sumber:www.oseanografi.lipi.go.id ISSN 0216-1877 Oseana, Volume XXI, Nomor 4, 1996 : 25-41 KEMAJUAN DALAM PENYEDIAAN PAKAN BURAYAK oleh Sri Juwana !) ABSTRACT DEVELOPMENT ON LARVAL FEED PREPARATION A litterature study was made particularly to pay attention on the development on larval feed preparation and its consequence. Various methods might have been developed in producing formulated diets for aquaculture since 1970s. Such as experiments on flaked diets, microencapsulated diets, microparticulated diets, single cell protein diets and various type of pelletized diets. Resulted in different approaches and formulations which are already being applied at the commercial level, and many new developments in more cost-effective products are to be expected. So that a tremendeous progress has been made since 1980s in the exprerimental as well as commercial seedling production of different species of aquaculture interest. However, lack of basic hygienic precantions and limited management expertise might caused considerable risks for total collapses of local aquaculture activities. A final remark needs to be made regarding feeding strategies and better management with regard to disease prevention and control in seedling production activities. PENDAHULUAN sangat berperan dalam meningkatkan kelulushidupan dan kualitas burayak (larva). Perkiraan panti pembenihan (hatchery) tentang produksi yang lebih baik dengan biaya produksi yang makin menurun menjanjikan keberhasilan usaha pembenihan biota laut secara komersil. Industri pembenihan makin bersaing, terutama jenis biota laut hanya mungkin berhasil bila ada perbaikan nutrisi burayak dan pencegahan penyakit. Berikut ini Pada akhir tahun 1980an budidaya biota laut telah mengalami banyak kemajuan. Peningkatan nutrisi terutama dengan cara memperkaya diet untuk memperbaiki nilai nutrisi pakan hidup seperti Brachionus dan Artemia, juga penggunaan pakan buatan sebagai pakan tambahan atau pengganti pakan hidup, dan perbaikan cara penyediaan pakan, 1 )Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi - LIPI. Jakarta. 25 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id tahun ini beberapa jenis ikan laut dianggap sebagai biota budidaya (misalnya ikan kakap dan kerapu). Mereka dibesarkan dalam kurungkurung mendasar atau keramba jaring apung (kejapung) dan memberikan keuntungan yang menarik bagi para pengusaha. Maka penyediaan benih secara teratur akan memberikan jaminan sukses bagi usaha pembesaran tersebut. Untuk budidaya ikan dan udang hal ini hanya dapat dilaksanakan bila ada pengembangan teknik yang sesuai untuk mengkontrol reproduksi dan usaha pembenihan. Dalam pemberian nutrisi untuk burayak, terutama pemberian pakan pertama kepada burayak yang baru menetas, nampak merupakan hal yang muskil bagi budidaya ikan dalam skala industri. Produksi telur pada kebanyakan ikan laut mungkin tidak merupakan masalah utama. Tetapi ukuran burayak yang baru menetas dan pemberian pakan pertama yang merupakan asal muasal kesukaran dalam usaha pembenihan ikan. Tabel 1 menunjukkan ukuran telur dan burayak yang baru menetas dari beberapa species ikan laut. Kebanyakan ikan laut yang diketahui mempunyai potensi untuk dibudidayakan. hanya mempunyai cadangan kuning telur (yolk) pada saat baru menetas. yang biasanya habis dalam waktu satu atau dua hari. Pada waktu makan pertama kali, burayak ikan itu masih mempunyai mulut yang sangat kecil, seringkali dengan bukaan mulut kurang dari 0,1 mm (GLAMUZINA et al. 1989). Pada burayak udang, tidak hanya ukuran pakan yang menjadi masalah, juga karena burayak berkembang melalui beberapa tingkat perkembangan yang berubah dari pemangsa fitoplankton (filter-feeder) menjadi karnivora. merupakan pendapat SORGELOOS & LEGER (1992) yang dilengkapi dengan pandangan penulis, mengenai perkembangan usaha pembenihan udang dan ikan laut saat ini. Ketergantungan terhadap benih udang dan ikan adalah merupakan satu dari faktor kritis untuk industri komersil produksi ikan atau udang laut (FAO 1989). Hanya beberapa jenis yang mempunyai ciri ethological dan ecological yang unik dapat digunakan sebagai benih alami untuk penebaran dan pembesaran-nya di tambak atau di kurung-kurung. Misalnya udang Penaeid Ekuador, benihnya dikumpulkan dari daerah pantai sebanyak ribuan juta setiap tahunnya. Sumber yang murah ini telah menyediakan benih udang yang bernilai multi-milium dollar US untuk industri pertambakkan udang di Ekuador (LEE 1989). Benih ikan dari alam hanya digunakan dalam skala yang lebih kecil, yaitu dengan hasil beberapa ratus ton pertahun untuk ikan bandeng Chanos chanos di Filippina dan Indonesia, dan ikan ekor kuning Seriola quinqueradiata di Jepang. Tetapi ketika benih udang penaeid tiba-tiba menurun beberapa