BAB I PENDAHULUAN Penelitian ini akan mengkaji

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Penelitian ini akan mengkaji standar ganda politik luar negeri Amerika
Serikat terhadap kudeta di Mesir tahun 2013, mengingat bahwa intervensi
Amerika Serikat terhadap kawasan Timur Tengah sangat berpengaruh. Perhatian
Amerika Serikat terlihat berbeda dalam menanggapi kasus kudeta di Mesir,
Amerika Serikat seolah tidak membuat kasus ini sebagai prioritas karena masalah
kudeta Mesir ini juga mengakibatkan pelanggaran HAM dan demokrasi. Hal ini
sangat berbeda dengan intervensi Amerika Serikat terhadap Irak dan Libya yang
dinilai Amerika Sendiri sebagai upaya penegakan HAM dan demokrasi di
kawasan tersebut.
1.1 Latar Belakang
Tulisan ini dimulai pada sebuah pengamatan tentang indikasi standar
ganda yang diberlakukan oleh Amerika Serikat dalam politik luar negerinya
terkait Demokratisasi, pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan dan Hak Asasi
Manusia pada implikasi konflik politik dalam peristiwa Arab Spring.1 Standar
ganda (double standard) merupakan perilaku kebijakan politik luar negeri suatu
negara yang banyak diadopsi oleh negara-negara Barat dan merupakan fenomena
yang umum yang sering ditemui di negara-negara Barat. Perilaku standar ganda
ini juga erat kaitannya dengan norma yang dianut oleh suatu negara, dipaksakan
untuk dianut terhadap negara lain. Standar ganda juga disebabkan oleh
penggunaan norma yang universal terhadap beberapa isu yang dipisahkan. Standar
ganda politik luar negeri Amerika Serikat bukanlah yang pertama kali dalam
konstelasi politik global. Sebagai contoh, kasus Israel dan Palestina adalah kasus
lama yang seakan dibiarkan karena berbagai faktor yang mengandung unsur
1
Arab Spring atau disebut juga sebagai Kebangkitan Dunia Arab adalah pemberontakan rakyat
sipil dan/pihak oposisi pemerintahan kepada pemimpin-pemimpin yang dinilai dictator dan otoriter
terhadap rakyat. Pemberontakan pertama dimulai di Tunisia pada 18 Desember 2010. Selain itu
juga telah terjadi perang saudara di Libya, pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, dan Oman;
protes besar-besaran di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko Kuwait, Lebanon, Mauritania, hingga
Arab Saudi dan perbatasan Israel. Istilah Arab Spring sendiri merupakan istilah yang diberikan
oleh para pengamat. Lihat Pelletreau, Robert H. (24 February 2011). "Transformation in the
Middle East: Comparing the Uprisings in Tunisia, Egypt and Bahrain". Foreign Affairs. Diakses
melalui
http://www.foreignaffairs.com/articles/67546/robert-h-pelletreau/transformation-in-themiddle-east. Pada tanggal 25 Desember 2014.
1
politis. Hal ini menunjukkan gambaran panglima demokrasi ditunggangi kudanya
sendiri.
Peneliti berani menyematkan predikat standar ganda kepada Amerika
Serikat berdasarkan pada pengamatan peneliti pada beberapa tindakan Amerika
Serikat terhadap kasus Arab Spring. Libya adalah contoh negara Arab Spring
yang telah diberlakukan Responsibility to Protect oleh Dewan Keamanan PBB
yang dipelopori oleh Amerika Serikat karena adanya pelanggaran HAM berat
yang dilakukan pemerintah dalam bentuk penembakan para demonstran yang
memprotes pemerintah.
Resolusi RtoP2 yang dikeluarkan DK PBB berdasarkan pada nilai-nilai
kemanusiaan dan Demokratisasi di daerah konflik melawan diktator. Resolusi
RtoP melengserkan sang diktator Moammar Gaddafi yang tewas di tangan
pasukan oposisi, dan hal ini lah yang diklaim Amerika sebagai penegakan HAM
dan demokrasi yang sesungguhnya. Korban tewas rakyat sipil yang diakibatkan
oleh fenomena Arab Spring mencapai angka ribuan orang.3 Tanggapan dari dunia
internasional khususnya Liga Arab hanya terpaku pada mengecam pelanggaran
HAM berat yang terjadi. Banyaknya korban tewas menjadi harga mati yang harus
dibayar dalam mewujudkan reformasi dan demokratisasi di Timur Tengah.
Demokratisasi di Libya dinilai berhasil dalam menggulingkan rezim
otoriter. Responsibility to Protect menjadi manifestasi penegakan demokrasi dan
nilai-nilai kemanusiaan di Libya. Namun, keberhasilan ini ternyata tidak berlaku
di Mesir. Mesir bahkan tidak mendapat perhatian yang sama dengan apa yang
terjadi di Libya walaupun dua negara ini memiliki kasus yang sama, yaitu kasus
pelanggaran HAM berat dan nilai-nilai kemanusiaan.
2
RtoP atau Responsibility to Protet adalah sebuah Resolusi yang dikeluarkan PBB terhadap daerah
konflik dengan tujuan mengatasi konflik yang menyerang rakyat sipil dengan mengatasnamakan
kemanusiaan. Resolusi RtoP yang terkenal ialah Resolusi RtoP no 1973 tahun 2011 yang
ditujukan kepada konflik di Libya. Lihat Thomas G. Weiss. (2011). dalam The Responsibility to
Protect: Challenges and Opportunities in Light of The Libyan Intervention. London: UK
universities
of
Oxford,
Leicester
and
Aberystwyth.
Diakses
melalui
http://www.google.com/url?q=http://www.e-ir.info/wp-content/uploads/R2P.pdf&sa. Pada tanggal
25 Desember 2014.
3
Libya dan Mesir tercatat sebagai jumlah korban tertinggi, terdapat hampir mencapai 40.000an
korban pada masa pemberontkan dan angka 1000 yang tercatat di Mesir dan hingga saat ini korban
di Mesir pun terus bertambah. Lihat Karin Laub (8 September 2011). "Libyan estimate: At least
30,000 died in the war". San Francisco Chronicle. Associated Press. Melalui
http://www.sfgate.com/cgibin/article.cgi?f=/n/a/2011/09/08/international/i004907D85.DTL
diakses pada 25 Desember 2014.
