HOG CHOLERA PADA BABI

advertisement
HOG CHOLERA PADA BABI
SIMSON TARIGAN, SJAMSUL BAHM dan A . SAROSA
Balai Penelitian Veteriner
Jalan R. E. Martadinata 30, P.O. Box 52, Bogor 16114
PENDAHULUAN
KARAKTERISTIK DAN SIFAT-SIFAT VIRUS
HOG CHOLERA
Hog Cholera (HC) atau Classical swine fever
adalah penyakit viral pada babi yang sangat ganas
dan sangat menular. Penyakit ini dikenal sebagai
penyakit yang paling merugikan pada babi sehingga sangat ditakuti terutama oleh peternak
babi . Sejak pertama ditemukan sekitar 2 abad
yang lalu sampai tahun 1960-an penyakit ini epi=
zootik di Eropa dan Amerika, benua yang memiliki
populasi babi tertinggi . Sejak tahun 1970-an banyak negara di Eropa Barat dan Amerika Utara
telah berhasil memberantas penyakit tersebut .
Sebelum tahun 1995, HC tidak ditemukan di
Indonesia. Bebasnya Indonesia dari penyakit ini
dikukuhkan oleh Surat keputusan Menteri per
tanian No 81 /Kpts/TN . 560/1/1994 tanggal 31
Januari 1994 . Akan tetapi, tidak lama setelah surat keputusan tersebut dikeluarkan wabah yang
diduga keras HC terjadi di Indonesia. Pada bulan
Maret 1995 terjadi wabah penyakit babi di lokasi
peternakan Kapuk Jakarta . Gejala klinis dan kelainan patologi pada babi penderita sangat khas
untuk penyakit tersebut . Sejak kejadian di Kapuk,
wabah penyakit telah menyebar ke berbagai pulau
di Indonesia .
Keadaan demikian merupakan masalah yang
besar bagi pembangunan peternakan, khususnya
peternakan babi di Indonesia . Mengingat penyakit
tersebut merupakan penyakit baru, tentu saja
pengetahuan kita akan penyakit tersebut sangat
minim . Padahal untuk memulai suatu program
pengendalian, pengetahuan yang cukup tentang
penyakit tersebut mutlak diperlukan . Pada tahun
1981, Direktorat Kesehatan Hewan menerbitkan
beberapa jilid buku yang berjudul : 'Pedoman penyakit menular', salah satu penyakit yang dibahas
adalah penyakit HC . Akan tetapi, sejak penerbitan
buku tersebut telah banyak hasil penelitian di luar
negeri yang dipublikasi . Salah satu tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk melengkapi
dan meng update tulisan pada buku tersebut .
Dalam tulisan ini ulasan dititikberatkan pada karakteristik virus, epidemiologi, patogenesis, gejala
klinis, patologi,, :d agnosis dan pengendalian HC .
Virus HC termasuk genus Pestivirus, berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 40-50
nm, mempunyai nucleocapsid berbentuk hexago
nal berukuran sekitar 29 nm, dan mengandung
material genetik RNA berbentuk single stranded
dan polarity positip (HORZINEK, 1981) . Nucleocapsid tersebut diselaputi oleh sebuah selubung (envelope) yang mengandung tiga glycoprotein yakni
glycoprotein El (gp55), E2 (gp44/48) dan E3
(gp33) . Ketiga glycoprotein tersebut terdapat
dalam bentuk dimer yang satu sama lain dihubungkan oleh ikatan disulfida . Glycoprotein E1
dan E2 masing-masing merupakan homodimer,
sedangkan E3 dapat juga membentuk dimer dengan E1 (THIEL et al., 1991) .
Genom (RNA) yang panjangnya 12 248 base
pair (bp) telah lengkap di sequence (MEYERS et al.,
1989 ; MOORMANN et al., 1990 ; RUMENAPF, 1990) .
Analisis dari hasil sequencing menunjukkan bahwa
genom tersebut terdiri dari hanya satu open reading frame yang panjang, menjadi sebuah precursor
polyprotein sepanjang 3898 asam amino (438 .3
kD) . Precursor polyprotein tersebut setelah mengalami proses enzimatik (signalase) terpecah menjadi beberapa protein dan glycoprotein, antara lain
tiga buah glycoprotein yang menjadi komponen
viral envelope (E1, E2 dan E3), sebuah protein
nucleocapsid, dan beberapa non struktural protein . Glycoprotein E1 dan E2 sangat immunogenik
dan antibodi yang terbentuk mampu menetralisasi
virus (THIEL et al., 1991 ; WEILAND et al., 1992) .
Glycoprotein E1 sudah berhasil dimurnikan dengan teknik immunoaffinity chromatography
(WENSVOORT et al., 1990) dan diklon untuk diexpresikan dengan virus Pseudorabies yang sudah
diatenuasi (ZIJL et al., 1991) atau diexpresikan
dalam biakan sel serangga lestari (HULST et al.,
1993 ; RUGGU et al., 1995) . Glycoprotein E2 yang
mempunyai aktivitas ribonuclease juga telah diexpresikan dalam sel serangga lestari yang diinfeksikan dengan Baculovirus rekombinan (HULST et
al., 1994) . Malah baru-baru ini ke tiga glycoprotein
dan nucleocapsid protein telah berhasil diexpresi-
23
SIMSON TARIGAN
et aL : Hog Cholera-Sebuah Tinjauan Kepustakaan
kan secara serentak dalam sel eukariotik yang
diinfeksi dengan virus Vaccinia rekombinan . Babi
yang diimunisasi dengan virus Vaccinia rekombinan yang mengekspresikan El dan/ atau E2 tersebut terlindungi dalam uji tantang dengan virus HC
dosis letal (KONIG et al., 1995).
Secara immunologis dan genetis, virus HC
mempunyai kesamaan yang sangat dekat dengan
virus Bovine viral diarrhoea (BVD), kedua virus ini
adalah anggota dari genus Pestivirus . Virus BVD
selain patogen pada sapi, kadang kadang dapat
pula menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada
babi (TERPSTRA dan WENSVOORT, 1988) . Kedua
virus mempunyai susunan genom dan protein
yang sama, keduanya mempunyai kesamaan sequence asam nukleat sebesar 66% dan asam
amino sebesar 85% (MEYERS et al., 1989 ; RuMENAPF, 1990) . Karena persamaan yang banyak
tersebut, diagnosis difinitip HC sering sulit
ditegakkan dengan hanya menggunakan antibodi
poliklonal .
