pemikiran murtadhȃ muththahharȋ tentang filsafat sejarah jurusan

advertisement
PEMIKIRAN MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ TENTANG
FILSAFAT SEJARAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam
(S.Fil.I)
Oleh
Muslim
NIM: 104033101064
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2011 M.
PEMIKIRAN MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ TENTANG
FILSAFAT SEJARAH
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh:
MUSLIM
NIM: 104033101064
Di bawah Bimbingan
Dr. Syamsuri, MA.
NIP. 19590405 198903 1003
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Pemikiran Murtadhâ Muththahharȋ tentang Filsafat Sejarah telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 05 April 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada program studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 20 Juni 2011
SIDANG MUNAQASYAH
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmadji, M.Fils
NIP.19610827 199303 1 002
Dra. Tien Rohmatin, MA
NIP. 19680803 199403 2 002
Penguji I
Penguji II
Drs. Nanang Tahqiq, MA
NIP. 19660201 199103 1001
Dra. Tien Rohmatin, MA
NIP. 19680803 199403 2 002
Pembimbing
Dr. Syamsuri, MA
NIP. 19590405 198903 1003
iii
KATA PENGANTAR
Maha suci Tuhanku yang telah menciptakan akal kepada manusia. Sembah
dan sujud hamba hanya kepada-Nya. Sungguh luar biasa ciptaan-Nya, akal dapat
menentukan yang baik dan yang benar. Tanpanya, manusia jelas akan kehilangan
makna yang terdalam. “Law kunnâ nasma’u aw na’qilu mâ kunnâ fȋ ashâbi alsya’ȋr”, “sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan
itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.”
Shalawat dan salam hamba selalu haturkan pada junjungan Nabi
Muhammad, sebagai nabi yang telah membawa perubahan dan transformasi
radikal dalam sejarah jaman umat manusia. Ajarannya tak akan pernah padam
dalam setiap perdebatan ilmiah di ruang-ruang akademis, dan rakyat jelata
sekalipun. Ajarannya telah mengerutkan akal manusia untuk terus berpikir dan
berobsesi menuju perubahan-perubahan yang revolusioner, sehingga tetap dinamis
mengkreasi karya-karya kontemporer.
Penulis juga merasa bersyukur, karena telah merampungkan tugas akhir
kuliah yakni penulisan skripsi. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa
tanpa kontribusi pemikiran, gagasan serta dorongan berbagai pihak, sulit
dibayangkan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu, dengan segala hormat dan
terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada:
1. Dr. Syamsuri, sebagai pembimbing skripsi yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis dalam menyusun skrispi ini.
2. Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Dra.
Tien Rahmatin, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat,
iv
beserta seluruh staf pengajar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis selama menjalankan
studi di fakultas ini.
3. Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin
4. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Selanjutnya, salam ta′zhȋm penulis kepada ayahanda H. Masturoh dan
Ibunda Hj. Aminah, yang selalu mendorong dan mendoakan penulis untuk
terus melanjutkan pendidikan. Buaian dan kasing sayang yang diberikan
mereka sungguh tak akan pernah terbalas oleh penulis
6. Kepada kakak-kakak tercinta H. Saiful Bahri SH beserta istri tercinta Hj.
Siti Chadijah, Maemunah beserta suami terkasih (Bang Habibi) terima
kasih atas segala bimbingan dan kontribusi moril maupun materil. Juga
adik-adikku Rahmah Wati dan Ahmad Sifa, salam super.
7. Delove Dhea Markhamatul Aeni S.Farm, yang telah mendedikasikan
dirinya untuk penulis dengan cinta dan kasih sayangnya yang selalu setia
baik suka maupun duka dan selalu memotivasi penulis untuk selalu
berkarya dan bekerja keras dalam menjalani kehidupan karena hidup
adalah “samadengan” (=).
8. Kepada rekan-rekan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB
HMI) periode 2010-2012, semoga kepengurusan ini mampu mewarnai
HMI dengan tradisi miliknya sendiri yang telah diprakarsai dan
v
diteladankan oleh para pendiri dan senior serta mampu menjadi
pengimbang yang kreatif, cerdas, dan solutif.
9. Rekan-rekan Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 2008-2009, terima
kasih atas kebersamaannya.
10. Rekan-rekan seperjuangan di BEM F Ushuluddin 2006-2007 Fajar dan
Iweng, terima kasih atas kesolidan dalam kepengurusan sehingga mampu
menciptakan kreasi yang gemilang. Salam sukses selalu.
11. Kawan-kawan kepengurusan BEM J 2005-2006, terima kasih atas
kekompakan, semoga tetap menjadi creatif minority.
12. Komunitas Freedom Circle (KFC) dan Akademi Merdeka se Indonesia
terima kasih atas suguhan intelektualnya yang selalu mendakwahkan
kebebasan berpikir untuk keluar dari terali penjara intelektual.
13. Ali Kemal, Hasan al Banna, M. Hajid, Yosep, Ridwan, Mia Romadinia,
dan kawan-kawan angkatan 2004 Aqidah Filsafat lainnya, terima kasih
atas kongkow-kongkow kreatifnya.
14. Shul Amir, Shul Iqbal, Lhemot, Hazami, Rosi, Mu’ammar Midan, Aris,
Abenk, dan kawan-kawan lainnya, terima kasih atas futsalnya.
15. Funny, Ibel, Upi, Lisa, dan rekan-rekan pengurus Komisariat Kedokteran
lainnya, terima kasih atas karaokeannya.
16. Serta semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak disebutkan
satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada kalian
semua.
vi
Kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi bangsa
Indonesia pada umumnya. Sebagai penutup hanya doa jualah yang dapat penulis
mohonkan kepada Allah swt, semoga selalu membimbing langkah kita menuju
masa depan yang lebih baik.
Ciputat, 04 Januari 2011
Penulis
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB LATIN
‫ا‬
a
‫س‬
s
‫ك‬
k
‫ب‬
b
‫ش‬
sy
‫ل‬
l
‫ت‬
t
‫ص‬
sh
‫م‬
m
‫ث‬
ts
‫ض‬
dh
‫ن‬
n
‫ج‬
j
‫ط‬
th
‫و‬
w
‫ح‬
h
‫ظ‬
zh
‫ه‬
h
‫خ‬
kh
‫ع‬
‘
‫ء‬
’
‫د‬
d
‫غ‬
gh
‫ى‬
y
‫ذ‬
dz
‫ف‬
f
‫ر‬
r
‫ق‬
q
â = a panjang
ȋ
= i panjang
û = u panjang
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
KATA PENGANTAR
……………………………………………...
iii
……………………………………………………
vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….
viii
TRANSLITERASI
BAB I
PENDAHULUAN ………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah …………………………….. 6
C. Tujuan Penelitian …………………………………………… 6
D. Manfaat Penelitian ………………………………………….. 7
E. Metode Penelitian …………………………………………… 7
F. Tinjauan Pustaka …………………………………………….. 8
G. Sistematika Penulisan ………………………………………. 11
BAB II
BIOGRAFI MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ …………………… 12
A. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatannya ……… 12
B. Karya-Karya Murtadhȃ Muththahharȋ ………………………. 16
BAB III
STUDI TENTANG SEJARAH DAN FILSAFAT SEJARAH … 22
A. Munculnya Filsafat Sejarah
………………………………… 22
B. Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah …...………………….. 23
C. Filsafat Sejarah dalam Islam …………………………………. 26
D. Filsafat Sejarah di Barat ……………………………………… 45
viii
ix
BAB IV
PEMIKIRAN MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ TENTANG
FILSAFAT SEJARAH ………………………………………….. 58
A. Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah ……………………... 58
B. Sifat dan Gerak Sejarah
……………………………………… 64
C. Evolusi dan Perubahan Sejarah ……………………………….. 77
D. Kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap Konsep Materialisme
Dialektis dan Materialisme Historis Karl Marx ………………. 85
BAB V
PENUTUP ………………………………………………………. 92
A. Kesimpulan …………………………………………………... 92
B. Saran-saran ………………………………………………….. 95
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 96
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Filsafat sejarah merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari
rangkaian keilmuan filsafat secara umum. Filsafat sejarah memiliki sudut pandang
yang sangat berbeda dengan kajian sejarah atau kajian lainnya dalam hal
bagaimana merespon dan mengamati peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi
dalam kehidupan di muka bumi. Dalam tinjauan filsafat sejarah, sejarah bukan
hanya menuliskan kejadian atau peristiwa secara kronoligis yang terjadi pada
masa lampau, akan tetapi filsafat sejarah meninjau lebih dalam tentang pola dan
karakter dari peristiwa-peristiwa yang mengemuka.
Lahirnya filsafat sejarah, menurut peneliti modern, karena kecenderungan
manusia yang terkenal sebagai “hewan sejarah”. Manusia, sejak zaman kuno tidak
henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang ada dan yang terjadi di
sekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang
bisa menguraikan geraknya dari segi faktor-faktor yang membangkitkan dan dari
akibat-akibat yang dihasilkannya.1 Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari
yang
dimiliki
manusia
merupakan
musabab
lahirnya
filsafat
sejarah.
Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada
bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada pemahaman dan
pengkajian itu secara filosofis.
1
Effat Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pusataka, 1986), h. 112-113.
1
2
Beberapa tokoh bermunculan dari ranah filsafat sejarah baik itu tokoh
filsafat dari Islam maupun Barat. Filsafat Sejarah di Barat mengalami
perkembangan yang menakjubkan. Perkembangan itu ditandai dengan munculnya
pemikir-pemikir besar di bidang ini. Antara lain, ST. Agustinus (1354-1430),
terkenal dengan paham sejarah teologis, August Comte (1798-1854), dengan
filsafat positivisme hukum, Herbert Spencer (1820-1903), dengan teori evolusi –
di samping yang dikembangkan oleh Darwin Oswald Spengler (1880-1936),
terkenal dengan teori daur kultur sejarahnya yaitu masa timbul, tumbuh, menua,
dan hancur, G.W.F. Hegel (1770-1831), terkenal dengan filsafat sejarah
spekulatif, filsafat sejarah formal dan material, Karl Marx (1818-1883) dengan
materialisme historisnya, dan Arnold J. Toynbee (1889-1975) dengan teorinya
tentang tantangan dan jawaban (challenge and response) atau yang terkenal
dengan hukum kebudayaan dan pada hakekatnya juga disebut Hukum Sejarah.2
Berbeda dengan perkembangan filsafat sejarah Barat, filsafat sejarah
Islam, kelihatan memiliki pasang surut dan uncontinuity, baik dalam pemunculan
teori maupun dalam hal kemunculan para pemikir dan tokoh-tokohnya. Ibn
Khaldûn misalnya, diakui baik oleh pemikir Islam sendiri (Timur) maupun oleh
non Islam di Barat, merupakan “Bapak Filsafat Sejarah Islam” yang sangat
berjasa. Ia dengan teorinya, The Culture Cycle Theory of History yang sangat
terkenal itu, kelihatan tidak diikuti oleh pemikir dan generasi Muslim sesudahnya.
2
Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam, (Yogyakarta: Ar-ruzz Press, 2002), h.
13-14.
3
Dengan demikian, rentang tali perjalanan dan diskursus filsafat sejarah dalam
Islam seolah terputus tanpa ada kontinuitas.3
Baru pada paro pertama abad ke 20, mulai muncul pemikir-pemikir Islam
dengan karya-karya monumentalnya. Di antaranya Malik bin Nabi dari Maroko,
Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan Abdul Hamid Shiddiqi dari Pakistan, serta
Murtadhȃ Muththahharȋ dari Iran yang menjadi objek pembahasan dalam skripsi
ini. Berbeda dengan di dunia Islam, di Barat, teori filsafat sejarah terus diasah dan
diuji. Kehadiran teori “Dialektika Materialisme Historis” yang dipelopori oleh
Karl Marx misalnya, merupakan penyahutan terhadap teori “Dialektika”-nya
Hegel.4
Islam menaruh perhatian yang besar terhadap sejarah. Sekitar dua per tiga
dari keseluruhan ayat al-Qur’ân yang terdiri atas 6660 ayat lebih itu, memiliki
nilai-nilai atau norma sejarah. Al-Qur’ân berbicara tentang perubahan dalam
sejarah, di mana perubahan itu menurut penegasan Allah sangat ditentukan oleh
kebaikan dan keburukan perbuatan manusia. Hal ini seperti kebiadaban kaum
kafir terhadap Nabi Muhammad, yang diabadikan oleh Allah swt. Dalam firmanNya; “Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan
pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran)
mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka
rencanakan” (QS. an-Nahl: 127).5
3
Ibid, h.14.
Ibid, h. 14-15.
5
Mazheruddin Siddiqi, Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah. Penerjemah Nur Rachmi et.al
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 1.
4
4
Di samping itu, al-Qur’ân juga berbicara sebab-sebab khusus terjadinya
disintegrasi sosial-bangsa yang disebabkan oleh tingkah polah dan ulah manusia
sendiri yang sudah terlalu jauh menyimpang dari sendi-sendi kebenaran hakiki.
Dalam ranah ini, Allah swt. telah berfirman dalam QS. al-An’âm: 131: “Yang
demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara
aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah.” Maksud ayat ini antara
lain, Allah tidak akan mengadzab penduduk satu desa atau kota meskipun mereka
berbuat kekafiran, sebelum diutus rasul yang akan memberi peringatan kepada
mereka. Akan tetapi kalau telah diutus seorang rasul kepada mereka, dengan kitab
suci yang ditinggalkan sebagai pedoman hidupnya, dan mereka tetap berbuat
kezaliman dan kekufuran, maka Allah swt. akan mengazab mereka di dunia dan di
akhirat kelak.6
Begitu juga dalam QS. Hûd: 117, Allah swt. menyebutkan, “tidak sekalikali membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduk negeri itu
adalah orang-orang yang berbuat kebaikan”. Maksud ayat ini, dengan jelas Allah
swt. menyatakan bahwa pembinasaan dan pendatangan musibah dari-Nya baru
ditimpakan, jika satu kampung atau masyarakat suatu negara berbuat kezaliman.
Karena itu, nyata pula bahwa perhatian Allah swt. terhadap tingkah polah dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada manusia begitu besar.7
Pengungkapan selintas tentang ayat-ayat di atas, dapat dikatakan
bahwasanya Islam memandang bahwa kehidupan merupakan proses yang
6
7
Mazheruddin Siddiqi, Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah, h. 1.
Mazheruddin Siddiqi, Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah, h. 20.
5
menyejarah, di mana kekuasaan berlaku serta bergerak ke depan dan ke belakang,
maju atau mundur, kaya atau miskin, berhasil atau gagal.
Murtadhȃ Muththahharȋ adalah seorang ulama intelektual abad ke-20 yang
dijadikan sebagai salah seorang model sarjana Islam yang telah memenuhi tiga
syarat yang banyak diimpikan, tetapi jarang bertemu dalam satu pribadi yaitu akar
yang kokoh pada studi Islam tradisional, penguasaan memadai atas ilmu-ilmu
non-agama, dan sebagai penulis yang sangat produktif sehingga memiliki karyakarya nyata di bidang sosial. Selain itu, Muthahhari juga memiliki latar belakang
yang kuat dalam filsafat dan ‘irfân (gnosis). Dia telah berupaya menerapkan
kedua hal tersebut pada tataran realitas sosial kontemporer.
Dari sekian banyak karyanya, ia memiliki pemikiran yang komprehensif
mengenai filsafat sejarah, di mana pemikirannya tersebut dilandaskan pada ayatayat al-Qur’ân. Kajiannya tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan
kerangka pemikiran baru tentang filsafat sejarah tetapi juga untuk melawan
pemikiran-pemikiran sejarah yang ada terutama pemikiran Karl Marx tentang
materialisme dialektis dan materialisme historis.
Murtadhȃ Muththahharȋ, mendefinisikan sejarah sebagai satu ilmu dalam
empat pengertian, yang pertama, secara khusus sebagai ilmu tentang fenomena
serial dari pribadi dan individual, kedua, sebagai sebuah narasi, ketiga, ilmu
tentang being (maujud atau eksistensi), bukan sebaliknya sebagai ilmu becoming,
keempat, ilmu berkenaan tentang masa lalu, bukan masa sekarang.
Pada sisi lain, Muththahharȋ, dalam mendefinisikan sejarah, dengan cara
membagi sejarah dalam tiga cara dan arti. Di antara ketiga cara itu memiliki
6
hubugan yang tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi yang menjadi fokus perhatian
dan prioritas pembahasannya yang agak lebih luas hanya dua, yaitu sejarah ilmiah
dan filsafat sejarah.8 Walaupun demikian, ketiga pengertiaannya tetap akan
diungkapkan dalam skripsi ini. Pembahasan lebih luas mengenai gagasan filsafat
sejarah Muththahharȋ, penulis membahasnya pada bab-bab selanjutnya.
Dari latar belakang pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan tersebut dalam pembahasan skripsi yang berjudul “Pemikiran
Murtadhȃ Muththahharȋ tentang Filsafat Sejarah”.
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis membatasi dan
memfokuskan pada pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah
serta kritiknya terhadap materialisme dialektis dan materialisme historis Karl
Marx.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah
a. Bagaimana pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah
b. Bagaimana kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap materialisme
dialektis dan materialisme historis karl marx
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini yaitu:
8
Murtadhȃ Muththahharȋ, Man and Universe. Penerjemah Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera, 2002), h.
303-305
7
1. Sebagai upaya memahami pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang
filsafat sejarah.
2. Menelaah pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ bagaimana ia mengulas
tentang filsafat sejarah yang di dalamnya ia menjelaskan sifat dan
gerak sejarah serta kritik tajamnya terhadap pemikiran Karl Marx
tentang materialisme dialektis dan materialisme historis
3. Menelaah gagasan dan perkembangan filsafat sejarah dalam Islam
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian skripsi ini, secara teoritis, berguna untuk mengembangkan
diskursus keilmuan di bidang pemikiran filsafat sejarah. Oleh karenanya
penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat menggugah para peneliti untuk
mengkaji dan mengembangkan pemikiran filsafat sejarah.
Di samping itu penelitian skripsi tentang filsafat sejarah ini sangat
mungkin untuk dijadikan sebagai sumber inspirasi atau pedoman dalam
mengamati sifat dan gerak sejarah kehidupan umat manusia secara global.
E. METODE PENELITAN
Penelitian skripsi ini merupakan studi kepustakaan (library research).
Objek material penelitian ini adalah pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ secara
umum dan objek formalnya berhubungan dengan pemikirannya seputar persoalan
filsafat sejarah meliputi pengertian dasar dari filsafat sejarah, sifat, dan gerak
8
sejarah disertai juga kritiknya terhadap materialisme dialektis dan materialisme
historis Karl Marx.
Sumber dan data primernya adalah karya-karya yang langsung ditulis oleh
Murtadhȃ Muththahharȋ baik itu yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia maupun yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, mengingat karyakarya orisinil Murtadhȃ Muththahharȋ sebagian besar ditulis dalam bahasa Iran.
Sedangkan sumber sekunder ialah karya-karya yang membahas tentang
filsafat sejarah. Sumber-sumber sekunder inilah yang penulis gunakan untuk
menganalisis pandangan Murtadhȃ Muththahharȋ.
Adapun dalam hal pembahasannya, penulis menggunakan metode
deskriptif-analitis.
Artinya
menggunakan
sumber-sumber
yang ada
lalu
mendeskripsikannya, kemudian dianalisis mengenai bagaimana pemikiran
Murtadhȃ Muthahharȋ tentang filsafat sejarah.
Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini disandarkan pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), Jakarta, Ceqda,
2007.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Sepanjang pengamatan dan pengetahuan penulis, sudah terdapat beberapa
penelitian yang mengkaji pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ, di antaranya yaitu:
1. Yuli Astuti dengan judul Kebebasan Manusia dalam Perspektif John
Stuart Mill dan Murtadhȃ Muththahharȋ (Sebuah Studi Komparasi).
(Skripsi: Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2001 M).
9
Dalam skripsi tersebut, ia melakukan studi komparatif terhadap dua
pemikir yang berbeda kultur dan menaruh perhatian pada masalah
kebebasan manusia. Menurutnya, terdapat persamaan dan perbedaan
dalam pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ dan John Stuart Mill mengenai
kebebasan.
2. Izkar Sobah dengan judul Kejahatan dan Keadilan Tuhan dalam
Perspektif Teologi Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi: Jurusan Aqidah
Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2006). Dalam skripsi tersebut ia menulis bahwa Tuhan Maha adil dan
kejahatan tidak membuat-Nya untuk tidak adil. Sesungguhnya Tuhan
menyayangi hamba-hamba-Nya. Adapun adanya kejahatan dan keburukan
adalah bukti kasih sayang-Nya sebagai bentuk ujian bagi manusia untuk
menjadi lebih baik dan hal ini adalah tanda bahwa Tuhan selalu
memperhatikannya.
3. Muniroh dengan judul Konsep Fitrah Murtadhȃ Muththahharȋ. (Skripsi
Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2008). Dalam skripsi tersebut ia mengatakan bahwa
yang dimaksudkan Muththahharȋ adalah fitrah yang berkaitan dengan
masalah-masalah kemanusiaan dan prinsip-prinsip berpikir yang tak lain
bersifat fitrah. Manusia itu sendiri memiliki fitrah di antaranya ialah dalam
hal mencari kebenaran atau kesempurnaan, condong kepada kebaikan,
cenderung kepada keindahan, berkarya dan cinta (menyembah).
10
4. Nurdin Kadir dengan judul Konsep Zuhud Murtadhȃ Muththahharȋ.
(Skripsi Program Studi Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat 2008). Dalam penelitiannya tersebut, ia mengatakan bahwa
terdapat pemikiran tentang zuhud yang dianggapnya bias dari makna
sebenarnya dan Muththahharȋ mencoba untuk meluruskan pemikiran
tersebut. Bagi Muththahharȋ arti zuhud adalah perasaan puas dengan
kehidupan yang sederhana dalam hal makan, berpakaian, dan bertempat
tinggal. Dalam semua aspek kehidupannya, orang zuhud akan merasa puas
dengan kehidupan yang sederhana.
