4 II. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman cabai merupakan tanaman

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Tanaman Cabai
Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri (self – pollinated
crop). Namun demikian, persilangan antar varietas secara alami sangat mungkin
terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengan sendirinya
(Cahyono, 2003), sehingga bisa juga terjadi penyerbukan silang. Beberapa sifat
tanaman cabai yang dapat digunakan untuk membedakan antar varietas di antaranya
adalah percabangan tanaman, pembungaan tanaman, ukuran ruas, dan tipe buahnya
(Prajnanta, 1999).
Bunga tanaman cabai terdapat pada ruas batang dan jumlahnya bervariasi
antara 1-8 bunga tiap ruas tergantung pada spesiesnya. C. Annuum mempunyai satu
bunga tiap ruas, sedangkan cabai rawit (C. frutescens L) mempunyai 1-3 bunga tiap
ruas. Ukuran ruas tanaman cabai bervariasi dari pendek sampai panjang. Makin
banyak ruas makin banyak jumlah bunganya, dan diharapkan semakin banyak pula
produksi buahnya. Buah cabai bervariasi antara lain dalam bentuk, ukuran, warna,
tebal kulit, jumlah rongga, permukaan kulit dan tingkat kepedasannya. Berdasarkan
sifat buahnya, terutama bentuk buah, cabai besar dapat digolongkan dalam tiga tipe,
yaitu : cabai merah, cabai keriting dan cabai paprika (Prajnanta, 1999). Karakteristik
agronomi cabai merah (besar) buahnya rata atau halus, agak gemuk, kulit buah tebal,
berumur genjah, kurang tahan simpan dan tidak begitu pedas. Tipe ini banyak
diusahakan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi. Sedangkan cabai merah
4
5
keriting buahnya bergelombang atau keriting, ramping, kulit buah tipis,
berumur lebih lama, lebih tahan simpan, dan rasanya pedas. Tipe ini banyak
diusahakan di Jawa Barat dan Sumatera. Cabai paprika buahnya berbentuk segi empat
panjang dan biasa dipanen saat matang hijau (Nawangsih dkk., 1999; Semangun,
2000).
Umur cabai sangat bervariasi tergantung jenis cabai. Tanaman cabai besar dan
keriting yang ditanam di dataran rendah sudah dapat dipanen pertama kali umur 70 –
75 hari setelah tanam. Sedangkan waktu panen di dataran tinggi lebih lambat yaitu
sekitar 4 – 5 bulan setelah tanam. Panen dapat terus-menerus dilakukan sampai
tanaman berumur 6 – 7 bulan. Pemanenan dapat dilakukan dalam 3 – 4 hari sekali
atau paling lama satu minggu sekali (Nawangsih dkk., 1999). Cabai rawit juga
memiliki banyak varietas, di antaranya adalah cabai mini, cabai cengek/ceplik (rawit
putih), cabai cengis (rawit hijau) dan lombok japlak.
Tinggi tanaman cabai rawit umumnya dapat mencapai 150 cm. Daunnya lebih
pendek dan menyempit. Posisi bunga tegak dengan mahkota bunga berwarna kuning
kehijauan. Panjang buahnya dari tangkai hingga ujung buah hanya mencapai 3,7 – 5,3
cm. Bentuk buahnya kecil dengan warna biji umumnya kuning kecoklatan (Setiadi,
1997). Pemanenan pertama cabai rawit dapat dilakukan setelah tanaman berumur 4
bulan dengan selang waktu satu sampai dua minggu sekali. Tanaman cabai rawit
dapat hidup sampai 2 – 3 tahun, berbeda dengan cabai merah (Nawangsih dkk., 1999;
Cahyono, 2003).
6
Tanaman cabai akan tumbuh baik pada lahan dataran rendah yang tanahnya
gembur dan kaya bahan organik, tekstur ringan sampai sedang, drainase baik dan
cukup tersedia unsur hara bagi pertumbuhannya. (Cahyono, 2003). Secara geografis
tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0–1200 m di atas permukaan laut. Pada
dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah
terserang penyakit. Cabai akan tumbuh baik pada daerah yang rata-rata curah hujan
tahunannya antara 600–1250 mm dengan bulan kering 3–8,5 bulan dan pada tingkat
penyinaran matahari lebih dari 45 % (Suwandi dkk., 1997).