Berdasarkan uji cross neutralisasi, virus HC
hanya dikenal satu serotype saja . Hal ini sangat
memudahkan vaksinasi, karena untuk memulai
suatu program vaksinasi tidak perlu dilakukan
serotiping terlebih dahulu . Sekalipun virus HC
hanya dikenal satu serotype saja, pengelompokan
virus berdasarkan type antigen atau perbedaan
sequence RNA masih mungkin dilakukan .
Pengelompokan ini sangat bermanfaat dalam investigasi epidemiologis, misalnya dalam melacak
asal virus dalam suatu wabah. Dengan menggunakan dua panel antibodi monoclonal (12 jenis
antibodi monoklonal untuk glycoprotein El dan 1 1
jenis untuk E2), (KosMIDOu et al., 1995) berhasil
mengelompokkan 126 strain atau isolat virus HC
menjadi 21 type antigenik. Selain menggunakan
panel antibodi monoklonal, pengelompokan isolat
dapat pula dibuat berdasarkan perbedaan sequencing produk reverse transcriptase polymerase
chain reaction (RT-PCR) . Berdasarkan cara yang
terakhir ini, LOWINGS et al., (1994) mengelompokkan 8 isolat kedalam 3 kelompok . Pengelompokan
dengan cara yang terakhir ini dianggap jauh lebih
bermanfaat dari cara yang pertama (antibodi
monoklonal) .
Berdasarkan virulensinya, virus HC dapat
dibagi menjadi tiga kelompok yakni virus dengan
virulensi tinggi, virulensi sedang dan virulensi ren
dah . Akan tetapi pengolompokan virus berdasarkan virulensi ini kadang-kadang sangat sulit
dilakukan karena virus yang biasanya mempunyai
virulensi rendah kadang-kadang dapat juga menimbulkan penyakit yang parah (DAHLE dan LIESS,
1995) . Disamping itu, virulensi HC kemungkinan
juga bukan sifat yang permanen karena kenaikan
24
virulensi dapat terjadi setelah pasasi virus pada
babi (DUNNE, 1975) .
Virus HC dapat dibiakkan dalam kultur sel
ginjal babi dan yang umum dipakai adalah sel
lestari ginjal babi PK-15 dan SK-6 . Pada umumnya
virus HC tidak menimbulkan cytophatic effect .
Akan tetapi beberapa isolat, jumlahnya sangat
sedikit, mampu menimbulkan cytopathic effect .
Baru-baru ini MEYERS dan THIEL, (1995) menyimpulkan bahwa kemampuan beberapa isolat
menimbulkan cytopathic effect tersebut disebabkan adanya kehilangan sebagian dari genom
(internal deletion) sepanjang 4764 bp . Kehilangan
pada genom tersebut berakibat terganggunya system replikasi virus yang selanjutnya berakibat
terbentuknya cytopathic effect pada kultur sel
yang terinfeksi .
Pemeriksaan mikroskop elektron terhadap virus HC dalam jaringan menunjukkan bahwa partikel virus diasembling dan dewasa dalam vesikel
intrasitoplasmik yang terbuat dari membran sel
hospes, dan dikeluarkan dari sel melalui proses
eksositosis (TERPSTRA, 1991) . Karena terdapat didalam vesikel, virus sulit dipisahkan dari komponen sel hospes, hal ini menyebabkan pemurnian
virus HC sangat sulit dilakukan (LAUDE, 1987) .
Virus HC termasuk virus yang resisten terhadap lingkungan yang buruk . Akan tetapi viabilitasnya sangat tergantung pada media dimana
virus tersebut berada . Pada media yang sederhana
seperti supernatan kultur sel, virus dapat diinaktivasi dengan pemanasan pada suhu 56 iC selama
1 jam, atau pada suhu 60iC selama 10 menit,
sedangkan dalam darah yang didefibrinasi infektivitas virus masih bertahan setelah mengalami
pemanasan selama 1 jam pada suhu 64iC atau
selama 30 menit pada suhu 68iC . Virus juga stabil
dalam kisaran pH yang panjang (antara pH 4 - pH
11) . Karena selubung atau envelopenya mengandung lipid, virus sangat rentan terhadap pelarut
lemak seperti ether, chloroform, dan detergent
seperti desoxycholate, nonidet P40 dan saponin
(TERPSTRA, 1991) .
EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit
Berdasarkan data OIE dari bulan Januari 1991
sampai September 1994, HC terdapat diseluruh
dunia kecuali Amerika Utara . Sebagian besar
wabah terjadi di Asia terutama Cina, India dan
negara negara Asia Tenggara . Di Eropah, kasus
HC terbanyak tedapat di Jerman (KRAMER et .al.,
1995) .
WARTAZOA Vol. 6 No. 1 Th . 1997
Cara penularan
Babi adalah satu-satunya induk semang alami
virus HC, oleh karena itu babi penderita merupakan sumber penularan yang terpenting . Virus
masuk ke dalam tubuh babi biasanya melalui rute
oronasal . Cara penularan bisa dengan kontak langsung ataupun tidak langsung . Penularan bisa secara horizontal ataupun vertikal, yakni dari induk
kepada fetus yang dikandung .