Berbagai kajian tentang pemikiran Murtadha Muththahhari
sebagaimana dipaparkan di atas sangat penting dan kontributif bagi skripsi
ini, setidak-tidaknya sebagai bahan pengayaan dan perbandingan dalam
pembahasannya. Akan tetapi, hemat penulis, dari sejumlah pembahasan
tersebut tidak satu pun yang mengkaji pemikiran Filsafat Sejarah
Murtadhȃ Muththahharȋ secara serius dan mendalam sebagaimana yang
akan penulis bahas dalam skripsi ini.
11
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab, terdiri dari:
Bab I Pendahuluan meliputi: latar belakang masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab II Biografi Murtadhȃ Muththahharȋ meliputi: latar belakang
pendidikan, karier, dan kegiatan, dan karya-karya Murtadhȃ Muththahharȋ
Bab III Studi tentang sejarah dan filsafat sejarah yang pembahasannya
meliputi: munculnya filsafat sejarah, perngertian sejarah dan filsafat sejarah,
filsafat sejarah dalam Islam, dan filsafat sejarah di Barat
Bab IV Pemikiran Murtadhȃ Muththahharȋ tentang filsafat sejarah yang
pembahasannya meliputi: pengertian sejarah dan filsafat sejarah, sifat dan gerak
sejarah, dan kritik Murtadhȃ Muththahharȋ terhadap konsep materialisme dialektis
dan materialisme historis Karl Marx
BAB V Penutup yang meliputi: kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
BIOGRAFI MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ
A. Latar Belakang Pendidikan, Karier, dan Kegiatannya
Al-Syâhid Ayatullah Murtadhȃ Muththahharȋ lahir pada tanggal 2 februari
1920/1338 Hijriyah di Fariman, dekat Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum
Muslim Syiah yang besar di Iran Timur. Ayahnya bernama Muhammad Husein
Muthahharȋ, adalah ulama cukup terkemuka.1
Pada usia 12 tahun, Muththahharȋ mulai belajar agama secara formal di
Masyhad, yang kemudian menumbuhkan kecintaannya pada filsafat, teologi, dan
tasawuf (‘irfân). Kecintaan ini berada pada dirinya sepanjang hidupnya dan
membentuk pandangan menyeluruh tentang agama. Figur di Masyhad yang
mendapat curahan perhatian terbesar Muththahharȋ adalah Mirza Mahdi Syahidi
Razavi, seorang guru filsafat. Namun, Razavi wafat pada 1936, ketika Muthahhari
belum cukup umur mengikuti kuliah-kuliahnya. Ia meninggalkan Masyhad pada
tahun berikutnya, sebagian karena alasan ini, untuk belajar di lembaga pengajaran
di Qum yang kian diminati oleh banyak siswa.2
Di Qum Muththahharȋ belajar di bawah bimbingan dua ayatullah:
Borojerdi dan Khomeini. Selagi menjadi mahasiswa, Muththahharȋ menunjukkan
minat yang besar pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Gurunya yang
utama dalam filsafat adalah Allamah Thabathaba′i. Ia mengenal secara mendalam
segala aliran filsafat sejak Aristoteles sampai Sartre. Ia membaca 11 jilid tebal
1
Murtadha Muthahhari, Kritik Islam Terhadap Materialisme. Penerjemah Akmal Kamil
(Jakarta: Islamic Center Jakarta al-Huda, 2001), h. 9
2
Ibid., h. 9
12
13
Kisah Peradaban, Kelezatan Filsafat, dan buku-buku lainnya yang ditulis oleh
Will Durant. Ia menelaah tulisan Sigmund Freud, Bertrand Russel, Albert
Eisntein, Erich Fromm, Alexis Carrel, dan pemikir-pemikir lainnya dari Barat.
Tetapi, berbeda dengan sebagian cendekiawan pesantren yang mempelajari Barat
karena rasa rendah diri –lalu bersuara lantang mengutip pakar-pakar Barat dan
malu-malu menyebut pemikir-pemikir Islam – Muththahharȋ tampil dengan suara
Islam yang fasih. Pada 1934, dalam usia 36 tahun, ia mengajar logika, filsafat, dan
fiqh di Fakultas Teologia, Universitas Teheran. Ia juga menjabat sebagai Ketua
Jurusan Filsafat. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang
diasuhnya: kuliah fiqh, kuliah al-ushủl, kuliah ilmu kalam, kuliah al-′irfân
(Tasawuf), kuliah logika, dan kuliah filsafat.
Otaknya yang cemerlang dan ilmunya yang luas dapat memberikan
kehidupan yang nyaman baginya. Tetapi, ia memilih badai daripada damai. Ia
banyak menulis dan aktif berdakwah. Khutbahnya di Radio Teheran masih
terdengar sampai 1382 H. Tulisan-tulisannya sampai kini masih dibaca orang
tanpa kehilangan aktualitas. Ia temasuk arsitek Revolusi Islam di Iran. Jika Ali
Syari’ati dapat disebut wakil intelektual yang ulama, Muththahharȋ adalah wakil
ulama yang sekaligus intelektual.3
Muththahharȋ berjuang bukan sekadar lewat pena dan lidahnya. Ia juga
memberikan segala yang dimilikinya. Pada 1963, ia ditahan bersama Ayatullah
Khomeini. Ketika Khomeini dibuang ke Turki, ia mengambil alih imamah dan
menggerakkan para ulama mujahidin. Bersama ulama lainnya, ia mendirikan
3
Jalaluddin Rakhmat, “Muththahhari: Sebuah Model buat Para Ulama,” dalam Murtadha
Muthahhari, Membumikan Kitab Suci Manusia dan Agama (Bandung: Mizan 2007), h. 13
14
Husainiya-yi Irsyad sebagai markas kebangkitan intelektual Islam. Ia turut pula
menghimpun dana buat para pengungsi Palestina. Sebagai ulama, ia pun menjadi
imam Masjid Al-Jawad dan mengubah masjid itu menjadi pusat gerakan politik
Islam.
Pada 1972 Husyainiya-yi Irsyad dan Masjid Al-Jawab dilarang secara
politik oleh rezim Syah dan Muththahharȋ kembali lagi masuk penjara. Kemudian
ia bebas lagi. Pengalaman penjara tidak mengubah langkahnya. Ia melanjutkan
kegiatan-kegiatan politiknya. Pada 1978, ketika Muththahharȋ mengecam
pembuangan Ayatullah Muntazerri, rezim Syah melarang semua kuliah dan
khutbahnya.4
Di samping itu, ia juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya
“Jam’iyah Ulama Militan” (Jami’ayi Ruhaniyat-i Mubariz). Sedemikian
banyaknya peran aktif yang dilakukan dalam mendukung gerakan revolusi
membuat dirinya juga sangat dekat dengan Imam Khomeini. Setelah Imam pindah
ke tempat pembuangannya di Paris, Muththahharȋ temasuk di antara kelompok
ulama yang ikut dan berkonsultasi. Pada 12 Januari 1979 Muthahharȋ diangkat
sebagai ketua Dewan Revolusi Islam yang anggotanya antara lain Bazargab,
Yazdi, Qotbzadeh, Behesyti, Bahonar, dan Rafsanjani.
Pada tanggal 1 Mei 1979 aktivitasnya dalam mendukung dan
mengembangkan Revolusi dihentikan secara brutal oleh kelompok Furqan. Dia
dibunuh setelah memimpin rapat Dewan Revolusi Islam di rumah Dr. Yadullah
Sahabi. Sebuah peluru bersarang tepat mengenai kepalanya dan tembus di atas
4
Jalaluddin Rakhmat, “Kata Pengantar,” Muththahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama,
dalam Murtadhâ Muththahharȋ, Membumikan Kitab Suci Manusia dan Agama., h. 14
15
kelopak matanya. Meskipun ketika syahid dia adalah ketua Dewan Revolusi
Islam, tetapi dirinya tidak dapat dipisahkan dari dunia pemikiran dan tulisan.5
Kehidupan Muththahharȋ diabdikan untuk perjuangan politik dan
perjuangan ideologis. 6 Dalam hal perjuangan ideologis ia menulis tentang
masalah-masalah filsafat, sosial, akhlak, fiqh, dan sejarah. Muthahhari adalah
salah seorang tokoh yang mampu memformulasikan konsep al-Qur’an dalam
paradigma yang jelas terutama yang berkaitan dengan filsafat sejarah.
Pemikirannya berkenaan dengan filsafat sejarah (philosophy of history) banyak
ditujukan untuk mengkritik filsafat materialisme.
Muththahharȋ sendiri mulai menaruh minat kepada filsafat materialis,
khususnya Marxisme, tak lama setelah mempelajari secara resmi ilmu-ilmu
rasional. Menurut hematnya, pada sekitar 1946 ia mulai mempelajari terjemahanterjemahan Persia literatur Marxis yang diterbitkan oleh partai Tudeh, organisasi
Marxis besar di Iran dan ketika itu merupakan suatu kekuatan penting di arena
politik. Selain itu, ia membaca tulisan-tulisan Taqi Arani, teoritisi utama partai
Tudeh, maupun penerbitan-penerbitan Marxis dalam bahasa Arab yang berasal
dari Mesir. Mulanya ia agak sulit memahami teks-teks ini, sebab ia belum
mengenal terminologi filsafat modern. Dengan terus-menerus berupaya keras
termasuk dengan menyusun sinopsis buku Elementary Principles of Philosophy
5
Muththahharȋ, Kritik Islam Terhadap Materialisme, h. 10-11
Perjuangan ideologis yang dilakukan Muthahharȋ adalah upaya untuk menyikapi
problema yang dihadapi masyarakat pada era beliau hidup, beliau memiliki perjuangan ideologis
jangka pendek dan jangka panjang. Perjuangan jangka pendek beliau lakukan untuk melawan
kebijakan-kebijakan elit politik Iran yang mencoba untuk melemahkan semangat keislaman
masyarakat Iran, serta melawan pemikiran-pemikiran yang dinilai berbahaya bagi moralitas umat
Islam. Sedangkan perjuangan ideologis jangka panjang didorong oleh empat faktor yaitu: pertama,
gerakan meniru Barat, kedua, gerakan meniru Timur, ketiga, Marxisme, Keempat, kebutuhan akan
pengenalan pengetahuan Islam. Lihat Hamid Algar, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, Sang
Mujtahid, penyunting, Haidar Bagir, (Bandung: Yayasan Muthahhari 1988) h. 56-58
6
16
karya George Pulitzer –akhirnya ia menguasai filsafat materialisme. Sejumlah
besar penolakan terhadap Marxisme telah dieseikan di dunia Islam, baik di Iran
maupun di lain tempat, namun hampir semuanya tak lebih berkisar pada
ketidaksesuaian
Marxisme
dengan
keyakinan
keagamaan
serta
ketidakkonsistenannya dengan kegagalan politis parta-partai politik Marxis.7
B. Karya-Karya Murtadhȃ Muththahharȋ
Murtadhȃ Muththahharȋ merupakan filosof Muslim Syiah kontemporer
yang menghasilkan banyak karya. Meskipun disibukkan dengan berbagai aktivitas
sosial politik dan kerja intelektual semisal mengajar dan berdiskusi, Muththahharȋ
tetap dapat mengkonsentrasikan diri untuk menuangkan gagasan-gagasan dalam
bentuk tulisan yang berjumlah sekitar enam puluhan dan hingga kini dapat
dikonsumsi oleh banyak kalangan.
Di antara karya-karya tersebut adalah :
1.
Inna al-dȋn ′indallâh al-Islâm, buku ini diterbitkan oleh penerbit Mansyûrat
al-Rabȋ dan telah diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dengan judul Islam dan
Tantangan Zaman dan diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1417
H/1996 M. Di dalam buku ini terdapat dua hal yang ingin dicapai, pertama,
bagaimana umat Islam mengetahui secara benar ajaran Islam yang murni
sebagai bentuk filsafat sosial dan keyakinan ketuhanan, pola pikir, dan
kepercayaan yang konstruktif dan kemprehensif. Kedua, bagaimana Islam
menyikapi perubahan zaman yang setiap saat mengalami perubahan, tidak
7
Hamid Algar, Murtadha Muththahhari Sang Mujahid, Sang Mujtahid, penyunting,
Haidar Bagir, (Bandung: Yayasan Muthahhari 1988), h. 32-33
17
tetap, dan semakin bertambah kompleks, sementara pada saat bersamaan
Islam adalah agama yang secara esensial bersifat tetap dan tidak berubah.
Sebagai sebuah agama samawi terakhir dan paripurna, Islam dan segenap
doktrinnya sama sekali tidak tidak mengalami penghapusan dan perubahan –
ia bersifat abadi. Tepat pada titik ini, timbul berbagai pertanyaan ihwal
relevansi Islam dengan berbagai tuntutan dan tantangan zaman. Mampukah
Islam menghadapi tuntutan dan tantangan zaman? Mungkinkah dua hal yang
saling bertentangan bisa berjalan seiring dan berpadu? Bagaimana mungkin
Islam yang bersifat tetap dan tidak berubah sanggup menuntun dan
membimbing zaman yang selalu berubah dan tidak tetap?
2.
The Cause Rersponsible for Materialist Tendencies in the West. Buku ini
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Kritik Islam
terhadap Materialisme. Buku tersebut merupakan karya Muthahharȋ yang
sangat diminati dunia kampus dan aktifis. Dalam buku ini, dia mengkritisi
secara tajam konsepsi filsafat ketuhanan yang dibangun dari doktrin kaku
gereja; yang kemudian mengantar manusia memandang semua realitas hanya
terbatas pada wilayah materi semata-mata. Dengan kepiawaiannya dalam
membaca sudut pandang filsafat dan sosiologi Barat serta telaahnya yang
mendalam tentang nash-nash al-Qur’ân, Muththahharȋ membuktikan kepada
kita betapa rancunya doktrin-doktrin yang ada dalam ajaran materialisme.
Bahkan secara yakin Muththahharȋ berkesimpulan bahwa paham materialisme
pada hakekatnya tiada lain adalah sisa-sisa peninggalan peradaban manusia
18
yang hampir punah; dan karenanya tidak dapat dijadikan pandangan dunia di
abad modern.
3.
Introduction to Kalâm. Buku ini telah diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan
Judul Mengenal Ilmu Kalam: Cara Menembus Kebuntuan Berfikir,
diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Zahra. Di dalam buku ini Muththahharȋ
membahas doktrin-doktrin dasar ulama kalâm beserta modifikasinya
meskipun merujuk dari pemahaman teologi Muktazilah dan Asyariyah, akan
tetapi teologi yang ditawarkan Muththahharȋ telah menampilkan wajah
menengah yang mencoba mengambil posisi tengah.
4.
Membumikan Kitab Suci, Manusia dan Agama. Buku ini diterjemahkan dari
beberapa buku berbahasa Arab dan Inggris karya Murtadhȃ Muththahharȋ,
yang diterbitkan oleh Free Islamic literatures, Inc, Houston, Texas. Buku ini
merupakan proyek Muthahharȋ dalam menyikapi krisis manusia kontemporer
yang telah meluas yakni ketika fragmentasi, kehampa-maknaan, ketiadaantujuan, kekosongan, kekacauan yang tidak terhingga, represi negara adidaya,
dan perang destruktif melawan kemanusiaan telah menjadi semakin
merajalela. Oleh karenanya manusia membutuhkan kedamaian spiritual dan
batiniah. Manusia semakin membutuhkan makna dan arah dalam hidup serta
memerlukan iman terhadap suatu Realitas Transenden yang melampaui
kebutuhan-kebutuhan material manusia. Beliau mengulas secara gamblang
mengenai arti penting agama serta iman dalam konteks perkembangan
manusia kontemporer saat ini.
19
5.
Ȃsha’i bâulum-e Islâmi, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Pengantar ke Ilmu-ilmu Islam yang terdiri dari tujuh bagian,
masing-masing tentang: Logika, Filsafat, Kalâm, ‘irfân, Fiqh, Ushul Fiqh,
dan Etika. Di sini pula, Muththahharȋ menjelaskan pentingnya epistemologi
dan metodologi dalam pemikiran maupun perjuangan Islam. Keduanya
merupakan kunci untuk menguasai ilmu-ilmu Islam.
6.
Man and Universe (1417 H/1997 M), karya ini diterbitkan oleh penerbit
Ansariyah Publication, Qum. Juga telah diterbikan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Manusia dan Alam Semesta : Konsepsi Islam tentang Jagat
Raya oleh PT Lentera Basritama pada tahun 1422 H/2002 M. Buku ini
membahas poin-poin penting berkenaan dengan manusia dan alam semesta.
Di dalamnya, Muththahharȋ mengupas konsep manusia dan binatang, ilmu
pengetahuan dan agama, majhab pemikiran, sumber-sumber pemikiran dalam
Islam, konsepsi alam semesta, tauhid dan syrik, kearifan dan keadilam ilahi,
wahyu dan kenabian serta masalah imamah (kepemimpinan) dan akhirat.
7.
Falsafatul Akhlâk, buku ini sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan
Judul Filsafat Moral oleh penerbit al-Huda pada tahun 2009. Buku ini
merupakan panduan reformasi moral sekaligus tawaran solusi bagi krisis
moral. Dalam buku ini, Muththahharȋ mempertanyakan kembali pengertian
perbuatan-perbuatan moral manusia yang dianggap sudah tinggal pakai (taken
for granted), sembari mengkritisi dan mendekonstruksi berbagai pandangan
moral baik dalam tradisi Barat maupun Timur, kemudian merekonstruksi
sebuah paradigma moral Islam.
20
8.
Al-‘Adl Ilâhi (1401 H/1981 M), buku sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul Keadilan Ilahi oleh penerbit Mizan pada tahun 1413
H/1992 M. Dalam buku tersebut, Muththahharȋ melakukan eksplorasi atas
tema penting dalam khazanah keilmuan-keislaman tersebut, sekaligus
mendemonstrasikan wawasan luasnya untuk membuktikan pernyataannya itu.
Dalam mengkaji keadilan ini, beliau menggunakan pendekatan naqli
(pendekatan berdasarkan nash-nash dan hadis) sekaligus aqliah (pendekatan
filosofis berdasarkan rasio).
Muththahharȋ menjelaskan secara panjang lebar perdebatan menarik
berkaitan dengan soal ini –suatu perdebatan panjang yang akhirnya
menghasilkan dua majhab teologis terkenal dalam pemikiran Islam, yaitu
asy′ariah dan mu’tazilah. Kemudian, dia juga menjelaskan munculnya soal
prinsip keadilan dalam dunia fiqh yang dicerminkan dengan pertentangan
antara ahli qiyas dan ahli hadȋs.
9.
Pendekatan filsafat Sejarah, Menguak Masa Depan Umat Manusia (1411
H/1991). Buku ini merupakan kumpulan tulisan Murtadhȃ Muththahharȋ yang
diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Hidayah dalam bahasa Indonesia. Di dalam
buku tersebut, Muththahharȋ menguraikan mengenai konsep sejarah dalam
Islam. Muththahharȋ percaya bahwa gerak sejarah bersifat progresif, karena
menurutnya sifat esensial manusia adalah baik. Kalaupun pada saat-saat
tertentu keburukan (fujur/qubh) mendominasi sifat kebaikan (husn)manusia,
hal itu hanyalah sebuah pengalaman kemunduran atau kemerosotan relatif
kehidupan manusia saja..
21
Jadi, konsep Islam merupakan gabungan antara determinisme yang
mengambil bentuk sunnah Allah dan sifat progresif sejarah dan kebebasan
manusia serta peran manusia dalam berayun di antara kejayaan (rise) dan
kemerosotan (decline) –antara, menggunakan terminologi al-Quran, ahsan
taqwȋm dan asfal sâfilȋn. Mengenai sifat progresif gerak sejarah ini,
betapapun menyiratkan determinisme, tak ada sesuatu yang salah di
dalamnya, karena ia hanya memberikan optimisme bagi hidup manusia di
muka bumi.
BAB III
STUDI TENTANG SEJARAH DAN FILSAFAT SEJARAH
A. Munculnya Filsafat Sejarah
Manusia sejak zaman kuno tidak henti-hentinya mengamati peristiwa
sejarah yang terjadi di sekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari
suatu hubungan yang bisa menguraikan geraknya –dari segi faktor-faktor yang
membangkitkannya dan dari akibat-akibat yang dihasilkannya. Oleh karenanya
banyak peneliti yang mengatakan bahwa manusia adalah “hewan sejarah.”1
Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia,
merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang
peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual
tertentu, bermuara pada pemahaman dan pengkajian peristiwa itu secara filosofis.
