ISSN 2088—7655 PERSEPSI MASYARAKAT TORAJA RANTAU ATAS UPACARA RAMBU SOLO’ Dina Toding, Indah Rizki, Mic Finanto Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Persepsi masyarakat Toraja Rantau Atas Upacara Rambu Solo'’. Tipe penelitian yang adalah studi fenomonologipada dua orang subjek yang tinggal diluar Tana Toraja. Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui secara mendalam tentang Upacara Rambu Solo' dan ingin mengetahui persespsi masyarakat Toraja rantau terhadap Upacara Rambu Solo',seting penelitian disebuah daerah di Kampung Dua dan Galaxie Bekasi. Dasar penelitian adalah studi fenomenologi yaitu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komperehensif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari beberapa persepsi, masyarakat toraja melaksanakan upacara Rambu solo’ sebagai bakti penghormatan terakhir serta wujud kasih sayang pada orang-tua dan untuk menaikkan status dengan mempertahankan prestise, harga diri dalam masyarakat sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah pemborosan. Keyword : Persepsi, Masyarakat Toraja Rantau Latar Belakang Budaya merupakan identitas dari komunitas suatu daerah yang dibangun dari kesepakatan-kesepakatan sosial dalam kelompok masyarakat tertentu. Budaya menggambarkan kepribadian suatu bangsa termasuk kepribadian suku tertentu, sehingga budaya dapat menjadi ukuran bagi kemajuan peradaban kelompok masyarakat. Konsep budaya menurut Marvin Harris (dalam Asep Rahmat: 2009) kelihatan dalam berbagai pola tingkah laku anggota kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup mereka. Kebudayaan merupakan hasil dari ide-ide dan gagasan-gagasan yang akhirnya mengakibatkan terjadinya aktifitas sehingga menghasilkan suatu karya (kebudayaan fisik) dan diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi penerus. Menurut Suhamihardja(1977)suku bangsa Toraja terkenal sebagai suku yang masih memegang teguh adat istiadat leluhurnya. Setiap kegiatan mesti dilaksanakan menurut ketentuan adat, karena melanggar adat adalah suatu pantangan sehingga masyarakat dapat memandang rendah terhadap perlakuan yang memandang rendah adat istiadat. Berbagai macam ada di Toraja Jurnal Psikologi Ubhara mencakup aturan, prinsip, dan ketentuan-ketentuan kepercayaan yang terpelihara secara rapi 1 manusia yang pada hakikatnya disebut mahkluk sosial. Oleh sebab itu, Kebudayaan juga ISSN 2088—7655 salah satunya Upacara Rambu Solo’. Dalam Upacara kematian, ketentuan adat tidak boleh ditinggalkan. Terdapat dua sistem upacara dalam masyarakat Toraja yang mengikuti dasar aluk todolo, yaitu upacara Rambu Tuka’ atau upacara yang berhubungan dengan acara syukuran dan upacara Rambu Solo’ atau upacara pemakaman (Frans,2010). Dalam kehidupan adat masyarakat Toraja, kedua upacara ini dianggap penting dan sampai saat ini keberadaannya terus dilestarikan. Melalui wawancara dengan bapak Dr. Frans Bararuallo,Drs,.MM salah satu tokoh masyarakat yang tinggal dijakarta pada tgl. 18 Juli 2015 menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ ada suatu tingkatan-tingkatan strata yang seharusnya ditaati oleh suku Toraja namun saat ini tatanan tersebut sudah tidak ditaati lagi. Didalam pelaksanan Upacara Rambu Solo sering terjadi beberapa perbedaan persepsi dari tiap-tiap tingkatan strata yang ada yaitu dalam pemotongan hewan kurban, pembagian hewan kurban (kerbau), diskusi yang lama dalam penentuan berapa hewan yang akan dipotong, saling ribut bertahan akan pendapat masing-masing, saling berkelahi bahkan sampai saling pukul namun tidak sampai putus hubungan keluarga. Dahulu Upacara rambu Solo’ khususnya hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan dalam masyarakat Toraja,akan tetapi sekarang sudah (mulai bergeser), siapa yang (mampu)dibolehkan melakukan acara sesuai pemangku adat dan tokoh-tokoh masyarakat. Selain ituUpacara Rambu Solo’ ditentukan pula oleh (status sosial) keluarga yang meninggal. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Hasil wawancara dengan bapak Frans untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. (George Aditjondro, 2010).Secara harafiah bahwa budaya Rambu Solo’ di Toraja utara dilakukan berdasarkan tingkatan strata. Yang didalam setiap tingkatan-tingkatan terjadi perbedaan persepsi pada saat Upacara Rambu solo’ diadakan adanya perbedaan persepsi menyebabkan muncul suatu konflik pada tingkatan-tingkatan tersebut. Oleh karena Persepsi Setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu objek yang dilihat dan diamatinya. Menurut Sarlito (2002), persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut Jurnal Psikologi Ubhara tentang persepsi mereka atas Upacara Rambu Solo’. 