Penularan secara langsung
Penularan dari babi yang sakit atau carrier ke
babi yang sehat merupakan cara penularan yang
paling sering terjadi . Wabah penyakit sering
diawali dengan pemasukan babi baru dari daerah
atau peternakan yang tertular HC . Babi yang sakit
menyebarkan virus terutama melalui sekresi oronasal dan lakrimal (RESSANG, 1973) . Jumlah atau
konsentrasi virus dalam sekresi tersebut dan lamanya babi mengeluarkan virus tergantung
kepada virulensi virus. Babi yang terinfeksi oleh
virus yang virulen akan mengeluarkan virus
kedalam lingkungan sebelum timbul gejala klinis
sampai babi mati atau sampai terbentuk antibodi
bagi babi yang bertahan hidup. Sedangkan babi
yang terinfeksi oleh virus yang virulensinya sedang ataupun rendah biasanya mengeluarkan virus dalam jumlah yang lebih rendah dan dalam
kurun waktu yang lebih pendek . Oleh karena itu,
strain virus yang virulen biasanya menularnya
lebih cepat dan menimbulkan morbiditas yang jauh
Iebih tinggi dibandingkan dengan strain yang
kurang virulen (TERPSTRA, 1991)
Penularan secara tidak langsung
Karena virus HC cukup resisten terhadap
lingkungan yang kurang menguntungkan diluar
induk semang, penularan dengan cara tidak lang
sung juga sering terjadi. Virus HC dapat bertahan
dalam waktu yang lama dalam daging babi dan
beberapa produk olahannya, terutama dalam
keadaan dingin atau beku . Masuknya HC ke
negara atau daerah yang bebas HC sering akibat
impor daging babi atau produknya ke negara atau
daerah tersebut . Wabah HC bisa terjadi apabila
babi diberi makan dengan sisa dapur yang mengandung daging babi tercemar tersebut tanpa
dimasak terlebih dahulu . Cara . penularan melalui
sisa dapur ini sering terjadi . Hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 22% dari semua wabah
yang terjadi di USA pada tahun 1973 terjadi
dengan cara seperti ini (DUNNE, 1975) . Kejadian
serupa juga terjadi di Inggris . Setelah negara ini
dinyatakan bebas dari HC tahun 1966, terjadi dua
kali gelombang wabah di negeri ini, yakni tahun
1971 dan 1986 . Kedua gelombang wabah tersebut diketahui akibat impor produk daging babi
yang tercemar virus HC (WILLIAMS dan MATTHEWS,
1988) . Wabah terjadi setelah babi diberi makan
dengan sisa dapur yang mengandung produk daging babi tercemar tersebut .
Peranan babi liar
Babi liar atau babi hutan mempunyai peranan
yang sangat penting sebagai hospes yang aman
bagi virus untuk tetap bertahan dalam suatu lokasi
dan merupakan sumber penularan bagi babi
piaraan. Hasil analisa antigen menggunakan panel
antibodi monoklonal, terhadap sejumlah isolat
yang berasal dari wabah HC di Jerman menunjukkan bahwa sumber infeksi kasus primer dari sebagian wabah berasal dari babi liar . Hal ini dapat
dimengerti mengingat lebih dari 10% babi hutan
di negara tersebut memiliki antibodi terhadap HC,
dan babi hutan yang sedang menderita HC secara
klinis juga sering ditemukan (KRAMER etaL, 1995) .
Kesimpulan yang sama juga dapat ditarik tentang
peranan babi liar di !talia, sekalipun dengan teknik
yang berbeda. Analisa sequencing asam nukleat
terhadap sejumlah isolat dari wabah HC di Italia
menunjukkan bahwa strain virus yang menyebabkan wabah pada babi piaraan di negeri ini juga
sering berasal dari babi liar (LOWINGS et aL, 1994).
PATOGENESIS
Infeksi oleh virus virulensi tinggi
Virus yang masuk kedalam tubuh babi yang
secara alamiah melalui rute oronasal, mengalami
proses absorbsi dan multiplikasi awal pada sel
epitel tonsil, kemudian menyebar ke bagian jaringan limforetikuler dari target organ primer ini.
Virus dapat diisolasi dari organ ini sekitar 7 jam
setelah inokulasi peroral (RESSANG, 1973) . Setelah
mengalami replikasi pada tonsil, virus menyebar
ke limfoglandula regional (limfoglandula mandibula, retrofaringeal, parotid dan cervical) . Virus
dalam limfoglandula tersebut dapat diisolasi kembali sekitar 16 jam setelah inokulasi peroral .
Setelah mengalami replikasi di limfoglandula ini,
virus masuk kedalam peredaran darah yang mengakibatkan terjadinya viraemia awal . Virus tertahan dan mengalami multiplikasi yang cepat pada
limpa yang merupakan target organ sekunder .
Multiplikasi virus yang cepat ini berakibat viraemia
bertambah hebat . Selanjutnya virus tertahan dan
25
SIMSON TARIGAN
et aL : Hog Cholera-Sebuah Tinjauan Kepustakaan
menginvasi limfoglandula visceral dan superficial,
sumsum tulang dan jaringan-jaringan limfoid lain
di mukosa usus . Virus mencapai seluruh tubuh 5-6
hari setelah inokulasi peroral . Pada akhir stadium
viramia, virus menetap dan menginvasi seluruh
organ tubuh yang sering berakibat kematian
(WOOD et ai., 1988) . Selain menginvasi sel limfold,
virus ini juga menyebabkan degenerasi dan nekrosa pada sel endotel pembuluh darah . Kerusakan
pada pembuluh darah, thrombocytopenia dan
gangguan sintesa fibrinogen mengakibatkan perdarahan berupa petechiae dan ecchymosa yang
meluas, yang merupakan salah satu kelainan patologis yang menonjol pada penyakit ini .
Infeksi oleh virus virulensi sedang dan rendah
Infeksi oleh virus dengan virulensi sedang
mengikuti pola yang sama seperti virus virulensi
tinggi tetapi prosesnya berjalan lebih lambat dan
konsentrasi virus dalam darah dan organ-organ
tubuh lebih rendah . Infeksi oleh virus virulensi
rendah terbatas hanya pada fase limfatik . Fase
viraemia terjadi sangat singkat sekali . Infeksi oleh
virus dengan virulensi sedang atau rendah sering
berakibat HC kronis (MANGELING dan PACKER,
1969)
Infeksi in utero
Babi bunting yang terkena HC dapat menulari
embrio atau fetus yang dikandungnya . Virus HC
dapat menembus barier plasenta pada semua
umur kehamilan. Virus menyebar secara hematogenous pada plasenta kemudian menyebar kesemua fetus (VAN OIRSCHOT, 1979) . Selanjutnya,
perkembangan virus pada fetus ini sama dengan
perkembangan virus virulen pada infeksi post natal
seperti diuraikan diatas .
Akibat infeksi in utero pada fetus tergantung
pada saat terjadinya infeksi dan virulensi dari
virus . Fetus yang terinfeksi pada saat 45 hari
pertama kebuntingan lebih mudah mengalami kematian prenatal dibandingkan dengan fetus yang
terinfeksi saat umur kebuntingan 65 hari atau
lebih . Disamping itu, fetus yang terinfeksi oleh
virus virulensi sedang pada kehamilan 45 hari
terakhir kebuntingan berpeluang lebih besar untuk
memperlihatkan gejala klinis HC pada saat atau
beberapa saat setelah kelahiran . Sedangkan, fetus
yang terinfeksi oleh virus virulensi rendah pada
saat kebuntingan yang sama biasanya tidak
berakibat buruk karena fetus dapat mengeliminasi
virus tersebut (VAN OIRSCHOT, 1979) .