Kenyataan tersebut dapat dilihat ketika manusia berada dalam era
mitologis sebagaimana pernyataan Effat Syarqawi di dalam buku filsafat
kebudayaan. Menurutnya, pada masa mitologis itu manusia memuja dewa-dewa,
kekuatan-kekuatan gaib, dan alam dalam upayanya menafsirkan secara teleologis
hubungan berbagai peristiwa. Selanjutnya, dengan perkembangan kemampuan
manusia untuk menguasai alam lewat penemuan-penemuan ilmiah, bergeraklah
penafsiran sejarah dari suatu kronik peristiwa-peristiwa ke metode sejarah
pragmatis.2
1
2
Effat Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 112-113
Ibid., h. 113
22
23
Sementara ahli yang pertama kali menggunakan istilah filsafat sejarah
adalah Voltaire.3 Mula-mula Voltaire menggunakannya dalam kata pengantar
karyanya yang berjudul Essay sur les moere et l’espirit des nations. Kata
pengantar buku itu sendiri berjudul Philosophie de l’historie, yang berarti filsafat
sejarah. Buku tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis Voltaire dalam
rentang tahun 1753-1758 M. Sejak saat itu, tepatnya istilah filsafat sejarah
digunakan Voltaire pada tahun 1756 M, istilah filsafat sejarah mulai dikenal di
kalangan pemikir dan intelektual.4
B. Pengetian Sejarah dan Filsafat Sejarah
Sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun” berarti pohon. Kata ini
memberikan gambaran mengenai pengertian ilmu sejarah secara analogis karena
memberikan persepsi tentang pertumbuhan peradaban manusia yang mirip dengan
“pohon”
tumbuh
dari
biji
yang
kecil
menjadi
pohon
rindang
dan
berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau pesanpesan sejarah di dalamnya diperlukan kemampuan untuk menarik pesan-pesan
yang tersirat sebagai ibarat
atau ibrah di dalamnya.5 Sedangkan menurut
Kuntowijoyo, sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Tetapi jangan dibayangkan
sebagai membangun masa lalu untuk kepentingan masa lalu sendiri, itu
antikuarianisme dan bukan sejarah. Dengan bahasa sederhana, ia mengibaratkan
3
Francois Marie Arout Voltaire lahir di Paris pada 21 November 1694 dan meninggal 30
Mei 1778. Ia seorang filosof dan pujangga (literary)tersohor dan sangat berpengaruh dalam masa
pencerahan (enlightenment) di Perancis pada abad ke-18 M. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah
filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 57
4
Robin George Collingwood, The Idea of History, (London, New York: Oxford
University Press, 1976), h. 1-2
5
Ahmah Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah (Bandung: Mizan, 1995), h. 20
24
dengan bermain-main batang korek yang terserak-serak tidak jelas, kemudian
menyusunnya
jadi
petak-petakan,
orang-orangan,
rumah-rumahan,
dan
sebagainya. Ada definisi sejarah yang tautologis yang mengatakan bahwa sejarah
ialah apa yang dikerjakan sejarawan. Tautologi ini menegaskan bahwa sejarawan
mempunyai kebebasan dalam rekonstruksi. Yang mengikat sejarawan adalah
hanyalah “batang korek” yang berupa fakta sejarah. Jadi yang direkonstruksi
sejarah ialah apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan
dialami oleh orang. Sejarawan dapat menulis apa saja, asalkan memenuhi syarat
untuk disebut sejarah.6
Pendapat lain dikatakan oleh Louis Gottschalk, kata Inggris history
(sejarah) berasal dari kata benda Yunani istoria, yang berarti ilmu. Dalam
penggunaannya oleh filsuf Yunani Aristoteles, istoria berarti suatu penelaahan
sistematis mengenai perangkat gejala alam, entah susunan kronologis merupakan
suatu faktor atau tidak di dalam penelaahan; penggunaan itu, meskipun jarang,
masih tetap hidup di dalam bahasa Inggris pada sebutan natural history. Akan
tetapi dalam perkembangan zaman, kata Latin yang sama artinya yakni scientia
lebih sering dipergunakan untuk menyebutkan penelaahan sistematis nonkronologis mengenai gejala alam; sedangkan kata istoria biasanya diperuntukkan
bagi penelaahan mengenai gejala-gejala, terutama hal ihwal manusia dalam urutan
kronologis.
Menurut definisi yang paling umum, kata history kini berarti “masa
lampau umat manusia”. Bandingkan dengan kata Jerman untuk sejarah, yakni
6
h. 17
Prof.Dr. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 1995),
25
Geischicte, yang berasal dari kata geschelen yang berarti terjadi. Geischicte
adalah sesuatu yang telah terjadi. Arti ini acapkali dijumpai dalam ucapan-ucapan
yang terlalu sering dipakai seperti “semua sejarah mengakarkan sesuatu” atau
“pelajaran-pelajaran sejarah”. 7
Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian filsafat
sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang
berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai
semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabadabad sebelumnya. Kedua, sejarah bertujuan untuk menguji serta menghargai
metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.
Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang
mengandung dua segi berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama
berkenaan dengan kajian metodelogi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis.
Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian kritis atas metode sejarawan.
Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari filsafat,
yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern dengan
cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis apa
yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari tabiat
pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian, dan hubungan antara pikiran-pikiran
manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan metode yang
dipergunakan dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar.
7
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Penerjemah Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI
Press, 1985), h. 27
26
Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap
ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini, perhatian lebih
diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau
sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis
filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang
paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya.8
C. Filsafat Sejarah Dalam Islam
Di dalam Islam, terdapat beberapa pemikir yang menguasai bidang
filsafat sejarah yang tidak asing lagi baik di Timur maupun di Barat. Misalnya,
Ibn Khaldûn yang dianggap sebagai representasi periode Klasik. Selanjutnya yaitu
beberapa tokoh pemikir Muslim Modern, seperti Malik Bin Nabi, Murtadhâ
Muththahharȋ, Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan Abdul Hamid Siddiqi. Untuk
melihat bagaimana perkembangan pemikiran kesejarahan-filsafat sejarah dalam
Islam, sebagai alternatif untuk kelengkapan tinjauan ini, penulis akan mengulas
sejumlah pemikiran tokoh di bidang filsafat sejarah, yaitu Ibn Khaldun sebagai
representasi dari masa klasik dan Ali Syariati sebagai representasi masa modern.
8
Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, h. 114-115
27
1. Konsep Filsafat Sejarah Ibn Khaldûn9
Menurut Khaldûn, masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan
berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengannya.
Hukum-hukum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap
sejumlah fenomena sosial. Menurutnya, ashhâbiyah merupakan asas berdirinya
suatu negara dan faktor ekonomis adalah faktor terpenting yang menyebabkan
terjadinya perkembangan masyarakat.10
Ibnu Khaldûn terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle
Theory of History, yaitu satu teori filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan
di dunia Timur dan Barat tentang kematangannya. Dalam teori tersebut, Khaldûn
berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah siklus dari setiap kebudayaan dan
peradaban. Ia mengalami masa lahirnya, masa naik (masa berkembang), masa
puncaknya, kemudian masa menurun dan akhirnya masa lenyap atau hancur.
Khaldûn mengistilahkan siklus itu dengan “tiga tangga peradaban”. Sekadar
9
Abû Zaid ‘Abd Al-Rahmân ibn Khaldûn Al-Hadramȋ lahir di Tunis pada 732 H/1332 M
dan meninggal di Kairo pada 808 H/1406 M, setelah lima tahun sebelumnya bertemu dengan
Tȋmûr Lenk di luar tembok Kota Damaskus. Selama hidupnya, ia kerap disibukkan dengan
pekerjaan-pekerjaan diplomatik da politik, Ibn Khaldûn banyak menggunakan waktunya untuk
belajar, mengajar, dan menulis. Secara umum dapat dikatakan bahwa ia tak henti-hentinya
berusaha memuaskan dua kebutuhan dasarnya: pertama tindakan politik dan kedua pengetahuan
ilmiah. Sementara ia gagal dalam mencapai tujuan pertama demi kepuasan, ia berhasil meraih
yang kedua –meskipun relatif terlambat dalam hidupnya. Salah satu karya besarnya adalah
Muqaddimah, dalam karya tersebut, Ibn Khaldûn merumuskan sebuah filsafat sejarah yang tak
pelak lagi merupakan karya terbesar dari jenisnya yang pernah disusun oleh seorang tokoh dalam
sejarah. Objek khususnya sendiri yaitu peradaban manusia dan organisasi sosial. Sejarahnya juga
mempunyai masalah-masalah khas sendiri –yaitu menjelaskan kondisi-kondisi berkaitan yang
berkaitan satu sama lain dengan esensi peradaban. Perhatian khusus diberikan pada interaksi
antara faktor alami dan faktor non-fisik yang mendasari budaya manusia yang berpusat pada
kekuasaan negara. Dalam Muqaddimah, ia juga menyelidiki fenomena manusia dan institusi sosial
yang bertumpu pada kerajinan, sains, dan penyebarannya. Daya dorong di balik proses historis itu,
menurutnya, berada dalam ashhâbiyah. “Semangat kelompok” ini menimbulkan tindakan politik
yang mengarah pada perebutan terhadap alat-alat negara. Abderrahmane Lakhsassi, “Ibn
Khaldûn,” dalam Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, ed., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam
(Buku Pertama). Penerjemah Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 446
10
Dr. Zainab al-Khudhariri, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), h. 62
28
ilustrasi, Khaldûn menegaskan bahwa kesatuan suku Badui dapat mengantarkan
pada terbentuknya suatu negara; dan cara hidup yang berpindah-pindah akan
menghasilkan kejayaan dan berakhir pada kehancuran.
Di samping itu, Ibnu Khaldûn berafiliasi dengan beberapa aliran filsafat
sejarah. Pertama, ia berafiliasi dengan aliran sejarah sosial yang berpendapat
bahwa fenomena-fenomena sosial dapat diinterpretasikan, dan teori-teorinya dapat
diikhtisarkan dari fakta-fakta sejarah. Tokoh-tokoh aliran ini pada zaman modern
di antaranya ialah Jean Bodin dan Vico. Kedua, ia dapat dipandang berafiliasi
dengan aliran ekonomi, yang menginterpretasikan sejarah secara materialistis dan
menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis serta merujukkan
perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomena pada faktor-faktor
ekonomis. Tokoh yang terkenal dengan aliran ini ialah Karl Marx. Meski dari
aspek ini ia dapat dipandang sebagai seorang penyeru aliran tersebut, namun ia
tidak meninjau fenomena-fenomena sosial dan perubahan historis hanya dari
aspek ekonomis saja. Ia juga meninjau dari sudut faktor-faktor lainnya dan lebih
menekankan faktor-faktor lain. Ketiga, ia juga dipandang berafiliasi pada aliran
geografis yang memandang manusia sebagai putra alam lingkungan dan kondisikondisi alam di sekitarnya. Menurut pendapat yang terakhir ini lingkungan
alamlah yang membentuk masyarakat-masyarakat dan kebiasaan-kebiasaannya.
Namun pandangan ini belakangan tidak lagi diterima, sebab kini terbukti bahwa
29
selain dipengaruhi lingkungan, manusia juga mempengaruhi lingkungan. Jadi
antara keduanya terjadi interaksi yang saling mempengaruhi.11
a. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perjalanan
sejarah
dan
perkembangannya
Perkembangan menurut Ibn Khaldûn tidaklah berupa lingkaran dan
garis yang lurus, melainkan berbentuk spiral. Sebagai contoh, adalah
perkembangan negara. Negara mana pun, setiap kali mencapai puncak
kejayaan dan kebudayaannya, akan memasuki masa senja dan mulai
mengalami keruntuhan untuk digantikan negara baru. Negara baru ini tidak
bermula
dari
nol,
tetapi
mengambil
peninggalan
negara
lama,
melengkapinya, menciptakan kebudayaan yang lebih maju yang berbeda
dari kebudayaan negara sebelumnya, meski perbedaan ini tidak nampak
sehingga sulit diamati.
Namun dengan berulangkalinya daur ini
berlangsung, perbedaan tersebut akan tampak makin jelas bilamana mereka
memerintah suatu negara dan pemerintahan maka tidak boleh tidak mereka
akan menggunakan tradisi orang-orang sebelum mereka. Mereka akan
banyak menimba dari tradisi itu dan mereka tidak akan melupakan tradisi
generasi mereka. Meski demikian ada perbedaan antara tradisi negara ini
dengan tradisi generasi sebelumnya. Kemudian apabila muncul lagi negara
lain setelah mereka, tradisinya pun bercampur dengan tradisi mereka dan
sebagian tradisi bertentangan dengan tradisi mereka. Perbedaan tradisi
negara yang terakhir ini semakin berbeda dari tradisi generasi pertama.
11
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad
Rofi’ Utsmani, h. 63
30
Dengan berlalunya waktu, sedikit demi sedikit terjadi perubahan dan
akhirnya berkesudahan dengan perbedaan secara total.12
Menurut Khaldûn, ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi
dan mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu.
Ketiganya yaitu:
1) Faktor Ekonomi
Dalam pandangan Ibnu Khaldûn sebagaimana yang dikutip oleh
Zainab al-Khudairi dalam buku Filsafat Sejarah Ibnu Khaldûn, banyak
orang-orang
kota
yang
tenggelam
dalam
kemewahan,
mencari
kesenangan dan keduniaan, bebas melabuhkan hawa nafsunya, sehingga
jiwa mereka berlumur dengan kejahatan dan jauh dari jalan kebaikan.
Adapun orang-orang desa, sekalipun juga menyukai kehidupan duniawi,
terpaksa membatasi dirinya pada hal-hal yang sangat perlu saja. Mereka
tidak berusaha memperturutkan keinginannya untuk bermewah-mewah
dan bersuka ria. Adat kebiasaan dan perbuatan mereka bersahaja, karena
itu mereka tidak begitu menjadi sasaran aib perbuatan jahat dan durhaka
dibanding dengan orang-orang kota.13
Sementara dalam membicarakan sifat-sifat keberanian orang-orang
desa yang tidak kita temukan lagi pada orang-orang kota. Menurut Ibn
Khaldûn, karena orang kota sudah terbiasa hidup senang, aman, dan
tenteram, menyerahkan tugas mempertahankan jiwa dan harta kekayaan
12
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani, h. 81
13
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani, h. 86
31
mereka kepada penguasa dan tentara. Dikelilingi tembok yang tebaltebal, dilindungi berbagai macam pertahanan, maka mereka hidup aman
dan lupa mempergunakan senjata.
Orang-orang desa memiliki keistimewaan yakni kesederhanaan dan
keberanian. Oleh karena itu mereka tahu bagaimana mempertahankan
diri dari setiap serangan, masyarakat mereka benar-benar mandiri dan
tidak menerima tekanan apapun. Mereka bekerja hanya untuk memenuhi
kebutuhan sendiri, cenderung pada kebajikan, cinta pada keutamaan, dan
benci pada kejahatan dan perbuatan yang hina.14
Sedangkan masyarakat kota, yang asalnya juga dari desa dan
kemudian menjadi penduduk kota akibat perkembangan bentuk dan pola
kehidupan mereka, watak kehidupan kota telah memaksa mereka
mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan baru, di mana
pada masyarakat desa hal ini bisa diabaikan. Kemewahan pun
menyelundup dalam kehidupan dan adat istiadat mereka dari segala arah,
dan karena tenggelam dalam kenikmatan hidup dan kemalasan, nilai-nilai
pun mulai pudar. Semuanya ini membuat melemahnya kegiatan ekonomi,
sebab mayoritas penduduk dalam keadaan menganggur. Sesuai dengan
karakter mereka, kini mereka kehilangan keberaniaan dan keperkasaan.
Oleh karena itu mereka pun membutuhkan perlindungan, suatu hal yang
mendorong perlu adanya negara.15
14
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani, h. 86
15
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani, h. 87
32
Dari
keterangan
di
atas,
tampak
bahwa
Ibn
Khaldûn
mengkonsepsikan, faktor ekonomi sebagai salah satu yang terpenting
dalam mengendalikan kehidupan sosial, organisasi politik, moral
masyarakat, dan pikiran mereka. Faktor ekonomi dipandang sebagai
faktor terpenting dan utama, tetapi bukanlah faktor satu-satunya.
Menurutnya, masih ada faktor lain, yaitu faktor lingkungan, geografis,
dan iklim serta faktor agama.
2) Faktor Geografis, Lingkungan, dan Iklim.
Menurut Ibn Khaldûn, lingkungan fisik besar dampaknya terhadap
masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat
dipengaruhi bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil bumi
yang dihasilkannya, dan bahan-bahan mentah yang dimilikinya. Ini
berarti alam membatasi kegiatan manusia dan menciptakan batas-batas
apa-apa yang ia lakukan. Selain itu alam juga mempengaruhi sifat-sfiat
fisik dan psikis manusia, dan malah juga mempengaruhi kehidupan
kulturalnya.16
Ibnu Khaldûn membagi bumi menjadi tujuh bagian. Sebagian,
yakni bagian ketiga, keempat, dan kelima, berhawa sedang. Sebagian
yang lain, yakni bagian pertama dan ketujuh, sangat panas. Menurut Ibn
Khaldûn, kawasan-kawasan yang beriklim sedang adalah tempat-tempat
maraknya kebudayaan. Sedang kawasan-kawasan yang sangat dingin dan
panas tidak mungkin menyajikan suatu kebudayaan dengan peringkat
16
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani h. 89
33
yang sama dengan kebudayaan kawasan-kawasan beriklim sedang.
Pendapat Ibn Khaldûn inilah sebabnya kita dapati ilmu pengetahuan,
industri, bangunan-bangunan, pakaian, makanan, dan buah-buahan,
bahkan hewan-hewan dan segala apa yang hidup di tiga kawasan sedang
ini, memiliki ciri-ciri sedang dan sederhana. Manusia-manusia yang
mendiami kawasan-kawasan tersebut sedang pula postur tubuhnya,
warna kulitnya, sopan santunnya, dan juga agamanya. 17 Sebagian besar
nabi-nabi diturunkan di kawasan-kawasan utara dan selatan. Karena pada
nabi dan utusan Allah hanya diutus kepada ummat manusia yang paling
sempurna, baik tubuh maupun pikirannya, yaitu umat yang lebih bisa
menerima ajaran-ajaran yang dibawa.
Adapun penduduk kawasan-kawasan yang jauh di ujung, seperti
penduduk kawasan kesatu, kedua, keenam, dan ketujuh, adalah jauh
dalam segala hal. Tempat kediaman mereka terbuat dari tanah liat atau
seperti bambu. Makanan mereka terdiri dari jawawut dan buah-buahan
liar. Pakaian mereka dari daun-daunan atau kulit. Sebagian mereka
malahan pergi ke sana ke mari tanpa busana. Buah-buahan dan hasil
utama tanah mereka adalah aneh dan jauh dari memadai. Mereka
mempergunakan tembaga, besi, atau kulit sebagai ganti emas atau perak,
untuk alat jual-beli. Watak mereka sangat dekat dengan watak binatang
buas. Pada umumnya mereka sama sekali tidak mengetahui kenabian dan
tidak mengikuti sedikitpun hukum-hukum agama, kecuali sebagian kecil
17
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, h. 13
34
dari mereka yag hidup berbatasan dengan kawasan-kawasan yang
beriklim sedang.18
Dari
keterangan
di
atas,
jelaslah
bahwa
Ibn
Khaldûn
mengasumsikan bahwa iklim, lingkungan, dam geografis, ikut membawa
dampak terhadap tubuh, moral, akal pikiran, kegiatan, dan kebudayaan
manusia. Oleh karenanya, berdasarkan pendapat ini, dapat dipastikan,
bahwa iklim, lingkungan, dan geografis merupakan salah satu faktor lain
yang ikut mempengaruhi dan mengendalikan laju sejarah manusia.
3) Faktor Agama
Menurut Ibn Khaldûn hubungan antara Allah dan alam manusia
tampak pada setiap ruang dan waktu. Menurutnya, Allah menjadikan
segala sesuatu yang ada dalam alam untuk manusia dan sebagai anugerah
kepadanya. Dalam berbagai ayat al-Qur’an Allah menyatakan bahwa Dia
menjadikan segala yang ada di antara langit dan bumi bagi manusia dan
menundukkan laut dan segala hewan baginya pula. Kekuasaan manusia
terentang di atas seluruh alam dengan segala isinya sehingga Allah
menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya.19
Khaldûn juga mengatakan kehidupan sosial mungkin berlangsung
tanpa agama, dan politik dapat tegak tanpa aturan agama. Namun agamaagamalah yang mendorong perkembangan ke depan dan menjadikan
kehidupan sosial lebih utama. Sebab semangat agama dapat meredakan
18
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, h. 13. Lihat. Ibn Khaldun,
Muqaddimah. Penerjemah Ahmadi Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 83-106
19
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani h. 97
35
pertentangan dan iri hari yang dirasakan oleh salah satu anggota dari
golongan itu terhadap anggota lainnya dan menuntun mereka ke arah
kebenaran. Jika sekali perhatian mereka telah terpusat pada kebenaran
maka tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi mereka. Sebab
pandangan mereka adalah sama dan tujuan yang mereka kejar pun serupa
dan satu, sehingga membuat mereka bersedia berjuang sampai mati.
Inilah yang terjadi pada bangsa Arab sewaktu penaklukan Islam yang
mula-mula. Sebab tentara Islam dalam perang Yarmuk dan Qadisiah
berjumlah kurang dari 30.000 orang, padahal tentara Persia di Qadisiah
berjumlah 120.000 orang, sedangkan tentara Heraclitus terdiri dari
400.000 orang. Meskipun demikian kedua lawan itu tidak sanggup
berhadapan dengan tentara Arab dan kedua-duanya dikalahkan. 20
Penuturan di atas membuktikan bahwasanya agama sangat
memberikan peran dalam jalannya perkembangan sejarah.
b. Hukum-Hukum Determinisme Sejarah
Determinisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena
suatu kausa atau berbagai kausa, dan semuanya itu tidak mungkin terjadi
dalam bentuk yang berbeda, kecuali apabila terjadi perbedaan di dalam
kausa-kausanya. Menurut Ibn Khaldûn, ada tiga hukum determinisme
sejarah yaitu, pertama, hukum kausalitas, Ibn Khaldun menerapkan dan
menjadikan hukum ini sebagai salah satu di antara dua prinsip sejarah –
filsafat sejarah. Ia meyakini adanya hubungan kausalitas antara kenyataan20
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani h. 99. Lihat. Ibn Khaldun, Muqaddimah.Penerjemah Ahmadi Thaha, h. 192-197
36
kenyataan dan fenomena-fenomena. Ia berasumsi bahwa semua realitas di
alam ini, dapat dicari hukum kausalitasnya.