2
Pada tanggal 3 Juli 2013, Mesir yang sebelumnya telah meraih demokrasi
hanya dalam setahun demokrasi tersebut direnggut oleh junta militer. Hal ini jika
dipandang dari berbagai sudut tentu saja penistaan terhadap nilai-nilai demokrasi
itu sendiri. Lebih parah lagi, implikasi dari kudeta militer ini berakibat pada
jatuhnya ribuan korban penembakan oleh militer Mesir terhadap para demonstran
pendukung Mursi. Kudeta dan konflik sipil di Mesir sebenarnya tidak lepas dari
latar belakang sejarah yang terjadi di Negara ini. Mesir memang dikenal sebagai
negara yang sangat beresiko menghadapi konflik sipil dikarenakan perbedaan
ideologi yang banyak mengakar dikalangan masyarakatnya. Pernyataan ini
mendukung bahwa latar belakang sejarah dapat mendeskripsikan bahwa semua
persitiwa politik internasional (kondisi di Mesir) itu merupakan kelanjutan
(continuity),
perubahan
(change),
dan
pengulangan
peristiwa-peristiwa
sebelumnya (circle).4 Dalam peristiwa kudeta di Mesir mendeskirpsikan bahwa
peristiwa ini dilatarbelakangan oleh kelanjutan (continuity) dan pengulangan
peristiwa-peristiwa sebelumnya (circle). Aspek kelanjutan (continuity) dapat
dilihat dari sejarah yang memperlihatkan bahwa Presiden Mesir sebelumnya yakni
Gamal Abdul Nasser pernah melarang Gerakan Ikhwanul Muslimin di negeri ini
sehingga menimbulkan kerusuhan dan kelompok Islam,5 sedangkan aspek
pengulangan (circle) dapat dilihat dari proses kudeta yang dilakukan oleh pihak
Militer di Mesir pada Presiden Mesir sebelumnya nya (Husni Mubarak) yang juga
dialami oleh Presiden Mesir pada peristiwa ini (Muhammad Mursi).
Kudeta dimulai pada 1 Juli 2013, penentang Mursi datang ke markas
Ikhwanul Muslimin di Kairo dan dimulai dengan pelemparan jendela dan
menjarah gedung, melarikan perlengkapan kantor dan dokumen oleh kaum
oposisi. Menteri Kesehatan dan Penduduk Mesir mengkonfirmasi kematian
delapan orang pada bentrokan tersebut yang terjadi di Mokattam.6 Pada 3 Juli,
4
Siti Muti’ah Setiawati,., dkk. 2004. Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, Dampaknya Bagi
Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia. Yogyakarta: PPMTT, IHIFISIPOL UGM., Hal. 20.
5
Ibid., Hal. 27.
6
Attack
on
pro-Morsi
rally
kills
16.
diakses
melalui
http://www.bangkokpost.com/breakingnews/358099/attack-on-pro-morsi-rally-kills-16 pada 27
Desember 2014.
3
Menteri Kesehatan dan populasi mengumumkan bahwa 16 demonstran
pendukung Mursi terbunuh dalam unjuk rasa di tempat lain.7
Situasi tersebut menyebabkan krisis konstitusi dan politik berat, dengan
Mursi menolak tuntutan pihak Militer, dan Angkatan Bersenjata Mesir
mengancam akan mengambil alih bila politisi tidak mampu mengatasi situasi.
Pada 3 Juli malam, militer Mesir pada akhirnya menyatakan berakhirnya
kepemimpinan Muhammad Mursi sebagai presiden. Pada pernyataan yang sama,
militer mengumumkan bahwa konstitusi ditangguhkan, pemilihan presiden akan
dilangsungkan segera, dan pimpinan mahkamah konstitusi Adly Mansour
diangkat menjadi kepala pemerintahanan, dan pemerintah transisi akan dibenteuk
hingga dilangsungkannya pemilihan umum.8
Kudeta Militer dan penembakan demonstran yang terjadi telah mendapat
perhatian dunia internasional khususnya negara-negara Arab lainnya di Timur
Tengah. Namun hal berbeda muncul dari sikap Amerika Serikat, Uni Eropa, dan
Arab Saudi serta Uni Emirat Arab.
Berdasarkan dokumen yang dipublikasikan oleh GCRP (Global Centre for
Responsibility to Protect) terkait dengan timeline respon dan aksi kebijkan oleh
para aktor-aktor kunci dalam kasus kudeta Mesir tahun 2013, terdapat perbedaan
respon yang ditunjukkan Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam perumusan politik
luar negeri terkait dengan kudeta militer Mesir. Berbeda dengan kebijakan yang
diterapkan di Libya dimana dengan mengatasnamakan kemanusiaan Amerika
Serikat mempelopori dilaksanakannya tindakan berupa RtoP di Libya.
Aktor-aktor kunci yang disebutkan oleh GCRP antara lain adalah: Uni
Afrika, Uni Eropa, Ikhwanul Muslimin, NATO, OSAPG (Office of the Special
Advisor on the Prevention of Genocide), OHCHR (United Nations Office of the
High Commissioner for Human Rights), Uni Emirat Arab, PBB, UNHCR,
UNESCO, Dewan Keamanan PBB, dan Amerika Serikat.9
7
Gun attack on Cairo pro-Morsi rally kills 16 diakses melalui http://dawn.com/news/1022322/gunattack-on-cairo-pro-morsi-rally-kills-16-ministry Diakses pada 27 Desember 2014.
8
Morsy
out
in
Egypt
coup.
CNN.
28
June
2013.
http://www.cnn.com/2013/07/03/world/meast/egypt-protests/index.html?hpt=hp_t1 Diakses pada
27 Desember 2014.
9
Global Centre for The Responsibility to Protect. Timeline of International Responses to The
Situation in Egypt. Diakses melalui http://www.globalr2p.org/publications/246 pada tanggal 27
Desember 2014.
4
Berdasarkan pada publikasi dokumen GCRP tersebut terlihat pada 9 Juli
2013, Sekertaris Gedung Putih, Jay Carney menyatakan,
“US is cautiously encouraged by the announcement by the interim
government it has a potential plan for moving forward with a democratic
purpose’ and declares that the best hope for resolving the crisis is
through an inclusive political process”10
Ini berarti bahwa pemerintahan sementara bentukan militer bersifat
demokratik dan harus dilanjutkan dengan proses politik yang inklusif. Pernyataan
Sekretaris Gedung Putih ini seolah menunjukkan bahwa posisi Amerika Serikat
dalam kasus ini masih belum jelas dan terindikasi pada aspek standar ganda.
Amerika Serikat seolah menunjukkan perhatiannya kepada rakyat Mesir bahwa
apa yang dilakukan oleh militer Mesir merupakan bagian dari terbentuknya proses
demokrasi, walaupun pernyataan itu menodai aspek demokrasi yang dikenal
selama ini. Dilanjutkan dengan catatan publikasi statement John Kerry pada 14
Agustus 2013 mengatakan:
“...strongly condemns violence in Egypt and urges the government to
respect the rights of free assembly and free expression. He lists amending
the constitution and holding parliamentary as well as presidential
elections as constructive options for an inclusive and peaceful political
process”11
Amerika Serikat mendukung pemilu di Mesir untuk segera dilaksanakan.
Ini berarti bahwa Amerika Serikat secara tidak langsung mendukung terjadinya
kudeta militer yang mendesak pergantian Presiden Mursi. Beranjak dari
pernyataan ini lah yang memperlihatkan bahwa Amerika Serikat menunjukkan
standar ganda dalam menjalankan politik luar negeri nya terhadap kudeta Mesir
pada tahun 2013. Fenomena diatas juga menunjukkan ambivalensi bagi Amerika
Serikat untuk menanggapi pelanggaran HAM dan demokrasi di Mesir.