2.2 Kelimpahan Serangga
Tinggi rendahnya populasi serangga hama tergantung kepada faktor
lingkungan setempat. Populasi adalah sekelompok organisme yang spesiesnya sama
menempati ruang khusus sebagai bagian dari komunitas biotik. Secara umum
populasi dapat dianggap sebagai suatu kelompok organisme yang terdiri atas
individu-individu yang tergolong dalam satu jenis atau satu varietas ekotif yang
terdapat pada satu tempat (Odum, 1993). Menurut Heddy dan Kurniati (1996),
kepadatan populasi merupakan besarnya populasi dalam hubungannya dengan
beberapa satuan ruang, umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu atau biomasa
populasi persatuan areal. Populasi serangga hama di alam tidak konstan, kadang
populasinya tinggi, tetapi dilain waktu populasinya rendah. Tinggi rendahnya
populasi serangga hama tergantung kepada faktor lingkungan setempat.
7
Besarnya populasi di alam maupun kelimpahan populasi serangga pada suatu
habitat ditentukan oleh adanya keanekaragaman dan kelimpahan sumber pakan yang
tersedia pada habitat tersebut. Serangga menanggapi sumber daya tersebut dengan
cara yang kompleks. Keadaan pakan yang berfluktuasi secara musiman akan menjadi
faktor pembatas bagi keberadaan populasi hewan di suatu tempat oleh adanya
kompetisi antar individu. Iklim, curah hujan dan faktor makanan merupakan faktor
yang sangat menentukan bagi kelangsungan hidup serangga serta mempunyai
pengaruh besar pada laju perkembangan populasi serangga (Maramis, 2005).
Menurut Soetrisno (1998), terdapat dua faktor yang dapat menurunkan
kemampuan reproduksi populasi, antara lain kepadatan populasi seperti kekurangan
bahan makanan, kekurangan ruang hidup dan faktor tidak tergantung pada populasi.
Apabila faktor lingkungan optimal, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh serangga
maka populasinya akan meningkat. Begitu pula sebaliknya, bila keadaan lingkungan
kurang menguntungkan untuk pertumbuhannya, maka populasi serangga akan
menurun (Sastrodiharjo, 1984).
2.3 Serangga Kutu daun
2.3.1
Myzus persicae
Menurut Borror et al. (1992) M. persicae diklasifikasikan sebagai berikut :
Kelas
: Insekta
Ordo
: Hemiptera
Famili
: Aphididae
8
Genus
: Myzus
Spesies : Myzus persicae Sulzer
Keberadaan kutu daun M. persicae pada suatu tanaman dapat mengakibatkan
kualitas daun mejadi rendah karena ada embun madu beserta embun jelaga (Pracaya,
2007). Kutu daun ini menyerang tunas dan daun muda dengan cara menghisap cairan
tanaman sehingga helaian daun menggulung. Koloni kutu mengeluarkan toksin
melalui air ludahnya sehingga timbul gejala kerdil pada helaian daun (Deptan, 2009).
Gejala serangan khas diawali dengan mengkoloninya
M. persicae pada
bagian bawah permukaan daun muda (pucuk), kemudian daun muda (pucuk) akan
berpilin melengkung ke dalam. Hal tersebut disebabkan cairan dalam daun dihisap
oleh hama M. persicae. Serangan berat pada bibit dapat menyebabkan daun menjadi
rontok, sebab daun yang berada di daerah hisapan menjadi rapuh. Kutu daun M.
persicae juga dapat menyerang tunas muda dengan menghisap cairannya (Soelarso,
1996).
Pada umumnya kutu daun tidak bersayap dan berwarna hijau pudar atau hijau
kekuningan. Sementara itu, kutu daun dewasa yang bersayap mempunyai panjang
lebih kurang 2 – 2,5 mm. Kepala dan dada kutu dewasa berwarna coklat sampai
hitam dengan perut hijau kekuningan. Panjang antena sama dengan ukuran panjang
tubuhnya (Pracaya, 2007).