tahun yang lalu di Ekuador, maka usaha pertambakkan tidak dapat berjalan lancar. Usaha tambak bandeng dan udang penaeid di Filippina sering menganggur karena kekurangan benih. Pemerintah Jepang membatasi peternakan ikan ekor kuning untuk mencegah kejadian tangkaplebih (over fishing) terhadap sumber benih alami (SORGELOOS & LEGER 1992). Dengan menerapkan teknik pembesaran secara intensif, petani tambak udang perlu mengoperasikan tambak pada kapasitas maksimum untuk memperoleh keuntungan bagus, maka memerlukan jaminan persediaan benih udang sepanjang tahun. Baru beberapa 26 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Tabel 1. Ukuran telur dan panjang larva pada saat baru menetas dari beberapa species ikan ( JONES & HOUDE 1981 ). SPECIES DIAMETER TELUR PANJANG LARVA (mm) (mm) 5,6 - 6,0 15,0-25,0 4,0 0,9- 1,6 1,3-1,4 0,9- 1,2 1,0- 1,4 0,9- 1,1 1,1 - 1,25 0,9- 1,0 0,77 - 0,90 0,78 - 0,84 12,0-20,0 4,8 - 6,2 7,0 - 8,0 2,7 - 3,0 3,2-3,7 3,5 - 4,0 3,2 - 3,4 2,2 - 3,5 1,4-2,4 1,8-2,0 Salmon (Salmo salar) Trout (Salmo gairdneri) Carp ( Cyprinus carpio) Bass (Dicentrarchus labrax ) Turbot ( Scophthalmus maximus ) Sole ( Solea solea ) Bream ( Sparus aurata ) Milkfish ( Chanos chanos) Grey mullet (Mugil cephalus) Grouper ( Epinephelus tauvina ) Bream (Acanthopagrus cuvieri) PAKAN BURAYAK maupun keuntungan untuk budidayawan, seperti ditunjukkan dalam Gambar 1. Saat ini ada tiga kelompok pakan hidup yang digunakan secara luas dalam usaha pembenihan ikan laut maupun udang, yaitu : (a) beberapa spesies fitoplankton berukuran 2 sampai 20 mikron; (b) rotifera, Brachionus plicatilis berukuran 50 - 200 mikron; (c) nauplii Anemia berukuran 200-500 mikron. Juga pakan buatan sebagai pakan tambahan atau pengganti pakan hidup telah banyak beredar di pasar. Diet alami untuk kebanyakan spesies ikan dan udang terdiri dari beragam jenis fitoplankton (diatom, flagelata, dll) dan zooplankton (rotifera, copepoda, cladocera, burayak decapoda, dll.) ditemukan melimpah di lingkungan alami. Menyadari bahwa pengumpulan sejumlah besar fitoplankton dari alam sebagai sumber pakan burayak dalam budidaya intensif tidak merupakan strategi yang menguntungkan, maka lebih dari dua atau tiga abad berbagai percobaan telah dilakukan untuk menghasilkan diet burayak terpilih. Kriteria pemilihan diet yang terbaik berdasarkan pada kebutuhan nutrisi burayak 27 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id MIKROALGA sementara dalam nilai nutrisi fitoplankton, sehingga menyebabkan produksi benih tidak Diatom dan fitoplankton hijau adalah dua tetap. Kandungan (n-3) HUFA (highly unkelompok dominan dalam budidaya mikroalga (FOX 1983). Species sebagai pakan hidup telah saturated fatty acids) 20:5 (n-3) dan 22:6 (ndipilih berdasarkan: potensi mereka untuk 3) dapat mempunyai variasi yang berbeda dibudidayakan dalam skala massal, ukuran sel, diantara species fitoplankton, bahkan juga diantara budidaya ke budidaya dari species mudah dicerna dan nilai nutrisinya. Jenis yang paling cocokpun masih yang sama (Gambar 2). Dengan menggunakan mempunyai banyak kendala dalam Penaenus stylirostris sebagai biota uji, LEGER budidayanya secara massal, setidak-tidaknya et al. (1985) menunjukkan bahwa kandungan dalam mengatasi masalah kontaminasi. 20:5 (n-3) dan 22:6(n-3) dalam diet Zoea Sebagai hasilnya kebanyakan petani tetap mempunyai pengaruh nyata dalam kelulusmenggunakan sistem produksi secara intensif hidupan dan pertumbuhan tingkat peryang mahal. Contohnya, meskipun target kembangan berikutnya, ketika hewan itu telah produksi dapat dikelola dan dipantau dengan diberi ransum makanan yang lain (Gambar menghitung jumlah sel yang di produksi, petani 3). Hal ini merupakan dasar pemikiran dalam memilih fitoplankton sebagai pakan hidup. tambak mungkin menghadapi variasi 28 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id penetasan seperti pH dan cahaya secara nyata mempengaruhi hasil penetasan, hasil optimal penggunaan telur Artemia juga disadari tergantung pada kualitas pengalengan telur tersebut. Meskipun panen telur Artemia sangat melimpah akhir-akhir ini, terutama di Great Salt Lake (Utah, USA), persaingan di pasar telah berperan memberikan dorongan untuk pengembangan methode pembersihan dan pengalengan, sehingga menghasilkan suatu produk dengan kualitas terkontrol (BENGTSON et al. 1991). Pengetahuan yang lebih baik mengenai biologi Artemia merupakan dasar kemajuan cara kerja dalam desinfeksi dan dekapsulasi telur Artemia. Cara ini sedang diterapkan di beberapa panti pembenihan ikan dan udang untuk mensterilkan dan memisahkan kulit telurnya sehingga dapat mengurangi kesukaran saat panen nauplii. Pada kenyataannya tingkat pertama nauplii Artemia tidak dapat memangsa, sehingga menggunakan cadangan