HOG CHOLERA PADA BABI SIMSON TARIGAN, SJAMSUL BAHM dan A . SAROSA Balai Penelitian Veteriner Jalan R. E. Martadinata 30, P.O. Box 52, Bogor 16114 PENDAHULUAN KARAKTERISTIK DAN SIFAT-SIFAT VIRUS HOG CHOLERA Hog Cholera (HC) atau Classical swine fever adalah penyakit viral pada babi yang sangat ganas dan sangat menular. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang paling merugikan pada babi sehingga sangat ditakuti terutama oleh peternak babi . Sejak pertama ditemukan sekitar 2 abad yang lalu sampai tahun 1960-an penyakit ini epi= zootik di Eropa dan Amerika, benua yang memiliki populasi babi tertinggi . Sejak tahun 1970-an banyak negara di Eropa Barat dan Amerika Utara telah berhasil memberantas penyakit tersebut . Sebelum tahun 1995, HC tidak ditemukan di Indonesia. Bebasnya Indonesia dari penyakit ini dikukuhkan oleh Surat keputusan Menteri per tanian No 81 /Kpts/TN . 560/1/1994 tanggal 31 Januari 1994 . Akan tetapi, tidak lama setelah surat keputusan tersebut dikeluarkan wabah yang diduga keras HC terjadi di Indonesia. Pada bulan Maret 1995 terjadi wabah penyakit babi di lokasi peternakan Kapuk Jakarta . Gejala klinis dan kelainan patologi pada babi penderita sangat khas untuk penyakit tersebut . Sejak kejadian di Kapuk, wabah penyakit telah menyebar ke berbagai pulau di Indonesia . Keadaan demikian merupakan masalah yang besar bagi pembangunan peternakan, khususnya peternakan babi di Indonesia . Mengingat penyakit tersebut merupakan penyakit baru, tentu saja pengetahuan kita akan penyakit tersebut sangat minim . Padahal untuk memulai suatu program pengendalian, pengetahuan yang cukup tentang penyakit tersebut mutlak diperlukan . Pada tahun 1981, Direktorat Kesehatan Hewan menerbitkan beberapa jilid buku yang berjudul : 'Pedoman penyakit menular', salah satu penyakit yang dibahas adalah penyakit HC . Akan tetapi, sejak penerbitan buku tersebut telah banyak hasil penelitian di luar negeri yang dipublikasi . Salah satu tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk melengkapi dan meng update tulisan pada buku tersebut . Dalam tulisan ini ulasan dititikberatkan pada karakteristik virus, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, patologi,, :d agnosis dan pengendalian HC . Virus HC termasuk genus Pestivirus, berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 40-50 nm, mempunyai nucleocapsid berbentuk hexago nal berukuran sekitar 29 nm, dan mengandung material genetik RNA berbentuk single stranded dan polarity positip (HORZINEK, 1981) . Nucleocapsid tersebut diselaputi oleh sebuah selubung (envelope) yang mengandung tiga glycoprotein yakni glycoprotein El (gp55), E2 (gp44/48) dan E3 (gp33) . Ketiga glycoprotein tersebut terdapat dalam bentuk dimer yang satu sama lain dihubungkan oleh ikatan disulfida . Glycoprotein E1 dan E2 masing-masing merupakan homodimer, sedangkan E3 dapat juga membentuk dimer dengan E1 (THIEL et al., 1991) . Genom (RNA) yang panjangnya 12 248 base pair (bp) telah lengkap di sequence (MEYERS et al., 1989 ; MOORMANN et al., 1990 ; RUMENAPF, 1990) . Analisis dari hasil sequencing menunjukkan bahwa genom tersebut terdiri dari hanya satu open reading frame yang panjang, menjadi sebuah precursor polyprotein sepanjang 3898 asam amino (438 .3 kD) . Precursor polyprotein tersebut setelah mengalami proses enzimatik (signalase) terpecah menjadi beberapa protein dan glycoprotein, antara lain tiga buah glycoprotein yang menjadi komponen viral envelope (E1, E2 dan E3), sebuah protein nucleocapsid, dan beberapa non struktural protein . Glycoprotein E1 dan E2 sangat immunogenik dan antibodi yang terbentuk mampu menetralisasi virus (THIEL et al., 1991 ; WEILAND et al., 1992) . Glycoprotein E1 sudah berhasil dimurnikan dengan teknik immunoaffinity chromatography (WENSVOORT et al., 1990) dan diklon untuk diexpresikan dengan virus Pseudorabies yang sudah diatenuasi (ZIJL et al., 1991) atau diexpresikan dalam biakan sel serangga lestari (HULST et al., 1993 ; RUGGU et al., 1995) . Glycoprotein E2 yang mempunyai aktivitas ribonuclease juga telah diexpresikan dalam sel serangga lestari yang diinfeksikan dengan Baculovirus rekombinan (HULST et al., 1994) . Malah baru-baru ini ke tiga glycoprotein dan nucleocapsid protein telah berhasil diexpresi- 23 SIMSON TARIGAN et aL : Hog Cholera-Sebuah Tinjauan Kepustakaan kan secara serentak dalam sel eukariotik yang diinfeksi dengan virus Vaccinia rekombinan . Babi yang diimunisasi dengan virus Vaccinia rekombinan yang mengekspresikan El dan/ atau E2 tersebut terlindungi dalam uji tantang dengan virus HC dosis letal (KONIG et al., 1995). Secara immunologis dan genetis, virus HC mempunyai kesamaan yang sangat dekat dengan virus Bovine viral diarrhoea (BVD), kedua virus ini adalah anggota dari genus Pestivirus . Virus BVD selain patogen pada sapi, kadang kadang dapat pula menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada babi (TERPSTRA dan WENSVOORT, 1988) . Kedua virus mempunyai susunan genom dan protein yang sama, keduanya mempunyai kesamaan sequence asam nukleat sebesar 66% dan asam amino sebesar 85% (MEYERS et al., 1989 ; RuMENAPF, 1990) . Karena persamaan yang banyak tersebut, diagnosis difinitip HC sering sulit ditegakkan dengan hanya menggunakan antibodi poliklonal . Berdasarkan uji cross neutralisasi, virus HC hanya dikenal satu serotype saja . Hal ini sangat memudahkan vaksinasi, karena untuk memulai suatu program vaksinasi tidak perlu dilakukan serotiping terlebih dahulu . Sekalipun virus HC hanya dikenal satu serotype saja, pengelompokan virus berdasarkan type antigen atau perbedaan sequence RNA masih mungkin dilakukan . Pengelompokan ini sangat bermanfaat dalam investigasi epidemiologis, misalnya dalam melacak asal virus dalam suatu wabah. Dengan menggunakan dua panel antibodi monoclonal (12 jenis antibodi monoklonal untuk glycoprotein El dan 1 1 jenis untuk E2), (KosMIDOu et al., 1995) berhasil mengelompokkan 126 strain atau isolat virus HC menjadi 21 type antigenik. Selain menggunakan panel antibodi monoklonal, pengelompokan isolat dapat pula dibuat berdasarkan perbedaan sequencing produk reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) . Berdasarkan cara yang terakhir ini, LOWINGS et al., (1994) mengelompokkan 8 isolat kedalam 3 kelompok . Pengelompokan dengan cara yang terakhir ini dianggap jauh lebih bermanfaat dari cara yang pertama (antibodi monoklonal) . Berdasarkan virulensinya, virus HC dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni virus dengan virulensi tinggi, virulensi sedang dan virulensi ren dah . Akan tetapi pengolompokan virus berdasarkan virulensi ini kadang-kadang sangat sulit dilakukan karena virus yang biasanya mempunyai virulensi rendah kadang-kadang dapat juga menimbulkan penyakit yang parah (DAHLE dan LIESS, 1995) . Disamping itu, virulensi HC kemungkinan juga bukan sifat yang permanen karena kenaikan 24 virulensi dapat terjadi setelah pasasi virus pada babi (DUNNE, 1975) . Virus HC dapat dibiakkan dalam kultur sel ginjal babi dan yang umum dipakai adalah sel lestari ginjal babi PK-15 dan SK-6 . Pada umumnya virus HC tidak menimbulkan cytophatic effect . Akan tetapi beberapa isolat, jumlahnya sangat sedikit, mampu menimbulkan cytopathic effect . Baru-baru ini MEYERS dan THIEL, (1995) menyimpulkan bahwa kemampuan beberapa isolat menimbulkan cytopathic effect tersebut disebabkan adanya kehilangan sebagian dari genom (internal deletion) sepanjang 4764 bp . Kehilangan pada genom tersebut berakibat terganggunya system replikasi virus yang selanjutnya berakibat terbentuknya cytopathic effect pada kultur sel yang terinfeksi . Pemeriksaan mikroskop elektron terhadap virus HC dalam jaringan menunjukkan bahwa partikel virus diasembling dan dewasa dalam vesikel intrasitoplasmik yang terbuat dari membran sel hospes, dan dikeluarkan dari sel melalui proses eksositosis (TERPSTRA, 1991) . Karena terdapat didalam vesikel, virus sulit dipisahkan dari komponen sel hospes, hal ini menyebabkan pemurnian virus HC sangat sulit dilakukan (LAUDE, 1987) . Virus HC termasuk virus yang resisten terhadap lingkungan yang buruk . Akan tetapi viabilitasnya sangat tergantung pada media dimana virus tersebut berada . Pada media yang sederhana seperti supernatan kultur sel, virus dapat diinaktivasi dengan pemanasan pada suhu 56 iC selama 1 jam, atau pada suhu 60iC selama 10 menit, sedangkan dalam darah yang didefibrinasi infektivitas virus masih bertahan setelah mengalami pemanasan selama 1 jam pada suhu 64iC atau selama 30 menit pada suhu 68iC . Virus juga stabil dalam kisaran pH yang panjang (antara pH 4 - pH 11) . Karena selubung atau envelopenya mengandung lipid, virus sangat rentan terhadap pelarut lemak seperti ether, chloroform, dan detergent seperti desoxycholate, nonidet P40 dan saponin (TERPSTRA, 1991) . EPIDEMIOLOGI Penyebaran penyakit Berdasarkan data OIE dari bulan Januari 1991 sampai September 1994, HC terdapat diseluruh dunia kecuali Amerika Utara . Sebagian besar wabah terjadi di Asia terutama Cina, India dan negara negara Asia Tenggara . Di Eropah, kasus HC terbanyak tedapat di Jerman (KRAMER et .al., 1995) . WARTAZOA Vol. 6 No. 1 Th . 1997 Cara penularan Babi adalah satu-satunya induk semang alami virus HC, oleh karena itu babi penderita merupakan sumber penularan yang terpenting . Virus masuk ke dalam tubuh babi biasanya melalui rute oronasal . Cara penularan bisa dengan kontak langsung ataupun tidak langsung . Penularan bisa secara horizontal ataupun vertikal, yakni dari induk kepada fetus yang dikandung . Penularan secara langsung Penularan dari babi yang sakit atau carrier ke babi yang sehat merupakan cara penularan yang paling sering terjadi . Wabah penyakit sering diawali dengan pemasukan babi baru dari daerah atau peternakan yang tertular HC . Babi yang sakit menyebarkan virus terutama melalui sekresi oronasal dan lakrimal (RESSANG, 1973) . Jumlah atau konsentrasi virus dalam sekresi tersebut dan lamanya babi mengeluarkan virus tergantung kepada virulensi virus. Babi yang terinfeksi oleh virus yang virulen akan mengeluarkan virus kedalam lingkungan sebelum timbul gejala klinis sampai babi mati atau sampai terbentuk antibodi bagi babi yang bertahan hidup. Sedangkan babi yang terinfeksi oleh virus yang virulensinya sedang ataupun rendah biasanya mengeluarkan virus dalam jumlah yang lebih rendah dan dalam kurun waktu yang lebih pendek . Oleh karena itu, strain virus yang virulen biasanya menularnya lebih cepat dan menimbulkan morbiditas yang jauh Iebih tinggi dibandingkan