Dari latar belakang diatas, dapat dijelaskan bahwa Amerika Serikat telah
menunjukkan indikasi sikap standar ganda nya melalui pernyataan yang
dikeluarkan Sekretaris Gedung Putih dan Menteri Luar Negeri, bahwa kudeta di
10
Daily Briefing by Press Secretary Jay Carney, 07/09/2013 diakses melalui
http://www.whitehouse.gov/the-press-office/2013/07/09/daily-briefing-press-secretary-jay-carney07092013 Diakses pada 27 Desember 2014.
11
Secretary Kerry: The United States strongly condemns today’s violence and bloodshed across
Egypt diakses melalui http://geneva.usmission.gov/2013/08/14/secretary-kerry-the-united-statesstrongly-condemns-todays-violence-and-bloodshed-across-egypt/ Pada 27 Desember 2014.
5
Mesir merupakan hal yang wajar untuk mencapai demokrasi menyeluruh tanpa
adanya perpanjangan konflik dikemudain hari. Oleh karena itu, peneliti dalam hal
ini berupaya untuk menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan Amerika Serikat
menerapkan standar ganda dalam politik luar negeri nya terhadap kudeta Mesir
tahun 2013. Selain itu penelitian ini akan menjelaskan secara khusus standar
ganda yang diterapkan oleh Amerika terhadap Mesir mengingat kedua negara
tersebut saling bekerjasama dalam hal ekonomi dan pembangunan. Mesir
menerima bantuan dana sebesar 1,5 Juta Dollar Amerika Serikat tiap tahunnya.12
Kedekatan hubungan militer juga telah terjalin sebelumnya pada era pemerintahan
Anwar Sadat dan Husni Mubarak. Namun disisi lain Amerika Serikat juga
dihadapkan pada sikap sekutu-sekutunya di Timur Tengah seperti: Israel, Arab
Saudi dan Uni Emirat Arab yang mendukung kudeta Militer terhadap
pemerintahan Mursi.
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada standar ganda politik luar negeri Amerika Serikat terhadap
Kudeta Mesir tahun 2013, peneliti mengajukan pertanyaan penelitian sebagai
berikut: Mengapa Amerika Serikat melakukan standar ganda dalam politik luar
negerinya terhadap kasus kudeta Mesir?
1.3 Tinjauan Literatur
Penelitian ini ditinjau dari beberapa tulisan yang berkaitan dengan politik
luar negeri Amerika Serikat, khususnya di kawasan Timur Tengah yang berkaitan
dengan sikap standar ganda Amerika Serikat dalam menanggapi kasus kudeta di
Mesir pada tahun 2013. Rujukan pertama yang diambil dalam penelitian berasal
dari tulisan yang ditulis oleh Turkaya Atouv yang berjudul Double Standard In
Recent American Foreign Policy di dalam sebuah Jurnal yang diterbitkan oleh The
Turkish Yearbook Vol. XXI tahun 1982-1991. Atouv dalam tulisannya banyak
menyingung dan menjabarkan indikasi standar ganda politik luar negeri Amerika
Serikat dari dimulainya Perang Dingin hingga berakhirnya peristiwa tersebut.
Hal yang pertama kali dipaparkan oleh Atouv sebelum menjabarkan
standar ganda dalam politik luar negeri Amerika Serikat itu sendiri ialah mengenai
12
Stuti Banerjee. 2013. US Reactions to Developments in Egypt. New Delhi: Indian Council of
Wolrd Affair. Hal. 1.
6
landasan dari politik luar negeri Amerika Serikat yang berlandaskan konsep
”political realism”, konsep yang berasal dari aliran Hobbesian ini melihat seluruh
fenomena yang ada dalam lingkup konstelasi internasional berada dalam keadaan
penuh persaingan dan chaotic.13 Sehingga dalam implementasi politik luar negeri
Amerika Serikat ada istilah “War of all against all” yang sangat erat kaitannya
dengan kepentingan dan kekuasaan. Demokrasi yang dibawa oleh Amerika
Serikat merupakan sesuatu hal yang berasal dari kenyataan dan suka atau tidak
harus diterima sebagai suatu keniscayaan. Dengan landasan politik luar negeri
yang seperti itu Amerika Serikat memang selalu berusaha berjuang untuk
mendominasi segala hal yang berhubungan dengan konstelasi internasional
Standar ganda dalam politik luar negeri Amerika Serikat itu sendiri juga
dipengaruhi oleh konstelasi yang dihadapi oleh negara tersebut, mulai dari teori
hubungan internasional hingga kepentingan yang akan diperoleh nya. Pengaruh
Perang Dingin yang dihadapi oleh Amerika Serikat juga berpengaruh dalam
implikasi standar ganda yang diterapkan dalam politik luar negerinya saat ini.
Salah satu kawasan yang memperlihatkan implikasi standar ganda yang
diterapkan dalam politik luar negeri Amerika Serikat itu sendiri ialah kawasan
Timur Tengah dan Afrika.
Dalam pemaparannya, Atouv setidaknya memaparkan beberapa bentuk
standar ganda yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam implementasi politik
luar negeri yang telah dilaksanakan dari era Perang Dingin hingga era pasca
Perang Dingin. Hal yang pertama yang menunjukkan indikasi standar ganda pada
politik luar negeri Amerika Serikat ialah keterlibatannya dalam tindakanya untuk
menjaga ideologi di Afghanistan terkait dengan keberadaan dominasi Uni Soviet
di akhir tahun 1990-an dengan intervensi ke Kabul terkait pemberian bantuan
latihan militer bagi pemberonak untuk melawan Uni Soviet.14 Dalam peristiwa ini
Amerika Serikat pada awal nya hanya ingin melakukan suatu tindakan dengan
latarbelakang security ideology namun tekanan dari domestik Amerika Serikat
melebar pada bisnis militer untuk kepentingan ekonomi yang dikenal dengan
istilah military industrial complex. Selain itu, hal kedua yang menunjukkan
13
Turkaya Atouv. 1991. Double Standard In Recent American Foreign Policy. The Turkish
Yearbook (Vol. XXI tahun 1982-1991, vol. XXI). Hal. 1.
14
Ibid., Hal. 2.
7
indikasi standar ganda yang diperlihatkan oleh Amerika Serikat dalam politik luar
negerinya ialah upaya untuk menyerang Iraq atas invasi yang dilakukannya atas
Kuwait, namun hal ini urung dilakukan mengingat Amerika Serikat masih
menjaga keadaan situasi dengan sekutu-sekutunya yang ada di Timur Tengah
terhadap dampak perang. Standar ganda dalam peristiwa ini ditunjukkan pada
upaya Iraq yang menginvasi Kuwait ditentang oleh Amerika Serikat, namun perlu
diingat bahwa Amerika Serikat pernah mendukung Iraq dalam Perang Teluk I
(1980-1988) terhadap Iran.15 Disaat yang bersamaan Israel juga menyerang
Lebanon (1982) namun Amerika Serikat tidak bergeming, hal yang sama juga
ditunjukkan pada peran Amerika Serikat terhadap upaya kompromi dengan
Palestine Liberation Organization (PLO).
