BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, dengan sumber daya alam
yang melimpah dan penduduk yang sangat beragam baik suku, agama, dan rasnya.
Keadaan ini dipersatukan dalam wadah yang bernama Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sebagai negara kesatuan, Pemerintah memegang peranan tertinggi
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menjalankan fungsi
pemerintahan. Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana memberikan
pelayanan kepada masyarakat hingga ke daerah-daerah pelosok? Apakah segala
sesuatunya harus diatur dari Pusat? Jika demikian halnya maka pelayanan tidak
akan mampu diberikan secara efektif lantaran birokrasi yang terlalu panjang dan
lama untuk sampai di tingkat pusat. Oleh karena itu diperlukan penyerahan
(sebagian) kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
Tahun
1945)
telah
menetapkan
pengaturan-pengaturan
dasar
bagi
penyelenggaraan pemerintahan demi terwujudnya tujuan negara. Pengaturan ini
termasuk di dalamnya adalah mengenai pemerintahan daerah. Pencantuman
tentang pemerintah daerah dalam UUD NRI Tahun 1945 dilatarbelakangi oleh
kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan
1
2
kesejahteraan masyarakat daerah.1 Sehingga meskipun Indonesia menganut
prinsip negara kesatuan di mana pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat,
namun dengan menyadari berbagai heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia
maka kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat perlu untuk dialirkan kepada
daerah otonom.2
Jika dirunut ke belakang, berbagai upaya dan terobosan politik telah banyak
dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan daerah yang baik dan berpihak
kepada rakyat. Dengan melihat perspektif historis ketatanegaraan Indonesia,
Pemerintah NKRI telah berhasil mengundangkan berbagai perundang-undangan
pemerintahan daerah yang diwarnai dengan berbagai perkembangan konfigurasi
politik. Antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan
Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Tap. MPR Nomor XXI/MPRS/1966,
Tap. MPR Nomor IV/MPR/1973, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Tap.
MPR Nomor XV/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005, dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Banyaknya peraturan tersebut
membuktikan bahwa otonomi daerah merupakan hal yang sangat penting sehingga
perlu diatur sedemikian rupa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Di samping
itu, pelaksanaan otonomi daerah yang berubah-ubah mengindikasikan bahwa
1
MPR RI, 2012, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,
Sekjen MPR RI, Jakarta, hlm. 119.
2
J. Kaloh, 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 1.
3
proses pencarian bentuk otonomi daerah yang sesuai dengan kondisi Indonesia
masih terus dilakukan hingga saat ini.
Bagi sebuah negara kesatuan, terlebih yang memiliki wilayah yang luas
seperti
Indonesia,
perlu
untuk
menentukan
konsep
yang
tepat
bagi
penyelenggaraan urusan pemerintahan. Hubungan yang harmonis antara
pemerintah dengan pemerintah daerah (sampai pada tingkatan yang terendah)
merupakan kebutuhan mutlak yang hanya dapat diwujudkan bila konsep yang
digunakan memang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Namun yang
kebanyakan terjadi adalah konsep yang digadang-gadangkan ‘ideal’, pada tataran
pelaksanaan nyatanya belum mampu mengakomodir kepentingan pemerintah dan
pemerintah daerah secara seimbang. Keadaan yang demikian bahkan sampai pada
taraf mengancam keutuhan bangsa dengan adanya gerakan-gerakan separatis yang
muncul sebagai akibat dari ketidakadilan yang dirasakan suatu daerah terhadap
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Hal-hal seperti ini harus
dapat diminimalisir, bahkan kalau mungkin dihilangkan, bila kita masih
menginginkan negara ini utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
UUD NRI Tahun 1945 pasca Amandemen telah mengatur secara garis besar
mengenai konsep otonomi daerah di Indonesia. Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5)
Amandemen Kedua UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa Pemerintahan
Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
4
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.3 Secara umum,
otonomi daerah dimaknai sebagai wewenang untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah, yang melekat baik pada negara kesatuan maupun pada
negara federasi. Di dalam negara kesatuan, otonomi daerah lebih terbatas dari
otonomi daerah pada negara federasi. Kewenangan mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan
pemerintahan, kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat.
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah adalah keliru jika hanya
berorientasi pada tuntutan penyerahan kewenangan, tanpa menghiraukan makna
otonomi daerah itu sendiri. Otonomi daerah lahir dari suatu kebutuhan akan
efisiensi dan efektivitas manajemen penyelenggaraan pemerintahan yang
bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Sehingga otonomi daerah seharusnya dipandang sebagai upaya untuk mengatur
kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan
masyarakat. Dengan demikian otonomi daerah bukanlah suatu tujuan tetapi suatu
instrumen untuk mencapai tujuan.4 Instrumen ini harus digunakan secara
bijaksana agar hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat terjaga
keharmonisannya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik. Mengenai
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 18A UUD NRI
Tahun 1945 Amandemen Kedua menyatakan bahwa (1) hubungan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota,
3
Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
4
J. Kaloh, Op. Cit., hlm. 6-7.
5
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang - undang
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah; (2) hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Frasa “dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah” dalam
Pasal 18A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ini sebenarnya mengindikasikan bahwa
konstitusi menghendaki adanya pengaturan yang berbeda bagi tiap-tiap daerah
yang mempunyai corak khusus dan beragam. Hal ini semakin diperkuat dengan
adanya Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa (1) Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Politik hukum tentang desentralisasi yang digariskan UUD NRI Tahun 1945
mengisyaratkan pengembangan desentralisasi asimetris yang menekankan
kekhususan, keistimewaan, keberagaman daerah, serta kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional. Selain itu juga diamanatkan
bahwa pengembangan desentralisasi asimetris diatur lebih lanjut dengan Undang
Undang. Desentralisasi asimetris adalah pemberlakuan kewenangan khusus pada
wilayah‐wilayah tertentu dalam suatu negara, yang dianggap sebagai alternatif
6
untuk menyelesaikan permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Desentralisasi asimetris mencakup desentralisasi politik,
ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun tidak harus seragam untuk semua
wilayah
negara,
mempertimbangkan
kekhususan
masing-masing
daerah.
Penerapan kebijakan desentralisasi asimetris atau otonomi asimetris merupakan
sebuah manifestasi dari usaha pemberlakuan istimewa. Konsep tersebut
sebenarnya sudah dijalankan, yaitu dengan adanya beberapa daerah berotonomi
khusus seperti Provinsi Papua, Pemerintahan Aceh, DKI Jakarta dan Provinsi
DIY. Keempat provinsi ini secara legal formal sudah memperoleh pengakuan dari
negara. Inti desentralisasi asimetris adalah terbukanya ruang gerak implementasi
dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan pemerintahan di luar ketentuan umum
dan khusus.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi terakhir
(hingga saat ini) yang mempunyai pengaturan khusus dalam penerapan konsep
otonomi daerahnya. Hal ini bersumber dari Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 pra
amandemen yang berbunyi sebagai berikut:5
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa.”
Berdasarkan eksistensi historis, Ir. Sujamto menyebutkan bahwa:
“... secara teoritis dalam Daerah Istimewa terdapat 2 (dua) macam hak,
yaitu hak yang telah dimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian
5
Soedarisman Poerwokoesoemo, 1984, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada Press,
Yogyakarta, hlm. 2.
7
dari Negara Indonesia (hak yang bersifat autochtoon) dan hak yang
dimiliki berdasarkan pemberian pemerintah. Perwujudan dari hak-hak
asal-usul atau yang bersifat autochtoon itu bisa bermacam-macam. Hak itu
dapat berupa hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan tertentu, hak untuk memberikan beban kewajiban tertentu
kepada masyarakat, hak untuk menentukan sendiri cara pengangkatan dan
pemberhentian pimpinan daerah, dan lain-lain. Mempertahankan susunan
asli juga termasuk hak asal-usul dari daerah yang bersifat istimewa.”6
Untuk DIY, pemberian status keistimewaan tentu tidak bisa dilepaskan dari
aspek sejarahnya. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten
Pakualaman secara de jure dan de facto telah memiliki pemerintahan yang
berdaulat sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun
melalui Amanat Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan dan Sri Paduka
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam pada tanggal 5 September 1945,
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menyatakan
bergabung dan merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia.7 Langkah
tersebut dinilai sangat penting dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan
Indonesia yang saat itu diguncang politik devide et empera yang dilancarkan para
imperialis. Di samping itu, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten
Pakualaman berperan
dan memberikan sumbangsih
yang besar
dalam
mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sehingga inilah yang menjadi latar belakang diberikannya status
keistimewaan untuk DIY.
6
Ibid., hlm. 14.
7
Ibid., hlm. 297-298.
8
Kemudian ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955. Di dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1950 disebutkan bahwa Daerah Istimewa Jogjakarta adalah setingkat
provinsi, yang meliputi daerah Kasultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman.
Namun dalam Undang-Undang ini belum tergambar secara eksplisit apa
sebenarnya yang menjadi kewenangan istimewa milik DIY.
Melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah
Istimewa
Yogyakarta,
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
mendapatkan kejelasan megenai status keistimewaannya. Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 menyatakan bahwa DIY ialah daerah
provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan
dalam
kerangka
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia.
Keistimewaan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2012 adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan
sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa.
Dalam pelaksanaannya menerapkan desentralisasi asimetris, DIY mulai
mempersiapkan diri dengan menyusun aturan hukum berupa Peraturan Daerah
Istimewa (Perdais) beserta peraturan pelaksananya dan melakukan pembenahan di
lingkungan pemerintahan daerah DIY. Sampai dengan saat ini baru ditetapkan 1
(satu) Perdais yaitu Perdais Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2013
tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
9
Jika dilihat dari judul Perdais tersebut, tampak bahwa tidak ada kata “Provinsi”
sebelum frasa “Daerah Istimewa Yogyakarta”. Substansi materi Perdais tersebut
juga tidak mencantumkan nomenklatur “Provinsi DIY” melainkan hanya “DIY”.
Hal serupa juga ditemui dalam pembenahan perangkat daerah di Provinsi DIY.
Gubernur DIY menerbitkan Surat Edaran Nomor 5.1/SE/IX/2012 tanggal 7
September 2012 perihal Perubahan Nomenklatur Satuan Organisasi Perangkat
Daerah (SOPD). Surat Edaran tersebut pada intinya menyatakan bahwa dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta maka penyebutan nomenklatur SOPD (yang diatur
dalam berbagai Peraturan Daerah (Perda) sebelum Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 ditetapkan) untuk kata “Provinsi” dihapus. Sebagai contoh
penyebutan “Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta” menjadi “Biro Hukum Sekretariat Daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta”.
Penghapusan kata “Provinsi” di lingkungan Pemerintah Daerah DIY ini
dilatarbelakangi karena dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak awal memang tidak
menunjukkan adanya penekanan DIY sebagai sebuah Provinsi.8 Penyebutannya
dalam Undang-Undang ini selalu dengan “DIY”, bukan “Provinsi DIY”. Dari sini
8
Meskipun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan DIY menyebut DIY sebagai daerah provinsi, yaitu Pasal 1 angka 1 “Daerah
Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai
keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
10
kemudian Pemerintah Daerah DIY membuat kebijakan bahwa di lingkungan
Pemerintah Daerah DIY, sudah tidak lagi menggunakan kata “Provinsi”.
Pada
pelaksanaannya,
terjadi
masalah
terkait
tidak
digunakannya
nomenklatur “Provinsi” oleh Pemerintah Daerah DIY. Berdasarkan hasil evaluasi
Menteri Dalam Negeri yang tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 973-1665 Tahun 2014 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi DIY tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 11
Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, pada intinya menyatakan bahwa dalam
penulisan Peraturan Daerah DIY perlu ditambahkan nomenklatur
“Provinsi”
sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Di samping itu, masih menurut
Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY menyatakan bahwa DIY
adalah daerah Provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan dalam kerangka NKRI. Hal ini dimaknai bahwa
keistimewaan tersebut bukan berarti tidak menyebutkan “Provinsi” di depan kata
“DIY”. Pertanyaannya kemudian, benarkah seperti itu? Apakah dengan tidak
disebutkannya nomenklatur “Provinsi” dalam Peraturan Daerah (Perda) DIY
menyebabkan Perda tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945?
11
Masalah juga terjadi dalam proses pembentukan Peraturan Daerah Istimewa
(Perdais) di DIY. Pembahasan beberapa Rancangan Peraturan Daerah Istimewa
(Raperdais) DIY sempat menjadi terhambat karena terjadi perbedaan pendapat
antara eksekutif dan legislatif mengenai perlu tidaknya mencantumkan
nomenklatur “Provinsi” dalam judul maupun substansi materi Raperdais.
Perbedaan pendapat ini tidak jarang menghasilkan keadaan deadlock sehingga
pembahasan tidak dapat dilanjutkan. Ini tentu mempengaruhi kelancaran proses
pemerintahan di DIY.
Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut maka di dalam tesis ini akan
dibahas mengenai pengaturan DIY sebagai satuan pemerintahan daerah yang
bersifat istimewa, untuk kemudian dikaitkan dengan penggunaan nomenklatur
“Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta” pasca Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2012. Dengan adanya pemaparan ini diharapkan akan
memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kedudukan DIY dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B.
Rumusan Permasalahan
Dalam tesis ini yang menjadi pokok permasalahan adalah:
1. Bagaimana pengaturan mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa?
2. Bagaimana analisis terhadap penggunaan nomenklatur “Provinsi” dalam
Peraturan Daerah DIY pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta?
12
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang serta rumusan permasalahan yang telah
diuraikan maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Menguraikan dan menganalisis pengaturan mengenai Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa;
2. Menganalisis terhadap penggunaan nomenklatur “Provinsi” dalam
Peraturan Daerah DIY pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1.
Manfaat Teoritis
Sebagai bahan masukan dan kontribusi pemikiran dalam hal
pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan penulis dalam
pemahaman mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu
satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2.
Manfaat Praktis
Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
memberikan
rekomendasi,
informasi, pedoman dan konstribusi bagi pemerintah daerah dalam
penyusunan kebijakan dan pengaturan terkait pelaksanaan desentralisasi
asimetris di DIY, khususnya dalam kaitannya dengan penggunaan
nomenklatur “Provinsi” dalam Peraturan Daerah DIY pasca Undang-
13
Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, dan sebagai
bahan kajian untuk pembangunan hukum dalam rangka memperkuat dan
mendorong otonomi daerah dengan kewenangan yang seluas-luasnya namun
tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
E.
Keaslian Penelitian
Sampai dengan saat ini, telah banyak karya tulis ilmiah yang membahas
mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagian besar tulisan tersebut
membahas mengenai aspek historis dari keistimewaan DIY, kedudukan DIY
dalam struktur ketatatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
kewenangan dalam urusan keistimewaan DIY menurut Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Sukirno menyusun tesis pada Program Studi Magister Hukum Universitas
Gadjah Mada Tahun 2014 dengan judul “Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta Sebagai Corak Khusus Implementasi Konsep Negara Kesatuan”.
Pokok permasalahan yang dikemukakan dalam tesis tersebut adalah:
1) Bagimanakah
implementasi
konsep
negara
kesatuan
dalam
sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya dalam pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta ?
2) Seberapa jauhkah toleransi penerapan pola otonomi asismetris dalam
implementasi konsep negara kesatuan, terutama dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY ?
14
3) Kelembagaan keistimewaan apakah yang dapat dibentuk oleh Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka pelaksanaan kewenangan
keistimewaan urusan kelembagaan Pemerintah Daerah DIY?
Kesimpulan dari tesis tersebut adalah konsep negara kesatuan dalam UUD
NRI Tahun 1945 diimplementasikan secara kombinatif dengan konsep negara
federal, terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana
diatur dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan 18B UUD NRI Tahun 1945.
Diakomodasinya keragaman daerah serta pengakuan dan penghormatan terhadap
kesatuan-kesatuan daerah yang bersifat khusus atau istimewa serta kesatuan
masyarakat adat beserta hak tradisionalnya dalam UUD NRI 1945 merupakan
salah satu bukti bahwa sistem ketatanegaraan RI dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah menganut pola desentralisasi yang tidak sebanding atau
asismetris
(asymmetrical
decentralization).
Terkait
dengan
kelembagaan
Pemerintah Daerah DIY, Sukirno menyatakan bahwa ada 4 (empat) lembaga yang
mungkin dibentuk dalam rangka pelaksanaan kewenangan keistimewaan urusan
kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, yaitu Dinas Kebudayaan, Dinas
Pertanahan dan Tata Ruang, Dewan Ketahanan Daerah, dan Sekretariat Dewan
Ketahanan Daerah.
Diasma Sandi Swandaru menyusun tesis pada Program Studi Magister
Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2014 dengan judul “Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY Dalam Perspektif Politik
Hukum Berparadigma Pancasila”. Pokok permasalahan yang diangkat adalah:
15
1) Bagaimana pencerminan nilai-nilai Pancasila dalam pengaturan pembentukan
perundang-undangan di Indonesia?
2) Nilai-nilai Pancasila apa saja yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta?
Kesimpulan
dari
tesis
tersebut
adalah
nilai-nilai
Pancasila
diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menjadi pedoman dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Seluruh nilai Pancasila
juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan DIY, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan sosial. Pencerminan nilai-nilai Pancasila dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY menjadi bukti bahwa politik
hukum berparadigma Pancasila secara langsung diterapkan dalam pemerintahan di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berdasarkan pemaparan di atas maka terdapat perbedaan yang jelas antara
kedua tesis tersebut dengan penelitian ini, yaitu dalam hal pokok permasalahannya
yang kemudian menjadi acuan dalam menarik kesimpulan. Penelitian ini
menguraikan mengenai perjalanan historis pengaturan Daerah Istimewa
Yogyakarta dari masa ke masa. Penelitian ini juga menganalisis mengenai
penggunaan nomenklatur “Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa
Yogyakarta” pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
DIY. Dua hal tersebut tidak diuraikan secara mendetail dalam tesis yang disusun
16
oleh Sukirno maupun Diasma Sandi Swandaru sehingga dapat disimpulkan bahwa
hal itu menjadi faktor pembeda dengan kedua tesis sebelumnya.
Buku yang berjudul “Daerah Istimewa Yogyakarta: Dalam Perdebatan
Konstitusi dan Perundang-undangan di Indonesia” yang disusun oleh Ni’matul
Huda, memang menguraikan mengenai pengaturan Daerah Istimewa Yogyakarta
sejak masa penjajahan Hindia Belanda sampai dengan saat ini. Buku ini juga
menjabarkan mengenai pertanahan di DIY pasca Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, terutama dalam kaitannya dengan Sultan
Ground dan Pakualaman Ground. Namun dalam buku tersebut tidak diuraikan
mengenai penggunaan nomenklatur “Provinsi” pasca Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Inilah yang menjadi variabel pembeda
antara buku tersebut dengan penelitian ini.
Keaslian penelitian dapat diartikan bahwa masalah yang dipilih belum
pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya atau harus dinyatakan dengan tegas
perbedaannya dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan. Meskipun objek
penelitian ini secara umum adalah mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi
karena variabel tergantung yang menjadi pokok bahasannya berbeda dengan karya
tulis ilmiah yang telah ada maka penelitian ini telah memperlihatkan keasliannya.
Variabel yang berbeda tersebut adalah terkait penggunaan nomenklatur “Provinsi”
di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta” pasca Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa penelitian ini terbukti memiliki orisinalitasnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep Negara Kesatuan
Di beberapa kalangan, terdapat kerancuan antara apa yang dimaksud dengan
bentuk negara dan apa yang dimaksud dengan bentuk pemerintahan. Dalam ilmu
negara, pembahasan mengenai bentuk negara dan bentuk pemerintahan memang
tidak memiliki persepsi yang tunggal. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa
“republik” dan “monarki” adalah bentuk negara, namun ada pula yang
menyebutkan bahwa keduanya adalah bentuk pemerintahan, bukan bentuk negara
(bentuk negara adalah “kesatuan” dan “federal”). Pada dasarnya perbedaan
persepsi tersebut terjadi karena sudut pandang masing-masing dalam memahami
suatu negara. Seperti yang dikemukakan oleh Kusnardi dan Saragih berikut:9
“Bentuk negara adalah batas antara peninjauan secara sosiologis dan
peninjauan secara yuridis mengenai negara. Disebut peninjauan secara
sosiologis apabila negara dilihat secara keseluruhan (ganzhit) tanpa
melihat isinya dan sebagainya; disebut peninjauan secara yuridis apabila
negara hanya dilihat dari isinya atau strukturnya. Berdasarkan hal
tersebut maka bentuk negara dalam arti yuridis adalah kesatuan dan
federal, sedangkan bentuk negara dalam arti sosiologis adalah republik
dan monarki.”
9
Kusnardi dan Saragih, 1988, Ilmu Negara, Gaya Media Pertama, Jakarta, hlm. 151-152.
17
18
Terlepas dari adanya perbedaan persepsi tersebut di atas, pendapat umum
mengenai bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem pemerintahan
tergambar dalam bagan di bawah ini:10
Terkait dengan ketiga bentuk negara (kesatuan, federal, dan konfederasi),
Miriam Budiardjo memaparkan bahwa persoalan sifat kesatuan atau sifat federal
dari suatu negara sesungguhnya merupakan bagian dari sesuatu persoalan yang
lebih besar, yaitu persoalan integrasi dari golongan yang berada di dalam sesuatu
wilayah. Integrasi itu dapat diselenggarakan secara minimal (yaitu dalam suatu
konfederasi) atau dapat pula diselenggarakan secara maksimal (yaitu dalam suatu
negara kesatuan). Di dalam teori kenegaraan persoalan tersebut menyangkut
persoalan
mengenai
bentuk
negara,
dan
persoalan
negara
bersusun
(Samengestelde Staten atau Statenverbindungen) yaitu khususnya yang mengenai
federasi dan konfederasi. Hans Kelsen dalam buku General Theory of Law and
State memakai istilah “form of organization” baik untuk federasi dan konfederasi
10
I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu Negara dan Teori
Negara, Refika Aditama, Bandung, hlm. 106.
19
maupun negara kesatuan yang desentralistis. Perbedaan antara federasi,
konfederasi, dan kesatuan terlihat dari segi pembagian kekuasaannya secara
vertikal. Pembagian kekuasaan tersebut, menurut tingkatannya adalah pembagian
kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. Carl J. Friedrich memakai istilah
pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division of power).11
Negara kesatuan, atau juga dikenal dengan negara unitaris, adalah bentuk
negara yang paling kokoh jika dibandingkan dengan negara federal atau
konfederasi karena dalam negara kesatuan terdapat persatuan (union) maupun
kesatuan (unity).12 Salah satu negara yang berbentuk kesatuan adalah negara
Indonesia. Dilihat dari segi susunan negara kesatuan maka negara kesatuan bukan
negara yang tersusun dari beberapa negara melainkan negara tunggal,
sebagaimana disampaikan oleh Soehino:13
“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa
negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara sehingga tidak ada
negara di dalam negara. Dengan demikian dalam negara kesatuan hanya
ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan
serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara,
menetapkan
kebijaksanaan
pemerintahan,
dan
melaksanakan
pemerintahan negara, baik di pusat maupun di daerah-daerah.”