dengan strain yang kurang virulen (TERPSTRA, 1991) Penularan secara tidak langsung Karena virus HC cukup resisten terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan diluar induk semang, penularan dengan cara tidak lang sung juga sering terjadi. Virus HC dapat bertahan dalam waktu yang lama dalam daging babi dan beberapa produk olahannya, terutama dalam keadaan dingin atau beku . Masuknya HC ke negara atau daerah yang bebas HC sering akibat impor daging babi atau produknya ke negara atau daerah tersebut . Wabah HC bisa terjadi apabila babi diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung daging babi tercemar tersebut tanpa dimasak terlebih dahulu . Cara . penularan melalui sisa dapur ini sering terjadi . Hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 22% dari semua wabah yang terjadi di USA pada tahun 1973 terjadi dengan cara seperti ini (DUNNE, 1975) . Kejadian serupa juga terjadi di Inggris . Setelah negara ini dinyatakan bebas dari HC tahun 1966, terjadi dua kali gelombang wabah di negeri ini, yakni tahun 1971 dan 1986 . Kedua gelombang wabah tersebut diketahui akibat impor produk daging babi yang tercemar virus HC (WILLIAMS dan MATTHEWS, 1988) . Wabah terjadi setelah babi diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung produk daging babi tercemar tersebut . Peranan babi liar Babi liar atau babi hutan mempunyai peranan yang sangat penting sebagai hospes yang aman bagi virus untuk tetap bertahan dalam suatu lokasi dan merupakan sumber penularan bagi babi piaraan. Hasil analisa antigen menggunakan panel antibodi monoklonal, terhadap sejumlah isolat yang berasal dari wabah HC di Jerman menunjukkan bahwa sumber infeksi kasus primer dari sebagian wabah berasal dari babi liar . Hal ini dapat dimengerti mengingat lebih dari 10% babi hutan di negara tersebut memiliki antibodi terhadap HC, dan babi hutan yang sedang menderita HC secara klinis juga sering ditemukan (KRAMER etaL, 1995) . Kesimpulan yang sama juga dapat ditarik tentang peranan babi liar di !talia, sekalipun dengan teknik yang berbeda. Analisa sequencing asam nukleat terhadap sejumlah isolat dari wabah HC di Italia menunjukkan bahwa strain virus yang menyebabkan wabah pada babi piaraan di negeri ini juga sering berasal dari babi liar (LOWINGS et aL, 1994). PATOGENESIS Infeksi oleh virus virulensi tinggi Virus yang masuk kedalam tubuh babi yang secara alamiah melalui rute oronasal, mengalami proses absorbsi dan multiplikasi awal pada sel epitel tonsil, kemudian menyebar ke bagian jaringan limforetikuler dari target organ primer ini. Virus dapat diisolasi dari organ ini sekitar 7 jam setelah inokulasi peroral (RESSANG, 1973) . Setelah mengalami replikasi pada tonsil, virus menyebar ke limfoglandula regional (limfoglandula mandibula, retrofaringeal, parotid dan cervical) . Virus dalam limfoglandula tersebut dapat diisolasi kembali sekitar 16 jam setelah inokulasi peroral . Setelah mengalami replikasi di limfoglandula ini, virus masuk kedalam peredaran darah yang mengakibatkan terjadinya viraemia awal . Virus tertahan dan mengalami multiplikasi yang cepat pada limpa yang merupakan target organ sekunder . Multiplikasi virus yang cepat ini berakibat viraemia bertambah hebat . Selanjutnya virus tertahan dan 25 SIMSON TARIGAN et aL : Hog Cholera-Sebuah Tinjauan Kepustakaan menginvasi limfoglandula visceral dan superficial, sumsum tulang dan jaringan-jaringan limfoid lain di mukosa usus . Virus mencapai seluruh tubuh 5-6 hari setelah inokulasi peroral . Pada akhir stadium viramia, virus menetap dan menginvasi seluruh organ tubuh yang sering berakibat kematian (WOOD et ai., 1988) . Selain menginvasi sel limfold, virus ini juga menyebabkan degenerasi dan nekrosa pada sel endotel pembuluh darah . Kerusakan pada pembuluh darah, thrombocytopenia dan gangguan sintesa fibrinogen mengakibatkan perdarahan berupa petechiae dan ecchymosa yang meluas, yang merupakan salah satu kelainan patologis yang menonjol pada penyakit ini . Infeksi oleh virus virulensi sedang dan rendah Infeksi oleh virus dengan virulensi sedang mengikuti pola yang sama seperti virus virulensi tinggi tetapi prosesnya berjalan lebih lambat dan konsentrasi virus dalam darah dan organ-organ tubuh lebih rendah . Infeksi oleh virus virulensi rendah terbatas hanya pada fase limfatik . Fase viraemia terjadi sangat singkat sekali . Infeksi oleh virus dengan virulensi sedang atau rendah sering berakibat HC kronis (MANGELING dan PACKER, 1969) Infeksi in utero Babi bunting yang terkena HC dapat menulari embrio atau fetus yang dikandungnya . Virus HC dapat menembus barier plasenta pada semua umur kehamilan. Virus menyebar secara hematogenous pada plasenta kemudian menyebar kesemua fetus (VAN OIRSCHOT, 1979) . Selanjutnya, perkembangan virus pada fetus ini sama dengan perkembangan virus virulen pada infeksi post natal seperti diuraikan diatas . Akibat infeksi in utero pada fetus tergantung pada saat terjadinya infeksi dan virulensi dari virus . Fetus yang terinfeksi pada saat 45 hari pertama kebuntingan lebih mudah mengalami kematian prenatal dibandingkan dengan fetus yang terinfeksi saat umur kebuntingan 65 hari atau lebih . Disamping itu, fetus yang terinfeksi oleh virus virulensi sedang pada kehamilan 45 hari terakhir kebuntingan berpeluang lebih besar untuk memperlihatkan gejala klinis HC pada saat atau beberapa saat setelah kelahiran . Sedangkan, fetus yang terinfeksi oleh virus virulensi rendah pada saat kebuntingan yang sama biasanya tidak berakibat buruk karena fetus dapat mengeliminasi virus tersebut (VAN OIRSCHOT, 1979) . 