Apa saja yang ada di dunia yang diciptakan ini, baik berupa benda
maupun perbuatan (dari manusia atau binatang) menunjukkan terdapatnya
sebab-sebab yang membawa semua itu kepada perwujudannya. Dan
sebaliknya masing-masing dari sebab-sebab ini adalah suatu kejadian yang
menunjukkan adanya sebab-sebab yang mendahuluinya. Karena itu susunan
sebab-sebab itu akan terus meningkat hingga sampai kepada sebab (yang
sebenarnya) dari segala sebab. Yang mengadakan dan menciptakan semua
ini –segala puji bagi-Nya yang tidak ada Tuhan melainkan Dia. Peningkatan
sebab-sebab itu akan semakin meluas sehingga akal tidak mampu
memahaminya. 21
Ada beberapa pengecualian dalam hukum kausalitas yang diyakini Ibn
Khaldûn. Pengecualian-pengecualian itu berbentuk dampak hal luar biasa
yang berbentuk mukjizat-mukjizat para nabi dan karamah-karamah para
wali: “Ketahuilah sesungguhnya Allah SWT memilih di antara manusia
sejumlah pribadi yang diberi kelebihan dengan diturunkannya firman-Nya
kepada mereka dan diciptakan dengan pengetahuan-Nya.” Mereka dijadikan
sebagai perantara antara Ia dengan hamba-hamba-Nya. Di antara yang
dikaruniakan kepada mereka ialah pengetahuan-pengetahuan seperti hal-hal
biasa lewat ucapan-ucapan mereka dan berita-berita tentang hal-hal ghaib
21
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani h. 111
37
yang tidak diketahui manusia dan tidak dapat mereka ketahui kecuali dari
Allah.22
Kedua, Hukum peniruan. Peniruan menurut Ibn Khaldûn, merupakan
suatu hukum yang umum. Peniruan ini mendorong gerak perkembangan ke
depan, sebab kadang-kadang peniruan merupakan peniruan terhadap hal
yang lebih baik. Si peniru sendiri selalu melengkapi apa yang ditirunya
dengan apa yang ia miliki, sehingga dengan ini terciptalah sesuatu yang
baru.23
Ketiga, Hukum perbedaan, perbedaan antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya timbul dari upaya penyerupaan dan peniruan. Keadaan
yang demikian ini juga berlaku pada negara, di mana negara yang muncul
belakangan, akan berupaya meniru negara sebelumnya. Hal ini tidak akan
terjadi kecuali jika terdapat suatu landasan yang membedakan antara
keduanya, sementara upaya-upaya penyerupaan yang terus menerus pada
akhirnya akan membuat terjadinya perbedaan secara total. Ini karena si
peniru hanya mengambil apa yang ia kagumi dan kemudian melengkapinya,
sehingga timbul jalinan baru yang agak berbeda dari apa yang ia tiru.
Kemudian muncul peniru lainnya yang pada gilirannya perbedaan antara
yang pertama dan yang ketiga pun semakin besar. Dari sini tampak jelas
bahwa antara hukum peniruan dan hukum perbedaan terjalin suatu
hubungan dialektis. Sebab, perbedaan akan mendorong pada upaya untuk
22
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani h. 111-112
23
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani h.114
38
meniru dan dengan berulang kalinya peniruan akan membuat terjadinya
perubahan. Ibnu Khaldûn lebih jauh menghubungkan, bahwa perbedaanperbedaan yang semakin membesar tersebut terjadi karena faktor geografis,
fisik, ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi, dan agama. Dari itu jelaslah
bahwa pendapat Ibn Khaldun tentang determinisme sejarah berjalin kuat
dengan faktor yang mengendalikan dan mempengaruhi perjalanan sejarah,
sebagaimana penulis jelaskan di atas.24
24
Dr. Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Ahmad Rofi’
Utsmani h. 115-116
39
2. Pemikiran Sejarah ′Alȋ Syarȋ′ati25
′Alȋ Syarȋ′ati berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dan
sekaligus keterpaksaan. Dia dapat berbuat semaunya dan pada saat yang
bersamaan tunduk pada determinisme. Kerangka determinisme ini merupakan
hukum umum yang mengatur proses perkembangan sosial dan sejarah, yang
menurut Hegel, cenderung ke arah pertentangan progresif sesuatu yang mutlak
atau ideal. Hal ini kemudian disebut Syarȋ′ati sebagai“gerak maju sejarah menuju
terwujudnya kesadaran akan Allah pada manusia.” Karena manusia sebagai
makhluk, merupakan manifestasi kehendak Allah, yaitu kehendak pada serba
kesadaran akan yang mutlak (Khalik). Di sisi lain, manusia di muka bumi ini
sebagai khalifah-Nya. Oleh karenanya sejarah tidak mungkin terjadi secara
kebetulan, peristiwa terjadi tanpa campur tangan Tuhan, tanpa tujuan, tanpa
25
Satu revolusi yang dicatat oleh beberapa sarjana tingkat dunia sebagai revolusi yang
paling spektakuler sepanjang sejarah dunia adalah revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh
Ayatullah Imam Khomeini di Iran. Namun di balik gemuruh revolusi Islam itu juga tak dapat
diabaikan peran besar salah satu aktor intelektual utamanya: Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati. Ia dilahirkan pada
1933 di Mazinan, Pinggiran kota Sabzevar, Iran. Dan meninggal pada 16 Mei 1977 di Inggris.
Ayahnya seorang orator nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik
anaknya. Syarȋ′ati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di
masa pra-revolusi Islam. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh
masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian. Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati mempelajari dan menghayati banyak
mazhab pemikiran filsafat, teologi, sosiologi dengan satu sudut pandang Islami. Sebagian orang
menyebutkan bahwa dia adalah Muslim Muhajir (yang berhijrah) yang muncul dari kedalaman
samudra misitisisme (tasawuf) timur, lalu mendaki ketinggian pesona gunung sains sosial Barat.
Namun tidak sampai terperangkap pesona itu, lalu dia kembali ke tengah-tengah kita dengan
semua permata yang didapat dari perjalanannya. Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati juga bukan seorang fanatik
reaksioner yang melawan apapun yang baru tanpa suatu ilmu pengetahuan; dia juga bukanlah
seorang “intelektual terbaratkan” yang meniru segala dari Barat tanpa pertimbangan yang
indipenden. Untuk memperjuangkan ideologinya Dr. ′Alȋ Syarȋ′ati menulis banyak buku. Dalam
semua tulisannya, dia berusaha menyajikan gambaran yang jernih dan asli tentang Islam. Dia
sangat percaya bahwa kaum intelektual dan generasi muda dapat dengan sukses merealisasikan
kebenaran keimanannya dan berupaya melakukan perubahan sosial dengan sukses. Di antara
karya-karyanya yaitu Haji, Islamologi, Refleksi Seorang Muslim yang Prihatin terhadap
Penderitaan Rakyat Tertindas dan banyak lagi karya-karyanya yang sampai saat ini masih diulas
dan dikaji oleh banyak kalangan. Ali Rahnema, ′Alȋ Syarȋ′ati: Guru, Penceramah,
Pemberontak,” dalam Ali Rahnema, ed., Para Perintis Zaman Baru Islam. Penerjemah
Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), h.205-222
40
maksud dan makna. Akan tetapi sejarah berawal dari titik tertentu dan harus
berakhir pada titik tertentu, dengan tujuan dan arah tertentu pula.26
Para penulis dan penulis Barat Modern seringkali menoleh pada mitologi
Yunani dalam usaha menemukan lebih jauh berbagai makna yang lebih jelas
dalam kaitannya dengan sejarah manusia. Mitos dewa-dewa Olympus, Jupiter,
Promotheus, Sisypus, Atlantus, Apollo, dan lain sebagainya penuh dengan
simbol-simbol dan renungan-renungan mendalam tentang sejarah manusia di
masa lalu yang jauh. Menurut Syarȋ′ati, dalam kitab suci Islam juga terdapat
berbagai cerita dan legenda serupa yang sarat dan kaya raya dengan idea-idea dan
simbol-simbol mendalam. Cerita tentang Qabil dan Habil yang diceritakan dalam
Qur’an merupakan salah satu cerita yang sangat dalam maknanya dalam
hubungan arti sejarah. Jika ditafsirkan secara simbolis cerita-cerita tersebut dapat
menguak makna yang sangat dalam di dalam sejarah.27
Qabil dan Habil adalah anak-anak Adam. Menurut Syarȋ′ati, apa yang
terjadi di antara keduanya merupakan suatu cerita penting yang mengandung arti
simbolik mendalam tentang awal sejarah manusia. Sumber konflik di antara Qabil
dan Habil adalah sebagai berikut : mereka telah dipertunangkan dengan saudara
perempuan mereka masing-masing. Tetapi Qabil tidak puas, ia lebih memilih
saudara perempuan yang telah diperuntukkan bagi Habil, daripada tunangannya
sendiri. Ketidakpuasannya berubah menjadi pemberontakan, dan ia menemukan
dirinya telah melanggar apa yang menjadi milik saudaranya. Seperti itulah
26
Ali Rahnema, “Ali Syari’ati: Guru, Penceramah, Pemberontak,” dalam Ali Rahnema,
ed., Para Perintis Zaman Baru Islam. Penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), h. 227
27
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais,
(Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1982), h. 38
41
dimulainya perang pertama antara kedua manusia itu. Dan demikianlah sejarah
manusia dimulai di muka bumi ini. Bila Adam merepresentasika jenis manusia
pertama, maka Qabil dan Habil mensimbolisasi permulaan sejarah manusia. 28
Mula-mula terjadilah suatu perdebatan dan perdebatan itu dihadapkan pada
Adam. Adam mendengarkan tuntutan masing-masing dan kemudian mengusulkan
agar
mereka
mempersembahkan
pengorbanan.
Barang
siapa
diterima
pengorbanannya akan mendapatkan saudara perempuan yang diperebutkan dan
yang kalah harus menerima hasilnya. Kedua belah pihak menyetujui syarat-syarat
yang diusulkan Adam. Habil mempersembahkan seekor onta muda yang gemuk,
hewan terbaik di antara ternaknya, yang sudah tentu diterima. Sedangkan Qabil
membawa seonggok gandum yang telah layu, sakit, dan tanpa isi, sebagai
pengorbanan di hadapan Tuhan. Tentu saja pengorbanan itu tidak diterima. Qabil
menemukan kegagalan lain ketika menyadari bahwa pengorbanannya tidak
diterima. Oleh karena itu ia menjadi penasaran dan semakin tidak puas, yang
mendorongnya semakin bertindak secara agresif sehingga ia memutuskan
membunuh saudaranya. Dan hal ini merupakan pertumpahan darah pertama dalam
sejarah manusia yang pertama, pembunuhan pertama yang dilakukan oleh saudara
atas saudaranya sendiri.29
Cerita tentang Qabil dan Habil menunjukkan bagaimana persatuan
kemanusiaan yang berasal dari orang tua yang sama berubah menjadi konflik dan
pertentangan abadi. Cinta sesama saudara berubah menjadi permusuhan,
persatuan menjadi perpecahan. Demikianlah halaman pertama sejarah dinodai
28
29
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. h. 39
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. h. 40
42
dengan pembunuhan yang berlanjut pertentangan, perang, kejahatan, segregasi,
dan fragmentasi sosial antara keturunan-keturunan Adam secara susul-menyusul.
Pertanyaannya kemudian, apakah sebab dari tindakan kekerasan yang pertama
ini?
Orang tidak dapat mengatakan bahwa lingkungan Qabil, keluarganya,
pendidikannya, dan masyarakatnya berbeda dari Habil. Namun perbedaan apakah
yang mengubah Qabil menjadi seorang pembunuh dan Habil menjadi seorang
yang saleh dan cinta damai? Perbedaan ini terletak pada pekerjaan mereka,
persembahan Qabil yang berupa seonggok gandum menunjukkan bahwa ia
seorang petani. Sedangkan persembahan Habil yang berupa seekor onta
menunjukkan bahwa ia seorang penggembala. Habil nampaknya mewakili tahap
sejarah eksistensi manusia tergantung pada alam, berburu, mencari ikan dan
menjinakkan binatang-binatang buas. Sebaliknya Qabil mewakili zaman
pemilikan pribadi dan tahap pertanian ketika sumber-sumber produksi dimonopoli
oleh sebuah kelas penguasa. Juga pada zaman monopolisme inilah perjuangan
untuk merebut kekuasaan sosial, ekonomik, dan kultural mulai mempengaruhi
masyarakat manusia. Sebagaimana kita ketahui, zaman pertama kehidupan
manusia di muka bumi adalah zaman pastoralisme (penggembalaan), zaman
berburu dan mencari ikan. Pada zaman ini tidak ada sesuatupun yang dimiliki
secara pribadi atau dimonopoli, oleh karena sumber-sumber produksi melimpah
terdapat di lautan, sungai-sungai, hutan, dan padang belantara. Alam merupakan
suatu pasar terbuka, penuh dengan berbagai karunia dan kekayaan yang tersedia
bagi semua orang untuk menikmatinya. Ini adalah zaman Habil dalam sejarah
43
ketika seluruh manusia secara bebas dapat menjangkau seluruh sumber-sumber
alam. Ketamakan, monopolisme, pemilikian pribadi, dan keakuan masih belum
terdapat dalam masyarakat manusia. Sebaliknya, Qabil mewakili periode sejarah
di mana alam, tanah Tuhan, dimiliki dan dinamakan dengan nama pemiliknya.
Dalam rangka menambah milik pribadinya, manusia kemudian memperlemah dan
merampas manusia-manusia lain sehingga mereka dapat dijadikan hamba dan
budaknya. Karena manusia ingin memiliki alam, masyarakat manusia terbagi
menjadi dua, antara tuan dan budak, antara penguasa dan yang dikuasai, antara
penindas dan yang tertidas, antara pembunuh dan yang jadi korban.30
Dengan demikian menurut Syarȋ′ati, sangat jelas bahwa pembunuhan
pertama itu bersesuaian dengan zaman pemilikan pribadi dan monopolisme,
ketika persatuan kemanusiaan mengalami disintegrasi, dan ketika hubungan
persaudaraan merosot menjadi aksi-aksi pembunuhan. Dengan pembunuhan atas
Habil, sejarah berubah dari tahap persatuan ke tahap dualitas, dari tahap
kehidupan pastoral dan komunal ke arah kehidupan berdasarkan individualisme
dan monopolisme. Pada umumnya, dengan matinya Habil, sejarah mulai berubah
memasuki zaman Qabil –suatu periode yang mengakhiri kehidupan tanpa dosa
dan pastoralisme periode Habil. Sejak Qabil hidup sepeninggal Habil, kita sayang
sekali ditakdirkan menjadi anak-cucu Qabil.
Dengan
berlangsungnya
kehidupan
Qabil,
lebih
lanjut
Shariati
menjelaskan, maka tradisi Qabil terus berlangsung dan mulailah sebuah periode
sejarah di muka bumi, yang mempengaruhi masyarakat manusia dan kebudayaan
30
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais, h. 41
44
pada masa-masa mendatang. Namun Qabil lebih dari sekedar manusia. Ia adalah
agama yang tidak dimaksudkan untuk mengingkari Tuhan atau meragukan
eksistensi-Nya di jagat raya. Walaupun agama ini juga merupakan agama yang
dipeluk Adam, Qabil menggunakannya sedemikian rupa untuk membenarkan dan
mendukung kepentingan-kepentingan dan kebutuhannya. Demikianlah bermula
tradisi “Qabili” dalam permulaan agama Adam. Sebaliknya dalam kehidupan
Habil dan dalam tradisi Habil agama ini tetap terus menampilkan kebenaran dan
kebajikan-kebajikan manusia. Jadi selalu terdapat perjuangan terus-menerus
antara dua tradisi atau agama sepanjang zaman, dan masyarakat manusia hampirhampir mustahil tanpa dipengaruhi oleh konflik dualistik ini.31
Kehidupan era “Qabilian” ini adalah era kehidupan di mana manusia
bermusuhan dengan manusia, saudara membunuh saudara, kemanusiaan hidup
dalam masyarakat yang terbagi-bagi dan bermusuhan. Qabil dan kelasnya selalu
berusaha merampas massa agar dapat memperkuat kekuasaan dan memperkaya
elit yang sedang memerintah. Massa kemanusiaan yang luas dan banyak telah
ditindas dan diperbudak supaya anak-cucu Qabil dapat hidup dalam kenikmatan
berlebihan.
Akan tetapi Syarȋ′ati memiliki keyakinan, bahwa di kalangan umat
manusia akan muncul sebuah kesadaran baru tentang keesaan akan menunjukkan
komitmennya untuk memerangi kehidupan model Qabilian sehingga manusia
akan memperoleh kembali keesaannya yang orisinal. Kesadaran baru tersebut
mencurahkan dirinya untuk memulihkan kembali makna spiritual bagi alam,
31
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais, h. 42
45
untuk menolong manusia mencapai kesadaran keagamaannya, dan untuk
membangunkan manusia pada misinya sebagai wakil atau khalifah Tuhan di muka
bumi sebagai pembentuk nasibnya sendiri dan nasib seluruh umat manusia.
Pandangan hidup yang utuh berdasarkan keesaan pada hakekatnya bertentangan
dengan berbagai inkonsistensi dalam masyarakat, dalam umat manusia, dalam
dunia eksistensi, antara dunia fisis dan metafisis. Dalam kitab-kitab suci agama
monoteistik, manusia dan alam dilihat sebagai memiliki makna, tujuan, dan
kesadaran diri. Alam semesta tidak dituduh sebagai absurd, tanpa maksud, dan
bersikap tak acuh pada kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia. Manusia dilihat
sebagai makhluk merdeka dan memiliki potensialitas tanpa batas. Nasibnya
ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Dalam
bahasa Qur’an, “tauhid” (keesaan) memberkati manusia dengan kebijakan dan
kebenaran. 32
D. FILSAFAT SEJARAH DI BARAT
Sebagaimana penulis kemukakan di bab pertama, bahwa filsafat sejarah
di Barat mengalami perkembangan yang menakjubkan. Perkembangan tersebut
ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir besar di bidang ini. Antara lain, St.
Agustinus (1354-1430), terkenal dengan Paham Sejarah Teologis, August Comte
(1798-1854), dengan Filsafat Positivisme Hukum, Herbert Spencer (1820-1903),
dengan teori evolusi –di samping oyang dikembangkan oleh Darwin Oswald
Spengler (1880-1936), terkenal dengan teori Daur Kultur Sejarahnya yaitu masa
32
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah Dr.M. Amien Rais, h. 59
46
timbul, tumbuh, menua, dan hancur, G.W.F. Hegel (1770-1831), terkenal dengan
Filsafat Sejarah Spekulatif, Filsafat Sejarah Formal dan Material, Karl Marx
(1818-1883) dengan Materialisme Historisnya, dan Arnold J. Toynbee (18891975) dengan teorinya tentang Tantangan dan Jawaban (Challenge and Response)
atau yang terkenal dengan Hukum Kebudayaan dan pada hakekatnya juga disebut
Hukum Sejarah.
Hanya saja pada pembahasan pemikiran filsafat sejarah di Barat ini,
penulis mewakilinya dengan menuliskan gagasan Karl Marx, karena ia dianggap
sebagai pelanjut dan penerus teori Hegel, yang di sana-sini telah dimodifikasi
secara signifikan. Di samping itu, di dalam skripsi ini, penulis memaparkan kritik
Muthahhari terhadap materialisme historis Karl Marx sehingga pembaca dapat
menelaah dengan seksama perdebatan dua pemikir tersebut mengenai filsafat
sejarah.
Sekitar abad ke delapan belas dan awal ke sembilan belas, Marx33
mendapatkan dirinya dalam lingkungan semangat Romantisisme34
33
yang
Karl Heinrich Marx, putera tertua dari pasangan Heinrich dan Henrietta Marx,
dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier, Rheinland Jerman. Dan meninggal pada tanggal 17
Maret 1883. Ia adalah pemikir abad ke sembilan belas yang memiliki pengaruh langsung,
permanen dan kuat terhadap umat manusia. Baik selama hidup maupun setelah kematiannya, dia
membuktikan kekuatan pengaruh moral dan intelektualnya terhadap para pengikutnya, yang
kekuatannya unik bahkan di zaman keemasan demokratik nasionalisme, sebuah zaman yang
memunculkan pahlawan-pahlawan dan tokoh-tokoh martir romantik yang hampir-hampir
melegenda, dan kehidupan dan kata-katanya mendominasi imajinasi massa dan menciptakan
sebuah tradisi revolusioner baru di Eropa. Das Kapital, karya besar Karl Marx, membawanya pada
ketenaran abadi, buku tersebut menjelma menjadi kitab suci kaum buruh. Karena memang Das
Kapital memiiliki pengaruh yang luar biasa terhadap kaum proletar di ujung dunia mana pun,
bahkan Isaiah Berlin mengatakan bahwa di antara lembaran-lembaran buku ini tersurat nasib yang
tak bisa disangkal tentang tenggelamnya kapitalisme. Selain itu, Manifesto Komunis yang lahir
satu setengah abad silam adalah buku yang sangat terkenal dan tetap paling banyak dibaca di
seluruh dunia –setara dengan Bible. Berbeda dengan Das Kapital Das Kapital yang cenderung
ilmiah dan analitis, Manifesto Komunis lebih tepat disebut sebagai pamflet. Sampai kini, kita pun
masih bisa menyaksikan teori-teori Marxian yang tidak tergoyahkan seperti: alienasi, penindasan,
47
berkembang di Eropa. Romantisisme adalah sebuah situasi dan tradisi pemikiran
filsafat yang telah mengantarkan dan membesarkan Marx. Hanya saja kemudian
situasi dan tradisi itu kelihatan menjadi cemeti bagi Marx, karena penafsiran
seperti itu dianggap telah menjerumuskan manusia pada keterasingan (alienasi),
tentang diri dan pemikirannya sendiri. Ada beberapa pendekatan-pendekatan yang
dimaksud (sebelum Marx) akan penulis ungkapkan sebagai berikut. Pertama,
penafsiran sejarah dilakukan melalui pendekatan agama. Aliran ini mengatakan
bahwa sumber penggerak dari seluruh kejadian adalah berlakunya ketentuan
Tuhan. Raga serta corak perkembangan manusia tidak lain adalah melaksanakan
kehendak Tuhan.
Kelemahan dari pendekatan
ini adalah tidak dapat
menghindarkan diri dari kenyataan dari kenyataan bahwa manusia adalah tidak
pernah secara pasti mengetahui kemauan Tuhan. Kedua, penafsiran sejarah secara
politis, yakni dengan mengatakan bahwa penggerak sejarah adalah kaisar-kaisar,
raja, para ksatria dan serdadu, pembuat undang-undang serta politisi. Erat
kaitannya dengan penafsiran ini adalah pendekatan dari sudut kepahlawanan.
Thomas Carlyle adalah orang tersohor yang memasyarakatkan tafsiran jenis ini.
Rumusannya yang terkenal adalah sejarah dunia hanyalah biografi dari orang-
perjuangan kelas, atau kritik ideologi. Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx. Penerjemah Eri
Setiyawati, Alkhatab, Silvester G Sukur (Surabaya: Pustaka Promothea, 2000), h. 1-10
34
Romantisisme, suatu gerakan merentang dari akhir abad ke delapan belas hingga
pertengahan abad ke sembilan belas. Namun pengaruhnya masih dirasakan dalam dunia modern.