2 itu peneliti ingin melihat fenomena yang terjadi di masyarakat suku Toraja yang merantau ISSN 2088—7655 adalah pengindraan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Upacara Rambu Solo Sistem lapisan masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan social stratification. Kata stratification berasal dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Pitirim A.Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat. Kehidupan masyarakat pada umumnya tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan atau tradisi, seperti misalnya upacara adat. Upacara merupakan rangkaian atau kegiatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat-istiadat, agama, dan kepercayaan. Upacara juga dapat diartikan sebagai perayaan yang dilakukan sehubungan dengan peristiwa penting. Upacara adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat toraja. Upacara telah menjadi bagian dari sistem kepercayaan atau ungkapan kepercayaan yang merefleksikan ajaran Aluk Todolo. Keseluruhan dari rangkaian upacara senantiasa bersumber dari Aluk Todolo, sebagai agama atau religi yang mewarnai tingkah laku berpola tiap individu. Unsur-unsur pokok ajaran Aluk Todolo terdiri atas sistem kepercayaan, sistem upacara, dan organisasi sosial. Ketiga macam unsur ini dalam keagamaan memancarkan ajaran-ajaran, aturan, dan nilai-nilai yang diyakini. Agama sebagai pusatnya, kemudian berpedoman pada sistem kepercayaan dimana sistem upacara sebagai perwujudannya dan didukung oleh organisasi sosial. Dalam pandangan Aluk Todolo ada klasifikasi anggapan-anggapan tentang alam raya, yaitu pembagian timur (mataallo) dan barat (matampu).Mataallo adalah tempat terbitnya kedukaan dan semua yang mendatangkan kesusahan. Konsekuensi dari pembagian ini dalam kehidupan berdampak pada tatacara pelaksanaan upacara. Kehidupan masyarakat Toraja tidak ada yang tidak lepas dari upacara, sama halnya dalam kehidupan ini, tidak ada yang luput dari suka dan duka, terang dan gelap, kebahagiaan dan kecelakaan dan sebagainya yang kesemuanya diidentifikasikan dalam timur dan barat. Jurnal Psikologi Ubhara Sedangkan Matampu adalah tempat terbenamnya matahari, yang mewakili unsur gelap, 3 matahari dianggap mewakili kebahagiaan, terang, kesukaan, dan sumber kehidupan. ISSN 2088—7655 Karena itu, jenis upacara Rambu Tuka’ dan upacara Rambu Solo’, pelaksanaannya tidak boleh dicampur-adukkan, satu jenis upacara harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum melakukan jenis upacara lainnya. Metode Penelitian Dasar penelitian adalah studi fenomenologi yaitu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komperehensif. Pemilihan subjek dilakukan dengan cara yaitu; penarikan subjek yang dilakukan secara sengaja dengan kriteria tertentu. Teknik pengorganisasian data yg peneliti lakukan adalah dengan cara mengelompokkan data metah, hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasi seperti Data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkripsi wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang sudah ditandai/dibubuhi kodekode spesifik (dapat terdiri dari beberapa tahapan pengolahan), penjabaran kode-kode dan kategori-kategori secara luas melalui skema, memo dan draf insight untuk analisis data (refleksi konseptual peneliti mengenai arti konseptual data ), serta catatan pencarian dan penemuan (search and retrieval records), yang disusun untuk memudahkan pencarian berbagai kategori data. Hasil Dari hasil wawancara dengan ke dua subjek dan ketiga informan dapat disimpulkan bahwa, menurut persepsi mereka dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’, masyarakat Toraja melaksanakan atau mengikuti upacara Rambu solo’dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu: a.Tradisi kebudayaan Budaya nenek moyang orang Toraja terbentuk dengan latar belakang suatu sistem religi atau agama suku yang oleh masyarakat Toraja disebut Parandangan Ada’ (harfiah : Di samping itu dikenal juga deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam, yang dapat mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung perilaku manusia terhadapnya. begitupun dalam upacara Rambu solo’, dimana semua proses upacaranya harus mengikuti aluk atau adat’ yang telah berlaku dalam masyarakat. Yang melatarbelakangi diadakannya upacara ini karena ada hubungannya dengan kepercayaan alukta, dimana kepercayaan alukta Jurnal Psikologi Ubhara Matua – sebutan yang di kemudian hari diadopsi oleh Gereja untuk menyebut Tuhan Allah. 