26 GEJALA KLINIS Masa inkubasi HC biasanya berkisar antara 2-6 hari . Gejala klinis HC dapat dibedakan atas gejala penyakit akut, subakut atau kronis . HC akut Gejala klinis diawali dengan anorexia, lesu, malas bergerak dan demam tinggi . Leukopenia dan thromocytopenia hampir selalu terjadi dan muncul sebelum demam dan berlanjut sampai hewan mati . Conjunctivitis yang ditandai dengan exudate mukopurulent pada mata sering terjadi . Gangguan saluran pencernaan ditandai dengan konstipasi diikuti dengan diare. Kadang-kadang babi memuntahkan cairan berwarna kuning . Gangguan lokomotor berupa kelemahan pada tungkai belakang sehingga babi berjalan sempoyongan, bagian belakang tubuh terayun ke kiri dan ke kanan sa .at berjalan (swaying gait) atau babi berdiri sambil bagian belakang tubuh disandarkan pada dinding atau babi lain merupakan gejala yang khas pada penyakit ini . Kemerahan yang diikuti keunguan pada kulit terutama pada daun telinga, abdomen dan kaki bagian medial juga hampir selalu terjadi (HARKNESS, 1985 ; WILLIAMS dan MATTHEWS, 1988 ; WOOD et ai., 1988) . Tingkat kematian pada HC akut sangat tinggi dan biasanya terjadi antara 10 - 20 hari setelah infeksi . HC sub akut dan kronis Gejala HC subakut sama seperti diuraikan diatas tetapi lebih ringan dan penyakit berjalan lebih lambat . HC dinyatakan kronis apabila pe nyakit dapat berjalan lebih dari 30 hari (MANGELING dan PACKER, 1969) . Penyakit ditandai dengan anorexia, fever dan diare yang lama tetapi hilang timbul (intermitten) . Babi sangat kurus dan pertumbuhan sangat lambat . Gejala klinis yang terlihat paaa babi yang bunting yang terinfeksi HC tergantung pada umur kebuntingan saat terjadi infeksi dan virulensi dari virus yang menginfeksi . Infeksi HC pada babi bunting dapat berakibat aborsi, mummifikasi, stillbirth, anak yang lemah dan gemetaran, kematian neonatal, atau babi lahir kelihatan sehat tetapi virus dalam tubuhnya berkembang dengan perlahan-lahan dan setelah beberapa minggu atau bulan baru timbul gejala sakit . WARTAZOA VOL 6 No. 1 Th . 1997 PATOLOGI Sebagian besar lesi yang terjadi pada HC akut adalah akibat degenerasi hydrophic atau nekrosa sel endotel pembuluh darah kapiler dan gangguan system pembekuan darah . Manifestasi dari kerusakan diatas terlihat berupa perdarahan diseluruh tubuh dan thrombosis pada beberapa organ . Perdarahan berupa petechiae dan ecchymosa terlihat jelas pada selaput serosa, mukosa lambung dan usus, ginjal, kantong kencing, larings, epiglottis, hati, kulit dan subcutis . Limfoglandula di seluruh tubuh membengkak dan mengalami perdarahan terutama pada bagian sinus perifer. Petechiae atau ecchymosa pada ginjal . terjadi pada permukaan korteks sehingga ginjal sering terlihat berbintik-bintik seperti telur kalkun (turkey-egg kidney) . Limpa biasanya tidak atau hanya sedikitmembengkak tetapi sering memperlihatkan infark yang hemorrhagic yang ditandai dengan benjolan berwarna gelap terutama pada bagian tepi . Infark pada limpa, yang disebabkan oleh thrombosis pada pembuluh darah kapiler, merupakan lesi yang khas dan dianggap lesi yang mendekati pathognomonis. Selain pada limpa, infark juga dapat terjadi pada tonsil dan kantong empedu . Nekrosis atau ulcerasi berupa benjolan jaringan mati pada mukosa, yang disebut 'button ulcer', dapat terjadi pada colon, caecum atau lambung . Lesio ini juga merupakan lesi yang spesifik dan merupakan lesi yang mendekati pathognomonis . Infark dan perdarahan juga dapat terjadi di paru-paru tetapi lesi ini sering berubah menjadi fibrinous bronchopneumonia akibat infeksi bakteri sekunder . Pada otak sering terlihat kelainan berupa perivascular cuffing (HARKNESS, 1985 ; WILLIAMS dan MATTHEWS, 1988 ; WOOD et al., 1988 ; KAMOLSIRIPRICHAIPORN et al., 1992) . Pada kasus HC yang kronik, lesi yang terbentuk tidak spesifik . Lesi yang paling sering ditemui adalah atrofi pada timus, dan eksostosis pada persendian chondrocostal (pertemuan antara tulang rusuk dan tulang rawan) pada babi muda . Lesi berupa perdarahan biasanya tidak ditemukan (HARKNESS, 1985) . DIAGNOSIS Wabah HC yang akut umumnya tidak sulit didiagnosis, karena diagnosis yang akurat sering dapat dibuat berdasarkan karakteristik epidemiolo gis, gejala klinis dan kelainan patologis. Diagnosis HC dapat disimpulkan bila ditemukan wabah dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, gejala sempoyongan (swaying gait), demam tinggi, per- sistent leucopenia dan thrombocytopenia pada pemeriksaan klinis, serta perdarahan yang meluas, infark pada limpa dan button ulcers pada usus besar pada pemeriksaan post mortem (HARKNESS, 1985) . Akan tetapi gejala klinis atau lesi seperti diatas sering tidak ditemukan, terutama pada HC yang subakut atau kronis, sehingga diagnosis hanya bisa ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium (WOOD et al., 1988) Diagnosis banding HC akut yang terpenting adalah African swine fever . Gejala klinis dan perubahan patologis kedua