Romantisisme ini meliputi dan mempengaruhi kehidupan spiritual dalam segala dimensinya. Ia
mencita-citakan kembalinya manusia harmoni dan keselarasan sempurna, serta sekaligus
menginginkan terciptanya suatu keadaan di mana individu dan masyarakat kembali menyatu tanpa
campur tangan penengah. Dengan demikian, romantisisme dengan tegas menolak tradisi
liberalisme, beserta teori kontrak sosial yang dipopulerkan oleh pemikir seperi Jean Jacques
Rousseau. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedian, 2005), h. 959.
48
orang besar.35 Kelompok ini dapat mengambil bentuk berupa manusia yang
bertindak sebagai dewa, sebagai nabi, orang suci, penyair, penulis dan sebagai
raja. Kelemahan utama penafsiran sejarah macam ini karena terlalu menekankan
peranan sosok perseorangan dan akibatnya melalaikan aspek kultural, ekonomi,
sosial, dan agama.
Cara penafsiran sejarah sebelum Marx yang ketiga adalah dengan
mengedepankan peranan ide dan gagasan sebagai sebab utama timbulnya proses
sejarah. Menurut corak penafsiran sejarah ini, bahwa sebab utama timbulnya
proses sejarah adalah karena ide atau gagasan dan pemikiran seseorang. Ide atau
gagasan seorang pemikir mampu menggerakkan dan memunculkan peristiwa
sejarah, baik dalam wujud damai maupun perang, dalam kondisi stabil atau tidak.
Terakhir, yaitu penafsiran sejarah dengan melihat pergolakan dan peperangan
yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. Fenomena dari setiap kejadian
sejarah dikembalikan pada silih bergantinya pergolakan dan peperangan.36
1. Penafsiran Sejarah Karl Marx
Marx dengan materialisme historisnya bertumpu pada dalil bahwa
produksi dan distribusi barang-barang serta jasa merupakan dasar untuk
membantu manusia mengembangkan eksistensinya. Dengan kata lain, penafsiran
sejarah dari aspek ekonomi ini menempatkan pertukaran barang dan jasa sebagai
syarat untuk menata segenap lembaga sosial yang ada. Menurut Marx, masyarakat
harus selalu dipahami dalam kerangka struktur, yakni terdiri dari suprastruktur
(lapisan atas) dan infrastruktur (lapisan bawah). Suprastruktur merupakan cermin
35
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, Materialisme Dialektis dan
Materialisme Historis (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 130
36
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 131-132
49
kristalisasi lapisan bawah yang didalamnya memuat bidang sosial, budaya, politik,
filsafat, agama, dan kesenian. Sedang motor penggerak dari masyarakat dimaksud
adalah terungkap dalam peristiwa ekonomi. Jadi basis gerak masyarakat
dikembalikan pada kondisi-kondisi material. Kehidupan sosial ekonomi (man
social being) ditempatkan sebagai perangkat yang mendasari setiap kiprah
kesadaran manusia (man social consciousness). Dengan kata lain, faktor ekonomi
selalu menjadi penentu, sedang faktor kesadaran harus ditentukan oleh kondisi
material yang tercipta.37
a. Materialisme Dialektis
Materialisme dialektis bertitik tolak dari materi sebagai satu-satunya
kenyataan. Karl Marx mengartikan dialektika materialisme sebagai
keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus tanpa ada yang
mengantari. Dari proses itu kemudian timbul kesadaran melalui proses
pertentangan. Materi yang dimaksud menjadi sumber keberadaan bendabenda alamiah, senantiasa bergerak dan berubah tanpa henti-hentinya.
Dalam pergerakan dan perubahan itu terjadi perkembangan menuju
tingkatan yang lebih tinggi. Tidak melalui proses yang lamban melainkan
secara dialektis yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang pada
hakikatnya sudah mengandung benih perkembangan itu sendiri.
Menurut teori ini, akan timbul benda-benda lapisan tinggi dari
lapisan rendah, yaitu benda hidup dari benda tidak hidup, manusia yang
berkesadaran dari binatang tanpa menunjuk kepada adanya kekuatan cipta
37
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 133
50
kreatif dari luar. Proses aksi serta reaksi di dalam alam dapat diterangkan
sebagai manifestasi dari gerakan materi yang berdialektis. Dengan kata lain,
dialektika materialisme tidak lain adalah sejarah perkembangan alam
berdasarkan benih yang hadir dari kekuatan yang ada pada dirinya. 38
Dua gagasan pokok yang diambil oleh Karl Marx dari Hegel, yaitu
terjadinya pertentangan antara segi-segi yang berlawanan dan gagasan
bahwa segala sesuatu berkembang terus. Dari dua basis ini dipergunakan
kemudian untuk perspektif lain, sebab teori asal hukum dialektika terbatas
berlakunya pada dunia abstrak yang penerjemahannya mengambil wadah
dalam pikiran manusia. Marx justru membalik, bahwa dialektika itu
berlakunya di dalam dunia yang nyata (real), materi atau dunia benda
kongkrit. Dengan kata lain, segala sesuatu bersifat rohani merupakan buah
hasil dari materi atau sebaliknya.39
Dari pemikiran tersebut, didapatkan gagasan bahwa setiap benda
atau keadaan dalam dirinya sendiri menimbulkan segi-segi berlawanan dan
bertentangan satu sama lain. Kejadian ini adalah awal dari kontradiksi intern
yang menyertai setiap fenomena kejadian kebendaan. Pertarungan antara
keadaan yang bertentangan akan melahirkan keseimbangan dan akhirnya
akan muncul benda atau keadaan yang telah dinegasikan.
Materialisme Marx merupakan kontinuitas dari gagasan Hegel yang
kemudian
dimodifikasi
dari corak triadik
dialektis
Hegel.
Marx
mengharapkan semua gagasan baru yang dimunculkan harus berintegrasi
38
39
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h.110
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1981), h. 80
51
langsung dengan kondisi zamannya. Oleh karenanya, arah filsafatnya
cenderung pada praktis sosial revolusioner. Menurut Marx, filsafat dialektis
bukan lagi bertugas memahami perihal keterasingan atau alienasi, tetapi
upaya bagaimana menghapus keterasingan, tidak sekedar memahami
masyarakat berkelas tempat bersemi ketidakadilan dan penghisapan, akan
tetapi bagaimana ketidakadilan dan penghisapan dihapuskan. Berdasarkan
kecenderungan ini, maka tinjauan materialisme dialektis menghasilkan
kenyataan bahwa kebutuhan utama untuk melibatkan subyek dalam
filsafatnya, yaitu memahami alam kebendaan lewat manusia yaitu manusia
dalam dimensi sosialnya yang hidup dalam suatu masyarakat yang
berpraksis. Aspek subjek dan objek bersatupadu dalam filsafat yang
mengarahkan perhatian kepada hasil aktivitas manusia. Dengan kata lain,
benda dan aktivitas subyektif mendapatkan tempat tertinggi dalam
persatuannya. Menurutnya juga, seorang filosof bukan hanya mengubah
pengertiannya tentang dunia, akan tetapi bagaimana mengubah dunia itu
sendiri.40
b. Materialisme Historis
Dalam materialisme historis diungkapkan bahwa manusia hanya
dapat dipahami selama ia ditempatkan dalam konteks sejarah. Manusia pada
hakekatnya adalah insan bersejarah. Selanjutnya bila diandaikan bahwa
sejarah terpatri dalam peristiwa-peristiwa masyarakat, maka seyogyanya
pada saat yang sama sejarah juga diletakkan dalam keterkaitannya dengan
40
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 35
52
masyarakat. Manusia sebagai pemangku sejarah tidak lain hanyalah
keseluruhan relasi-relasi masyarakat.
Sebagaimana penulis kemukakan di atas, bahwa teori materialisme
historis bertumpu pada dalil bahwa produksi dan distribusi barang-barang
serta jasa merupakan dasar untuk membantu manusia mengembangkan
eksistensinya. Dengan kata lain, penafsiran sejarah dari aspek ekonomi ini
menempatkan pertukaran barang dan jasa sebagai syarat untuk menata
segenap lembaga sosial yang ada. Masyarakat harus selalu dipahami dalam
kerangka struktur, yakni terdiri suprastruktur dan infrastruktur. Jadi basis
gerak masyarakat dikembalikan pada kondisi-kondisi material.
Bertolak dari interpretasi ekonomi terhadap sejarah inilah yang kelak
dirinci lebih lanjut dalam dinamika perubahan sosial kekuatan produksi dan
hubungan produksi, maka Marx menurunkan tesis sejarah perkembangan
masyarakat, yaitu sejarah kemanusiaan yang berubah dari satu formasi
ekonomi ke formasi yang lebih baru. Meningkat dalam lompatan-lompatan
yang revolusioner. Tahap perkembangan yang dimaksud adalah:
Pertama,41 masyarakat komunal primitif yaitu tahap masyarakat
yang memakai alat-alat bekerja yang sifatnya sangat sederhana. Alat
produksi itu bukan milik pribadi, tetapi menjadi milik komunal. Patut
dicatat bahwa dalam masyarakat primitif ini belum dikenal surplus produksi
di atas tingkat konsumsi, karena setiap orang masih mampu mencukupi
kebutuhannya sendiri. Keadaan ini tidak berlangsung lama sebab
41
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 135
53
masyarakat mulai menciptakan alat-alat yang dapat memperbesar produksi –
periode zaman batu lalu meloncat kepada penggunaan tembaga dan besi.
Perbaikan alat produksi pada saat yang sama menimbulkan perubahanperubahan sosial, pada titik inilah pembagian kerja dalam berproduksi tidak
dapat dihindari. Pertukaran barang-barang mulai berkembang luas, meski
mekanisme pasar yang diciptakan masih sederhana. Akhirnya keperluan
menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan orang lain meningkat,
diperlukan kemudian kaum pekerja dalam rangka produksi. Hal ini berarti
mulai tercipta hubungan produksi (relation of production) dalam
masyarakat komunal itu.
Kedua,42 masyarakat perbudakan (slavery), tercipta berkat hubungan
produksi antara orang-orang yang memiliki alat-alat produksi dengan orang
yang hanya memiliki tenaga kerja. Bermula dari cara kerja model ini
menyebabkan berlipatgandanya keuntungan pemilik produksi. Budak yang
bekerja diberi upah yang minim untuk mempertahankan tingkat kerjanya
dan supaya tidak mati. Bila pembagian kerja dan spesialisasi menerobos
bidang-bidang kehidupan seperti pekerjaan tangan dan pertanian, maka
spesialisasi itu sekaligus mendorong meningkatkan keterampilan dan
perbaikan
alat-alat
produksi.
Marx
menilai
bahwa
pada
tingkat
perkembangan masyarakat ini, nafkah kerja budak sudah di bawah standar
murah dan di saat yang sama pemilik alat-alat produksi tidak mau
memperbaiki alat produksi yang dimilikinya. Namun pada saat itu pula
42
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 136
54
budak makin lama makin sadar akan kedudukannya (akan manfaat
tenaganya). Mulai tidak ketidakpuasan atas kedudukannya di dalam
hubungan produksi. Ketidakpuasan ini menjadi awal perselisihan dua
kelompok masyarkat, budak dan pemilik alat produksi.
Ketiga,43 tingkat perkembangan masyarakat feodal bermula setelah
runtuhnya masyarakat perbudakan. Masyarakat baru ini ditandai dengan
pertentangan yang muncul di dalamnya. Pemilikan alat produksi terpusat
pada kaum bangsawan, khususnya pemilik tanah. Para buruh tani yang
berasal dari kelas budak yang dimerdekakan. Mereka mengerjakan tanah
untuk kaum feodal, kemudian setelah itu mengerjakan tanah miliknya
sendiri. Hubungan produksi macam ini mendorong adanya perbaikan
produksi dan cara produksi di sektor pertanian, maksudnya agar petani
menghasilkan pendapatan yang layak. Dengan demikian, sistem feodal
sebenarnya mengubah cara-cara kehidupan sosial. Dari kerangka ini lahir
dua golongan kelas di dalam masyarakat –puncaknya menjelma dalam
sistem kapitalis yaitu kelas feodal tuan tanah yang menguasai perhubungan
sosial dan kelas petani yang bertugas melayani tuan tanah dimaksud.
Kepentingan kedua kelas ini berbeda-beda, kaum feodal lebih
memikirkan keuntungan yang lebih besar karena itu mereka memperlebar
sektor penghasilannya lewat pabrik-pabrik. Akibatnya muncul pedagangpedagang yang mencari pasar dan melemparkan hasil-hasil produksi yang
selalu bertambah. Fenomena baru yang tidak dapat dibendung kehadirannya
43
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 137
55
yaitu terbentuknya alat produksi dan sistem kapitalis yang menghendaki
hapusnya masyarakat feodalisme. Kelas kaya baru ini (kelas borjuis) yang
memiliki alat-alat produksi menempuh segala cara untuk terbentuknya pasar
bebas yang menyangkut didalamnya sektor buruh, sistem kerja, dan
penggajian maupun ketentuan tarip pertukaran barang seperti yang
diberlakukan dalam masyarakat feodalis. Proses dialektika sejarah ini pada
akhirnya membuktikan bahwa sistem masyarakat feodal memang tidak
mampu membendung lahirnya masyarakat kapitalis.
Keempat,
masyarakat
kapitalis,
seperti
telah
disebutkan
menghendaki kebebasan dalam mekanisme perekonomian. Hubungan
produksi dalam sistem ini didasarkan pada pemilikan individual masingmasing orang terhadap alat produksi. Kelas kapitalis memperkerjakan kaum
buruh yang terpaksa menjual tenaganya karena tidak memiliki pabrik dan
alat produksi lainnya, maka dalam sistem kapitalis terlihat adanya fenomena
baru yaitu, hubungan produksi yang memungkinkan terus menerus
meningkatnya alat produksi, caranya adalah memperbaharui pabrik-pabrik,
modernisasi mesin-mesin dengan menggunakan tenaga uap dan listrik.
Akibat langsung dari sistem macam ini adalah kerja menjadi terspesialisasi,
aktifitas persaingan mencari pasaran hasil produksi menjadi tugas utama
kaum kapitalis, sedang pada saat yang sama upah dan kesejahteraan yang
tidak kunjung datang menjadi dambaan kaum pekerja. 44
44
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h. 137
56
Pada analisis selanjutnya, ditemukan dua kelas dalam masyarakat
yang kepentingannya saling bertentangan, kelas proletar dan kelas borjuis
yang mewakili kaum kapitalis pemilik alat produksi. Perbedaan kepentingan
ini makin lama makin memuncak yang artinya muncul apa yang disebut
pertentangan kelas. Perjuangan kelas dan pertentangan kelas berakhir
dengan terbentuknya masyarakat tanpa perbedaan kelas. Ciri masyarakat
utama ini adalah pemilikan yang sifatnya sosial terhadap alat-alat produksi.
Kelima, masyarakat sosialis, yang dipahami sebagai formulasi
terakhir dari lima tahap perkembangan sejarah Marx adalah masyarakat
dengan sistem pemilikan produksi yang disandarkan atas hak milik sosial
(social ownership). Hubungan produksi merupakan jalinan kerjasama dan
saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan diri dari
eksploitasi. Jadi, sistem sosialis ini dirancang untuk memberi kebebasan
bagi manusia, untuk mencapai harkat martabatnya dengan tanpa penindasan.
Atau dengan kata lain, tahap ini menginginkan terhapusnya kelas-kelas
dalam masyarakat. Hanya saja menurut Marx, untuk mencapai masyarakat
tanpa kelas, bukanlah pekerjaan mudah. Sebab kelas kapitalis dan borjuis itu
sudah mengakar dalam gerak kehidupan masyarakat secara luas.
Menurutnya, untuk pencapaian ke arah itu, haruslah dirubah dari sistem itu
sendiri, di samping dengan cara revolusioner.45
Menurut Marx, dari kelima tahapan perkembangan sejarah ini
ditemukan dua faktor kunci yang mendasari proses di dalamnya;
45
Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, h.138
57
pertama,kekuatan-kekuatan produksi, dan kedua, adalah hubunganhubungan produksi. Kekuatan produksi meliputi orang yang bekerja, alatalat produksi yang dipergunakan dalam proses produksi. Sedangkan
hubungan-hubungan produksi adalah hubungan manusia dengan alam,
hubungan antara pekerja dengan tuannya (kaum kapitalis atau kaum
borjuis), yang dalam hubungan itu, berakhir dengan pertentangan yang
didasari oleh perbedaan dan dialektika di antara kepentingan mereka.
BAB IV
PEMIKIRAN MURTADHȂ MUTHTHAHHARȊ TENTANG
FILSAFAT SEJARAH
A. Pengertian Sejarah dan Filsafat Sejarah
Menurut Muththahharȋ, pengertian sejarah
dapat dilihat dalam tiga
cabang yang satu sama lain saling berhubungan erat. Pertama, sejarah adalah
cabang dari pengetahuan tentang peristiwa masa lalu dan kondisi yang berkaitan
dengan masyarakat masa lalu. Cabang pengetahuan yang menjelaskan tentang
kejadian, peristiwa, dan masyarakat masa lalu disebut dengan sejarah. Begitu juga
dengan biografi, kisah penaklukan, dan kisah orang-orang termasyhur yang
disusun semua bangsa, termasuk dalam kategori ini.
Dalam pengertian ini, Muththahharȋ secara ringkas memberikan rincian
sebagai berikut, pertama bahwa arti sejarah adalah pengetahuan tentang masalah
individu dan peristiwa yang berkenaan dengan individu bukan pengetahuan
tentang hukum umum atau aturan pergaulan. Kedua, sejarah adalah ilmu rawian
atau transferan. Ketiga, sejarah adalah pengetahuan tentang “wujud” bukan
tentang “menjadi”. Keempat, sejarah berkaitan dengan masa lalu, bukan dengan
masa sekarang.1
Kedua, dalam pengertian lain, arti sejarah adalah cabang pengetahuan
tentang aturan dan tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat di masa lalu.
1
Murtadhâ Muththahharȋ, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat
Raya. Penerjemah Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera, 2002), h. 303. Martyr Murtadâ Muthahhari,
Society and History. Translator Mahliqâ Qarâ’i (Jakarta: Islamic Culture and Relations
Organization), p.50
58
59
Aturan dan tradisi ini disimpulkan dari studi dan analisis atas peristiwa masa lalu.
Subjek atau pokok persoalan yang dibahasnya yaitu peristiwa dan kejadian masa
lalu yang berfungsi sebagai pendahuluan untuk cabang sejarah ini. Sesungguhnya
peristiwa masa lalu yang relevan dengan sejarah dalam pengertian seperti ini,
dapat
disamakan
dengan
material
yang
dikumpulkan
fisikawan
di
laboratoriumnya untuk ditelaah, dianalisis, dan dieksperimen dengan tujuan
mengetahui karakteristik dan mengetahui hukum umum yang berkaitan dengan
material itu. Dalam pengertian kedua ini, pekerjaan sejarawan adalah menemukan
karakter peristiwa sejarah dan mengetahui hubungan sebab-akibatnya sehingga
dapat disimpulkan beberapa aturan umum yang berlaku pada semua peristiwa
serupa di masa lalu dan sekarang. Cabang sejarah ini oleh Muththahharȋ disebut
“sejarah ilmiah”.2
Peristiwa masa lalu menjadi bahan dasar dalam sejarah ilmiah, ia menjadi
objek yang ditelaah dan dianalisis untuk diambil sebuah aturan umum dari
peristiwa tersebut. Hal ini tidak saja menjadi dokumen sejarah tetapi juga
bermanfaat untuk dijadikan sebagai pisau analisis untuk mengamati peristiwaperistiwa yang terjadi saat ini dan yang akan datang. Sejarah ilmiah bermanfaat
sebagai sumber pengetahuan, dan membantu manusia mengendalikan masa
depannya.
Ada perbedaan yang mencolok antara tugas peneliti sejarah ilmiah dengan
tugas peneliti ilmu alam. Ilmuwan alam dalam penyelidikan bahan-bahan
penelitiannya merupakan suatu rantai kejadian nyata dan dapat dibuktikan, dan
2
Murtadha Muththahharȋ, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat
Raya, h. 304
60
karenanya seluruh penyelidikan, analisis dan hasilnya tentu dapat dirasa dan
dibuktikan secara bendawi dengan berulang kali. Adapun bahan telaah ilmuwan
sejarah ilmiah adalah peristiwa di masa lalu itu sendiri. Sehingga bahan
penyelidikannya
pun bahan
yang tidak ada
lagi
di masa
sekarang.
Penyelidikannya berdasarkan setumpuk catatan dan jawaban tentang rangkaian
peristiwa masa lalu. Jadi, analisis sejarah atau sejarawan dalam kerja ilmiahnya
berdasarkan pada sejauh itu bersifat logis dan rasional, bukan berdasarkan pada
bukti dari luar yang dapat diuji kebenarannya. Dengan begitu sejarawan membuat
analisisnya di laboratorium pikiran dan akalnya, dengan peralatan logika dan
penyimpulan.
Ketiga, kata “sejarah” dalam pengertian ketiga digunakan untuk
menunjukkan filsafat sejarah, yaitu pengetahuan tentang perkembangan dan
hukum-hukum yang mengatur perubahan masyarakat dari tahap ke tahap. Dengan
kata lain, filsafat sejarah menjelaskan tentang “menjadi”-nya masyarakat, bukan
tentang “wujud” masyarakat saja. Jadi, sejarah ilmiah yang menjadi subjeknya
adalah kemaujudan masyarakat. Sedangkan subjek filsafat sejarah adalah tentang
“menjadi” masyarakat yang menunjukkan gerak.3
Sejarah dalam makna filsafat sejarah ini merupakan telaah tentang evolusi4
masyarakat, dari satu tahap ke tahap lain. Ia tidak hanya merupakan pengetahuan
3
Murtadhâ Muththahharȋ, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat
Raya. Penerjemah Ilyas Hasan, h. 305
4
Muthahhari memberikan pengertian secara khusus tentang makna evolusi, beliau berujar
banyak hal pada awalnya kelihatan sedemikian jelas sehingga tidak membutuhkan definisi. Tetapi
ketika seseorang mencoba mendefinisikannya, ia menghadapi kesukaran dan berbagai macam
kesulitan. Pertama-tama beliau menjelaskan perbedaan antara evolusi dan kemajuan (progress).