26
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi HC biasanya berkisar antara
2-6 hari . Gejala klinis HC dapat dibedakan atas
gejala penyakit akut, subakut atau kronis .
HC akut
Gejala klinis diawali dengan anorexia, lesu,
malas bergerak dan demam tinggi . Leukopenia dan
thromocytopenia hampir selalu terjadi dan muncul
sebelum demam dan berlanjut sampai hewan mati .
Conjunctivitis yang ditandai dengan exudate mukopurulent pada mata sering terjadi . Gangguan
saluran pencernaan ditandai dengan konstipasi
diikuti dengan diare. Kadang-kadang babi memuntahkan cairan berwarna kuning . Gangguan lokomotor berupa kelemahan pada tungkai belakang
sehingga babi berjalan sempoyongan, bagian belakang tubuh terayun ke kiri dan ke kanan sa .at
berjalan (swaying gait) atau babi berdiri sambil
bagian belakang tubuh disandarkan pada dinding
atau babi lain merupakan gejala yang khas pada
penyakit ini . Kemerahan yang diikuti keunguan
pada kulit terutama pada daun telinga, abdomen
dan kaki bagian medial juga hampir selalu terjadi
(HARKNESS, 1985 ; WILLIAMS dan MATTHEWS, 1988 ;
WOOD et ai., 1988) . Tingkat kematian pada HC
akut sangat tinggi dan biasanya terjadi antara 10
- 20 hari setelah infeksi .
HC sub akut dan kronis
Gejala HC subakut sama seperti diuraikan
diatas tetapi lebih ringan dan penyakit berjalan
lebih lambat . HC dinyatakan kronis apabila pe
nyakit dapat berjalan lebih dari 30 hari (MANGELING
dan PACKER, 1969) . Penyakit ditandai dengan anorexia, fever dan diare yang lama tetapi hilang
timbul (intermitten) . Babi sangat kurus dan pertumbuhan sangat lambat .
Gejala klinis yang terlihat paaa babi yang
bunting yang terinfeksi HC tergantung pada umur
kebuntingan saat terjadi infeksi dan virulensi dari
virus yang menginfeksi . Infeksi HC pada babi
bunting dapat berakibat aborsi, mummifikasi, stillbirth, anak yang lemah dan gemetaran, kematian
neonatal, atau babi lahir kelihatan sehat tetapi
virus dalam tubuhnya berkembang dengan perlahan-lahan dan setelah beberapa minggu atau bulan
baru timbul gejala sakit .
WARTAZOA VOL 6 No. 1 Th . 1997
PATOLOGI
Sebagian besar lesi yang terjadi pada HC akut
adalah akibat degenerasi hydrophic atau nekrosa
sel endotel pembuluh darah kapiler dan gangguan
system pembekuan darah . Manifestasi dari kerusakan diatas terlihat berupa perdarahan diseluruh tubuh dan thrombosis pada beberapa organ .
Perdarahan berupa petechiae dan ecchymosa terlihat jelas pada selaput serosa, mukosa lambung
dan usus, ginjal, kantong kencing, larings, epiglottis, hati, kulit dan subcutis . Limfoglandula di seluruh tubuh membengkak dan mengalami perdarahan terutama pada bagian sinus perifer. Petechiae atau ecchymosa pada ginjal . terjadi pada
permukaan korteks sehingga ginjal sering terlihat
berbintik-bintik seperti telur kalkun (turkey-egg
kidney) . Limpa biasanya tidak atau hanya sedikitmembengkak tetapi sering memperlihatkan infark
yang hemorrhagic yang ditandai dengan benjolan
berwarna gelap terutama pada bagian tepi . Infark
pada limpa, yang disebabkan oleh thrombosis
pada pembuluh darah kapiler, merupakan lesi yang
khas dan dianggap lesi yang mendekati pathognomonis. Selain pada limpa, infark juga dapat terjadi
pada tonsil dan kantong empedu . Nekrosis atau
ulcerasi berupa benjolan jaringan mati pada mukosa, yang disebut 'button ulcer', dapat terjadi
pada colon, caecum atau lambung . Lesio ini juga
merupakan lesi yang spesifik dan merupakan lesi
yang mendekati pathognomonis . Infark dan perdarahan juga dapat terjadi di paru-paru tetapi lesi
ini sering berubah menjadi fibrinous bronchopneumonia akibat infeksi bakteri sekunder . Pada otak
sering terlihat kelainan berupa perivascular cuffing
(HARKNESS, 1985 ; WILLIAMS dan MATTHEWS, 1988 ;
WOOD et al., 1988 ; KAMOLSIRIPRICHAIPORN et al.,
1992) .
Pada kasus HC yang kronik, lesi yang terbentuk tidak spesifik . Lesi yang paling sering ditemui
adalah atrofi pada timus, dan eksostosis pada
persendian chondrocostal (pertemuan antara tulang rusuk dan tulang rawan) pada babi muda . Lesi
berupa perdarahan biasanya tidak ditemukan
(HARKNESS, 1985) .
DIAGNOSIS
Wabah HC yang akut umumnya tidak sulit
didiagnosis, karena diagnosis yang akurat sering
dapat dibuat berdasarkan karakteristik epidemiolo
gis, gejala klinis dan kelainan patologis. Diagnosis
HC dapat disimpulkan bila ditemukan wabah dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, gejala
sempoyongan (swaying gait), demam tinggi, per-
sistent leucopenia dan thrombocytopenia pada
pemeriksaan klinis, serta perdarahan yang meluas,
infark pada limpa dan button ulcers pada usus
besar pada pemeriksaan post mortem (HARKNESS,
1985) . Akan tetapi gejala klinis atau lesi seperti
diatas sering tidak ditemukan, terutama pada HC
yang subakut atau kronis, sehingga diagnosis
hanya bisa ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium (WOOD et al., 1988)
Diagnosis banding HC akut yang terpenting
adalah African swine fever . Gejala klinis dan perubahan patologis kedua penyakit tersebut sangat
mirip sehingga susah dan Bering tidak dapat dibedakan . Perbedaan paling penting antara kedua
penyakit menurut MAURER et al., (1958) adalah
ditemukanya karyorrhexis pada limfosit pada African swine fever sedangkan pada HC kelainan
serupa tidak ditemukan . Disamping itu limpa babi
penderita African swine fever biasanya sangat
membengkak dan limfoglandula visceral terlihat
seperti hematoma sedangkan pada babi penderita
HC limpa tidak atau hanya sedikit membengkak
dan perdarahan pada limfoglandula terdapat pada
bagian perifer (TERPSTRA, 1991) . Kadang kadang
HC akut bisa dikelirukan dengan septicaemia
akibat Salmonellosis, Pasteurelosis, Streptococcosis atau Erysipelas . Untuk membedakanya biasanya cukup dengan pemeriksaan bakteriologis
darah .
