbedaan dan anda dapat menguji penggunannya. Kita kadang-kadang berbicara tentang sebuah penyakit yang sedang maju, tetapi kita tidak 61 tentang keberadaan masyarakat pada satu tahap tertentu, tetapi pada semua tahap. Filsafat sejarah menelaah masyarakat secara terus menerus yang berasal dari masa lampau dan masa mendatang. Muththahharȋ lebih lanjut menjelaskan di dalam buku Manusia dan Alam Semesta tentang bagaimana mungkin pada masyarakat memiliki dua kualitas sekaligus yakni “wujud” dan “menjadi” di mana kedua kualitas tersebut bertolak belakang dalam maknanya sehingga mustahil memadukan dua kualitas ini, karena “wujud” menunjukkan kemandekan, sedangkan “menjadi” menunjukkan gerak. Masyarakat hanya bisa memiliki satu dari dua kulitas ini. Gambaran yang kita bentuk mengenai masyarakat, dapat melukiskan “wujud” atau “menjadi”. mengatakannya sedang berkembang. Jika satu pasukan sedang bertempur di sebuah daerah yang salah satu bagiannya mereka duduki, kita mengatakan bahwa pasukan tersebut sedang mendapat kemajuan, tetapi kita tidak mengatakan bahwa mereka sedang berkembang. Mengapa tidak? Karena terdapat pengertian yang mulia dalam evolusi: evolusi merupakan suatu gerak menaik, gerak vertikal, dari level yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Tetapi kemajuan selalu terjadi pada level horizontal. Ketika sebuah pasukan menduduki suatu daerah dan menambah wilayah-wilayah yang mereka miliki, kita mengatakan pasukan itu maju, yang berarti pasukan itu telah bergerak maju tetapi masih pada tahap yang sama dari posisi sebelumnya. Mengapa kita tidak mengatakan pasukan itu berkembang? Karena dalam evolusi terdapat ide tentang kemuliaan (keagungan). Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang evolusi sosial, hal itu berarti pengagungan dimensi sosial manusia dan tidak hanya kemajuannya. Banyak hal yang dapat dianggap sebagai kemajuan bagi manusia dan masyarakat tanpa adanya evolusi dan pemuliaan bagi masyarakat manusia. Kita menyatakan ini untuk menunjukkan bahwa jika sejumlah sarjana menyatakan keraguan mengenai keagungan kemajuan semacam itu untuk disebut sebagai suatu evolusi, pandangan mereka itu bukan tanpa dasar. Walaupun kita tidak menyetujui pandangan mereka, namun apa yang mereka nyatakan tidaklah secara keseluruhannya tidak ada artinya. Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara evolusi di satu sisi dan kemajuan dan perkembangan di sisi lain; karena kemajuan dan perkembangan sangat mirip artinya. Di samping itu Muththahharȋ menguraikan tentang perbedaan sempurna dan lengkap yang tentu saja terdapat keterkaitan dengan penjelasan di atas. Jika ada suatu benda terdiri atas sejumlah bagian-bagian seperti sebuah bangunan dan atau mobil, bagian-bagiannya yang penting tidak ada di dalamnya, kita mengatakan hal itu tidak sempurna. Tetapi jika kita menempatkan bagian terakhir dari benda itu di dalamnya, maka kita dapat mengatakan bahwa hal itu sebagai ‘lengkap’. Sebagai perbandingannya, evolusi mempunyai banyak fase dan tingkatan. Jika seorang anak dilahirkan dalam keadaan cacat tubuh, kita memandangnya sebagai cacat; tetapi bahkan jika ia dilahirkan denga anggota tubuh yang lngkap, ia masih dipandang cacat dari pandangan yang lain; ia harus melewati banyak tahap evolusi dalam pendidikannya yang baginya merupakan satu bentuk proses pemuliaan dan pendakian yang dicapai lewat tingkatan-tingkatan dan tahapan. Murtadha Muthahhari, Menguak Masa Depan Umat Manusia Pendekatan Filsafat Sejarah. Penerjemah Afif Muhammad, Masykur Ab, Fauzi Siregar, A.Rifa’i Hasan (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 20-21 62 Muththahharȋ mengemukakan dengan baik dan lengkap bahwasanya gambar mengenai dunia dan masyarakat sebagai bagian dari dunia pada umumnya bisa statis atau dinamis. Kalau statis, maka berkualitas “wujud”, bukan “menjadi”. Dan kalau dinamis, maka berkualitas “menjadi”, bukan “wujud”. Berdasarkan ini ternyata majhab filsafat beragam. Satu sistem filsafat mempercayai “wujud”, sedangkan sistem yang lain mempercayai “menjadi”. Majhab yang mempercayai “wujud” berpandangan bahwa “wujud” dan “non-wujud” eksistensinya tak mungkin serentak, karena keduanya bertentangan, sedangkan dua hal yang bertentangan eksistensinya tak mungkin serentak. Kalau “wujud” ada, maka “nonwujud” tidak ada. Jika “non-wujud” ada, maka “wujud” tak ada. Satu dari keduanya yang harus dipilih. Mengingat dunia dan masyarakat ada, maka jelas kualitasnya adalah “wujud”, dan tentu saja keduanya diatur oleh diam atau tak ada gerak. Beda dengan pandangan ini, majhab yang mempercayai “menjadi” berpandangan bahwa “wujud” dan “non-wujud” bisa eksis sekaligus, karena ide “menjadi” menunjukkan gerak, yang artinya bahwa ada sesuatu dan sekaligus sesuatu itu tidak ada. Filsafat “wujud” dan filsafat “menjadi” mencerminkan dua pandangan yang sama sekali bertentangan tentang eksistensi. Mana yang harus dipilih, filsafat yang ini atau filsafat yang itu. Kalau yang dipilih adalah filsafat yang pertama, tentu akan muncul asumsi bahwa masyarakat itu berkualitas “wujud”, bukan berkualitas “menjadi”. Sebaliknya, kalau filsafat yang kedua yang dipilih, tentu akan muncul pernyataan bahwa masyarkat itu berkualitas “menjadi”, bukan “wujud”. 63 Menyikapi masalah tersebut, Muththahharȋ mengatakan bahwa pandangan ini tentang eksistensi dan non-eksistensi, tentang diam dan gerak, dan tentang prinsip mustahilnya eksistensi serentak dua hal bertentangan, semata-mata isapan jempol gagasan Barat. Cara berfikir seperti ini terjadi karena tidak mengetahui banyak masalah penting tentang eksistensi, khususnya esensialitas eksistensi dan beberapa masalah lainnya yang relevan. Pertama, mengatakan bahwa “wujud” sama dengan diam, atau dengan kata lain diam berarti “wujud” dan gerak berarti perpaduan “wujud” dan “nonwujud” yang merupakan perpaduan dua hal bertentangan, adalah salah besar. Kesalahan besar inilah yang dilakukan beberapa mazhab filsafat Barat. Kedua, masalah yang tengah dibahas tak ada kaitannya dengan masalah filsafat tersebut di atas. Yang terlihat di sini adalah bahwa masyarakat, seperti makhluk hidup, memiliki dua jenis hukum. Jenis pertama adalah yang mengatur spesies dalam kerangka kelasnya, dan jenis kedua adalah yang bisa berlaku untuk spesies dengan evolusi dan transformasinya menjadi spesies lain. Jenis pertama ini disebut hukum “wujud”, sedangkan jenis kedua disebut hukum “menjadi”. 5 Menurut teori perkembangan dan evolusi spesies sebagaimana yang dijelaskan Muththahharȋ, di samping hukum khusus yang khas bagi setiap spesies dan yang berlaku dalam bingkai kelasnya sendiri, ada sejumlah hukum lain yang berkaitan dengan proses evolusi spesies menjadi spesies lain. Hukum ini bersifat filosofis dan terkadang disebut filsafat evolusi, bukan hukum biologis. Karena masyarakat adalah makhluk hidup, maka masyarakat juga memiliki dua jenis 5 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam Tentang Jagat raya. Penerjemah Ilyas Hasan, h. 306 64 hukum: hukum biologis dan hukum evolusioner. Ada beberapa hukum masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat dan asal-usul serta kemunduran budayanya. Hukum ini mengatur semua masyarakat dalam semua tahap perkembangannya. Hukum ini di sebut hukum “wujud”. Ada hukum lain yang berkaitan dengan perkembangan masyarakat dari satu tahap ke tahap lain dan dari satu sistem ke sistem lain. Hukum ini dikenal dengan nama hukum “menjadi”. Kalau nanti kedua jenis hukum ini dibahas, maka akan jelas perbedaan keduanya. 