BAB II LANDASAN TEORI A. LANDASAN TEORI 1. Tinjauan tentang Akta Otentik a. Pengertian Akta Otentik Akta adalah sebuah tulisan yang dibuat dengan unsur kesengajaan menurut peraturan yang berlaku dan disaksikan serta disahkan oleh pejabat resmi untuk dijadikan sebagai bukti tentang suatu peristiwa hukum dan ditandatangani oleh pembuatnya.10 Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang oleh penguasa yang membuatnya, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan undang-undang baik dengan ataupun tanpa bantuan yang berkepentingan untuk dicatat di dalamnya.11 Akta notariel adalah suatu akta yang dibuat dihadapan pejabat yang memiliki wewenang untuk membuat akta.12 Akta otentik adalah akta yang sejak awal dibuat dengan sengaja dan resmi untuk pembuktian apabila terjadi sengketa di kemudian hari.13 Sudikno Mertokusumo mengatakan:14 “Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwaperistiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.” 10 Charlie Rudyat.Kamus Hukum. Pustaka Mahardika.hlm 30 Ibid 12 Ibid, hlm 32 13 ibid 14 Bahan Kuliah Mata kuliah Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012. 11 9 10 A Pitlo mengatakan: “Akta adalah surat yang ditandatangani,diperbuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.” Pasal 1 angka 7 Undang-undang Jabatan Notaris menyatakan: “Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.”15 Akta otentik yang diuraikan dalam Pasal 1868 Kitab Undangundang Hukum Perdata berbunyi sebagai berikut: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”16 Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan batasan secara unsur yang dimaksud dengan akta otentik adalah: a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum; b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang; c. Pegawai umum (Pejabat Umum) oleh-atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.17 Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata dapat disimpulkan unsure dari akta otentik yakni: 1. Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan (verleden) dalam bentuk menurut hukum; 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 16 R.Subekti, R.Tjitrosudibio.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Jakarta.Pradnya Paramita.2008.hlm 475 17 Habib Adjie.Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris.Cetakan kedua.Bandung.Refika Aditama.2013.hlm 5-6 11 2. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum; 3. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya ditempat akta tersebut dibuat, jadi akta itu harus ditempat wewenang pejabat yang membuatnya.18 Akta yang dibuat di hadapan notaris disebut akta notarial, atau authentik, atau akta otentik. Pasal 1869 KUH Perdata kemudian menyatakan bahwa akta tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, apabila pejabat umum yang membuatnya tidak berwenang atau tidak cakap sebagai pejabat umum atau bentuk akta tersebut tidak memenuhi persyaratan yang dinyatakan dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, persoalan apakah sebuah akta otentik atau bukan merupakan persoalan sah atau tidaknya suatu akta. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut (vide Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870 KUHPerdata). Akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Sebaliknya, akta di bawah tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai. (vide Pasal 1857 KUHPerdata).19 18 Abdul Ghofur Anshori.Lembaga Kenotariatan Indonesia Prespektif Hukum dan Etika. Cetakan Kedua.Yogyakarta.Tim UII Press.2013.hlm 18 19 http://id.wikipedia.org/wiki/Akta_otentik,diakses pada tanggal 16 April 2015 pukul 20.59 WIB 12 b. Syarat-Syarat Akta Otentik Syarat-Syarat akta otentik menurut Philipus M. Hadjon antara lain sebagai berikut: 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang (bentuknya baku) 2. Di buat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.20 Syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata:21 1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak. Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak. 2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 tahuh bagi wanita. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 tahun bagi laki-laki, 16 tahun bagi wanita. Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum. 3. Adanya Obyek. Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas. 4. Adanya klausa yang halal. Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. 20 hlm 3 21 Philipus M. Hadjon.Formulir Pendaftaran Tanah Bukun Akta Otentik.Surabaya Post.2001. https://amelia27.wordpress.com/2008/12/03/syarat-sahnya-perjanjian-pasal-1320-kuhperdata/, diakses pada tanggal 17 April 2015 pukul 21.37 WIB 13 Berdasarkan pengertian akta yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo tersebut diatas dan dikaitkan dengan Pasal 1874 ayat (1) jo. 1869 KUHPerdata, maka untuk dapat dikategorikan akta harus memenuhi syarat yaitu:22 1. Akta harus ditandatangani a. Keharusan tanda tangan untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang lain atau akta yang dibuat oleh pihak lain. b. Fungsi tanda tangan untuk mengindividualisir suatu akta. 2. Akta harus memuat peristiwa-peristiwa hukum yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan Isi akta harus memuat suatu peristiwa yang melahirkan hak atau perikatan yang dapat menjadi bukti yang diperlukan. Jika keterangan yang dimuat dalam isi akta tidak melahirkan hak atau perikatan hukum, maka surat tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai akta, karena surat tersebut tidak dapat dipakai sebagaialat bukti. 3. Akta sengaja di buat sebagai alat bukti Pembuatan akta, sengaja untuk dipergunakan sebagai alat bukti mengenai peristiwa hukum yang menimbulkan hak atau perikatan, jika terjadi suatu sengketa hukum. Ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi untuk dikategorikan sebagai akta otentik yaitu :23 1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum. Akta ini disebut juga dengan akta relaas atau akta berita acara yang berisi uraian dari pejabat umum yang dilihat dan disaksikaan 22 http://woronotariatuns2012.blogspot.co.id/2012/11/teknik-pembuatan-akta-kuliah-ke1.html?view=snapshot.diakses pada tanggal 18 April 2015 pukul 12.56 WIB 23 http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/09/akta-otentik.html. pada tanggal 14 Oktober 2015 pukul 20.05 WIB 14 pejabat umum sendiri atas permintaan para pihak agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta otentik.Sedangkan akta yang dibuat di hadapan pejabat umum dalam praktek disebut akta pihak yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan dihadapan pejabat umum.Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik. 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang- undang (wet). Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum dalam bentuk yang sudah ditentukan dalam undang-undang. Dalam pasal 38 UUJN disebutkan bahwa : (1) Setiap akta Notaris terdiri atas : a. Awal akta atau kepala akta; b. Badan akta; dan c. Akhir atau penutup akta. (2) Awal akta atau kepala akta memuat : a. Judul akta; b. Nomor akta; c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. (3) Badan akta memuat : a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan daripihak yang berkepentingan; dan 15 d. Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiaptiap saksi pengenal. (4) Akhir atau penutup akta memuat : a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7); b.Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada; c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembutaan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian. 3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Wewenang Notaris dan PPAT meliputi empat hal , yaitu : a) Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat itu. Wewenang Notaris dan PPAT dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain atau notaris juga berwenang membuatnya. Di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, juga mengandung makna bahwa wewenang notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas, seperti halnya PPAT yaitu hanya terbatas pada pembuatan delapan jenis akta saja. b) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. 16 Mengenai orang dan untuk siapa akta itu dibuat harus ada keterkaitan yang jelas. c) Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai tempat di mana akta itu dibuat. Baik Notaris maupun PPAT mempunyai tempat kedudukan dan wilayah kerja masing-masing . d) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dan PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti, atau diberhentikan sementara waktu. Satu syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, karena di dalam akta otentik tersebut didalamnya telah termasuk semua unsur bukti:24 a) tulisan; b) saksi-saksi; c) persangkaan-persangkaan; d) pengakuan; e) sumpah. c. Jenis-Jenis Akta Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 KUH Perdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara lain: 1. Akta Di Bawah Tangan (Underhands) Akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau Notaris.Akta ini yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal 24 Habib Adjie. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris.Bandung. Refika Aditama. 2013. hlm 6 17 oleh Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai Pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik. Perjanjian di bawah tangan terdiri dari: Akta di bawah tangan biasa Akta Waarmerken, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak. Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak namun penandatanganannya disaksikan oleh atau di hadapan Notaris,namun Notaris tidak bertanggung jawab terhadap materi/isi dokumen melainkan Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut. Selain akta otentik dikenal juga akta dibawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Hal sematasemata dibuat antara para pihak yang berkepantingan.25 2. Akta Resmi (Otentik) Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau 25 Sudikno Mertokusumo.Hukum Acara Perdata Indonesia.Yogyakarta.Liberty.Cetakan pertama.Edisi ketujuh.2006.hlm 158 18 disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta itu. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya. Jenis akta notaris ada 2 yaitu: 1. Akta Relaas atau Akta Berita Acara - akta yang dibuat oleh (door) Pejabat Umum Berisi uraian dari Pejabat Umum yang dilihat dan disaksikan Pejabat Umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta otentik. 2. Akta Pihak -akta yang dibuat di hadapan (ten overstan) Pejabat Umum Berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Pejabat Umum.Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik. Akta Notaris ada 2 golongan, yaitu:26 1. “Akta partij atau akta pihak”, akta ini berisi cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan dan kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak dihadapan notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan itu maka para pihak datang menghadap dihadapan notaris dan memberikan keterangan atau melakukan perbuatan itu dihadapan notaris,agar keterangan itu dikonstatir oleh notaris pada suatu akta otentik/akta notaris. 2. “Akta relaas atau akta pejabat”, akta ini berisi uraian secara otentik mengenai sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang 26 Teknik Pembuatan Akta Otentik (Akta Notaris dan Akta PPAT), Buku Pertama Mata Kuliah Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.2012.hlm 24. Pengampu Dr.(Candidat).Michael Josef Widijatmoko,SH,SPn, Sunarto,SH,SPn, Wahyu Nugroho,SH,SPn. 19 dilihat atau disaksikan oleh notaris sendiri dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Dalam akta ini notaris menceritakan dan menerangkan suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris sendiri dalam menjalankan jabatannya. Menurut Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang perbedaan dari kedua akta itu adalah: 4. Akta relaas dibuat oleh pejabat, sedangkan akta para pihak dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat, atau para pihak meminta bantuan pejabat itu untuk membuat akta yang mereka inginkan tersebut. 5. Dalam akta para pihak, para pejabat pembuat akta sama sekali tidak pernah memulai inisiatif, sedangkan dalam akta relaas, pejabat pembuat akta itu kadang-kadang yang memulai inisiatif untuk membuat akta itu 6. Akta para pihak harus ditandatangani oleh para pihak dengan ancaman kehilangan sifat otentiknya, sedangkan akta relaas tanda tangan demikian tidak merupakan keharusan. 7. Akta para pihak berisikan keterangan yang dikehendaki oleh para pihak yang membuat atau menyuruh membuat akta itu, sedangkan akta relaas berisikan keterangan tertulis dari pejabat yang membuat akta itu sendiri. 8. Kebenaran dari isi akta relaas tidak dapat diganggu gugat kecuali dengan menuduh bahwa akta itu palsu, sedangkan kebenaran isi akta para pihak dapat diganggu gugat tanpa menuduh kepalsuan akta tersebut.27 27 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekutorial. Jakarta. Rineka Cipta.Cetakan Pertama.1993. hlm 30-31 20 Akta yang dibuat oleh notaris dalam praktek kenotariatan disebut akta relaas (relaas acten) atau akta berita acara yang berisi berupa uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak dilakukan dan dituangkan kedalam bentuk akta notaris. Akta yang dibuat atau yang diceritakan dihadapan notaris, para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan dalam bentuk akta notaris.28 d. Fungsi Akta ( Akta di bawah tangan dan akta otentik) Akta memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu: 1. Fungsi formal (Formalitas Causa), yaitu suatu perbuatan hukum baru dinyatakan sah atau sempurna jika dibuat dengan akta otentik atau akta di bawah tangan dan tidak dapat dibuktikan dengan alat bukti lain. 2. Fungsi sebagai alat bukti (Probationis Causa), yaitu akta otentik atau akta di bawah tangan dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti dikemudian hari tentang perbuatan hukum yang disebut dalam akta, dan adanya akta bukan syarat untuk sahnya suatu perbuatan hukum.29 e. Daya Pembuktian Akta Otentik Daya pembuktian akta otentik dapat dibagi kedalam 3 golongan, yaitu:30 1. Kekuatan bukti lahiriah (luar); Kekuatan bukti ini disebut dengan akta publica probant seseipsa atau suatu akta yang Nampak dari lahirnya (luarnya) atau dari kata-katanya berasal dari seorang pejabat umum dianggap sebagai akta otentik, 28 151 29 GHS Lumbun Tobing.Peraturan Jabatan Notaris.Jakarta.Erlangga.Cetakan ke-3.1983.hlm Bahan Kuliah Mata kuliah Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012. 30 Ibid 21 sampai terbukti sebaliknya. Pembuktian lahiriah berlaku bukan saja bagi para pihak tetapi juga bagi pihak ketiga, sedangkan akta bawah tangan jika tandatangannya diakui hanya berlaku bagi para pihak. 2. Kekuatan Bukti Formal a. Mengenai akta pejabat, akta ini membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yakni dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya. b. Mengenai akta partij, membuktikan bahwa pejabat umum dan para pihak ada menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta itu. c. Pembuktian formal memberikan kekuatan pembuktian lengkap baik terhadap akta pejabat maupun akta partij dan berlaku terhadap setiap orang tentang apa yang ada dan terdapat diatas tandatangan mereka. 3. Kekuatan Pembuktian Materiil Kekuatan pembuktian ini hanya dipunyai oleh akta partij dan tidak dipunyai oleh akta pejabat. Pada akta partij tidak saja membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam akta, tetapi juga apa yang diterangkan dalam akta itu adalah benar dan hanya berlaku antara para pihak yang bersangkutan, para ahli waris serta penerima hak mereka, sedangkan daya pembuktian materiil kepada pihak ketiga diserahkan kepada pertimbangan hakim. Lain halnya dengan akta pejabat yang tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil dan hanya membuktikan kebenaran apa yang dilihat dan dilakukan oleh notaris selaku Pejabat Umum. 22 f. Faktor-faktor penyebab suatu akta dapat dibatalkan Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan suatu akta dapat dibatalkan adalah sebagai berikut: 1. Adanya kesalahan dalam proses pembuatan akta yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Undang-Undang yang dimaksud disini adalah Undang-Undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014, yaitu pelanggaran terhadap ketentuanketentuan yang terdapat di dalam Pasal 84. Misalnya: Ketentuan Pasal 52 UUJN No. 2 Tahun 2014 mengenai Notaris yang membuat akta untuk dirinya sendiri, istri dan keluarganya. Ketentuan Pasal 44 UUJN No. 2 Tahun 2014 mengenai akta Notaris harus ditandatangani. 2. Apabila ada kesalahan ketik pada salinan akta Notaris seharusnya kita kembali pada ketentuan UndangUndang.Yang mempunyai nilai sebagai akta otentik sebetulnya adalah akta asli dari akta Notaris tersebut.Pasal 1888 KUHPerdata menentukan kekuatan pembuktian dari akta otentik ada pada aslinya. Salinan akta hanya mempunyai kekuatan yang sama dengan akta aslinya apabila salinan tersebut sama dengan aslinya. Kalau ada salinan akta yang bunyinya tidak sama dengan aslinya (karena ada kesalah ketikan) maka yang bersangkutan dapat meminta kembali salinan yang sama bunyinya. Salinan yang salah tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti. 3. Adanya kesalahan bentuk akta Notaris Kesalahan bentuk dari akta Notaris itu bisa terjadi seperti yang seharusnya berbentuk Berita Acara Rapat, oleh Notaris dibuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat. 23 4. Adanya kesalahan atas isi akta Notaris Kesalahan yang terjadi pada isi akta bisa terjadi apabila para pihak memberikan keterangan yang pada saat pembuatan akta dianggap benar, tetapi setelah itu kemudian ternyata tidak benar. 5. Adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris dalam pembuatan akta Yaitu perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Misalnya, seorang Notaris yang membuat suatu akta dimana Notaris mengetahui perbuatan hukum yang diinginkan dalam akta tersebut nyata-nyata merugikan salah satu pihak. Dalam Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014, tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. 2. Tinjauan tentang Keterangan Palsu Keterangan palsu yang tercantum dalam akta otentik adalah suatu keterangan-keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang bertentangan atau yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya.Adanya suatu keterangan palsu dalam suatu akta otentik bukan semata-mata karena kesalahan notaris.Pada dasarnya semua notaris membuat suatu akta dengan penuh kehati-hatian yang berdasar pada Undang-Undang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya. Notaris membuat akta sesuai dengan apa yang terjadi sesuai dengan keterangan, 24 identitas, dan surat-surat atau dokumen-dokumen yang diberikan oleh para pihak. Para pihak yang memberikan keterangan palsu atau yang meminta agar notaris memasukan keterangan palsu bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Berdasarkan keterangan-keterangan, identitas serta surat-surat atau dokumen-dokumen yang tidak benar yang diberikan oleh para penghadap tersebut notaris membuat akta otentik sesuai dengan kehendak para pihak.Setelah akta tersebut selesai dibuat maka akta tersebut ditandatangani oleh para pihak/penghadap, saksi-saksi dan notaris.Maka dengan demikian akta tersebut dapat disebut sebagai akta otentik yang dibuat berdasarkan keterangan palsu. Tindak pidana menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu dalam suatu akta otentik telah dilarang dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 266 KUHP. Tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: Unsur subyektif :dengan maksud untuk menggunakannya atau untuk menyuruh orang lain menggunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran. Unsur obyektif : 1. Barangsiapa 2. menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hal, yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut. 3. di dalam suatu akta auterntik 4. jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian.31 31 P.A.F Lamintang, Theo Lamintang.Delik-Delik Khusus Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum Terhadap Surat, Alat Pembayaran, Alat Bukti, dan Peradilan.Edisi Kedua.Jakarta. Sinar Grafika. 2009.hlm 71-72 25 Tindak pidana dengan sengaja menggunakan akta autentik yang berisi keterangan palsu yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 266 ayat (2) KUHP terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur subyektif : dengan sengaja b. Unsur obyektif :1. Barangsiapa 2..menggunakan akta seperti yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP 3. jika penggunaanya dapat menimbulkan sesuatu kerugian.32 Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu/membuat palsu surat sebelum perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian di buat suatu surat yang isinya sebagaian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam tulisan itu di hasilkan membuat surat palsu. Surat yang demikian di sebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat. Sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah ada sebuah surat disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuat memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadian surat yang semula benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Sanksi pidana tentang pemalsuan surat diatur dalam Pasal 264 KUHP. Pasal 264 merumuskan: Pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun, jika dilakukan terhadap: 32 Ibid, .hal 83 26 1. Akta-akta otentik 2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umumnya 3. Surat sero atau surat hutang atau sertifikat sero hutang dari suatu perkumpulan, yayasan perseroan atau maskapai; 4. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari surat yang diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; 5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntuhkan untuk diedarkan Dipidana dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak asli atau tidak dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Hal yang menyebabkan diperberat pemalsuan surat Pasal 264 diatas terletak pada faktor macamnya surat. Surat-surat tertentu yang menjadi objek kejahatan adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya. Suratsurat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi daripada suratsurat biasa atau surat lainnya. Kepercayaan yang lkebih besar terhadap kebenaran akan isi dari macam-macam surat itulah yang menyebabkan diperberat ancaman pidananya.33 3. Tinjauan tentang Yayasan a. Pengertian Yayasan Yayasan (Inggris: foundation) adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang. Di Indonesia, yayasan diatur dalam 33 http://sitimaryamnia.blogspot.co.id/2012/02/tindak-pidana-pemalsuan-surat.html. diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 12.43 WIB. 27 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.34 Pengertian Yayasan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan adalah: “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidakmempunyai anggota.”35 Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik yayasan adalah: 1. Yayasan sebagai badan hukum 2. Mempunyai harta kekayaan tersendiri yang berasal dari pendirinya untuk mencapai tujuan yayasan 3. Tujuan yayasan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan 4. Tidak mempunyai anggota. Yayasan merupakan suatu badan yang melakukan berbagai kegiatan bersifat nonkomersial (nirlaba) dan bergerak di bidang sosial, keagamaan atau pendidikan, dan cenderung memiliki tujuan idiil.36Badan Hukum Yayasan merupakan sebuah kumpulan dari sejumlah orang yang terorganisir serta dalam kegiatannya lebih tampak sebagai lembaga sosial. Pengertian lebih lanjut tentang Yayasan secara sederhana dijelaskan dalam Black’s Law Dictionary bahwa Foundation is Permanent fund established and maintained by contributions for charitable, educated, religious or other benevolentpurpose (Black’s Law Dictionary, 5th ed). Dapat diartikan sejak awal Yayasan didirikan bukan untuk suatu tujuan yang bersifat komerisal atau mencari keuntungan, 34 https://id.wikipedia.org/wiki/Yayasan. di akses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 13.15 WIB Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan 36 Mulhadi.Hukum Perusahaan.Bogor.Ghalia Indonesia.2010.hlm 194 35 28 akan tetapi lebih berorientasi sosial untuk membantu atau meningkatkan kesejahteraan hidup orang banyak.37 Untuk dapat mengetahui apakah yayasan itu ada beberapa pandangan para ahli, antara lain : 1. Menurut Poerwadarminta dalam kamus umumnya memberikan pengertian yayasan sebagai berikut : a. Badan yang didirikan dengan maksud mengusahakan sesuatu seperti sekolah dan sebagainya (sebagai badan hukum bermodal, tetapi tidak mempunyai anggota). b. Gedung-gedung yang teristimewa untuk sesuatu maksud yang tertentu(seperti : rumah sakit dsb). 2. Menurut Achmad Ichsan, Yayasan tidaklah mempunyai anggota, karena yayasan terjadi dengan memisahkan suatu harta kekayaan berupa uang atau benda lainnya untuk maksud-maksud idiil yaitu (sosial, keagamaan dan kemanusiaan) itu, sedangkan pendirinya dapat berupa Pemerintah atau orang sipil sebagai penghibah, dibentuk suatu pengurus untuk mengatur pelaksanaan tujuan itu. 3. Menurut Zainul Bahri dalam kamus umumnya memberikan suatu definisi yayasan sebagai suatu badan hukum yang didirikan untuk memberikan bantuan untuk tujuan sosial. 4. Yayasan adalah suatu paguyuban atau badan yang pendiriannya disahkan dengan akte hukum atau akte yang disahkan oleh notaris, dimana yayasanitu aktifitasnya bergerak di bidang sosial, misalnya mendirikan sesuatuatau sekolah.38 37 Winuratri Gita Prawardhani, Adi Sulistiyono. Analisis Yuridis Badan Hukum Yayasan dalam Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah.Jurnal Private Law Universitas Sebelas Maret Surakarta Vol.2 No 5 Tahun 2014. 38 http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=5461,diakses pada tanggal 19 April 2015,pukul 15.26 WIB 29 b. Pendirian Yayasan Pasal 9 Undang-undang Yayasan menyatakan bahwa: “(1) Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. (2) Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia. (3) Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat. (4) Biaya pembuatan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan denganPeraturan Pemerintah. (5) Dalam hal Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didirikan oleh orang asing atau bersama-sama orang asing, mengenai syarat dan tata cara pendirian Yayasan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.”39 Dalam penjelasan Pasal 9 UUY secara terang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah orang perorangan atau badan hukum. Artinya hanya bisa didirikan oleh orang-perorangan saja atau badan hukum saja. Dengan demikian UUY tidak memberikan kemungkinan pendiri campuran orang perorangan dengan badan hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya kewajiban dari para pendiri yayasan untuk memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal yayasan. Sedangkan jumlah pendiri menurut UU ini bisa satu pendiri atau lebih dari 1 (satu) pendiri. Dalam hal ini pendiri yayasan adalah “orang asing” atau “bersama-sama orang asing”, maka peraturan mengenai syarat dan tata cara pendirian yayasan demikian diataur dengan Peraturan Pemerintah. Mengenai hal tersebut, memang sudah tepat apabila Pemerintah mengatur secara cermat mengenai pendirian yayasan oleh “orang asing” atau “bersama-sama orang asing”, dengan tujuan agar yayasan demikian tidak membawa dampak yang merugikan kepentingan pemerintah dan masyarakat Indonesia.40 Pada Pasal 10 Undang-undang Yayasan disebutkan bahwa: 39 40 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-yayasan-definisi-maksud.html 30 “(1) Dalam pembuatan akta pendirian Yayasan, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa. (2) Dalam hal pendirian Yayasan dilakukan berdasarkan surat wasiat, penerima wasiat bertindak mewakili pemberi wasiat. (3) Dalam hal surat wasiat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dilaksanakan, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan dapat memerintahkan ahli waris atau penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat tersebut.”41 Setelah dibuat akta pendirian Yayasan maka Yayasan tersebut harus didaftarkan ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan pengesahan. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 11 Undang-undang Yayasan: “(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri. (2) Kewenangan Menteri dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagai badan hukum dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak AsasiManusia atas nama Menteri, yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Yayasan. (3) Dalam memberikan pengesahan, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait.”42 Permohonan pengesahan Yayasan sebagai badan hukum harus diajukan secara tertulis kepada Menteri. Pengesahan terhadap permohonan atau diterima atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak permohonan diterima secara lengkap.dalam hal diperlukan pertimbangan dari instansi yang terkait,pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 14 hari sejak tanggal jawaban atas permintaan pertimbangan dari instansi terkait diterima. Bila jawaban atas permintaan pertimbangan tidak diterima, 41 42 Undang-Undang no 28 Tahun 2004,Op.cit ibid 31 pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal permintaan pertimbangan disampaikan kepada instansi terkait. Permohonan pengesahan secara tertulis yang diajukan secara tertulis oleh Notaris berdasarkan surat kuasa yang diterimanya. Bila satu atau beberapa syarat formal yang ditentukan dalam Undangundang Yayasan dan peraturan pelaksanannya tidak dipenuhi, maka kemungkinan Menteri akan menolak permohonan tersebut. Bila hal itu yang terjadi, Menteri wajib memberitahukan secara tertulis disertai dengan alasannya kepada pemohon mengenai pengesahan tersebut. c. Anggaran Dasar dan Perubahan Anggaran Dasar Anggaran Dasar merupakan bagian penting dalam akta pendirian suatu Yayasan. Akta pendirian Yayasan terdiri dari Anggaran Dasar dan keterangan-keterangan yang lain yang dianggap penting. Anggaran Dasar merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Akta Pendirian Yayasan yang memuat hal-hal seperti yang terdapat pada Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Yayasan berikut ini: a. Nama dan tempat kedudukan; b. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut; c. Jangka waktu pendirian; d. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentukuang atau benda; e. Cara memperoleh dan penggunaan kekayaan; f. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina,Pengurus, dan Pengawas; g. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; h. Tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan; i. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar; j. Penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan 32 k. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan Yayasan setelah pembubaran. Anggaran Dasar dapat diubah dan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan rapat Pembina yang hanya dapat dilakukan apabila dihadiri oleh paling sedikit dua pertiga dari jumlah anggota pembina. Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dilakukan dengan akta notaris.Dalam hal keputusan rapat tidak tercapai, maka keputusan rapat ditetapkan berdasarkan persetujuan paling sedikit dua pertiga dari jumlah anggota pembina yang hadir. Pasal 20 Undang-undang Yayasan menyatakan bahwa: “(1) Dalam hal korum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) tidak tercapai, rapat Pembina yang kedua dapat diselenggarakan paling cepat 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggalrapat Pembina yang pertama diselenggarakan. (2) Rapat Pembina yang kedua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sah, apabila dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) dari seluruh anggota Pembina. (3) Keputusan rapat Pembina yang kedua sah, apabila diambil berdasarkan persetujuan suara terbanyak dari jumlah anggota Pembina yang hadir.” Perubahan Anggaran Dasar yang substansial meliputi nama dan kegiatan Yayasan maka harus mendapat pengesahan Menteri. Jika perubahan Anggaran Dasar dianggap tidak substansial maka prosedurnya hanya cukup diberitahukan kepada Menteri.Perubahan Anggaran Dasar tidak dapat dilakukan apabila Yayasan dinyatakan dalam keadaan pailit, kecuali atas persetujuan kurator. d. Organ Yayasan Yayasan mempunyai organ yang terdiri dari pembina, pengurus dan pengawas yang masing-masing penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Pembina 33 Penjelasan lebih lanjut tentang pembina terdapat pada Pasal 28 Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 sebagai berikut: “(1) Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-undang ini atau Anggaran Dasar. (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar; b. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas; c. penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan; d. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan e. penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan. (3) Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. (4) Dalam hal Yayasan karena sebab apapun tidak lagi mempunyai Pembina, paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal kekosongan, anggota Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat Pembina dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). (5) Keputusan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai korum kehadiran dan korum keputusan untuk perubahan Anggaran Dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar.”43 Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus maupun pengawas. Pembina mengadakan rapat paling sedikit satu kali dalam satu tahun. Dalam rapat tahunan, pembina 43 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan 34 mengadakan evaluasi tentang kekayaan, hak dan kewajiban Yayasan tahun yang lampau sebagai dasar pertombangkan bagi perkiraan mengenai perkembangan Yayasan untuk tahun yang akan datang.. 2. Pengurus Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan, yang dapat diangkat menjadi pengurus adalah orang perorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum, dan pengurus tidak boleh merangkap sebagai pembina atau pengawas. Susunan pengurus sekurang-kurangnya sebagai berikut: a. Seorang ketua b. Seorang sekertaris c. Seorang bendahara Berdasarkan Pasal 35 Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 disebutkan tanggung jawab pengurus Yayasan antara lain: (1) Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar Pengadilan. (2) Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. (3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan. (4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian pelaksana kegiatan Yayasan diatur dalam Anggaran Dasar Yayasan. (5) Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.44 44 ibid 35 Wewenang yang dimiliki oleh pengurus Yayasan, yaitu antara lain: a. Pengurus berwenang mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar Pengadilan b. Pengurus berwenang mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan. Terdapat beberapa sebab pengurus kehilangan wewenang, yaitu apabila terjadi: a. Terjadi perkara didepan pengadilan antara Yayasan dengan anggota pengurus yang bersangkutan. b. Anggota pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bersangkutan dengan kepentingan Yayasan c. Pengurus tidak berwenang mengikat Yayasan sebagai penjamin utang d. Pengurus tidak berwenang mengalihkan kekayaan Yayasan (kecuali dengan persetujuan pembina) e. Pengurus tidak berwenang membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain. f. Pengurus Yayasan dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi demngan Yayasan. 3. Pengawas Penjelasan tentang pengawas yayasan dijelaskan dalam Undang-undang Yayasan Pasal 40, 42, 43, 44, 45 dan 47. Menurut Pasal 40 Undang-undang Yayasan menyatakan pengertian Yayasan sebagai berikut: “(1) Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. 36 (2) Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Pengawas yang wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar. (3) Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum. (4) Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus.”45 Menurut Pasal 42 Undang-undang Yayasan menyatakan kewajiban pengawas Yayasan sebagai berikut: “Pengawas wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan Yayasan.”46 Menurut Pasal 43 Undang-undang Yayasan menyatakan tentang kewenangan pengawas Yayasan sebagai berikut: (1) Pengawas dapat memberhentikan sementara anggota Pengurus dengan menyebutkan alasannya. (2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pemberhentian sementara, wajib dilaporkan secara tertuliskepada Pembina. (3) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal laporan diterima, Pembina wajib memanggil anggota Pengurus yang bersangkutan untuk diberi kesempatan membela diri. (4) Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Pembina wajib: a. mencabut keputusan pemberhentian sementara; atau b. memberhentikan anggota Pengurus yang bersangkutan. (5) Apabila Pembina tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) danayat (4), pemberhentian sementara tersebut batal demi hukum.47 Menurut Pasal 44 Undang-undang Yayasan menyatakan tentang pengangkatan pengawas Yayasan sebagai berikut: 45 Ibid Ibid. 47 Ibid 46 37 (1) Pengawas Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali. (2) Pengawas Yayasan dapat diangkat kembali setelah masa jabatan pertama berakhir untuk masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat(1), ditentukan dalam Anggaran Dasar. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tata cara pengangkatan,pemberhentian, dan penggantian Pengawas diatur dalam Anggaran Dasar.48 Menurut Pasal 45 Undang-undang Yayasan menyatakan tentang penggantian Yayasan sebagai berikut: (1) Dalam hal terjadi penggantian Pengawas, Pengurus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penggantian Pengawas Yayasan.49 Menurut Pasal 46 Undang-undang Yayasan menyatakan tentang pemberhentian Yayasan sebagai berikut: (1) Pengawas Yayasan sewaktu-waktu dapat diberhentikan berdasarkan keputusan rapat Pembina. (2) Dalam hal pengangkatan, pemberhentian dan penggantian Pengawas dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pengawas tersebutdalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pembatalan diajukan.50 Menurut Pasal 47 Undang-undang Yayasan menyatakan tentang kepailitan Yayasan sebagai berikut: 48 Ibid Ibid 50 Ibid 49 38 (1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengawas dalam melakukan tugas pengawasan dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Pengawas secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. (2) Anggota Pengawas Yayasan yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. (3) Setiap anggota Pengawas yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengawasan Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, dan/atau Negara berdasarkan putusan Pengadilan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengawas Yayasan manapun.51 e. Tujuan Yayasan di Bidang Sosial, Keagamaan, dan Kemanusiaan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Yayasan menegaskan bahwa Yayasan mempunyai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Tujuan Yayasan hanya ada 3 (tiga), tetapi dari tiga tujuan tersebut dapat diderivasikan dalam berbagai kegiatan Yayasan yang tidak terlepas dari maksud tujuan Yayasan, misalnya: 1. Tujuan Yayasan di Bidang Sosial a. lembaga formal dan nonformal b. Panti asuhan, panti jompo, dan panti wreda c. Rumah sakit, poliklinik, dan laboratorium d. Pembinaan olahraga e. Penelitian di bidang ilmu pengetahuan f. Studi banding 2. Tujuan Yayasan di Bidang Keagamaan a. Mendirikan sarana ibadah 51 Ibid 39 b. Menyelenggarakan pondok pesantren dan madrasah c. Menerima serta menyalurkan amal, zakat, infak, dan sedekah d. Meningkatkan pemahaman keagamaan e. Melaksanakan syiar agama f. Studi banding keagamaan 3. Tujuan Yayasan di Bidang Kemanusiaan a. Memberikan bantuan kepada korban bencana alam b. Memberikan bantuan kepada pengungsi akibat perang c. Memberikan bantuan kepada tunawisma, fakir miskin dan gelandangan d. Mendirikan dan menyelenggarakan rumah singga dan rumah duka e. Memberikan perlindungan konsumen f. Melestarikan lingkungan hidup52 4. Tinjauan Tentang Notaris Menurut Kamus Indonesia “Notaris, adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang‐undang ini (Peraturan Jabatan Notaris).” Menurut Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia RepublikIndonesia Nomor.M.01‐HT.03.01 Tahun 2006, tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan Dan Pemindahan, dan Pemberhentian Notaris. Ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan Notaris, adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang Jabatan Notaris. 52 Habib Adjie, Muhammad Hafidh. Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Yayasan. Semarang. Pustaka Zaman. 2013.Hlm 23-24 40 Menurut Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014tentang Jabatan Notaris. Ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan Notaris, adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dengan undang‐undang ini Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris disebutkan pada Pasal 3 UUJN adalah: a. Warga negara Indonesia; b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater; e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturutturut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Mengenai Pemberhentian notaris terdapat pada Pasal 8 ayat (1) UUJN, antara laian sebagai berikut: a. Meninggal dunia; b. Telah berumur 65 (enampuluh lima) tahun; c. Permintaan sendiri; 41 d. Tidak mampu secara rohani dan /atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus selama lebih dari 3 (tiga) tahun: atau e. Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g Pemberhentian sementara Notaris diatur dalam Pasal 9 ayat (1): UUJN Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena: a. Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; b. Berada di bawah pengampuan; c. Melakukan perbuatan tercela; d. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta kode etik Notaris; atau e. Sedang menjalani masa penahanan. Kewenangan Notaris diatur dalam Pasal 15 UUJN: (1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 42 c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat Akta risalah lelang. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 (dua) kesimpulan, yaitu: 1. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. 2. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataan sesuai aturan hukum yang bertlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat public dari jabatan notaris.53 Kewajiban Notaris diatur pada Pasal 16 ayat (1) UUJN: 53 Hennry susanto. Peranan Notaris Kontrak.Yogyakarta.FH UII Press.2010.hlm 42. dalam Menciptakan Kepatutan dalam 43 a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta; d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; g. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan; j. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; 44 l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m. Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan n. Menerima magang calon Notaris. Larangan bagi seorang Notaris diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN: a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. Merangkap sebagai pegawai negeri; d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat; f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris; h. Menjadi Notaris Pengganti; atau i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. 45 5. Tinjauan tentang Pidana a. Pengertian Pidana Hukum Pidana merupakan hokum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku.54 Pengertian Hukum Pidana menurut Sudarsono adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. Menurut WPJ. Pompe, Pengertian Hukum Pidana ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyaknya bersifat umum yang abstrak dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret. Wirjino Prodjodikor mengatakan bahwa Pengertian Hukum Pidana merupakan peraturan hukum mengenai pidana. Kata "pidana" diartikan sebagai "dipidanakan" dimana oleh instansi tertentu yang berkuasa dilimpahkan kepada seseorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. Pengertian Hukum Pidana Menurut Moeljatno yaitu bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku dalam suatu negara, dimana dasar-dasar dan aturanaturannya untuk: a. Hukum pidana menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan (dilarang) dengan disertai ancaman pidana bagi siapa yang melanggarnya, b. Hukum pidana menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan dapat dikenakan pidana, c. Hukum pidana Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang melanggarnya.55 54 Bambang Waluyo.Pidana dan Pemidanaan.Jakarta.Sinar Grafika.2014.hlm 6 http://www.pengertianpakar.com/2014/10/pengertian-hukum-pidana-menurutpara.html#_,diakses pada tanggal 14 Desember 2015. Pukul 21:54 WIB 55 46 Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hokum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hokum pidana, secara khusus larangan dalam hokum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (stafbaar feit). Pidana dalam hokum pidana adalah suatu alat dan bukan tujuan dari hokum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujuan utama hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi.56 Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat tertentu.57 Sedangkan pengertian tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.58 56 24-25 57 Adami Chazawi.Pelajaran Hukum Pidana Bagian I.Jakarta.Raja Grafindo Persada.2002.hlm Tri Andrisman.Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia.BandarLampung. Unila.2009. hlm.8 58 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 22 47 b..Jenis-Jenis Pidana Berdasarkan Pasal 10 KUHP disebutkan bahwa, pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan: 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim. c.. Sanksi Pidana Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut 59 dipersalahkan. 59 Nawawi Arief,Barda . Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23 48 Pertanggungjawaban pidana dapat dilaksanakan dengan pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat menggangu atau membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri. Sanksi pidana terdapat pada Pasal 10 KUHP, yaitu: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan: 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim. 49 2. Teori Kewenangan Sumber hukum dalam arti sebagai asalnya mengarah kepada suatu pembicaraan tentang kewewenangan60 yang merupakan syarat mutlak untuk dapat membuat keputusan oleh penguasa. Mempelajari suatu ketentuan atau aturan hukum membawa konsekuensi bahwa ketentuan hukum tersebut merupakan keputusan dari penguasa yang berwenang atau tidak. Selain itu harus dipelajari mengenai wewenang tersebut berasal dari wewenang yang lebih tinggi atau tidak, demikian seterusnya sehingga terjadi susunan bertingkat kewenangan dari wewenang yang tertinggi sampai wewenang yang terendah. Perlu dipahami bahwa setiap masyarakat yang menghendaki adanya tertib hukum, syarat bahwa setiap keputusan yang menimbulkan hukum positif yang baru harus diberikan oleh yang berwenang untuk itu, merupakan hal yang mutlak. Apabila syarat tersebut tidak dipegang teguh, maka akan menimbulkan dampak bahwa keputusan yang menimbulkan hukum positif itu akan dilakukan oleh siapapun juga, maka akan terjadi ketidakpastian hukum. Menurut Prajudi Atmosudirjo,61 kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan eksekutif / administratif. Kewenangan merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik. Oleh karena itu dalam masyarakat akan terjadi suatu kekusutan hukum dalam arti bahwa para anggota masyarakatnya dan para anggota pelaksana dalam 60 35-36. 61 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm http://boeyberusahasabar.wordpress.com/2013/12/10/sumber-kewenangan-atribusi-delegasidan-mandat, hlm. 27, diakses pada tanggal 15 September 2015, pukul 18:34 WIB. 50 kesatuannya, tidak tahu lagi keputusan siapakah yang seharusnya ditaati untuk dilaksanakan atau setidak-tidaknya dihormati berlakunya. Kekusutan itu akan terjadi apabila ada dua atau lebih keputusan yang satu dengan lainnya saling bertentangan bunyinya 62 Apabila ada suatu ketentuan hukum atau aturan hukum yang merupakan perwujudan dari keputusan penguasa yang ternyata secara hukum tidak dapat dicari dasar hukumnya pada suatu ketentuan hukum atau aturan hukum yang lebih tinggi, atau kewenangan yang lebih tinggi, maka terjadi dua kemungkinan, yaitu63 : (1) Bahwa ketentuan hukum atau aturan hukum tersebut bukan merupakan ketentuan hukum atau aturan hukum yang sah, oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat; (2) Bahwa ketentuan hukum atau aturan hukum tersebut merupakan ketentuan hukum atau aturan hukum yang tertinggi dalam tata hukum negara yang bersangkutan. Pembatasan adanya pembagian wewenang ini, tidak cukup kalau hanya dikaji dengan adanya pembagian kewenangan yang jelas dan lengkap di dalam sistem ketatanegaraannya. Selain itu masih perlu adanya pengawasan dan pertanggungjawaban lengkap dengan sanksi-sanksinya yang tertentu sesuai dengan lapangannya. Pengujian penyalahgunaan wewenang terhadap keputusan-keputusan yang menimbulkan hukum yang berhubungan dengan syarat-syarat formal yang harus dipenuhi dalam pembuatannya disebut pengujian formal. Sedangkan pengujian yang berhubungan dengan materi keputusannya, apakah ada penyalahgunaan wewenang atau tidak, disebut pengujian materiil. Pengertian kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang 62 Soenarno, Publik Policy : Pengertian Pokok Untuk Memahami Dan Analisis Kebijakan Pemerintah, Airlangga University Press, Surabaya, 1993, hlm. 26 63 Ibid, hlm. 27 51 (competence), Perbedaan itu terletak pada karakter hukumnya, yang mana istilah wewenang digunakan dalam konsep hukum publik. Kewenangan secara umum merupakan lingkup kekuasaan yang dimiliki seseorang atau kelompok untuk memerintah, mengatur, dan menjalankan tugas di bidangnya masing-masing. Kewenangan merupakan unsur dari kekuasaan yang dimiliki seseorang. Dalam berkuasa biasanya seorang pemegang kuasa berwenang untuk menjalankan kekuasaannya sesuai dengan wewenang yang diberikan kepadanya. Dalam hukum tata pemerintahan pejabat tata usaha negara merupakan pelaku utama dalam melakukan perbuatan dan tindakan hukum fungsi pokok pemerintahan dan fungsi pelayanan pemerintahan, namun dalam melakukan tindakan dan perbuatannya harus mempunyai kewenangan yang jelas.64 Dilihat dari cara memperoleh jenis kewenangan maka ada 3 (tiga) cara yaitu : (1) Kewenangan secara atribusi yaitu kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen, asli dan tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Atribusi kewenangan dalam peraturan perundangundangan adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang pada puncaknya diberikan oleh UUD 1945 atau UU kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap diperlukan. Disini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. 64 Philipus M.Hajon, Tentang Wewenang, Makalah Bahan Kuliah, Universitas Airlangga, Surabaya, 2000, hlm. 20 52 (2) Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. Pada delegasi ini tidak ada penciptaan wewenang yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi tetapi beralih pada penerima delegasi. Pada delegasi, terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. (3) Mandat tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat memberikan kewenangan pada organ lain untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Dalam Hukum Administrasi Negara mandat diartikan sebagai perintah untuk melaksanakan atasan, kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh pemberi mandat, dan tidak terjadi peralihan tanggung jawab. Bahwa setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar, sedang dalam hal delegasi mengenai prosedur pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan asas ”contrarius actus”. Artinya, setiap perobahan, pencabutan suatu peraturan pelaksanaan 53 perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.65 Berdasarkan uraian tersebut, apabila wewenang yang diperoleh organ pemerintahan secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan, yaitu dari redaksi pasal-pasal tertentu dalam peraturan perundang-undangan. Penerima dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masingmasing dijelaskan sebagai berikut : Wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan / diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.66 Penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas 65 Ibid, hlm. 24 J.G.Brouwer dan Schilder, A Survey of Ducth Administrative Law, Nijmegen ; Ars Aeguilibri, 1998, hlm. 16-17. 66 54 nama pemberi mandat, tanggung jawab akhir keputusan yang diambil tetap berada pada pemberi mandat, hal ini karena pada dasarnya penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.67 Kewenangan Notaris sebagai pejabat umum yang bertugas membuat akta otentik, termasuk kewenangan secara atribusi68 karena kewenangan Notaris diberikan oleh undang-undang langsung yaitu Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, yang menyatakan Notaris berwenang untuk membuat akta otentik. Dimana kewenangan yang diperoleh secara atribusi ini bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Penerima wewenang dalam atribusi dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang tersebut. 