PENEGUHAN DIAGNOSIS
Diagnosis definitip hanya dapat ditegakkan
dengan isolasi virus, identifikasi antigen atau antibodi spesifik .
Direct fluorescence antibody test
Direct immunofluorescence pada jaringan
yang diiris dengan cryostat merupakan metode
peneguhan diagnosis pilihan sejak tahun 1960 an
karena teknik ini sederhana, hasilya terpercaya
dan dapat dipe.roleh dengan cepat (2 jam) . Prosedur pelaksanaan test ini telah diuraikan secara
terperinci oleh RESSANG dan DEN BOER, (1968) ; dan
KAMOLSIRIPRICHAIPORN et al., (1992) . Spesimen
yang paling penting untuk peneguhan diagnosis
adalah tonsil, limpa dan ileum bagian distal .
Spesimen sebaiknya berasal dari beberapa hewan
dan dikirim secepatnya ke laboratorium dalam
keaadaan dingin tapi tidak dibekukan dan tanpa
pengawet . Test ini tidak dapat membedakan HC
dengan BVD . Disamping itu test ini juga sering
tidak dapat memberikan hasil yang konklusif bila
jumlah virus dalam jaringan terlalu rendah .
27
SIMSON TARIGAN
et al. : Hog Cholera-Sebuah Tinjauan Kepustakaan
Kultur se%
Metode ini sangat sensitif sehingga sering
dipakai apabila hasil diagnosis dengan immmunofluorescence pada sampel cryostat masih
meragukan . Sel monolayer (biasanya sel lestari
PK-15) diinokulasi dengan suspensi dari spesimen .
Pertumbuhan virus pada kultur sel dideteksi dengan teknik immunofluorescence setelah diinkubasikan selama 24 jam atau lebih . Teknik ini
jauh lebih sensitif dibandingkan dengan teknik
immunofluorescence pada sampel cryostat
spesimen (RESSANG dan DEN BOER, 1968) .
ELISA
Teknik ELISA untuk diagnosis HC telah banyak dikembangkan karena test ini mampu memeriksa sampel dalam jumlah yang besar dalam
waktu yang singkat, sehingga ideal untuk screening (HOLM JENSEN, 1981 ; HAVE, 1984; LEFORBAN
et al., 1987; SHANNON et al., 1993) . Untuk mendapatkan ELISA dengan spesifitas tinggi diupayakan penggunaan antibodi monoklonal .
Antibodi monoklonal yang dapat membedakan
virus HC dengan virus BVD telah banyak diproduksi (HOUWERS dan WENSVOORT, 1986; WENSVOORT et al., 1986 ; ZHOu et al., 1989 ; EDWARDS
et al., 1991) .
Akhir-akhir ini deteksi antigen HC dengan
teknik ELISA (double antibody sandwich type)
baik menggunakan antibodi poliklonal monospesi
fik ataupun monoklonal telah digunakan secara
luas . Beberapa perusahaan atau laboratorium referensi HC telah memproduksi ELISA kit secara
komersial . Baru-baru ini sebuah workshop
diadakan untuk mengevaluasi teknik ELISA yang
telah dikembangkan oleh laboratorium referensi di
negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropah (DEPNER etaL, 1995) . ELISA kit yang dievaluasi adalah :
Serelisa HCV-Ag (Rhone-Meriux), CVL-1 dan CVL2 (Central Veterinary Laboratory, United Kingdom), Prugia ELISA (Instituto Zooprofilattico,
Prugia, Italy), CSFV EO-SADA (Tubingen, Germany) dan Han-1 dan Han-2 (Community Reference Laboratory, Germany) . Semua ELISA kit
diatas merupakan ELISA tipe double antibody
sandwich yang dapat dipakai untuk mendeteksi
antigen virus HC dalam darah . Semua ELISA kit
spesifik untuk Pestivirus, tetapi hanya CVL-2 saja
yang specifik untuk virus HC. Sayangnya, ELISA
kit yang terakhir ini tidak mampu mendeteksi
semua strain virus HC . Walaupun sebagian besar
kit diatas tidak spesifik untuk virus HC, persoalan
cross reaksi dengan virus BVD tidak dianggap
masalah besar, karena semua kit dapat dipakai
28
untuk mendeteksi antigen dalam darah. Infeksi
virus BVD pada babi jarang sekali menimbulkan
viraemia (DEPNER et al., 1995) .
Polymerase chain reaction (PCR)
PCR mempunyai potensi yang sangat besar
sebagai teknik diagnosis HC yang cepat, sensitif
dan spesik dimasa yang datang menggantikan test
immunologis yang dipakai sekarang . Sampai saat
ini pemakaian PCR untuk diagnosis HC nampaknya
belum banyak dipakai . Liu et al., (1991) berhasil
mengembangkan PCR untuk diagnosis PCR menggunakan primer hev-1, 5'D CTTATCGGAGGGCC
TTCTGD3'
dan hev-2, 5'DAGTGACAACGGCACTAATGGD3' . Dengan primer ini dihasilkan pruduk PCR sebesar 300 base pair (bp) .
Sensitivitas PCR ditaksir sekitar 104 TCID5o . Sensitivitas dapat ditingkatkan sebanyak 1000 kali
(10 TCID5o) dengan nested PCR menggunakan
nested
primer
hev-3,
5'DATT .CAGCGAGCCATGGTATCTD3'dan hev-4, 5'DTTCATTAACTGAATCCAAGGD3' (Liu et al., 1991) .
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
Untuk negara atau daerah yang bebas HC
usaha dipusatkan pada pencegahan masuknya
virus HC . Usaha ini meliputi larangan import atau
pemasukan ternak babi beserta produknya dari
daerah tertular atau tersangka . Disamping itu sisasisa dapur dari angkutan darat, laut atau udara
internasional dari daerah tertular perlu dimusnahkan untuk menjaga kemungkinan masuknya virus
HC (TERPSTRA, 1991) .