Standar ganda yang dilakukan Amerika Serikat juga terlihat pada
pengembangan Nuklir sebagai sistem persenjataan militer. Dalam hal ini Atouv
memaparkan bahwa Amerika Serikat menentang keras negara-negara yang ingin
mengembangkan nuklir (poliferasi) sebagai kebutuhan militer sebagai contoh Iraq,
Iran dan Korea Utara, namun sikap Amerika Serikat berbeda saat dihadapkan
dengan Israel yang mencoba mengembangkan nuklir. Amerika Serikat selalu
mendesain badan atom dunia International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk
melakukan penyelidikan dan pemberian sanksi terhadap negara-negara yang
mencoba mengembangkan nuklir. Israel merupakan satu-satunya negara yang
menolak diinspeksi oleh IAEC (International Atomic Energy Commission) dan
menunjuk Amerika Sebagai satu-satunya negara yang berhak menginspeksi
negara nya sendiri. Selain itu standar ganda juga ditunjukkan disaat Amerika
Serikat dihadapi dengan politik luar negerinya terhadap negara Muslim, seperti
contoh Bosnia, Somalia dan Palestina. Ketiga negara tersebut mengalami
kejahatan kemanusiaan bahkan pembersihan etnis (ethnic cleansing) dalam
perjalanan nya menuju pengakuan (de facto) dalam dunia internasional, namun
respon Amerika Serikat terhadap negara-negara tersebut tidak memiliki dampak
yang besar.
Tinjauan pustaka yang diambil dari tulisan Atouv ini memang terbilang
tulisan yang lama, namun tulisan ini memberikan penjelasan kepada peneliti
15
Ibid., Hal. 5.
8
bahwa indikasi standar ganda yang dilakukan oleh Amerika Serikat memang telah
ada di dalam politik luar negerinya sejak sebelum dan sesudah Perang Dingin.
Tulisan ini memberikan gambaran kepada peneliti bahwa terdapat peran aspek
change dan continuity pada politik luar negeri Amerika Serikat yang
menunjukkan indikasi standar ganda.
Tulisan kedua yang menjadi rujukan Peneliti ialah tulisan dari buku yang
ditulis oleh David Malone dan Yuen Foong Khong dengan judul Unilateralism
and U.S Foreign Policy In International Perspectives. Buku ini berbicara
mengenai politik luar negeri Amerika Serikat yang dinilai bersifat unilateralisme
dengan memanfaatkan hegemoni yang telah tercipta sebelumnya.16 David dan
Yuen juga menjabarkan konsekuensi dan dinamika yang akan dihadapi Amerika
Serikat dalam menjalankan politik luar negerinya yang bersifat unilateralisme.
Kedua penulis ini memulai tulisan nya dengan membandingkan proyeksi politik
luar negeri Amerika Serikat dengan sifat unilateralism vs multilateralism, kedua
konsep ini dipandang dalam fenomena Post Cold War.
Buku tersebut memprediksikan bahwa politik luar negeri Amerika Serikat
kedepannya akan lebih baik jika dilalui dengan pendekatan multilateralisme yang
mengangkat isu: rule of the law, peace and security, economic and development
dan regional policy.17 Pendekatan multilateralisme akan lebih baik digunakan
mengingat peran Amerika Serikat yang sangat besar dalam PBB dan WTO.
Namun yang menjadi kekurangan dalam tulisan ini yakni kedua penulis tidak
mampu menjelaskan lebih jauh peran Amerika Serikat dalam aspek peace and
security dan regional policy. Dalam aspek peace and security kedua penulis hanya
menyematkan peran Amerika Serikat dalam Peacekeeping, human right, dan
transnational crime, namun tidak memaparkan tantangan lebih jauh bagi politik
luar negeri Amerika Serikat. Begitu juga dengan aspek regional policy, kedua
penulis hanya menyinggung peran Amerika Serikat dalam NATO dan AsiaPasifik. Untuk memahami dan menelaah lebih dalam, tulisan ini mampu
menjabarkan perkembangan politik luar negeri Amerika Serikat, namun untuk
16
Malone, David and Yuen Foong Khong. 2003. Unilateralism and U.S Foreign Policy:
International Perspectives. USA: Lynne Rienner Publisher. Hal. 2.
17
Ibid. Hal. 5.
9
memaparkan isu keamnan dan regional Timur Tengah, masih diperlukan rujukan
bacaan lebih banyak lagi.
Rujukan ketiga yang diambil Peneliti ialah tulisan dari Jeremy M. Sharp
seorang spesialis kebijakan Timur Tengah di lembaga riset Kongres di Amerika
Serikat. Dalam tulisan nya yang berjudul Egypt: Background and U.S Relations,
Jeremy memaparkan sejarah dan kerjasama antara Mesir dan Amerika Serikat
serta dinamika kedua negara tersebut.
Dalam tulisan ini, Jeremey juga menyematkan peran Mesir dalam upaya
penyelesaian konflik Palestina dan Israel dalam sudut pandang sekutu Amerika
Serikat. Tulisan ini banyak menyinggung masalah pemerintahan di era Presiden
Mubarak dan peran Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang dianggap akan
mengganggu stabilitas Amerika Serikat di Mesir, jika parlemen dikuasai oleh IM.
Tulisan ini jga menyinggung perdebatan di Kongres Amerika Serikat perihal
pemberian bantuan (foreign assistance) terhadap Mesir dalam bidang bantuan
militer yang meningkat
hingga tahun 2010 sebesar $1,4 Juta dan bantuan
ekonomi sebesar $250 juta.18 Tulisan ini banyak membantu Peneliti untuk melihat
hubungan Mesir dengan Amerika sebelum tahun 2013, karena tulisan dari Jeremy
memang membatasi masalah nya pada tahun 2010. Tulisan ini juga dapat
memberikan gambaran politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Mesir
sebelum tahun 2013 (kudeta militer) sehingga perbandingan hubungan pra dan
pasca kudeta dapat dijadikan acuan untuk menentukan standar ganda Amerika
Serikat terhadap Mesir pada tahun 2013.
Rujukan keempat yang diambil Peneliti dalam penelitian ini memaparkan
sedikit mengenai “standar ganda” Amerika Serikat. Adalah tulisan Carlos Ortiz
yang berjudul Does A Double Standard Exist At The United Nations?: A Focus
On Iraq, Israel And The Influence of The United States on The UN. Tulisan dari
Carlos memaparkan peran Amerika Serikat yang sangat mendominasi di dalam
PBB. Poin utama yang dijelaskan dalam tulisan ini ialah standar ganda yang
diterapkan oleh Amerika Serikat dalam memutuskan beberapa resolusi di Dewan
Keamanan PBB. Standar ganda yang paling banyak diterapakan oleh Amerika
18
Jeremy M. Sharp. 2009. Egypt: Background and U.S Relations. Congressional Research
Service. May 12, (RL33003). Hal. 34. Diakses melalui www.crs.gov pada tanggal 27 Desember
2014.