L.J. Van Apeldoorn menjelaskan bahwa suatu negara disebut negara
kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat sementara
provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat sehingga provinsiprovinsi itu tidak mempunyai hak mandiri. Hal senada juga dinyatakan oleh
11
Miriam Budiardjo, 1982, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, hlm. 138-139.
12
Fred Isjwara, 1974, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung, hlm. 188.
13
Soehino, 2000, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 224.
20
Cohen dan Peterson, “Unitary systems need not be legally decentralized, but most
are trough hierarchy of lower level units that have specified geographical
jurisdictions.in unitary system, the centre maintains ultimate souvereignty over
public sector tasks decentralized to lower-level units.”14
Kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak sederajat.
Kekuasaan pemerintah pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara
dan tidak ada saingan dari badan legislatif pusat dalam membentuk undangundang, kekuasaan yang ada di daerah bersifat derivatif (tidak langsung) dan
sering dalam bentuk otonomi yang luas, dengan demikian tidak dikenal adanya
badan legislatif pusat dan daerah yang sederajat, melainkan sebaliknya.15
Lebih lanjut C.F. Strong menegaskan hakikat negara kesatuan ialah
kedaulatan tidak terbagi, atau dengan kata lain kekuasaan pemerintah pusat tidak
dibatasi karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain
selain dari badan legislatif pusat. Wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam
suatu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada Pemerintah dan
tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah mempunyai wewenang untuk
menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi,
tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan Pemerintah. Oleh
14
Sadu Cohen dan Peterson menurut kutipan Kirman, 2005, Pegangan Memahami
Desentralisasi dan Beberapa Pengertian Tentang Desentralisasi, Pondok Edukasi, Yogyakarta,
hlm. 9.
15
Kusnardi dan Saragih, Op. Cit, hlm. 207-208.
21
karena itu, C. F. Strong menyimpulkan bahwa ciri-ciri mutlak yang melekat pada
negara kesatuan yaitu:16
1. Adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat; dan
2. Tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa dalam negara kesatuan (unitary
state) kekuasaan asli itu memang berada di Pemerintah, bukan di daerah.
Sehingga yang diberikan ke daerah bukanlah kekuasaan asli tanpa atribut, tetapi
kekuasaan
yang
sudah
dilegalisasikan
(yang
biasa
disebut
sebagai
kewenangan/authority).17 Daerah-daerah diberikan kewenangan untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan dengan
daerah otonom. Inilah yang kemudian disebut dengan negara kesatuan dengan
sistem desentralisasi. Dari sudut pandang hukum internasional, suatu negara
kesatuan betapapun luas otonomi yang dimiliki oleh provinsi-provinsinya,
masalah-masalah yang menyangkut hubungan luar negeri merupakan wewenang
pemerintah pusat. Pemerintah daerah pada prinsipnya tidak boleh berhubungan
langsung dengan negara luar.18
Seperti yang telah diuraikan di awal, dalam negara kesatuan kewenangan
atas urusan pemerintahan berada di pemerintah sehingga besar kecilnya otonomi
yang diserahkan kepada daerah tergantung dari political will pemerintah.
Kekuasaan tersebut tidak diganggu oleh adanya suatu pelimpahan atau
16
Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 269.
17
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta,
hlm. 282.
18
Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 26.
22
penyerahan kewenangan kepada daerah. Kewenangan daerah mengacu pada asas
pembagian yang tidak meninggalkan suatu kebulatan (eenheid) pemegang
kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, yaitu tetap di
tangan pemerintah. Hubungan pemerintah dengan daerah ini dijabarkan oleh
Mawhood sebagai:19
“... decentralized government, as we have defined it, is a semi-dependent
organization. It has some freedom to act without referming to the center
for approval, but its status is not comparable with that of a sovereign
state. The local authority power, and even its existence, flow from a
decision of the national legoslature and can be cancelled when that
legislature so decides.”
Shahid Javed Burki menyatakan bahwa:20
“Pembagian kekuasaan atau kewenangan antara pemerintah dan daerah
dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah tidak sepenuhnya lepas dari
kontrol pemerintah. Prinsip pembagian kekuasaan atau kewenangan
tersebut yaitu:
1. Kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya milik pemerintah, daerah
diberikan hak dan kewajiban mengelola dan menyelenggarakan
sebagian kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan atau
diserahkan. Jadi, terjadi proses penyerahan atau pelimpahan
kewenangan;
2. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap memiliki garis
komando dan hubungan hierarkis. Pemerintah sebagai subordinasi
pemerintah pusat, namun hubungan yang dilakukan tidak untuk
mengintervensi dan mendikte pemerintah daerah;
3. Kewenangan atau kekuasaan yang dialihkan atau diserahkan kepada
daerah dalam kondisi tertentu, di mana daerah ternyata tidak mampu
menjalankan dengan baik maka kewenangan yang dilimpahkan dan
diserahkan tersebut dapat ditarik kembali pada pemerintah sebagai
pemilik kekuasaan atau kewenangan tersebut.”
19
Philip Mawhood dalam Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian
Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 71.
20
Shahid Javed Burki dalam Ibid., hlm. 72.
23
Dalam konsep negara kesatuan, daerah sebenarnya tidak benar-benar
memiliki kekuasaan yang mutlak. Negara kesatuan adalah negara dengan
sentralisasi kekuasaan, yang menurut Thorsten V. Kalijarvi diterjemahkan
sebagai:21
“...negara-negara di mana seluruh kekuasaan dipusatkan pada satu atau
beberapa organ pusat, tanpa pembagian kekuasaan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah bagian-bagian negara itu. Pemerintah bagian
negara-negara itu hanyalah bagian pemerintahan pusat yang bertindak
sebagai wakil-wakil pemerintah pusat untuk menyelenggarakan
administrasi setempat.”
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Bhenyamin Hoessein
bahwa tidak mungkin terdapat suatu urusan pemerintahan pun yang utuh dan
sepenuhnya diselenggarakan secara desentralisasi. Konsep otonomi apapun yang
dianut, tidak akan menjurus ke pemikiran penyelenggaraan pemerintahan yang
terdesentralisasi semata-mata.22
Ada kalanya dominasi pemerintah pusat menjadi sedemikian besarnya
hingga daerah kehilangan kebebasannya dalam bertindak. Menjaga kesatuan dan
integritas negara merupakan salah satu alasan pemerintah pusat untuk senantiasa
mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan peran
dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri dalam rangka
mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya. Dominasi pemerintah
pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan hubungan antara
21
22
Fred Isjwara, Op. Cit., hlm. 179.
Sarundajang, 2003, Birokrasi Dalam Otonomi Daerah: Upaya Mengatasi Kegagalannya,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 60.
24
pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan menjadi tidak harmonis atau
bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul gagasan untuk
mengubah negara kesatuan menjadi negara federasi.23
Kata federasi berasal dari bahasa latin yaitu feodeus yang berarti liga.
Pemerintahan dengan model negara federasi berasal dari asumsi dasar bahwa
negara federasi dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang independen.
Artinya, negara-negara yang memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan
tersebut bersepakat membentuk negara federasi. Negara-negara pendiri federasi
itu kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi
dengan nama tertentu dalam lingkungan federasi.24 Dengan demikian, negara
federasi (atau juga disebut sebagai negara serikat) adalah negara yang bersusun
jamak, di mana negara-negara berdaulat yang tergabung di dalamya mempunyai
undang-undang dasar sendiri serta pemerintahan sendiri.25 Sejumlah tugas dan
kewenangan diserahkan kepada pemerintah federal sedangkan urusan-urusan lain
tetap menjadi kewenangan negara bagian. Namun, pemerintah negara bagian
bukanlah bawahan dan tidak bertanggung jawab kepada pemerintah federasi.26
Dari segi hukum internasional, negara federasi adalah negara gabungan sejumlah
negara yang dinamakan negara-negara bagian yang diatur oleh suatu undangundang dasar yang membagi wewenang antara pemerintah federal dengan negara-
23
Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Penerbit Nusa Media, Bandung,
hlm. 29.
24
Ibid., hlm. 33.
25
Soehino, Op. Cit., hlm. 226.
26
Ramlan Surbakti, 2010, Memahami Ilmu Politik, Grassindo, Jakarta, hlm. 216.
25
negara bagiannya. Walaupun negara bagian mempunyai konstitusi dan
pemerintahan masing-masing namun hanya negara federal yang merupakan
subjek hukum internasional dan mempunyai wewenang untuk melakukan kegiatan
luar negeri.27
Antara negara federasi dan negara konfederasi, terkadang sulit untuk
membedakan keduanya. George Jellinek memberikan titik perbedaan negara
federasi dan negara konfederasi dari sisi kedaulatannya. Dalam negara federasi,
kedaulatan terletak pada negara federasi itu. Sedangkan dalam negara konfederasi,
kedaulatan itu ada pada masing-masing negara anggota peserta konfederasi.28 Al
Chaidar juga menyatakan bahwa negara konfederasi (statenbond) menyangkut
tentang banyak negara yang memiliki konstitusi sendiri-sendiri tetapi bersepakat
untuk bergabung dalam perhimpunan longgar yang didirikan bersama-sama
dengan nama konfederasi. Dalam konfederasi, kedaulatan terletak di negaranegara bagian atau negara-negara anggota.29 Kranenburg menjelaskan perbedaan
negara federasi dengan negara konfederasi harus didasarkan pada keberlakuan
peraturan-peraturan yang dihasilkan oleh organ pusat. Jika peraturan yang
dihasilkan oleh organ pusat tersebut langsung mengikat warga negara dari negaranegara anggota maka bentuk negaranya adalah federasi. Sebaliknya, jika tidak
langsung mengikat warga negara dari negara-negara anggota maka bentuk
27
Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 27.
28
Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 142.
29
Al Chaidar dalam Astim Riyanto, 2006, Negara Kesatuan: Konsep, Asas, dan
Aktualitasnya, Penerbit Yapemdo, Bandung, hlm. 56.
26
negaranya adalah negara konfederasi.30 Pada intinya, negara konfederasi memiliki
kekuasaan yang tidak lebih besar daripada negara-negara anggota yang tergabung
di dalamnya.
Jimly Asshiddiqie memaparkan kesamaan antara negara kesatuan dan
negara konfederasi, bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan daerah (negara
anggota) sama-sama bersifat subordinatif dan dependen. Perbedaanya, pada
negara kesatuan pemerintah daerah mempunyai kedudukan yang lebih rendah dan
derivatif dari kekuasaan pusat. Sedangkan pada negara konfederasi, pemerintah
pusatlah yang lebih rendah dan bersifat derivatif dari kekuasaan negara anggota.31
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Miriam Budiardjo, bahwa konfederasi
sesungguhnya bukan merupakan negara yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan
karena negara-negara yang tergabung di dalam konfederasi itu tetap merdeka dan
berdaulat sehingga pada hakikatnya konfederasi bukanlah negara baik ditinjau
dari ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Lebih lanjut Miriam
Budiardjo menyatakan bahwa kelangsungan hidup konfederasi bergantung pada
keinginan atau kesukarelaan negara-negara anggota. Pada kenyataannya
konfederasi ini dibentuk untuk maksud-maksud tertentu, yang biasanya
menyangkut politik luar negeri dan pertahanan bersama.32
30
Ni’matul Huda, Op. Cit., hlm. 40.
31
Jimly Asshiddiqie, “Mempertimbangkan Perubahan ke Arah Bentuk Negara Persatuan
Republik Indonesia”, makalah disampaikan pada Simposium Hukum 2000 ILUNI-FH, “Masalah
Keadilan Sosial dan Disintegrasi Bangsa,” Reog Room, Hotel Indonesia, 4 Maret 2000, hlm. 1.
32
Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 151.
27
B.
Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Konsep Negara Kesatuan
Dalam negara kesatuan, hubungan antara pusat dan daerah tidak sederajat.
Sebaliknya, keduanya memiliki hubungan yang bersifat subordinatif dan
dependen. Hal ini terjadi karena kekuasaan pemerintahan sesungguhnya hanya
dipegang oleh pemerintah pusat sementara provinsi-provinsi (berikut pemerintah
di bawahnya) menerima kekuasaan dari pemerintah pusat sehingga daerah tidak
benar-benar mempunyai hak mandiri. Pembagian kekuasaan atau kewenangan
antara pemerintah dan daerah dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah tidak
sepenuhnya lepas dari kontrol pemerintah.
Hubungan pusat dan daerah memiliki 3 bentuk, yaitu hubungan pusat dan
daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial; hubungan pusat dan daerah menurut
dasar otonomi teritorial; serta hubungan pusat dan daerah menurut dasar-dasar
negara federal.33
Hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial, pada
dasarnya bukan merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang masingmasing mandiri. Satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi tidak memiliki
wewenang mandiri melainkan wewenang tersebut menjadi satu kesatuan dengan
departemen atau kementerian yang bersangkutan. Sehingga sifat wewenang satuan
pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah delegasi atau mandat, bukan
atribusi.34
33
Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah: Kajian tentang Hubungan
Keuangan antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, hlm. 77.
34
Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH Fakultas Hukum UII,
Yogyakarta, hlm. 32.
28
Hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi teritorial berarti seluruh
fungsi kenegaraan dan pemerintahan ada dalam lingkungan pemerintah pusat yang
kemudian dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi, dan hubungan pusat dan
daerah di bidang otonomi bersifat administrasi negara. Dengan demikian, satuan
otonomi teritorial memiliki wewenang mandiri dan berhak melakukan tindakan
hukum sebagai subjek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan
yang menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan hubungan pusat dan daerah
menurut dasar-dasar negara federal tidak dapat dipisahkan dari bentuk negara
federal. Seluruh fungsi kenegaraan dan pemerintahan pada dasarnya ada dalam
lingkungan pemerintahan negara bagian dan hubungan antara kekuasaan federal
dengan negara bagian bersifat ketatanegaraan.
Menurut Clarke dan Stewart, model hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah secara teoritis dapat dibedakan menjadi 3, yaitu the relative
autonomy model, the agency model, dan the interaction model.35 The relative
autonomy model memberikan kebebasan yang relatif besar kepada pemerintah
daerah dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat. Pemerintah daerah
diberikan kebebasan bertindak dalam kerangka kekuasaan dan tanggung jawab
yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. The agency model
berarti pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup besar,
keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk
menjalankan kebijakan pemerintah pusatnya. Oleh karenanya, berbagai petunjuk
rinci dalam peraturan perundang-undangan sebagai mekanisme kontrol sangat
35
Ni’matul Huda, Op. Cit., hlm. 12.
29
menonjol pada model ini. Sementara itu, the interaction model menekankan pada
interaksi yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menentukan
keberadaan dan peran pemerintah daerah. Beragam bentuk dan model hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan variasi tersendiri bagi
perkembangan sistem pemerintahan daerah dalam konsep negara kesatuan.
Namun untuk menemukan format yang tepat bukanlah hal yang mudah karena
proses pemerintahan bersifat dinamis dari masa ke masa.
Persoalan mengenai hubungan pusat dan daerah dalam konsep negara
kesatuan, tergambar dalam hubungan kewenangan, hubungan keuangan,
hubungan pengawasan, dan hubungan susunan organisasi pemerintahan.
1. Hubungan Kewenangan
Taliziduhu Ndraha mengartikan kewenangan sebagai authority: the power
or right delegated; the power to judge, act, or command36. Makna kewenangan
harus dibedakan dari makna urusan, sebagaimana ditulis Situmorang:37
”Secara konseptual, kewenangan tidak bisa disamakan dengan urusan
pemerintahan, karena kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan/atau
kewajiban menjalankan satu atau beberapa fungsi manajemen
(pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengurusan, pengawasan)
atas suatu obyek tertentu yang ditagani pemerintah”.
Bhenyamin Hoessein merumuskan urusan sebagai obyek yang justru diatur
dan diurus oleh suatu kewenangan. Penyerahan wewenang pengaturan dan
36
Taliziduhu Ndraha, 2011, Kybernologi: Ilmu Pemerintahan Baru, Rineka Cipta, Jakarta,
hlm. 85.
37
Sodjuangon Situmorang, 2002, Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.
32.
30
wewenang pengurusan dalam gatra kehidupan tertentu menurut peraturan
perundang-undangan disebut penyerahan urusan pemerintahan.38
Dari perspektif Hukum Administrasi Negara/HAN, kewenangan jelas
memiliki kedudukan penting dan merupakan konsep inti ilmu hukum. Hal
demikian-terlepas dari sejumlah kritikan yang ada-terkait penggunaan prinsip
legalitas dan demokrasi dalam penyelenggaran urusan negara di mana tindakan
pemerintah harus memperoleh legitimasi rakyat yang secara legal formal tertuang
dalam dasar hukum tertentu. Dalam kerangka pikir tersebut, seperti disimpulkan
Ridwan dari pendapat sejumlah pakar, substansi prinsip legalitas adalah
kewenangan, yang diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan tindakan
hukum tertentu.39
Sementara menyangkut sumber dan cara memperolehnya, kewenangan
diklasifikasi atas atribusi, delegasi, dan sebagian pakar menambah satu klasifikasi
lagi, yakni mandat. Klasifikasi tersebut juga membawa konsekuensi berbeda
dalam arah tanggung jawab dan pihak yang bertangung jawab. Atribusi diperoleh
berdasarkan pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang
kepada organ pemerintahan, delegasi diperoleh berdasarkan pelimpahan
wewenang
pemerintahan
dari
satu
organ
pemerintahan
kepada
organ
pemerintahan lainnya, dan mandat diperoleh ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan organ pemerintahan lain atas namanya.
Sumber dan cara memperoleh kewenangan ini berimplikasi erat pada letak
38
Bhenyamin Hoessein, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi
Daerah di Indonesia: Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu
Administrasi Negara, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 15.
39
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 90-98.
31
tanggung jawab atas wewenang tersebut karena adanya prinsip tidak ada
kewenangan tanpa pertanggungjawaban. Pada atribusi dan delegasi disertai
dengan berpindahnya tanggung jawab kepada penerima kewenangan, sementara
dalam mandat tetap menjadi tanggung jawab pemberi kewenangan sebab pada
hakikatnya yang terjadi bukanlah pelimpahan kewenangan tetapi penyerahan
tugas (biasanya antara atasan dan bawahan) secara intraorganisasi (yang terjadi
hanyalah hubungan internal organisasi).40
Penyelenggaraan pemerintahan dalam organisasi negara dilakukan pertamatama menurut asas sentralisasi di mana segala pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan berlangsung sepenuhnya di tataran nasional, baik secara terpusat atau
pun melalui instansi (field administration, local state government) di daerah yang
memperoleh pelimpahan wewenang dan membentuk relasi kewenangan
intraorganisasi dalam rangka asas dekonsentrasi. Namun, perkembangan dewasa
ini, pengelolaan organisasi negara (terutama yang berukuran besar, memiliki
masalah yang kompleks) mulai melibatkan pemerintahan lokal di mana
Pemerintah Pusat hanya menetapkan pokok kebijakan (makro), sementara jabaran
(kebijakan mikro) dan implementasi diserahkan ke pemerintah lokal sebagai
institusi daerah otonom. Pelibatan pemerintahan daerah dan penyerahan
wewenang kepadanya oleh Pemerintah merupkan inti desentralisasi.
Dengan penerapan desentralisasi kewenangan ini, keberagaman lokal
(daerah/masyarakat) yang terlihat pada aspirasi politik, struktur sosial, dan potensi
ekonomi diperhatikan dalam pengelolaan negara melalui pelimpahan kewenangan
40
Ibid., hlm. 101-109.
32
pembuatan kebijakan (mengatur) dan penerapannya (mengurus) ke unit-unit
pemerintahan lokal yang lebih mengenal kondisi daerah atau masyarakatnya.
Namun, dalam negara unitaris, meskipun relasi antara Pusat dan Daerah tersebut
berpola antarorganisasi, tidak ada dikotomi antara desentralisasi dan sentralisasi,
melainkan terajut hubungan sebagai satu kesatuan/kontinum. Robert Endi Jaweng
menyatakan:41
“Dalam hal kewenangan, terjemahan prinsip desentralisasi pada negara
unitaris ini dijabarkan bahwa (1) selalu ada urusan yang sepenuhnya
diselenggarakan Pusat (urusan ekslusif); (2) terdapat sejumlah urusan
atau bagian urusan atau kegiatan dalam suatu urusan yang dapat
didesentralisasi, tetapi sifatnya tidaklah mutlak/ekslusif diselenggarakan
daerah lantaran ada irisan yang menjadi bagian kewenangan pusat
(setidaknya terkait penetapan kebijakan nasional pada masing-masing
urusan tersebut).”
Terkait dengan sumber kewenangan, setelah membentuk daerah otonom
maka Pemerintah Pusat sebagai sumber kewenangan lalu melakukan penyerahan
wewenang kepada daerah terbentuk, baik secara bersama-sama dengan daerah lain
maupun secara sendiri. Pada konsep desentralisasi, materi wewenang yang
diserahkan melingkup wewenang menetapkan kebijakan (policy making) maupun
melaksanakan
(policy
implementation).
Sementara
pada
dekonsentrasi
(penghalusan sentralisasi), yang terjadi adalah proses pelimpahan wewenang
dengan
lingkup
materinya
sebatas
wewenang
melaksanakan
kebijakan
(administratif). Perbedaan di antara keduanya adalah dari segi konsekuensinya.
Untuk desentralisasi, wewenang yang diserahkan menjadi wewenang dan tangung
41
Robert Endi Jaweng, 2004, Pasang-Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100
Tahun di Indonesia, ILD dan Yayasan Tifa, Jakarta, hlm. 197-213.
33
jawab daerah sepenuhnya. Sementara pada konsep dekonsentrasi, wewenang yang
dilimpahkan
tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Di samping
desentralisasi dan dekonsentrasi, masih ada tugas pembantuan sebagai salah satu
bentuk penyerahan kewenangan. Berdasarkan prinsip tugas pembantuan,
pemerintah menetapkan kebijakan makro sedangkan daerah otonom membuat
kebijakan mikro beserta implementasinya.42
Hubungan
kewenangan
bertalian
dengan
cara
pembagian
urusan
penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga
daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas
atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas jika: Pertama,
urusan-urusan
rumah
tangga
daerah
ditentukan
secara
kategoris
dan
pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula. Kedua, apabila sistem
supervisi kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara
mengurus dan mengatur rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem hubungan
keuangan antara pusat dan daerah yang menyebabkan hal-hal seperti keterbatasan
kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi
daerah.43
2. Hubungan Keuangan
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah tidak terlepas dari aspek
keuangan negara. Menurut M. Hadi, keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik
uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
42
Ni’matul Huda, Op. Cit., hlm. 14.
43
Ibid., hlm. 15.