energinya sendiri untuk berkembang ke tingkat berikutnya. Pada suhu air tinggi yang digunakan untuk inkubasi telur, nauplii Artemia yang baru menetas berkembang ke tingkat nauplii kedua dalam beberapa jam, maka kehilangan 30 % cadangan energi dan nilai nutrisinya. Hal ini tidak hanya merupakan kerugian keuangan bagi petani karena ia harus memberi pakan tambahan sebanyak 30% untuk menghasilkan ransum makanan dengan kuantitas yang sama, kenyataannya juga ia membiarkan ikan atau udangnya mendapat mangsa berupa nauplii Artemia yang berukuran lebih besar, berenang lebih cepat dan nilai nutrisinya menurun. Oleh karena itu harus ada standarisasi methode penetasan. Telur harus diiknubasikan pada suhu air konstan kemudian nauplii dipanen dan diberikan kepada burayak pada saat masih mempunyai nilai nutrisi yang terbaik. ROTIFERA Rotifera (Brachionus spp.) kebanyakan digunakan sebagai diet awal di dalam pemeliharaan burayak ikan (FUKUSHO 1989). Budidaya rotifera nampak sangat sederhana, yaitu dengan mikroalga (biasanya menggunakan Chlorella spp.) ditambah ragi roti sebagai pakan mereka. Tetapi banyak panti pembenihan telah melaporkan bahwa mereka menghadapi kendala yang cukup rumit dalam pengelolaan budidaya massal rotifera yang dibutuhkan untuk memberi makan ratusan atau ribuan bahkan jutaan burayak ikan yang mereka pelihara. Disamping aspek teknis (misalnya pengelolaan air) pakan merupakan satu elemen kunci untuk mencapai sukses dalam budidaya rotifera. Untuk mudahnya, ragi roti paling banyak digunakan sebagai bahan utama untuk pakan dalam budidaya rotifera. Tetapi lama penyimpanan ragi roti tersebut mempengaruhi nilai nutrisi rotifera, dan konsekwensinya juga menentukan keberhasilan budidaya rotifera. Banyak petani menambahkan ragi roti dengan mikroalga, yaitu merupakan suatu cara dimana pada saat yang sama menjamin peningkatan kadar (n-3) asam lemak essensial dalam rotifera. Pengayaan dengan (n-3) HUFA ini sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai nutrisi rotifera sebagai pakan hidup untuk burayak ikan (FUKUSHO 1989). NAUPLIIA1ARTEMIA spp. Diantara pakan hidup, nauplii Artemia merupakan pakan yang paling banyak digunakan di dalam budidaya. Meskipun penyediaan dan penggunaan nauplii ini nampak sangat sederhana, sesungguhnya usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan mutunya sebagai pakan larva telah dilakukan berabad-abad. Nampak bahwa banyak faktor 30 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id berukuran terbesar. Pada akhir tahun 1970 sampai awal tahun 1980 dilaporkan banyak petani ikan dan udang yang menjumpai perbedaan hasil ketika menggunakan nauplii Artemia dari berbagai sumber geografi. Peneliti dari Jepang, Amerika dan Eropa mempelajari hal ini dan menemukan variasi dalam nilai nutrisi nauplii Artemia dari sumber yang berbeda. Situasi makin memuncak ketika ditemui perbedaan nyata dalam produksi yang diperoleh dengan menggunakan nauplii Anemia dari sumber geografi yang sama. Penelitian terhadap nilai nutrisi nauplii Artemia menunjukkan bahwa konsentrasi asam lemak essensiel yaitu EPA (eicosapentaenoic acid) 20:5(n-3) dalam nauplii Artemia menentukan nilai nutrisi nauplii ini yang diperlukan bagi beragam jenis ikan dan udang laut (WATANABE et al. 1983,LEGER et al. 1985). Gambar 4 menunjukkan hasil-hasil pertumbuhan Mysidopsis bahnia yang diperoleh dengan menggunakan kemasan berbeda Artemia, meskipun diambil dari sumber geografi yang sama tetapi mengandung jumlah EPA yang berbeda. sehingga menghasilkan pertumbuhan yang mempunyai perbandingan secara proportional merupakan garis lurus. Seperti nampak di Tabel 2, konsentrasi EPA di dalam Artemia sangat bervariasi, bahkan dari satu kemasan ke kemasan lainnya dalam strain yang sama. Telur yang diproduksi dari sumber daratan nampak lebih konstan komposisinya tetapi mempunyai kadar EPA pada tingkat rendah. Sebagai hasilnya konsentrasi (n-3) HUFA EPA perlu digunakan sebagai penentu untuk memilih kemasan telur Artemia. Telur Artemia yang berukuran kecil dan mengandung EPA tinggi sangat terbatas jumlahnya secara komersil. Oleh karena itu, penggunaannya harus digunakan pada saat sangat diperlukan oleh burayak ikan atau Beberapa panti pembenihan telah menerapkan cara penetasan dan panenan yang termudah adalah menyimpan nauplii Artemia yang baru menetas di lemari pendingin (refrigerator atau cold storage dengan kepadatan beberapa juta nauplii per liter pada suhu 5° sampai 10°C. Pada suhu rendah nauplii Artemia tidak aktif bergerak dan cenderung menetap di dasar wadah, maka aerasi diperlukan untuk mencegah kekurangan oksigen. Nauplii Artemia tetap dalam tingkat perkembangan awal dalam penyimpanan selama 24 jam atau bahkan lebih, ini berarti tidak menggunakan cadangan energi