BAB III PEMETAAN ENTITAS-ENTITAS EKOSISTEM LANDAI Pemetaan entitas-entitas ekosistem pesisir memerlukan suatu analisis parameter pengukur pemetaan ekosistem. Parameter pengukuran dapat ditentukan dari faktor abiotik dan biotik ekosistem pesisir. Parameter pengukuran yang digunakan pada faktor abiotik suatu ekosistem pesisir diantaranya yaitu kelerengan, batimetri, hidrologi, geologi dan vulkanologi, iklim serta tanah. Sedangkan parameter pengukuran yang digunakan pada faktor biotik suatu ekosistem pesisir diantaranya yaitu vegetasi dan satwa, baik satwa yang hidup di darat maupun satwa yang hidup di laut. Dari parameter-parameter pengukuran yang ditentukan pada faktor abiotik dan faktor biotik tersebut dapat diuraikan apa-apa saja unit pengukuran atau pengamatan yang digunakan. Parameter pengukuran faktor abiotik suatu ekosistem pesisir yaitu parameter pengukuran kelerengan memiliki unit pengukuran/pengamatan kelas lereng. Maksudnya adalah dengan melakukan pengukuran kelerengan dapat dilakukan klasifikasi kelas lereng dari suatu ekosistem. Kemudian parameter pengukuran batimetri membuat kita mengetahui kelas kedalaman suatu ekosistem pesisir. Parameter pengukuran hidrologi mencakup kualitas air dan kerapatan aliran. Pada parameter pengukuran geologi dan vulkanologi dibahas mengenai jenis batuan dan aktivitas vulkanik. Parameter pengukuran iklim memiliki unit pengukuran curah hujan dan temperatur. Pada parameter pengukuran tanah yang diamati adalah keadaan fisik dan kandungan kimia tanah, jenis tanah, tekstur serta drainase. Dari parameter pengukuran faktor biotik suatu ekosistem pesisir yaitu parameter pengukuran vegetasi dapat diamati jenis vegetasi, diameter vegetasi, tinggi vegetasi, struktur vegetasi dan penutupan tajuk. Sedangkan parameter pengukuran faktor biotik suatu ekosistem pesisir yang lain yaitu parameter pengukuran satwa, halhal yang dapat diamati adalah jenis satwa, habitat satwa serta jelajah satwa, baik satwa yang hidup di darat maupun satwa yang hidup di laut. Adapun jenis data yang digunakan dalam pengukuran parameter kelerengan, batimetri, geologi dan vulkanologi adalah data sekunder berupa peta. Jenis data yang digunakan dalam pengukuran parameter iklim dan satwa darat dan laut adalah data sekunder, tidak mesti berbentuk peta. Jenis data yang digunakan dalam pengukuran parameter hidrologi, tanah dan vegetasi adalah data primer. 24 Baik data primer maupun data sekunder dapat diperoleh dari survey lapangan, Bakosurtanal, Direktorat Geologi Bandung, daerah, serta dari Puslit Tanah. Parameter Pengukuran pemetaan Ekosistem secara jelas divisualisasikan pada tabel 1. Tabel 3.1. Analisis Parameter Pengukuran Pemetaan Ekosistem [BAKOSURTANAL, 2006; www.ipb.ac.id] No Faktor Parameter Unit Jenis Pengukuran Pengukuran Data Sumber /Pengamatan 1. ABIOTIK 1. Kelerengan Kelas lereng Sekunder Bakosurtanal (peta) 2. Batimetri Kelas kedalaman Sekunder Bakosurtanal (peta) 3. Hidrologi Kualitas air dan Primer kerapatan aliran 3. Geologi Survei lapangan Jenis batuan dan Sekunder Direktorat Dan aktivitas (peta) Geologi Vulkanologi vulkanik 5. Iklim Curah hujan dan Bandung Sekunder Daerah Primer Puslit Tanah Primer Survei temperatur 6. Tanah Fisik dan kimia, jenis tanah, tekstur, drainase 2. BIOTIK 1. Vegetasi Jenis, diameter, tinggi, struktur, lapangan penutupan tajuk 2. Satwa darat dan laut Jenis, habitat, jelajah Sekunder Daerah, Survei lapangan Parameter pengukuran pemetaan ekosistem di atas dapat menjadi suatu acuan pengklasifikasian entitas ekosistem-ekosistem pesisir yang akan dijelaskan secara lebih mendetail sebagai berikut. 25 3.1. Entitas Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) Karakteristik Hutan mangrove sering kali disebut dengan hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove tidak atau sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya seperti pada Gambar 3.1. Mangrove sejatinya membentuk struktur hutan yang kompleks dan memiliki produktivitas tinggi sehingga menjadi daerah mencari makan (feeding grund) dan daerah pengasuhan (nursery ground) bagi ikan-ikan dan udang yang tinggal dalam ekosistem mangrove. Mangrove pun berperan sebagai pengikat zat pencemar dengan kandungan substrat yang dimilikinya. Dengan keberadaan mangrove pula kandungan oksigen di daerah pesisir menjadi stabil. Gambar 3.1. Ekosistem Hutan Mangrove (sumber : Microsoft Encarta 2007) Penting untuk diperhatikan bahwa banyak hal yang dapat mengubah faktorfaktor tersebut, berasal dari aktivitas manusia yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove. Karenanya, konservasi dan pemanfaatan mangrove tergantung sepenuhnya terhadap perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove. 26 Manusia melakukan berbagai kegiatan di sekitar ekosistem mangrove yang secara sadar atau tidak telah memberikan dampak yang buruk bagi keberlangsungan ekosistem tersebut. Menurut Berwick, seorang analis biofisika yang mengkaji sumber daya pesisir dan laut tropis, memaparkan beberapa dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove. Kegiatan manusia di mangrove antara lain tebang habis, pengalihan aliran air tawar, konversi menjadi lahan pertanian dan perikanan, pembuangan sampah cair dan sampah padat, juga pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar. Upaya yang dilakukan manusia dalam melakukan konversi hutan mangrove menjadi lahan pertanian memunculkan berbagai dampak ikutan. Tebang habis yang dilakukan oleh manusia yang beraktivitas di dalam hutan mangrove berdampak pada berubahnya komposisi tumbuhan. Pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai komersialnya rendah.dan hutan mangrove yang ditebang habis tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang komersial penting seperti pada Gambar 3.2. Tabel 3.2. Peran dan manfaat hutan bakau Peran dan Manfaat Hutan Bakau Pelindung alami yang paling kuat dan praktis Jika hutan bakau hilang Abrasi pantai. untuk menahan erosi pantai. Mengakibatkan intrusi air laut lebih jauh ke daratan. Menyediakan berbagai hasil kehutanan seperti kayu bakar, alkohol, gula, bahan penyamak Mengakibatkan banjir. kulit, bahan atap, bahan perahu, dll. Perikanan laut menurun. Mempunyai potensi wisata. Sumber mata pencaharian penduduk Sebagai tempat hidup dan berkembang biak setempat menurun. ikan, udang, burung, monyet, buaya dan satwa liar lainnya yang diantaranya endemik. Gambar 3.2. Jika Hutan Bakau hilang (sumber : Microsoft Encarta 2007) 27 Menurut [Dahuri, 2003], Lugo dan Snedaker (1974) dalam Day et al., (1989), mengklasifikasikan hutan mangrove menjadi 6 tipe komunitas hutan mangrove berdasarkan pada bentuk hutan dan kaitannya dengan proses geologi serta hidrologi di Florida, USA, yaitu (1) hutan delta (over wash forest); (2) hutan tepi pantai (fringe forest); (3) hutan tepi sungai (riverin forest); (4) hutan dataran (basin forest); (5) hammock forest; dan (6) hutan semak (scrub forest). Namun Soemodihardjo et al., (1986) mengklasifikasikan hutan mangrove Indonesia menjadi 4 kelas, yaitu (1) delta, terbentuk di muara sungai yang berkisaran pasang surut rendah, (2) dataran lumpur, terletak di pinggiran pantai, (3) dataran pulau, berbentuk sebuah pulau kecil yang pada waktu surut rendah muncul di atas permukaan air, dan (4) dataran pantai, habitat mangrove yang merupakan jalur sempit memanjang sejajar garis pantai. Hutan Mangrove di Indonesia Kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara merupakan pusat penyebaran hutan mangrove dunia. Kawasan ini mewakili 41,5% dari luas mangrove dunia. Sedangkan Indonesia mewakili 25% dari luas mangrove dunia, dan 75% luas mangrove di Asia Tenggara. Sampai saat ini wilayah Indonesia masih diakui sebagai wilayah yang memiliki habitat mangrove terluas di dunia. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan bakau terluas di dunia. Luas hutan bakau yang dimiliki Indonesia hampir mencapai 4 juta hektar. Bakau di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, seluruhnya mencapai 90 jenis (umumnya tidak berkaitan) dan 40 jenis diantaranya berupa pohon [Sloan, 1993]. Lebar zona hutan mangrove di Indonesia berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya, tergantung dari fisiografi wilayah pesisir dan dinamika pasang surut. Pada pasar berbentuk lurus, ketebalan hutan mangrove hanya berkisar antara 25 sampai 50 m seperti di pantai Utara Jawa. Pada kawasan estuari dan teluk yang dangkal dan tertutup, lebar hutan mengrove dapat mencapai beberapa kilometer dan bahkan mencapai puluhan kilometer, seperti yang terdapat di sungai Sembilang (Sumatera Selatan) atau Teluk Bintan dari Irian Jaya. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem yang kompleks. Kehadiran berbagai organisme yang hidup di hutan mangrove memberikan gambaran kepada kita bahwa komunitas mangrove mempunyai keterkaitan yang erat dengan komunitas yang lain, baik yang terdapat 28 daratan maupun di perairan. Disamping itu, kanopi yang lebat dari vegetasi mangrove akan menciptakan kondisi yang baik terhadap kualitas udara ambien, sehingga tercipta iklim mikro yang baik di wilayah pesisir (Dahuri, 2003). Gambar 3.3. Ekosistem mangrove di Segara Anakan, Cilacap dan pemanfaatannya (Sumber : www.bbc.co.uk) Pohon mangrove yang masih muda di Segara Anakan, Cilacap, Indonesia, tumbuh subur, namun banyak yang sudah tua ditebang oleh masyarakat sekitar. Segara Anakan merupakan salah satu habitat burung kuntul. Juga masih terlihat setidaknya dua ekor Bangau Tongtong, yang sudah terancam punah. Banyak warga Kecamatan Kampung Laut, Segara Anakan, yang menebang pohon mangrove untuk memasak sejak minyak tanah makin sulit ditemukan sementara bahan bakar gas belum masuk. Pemukiman penduduk di Segara Anakan membuat perlindungan atas hutan mangrove menjadi sulit diterapkan seperti pada Gambar 3.3. Ekosistem mangrove berperan sebagai filter awal dari adanya interaksi daratan terhadap ekosistem lautan. Bersama-sama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang, ekosistem mangrove membentuk suatu sistem yang saling terkait satu sama lain dilihat dari sudut pandang ekologis. [Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut BAKOSURTANAL, 2006] 29 Tiga parameter lingkungan utama yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan hutan bakau, yaitu [Dahuri dkk, 2004]: 1. Suplai air tawar dan salinitas Ketersediaan air tawar dan salinitas mengendalikan efisiensi metabolik (metabolik efficiency) dari ekosistem hutan bakau. Ketersediaan air tawar tergantung dari: (a) frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat (b) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut (c) tingkat evaporasi ke atmosfir (d) air hujan perubahan dari sistem daerah aliran sungai dapat mengakibatkan terjadinya modifikasi/perubahan masukan air tawar yang tidak hanya akan mengubah kadar garam, tetapi juga dapat mengubah aliran nutrien dan sedimen. 2. Pasokan nutrien Pasokan nutrien bagi ekkosistem hutan bakau ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring makanan berbasis detrius. Konsentrasi relatif dari rasio optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem hutan bakau ditentukan dari : (a) frekuensi, jumlah, dan lamanya penggenangan oleh air asin atau tawar (b) dinamika sirkulasi internal dari kompleks detritus 3. Kestabilan substrat Kestabilan substrat adalah rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen. Kestabilan substrat ini diatur oleh velositas air tawar, muatan sedimen, semburan air pasang surut dan gerak angin. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies hutan bakau tergambar dari kemampuan hutan bakau untuk menahan akibat yang menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan sedimentasi dalam ambang batas kritik meliputi: (a) penggumpalan sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh hutan bakau (b) nutrien, bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan nutrien dan menyaring bahan beracun (waste toxic). 30 Parameter pengukuran pemetaan ekosistem hutan bakau dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 3.3. Parameter Pengukuran Pemetaan Ekosistem Hutan Mangrove No 1. Faktor ABIOTIK Parameter Unit Pengukuran Pengukuran /Pengamatan 1. Kelerengan 2. Batimetri Klasifikasi Kelas lereng Landai dan (topografi) curam - Pasang (lama, durasi, rentang) 3. Hidrologi - Gelombang - Arus - Kualitas air 10-30 ppt (Salinitas) dan kerapatan aliran 4. Iklim 5. Tanah - O2 terlarut - Hara - Cahaya - Curah hujan - Temperatur 1500-3000 mm/tahun - Angin Fisik dan kimia, jenis tanah, tekstur, drainase 2. BIOTIK 1. Vegetasi - Jumlah tegakan - Diameter dahan - Jenis, tinggi, > 10 cm struktur, penutupan tajuk 2. Satwa darat - Jumlah spesies Dan laut - Jenis, habitat, jelajah Parameter pengukuran pemetaan ekosistem di atas dapat menjadi suatu acuan pengklasifikasian entitas ekosistem hutan mangrove yang akan dijelaskan secara lebih mendetail sebagai berikut. 31 Faktor Abiotik 1. Kelerengan Kelas Kelerengan (Topografi) Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh. 2. Oseanografi Pasang (lama, durasi, rentang) Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut [www.ipb.ac.id]: - Lama pasang : Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme - Durasi pasang : Struktur dan kesuburan mangrove pada kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada. 32 - Rentang pasang : Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi. Gelombang dan arus 1. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan. 2. Gelombang dan arus berpengaruh terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh. 3. Gelombang dan arus juga berpengaruh terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove 4. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut. 33 3. Hidrologi Salinitas Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air. Oksigen terlarut Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari 4. Iklim Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertimbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: Cahaya Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya. Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol. 34 Curah hujan Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah. Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun Temperatur Temperatur Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi). Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28C. Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26C. Angin Angin Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove. 5. Tanah (substrat) Fisik dan kimia, jenis tanah, tekstur, drainase a. Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove b. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan berlumpur c. Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir d. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat e. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan Avicennia/Sonneratia/Rhizophora/Bruguiera f. Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah g. Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca 35 Faktor Biotik 1. Vegetasi Jumlah tegakan Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai Diameter batang Ukuran diameter batang di atas 10 cm berkorelasi positif terhadap jumlah daun yang yang jatuh ke dalam perairan. Semakin besar diameter batangnya, semakin banyak daun yang dihasilkan [Twilley dalam Day et al. 1989]. Jenis Setiap jenis mangrove memiliki karakteristik masing-masing dikaitkan dengan daya adaptasi terhadap salinitas, kemampuan menahan gelombang dan juga dipengaruhi oleh pasang surut serta jenis tanah tempat spesies mangrove tersebut hidup. [Dahuri, 2003] Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sejauh ini di Indonesia tercatat ada 202 jenis tumbuhan mangrove yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis tumbuhan memanjat (liana), 44 jenis herba tanah, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis tumbuhan paku. Dari 202 jenis tumbuhan tersebut, hanya 43 jenis yang merupakan mangrove sejati (true mangrove). Sementara, tumbuhan mengrove sejati di dunia tercatat ada 60 jenis. Beberapa genera pohon mangrove yang umum dijumpai di pesisir Indonesia adalah bakau, api-api, pedada, tanjang, nyirih, tengar, dan buta-buta. Jenis penutupan tajuk Penutupan tajuk (kanopi) yang lebat dari vegetasi mangrove akan menciptakan kondisi udara yang memiliki kualitas yang baik.Dari luas lahan mangrove, diidentifikasi pembagian kerapatan tajuk rendah, kerapatan tajuk sedang, dan kerapatan tajuk tinggi. 