Apakah kemajuan sama dengan evolusi, dan apakah evolusi identik dengan kemajuan?
Menurutnya, kedua kata itu mempunyai satu perbedaan dan anda dapat menguji penggunannya.
Kita kadang-kadang berbicara tentang sebuah penyakit yang sedang maju, tetapi kita tidak
61
tentang keberadaan masyarakat pada satu tahap tertentu, tetapi pada semua tahap.
Filsafat sejarah menelaah masyarakat secara terus menerus yang berasal dari masa
lampau dan masa mendatang.
Muththahharȋ lebih lanjut menjelaskan di dalam buku Manusia dan Alam
Semesta tentang bagaimana mungkin pada masyarakat memiliki dua kualitas
sekaligus yakni “wujud” dan “menjadi” di mana kedua kualitas tersebut bertolak
belakang dalam maknanya sehingga mustahil memadukan dua kualitas ini, karena
“wujud” menunjukkan kemandekan, sedangkan “menjadi” menunjukkan gerak.
Masyarakat hanya bisa memiliki satu dari dua kulitas ini. Gambaran yang kita
bentuk mengenai masyarakat, dapat melukiskan “wujud” atau “menjadi”.
mengatakannya sedang berkembang. Jika satu pasukan sedang bertempur di sebuah daerah yang
salah satu bagiannya mereka duduki, kita mengatakan bahwa pasukan tersebut sedang mendapat
kemajuan, tetapi kita tidak mengatakan bahwa mereka sedang berkembang. Mengapa tidak?
Karena terdapat pengertian yang mulia dalam evolusi: evolusi merupakan suatu gerak menaik,
gerak vertikal, dari level yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Tetapi kemajuan selalu
terjadi pada level horizontal. Ketika sebuah pasukan menduduki suatu daerah dan menambah
wilayah-wilayah yang mereka miliki, kita mengatakan pasukan itu maju, yang berarti pasukan itu
telah bergerak maju tetapi masih pada tahap yang sama dari posisi sebelumnya. Mengapa kita
tidak mengatakan pasukan itu berkembang? Karena dalam evolusi terdapat ide tentang kemuliaan
(keagungan). Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang evolusi sosial, hal itu berarti
pengagungan dimensi sosial manusia dan tidak hanya kemajuannya. Banyak hal yang dapat
dianggap sebagai kemajuan bagi manusia dan masyarakat tanpa adanya evolusi dan pemuliaan
bagi masyarakat manusia. Kita menyatakan ini untuk menunjukkan bahwa jika sejumlah sarjana
menyatakan keraguan mengenai keagungan kemajuan semacam itu untuk disebut sebagai suatu
evolusi, pandangan mereka itu bukan tanpa dasar. Walaupun kita tidak menyetujui pandangan
mereka, namun apa yang mereka nyatakan tidaklah secara keseluruhannya tidak ada artinya. Oleh
karena itu, terdapat perbedaan antara evolusi di satu sisi dan kemajuan dan perkembangan di sisi
lain; karena kemajuan dan perkembangan sangat mirip artinya.
Di samping itu Muththahharȋ menguraikan tentang perbedaan sempurna dan lengkap
yang tentu saja terdapat keterkaitan dengan penjelasan di atas. Jika ada suatu benda terdiri atas
sejumlah bagian-bagian seperti sebuah bangunan dan atau mobil, bagian-bagiannya yang penting
tidak ada di dalamnya, kita mengatakan hal itu tidak sempurna. Tetapi jika kita menempatkan
bagian terakhir dari benda itu di dalamnya, maka kita dapat mengatakan bahwa hal itu sebagai
‘lengkap’. Sebagai perbandingannya, evolusi mempunyai banyak fase dan tingkatan. Jika seorang
anak dilahirkan dalam keadaan cacat tubuh, kita memandangnya sebagai cacat; tetapi bahkan jika
ia dilahirkan denga anggota tubuh yang lngkap, ia masih dipandang cacat dari pandangan yang
lain; ia harus melewati banyak tahap evolusi dalam pendidikannya yang baginya merupakan satu
bentuk proses pemuliaan dan pendakian yang dicapai lewat tingkatan-tingkatan dan tahapan.
Murtadha Muthahhari, Menguak Masa Depan Umat Manusia Pendekatan Filsafat Sejarah.
Penerjemah Afif Muhammad, Masykur Ab, Fauzi Siregar, A.Rifa’i Hasan (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001), h. 20-21
62
Muththahharȋ mengemukakan dengan baik dan lengkap bahwasanya
gambar mengenai dunia dan masyarakat sebagai bagian dari dunia pada umumnya
bisa statis atau dinamis. Kalau statis, maka berkualitas “wujud”, bukan “menjadi”.
Dan kalau dinamis, maka berkualitas “menjadi”, bukan “wujud”. Berdasarkan ini
ternyata majhab filsafat beragam. Satu sistem filsafat mempercayai “wujud”,
sedangkan sistem yang lain mempercayai “menjadi”. Majhab yang mempercayai
“wujud” berpandangan bahwa “wujud” dan “non-wujud” eksistensinya tak
mungkin serentak, karena keduanya bertentangan, sedangkan dua hal yang
bertentangan eksistensinya tak mungkin serentak. Kalau “wujud” ada, maka “nonwujud” tidak ada. Jika “non-wujud” ada, maka “wujud” tak ada. Satu dari
keduanya yang harus dipilih. Mengingat dunia dan masyarakat ada, maka jelas
kualitasnya adalah “wujud”, dan tentu saja keduanya diatur oleh diam atau tak ada
gerak. Beda dengan pandangan ini, majhab yang
mempercayai “menjadi”
berpandangan bahwa “wujud” dan “non-wujud” bisa eksis sekaligus, karena ide
“menjadi” menunjukkan gerak, yang artinya bahwa ada sesuatu dan sekaligus
sesuatu itu tidak ada.
Filsafat “wujud” dan filsafat “menjadi” mencerminkan dua pandangan
yang sama sekali bertentangan tentang eksistensi. Mana yang harus dipilih,
filsafat yang ini atau filsafat yang itu. Kalau yang dipilih adalah filsafat yang
pertama, tentu akan muncul asumsi bahwa masyarakat itu berkualitas “wujud”,
bukan berkualitas “menjadi”. Sebaliknya, kalau filsafat yang kedua yang dipilih,
tentu akan muncul pernyataan bahwa masyarkat itu berkualitas “menjadi”, bukan
“wujud”.
63
Menyikapi masalah tersebut, Muththahharȋ mengatakan bahwa pandangan
ini tentang eksistensi dan non-eksistensi, tentang diam dan gerak, dan tentang
prinsip mustahilnya eksistensi serentak dua hal bertentangan, semata-mata isapan
jempol gagasan Barat. Cara berfikir seperti ini terjadi karena tidak mengetahui
banyak masalah penting tentang eksistensi, khususnya esensialitas eksistensi dan
beberapa masalah lainnya yang relevan.
Pertama, mengatakan bahwa “wujud” sama dengan diam, atau dengan
kata lain diam berarti “wujud” dan gerak berarti perpaduan “wujud” dan “nonwujud” yang merupakan perpaduan dua hal bertentangan, adalah salah besar.
Kesalahan besar inilah yang dilakukan beberapa mazhab filsafat Barat.
Kedua, masalah yang tengah dibahas tak ada kaitannya dengan masalah
filsafat tersebut di atas. Yang terlihat di sini adalah bahwa masyarakat, seperti
makhluk hidup, memiliki dua jenis hukum. Jenis pertama adalah yang mengatur
spesies dalam kerangka kelasnya, dan jenis kedua adalah yang bisa berlaku untuk
spesies dengan evolusi dan transformasinya menjadi spesies lain. Jenis pertama
ini disebut hukum “wujud”, sedangkan jenis kedua disebut hukum “menjadi”. 5
Menurut teori perkembangan dan evolusi spesies sebagaimana yang
dijelaskan Muththahharȋ, di samping hukum khusus yang khas bagi setiap spesies
dan yang berlaku dalam bingkai kelasnya sendiri, ada sejumlah hukum lain yang
berkaitan dengan proses evolusi spesies menjadi spesies lain. Hukum ini bersifat
filosofis dan terkadang disebut filsafat evolusi, bukan hukum biologis. Karena
masyarakat adalah makhluk hidup, maka masyarakat juga memiliki dua jenis
5
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam Tentang Jagat raya.
Penerjemah Ilyas Hasan, h. 306
64
hukum: hukum biologis dan hukum evolusioner. Ada beberapa hukum masyarakat
yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat dan asal-usul serta
kemunduran budayanya. Hukum ini mengatur semua masyarakat dalam semua
tahap perkembangannya. Hukum ini di sebut hukum “wujud”. Ada hukum lain
yang berkaitan dengan perkembangan masyarakat dari satu tahap ke tahap lain
dan dari satu sistem ke sistem lain. Hukum ini dikenal dengan nama hukum
“menjadi”. Kalau nanti kedua jenis hukum ini dibahas, maka akan jelas perbedaan
keduanya. 6
Jadi sejarah dalam pengertian ketiga adalah studi atas evolusi masyarakat
dari satu tahap ke tahap yang lainnya. Bukan sekadar pengetahuan tentang kondisi
hidupnya pada tahap tertentu atau pada semua tahap. Dan pengetahuan ini
dinamakan filsafat sejarah.
B. Sifat dan Gerak Sejarah
Muththahharȋ menguraikan sejumlah kriteria mengenai mekanisme sifat
dan gerak sejarah yang disebutnya sebagai konsepsi filsafat sejarah dalam Islam.
Dengan mempertimbangkan kriteria ini, menurutnya, dapat diketahui bagaimana
persisnya pendekatan majhab mengenai gerakan sejarah dan karakter esensial
kejadian-kejadian sejarah, meskipun beliau mengakui tidak menutup kemunkinan
ada kriteria-kriteria lain yang lepas dari perhatian beliau. Kriteria-kriteria tersebut
adalah :
6
Murtadha Muththahharȋ, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat
Raya, h.307
65
1. Strategi Misi
Setiap majhab atau aliran pemikiran memiliki risalah untuk disampaikan
kepada masyarakat. Untuk itu, perlu adanya metode khusus yang sesuai dengan
tujuan utamanya dan tepat untuk pendekatan umumnya mengenai karakter dasar
gerakan sejarahnya. Dalam menyampaikan pesannya, suatu mazhab mengenalkan
masyarakat dengan pandangan asasinya, dan melakukan tekanan moral untuk
memobilisasi mereka.
Misalnya, majhab August Comte, yang mengklaim sebagai majhab
ilmiah, berpendapat bahwa perkembangan mental merupakan hakikat evolusi
manusia. Majhab ini percaya bahwa sejauh menyangkut mentalitasnya, manusia
sudah melalui dua tahap, yaitu tahap mitos dan tahap filsafat, dan sekarang sudah
sampai pada tahap ilmiah. Karena majhab ini mengklaim ilmiah, maka semua
doktrin yang disampaikannya dikemukakannya dengan bahasa ilmiah, dan
tekanan moral yang ingin digunakannya untuk memobilisasi masyarakat juga
ilmiah. 7
Selain itu, Marxisme yang merupakan teori revolusioner tentang kelas
pekerja, tujuan misinya adalah membentuk kesadaran akan kontradiksi kelas di
kalangan kaum pekerja. Sarana penggeraknya berupa perasaan rasa ketertindasan
yang dialami pekerja itu, bahwa pekerja itu tertindas serta menjadi korban.
Berbeda
dengan
marxisme,
majhab-majhab
seperti
Kristianitas,
berpendapat bahwa sejauh menyangkut manusia, hanya dakwah damai yang
sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Mereka menganggap penggunaan kekerasan,
7
h. 399
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
66
apa pun bentuknya dan dalam keadaan apa pun, tidak bermoral. Itulah sebabnya
agama Kristen mengajarkan bahwa jika pipi kananmu ditampar, berikan pipimu
untuk ditampar juga, dan jika dahimu dipukul, serahkan juga topimu. Sebaliknya,
mazhab-mazhab lain seperti Nietzsche, berpendapat bahwa hanya penggunaan
kekerasan sajalah yang bermoral, karena sifat terhebat manusia terletak pada
kekuatannya, dan orang yang paling berani berarti dia hebat. Dari sudut pandang
Nietzschian, Kristianitas sama saja dengan kelemahan dan kerendahan hati, dan
merupakan penyebab utama stagnasi manusia. 8
Beberapa majhab lain berpendapat bahwa sekalipun moralitas bergantung
pada kekuatan atau kekerasan, namun penggunaan kekuatan atau kekerasan tetap
saja tidak bermoral. Dari sudut pandang marxisme, kekuatan yang digunakan
kaum pengeksploitasi terhadap kaum tereksploitasi tidak bermoral, karena
kekerasan digunakan untuk mempertahankan status quo, dan karena itu menjadi
unsur stagnasi. Namun kekuatan yang digunakan kaum tereksploitasi terhadap
kaum pengeksploitasi adalah bermoral, karena dimaksudkan untuk membuat
masyarakat melakukan revolusi dan untuk membawa masyarakat ke tahap yang
lebih tinggi.
Menurut
Muththahharȋ,
pemikiran-pemikiran
tersebut
merupakan
pemikiran yang aneh, anti kemanusiaan dan merusak. Berbeda dengan semua
aliran tersebut, di dalam Islam yang bermoral bukan saja kontak damai dan misi
yang bersahabat dan banyak membantu. Terkadang penggunaan kekuatan juga
bisa bermoral, itulah sebabnya Islam menganggap memerangi kekerasan dan
8
h. 399
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
67
tirani itu sebagai kewajiban suci, dan memandang jihad dan perlawanan
bersenjata, dalam keadaan tertentu sebagai kewajiban. 9
Dari sudut Islam, sebagaimana yang dikutip Murtadhâ Muththahharȋ
didalam bukunya yang berjudul Manusia dan Alam Semesta, kekuatan tidak
boleh digunakan sebagai pisau pertama untuk menghadapi kelompok anti-evolusi.
Metode menasihati dan meyakinkan yang harus terlebih dahulu digunakan. AlQur’an mengatakan:
               
         
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.
Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (QS. an-Nahl:
125)
Ayat tersebut sudah cukup jelas memberikan keterangan bahwa
penggunaan kekuataan terhadap kelompok anti-evolusi baru dibolehkan setelah
cara-cara damai seperti meyakinkan orang dengan argumen rasional, sudah
digunakan ternyata gagal. Sesungguhnya semua nabi yang memerangi penentang
mereka, mula-mula berupaya meyakinkan mereka dengan menggunakan argumen
dan nasihat, dan sering berdebat dengan mereka. Nabi-nabi itu baru menggunakan
kekuatan setelah cara-cara damai menemui kegagalan. Berkat pandangan spiritual
khusus Islam mengenai manusia dan konsekuensinya mengenai masyarkat dan
9
h. 401
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
68
sejarah, Islam memandang perang terhadap kelompok anti-evolusi sebagai tahap
kedua dalam kontaknya dengan kelompok itu. Tahap pertamanya adalah argumen,
nasihat, dan perdebatan.10
Islam, pendekatannya bersifat keruhanian, bukan bendawi. Islam percaya
akan kekuatan menakjubkan dari argumen rasional, pemaparan logika dan
keyakinan moral. Dan hal itulah, konsekuensi masyarakat dan sejarah dalam Islam
bergerak maju. Jenis kesadaran dan jalan yang diformulasikan Islam, dalam hal
ini, menggunakan alternatif berikut:
a. Kesadaran keyakinan
Islam menyadarkan betapa pentingnya keyakinan. Semua dari Allah
dan akan kembali pada-Nya. Metode penyadaran ini digunakan al-Qur’an
dan para nabi, yang membangun kesadaran di kalangan manusia: dari mana
asal mereka dan hendak ke mana tujuan mereka. Dari mana dunia ini
maujud, jalan mana yang diikuti manusia, serta ke arah mana ia bergerak?
Nabi SAW mengawali misinya dengan pernyataan,11 “Katakanlah, tak
ada Tuhan selain Allah, agar kamu memperoleh keberhasilan.” Ini
merupakan suatu gerakan keagamaan yang bertujuan menyucikan keyakinan
dan pikiran manusia. Memang tauhid luas dimensinya. Jika semua ajaran
Islam dianalisis, maka dapat diikhtisarkan sebagai tauhid. Dan jika tauhid
dikembangkan, maka meliputi semua ajaran ini. Namun kita tahu bahwa
pada awalnya arti doktrin ini tak lebih dari keberpalingan intelektual dan
10
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
h.400-401. Lihat juga,Martyr Murtadâ Muthahhari, Society and History. Translator Mahliqâ
Qarâ’i, p. 133-136
11
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
h. 402
69
praktis dari doktrin dan ibadah kemusyrikan ke doktrin ibadah, tauhid.
Seandainya doktrin ini luas artinya, tentu orang pada masa itu tidak
mengetahuinya.
Ajaran ini yang berakar dalam kedalaman fitrah manusia,12 membentuk
dalam diri pengikut para nabi semangat besar untuk membela agama
mereka, berupaya keras menyebarkannya dan tidak ragu-ragu untuk
berkorban jiwa dan harta demi agama mereka. Para nabi memulai dengan
apa yang di zaman kita dikenal sebagai suprastruktur masyarakat, dan
berangsur-angsur mencapai infrastrukturnya. Dalam mazhab para nabi,
manusia lebih memperhatikan agama dan keyakinannya dibanding
keuntungan dan kepentingan pribadinya. Dalam mazhab ini, keyakinan dan
pikiran merupakan infrastrukturnya, sedangkan kerja, yaitu kontak dengan
alam dan karunia alam serta dengan masyarakat, adalah suprastrukturnya.
Setiap ajaran agama harus mengandung prediksi. Dengan kata lain, harus
disertai kesadaran bahwa Allah SWT adalah Sumber dan bahwa ada hari
kebangkitan. Para nabi memobilisasi masyarakat dengan menghidupkan
perasaan seperti ini, dengan mengembangkan kesadaran ini dan dengan
menyingkirkan debu-debu menutupi yang menutupi hati nurani, dengan
bersandar pada keridhaan Allah, perintah-perintah-Nya dan pembalasanNya. Dalam al-Qur’an, keridhaan Allah disebut-sebut di tiga belas tempat.
Dengan menekankah masalah spiritual ini, al-Qur’an memobilisasi
12
h. 403
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
70
masyarakat beriman. Memahami fakta ini bisa disebut sadar akan Tuhan
atau kosmos.13
Pemikiran di atas sangat bertolak belakang dengan konsepsi Karl Marx
mengenai bagaimana dasar perkembangan masyarakat. Menurutnya, yang
menentukan perkembangan masyarakat bukanlah kesadaran manusia akan
drinya sendiri melainkan keadaan atau kondisi sosial masyarakatlah yang
mendorong manusia untuk melakukan perubahan dalam kehidupan di
masyarakat. Marx berpendapat demikian bertolak dari pengandaiannya
bahwa setiap orang berpikir sesuai dengan kepentingannya. Seseorang akan
menganggap sesuatu itu baik apabila sesuai dengan kepentingan dan yang
akan menjamin eksistensinya serta seseorang akan menganggap buruk
sesuatu apabila ada hal yang akan mengancamnya. Yang dinilai baik adalah
yang dirasakan sebagai peningkatan kualitas hidup, sedangkan yang
merendahkannya dianggap buruk. Akan tetapi kualitas hidup ditentukan
oleh kedudukan dalam masyarakat, terutama oleh apakah kita termasuk
kelas yang beruntung atau yang tidak beruntung. Dengan demikian
keanggotaan dalam kelas sosial tertentu sangat menentukan cara manusia
memandang dunia, apa yang diharapkan dam apa yang dikhawatirkan, apa
yang dipuji dan dicela. Marx mencontohkan bahwa borjuasi Prancis
memperjuangkan kebebasan melawan kaum feodal yang menekankan
tatanan yang sudah ada, adalah karena mereka sebagai pemodal ingin
memperluas usaha mereka dan karena itu berkepentingan agar masyarakat
13
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam Tentang Jagat raya.
Penerjemah Ilyas Hasan, h. 403
71
bebas mencari pekerjaan di mana modal memerlukannya. Jadi dalam
perspektif Marx, bukan cita-cita kebebasan liberalisme yang menjadi
kekuatan dalam sejarah modern, melainkan kebutuhan kelas kapitalis akan
tersedianya buru di mana mereka membutuhkannya.14
Jadi, menurut Marx, kesadaran dan cita-cita manusia ditentukan oleh
kedudukannya dalam kelas sosial.
Karena keadaan itu adalah cara
pengorganisasian produksi, maka cara berproduksi menentukan cara
manusia berpikir. Cara berproduksi itu menentukan adanya kelas-kelas
sosial, keanggotaan dalam kelas sosial menentukan kepentingan orang, dan
kepentingan menentukan apa yang dicita-citakan, apa yang dianggap baik
dan buruk.
Maka, bagi Marx, hidup rohani masyarakat, kesadarannya, agamanya,
moralitasnya, nilai-nilai budaya, dan seterusnya bersifat sekunder, karena
yang hanya mengungkapkan keadaan primer adalah struktur kelas
masyarakat dan pola produksi. Sejarah tidak ditentukan oleh pikiran
manusia melainkan oleh cara ia menjalankan produksinya. Karena itu,
perubahan masyarakat tidak dapat dihasilkan oleh perubahan pikiran,
melainkan oleh perubahan dalam cara produksi.
b. Kesadaran manusia akan kemanusiaannya.
Menurut Islam, manusia bukanlah binatang yang pada awalnya persis
seperti primata lainnya, namun manusia begitu piawai dalam bertahan hidup
sehingga setelah beratus-ratus juta tahun posisinya jadi seperti sekarang ini.