Apabila HC muncul dinegara yang sebelumnya bebas HC, langkah awal yang paling penting
untuk segera dilakukan adalah mencari sumber
penularan dan menetapkan luas penyebaran virus
yang telah terjadi . Langkah selanjutnya meliputi
pelarangan pengeluaran babi dari daerah tertular
atau tersangka, surveillance yang teliti dan stamping out kalau memungkinkan . Disamping itu tindakan sanitasi perlu dilakukan . Kandang dan
peralatan didesinfeksi dengan larutan NaOH 1
atau desinfektan lain, dan kandang harus diistirahatkan selama 15 -30 hari, jangka waktu istirahat
kandang yang diterima secara internasional (TERPSTRA, 1991) .
Pada tahun 1980, Masyarakat Ekonomi Eropa
menyepakati untuk menerapkan suatu peraturan
yang dikenal dengan Directive 80/217 EEC yang
berisi tindakan yang harus diambil apabila terjadi
wabah HC (ROBERTS, 1995) . Berdasarkan pera-
WARTAZOA VOL 6 No. 1 Th. 1997
turan tersebut tindakan minimal yang harus diambil apabila terjadi wabah adalah sebagai berikut:
1.
Pemusnahan semua babi dalam peternakan
yang terinfeksi dan desinfeksi kandang dan
peralatan.
2.
Penetapan zona proteksi dalam radius 3 km
sekurang-kurangnya 15 hari, dan zona surveillance radius 10 km sekurang kurangnya
30 hari .
3.
Larangan perpindahan babi dalam zona surveillance selama sekurang-kurangnya 7 hari,
setelah itu babi dapat dikirim secara langsung
ke abatoar, dipindahkan ke tempat lain dengan instruksi petugas yang berwenang atau
setelah melalui pemeriksaan klinis .
4.
Sebelum pembatasan pembatasan dalam
zona surveillance dihapuskan harus dilakukan
pemeriksaan klinis dan serologis.
.
5.
Pelaksanaan penyidikan epidemiologis .
Larangan vaksinasi kecuali dalam keadaan
6.
yang sangat khusus .
7.
Daging babi dari zona surveillance harus
diproses sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam Directive 80/215 EEC .
Untuk memberantas HC dinegara dimana penyakit tersebut enzootik bisa dilakukan dengan
tindakan stamping out disertai dengan penerapan
undang-undang veteriner. dan sanitasi . Negara
negara yang telah berhasil memberantas HC dengan cara ini adalah : Australia, Canada, Amerika
Serikat, Inggris, Republik Afrika Selatan dan
negara negara Scandinavia. Cara kedua untuk
pemberantasan HC adalah dengan program vaksinasi . Belanda merupakan salah satu negara yang
berhasil memberantas HC dengan pelaksanaan
program vaksinasi secara ketat dan teratur . Untuk
memberantas HC pada 3 daerah yang epizootik di
negeri Belanda pada tahun 1973, dicanangkan
program vaksinasi selama 1 tahun . Vaksin yang
dipakai pada program ini adalah vaksin aktif strain
Cina . Vaksinasi masal dilakukan terhadap semua
babi berumur diatas 2 minggu . Setelah vaksinasi
masal, vaksinasi tambahan dilakukan terhadap
babi yang berumur 6-8 minggu dan babi yang
didatangkan dari luar daerah . Jumlah kasus penyakit terlihat langsung menurun setelah 2 minggu
pelaksanaan vaksinasi masal, dan kasus penyakit
praktis tidak ditemukan lagi setelah 5 bulan (TERPSTRA dan ROBIJNS, 1977) . Setelah berakhir program vaksinasi 1 tahun, HC di daerah yang tadinya
enzootik berhasil diberantas .
Vaksin
Vaksin aktif strain Cina (C-strain) adalah jenis
vaksin yang paling banyak digunakan. Strain ini
diperoleh dari isolat virus yang virulen yang diatenuasi pada kelinci . Vaksin ini sangat efektif,
menginduksi kekebalan dengan cepat dan bertahan lama . Kekebalan terjadi 1 minggu setelah
vaksinasi, dan bertahan selama 2-3 tahun (van
OIRCHOT, 1986) . Hasil pengamatan BIRONT et al.,
(1987) menunjukkan bahwa kekebalan atau antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi bukan hanya
mampu melindungi babi dari terjadinya penyakit
tetapi juga mampu mencegah replikasi virus didalam tonsil atau tubuh babi . IN berarti, vaksinasi
dapat memotong rantai penyebaran virus. Selain
itu bukti telah banyak yang mendukung bahwa
vaksin ini aman untuk dipakai . Virus strain C ini
tetap dalam kondisi atenuasi atau tidak berbalik
menjadi virulen setelah dipasase berulang-ulang
pada babi, dan juga tidak menimbulkan penyakit
sekalipun pada babi dalam kondisi immunosupresiv dengan penyuntikkan preparat Corticosteroid (VAN OIRCHOT, 1986). Virus ini juga dapat
menembus barier plasenta tetapi tidak menimbulkan gangguan pada babi bunting ataupun fetus
yang dikandungnya (VAN OIRCHOT, 1986) . Anak
babi dari induk yang divaksin terlindungi tehadap
infeksi HC selama 5-8 minggu (TERPSTRA dan
ROBIJNS, 1977) . Selain strain C, vaksin aktif seperti Japanese GPE-strain dan French Thiverval
strain juga banyak digunakan (van OIRCHOT,
1986) . Kedua vaksin terakhir ini diatenuasi pada
tissue culture.
Vaksin inaktif yang diproduksi dengan menginaktifkan virus virulen dengan crystal violet dipakai secara luas di Eropa Barat pada tahun
1961-1968 . Akan tetapi pemakaian vaksin ini
malah menghambat usaha pemberantasan penyakit (TERPSTRA dan ROBUNS, 1977) . Hal ini disebabkan inaktivasi virus kadang-kadang tidak
sempurna sehingga babi yang divaksin menjadi
terkena HC . Disamping itu kekebalan yang diinduksi vaksin inaktif tebentuknya lama (2 minggu
setelah vaksinasi) dan bertahan tidak lama . Oleh
karena itu vaksin inaktif tidak dipakai lagi .