36 Tinggi vegetasi Klasifikasi hutan mangrove berdasarkan geomorfologi adalah sebagai berikut : 1. Overwash mangrove forest Mangrove merah merupakan jenis yang dominan yang sering dibanjiri dan dibilas oleh pasang, menghasilkan ekspor bahan organik dengan tingkat yang tinggi. Tinggi pohon maksimum adalah sekitar 7 m. 2. Fringe mangrove forest Mangrove fringe ini ditemukan sepanjang terusan air, digambarkan sepanjang garis pantai yang tingginya lebih dari rata-rata pasang naik. Ketinggian mangrove maksimum adalah sekitar 10 m. 3. Riverine mangrove forest Mangrove riverine ini merupakan daerah pembilasan reguler. Ketiga jenis bakau, yaitu putih (Laguncularia racemosa), hitam (Avicennia germinans) dan mangrove merah (Rhizophora mangle) terdapat di dalamnya. Tinggi rata- ratanya mencapai 18-20 m. 4. Basin mangrove forest Kelompok jenis kerdil yang terletak di bagian dalam rawa akibat tekanan runoff terestrial yang menyebabkan terbentuknya cekungan atau terusan ke arah pantai. mangrove putih dan hitam lebih mendominasi. Pohon dapat mencapai tinggi 15 m. 5. Hammock forest Biasanya serupa dengan tipe (4) di atas tetapi mereka ditemukan pada lokasi sedikit lebih tinggi dari area yang melingkupi. Semua jenis ada tetapi tingginya jarang lebih dari 5 m. 6. Scrub or dwarf forest Jenis komunitas ini secara khas ditemukan di pinggiran yang rendah. Semua dari tiga jenis ditemukan tetapi jarang melebihi 1.5 m ( 4.9 kaki). Nutrient merupakan faktor pembatas. 37 2. Satwa darat dan laut Jumlah spesies, jenis, habitat, pola penyebaran Hutan mangrove merupakan habitat bagi fauna krustasea dan moluska. Menurut (Kartawinata et al. 1979, Toro, 1979) tercatat ada 80 spesies krustasea dan 65 spesies moluska yang hidup di perairan hutan mangrove di Indonesia. Hasil penelitian di Laguna Segara Anakan oleh Tim Peneliti Perikanan (CRMP, 1992), melalui Proyek Pengelolaan Sumber Daya Pesisir tahun 1986-1991, menemukan berbagai jenis juvenil ikan, udang, kepiting, dan moluska, baik yang tersebar di dalam laguna maupun di lepas pantai. Selanjutnya Tim Perikanan CRMP juga menyebutkan bahwa fauna ikan yang ditemukan terdiri dari ikan pelagis dan jenis ikan yang bermigrasi di antara laut dan sistem estuari; seperti ikan tembang, ikan belanak, ikan layur, tuna, dan ikan petek. Di samping itu cumi-cumi dan udang panaeid jumlahnya berlimpah. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Naamin dalam CRMP (1992) bahwa spesies perikanan yang sangat penting di Segara Anakan terdiri dari 10 jenis ikan, yaitu teri, tembang, petek, belanak, gulamah, layur, ikan lidah, bloso, parang-parang, dan lomei; 6 jenis udang yaitu 2 jenis udang jerbung, windu, 2 jenis dogol, dan krosok; 1 spesies kepiting; serta 4 spesies moluska, yaitu cumi-cumi, sotong, kerang darah, dan kerang bulu. Kehadiran berbagai macam spesies biota tersebut sangat ditentukan oleh adanya vegetasi mengrove yang hidup di daerah pesisir, terutama yang ada di daratan Cilacap maupun di Pulau Nusakambangan. Selanjutnya, produktivitas perikanan yang ada di laguna juga dipengaruhi oleh kondisi daerah pengairan di bagian atas, yang dapat membawa partikel dan nutrien serta suplai air tawar melalui daerah estuari, seperti Sungai Citandui. Dinamika ekologi perairan laguna akan mempengaruhi produktivitas perikanan di lepas pantai. Di bagian utara Pulau Pari, Kepulauan Seribu, ditemukan 47 spesies ikan yang berasal dari 27 famili (Hutomo dan Djamali, 1984). Di samping itu, pada ekosistem hutan mangrove juga terdapat berbagai satwa yang berasosiasi dengannya, seperti jenis burung, mamalia, reptil, dan amphibi. 38 3.2. Entitas Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan keunikan diantara asosiasi komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Struktur terumbu terbentuk melalui aktifitas kalsifikasi oleh polip karang dengan bantuan alga simbion zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan polip karang seperti pada Gambar 3.4. Gambar 3.4. Ekosistem Terumbu Karang (sumber : Microsoft Encarta 2007) Pada ekosistem terumbu karang ini terdapat kontur yang berbentuk dinding hingga rataan dengan tutupan karang dan ribuan asosiasi ikan dan biota laut di dalamnya. Hal yang menarik dan memiliki karakteristik yang unik dari ekosistem terumbu karang ini adalah kecepatan arus yang sangat kuat dan banyak yang mengalami perputaran, serta pembalikan massa air pada waktu-waktu tertentu yang sangat mempengaruhi ekosistem terumbu karang dan biota lainnya terutama ikan. [Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut BAKOSURTANAL, 2006] Profil tipe zona terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 3.5 di bawah ini. Gambar 3.5. Profil tipe zona Terumbu Karang (Sumber: NOAA) 39 Tipe-tipe terumbu karang Terumbu karang merupakan ekosistem yang terdiri dari berbagai macam habitat, yang komponen utamanya adalah karang, yaitu organisme yang menghasilkan kalsium karbonat yang dapat membentuk endapan-endapan masif yang disebut terumbu. Terdapat tiga tipe dasar terumbu karang, yaitu : fringing reef yang terbentuk sepanjang pantai melekat pada daratan, barrier reef yang terbentuk memisah dari daratan, dan atoll yang menghasilkan bentukan yang disebut laguna. Ketiga tipe dasar terumbu karang tersebut divisualisasikan pada Gambar 3.6. Gambar 3.6. Tipe-tipe terumbu karang, yaitu fringing reef terumbu karang tepi (kiri), barrier reef (tengah), dan atoll (kanan). (Sumber:www.ipb.ac.id) Berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan (land masses) terdapat tiga klasifikasi tipe terumbu karang yang sampai sekarang masih secara luas dipergunakan. Ketiga tipe tersebut adalah : 1. Terumbu karang tepi (fringing reefs) Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal. Contoh: Bunaken (Sulawesi), P. Panaitan (Banten), Nusa Dua (Bali). 40 2. Terumbu karang penghalang (barrier reefs) Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0.52 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang ini tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus, contoh Spermonde (Sulsel), Banggai Kepulauan (Sulteng). (Gambar 3.7) Gambar 3.7. Barrier Reef melindungi komponen ekosistem pesisir dan laut dari tekanan gelombang dan badai (kiri) Terumbu karang yang berbentuk cincin disebut Atoll (kanan) 3. Terumbu karang cincin (atolls) Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau-pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter. Contoh: Taka Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pulau Dana (NTT), Mapia (Papua). Namun demikian, tidak semua terumbu karang yang ada di Indonesia bisa digolongkan ke dalam salah satu dari ketiga tipe di atas. Dengan demikian, ada satu tipe terumbu karang lagi yaitu: 4. Terumbu karang datar/Gosong terumbu (patch reefs) Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau datar (flat island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan, dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Contoh: Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh) 41 Zonasi terumbu karang Zonasi terumbu karang berdasarkan hubungannya dengan paparan angin terbagi menjadi dua (gambar 3.8), yaitu: 1. Windward reef (terumbu yang menghadap angin) 2. Leeward reef (terumbu yang membelakangi angin) Gambar 3.8. Zonasi umum terumbu karang terhadap paparan angin Windward reef Windward merupakan sisi yang menghadap arah datangnya angin. Zona ini diawali oleh reef slope atau lereng terumbu yang menghadap ke arah laut lepas. Di reef slope, kehidupan karang melimpah pada kedalaman sekitar 50 meter dan umumnya didominasi oleh karang lunak. Namun, pada kedalaman sekitar 15 meter sering terdapat teras terumbu atau reef front yang memiliki kelimpahan karang keras yang cukup tinggi dan karang tumbuh dengan subur. Mengarah ke dataran pulau atau gosong terumbu (patch reef), di bagian atas reef front terdapat penutupan alga koralin yang cukup luas di punggungan bukit terumbu tempat pengaruh gelombang yang kuat. Daerah ini disebut sebagai pematang alga atau algal ridge. Akhirnya zona windward diakhiri oleh rataan terumbu (reef flat) yang sangat dangkal Leeward reef Leeward merupakan sisi yang membelakangi arah datangnya angin. Zona ini umumnya memiliki hamparan terumbu karang yang lebih sempit daripada windward reef dan memiliki bentangan goba (lagoon) yang cukup lebar. Kedalaman goba biasanya kurang dari 50 meter, namun kondisinya kurang ideal untuk pertumbuhan karang karena kombinasi faktor gelombang dan sirkulasi air yang lemah serta sedimentasi yang lebih besar. 