dalam tubuhnya. Hal ini tidak hanya menjamin produk yang lebih baik, tetapi juga dapat menerapkan pemberian pakan pada setiap saat diperlukan dari penyediaan satu tetasan telurtelur Artemia. Penerapan methode ini nampak lebih menguntungkan bagi burayak ikan dan udang karena keberadaan nauplii Artemia yang berkembang ke tingkat kedua dan seterusnya dalam bak-bak budidaya dapat dikurangi (SORGELOOS & LEGER 1992). Tetapi cara penetasan dan desinfeksi bukanlah merupakan parameter utama untuk memberikan jaminan keberhasilan penggunaan nauplii Artemia sebagai sumber pakan hidup dalam budidaya. Misalnya, ukuran nauplius yang dapat bervariasi dari satu sumber geografi dengan yang lainnya (VAHAECKE & SORGELOOS 1980). Hal ini sangat kritis untuk beberapa jenis ikan laut yang mempunyai ukuran mulut sangat kecil dan menelan mangsanya sekaligus. Sebagai contoh, dengan menggunakan ikan Menidia menidia sebagai biota uji, BECK & BENGTSON (1982) dapat melukiskan suatu hubungan (korelasi) antara ukuran nauplii Artemia dan kematian burayak ikan dalam perkembangan awal. Kematian burayak ikan dapat mencapai 50 % akibat kelaparan ketika diberi pakan nauplii Artemia dari strain yang 31 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id udang yang baru menetas. Bahkan produk nauplii Artemia yang terbaikpun tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan nutrisi burayak, terutama dengan kebutuhan asam lemak Gambar 4. essensial untuk biota laut, yaitu DHA (docosahexaenoic acid) 2 : 6 (n-3), yang tidak pernah tersedia dalam jumlah nyata dalam telur Artemia (BENGTSON et al. 1991). Hubungan antara kandungan 20 : 5 (n-3) Artemia dengan biomasa Mysidopsis bahnia yang diberi nauplii Artemia yang baru menetas dan beberapa kemasan Artemia asal San Francisco Bay. Tabel 2. Variabilitas kandungan 20 : 5 (n-3) antar strain Anemia. Data menunjukkan kisaran dan koefisien variasi seperti dihimpun oleh Legeref al. ( 1986 dan 1987 ). 32 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id BERLAIN 1988) sedikit demi sedikit mengurangi penggunaan dan bahkan mungkin dapat menggantikan seluruh penggunaan mikroalga dalam usaha pembenihan secara komersiil dikemudian hari. Beragam formulasi diet yang berbentuk mikropartikel dan emulsi (WATANABE et al. 1983, RIMMER and REED 1989, LEGER et al. 1989) digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan asam lemak essensiel atau unsur-unsur lainnya. Perlakuan terhadap rotifera dilakukan dalam 4 sampai 24 jam sebelum diberikan sebagai pakan untuk burayak ikan. Kecenderungan baru adalah untuk menyederhanakan cara kerja dengan menggunakan kombinasi pembudidayaan dan pengkayaan Brachionus (KOMIS et al. 1989. Ketika Artemia molting ke tingkat kedua (yaitu sekitar 8 jam setelah menetas) dapat memangsa partikel-partikel tanpa memilih, maka methode sederhana dikembangkan untuk memperkaya nilai nutrisi Artemia sebelum diberikan kepada burayak ikan. Methode ini disebut "bioencapsulation", saat ini telah banyak digunakan oleh panti pembenihan ikan maupun udang, diseluruh penjuru dunia, yaitu untuk memperkaya nauplii Artemia dengan asam lemak essensiel. Peneliti dari Inggris, Jepang dan Belgia mengembangkan berbagai cara kerja dan produk-produk pengkaya, berturut-turut menggunakan mikroalga terpilih, mikrokapsul, yeast, konsentrat emulsi dan atau produk berbentuk mikropartikel. Derajat pengkayaan terbaik pada Artemia maupun Brachionus diperoleh ketika menggunakan konsentrat emulsi (Tabel 3) (LEGER et al. 1986, 1987; BENGTSON et al. 1991). DIET FORMULASI Berbagai cara untuk memproduksi diet formulasi bagi usaha akuakultur mungkin telah dirancang sejak tahun 1970an. Misalnya pakan berbentuk serpihan ("flake") diciptakan oleh MEYERS & BRAND (1975) kemudian di optimumkan oleh BOONYARATPALIN & LOVELL (1977) dan HASTINGS (1982), pakan berbentuk protein sel tunggal, pakan berbentuk mikrokapsul, dan berbagai jenis pakan berbentuk pellet. Masing-masing tipe pakan mempunyai sifat tertentu dan kekurangan yang menghambat penerapan. Pakan berbentuk serpihan mudah larut karena mempunyai permukaan yang luas untuk kontak dengan air. Protein sel tunggal digunakan dengan sukses untuk pakan udang tetapi banyak kekurangannya dalam nilai ekonomis (COOSIO et al.1981). Hambatan yang sama diperoleh dengan pakan mikrokapsul yang mempunyai daya larut lambat (JONES & GABBOT) 1976. Kadar bahan perekat yang kurang pada pakan berbentuk pellet menyebabkan produk mudah pecah dan kehilangan nilai nutrisinya (BOONYARATPALIN & NEW 1982). Saat ini diet formulasi juga telah digunakan pada tingkat komersiil, dan banyak perkembangan baru yang diharapkan menghasilkan produk dengan biaya yang lebih efektif. Algae kering beku (TAYLOR 1990), berbagai produk yeast (COUTTEAU et al. 