14
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme (Jakarta, PT Gramedia), h. 140
72
Manusia justru makhluk yang di dalam dirinya ada nuansa roh ilahiah, yang
dihadapannya para malaikat bersujud. Meskipun ada sifat-sifat hewaniah
seperti hawa nafsu dan sifat buruk, manusia itu sendiri tetap merupakan
esensi murni yang menentang penumpahan darah, kebohongan, kerusakan,
kehinaan, kebencian, kekerasan, dan tirani. Manusia merupakan perwujudan
kemuliaan (kekuatan) ilahiah. Al-Qur’an mengatakan:
            
     
“Mereka berkata, sungguh, jika kita kembali ke Madinah (kembali dari
perang Bani Mustalik), pastilah orang yang kuat akan mengusir orangorang yang lemah dari sana. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin tetapi orang-orang munafik itu tidak
mengetahui” (QS. al-Munafiqun: 8)
Ketika Nabi SAW bersabda, “Manusia baru mulia kalau dia tidak tidur
di malam hari dan kalau dia tidak membutuhkan pertolongan orang lain.”
Atau ketika Ali bin Abi Thalib as berkata kepada sahabat-sahabatnya di
Shiffin, “kalau kalian meninggal sebagai pemenang, itulah kehidupanmu,
dan kalau kalian hidup sebagai pecundang, itulah kematianmu.”
Semua perkataan di atas menekankan arti martabat dan kemuliaan yang
dimiliki manusia berkat fitrahnya.15
c. Kesadaran akan Tanggung jawab dan Hak Kemasyarakatan
15
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya.
Penerjemah Ilyas Hasan, h.403-404.
73
Menyadari akan hak dan kewajiban telah melahirkan perjuanganperjuangan bagi manusia. Hal ini telah menjadi sarana mekanisme gerak
sejarah umat manusia. Dalam hal ini, Islam telah menemukan dasarnya yang
fundamental, misalnya dapat dilacak dalam al-Qur’an yang menyatakan:
           
             
     
“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orangorang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, yang
semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini
(Mekah) yang zalim penduduknya, dan berilah Kami pelindung dari sisiMu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.” (QS. an-Nisa’: 75)
Ayat ini bertumpu pada dua nilai keruhanian manusia untuk
menggerakkan jihad yang sekaligus sejarah. Pertama, keniscayaan berjuang
di jalan Allah.
Kedua, tentang tanggung jawab
manusia untuk
menyelamatkan orang-orang yang tidak berdaya dari cengkeraman para
penindas.16
2. Terminologi Ideologi
Setiap aliran pemikiran memiliki identitas atau ciri khas tersendiri di
dalamnya. Misalnya, teori rasial merupakan ciri khas penganut teori itu. Bila
mereka mengatakan “kami”, maka yang mereka maksud adalah orang kulit putih.
Begitu juga teori Marxis yang merupakan teori pekerja. Pengikut aliran ini
16
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya.
Penerjemah Ilyas Hasan, h.404
74
menyebut diri mereka pekerja. Bila mereka mengatakan “kami”, maka yang
mereka maksud adalah pekerja. Kaum Kristiani menganggap diri mereka berasal
dari person Kristus, seakan-akan mereka tak memiliki doktrin atau ideologi.
Tanda identitas mereka adalah mencari Kristus dan ingin bersamanya.
Sementara ciri khas Islam adalah Islam tidak menggunakan label ras,
kelas, profesi, daerah atau individu untuk mazhab dan pengikutnya. Penganut
mazhab ini tidak dikenal dengan sebutan Arab, Semit, orang miskin, orang kaya,
orang tertindas, orang kulit putih, orang kulit hitam, orang Asia, orang Timur,
orang Barat, pengikut Muhammad, pengikut al-Qur’an, dan seterusnya.
Nama-nama di atas bukanlah gambaran identitas sejati penganut Islam.
Bila muncul soal identitas mazhab ini dan pengikutnya, semua nama ini pun
lenyap. Yang tinggal hanya satu hal, yaitu hubungan antara manusia dan Allah.
Islam artinya adalah tunduk kepada Allah. Kaum Muslim adalah umat yang
tunduk kepada Allah, kepada kebenaran dan kepada wahyu dan ilham yang datang
dari cakrawala kebenaran disampaikan ke hati orang-orang yang sangat mulia.
Lantas bagaimana karakter asasi identitas kaum muslim? Sebutan apa yang
diberikan agama mereka kepada mereka, dan Islam ingin mereka berada di bawah
panji-panji apa? Jawabnya adalah ketundukan Islam kepada kebenaran.17
3. Syarat untuk Menerima
Menurut Muthahhari, mekanisme gerak sejarah itu beragam, sesuai dengan
perbedaan aliran-aliran pemikiran yang dianut suatu masyarakat. Misalnya ada
yang memandang penindasan satu kelas oleh kelas lain. Itu karena yang satu
17
h.406
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
75
bersifat revolusioner dan yang lainnya bersifat reaksioner. Ada juga aliran dengan
mekanisme geraknya yang memandang pada kemuliaan sifat manusia yang
berupaya mencapai kesempurnaan dan seterusnya. Oleh karena itu tinggal
seseorang memilih untuk menerima atau menolak yang lainnya.
Hanya saja, menurut Muthahhari, dalam Islam lebih bersifat kejiwaan dan
keruhaniaan (spiritualitas), ketimbang mekanisme gerak dari kebendaan dan
perekonomian tadi. Muthahhari membantah keras pendapat yang mengatakan,
Islam juga mengatur determinisme ekonomi, atau materialisme sejarah secara
penuh atau lebih dominan dalam kehidupan ini. 18
4. Jaya dan Jatuhnya Masyarakat
Dengan berlandaskan ayat-ayat al-Qur’an Muthahhari menuturkan ada
empat faktor yang mempengaruhi bangun dan jatuhnya suatu masyarakat. Yaitu:
a. Keadilan dan Kezaliman
Berkenaan dengan
hal
ini,
al-Qur’an
secara
tidak
langsung
menyebutkan dalam beberapa ayatnya, antara lain ayat tersebut berbunyi:
             
       
”Sesungguhnya Fir’aun mengagungkan dirinya di muka bumi, dan
membelah kaumnya menjadi kasta-kasta. Sebagiannya dia tindas, dia bunuh
anak laki-laki mereka dan biarkan hidup perempuan-perempuan mereka.
sesungguhnya dia termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS. alQashas)
18
h.407-408
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
76
Ayat tersebut secara jelas mengutuk perbuatan Fir’aun yang sangat
tercela, dan gambaran ini menunjukkan bahwa tirani sosial seperti yang
dilakukan Fir’aun dapat menghancurkan fondasi masyarakat.
b. Persatuan dan Perpecahan
Muthahhari menuturkan bahwa ayat 103 dari surah Ali ‘Imran
mendesak agar bersatu atas dasar iman dan berpegang kuat pada tali Allah
SWT. Ayat 105 dari Surah yang sama berbunyi;
            
  
”Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan
berselisih.”
Selain itu, terdapat ayat al-Qur’an lain yang juga menyerukan hal yang
sama pula. Ayat tersebut berbunyi:
               
            
Katakanlah: “Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepada mu,
dari atas kamu atau dari bawah kamu atau Dia mencampurkan kamu dalam
golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada
sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.” (QS. al-An’am: 65)
             
  
Artinya: “Janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu
menjadi gentar dan hilang kekuatanmua.” (QS. al-Anfal: 46)
77
c. Menaati atau Mengabaikan Perintah Allah tentang Amar Makruf Nahi
Munkar
Muthahhari mengutip ayat al-Qur’an yang berbunyi:
           
“Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan munkar yang mereka
perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat
itu.” (QS. al-Maidah: 79)
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila suatu umat
melecehkan kewajiban besar ini maka akhirnya akan mengakibatkan
kehancuran dan keruntuhan.
d. Kebobrokan Moral dan Tak Peduli Hukum
Ada beberapa ayat al-Qur’an mengenai hal ini. Sebagiannya
menggambarkan hidup mewah sebagai penyebab kehancuran. Dalam
banyak ayat lainnya, disebut-sebut kata zhulm (kezaliman, kekejaman,
penindasan, tirani, pelanggaran). Dalam istilah al-Qur’an, kezaliman tidak
saja berarti pelanggaran hak individu atau kelompok. Kezaliman juga berarti
yang dilakukan seseorang kepada dirinya sendiri atau oleh kaum kepada diri
mereka. Setiap jenis kerusakan moral dan penyimpangan dari jalan benar
manusia adalah kezaliman.
19
Konsepsi kezaliman dalam al-Qur’an cukup
luas sehingga mencakup kezaliman yang dilakukan terhadap pihak lain dan
19
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya.
Penerjemah Ilyas Hasan, h.409-410
78
pemuasan perbuatan tak bermoral. Terutama kata ini digunakan dalam alQur’an alam artinya yang kedua.
Dari hal-hal yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemikiran Muthahhari tentang gerak sejarah sangat ditentukan oleh
aktivitas, watak, dan pemikiran manusia yang bersangkutan. Kesimpulan
demikian, tidak terlepas dari hasil perenungan dan hasil kajian Muthahhari
terhadap nash-nash al-Qur’an secara dalam dan imajinatif. Mekanisme
gerak sejarah dalam Islam, dalam al-Qur’an, membedakan antara
perjuangan kelas dan kepentingan bendawi. Diterangkan dalam al-Qur’an
bahwa, yang pertama, mekanisme gerak sejarah disebabkan oleh tekanan
ciptaan-ciptaan para penindas (QS. 28:5) dan watak reaksioner mereka di
satu pihak, serta semangat revolusioner kelas terhisap di pihak lain.
Perjuangan kaum tertindas yang menjadi mekanisme gerak di sini, akan
berakhir dengan kemenangan kaum atau kelas tertindas, sejauh keteguhan
mereka berpegang pada nilai dan perilaku ideal al-Qur’an. Jadi uraian ini
(dan seperti maksud ayat QS. Ibrahim: 42), ingin mengatakan bahwa Allah
berpihak pada kelas tertindas.
Yang kedua, mekanisme gerak sejarah dilakukan demi kepentingan
pemenuhan ekonomi. Ini dianggap sebagai satu proses alam. Mekanisme ini
membentangkan letak persentuhan pemikiran Muthahhari dengan teori
materialisme historis Karl Marx yang nanti akan dilihat lebih jauh.
C. Evolusi dan Perubahan Sejarah
79
Satu ciri menonjol kehidupan masyarakat manusia adalah selalu berubah
dan dinamis. Hal ini pula yang membedakan manusia dengan kehidupan makhluk
lainnya yang statis. Hanya saja, dalam melihat perubahan dan kedinamisan
kehidupan masyarakat manusia, para ahli cenderung berbeda pendapat. Perbedaan
itu disebabkan oleh sudut pandang mereka. Materialisme historis misalnya,
berasumsi bahwa perubahan dan evolusi masyarakat manusia dikelompokkan
menjadi masa komunisme, masa perbudakan, masa feodalisme, masa kapitalisme,
dan terakhir masa sosialisme. Adapun menurut sistem dan sudut pandang politik,
dibedakan pula antara pemerintahan kesukuan, masa kejayaan zalim, masa
aristokrasi, dan terakhir masa demokrasi.
Dari sistem-sistem di atas, filosof sejarah akan mempertanyakan, apakah
evolusi dan kemajuan itu nyata? Apakah perubahan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat manusia sepanjang sejarahnya, berupa kemajuan dan evolusi? Apa
pula parameter evolusi itu? Jawaban para ahli dari pernyataan-pernyataan itu,
dalam kenyataannya, ternyata bervariasi. Di antara mereka ada yang meragukan
perubahan dalam kehidupan masyarakat manusia, bersifat maju dan evolusioner.
Di sisi lain lagi ada anggapan bahwa gerakan sejarah berputar-putar (berbentuk
siklus), yang bergerak dari satu titik, melalui tahap-tahap, menuju lagi ke titik
semula. Pandangan mereka ini juga merupakan proses abadi sejarah. Dalam hal
ini, Muthahhari cenderung mengatakan sejarah, gerakan dan jalan sejarah
keseluruhannya sedang bergerak melangkah maju.20
20
h. 414
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
80
Untuk melihat gerakan, jalan dinamika sejarah, dan faktor-faktor pengaruh
yang menyebabkan gerak maju sejarah, para ahli merumuskan cara yang
bervariasi juga. Namun menurut Muthahhari, cara-cara atau teori-teori itu
dianggap berbahaya, yaitu dapat merusak pemikiran orang, terutama orang
beragama. Berikut penjelasan rumusan cara yang bervariasi itu:
1. Teori Rasial
`Menurut teori ini,21 ras-ras tertentu terutama bertanggung jawab atas
kemajuan sejarah. Ada beberapa ras dianggap mampu membentuk budaya dan
peradaban, sedangkan beberapa ras lain tidak. Sebagian ras dapat melahirkan ilmu
pengetahuan, filsafat, etika, seni, dan teknologi. Sedangkan sebagian ras lain
hanya menjadi konsumen komoditas-komoditas ini, bukan menjadi produsennya.
Jadi, ras yang memiliki budaya dan berperadaban tinggi inilah yang
menggerakkan perubahan, kedinamisan, dan kemajuan sejarah. Di antara filosof
yang menjadi penganut aliran atau teori ini adalah Count Gobilo, seorang filosof
Prancis kenamaan.
2. Teori Geografis
Teori ini berasumsi bahwa faktor utama terciptanya perbedaan budaya
serta perkembangan industri, yang pada dataran historisnya terjadi perubahan dan
pergerakan sejarah dalam lingkungan fisik, yaitu kawasan yang beriklim sedang.
Di kawasan inilah muncul pribadi moderat dan pikiran-pikiran kuat untuk
berkembang. Menurut teori ini, faktor yang mengarahkan kemajuan sejarah
bukanlah ras atau keturunan, tetapi kawasan dan lingkunganlah yang sangat
21
h. 414
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
81
menentukan. Lingkungan menjadi pembuat sejarah dan penyebab utama
kemajuannya. Di antara ahli pendukung teori ini adalah Montesquieu, Sosiolog
Prancis abad ke 1722
3. Teori Peranan Jenius dan Pahlawan
Menurut teori ini, semua perkembangan sejarah, baik itu ilmu
pengetahuan, politik, ekonomi, teknik atau moral, terjadi berkat orang-orang yang
luar biasa cerdas. Dalam hal ini manusia berbeda dengan makhluk lainnya.
Spesies lain secara biologis hampir sama kemampuannya. Setidak-tidaknya tak
ada perbedaan yang berarti.
Sebaliknya, kemampuan di antara manusia sering terlihat sangat berbeda.
Orang-orang jenius ada di setiap masyarakat. Karena orang-orang jenius ini
memiliki akal, cita rasa, kemauan atau prakarsa yang luar biasa, maka mereka
inilah yang melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan, teknik, moral, politik, atau
militer. Menurut teori ini kebanyakan manusia tidak memiliki prakarsa atau
kreativitas. Mereka hanya ikut menjadi konsumen gagasan dan produk industri.23
Pendukung teori ini di antaranya adalah Thomas Carlyle, percaya bahwa
sejarah dibentuk oleh individu-individu cemerlang. Ia melandasi teorinya dengan
mencontohkan pada sosok nabi Muhammad SAW yang mampu memberikan
pencerahan kepada umat manusia di bawah naungan agama Islam. Begitu juga
dengan perwujudan Prancis modern yang merupakan perwujudan dari personalitas
h. 414
h.415
22
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
23
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
82
seorang Napoleon, tidak lupa juga dengan sejarah Soviet yang merupakan
perwujudan seorang Lenin.24
4. Teori Ekonomi
Menurut teori ini, ekonomi ini adalah kekuatan pendorong sejarah.
Segenap urusan sosial dan historis bangsa, entah itu urusan budaya, politik, militer
atau masyarakat, mencerminkan metode produksi dan hubungan produksi
masyarakat itu. Yang mengubah struktur masyarakat adalah perubahan basis
ekonomi. Perubahan basis ekonomi ini mendorong kemajuan masyarakat. Orangorang yang cemerlang pikirannya yang disebutkan di atas hanyalah perwujudan
kebutuhan ekonomi, politik dan sosial masyarakat, dan kebutuhan ini disebabkan
oleh perubahan alat produksi. Karl Marx, kaum Marxis pada umumnya dan
terkadang bahkan sebagian non-Marxis, mendukung teori ini. 25
5. Teori Tuhan
Menurut teori ini, apapun yang terjadi di permukaan bumi ini, merupakan
urusan langit yang turun ke bumi sesuai dengan kearifan tinggi Allah. Semua
perubahan sejarah dan perkembangan sejarah merupakan perwujudan kehendak
dan kearifan-Nya. Karena itu, kehendak Tuhanlah yang mendorong kemajuan
sejarah dan yang mewujudkan perubahan sejarah. Sejarah merupakan skenario
kehendak Tuhan. Bishop Bossuet, seorang sejarahwan terkenal dan tutor Louis
XV, mendukung teori ini.26
h. 414
h. 416
h. 416
24
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
25
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
26
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
83
Muthahhari mengkritik semua gagasan di atas, menurutnya teori-teori
tersebut merupakan hasil dari kekacauan. Misalnya, teori ras tak lebih dari teori
sosiologi. Teori ini baru relevan kalau pertanyaannya adalah apakah beragam ras
manusia yang berbeda memiliki atau tidak memiliki beberapa kemampuan
turunan, dan apakah semua ras itu sama tingkat intelektualnya atau tidak. Jika
sama, itu artinya bahwa semua ras sama-sama berperan dalam gerakan sejarah
atau setidak-tidaknya secara teoritis dapat. Jika tidak sama, itu artinya bahwa
sebagian ras saja yang dapat berperan dalam proses kemajuan sejarah. Sejauh
teori ini sudah pas rumusannya, meski memecahkan misteri filsafat sejarah. Misal
saja kita akui bahwa semua perkembangan sejarah terjadi karena ras tertentu.
Namun masih saja ada problem yang tidak terpecahkan, karena kita masih belum
tahu kenapa kehidupan manusia atau kehidupan ras manusia tertentu berkembang
sedangkan kehidupan binatang tetap statis. Masalah apakah faktor kemajuan
adalah satu ras atau semua ras, tidak memecahkan misteri gerakan sejarah.
Begitu pula dengan teori geografi. Menurut Muthahhari, teori ini ada
manfaatnya, dan berhubungan dengan masalah penting sosiologi. Teori
menunjukkan bahwa lingkungan berperan efektif dalam pertumbuhan mental,
intelektual, temperamental, dan fisik manusia. Sebagian lingkungan membuat
manusia tetap berada di dalam atau mendekati batas-batas binatang, dan sebagian
lagi membuat manusia jauh dan beda dari binatang.
Teori Tuhan lebih tidak konsisten di banding teori lain. Apakah sejarah
saja yang merupakan perwujudan Kehendak Tuhan? Sesungguhnya dunia, sejak
awal hingga akhir, termasuk segenap sebab dan gangguan, merupakan perwujudan
84
Kehendak Allah. Kehendak Tuhan sama hubungannya dengan semua sebab di
dunia ini. Kalau kehidupan manusia yang berkembang dan berubah merupakan
perwujudan kehendak Tuhan, maka kehidupan lebah yang statis dan monoton pun
merupakan perwujudan Kehendak-Nya juga. Pertanyaannya adalah sistem apa itu,
yang dengan sistem ini Kehendak Tuhan menjadikan kehidupan manusia
berkembang, sementara kehidupan binatang statis karena tak adanya sistem itu.
Begitu juga terhadap teori ekonomi yang menurut Muthahhari tak ada
aspek teknisnya, dan tidak diajukan sebagai prinsip. Teori ekonomi sejarah
menjelaskan karakter asasi sejarah saja dan menunjukkan bahwa karakter asasinya
material dan ekonomi, dan bahwa segala urusan lainnya sama saja dengan bentukbentuk atau kekhasan yang tak asasi. Konsekuensinya, semua urusan masyarakat
pun mengalami perubahan. Namun semua itu adalah masalah “jika”. Masalah
yang sebenarnya masih saja belum terjawab. Meskipun kita mengakui bahwa
ekonomi adalah infrastruktur masyarakat dan kalau ekonomi berubah maka
segenap masyarakat pun berubah, masalahnya adalah kenapa begitu. Apa faktor
yang mengubah seluruh suprastruktur bila infrastruktur berubah? Mungkin saja
ekonomi menjadi infrastruktur masyarakat, namun itu tidak berarti bahwa
ekonomi merupakan kekuatan pendorong sejarah juga. Jika saja pendukung teori
ini, bukannya menggambarkan ekonomi infrastruktur masyarakat, namun
menggambarkannya
sebagai
kekuatan
pendorong
sejarah,
menganggap
materialitas sejarah cukup untuk membuat sejarah dinamis, menekankan masalah
kontradiksi dalam masyarakat, dan mengatakan bahwa sesungguhnya kekuatan
pendorongnya
adalah
kontradiksi antara
infrastruktur
dan suprastruktur
85
masyarakat atau kontradiksi antara dua aspek infrastruktur (alat produksi dan
hubungan produksi), tentu teori ini akurat penyampaiannya. 27
Teori raksasa intelektual, Muthahhari mengatakan terlepas dari benar atau
tidak, berhubungan langsung dengan filsafat sejarah atau faktor pendorong
sejarah. Sejauh ini kita hanya memahami dua teori tentang kekuatan yang
menggerakkan sejarah. Salah satunya adalah teori raksasa, yang menurut teori ini
mengklaim bahwa sebagian besar anggota masyarakat atau hampir semua anggota
masyarakat tak memiliki inisiatif, orisinalitas dan kemampuan memimpin. Mereka
tak bisa membawa perubahan dalam masyarakat. Namun dari waktu ke waktu
muncul minoritas sangat kecil yang luar biasa imajinatif dan kreatif. Mereka
mengambil inisiatif, membuat rencana, mengambil keputusan dan menarik
dukungan orang. Dengan begitu mereka menciptakan perubahan. Orang-orang
heroik ini merupakan produk dari fenomena yang luar biasa, baik fenomena
alamiah maupun turun-temurun, namun bukan produk kondisi sosial atau
kebutuhan material masyarakat.28
Muthahhari menyebutkan sebuah teori yang biasa disebut dengan teori
sifat manusia atau kekhasan manusia. Fitrah manusia adalah sedemikian sehingga
dia memiliki kekhasan bawaan yang membuat kehidupannya evolusioner. Salah
satu kekhasan ini adalah kemampuannya menghimpun dan melestarikan
pengalaman. Apa pun pengetahuan dan informasi yang didapat manusia melalui
27
Murtadha muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
28
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
h. 417
h.418
86
pengalamannya, dia simpan dalam pikirannya, dan dia gunakan sebagai basis bagi
pengalamannya lebih lanjut.