42 Distribusi terumbu karang Ekosistem terumbu karang dunia diperkirakan meliputi luas 600.000 km2. Terumbu karang dapat ditemukan di 109 negara di seluruh dunia, namun diduga sebagian besar dari ekosistem ini telah mengalami kerusakan atau dirusak oleh kegiatan manusia setidaknya terjadi di 93 negara. Gambar dibawah ini memperlihatkan peta lokasi sebaran ekosistem terumbu karang di seluruh dunia. Gambar 3.9. Distribusi terumbu karang dunia Berdasarkan distribusi geografi pada gambar 3.9 di atas, maka 60% dari terumbu dunia ditemukan di Samudera Hindia dan Laut Merah, 25% berada di Samudera Pasifik dan sisanya 15% terdapat di Karibia. Pembagian wilayah terumbu karang dunia yang lain dan lebih umum digunakan adalah: a. Indo-Pasifik, Region Indo-Pasifik terbentang mulai dari Asia Tenggara sampai ke Polinesia dan Australia, ke bagian barat dari Samudera Pasifik sampai ke Afrika Timur. Region ini merupakan bentangan terumbu karang yang terbesar dan terkaya dalam hal jumlah spesies karang, ikan, dan moluska. b. Atlantik bagian barat, Region Atlantik Barat terbentang dari Florida sampai Brazil, termasuk daerah Bermuda, Bahamas, Karibia, Belize dan Teluk Meksiko. c. Laut Merah, Region Laut Merah, terletak di antara Afrika dengan Saudi Arabia. 43 Dalam ekosistem terumbu karang ada karang yang keras dan lunak. Karang batu adalah karang yang keras disebabkan oleh adanya zat kapur yang dihasilkan oleh binatang karang. Melalui proses yang sangat lama, binatang karang yang kecil (polyp) membentuk koloni karang yang kental, yang sebenarnya terdiri atas ribuan individu polyp. Karang batu ini menjadi pembentuk utama ekosistem terumbu karang. Walaupun terlihat sangat kuat dan kokoh, karang sebenarnya sangat rapuh, mudah hancur dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Peran dan manfaat terumbu karang : Sebagai tempat hidupnya ikan-ikan yang banyak dibutuhkan manusia untuk pangan, seperti ikan kerapu, ikan baronang, ikan ekor kuning, dll. Sebagai benteng pelindung pantai dari kerusakan yang disebabkan oleh gelombang atau ombak laut bagi ekosistem pesisir lainnya seperti ekosistem hutan mangrove dan ekosistem padang lamun, serta sebagai benteng pelindung bagi berbagai macam aktivitas manusia di pesisir, sehingga manusia dapat hidup di daerah dekat pantai. Sebagai tempat untuk wisata. Karena keindahan warna dan bentuknya, banyak orang berwisata bahari. Keindahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.10. Gambar 3.10. keindahan warna dan bentuk terumbu karang menarik masyarakat berwisata bahari. 44 Distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang tergantung dari parameter fisika dan kimia air laut, yaitu [Dahuri, dkk, 1996] : (1) Kecerahan Sinar matahari merupakan faktor penting dalam pembentukan karang. Penetrasi sinar menentukan kedalaman di mana proses fotosintesis terjadi pada organisme autotrof dari jaringan terumbu. Oleh karena itu terumbu karang hanya dapat hidup pada kedalaman efektif sekitar 10 meter dimana sinar matahari masih dapat menembus sampai kedalaman tersebut. (2) Temperatur Pada umumnya, terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu antara 25oC - 29oC. (3) Salinitas Umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar wilayah pesisir pada salinitas 30 – 35 ppt (o/oo). (4) Kecepatan arus air, sirkulasi dan sedimentasi Adanya kondisi sedimentasi yang tinggi akan menyebabkan turunnya kualitas terumbu karang. Hal ini dapat diterangkan dengan adanya suspensi dan sedimentasi yang mengganggu respirasi dari terumbu karang. 45 Parameter pengukuran pemetaan ekosistem hutan bakau dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 3.4. Parameter Pengukuran Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang [BAKOSURTANAL, 2006; www.ipb.ac.id] No 1. Faktor ABIOTIK Parameter Unit Pengukuran Pengukuran /Pengamatan 1. Batimetri Kelas kedalaman 2. Oseanografi - Gelombang Arus Salinitas - Debit - Sirkulasi - Sedimentasi - Cahaya 15-20% dari - Kecerahan intensitas di - Temperatur permukaan - Paparan udara - Jenis life-form - tajuk (% penutupan) - Kondisi - Jenis, habitat, pola 3. Hidrologi 4. Iklim 2. BIOTIK Klasifikasi 1. Vegetasi dan Satwa < 25 meter 32-35 ‰ 23-25 °C persebaran Ekosistem terumbu karang dapat berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan perairan mendukung pertumbuhan karang. Parameter pengukuran pemetaan ekosistem di atas dapat menjadi suatu acuan pengklasifikasian entitas ekosistem hutan mangrove yang akan dijelaskan secara lebih mendetail sebagai berikut ini. 46 Gambar 3.11. Kombinasi faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan karang dan perkembangan terumbu. (Sumber : www.ipb.ac.id) Faktor Abiotik 1. Batimetri Kelas kedalaman Faktor kedalaman berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan. 2. Oseanografi Gelombang Gelombang merupakan faktor pembatas karena gelombang yang terlalu besar dapat merusak struktur terumbu karang, contohnya gelombang tsunami. Namun demikian, umumnya terumbu karang lebih berkembang di daerah yang memiliki gelombang besar. Aksi gelombang juga dapat memberikan pasokan air segar, oksigen, plankton, dan membantu menghalangi terjadinya pengendapan pada polip karang. Arus Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk. Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae, sedangkan bersifat negatif apabila menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian karang. 47 3. Hidrologi Salinitas Terumbu karang hanya dapat hidup di perairan laut dengan salinitas normal 32-35 ‰. Umumnya terumbu karang tidak berkembang di perairan laut yang mendapat limpasan air tawar teratur dari sungai besar, karena hal itu berarti penurunan salinitas. Contohnya di delta sungai Brantas (Jawa Timur). Di sisi lain, terumbu karang dapat berkembang di wilayah bersalinitas tinggi seperti Teluk Persia yang salinitasnya 42 %. 4. Iklim Cahaya Faktor cahaya berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellae yang terdapat di jaringan karang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan. Kecerahan Faktor ini berhubungan dengan penetrasi cahaya. Kecerahan perairan tinggi berarti penetrasi cahaya yang tinggi dan ideal untuk memicu produktivitas perairan yang tinggi pula. Suhu Secara global, sebarang terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20 °C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18 °C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25 °C, dan dapat menoleransi suhu sampai dengan 36-40 °C. Paparan udara (aerial exposure) Paparan udara terbuka merupakan faktor pembatas karena dapat mematikan jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis di dalamnya. 48 Faktor Biotik Berdasarkan fungsinya dalam pembentukan terumbu (hermatype- ahermatype) dan ada/tidaknya alga simbion (symbiotic-asymbiotic), maka karang terbagi menjadi empat kelompok berikut: 1. Hermatypes-symbionts. Kelompok ini terdiri dari anggota karang pembangun terumbu yaitu Scleractinia (karang batu), Octocorallia (karang lunak) dan Hydrocorallia. 2. Hermatypes-asymbionts.· Kelompok ini merupakan karang dengan pertumbuhan lambat yang dapat membentuk kerangka kapur masif tanpa bantuan zooxanthellae, sehingga mereka mampu untuk hidup di dalam perairan yang tidak ada cahaya. 3. Ahermatypes-symbionts. Anggota kelompok ini antara lain hidup dalam bentuk polip tunggal kecil atau koloni kecil sehingga tidak termasuk dalam pembangun terumbu. 4. Ahermatypes-asymbionts. Anggota kelompok ini mempunyai polip yang kecil 49 3.3. Entitas Ekosistem Padang Lamun Ekosistem padang lamun merupakan tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam laut. Hidupnya di perairan dangkal agak berpasir, sering pula dijumpai pada terumbu karang. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya. (Gambar 3.12) Gambar 3.12. Padang lamun (sumber : ma’ruf_kasim.wordpress.com) Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah : 1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir 2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang 3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung 4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan 5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air 6. Mampu hidup di media air asin Gambar 3.13. Dugong, mamalia laut langka yang hidup di padang lamun (Sumber : ma’ruf_kasim.wordpress.com) 50 Fungsi dan Peranan Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti dugong yang dapat dilihat pada Gambar 3.13, ikan, Krustasea, Moluska, Echinodermata dan cacing (www.ipb.ac.id). Menurut Azkab (1988) dalam www.ipb.ac.id, ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, menurut hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut: 1. Sebagai produsen primer Lamun mempunyai tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu karang. 2. Sebagai habitat biota Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan– ikan karang (coral fishes). 3. Sebagai penangkap sedimen Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah erosi. 4. Sebagai pendaur zat hara Lamun memegang peranan penting dalam pendauran barbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka di lingkungan laut. 51 Sedangkan menurut Philips & Menez (1988) dalam www.ipb.ac.id, ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif. ekosistem lamun perairan dangkal mempunyai fungsi antara lain: 1. Menstabilkan dan menahan sedimen–sedimen yang dibawa melalui I tekanan– tekanan dari arus dan gelombang. 2. Daun-daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan sedimentasi. 3. Memberikan perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa yang berkunjung ke padang lamun. 4. Daun–daun sangat membantu organisme-organisme epifit. 5. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi. 6. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan. Lamun kadang-kadang membentuk suatu komunitas yang merupakan habitat bagi berbagai jenis hewan laut. Komunitas lamun ini juga dapat memperlambat gerakan air. bahkan ada jenis lamun yang dapat dikonsumsi bagi penduduk sekitar pantai. Keberadaan ekosistem padang lamun masih belum banyak dikenal baik pada kalangan akdemisi maupun masyarakat umum, jika dibandingkan dengan ekosistem lain seperti ekosistem terumnbu karang dan mangrove, meskipun merupakan satu kesatuan sistem dalam menjalankan fungsi ekologisnya di kawasan pesisir. Lamun hidup dan terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 0,510 m. Namun sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesies lebih banyak terdapat di daerah tropik dari pada di daerah ugahari. Habitat lamun dapat dipandang sebagai suatu komunitas, dalam hal ini suatu padang lamun merupakan kerangka struktur dengan tumbuhan dan hewan yang saling berhubungan. Habitat lamun dapat juga dipandang sabagai suatu ekosistem, dalam hal ini hubungan hewan dan tumbuhan tadi dipandang sebagai suatu proses tunggal yang dikendalikan oleh pengaruh-pengaruh interaktif dari faktor-faktor biologis, fisika, kimiawi. Ekosistem padang lamun pada daerah tropik dapat menempati berbagai habitat, dalam hal ini status nutrien yang diperlukan sangat berpengaruh. Lamun dapat hidup mulai dari rendah nutrien dan melimpah pada habitat yang tinggi nutrien. 52 Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi penting bagi daerah pesisir, yaitu [Nybakken, 1992] : (1) Sumber utama produktivitas primer. (2) Sumber makanan penting bagi organisme (dalam bentuk detrius). (3) Menstabilkan dasar yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang. (4) Tempat berlindung berbagai jenis organisme. (5) Tempat pembesaran bagi beberapa spesies yang menghabiskan masa dewasanya di lingkungan ini, misalnya udang dan ikan beronang. (6) Sebagai peredam arus sehingga menjadikan perairan di sekitarnya tenang. (7) Sebagai tudung pelindung dari panas matahari yang kuat bagi penghuninya. Gambar 3.14. Ekosistem Padang Lamun (Sumber: www.seagrasswatch.org) Keberadaan ekosistem lamun seperti pada Gambar 3.14, tidak terlepas dan ganguan atau ancaman terhadap kelansungan hidupnya baik ancaman alami maupun ancaman dari aktivitas manusia. Banyak kegiatan atau proses, baik alami maupun oleh aktivitas manusia yang mengancam kelangsungan ekosistem lamun. Ekosistem lamun sudah banyak terancam termasuk di Indonesia baik secara alami maupun oleh aktifitas manusia. Besarnya pengaruh terhadap integritas sumberdaya, meskipun secara garis besar tidak diketahui, namun dapat dipandang di luar batas kesinambungan biologi. Perikanan laut yang meyediakan lebih dari 60% protein hewani yang dibutuhkan dalam menu makanan masyarakat pantai, sebagian tergantung pada ekosistem lamun untuk produktifitas dan pemeliharaanya. Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat pemarkiran perahu yang tidak terkontrol. 53 Ancaman-ancaman alami terhadap ekosistem lamun berupa angin topan, siklon (terutama di Philipina), gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah laut, interaksi populasi dan komunitas (pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen dan kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata pemangsa lamun seperti sapi laut. Diantara hewan invertebrata, bulu babi adalah pemakan lamun yang utama. Meskipun dampak dari pemakan ini hanya setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan tersebut akan terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran lamun. Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ke tempat yang lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat bertahan hidup (Sangaji, 1994 dalam www.ipb.ac.id). Selain beberapa ancaman tersebut, kondisi lingkungan pertumbuhan juga mempengaruhi kelangsungan hidup suatu jenis lamun, seperti yang dinyatakan oleh Barber (1985) dalam www.ipb.ac.id bahwa temperatur yang baik untuk mengontrol produktifitas lamun pada air adalah sekitar 20 sampai dengan 300oC untuk jenis lamun Thalassia testudinum dan sekitar 300oC untuk Syringodium filiforme. Intensitas cahaya untuk laju fotosintesis lamun menunjukkan peningkatan dengan meningkatnya suhu dari 290C sampai 350C untuk Zostera marina, 300C untuk Cymidoceae nodosa dan 25-300C untuk Posidonia oceanica. Kondisi ekosistem padang lamun di perarain pesisir Indonesia sekitar 3040%. Di pesisir pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami gangguan yang cukup serius akibat pembuangan limbah indusri dan pertumbuhan penduduk dan diperkirakan sebanyak 60% lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir pulau Bali dan pulau Lombok ganguan bersumber dari penggunaan potassium sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai dan kerapatan sepsiens lamun (Fortes, 1989 dalam www.ipb.ac.id). Selanjutnya dijelaskan oleh Fortes (1989) dalam www.ipb.ac.id bahwa rekolonialisasi ekosistem padang lamun dari kerusakan yang telah terjadi membutuhkan waktu antara 5-15 tahun dan biaya yang dibutuhkan dalam mengembalikan fungsi ekosistem padang lamun di daerah tropis berkisar 22800684.000 US $/ha. Oleh karena itu aktiviras pembangunan di wilayah pesisir hendaknya dapat memenimalkan dampak negatif melalui pengkajian yang mendalam pada tiga aspek yang tekait yaitu: aspek kelestarian lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial. 54 Ancaman kerusakan ekosistem padang lamun di perairan pesisir berasal dari aktivitas masyarakat dalam mengeksploatasi sumberdaya ekosistem padang lamun dengan menggunakan potassium sianida, sabit dan gareng serta pembuangan limbah industri pengolahan ikan, sampah rumah tangga dan pasar tradisional. Dalam hal ini Fauzi (2000) dalam www.ipb.ac.id menyatakan bahwa dalam menilai dampak dari suatu akifitas masyarakat terhadap kerusakan lingkungan seperti ekosistem padang lamun dapat digunakan dengan metode tehnik evaluasi ekonomi yang dikenal dengan istilah Environmental Impact Assesment (EIA). Metode ini telah dijadikam istrumen universal dalam mengevaluasi dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan, disamping itu metode evaluasi ekonomi dapat menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan kebutuhan ekologi dari sumber daya alam. Distribusi dan Stabilitas Ekosistem Ditribusi dan stabilitas ekosistem padang lamun tergantung dari berbagai faktor. Parameter yang paling penting adalah [Dahuri, dkk, 2004] : 1. Kecerahan Kebutuhan padang lamun akan intensitas cahaya yang tinggi untuk membantu proses fotosintesis diperlihatkan dengan observasi dimana distribusinya terbatas pada perairan dengan kedalaman tidak lebih dari 10 meter. Tingkat sedimentasi yang tinggi dapat mengurangi penetrasi cahaya sehingga dapat mengganggu produktivitas primer dari ekosistem padang lamun. 