1990), pakan berbentuk mikrokapsul (JONES et al. 1979) dan bermacam-macam diet mikropartikel (LONGDON & WALDOCK 1981, KANAZAWA et al. 1982, CHAM- 33 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Tabel 3.Kandungan (n-3) HUFA dalam rotifera ( Brachionus plicatilis ) dan Artemia yang diperkaya dengan berbagai produk yang berbeda (LEGER et al. 1989 ) a) mg asam lemak methyl ester per gram berat kering rotifer atau Artemia. b) emulsi konsentrat pengkaya (n-3) HUFA ( Artemia System, S.A. Ghent, Belgium ) c) product protein pengkaya (n-3) HUFA (Artemia System, S.A. Ghent, Belgium) 34 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Penaeus monodon tingkat PL 10 yang diberi pakan diet yang mengandung tiga variasi kadar (n-3) HUFA. Perbedaan kelulus-hidupan diantara tiga perlakuan, adalah tidak nyata pada saat PL 10 belum diperlakukan dengan perubahan salinitas. Tetapi perbedaan dalam kualitas PL, menunjukkan kemampuan bertahan terhadap perubahan salinitas adalah sangat nyata (Gambar 5). Ketahanan terhadap perubahan salinitas, yang dengan mudah dapat diterapkan pada panti pembenihan, sekarang mulai digunakan sebagai kriteria kualitas untuk menentukan saat yang tepat untuk memindahkan PL dari panti pembenihan ke tambak (SORGELOOS 1989). Penggunaan nauplii Artemia yang diperkaya dengan (n-3) HUFA sebagai sumber pakan yang sesuai untuk beragam jenis burayak ikan laut sudah tidak diragukan lagi (WATANABE et al. 1983). Peningkatan kelulus-hidupan dan pertumbuhan ikan telah terbukti bila diberi diet yang diperkaya dengan (n3) HUFA dilaporkan pada ikan Dicentrarchus labrax (European bass) dan Sparus aurata (sea-bream) yang telah diterapkan pada usaha pembenihan secara komersiil. Pengamatan yang sama juga terjadi pada beberapa species udang penaeid. Sesuatu gambaran yang bagus mengenai hal ini adalah ketahanan terhadap perubahan salinitas pada Gambar 5. Kelulus-hidupan Penaeus monodon PL-IO yang diberi pakan diet kombinasi yang mengandung (n-3) HUFA dengan kadar berbeda, setelah di pindahkan dari air laut salinitas 35 ppt ke 7 ppt. 35 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Informasi yang baru diperoleh dari REDJEKI (1995) menyatakan bahwa bahan pengkaya rotifera dan nauplii Artemia berupa casein dan lesitin yang dipadukan dengan emulsi lemak yang berasal dari minyak ikan lemuru (sardine oil) merupakan sumber asam lemak essensiil yang mengandung (n-3) HUFA tinggi, yang berguna untuk meningkatkan pertumbuhan dan kelulus-hidupan larva ikan kakap putih (Lates calcarifer), ikan kerapu (Epinephelus fuscoguttatus) dan udang karang (Panulirus homarus). JUWANA (1996) menunjukkan bahwa Zoea II burayak rajungan (Portunus pelagicus) telah dapat menerima nauplii Artemia yang diperkaya dengan diet formulasi berbentuk tepung yang mana nauplii tersebut mempunyai ukuran relatif lebih besar (lebar 0,117-0,190 mm, panjang 0,551-0,760) daripada ukuran nauplii yang baru menetas (lebar 0,117-0,162 mm, panjang 0,333-0,432 mm). Produksi megalopa rajungan dari budidaya yang diberi pakan berupa nauplii Artemia yang diperkaya dengan pakan berbentuk tepung selalu lebih tinggi daripada budidaya yang menerima pakan nauplii Artemia yang baru menetas. Methode pengkayaan nauplii Artemia ini sangat menguntungkan bagi pemeliharaan burayak (Zoea) rajungan karena lebih menjaga kebersihan air laut pemeliharaan daripada cara pengkayaan nauplii dengan minyak emulsi. Pada mulanya ada anggapan bahwa burayak udang air tawar Macrobrachium rosenbergii tidak memerlukan (n-3) HUFA karena seluruh daur hidupnya tinggal di air tawar. Tetapi anggapan ini bertentangan dengan hasil penelitian DEVRESSE et al. (1990) yang menggunakan nauplii Artemia dengan emulsi (n-3) HUFA. Disamping laju pertumbuhannya yang meningkat, sesuatu perbedaan yang jelas nampak mempunyai dampak positif dalam usaha komersiil, yaitu pasca-burayak (post-larva) Macrobrachium tersebut mempunyai ketahanan lebih terhadap stress dan peristiwa metamorfosa terjadi lebih tepat waktu dan lebih serentak. Nampak bahwa bagi banyak jenis ikan dan udang laut, optimal diet belum dicapai dengan Brachionus dan Artemia. Lebih lanjut, meskipun (n-3) HUFA telah ditunjukkan sangat dibutuhkan, juga lipid, peptid, asamasam amino, pigmen, sterol dan vitamin mungkin sama pentingnya pada beberapa jenis atau bahkan lebih diperlukan. Misalnya, keseimbangan komposisi asam amino dan jumlah yang mencukupi kebutuhan akan lemak, vitamin, cholesterol dan mineral (khususnya kalsium dan fosfat) adalah unsurunsur yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan normal udang laut Penaeus japonicus (SHIGUENO 1975). Sedangkan percobaan PONAT & ADELUNG (1983) menunjukkan bahwa vitamin yang larut dalam air, lipid dan cholesterol adalah nutrien essensiel bagi