6 Jadi sejarah dalam pengertian ketiga adalah studi atas evolusi masyarakat dari satu tahap ke tahap yang lainnya. Bukan sekadar pengetahuan tentang kondisi hidupnya pada tahap tertentu atau pada semua tahap. Dan pengetahuan ini dinamakan filsafat sejarah. B. Sifat dan Gerak Sejarah Muththahharȋ menguraikan sejumlah kriteria mengenai mekanisme sifat dan gerak sejarah yang disebutnya sebagai konsepsi filsafat sejarah dalam Islam. Dengan mempertimbangkan kriteria ini, menurutnya, dapat diketahui bagaimana persisnya pendekatan majhab mengenai gerakan sejarah dan karakter esensial kejadian-kejadian sejarah, meskipun beliau mengakui tidak menutup kemunkinan ada kriteria-kriteria lain yang lepas dari perhatian beliau. Kriteria-kriteria tersebut adalah : 6 Murtadha Muththahharȋ, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, h.307 65 1. Strategi Misi Setiap majhab atau aliran pemikiran memiliki risalah untuk disampaikan kepada masyarakat. Untuk itu, perlu adanya metode khusus yang sesuai dengan tujuan utamanya dan tepat untuk pendekatan umumnya mengenai karakter dasar gerakan sejarahnya. Dalam menyampaikan pesannya, suatu mazhab mengenalkan masyarakat dengan pandangan asasinya, dan melakukan tekanan moral untuk memobilisasi mereka. Misalnya, majhab August Comte, yang mengklaim sebagai majhab ilmiah, berpendapat bahwa perkembangan mental merupakan hakikat evolusi manusia. Majhab ini percaya bahwa sejauh menyangkut mentalitasnya, manusia sudah melalui dua tahap, yaitu tahap mitos dan tahap filsafat, dan sekarang sudah sampai pada tahap ilmiah. Karena majhab ini mengklaim ilmiah, maka semua doktrin yang disampaikannya dikemukakannya dengan bahasa ilmiah, dan tekanan moral yang ingin digunakannya untuk memobilisasi masyarakat juga ilmiah. 7 Selain itu, Marxisme yang merupakan teori revolusioner tentang kelas pekerja, tujuan misinya adalah membentuk kesadaran akan kontradiksi kelas di kalangan kaum pekerja. Sarana penggeraknya berupa perasaan rasa ketertindasan yang dialami pekerja itu, bahwa pekerja itu tertindas serta menjadi korban. Berbeda dengan marxisme, majhab-majhab seperti Kristianitas, berpendapat bahwa sejauh menyangkut manusia, hanya dakwah damai yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Mereka menganggap penggunaan kekerasan, 7 h. 399 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 66 apa pun bentuknya dan dalam keadaan apa pun, tidak bermoral. Itulah sebabnya agama Kristen mengajarkan bahwa jika pipi kananmu ditampar, berikan pipimu untuk ditampar juga, dan jika dahimu dipukul, serahkan juga topimu. Sebaliknya, mazhab-mazhab lain seperti Nietzsche, berpendapat bahwa hanya penggunaan kekerasan sajalah yang bermoral, karena sifat terhebat manusia terletak pada kekuatannya, dan orang yang paling berani berarti dia hebat. Dari sudut pandang Nietzschian, Kristianitas sama saja dengan kelemahan dan kerendahan hati, dan merupakan penyebab utama stagnasi manusia. 8 Beberapa majhab lain berpendapat bahwa sekalipun moralitas bergantung pada kekuatan atau kekerasan, namun penggunaan kekuatan atau kekerasan tetap saja tidak bermoral. Dari sudut pandang marxisme, kekuatan yang digunakan kaum pengeksploitasi terhadap kaum tereksploitasi tidak bermoral, karena kekerasan digunakan untuk mempertahankan status quo, dan karena itu menjadi unsur stagnasi. Namun kekuatan yang digunakan kaum tereksploitasi terhadap kaum pengeksploitasi adalah bermoral, karena dimaksudkan untuk membuat masyarakat melakukan revolusi dan untuk membawa masyarakat ke tahap yang lebih tinggi. Menurut Muththahharȋ, pemikiran-pemikiran tersebut merupakan pemikiran yang aneh, anti kemanusiaan dan merusak. Berbeda dengan semua aliran tersebut, di dalam Islam yang bermoral bukan saja kontak damai dan misi yang bersahabat dan banyak membantu. Terkadang penggunaan kekuatan juga bisa bermoral, itulah sebabnya Islam menganggap memerangi kekerasan dan 8 h. 399 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 67 tirani itu sebagai kewajiban suci, dan memandang jihad dan perlawanan bersenjata, dalam keadaan tertentu sebagai kewajiban. 9 Dari sudut Islam, sebagaimana yang dikutip Murtadhâ Muththahharȋ didalam bukunya yang berjudul Manusia dan Alam Semesta, kekuatan tidak boleh digunakan sebagai pisau pertama untuk menghadapi kelompok anti-evolusi. Metode menasihati dan meyakinkan yang harus terlebih dahulu digunakan. AlQur’an mengatakan: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (QS. an-Nahl: 125) Ayat tersebut sudah cukup jelas memberikan keterangan bahwa penggunaan kekuataan terhadap kelompok anti-evolusi baru dibolehkan setelah cara-cara damai seperti meyakinkan orang dengan argumen rasional, sudah digunakan ternyata gagal. Sesungguhnya semua nabi yang memerangi penentang mereka, mula-mula berupaya meyakinkan mereka dengan menggunakan argumen dan nasihat, dan sering berdebat dengan mereka. Nabi-nabi itu baru menggunakan kekuatan setelah cara-cara damai menemui kegagalan. Berkat pandangan spiritual khusus Islam mengenai manusia dan konsekuensinya mengenai masyarkat dan 9 h. 401 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 68 sejarah, Islam memandang perang terhadap kelompok anti-evolusi sebagai tahap kedua dalam kontaknya dengan kelompok itu. Tahap pertamanya adalah argumen, nasihat, dan perdebatan.10 Islam, pendekatannya bersifat keruhanian, bukan bendawi. Islam percaya akan kekuatan menakjubkan dari argumen rasional, pemaparan logika dan keyakinan moral. Dan hal itulah, konsekuensi masyarakat dan sejarah dalam Islam bergerak maju. Jenis kesadaran dan jalan yang diformulasikan Islam, dalam hal ini, menggunakan alternatif berikut: a. Kesadaran keyakinan Islam menyadarkan betapa pentingnya keyakinan. Semua dari Allah dan akan kembali pada-Nya. Metode penyadaran ini digunakan al-Qur’an dan para nabi, yang membangun kesadaran di kalangan manusia: dari mana asal mereka dan hendak ke mana tujuan mereka. Dari mana dunia ini maujud, jalan mana yang diikuti manusia, serta ke arah mana ia bergerak? Nabi SAW mengawali misinya dengan pernyataan,11 “Katakanlah, tak ada Tuhan selain Allah, agar kamu memperoleh keberhasilan.” Ini merupakan suatu gerakan keagamaan yang bertujuan menyucikan keyakinan dan pikiran manusia. Memang tauhid luas dimensinya. Jika semua ajaran Islam dianalisis, maka dapat diikhtisarkan sebagai tauhid. Dan jika tauhid dikembangkan, maka meliputi semua ajaran ini. Namun kita tahu bahwa pada awalnya arti doktrin ini tak lebih dari keberpalingan intelektual dan 10 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, h.400-401. Lihat juga,Martyr Murtadâ Muthahhari, Society and History. Translator Mahliqâ Qarâ’i, p. 133-136 11 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, h. 402 69 praktis dari doktrin dan ibadah kemusyrikan ke doktrin ibadah, tauhid. Seandainya doktrin ini luas artinya, tentu orang pada masa itu tidak mengetahuinya. Ajaran ini yang berakar dalam kedalaman fitrah manusia,12 membentuk dalam diri pengikut para nabi semangat besar untuk