2. Temperatur Kisaran temperatur optimal bagi spesies padang lamun adalah 28oC - 30oC. kemampuan proses fotosintesis dapat menurun tajam apabila temperatur perairan berada di luar kisaran optimal tersebut. 3. Salinitas Spesies padang lamun memiliki kisaran salinitas yang lebar, yaitu antara 10 o /oo sampai 40 o/oo. Nilai optimum toleransi terhadap salinitas air laut adalah 35 o /oo. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis ekosistem padang lamun. Kerusakan padang lamun dapat disebabkan oleh berubahnya pola suplai air tawar oleh daerah aliran sungai yang mengakibatkan berubahnya tingkat salinitas secara abnormal. 55 4. Substrat Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari 40 persen endapan lumpur dan fine mud. Kebutuhan substrat yang paling utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang cukup. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen mencakup dua hal yaitu pelindung tanaman dari arus air laut dan tempat pengolahan dan pemasok nutrien. 5. Kecepatan arus perairan Produktivitas padang lamun dipengaruhi oleh keadaan kecepatan arus perairan. Sebagai contoh Turtle grass mempunyai kemampuan maksimal memproduksi standing crop pada saat kecepatan arus sekitar 0,5 meter / detik. Tabel 3.5. Parameter Pengukuran Pemetaan Ekosistem Padang Lamun [BAKOSURTANAL, 2006; www.ipb.ac.id] No 1. Faktor ABIOTIK Parameter Unit Pengukuran Pengukuran /Pengamatan 1. Batimetri Kelas kedalaman 2. Hidrologi - Salinitas - Kecepatan arus perairan - O2 terlarut - Nutrien - Substrat - Temperatur - Kecerahan 3. Iklim 2. BIOTIK 4. Tanah - Kekeruhan pH Vegetasi dan Jenis Klasifikasi 10 o/oo - 40 o/oo 28oC - 30oC Satwa Ekosistem padang lamun dapat berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan perairan mendukung. Parameter pengukuran pemetaan ekosistem di atas dapat menjadi suatu acuan pengklasifikasian entitas yang berpengaruh pada ekosistem hutan mangrove yang akan dijelaskan secara lebih mendetail sebagai berikut ini. 56 Faktor Abiotik 1. Batimetri Kelas kedalaman Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997). Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Brouns dan Heijs (1986) mendapatkan pertumbuhan tertinggi E. acoroides pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi. Selain itu di Teluk Tampa Florida ditemukan kerapatan T. testudinwn tertinggi pada kedalaman sekhar 100 cm dan menurun sampai pada kedalaman 150 cm [Durako dan Moffler 1985 dalam www.ipb.ac.id]. 2. Hidrologi Salinitas Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar (Zieman, 1986). Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas 24-35 °°/0. Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, namun jumlah cabang dan lebar daun semakin menurun (Walker 1985 dalam www.ipb.ac.id). Nutrien Dinamika nutrien memegang peranan kunci pada ekosistem padang lamun dan ekosistem lainnya. Ketersediaan nutrien menjadi fektor pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi lamun pada perairan yang jernih (Hutomo 1997 dalam www.ipb.ac.id). 57 Substrat Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Di Indonesia padang lamun dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu (Kiswara 1997): Lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang. [www.ipb.ac.id] Sedangkan di kepulauan Spermonde Makassar, Erftemeijer (1993) menemukan lamun tumbuh pada rataan terumbu dan paparan terumbu yang didominasi oleh sedimen karbonat (pecahan karang dan pasir koral halus), teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terrigenous dan pantai intertidal datar yang didominasi oleh lumpur halus terrigenous. Selanjutnya Noor (1993) melaporkan adanya perbedaan penting antara komunitas lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa. 3. Iklim Suhu Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun (Brouns dan Hiejs 1986; Marsh et al. 1986; Bulthuis 1987). Marsh et al. (1986) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 25 - 30°C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. [www.ipb.ac.id] Kekeruhan Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikelpartikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya. Pada perairan pantai yang keruh, maka cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun (Hutomo 1997). Hamid (1996) melaporkan adanya pengaruh nyata kekeruhan terhadap pertumbuhan panjang dan bobot E. acoroides. [www.ipb.ac.id] 58 Faktor Biotik Jenis-jenis lamun yaitu, adalah : 1. Enhalus acoroides 2. Halodule uninervis (Gambar 3.15) 3. Thalassia hemprichi, 4. Syringodium isoetifolium Gambar 3.15. Lamun jenis Halophila sp (Sumber: www.ipb.ac.id) 59 3.4. Entitas Ekosistem Padang Rumput Laut Tumbuh pada perairan yang memiliki substrat keras yang kokoh untuk tempat melekat. Tumbuhan ini hanya dapat hidup pada perairan dimana tumbuhan mudanya yang kecil cukup mendapatkan cahaya. (Gambar 3.16) Gambar 3.16. Ekosistem rumput laut (Sumber : Microsoft Encarta 2007) Salah penyebutan atau salah kaprah istilah rumput laut telah terjadi beberapa abad silam, sehingga perlu adanya pelurusan pengertian yang benar. Rumput laut adalah jenis alga (algae) atau ganggang laut, tumbuhan bersel satu maupun bersel banyak. Rumput laut yang dimaksud adalah terjemahan dari istilah bahasa inggris seaweed, bukan seagrass. Adapun seagrass diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi lamun. Sepintas lalu beberapa jenis alga bersel banyak memang dapat memperlihatkan sepertinya ada akar, batang, daun, bunga dan buah, padahal semua itu adalah semu. Rumput laut bukan rumput dan tidak seperti rumput biasa. Dasar kenampakan seperti rumput itulah para nelayan pada mulanya menyebut rumput laut, padahal bukan rumput. Salah istilah atau salah kaprah ini susah dibetulkan karena sudah menyebar luas dan bukan hanya di kalangan nelayan maupun para pembudidaya rumput laut, tetapi juga kepada para pedagang maupun para konsumennya. 60 Gambar 3.17. Rumput laut (Sumber : Microsoft Encarta 2007) Salah satu fungsi rumput laut (seaweed) pada Gambar 3.17 di atas adalah sebagai penangkap gas karbon yang dapat mengakibatkan efek global warming. Pemanfaatan rumput laut yang lazim bagi para nelayan dan diolah secara tradisional adalah untuk bahan makanan seperti halnya sayur, acar, lalap, manisan, kue dan obat ataupun makanan ternak. Pengolahan rumput laut dengan cara modern adalah diekstrak dari getahnya sehingga dapat menghasilkan : karaginan, furcelaran, algin, porpiran, floridean dan agar-agar. Manfaat utama rumput laut setelah diekstrak adalah bahan obat-obatan, gel, agar-agar dan bahan kosmetik serta plastik [BAKOSURTANAL, 2006]. Rumput laut yang memiliki nilai ekonomi telah dibudidayakan oleh masyarakat di tempat-tempat yang kondisi arusnya relatif tenang, sehingga produktivitasnya dapat ditingkatkan. Beberapa daerah di indonasia yang memiliki potensi lahan yang relatif besar untuk pengembangan produksi rumput laut (> 500 ha) adalah Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, NTT, Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya (Papua) [Dahuri, 2003]. Rumput laut mendapatkan makanannya langsung dari air laut. Nutrien dihantarkan melalui upwelling, turbulensi dan masukan dari daratan. Parameter lingkungan yang utama untuk rumput laut adalah [Dahuri, 2003] : (1) intensitas cahaya (2) salinitas (3) gerakan air (4) musim dan temperatur (5) zat hara. 61 Parameter pengukuran pemetaan ekosistem hutan bakau dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 3.6. Parameter Pengukuran Pemetaan Ekosistem Padang Rumput Laut [BAKOSURTANAL, 2006; www.ipb.ac.id] No 1. Faktor ABIOTIK Parameter Unit Pengukuran Pengukuran /Pengamatan 1. Batimetri Kelas kedalaman 2. Hidrologi - Kecerahan air - Kandungan padatan Klasifikasi 20 – 30 m terlarut dan tersuspensi 2. BIOTIK - Intensitas cahaya 6500 - 7500 lux - Salinitas 15-30 o/oo - Suhu 24-33 oC - Kecepatan arus 30 – 66 cm/detik - Gerakan air - Kandungan Zat Hara - pH 6.8 – 8.5 - Oksigen terlarut > 5 ppm 3. Ikim Musim dan temperatur 1. Vegetasi Jenis Unsur NH < 0.36 ppm Ekosistem padang rumput laut dapat berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan perairan mendukung pertumbuhannya. Parameter pengukuran pemetaan ekosistem di atas dapat menjadi suatu acuan pengklasifikasian entitas ekosistem padang rumput laut yang akan dijelaskan berikut ini. 62 Faktor Abiotik 1. Batimetri Kelas Kedalaman Pada perairan yang jernih, rumput laut dapat tumbuh hingga kedalaman 20 sampai 30 meter. pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh suhu. Padang rumput laut tumbuh dengan baik pada perairan yang sejuk. 