juvenil Carcinus maenas (European Shore Crab), tetapi chitin tidak perlu ditambahkan ke dalam diet mereka. TEKNIK PENYEDIAAN PAKAN Meskipun jumlah kapasitas ikan dan udang yang dihasilkan panti pembenihan telah bergerak meningkat diseluruh penjuru dunia, tetapi intensifikasi aktivitas hatchery menimbulkan beberapa kendala baru yang tidak nampak pada skala eksperimen. Misalnya salah bentuk tulang (skeleton), gelembung renang tidak menggembung dan lain cacat yang terjadi pada ikan sebetulnya disebabkan oleh kesalahan teknis penyediaan pakan (FOSCARINI 1988). Lapisan minyak yang terhampar dipermukaan air budidaya menghambat kemampuan larva ikan 36 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Produk seperti tetracycline, chloramphenicol dan furazolidone sering digunakan setiap hari sampai mencapai dosis 50 ppm pada budidaya ikan laut. Sehingga keuntungan dalam jangka pendek, segera berubah menjadi kegagalankegagalan yang sangat fatal. Hal terburuk pernah terjadi pada usaha pembenihan udang, dimana banyak panti pembenihan terpaksa berhenti bekerja (CHAMBERLAIN 1988). Meskipun masih tetap banyak cara untuk perbaikan, yaitu dengan identifikasi yang lebih baik dan dokumentasi terhadap masalah penyakit yang terjadi, tindakan pencegahan lebih baik diterapkan. Misalnya, cara desinfeksi bak-bak budidaya dan fasilitas pakan hidup secara rutin. Juga pencucian dan pengeringan fasilitas tersebut secara teratur dalam setiap tahapan aktivitas budidaya, banyak dilaksanakan saat ini dan lebih memberikan jaminan akan keberhasilan budidaya. Dalam budidaya ikan laut, nampak bahwa masalah mikrobia kurang mengganggu pada panti pembenihan yang menggunakan sistem resirkulasi dengan biological filter, meskipun dalam kurun waktu tertentu pergantian air budidaya juga diperlukan. Maka dipandang perlu untuk mendokumentasikan mikrobia dalam lingkungan pembenihan ikan dan udang, tidak hanya pada saat masalah penyakit muncul tetapi juga pada saat hasil optimal tercapai, sebagai patokan untuk penetapan pengelolaan kualitas air budidaya. Methodologi bioencapsulation dengan Artemia dan Brachionus sesungguhnya dapat ditiru untuk cara pemberian antibiotik yang dicampurkan didalam pakan. Cara ini dipertimbangkan akan mempunyai hasil yang lebih efektif daripada cara pemberian antibiotik pada air budidaya (LEGER et al. 1990). memperoleh udara dan mengisi gelembung renangnya. Ikan ini memerlukan usaha lebih untuk tetap berenang dekat permukaan air. Gerakan ini menyebabkan pertumbuhan sirip yang tidak normal. Masalah ini telah dapat ditanggulangi saat ini, dengan menggunakan peralatan yang dapat mencuci pakan hidup yang diperkaya dengan lipid menjadi lebih bersih tanpa ada kerusakan fisik. Proses penyediaan, penyimpanan dan pemberian pakan buatan yang tidak benar juga dapat mengakibatkan penurunan produksi bahkan sampai kematian total karena penurunan nutrisi pakan atau pakan mengalami proses pembusukan saat dimasukkan ke dalam air budidaya. Penerimaan optimum suatu pakan buatan akan menghasilkan pertumbuhan terbaik jenis dalam waktu yang terpendek. Sukses suatu pakan tergantung pada nilai nutrisi, ukuran partikel. stabilitas air dan daya tarik rasa ( LOVEL 1989 ). Sifat akhir suatu pakan buatan tergantung pada variabel dalam proses produksinya. Sehingga standarisasi prosesing, identifikasi bahan-bahan dan komposisi diet secara hati-hati sangat diperlukan (CASTELL et al. 1989). MASALAH PENYAKIT Perkembangan bakteria dan virus telah menyebabkan gangguan dalam keberhasilan industri benih ikan dan udang. Ketidak tahuan mengenai pengetahuan dasar tentang "hygienic" menyebabkan asal muasal dari kebanyakan masalah yang terjadi (BROWN 1989), tetapi semua terapi dengan obat-obatan digunakan untuk pencegahan maupun pengobatan. Obat-obatan telah digunakan secara coba-coba tidak berdasarkan saran para ahli. Antibiotik digunakan secara rutin dalam pembenihan udang maupun ikan. 37 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Dalam jangka pendek, lapangan kerja ini memerlukan perluasan untuk beberapa hal, yaitu : 1) bagaimana kualitas telur dapat lebih baik ditentukan dan dikontrol; 2) pengetahuan tentang qualitatif dan quantitatif kebutuhan nutrisi, yang mana saat ini masih sangat terbatas untuk kebanyakan jenis; 3) perhatian yang terbatas terhadap aspek teknis penyediaan pakan dalam hubungannya dengan pengaturan ransum makanan, automatisasi pemberian pakan dan sistem budidaya yang digunakan; dan 4) pengetahuan yang lebih baik tentang mikrobia dalam lingkungan panti pembenihan, juga sistem imunisasi akan menciptakan pengelolaan yang lebih baik dengan pencegahan dan kontrol terhadap penyakit. PROSPEK DI MASA DEPAN Pada masa yang telah lalu pembenihan ikan dan udang laut telah memakan biaya besar