10
Serikat berada dalam permasalahan di kawasan Timur Tengah, diantaranya invasi
Irak ke Kuwait, Perang Israel pada tahu 1967 dan konflik Palestina dengan Israel
yang masih berlangsung hingga sekarang.19
Tulisan ini menunjukkan bahwa kebijakan politik luar negeri Amerika
Serikat tercermin dalam keputusan yang diambil nya dalam PBB. Amerika Serikat
memilih bersikap standar ganda untuk menjaga kepentingan nasional dalam
beberapa keputusan yang diambil. Tulisan ini banyak memberi masukan terhadap
Peneliti mengenai standar ganda Amerika Serikat dalam PBB. Dan membuat
Peneliti lebih tertarik lagi untuk menelaah lebih dalam faktor-faktor apa saja yang
membuat Amerika Serikat lebih memilih sikap untuk menerapakan standar ganda
dalam masalah Timur Tengah, khususnya kasus kudeta Mesir.
Rujukan kelima yang diambil Peneliti ialah tulisan dari Marina Oatway
dan Thomas Carothers yang berbicara mengenai penegakan demokrasi di Timur
Tengah dengan judul Think Again: Middle East Democracy. Tulisan ini banyak
berbicara bahwa penegakan Demokrasi merupakan tujuan utama dari Amerika
Serikat, terutama di kawasan Timur Tengah. Tulisan ini juga memaparkan
beberapa pertanyaan dan pernyataan yang menganggap Amerika Serikat harus
menyesuaikan politik luar negeri dalam menegakkan demokrasi di Kawasan
Timur Tengah. Hal yang menjadi acuan penulis ialah istilah Third Wave yang
dikemukakan dalam tulisannya, menjabarkan bahwa demokrasi di Timur Tengah
merupakan fenomena gelombang ketiga setelah Eropa Selatan dan Amerika Latin
sejak 30 tahun silam.20
Marina dan Thomas menganggap bahwa penegakan demokrasi di Irak
pasca invansi Amerika Serikat belum sepenuh nya memberi efek yang berarti
untuk memberikan pengaruh terhadap proses demokratisasi di kawasan ini. Kedua
penulis ini juga menyebutkan bahwa Amerika Serikat mengalami proses
ambivalensi terhadap upaya penyebaran demokrasi di kawasan ini. Hal ini
disebabkan oleh bentuk pemerintahan di kawasan tersebut yang otoritarian serta
pengaruh demokratisasi yang harus disesuaikan dengan Islam. Tulisan ini banyak
19
Carloz Ortiz. 2002. Does A Double Standard Exist At The United Nations?: A Focus On Iraq,
Israel And The Influence of The United States on The UN. Wisconsin International Law Journal,
(Vol.22, No.2). Hal. 14.
20
Marina Ottaway dan Thomas Carothers. 2004. Think Again: Middle East Democracy. Foreign
Policy Publication. Hal. 2.
11
memberi masukan kepada Peneliti mengenai ambivalensi yang dialami oleh
Amerika Serikat, karena ambivalensi merupakan awal dari terciptanya standar
ganda yang dipilih oleh Amerika Serikat. Kekurangan tulisan ini ialah hanya
menjelaskan penerapan konsep demokrasi oleh Amerika Serikat secara umum di
kawasan Timur Tengah, tidak menjelaskannya secara spesifik
Rujukan keenam yang diambil oleh Peneliti merupakan esai yang ditulis
W. Andrew Terril dari buku yang berjudul After the Arab Spring. Esai ini banyak
memaparkan politik luar negeri Amerika Serikat pada tahun 2011 yang menjadi
sumber utama penulis untuk menelaah apa saja yang menjadi core interest
Amerika Serikat di Timur Tengah di bawah kepemimpinan Obama yakni:
(1) countering-terrorism, (2) stopping the spread of nuclear weapons, (3)
securing the free flow of commerce and safeguarding the security of the
region, and, (4) standing up for Israel’s security and pursuing Arab
Israeli peace.21
Esai ini banyak menjelaskan bahwa Amerika Serikat masih tetap akan
menggunakan mekanisme militernya untuk menjaga kepentingannya di kawasan
tersebut. Hal yang menarik dari esai ini berbicara mengenai kepemimpinan
beberapa negara di kawasan Timur Tengah yang masih di dominasi oleh sistem
autokrasi dan militer sehingga esai ini mencoba memberikan saran perihal
kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat untuk menelaah masalah tersebut
sejalan dengan salah satu core interest Amerika di kawasan Timur Tengah yakni
penegakan demokrasi di kawasan tersebut. Kekurangan dari tulisan ini ialah hanya
berbentuk esai sehingga masih banyak kekurangan dan tambahan rujukan yang
sesuai dengan ini untuk mengkorelasikannya dengan masalah yang akan diteliti
oleh peneliti.22
Keenam literatur diatas berbicara banyak mengenai politik luar negeri
Amerika Serikat serta penegakan demokrasi yang dianggap menjadi tujuan utama
dalam politik luar negeri Amerika Serikat. Seperti hal nya tulisan diatas, peneliti
ingin mengembangkan dan mengkhususkan penelitiannya pada penyebab
Amerika Serikat memilih standar ganda dalam masalah kudeta Mesir pada tahun
21
Andrew Terrill. 2011. Essay on book with the title “After the Arab Spring” disampaikan oleh
General Ray Odierno, Chief of Staff of the Army, “Regionally Aligned Force: A New Model for
Building Partnerships,” Army Live: Official Blog of the United States Army, (March 22, 2012).
Hal. 103.
22
Ibid.,
12
2013 dalam kerangka pengambilan politik luar negeri model aktor rasional.
Peneliti beranggapan bahwa keputusan yang dibuat oleh aktor rasional dalam
suatu negara akan berpengaruh terhadap pilihan dan konsekuensi politik luar
negeri yang dijalankannya. Pnelitian ini akan melengkapi analisis politik luar
negeri Amerika Serikat tersebut serta memaparkan faktor-faktor penyebabnya
dalam kerangka pengambilan politik luar negeri model aktor rasional.