4 Dasar Ajaran/Peradaban) atau Aluk To Dolo . Aluk to Dolo percaya satu dewa yaitu Puang ISSN 2088—7655 itu menganggap bahwa kehidupan di dunia gaib mempunyai hubungan dengan kehidupan di dunia nyata. Karena itu mayat seseorang harus diupacarakan secara baik-baik supaya arwahnya itu mendapat tempat yang layak di alam gaib yang menurut kepercayaan disebut “puya” . bila sudah mendapat tempat yang layak maka arwah itu akan berubah menjadi setengah dewa atau yang biasa disebut oleh masyarakat “to mebali puang” dan akan kembali untuk memberkati keluarga yang masih hidup di dunia nyata, seperti yang dikemukakan Ibu (W.2.D.54)“orang Toraja itu percaya bahwa jika upacara dilakukan sesuai aturan dan potong kerbau banyak maka akan cepat juga sampai di alam puya(surga) dan arwahnya akan datang untuk memberikan kita kembali rejeki begitu” Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum dilaksanakannya upacara Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ‘sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya. (Frans Bararuallo,2010) . b. Bakti dan penghormatan Pelaksanaan upacara Rambu solo’, kehidupan sosial ekonomi orang yang meninggal, keluarganya akan berusaha untuk mengadakan upacara kematian baginya, baik itu dari keluarga yang berasal dari lapisan bawah, menengah, sampai lapisan atas. karena saling mengasihi dan penghormatan kepada orangtua atau siapa saja yang meninggal, Seperti yang dikemukakan D: (W.2.D.38)” cuman ya kalo kita penghormatan aja kepada orangtua atau keluarga yang meninggal” Dikemukakan Y: Dapat dikatakan bahwa tujuan dari upacara Rambu solo’.adalah mengantar arwah mereka menuju ke alam Roh atau kembali bersama para leluhur mereka ke tempat peristirahatan, yang disebut dengan Puya. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Manusia yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka manusia yang meninggal Jurnal Psikologi Ubhara orangtua atau siapa saja yang meninggal” 5 (W.2.Y.26)“dikarenakan karena saling mengasihi dan penghormatan kepada ISSN 2088—7655 tersebut hanya dianggap sebagai manusia sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya manusia hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara. (Frans Bararuallo, 2010) c. Harga diri / gengsi Informasi yang didapat dari informan berdasarkan pada beberapa lapisan dalam masyarakat, kebanyakan beranggapan bahwa sekarang orang melakukan upacara Rambu solo’ ini karena ingin menaikkan harga Diri mereka. Karena jika tidak dilakukan mereka akan malu dimana semasa hidupnya mereka sudah banyak menikmati daging orang lain dan mereka akan malu jika waktu meninggal tidak potong kerbau untuk dibagikan kembali . Sehingga upacara itu dianggap keharusan bagi mereka untuk tetap dilaksanakan sesuai dengan stratanya dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh D: (W.1.D.“Simbolnya y begini simbolnya itu mereka mau supaya di kenal orang begitu y” (wawancara 16 agustus 20150 Seperti yang dikemukakan oleh Bapak T: “Biasanya mereka yang bangsawan duduknya didepan begitu, Maksudnya itu nanti jika beliau meninggal orang akan menunggu daging yang akan dibagi karena semasa hidupnya beliau selalu mendapat daging disetiap pesta jadi beliau akan menagih apa yang sudah menjadi haknya.kata orang mereka sudah menikmati banyak paha ( kerbau) jadi orang akan menanti bahkan menunggu paha ( kerbau)” (wawancara 16 agustus 2015) Menurut mereka, gengsi sudah sangat mendominan dalam pelaksanaan Rambu solo. Kalangan bawah dan menengah pada saat ini berupaya untuk menaikkan status sosial mereka dalam masyarakat dengan mengadakan upacara Rambu solo’ semeriah mungkin. d. Prestise / kebanggaan Prestise adalah suatu kemampuan seseorang untuk tetap berwibawa dalam lingkungannya. Seringkali pula menjadi alasan masyarakat sekarang ini untuk melaksanakan melaksanakan upacara juga menjadi sarana untuk mempertahankan peran dan status seseorang dalam masyarakat untuk menambah gengsi dikenal karena kekayaannya. Seperti dikemukakan oleh D: (W.2.D.46) “Bangga sih karena kita bisa melakukan adat itu sebagai suatu kebanggaan tapi dibalik itu kita juga eegghhh.. bangganya kita dikenal sama orang, bangga Jurnal Psikologi Ubhara untuk menunjukkan diri agar dapat dikenal banyak orang. Karena keberhasilannya dalam 6 upacara Rambu Solo’ adalah