dan tidak menghasilkan keuntungan materi. Saat ini benih beberapa spicies ikan laut yang merupakan produk panti pembenihan telah mulai dijual dengan keuntungan yang cukup menarik bagi para pengusaha. Jumlah panti-panti pembenihan bertambah sangat pesat. Situasi ini mungkin akan berubah seperti pernah dialami oleh panti pembenihan udang. Misalnya "backyard hatchery" di Thailand dan Indonesia, dikelola dengan fasilitas yang sangat terbatas, kebanyakan dengan kualitas air dibawah standar. Namun mereka berkembang disana-sini sepanjang pesisir bagaikan jamur sampai ribuan dalam dua tahun akhir tahun 1990an. Karena aktifitas keluarga (home industry) ini hanya memerlukan biaya operasional yang sedikit, meskipun hasilnya rendah tetap memberikan keuntungan dengan harga umum PL di pasar yang merupakan batas terendah keuntungan produksi yang dapat dikelola oleh panti-panti yang besar (YAP 1990). Tetapi, mereka menghadapi resiko besar, yaitu kematian total aktivitas pembenihan lokal, seperti juga terjadi pada industri udang terbesar di Taiwan (LIAO 1989). Untuk mempunyai aktivitas industri yang stabil yang dapat memenuhi kebutuhan pembesaran lokal, kemampuan pembenihan ikan dan udang laut membutuhkan perbaikan hasil lebih lanjut. Dengan kelulus-hidupan ikan laut yang jarang mencapai 20 % - 30 %, nampak masih ada kemungkinan untuk perbaikan dan meningkatkan efektifitas biaya produksi. DAFTAR PUSTAKA BECK, A.D. and D.A. BENGTSON 1982. International study on Artemia XXII. Nutrition in aquatic toxicology-diet quality of geographical strains of Artemia. In: Aquatic toxicology and hazard assessment (J.G. Pearson, R.B. Foster & W.E. Bishop editors). 5th Conference, ASTM STP 766. American Society of Testing and Materials, Philadelphia, Pennsylvania, USA : 161 - 169. BENGTSON, D.A., P. LEGER and P. SORGELOOS 1991. Use of Artemia as a food source for aquaculture. In: Artemia Biology (R.A. Browne, P. Sorgeloos and C.N.A. Trotman, editors). CRC Press, Boca Rotan, Florida, USA : 255 - 285. 38 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id pholipids. World Aquaculture 21 (2) : 123 - 125. BOONYARATPALIN, M. & T. LOVELL 1977. Diet preparation for aquarium fishes. Aquaculture 12: 53 - 62. F A O 1989. Planning for aquaculture development. ADCP/REP/89/33, FAO, Rome, Italy. BOONYARATPALIN, M. & NEW, MB. 1982. Evaluation of diets for Macrobrachium rosenbergii reared in concrete ponds. In: Giant Prawn Farming. Development in Aquaculture and Fisheries Science (NEW, M.B. editor) Elsevier, Amsterdam: 532 pp. FOSCARINI, R. 1988. A review: intensive farming procedure for red sea bream (Pagrus major) in Japan. Aquaculture 72: 191 - 246. FOX, J.M. 1983. Intensive algal culture techniques. In: CRC Handbook of Mariculture. Volume I Crustacean Aguaculture (Mc Vey J.P. and J.R.M. Moore eds.). CRC Press. Inc Boca Raton, Florida: 1 5 - 4 2 . BROWN, J. 1989. Antibiotics: their use and abuse in aquaculture. World Aquaculture 20 (2): 34 -43. CASTELL, J.D., J.C. KEAN, L.R. D'ABRAMO and D.E. CONKLIN 1989. A standard reference diet for crustacean nutrition research I. Evaluation of two formulations. Jour. World Aqua. Soc. 20 (3) : 93 - 99. FUKUSHO, K. 1989. Biology and mass production of the rotifer Brachionus plicatilis. Intern. Jour. Aquacul. Fish. Tech. 1: 232 - 240. CHAMBERLAIN, G. 1988. Shrimp hatcheries. Coastal Aquaculture 5 ( 1) . GLAMUZINA, B., J. JUG-DUJAKOVIC and I. KATAVIC 1989. Preliminary studies on reproduction and larval rearing of common Dentex, Dentex dentex COSIO, L., R.A. FISHER, S. REVAHMOISEEV & P.A. CARROAD 1981. Conversion on the enzymatic hydrolysate of shelfish waste chitin to single-cell protein. Biotechnol Bioeng. 23: 1067 1069. (Linnaeus 1758). Aquaculture 77: 75 - 84. HASTING, W. 1982. A commercial process for water stable fish feeds. Feedstuffs 43 (47): 38. COUTTEAU, P., P. LAVENS & P. SORGELOOS 1990. The use of yeast as single-cell protein in aquacultural diets. Medical Faculty of Landbouww. Rijksuniv. Gent. 54 (4b): 1989. JONES, D.A. & GABBOT. P.A.1976. Prospects for the use of microcapsules as food particles for marine paniculate feeder. Proceedings of the 2nd International Symposium on Microencapsulation. Marcel Deffer. Inc.. New York: 7 7 - 9 1 . DEVRESSE, B., M. ROMDHANE, M.. BUZZI, J. RASOWO, P. LEGER, J. BROWN and P. SORGELOOS 1990. Improved larviculture outputs in the giant freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii fed a diet of Artemia enriched with (n-3) HUFA and phos- JONES, D.A., A. KANZAWA & K. ONO 1979. Studies on the nutritional requirements of the larval stages of Penaeus 39 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 japonicus using sumber:www.oseanografi.lipi.go.id study on Artemia. XXXIII. Promising results in larval