1.4 Kerangka Teoritik
1.4.1 Model Aktor Rasional
Peneliti menggunakan kerangka dasar teori yang beranjak pada perspektif
rasionalisme dalam Hubungan Internasional. Perspektif ini melihat bagaimana
perilaku Amerika Serikat yang dikaji melalui teori pembuatan politik luar negeri
dihadapkan pada dilema-dilema yang terjadi dalam menghadapi kasus kudeta di
Mesir. Dilema ini menghadapkan Amerika Serikat kepada sejumlah pilihanpilihan dan konsekuensi yang terjadi pada setiap keputusan yang diambil. Teori
politik luar negeri pilihan rasional mengantarkan Amerika Serikat pada sebuah
keputusan final dimana standar ganda dalam politik luar negeri terkait kasus Mesir
adalah sebuah pilihan yang rasional bagi Amerika Serikat. Standar ganda sangat
berhubungan dengan realpolitics, sehingga dalam implementasinya selalu
bertentangan dengan prinsip-prinsip normatif. Secara harfiah, standar ganda
bermakna praktek hegemon yang terdapat dalam suatu kebijakan terhadap sekutu
dengan menggunakan kekuatan untuk berhadapan dengan musuh.23
Negara-negara yang berperilaku hegemon memang sangat dapat bertindak
standar ganda dalam kebijakan luar negeri nya. Di dalam kebijakan luar negeri
suatu negara, perilaku standar ganda sering kali diperlihatkan dengan perlakuan
khusus suatu negara terhadap sekutu nya (negara lain) dalam menghadapi musuh
negara tersebut. Uni Soviet dan Amerika Serikat merupakan negara yang
mensponsori tindakan tersebut dalam konstelasi politik internasional. Dimulai dari
1949, NATO terbentuk dengan kontribusi AS dan Pakta Warsawa yang dibentuk
oleh Uni Soviet di tahun 1955 telah membagi dunia Barat dalam fragmentasi
23
Yan Xuetong. 2011. International Leadership and Norm Evolution. The Chinese Journal of
International Politics, Vol.4. Hal. 245.
13
kelompok Barat dan Timur.24 Peristiwa ini juga memetakan negara-negara sekutu
dan musuh bagi kedua negara tersebut, dan menjadikan standar ganda sebagai
norma yang tersebar disebagian besar dunia.
Status kepemimpinan global juga memberikan AS kesempatan untuk
memperkuat norma standar ganda. Tindakan standar ganda yang dapat dilihat dari
AS ialah kebijakan luar negeri nya yang tidak akan mencampuri urusan domestik
suatu negara, namun disisi lain AS malah mendukung gerakan separatisme di
negara-negara non-Barat. Isu proliferasi juga menambah catatan AS dalam
merespon fenomena tersebut dengan bersikap standar ganda. Penegakan HAM
disisi lain juga melibatkan standar ganda AS, terutama pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh negara yang tidak memiliki hubungan baik dengan AS, seperti:
Myanmar. Pasca Perang Dingin indikasi standar ganda AS semakin terlihat
dengan adanya istilah “Democratic Peace” yang bermakna Barat melawan negara
non-Barat dalam upaya untuk menegakkan demokrasi, namun tidak saling
berlawanan antar sesama pihak Barat.25 Sikap standar ganda yang diambil oleh
suatu negara dalam menentukan kebijakan luar negerinya sangat erat dengan
tindakan rasionalisme, yang merupakan tindakan menimbang tolak ukur resiko
dalam menentukan keputusan.
Rasionalisme secara bahasa terdiri dari rasio (ratio) dan isme (ism). Dalam
perkembangan filsafat sosial, rasionalisme merupakan sebuah pemahaman dimana
pertimbangan “masuk akal” menjadi sebuah tolok ukur dalam bertindak.
Rasionalisme yang pada awalnya termasuk pada perkembangan generasi filsafat
pemikiran dan paradigma realis yang dibawa oleh Thomas Hobbes, Thucydides,
dan Machiavelli kemudian diadopsi menjadi sebuah perspektif atau paradigma
dalam Studi Hubungan Internasional oleh para pemikir realis seperti E.H Carr,
Morgenthau, dan Kenneth Waltz26.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori politik luar negeri yang
dipaparkan oleh Graham T. Allison dengan model aktor rasional (rational actor).
Dalam bukunya yang berjudul The Essence of Decision (1971), Graham T.
24
Ibid.,
Ibid., Hal. 257.
26
Scott Burchill dan Andrew Linklater. 1996. Theories of International Relations. New York: ST
Martin’s Press, INC. Hal. 125.
25
14
Allison menawarkan tiga lensa atau cara dalam memahami politik luar negeri
suatu negara, yaitu: model aktor rasional (rational actor), model proses organisasi
(the
organiszation
process),
dan
model
politik
birokrasi/pemerintahan
(bureaucratic/governmental politics).27
Pendekatan aktor rasional bukan berbicara mengenai analisa individu
dalam menentukan politik luar negeri. Pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh
perkembangan perspektif realisme yang menjadikan negara sebagai aktor tunggal
(unitary actor) dalam hubungan internasional. Dalam pandangan aktor rasional
keberadaan kekuasaan dan pengaruh negara sangat diperhitungkan. Pendekatan ini
tidak memerhatikan karakterisitik internal dari suatu negara seperti tipe
pemerintah, ekonomi, dan kualitas pemimpin yang memiliki peranan penting
untuk dianalisa.
Aktor rasional juga erat hubungannya dengan kepentingan nasional suatu
negara. Jika sebelumnya kepentingan nasional selalu dikaitkan dengan politik luar
negeri seperti yang dipaparkan oleh Morgenthau, pendekatan aktor rasional
mendefinisikan kepentingan berdasarkan power. Hal ini lah yang membuat aktor
rasional bisa menjabarkan motif dan rujukan ideologis setiap politik luar negeri
yang dibuat oleh setiap negara. Pendekatan aktor rasional memandang seluruh
politik luar negeri suatu bangsa memiliki ideas matter yang berbeda.28 Jika
dihubungkan dengan power maka pendekatan aktor rasional memandang power
sebagai suatu konsep yang perlu digerakkan oleh aktor. Aktor disini bisa
pemimpin suatu negara maupun rezim yang menjalankan suatu pemerintahan.
Setiap keputusan yang dihasilkan dalam kerangka kepentingan nasional maka
keputusan tersebut merupakan keputusan dari aktor rasional.
Pendekatan aktor rasional melihat motif dan rujukan ideologis untuk
menguji dan menjelaskan politik luar negeri suatu negara. Motif dan rujukan
ideologis ini disematkan pada yang paling berpengaruh dalam membuat politik
luar negeri. Berbeda dengan konsep idiosyncrasy yang ditawarkan sebelumnya
dalam perkembangan politik luar negeri, aktor rasional lebih menekankan seorang
27
A.E. Hara. 2001. Pengantar Analisa Politik Luar Negeri: Dari Realisme Sampai
Konstruktivisme. Bandung: Nuansa. Hal. 93.
28
Laura Neack. 2008. The New Foreign Policy Power Seeking In Globalized Era (2nd.ed). New
York: Rowman and Littlefield Publishers. Hal. 49.
15
aktor yang membuat politik luar negeri memiliki perbedaan dalam pembuatan
keputusan baik berupa tujuan, pilihan, konsekuensi dan pilihan yang telah dibuat.
Aktor rasional juga memadang setiap individu yang memiliki posisi
penting dalam pembuatan politik luar negeri telah melewati proses sosialisasi di
dalam pendidikan dan proses politik untuk membuat suatu tujuan. Mereka
memiliki perbedaan persepsi dalam kepentingan nasional namun memiliki
ekspektasi yang sama dalam common intererst.