sebagai tempat untuk menyatakan martabat atau status sosial ISSN 2088—7655 sebagai orang Toraja yang punya adat masih kental gitu, kita masih menghormati orang tua kan minimal kaya gitu, tapi sebenarnya sih kalo bisa jangan sampai berlebihan, jika sampai berlebihan itu pemborosan namanya” Dikemukakan oleh L: (W.2.L.18)” Ya banggalah karena adat kita sendiri toh” Peran dan kesanggupannya dalam mengurbankan hewan kurban yang banyak dan memberikan jamuan kepada orang banyak selama berminggu-minggu dalam beberapa tahap menjadi kebanggaan bagi si pelaksana kegiatan. Hal ini pun sekarang sudah menjadi masalah dalam masyarakat, di antara subjek D, yang tidak setuju Upacara Rambu Solo’ dilakukan secara berlebihan jangan hanya karena prestise saja. e. Persoalan hutang piutang Dalam teori pertukaran sosial menekankan adanya suatu konsekuensi dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil berupa barang maupun spiritual yang berupa pujian. Teori pertukaran Homans bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukum. Bagi Homans (dalam Margaret : 2007), prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” yaitu aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi “seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya”. Semakin tinggi pengorbanan, maka semakin tinggi imbalannya dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya, semakin tinggi investasi, maka semakin tinggi keuntungan. Konflik secara umum Solo’ namun konflik tersebut tidak bisa dipungkri upacara tersebut sebagai ungkapan rasa kasih sayang, sebagai rasa kekeluargaan, sebagai alat persatuan seperti yang dikemukakan oleh bapak T : Jurnal Psikologi Ubhara Teori pertama menjelaskan walaupun ada konflik dalam pelaksanaan Upacara Rambu 7 Dari teori konflik ada Empat teori yang berkaitan dengan Upacara Rambu Solo’ : ISSN 2088—7655 (W.1.T.7)“disana kita menemukan semangat kekeluargaan, kebersamaan, persatuan, pengorbanan, saya kira kalau ada itu semua kita akan tulus melakukan pengorbanan bagi saya. “ Dikemukakan oleh Bapak Y: (W.1.Y.8)“Sebagai rasa kasih sayang y antar saudara” Teori yang kedua kelima dan kesepuluh menjelaskan walaupun ada konflik dalam pelaksanaan upacara tersebut dan pelaksana dalam upacara tersebut mampu menghadapi konflik itu maka acara yang akan dilakukan akan tetap berjalan seperti yang dikemukakan oleh informan T : (W.1.T.35)“Kalau kecurangan ya bisa ada kecurangan ada ketidak adilan contohnya masalah belanja kita sering tapi ada yang cuek tidak mau tau terpaksa kami dengan keadaan yang harus dilakukan sehingga acara ini bisa sukses”. Diskusi Berdasarkan hasil penelitian dalam kasus persepsi masyarakat Rantau, dapat kemudian ditarik beberapa point kesimpulan sebagai berikut: Persepsi masyarakat terhadap upacara Rambu solo’ sebagai penghormatan terakhir kepada yang meninggal dan sebagai warisan leluhur. Upacara Rambu Solo’ pada Masyarakat Toraja Rantau sebagai pemborosan namun tidak bisa ditingalkan karena merupakan adat istiadat dan dalam pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ biaya dapat ditekan sehingga tidak terjadi pemborosan. Upacara rambu Solo’ sebagai alat untuk pemersatu hubungan keluarga lebih erat Masyarakat Toraja diharapkan dapat mengembalikan makna Upacara Rambu Solo’ pada makna yang sebenarnya tentang Ibadah mengibur keluarga yang ditinggalkan, bukan Bagong, D.N. (2006). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta : Kencana Media Group. Coser, L.A. (1968). TheFunction of Social Conflict. New York : The Free Press. Margaret, M.P. (2007). Sosiologi Kontemporer. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Jurnal Psikologi Ubhara DAFTAR PUSTAKA 8 pada pada hal-hal yang menyebabkan konfik, bukan pula terhadap kebanggaan kelompok. ISSN 2088—7655 Palebangan,B.F. (2010). Aluk, Adat, dan Adat-Istiadat Toraja. Toraja : PT Sulo. Pitus, A.P.,dan Dahlan. A.B. (2001). Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arkola. Ritzer, G. dan Goodman, D.J. (2008). Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana. Robbin, S.P. (2003). Perilaku Organisasi, Edisi 9 Buku 1. Jakarta : PT. INDEKS Kelompok Gramedia. Sarlito, W.S. (2002). Psikologi Sosial : Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka. Suhamihardja,S. (1977). Sulawesi-Selatan : Adat Istiadat dan Kepercayaan. Litera Tangdilintin, L.T. (1975). UpacaraPemakaman Adat Toraja. Toraja : Yayasan. Jurnal Psikologi Ubhara 9 Walgito, B. (2003). Psikologi Sosial. Yogyakarta : C.V Andi Offset.