KESIMPULAN
Penyakit HC merupakan salah satu penyakit
yang sangat penting di seluruh dunia . Sejak pertama kali ditemukan sekitar dua abad yang lalu
sampai sekarang penyakit ini tetap merupakan
penyakit epizootik disebagian besar dunia . Walaupun virus penyebab penyakit ini hanya satu serotype saja dan vaksin yang efektif telah tersedia
sejak lama, banyak negara mengalami kesulitan
untuk membebaskan negaranya dari penyakit ini .
Kesulitan tersebut kemungkinan berhubungan
29
SIMSON TARIGAN at al. : Hog Cholera-Sebuah Tinjauan Kepustakaan
dengan sulitnya mencegah masuknya olahan daging babi yang tercemar virus HC dari luar negeri .
Kemungkinan kedua adalah kesufitan dalam memberantas penyakit HC pada babi liar atau babi
hutan, dan mencegah penularan dari babi liar ke
babi piaraan .
Penelitian dalam aspek patologis, immunologis dan epidemiologis HC dalam kurun satu dekade
terakhir tidak banyak menghasilkan informasi
baru . Terobosan penting yang telah dilakukan
adalah pengungkapan karakteristik biologis dan
molekuler glycoprotein gp 55 dan gp 44/48 .
Kedua glycoprotein tersebut bersifat immunogenik dan antibodi yang terbentuk bersifat protektip . Gen yang menyandi glycoprotein tersebut
sudah berhasil diklon dan diexpresikan dalam sel
eukariotik .Penelitian sekarang dan dimasa yang
akan datang nampaknya diarahkan untuk memproduksi glycoprotein rekombinan secara efisien
untuk pembuatan vaksin dan bahan diagnostik .
Pemakaian glycoprotein tersebut sebagai subunit
atau rekombinan vaksin mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan vaksin aktif atau
inaktif . Salah satu diantara keunggulan tersebut
adalah mudahnya membedakan babi yang seropositif akibat vaksinasi dan yang akibat infeksi alam .
DAFTAR PUSTAKA
BIRONT, P ., LEUNEN, J . and VANDEPUTTE, J . 1987 .
Inhibition of virus replication in the tonsils of
pigs previously vaccinated with a Chinese
strain vaccine dan challenged oronasally with
a virulent strain of classical swine fever virus .
Vet. Microbio/. 14 : 105-113 .
DAHLE, J . and LIESS, B . 1995 . Comparative study
with clones classical swine fever virus strains
ALFORT dan, GLENTORF : clinical, pathologi
cal, virological dan serological findings in
weaner
pigs .
Wiener Tierarztliche
Monatsschrift 82 : 232-238 .
DEPNER, K ., PATON, D . J ., CRUCIERE, C ., DE MIA, G .
M ., MULLER, A ., KOENEN, F ., STARK, R . and
LIEss, B . 1995 . Evaluation of the enzyme
linked immunosorbent assay for the rapid
screening dan detection of classical swine
feveer virus antigens in the blood of pigs . Rev.
Sci. Tech . Off Int. Epiz . 14 : 677-689 .
DUNNE, H . W . 1975 . Hog cholera In Diseases of
swine. Ames, Iowa State Univ . Press . p 189 .
EDWARDS, S ., MOENNIG, V . and WENSVOORT, G .
1991 . The development of an international
reference panel of monoclonal antibodies for
30
the differentiation of hog cholera virus from
other pestiviruses . Vet. Microbio% 29 : 101108 .
HARKNESS, J . W . 1985 . Classical swine fever dan
its diagnosis : a current view . Vet. Rec. 116:
288-293 .
HAVE, P . 1984 . Detection of antibodies against
swine fever virus by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) . Acta Vet. Scand.
25 : 463-465 .
HOLM JENSEN, M . 1981 . Detection of antibodies
agains hog cholera virus dan bovine viral
diarrhoea virus in porcine serum . A compara
tive examination using CF, PLA dan NPLA
assays . Acta Vet. Scand. 22 : 85-98 .
1981 . Non-Arthropod-Borne Toga-viruses. Academic Press, New work .
HORZINEK
HOUWERS, D . J . and WENSVOORT, G . 1986 . Application of monoclonal antibodies in ELISAs :
complex trapping blocking (CIB), novel one
step assays for the detection of antibodies to
maedi-visna dan classical swine fever virus .
4th Int Symposium Vet Lab Diagnosticians
HULST, M . M ., HIMES, G ., NEWBIGIN, E . and MOORMANN, R . 1994 . Glycoprotein E2 of classical
swine fever virus : expression in insect cells
dan identification as a ribonuclease . Virology
New York 200 : 558-565 .
HULST, M . M ., WESTRA, D . F ., WENSVOORT, G . and
MOORMANN, R . J . M . 1993 . Glycoprotei n El
of Hog Cholera virus expressed in insect cells
protect swine from hog cholera . J. Viro/
. 67 :
5435-5442 .
KAMOLSIRIPRiCHAIPORN, S ., HOOPER, P . T ., MORRISSY,
C . J . and WESTBURY, H . A . 1992 . A comparison of the pathogenicity of two strains of hog
cholera virus . 1 . Clinical dan pathological
studies . Aust. Vet. J. 69 : 240-244 .
KONIG, M ., LENGSFELD, T ., PAULY, T ., STARK, R . and
THIEL, H . J . 1995 . Classical swine fever virus :
independent induction of protective immunity
by two structural glycoproteins . J. Viro% 69 :
6479-6486 .
KOSMIDOU, A ., AHL, R ., THIEL, H . J . and WEILAND,
E . 1995 . Differentiation of classical swine
fever virus (CSFV) strains using monoclonal
antibodies agains structural glycoproteins .
Vet. Microbio/.47: 111-118 .
KRAMER, M ., AHL, R ., TEUFFERT, J ., KROSCHEWSKI,
K ., SCHLUTER, H . and OTTE, J . 1995 . Classical
swine fever in Germany - some epidemiologi-
WARTAZOA Vol. 6 No. 1 Th. 1997
cal aspects. Proc . meeting Soc. Vet. Epid.
Prev . Med, University of Reading, UK : 110118 .
LAUDE, H . 1987 . Hog cholera virus: art and fact .
Ann. Rech . Vet .18: 127-138 .
ROBERTS, M . 1995 . Evaluation of the optimal size
of restriction zones in disease control with
particular reference to classical swine fever .
Proc. meeting Soc. Vet. Epid. Prev. Med.,
University of Reading, UK : 119-130.
LEFORBAN, Y., HAVE, P ., JESTIN, A. and VANNIER, P.