34
pelaksanaan hak dan kewajiban dimaksud.44 R.A Musgrave memberikan definisi
keuangan negara sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penerimaan
dan pengeluaran negara.45
Berkaitan dengan hubungan keuangan pusat dan daerah, persoalan yang
sering muncul adalah terbatasnya jumlah uang yang dimiliki oleh daerah,
sementara pemerintah pusat cenderung memiliki dana yang melimpah. Dengan
demikian, substansi dari hubungan keuangan pusat dan daerah pada hakikatnya
adalah mengenai perimbangan keuangan. Pengertian dari perimbangan keuangan
di sini adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara
kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis,
adil, transparan, dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah,
sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara
penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan
keuangannya.
3. Hubungan Pengawasan
Pengawasan sebagai salah satu fungsi organik manajemen merupakan
proses kegiatan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan, sasaran serta
tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan
rencana, kebijaksanaan, instruksi dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
dan yang berlaku. Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin
terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan
44
M. Hadi, 1972, Administrasi Keuangan RI, Institut Ilmu Keuangan, Jakarta, hlm. 2.
45
A. Husein, 1983, Pokok-Pokok Anggaran Negara, Eko Jaya, Jakarta, hlm. 5.
35
kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas
organisasi. Dapat dikatakan bahwa pengawasan terhadap pemerintah daerah
merupakan konsekuensi logis dari konsep negara kesatuan. Oleh karena pada
negara kesatuan, tidak ada bagian yang lepas dari atau sejajar dengan negara,
tidak mungkin pula ada negara di dalam negara.
Ditinjau dari hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
pengawasan merupakan pengikat kesatuan, agar bandul kebebasan berotonomi
tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam kesatuan
(unitary): “… if local autonomy is not to produce a state of affairs bordering on
anarchy, it must subordinated to national interest by means devised to keep its
actions within bounds”. Jika pengikat tersebut ditarik begitu kencang, napas
kebebasan desentralisasi akan terkurangi bahkan mungkin terputus. Apabila hal
itu terjadi, pengawasan bukan lagi merupakan satu sisi dari desentralisasi tetapi
menjadi pembelenggu desentralisasi. Untuk itu, pengawasan harus disertai
pembatasan-pembatasan.
Pembatasan-pembatasan
tersebut
akan
mencakup
pembatasan macam atau bentuk pengawasan, yang sekaligus mengandung
pembatasan tata cara menyelenggarakan pengawasan, dan pejabat atau badan
yang berwenang melakukan pengawasan.46
4. Hubungan Susunan Organisasi Pemerintahan
Pada konsep negara kesatuan yang desentralistik, susunan organisasi
pemerintahan daerah akan memberikan pengaruh terhadap hubungan pusat dan
daerah. Hal ini disebabkan karena susunan organisasi pemerintahan daerah di
46
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 181.
36
samping mengandung segi susunan luar (external structure)47 juga susunan dalam
(internal structure)48. Cara penunjukkan, kedudukan, fungsi, hubungan dengan
alat kelengkapan pemerintahan daerah lain dan hubungan dengan pemerintah
daerah tingkat atas merupakan indikator, tempat ke arah mana pemerintah daerah
sedang bergerak. Dalam kerangka hubungan antara pusat dan daerah, indikator
tersebut menjadi petunjuk apakah pemerintahan daerah berada dan cenderung ke
desentralisasi atau ke sentralisasi.49
Pengaruh susunan organisasi pemerintahan di daerah terhadap hubungan
pusat dan daerah terlihat dari peran dan fungsi masing-masing susunan atau
tingkatan dalam penyelenggaraan otonomi. Artinya, peran dan fungsi tersebut
dapat ditentukan oleh pelaksanaan titik berat otonomi yang dijalankan. Pengaturan
dan pelaksanaan titik berat otonomi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu: 1) sistem rumah tangga daerah; 2) ruang lingkup urusan pemerintahan; dan
3) sifat dan kualitas suatu urusan.50
Sistem rumah tangga daerah berkaitan dengan cara pembagian wewenang,
tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
antara pusat dan daerah. Sedangkan ruang lingkup urusan pemerintahan tidak
dapat diidentifikasikan secara kuantitatif, urusan tersebut akan selalu dinamis dan
terbuka. Urusan yang pada saat tertentu adalah urusan rumah tangga daerah dapat
47
Susunan luar menyangkut badan-badan pemerintahan (publieklichaan) tingkat daerah,
seperti Daerah Tingkat I atau Daerah Tingkat II. Lihat Muhammad Fauzan, Op. Cit., hlm. 103.
48
Susunan dalam adalah mengenai alat-alat kelengkapan (organ) pemerintahan daerah,
seperti DPRD dan Kepala Daerah. Lihat Ibid.
49
Bagir Manan, Hubungan..., Op. Cit., hlm. 199.
50
Muhammad Fauzan, Op. Cit., hlm. 107.
37
serta merta berubah menjadi urusan pusat. Oleh karena itu, untuk membedakan
urusan pusat dan daerah dapat dilakukan melalui pendekatan fungsi. Daerah
memiliki fungsi utama dalam bidang pelayanan konkret terhadap masyarakat
sehingga urusan-urusan yang berkaitan dengan hal tersebut menjadi urusan daerah
sedangkan pusat untuk urusan-urusan lainnya.51 Terkait sifat dan kualitas suatu
urusan, dalam penentuannya agar memperhatikan tingkat kebutuhan, aspirasi, dan
keinginan masyarakat daerah. Artinya, pemerintah pusat harus bersifat responsif
terhadap dinamisasi perkembangan masyarakat daerah sekaligus pemerintahan
daerah.
C.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Seperti yang telah dikemukakan di awal, dalam negara kesatuan terdapat
hubungan kewenangan antara pusat dan daerah yang bertalian dengan cara
pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan
rumah tangga daerah. Keduanya mencerminkan suatu bentuk otonomi daerah.
Prinsip otonomi daerah muncul karena adanya keyakinan bahwa tidak semua
urusan pemerintahan dapat diselesaikan oleh pemerintah pusat saja. Hal ini
disebabkan karena ada beberapa urusan yang dianggap lebih efektif apabila
dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dengan adanya otonomi daerah, diharapkan
kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan secara optimal.
Secara gramatikal, otonomi berasal dari kata auto yang berarti sendiri, dan
nomos yang berarti pemerintahan. Sehingga otonomi adalah pemerintahan sendiri
51
Bagir Manan, Hubungan..., Op. Cit., hlm. 195.
38
(zelfregering).52 Menurut Bagir Manan,
otonomi daerah berarti kemandirian
untuk mengatur dan mengurus urusan (rumah tangga) sendiri. Meskipun otonomi
daerah dimaknai demikian namun dalam pelaksanaannya tetap harus berada dalam
batas-batas yang ditetapkan dan tidak boleh melampaui kewenangan pemerintah
pusat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bagir Manan:53
“Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi daerah bukan kemerdekaan
(onafhankelijkheid independency). Kebebasan dan kemandirian itu
adalah dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata
negara, khususnya teori bentuk negara, otonomi adalah subsistem dari
negara kesatuan (unitary state-eenheid staat). Otonomi daerah adalah
fenomena negara kesatuan. Segala pengertian (begrip) dan isi (materi)
otonomi adalah pengertian dan isi negara kesatuan. Negara kesatuan
merupakan landas batas dari pengertian dan isi otonomi.”
Pendapat serupa disampaikan oleh Sarundajang, bahwa daerah tidak dapat
menjalankan hak dan wewenang otonominya di luar batas-batas wilayah
daerahnya. Artinya, daerah tidak dapat mencampuri hak mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang
diserahkan kepadanya. Sehingga hak mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah lain.54 Ditinjau dari mekanisme pemberian otonomi daerah pada konsep
negara kesatuan, otonomi diberikan oleh pemerintah pusat sedangkan pemerintah
daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Konstelasi ini
52
Sarundajang, 2002, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hlm. 33.
53
Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNISKA, Karawang, hlm.
54
Sarundajang, Op. Cit.
2.
39
mengarahkan pada kecenderungan kewenangan yang besar berada di pusat
sehingga otonomi daerah sangat bergantung dari political will pemerintah pusat.
Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Juanda menjabarkan
bahwa:55
“Tata cara pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah,
yang disebut dengan sistem rumah tangga, terbagi menjadi 5 jenis yaitu:
1. Sistem Rumah Tangga Formal
Dalam sistem ini, apa yang menjadi urusan otonomi tidak dibatasi
secara rinci. Artinya, daerah otonom diberikan kebebasan untuk
mengatur urusan rumah tangganya sepanjang tidak memasuki urusan
yang menjadi kewenangan pusat.
2. Sistem Rumah Tangga Material
Kewenangan daerah otonom dibatasi secara rinci dan tegas. Urusan
pemerintahan yang termasuk ke dalam urusan rumah tangga daerah
dianggap berbeda secara material dengan urusan yang masuk
kewenangan pusat.
3. Sistem Rumah Tangga Nyata atau Riil
Sistem ini merupakan gabungan dari sistem rumah tangga formal dan
material, di mana pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang secara nyata dapat
ditangani sendiri. Penyerahan kewenangan ini didasarkan kepada
kebutuhan, keadaan, dan kemampuan daerah.
4. Sistem Rumah Tangga Organik
Dalam sistem ini, urusan-urusan yang menyangkut kepentingan
daerah diibaratkan sebagai organ-organ kehidupan, yang menentukan
hidup dan matinya daerah otonom.
5. Sistem Rumah Tangga Nyata, Bertanggung jawab, dan Dinamis
Sistem ini menghendaki penyerahan kewenangan mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan kepada daerah dilakukan sesuai
dengan apa yang secara nyata dapat diselenggarakan oleh daerah
otonom; sejalan dengan tujuannya yaitu melancarkan pembangunan
hingga ke pelosok daerah; dan senantiasa menjadi sarana untuk
memberikan dorongan lebih baik dan maju bagi daerah otonom.”
Desentralisasi dan otonomi daerah dalam praktiknya sering ditukarpakaikan.
Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Makna desentralisasi
55
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah:Pasang Surut Hubungan Kewenangan
Antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung, hlm. 129.
40
bersentuhan dengan ‘proses’, dalam arti pembentukan daerah otonom dan
disertai/diikuti penyerahan kewenangan (urusan pemerintahan) dan untuk itu
harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan
otonomi bersentuhan dengan isi, akibat dan hasil dari proses pembentukan daerah
otonom, di mana pembentukan daerah otonomi berarti pembentukan organisasi
penyelenggara otonomi atau pemerintahan daerah. Dilihat dari sisi pemerintah
pusat, yang berlangsung adalah penyelenggaraan desentralisasi dalam organisasi
negara Indonesia, sedangkan dilihat dari masyarakat, yang terjadi adalah otonomi
daerah.
Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, ‘de’ yang
berarti lepas dan ‘centrum’ yang berarti pusat. Oleh karena itu, desentralisasi
berarti melepaskan dari pusat. Dalam Encyclopedia of the Social Science disebut
bahwa “the proces of decentralization denotes the transference of authority,
legislative, judicial or administrative, from higher level of government to a
lower.”56 Dari segi bentuk, desentralisasi mencakup otonomi dan tugas
pembantuan (medebewind).
Philip Mawhod mengartikan desentralisasi adalah pembagian dari
sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap
kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah
tertentu di suatu negara. Sementara itu,
Irawan Soejito mendefinisikan
desentralisasi sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan untuk dilaksanakan.
Dari aspek politik, sebagaimana disampaikan oleh Bhenyamin Hoessein, Parson
56
Victor M. Situmorang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 38.
41
mendefinisikan desentralisasi sebagai “sharing of the governmental power by a
central ruling group with other groups, each having authority a specefic area of
the state”. Sedangkan Koswara menyatakan bahwa melalui proses desentralisasi,
urusan-urusan
pemerintahan
yang
semula
termasuk
wewenang
dan
tanggungjawab pemerintah pusat sebagian diserahkan kepada badan/lembaga
pemerintah daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut
beralih kepada dan menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah.57
Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang selalu
dipertentangkan dengan sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintahan
lokal (local government), di mana terjadi “... a ‘superior’ government assigns
responsibility, authority, or function to ‘lower’ government unit thas is assumed
to have some degree of authority”.58 Sedangkan sentralisasi menghasilkan
pemerintahan terpusat, di mana seluruh urusan pemerintahan menjadi kewenangan
pusat. Dari beberapa pengertian desentralisasi tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan (wewenang, hak, kewajiban
dan tanggungjawab) sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah ke daerah
sehingga daerah itu dapat melakukan pengambilan keputusan, perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan dalam masalah-masalah pengelolaan pembangunan.
Desentralisasi menjadi solusi kelembagaan atas sistem-sistem yang secara
politik atau ekonomi tidak dapat berfungsi dengan baik karena otoritas politik
yang terlalu terpusat. B.C. Smith menyatakan bahwa kebutuhan desentralisasi
merupakan hal yang universal, “the need for some of decentralization appears to
57
Juanda, Op. Cit., hlm. 116.
58
Ibid., hlm. 123.
42
universal. Even the smallest states have some kind of local government with some
degree of autonomy”, sedangkan Hubert J.B. Allen menyatakan bahwa
desentralisasi dapat menjadi alat yang efektif dalam meningkatkan pembangunan
sosial dan ekonomi. Desentralisasi juga dapat meningkatkan solidaritas nasional,
bukannya menghasilkan gerakan disintegratif atau separatif. Desentralisasi dalam
sistem administrasi negara memiliki tujuan, diantaranya adalah untuk mengurangi
beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil bidang
pemerintahan di tingkat lokal; meningkatkan dukungan masyarakat dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan lokal; melatih masyarakat untuk dapat
mengatur rumah tangganya sendiri; serta mempercepat bidang pelayanan umum
pemerintahan kepada masyarakat.59
Desain desentralisasi terbagi atas desentralisasi simetris dan desentralisasi
asimetris. Model desentralisasi simetris/biasa ditandai kesesuaian (conformity)
dan keumuman (commonality) dalam hubungan daerah dengan sistem politik
nasional, pemerintah pusat maupun antardaerah. Model desentralisasi asimetris
dengan ciri sebaliknya, artinya suatu daerah khusus/istimewa memiliki pola
hubungan berbeda dan tak lazim terjadi di daerah-daerah lain, utamanya hal ihwal
relasi dengan pusat, relasi dengan daerah sekitar, dan pengaturan internal daerah
itu sendiri. Pada konsep desentralisasi secara umum, kehadiran desentralisasi
asimetris didasarkan atas pertimbangan bahwa suatu negara semestinya memiliki
kerangka administrasi yang mampu mengelola segala keragaman lokalnya, baik
yang tercermin pada variasi latar sosial-budaya, potensi ekonomi, kebutuhan
59
Ibid.
43
administrasi hingga yang terekspresikan dalam tuntutan politik tertentu. Meskipun
sebagian pakar berpendapat bahwa otonomi itu sendiri sudah mengandung makna
kekhususan, tetapi tingginya tingkat keragaman kondisi lokal tetap memerlukan
format pengaturan desentralisasi yang tidak berlandasakan desain kebijakan
tunggal (one size fits all).60 Selain itu, desain desentralisasi asimetris ini dapat
pula dilatarbelakangi karena beberapa alasan tertentu, misalnya adanya konflik
yang mengancam integrasi bangsa serta adanya alasan sejarah.
Dalam konsep desentralisasi asimetris, kewenangan dinilai sebagai muatan
esensial dalam bangunan kekhususan/keistimewan suatu daerah khusus/istimewa.
Sebagaimana ditulis Adeney bahwa ”there are many different definitions of what
asymmetry is but points out that it has been used in recent years to refer to the
asymmetrical distribution of powers”. Dari segi hubungan kewenangan maka
kewenangan khusus/istimewa yang dimiliki oleh daerah pada gilirannya akan
mempengaruhi pola khusus dalam hubungan suatu daerah khusus/istimewa
dengan daerah-daerah lainnya maupun dengan pemerintah pusat.61
Menurut Lay, ciri sekaligus implikasi penting dari berlakunya desentralisasi
asimetris adalah perluasan kewenangan daerah berkenaan sejumlah isu tertentu
yang pada gilirannya mengubah secara fundamental hubungan kewenangan antar
unit politik/pemerintahan maupun pola pengawasan pusat atas daerah tersebut.
60
Robertus Na Endi Jaweng, 2012, Analisis Kewenangan Khusus Jakarta Sebagai Ibukota
Negara Dalam Konteks Desentralisasi di Indonesia, Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, hlm. 19.
61
Ibid., hlm. 31.
44
Berkaitan dengan hal tersebut, Andy Ramses menekankan keberadaan
kewenangan khusus ini dalam substansi kekhususan suatu daerah:62
”Kewenangan khusus merupakan bagian yang harus ada dalam otonomi
khusus. Otonomi khusus lahir karena alasan-alasan khusus, dan
kewenangan khusus merupakan representasi alasan-alsan khusus lahirnya
pemerintahan khusus. Dengan kata lain, otonomi khusus harus diikuti
kewenangan khusus. Kewenangan khusus itu dapat menjadi dasar
pembentukan kelembagaan dan tata pemerintahan yang juga bersifat
khusus”.
Dengan demikian, kewenangan khusus dalam desentralisasi asimetris patut
dipertimbangkan
sebagai
dasar
bagi
penyusunan
basis
dan
substansi
kekhususan/keistimewaan suatu daerah otonom. Sementara terkait pembentukan
elemen-elemen lain penyelenggaraan pemerintahan, kewenangan khusus juga
berkedudukan
sebagai
dasar
bagi
desain
kelembagaan
(bentuk-susunan
pemerintahan), arsitektur keuangan/pembiayaan (dana khusus) dengan mengikuti
asas money follows function, serta relasi daerah asimetris tersebut dengan unitunit pemerintahan lain (secara horizontal dengan daerah-daerah sekitarnya
maupun relasi vertikal dengan pemerintah pusat).63
D.
Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Van Apeldoorn menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-
undangan adalah pembentukan arah kehidupan masyarakat untuk mengatur dan
menata segala hubungan masyarakat. Dengan demikian, diperlukan pengetahuan
62
Andy Ramses Marpaung, 2009, Pemerintahan Daerah di Indonesia, MIPI, Jakarta, hlm.
63
Robertus Na Endi Jaweng, Op. Cit., hlm. 32.
98.
45
hubungan-hubungan itu dan harus ditunjang berbagai ilmu sosial seperti ekonomi,
perbandingan hukum, psikologi sosial, dan sejarah agar dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan dapat melahirkan peraturan yang sebaik-baiknya.64
Peraturan perundang-undangan dikatakan baik (good legislation), sah menurut
hukum (legal validity), dan berlaku efektif jika peraturan perundang-undangan
tersebut diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang lama.
Hal ini dapat dicapai apabila peraturan perundang-undangan yang dibentuk
didasarkan pada landasan-landasan tertentu, seperti yang dikemukakan oleh M.
Solly Lubis:65
“...tiga landasan pembentukan perundang-undangan, yaitu:
1. Landasan filosofis: dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang
menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan
(pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan negara.
Misalnya: Pancasila menjadi dasar filsafat pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
2. Landasan yuridis: ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum
(rechtsground) bagi pembuatan suatu peraturan perundang-undangan.
Landasan yuridis dibagi menjadi dua yaitu:
a. Landasan yuridis dari segi formil, yang memberikan kewenangan
(bevoegheid) bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan
tertentu. Misalnya: Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945
menjadi dasar bagi pembentukan Peraturan Daerah.
b. Landasan yuridis dari segi materiil, yang dari segi isi (materi)
menjadi dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu. Misalnya:
Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 menjadi landasan yuridis dari
segi materiil untuk membentuk Undang-Undang mengenai
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
3. Landasan politis: garis kebijakan politik yang menjadi dasar
selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan
pemerintahan negara.”
64
65
Van Apeldoorn, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 390.
M. Solly Lubis, 1998, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Mandar Maju,
Bandung, hlm. 7-8.
46
Menurut I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a:66
“Landasan yang harus dimiliki dalam pembentukan peraturan perundangundangan yaitu:
1. Landasan filosofis (filosofische grondslag, filosofische gelding), di
mana rumusan atau norma dalam peraturan perundang-undangan
harus memiliki pembenaran (rechtvaardiging) apabila dikaji secara
filosofis.
2. Landasan sosiologis (sosiologische grondslag, sociologische gelding),
di mana ketentuan dalam peraturan perundang-undangan harus sesuai
dengan keyakinan umum atau kesadaran masyarakat.
3. Landasan yuridis (juridische grondslag, juridische gelding), di mana
peraturan perundang-undangan tersebut lahir karena ada dasar
hukumnya (rechtgrond).
4. Landasan politis (politische grondslag, politisce gelding), di mana
peraturan perundang-undangan harus sejalan dengan garis politis yang
menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan pengarahan
ketatalaksanaan pemerintahan negara.
5. Landasan ekonomis (economische grondslad, economische gelding),
yang mana landasan ini bisa ada kalau materi muatan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan adalah yang berkaitan dengan
perekonomian.”
Sedangkan Bagir Manan menyatakan bahwa:67
“...suatu peraturan perundang-undangan yang baik setidaknya didasarkan
pada tiga hal, yakni:
1. Dasar Yuridis (juridishe gelding) yang menyangkut tiga aspek:
a. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundangundangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak, peraturan
perundang-undangan itu batal demi hukum (van rechtswegenietig).
Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara
hukum. Misalnya: undang-undang dalam arti formal (wet in
formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap
undang-undang yang tidak merupakan produk besama antara
Presiden dan DPR adalah batal demi hukum.
66
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundangundangan, PT. Alumni, Bandung, hlm. 78.
67
Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill. Co., Jakarta,
hlm. 13-18.
47
b. Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan
perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau sederajat. Ketidaksesuaian bentuk ini dapat menjadi
alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut.
Misalnya: kalau UUD NRI Tahun 1945 atau undang-undang
terdahulu menyatakan bahwa sesuatu diatur dengan undangundang, maka hanya dalam bentuk undang-undang hal itu diatur.
Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya Keputusan Presiden, maka
Keputusan Presiden tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).
c. Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut
tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi
hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Misalnya: Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah dengan
persetujuan DPRD. Kalau ada Peraturan Daerah tanpa
(mencantumkan) persetujuan DPRD maka batal demi hukum.
Dalam undang-undang tentang pengundangan (pengumuman)
bahwa setiap undang-undang harus diundangkan dalam Lembaran
Negara sebagai satu-satunya cara untuk mempunyai kekuatan
mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan, maka undangundang tersebut belum mengikat.
d. Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang
tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan undangundang dasar. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan
perndang-undangan tingkat lebih bawah.
2. Dasar
Sosiologis (sociologische
gelding)
yakni
mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu
masyarakat industri, hukumnya harus sesuai dengan kenyataankenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu
dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang
dihadapi seperti masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan
lain sebagainya.
3. Dasar Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai ciata
hukum (rechtsidee) yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum
misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan, dan
sebagainya. Rechtidee tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka
mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan
individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang
kedudukan wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya. Semuanya
ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti
atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai
tersebut baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun
sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilainilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat, sehingga setiap
pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat
48
menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau peraturan
perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut telah
terangkum secara sistematik dalam satu rangkuman baik berupa teoriteori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti
Pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau
peraturan perundang-undangan sudah semestinya memperhatikan
sungguh-sungguh rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila.”