3. Teori Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum yang dimaksudkan tersebut ada di dalam istilah hukum pidana (wederrechttelijk) maupun di dalam hukum perdata (onrechmatige daad), meskipun sebenarnya keduanya memiliki persamaan dan perbedaan dalam penerapannya yaitu sama-sama perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau adanya ketentuan hukum yang dilanggar dan pada prisipnya sama-sama melindungi kepentingan hukum (interest) Adapun perbedaan yang mendasar adalah perbuatan pidana berada dalam koridor hukum pidana yang bertujuan melindungi kepentingan atau ketertiban publik (umum), sedangkan Hukum Perdata 67 106 68 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 105- Stout HD, De Betekenissen Van De Wet, dalam Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004, hal 1. Kusnu Goesniadhie S., Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, JP Books, Surabaya, 2006, hlm. 150 55 lebih bertujuan melindungi kepentingan individu dan hubungan antar individu (privat). Perbuatan melawan hukum dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti sempit yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang.69 Perbuatan melawan hukum dalam arti yang luas yaitu perbuatan-perbuatan yang mencakup dari salah satu perbuatan antara lain: (1) Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yaitu melanggar hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, tetapi tidak terbatas pada hak-hak yaitu hak-hak pribadi, hak kekayaan, hak atas kebebasan dan hak atas kehormatan dan nama baik; (2) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, baik itu hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis; (3) Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, manakala perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian orang lain; (4) Perbuatan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik, yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.70 Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup perbuatan melawan hukum baik hukum perdata maupun hukum pidana, dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Perbuatan Melawan Hukum Dalam Aspek Perdata. Pelanggaran hukum perdata bersumber pada dua dasar hukum, yaitu Pertama : Wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata)71 dan Kedua : Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata). Adapun landasan hukum menyangkut perbuatan melawan hukum adalah Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi : 69 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Adhitya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 6 70 Ibid, hlm. 8. 71 Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, 1985, hlm. 45. 56 “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.” Perbuatan melawan hukum72 tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan kepatutan dalam lalu lintas masyarakat. Ada syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut kerugian adanya perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata antara lain sebagai berikut : (1) Adanya perbuatan (daad) yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan hukum;73 (2) Adanya kesalahan (dolus dan/atau culpa); (3) Adanya kerugian (schade). Perlakuan yang tidak benar menjadi suatu pelanggaran perjanjian (wanprestasi) dan atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dan (4) adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Untuk dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata harus terpenuhinya syarat-syarat atau unsur-unsur antara lain : (a) Perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang dapat dipersalahkan pada pembuatnya harus mengandung sifat melawan hukum. Perbuatan melawan hukum, tidak hanya hal yang bertentangan dengan UU tetapi juga jika berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang memenuhi salah satu unsur bertentangan dengan hak orang lain, kewajiban hukumnya sendiri, kesusilaan dan kehati-hatian / kepantasan yang harus 72 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Adhitya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 14. 73 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 61- 62 57 diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda; (b) harus ada kesalahan. Kesalahan adalah perbuatan dan akibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku; (c) harus ada kerugian yang ditimbulkan. Kerugian tidak hanya berupa uang tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril (d) adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Ada hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan sehingga si pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Perbuatan yang dilarang oleh hukum atau perbuatan melawan hukum yang lazimnya disebut “onrechtmatige daad” adalah sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian kepada orang lain dan mewajibkan si pelaku / pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian yang ditimbulkannya (KUHPerdata Pasal 1365). Perbuatan melawan hukum tersebut diatur dalam Pasal 1365-1380 KUH Perdata. Perbuatan tersebut dikatakan melawan hukum, apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Yang dimaksud dengan hukum bukan hanya berupa undang-undang saja, melainkan termasuk juga hukum tak tertulis, yang harus ditaati oleh masyarakat. Kerugian maksudnya adalah kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum tersebut antara lain: kerugian-kerugian dan perbuatan-perbuatan itu harus ada hubungannya secara langsung, kerugian itu ditimbulkan karena kesalahan pembuat/pelaku. Adapun yang dimaksud dengan kesalahan ialah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian). Kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dapat berupa kerugian harta benda, menurunnya kesehatan atau tenaga kerja. Misalnya : Seorang supir bekerja pada suatu perusahaan pengangkutan. Pada suatu ketika sopir tersebut menimbulkan 58 kecelakaan karena kurang berhati-hatinya si supir. Seorang laki-laki mendapat luka-luka sehingga terpaksa dirawat di rumah sakit. Perusahaan pengangkutan tersebut dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian dari biaya perawatan, harga obat, honor dokter dan pengurangan penghasilan sebagai akibat dari kecelakaan tersebut. Seandainya si korban meninggal dunia, maka isteri, anak-anak, orang tua yang selama itu menjadi tanggungannya (almarhum korban) berhak menuntut ganti kerugian yang jumlahnya ditentukan menurut kedudukan dan kekayaan masing-masing pihak dan menurut keadaannya (KUHPerdata Pasal 1370). Dalam KUHPerdata ditentukan pula bahwa setiap orang tidak hanya bertanggung-jawab atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri namun dapat juga terhadap kerugian yang disebabkan oleh perbuatanperbuatan orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum dapat dilihat dari model pertanggungjawaban yang diterapkan yaitu pertanggungjawaban karena kesalahan (fault liability) yang bertumpu pada tiga asas sebagaimana diatur dalam Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUHPerdata, sebagai berikut : 1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. 2) Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kekuranghati-hatiannya. 3) Setiap orang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Adanya suatu perbuatan hukum harus disertai dengan 59 pernyataan kehendak dari yang melakukan perbuatan hukum tersebut dan akibat dari perbuatan itu diatur oleh hukum. Pernyataan kehendak pada asasnya tidak terikat dengan bentuk-bentuk tertentu dan tidak ada pengecualiannya. Oleh karena itu bentuk pernyataan kehendak dapat terjadi : (a) Pernyataan kehendak secara tegas, dapat dilakukan dengan : (1) Tertulis, yang dapat teijadi antara lain ; ditulis sendiri, ditulis oleh pejabat tertentu ditanda-tangani oleh pejabat itu, disebut juga akte otentik atau akte resmi seperti mendirikan PT dan semacamnya; (2) Mengucapkan kata, pernyataan kehendak ini cukup dengan mengucapkan kata setuju, misalnya dengan mengucapkan ya, dan semacamnya; (b) Pernyataan kehendak secara diam-diam dapat diketahui dari sikap atau perbuatan.74 Adapun yang termasuk dalam kategori perbuatan hukum itu terdiri dari : (a) Perbuatan hukum sepihak adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pulka. Contoh : (1) Perbuatan membuat surat wasiat (Pasal 875 KUHPerdata), dan (2) Pemberian hibah sesuatu benda (Pasal 1666 KUHPerdata); (b) Perbuatan hukum dua pihak. Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak (timbal balik) misal : persetujuan jual beli (Pasal 1457), perjanjian sewa menyewa (Pasal 1548 KUHPerdata), dan lain-lain. Adapun perbuatan yang akibatnya tidak dikehendari oleh yang tersangkut adalah bukan perbuatan hukum, meskipun perbuatan tersebut diatur oleh peraturan hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa kehendak dari yang melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok dari perbuatan tersebut. 74 Suroso, Perbuatan-Perbuatan yang dilarang oleh Hukum, Jakarta, Gramedia, 2007.hlm. 4 60 Termasuk yang bukan dikategorikan perbuatan hukum adalah sebagai berikut : Perbuatan hukum yang dilarang oleh hukum. Perbuatan ini menjadi akibat hukum yang tak tergantung pada kehendak. Contoh : Zaakwaarmeming, ialah tindakan mengurus kepentingan orang lain tanpa diminta oleh orang itu untuk kepentingannya. Misalnya : A sakit, sehingga tidak dapat mengurus kepentingannya. Tanpa diminta oleh A, B mengurus kepentingan A. B wajib meneruskan mengurus itu sampai A sembuh dan dapat mengurus kepentingannya kembali. Hal ini sesuai dengan Pasal 1354 KUHPerdata, “Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang lain, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, sampai orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan tersebut. Ia memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya iua dikuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas. Onverschultigde betaling, ialah orang yang membayar utang kepada orang lain, karena ia mengira mempunyai utang yang sebenamya tidak. Untuk ini diatur oleh Pasal 1359 KUHPerdata, yang berbunyi : “Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang. Apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali”. Terhadap perkiraan-perkiraan bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali. b. Perbuatan Melawan Hukum dalam Aspek Pidana. Perbuatan melawan hukum dalam aspek hukum pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana bagi yang melanggarnya. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang 61 oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut.75 Bersifat melawan hukum berarti pula bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum positif yang berlaku. Perbuatan melawan hukum pidana pada umumnya disebut juga dengan tindak pidana yang mana istilah tindak pidana dimaksudkan sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit atau delict. Beberapa istilah yang dimaksud sebagai terjemahan dari strafbaar feit tersebut yaitu peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan yang boleh di hukum.76 Moeljatno, mengatakan bahwa istilah yang paling tepat untuk menerjemahkan strafbaarfeit adalah perbuatan pidana dengan uraiannya sebagai berikut : “ Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang atau diancam pidana asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatannya (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh suatu kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana yang ditujukan orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan erat itu maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit : pertama adanya kejadian yang tertentu dan kedua adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu ”.77 75 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada , Jakarta, 2005, hlm 40. M.Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Remaja Karya, Bandung, 1986, hlm. 1 76 77 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 5. 62 Pengertian tentang tindak pidana (delik) adalah “perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. “ Dan perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tertentu dalam pergaulan masyarakat dan di cita-citakan oleh masyarakat itu”.78 “ Maka perbuatan pidana, secara mutlak harus termaktub unsur formal, yaitu mencocoki rumusan undang-undang (tatbestand maszgheit) dan unsur material, yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum (rechtswidristeit), tidak kurang dan tidak lebih dari itu”. Menurut Roeslan Saleh,79 tindak pidana adalah perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan terlarang, Pengertian yang diberikan oleh Tim Pengkajian Hukum Pidana Nasional adalah : Perbuatan melakukan atau tidak dilakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Di dalam hukum pidana dikenal asas Nullum Delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang artinya : “tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu”. Asas ini dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP : “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Dengan asas ini diperoleh suatu kepastian hukum, bahwa seseorang dapat dipidana bilamana dapat dinyatakan salah (telah melakukan tindak pidana) dan telah ada aturannya terlebih dahulu. Sejalan dengan hal itu, Moeljatno mengatakan tindak pidana ini kiranya dapat disamakan dengan istilah 78 Moeljatno, Ibid, hlm. 21 Roeslan Saleh, Tentang Tindak Pidana dan Pertangungjawaban Pidana, Lokakarya Masalah Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, BPHN-Depkeh, 1982. 79 63 Inggris “criminal act”. Pertama, karena criminal act juga berarti kelakukan dan akibat, atau dengan kata lain perkataan akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum. Kedua, karena criminal act juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk adanya criminal liability (untuk dapat dipidananya seseorang) selain melakukan criminal act, orang itu harus mempunyai kesalahan.80 Penetapan sesuatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang, merupakan tugas pemerintah dan pembuat undang-undang. Namun tidak berarti semua perbuatan yang melawan hukum atau bersifat merugikan masyarakat dapat disebut sebagai tindak pidana dan dapat diberi sanksi pidana. Atau hanya perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian yang besar saja yang dijadikan tindak pidana. Penentuan ini harus dilakukan dengan bijaksana, selain disesuaikan dengan perasaan hukum yang hidup di dalam masyarakat, juga dipengaruhi oleh pandangan apakah ancaman dan penjatuhan pidana itu merupakan jalan utama untuk mencegah dilanggarnya larangan tersebut. Pada Pasal 1 ayat (1) berisi dua hal yaitu : (a) suatu tindak pidana harus dirumuskan / disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, (b) peraturan undangundang ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Sejalan dengan hal tersebut, maka setiap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat dua hal pokok, Pertama, memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam, pidana, artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi seolah-olah negara menyatakan dan siapa yang dapat dipidana. Kedua, menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. 80 Moeljatno, op cit, hlm. 57 64 Dalam konteks hukum pidana material, permasalahan akan berkisar pada tiga permasalahan pokok hukum pidana yakni perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan sanksi yang diancamkan, baik pidana maupun tindakan.81 Sebagai konsekuensi diakuinya asas legalitas ini, maka menurut Moeljatno dikehendaki adanya beberapa hal : 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.82 Dilihat dari sudut dogmatis-normatif, memang materi substantif atau masalah dari Hukum Pidana terletak pada masalah mengenai : a) perbuatan apa yang sepatutnya dipidana; b) syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempermasalahkan / mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu dan; c) sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu. Ketiga materi / masalah pokok itu biasa disebut secara singkat dengan istilah : (1) masalah “tindak pidana”, (2) masalah “kesalahan” dan (3) masalah pidana.83 Tindak Pidana atau perbuatan pidana menurut Moeljatno adanya (1) perbuatan (manusia), (2) memenuhi rumusan dalam UU, (3) bersifat melawan hukum sehingga “perbuatan pidana” adalah perbuatan yang diancam dengan pidana dan dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum (pidana). Unsur-unsur yang harus dipenuhi sebagai perbuatan melawan hukum pidana antara lain sebagai berikut : a) Unsur obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang 81 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1995, hlm. 50 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 25 83 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana, UNDIP, Semarang, 1994, hlm. 16 82 65 berupa : 1) suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu, dan sebagainya; 2) suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang seperti pembunuhan, penganiayaan; 3) keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar ketertiban / kesusilaan umum. b) Unsur subyektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia. c) Unsur subyektif dapat berupa : 1) Dapat dipertanggungjawabkan. 2) Kesalahan (schuld).84 Unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud antara lain sebagai berikut : (1) Perbuatan dalam arti luas dari manusia (aktif atau membiarkan); (2) Sifat melawan hukum (bersifat obyektif maupun yang subyektif); (3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang; (4) Diancam dengan pidana. Adapun perbuatan-perbuatan pidana dalam KUHP saat ini dibagi atas kejahatan (misdruijven) dan pelanggaran (overtredingen), meskipun dalam KUHP sendiri tidak ada pasal satupun yang memberikan pengertian / definisi tentang kejahatan. Adapun tindakan Notaris yang merupakan Tindak Pidana Notaris antara lain sebagai berikut : 1) Membuat surat palsu / yang dipalsukan dan mengunakan surat palsu / yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP). Unsur-unsur tindak pidana pemalsuan yang terdapat dalam rumusan Pasal 263 ayat (1) terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut : (a) Unsur Obyektif ; yaitu Perbuatannya, yaitu membuat surat palsu dan memalsukan surat. Obyeknya : adalah Surat yang dapat menimbulkan suatu hak, menimbulkan suatu perikatan, menimbulkan suatu pembebasan 84 Liliana Tedjosaputro, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana, CV. Agung, Semarang, 1991, hlm. 51. 66 utang, yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal. Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut. (b) Unsur Subyektifnya ; “dengan sengaja” untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Sedangkan unsur-unsur Pasal 263 ayat (2) sebagai berikut : (a) Unsur Obyektif : yaitu Perbuatannya, memakai. Obyeknya itu surat palsu, surat yang dipalsukan, dan pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian. (b) Unsur Subyektifnya adalah “dengan sengaja“. Membuat surat palsu adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya (tidak benar), atau membuat surat sedemikian rupa sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Sedangkan memalsukan surat adalah mengubah asal surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli sehingga surat itu menjadi lain dari yang asli. Keduanya dapat terjadi terhadap sebagian atau seluruh surat.85 Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsukan surat adalah bahwa dalam membuat surat palsu sebelumnya perbuatan itu dilakukan belum ada surat, kemudian dibuat surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran. Sedangkan perbuatan memalsukan surat, sebelum perbuatan itu dilakukan sudah ada sebuah surat (surat asli), dan terhadap surat asli ini dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruhnya isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran. Kewenangan Notaris yaitu membuat akta, bukan surat, dengan demikian harus dibedakan antara surat dan akta. Surat berarti surat 85 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1994, hlm. 195 67 pada umumnya yang dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti atau untuk tujuan tertentu sesuai dengan keinginan dan maksud pembuatnya. Sedangkan akta dibuat dengan maksud sebagai alat bukti yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya dan terikat pada bentuk yang sudah ditentukan. Dengan demikian pengertian surat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP tidak mutatis mutatandis sebagai akta otentik, sehingga tidak tepat jika akta Notaris diberikan perlakuan sebagai suatu surat pada umumnya. 2) Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (Pasal 264 KUHP). Pada Pasal 264 ayat (1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : (a) semua unsur baik obyektif maupun subyektif Pasal 263 KUHP. (b) unsur-unsur khusus pemberatnya berupa obyek surat tertentu yaitu ; Akta-akta otentik, surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara, bagian negara atau lembaga umum, surat sero, surat hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai, Talon, tanda deviden atau tanda bukti bunga dari surat-surat pada butir 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu, surat-surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan. Sedangkan unsur-unsur dalam ayat (2) sebagai berikut : (a) Unsur Obyektif, perbuatan memakai, obyeknya surat-surat tersebut ayat (1), dan pemakaiannya itu seolah-olah isisnya benar dan tidak dipalsu. (b) Unsur Subyektif “dengan sengaja“. 3) Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP). Pasal 266 ayat (1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : (a) Unsur Obyektif, Perbuatan menyuruh memasukkan, Obyeknya keterangan palsu, kedalam akta otentik, mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan akta, dan jika pemakaianya dapat menimbulkan kerugian. (b) Unsur Subyektif, dengan maksud memakai atau menyuruh memakai 68 seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenaran. Ayat (2) mempunyai unsur-unsur Obyektif, Perbuatan memakai, Obyeknya akta otentik tersebut ayat (1), seolah-olah isinya benar. (b) Unsur Subyektifnya “dengan sengaja“. 