2. Hidrologi Intensitas cahaya Intensitas cahaya berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhan rumput laut. Intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh rumput laut berbeda menurut jenisnya. Intensitas cahaya 400 lux dapat merangsang perkembangan spora Glacilaria verucosa dengan baik, sedangkan pada intensitas cahaya antara 6500 dan 7500 lux pertumbuhan Ectocarpus dapat berlangsung dengan baik. Salinitas Salinitas (kadar garam) yang tinggi, yaitu 30-35 o/oo dapat menyebabkan kemandulan bagi Gracilaria verucosa. Pertumbuhan maksimum Gracilaria yang berasal dari Atlantik dan Pasifik Timur terjadi pada salinitas 15-30 o/oo, dengan titik optimumnya 25 o/oo. Gerakan air Kekuatan gerakan air berpengaruh terhadap pelekatan spora pada substratnya. Karakteristik spora dari algae yang tumbuh pada daerah berombak dan berarus kuat umumnya cepat tenggelam dan memiliki kemampuan menempel dengan cepat dan kuat. Gerakan air juga sangat berperan dalam mempertahankan sirkulasi zat hara untuk pertumbuhan. Kandungan zat hara Kandungan nutrien utama yang diperlukan algae, seperti nitrogen dan fosfat, sangat berpengaruh terhadap stadia reproduksinya. Apabila kedua unsur hara tersebut tersedia, maka kesuburan vegetasi meningkat. 63 3. Iklim Musim dan temperatur Musim dan temperatur mempunyai keterkaitan yang erat dan keduanya sangat mempengaruhi kehidupan rumput laut. Sebagai contoh, produksi maksimal tetraspora dan kartospora Gracilaria hanya terjadi pada musim panas. Perkembangan tetraspora Polysiphonia berlangsung dengan baik pada kisaran temperatur 25-30oC dan sebaliknya pertumbuhan akan terhambat bila temperatur rendah dan intensitas cahaya tinggi. Faktor Biotik Rumput laut termasuk jenis alga yang hidup di perairan air laut, suatu organisme yang dikenal sebagai tanaman. Kebanyakan rumput laut berwarna hijau (sekitar 1200 spesies), berwarna cokelat (sekitar 1750 spesies) atau berwarna merah (sekitar 6000 spesies) seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.18 di bawah ini. ` Gambar 3.18. Warna rumput laut, yaitu : rumput laut berwarna hijau (kiri) rumput laut berwarna cokelat (tengah) rumput laut berwarna merah (kanan). (Sumber : Microsoft Encarta 2007) Jenis rumput laut yang banyak dikenal oleh masyarakat secara umum, yaitu : 1. Wracks (alga cokelat, orde Fucales contoh : Fucus) 2. Kelps (alga cokelat, orde Laminariales contoh : Laminaria) 3. Carrageen atau Irish Moss (Alga merah, Chondrus crispus) 4. Dulse atau Dillisik (juga dikenal sebagai alga merah, Palmaria palmata) 64 3.5. Entitas Ekosistem Pantai Berpasir Terdiri dari kwarsa dan feldspar, bagian yang paling banyak dan paling keras sisa-sisa pelapukan batu di gunung, atau sisa-sisa pecahan terumbu karang. Dibatasi hanya pada daerah dimana gerakan air yang kuat mengangkut partikel-partikel yang halus dan ringan. Total bahan organik dan organisme hidup di pantai berpasir jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jenis pantai lainnya. Karena sedimennya yang kasar, mereka tidak menahan air dengan baik, akibatnya lapisan permukaan bisa menjadi kering sampai sedalam beberapa sentimeter di bagian atas pantai yang terbuka terhadap matahari pada saat pasang surut. Meskipun demikian tempat ini sering merupakan tempat beberapa biota meletakkan telurnya [Widiastuti, 2004]. Ukuran butir dari material pasir berpengaruh terhadap pantainya dan juga kandungan faunanya. Namun demikian pantai berpasir tidak terlalu penting bagi kehidupan binatang, tetapi penting untuk daerah wisata dan untuk proteksi pantai itu sendiri. Pantai berpasir dengan kemiringan lereng agak curam selalu ditandai oleh material yang relatif kasar dan merupakan pantai dengan kondisi energi gelombang agak tinggi [Budiono, 1993 dalam Hagy, 2003]. Berbagai pantai berpasir dapat dilihat pada Gambar 3.19 hingga 3.22. Gambar 3.19. Pantai berpasir di daerah Saroke di Nias (kiri atas) dan Pantai Pangndaran di Ciamis, Jawa Barat (kanan atas), Pasir putih (kiri bawah), dan Pantai Maluk di Sumbawa Barat (kanan bawah). (Sumber : www.backpacker-indonesia.info) 65 Gambar 3.20. Pantai Gili Trawangan (kiri) dan Pantai Mawu (kanan) di Lombok, Nusa Tenggara Barat (Sumber : www.my-indonesia.info) Gambar 3.21. Pantai Kuta, Bali (kiri) dan Pantai Camar Wulan di Kalbar (kanan) (Sumber : www.my-indonesia.info dan www.eljohn.net) Gambar 3.22. Pantai berpasir (Sumber :Microsoft Encarta 2007) 66 Parameter utama untuk daerah pantai berpasir, yaitu : 1. Pola arus yang akan mengangkut pasir yang halus. 2. Gelombang yang akan melepaskan energinya di pantai. 3. Angin yang juga merupakan pengangkut pasir. Parameter pengukuran pemetaan ekosistem hutan bakau dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 3.7. Analisis Parameter Pengukuran Pemetaan Ekosistem Pantai Berpasir [BAKOSURTANAL, 2006; www.ipb.ac.id] No Faktor Parameter Unit Pengukuran Pengukuran Klasifikasi /Pengamatan 1. ABIOTIK Oseanografi 1. Pola Arus 2. Gelombang 3. Angin 2. BIOTIK 1. Vegetasi Jenis 2. Satwa darat Jenis, habitat, dan laut jelajah Ekosistem pantai berpasir dapat berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan mendukung pertumbuhannya. Parameter pengukuran pemetaan ekosistem di atas dapat menjadi suatu acuan pengklasifikasian entitas ekosistem pantai berpasir. 67 3.6. Entitas Ekosistem Pantai Berbatu Merupakan pantai yang berbatu-batu memanjang ke laut dan terbenam di air. Batu yang terbenam di air ini membentuk suatu zonasi habitat karena adanya perubahan naik-turunnya permukaan air laut akibat proses pasang yang mengakibatkan adanya bagian yang tergenang air, selalu terbuka terhadap matahari, serta zona diantaranya yang tergenang pada pasang naik dan terbuka pada pasang surut. Komunitas biota pada pantai berbatu jauh lebih kompleks dari daerah lain karena bervariasinya relug (niche) ekologis yang disediakan oleh genangan air, celahcelah batu, permukaan batu, dan sebagainya. (Gambar 3.23) Gambar 3.23. Ekosistem pantai berbatu (Sumber : FreeNaturePictures.com) Pantai berbatu dicirikan oleh adanya belahan batuan cadas. Berbeda dengan komunitas pantai berpasir, di mana organismenya hidup di bawah substrat, komunitas organisme pantai berbatu hidup di permukaan. Bila dibandingkan dengan habitat pantai lainnya, pantai berbatu memiliki kepadatan makroorganisme yang paling tinggi, khususnya di habitat intertidal di daerah dingin dan daerah subtropik. Pada habitat pantai berbatu terjadi kompetisi yang kuat di antara organisme. Oleh karena itu, kemampuan untuk melekat pada substrat yang kuat mutlak diperlukan. Beberapa organisme bentik yang dapat dijumpai antara lain anemon laut, siput, remis, teritip, bintang laut, sponge, dan berbagai jenis rumput laut. Organismeorganisme tersebut telah beradaptasi dengan kerusakan fisik yang diakibatkan oleh gelombang pada saat pasang tinggi dan harus bertahan hidup dari kekeringan, temperatur yang ekstrem dan perubahan salinitas yang terjadi pada saat surut. 