Selain harus memiliki landasan yang kuat, pembentukan peraturan
perundang-undangan juga harus memperhatikan asas-asas yang menjadi pedoman
atau rambu-rambu sehingga dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan
yang baik.68 Paul Scholten melihat pentingnya asas-asas hukum dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah untuk dapat melihat benang
merah dari sistem hukum positif yang ditelusuri dan diteliti:69
“...meskipun secara teori, asas-asas hukum bukanlah aturan hukum
(rechtsregel) namun asas hukum memiliki fungsi yang penting, yaitu:
1. Sebagai patokan dalam pembentukan dan/atau pengujian norma
hukum;
2. Untuk memudahkan kedekatan pemahaman terhadap hukum; dan
3. Sebagai cermin dari peradaban masyarakat atau bangsa tertentu dalam
memandang perilaku.”
Van der Vlies menjelaskan bahwa:70
“Asas hukum dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
terbagi menjadi dua yaitu:
1. Asas formal, meliputi:
a. Asas tujuan yang jelas (het beginsel van duidelijke doelstelling)
b. Asas organ atau lembaga yang tepat (het beginsel van het juiste
orgaan)
68
Maria Farida Indrati S, 1998, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 252.
69
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op. Cit., hlm. 83.
70
Ibid.
49
c. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijke beginsel)
d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid)
e. Asas konsensus (het beginsel van consensus)
2. Asas materiil, meliputi:
a. Asas terminologi dan sistematika yang jelas (het beginsel van
duielijke en duidelijke systematiek)
b. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid)
c. Asas
perlakuan
yang
sama
dalam
hukum
(het
rechtsgelijkerheidsbeginsel)
d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel)
e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het
beginsel van de individuele rechtsbedeling).”
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memaparkan enam asas perundangundangan, yaitu:71
“1) Undang-Undang tidak berlaku surut; 2) Undang-Undang yang
dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi pula (lex superiori derogat lex imperiori); 3) UndangUndang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang
bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis); 4) Undang-Undang
yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang berlaku
terdahulu (lex posteriori derogat lex priori); 5) Undang-Undang tidak
dapat diganggu gugat; 6) Undang-Undang sebagai sarana untuk
semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan
materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau
pelestarian (asas welvaarstaat).”
71
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 7-12.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.72
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach)
dan pendekatan kasus (case approach). Berbeda dengan penelitian sosial,
pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah yang dilakukan dalam praktik
hukum.73
B.
Bentuk Data
Bentuk Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data Pustaka terdiri dari :
a.
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang menjadi sumber utama
dan mempunyai kekuatan mengikat74. Dalam penelitian ini yang menjadi
bahan hukum primer antara lain:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
72
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13-14.
73
Maria S.W. Sumardjono, 2011, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian Ilmu Hukum,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 23.
74
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 52.
50
51
2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Jogjakarta sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta;
3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta.
b.
Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini berupa literatur
di bidang hukum,75 antara lain:
1) Buku-buku yang membahas tentang desentralisasi dan otonomi
daerah, pemerintahan daerah, serta hubungan antara pusat dan daerah,
misalnya buku yang berjudul “Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di
Negara Republik Indonesia” yang disusun oleh The Liang Gie dan
buku “Daerah Istimewa Yogyakarta: Dalam Perdebatan Konstitusi
75
Ibid.
52
dan Perundang-undangan di Indonesia” yang disusun oleh Ni’matul
Huda.
2) Makalah, jurnal-jurnal ilmiah dan artikel yang berkaitan dengan objek
penelitian, misalnya makalah yang berjudul “Mempertimbangkan
Perubahan ke Arah Bentuk Negara Persatuan Republik Indonesia”
yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie pada Simposium Hukum
2000 ILUNI-FH, “Masalah Keadilan Sosial dan Disintegrasi Bangsa,”
Reog Room, Hotel Indonesia, 4 Maret 2000.
c.
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder.76 Bahan hukum tersier yang digunakan antara lain:
1) Kamus Hukum, yaitu Black’s Law Dictionary;
2) Kamus Besar Bahasa
Indonesia,
yang disusun oleh Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan diterbitkan oleh Balai
Pustaka.
2. Data Lapangan
Menurut Maria S.W. Sumardjono, data lapangan (data primer) adalah data
yang diperoleh dari sumbernya. Data lapangan diperoleh dari penelitian lapangan.
Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan secara langsung di lokasi
penelitian guna memperoleh data yang diperlukan serta berkaitan dengan masalah
yang akan diteliti.77 Untuk data lapangan yang digunakan dalam penelitian ini
76
Ibid.
77
Maria S.W. Soemardjono, Op.Cit., hlm. 26.
53
adalah informasi dari narasumber yang membuat suatu kebijakan atau terlibat
dalam pembuatan suatu kebijakan. Adapun yang menjadi narasumber dalam
penelitian ini adalah:
a) Bapak Sumadi, S.H., M.H., selaku mantan Kepala Biro Hukum yang pada saat
itu terlibat dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah DIY tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum;
b) Bapak Haris Suhartono, S.H., selaku Kepala Subbagian Peraturan Daerah Biro
Hukum Setda DIY;
c) Bapak Riyanta, A.Md., selaku staf pada Subbagian Legislasi Sekretariat DPRD
DIY.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah lokasi tempat dilakukan penelitian yang dilakukan
secara langsung guna memperoleh data yang diperlukan serta berkaitan dengan
masalah yang diteliti:
a. Untuk memperoleh data pustaka, penelitian ini dilakukan di:
1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada;
2) Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada; dan
3) Perpustakan Biro Hukum Setda DIY.
b. Untuk memperoleh data lapangan, penelitian ini dilakukan di Biro Hukum
Setda DIY dan Sekretariat DPRD DIY.
54
C.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data78
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Studi Dokumen
Untuk pengumpulan data pustaka dilakukan dengan cara inventarisasi yaitu
mengumpulkan data hasil penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian
dilakukan dengan cara mempelajari berbagai buku, dokumen, artikel dan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian.
2. Komunikasi Langsung
Walaupun penelitian ini bersifat normatif, penelitian ini juga menggunakan
teknik pengumpulan data yang lain yaitu komunikasi langsung. Alat pengumpul
data yang digunakan adalah sistem wawancara tak terstruktur (non direct
interview), yaitu suatu teknik wawancara yang tidak didasarkan pada daftar
pertanyaan yang sudah disusun lebih dahulu secara rinci,79 tetapi berupa pedoman
yang hanya memuat garis besar wawancara dibantu dengan alat tulis dan media
rekam.
D.
Analisis Data
Data dari studi dokumen terhadap bahan-bahan primer, sekunder dan
tersier yang didukung data primer dari hasil wawancara, dianalisis dengan metode
kualitatif yang bersifat deskriptif yakni80:
78
Ibid., hlm. 28.
79
Soemitro, 1999, Metode Penelitian Hukum dan Jumimetri, Balai Aksara, Yogyakarta,
hlm. 96.
80
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op.Cit., hlm 251.
55
1. Metode analisis kualitatif
Metode yang menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian yang
bersifat uraian-uraian teori dan pandangan ataupun argumentasi hukum dari
orang-orang yang berkompeten untuk memperoleh kesimpulan yang sistematis
dan komprehensif sesuai dengan permasalahan yang diangkat peneliti.
2. Deskriptif
Menganalisis data yang diperoleh kemudian dielaborasi secara komprehensif
dan dianalisis secara cermat, sistematis dengan tetap memperhatikan otentifikasi
data dan signifikasi korelasi dengan permasalahan yang dikaji. Berdasarkan
analisis tersebut diharapkan memperoleh gambaran menyeluruh mengenai asasasas hukum, prinsip-prinsip hukum dan ketentuan hukum yang berhubungan
dengan konsep desentralisasi asimetris yang diterapkan di DIY.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Pengaturan Mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Satuan
Pemerintahan Daerah yang Bersifat Istimewa
Berbicara mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta tentu tidak bisa
dilepaskan dari sejarah pembentukannya, proses bergabungnya dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, hingga pola pengaturannya. Berikut akan dibahas
pengaturan mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dimulai sejak masa
penjajahan Hindia Belanda hingga masa sekarang.
1.
Penjajahan Hindia Belanda
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman adalah dua kerajaan
yang telah memerintah di Yogyakarta jauh sebelum Indonesia merdeka.
Kasultanan Yogyakarta lahir akibat adanya Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari
1755, di mana Kerajaan Mataram saat itu dibagi menjadi dua (palihan nagari).
Sebagian kerajaan ini tetap dikuasai oleh Sunan Paku Buwono III yang bertahta di
Surakarta, dan sebagian lagi diperintah oleh Mangkubumi yang menjadi raja baru.
Kerajaan yang baru itu kemudian diberi nama Kasultanan Yogyakarta dan
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja pertama yang bergelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I.81 Sedangkan Kadipaten Paku Alaman atau Negeri
Pakualaman atau Praja Pakualaman didirikan pada tanggal 17 Maret 1813, ketika
81
Djoko Marihandono, “Sultan Hamengku Buwono II: Pembela Tradisi dan Kekuasaan
Jawa”, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 12, Juli 2008, halm. 28.
57
Pangeran Notokusumo (putra dari Sultan Hamengku Buwono I dengan Selir
Srenggorowati) dinobatkan oleh Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles (Gubernur
Jenderal Britania Raya yang memerintah saat itu) sebagai Kangjeng Gusti
Pangeran Adipati Paku Alam I (Sri Paku Alam I).82
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman di zaman penjajahan
Belanda merupakan kerajaan yang “berpemerintahan sendiri”, yang dikenal
dengan sebutan de vorstenlanden (di samping Kasunanan Surakarta dan
Kadipaten Mangkunegaran). Kedudukan dan wewenang kerajaan-kerajaan
tersebut tidak diatur dengan undang-undang melainkan ditentukan dengan kontrak
politik yang diperbarui setiap kali terjadi pergantian raja. Pada intinya, isi dari
kontrak politik itu adalah Belanda mengakui berdirinya kerajaan-kerajaan itu
beserta haknya berpemerintahan sendiri, yang disebut dengan zelfbesturende
landschappen.83
Kontrak politik antara Kasultanan Yogyakarta dengan Pemerintah Belanda,
serta antara Kadipaten Paku Alaman dengan Pemerintah Belanda setidaknya telah
dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada tahun 1877, 1921, dan 1940. Kontrak
politik terakhir Kasultanan Yogyakarta tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor
47,
sedangkan
kontrak
politik
Kadipaten
Pakualaman
terakhir
diatur
82
Abdurrachman Surjomiharjo, 2008, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe (Sejarah Sosial
1880-1930), Komunitas Bambu, Jakarta, hlm. 19.
83
Ni’matul Huda, 2014, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI: Kajian terhadap Daerah
Istimewa, Daerah Khusus, dan Otonomi Khusus, Nusa Media, Bandung, hlm. 117. Lihat juga
dalam The Liang Gie, 1993, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia,
Jilid I, Liberty, Yogyakarta, hlm. 63, dan dalam Soedarisman Poerwokoesoemo, 1984, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, hlm. 25.
58
dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577.84 Pasal 1 Staatsblaas 1941 Nomor 47
menyebutkan bahwa Kasultanan merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda
sehingga berada di bawah kedaulatan Baginda Ratu Belanda yang diwakili oleh
Gubernur Jenderal, dan kekuasaan atas Kasultanan Yogyakarta diselenggarakan
oleh seorang Sultan yang diangkat oleh Gubernur Jenderal. Kasultanan juga
memiliki hak untuk memerintah sendiri85yang tunduk pada pembatasanpembatasan yang diatur dalam kontrak politik. Sultan secara langsung dan pribadi
akan turut serta dalam menjalankan pemerintahan atas Kasultanan86 dan untuk itu
akan secara teratur melakukan perundingan-perundingan dengan Gubernur
Yogyakarta. Dalam menjalankan kekuasaanya atas Kasultanan maka Sultan
dibantu oleh seorang Pepatih Dalem yang, setelah mendengar pertimbanganpertimbangan Sultan, diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Pejabat
tinggi ini dalam melaksanakan tugas-tugasnya bertanggung jawab, baik kepada
Pemerintah Hindia Belanda maupun kepada Kasultanan.87
84
Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta,
diakses
dari
http://portal.jogjaprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=48:sejarah&catid=
38:profil-pemerintah&Itemid=210, pada tanggal 23 Oktober 2014.
85
Hak untuk memerintah sendiri tidak meliputi hal-hal yang pada saat itu berdasarkan
kontrak politik, kebiasaan ataupun ketentuan pemerintahan tertinggi, diatur oleh Negara --- kecuali
jika dalam kontrak politik menyatakan sebaliknya --- dan tidak pula meliputi apa yang disebutkan
pada lampiran Staatsblaad Tahun 1941 Nomor 47 (antara lain bidang pertahanan negeri, urusan
keuangan, pengawasan atas media cetak, lalu lintas di darat, laut, dan udara). Lihat Pasal 21
Kontrak Politik tanggal 18 Maret 1940, yang tertuang dalam Staatsblaad Tahun 1941 Nomor 47.
86
Termasuk di dalamnya adalah Sultan menetapkan peraturan-peraturan yang dianggapnya
perlu demi kepentingan Kasultanan, sejauh dalam pelaksanaannya itu diperlukan kerja sama dari
pihak Sultan. Pengaturan mengenai sesuatu hal berdasarkan wewenang yang ada padanya (Sultan)
atau yang diberikan kepadanya, maka terhadap peraturan yang telah ada karena atau berdasarkan
peraturan umum ataupun peraturan atau ketentuan kepolisian mengenai hal yang sama menjadi
batal. Lihat Pasal 24, Ibid.
87
Pasal 13 jo. Pasal 18, Ibid.
59
2.
Penjajahan Jepang
Pada tanggal 1 Agustus 1942, Sultan Hamengku Buwono IX dilantik untuk
kedua kalinya menjadi Sultan Yogyakarta, kali ini oleh Panglima Besar Tentara
Pendudukan Jepang dan dilakukan di Jakarta. Sultan menerima wewenang
Kasultanan dari bala tentara Dai Nippon untuk mengurus pemerintahan
Kasultanan yang saat itu dinamakan Kochi (Daerah Istimewa).88 Ini terbukti
dengan adanya Surat Perintah dari Panglima Besar Tentara yang dikeluarkan pada
tanggal 1 Agustus 1942 yang berisi antara lain sebagai berikut:89
“a. Dai Nippon Gun Seireikan (Panglima Besar Balatentara Dai Nippon)
mengangkat Hamengku Buwono IX menjadi “Ko” (Sultan)
Yogyakarta;
b. Ko turut di bawah Dai Nippon Gun Seireikan serta hak mengurus
pemerintahan “Kochi” menurut Pemerintah Dai Nippon Gun Seireikan;
c. Daerah Kochi adalah Daerah Kasultanan Yogyakarta dahulu;
d. Segala hak-hak istimewa yang dahulu dipegang oleh Ko pada asasnya
diperkenankan seperti sediakala;
e. Terhadap Dai Nippon Gun Seireikan, Ko wajib mengurus segala
pemerintahan Kochi agar memajukan kemakmuran penduduk Kochi
umumnya;
f. Badan-badan pemerintahan Kochi yang dahulu, buat sementara waktu
harus meneruskan pekerjaanya seperti sediakala, kecuali kalau
menerima perintah yang ditetapkan teristimewa;
g. Untuk mengawasi dan memimpin pemerintahan Kochi diadakan
“Kontizimukyoku” (Kantor Urusan Kasultanan) di Kochi oleh Dai
Nippon Gun Seireikan. Kontizimukyoku Tyokan (Pembesar Kantor
Urusan Kasultanan) diangkat oleh Dai Nippon Gun Seireikan;
h. Selain daripada itu, aturan-aturan untuk mengurus pemerintahan Kochi
ditunjukkan oleh Gunseikan (Pembesar Pemerintahan Balatentara Dai
Nippon) atas nama Dai Nippon Gun Seireikan.”
88
Mohammad Roem, dkk., 2011, Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan
Hamengku Buwono IX, PT. Gramedia, Cetakan Ketiga, Jakarta, hlm. 55.
89
Ni’matul Huda, 2013, Daerah Istimewa Yogyakarta: Dalam Perdebatan Konstitusi dan
Perundang-undangan di Indonesia, Nusa Media, Bandung, hlm. 138-139, sebagaimana mengutip
dari Soedarisman Poerwokoesoemo, Op. Cit., hlm. 5-7.
60
Beberapa petunjuk dasar untuk pengurusan Kochi itu diberikan oleh kepala
pemerintahan yang disebut Gunseikan (kepala pemerintah militer yang dijabat
oleh kepala staf tentara).90 Di dalam petunjuk itu antara lain menyebutkan bahwa
Ko diangkat atau dipecat oleh Dai Nippon Gun Seireikan. Somutyookan atau
Pepatih Dalem diangkat oleh Gun Seireikan dari antara pegawai Ko dan fungsinya
membantu Ko. Berbeda dengan Kontrak Politik pada zaman Hindia Belanda,
petunjuk itu tidak mengatur pertanggungjawaban Pepatih Dalem yang bersifat
ambivalen. Petunjuk itu hanya menegaskan Somutyookan diadakan untuk
membantu Sultan dalam menjalankan perintahnya, dia harus bekerja sama dengan
Kooti Zimu Kyoku Tyookan atau Pembesar Kantor Urusan Kasultanan, pengawas
pemerintahan umum di Yogyakarta. Meskipun masih tetap di bawah pengawasan
Pemerintah Jepang, Sultan setidak-tidaknya dapat memusatkan kekuasaan di
tangannya dan Pepatih Dalem sungguh-sungguh menjadi pelaksana perintah
Sultan. Ini berarti Sultan memegang kekuasaan Pemerintahan Keraton dan
Pemerintahan Nagari dalam satu tangan.91
3.
Pemerintahan Negara Indonesia
a.
Masa UUD NRI Tahun 1945
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, Kasultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Paku Alaman pada dasarnya adalah daerah yang berpemerintahan
sendiri. Keduanya diakui keberadaannya, baik oleh penjajah Belanda maupun
Jepang. Saat Indonesia memproklamasikan dirinya menjadi sebuah negara yang
berdaulat, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman kemudian
90
Mohammad Roem, dkk., Loc. Cit.
91
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Loc. Cit.
61
menyatakan bergabung ke dalam Republik Indonesia melalui proses integrasi.
Berbeda dengan penguasa Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran
yang bimbang, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII justru
mendukung berdirinya Republik Indonesia dan bergabung dengan Republik
Indonesia. Pilihan politik ini memiliki akar panjang yang melekat pada sejarah
perjuangan rakyat Yogyakarta. Saat era pergolakan fisik menghadapi Belanda,
penggabungan wilayah Yogyakarta ke dalam NKRI ini menjadi simbol bahwa
Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII telah berdiri di belakang
Soekarno-Hatta.92
Merujuk pada pendapat sejarawan Australia Anthony Reid, hubungan antara
Kasultanan Yogyakarta dengan Republik Indonesia di tahun 1945 merupakan
hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Kerelaan
bergabungnya Yogyakarta dengan Republik Indonesia sangat menguntungkan
Yogyakarta karena kelangsungan kerajaan tersebut mendapat perlindungan dari
Negara RI (termasuk perlindungan dari ancaman revolusi sosial anti feodalisme
yang marak di masa revolusi). Di pihak lain, Negara RI yang belum mempunyai
wilayah yang jelas pada 17 Agustus 1945, diuntungkan oleh bergabungnya
92
Bergabungnya Yogyakarta menjadi bagian dari wilayah NKRI merupakan bukti dari
pernyataan yang disampaikan Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 20 Agustus 1945 dalam
kedudukannya sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta yang menyatakan
“sanggup berdiri di belakang pimpinan” mereka. Pernyataan ini diikuti oleh pernyataan dan cara
yang sama dari Paku Alam VIII. Sebelumnya, pada tanggal 18 Agustus 1945 kedua penguasa di
Yogyakarta tersebut juga mengucapkan selamat atas terbentuknya Negara Republik Indonesia.
Lihat Mohammad Roem, dkk., Op. Cit., hlm. 61.
62
Kasultanan Yogyakarta yang telah mempunyai wilayah, rakyat, dan pemerintahan
lokal yang masih hidup dan efektif bekerja.93
Sebagai bentuk penghargaan, Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia
mengeluarkan Piagam Kedudukan yang menetapkan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX pada kedudukannya sebagai Kepala Kasultanan Yogyakarta dan Sri
Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah Kadipaten Paku Alaman. Dengan piagam
termasuk kepada kedua beliau itu ditaruhkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga
untuk keselamatan daerahnya sebagai bagian dari Republik Indonesia.94
Pada tanggal 18 Agustus 1945, dibentuklah UUD NRI Tahun 1945 sebagai
konstitusi Indonesia yang memuat aturan-aturan dasar dalam pemerintahan.
Ketentuan mengenai pemerintahan daerah tertuang dalam Pasal 18 yang
menyatakan bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang,
dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa.” Dalam penjelasan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 diterangkan bahwa:
“I.Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia
tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat
staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan
daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di
daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale
rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undangundang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan
93
Anthony J.S. Reid, 1996, Revolusi Nasional Indonesia, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta,
hlm. 111-112.
94
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 140.
63
perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan
bersendi atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di
Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang
dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerahdaerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”
Aturan Peralihan Pasal II memuat ketentuan bahwa badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru.
Berkaitan dengan ini semua maka pada masa ini peraturan tentang swapraja tetap
berlaku sehingga Yogyakarta pun tetap diakui sebagai daerah swapraja. Hal yang
sama juga tertuang dalam Amanat Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kandjeng Sultan
dan Amanat Sri Paduka Kandjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam, yang
dikeluarkan pada tanggal 5 September 1945, yang masing-masing amanat tersebut
pada intinya menyatakan bahwa: 1) Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dan Negeri
Paku Alaman adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia; 2) segala
kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman
berada di tangan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII; serta 3)
perhubungan antara dua Negeri tersebut dengan Pemerintah Pusat Republik
Indonesia bersifat langsung dan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam
VIII bertanggung jawab atas Ngajogjakarta Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman
64
langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Amanat ini rupanya mendapat
perhatian lebih dari The Liang Gie:95
“Berhubung dengan kesibukannya yang luar biasa, Pemerintah Republik
Indonesia belum sempat mengatur kedudukan Kesultanan Yogyakarta
dan Pakualaman sebagai daerah istimewa yang dimaksud dalam UUD.
Hal-hal yang seharusnya diatur Pusat itu, bahkan kemudian diatur sendiri
oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam bersama-sama KND (Komite
Nasional Daerah) Yogyakarta.