penyakit tersebut sangat mirip sehingga susah dan Bering tidak dapat dibedakan . Perbedaan paling penting antara kedua penyakit menurut MAURER et al., (1958) adalah ditemukanya karyorrhexis pada limfosit pada African swine fever sedangkan pada HC kelainan serupa tidak ditemukan . Disamping itu limpa babi penderita African swine fever biasanya sangat membengkak dan limfoglandula visceral terlihat seperti hematoma sedangkan pada babi penderita HC limpa tidak atau hanya sedikit membengkak dan perdarahan pada limfoglandula terdapat pada bagian perifer (TERPSTRA, 1991) . Kadang kadang HC akut bisa dikelirukan dengan septicaemia akibat Salmonellosis, Pasteurelosis, Streptococcosis atau Erysipelas . Untuk membedakanya biasanya cukup dengan pemeriksaan bakteriologis darah . PENEGUHAN DIAGNOSIS Diagnosis definitip hanya dapat ditegakkan dengan isolasi virus, identifikasi antigen atau antibodi spesifik . Direct fluorescence antibody test Direct immunofluorescence pada jaringan yang diiris dengan cryostat merupakan metode peneguhan diagnosis pilihan sejak tahun 1960 an karena teknik ini sederhana, hasilya terpercaya dan dapat dipe.roleh dengan cepat (2 jam) . Prosedur pelaksanaan test ini telah diuraikan secara terperinci oleh RESSANG dan DEN BOER, (1968) ; dan KAMOLSIRIPRICHAIPORN et al., (1992) . Spesimen yang paling penting untuk peneguhan diagnosis adalah tonsil, limpa dan ileum bagian distal . Spesimen sebaiknya berasal dari beberapa hewan dan dikirim secepatnya ke laboratorium dalam keaadaan dingin tapi tidak dibekukan dan tanpa pengawet . Test ini tidak dapat membedakan HC dengan BVD . Disamping itu test ini juga sering tidak dapat memberikan hasil yang konklusif bila jumlah virus dalam jaringan terlalu rendah . 27 SIMSON TARIGAN et al. : Hog Cholera-Sebuah Tinjauan Kepustakaan Kultur se% Metode ini sangat sensitif sehingga sering dipakai apabila hasil diagnosis dengan immmunofluorescence pada sampel cryostat masih meragukan . Sel monolayer (biasanya sel lestari PK-15) diinokulasi dengan suspensi dari spesimen . Pertumbuhan virus pada kultur sel dideteksi dengan teknik immunofluorescence setelah diinkubasikan selama 24 jam atau lebih . Teknik ini jauh lebih sensitif dibandingkan dengan teknik immunofluorescence pada sampel cryostat spesimen (RESSANG dan DEN BOER, 1968) . ELISA Teknik ELISA untuk diagnosis HC telah banyak dikembangkan karena test ini mampu memeriksa sampel dalam jumlah yang besar dalam waktu yang singkat, sehingga ideal untuk screening (HOLM JENSEN, 1981 ; HAVE, 1984; LEFORBAN et al., 1987; SHANNON et al., 1993) . Untuk mendapatkan ELISA dengan spesifitas tinggi diupayakan penggunaan antibodi monoklonal . Antibodi monoklonal yang dapat membedakan virus HC dengan virus BVD telah banyak diproduksi (HOUWERS dan WENSVOORT, 1986; WENSVOORT et al., 1986 ; ZHOu et al., 1989 ; EDWARDS et al., 1991) . Akhir-akhir ini deteksi antigen HC dengan teknik ELISA (double antibody sandwich type) baik menggunakan antibodi poliklonal monospesi fik ataupun monoklonal telah digunakan secara luas . Beberapa perusahaan atau laboratorium referensi HC telah memproduksi ELISA kit secara komersial . Baru-baru ini sebuah workshop diadakan untuk mengevaluasi teknik ELISA yang telah dikembangkan oleh laboratorium referensi di negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropah (DEPNER etaL, 1995) . ELISA kit yang dievaluasi adalah : Serelisa HCV-Ag (Rhone-Meriux), CVL-1 dan CVL2 (Central Veterinary Laboratory, United Kingdom), Prugia ELISA (Instituto Zooprofilattico, Prugia, Italy), CSFV EO-SADA (Tubingen, Germany) dan Han-1 dan Han-2 (Community Reference Laboratory, Germany) . Semua ELISA kit diatas merupakan ELISA tipe double antibody sandwich yang dapat dipakai untuk mendeteksi antigen virus HC dalam darah . Semua ELISA kit spesifik untuk Pestivirus, tetapi hanya CVL-2 saja yang specifik untuk virus HC. Sayangnya, ELISA kit yang terakhir ini tidak mampu mendeteksi semua strain virus HC . Walaupun sebagian besar kit diatas tidak spesifik untuk virus HC, persoalan cross reaksi dengan virus BVD tidak dianggap masalah besar, karena semua kit dapat dipakai 28 untuk mendeteksi antigen dalam darah. Infeksi virus BVD pada babi jarang sekali menimbulkan viraemia (DEPNER et al., 1995) . Polymerase chain reaction (PCR) PCR mempunyai potensi yang sangat besar sebagai teknik diagnosis HC yang cepat, sensitif dan spesik dimasa yang datang menggantikan test immunologis yang dipakai sekarang . Sampai saat ini pemakaian PCR untuk diagnosis HC nampaknya belum banyak dipakai . Liu et al., (1991) berhasil mengembangkan PCR untuk diagnosis PCR menggunakan primer hev-1, 5'D CTTATCGGAGGGCC TTCTGD3' dan hev-2, 5'DAGTGACAACGGCACTAATGGD3' . Dengan primer ini dihasilkan pruduk PCR sebesar 300 base pair (bp) . Sensitivitas PCR ditaksir sekitar 104 TCID5o . Sensitivitas dapat ditingkatkan sebanyak 1000 kali (10 TCID5o) dengan nested PCR menggunakan nested primer hev-3, 5'DATT .CAGCGAGCCATGGTATCTD3'dan hev-4, 5'DTTCATTAACTGAATCCAAGGD3' (Liu et al., 1991) . PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN Untuk negara atau daerah yang bebas HC usaha dipusatkan pada pencegahan masuknya virus HC . Usaha ini meliputi larangan import atau pemasukan ternak babi beserta produknya dari daerah