Kekhasan lain manusia adalah manusia mampu belajar melalui lisan dan
tulisan. Melalui lisan dan tulisan, manusia dapat menyampaikan pengalamannya.
Pengalam satu generasi disimpan demi kepentingan generasi selanjutnya melalui
lisan dan tulisan. Dan dengan demikian pengalaman manusia kian terakumulasi.
Kekhasan ketiga manusia menurut Muthahhari adalah manusia diberi
kekuatan akal dan inisiatif. Melalui kekuatan misterius ini manusia dapat
menciptakan sesuatu, karena manusia adalah perwujudan kekuatan kreatif Allah.
Kekhasan keempat pada diri manusia adalah manusia memiliki hasrat bawaan
untuk melakukan sesuatu yang orisinal. Dengan kata lain manusia bukan saja
memiliki kemampuan kreatif, namun juga dapat menciptakan sesuatu bila
diperlukan. Kecenderungan untuk mencipta ini sudah tertanam dalam karakter
esensialnya.29
Semua kemampuan yang dimiliki manusia menjadi kekuatan pendorong
kemajuan manusia. Pada diri binatang tak ada kemampuan untuk mengingat
pengalaman dan menyampaikannya kepada binatang lain, tak ada orisinalitas dan
inisiatif, juga tak ada keinginan kuat untuk mencipta. Itulah sebabnya kenapa
binatang statis sedangkan manusia bergerak maju.
Dari paparan singkat di atas, tentang teori-teori dinamika dan gerak maju
sejarah, nampaknya perlu dicermati ulang bahwa Muthahhari kelihatan hanya
memaparkan sejumlah teori tersebut dan mengkritiknya dengan mengatakan
29
h.419
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
87
bahwa semua teori ini dapat merusak pemikiran tertentu. Adapaun bagaimana
teori Muthahhari kemudian menjawab kritikannya itu sendiri, sejauh ini tidak
berhasil ditunjukkan dengan jelas oleh Muththahharȋ.
Hanya saja, memang Muthahhari menunjukkan kecenderungannya dengan
mengatakan bahwa penyejarahan atau mekanisme gerak dan sifat sejarah dalam
Islam tidak hanya menjalankan kehendak mutlak Tuhan, tetapi juga memiliki
kebebasannya untuk memenuhi dan merealisasi kehendak manusia sendiri sebagai
makhluk sesuai dengan maksud QS. ar-Ra’du: 11. Allah tidak akan mengubah
nasib atau keadaan seseorang atau suatu kaum, sebelum mereka bekerja keras
untuk mengubahnya.
D. Kritik Murtadha Muthahhari Terhadap Konsep Materialisme Dialektis
dan Materialisme Historis Karl Marx
Dalam bab ketiga penulis telah membahas prinsip-prinsip dasar
materialisme dialektis dan materialisme historis ala Marx. Dari situ jelas bahwa
materialisme historis merupakan salah satu ajaran pokok Marxisme. Namun
menurut Muthahhari, ketika menganalisis dan menilai peristiwa-peristiwa sejarah
tertentu, ia hampir-hampir tidak menemukan adanya prinsip-prinsip materialisme
sejarah. Oleh karenanya, berawal dari permasalahan inilah kritikan Muthahhari
dimunculkan. Dia tidak melakukan kritikan terhadap teori Marx secara
keseluruhan, tetapi hanya melihat sisi konsepsi materialisme historis Marx. Dalam
kritikan yang disampaikan, kelihatan terfokus pada hal-hal berikut:
1. Tidak Berdasar
88
Menurut Muthahhari, sebuah teori historis-filosofis haruslah didasarkan
pada bukti historis kontemporer dan kemudian sampai ke periode lain, atau
didasarkan pada bukti historis peristiwa masa lalu dan sampai ke peristiwa
sekarang dan mendatang; atau harus ada argumen ilmiah, logis, atau filosofisnya
yang kuat untuk membuktikannya.
Sedangkan teori materialisme sejarah tidak mengikuti metode di atas.
Menurutnya, berbagai peristiwa di zaman Marx dan Engels tidak dapat dijelaskan
dengan teori materialisme sejarah, bahkan berbagai peristiwa yang terjadi ribuan
tahun silam juga tidak mendukung teori materialisme sejarah. Dari fakta tersebut
kemudian Muthahhari menyebut teori Marx tak lebih daripada “teori” belaka yang
tak ada buktinya.30
2. Revisi atas Berbagai Pandangan oleh Para Pendirinya.
Dalam hal ini, Muthahhari menganggap terdapat dua teori Marx yang
kontradiksi satu sama lain, dan hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemikiran
Karl Marx atau sebagai kerancuan. Yakni menyangkut teori materialisme sejarah,
teori ini selalu mengukuhkan kelebihdahuluan benda atas jiwa, kelebihdahuluan
bendawi atas kebutuhan akal, kelebihdahuluan kemasyarakatan manusia atas
jiwanya, kelebihdahuluan tindakan atas pikiran, kelebihdahuluan psikologi atas
sosiologi. Di sisi lain, permasalahan logika dialektis yang juga berangkat dari
materialisme historis mutlak, kelihatan berbenturan dengan prinsip sebab-akibat
timbal balik. Marx dalam pernyataannya memandang bahwa semua proses
kemasyarakatan baik yang hakiki atau tidak, berdasarkan faktor-faktor
30
h. 353
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
89
pembangunan ekonomi. Akan tetapi, tidak mengembangkan akibat bangunan atas
dasar apa. Padahal, tuntutan dan hubungan sebab-akibat tidak boleh dipandang
sebagai proses sepihak. Misalnya, apabila A adalah penyebab terjadinya B dan
mempengaruhi B, pada gilirannya B juga penyebab A dan mempengaruhi A.
Menurut prinsip ini, ada semacam ketergantungan dan pengaruh timbal balik di
antara semua unsur alam dan semua unsur masyarakat.
Dari realitas seperti itu, menurut Muthahhari, merupakan suatu keanehan
apabila Marx memandang unsur ekonomi sebagai unsur menentukan. Lebih-lebih
lagi, apabila unsur-unsur bangunan, dalam banyak hal lebih menentukan
perjuangan-perjuangan bersejarah. Pengertian seperti perubahan dalam hubunganhubungan produksi mendahului perkembangan kekuatan-kekuatan produktif;
perumusan teori-teori revolusi mendahului kelahiran spontan gagasan revolusi,
pengertian bahwa perubahan merupakan bangunan mengubah dasar, menunjukkan
kelebihdahuluan pikiran atas tindakan dan jiwa atas benda. Hal itu menunjukkan
hakikat dan ketidakbergantungan segi-segi politik dan intelektual dalam hubungan
dengan segi ekonomi, dan hal itu bertentangan materialisme sejarah sendiri. 31
3. Menghancurkan Prinsip Keselarasan Tak Terelakkan antara Infrastruktur dan
Suprastruktur
Menurut teori materialisme sejarah, harus selalu ada semacam keselarasan
antara infrastruktur dan suprastruktur masyarakat, sehingga dengan mengetahui
suprastruktur maka dapat diketahui pula infrastruktur, dan dengan mengetahui
infrastruktur maka dapat diketahui pula suprastruktur. Jika infrastruktur berubah
31
h. 354
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
90
maka hancurlah keselarasan ini, keseimbangan sosial pun terganggu, dan
terjadilah krisis seperti itu, sehingga cepat atau lambat krisis tersebut akan
menghancurkan suprastruktur. Sebaliknya, selama infrastruktur tetap utuh,
suprastruktut pun akan tetap utuh.
Dalam realitas ternyata proposisi tersebut salah, karena berbagai peristiwa
sejarah kontemporer tidak terbukti seperti itu. Sejumlah revolusi politik dan sosial
yang menyertai pergolakan demi pergolakan ekonomi yang terjadi pada periode
dari 1827 sampai 1847, sementar Marx dan Engel percaya bahwa revolusi sosial
merupakan akibat tak terelakkan dari krisis ekonomi.32
Belum pernah terjadi krisis ekonomi yang disertai dengan sebuah revolusi
di negara-negara industri sejak 1848. Negara-negara seperti Inggris, Perancis,
Jerman, dan Amerika, kemajuan industrinya mengagumkan. Negara-negara
tersebut sudah berada di puncak kapitalisme. Namun beda dengan prediksi Marx
yang menyebutkan bahwa negara-negara ini yang pertama akan mengalami
revolusi pekerja dan akan menjadi negara-negara sosialis. Dengan ungkapan lain,
Muthahhari mengatakan bahwa anak yang diharapkan Marx akan lahir, usianya
sudah sempurna sembilan bulan, bukan saja usianya sudah sembilan bulan,
bahkan sudah sembilan puluh tahun, namun belum juga lahir. Sekarang, tak ada
lagi harapan anak itu akan lahir.
4. Ketidaksesuaian Basis Kelas Ideologi
Seperti telah disebutkan sebelumnya, menurut materialisme sejarah,
suprastruktur periode apapun tidak mungkin mendahului infrastruktur. Karena itu,
32
h. 361
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
91
pengetahuan setiap periode hanya terbatas pada periode itu. Dengan berlalunya
waktu, pengetahuan tersebut jadi usang dan tinggal menjadi arsip sejarah.
Gagasan, filsafat, rencana, prediksi, dan agama, semuanya merupakan produk
sampingan dari tuntutan khusus zamannya, dan tak mungkin sesuai dengan
tuntutan zaman lain. Namun, ternyata menurut Muthahhari asumsi tersebut tidak
terbukti, doktrin dan agama, banyak filsafat, tokoh, gagasan, dan cabang ilmu
pengetahuan sepertinya mendahului zaman atau kelasnya. Banyak sekali gagasan
yang merupakan produk dari kebutuhan material zaman tertentu. Meskipun zaman
berubah, gagasan tersebut tetap bersinar di ufuk sejarah.33
5. Independensi Perkembangan Budaya
Menurut teori materialisme sejarah, bahwa kreativitas budaya dan ilmiah
suatu masyarakat sebagaimana segi lainnya berhubungan dengan corak
ekonominya. Ia tidak dapat berkembang tanpa perkembangan dan kemajuan
ekonomi. Perkembangan ilmu juga mengikuti perkembangan yang terjadi pada
sarana produksi dan dasar ekonomi masyarakatnya.
Menurut Muthahhari, sarana produksi tidak akan berkembang secara
otomatis tanpa campur tangan manusia. Sarana produksi itu berkembang dalam
konteks hubungan manusia dengan alam serta keinginantahuannya, daya cipta,
dan usahanya. Perkembangan sarana produksi mengikuti pertumbuhan ilmu dan
teknologi. Bukankah manusia menemukan sesuatu dan menggunakan ilmu dan
teknologi itu dalam praktek, sehingga menyebabkan adanya industri. Manusia
33
h. 362
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
92
mula-mula mengembangkan ilmunya, lalu menggunakan ilmu itu untuk
menciptakan peralatan teknologi, bukan sebaliknya.34
6. Dalam Materialisme Sejarah Terjadi Inkonsistensi Internal
Menurut materialisme sejarah, segala pemikiran teori, filsafat, ilmu, dan
segala sistem etika, mencerminkan keadaan bendawi, ekonomi, dan berhubungan
erat dengan keadaan-keadaan nyata khas mereka sendiri. Oleh karenanya,
keabsahan mereka tidak mutlak, tetapi bergantung pada periode tertentu. Dengan
berlalunya periode tertentu, perubahan dan keadaan bendawi, ekonomi, dan
masyarakat, digantikan oleh keadaan pemikiran dan teori yang baru pula.
Jika demikian, materialisme sejarah sebagai sebuah teori, harus berlaku
dengan hukum semesta tersebut. Sebab, bila tidak, materialisme sejarah berarti
akan ada hukum-hukum filsafat dan ilmiah tertentu yang mendasar dan tidak
bergantung pada dasar ekonomi apapun. Di samping itu, seadainya teori Marx itu
tidak berlaku dengan hukum umum semesta ini, maka nilai dan keabsahan teori
ini terbatas pada periode tertentu dan hanya berlaku pada periode itu. Ia tidak
relevan dengan periode sebelum dan dengan periode yang akan datang. Oleh
karenanya, di sini pula letak kontradiksi internal materialisme sejarah dengan
dirinya sendiri. 35
Dari unsur-unsur yang menjadi kritikan Muthahhari terhadap materialisme
sejarah itu, menunjukkan ketajaman dan keluasan tinjauannya. Ia telah melihat
secara kemungkinan untuk berkembang di satu sisi dan ketidakmungkinan di sisi
34
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
35
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
h. 363
h. 365
93
lain. Namun, semua yang menjadi kritikan dan semua yang dipersoalkan
Muthahhari, tidak terlepas dari sudut pandang dan cara beliau memandang
materialisme sejarah, sehingga menghasilkan sesuatu yang jauh berbeda dengan
yang diidolakan Marx dan Engels.
Menurut
hemat
penulis,
paham
keagamaan
Muthahhari
sangat
berpengaruh terhadap potensi perbedaan pemikiran tokoh ini dengan Marxisme
secara keseluruhan, khususnya materialisme sejarah.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Murtadhâ Muththahharâ telah mendefinisikan filsafat sejarah dengan
mengkategorisasikannya
kedalam
pendefinisian
atas
sejarah.
Ia
telah
mengklasifikasikan definisi sejarah ke dalam empat arti dan pembagian jenisnya
ke dalam tiga bagian. Yaitu sejarah tradisional, sejarah ilmiah, dan filsafat sejarah.
Yang dimaksud dengan sejarah tradisional ialah sejarah merupakan pengetahuan
tentang berbagai permasalahan individu atau tragedi-tragedi yang terjadi pada
masa lampau dan bukan yang terjadi pada masa sekarang. Dalam hal ini sejarah
tidak berbicara tentang hukum umum atau aturan pergaulan. Dan yang dimaksud
dengan sejarah ilmiah ialah cabang pengetahuan tentang aturan dan tradisi yang
mengatur kehidupan masyarakat di masa lalu. Hal tersebut dikaji secara
mendalam melalui studi dan analisa yang akurat terhadap berbagai peristiwa yang
telah terjadi. Dari studi tersebut akan diperoleh bagaimana karakter dari peristiwaperistiwa yang terjadi di masa lampau. Kajian tersebut akan sangat bermanfaat
sebagai sumber pengetahuan dan membantu manusia untuk mengendalikan masa
depannya. Sedangkan yang dimaksud dengan filsafat sejarah ialah pengetahuan
tentang perkembangan masyarakat dari masa ke masa serta hukum-hukum yang
mengatur perubahan-perubahan ini. Filsafat sejarah menurut Muththahharȋ
berbicara tentang “menjadi”-nya masyarakat yang menunjukkan gerak bukan
tentang “wujud”-nya masyarakat. Menurutnya, masyarakat memiliki dua jenis
92
93
hukum, jenis pertama adalah yang mengatur spesies dalam kerangka kelasnya,
dan jenis kedua adalah yang bisa berlaku untuk spesies dengan evolusi dan
transformasinya menjadi spesies lain lain.
Mekanisme gerak sejarah dalam Islam, paling tidak memiliki tiga unsur,
yaitu, pertama, perjuangan kelas, misalnya antara mustadh’afûn (rakyat jelata,
golongan tertindas) dengan mustakbirûn (penguasa-tirani atau penindas), kedua,
pencapaian ekonomi atau kebendaan. Dan ketiga, karena didorong oleh semangat
memperjuangkan nilai-nilai suci. Hanya saja mekanisme gerak sejarah dalam
Islam yang didorong oleh perjuangan nilai-nilai sucilah yang paling dominan, dan
sekaligus menjadi realitas historis sepanjang sejarah umat manusia, khususnya
bagi kaum muslimin. Pemikiran Muththahharȋ tidak luput dari landasan ayat-ayat
al-Qur’an yang ia interpretasikan secara mendalam dan imajinatif.
Muththahharȋ juga mengatakan bahwa manusia memiliki keistimewaan
dan keunikan dibanding makhluk-makhluk lain yang membuat kehidupannya
maju. Manusia menurutnya, dengan akal sehat yang dianugerahkan oleh Tuhan,
dapat membawanya menjadi makhluk yang pembelajar, kreatif, memiliki fitrah
untuk mencipta, dan hasrat untuk maju. Kenyataan seperti inilah yang membuat
Muththahharȋ kemudian menyimpulkan bahwa penyejarahan dan mekanisme sifat
sejarah dalam Islam, tidak hanya menjalankan kehendak mutlak Tuhan, tetapi
juga manusia memiliki kebebasannya untuk memenuhi kehendaknya sendiri.
Muththahharȋ dengan tegas menulis, bahwa antara logika Islam dengan
materialime historis Marx terdapat pertentangan satu sama lain. Ia sangat
mengkhawatirkan ajaran dan pemikiran Islam yang terkait dengan kajian-kajian di
94
seputar masyarakat dan sejarah, dihubung-hubungkannya dengan materialisme
historis. Sebab menurutnya, teori ini memandang bahwa masyarakat dan sejarah
bersifat bendawi. Padahal Islam tidak mempercayai materialisme historis. Perang,
dalam Islam bukan bermotifkan untuk menumpuk materi atau kekayaan, tetapi
seseorang mau dan rela meninggalkan segalanya, termasuk nyawanya, karena
dilatarbelakangi oleh idealis-ideologi dan kepercayaanya, yang dalam Islam
misalnya terinspirasi dalam konsep jihâd fȋ sabȋlillah. Peperangan yang
dilatarbelakangi oleh idealis-ideologi seperti itu lebih efektif dan dahsyat
dibandingkan dengan peperangan yang dimotivasikan oleh kepentingan material
dan kekuasaan belaka.
Al-Qur’ân percaya pada kekuatan dan nilai bimbingan, nasihat, teguran,
peringatan, argumentasi, dan penalaran logis yang dalam teks al-Qur’ân disebut
dengan hikmah dan kebijaksanaan. Di dalam al-Qur’ân, semua sarana itu dapat
mengubah seseorang, mengubah jalan hidupnya, mengubah kepribadiannya, dan
menciptakan perubahan ruhaniah dalam dirinya. Pendekatan seperti ini jelas
bertentangan dengan teori materialisme historisnya Marx, yang membatasi
peranan bimbingan hanya sebagai pengubah kelas itu sendiri: menjadi kelas untuk
kelas, dengan cara menimbulkan kesadaran akan pertentangan kelas dan watak
kelas.
95
B. Saran-saran
Adapun mengenai saran-saran yang perlu disampaikan berkaitan dengan
penelitian skripsi ini, dalam hubungannya dengan kajian-kajian filsafat sejarah di
lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Aqidah Filsafat, antara lain:
1. Perlu adanya mata kuliah tersendiri tentang filsafat sejarah, karena hemat
penulis mata kuliah ini belum ada di jurusan aqidah filsafat, paling tidak
dengan adanya mata kuliah tersebut dapat memberikan wawasan mengenai
kajian filsafat sejarah.
2. Dalam upaya menyemarakkan kajian filsafat sejarah, perlu adanya diskusidiskusi tentang filsafat sejarah, dengan adanya forum atau kegiatan ini akan
sedikit banyak lebih mempertajam kekuatan analisa para mahasiswa dalam
menyikapi perkembangan masyarakat sekitar, negara, dan dunia global.
3. Tentu yang tidak kalah pentingnya adalah menambah jumlah koleksi bukubuku filsafat sejarah di perpustakaan fakultas maupun perpustakaan pusat.
4. Dan tentu saja ditambah dengan publikasi buletin, jurnal pemikiran untuk lebih
menyemarakkan diskursus pemikiran di fakultas Ushuluddin khususnya di
Jurusan Aqidah Filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Haidar, Penyunting. Murtadha Muthahhari Sang Mujahi, Sang Mujtahid.
Bandung Yayasan Muthahhari, 1988.
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Berlin, Isaiah, Biografia Karl Marx, terj. Eri Setiyawati, Alkhatab, Silvester G Sukur.
Surabaya: Pustaka Promothea, 2000.
Collingwood, Robin George. The Idea of History. London: Oxford University Press,
1976.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press,
1985.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Khaldun, Ibn. Muqaddimah, terj. Ahmadi Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Khudairi, Zainab. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani.
Bandung: Penerbit Pustaka,1987.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 1995.
Muchsin, Misri A. Filsafat Sejarah Dalam Islam. Yogyakarta: Ar-ruzz Press, 2002.
Muthahhari, Murtadha. Manusia dan Alam Semesta,terj. Ilyas Hasan. Jakarta:
Lentera, 2002.
__________. Kritik Islam Terhadap Materialisme, terh. Akmal Kamil. Jakarta:
Islamic Center Jakarta al-Huda, 2001.
__________. Membumikan Kitab Suci, Manusia dan Agama, terj. Tim Penerjemah
Mizan. Bandung: Mizan, 2007.
__________. Society and History, translator Mahliqâ Qarâ’i. Jakarta: Islamic Culture
and Relation Organization, 1997.
__________. Menguak Masa Depan Umat Manusia Pendekatan Filsafat Sejarah, terj
Afif Muhammad, Masykur Ab, Fauzi Siregar, A. Rifa,i Hasan. Bandung:
Pustaka Hidayah, 2001.
Nasr, Seyyed Hossein dan Leaman, Olivear, ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam
(Buku Pertama), terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.
95
96
Rahnema, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan,
1995.
Ramly, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx, Materialisme Dialektis dan
Materialisme Historis. Yogyakarta: LKIS, 2007.
Shariati, Ali. Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Dr.M.Amien Rais. Yogyakarta:
Shalahuddin Press, 1982.
Siddiqi, Mazheruddin. Konsepsi Qur’an Tentang Sejarah, Terj. Nur Rachmi. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah. Bandung: Mizan, 1995.
Syarqawi, Effat. Filsafat Kebudayaan Islam. Bandung: Pustaka Hidayah, 1986.
96
Download