Mula-mula kedua Kepala Daerah itu menyatakan daerahnya sebagai
daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia dan beliau bertanggung
jawab langsung kepada Presiden. Kemudian, kedua beliau itu bersamasama mengeluarkan sebuah amanat yang menyatakan Badan Pekerja
KND (Komite Nasional Daerah) sebagai badan legislatif yang berlaku
untuk seluruh Daerah Yogyakarta”
Meskipun tidak mengatur mengenai pemerintahan daerah, namun ketentuan
mengenai Yogyakarta sebagai salah satu daerah istimewa diatur pertama kalinya
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite
Nasional Daerah. Undang-Undang ini pada dasarnya dibuat sebagai peraturan
sementara waktu dalam rangka mempersiapkan Pemilihan Umum karena pada
masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, masih terlalu banyak kekosongan
pengaturan yang membutuhkan dasar hukum. Dalam keadaan tersebut, perlu
diadakan percepatan pembentukan peraturan hukum. Kecepatan pembentukan
suatu peraturan dianggap lebih penting daripada kesempurnaan peraturan. Dapat
dikatakan bahwa peraturan yang dibentuk hanya untuk mencegah terjadinya
kekacauan. Sehubungan dengan percepatan tersebut, maka peraturan yang
95
The Liang Gie, Op. Cit., hlm. 75.
65
ditetapkan sifatnya masih sementara. Selain itu, percepatan juga berdampak pada
kesulitan untuk membuat dan memberikan penjelasan secara sistematis.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 menyatakan bahwa “Komite
Nasional Daerah diadakan – ketjuali di Daerah Surakarta dan Jogjakarta- di
Keresidenan, di Kota berautonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah jang dianggap
perlu oleh Menteri Dalam Negeri.” Pengecualian terhadap Surakarta dan
Yogyakarta ini bisa dimaklumi karena keduanya merupakan wilayah kerajaan
yang baru saja bergabung dengan Indonesia. Oleh karena itu struktur
pemerintahan lokalnya diberi peluang menggunakan aturan yang berlainan.96
Dikecualikannya Surakarta dan Yogyakarta dalam pengaturan mengenai Komite
Nasional Daerah ini diuraikan dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1945:
“... tentang Jogjakarta dan Surakarta, dalam surat pengantar rantjangan
Undang-Undang tersebut diterangkan bahwa ketika merundingkan
rantjangan itu, B.P. Pusat tidak mempunjai gambaran jang djelas. Djika –
begitulah surat pengantar – sekiranja pemerintah menganggap perlu untuk
daerah tersebut diadakan aturan jang berlainan, Badan Pekerdja bersedia
menerima – untuk membicarakannja – rantjangan Undang-Undang jang
mengenai daerah itu.”
Pengaturan yang berbeda tersebut juga dilatarbelakangi karena sebelum
Undang-Undang ini dibentuk, Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam
bersama-sama semufakat dengan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Daerah (BPKNID)97 mengeluarkan Amanat Nomor 11 Tahun 1946 tertanggal 30
96
97
Ni’matul Huda, Desentralisasi Asimetris..., Op. Cit., hlm. 129.
Pada awal September 1945, untuk seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang
meliputi Kasultanan dan Paku Alaman terbentuklah sebuah Komite Nasional Daerah. Sejak saat
66
Oktober 1945. Melalui Amanat tersebut, Sultan menyerahkan kekuasaan membuat
undang-undang dan menetapkan haluan Kasultanan Yogyakarta kepada BPKNID,
wakil rakyat Yogyakarta, supaya jalannya pemerintahan sesuai dengan UUD NRI
Tahun 1945.98
Sejak terbentuknya Komite Nasional Daerah Yogyakarta pada awal
September 1945, tampaknya Sri Sultan dan Sri Paku Alam mulai menganggap
kedua kerajaannya sebagai satu Daerah Istimewa. Mulai 5 Oktober 1945, kedua
beliau itu bersama-sama menetapkan peraturan yang ditandatangani berdua dan
berlaku untuk seluruh Daerah Yogyakarta. Peraturan Daerah itu dinamakan
“Maklumat”.99
Sri Sultan dan Sri Paku Alam dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan
Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat Nomor 18 Tahun 1946 yang
mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif. Maklumat ini adalah realisasi dari
keputusan sidang KNID Yogyakarta pada 24 April 1946. Setelah menyetujui
rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan
Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang
pertama, DPR DIY mengesahkan rencana Maklumat Nomor 18 Tahun 1946 yang
sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNID Yogyakarta tersebut. Dalam
maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan,
itu kedua kepala daerah bersama-sama menyelenggarakan pemerintahan daerah dengan Komite
tersebut. Lihat Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 69 sebagaimana mengutip The
Liang Gie, Op. Cit., hlm. 66-67.
98
Ibid., hlm. 71, sebagaimana mengutip P.J. Suwarno, 1994, Hamengku Buwono IX dan
Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis, Kanisius,
Yogyakarta, hlm. 187.
99
The Liang Gie, Op. Cit., hlm. 67.
67
menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah
Daerah Istimewa.100
Pada tanggal 10 Juli 1948, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di
Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.
Meskipun lahir dalam kondisi negara yang tidak stabil, Undang-Undang ini justru
mengatur hampir seluruh segi desentralisasi, termasuk desentralisasi asimetris
seperti yang menyangkut daerah istimewa. Pengaturan mengenai pembagian
negara dalam daerah-daerah yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri terangkum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948:
(1) Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah:
Propinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan
sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
(2) Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak, asal-usul dan di zaman sebelum
Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa
dengan Undang-Undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat
ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan Propinsi,
Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
(3) Nama, batas-batas, tingkatan, hak dan kewajiban daerah-daerah tersebut
dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dalam Undang-undang pembentukan.
100
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Sejarah Keistimewaan Yogyakarta,
diakses dari http://www.bpkp.go.id/diy/konten/815/sejarah-keistimewaan-yogyakarta, pada
tanggal 28 Oktober 2014.
68
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, halhal yang masuk urusan rumah tangga daerah ditetapkan dalam Undang-Undang
pembentukan bagi tiap-tiap daerah. Ini berarti sistem rumah tangga yang dianut
adalah sistem rumah tangga material karena kewenangan daerah otonom dibatasi
secara rinci dan tegas. Artinya, setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang
diserahkan, di luar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. Hanya saja
sistem ini tidak dianut secara konsekuen karena adanya ketentuan dalam dalam
Pasal 28 ayat (4) yang berbunyi ”Peraturan Daerah tidak berlaku lagi jika hal–hal
yang diatur di dalamnya kemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam
Peraturan
Pemerintah
atau
dalam
Peraturan
Daerah
yang
lebih tinggi
tingkatannya”. Pasal ini merupakan ciri sistem rumah tangga formal. Oleh karena
itu Undang-Undang ini menganut dua sistem rumah tangga sekaligus yaitu formal
dan material. Hanya saja, sistem material dalam Undang-Undang ini lebih
menonjol.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948 telah dikenal konsep desentralisasi asimetris melalui apa
yang disebut sebagai daerah istimewa. Berdasarkan penjelasan Pasal 1 ayat (2),
yang dimaksud dengan "daerah-daerah yang mempunyai hak-hak usul-usul dan di
zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang
bersifat istimewa" ialah:
“... yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan
"Zelfbesturende landschappen". Karena daerah-daerah itu menjadi bagian
pula dari daerah Negara Republik Indonesia dan Undang-undang pokok
pemerintahan daerah mengatur pemerintahan daerah, maka daerah-daerah
istimewa itu diatur pula di dalam Undang-undang pokok tersebut, dan
69
cara pemerintahannyapun dalam daerah-daerah istimewa itu diatur sama
dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat.
Keistimewaan peraturan untuk daerah istimewa dalam Undang-undang
ini hanya mengenai Kepala daerah (lihat Pasal 18 ayat (5) dan (6) di mana
ditentukan bahwa kepala (wakil kepala) daerah istimewa diangkat oleh
Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan
syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat
adat istiadat di daerah itu.
Daerah-daerah tersebut dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa otonom.
Sesudah berlakunya Undang-undang pokok ini maka daerah-daerah
istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau menjadi
daerah istimewa otonom lain kemungkinan tidak ada.
Melihat penting atau kurang pentingnya kedudukan daerah-daerah
istimewa itu maka daerah-daerah itu dapat dibentuk dengan tingkatan
Propinsi, Kabupaten atau Desa. (lihat juga penjelasan umum sub 30)...”
Dasar pemerintahan di daerah istimewa pada dasarnya tidak jauh berbeda
pengaturannya dengan di daerah biasa; kekuasaan tertinggi berada di tangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah sebagai organ
dari pemerintahan daerah.101
Perbedaanya hanya terletak pada pengangkatan Kepala Daerah (dan Wakil
Kepala Daerah).102 Sedangkan mengenai tingkatan daerah istimewa adalah sama
dengan tingkatan daerah biasa. Untuk menentukan tingkatan Daerah Istimewa,
diselidiki lebih dulu keadaan daerah itu. Hasil penyelidikan itu akan menentukan
apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkatan Propinsi, Kabupaten, ataukah desa.
101
102
Lihat Penjelasan umum sub. 12 jo. sub. 29 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.
Pasal 18 ayat (5) jo. Ayat (6), Ibid., menyatakan bahwa Kepala Daerah Istimewa
diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum
Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan,
kejujuran dan kesetian dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu; Untuk daerah istimewa
dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat
tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Isimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah.
70
Jikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa itu masuk ke dalam
lingkungan Propinsi biasa.103 Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri yang telah berdiri menurut Undang-Undang Nomor 1
tertanggal 23 November 1945 dan lain-lain penetapan Pemerintah, berjalan terus
sehingga diadakan pembentukan Pemerintah baru untuk Daerah-daerah itu
menurut Undang-undang ini atau dihapuskan atau diubah.104
Pada kenyataannya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tidak dapat
diterapkan secara efektif karena sebagian besar daerah-daerah di Indonesia masih
diduduki oleh Belanda. Terlebih lagi dengan adanya Agresi Militer II dan pasca
hasil Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949, maka kemudian
Undang-Undang ini hanya berlaku untuk wilayah-wilayah dalam kerangka Negara
Bagian Republik Indonesia. Meskipun demikian, Yogyakarta sebagai bagian dari
wilayah Republik Indonesia tetap diakui keberadaannya sebagai daerah yang
mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa. Dan meskipun belum
ada Undang-Undang yang dengan jelas menetapkan tingkatan Daerah Istimewa
Yogyakarta maka sesuai dengan apa yang tersirat dalam Amanat Sri Paduka
Ingkeng Sinuwun Kandjeng Sultan dan Amanat Sri Paduka Kandjeng Gusti
Pangeran Adipati Ario Paku Alam, yang dikeluarkan pada tanggal 5 September
1945 dan Maklumat Nomor 18 Tahun 1946, perhubungan antara Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia bersifat langsung.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta sebenarnya
merupakan daerah Provinsi.
103
Lihat Penjelasan umum sub. 30, Ibid.
104
Lihat Pasal 46 ayat (1), Ibid.
71
b.
Masa Konstitusi RIS 1949
Jika pada masa sebelumnya istilah zelfbesturende landschappen digunakan
untuk “daerah yang berpemerintahan sendiri” maka pada masa Konstitusi
Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (Konstitusi RIS 1949) istilah yang
digunakan adalah “Daerah Swapraja”.105 Hal ini bermula dari adanya Persetujuan
Perpindahan antara Indonesia dan Belanda106, di mana Pasal 3 dari Persetujuan ini
berisi:107
1. Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland mengakui dan menerima
bahwa segala kekuasaan dan kewajiban Gubernur-Jenderal Indonesia
disebabkan kontrak-kontrak yang diadakan olehnya dengan Swapraja, oleh
karena penyerahan kedaulatan berpindah kepada Republik Indonesia Serikat,
ataupun, apabila beralaskan hukum tata negara Republik Indonesia Serikat,
berpindah kepada suatu negara bagian.
2. Oleh karena penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat maka
sekalian Swapraja dilepaskan karena hukum daripada sumpah setianya kepada
Sri Baginda Ratu Nederland.
3. Republik Indonesia Serikat mengakui kedudukan istimewa Swapraja menurut
ketentuan-ketentuan mengenai hal itu pada konstitusinya dan pada Konstitusi
daerah-bagian masing-masing yang menentukan bahwa pertikaian-pertikaian
105
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 17-18.
106
Persetujuan Perpindahan merupakan satu dari tiga persetujuan induk dalam dokumen
Persetujuan Pemulihan Kedaulatan, yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB)
yang diadakan dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan 2 November 1949 di Den Haag,
Belanda.
107
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Loc. Cit.
72
hukum tentang kedudukan Swapraja akan diputuskan oleh badan Republik
Indonesia Serikat yang bebas.
Istilah “Daerah Swapraja” dalam Persetujuan ini lalu diadopsi dalam
Konstitusi RIS 1949, dengan catatan bahwa Daerah Swapraja sepertinya tidak
sama dengan pengertian Daerah Istimewa karena dalam Pasal 2 hanya Kalimantan
Barat saja yang diberikan keterangan sebagai Daerah Istimewa (Kalimantan Barat
merupakan satu dari sembilan satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri yang
bukan negara). Pada dasarnya Daerah Swapraja yang sudah ada, tetap diakui
keberadaannya berdasarkan Konstitusi RIS 1949. Kedudukan Daerah Swapraja
diatur oleh masing-masing Negara Bagian RIS melalui kontrak, dengan ketentuan
bahwa Daerah Swapraja tersebut tidak dapat dihapus atau diperkecil tanpa
persetujuan Daerah Swapraja tersebut kecuali demi kepentingan umum. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 67:
“Mengatur kedudukan daerah2 Swapradja masuk dalam tugas dan
kekuasaan daerah2-bagian jang bersangkutan dengan pengertian, bahwa
mengatur itu dilakukan dengan kontrak jang diadakan antara daerahbagian dan daerah2 Swapradja bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu
kedudukan istimewa Swapradja akan diperhatikan dan bahwa tiada
suatupun dari daerah2 Swapradja jang sudah ada, dapat dihapuskan atau
diperketjil bertentangan dengan kehendaknja, ketjuali untuk kepentingan
umum dan sesudah undang-undang federal jang menjatakan, bahwa,
kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengetjilan itu, memberi
kuasa untuk itu kepada pemerintah daerah-bagian bersangkutan.”
Meskipun sudah ada ketentuan bahwa kedudukan Daerah Swapraja diatur
melalui kontrak, namun dalam praktik kenegaraan selama RIS berdiri tidak ada
suatu daerah bagian yang mengadakan kontrak dalam arti perjanjian tertulis
73
dengan Daerah Swapraja.108 Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, masih
mendasarkan pemerintahannya kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
karena RIS tidak pernah mengeluarkan Undang-Undang baru sebagai pengganti
dari Undang-Undang tersebut. Dan seperti yang telah diamanatkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1948, perlu diselidiki lebih dulu keadaan daerah itu
untuk menentukan tingkatan Daerah Istimewa, diselidiki lebih dulu keadaan
daerah itu. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu
masuk tingkatan Provinsi, Kabupaten, ataukah desa. Tingkatan Daerah Istimewa
Yogyakarta ini kemudian ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta, yaitu setingkat dengan
Provinsi.109 Sayangnya dalam Undang-Undang ini belum diuraikan mengenai
keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta, terutama
apa saja
urusan
keistimewaan yang dimiliki.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 selain mengukuhkan nama dan
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, menegaskan Daerah Istimewa Yogyakarta
setingkat dengan Provinsi, juga menetapkan organ-organ daerah dan urusan yang
diserahkan kepada Pemerintah DIY sesuai dengan Pasal 23 dan Pasal 24 UndangUndang Nomor 22 Tahun 1948. Melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950, untuk kemudian
108
109
Ibid., hlm. 21.
Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah Istimewa Jogjakarta. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang dibentuk oleh
Negara Bagian Republik Indonesia, bukan dibentuk oleh Republik Indonesia Serikat. Sehingga
kemudian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Jogjakarta dibuat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
ditetapkan oleh Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia saat itu yaitu Assaat, dan
diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3.
74
diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955, telah ditetapkan
15 urusan rumah tangga DIY, dari yang tadinya berjumlah 13 urusan.110
Meskipun DIY berintegrasi dengan Pemerintah Republik Indonesia tetapi
birokrasi pemerintahan Keraton tidak dihapuskan, namun sedikit demi sedikit
dipisahkan dari birokrasi pemerintahan daerah yang merupakan pengembangan
Bagian Kanayakan yang dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem. Pada dasarnya
pemerintahan itu dikepalai oleh Sultan, tetapi Sultan yang saat itu juga
berkedudukan sebagai Menteri, tidak selalu tinggal di Yogyakarta. Oleh karena itu
dalam pemerintahan sehari-hari pemerintahan daerah yang berpusat di Kepatihan
dipimpin oleh Sri Paku Alam VIII dan pemerintahan Keraton yang disebut
Parentah Hageng Keraton (PHK) dipimpin oleh Gusti Pangeran Hangabehi.
Adanya dualisme pemerintahan ini kemudian perlahan-lahan dipisahkan, yang
diawali dari tindakan Sultan melalui Sekretariat Daerah yang mengirimkan surat
kepada PHK pada tanggal 18 April 1951 yang antara lain berisi pernyataan bahwa
pada waktu sekarang (saat itu) Pemerintah DIY sudah tidak mempunyai tanggung
jawab kepada Keraton (Sultan sudah ditanggung oleh Kementerian Dalam
Negeri).111
Surat tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan yang lebih konkrit
dan jelas oleh Sultan, yaitu dengan dikirimkannya surat oleh Sekretaris Kepala
Daerah kepada PHK. Isi surat itu memberitahukan jika Sekretariat Kepala Daerah
Yogyakarta yang dipimpin oleh BPH Purboyo dihapuskan mulai tanggal 1 Januari
1952. Pekerjaan kantor yang berhubungan dengan Keraton akan dijalankan oleh
110
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 150.
111
Ibid., hlm. 151.
75
kantor baru yang disebut Tepas Dwarapura, sedangkan yang berhubungan dengan
pihak luar kantor itu disebut Kantor Penghubung Keraton Yogyakarta yang
disebut Dwarapura.112 Dengan demikian Keraton sudah berpisah dengan Nagari.
c.
Masa UUD Sementara 1950
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUD Sementara 1950)
merupakan Undang-Undang Dasar yang bersifat sementara, saat Indonesia
kembali berbentuk Negara Kesatuan. Ini tercermin dalam Pasal 134 UUD
Sementara 1950 yang berbunyi “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang
Dasar) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara ini.” Ini disebabkan karena Indonesia, yang saat itu merupakan
negara serikat, akan dikembalikan lagi statusnya menjadi sebuah negara kesatuan
berdasarkan kehendak rakyat.
Pada masa transisi tersebut, pembagian daerah Indonesia atas daerah besar
dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam
sistem pemerintahan negara. Daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk
mengurus rumah tangganya sendiri.113
112
113
Ibid., hlm. 151-152, sebagaimana mengutip P. J Suwarno, Op. Cit., hlm. 292-293.
Lihat Pasal 131 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor
7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Mendjadi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
76
Pengaturan mengenai Daerah Swapraja secara umum tidak berbeda dengan
apa yang telah diatur dalam Konstitusi RIS. Hanya saja, kedudukan Daerah
Swapraja tidak lagi diatur melalui kontrak, melainkan dengan Undang-Undang:114
“Kedudukan daerah-daerah Swapradja diatur dengan undang-undang
dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannja harus
diingat pula ketentuan dalam Pasal 131, dasar-dasar permusjawaratan dan
perwakilan dalam sistim pemerintahan negara.”
Daerah Swapraja juga tetap tidak dapat dihapuskan atau diperkecil tanpa
persetujuan daerah tersebut, kecuali untuk kepentingan umum. Akan tetapi UUD
Sementara 1950 menetapkan bahwa penghapusan atau pengecilan Daerah
Swapraja tersebut harus ditetapkan dengan Undang-Undang:115
“Daerah-daerah Swapradja yang ada tidak dapat dihapuskan atau
diperketjil bertentangan dengan kehendaknja, ketjuali untuk kepentingan
umum dan sesudah undang-undang jang menjatakan bahwa kepentingan
umum menuntut penghapusan dan pengetjilan itu, memberi kuasa untuk
itu kepada Pemerintah.”
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah yang lahir berdasarkan UUD Sementara 1950, mencabut Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai
Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus
Rumah Tangganya Sendiri. Berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya, dalam
Undang-Undang ini secara tegas menganut sistem rumah tangga nyata atau riil.
Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan
114
Lihat Pasal 132 ayat (1), Ibid.
115
Lihat Pasal 132 ayat (1), Ibid.
77
pemerintahan yang secara nyata dapat ditangani sendiri. Ini terlihat dalam
ketentuan Pasal 31 ayat (1) jo. ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.116
Istilah zelfbesturende landschappen maupun Daerah Swapraja tidak lagi
digunakan. Dalam Undang-Undang ini, daerah yang berhak mengurus rumah
tangganya sendiri disebut “Daerah Swatantra” dan “Daerah Istimewa”. Daerah
Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat saat itu, dapat
ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I, II, atau III atau Daerah
Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya
sendiri. Hal itu berarti bahwa daerah Swapraja menjadi Daerah yang diberi
otonomi menurut undang-undang dan pada asasnya telah memenuhi kehendak
Pasal 132 UUD Sementara 1950. Seperti yang dijabarkan dalam penjelasan Pasal
2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957:
“...Mengenai Daerah Istimewa, setiap kali suatu daerah Swapraja itu
dibentuk menjadi Daerah Istimewa, maka pada azasnya kita telah
memberikan status baru kepada daerah Swapraja tersebut, yang bentuk
susunan pemerintahannya menurut Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Sementara harus disesuaikan dengan dasar-dasar yang dimaksud
dalam Pasal 131 Undang-Undang Dasar Sementara.
Kepada daerah Swapraja itu mestilah diberikan pemerintahan berotonomi
menurut undang-undang, sehingga tidak dibolehkan suatu daerah
Swapraja terbebas dari pemerintahan otonomi yang bersifat demokratis
menurut undang-undang itu, di mana kepada rakyat diserahkan hampir
semua kekuasaan Swapraja itu, sehingga tinggal lagi urusan-urusan adat
yang dapat dipertahankan dalam tangan Kepala Swapraja dan orangorang besarnya selama rakyatnya bertakluk kepada hukum adatnya. Tiaptiap kali daerah Swapraja dibentuk menjadi Daerah Istimewa atau Daerah
116
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga
Daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-Undang ini diserahkan kepada penguasa lain.
Dengan Peraturan Pemerintah tiap-tiap waktu, dengan memperhatikan kesanggupan dan
kemampuan dari masing-masing Daerah, atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan dari
Dewan Pemerintah Daerah dari daerah setingkat di atasnya, urusan-urusan tersebut dalam ayat (2)
ditambah dengan urusan-urusan lain.
78
Swatantra biasa, maka hal itu berarti hapusnya daerah Swapraja yang
bersangkutan, sehingga akibat-akibat dari penghapusan itu haruslah pula
diatur tersendiri, jadi diantaranya mengenai Kepala-kepala/pembesarpembesar dan pegawai-pegawai lainnya dari Swapraja-Swapraja, yang
sedapat-dapatnya dimasukkan pula ke dalam formasi pegawai Daerah
Istimewa/Swatantra itu sesuai dengan syarat-syarat kecakapannya dan
lain-lain...”