rearing of Penaeus stylirostris using a prepared diet as algal substitute and for Artemia enrichment. Jour. World Aquacul. Soc. 16: 354 - 367. microencapsulated diets. Marine Biology 54: 261 - 267. JONES, A. & E.D. HOUDE 1981. Mass rearing of fish fry for aquculture. In: Realism in aquaculture:achievements, contraints, respectives (M. Bilio, H. Rosenthal & G.J. Sinderman editors). European Aquaculture Society, Breden, Belgium : 351 - 374. LEGER, P., D.A. BENGTSON, K.L. SIMPSON & P. SORGELOOS 1986. The use and nutritional value of Artemia as a food source. Oceanograp. Mar. Biol. An Anual Review 24: 521 623. JUWANA, S. 1996. Studi pendahuluan tentang peranan pakan buatan dalam budidaya rajungan, Portunus pelagicus (Portunidae, Decapoda). Oseanol Limnol Indonesia 29: 1 - 1 3 . LEGER, P., D. A. BENGTSON, P. SORGELOOS, K.L. SIMPSON & A.D. BECK 1987. The nutritional value of Artemia : a review. In : Artemia research and its applications, volume 3. (P. Sorgeloos, d.a. Bengtson, w. Decleir & E. Jaspers editors). Universa Press, Wetteren, Belgium: 357 - 372. KANAZAWA, A., S. TESHIMA and H. SASADA 1982. Culture of prawn larvae with microparticulate diets. Bull. Japan. Soc. Scientific Fish. 48 (2) : 195 - 199. KOMIS, A., E. NAESSENS, E. VAN BALLAER P. VAN SPRANG, P. LEGER and P. SORGELOOS 1989. New developments in the mass culture and nutritional enrichment of the rotifer Brachionus plicatilis using artificial diets. European Aquaculture Society, Special publication, number 10. Bredene, Belgium. LEGER, P., D. GRYMONPRE, E. VAN BALLAER & P. SORGELOOS 1989. Advances in the enrichment of rotifers and Artemia as food sources in marine larviculture. In: Aquaculture Europe '89. Short Communications Abstracts. European Aquaculture Society. Special Publication, number 10. Bredene. Belgium : 141 - 142. LANGDON, C. J. and MJ. WALDOCK 1981. The effect of algal and artificial diets on the growth and fatty acid composition of Crassostrea gigas spat. Jour. Mar. Biol. Assoc. of the U.K.61 : 431 - 448. LEGER, P., R. VERPRAET, H.J. NELIS, A.P. DE LEENHEER & P SORGELOOS 1990. Live food mediated drug delivery as a tool for disease treatment in larviculture. I. The enrichment of sulfadrug in rotifers and Artemia nauplii a case study. In: Book of abstract. World Aquaculture 1990, June 1 0 - 1 4 , Halifax, Nova Scotia, Canada : 23. LEE, D. 1989. Why Ecuador is among world leaders in shrimp farming. Fish Farming International 16 (4): 22-24. LEGER, P., G. F. BIEBER and P. SORGELOOS 1985. International 40 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id LIAO, I. C. 1990. The world's marine prawn culture industries: today and tomorrow. Proceedings of the 2nd Asian Fisheries Forum. The Asian Fisheries Society, Manila, Philippines:. 11 -27. SHIGUENO, K. 1975. Shrimp Culture in Japan. Associaton for International Technical Promotion. Tokyo, Japan. 153 pp. LOVELL, R.T. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. AVI Publishing Co., New York: 260 pp. SORGELOOS, P. 1989. Stress resistance in postlarval penaeid shrimp. Artemia Newsletter, State University of Ghent, Belgium 12: 12 - 13. MEYER, S. & BRAND, C.W. 1975. Experimental flake diets or fish and crusta-cea. Prog. Fish-Cult. 37: 67 - 72. SORGELOOS, P. and P. LEGER 1992. Improved larviculture outputs of marine fish, shrimp and prawn. Jour World Aquae. Soc. 23 (4): 251 - 264. TAYLOR, A. 1990. A double bonus for shrimp farmers. Fish Farming International File 4 (2): 3. PONAT, A. & D. ADELUNG 1983. Studies to establih an optimal diet for Carcinus maenas. III. Vitamin and quantitativ lipid requirements. Mar. Biol 74: 275 - 279. VANHAECKE, P. & P. SORGELOOS 1980. International study on Artemia. IV. The biometrics of Artemia strains from different geographical origin. In: The brine shrimp Artemia, volume 3. Ecology, culturing, use in aquaculture ( G. Persoone, P. Sorgeloos. O. Roels & E. Jaspers editors). Universa Press, Wetteren, Belgium: 393 - 405. RIMMER, M.A. & A. REED 1989. Effects of nutritional enhancement of live organisms on growth and survival of Barramundi/Seabass Lates calcarifer (Bloch) larvae. AQUACOP IFREMER Actes de Collogue 9: 6 1 1 -623. REDJEKI, S. 1995. Peningkatan gizi rotifer melalui pengkayaan serta hubungannya dengan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan laut dan udang karang. Prosiding Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) VI, Jakarta, 11 -15 September 1995. II : 960 - 969. WATANABE, T., C. KITAJIMA and S. FUJITA 1983. Nutritional values of live food organisms used in Japan for the mass propagation of fish: a review. Aquaculture 34 : 1 1 5 - 143. YAP, W.G. 1990. Backyard hatcheries take off in Jepara. Infofish International 2: 42 - 47. 41 Oseana, Volume XXI no. 4, 1996