tertular atau tersangka . Disamping itu sisasisa dapur dari angkutan darat, laut atau udara internasional dari daerah tertular perlu dimusnahkan untuk menjaga kemungkinan masuknya virus HC (TERPSTRA, 1991) . Apabila HC muncul dinegara yang sebelumnya bebas HC, langkah awal yang paling penting untuk segera dilakukan adalah mencari sumber penularan dan menetapkan luas penyebaran virus yang telah terjadi . Langkah selanjutnya meliputi pelarangan pengeluaran babi dari daerah tertular atau tersangka, surveillance yang teliti dan stamping out kalau memungkinkan . Disamping itu tindakan sanitasi perlu dilakukan . Kandang dan peralatan didesinfeksi dengan larutan NaOH 1 atau desinfektan lain, dan kandang harus diistirahatkan selama 15 -30 hari, jangka waktu istirahat kandang yang diterima secara internasional (TERPSTRA, 1991) . Pada tahun 1980, Masyarakat Ekonomi Eropa menyepakati untuk menerapkan suatu peraturan yang dikenal dengan Directive 80/217 EEC yang berisi tindakan yang harus diambil apabila terjadi wabah HC (ROBERTS, 1995) . Berdasarkan pera- WARTAZOA VOL 6 No. 1 Th. 1997 turan tersebut tindakan minimal yang harus diambil apabila terjadi wabah adalah sebagai berikut: 1. Pemusnahan semua babi dalam peternakan yang terinfeksi dan desinfeksi kandang dan peralatan. 2. Penetapan zona proteksi dalam radius 3 km sekurang-kurangnya 15 hari, dan zona surveillance radius 10 km sekurang kurangnya 30 hari . 3. Larangan perpindahan babi dalam zona surveillance selama sekurang-kurangnya 7 hari, setelah itu babi dapat dikirim secara langsung ke abatoar, dipindahkan ke tempat lain dengan instruksi petugas yang berwenang atau setelah melalui pemeriksaan klinis . 4. Sebelum pembatasan pembatasan dalam zona surveillance dihapuskan harus dilakukan pemeriksaan klinis dan serologis. . 5. Pelaksanaan penyidikan epidemiologis . Larangan vaksinasi kecuali dalam keadaan 6. yang sangat khusus . 7. Daging babi dari zona surveillance harus diproses sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam Directive 80/215 EEC . Untuk memberantas HC dinegara dimana penyakit tersebut enzootik bisa dilakukan dengan tindakan stamping out disertai dengan penerapan undang-undang veteriner. dan sanitasi . Negara negara yang telah berhasil memberantas HC dengan cara ini adalah : Australia, Canada, Amerika Serikat, Inggris, Republik Afrika Selatan dan negara negara Scandinavia. Cara kedua untuk pemberantasan HC adalah dengan program vaksinasi . Belanda merupakan salah satu negara yang berhasil memberantas HC dengan pelaksanaan program vaksinasi secara ketat dan teratur . Untuk memberantas HC pada 3 daerah yang epizootik di negeri Belanda pada tahun 1973, dicanangkan program vaksinasi selama 1 tahun . Vaksin yang dipakai pada program ini adalah vaksin aktif strain Cina . Vaksinasi masal dilakukan terhadap semua babi berumur diatas 2 minggu . Setelah vaksinasi masal, vaksinasi tambahan dilakukan terhadap babi yang berumur 6-8 minggu dan babi yang didatangkan dari luar daerah . Jumlah kasus penyakit terlihat langsung menurun setelah 2 minggu pelaksanaan vaksinasi masal, dan kasus penyakit praktis tidak ditemukan lagi setelah 5 bulan (TERPSTRA dan ROBIJNS, 1977) . Setelah berakhir program vaksinasi 1 tahun, HC di daerah yang tadinya enzootik berhasil diberantas . Vaksin Vaksin aktif strain Cina (C-strain) adalah jenis vaksin yang paling banyak digunakan. Strain ini diperoleh dari isolat virus yang virulen yang diatenuasi pada kelinci . Vaksin ini sangat efektif, menginduksi kekebalan dengan cepat dan bertahan lama . Kekebalan terjadi 1 minggu setelah vaksinasi, dan bertahan selama 2-3 tahun (van OIRCHOT, 1986) . Hasil pengamatan BIRONT et al., (1987) menunjukkan bahwa kekebalan atau antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi bukan hanya mampu melindungi babi dari terjadinya penyakit tetapi juga mampu mencegah replikasi virus didalam tonsil atau tubuh babi . IN berarti, vaksinasi dapat memotong rantai penyebaran virus. Selain itu bukti telah banyak yang mendukung bahwa vaksin ini aman untuk dipakai . Virus strain C ini tetap dalam kondisi atenuasi atau tidak berbalik menjadi virulen setelah dipasase berulang-ulang pada babi, dan juga tidak menimbulkan penyakit sekalipun pada babi dalam kondisi immunosupresiv dengan penyuntikkan preparat Corticosteroid (VAN OIRCHOT, 1986). Virus ini juga dapat menembus barier plasenta tetapi tidak menimbulkan gangguan pada babi bunting ataupun fetus yang dikandungnya (VAN OIRCHOT, 1986) . Anak babi dari induk yang divaksin terlindungi tehadap infeksi HC selama 5-8 minggu (TERPSTRA dan ROBIJNS, 1977) . Selain strain C, vaksin aktif seperti Japanese GPE-strain dan French Thiverval strain juga banyak digunakan (van OIRCHOT, 1986) . Kedua vaksin terakhir ini diatenuasi pada tissue culture. Vaksin inaktif yang diproduksi dengan menginaktifkan virus virulen dengan crystal violet dipakai secara luas di Eropa Barat pada tahun 1961-1968 . Akan tetapi pemakaian vaksin ini malah menghambat usaha pemberantasan penyakit (TERPSTRA dan ROBUNS, 1977) . Hal ini disebabkan inaktivasi virus kadang-kadang tidak sempurna sehingga babi yang divaksin menjadi terkena HC . Disamping itu kekebalan yang diinduksi vaksin inaktif tebentuknya lama (2 minggu setelah