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, pembentukan
Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa, termasuk perubahan wilayahnya, diatur
dengan Undang-Undang (persyaratan ini sesuai dengan Pasal 131 UUD
Sementara 1950). Pembentukan daerah tersebut dilakukan setelah diadakan
peninjauan dari berbagai sudut. Bila dalam ketentuan peraturan perundangundangan sebelumnya tidak dijelaskan mengenai apa yang menjadi tolok ukur dan
prosedurnya untuk menetapkan pembentukan suatu daerah maka dalam UndangUndang ini justru diuraikan. Seperti yang dijabarkan dalam Penjelasan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957:
“... Pembentukan akan dilakukan setelah diadakan peninjauan dari
pelbagai sudut antara lain dari sudut keuangan yang harus meyakinkan
hak hidupnya, dan setelah minta pertimbangan atau atas usul dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah setingkat lebih atas, sepanjang
mengenai Daerah tingkat II dan III.
Mengenai perubahan wilayah dari suatu Daerah Swatantra, hal ini dengan
sendirinya tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari Dewan-dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan. Juga batas-batas wilayah
dan penunjukkan ibukota daerah Swatantra masing-masing baik diatur
dalam undang-undang pembentukan. Agar supaya perubahan (termasuk
perluasan dan pengurangan) batas-batas wilayah Daerah-daerah
Swatantra/Istimewa itu senantiasa diadakan dengan berhati-hati serta
memperhatikan kehendak rakyat wilayah-wilayah yang bersangkutan,
maka dalam pasal ini ditetapkan bahwa perubahan itu harus dilakukan
dengan undang-undang...”
79
Pengaturan mengenai Kepala Daerah Istimewa pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan apa yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948. Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957,
Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di
zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan
memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat
dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: Presiden bagi Daerah
Istimewa tingkat I; Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk bagi
Daerah Istimewa tingkat II dan tingkat III.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 juga menyebutkan mengenai Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai gabungan dari beberapa bekas Swapraja
(Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman) dan bagaimana prosedur pengangkatan
Wakil Kepala Daerah Istimewa:117
“...Seperti telah tercantum dalam Rancangan Undang-undang tersebut
maka dalam suatu Daerah Istimewa dapat pula diangkat seorang Wakil
Kepala Daerah Istimewa. Hal ini misalnya dapat terjadi, apabila Daerah
Istimewa itu terbentuk sebagai gabungan dari beberapa bekas SwaprajaSwapraja, seperti misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sesuai dengan sistim yang telah diuraikan di atas, maka Kepala dan
Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah Ketua dan Wakil Ketua serta
anggota dari DPD. Berhubung dengan itu, maka apabila diangkat Wakil
Kepala Daerah Istimewa tersebut, maka dengan sendirinya ialah yang
mewakili Kepala Daerah Istimewa.
Sedangkan apabila Wakil Kepala Daerah Istimewa ini juga berhalangan,
maka Kepala Daerah Istimewa diwakili oleh seorang anggota DPD, yang
dipilih oleh dan dari anggota DPD.
117
Lihat Memori Penjelasan Mengenai Usul Undang-Undang tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, bagian UMUM angka 3 huruf d.
80
Apabila dalam Daerah Istimewa itu tidak diangkat Wakil Kepala Daerah
Istimewa, maka perwakilan Kepala Daerah Istimewa diatur seperti
perwakilan Kepala Daerah biasa.
Selain daripada itu, karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh
penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib, maka:
a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan
b. mengenai gaji dan segala "emolumenten" yang melekat kepada jabatan
Kepala Daerah itu, tidak ditetapkan oleh Daerah itu sendiri, melainkan
oleh Pemerintah Pusat.”
Untuk mengadakan perubahan ke arah terlaksananya sistem pemerintahan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Pemerintah DIY menghapus
pemerintahan kembar di daerah swatantra tingkat II, dan untuk mengatasi
dualisme serta kemacetan yang dapat mengakibatkan adanya kekosongan hukum
dalam masa peralihan, DPD mengambil keputusan:118
1. Setelah kepala daerah swatantra tingkat II (gaya baru) menjalankan fungsinya
maka Bupati Pamong Praja (gaya lama) akan ditarik ke Pemerintah DIY;
2. Semua pegawai golongan Pamong Praja selain Bupati Pamong Praja untuk
sementara waktu tetap pada tempat kedudukannya masing-masing untuk
diperbantukan kepada pemerintah daerah swatantra tingkat II dan berkewajiban
menjalankan tugas-tugas pemerintah daerah swatantra tingkat II;
3. Dalam menjalankan kewajiban itu dia bertanggung jawab kepada pemerintah
daerah swatantra tingkat II;
4. Sebagai pegawai yang diperbantukan hanya dapat dipindahkan oleh pemerintah
daerah swatantra tingkat II yang bersangkutan dengan persetujuan Pemerintah
DIY;
118
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 153-154, sebagaimana mengutip P. J
Suwarno, Op. Cit., hlm. 315.
81
5. Bupati-Bupati Anom di daerah-daerah swatantra tingkat II ini selanjutnya –
sambil menunggu keputusan DPD DIY lebih lanjut- untuk sementara waktu
ditugaskan mengerjakan tugas-tugas Bupati.
Keputusan DPD ini ditolak oleh para pejabat yang berasngkutan dan penolakan
ini mendapat dukungan dari Serikat Pekerja Kementerian Dalam Negeri sehingga
muncul persoalan mengenai Pamong Praja di Yogyakarta. Konflik ini mereda
ketika pada tanggal 13 September 1958, DPD menerima surat kawat dari Menteri
Dalam Negeri dan beberapa penjelasan dari Kepala Daerah DIY yang telah
mendapat instruksi dari Menteri Dalam Negeri. Adapun isi dari surat kawat
tersebut adalah:119
“a. Pemindahan pegawai daerah adalah hak daerah, tetapi harus dilakukan
menurut syarat-syarat yang berlaku dalam mengatur kepegawaian (surat
keputusan yang lazim digunakan), Bupati pindah ke pemerintahan
umum menunggu penyelesaian soal tugas;
b. Penunjukkan Bupati Anom sebagai Pejabat Bupati harus dilakukan
dengan surat keputusan tersendiri;
c. Memperbantukan pegawai secara integral kepada swatantra bawahan
harus dilakukan berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan Pasal 54
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957;
d. Untuk membantu penyelesaian poin a, b, dan c tersebut Kementerian
Dalam Negeri segera mengirimkan beberapa pejabat ke Yogyakarta.”
d.
Masa UUD NRI Tahun 1945 Sebelum Amandemen
Pelaksanaan otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1957 dihentikan dengan lahirnya Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun
1959. Penpres ini mengubah struktur dan fungsi pemerintah daerah sesuai dengan
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dimulai dengan pengumuman Dekrit
119
Ibid.
82
Presiden 5 Juli 1959. Dalam penjelasan pasalnya, dengan jelas disebutkan bahwa
Penpres ini menganut paham desentralisasi teritorial, yaitu meletakkan tanggung
jawab teritorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan Pemerintah Daerah, di
samping menjalankan politik dekonsentrasi sebagai komplemen yang vital.
Kedudukan Pamong Praja dikembalikan seperti semula, dengan kerangka baru.120
Titik berat Penpres Nomor 6 Tahun 1959 ini terletak pada kestabilan dan efisiensi
pemerintahan daerah dengan memasukkan beberapa elemen baru, yaitu pemusatan
pimpinan pemerintahan di tangan Kepala Daerah, dan Kepala Daerah ini akan
dibantu oleh Badan Pemerintah Harian dan DPRD.121
Pengaturan mengenai Kepala Daerah pada Daerah Istimewa, terdapat dalam
Pasal 6 Penpres Nomor 6 Tahun 1959 yang menyatakan bahwa “Kepala Daerah
Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan
pemerintahan di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih
berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syaratsyarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan kepada Pemerintah Republik Indonesia
serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.” Pengaturan seperti yang termaktub dalam Pasal 6 Penpres Nomor 6
Tahun 1959 pada dasarnya hampir sama dengan apa yang diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1957. Namun demikian, dalam Penpres ini Kepala
120
Ibid.
121
Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
hlm. 328.
83
Daerah dan Wakil Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta diangkat oleh Presiden
tanpa melalui pencalonan dari DPRD.122
Berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan dalam rangka kembali
kepada UUD NRI Tahun 1945 sejak Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal
5 Juli 1959, maka ketentuan-ketentuan perundangan tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah perlu diperbarui sesuai dengan Manifesto Politik Republik
Indonesia sebagai Garis-garis Besar dari pada Haluan Negara dan pedomanpedoman pelaksanaannya, yang mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur)
yang progresif dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1957,
Penetapan
Presiden
Nomor
6
Tahun
1959
(disempurnakan), Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960 dan Penetapan
Presiden Nomor 5 Tahun 1960 (disempurnakan) jo. Penetapan Presiden Nomor 7
Tahun 1965 serta untuk mewujudkan daerah-daerah yang dapat berswadaya dan
berswasembada. Berdasarkan hal tersebut kemudian ditetapkanlah UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang ini juga dibentuk agar dapat dilaksanakan pembentukan
Pemerintah Daerah tingkat III secepat mungkin.123
122
Sebagai tindak lanjut dari Penpres Nomor 6 Tahun 1959, ditetapkanlah Peraturan
Presiden Nomor 3 Tahun 1959 yang berisi larangan keanggotaan partai politik bagi Kepala
Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah DIY, dan anggota Badan Pemerintah Harian. Lihat
The Liang Gie, 1994, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid II,
Liberty, Yogyakarta, hlm. 217.
123
Pemerintah Daerah tingkat III yang dimaksud adalah Kecamatan dan/atau Kotapraja.
Hal ini sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
84
Mengenai sistem rumah tangga daerah, dalam Undang-Undang ini pada
dasarnya menganut sistem rumah tangga riil. Penjelasan Pasal Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965 menyatakan bahwa:
“Pada azasnya memang tidak mungkin untuk menetapkan secara tegas
tentang urusan "rumah tangga daerah" itu, hal mana terutama disebabkan
karena faktor-faktor yang terletak dalam kehidupan masyarakat Daerah
itu sendiri yang merupakan suatu hasil dari pertumbuhan pelbagai anasir
dalam masyarakat itu dan yang dalam perkembangannya akan mencari
jalan keluar sendiri.
Kehidupan kemasyarakatan itu adalah penuh dengan dinamika, dan
terbentanglah di mukanya lapangan dan kemungkinan-kemungkinan yang
sangat luas, disebabkan bertambahnya dan berkembangnya perhubungan
manusia yang satu dengan yang lain, dan demikian pula kesatuankesatuan masyarakat yang satu dengan yang lain.
Dengan berpegangan kepada pokok pikiran itu, maka pemecahan perihal
dasar dan isi otonomi itu hendaknya didasarkan kepada keadaan dan
faktor-faktor yang riil, yang nyata, sehingga dengan demikian dapatlah
kiranya diwujudkan keinginan umum dalam masyarakat itu.
Sistem ketatanegaraan yang terbaik untuk melaksanakan tujuan tersebut
ialah sistem yang bersesuaian dengan keadaan dan susunan masyarakat
yang sewajarnya itu. Karena itu perincian yang tegas, baik tentang urusan
rumah tangga Daerah, maupun mengenai urusan-urusan yang termasuk
tugas Pemerintah Pusat, tidak mungkin dapat diadakan, karena perincian
yang demikian itu tidak akan sesuai dengan daya perkembangan
kehidupan masyarakat, baik di Daerah maupun di Pusat. Negara.
Urusan yang tadinya termasuk lingkungan Daerah, karena perkembangan
keadaan dapat dirasakan tidak sesuai lagi apabila masih diurus oleh
Daerah itu, disebabkan urusan tersebut sudah mengenai kepentingan yang
luar dari pada Daerah itu sendiri.
Dalam keadaan yang demikian itu urusan tersebut dapat beralih menjadi
urusan dari Daerah yang lebih atas tingkatannya atau menjadi urusan
Pemerintah Pusat, apabila hal tersebut dianggap mengenai kepentingan
Nasional.
Demikian pula sebaliknya, urusan yang tadinya dijalankan oleh
Pemerintah Pusat atau Daerah Tingkat 1, kemudian karena perkembangan
keadaan dirasakan sudah sepatutnya urusan itu dilakukan oleh Daerah,
maka urusan tersebut dapat diserahkan kepada dan beralih menjadi urusan
Daerah atau urusan Daerah bawahan.
Jadi pada hakekatnya yang menjadi persoalan ialah, bagaimanakah
sebaik-baiknya kepentingan umum itu dapat diurus dan dipelihara,
sehingga dicapailah hasil yang sebesar-besarnya.
Dalam memecahkan persoalan tersebut, perlu kiranya kita mendasarkan
diri pada keadaan yang riil, pada kebutuhan dan kemampuan yang nyata,
85
sehingga dapatlah tercapai harmoni Daerah itu sendiri maupun dengan
Pusat Negara.
Demikianlah penjelasan mengenai arti urusan, ke rumah tangga Daerah
yang didasarkan atas prinsip hak-hak otonomi yang riil itu.."
Kewenangan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, tidak hanya dimiliki oleh daerah tingkat I dan daerah tingkat II saja,
melainkan juga dimiliki oleh daerah tingkat III. Sehingga dalam Undang-Undang
ini, pengaturan mengenai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah juga mencakup
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah tingkat III.
Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri dalam Undang-Undang ini tetap diakui
keberadaannya karena sifat istimewa sesuatu Daerah berdasarkan Pasal 18 UUD
NRI Tahun 1945, berlaku terus hingga dihapuskan. DIY berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, serta merupakan daerah “Provinsi”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a jo. Pasal 88 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Hal ini juga ditegaskan dalam Penjelasan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965:
“... Karena itu, maka dalam wilayah Ibukota Negara akan tumbuh
Daerah-daerah tingkat lain dan diperlukan bentuk-bentuk pemerintahan
khas untuk tetap mencapai efisiensi dalam penyelenggaraan rakyat;
walaupun demikian akan senantiasa diusahakan agar sedapat-dapatnya
ada persesuaian keistimewaan seperti yang dimaksudkan di atas yang
menentukan adanya Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan status khusus
begitu pula keistimewaan-keistimewaan yang menjadi dasar daripada
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Propinsi Daerah Istimewa
Aceh masing-masing sebagai Daerah tingkat I, maka Daerah-daerah
tingkat I yang lain, adalah "Propinsi" menurut Undang-undang ini,
misalnya: Daerah tingkat I Kalimantan Barat disebut Propinsi:
Kalimantan Barat, Daerah tingkat I Jawa Barat menjadi Propinsi Jawa
Barat tingkat I Maluku menjadi Propinsi Maluku dan seterusnya.
Kecuali keistimewaan yang ada pada ketiga Daerah dimaksud di atas
yaitu Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan
86
Daerah Istimewa Aceh, status atau sifat istimewa bagi Daerah-daerah lain
tidak akan diadakan lagi pada saatnya diharapkan bahwa status atau sifat
istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus...”
Sesuai dengan Pasal 5 ayat (2), Kepala Daerah melaksanakan politik
Pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri menurut hierarki yang ada. Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5
tahun atau untuk masa yang sama dengan masa duduk Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang bersangkutan dan dapat diangkat kembali.124 Untuk Daerah
Istimewa, pengaturannya agak sedikit berbeda. Ini terlihat dalam Pasal 88 ayat (2)
huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang menyatakan bahwa “Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang,
pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini adalah Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada
jangka waktu masa jabatan dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 21 ayat
(5).” Ini berarti bahwa untuk Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY yang
akan datang, ketentuan pengangkatannya mengikuti prosedur yang berlaku bagi
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara umum, sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Ketentuan ini
tentu saja berpotensi125 menimbulkan masalah karena dengan frasa “yang
sekarang” mengindikasikan bahwa segi keistimewaan DIY akan berakhir setelah
124
125
Lihat Pasal 17 ayat (1), Ibid.
Dikatakan ‘berpotensi’ karena Undang-Undang ini nyatanya tidak bisa berlaku efektif.
Terjadi Gerakan 30 September 1965 yang mengguncang stabilitas pemerintahan di Indonesia,
terlebih lagi dengan adanya Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian
Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah, yang memerintahkan agar Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1965 ditinjau kembali. Lihat The Liang Gie, Op. Cit., Jilid II, hlm. 281.
87
Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII tidak lagi menjabat. Padahal dalam
pengaturan
sebelumnya,
letak
keistimewaan
DIY
justru
terletak
pada
pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Seiring dengan perkembangan keadaan di Indonesia, Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965 dirasa sudah tidak lagi sesuai sehingga diganti dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah. Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II dibentuk dalam rangka
pelaksanaan asas desentralisasi, dengan memperhatikan syarat-syarat kemampuan
ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanan Nasional, dan
syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan,
pembinaan kestabilan politik dan kesatuan Bangsa dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.126 Titik berat otonomi daerah
diletakkan pada Daerah Tingkat II (setara dengan Daerah Kabupaten/Kota).127
126
Prinsip yang dipakai bukan lagi “Otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “Otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab”. Dengan demikian prinsip Otonomi yang riil atau nyata tetap
merupakan prinsip yang harus melandasi pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah. Sedang
istilah “seluas-luasnya” tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pengalaman waktu itu, istilah
tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan
keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada
Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
Dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab asas desentralisasi bukan sekedar
komplemen atau pelengkap terhadap asas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebagai konsekuensi prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab, Undang-undang ini membuka kemungkinan untuk penghapusan Daerah
Otonom. Di muka telah diterangkan bahwa pemberian otonomi kepada Daerah yang dimaksud
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama
dalam pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Apabila setelah dibina dan
dibimbing serta diberi kesempatan seluas-luasnya ternyata suatu Daerah tidak mampu mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri dan hanya menggantungkan hidupnya dari subsidi
Pemerintah maka adalah sewajarnya apabila daerah yang sedemikian itu dihapuskan. Lihat
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah.
127
Lihat Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan, maka Undang-undang ini meletakkan titik berat otonomi pada Daerah
88
Terkait dengan pengaturan mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta, ada
kecenderungan bahwa Undang-Undang ini hendak menghapuskan status
keistimewaan yang dimiliki DIY. Ini berhubungan dengan Pasal 91 huruf b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, yang selengkapnya berbunyi: “Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-undang ini dengan
sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara
pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.” Adanya
frasa “yang sekarang” menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY yang akan datang?
Jika dilihat dalam proses penyusunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974, pada RUU usul pemerintah, rumusan ini berasal dari ketentuan Pasal 90
huruf b RUU tersebut yaitu: “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut
Undang-Undang ini, yang tidak terikta pada ketentuan masa jabatan, syarat dan
cara pengangkatan bagi Kepala Daerah lainnya, yang kemudian untuk
pengangkatan Kepala Daerah berikutnya berlaku ketentuan-ketentuan bagi Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.” Namun karena banyaknya perdebatan
mengenai rumusan norma tersebut maka kemudian disepakati rumusan norma
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974.
Tingkat II, dengan pertimbangan bahwa Daerah Tingkat II yang lebih langsung berhubungan
dengan masyarakat sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-aspirasi
masyarakat tersebut.
89
Menurut Sujamto, dalam Pasal 91 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 tersebut masih tercantum kata-kata “Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang”, ini adalah semata-mata masalah
teknis ketentuan aturan peralihan akibat berlakunya Undang-Undang baru. Jadi
kata-kata “yang sekarang” itu tidak lagi mempunyai konotasi yang berkaitan
dengan “yang kemudian” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf b RUU.128
Akan tetapi menurut Penulis, justru norma dalam Pasal 91 huruf b UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 maknanya hampir sama dengan rumusan Pasal 90
huruf b RUU. Frasa “yang sekarang” mengindikasikan bahwa untuk Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY yang akan datang, belum tentu tidak terikat
pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah lainnya.
Pada tanggal 7 Mei 1999, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang mencabut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974. Dalam Undang-Undang ini, penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu, penyelenggaraan
otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta
masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman Daerah. Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah
128
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 113.
90
mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan
kreativitas, meningkatkan peran-serta masyarakat, mengembangkan peran dan
fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, Undang-Undang ini
menempatkan Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota.
Berdasarkan Undang-Undang ini, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan
Daerah Kota berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dalam
hubungannya antara ketiga jenis daerah tersebut, masing-masing berdiri sendiri
dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Daerah Provinsi bukan
merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, tetapi
dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerja
sama, dan/atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dalam
kedudukan masing-masing sebagai Daerah Otonom. Sementara itu, dalam
kedudukan sebagai Wilayah Administrasi, Gubernur selaku wakil Pemerintah
melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota.
Sedangkan terkait dengan keistimewaan DIY, hal ini diatur dalam Pasal 122
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di mana keistimewaan DIY adalah tetap
dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan DIY didasarkan pada
Undang-Undang ini. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 122,
pengakuan keistimewaan DIY didasarkan pada asal-usul dan perannya dalam
sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan
91
Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta
dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari Keturunan Paku Alam
yang memenuhi syarat sesuai dengan Undang-Undang ini.
Pengaturan di atas sejatinya hampir sama dengan apa yang sudah diatur
dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah terdahulu. Keistimewaan DIY
terletak pada aspek pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan
mempertimbangkan calon dari Keturunan Sultan Yogyakarta dan Paku Alam yang
memenuhi syarat sesuai dengan Undang-Undang. Artinya, sepanjang calon dari
keturunan Kasultanan maupun Paku Alaman masih ada yang memenuhi
persyaratan kecakapan dalam memimpin, jujur, amanah, dan didukung oleh
rakyatnya, patut untuk dipertimbangkan. Tetapi apabila tidak ada lagi yang
memenuhi persyaratan tersebut maka masyarakat dapat mengusulkan calon lain
dari luar keluarga (keturunan) Kasultanan ataupun Paku Alaman.129
e.
Masa UUD NRI Tahun 1945 Setelah Amandemen
UUD NRI Tahun 1945 mengalami perubahan (amandemen) sebanyak
empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Pembagian daerah
Indonesia menjadi lebih jelas, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintah
daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemerintah
daerah di Indonesia adalah Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten,
129
dan
Pemerintah
Ibid., hlm. 124-125.
Daerah
Kota.
Frasa
“dibagi
atas”
juga
92
mengindikasikan hubungan antara Pusat dan Daerah, serta antara Provinsi dan
Kabupaten/Kota adalah bersifat hierarkis-vertikal.130 Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.
Di samping itu, UUD NRI Tahun 1945 pasca Amandemen mengatur lebih
rinci mengenai konsep desentralisasi asimetris di Indonesia. Sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 18A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, hubungan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota,
atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatu dengan Undang-Undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Kemudian dalam Pasal 18B
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan Undang-Undang.
Kebijakan dasar yang tertuang dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B
UUD NRI Tahun 1945 tentang Pemerintah Daerah ini lalu dituangkan lebih lanjut
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, UUD NRI Tahun 1945 memberikan garis hubungan yang jelas
antara Pusat dan Daerah dan hubungan antara Pemerintah Daerah Provinsi dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Masing-masing pemerintahan daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
130
Ibid., hlm. 37.