9
2.3.2
Aphis gossypii
Aphis gossypii
merupakan (Hemiptera: Aphididae) serangga fitofag
kosmopolitan yang tersebar hampir diseluruh dunia. dan merupakan hama utama pada
tanaman cabai dan merupakan hama minor pada berbagai tanaman lain seperti
bawang, okra, tembakau, jeruk, kentang, coklat, dan kapas.
Aphis gossypii berukuran 1-2 mm, berwarna kuning atau kuning kemerahan
atau hijau gelap sampai hitam. Gejala yang ditimbulkan kutu daun ini adalah daun
keriput, keriting, dan menggulung. (Mossler et Al., 2007). Pengendalian A. gossypii
dapat dilakukan dengan pemanfaatan musuh alami antara lain kumbang, ulat dan
laba-laba predator. Selain pemanfaatan musuh alami, dapat juga dengan cara
menggunakan tanaman resisten dan penggunaan insektisida (CABI, 2005).
2.4 Serangga Kutu Kebul (Bemisia tabaci)
Menurut Kalshoven (1981) B. tabaci diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelas : Insekta
Ordo : Hemiptera
Famili : Aleyrodidae
Genus : Bemisia
Spesies : Bemisia tabaci Gennadius
Kutu kebul atau Bemisia tabaci (B. tabaci) merupakan hama penting pada
tanaman cabai rawit. Hama ini pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1938
pada tanaman tembakau (Kalshoven, 1981). B. tabaci mengalami metamorfosis
10
hemimetabola (metamorfosis tidak sempurna). Siklus hidupnya yaitu telur, nimfa dan
imago. Tipe alat mulut nimfa dan imago adalah menusuk menghisap. Siklus hidup B.
tabaci sejak telur diletakkan hingga imago betina meletakkan telur untuk pertama kali
selama 39 hari pada suhu 23°C, 32 hari pada suhu ruang, dan 24 hari pada suhu 29°C.
Imago mampu bertahan hidup selama 40 hari pada suhu 23°C, 35 hari pada suhu
ruang, dan 27 hari pada suhu 29°C. B. tabaci dapat menghasilkan 15 generasi per
tahun, betina dapat meletakkan telur rata-rata 200 buah dalam jangka waktu 3-6
minggu. Telur biasanya diletakkan di permukaan bawah daun, pada daun teratas
(pucuk). Serangga betina lebih menyukai daun yang telah terinfeksi virus mosaik
kuning sebagai tempat untuk meletakkan telurnya daripada daun sehat.
2.5 Mulsa Plastik
Mulsa dapat didefinisikan sebagai setiap bahan yang dihamparkan untuk
menutup sebagian atau seluruh permukaan tanah dan mempengaruhi lingkungan
mikro tanah yang ditutupi tersebut. Penggunaan mulsa plastik sudah menjadi standar
umum dalam produksi cabai, baik di negara-negara maju maupun di negara
berkembang, termasuk Indonesia. Penggunaan mulsa plastik, terutama mulsa plastik
perak, dalam produksi sayuran yang bernilai ekonomis tinggi seperti cabai, tomat,
terong, semangka, melon dan mentimun, semakin hari semakin meningkat sejalan
dengan peningkatan kebutuhan dan permintaan konsumen terhadap produk sayuran
tersebut. Meskipun penggunaan mulsa plastik ini memerlukan biaya tambahan, tetapi
nilai ekonomis dari hasil tanaman mampu menutupi biaya awal yang dikeluarkan
(Lamont, 1993).
11
Pengaruh mulsa plastik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sayuran
terutama ditentukan melalui pengaruhnya terhadap keseimbangan cahaya yang
menerpa permukaan plastik yang digunakan. Secara umum sebagian cahaya matahari
yang menerpa permukaan plastik akan dipantulan kembali ke udara, dalam jumlah
yang kecil diserap oleh mulsa plastik, dan diteruskan mencapai pemukaan tanah yang
ditutupi mulsa plastik. Kemampuan mulsa plastik dalam memantulkan, menyerap dan
melewatkan cahaya tersebut ditentukan oleh warna dan ketebalan mulsa plastik
tersebut (Decoteau et al., 1989 ; Lamont, 1993). Cahaya yang dipantulkan permukaan
mulsa plastik ke atmosfir akan mempengaruhi bagian atas tanaman, sedangkan
cahaya yang diteruskan ke bawah permukaan mulsa plastik akan mempengaruhi
kondisi fisik, biologis dan kimiawi rizosfir yang ditutupi.