vaksinasi) dan bertahan tidak lama . Oleh karena itu vaksin inaktif tidak dipakai lagi . KESIMPULAN Penyakit HC merupakan salah satu penyakit yang sangat penting di seluruh dunia . Sejak pertama kali ditemukan sekitar dua abad yang lalu sampai sekarang penyakit ini tetap merupakan penyakit epizootik disebagian besar dunia . Walaupun virus penyebab penyakit ini hanya satu serotype saja dan vaksin yang efektif telah tersedia sejak lama, banyak negara mengalami kesulitan untuk membebaskan negaranya dari penyakit ini . Kesulitan tersebut kemungkinan berhubungan 29 SIMSON TARIGAN at al. : Hog Cholera-Sebuah Tinjauan Kepustakaan dengan sulitnya mencegah masuknya olahan daging babi yang tercemar virus HC dari luar negeri . Kemungkinan kedua adalah kesufitan dalam memberantas penyakit HC pada babi liar atau babi hutan, dan mencegah penularan dari babi liar ke babi piaraan . Penelitian dalam aspek patologis, immunologis dan epidemiologis HC dalam kurun satu dekade terakhir tidak banyak menghasilkan informasi baru . Terobosan penting yang telah dilakukan adalah pengungkapan karakteristik biologis dan molekuler glycoprotein gp 55 dan gp 44/48 . Kedua glycoprotein tersebut bersifat immunogenik dan antibodi yang terbentuk bersifat protektip . Gen yang menyandi glycoprotein tersebut sudah berhasil diklon dan diexpresikan dalam sel eukariotik .Penelitian sekarang dan dimasa yang akan datang nampaknya diarahkan untuk memproduksi glycoprotein rekombinan secara efisien untuk pembuatan vaksin dan bahan diagnostik . Pemakaian glycoprotein tersebut sebagai subunit atau rekombinan vaksin mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan vaksin aktif atau inaktif . Salah satu diantara keunggulan tersebut adalah mudahnya membedakan babi yang seropositif akibat vaksinasi dan yang akibat infeksi alam . DAFTAR PUSTAKA BIRONT, P ., LEUNEN, J . and VANDEPUTTE, J . 1987 . Inhibition of virus replication in the tonsils of pigs previously vaccinated with a Chinese strain vaccine dan challenged oronasally with a virulent strain of classical swine fever virus . Vet. Microbio/. 14 : 105-113 . DAHLE, J . and LIESS, B . 1995 . Comparative study with clones classical swine fever virus strains ALFORT dan, GLENTORF : clinical, pathologi cal, virological dan serological findings in weaner pigs . Wiener Tierarztliche Monatsschrift 82 : 232-238 . DEPNER, K ., PATON, D . J ., CRUCIERE, C ., DE MIA, G . M ., MULLER, A ., KOENEN, F ., STARK, R . and LIEss, B . 1995 . Evaluation of the enzyme linked immunosorbent assay for the rapid screening dan detection of classical swine feveer virus antigens in the blood of pigs . Rev. Sci. Tech . Off Int. Epiz . 14 : 677-689 . DUNNE, H . W . 1975 . Hog cholera In Diseases of swine. Ames, Iowa State Univ . Press . p 189 . EDWARDS, S ., MOENNIG, V . and WENSVOORT, G . 1991 . The development of an international reference panel of monoclonal antibodies for 30 the differentiation of hog cholera virus from other pestiviruses . Vet. Microbio% 29 : 101108 . HARKNESS, J . W . 1985 . Classical swine fever dan its diagnosis : a current view . Vet. Rec. 116: 288-293 . HAVE, P . 1984 . Detection of antibodies against swine fever virus by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) . Acta Vet. Scand. 25 : 463-465 . HOLM JENSEN, M . 1981 . Detection of antibodies agains hog cholera virus dan bovine viral diarrhoea virus in porcine serum . A compara tive examination using CF, PLA dan NPLA assays . Acta Vet. Scand. 22 : 85-98 . 1981 . Non-Arthropod-Borne Toga-viruses. Academic Press, New work . HORZINEK HOUWERS, D . J . and WENSVOORT, G . 1986 . Application of monoclonal antibodies in ELISAs : complex trapping blocking (CIB), novel one step assays for the detection of antibodies to maedi-visna dan classical swine fever virus . 4th Int Symposium Vet Lab Diagnosticians HULST, M . M ., HIMES, G ., NEWBIGIN, E . and MOORMANN, R . 1994 . Glycoprotein E2 of classical swine fever virus : expression in insect cells dan identification as a ribonuclease . Virology New York 200 : 558-565 . HULST, M . M ., WESTRA, D . F ., WENSVOORT, G . and MOORMANN, R . J . M . 1993 . Glycoprotei n El of Hog Cholera virus expressed in insect cells protect swine from hog cholera . J. Viro/ . 67 : 5435-5442 . KAMOLSIRIPRiCHAIPORN, S ., HOOPER, P . T ., MORRISSY, C . J . and WESTBURY, H . A . 1992 . A comparison of the pathogenicity of two strains of hog cholera virus . 1 . Clinical dan pathological studies . Aust. Vet. J. 69 : 240-244 . KONIG, M ., LENGSFELD, T ., PAULY, T ., STARK, R . and THIEL, H . J . 1995 . Classical swine fever virus : independent induction of protective immunity by two structural glycoproteins . J. Viro% 69 : 6479-6486 . KOSMIDOU, A ., AHL, R ., THIEL, H . J . and WEILAND, E . 1995 . Differentiation of classical swine fever virus (CSFV) strains using monoclonal antibodies agains structural glycoproteins . Vet. Microbio/.47: 111-118 . KRAMER, M ., AHL, R ., TEUFFERT, J ., KROSCHEWSKI, K ., SCHLUTER, H . and OTTE, J . 1995 . Classical swine fever in Germany - some epidemiologi- WARTAZOA Vol. 6 No. 1 Th. 1997 cal aspects. Proc . meeting Soc. Vet. Epid. Prev . Med, University of Reading, UK : 110118 . LAUDE, H . 1987 . Hog cholera virus: art and fact . Ann. Rech . Vet .18: 127-138 . ROBERTS, M . 