93
urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan
dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang
nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa
untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benarbenar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya
untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus
selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan khusus
yang diatur dalam undang-undang lain.131 Lalu bagaimana dengan Daerah
Istimewa Yogyakarta?
131
Lihat Pasal 225 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
94
Pasal 226 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa
ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sepanjang tidak diatur secara khusus
dalam Undang-Undang tersendiri. Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini. Ini
berati bahwa keistimewaan DIY masih seperti apa yang dirumuskan dalam
Penjelasan Pasal 122 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Pengakuan
keistimewaan DIY didasarkan pada asal-usul dan perannya dalam sejarah
perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan
Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta
dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari Keturunan Paku Alam
yang memenuhi syarat. Adapun ‘memenuhi syarat’ di sini sudah dimaknai sebagai
memenuhi syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang kemudian diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 merupakan dasar pembentukan
DIY. Di dalamnya tidak dirinci mengenai apa sebenarnya makna ‘keistimewaan’
DIY. Keistimewaan tersebut hanya dijabarkan dalam 1 Pasal, itu pun dalam
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lama. Sehingga pada tahun 2012,
ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
DIY. Undang-Undang ini secara rinci telah menjabarkan kewenangan istimewa
95
apa yang dimiliki oleh DIY, yang membedakannya dengan Pemerintah Daerah
lainnya. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012,
kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi: tata cara pengisian jabatan,
kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan
Pemerintah Daerah DIY; kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang. Masing-masing
urusan keistimewaan tersebut dijabarkan dalam pasal-pasal berikutnya dalam
Undang-Undang ini, dengan mengingat ketentuan bahwa kewenangan istimewa
DIY berada di Provinsi. Artinya, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tetaplah
merupakan Pemerintah Daerah ‘biasa’ yang sama seperti Pemerintah Daerah
lainnya, dan tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
DIY, di lain pihak, juga tunduk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri (UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012).
Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
berikut perubahannya ternyata sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga
perlu diganti. Sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
berikut perubahannya, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang ini memberikan perubahan yang mendasar, terutama
mengenai beberapa kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditarik
96
ke Pemerintah Daerah Provinsi dan perubahan kedudukan DPRD (dulu DPRD
seperti lembaga legislatif di tingkat daerah, sekarang menjadi salah satu unsur
penyelenggara
pemerintahan
daerah
yang
diberi
mandat
rakyat
untuk
melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah). Namun
dari segi otonomi daerah, Pemerintahan Daerah tetap berwenang untuk mengatur
dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas
Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya. Pemberian otonomi
yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara
kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan
negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh
karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung
jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada di tangan
Pemerintah Pusat.
Corak desentralisasi asimetris lebih terasa dalam Undang-Undang ini,
khususnya mengenai daerah istimewa. Misalnya, ada dana keisimewaan yang
merupakan pendapatan transfer (salah satu sumber pendapatan daerah),
sebagaimana diatur dalam Pasal 285 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014. Ini terkait dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2012 tentang Keistimewaan DIY, di mana dalam Pasal 42 ayat (1) menyatakan
bahwa Pemerintah menyediakan pendanaan dalam rangka penyelenggaraan
urusan keistimewaan DIY dalam APBN sesuai dengan kebutuhan DIY dan
kemampuan keuangan negara.
97
Berdasarkan Pasal 399 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, ketentuan
dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi
Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam
Undang-Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah tersebut.
Tampak bahwa semua daerah yang memiliki status keistimewaan dan kekhususan
di Indonesia berada pada tingkat Provinsi, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
B.
Analisis Terhadap Penggunaan Nomenklatur “Provinsi” Dalam
Peraturan Daerah DIY Pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Permasalahan mengenai keistimewaan DIY sepertinya masih menjadi
perdebatan meskipun Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa
permasalahan tersebut antara lain mengenai bagaimana penyelenggaraan
kewenangan keistimewaan DIY, bagaimana pengaturannya dalam Peraturan
Daerah Istimewa (Perdais) DIY, bagaimana mekanisme pengelolaan dana
keistimewaan, dan lain sebagainya. Namun terdapat satu hal yang sebenarnya bisa
dikatakan ‘sederhana’ akan tetapi memberikan efek yang besar dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di DIY. Ini berkaitan dengan penafsiran
perlu tidaknya mencantumkan nomenklatur “Provinsi” di depan nama “DIY”
pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012.
98
Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012,
Pemerintahan Daerah DIY adalah pemerintahan daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
dan urusan keistimewaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah DIY dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY. Di dalam norma tersebut, tidak
dicantumkan nomenklatur “Provinsi” sebelum kata “DIY”. Oleh karenanya,
Pemerintah Daerah (Pemda) DIY memutuskan bahwa di lingkungan pemerintahan
daerah DIY, tidak perlu lagi menggunakan kata “Provinsi”.
Sebagai tindak lanjut atas hal tersebut, dilakukanlah pembenahan perangkat
daerah di lingkungan Pemda DIY. Gubernur melalui Sekretaris Daerah
menerbitkan Surat Edaran Nomor 5.1/SE/IX/2012 tanggal 7 September 2012
perihal Perubahan Nomenklatur Satuan Organisasi Perangkat Daerah (SOPD).
Surat Edaran tersebut pada intinya menyatakan bahwa dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta maka penyebutan nomenklatur SOPD (yang diatur dalam berbagai
Peraturan Daerah (Perda) sebelum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
ditetapkan) untuk kata “Provinsi” dihapus. Sebagai contoh penyebutan “Biro
Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” menjadi “Biro
Hukum Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta”. Pengaturan mengenai
hal tersebut sampai sekarang tidak menimbulkan permasalahan. Seluruh
perangkat daerah Pemda DIY tidak lagi menggunakan kata “Provinsi” di depan
nama “Daerah Istimewa Yogyakarta”.
99
Masalah justru timbul dalam proses pembentukan Peraturan Daerah (Perda)
DIY dan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) DIY. Pembahasan beberapa
Rancangan Perda DIY dan Rancangan Perdais DIY sempat menjadi terhambat
karena terjadi perbedaan pendapat antara Pemda DIY dan DPRD DIY mengenai
perlu tidaknya mencantumkan kata “Provinsi” dalam judul maupun substansi
materi Raperda. Perbedaan pendapat ini tidak jarang menghasilkan keadaan
deadlock
sehingga
pembahasan
tidak
dapat
dilanjutkan.132
Ini
tentu
mempengaruhi kelancaran proses pemerintahan di DIY. Sebagai contoh,
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah DIY tentang Perubahan atas Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang
Retribusi Jasa Umum menjadi terhenti di tahun 2014 karena tidak tercapainya
persetujuan bersama antara Gubernur dan DPRD DIY. Hal ini dipicu oleh adanya
hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri atas Raperda tersebut, yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 973-1665 Tahun 2014 tentang Evaluasi
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum.
Pada dasarnya Pemda DIY telah menindaklanjuti hasil evaluasi Menteri
Dalam Negeri, kecuali untuk angka 1 yang mengharuskan dicantumkannya
nomenklatur “Provinsi” dalam Raperda tersebut.133 Hal ini berseberangan dengan
kehendak DPRD DIY yang menginginkan agar hasil evaluasi tersebut dipenuhi
132
Hasil wawancara dengan Bapak Riyanta, staf Subbagian Legislasi Sekretariat DPRD
DIY pada tanggal 24 September 2014.
133
Hasil wawancara dengan Bapak Haris Suhartono, Kepala Subbagian Peraturan Daerah
Biro Hukum Setda DIY pada tanggal 25 November 2014.
100
secara keseluruhan.134 Sehingga pada akhirnya, persetujuan bersama antara
Gubernur dan DPRD DIY tidak tercapai dan Raperda tersebut tidak ditetapkan
pada tahun 2014.
Untuk membahas lebih lanjut mengenai perlu tidaknya menggunakan
nomenklatur “provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta” maka
terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pemaknaan DIY sebagai bagian dari
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Negara Indonesia ialah
negara kesatuan yang berbentuk republik. Dilihat dari segi susunan negara
kesatuan maka negara kesatuan bukan negara yang tersusun dari beberapa negara
melainkan negara tunggal, sebagaimana disampaikan oleh Soehino yang
menyatakan bahwa negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari
beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara sehingga tidak ada
negara di dalam negara. Dengan demikian dalam negara kesatuan hanya ada satu
pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang
tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan
pemerintahan, dan melaksanakan pemerintahan negara, baik di pusat maupun di
daerah-daerah.135 Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh L.J.
Van Apeldoorn, di mana suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan
hanya dipegang oleh pemerintah pusat sementara provinsi-provinsi menerima
134
Hal ini berdasarkan Surat DPRD DIY Nomor 188/1139 perihal Tanggapan terhadap
surat dari Pemda DIY perihal Penyampaian draft Raperda tentang Perubahan atas Perda DIY
Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum sebagai tindak lanjut hasil evaluasi
Kementerian Dalam Negeri.
135
Soehino, Op. Cit., hlm. 224.
101
kekuasaan dari pemerintah pusat sehingga provinsi-provinsi itu tidak mempunyai
hak mandiri. Dengan demikian kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah tidak sederajat.
Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 pasca Amandemen menyatakan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang. Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Pemerintah
Daerah Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan. Menurut Bagir Manan, otonomi daerah berarti
kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan (rumah tangga) sendiri.
Meskipun otonomi daerah dimaknai demikian namun dalam pelaksanaannya tetap
harus berada dalam batas-batas yang ditetapkan dan tidak boleh melampaui
kewenangan pemerintah pusat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bagir
Manan:136
“Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi daerah bukan kemerdekaan
(onafhankelijkheid independency). Kebebasan dan kemandirian itu adalah
dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata negara,
khususnya teori bentuk negara, otonomi adalah subsistem dari negara
kesatuan (unitary state-eenheid staat). Otonomi daerah adalah fenomena
negara kesatuan. Segala pengertian (begrip) dan isi (materi) otonomi
adalah pengertian dan isi negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan
landas batas dari pengertian dan isi otonomi.”
Desentralisasi dan otonomi daerah dalam praktiknya sering ditukarpakaikan.
Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Makna desentralisasi
136
Bagir Manan, Perjalanan Historis..., Op. Cit., hlm. 2.
102
bersentuhan dengan ‘proses’, dalam arti pembentukan daerah otonom dan
disertai/diikuti penyerahan kewenangan (urusan pemerintahan) dan untuk itu
harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan
otonomi bersentuhan dengan isi, akibat dan hasil dari proses pembentukan daerah
otonom, di mana pembentukan daerah otonomi berarti pembentukan organisasi
penyelenggara otonomi atau pemerintahan daerah. Dilihat dari sisi pemerintah
pusat, yang berlangsung adalah penyelenggaraan desentralisasi dalam organisasi
negara Indonesia, sedangkan dilihat dari masyarakat, yang terjadi adalah otonomi
daerah.
Desain desentralisasi terbagi atas desentralisasi simetris dan desentralisasi
asimetris. Model desentralisasi simetris/biasa ditandai kesesuaian (conformity)
dan keumuman (commonality) dalam hubungan daerah dengan sistem politik
nasional, pemerintah pusat maupun antardaerah. Model desentralisasi asimetris
dengan ciri sebaliknya, artinya suatu daerah khusus/istimewa memiliki pola
hubungan berbeda dan tak lazim terjadi di daerah-daerah lain, utamanya hal ihwal
relasi dengan pusat, relasi dengan daerah sekitar, dan pengaturan internal daerah
itu sendiri.
Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan beragam suku, agama, dan
ras. Adanya keragaman dan keunikan lokal ini kemudian menjadi dasar
diterapkannya
desentralisasi
asimeris
dengan
konsep
pengakuan
dan
penghormatan negara terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang, seperti yang
103
tertuang dalam Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Salah satu model
asimetris di Indonesia adalah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menilik dari sejarahnya, kedudukan DIY dalam sistem pemerintahan NKRI
mengalami pasang surut, sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu. Pada masa
awal kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta merupakan Daerah Istimewa (entah itu
sebagai daerah setingkat provinsi atau pun sebagai daerah provinsi). Hingga
kemudian pada tanggal 29 September 1945, Belanda berhasil mengambil alih
Jakarta. Jatuhnya Ibukota Jakarta membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX
mengirimkan utusannya dan menawarkan kota Yogyakarta menjadi Ibukota.
Saran ini kemudian disetujui oleh Soekarno, dengan berpindahnya Ibukota
Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Istana Negara
pun pindah ke Gedung Agung, Yogyakarta.
Pada waktu itu, Belanda tidak menyerah dan menyerang Yogyakarta.
Peristiwa ini lebih dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Hasilnya,
Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Bahkan para pimpinan Negara juga
ditangkap. Dalam keadaan seperti ini, dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia dan Ibukota kembali dipindahkan untuk mempertahankan kedaulatan.
Dipilihlah kota Bukittinggi sebagai Ibukota Negara Indonesia pada tanggal 19
Desember 1948. Pemilihan daerah ini bukan tanpa alasan. Kepindahan ibukota ini
karena adanya Sjafrudin Prawiranegara yang pada masa itu memang disiapkan
untuk memimpin pemerintahan darurat jika para pemimpin tertangkap. Baru pada
tanggal 17 Agustus 1950, Ibukota dikembalikan ke Jakarta berdasarkan Pasal 46
ayat (2) UUD Sementara Tahun 1950. Jadi, sejak tanggal 4 Januari 1946 sampai
104
dengan tanggal 18 Desember 1948, Yogyakarta berkedudukan sebagai Ibukota
Negara Republik Indonesia.
Setelah Indonesia dalam kondisi stabil, penataan terhadap daerah mulai
dilakukan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pemerintahan daerah, ditetapkan silih berganti. Dimulai dengan lahirnya
Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Tap. MPR Nomor
XV/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005, dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008, dan yang paling baru adalah Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Banyaknya peraturan tersebut membuktikan
bahwa otonomi daerah merupakan hal yang sangat penting sehingga perlu diatur
sedemikian rupa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Di samping itu,
pelaksanaan otonomi daerah yang berubah-ubah mengindikasikan bahwa proses
pencarian bentuk otonomi daerah yang sesuai dengan kondisi Indonesia masih
terus dilakukan hingga sekarang.
Penataan di daerah juga dilakukan terhadap daerah-daerah yang mempunyai
status istimewa atau khusus. Seperti yang telah ditentukan dalam UUD NRI
Tahun 1945, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UndangUndang. Aceh, Jakarta, dan Papua sudah memiliki Undang-Undang yang
105
mengatur mengenai keistimewaan atau kekhususannya. Daerah Istimewa
Yogyakarta pun pada akhirnya memiliki Undang-Undang yang mengatur tentang
keistimewaannya, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembentukan Undang-Undang ini
penting mengingat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten
Pakualaman yang telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk
sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berperan dan
memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan
menjaga keutuhan NKRI sehingga perlu untuk ditegaskan dan dijelaskan
mengenai status keistimewaannya.
Berdasarkan Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi II DPR RI dengan Sri
Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam X mengenai Rancangan
Undang-Undang tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(RUUK Provinsi DIY) yang dilaksanakan pada hari Selasa, 1 Maret 2011,
terdapat 9 (sembilan) catatan penting yang disampaikan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono X terhadap RUUK Provinsi DIY. Dari kesembilan catatan
penting tersebut ada satu hal yang menarik untuk dicermati yaitu pada catatan
pertama yang menyatakan bahwa judul RUUK Provinsi DIY tidak tepat. Hal ini
karena tidak merujuk original intent dari Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun
1945137 dan juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
tentang Pembentukan DIY yang secara eksplisit menyebutkan DIY adalah
“setingkat provinsi”, yang dapat diartikan tidak sama dengan provinsi sekaligus
137
Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi “Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau persifat istimewa yang
diatur dengan Undang-Undang.”
106
sebagai pembeda dengan daerah lainnya yang diberlakukan ketentuan hukum
yang bersifat umum. Sehingga akan lebih tepat kalau judul dari RUUK tersebut
adalah Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta atau
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak menggunakan kata “provinsi”.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya RUUK Provinsi DIY
disahkan pada tanggal 31 Agustus 2012 dengan judul Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun tidak
mencantumkan kata “provinsi”, namun dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
ini dengan jelas menyatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta, yang
selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Adanya rumusan norma Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2012 tersebut sebenarnya berbeda dari maksud dihapusnya kata
“provinsi” sesuai kehendak Sultan saat itu. Bahwa sebenarnya Sultan
menginginkan DIY untuk dikembalikan kedudukannya seperti yang ditentukan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, yaitu “setingkat provinsi”.
Pertanyaannya kemudian, apa sebenarnya makna dari ‘Keistimewaan’ yang
dimiliki
oleh
DIY?
Apakah
dengan
adanya
keistimewaan
tersebut
mengindikasikan DIY bukan lagi “provinsi” seperti Pemerintah Daerah Provinsi
lainnya? Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan DIY, keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan
hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur
107
dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan istimewa yang dimaksud di
sini adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah, yang
meliputi: tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur
dan Wakil Gubernur; kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; kebudayaan;
pertanahan; dan tata ruang.138
Berdasarkan praktik selama ini, keistimewaan DIY yang paling menonjol
adalah tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur
dan Wakil Gubernur.139 Hal ini sudah dimulai sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, hingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Interpretasi terhadap keistimewaan DIY oleh Pemerintah dalam berbagai UndangUndang tersebut terletak pada kedudukan kepala daerah yang berasal dari
keluarga Sultan.140 Sedangkan bagi masyarakat DIY, keistimewaan tidak hanya
bermakna pemberian hak privilege bagi keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono
dan Sri Paku Alam dalam jabatan Gubernur dan Wakil Gubenur saja melainkan
dimaksudkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri masyarakat yang
dalam sejarah perjalanan bangsa ini diberikan tempat dan diakui secara
138
Lihat Pasal 1 angka 3 jo. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
139
Hasil wawancara dengan Bapak Haris Suhartono, Kepala Subbagian Peraturan Daerah
Biro Hukum Setda DIY pada tanggal 25 November 2014.
140
Tri Ratnawati, “Antara Otonomi Sultan dan Kepatuhan pada Pusat di Era Reformasi:
Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)”, Jurnal Governance, Vol. 2 No. 1, November
2011, hlm. 49.
108
konstitusional.141 Keistimewaan tersebut pernah akan dihapus oleh UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965 karena dianggap berbau feodalisme, namun
Undang-Undang ini tidak pernah berlaku di Indonesia karena terjadinya persitiwa
G30S/PKI.
Sebagian esensi pokok Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 adalah:142
pertama, penegasan kembali definsi keistimewaan DIY sebagai keistimewaan
kedudukan hukum berdasar sejarah dan hak asal-usul menurut UUD NRI Tahun
1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Rekognisi demikian
membawa implikasi pengakuan-penghormatan akan eksistensi Kasultanan dan
Kadipaten Paku Alaman, yang dimulai dari kelahiran Undang-Undang ini sebagai
bentuk pelembagaan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten Paku
Alaman dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang
merupakan warisan budaya bangsa.
Kedua, kewenangan istimewa dimaksud merupakan wewenang tambahan
tertentu yang dimiliki Yogyakarta-selain wewenang biasa yang ditentukan dalam
Undang-Undang Pemerintahan Daerah- di mana jabaran pengaturan dan
penyelenggaraannya diwadahi dalam Peraturan Daerah Istimewa (Perdais).
Adapun urusan keistimewaan yang diatur adalah (a) tata cara pengisian jabatan,
kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (b)
kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (c) kebudayaan; (d) pertanahan; dan (e)
141
Seperti yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam Rapat Dengar
Pendapat Umum Komisi II DPR RI pada hari Selasa, 1 Maret 2011.
142
Robert Endi Jaweng, “Keistimewaan Yogyakarta: Babak Baru yang Menyisakan
Sejumlah Catatan”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 42 Tahun 2013, hlm. 115-116.
109
tata ruang, di mana penyelenggaraan berbagai urusan tersebut didasarkan pada
nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat.
Ketiga, bentuk dan susunan pemerintahan di DIY bersifat istimewa. Di sini,
misalnya, Gubernur dan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah
dapat
menyusun
Perdais.
Keempat,
sebagai
esensi
sekaligus
penanda
keistimewaan DIY, pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan
secara istimewa, sebagaimana dimaksud dalam BAB VI Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2012.
Melihat dari uraian di atas maka pada dasarnya Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 sudah memberikan kejelasan konstruksi dan memperkuat bobot
keistimewaan bagi DIY. Poin ketiga -sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012- di mana bentuk dan susunan
pemerintahan di DIY bersifat istimewa harus dimaknai sebagai keistimewaan
bentuk dan susunan organisasi pemerintahan di daerah, bukan dalam hal tingkat
pemerintahan daerah.
Bagir Manan menyatakan bahwa susunan organisasi pemerintahan daerah
mempunyai pengaruh terhadap mekanisme hubungan antara Pusat dan Daerah.
Susunan pemerintahan daerah mengandung dua segi, yaitu susunan luar (external
structure) dan susunan dalam (internal structure). Susunan luar menyangkut
badan-badan pemerintahan (publieklichaam) tingkat daerah seperti Daerah
Tingkat I (yang sekarang menjadi Daerah Provinsi) dan Daerah Tingkat II (yang
sekarang menjadi Daerah Kabupaten/Kota). Susunan dalam mengenai alat
110
kelengkapan (organ) pemerintahan daerah, seperti DPRD dan Kepala Daerah.143
Oleh karena itu, Keistimewaan DIY dalam bentuk dan susunan pemerintahannya
berarti susunan dalam mengenai alat kelengkapan (organ) pemerintahan daerah.
Alat kelengkapan yang dimaksud adalah mengenai tata cara pengisian jabatan,
kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, serta
kelembagaan Pemerintah Daerah DIY.
Dengan demikian, DIY tetaplah daerah provinsi sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. DIY memang
tidak sama dengan provinsi lain karena ada kewenangan istimewa yang tidak
dimiliki oleh provinsi lainnya; wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY
selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang
pemerintahan daerah. Namun tidak digunakannya nomenklatur “Provinsi” di
depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta” dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 (dan dalam praktik pemerintahan di DIY) bukan berarti DIY
merupakan daerah “setingkat provinsi”.
Daerah provinsi memiliki lembaga pelaksana kebijakan daerah, yaitu
pemerintah provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Dengan status provinsi adalah
sebagai daerah otonom sekaligus sebagai wilayah administrasi, Gubernur adalah
sebagai kepala daerah otonom sekaligus kepala wilayah administrasi. Sebagai
kepala daerah otonom, Gubernur adalah kepala pemerintahan daerah provinsi
yang bertanggung jawab kepada rakyat daerah setempat, namun dalam
melaksanakan urusan pemerintahan umum, Gubernur bertanggung jawab kepada
143
Bagir Manan, Hubungan Antara ..., Op. Cit., hlm.191.