membela agama mereka, berupaya keras menyebarkannya dan tidak ragu-ragu untuk berkorban jiwa dan harta demi agama mereka. Para nabi memulai dengan apa yang di zaman kita dikenal sebagai suprastruktur masyarakat, dan berangsur-angsur mencapai infrastrukturnya. Dalam mazhab para nabi, manusia lebih memperhatikan agama dan keyakinannya dibanding keuntungan dan kepentingan pribadinya. Dalam mazhab ini, keyakinan dan pikiran merupakan infrastrukturnya, sedangkan kerja, yaitu kontak dengan alam dan karunia alam serta dengan masyarakat, adalah suprastrukturnya. Setiap ajaran agama harus mengandung prediksi. Dengan kata lain, harus disertai kesadaran bahwa Allah SWT adalah Sumber dan bahwa ada hari kebangkitan. Para nabi memobilisasi masyarakat dengan menghidupkan perasaan seperti ini, dengan mengembangkan kesadaran ini dan dengan menyingkirkan debu-debu menutupi yang menutupi hati nurani, dengan bersandar pada keridhaan Allah, perintah-perintah-Nya dan pembalasanNya. Dalam al-Qur’an, keridhaan Allah disebut-sebut di tiga belas tempat. Dengan menekankah masalah spiritual ini, al-Qur’an memobilisasi 12 h. 403 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 70 masyarakat beriman. Memahami fakta ini bisa disebut sadar akan Tuhan atau kosmos.13 Pemikiran di atas sangat bertolak belakang dengan konsepsi Karl Marx mengenai bagaimana dasar perkembangan masyarakat. Menurutnya, yang menentukan perkembangan masyarakat bukanlah kesadaran manusia akan drinya sendiri melainkan keadaan atau kondisi sosial masyarakatlah yang mendorong manusia untuk melakukan perubahan dalam kehidupan di masyarakat. Marx berpendapat demikian bertolak dari pengandaiannya bahwa setiap orang berpikir sesuai dengan kepentingannya. Seseorang akan menganggap sesuatu itu baik apabila sesuai dengan kepentingan dan yang akan menjamin eksistensinya serta seseorang akan menganggap buruk sesuatu apabila ada hal yang akan mengancamnya. Yang dinilai baik adalah yang dirasakan sebagai peningkatan kualitas hidup, sedangkan yang merendahkannya dianggap buruk. Akan tetapi kualitas hidup ditentukan oleh kedudukan dalam masyarakat, terutama oleh apakah kita termasuk kelas yang beruntung atau yang tidak beruntung. Dengan demikian keanggotaan dalam kelas sosial tertentu sangat menentukan cara manusia memandang dunia, apa yang diharapkan dam apa yang dikhawatirkan, apa yang dipuji dan dicela. Marx mencontohkan bahwa borjuasi Prancis memperjuangkan kebebasan melawan kaum feodal yang menekankan tatanan yang sudah ada, adalah karena mereka sebagai pemodal ingin memperluas usaha mereka dan karena itu berkepentingan agar masyarakat 13 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam Tentang Jagat raya. Penerjemah Ilyas Hasan, h. 403 71 bebas mencari pekerjaan di mana modal memerlukannya. Jadi dalam perspektif Marx, bukan cita-cita kebebasan liberalisme yang menjadi kekuatan dalam sejarah modern, melainkan kebutuhan kelas kapitalis akan tersedianya buru di mana mereka membutuhkannya.14 Jadi, menurut Marx, kesadaran dan cita-cita manusia ditentukan oleh kedudukannya dalam kelas sosial. Karena keadaan itu adalah cara pengorganisasian produksi, maka cara berproduksi menentukan cara manusia berpikir. Cara berproduksi itu menentukan adanya kelas-kelas sosial, keanggotaan dalam kelas sosial menentukan kepentingan orang, dan kepentingan menentukan apa yang dicita-citakan, apa yang dianggap baik dan buruk. Maka, bagi Marx, hidup rohani masyarakat, kesadarannya, agamanya, moralitasnya, nilai-nilai budaya, dan seterusnya bersifat sekunder, karena yang hanya mengungkapkan keadaan primer adalah struktur kelas masyarakat dan pola produksi. Sejarah tidak ditentukan oleh pikiran manusia melainkan oleh cara ia menjalankan produksinya. Karena itu, perubahan masyarakat tidak dapat dihasilkan oleh perubahan pikiran, melainkan oleh perubahan dalam cara produksi. b. Kesadaran manusia akan kemanusiaannya. Menurut Islam, manusia bukanlah binatang yang pada awalnya persis seperti primata lainnya, namun manusia begitu piawai dalam bertahan hidup sehingga setelah beratus-ratus juta tahun posisinya jadi seperti sekarang ini. 14 Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta, PT Gramedia), h. 140 72 Manusia justru makhluk yang di dalam dirinya ada nuansa roh ilahiah, yang dihadapannya para malaikat bersujud. Meskipun ada sifat-sifat hewaniah seperti hawa nafsu dan sifat buruk, manusia itu sendiri tetap merupakan esensi murni yang menentang penumpahan darah, kebohongan, kerusakan, kehinaan, kebencian, kekerasan, dan tirani. Manusia merupakan perwujudan kemuliaan (kekuatan) ilahiah. Al-Qur’an mengatakan: “Mereka berkata, sungguh, jika kita kembali ke Madinah (kembali dari perang Bani Mustalik), pastilah orang yang kuat akan mengusir orangorang yang lemah dari sana. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui” (QS. al-Munafiqun: 8) Ketika Nabi SAW bersabda, “Manusia baru mulia kalau dia tidak tidur di malam hari dan kalau dia tidak membutuhkan pertolongan orang lain.” Atau ketika Ali bin Abi Thalib as berkata kepada sahabat-sahabatnya di Shiffin, “kalau kalian meninggal sebagai pemenang, itulah kehidupanmu, dan kalau kalian hidup sebagai pecundang, itulah kematianmu.” Semua perkataan di atas menekankan arti martabat dan kemuliaan yang dimiliki manusia berkat fitrahnya.15 c. Kesadaran akan Tanggung jawab dan Hak Kemasyarakatan 15 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya. Penerjemah Ilyas Hasan, h.403-404. 73 Menyadari akan hak dan kewajiban telah melahirkan perjuanganperjuangan bagi manusia. Hal ini telah menjadi sarana mekanisme gerak sejarah umat manusia. Dalam hal ini, Islam telah menemukan dasarnya yang fundamental, misalnya dapat dilacak dalam al-Qur’an yang menyatakan: “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orangorang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya, dan berilah Kami pelindung dari sisiMu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.” (QS. an-Nisa’: 75) Ayat ini bertumpu pada dua nilai keruhanian manusia untuk menggerakkan jihad yang sekaligus sejarah. Pertama, keniscayaan berjuang di jalan Allah. Kedua, tentang tanggung jawab manusia untuk menyelamatkan orang-orang yang tidak berdaya dari cengkeraman para penindas.16 2. Terminologi Ideologi Setiap aliran pemikiran memiliki identitas atau ciri khas tersendiri di dalamnya. Misalnya, teori rasial merupakan ciri khas penganut teori itu. Bila mereka mengatakan “kami”, maka yang mereka maksud adalah orang kulit putih. Begitu juga teori Marxis yang merupakan teori pekerja. Pengikut aliran ini 16 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya. Penerjemah Ilyas Hasan, h.404 74 menyebut diri mereka pekerja. Bila mereka mengatakan “kami”, maka yang mereka maksud adalah pekerja. Kaum Kristiani menganggap diri mereka berasal dari person Kristus, seakan-akan mereka tak memiliki doktrin atau ideologi. Tanda identitas mereka adalah mencari Kristus dan ingin bersamanya. Sementara ciri khas Islam adalah Islam tidak menggunakan label ras, kelas, profesi, daerah atau individu untuk mazhab dan pengikutnya. Penganut mazhab ini tidak dikenal dengan sebutan Arab, Semit, orang miskin, orang kaya, orang tertindas, orang kulit putih, orang kulit hitam, orang Asia, orang