4) Melakukan, menyuruh, turut serta melakukan (Pasal 55 jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP). Notaris yang turut aktif merekayasa substansi akta yang tidak sesuai dengan hukum dan perundang-undangan, maka tidak tertutup kemungkinan terjadi pelanggaran norma hukum, khususnya hukum pidana. Parameternya adalah kecurangan, penyesatan, penyembunyian, kenyataan, manipulasi, pelanggaran kepercayaan, dan pengelakan peraturan, yang harus dilakukan dengan sengaja dan sama sekali tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf yang dapat digunakan. 4. Teori Kepastian Hukum Indonesia merupakan Negara hukum dimana Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa kepoastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar mnanusia, yaitu menjamin prediktabilitas, dan juga bertujuan untuk mencegah bahwa hak yang terkuat yang berlaku.86 Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika 86 Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani.Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris.Jakarta.Dunia Cerdas.Cetakan I. 2013.hlm 79. 69 melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.87 Kata ”kepastian” berkaitan erat dengan asas kebenaran, yaitu sesuatu yang secara ketat dapat disilogismekan secara legal-formal. Melalui logika deduktif, aturan-aturan hukum positif ditempatkan sebagai premis mayor, sedangkan peristiwa konkret menjadi premis minor. Melalui sistem logika tertutup akan serta merta dapat diperoleh konklusinya. Konklusi itu harus sesuatu yang dapat diprediksi, sehingga semua orang wajib berpegang kepadanya. Dengan pegangan inilah masyarakat menjadi tertib. Oleh sebab itu, kepastian akan mengarahkan masyarakat kepada ketertiban.88 Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. Menurut Gustav Radbruch sebagaimana di kutip Sudikno Mertokusumo, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna, dan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang.89 Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu : 87 Moh. Mahfud MD, Penegakan Hukum DanTata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Mahkamah Konstitusi Jakarta, 8 Januari 2009. 88 Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm 8 89 Jarot Widya Muliawan, Tinjauan Kritis Regulasi dan Implementasi P3MB, Pustaka Ifada, Malang, 2014, hlm. 22 70 a. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. b. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. c. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. d. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah. Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.90 Kepastian hukum seperti yang dikemukaan oleh Jan M. Otto sebagimana dikutip oleh Sidharta bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut:91 1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh yang diterbitkan oleh kekuasaan negara. 2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturanaturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya. 90 Memahami Kepastian (Dalam) Hukum https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/ diakses pada tanggal 15 November 2015, Hari Senin, pukul 20.35 91 Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Refika Aditama, Bandung, 2006. hlm 85 71 3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut. 4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum. 5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. Kelima syarat yang dikemukaan Jan M. Otto tersebut menunjukan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari mencerminkan budaya masyarakat.kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenernya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk menciptakan ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat. Tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum.92 Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan individualistis, dan tidak menyamaratakan. keadilan bersifat subjektif, 93 Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya aturan, sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum 92 Carl Joachim, Filsafat Hukum Persfektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm 239 93 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2007, hlm 160 72 dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang mengaktualisasikannya positif pada dan hukum peranan positif. negara Kepastian dalam hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturanaturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.94 B. PENELITIAN YANG RELEVAN Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan oleh penulis, terdapat beberapa penelitian yang relevan antara lain: a. Penelitian yang dilakukan oleh Andriyana Gina Indri dengan judul “Tinjauan tentang Pembatalan Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 12/Pdt.G/2001/PN/YK. Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 30/PDT/2002/pty dan Putusan Mahkamah Agung No. 318 K/Pdt/2003)”. Dengan hasil penelitian sebagai berikutr: Berdasarkan hasil analisa terhadap hasil putusan dan bahan-bahan hukum primer maupun sekunder yang relevan diperoleh hasil bahwa dasar pertimbangan hakim dalam memutus kasus pembatalan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan adalah, salah satu pihak dalam membentuk kepengurusan yang baru tidak meminta persetujuan dari Pendiri yang lain. Akibat hukum dari putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap Yayasan ialah dikembalikannya kepengurusan Yayasan seperti sedia kala.Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh pihak yang kalah dalam 94 Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 95 73 persidangan dengan pihak ketiga tidak mempunyai akibat hukum.Serta para Tergugat harus menyerahkan seluruh asset/ inventaris Yayasan kepada para Penggugat.Notaris Repertorium, berkewajiban Klapper, memberikan membuat berita acara keterangan tentang dalam putusan tersebut.Notaris tidak memiliki tanggung jawab berkaitan dengan putusan tersebut. b. Penelitian yang dilakukan oleh Robin Dwijorumantyo,SH dengan judul “Kedudukan Notaris dalam Kaitan Penempatan Keterangan Palsu atau yang Dipalsukan oleh Pihak-Pihak dalam Suatu Akta Otentik”. Dengan hasil penelitian sebagai berikut: Berdasarkan hasil analisa diperoleh hasil bahwa akta Notaris yang mengandung penempatan keterangan palsu atau yang dipalsukan oleh pihak atau pihak-pihak dapat dibatalkan oleh para pihak yang ada dalam akta tersebut, dengan menghadap Notaris yang kemudian membuat akta pembatalan, dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Hal itu tentu saja terkait dengan ketentuan bahwa suatu perjanjian tidak dapat dibatalkan secara sepihak meskipun pihak yang bermaksud membatalkan akta Notaris tersebut dirugikan.Sebaliknya tuntutan pembatalan akta Notaris yang memuat keterangan palsu diajukan ke pengadilan tidak harus membutuhkan persetujuan pihak lainnya. Namun demikian, dalam mengajukan gugatan tersebut pihak yang dirugikan oleh akta Notaris yang memuat keterangan palsu harus menguraikan secara cermat dan jelas mengapa akta Notaris itu dikatakan palsu, dan harus dibuktikan, apalagi jika pihak lain menyangkal adanya keterangan palsu dalam akta Notaris dimaksud. c. Penelitian yang dilakukan oleh Yusnani dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus di Kota Medan)”. Dengan hasil penelitian sebagai berikut: 74 Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyellidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Dan akta tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadisuatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap.adapun sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan terhadap si penderita, dan sedangkan secara pidana penghadap layak diberi hukuman pidana penjara. Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah akta tersebut batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut diatas, maka yang membedakan dengan penelitian yang dibuat oleh penulis adalah: Dalam penelitian ini hasil yang diharapkan berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan penulis adalah mengetahui apa dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor 1014 K/Pid/2013, mengapa yang digunakan untuk memutus perkara tersebut adalah KUHP padahal notaris telah mempunyai peraturan yang lebih khusus yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris dan bagaimana putusan pidana tersebut jika ditinjau dari prespektif tugas dan wewenang notaris, karena notaris hanya bertugas menuangkan kehendak dan keterangan dari para pihak tidak ada kewajiban notaris untuk membuktikan semua keterangan, data dan surat-surat yang diserahkan oleh para penghadap. 75 C. KERANGKA BERPIKIR Penyesuaian Badan Hukum Yayasan Rapat Pembina Pemalsuan akta perubahan anggaran dasar Menteri Hukum dan HAM Notaris DITOLAK Yayasan belum mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM Banding Ke PT Semarang Putusan : Menguatkan Putusan PN.Ska Gugatan ke PN Surakarta Putusan : Notaris di pidana penjara 8 bulan Pertimbangan Hakim Kasasi Putusan : Menguatkan Putusan PN.Ska dan PT.Smg Teori perbuatan melawan hukum Teori Kepastian hukum Di tinjau dari tugas dan wewenang notaris Teori Kewenangan 76 Keterangan: Yayasan Bhakti Sosial Surakarta akan mengadakan penyesuaian badan hukum Yayasan dalam rangka menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan yang baru yaitu Undang-Undang No 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.para pembina Yayasan mengadakan rapat pembina dan hasil rapat tersebut di fax kepada notaris. Berdasarkan fax dari Ketua Badan Pembina Yayasan tersebut notaris membuat Berita Acara Rapat Pembina Yayasan dan Akta Berita Acara Rapat Yayasan Bhakti Sosial Surakarta No 58 tanggal 15 April 2008. Notaris mengirimkan Akta Perubahan Anggaran Dasar tersebut kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, akan tetapi ada beberapa revisi dan beberapa kali ditolak/dikembalikan kepada notaris bahkan notaris telah mencabut pendaftaran/pemberitahuan kepada Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Sehingga Yayasan tersebut belum mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia, sehingga pihak Yayasan mengalami kerugian baik materiil maupun immateriil. Lalu pihak Yayasan melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Surakarta dan putusannya bahwa terdakwa di penjara 8 bulan. Mengajukan banding dan putusan Pengadilan Tinggi Semarang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri.Lalu ada upaya hukum kasasi dan putusannya yaitu menguatkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tersebut. digunakannya teori perbuatan melawan hukum dan teori kepastian hukum diharapkan dapat mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap Notaris Ninoek Poernomo, S.H, serta dapat mengetahui lebih jelas putusan tersebut apabila ditinjau dari prespektif tugas dan wewenang notaris dengan menggunakan teori kewenangan.