Di dalam decision-making model, aktor rasional merupakan akar yang
akan menentukan keputusan yang akan diambil. Aktor rasional memiliki definisi
yang berbeda dalam istilah decision-making. Istilah ini diartikan sebagai suatu
cara untuk memilih alternatif dalam suatu keadaan yang belum pasti. Ini yang
membedakan decision-making yang dipaparkan oleh Allison dengan Richard
Snyder, H. W. Bruck serta Burton Sapin di tahun 1954.29 Decision-making
menurut ketiga ahli sebelumnya ialah meletakkan negara pada unitary actors
dalam menentukan keputusan. Selama semua negara memiliki kesamaan dalam
kepentingan nasional, maka setiap negara memiliki tujuan yang sama dalam
berpolitik internasional. Keputusan negara lebih terlihat dalam model ini dengan
melihat faktor internal dan eksternal seperti yang dikemukakan oleh Snyder.
Setiap politik luar negeri suatu negara akan terlihat terencana dan menghasilkan
problem-solving di dalam interaksi aksi-reaksi.
Dalam model decision-making, politik luar negeri selalu di deskripsikan
sebagai black box. Perbedaan model aktor rasional dan decision-making dalam
melihat black box ialah bagaimana cara kedua pendekatan ini melihat black box
tersebut. Model decision-making harus memandang seluruh black box (negara,
rezim, pemimpin) sama dalam segala hal, berbeda dengan model aktor rasional
yang mengurangi hal yang bersifat given dalam pandangan model decisionmaking. Aktor rasional memandang setiap black box memiliki alternatif dan
konsekuensi, aktor yang memilih alternatif dan konsekuensi ini lah yang
memberikan rujukan. Dengan kata lain model aktor rasional lebih dekat dengan
hal informasi terhadap masalah yang akan diselesaikan, kemungkinan untuk
29
Ibid., Hal. 50.
16
bertindak, kemungkinan untuk bereaksi dan estimasi keberhasilan terhadap pilihan
yang telah dibuat.
17
Bagan 1.1 : Proses Penetapan Politik Luar Negeri
Menurut Graham T. Allison Model Rational Actors
Goals
Phenomena
or Problem
Black Box
Options
Consequences
Diolah dari Graham T. Allison: The Essence of Decision (1971)
Choice
Beradasarkan bagan diatas, model aktor rasional jika dibahasakan dalam
kalkulasi ekonomi dapat digambarkan sebagai cara untuk memaksimalkan
kepentingan nasional dengan cara yang minimalisir. Keputusan yang dibuat
beradasarkan pertimbangan untung-rugi. Keputusan keluar dari black box (negara,
rezim, pemimpin) setelah menanggapi masalah atau fenomena yang ada, aktor
yang dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi menanggapi keputusan tersebut
dengan beberapa tujuan, pilihan dan konsekuensi yang telah dipilih hingga
menimbulkan suatu reaksi yang menjadi pertimbangan dan masuk serta
dirumuskan kembali di dalam black box.30
Di dalam pembuatan politik luar negeri tidak ada kata sempurna, terutama
aktor yang menggunakan model aktor rasional. Model pembuatan politik luar
negeri ini memang terlihat jauh dari kesempurnaan. Namun bukan itu yang
ditekan kan oleh pendekatan aktor rasional, pendekatan ini lebih menekankan
pada keadaan dimana aktor yang membuat keputusan dalam keadaan tertekan atau
banyak pilihan, namun tetap mengacu pada satu tujuan yang konsisten dengan
lebih menekankan pilihan pada fenomena atau masalah yang dominan. Fenomena
ini sering ditemukan dalam model aktor rasional, disebut bounded rationality oleh
Herbert Simon.
Bounded rationality dapat disebut sebagai penentu dalam membuat
keputusan dan pilihan yang kuat. Bounded rationality dipengaruhi oleh beberapa
pilihan yang ada dan situasi yang mempengaruhi suatu fenomena atau masalah
30
Graham T. Allison. 1996. Essence Of Decision Explaining The Cuban Missile Crisis. Boston:
Brown And Company. Hal. 256.
18
yang akan diselesaikan. Ketika model aktor rasional dihadapkan pada masalah
bounded rationality maka disitulah konseptualisme dari realisme mulai menjadi
kendaraan untuk menjalankan power. Realisme beranggapan bahwa negara
merupakan unitary actor dalam menjalankan politik internasional, namun dalam
pembuatan politik luar negeri negara juga memiliki aktor lain untuk menjalankan
pilihan dalam penentuan politik luar negeri. Secara tidak langsung model aktor
rasional juga menjelaskan bahwa model penentuan politik luar negeri ini dapat
dijalankan melalui konseptualisasi realisme klasik dan neo-realisme. Hal ini dapat
dilihat bahwa power dapat dikendarai oleh aktor lain dalam suatu negara, namun
masih dalam kerangka kepentingan nasional yang sama.
Model aktor rasional memang telah lama mendapatkan kritikan, seperti
yang disebutkan oleh Stephen L. Quackenbush di dalam jurnalnya yang berjudul
The Rationality of Rational Choice menyatakan bahwa teori ini selalu menemui
masalah secara umum dibidang ilmu politik, dan secara khusus dibidang studi
hubungan internasional.31 Teori ini dinilai tidak memiliki batas dalam ilmu
politik. Waltz menyatakan bahwa kritik yang menimpa teori ini terdapat di dalam
konsistensi logika, keaslian dan validalitas empiris.32 Secara umum, teori ini
mulai menemukan masalah dan perdebatannya pada tingkat asumsi. Jika teori lain
mampu menjelaskan asumsi nya dengan observasi dan data empirik yang umum,
teori ini masih dinilai sulit untuk mencapai ke arah tersebut. Namun dalam ilmu
sosial, asumsi dapat dinilai dalam sebuah pertanyaan dan pertanyaan yang dapat
membangun asumsi. Di dalam studi hubungan internasional pertanyaan dan
asumsi tersebut dapat dimulai dengan menimbangkan beberapa pilihan dan
konsekuensi terhadap fenomena, menjabarkan kedua hal tersebut sehingga
mendapatkan sebuah tujuan, hal inilah yang dapat membuat teori model aktor
rasional bersifat saintifik.
Model aktor rasional sangat dekat dengan proses tentang pemilihan
beberapa pilihan yang akan diambil oleh aktor pembuat politik luar negeri. Pilihan
tersebut dipilih berdasarkan beberapa konsekuensi yang telah dipertimbangkan.
31
Stephen L. Quackenbush. 2001. The Rationality of Rational Choice Theory. International
Interactions. (Vol, 30, No.2). Taylor & Francis, Inc. Hal. 87. Diakses melalui
http://www.tandfonline.com/action/journalInformation?journalCode=gini20 pada tanggal 23
November 2015.
32
Ibid., Hal. 88.