Timur, orang Barat, pengikut Muhammad, pengikut al-Qur’an, dan seterusnya. Nama-nama di atas bukanlah gambaran identitas sejati penganut Islam. Bila muncul soal identitas mazhab ini dan pengikutnya, semua nama ini pun lenyap. Yang tinggal hanya satu hal, yaitu hubungan antara manusia dan Allah. Islam artinya adalah tunduk kepada Allah. Kaum Muslim adalah umat yang tunduk kepada Allah, kepada kebenaran dan kepada wahyu dan ilham yang datang dari cakrawala kebenaran disampaikan ke hati orang-orang yang sangat mulia. Lantas bagaimana karakter asasi identitas kaum muslim? Sebutan apa yang diberikan agama mereka kepada mereka, dan Islam ingin mereka berada di bawah panji-panji apa? Jawabnya adalah ketundukan Islam kepada kebenaran.17 3. Syarat untuk Menerima Menurut Muthahhari, mekanisme gerak sejarah itu beragam, sesuai dengan perbedaan aliran-aliran pemikiran yang dianut suatu masyarakat. Misalnya ada yang memandang penindasan satu kelas oleh kelas lain. Itu karena yang satu 17 h.406 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 75 bersifat revolusioner dan yang lainnya bersifat reaksioner. Ada juga aliran dengan mekanisme geraknya yang memandang pada kemuliaan sifat manusia yang berupaya mencapai kesempurnaan dan seterusnya. Oleh karena itu tinggal seseorang memilih untuk menerima atau menolak yang lainnya. Hanya saja, menurut Muthahhari, dalam Islam lebih bersifat kejiwaan dan keruhaniaan (spiritualitas), ketimbang mekanisme gerak dari kebendaan dan perekonomian tadi. Muthahhari membantah keras pendapat yang mengatakan, Islam juga mengatur determinisme ekonomi, atau materialisme sejarah secara penuh atau lebih dominan dalam kehidupan ini. 18 4. Jaya dan Jatuhnya Masyarakat Dengan berlandaskan ayat-ayat al-Qur’an Muthahhari menuturkan ada empat faktor yang mempengaruhi bangun dan jatuhnya suatu masyarakat. Yaitu: a. Keadilan dan Kezaliman Berkenaan dengan hal ini, al-Qur’an secara tidak langsung menyebutkan dalam beberapa ayatnya, antara lain ayat tersebut berbunyi: ”Sesungguhnya Fir’aun mengagungkan dirinya di muka bumi, dan membelah kaumnya menjadi kasta-kasta. Sebagiannya dia tindas, dia bunuh anak laki-laki mereka dan biarkan hidup perempuan-perempuan mereka. sesungguhnya dia termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS. alQashas) 18 h.407-408 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 76 Ayat tersebut secara jelas mengutuk perbuatan Fir’aun yang sangat tercela, dan gambaran ini menunjukkan bahwa tirani sosial seperti yang dilakukan Fir’aun dapat menghancurkan fondasi masyarakat. b. Persatuan dan Perpecahan Muthahhari menuturkan bahwa ayat 103 dari surah Ali ‘Imran mendesak agar bersatu atas dasar iman dan berpegang kuat pada tali Allah SWT. Ayat 105 dari Surah yang sama berbunyi; ”Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih.” Selain itu, terdapat ayat al-Qur’an lain yang juga menyerukan hal yang sama pula. Ayat tersebut berbunyi: Katakanlah: “Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepada mu, dari atas kamu atau dari bawah kamu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.” (QS. al-An’am: 65) Artinya: “Janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmua.” (QS. al-Anfal: 46) 77 c. Menaati atau Mengabaikan Perintah Allah tentang Amar Makruf Nahi Munkar Muthahhari mengutip ayat al-Qur’an yang berbunyi: “Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. al-Maidah: 79) Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila suatu umat melecehkan kewajiban besar ini maka akhirnya akan mengakibatkan kehancuran dan keruntuhan. d. Kebobrokan Moral dan Tak Peduli Hukum Ada beberapa ayat al-Qur’an mengenai hal ini. Sebagiannya menggambarkan hidup mewah sebagai penyebab kehancuran. Dalam banyak ayat lainnya, disebut-sebut kata zhulm (kezaliman, kekejaman, penindasan, tirani, pelanggaran). Dalam istilah al-Qur’an, kezaliman tidak saja berarti pelanggaran hak individu atau kelompok. Kezaliman juga berarti yang dilakukan seseorang kepada dirinya sendiri atau oleh kaum kepada diri mereka. Setiap jenis kerusakan moral dan penyimpangan dari jalan benar manusia adalah kezaliman. 19 Konsepsi kezaliman dalam al-Qur’an cukup luas sehingga mencakup kezaliman yang dilakukan terhadap pihak lain dan 19 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya. Penerjemah Ilyas Hasan, h.409-410 78 pemuasan perbuatan tak bermoral. Terutama kata ini digunakan dalam alQur’an alam artinya yang kedua. Dari hal-hal yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Muthahhari tentang gerak sejarah sangat ditentukan oleh aktivitas, watak, dan pemikiran manusia yang bersangkutan. Kesimpulan demikian, tidak terlepas dari hasil perenungan dan hasil kajian Muthahhari terhadap nash-nash al-Qur’an secara dalam dan imajinatif. Mekanisme gerak sejarah dalam Islam, dalam al-Qur’an, membedakan antara perjuangan kelas dan kepentingan bendawi. Diterangkan dalam al-Qur’an bahwa, yang pertama, mekanisme gerak sejarah disebabkan oleh tekanan ciptaan-ciptaan para penindas (QS. 28:5) dan watak reaksioner mereka di satu pihak, serta semangat revolusioner kelas terhisap di pihak lain. Perjuangan kaum tertindas yang menjadi mekanisme gerak di sini, akan berakhir dengan kemenangan kaum atau kelas tertindas, sejauh keteguhan mereka berpegang pada nilai dan perilaku ideal al-Qur’an. Jadi uraian ini (dan seperti maksud ayat QS. Ibrahim: 42), ingin mengatakan bahwa Allah berpihak pada kelas tertindas. Yang kedua, mekanisme gerak sejarah dilakukan demi kepentingan pemenuhan ekonomi. Ini dianggap sebagai satu proses alam. Mekanisme ini membentangkan letak persentuhan pemikiran Muthahhari dengan teori materialisme historis Karl Marx yang nanti akan dilihat lebih jauh. C. Evolusi dan Perubahan Sejarah 79 Satu ciri menonjol kehidupan masyarakat manusia adalah selalu berubah dan dinamis. Hal ini pula yang membedakan manusia dengan kehidupan makhluk lainnya yang statis. Hanya saja, dalam melihat perubahan dan kedinamisan kehidupan masyarakat manusia, para ahli cenderung berbeda pendapat. Perbedaan itu disebabkan oleh sudut pandang mereka. Materialisme historis misalnya, berasumsi bahwa perubahan dan evolusi masyarakat manusia dikelompokkan menjadi masa komunisme, masa perbudakan, masa feodalisme, masa kapitalisme, dan terakhir masa sosialisme. Adapun menurut sistem dan sudut pandang politik, dibedakan pula antara pemerintahan kesukuan, masa kejayaan zalim, masa aristokrasi, dan terakhir masa demokrasi. Dari sistem-sistem di atas, filosof sejarah akan mempertanyakan, apakah evolusi dan kemajuan itu nyata? Apakah perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat manusia sepanjang sejarahnya, berupa kemajuan dan evolusi? Apa pula parameter evolusi itu? Jawaban para ahli dari pernyataan-pernyataan itu, dalam kenyataannya, ternyata bervariasi. Di antara mereka ada yang meragukan perubahan dalam kehidupan masyarakat manusia, bersifat maju dan evolusioner. Di sisi lain lagi ada anggapan bahwa gerakan sejarah berputar-putar (berbentuk siklus), yang bergerak dari satu titik, melalui tahap-tahap, menuju lagi ke titik semula. Pandangan mereka ini juga merupakan proses abadi sejarah. Dalam hal ini, Muthahhari cenderung mengatakan sejarah, gerakan dan jalan sejarah keseluruhannya