1987 . Use of an ELISA test for the demonstration of classical swine fever antibodies in
pigs . Recuell de Medecine Veterinaire 163 :
667-677 .
RUGGLI, N ., MOSER, C ., MITCHELL, D ., HOFMANN, M .
and TRATSCHIN, J . D . 1995 . Baculovirus expression dan affinity purification of protein E2
of classical swine fever virus strain AIfort/187 . Virus Genes 10 : 115-126.
Llu, S . T ., LI, S . N ., WANG, D . C ., CHANG, S . F .,
CHIANG, S. C ., Ho, W. C., CHANG, Y . S. and
LAI, S . S. 1991 . Rapid detection of hog
cholera virus in tissues by the polymerase
chain reaction . J. Viro/. Methods 35 : 227236.
RUMENAPF, T. H . 1990 . Cloning, sequencing dan
expression of the genome of classical swine
fever virus . Inaugural-Dissertation, Fach
bereich Veterinarmedizin, Justus-Liebig-Universitat, Giessen, Germany .
LOWINGS, J . P ., PATON, D . J ., SANDS, J . J ., MIA,
G . D ., RUTILI, D . and DE, M . G . 1994 . Classical
swine fever: genetic detection dan analysis of
differences between virus isolates . J. Genera/
Viro/. 75 : 3461-3468 .
MANGELING, W. L. and PACKER, R . A . 1969 . Pathogenesis of chronic hog cholera : Host response . Am . J. Vet. Res. 30 : 409-417.
MAURER, F. D., GRIESEMER, R. A. and JONES, J . C.
1958 . The pathology of African swine
feverNA comparison with Hog cholera . Am .
J. Vet. Res. 19 : 517-539 .
MEYERS, G ., RUMENAPF, T . and THIEL, H . J. 1989 .
Molecular cloning dan nucleotide sequence of
the genome of hog cholera virus . Virology
171 : 555-567.
MEYERS, G. and THIEL, H . J . 1995 . Cytopathogenicity of classical swine fever virus caused
by defective interfering particles. J. Virol. 69 :
3683-3689.
MOORMANN, R., WARMERDAM, P., MEER, B. V . D.,
HULST, M . M . and VAN, d . M. B. 1990 . Nucleotide sequence of hog cholera virus RNA:
properties of the polyprotein encoded by the
open reading frame spanning the viral
genomic RNA. Vet. Microbio/. 23 : 1-4.
RESSANG, A. A. 1973 . Studies on the pathogenesis
of Hog cholera . I . Demonstration of Hog cholera virus subsequent to oral exposure . Zb/.
Vet. Med. B 20 : 256-271 .
RESSANG, A. A . and DEN BOER, J . L . 1968 . The
diagnosis of Hog cholera in the Netherlands .
Bull. Off. Int. Epiz. 75 : 519-531 .
SHANNON, A. D ., MORRESSY, C ., MACKINTOSH, S.
G . and WESTBURY, H . A . 1993 . Detection of
hog cholera virus antigens in experimentally
infected pigs using an antigen-captured
ELISA . Vet Microbio/ 34 : 233-248 .
TERPSTRA, C . 1991 . Hog cholera : an update of
present knowledge. British Vet. J. 147 : 397406 .
TERPSTRA, C. and ROBIJNS, K . G . 1977 . Experience with regional vaccination against swine
hever enzootic areas for limited periods using
C-strain virus. Tijd. Dierg. 102: 106-112 .
TERPSTRA, C . and WENSVOORT, G . 1988 . Natural
infections of pigs with bovine viral diarrhoea
virus associated with signs resembling swine
fever. Res. Vet. Sci. 45 : 137-142 .
THIEL, H. J ., STARK, R., WEILAND, E., RUMENAPF, T.
and MEYERS, G . 1991 . Hog cholera virus :
molecular composition of virions from a pestivirus. J. Viro% 65 : 4705-4712 .
VAN OIRCHOT, J . T. 1986 . Hog Cholera. Diseases
of Swine. Ed A. D . e. a . Leman . Ames, Iowa,
Iowa State University Press . 6th, ed . pp 289299 .
VAN OIRSCHOT, J . T. 1979 . Experimental production of congenital persistent swine fever infections . II . Effect on functions of the immune
system . Vet. Microbio% 4: 133 .
WEILAND, E., AHL, R ., STARK, R ., WEILAND, F . and
THEIL, H . J . 1992 . A second envelope dlycoprotein mediates neutralization of a pes
tivirus, hog cholera virus . J.Viro/. 66 :
3677-3682 .
WENSVOORT, G ., BOONSTRA, J. and BODZINGA, B. G.
1990 . Immunoaffinity purification dan char'
31
SIMSON TARIGAN
et aL : Hog Cholera-Sebuah Tinjauan Kepustakaan
acterization of the envelope protein E1 of hog
cholera virus. J. General Vir. 71 : 531-540 .
WENSVOORT, G ., TERPSTRA, C ., BOONSTRA, J .,
BLOEMRAAD, M ., ZAANE, D . V . and VAN, Z . D .
1986 . Production of monoclonal antibodies
against swine fever virus dan their use in
laboratory diagnosis . Vet. Microbiol . 12 : 101108 .
R. and MATTHEWS, D . 1988. Outbreaks of classical swine fever in Great Britain
in 1986 . Vet. Rec. 122 : 479-483 .
WILLIAMS, D .
WOOD, L ., BROCKMAN, S ., HARKNESS, J . W. and
EDWARDS, S. 1988 . Classical swine fever:
virulence dan tissue distribution of a 1986
English isolate in pigs. Vet. Rec . 122 : 391394.
ZHOU, Y ., MOENNIG, V ., COULIBALY, C ., DAHLE, J .
and LIESS, B. 1989 . Differentiation of hog
cholera and bovine virus diarrhoea viruses in
pigs using monoclonal antibodies . J. Vet.
Med, B. Infect. Dis, Immunol, Food Hyg, Vet.
Public Health 36 : 76-80 .
ZIJL, M . V ., WENSVOORT, G ., KLUYVER, E . D .,
HULST, M ., GULDEN, H . V . D ., GIELKENS, A .,
BERNS, A ., MOORMANN, R ., VAN, Z . M ., DEK
LUYVER, E. and VAN, d . G . H . 1991 . Live
attenuated pseudorabies virus expressing envelope glycoprotein El of hog cholera virus
protects swine against both pseudorabies and
hog cholera . J. Vir. 65: 2761-2765 .
Download