Cahaya matahari yang diteruskan melewati permukaan mulsa terjebak di
permukaan tanah yang ditutupinya dan membentuk efek rumah kaca dalam skala
yang kecil (Tanner, 1974; Mahrer, 1979). Panas yang terjebak ini akan meningkatkan
suhu permukaan tanah, memodifikasi keseimbangan air tanah, karbondioksida tanah,
menekan pertumbuhan gulma, dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme. Secara
umum, peningkatan suhu permukaan tanah mungkin bukan merupakan yang
menguntungkan bagi sayuran yang ditanam di daerah tropis, tetapi hal ini sangat
menguntungkan bagi tanaman yang ditanam di daerah yang dingin dan beriklim subtropis. Namun demikian di daerah tropis, pengaruh mulsa plastik terhadap aktifitas
mikroorganisme (sebagai akibat peningkatan suhu rizosfir) sangat memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman melalui peningkatan konsentrasi
12
karbon dioksida di zona pertanaman (Fahrurrozi et al., 2001) dan suplai beberapa
hara makro (Hill et al., 1982). Efektifitas penggunaan mulsa plastik di daerah tropis
juga diperoleh dari kemampuan fisik mulsa plastik melindungi tanah dari terpaan
langsung butir hujan, mempertahankan kegemburan tanah-tanah di bawahnya,
mencegah pencucian hara, mencegah percikan butir tanah ke tanaman, mencegah
penguapan air tanah, dan memperlambat pelepasan karbon dioksida tanah hasil
respirasi aktivitas mikroorganisme.
Mulsa plastik yang berwarna perak memiliki kemampuan memantulkan
sekitar 33 persen cahaya matahari yang menerpa permukaannya (Fahrurrozi dan
Stewart, 1994), tergantung jumlah zat pewarna yang digunakan dan ketebalan mulsa.
Pantulan cahaya ini mampu mengurangi efek pemanasan rizosfir di bawah
permukaan plastik, dan juga merupakan rentang cahaya yang disukai oleh serangga,
sehingga serangga akan mengikuti arah pantulan dan meninggalkan pertanaman,
akibatnya populasi serangga, misalkan aphids dan thrips, dapat berkurang di areal
pertanaman yang diusahakan. Kemampuan menekan populasi serangga ini dan
mencegah terjadinya pemanasan berlebihan merupakan salah satu alasan mengapa
plastik bewarna perak digunakan dalam produksi tanaman sayuran. Fungsi lain dari
Mulsa plastik perak adalah agar pemanfaatan sinar matahari tidak hanya secara
langsung terkena tanaman cabai, sehingga proses fotosintetsis dapat berlasung pada
kedua sisi daun. Keuntungan lain dari adanya warna perak itu adalah sinar yang
dipantulkan oleh mulsa dapat mengurangi perkembangan hama aphids dan tungau
13
yang selalu bersarang pada tanaman cabai serta secara tidak langsung dapat menekan
serangan penyakit virus (Fahrurrozi et al., 2001).
Pada kondisi udara tenang, telah diketahui bahwa kutu daun akan lebih
banyak terbang ke arah lokasi yang berwarna hijau seperti adanya pertanaman. Telah
diketahui pula bahwa kutu daun mempunyai preferensi terhadap warna dan warna
yang disukai maupun yang tidak disukai sangat tergantung dari spesies kutu daun.
Dari spesies-spesies kutu daun yang sudah diteliti ternyata hampir semuanya
menghindari pantulan cahaya perak (Blackman dan Eastop, 2000). Sifat repellent dari
cahaya perak ini memberi peluang kepada kita untuk menggunakan mulsa plastik
perak sebagai pemantul cahaya yang bersifat repellent terhadap kutu daun.
Download