sedang bergerak melangkah maju.20 20 h. 414 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 80 Untuk melihat gerakan, jalan dinamika sejarah, dan faktor-faktor pengaruh yang menyebabkan gerak maju sejarah, para ahli merumuskan cara yang bervariasi juga. Namun menurut Muthahhari, cara-cara atau teori-teori itu dianggap berbahaya, yaitu dapat merusak pemikiran orang, terutama orang beragama. Berikut penjelasan rumusan cara yang bervariasi itu: 1. Teori Rasial `Menurut teori ini,21 ras-ras tertentu terutama bertanggung jawab atas kemajuan sejarah. Ada beberapa ras dianggap mampu membentuk budaya dan peradaban, sedangkan beberapa ras lain tidak. Sebagian ras dapat melahirkan ilmu pengetahuan, filsafat, etika, seni, dan teknologi. Sedangkan sebagian ras lain hanya menjadi konsumen komoditas-komoditas ini, bukan menjadi produsennya. Jadi, ras yang memiliki budaya dan berperadaban tinggi inilah yang menggerakkan perubahan, kedinamisan, dan kemajuan sejarah. Di antara filosof yang menjadi penganut aliran atau teori ini adalah Count Gobilo, seorang filosof Prancis kenamaan. 2. Teori Geografis Teori ini berasumsi bahwa faktor utama terciptanya perbedaan budaya serta perkembangan industri, yang pada dataran historisnya terjadi perubahan dan pergerakan sejarah dalam lingkungan fisik, yaitu kawasan yang beriklim sedang. Di kawasan inilah muncul pribadi moderat dan pikiran-pikiran kuat untuk berkembang. Menurut teori ini, faktor yang mengarahkan kemajuan sejarah bukanlah ras atau keturunan, tetapi kawasan dan lingkunganlah yang sangat 21 h. 414 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 81 menentukan. Lingkungan menjadi pembuat sejarah dan penyebab utama kemajuannya. Di antara ahli pendukung teori ini adalah Montesquieu, Sosiolog Prancis abad ke 1722 3. Teori Peranan Jenius dan Pahlawan Menurut teori ini, semua perkembangan sejarah, baik itu ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, teknik atau moral, terjadi berkat orang-orang yang luar biasa cerdas. Dalam hal ini manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Spesies lain secara biologis hampir sama kemampuannya. Setidak-tidaknya tak ada perbedaan yang berarti. Sebaliknya, kemampuan di antara manusia sering terlihat sangat berbeda. Orang-orang jenius ada di setiap masyarakat. Karena orang-orang jenius ini memiliki akal, cita rasa, kemauan atau prakarsa yang luar biasa, maka mereka inilah yang melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan, teknik, moral, politik, atau militer. Menurut teori ini kebanyakan manusia tidak memiliki prakarsa atau kreativitas. Mereka hanya ikut menjadi konsumen gagasan dan produk industri.23 Pendukung teori ini di antaranya adalah Thomas Carlyle, percaya bahwa sejarah dibentuk oleh individu-individu cemerlang. Ia melandasi teorinya dengan mencontohkan pada sosok nabi Muhammad SAW yang mampu memberikan pencerahan kepada umat manusia di bawah naungan agama Islam. Begitu juga dengan perwujudan Prancis modern yang merupakan perwujudan dari personalitas h. 414 h.415 22 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 23 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 82 seorang Napoleon, tidak lupa juga dengan sejarah Soviet yang merupakan perwujudan seorang Lenin.24 4. Teori Ekonomi Menurut teori ini, ekonomi ini adalah kekuatan pendorong sejarah. Segenap urusan sosial dan historis bangsa, entah itu urusan budaya, politik, militer atau masyarakat, mencerminkan metode produksi dan hubungan produksi masyarakat itu. Yang mengubah struktur masyarakat adalah perubahan basis ekonomi. Perubahan basis ekonomi ini mendorong kemajuan masyarakat. Orangorang yang cemerlang pikirannya yang disebutkan di atas hanyalah perwujudan kebutuhan ekonomi, politik dan sosial masyarakat, dan kebutuhan ini disebabkan oleh perubahan alat produksi. Karl Marx, kaum Marxis pada umumnya dan terkadang bahkan sebagian non-Marxis, mendukung teori ini. 25 5. Teori Tuhan Menurut teori ini, apapun yang terjadi di permukaan bumi ini, merupakan urusan langit yang turun ke bumi sesuai dengan kearifan tinggi Allah. Semua perubahan sejarah dan perkembangan sejarah merupakan perwujudan kehendak dan kearifan-Nya. Karena itu, kehendak Tuhanlah yang mendorong kemajuan sejarah dan yang mewujudkan perubahan sejarah. Sejarah merupakan skenario kehendak Tuhan. Bishop Bossuet, seorang sejarahwan terkenal dan tutor Louis XV, mendukung teori ini.26 h. 414 h. 416 h. 416 24 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 25 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 26 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 83 Muthahhari mengkritik semua gagasan di atas, menurutnya teori-teori tersebut merupakan hasil dari kekacauan. Misalnya, teori ras tak lebih dari teori sosiologi. Teori ini baru relevan kalau pertanyaannya adalah apakah beragam ras manusia yang berbeda memiliki atau tidak memiliki beberapa kemampuan turunan, dan apakah semua ras itu sama tingkat intelektualnya atau tidak. Jika sama, itu artinya bahwa semua ras sama-sama berperan dalam gerakan sejarah atau setidak-tidaknya secara teoritis dapat. Jika tidak sama, itu artinya bahwa sebagian ras saja yang dapat berperan dalam proses kemajuan sejarah. Sejauh teori ini sudah pas rumusannya, meski memecahkan misteri filsafat sejarah. Misal saja kita akui bahwa semua perkembangan sejarah terjadi karena ras tertentu. Namun masih saja ada problem yang tidak terpecahkan, karena kita masih belum tahu kenapa kehidupan manusia atau kehidupan ras manusia tertentu berkembang sedangkan kehidupan binatang tetap statis. Masalah apakah faktor kemajuan adalah satu ras atau semua ras, tidak memecahkan misteri gerakan sejarah. Begitu pula dengan teori geografi. Menurut Muthahhari, teori ini ada manfaatnya, dan berhubungan dengan masalah penting sosiologi. Teori menunjukkan bahwa lingkungan berperan efektif dalam pertumbuhan mental, intelektual, temperamental, dan fisik manusia. Sebagian lingkungan membuat manusia tetap berada di dalam atau mendekati batas-batas binatang, dan sebagian lagi membuat manusia jauh dan beda dari binatang. Teori Tuhan lebih tidak konsisten di banding teori lain. Apakah sejarah saja yang merupakan perwujudan Kehendak Tuhan? Sesungguhnya dunia, sejak awal hingga akhir, termasuk segenap sebab dan gangguan, merupakan perwujudan 84 Kehendak Allah. Kehendak Tuhan sama hubungannya dengan semua sebab di dunia ini. Kalau kehidupan manusia yang berkembang dan berubah merupakan perwujudan kehendak Tuhan, maka kehidupan lebah yang statis dan monoton pun merupakan perwujudan Kehendak-Nya juga. Pertanyaannya adalah sistem apa itu, yang dengan sistem ini Kehendak Tuhan menjadikan kehidupan manusia berkembang, sementara kehidupan binatang statis karena tak adanya sistem itu. Begitu juga terhadap teori ekonomi yang menurut Muthahhari tak ada aspek teknisnya, dan tidak diajukan sebagai prinsip. Teori ekonomi sejarah menjelaskan karakter asasi sejarah saja dan menunjukkan bahwa karakter asasinya material dan ekonomi, dan bahwa segala urusan lainnya sama saja dengan bentukbentuk atau kekhasan yang tak asasi. Konsekuensinya, semua urusan masyarakat pun mengalami perubahan. Namun semua itu adalah masalah “jika”. Masalah yang sebenarnya masih saja belum terjawab. Meskipun kita mengakui bahwa ekonomi adalah infrastruktur masyarakat dan kalau ekonomi berubah maka segenap masyarakat pun berubah, masalahnya adalah kenapa begitu. Apa faktor yang mengubah seluruh suprastruktur bila infrastruktur berubah? Mungkin saja ekonomi menjadi infrastruktur masyarakat, namun itu tidak berarti bahwa ekonomi merupakan kekuatan pendorong sejarah juga. Jika saja pendukung teori ini, bukannya menggambarkan ekonomi infrastruktur masyarakat, namun menggambarkannya sebagai kekuatan pendorong sejarah, menganggap materialitas sejarah cukup untuk membuat sejarah dinamis, menekankan masalah kontradiksi dalam masyarakat, dan mengatakan bahwa sesungguhnya kekuatan pendorongnya adalah kontradiksi antara infrastruktur dan suprastruktur 85 masyarakat atau kontradiksi antara dua aspek infrastruktur (alat produksi dan hubungan produksi), tentu teori ini akurat penyampaiannya. 