1995 . Evaluation of the optimal size of restriction zones in disease control with particular reference to classical swine fever . Proc. meeting Soc. Vet. Epid. Prev. Med., University of Reading, UK : 119-130. LEFORBAN, Y., HAVE, P ., JESTIN, A. and VANNIER, P. 1987 . Use of an ELISA test for the demonstration of classical swine fever antibodies in pigs . Recuell de Medecine Veterinaire 163 : 667-677 . RUGGLI, N ., MOSER, C ., MITCHELL, D ., HOFMANN, M . and TRATSCHIN, J . D . 1995 . Baculovirus expression dan affinity purification of protein E2 of classical swine fever virus strain AIfort/187 . Virus Genes 10 : 115-126. Llu, S . T ., LI, S . N ., WANG, D . C ., CHANG, S . F ., CHIANG, S. C ., Ho, W. C., CHANG, Y . S. and LAI, S . S. 1991 . Rapid detection of hog cholera virus in tissues by the polymerase chain reaction . J. Viro/. Methods 35 : 227236. RUMENAPF, T. H . 1990 . Cloning, sequencing dan expression of the genome of classical swine fever virus . Inaugural-Dissertation, Fach bereich Veterinarmedizin, Justus-Liebig-Universitat, Giessen, Germany . LOWINGS, J . P ., PATON, D . J ., SANDS, J . J ., MIA, G . D ., RUTILI, D . and DE, M . G . 1994 . Classical swine fever: genetic detection dan analysis of differences between virus isolates . J. Genera/ Viro/. 75 : 3461-3468 . MANGELING, W. L. and PACKER, R . A . 1969 . Pathogenesis of chronic hog cholera : Host response . Am . J. Vet. Res. 30 : 409-417. MAURER, F. D., GRIESEMER, R. A. and JONES, J . C. 1958 . The pathology of African swine feverNA comparison with Hog cholera . Am . J. Vet. Res. 19 : 517-539 . MEYERS, G ., RUMENAPF, T . and THIEL, H . J. 1989 . Molecular cloning dan nucleotide sequence of the genome of hog cholera virus . Virology 171 : 555-567. MEYERS, G. and THIEL, H . J . 1995 . Cytopathogenicity of classical swine fever virus caused by defective interfering particles. J. Virol. 69 : 3683-3689. MOORMANN, R., WARMERDAM, P., MEER, B. V . D., HULST, M . M . and VAN, d . M. B. 1990 . Nucleotide sequence of hog cholera virus RNA: properties of the polyprotein encoded by the open reading frame spanning the viral genomic RNA. Vet. Microbio/. 23 : 1-4. RESSANG, A. A. 1973 . Studies on the pathogenesis of Hog cholera . I . Demonstration of Hog cholera virus subsequent to oral exposure . Zb/. Vet. Med. B 20 : 256-271 . RESSANG, A. A . and DEN BOER, J . L . 1968 . The diagnosis of Hog cholera in the Netherlands . Bull. Off. Int. Epiz. 75 : 519-531 . SHANNON, A. D ., MORRESSY, C ., MACKINTOSH, S. G . and WESTBURY, H . A . 1993 . Detection of hog cholera virus antigens in experimentally infected pigs using an antigen-captured ELISA . Vet Microbio/ 34 : 233-248 . TERPSTRA, C . 1991 . Hog cholera : an update of present knowledge. British Vet. J. 147 : 397406 . TERPSTRA, C. and ROBIJNS, K . G . 1977 . Experience with regional vaccination against swine hever enzootic areas for limited periods using C-strain virus. Tijd. Dierg. 102: 106-112 . TERPSTRA, C . and WENSVOORT, G . 1988 . Natural infections of pigs with bovine viral diarrhoea virus associated with signs resembling swine fever. Res. Vet. Sci. 45 : 137-142 . THIEL, H. J ., STARK, R., WEILAND, E., RUMENAPF, T. and MEYERS, G . 1991 . Hog cholera virus : molecular composition of virions from a pestivirus. J. Viro% 65 : 4705-4712 . VAN OIRCHOT, J . T. 1986 . Hog Cholera. Diseases of Swine. Ed A. D . e. a . Leman . Ames, Iowa, Iowa State University Press . 6th, ed . pp 289299 . VAN OIRSCHOT, J . T. 1979 . Experimental production of congenital persistent swine fever infections . II . Effect on functions of the immune system . Vet. Microbio% 4: 133 . WEILAND, E., AHL, R ., STARK, R ., WEILAND, F . and THEIL, H . J . 1992 . A second envelope dlycoprotein mediates neutralization of a pes tivirus, hog cholera virus . J.Viro/. 66 : 3677-3682 . WENSVOORT, G ., BOONSTRA, J. and BODZINGA, B. G. 1990 . Immunoaffinity purification dan char' 31 SIMSON TARIGAN et aL : Hog Cholera-Sebuah Tinjauan Kepustakaan acterization of the envelope protein E1 of hog cholera virus. J. General Vir. 71 : 531-540 . WENSVOORT, G ., TERPSTRA, C ., BOONSTRA, J ., BLOEMRAAD, M ., ZAANE, D . V . and VAN, Z . D . 1986 . Production of monoclonal antibodies against swine fever virus dan their use in laboratory diagnosis . Vet. Microbiol . 12 : 101108 . R. and MATTHEWS, D . 1988. Outbreaks of classical swine fever in Great Britain in 1986 . Vet. Rec. 122 : 479-483 . WILLIAMS, D . WOOD, L ., BROCKMAN, S ., HARKNESS, J . W. and EDWARDS, S. 1988 . Classical swine fever: virulence dan tissue distribution of a 1986 English isolate in pigs. Vet. Rec . 122 : 391394. ZHOU, Y ., MOENNIG, V ., COULIBALY, C ., DAHLE, J . and LIESS, B. 1989 . Differentiation of hog cholera and bovine virus diarrhoea viruses in pigs using monoclonal antibodies . J. Vet. Med, B. Infect. Dis, Immunol, Food Hyg, Vet. Public Health 36 : 76-80 . ZIJL, M . V ., WENSVOORT, G ., KLUYVER, E . D ., HULST, M ., GULDEN, H . V . D ., GIELKENS, A ., BERNS, A ., MOORMANN, R ., VAN, Z . M ., DEK LUYVER, E. and VAN, d . G . H . 1991 . Live attenuated pseudorabies virus expressing envelope glycoprotein El of hog cholera virus protects swine against both pseudorabies and hog cholera . J. Vir. 65: 2761-2765 .