19
Misalnya suatu negara lebih memilih kebijakan A-B, dan B-C, tapi setelah melihat
konsekuensi pilihan bisa jatuh pada A-C atau mungkin sebaliknya yakni C-A.33
Tabel 1.1 Telaah Pendekatan Model Aktor Rasional Dalam Politik Luar
Negeri Amerika Serikat Terhadap Kudeta Mesir 2013
Goals
Choices
Hegemoni di Timur
Tengah
Goals
Choices
Hegemoni di Timur
Tengah
Goals
A
Options
Soft Power (Intervensi
Non-Militer,
menawarkan
perundingan sebagai
pihak ketiga)
B
Options
Responsibility to
Protect
Consequences
Kehilangan fokus
dalam menangani
masalah Irak dan
Suriah
Hubungan dengan
negara sekutu
Consequences
Pengalaman buruk di
Libya
Pergolakan gerakan
Islam di Timur
Tengah pasca Arab
Springs
Perubahan kebijakan
keamanan dalam
PLN AS di era
Presiden Barrack
Obama “scrutinizing
security”
C
Options
Consequences
Tidak
Pelanggaran
Hegemoni di Timur
Intervensi/Standar
demokrasi
Tengah
Ganda
HAM
Diolah dari: soft power and US foreign Policy by Inderjeet Parmar & Michael Cox (2010) dan a
concise history of US foreign policy by Joyce P. Kaufman (2010).
Choices
Berdasarkan penjelasan dari model aktor rasional, dapat dijelaskan bahwa
Amerika Serikat mengambil pilihan untuk memilih bersikap standar ganda dalam
menanggapi kasus kudeta Militer di Mesir. Hal ini diakibatkan oleh pengaruh
keadaan dan kondisi dari aktor yang membuat keputusan dalam menanggapi
masalah tersebut. Amerika Serikat dihadapkan pada dilema dalam masalah ini
karena beberapa faktor kondisi di kawasan Timur tengah sebelumnya yang
melibatkan Amerika Serikat dan keadaan sekutu-sekutu Amerika Serikat yang
banyak menghendaki kudeta militer di Mesir tercipta di kawasan Timur Tengah.
Kondisi lainnya yang menyebabkan Amerika Serikat memilih standar
ganda dapat diindikasikan pada tantangan dan pembendungan Amerika Serikat
33
Steve Smith etc., 2008. Foreign Policy: Theories, Actors, Cases (2nd edition). United Kingdom:
Oxford University Press., Hal. 131.
20
dalam penyebaran gerakan politik Islam yang semakin hari semakin menunjukkan
kekuatannya,
meskipun
Amerika
Serikat
selalu
memiliki
jalan
untuk
membendung hal tersebut. Faktor yang paling utama yang dapat dilihat dari
pilihan Amerika Serikat untuk memilih standar ganda ialah untuk tetap menjaga
hegemoni nya di kawasan Timur Tengah yang telah jauh hari ditetapkan dalam
Pax Americana yang mungkin akan terancam dengan kehadiran gerakan politik
Islam yang dapat membuat Pan-Islamisme sehingga membuat agenda-agenda
politik luar negeri Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah akan terganggu
seperti: kepentingan ekonomi dan penegakan HAM dan Demokrasi, termasuk
upaya perdamaian Israel-Palestina.
Berikut telaah sederhana standar ganda Amerika Serikat dalam pendekatan
model aktor rasioanal:
Bagan 1.2
Kolerasi Tindakan Amerika Serikat Dan Kudeta Mesir
Dalam Pendekatan Model Aktor Rasional
Phenomena
or problem:
Kudeta
Mesir 2013
Black Box:
Politik Luar
Negeri
Amerika
Serikat
Goals: Mempertahankan
hegemoni dan kepentingan
• Options: Standar ganda
• Choice: Tidak intervensi
atau Standar ganda
• Consequences: Pudarnya
makna Demokrasi dan
pelanggaran HAM
1.5 Argumen Utama
Dengan menggunakan model aktor rasional dalam pengambilan politik
luar negeri, Peneliti mengajukan argumen utama bahwa Amerika Serikat
21
mengambil sikap standar ganda dalam kasus kudeta Mesir pada tahun 2013 karena
pertimbangan:
1. Kebangkitan Ikhwanul Muslimin sebagai gerakan political Islam yang
dapat mengganggu kepentingan AS dan stabilitas perdamaian di Timur
Tengah.
2. Kondisi dinamika politik luar negeri AS serta sikap sekutu-sekutu
Amerika Serikat yang mendukung terciptanya kudeta militer di Mesir,
seperti: Arab Saudi, Israel, dan Uni Emirat Arab.
1.6 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif yang
menawarkan analisa yang bersifat interpretatif dirasa sangat sesuai untuk
menelaah masalah yang ada dalam penelitian ini. Dasar argumennya ialah bahwa
metode kualitatif lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak
penajaman pengaruh bersama terhadap pola nilai yang dihadapi.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sekunder dengan
metode kepustakaan (library research), dengan penggunaan data-data pendukung
yang dikumpulkan melalui beberapa studi literatur dan analisis dokumen seperti:
buku, artikel, jurnal, laporan dan berbagai media yang terkait dengan penelitian
ini. Dalam menganalisa data, peneliti menggunakan metode eksplanatif untuk
menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini. Penggunaan teknik pengumpulan
data akan diolah melalui metode diurutkan (sequence event analysis) yang banyak
berhubungan dengan source of data yang memberikan kemudahan bagi peneliti
untuk menemukan data-data yang diperlukan.
22
1.7 Organisasi Penelitian
Penelitian ini akan terdiri dari beberapa bab yang merupakan suatu
kesatuan pokok-pokok pemikiran yang akan dibahas dalam bab-bab tersebut. Oleh
karena itu penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa bab sebagai berikut:
1. Bab Pertama yang memaparkan latar belakang masalah, rumusan
masalah, tinjauan literatur, kerangka teoritik, argumen utama, metodologi
Penelitian, dan organisasi Penelitian.
2. Bab Kedua akan membahas kekhawatiran Amerika Serikat terhadap
kebangkitan IM. Bab ini akan banyak memaparkan keberadaan Ikhwanul
Muslimin di mata Amerika Serikat pada saat pra dan pasca the Arab
Spring hingga memenangkan pemilu di Mesir.
3. Bab Ketiga akan membahas dimensi politik luar negeri Amerika Serikat
Terhadap political Islam: Eksistensi Ikhwanul Muslimin Di Mesir. Bab ini
akan membahas dimensi PLN yang diperlihatkan oleh AS dalam
memandang Ikhwanul Muslimin sebagai political Islam yang sangat
berpengaruh dalam mengedepankan kepentingan AS di kawasan Timur
Tengah.
4. Bab Keempat akan membahas posisi Amerika Serikat dan negara-negara
sekutunya di Timur Tengah terhadap kudeta Mesir. Bab ini akan mencoba
menelaah posisi AS dalam kudeta Mesir, memaparkan konsekuensi yang
dipertimbangkan untuk menjadi pilihan AS dalam merespon kudeta Mesir
2013, serta indikasi AS dipengaruhi oleh sekutu-sekutunya di kawasan
Timur Tengah yang dilatarbelakangi oleh kemenangan IM.
5. Bab Kelima akan memaparkan kesimpulan sebagai inti sari dari tulisan ini
yang didapati dari penjelasan bab-bab sebelumnya.
23
Download