27 Teori raksasa intelektual, Muthahhari mengatakan terlepas dari benar atau tidak, berhubungan langsung dengan filsafat sejarah atau faktor pendorong sejarah. Sejauh ini kita hanya memahami dua teori tentang kekuatan yang menggerakkan sejarah. Salah satunya adalah teori raksasa, yang menurut teori ini mengklaim bahwa sebagian besar anggota masyarakat atau hampir semua anggota masyarakat tak memiliki inisiatif, orisinalitas dan kemampuan memimpin. Mereka tak bisa membawa perubahan dalam masyarakat. Namun dari waktu ke waktu muncul minoritas sangat kecil yang luar biasa imajinatif dan kreatif. Mereka mengambil inisiatif, membuat rencana, mengambil keputusan dan menarik dukungan orang. Dengan begitu mereka menciptakan perubahan. Orang-orang heroik ini merupakan produk dari fenomena yang luar biasa, baik fenomena alamiah maupun turun-temurun, namun bukan produk kondisi sosial atau kebutuhan material masyarakat.28 Muthahhari menyebutkan sebuah teori yang biasa disebut dengan teori sifat manusia atau kekhasan manusia. Fitrah manusia adalah sedemikian sehingga dia memiliki kekhasan bawaan yang membuat kehidupannya evolusioner. Salah satu kekhasan ini adalah kemampuannya menghimpun dan melestarikan pengalaman. Apa pun pengetahuan dan informasi yang didapat manusia melalui 27 Murtadha muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 28 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, h. 417 h.418 86 pengalamannya, dia simpan dalam pikirannya, dan dia gunakan sebagai basis bagi pengalamannya lebih lanjut. Kekhasan lain manusia adalah manusia mampu belajar melalui lisan dan tulisan. Melalui lisan dan tulisan, manusia dapat menyampaikan pengalamannya. Pengalam satu generasi disimpan demi kepentingan generasi selanjutnya melalui lisan dan tulisan. Dan dengan demikian pengalaman manusia kian terakumulasi. Kekhasan ketiga manusia menurut Muthahhari adalah manusia diberi kekuatan akal dan inisiatif. Melalui kekuatan misterius ini manusia dapat menciptakan sesuatu, karena manusia adalah perwujudan kekuatan kreatif Allah. Kekhasan keempat pada diri manusia adalah manusia memiliki hasrat bawaan untuk melakukan sesuatu yang orisinal. Dengan kata lain manusia bukan saja memiliki kemampuan kreatif, namun juga dapat menciptakan sesuatu bila diperlukan. Kecenderungan untuk mencipta ini sudah tertanam dalam karakter esensialnya.29 Semua kemampuan yang dimiliki manusia menjadi kekuatan pendorong kemajuan manusia. Pada diri binatang tak ada kemampuan untuk mengingat pengalaman dan menyampaikannya kepada binatang lain, tak ada orisinalitas dan inisiatif, juga tak ada keinginan kuat untuk mencipta. Itulah sebabnya kenapa binatang statis sedangkan manusia bergerak maju. Dari paparan singkat di atas, tentang teori-teori dinamika dan gerak maju sejarah, nampaknya perlu dicermati ulang bahwa Muthahhari kelihatan hanya memaparkan sejumlah teori tersebut dan mengkritiknya dengan mengatakan 29 h.419 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 87 bahwa semua teori ini dapat merusak pemikiran tertentu. Adapaun bagaimana teori Muthahhari kemudian menjawab kritikannya itu sendiri, sejauh ini tidak berhasil ditunjukkan dengan jelas oleh Muththahharȋ. Hanya saja, memang Muthahhari menunjukkan kecenderungannya dengan mengatakan bahwa penyejarahan atau mekanisme gerak dan sifat sejarah dalam Islam tidak hanya menjalankan kehendak mutlak Tuhan, tetapi juga memiliki kebebasannya untuk memenuhi dan merealisasi kehendak manusia sendiri sebagai makhluk sesuai dengan maksud QS. ar-Ra’du: 11. Allah tidak akan mengubah nasib atau keadaan seseorang atau suatu kaum, sebelum mereka bekerja keras untuk mengubahnya. D. Kritik Murtadha Muthahhari Terhadap Konsep Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis Karl Marx Dalam bab ketiga penulis telah membahas prinsip-prinsip dasar materialisme dialektis dan materialisme historis ala Marx. Dari situ jelas bahwa materialisme historis merupakan salah satu ajaran pokok Marxisme. Namun menurut Muthahhari, ketika menganalisis dan menilai peristiwa-peristiwa sejarah tertentu, ia hampir-hampir tidak menemukan adanya prinsip-prinsip materialisme sejarah. Oleh karenanya, berawal dari permasalahan inilah kritikan Muthahhari dimunculkan. Dia tidak melakukan kritikan terhadap teori Marx secara keseluruhan, tetapi hanya melihat sisi konsepsi materialisme historis Marx. Dalam kritikan yang disampaikan, kelihatan terfokus pada hal-hal berikut: 1. Tidak Berdasar 88 Menurut Muthahhari, sebuah teori historis-filosofis haruslah didasarkan pada bukti historis kontemporer dan kemudian sampai ke periode lain, atau didasarkan pada bukti historis peristiwa masa lalu dan sampai ke peristiwa sekarang dan mendatang; atau harus ada argumen ilmiah, logis, atau filosofisnya yang kuat untuk membuktikannya. Sedangkan teori materialisme sejarah tidak mengikuti metode di atas. Menurutnya, berbagai peristiwa di zaman Marx dan Engels tidak dapat dijelaskan dengan teori materialisme sejarah, bahkan berbagai peristiwa yang terjadi ribuan tahun silam juga tidak mendukung teori materialisme sejarah. Dari fakta tersebut kemudian Muthahhari menyebut teori Marx tak lebih daripada “teori” belaka yang tak ada buktinya.30 2. Revisi atas Berbagai Pandangan oleh Para Pendirinya. Dalam hal ini, Muthahhari menganggap terdapat dua teori Marx yang kontradiksi satu sama lain, dan hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemikiran Karl Marx atau sebagai kerancuan. Yakni menyangkut teori materialisme sejarah, teori ini selalu mengukuhkan kelebihdahuluan benda atas jiwa, kelebihdahuluan bendawi atas kebutuhan akal, kelebihdahuluan kemasyarakatan manusia atas jiwanya, kelebihdahuluan tindakan atas pikiran, kelebihdahuluan psikologi atas sosiologi. Di sisi lain, permasalahan logika dialektis yang juga berangkat dari materialisme historis mutlak, kelihatan berbenturan dengan prinsip sebab-akibat timbal balik. Marx dalam pernyataannya memandang bahwa semua proses kemasyarakatan baik yang hakiki atau tidak, berdasarkan faktor-faktor 30 h. 353 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 89 pembangunan ekonomi. Akan tetapi, tidak mengembangkan akibat bangunan atas dasar apa. Padahal, tuntutan dan hubungan sebab-akibat tidak boleh dipandang sebagai proses sepihak. Misalnya, apabila A adalah penyebab terjadinya B dan mempengaruhi B, pada gilirannya B juga penyebab A dan mempengaruhi A. Menurut prinsip ini, ada semacam ketergantungan dan pengaruh timbal balik di antara semua unsur alam dan semua unsur masyarakat. Dari realitas seperti itu, menurut Muthahhari, merupakan suatu keanehan apabila Marx memandang unsur ekonomi sebagai unsur menentukan. Lebih-lebih lagi, apabila unsur-unsur bangunan, dalam banyak hal lebih menentukan perjuangan-perjuangan bersejarah. Pengertian seperti perubahan dalam hubunganhubungan produksi mendahului perkembangan kekuatan-kekuatan produktif; perumusan teori-teori revolusi mendahului kelahiran spontan gagasan revolusi, pengertian bahwa perubahan merupakan bangunan mengubah dasar, menunjukkan kelebihdahuluan pikiran atas tindakan dan jiwa atas benda. Hal itu menunjukkan hakikat dan ketidakbergantungan segi-segi politik dan intelektual dalam hubungan dengan segi ekonomi, dan hal itu bertentangan materialisme sejarah sendiri. 