111
Presiden melalui Menteri. Sedangkan sebagai kepala wilayah administrasi,
Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di wilayah administrasi provinsi yang
bersangkutan. Sampai dengan saat ini, Kepala Daerah di DIY masih dipegang
oleh seorang Gubernur. Seluruh organ pemerintahan daerah DIY jelas-jelas telah
mencerminkan DIY sebagai sebuah provinsi. Apapun yang menjadi latar belakang
dihapusnya kata “provinsi” dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012,
Daerah Istimewa Yogyakarta tetaplah merupakan daerah provinsi sesuai dengan
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Titik tekannya adalah dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, tidak pernah sekalipun
menyebutkan bahwa DIY bukan daerah provinsi. Undang-Undang ini merupakan
Undang-Undang yang mengatur mengenai keistimewaan DIY sebagai sebuah
provinsi, bukan mengenai pembentukan DIY. Dengan demikian, untuk
mengetahui pengaturan mengenai asal-usul pembentukan DIY sebagai bagian dari
wilayah NKRI, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta.144
Lalu bagaimana dengan klausul “setingkat provinsi” dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950? Sesuai dengan namanya, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1950 merupakan dasar hukum bagi terbentuknya Daerah
Istimewa Yogyakarta. Undang-Undang ini lahir saat Indonesia masih dalam
bentuk Republik Indonesia Serikat dan kondisi negara memang tidak dalam
situasi yang kondusif. Indonesia saat itu masih mencari konsep pemerintahan
144
Hasil wawancara dengan Bapak Haris Suhartono, Kepala Subbagian Peraturan Daerah
Biro Hukum Setda DIY pada tanggal 25 November 2014.
112
yang tepat bagi negara ini dan belum benar-benar memberikan perhatian penuh
terhadap pengaturan mengenai pemerintahan daerah. Sehingga akan terasa wajar
jika terjadi rumusan seperti itu dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950.
Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan produk Negara
Bagian, bukan Undang-Undang produk Nasional karena ditandatangani oleh
Presiden Republik Indonesia selaku pemangku jabatan saat itu (Bapak Assaat).
Sehingga bentuk dari Yogyakarta dalam Undang-Undang tersebut berciri sebagai
negara bagian.145 Di samping itu, yang membedakan DIY saat itu dengan
“provinsi” lainnya menurut The Liang Gie adalah:146
“...bahwa urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain
yang telah dikerjakan DIY sebelum pembentukannya itu tetap
dilanjutkan sampai kelak ditentukan lain dengan Undang-Undang. DIY
juga memikul semua hutang-piutang yang terjadi sebelum pembentukan
itu...”
Berdasarkan hal tersebut maka perlu untuk diadakan penyesuaian terkait
kedudukan DIY dalam NKRI. Menurut Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,
Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang. Istilah yang digunakan dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) adalah “dibagi
145
Sebagaimana dikuti dari Laporan Singkat Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi II
DPR RI dengan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra pada hari Kamis, 24 Februari 2011.
146
The Liang Gie, Op. Cit., hlm. 205.
113
atas” bukan “terdiri atas”. Istilah itu langsung menjelaskan bahwa negara kita
adalah negara kesatuan di mana kedaulatan negara berada di tangan pusat. Hal ini
konsisten dengan kesepakatan tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan.
Berbeda dengan istilah terdiri atas yang lebih menunjukkan letak kedaulatan
berada di tangan Negara-negara bagian.147 Lebih lanjut dalam Pasal 18 ayat (2) jo.
ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, jenis Pemerintahan Daerah di Indonesia hanya
ada 3, yaitu Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten, dan
Pemerintahan Kota.148 Dan oleh karena istilah “setingkat provinsi” yang
digunakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 sudah
tidak lagi dikenal dalam Konstitusi saat ini maka dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1950 tersebut, klausul “setingkat provinsi” harus dimaknai sebagai
“provinsi”.
Sebagai sebuah negara Kesatuan, di dalam hubungan antara pusat dan
daerah terdapat mekanisme pengawasan yang merupakan pengikat kesatuan agar
bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh: “… if local autonomy is
not to produce a state of affairs bordering on anarchy, it must subordinated to
national interest by means devised to keep its actions within bounds”. Jika
pengikat tersebut ditarik begitu kencang, napas kebebasan desentralisasi akan
terkurangi bahkan mungkin terputus. Apabila hal itu terjadi, pengawasan bukan
147
MPR RI, 2003, Panduan Dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Sekertariat MPR RI, Jakarta, hlm. 89.
148
Meskipun ada pula yang disebut “Pemerintahan Desa” sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, namun Pemerintahan Desa bukanlah jenis
Pemerintahan Daerah menurut UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014. Lihat definisi Pemerintahan Daerah dan Pemerintah Daerah dalam Pasal 1 angka 2 dan
angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
114
lagi merupakan satu sisi dari desentralisasi tetapi menjadi pembelenggu
desentralisasi. Untuk itu, pengawasan harus disertai pembatasan-pembatasan.
Pembatasan-pembatasan tersebut akan mencakup pembatasan macam atau bentuk
pengawasan,
yang
sekaligus
mengandung
pembatasan
tata
cara
menyelenggarakan pengawasan, dan pejabat atau badan yang berwenang
melakukan pengawasan.149
Di Indonesia, pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah
berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Salah satu bentuk pengawasan yang dilakukan pusat kepada daerah
adalah pengawasan terhadap produk hukum daerah. Pengawasan ini terdiri dari
pengawasan preventif dan pengawasan represif.
Pengawasan preventif dilakukan dalam bentuk evaluasi terhadap Raperda.
Pasal 1 angka 20 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah menyatakan bahwa evaluasi adalah
pengkajian dan penilaian terhadap rancangan Perda dan rancangan Perkada untuk
mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Tidak semua Raperda harus melalui tahap
evaluasi. Materi pengaturan tertentu yang perlu mendapat pengawasan preventif
ini pada umumnya adalah materi-materi yang dianggap penting, menyangkut
kepentingan-kepentingan besar bagi daerah dan penduduknya, sehingga melalui
pengawasan ini kemungkinan timbulnya kerugian atau hal-hal yang tidak
149
Bagir Manan, Hubungan Antara ..., Op. Cit., hlm. 181.
115
diinginkan dapat dicegah sebelum Perda tersebut diundangkan dan berlaku secara
umum. Berbeda dengan model pengawasan preventif, pengawasan represif ini
dilakukan dalam bentuk klarifikasi terhadap semua Perda. Sesuai dengan Pasal 1
angka 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014, klarifikasi
adalah pengkajian dan penilaian terhadap Perda, Perkada dan Peraturan DPRD
untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, Rancangan Perda Provinsi yang mengatur tentang
RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah harus mendapat
evaluasi Menteri sebelum ditetapkan oleh Gubernur. Menteri dalam melakukan
evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang keuangan dan untuk evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang tata ruang
daerah
berkoordinasi
dengan
menteri
yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan bidang tata ruang. Apabila Gubernur tidak menindaklanjuti hasil
evaluasi dan tetap menetapkan menjadi Perda dan/atau Peraturan Gubernur,
Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dengan
Peraturan Menteri. Menurut Pasal 251 ayat (7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014, dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi tidak dapat
menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan Gubernur tidak dapat
menerima keputusan pembatalan Peraturan Gubernur dengan alasan yang dapat
116
dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, Gubernur dapat
mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
keputusan pembatalan Perda atau Peraturan Gubernur diterima.
Pada tahun 2014, Pemerintah Daerah DIY menyusun Rancangan Peraturan
Daerah DIY tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Sesuai dengan
apa yang telah diuraikan sebelumnya dan berdasarkan Pasal 157 ayat (1) UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah
disetujui bersama oleh Gubernur dan DPRD Provinsi sebelum ditetapkan
disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat
3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. Hasil evaluasi
dari Menteri Dalam Negeri dapat berupa persetujuan atau penolakan atas Raperda
tersebut. Jika hasil evaluasi berupa persetujuan maka Raperda dapat langsung
ditetapkan. Namun apabila hasil evaluasi berupa penolakan maka Raperda
dimaksud dapat diperbaiki oleh Gubernur bersama DPRD Provinsi untuk
kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan.
Pemerintah Daerah DIY telah menyampaikan Raperda DIY tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum ke Menteri Dalam Negeri untuk
mendapatkan evaluasi. Menteri Dalam Negeri kemudian melakukan evaluasi
terhadap Raperda dimaksud, untuk menguji kesesuaian Raperda dengan ketentuan
117
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 maupun peraturan perundang-undangan
terkait, dan kepentingan umum.
Hasil evaluasi atas Raperda tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 973-1665 Tahun 2014 tentang Evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Perubahan atas
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011
tentang Retribusi Jasa Umum. Ternyata ada beberapa hal dalam Raperda
dimaksud, yang perlu untuk segera disesuaikan dan disempurnakan sesuai dengan
apa yang dicantumkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri
tersebut. Selengkapnya Lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 9731665 Tahun 2014 berbunyi sebagai berikut:
1.
Penulisan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta ditambahkan
kalimat “Provinsi” sehingga menjadi “Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta”, hal ini sesuai dengan:
a. Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota.
b. Pasal 1 angka 7 dan angka 8 serta Pasal 7 ayat (1) huruf f dan huruf g
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan telah memisahkan antara Peraturan Daerah Provinsi
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
118
c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 karena disebutkan dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa DIY
adalah
daerah
Provinsi
yang
mempunyai
keistimewaan
dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka NKRI. Hal ini
dimaknai bahwa keistimewaan tersebut bukan berarti tidak menyebutkan
Provinsi di depan kata “DIY”.
d. Lampiran III Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah disebutkan mengenai bentuk
produk hukum daerah dengan menuliskan Peraturan Daerah Provinsi dan
terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga dituliskan nama
Provinsinya. Hal ini dimaknai, penulisan kata provinsi pada Perda Provinsi
digunakan untuk memperjelas, mempertegas, dan menginformasikan
bahwa DIY merupakan nama provinsi. Sedangkan penulisan nama
Provinsi pada Perda Kabupaten/Kota digunakan untuk menginformasikan
asal Provinsi dari Kabupaten/Kota tersebut karena begitu banyaknya
Kabupaten/Kota hasil pemekaran yang belum diketahui asal Provinsinya.
2.
Pasal 5 ayat (2) huruf c angka 6 disempurnakan dan ditambahkan ayat (3)
baru menjadi:
Pasal 5
(2) Jenis pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
c. Balai Pelatihan Kesehatan, yang jenisnya meliputi:
6. Pemeriksaan kesehatan untuk penerbitan keur dokter;
119
(3) Dikecualikan dari objek Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD,
pihak swasta, dan pelayanan pendaftaran.
3.
Pasal 19 ayat (2) huruf e dan huruf f dihapus karena bukan objek retribusi
pelayanan pendidikan sesuai dengan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4.
Lampiran
I
STRUKTUR
DAN
BESARNYA
TARIF
RETRIBUSI
PELAYANAN KESEHATAN, huruf A, Jasa Pelayanan Kesehatan di Balai
Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)/Klinik Pratama dan Rumah Sakit
Khusus Paru Respira (RSKP. Respira) penjelasan angka 1 dan 2 kalimat kartu
pasien dihapus.
5.
Lampiran
I
STRUKTUR
DAN
BESARNYA
TARIF
RETRIBUSI
PELAYANAN KESEHATAN, huruf A, Jasa Pelayanan Kesehatan di Balai
Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)/Klinik Pratama dan Rumah Sakit
Khusus Paru Respira (RSKP. Respira) angka 7 huruf n kata senam diganti
dengan fisioterapi.
6.
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI PELAYANAN
KESEHATAN, huruf C, Jasa Pelayanan Kesehatan di Balai Pelatihan
Kesehatan (BAPELKES) angka 6 dan angka 9 yang seharusnya angka 2 dan
angka 3 disempurnakan menjadi:
3. Pemeriksaan kesehatan untuk Keur Dokter.
4. Pemeriksaan kesehatan untuk penerbitan rujukan pasien ke RS.
120
7.
Lampiran III STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI
PELAYANAN PENDIDIKAN huruf A. Jasa Pelayanan
Kesehatan
Masyarakat di Balai Pelatihan Kesehatan (BAPELKES) angka 4, 5, 6, 7, 8,
dan 9 yang seharusnya ditulis angka 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, kalimat jasa dihapus.
8.
Lampiran III STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI
PELAYANAN
PENDIDIKAN
huruf
C.
Jasa
Latihan
Pengukuran
Produktifitas di Balai Latihan Kerja dan Pengembangan Produktifitas
(BLKPP eks BPPK) dihapus.
9.
Lampiran III STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI
PELAYANAN PENDIDIKAN huruf D. disempurnakan menjadi “Jasa
Pendidikan dan Pelatihan dan Pelayanan Lingkungan Kerja, Kesehatan, dan
Keselamatan Kerja di Balai Hiperkes.
10. Lampiran III STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI
PELAYANAN PENDIDIKAN huruf E dan huruf F dihapus.
Pada dasarnya Pemda DIY telah menindaklanjuti hasil evaluasi Menteri
Dalam Negeri, kecuali untuk angka 1 yang mengharuskan dicantumkannya
nomenklatur “Provinsi” dalam Raperda tersebut. Hal ini karena Pemda DIY tidak
lagi menggunakan nomenklatur “Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa
Yogyakarta”, sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.150 Jika
dianalisis lebih lanjut, sebenarnya alasan-alasan sebagaimana diuraikan dalam
150
Hasil wawancara dengan Bapak Haris Suhartono, Kepala Subbagian Peraturan Daerah
Biro Hukum Setda DIY pada tanggal 25 November 2014.
121
angka 1 huruf a sampai dengan huruf d Lampiran Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 973-1665 Tahun 2014 tidak sepenuhnya tepat bila dijadikan dasar
perlunya DIY mencantumkan kata “Provinsi” dalam Raperdanya. Berikut adalah
uraian mengapa huruf a sampai dengan huruf d tersebut tidak dapat digunakan
untuk ‘memaksa’ DIY menggunakan nomenklatur “Provinsi” dalam Raperdanya:
a. Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota. Tidak dicantumkannya kata “Provinsi”
dalam Raperda bukan berarti DIY tidak mengakui dirinya sebagai Daerah
Provinsi. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 pasca Amandemen
menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan
undang-undang. Ketentuan ini menjadi dasar bagi lahirnya Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 sudah menegaskan
bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah provinsi yang mempunyai
keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga sesungguhnya, keputusan
untuk tidak menggunakan nomenklatur “Provinsi” di depan nama “Daerah
Istimewa Yogyakarta” tidak bertentangan dengan Konstitusi.151
151
Hasil wawancara dengan Bapak Sumadi, mantan Kepala Biro Hukum Setda DIY pada
tanggal 24 November 2014.
122
b. Pasal 1 angka 7 dan angka 8 serta Pasal 7 ayat (1) huruf f dan huruf g UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, telah memisahkan antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Raperda DIY sudah sangat jelas bahwa
Raperda tersebut adalah Raperda Provinsi, yang jika telah disahkan akan
menjadi Perda Provinsi. Ini tercermin dalam rumusan Pasal 1 angka 12
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, di mana Peraturan Daerah DIY,
selanjutnya disebut Perda, adalah Peraturan Daerah DIY yang dibentuk DPRD
DIY dengan persetujuan bersama Gubernur untuk mengatur penyelenggaraan
urusan pemerintahan provinsi sebagaimana diatur dalam undang-undang
tentang pemerintahan daerah. Peraturan Daerah yang dibentuk DPRD DIY
dengan persetujuan bersama Gubernur, disebut dengan Peraturan Daerah
Provinsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
c. Keistimewaan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012, memang bukan berarti tidak menyebutkan Provinsi di depan kata
“DIY”. Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki
oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus
kewenangan istimewa. Tidak menyebutkan Provinsi di depan kata “DIY”
dalam Raperda ini lebih disebabkan karena dalam Pasal 1 angka 12 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 memang dinyatakan demikian, bahwa
123
Peraturan Daerah (Provinsi) DIY cukup dinyatakan sebagai Peraturan Daerah
DIY.
d. Dalam Lampiran III Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah disebutkan mengenai bentuk
produk hukum daerah dengan menuliskan Peraturan Daerah Provinsi dan
terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga dituliskan nama Provinsinya.
Hal ini dimaknai (oleh Kementerian Dalam Negeri), penulisan kata provinsi
pada Perda Provinsi digunakan untuk memperjelas, mempertegas, dan
menginformasikan bahwa DIY merupakan nama provinsi. Sedangkan
penulisan nama Provinsi pada Perda Kabupaten/Kota digunakan untuk
menginformasikan asal Provinsi dari Kabupaten/Kota tersebut karena begitu
banyaknya Kabupaten/Kota hasil pemekaran yang belum diketahui asal
Provinsinya. Jika hanya itu alasannya, maka sebenarnya dalam Raperda
tersebut sudah dijelaskan bahwa DIY adalah daerah provinsi (Pasal 1 angka 22
Perda Provinsi DIY Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umumketentuan Pasal tersebut tidak diubah dalam Raperda ini). Lagipula, UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada
Peraturan Menteri Dalam Negeri. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
menentukan dalam Pasal 1 angka 12 bahwa Peraturan Daerah yang dibentuk
DPRD DIY dengan persetujuan bersama Gubernur disebut dengan Peraturan
Daerah DIY (Perda DIY). Dengan adanya asas lex superiori derogat legi
inferiori maka ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
124
dengan sendirinya mengesampingkan ketentuan dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014.152
Sayangnya, Pemerintah Daerah DIY tidak pernah diberikan kesempatan
untuk memberikan penjelasan terkat tidak dicantumkannya nomenklatur
“Provinsi” dalam Raperdanya. Keputusan Menteri Dalam Negeri telah
memberikan rambu-rambu, bahwa dalam hal Gubernur DIY dan DPRD DIY tidak
menindaklanjuti hasil evaluasi dan tetap menetapkan Rancangan Peraturan Daerah
tersebut menjadi Peraturan Daerah maka dilakukan pembatalan oleh Menteri
Dalam Negeri. Pada saat itu, masih berlaku Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2014. Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan
bahwa keputusan pembatalan Perda (baik Perda Provinsi, Kabupaten, dan Kota)
ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak
dapat menerima keputusan pembatalan Perda tersebut dengan alasan yang dapat
dibenarkan
oleh
peraturan
perundang-undangan,
Kepala
Daerah
dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Risiko adanya pembatalan Perda inilah yang menjadi pertimbangan DPRD
yang menginginkan Pemerintah Daerah DIY menindaklanjuti secara keseluruhan
hasil evaluasi atas Raperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 11 Tahun 2011
tentang Retribusi Jasa Umum. Hingga kemudian terjadi deadlock dalam proses
pembahasan Raperda tersebut yang menyebabkan tidak tercapainya persetujuan
152
Ibid.
125
bersama sehingga Raperda tidak dapat ditetapkan menjadi Perda.153 Hal yang
sama terjadi pula dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Istimewa
Daerah Istimewa Yogyakarta (Raperdais DIY). Sampai dengan tahun 2014, baru
satu Perdais yang dihasilkan yaitu Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2013 tentang Kewenangan Dalam Urusan
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat itu, belum ada permasalahan
terkait tidak digunakannya nomenklatur “Provinsi” dalam Perdais tersebut karena
tidak melalui tahap evaluasi (Raperda yang wajib dilakukan evaluasi adalah
Raperda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014). Namun pasca ditetapkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 973-1665 Tahun 2014 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi
Jasa Umum, penggunaan nomenklatur “Provinsi” menjadi permasalahan yang
menyebabkan pembahasan beberapa Raperdais juga mengalami jalan buntu
sehingga tidak dapat ditetapkan.154
Sejatinya, keberlakuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah mutlak-tidak dapat diganggu
gugat-sepanjang tidak dilakukan pencabutan oleh pembuatnya. Sehingga apa yang
diatur di dalamnya pun harus dianggap benar. Pasal 1 angka 7, angka 8, dan angka
11 sudah mengatur penggunaan nomenklatur Pemerintahan Daerah DIY,
153
Hasil wawancara dengan Bapak Haris Suhartono, Kepala Subbagian Peraturan Daerah
Biro Hukum Setda DIY pada tanggal 25 November 2014.
154
Sebagaimana diungkapkan oleh mantan Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRD DIY,
Sadar Narimo, dalam harian Radar Jogja, Selasa, 30 September 2014, hlm. 1.
126
Pemerintah DIY, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, tanpa adanya kata
“Provinsi” di depannya. Demikian pula dengan penyebutan Peraturan Daerah DIY
dan Peraturan Daerah Istimewa DIY, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12
dan angka 13. Dengan demikian, tidak salah jika Pemda DIY tetap bersikeras
untuk tidak menggunakan kata “Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa
Yogyakarta” dalam Raperda maupun Raperdaisnya..
Hal yang perlu mendapat perhatian lebih dari Pemerintah dalam hal
pengawasan produk hukum daerah, khususnya pengawasan preventif terhadap
Raperda Provinsi, adalah bahwa sebelum memberikan keputusan hasil evaluasi
hendaknya Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri) mengundang
Pemerintah Daerah Provinsi untuk mencermati poin per poin saran perbaikan dari
Pemerintah. Ini diperlukan mengingat Pemerintah Daerah Provinsi adalah
penyusun dari Raperda tersebut sehingga mereka mengetahui persis apa yang
menjadi latar belakang disusunnya setiap norma dalam Raperda itu. Sehingga di
sini akan terjadi hubungan langsung dua arah antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah Provinsi, dan kedua pihak dapat memberikan argumentasinya dalam
rangka penyempurnaan terhadap Raperda dimaksud.
Dalam sistem negara Kesatuan, pemerintahan daerah adalah sub sistem
pemerintahan negara yang tidak mungkin melepaskan sama sekali aspek
sentralisasi sebagai unsur pengerat ikatan persatuan. Pengawasan merupakan
salah satu instrumen penting untuk mewujudkan bekerjanya sistem tersebut.
Dengan adanya pengawasan, Pemerintah dapat melakukan tindakan terhadap
pemerintah daerah yang tidak dapat menjalankan pemerintahan dengan baik.
127
Hanya saja pengawasan oleh Pemerintah semestinya berjalan secara
proporsional di bawah ketentuan hukum yang konsisten antara Undang-Undang
Pemerintahan Daerah dengan peraturan pelaksananya, serta Undang-Undang
sektoral. Jika hanya sekedar mendasarkan pada asas lex superior derogat legi
inferiori, Perda akan selalu dikalahkan walaupun secara substansial peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut belum tentu sejalan dengan
paradigma desentralisasi. Oleh karena itu, sudah saatnya Pemerintah menegaskan
keseluruhan bentuk pengawasan yang dapat dijalankan terhadap kebijakan daerah.
Indikator untuk mengatur ketaat-asasan kebijakan daerah tidak dapat hanya diukur
secara normatif, tetapi harus dilihat pada kondisi faktual masing-masing daerah
dalam rangka melaksanakan otonomi luasnya.155 Dengan demikian, konsep
desentralisasi yang sesungguhnya pun dapat diwujudkan secara efektif dan
efisien.
155
Enny Nurbaningsih, “Berbagai Bentuk Pengawasan Kebijakan Daerah Dalam Era
Otonomi Luas”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23, Februari 2011, halm. 189.
Download