68 Parameter utama yang sangat mempengaruhi kondisi pantai berbatu adalah : 1. Fenomena pasang surut, dinamikanya sangat berpengaruh terhadap biota yang menginginkan kondisi alam yang bergantian antara tergenang dan terbuka. 2. Gelombang, energi yang dihempaskan bisa merusak komunitas biota yang menempel di batu-batuan, terutama pada batu yang langsung menghadap ke laut. Parameter pengukuran pemetaan ekosistem pantai berbatu dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 3.8. Parameter Pengukuran Pemetaan Ekosistem Pantai Berbatu [BAKOSURTANAL, 2006; www.ipb.ac.id] No Faktor Parameter Unit Pengukuran Pengukuran Klasifikasi /Pengamatan 1. ABIOTIK Oseanografi Pasang Surut Gelombang Geologi Tipe batuan Iklim Tingkat Curah Hujan 2. BIOTIK 1. Vegetasi Jenis, diameter, tinggi, struktur, penutupan tajuk (kanopi) 2. Satwa darat dan laut Jenis, habitat, pola persebaran Ekosistem pantai berbatu dapat berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan perairan mendukung pertumbuhannya. Parameter pengukuran pemetaan ekosistem di atas dapat menjadi suatu acuan pengklasifikasian entitas ekosistem pantai berbatu. 69 3.7. Entitas Ekosistem Pantai Berlumpur Terdapat di sekitar muara sungai dimana lumpur banyak dihasilkan dari sedimen/endapan yang dibawa oleh aliran sungai. (Gambar 3.24) Gambar 3.24. Ekosistem Pantai berlumpur (sumber : www.discoveringfossils.co.uk) Pantai berlumpur terdapat di sekitar muara sungai dimana lumpur banyak dihasilkan dari sedimen/endapan yang dibawa oleh aliran sungai. Ekosistem di pantai ini sangat dipengaruhi oleh suplai sedimen yang terbawa oleh aliran sungai. Namun aliran sungai juga dapat mengakibatkan dampak yang buruk bagi ekosistem ini antara lain oleh adanya transport limbah/sampah beracun dan volume sedimen yang berlebihan. Parameter utama yang mempengaruhi adalah : (1) Arus aliran sungai (2) Pasang surut 70 Parameter pengukuran pemetaan ekosistem pantai berlumpur dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 3.9. Analisis Parameter Pengukuran Pemetaan Ekosistem Pantai Berlumpur [BAKOSURTANAL, 2006; www.ipb.ac.id] No Faktor Parameter Unit Pengukuran Pengukuran Klasifikasi /Pengamatan 1. ABIOTIK Hidrologi Arus aliran sungai Sedimentasi 2. BIOTIK Oseanografi Pasang Surut 1. Vegetasi Jenis, diameter, tinggi, struktur, penutupan tajuk 2. Satwa darat dan laut Jenis, habitat, pola persebaran Ekosistem pantai berlumpur dapat berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan perairan mendukung pertumbuhannya. Parameter pengukuran pemetaan ekosistem di atas dapat menjadi suatu acuan pengklasifikasian entitas ekosistem pantai berlumpur. 71 3.7. Entitas Ekosistem Laguna dan Estuari Estuari adalah teluk di pesisir yang sebagiannya tertutup, tempat air tawar dan air laut bertemu dan bercampur mulai dari hilir sungai. (Gambar 3.25) Gambar 3. 25. Gualala River estuary (kiri) dan Gualala River lagoon & barrier beach (kanan). (Sumber : www.gualalariver.org dan www.gualalariver.org) Karakteristik Estuari adalah perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut. Bantuk estuari bervariasi dan sangat tergantung pada besar kecilnya aliran sungai, kisaran pasang-surut dan bentuk garis pantai. Estuari dari sungai yang besar dapat memodifikasi garis pantai dan topografi sublittoral melalui pengendapan dan erosi sedimen, sehingga garis pantai bergerak menjorok beberapa kilometer ke arah laut (Meadows dan Campbel, 1988 dalam Dahuri, 2003). Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air tawar maupun air laut. Karena partikel yang mengendap kebanyakan bersifat organik, substrat dasar estuari biasanya kaya akan bahan organik. Bahan organik ini menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuari. 72 Berdasarkan aliran air dan pencampurannya, estuari menurut Cameron dan Pritchard dalam Meadows dan Campbel dalam Dahuri (2003) dapat dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu : (a) Tipe A Estuari tipe A memiliki kisaran pasang surut yang kecil namun memiliki aliran air tawar yang besar. Lapisan air laut ada di bawah lapisan air sungai, sehingga percampuran secara vertikal di antara keduanya relatif kecil. (b) Tipe B Estuari tipe B memiliki kisaran pasang surut yang lebih besar, sehingga gerakan massa air laut melebihi gerakan air tawar yang masuk melalui badan sungai. Percampuran antara kedua lapisan tersebut lebih banyak disebabkan oleh adanya pengaruh gaya Coriolis, sehingga air tawar yang mengalir keluar estuari dibelokkan ke arah kanan di belahan bumi sebelah utara, dan ke kiri di belahan bumi sebelah selatan. Sebagai akibatnya, perbatasan daerah air tawar dan air laut bentuknya miring. (c) Tipe C Pada estuari C, aliran air tawar berkurang, namun sebaliknya massa air laut menjadi dominan, terutama pada saat terjadi pasang. Akibatnya, massa air tawar akan mengalir di sebelah kanan estuari, sehingga lebar estuari akan semakin besar. Proses percampuran dari kedua massa air tersebut akan menghasilkan suatu batas yang bentuknya vertikal antara air tawar dan air laut. (d) Tipe D Estuari tipe D memiliki aliran pasang surut yang besar, sehingga air tawar dan air laut dapat bercampur secara sempurna (tidak terstratifikasi). Estuari tipe ini biasanya dangkal dan memungkinkan proses pengadukan berlangsung secara intensif, sehingga akan menciptakan kondisi salinitas yang homogen. 73 Laguna adalah cekungan di pesisir yang merupakan badan air dangkal, terlindung dan agak tertutup. Estuari adalah teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan air laut bertemu dan bercampur. Estuari terletak di daerah pertemuan antara air tawar dari sungai yang mengalir ke dalam laut, dengan air laut. Baik laguna maupun estuari, keduanya berfungsi untuk mempertahankan produktivitas biologis pada tingkat yang sangat tinggi dan mempunyai peran besar bagi daur hidup jenis-jenis ikan dan kerang ekonomis yang penting dan menyediakan habitat untuk mencari makan, berkembang biak dan tumbuh. Peranan ekologis sistem laguna dan estuari meliputi : • Memberikan zat hara dan bahan organik kepada perairan di luarnya melalui sirkulasi pasang surut. • Menjadi habitat bagi sejumlah jenis ikan yang mempunyai nilai penting untuk rekreasi maupun komersial. • Memenuhi kebutuhan bagi jenis-jenis ikan oseanis dan dekat pantai yang bermigrasi dan memerlukan habitat dangkal dan terlindung untuk berkembang biak dan atau perlindungan bagi anak-anaknya (daerah asuhan). Parameter lingkungan utama untuk ekosistem estuari adalah : (1) Aliran sungai yang mengandung limbah, toksikan, sedimen dan nutrien; (2) Sifat-sifat fisik air laut, seperti pasang surut, arus laut, dan gelombang. Gambar 3.26. Ekosistem laguna dan estuari (Sumber : Microsoft Encarta 2007) Pada Gambar 3.26 di atas dapat kita lihat hubungan hulu ke hilir ekosistem. 74 Parameter pengukuran pemetaan ekosistem laguna dan estuari dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 3.10. Analisis Parameter Pengukuran Pemetaan Ekosistem Laguna dan Estuari [BAKOSURTANAL, 2006; www.ipb.ac.id] No Faktor Parameter Unit Pengukuran Pengukuran Klasifikasi /Pengamatan 1. ABIOTIK Hidrologi Aliran Sungai Sedimen Kualitas Air Oseanografi Pasang Surut Arus Gelombang 2. BIOTIK 1. Vegetasi Jenis, diameter, tinggi, struktur, penutupan tajuk 2. Satwa darat dan laut Jenis, habitat, jelajah Ekosistem laguna dan estuari dapat berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan perairan mendukung pertumbuhannya. Parameter pengukuran pemetaan ekosistem di atas dapat menjadi suatu acuan pengklasifikasian entitas ekosistem laguna dan estuari. Fauna di estuari memiliki tiga komponen : 1. Fauna lautan 2. Fauna air tawar 3. Fauna air payau atau estuari Ada tiga komponen fauna di estuari, yaitu fauna lautan, fauna air tawar dan fauna air payau/estuari. jumlah organisme yang menghuni estuari jauh lebih sedikit dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar atau laut. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, terutama fluktuasi salinitas yang sangat besar sehingga hanya beberapa spesies saja yang mampu bertahan hidup di estuari. Selain miskin dalam jumlah organisme, estuari juga miskin akan flora. 75