31 3. Menghancurkan Prinsip Keselarasan Tak Terelakkan antara Infrastruktur dan Suprastruktur Menurut teori materialisme sejarah, harus selalu ada semacam keselarasan antara infrastruktur dan suprastruktur masyarakat, sehingga dengan mengetahui suprastruktur maka dapat diketahui pula infrastruktur, dan dengan mengetahui infrastruktur maka dapat diketahui pula suprastruktur. Jika infrastruktur berubah 31 h. 354 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 90 maka hancurlah keselarasan ini, keseimbangan sosial pun terganggu, dan terjadilah krisis seperti itu, sehingga cepat atau lambat krisis tersebut akan menghancurkan suprastruktur. Sebaliknya, selama infrastruktur tetap utuh, suprastruktut pun akan tetap utuh. Dalam realitas ternyata proposisi tersebut salah, karena berbagai peristiwa sejarah kontemporer tidak terbukti seperti itu. Sejumlah revolusi politik dan sosial yang menyertai pergolakan demi pergolakan ekonomi yang terjadi pada periode dari 1827 sampai 1847, sementar Marx dan Engel percaya bahwa revolusi sosial merupakan akibat tak terelakkan dari krisis ekonomi.32 Belum pernah terjadi krisis ekonomi yang disertai dengan sebuah revolusi di negara-negara industri sejak 1848. Negara-negara seperti Inggris, Perancis, Jerman, dan Amerika, kemajuan industrinya mengagumkan. Negara-negara tersebut sudah berada di puncak kapitalisme. Namun beda dengan prediksi Marx yang menyebutkan bahwa negara-negara ini yang pertama akan mengalami revolusi pekerja dan akan menjadi negara-negara sosialis. Dengan ungkapan lain, Muthahhari mengatakan bahwa anak yang diharapkan Marx akan lahir, usianya sudah sempurna sembilan bulan, bukan saja usianya sudah sembilan bulan, bahkan sudah sembilan puluh tahun, namun belum juga lahir. Sekarang, tak ada lagi harapan anak itu akan lahir. 4. Ketidaksesuaian Basis Kelas Ideologi Seperti telah disebutkan sebelumnya, menurut materialisme sejarah, suprastruktur periode apapun tidak mungkin mendahului infrastruktur. Karena itu, 32 h. 361 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 91 pengetahuan setiap periode hanya terbatas pada periode itu. Dengan berlalunya waktu, pengetahuan tersebut jadi usang dan tinggal menjadi arsip sejarah. Gagasan, filsafat, rencana, prediksi, dan agama, semuanya merupakan produk sampingan dari tuntutan khusus zamannya, dan tak mungkin sesuai dengan tuntutan zaman lain. Namun, ternyata menurut Muthahhari asumsi tersebut tidak terbukti, doktrin dan agama, banyak filsafat, tokoh, gagasan, dan cabang ilmu pengetahuan sepertinya mendahului zaman atau kelasnya. Banyak sekali gagasan yang merupakan produk dari kebutuhan material zaman tertentu. Meskipun zaman berubah, gagasan tersebut tetap bersinar di ufuk sejarah.33 5. Independensi Perkembangan Budaya Menurut teori materialisme sejarah, bahwa kreativitas budaya dan ilmiah suatu masyarakat sebagaimana segi lainnya berhubungan dengan corak ekonominya. Ia tidak dapat berkembang tanpa perkembangan dan kemajuan ekonomi. Perkembangan ilmu juga mengikuti perkembangan yang terjadi pada sarana produksi dan dasar ekonomi masyarakatnya. Menurut Muthahhari, sarana produksi tidak akan berkembang secara otomatis tanpa campur tangan manusia. Sarana produksi itu berkembang dalam konteks hubungan manusia dengan alam serta keinginantahuannya, daya cipta, dan usahanya. Perkembangan sarana produksi mengikuti pertumbuhan ilmu dan teknologi. Bukankah manusia menemukan sesuatu dan menggunakan ilmu dan teknologi itu dalam praktek, sehingga menyebabkan adanya industri. Manusia 33 h. 362 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 92 mula-mula mengembangkan ilmunya, lalu menggunakan ilmu itu untuk menciptakan peralatan teknologi, bukan sebaliknya.34 6. Dalam Materialisme Sejarah Terjadi Inkonsistensi Internal Menurut materialisme sejarah, segala pemikiran teori, filsafat, ilmu, dan segala sistem etika, mencerminkan keadaan bendawi, ekonomi, dan berhubungan erat dengan keadaan-keadaan nyata khas mereka sendiri. Oleh karenanya, keabsahan mereka tidak mutlak, tetapi bergantung pada periode tertentu. Dengan berlalunya periode tertentu, perubahan dan keadaan bendawi, ekonomi, dan masyarakat, digantikan oleh keadaan pemikiran dan teori yang baru pula. Jika demikian, materialisme sejarah sebagai sebuah teori, harus berlaku dengan hukum semesta tersebut. Sebab, bila tidak, materialisme sejarah berarti akan ada hukum-hukum filsafat dan ilmiah tertentu yang mendasar dan tidak bergantung pada dasar ekonomi apapun. Di samping itu, seadainya teori Marx itu tidak berlaku dengan hukum umum semesta ini, maka nilai dan keabsahan teori ini terbatas pada periode tertentu dan hanya berlaku pada periode itu. Ia tidak relevan dengan periode sebelum dan dengan periode yang akan datang. Oleh karenanya, di sini pula letak kontradiksi internal materialisme sejarah dengan dirinya sendiri. 35 Dari unsur-unsur yang menjadi kritikan Muthahhari terhadap materialisme sejarah itu, menunjukkan ketajaman dan keluasan tinjauannya. Ia telah melihat secara kemungkinan untuk berkembang di satu sisi dan ketidakmungkinan di sisi 34 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, 35 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, h. 363 h. 365 93 lain. Namun, semua yang menjadi kritikan dan semua yang dipersoalkan Muthahhari, tidak terlepas dari sudut pandang dan cara beliau memandang materialisme sejarah, sehingga menghasilkan sesuatu yang jauh berbeda dengan yang diidolakan Marx dan Engels. Menurut hemat penulis, paham keagamaan Muthahhari sangat berpengaruh terhadap potensi perbedaan pemikiran tokoh ini dengan Marxisme secara keseluruhan, khususnya materialisme sejarah. BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Murtadhâ Muththahharâ telah mendefinisikan filsafat sejarah dengan mengkategorisasikannya kedalam pendefinisian atas sejarah. Ia telah mengklasifikasikan definisi sejarah ke dalam empat arti dan pembagian jenisnya ke dalam tiga bagian. Yaitu sejarah tradisional, sejarah ilmiah, dan filsafat sejarah. Yang dimaksud dengan sejarah tradisional ialah sejarah merupakan pengetahuan tentang berbagai permasalahan individu atau tragedi-tragedi yang terjadi pada masa lampau dan bukan yang terjadi pada masa sekarang. Dalam hal ini sejarah tidak berbicara tentang hukum umum atau aturan pergaulan. Dan yang dimaksud dengan sejarah ilmiah ialah cabang pengetahuan tentang aturan dan tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat di masa lalu. Hal tersebut dikaji secara mendalam melalui studi dan analisa yang akurat terhadap berbagai peristiwa yang telah terjadi. Dari studi tersebut akan diperoleh bagaimana karakter dari peristiwaperistiwa yang terjadi di masa lampau. Kajian tersebut akan sangat bermanfaat sebagai sumber pengetahuan dan membantu manusia untuk mengendalikan masa depannya. Sedangkan yang dimaksud dengan filsafat sejarah ialah pengetahuan tentang perkembangan masyarakat dari masa ke masa serta hukum-hukum yang mengatur perubahan-perubahan ini. Filsafat sejarah menurut Muththahharȋ berbicara tentang “menjadi”-nya masyarakat yang menunjukkan gerak bukan tentang “wujud”-nya masyarakat. Menurutnya, masyarakat memiliki dua jenis 92 93 hukum, jenis pertama adalah yang mengatur spesies dalam kerangka kelasnya, dan jenis kedua adalah yang bisa berlaku untuk spesies dengan evolusi dan transformasinya menjadi spesies lain lain. Mekanisme gerak sejarah dalam Islam, paling tidak memiliki tiga unsur, yaitu, pertama, perjuangan kelas, misalnya antara mustadh’afûn (rakyat jelata, golongan tertindas) dengan mustakbirûn (penguasa-tirani atau penindas), kedua, pencapaian ekonomi atau kebendaan. Dan ketiga, karena didorong oleh semangat memperjuangkan nilai-nilai suci. Hanya saja mekanisme gerak sejarah dalam Islam yang didorong oleh perjuangan nilai-nilai sucilah yang paling dominan, dan sekaligus menjadi realitas historis sepanjang sejarah umat manusia, khususnya bagi kaum muslimin. Pemikiran Muththahharȋ tidak luput dari landasan ayat-ayat al-Qur’an yang ia interpretasikan secara mendalam dan imajinatif. Muththahharȋ juga mengatakan bahwa manusia memiliki keistimewaan dan keunikan dibanding makhluk-makhluk lain yang membuat kehidupannya maju. Manusia menurutnya, dengan akal sehat yang dianugerahkan oleh Tuhan, dapat membawanya menjadi makhluk yang pembelajar, kreatif, memiliki fitrah untuk mencipta, dan hasrat untuk maju. Kenyataan seperti inilah yang membuat Muththahharȋ kemudian menyimpulkan bahwa penyejarahan dan mekanisme sifat sejarah dalam Islam, tidak hanya menjalankan kehendak mutlak Tuhan, tetapi juga manusia memiliki kebebasannya untuk memenuhi kehendaknya sendiri. Muththahharȋ dengan tegas menulis, bahwa antara logika Islam dengan materialime historis Marx terdapat pertentangan satu sama lain. Ia sangat mengkhawatirkan ajaran dan pemikiran Islam yang terkait dengan kajian-kajian di 94 seputar masyarakat dan sejarah, dihubung-hubungkannya dengan materialisme historis. Sebab menurutnya, teori ini memandang bahwa masyarakat dan sejarah bersifat bendawi. Padahal Islam tidak mempercayai materialisme historis. Perang, dalam Islam bukan bermotifkan untuk menumpuk materi atau kekayaan, tetapi seseorang mau dan rela meninggalkan segalanya, termasuk nyawanya, karena dilatarbelakangi oleh idealis-ideologi dan kepercayaanya, yang dalam Islam misalnya terinspirasi dalam konsep jihâd fȋ sabȋlillah. Peperangan yang dilatarbelakangi oleh idealis-ideologi seperti itu lebih efektif dan dahsyat dibandingkan dengan peperangan yang dimotivasikan oleh kepentingan material dan kekuasaan belaka. Al-Qur’ân percaya pada kekuatan dan nilai bimbingan, nasihat, teguran, peringatan, argumentasi, dan penalaran logis yang dalam teks al-Qur’ân disebut dengan hikmah dan kebijaksanaan. Di dalam al-Qur’ân, semua sarana itu dapat mengubah seseorang, mengubah jalan hidupnya, mengubah kepribadiannya, dan menciptakan perubahan ruhaniah dalam dirinya. Pendekatan seperti ini jelas bertentangan dengan teori materialisme historisnya Marx, yang membatasi peranan bimbingan hanya sebagai pengubah kelas itu sendiri: menjadi kelas untuk kelas, dengan cara menimbulkan kesadaran akan pertentangan kelas dan watak kelas. 95 B. Saran-saran Adapun mengenai saran-saran yang perlu disampaikan berkaitan dengan penelitian skripsi ini, dalam hubungannya dengan kajian-kajian filsafat sejarah di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Aqidah Filsafat, antara lain: 1. Perlu adanya mata kuliah tersendiri tentang filsafat sejarah, karena hemat penulis mata kuliah ini belum ada di jurusan aqidah filsafat, paling tidak dengan adanya mata kuliah tersebut dapat memberikan wawasan mengenai kajian filsafat sejarah. 2. Dalam upaya menyemarakkan kajian filsafat sejarah, perlu adanya diskusidiskusi tentang filsafat sejarah, dengan adanya forum atau kegiatan ini akan sedikit banyak lebih mempertajam kekuatan analisa para mahasiswa dalam menyikapi perkembangan masyarakat sekitar, negara, dan dunia global. 3. Tentu yang tidak kalah pentingnya adalah menambah jumlah koleksi bukubuku filsafat sejarah di perpustakaan fakultas maupun perpustakaan pusat. 4. Dan tentu saja ditambah dengan publikasi buletin, jurnal pemikiran untuk lebih menyemarakkan diskursus pemikiran di fakultas Ushuluddin khususnya di Jurusan Aqidah Filsafat. DAFTAR PUSTAKA Bagir, Haidar, Penyunting. Murtadha Muthahhari Sang Mujahi, Sang Mujtahid. Bandung Yayasan Muthahhari, 1988. Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1981. Berlin, Isaiah, Biografia Karl Marx, terj. Eri Setiyawati, Alkhatab, Silvester G Sukur. Surabaya: Pustaka Promothea, 2000. Collingwood, Robin George. The Idea of History. London: Oxford University Press, 1976. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press, 1985. Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980. Khaldun, Ibn. Muqaddimah, terj. Ahmadi Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Khudairi, Zainab. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka,1987. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 1995. Muchsin, Misri A. Filsafat Sejarah Dalam Islam. Yogyakarta: Ar-ruzz Press, 2002. Muthahhari, Murtadha. Manusia dan Alam Semesta,terj. Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera, 2002. __________. Kritik Islam Terhadap Materialisme, terh. Akmal Kamil. Jakarta: Islamic Center Jakarta al-Huda, 2001. __________. Membumikan Kitab Suci, Manusia dan Agama, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2007. __________. Society and History, translator Mahliqâ Qarâ’i. Jakarta: Islamic Culture and Relation Organization, 1997. __________. Menguak Masa Depan Umat Manusia Pendekatan Filsafat Sejarah, terj Afif Muhammad, Masykur Ab, Fauzi Siregar, A. Rifa,i Hasan. Bandung: Pustaka Hidayah, 2001. Nasr, Seyyed Hossein dan Leaman, Olivear, ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama), terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003. 95 96 Rahnema, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1995. Ramly, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx, Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis. Yogyakarta: LKIS, 2007. Shariati, Ali. Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Dr.M.Amien Rais. Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1982. Siddiqi, Mazheruddin. Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah, Terj. Nur Rachmi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986. Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah. Bandung: Mizan, 1995. Syarqawi, Effat. Filsafat Kebudayaan Islam. Bandung: Pustaka Hidayah, 1986. 96