BAB II LANDASAN TEORI A. LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. LANDASAN TEORI
1. Tinjauan tentang Akta Otentik
a.
Pengertian Akta Otentik
Akta adalah sebuah tulisan yang dibuat dengan unsur kesengajaan
menurut peraturan yang berlaku dan disaksikan serta disahkan oleh
pejabat resmi untuk dijadikan sebagai bukti tentang suatu peristiwa
hukum dan ditandatangani oleh pembuatnya.10
Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dibuat dihadapan
pejabat yang diberi wewenang oleh penguasa yang membuatnya, menurut
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan undang-undang baik dengan
ataupun tanpa bantuan yang berkepentingan untuk dicatat di dalamnya.11
Akta notariel adalah suatu akta yang dibuat dihadapan pejabat yang
memiliki wewenang untuk membuat akta.12 Akta otentik adalah akta yang
sejak awal dibuat dengan sengaja dan resmi untuk pembuktian apabila
terjadi sengketa di kemudian hari.13
Sudikno Mertokusumo mengatakan:14
“Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwaperistiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan, yang
dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.”
10
Charlie Rudyat.Kamus Hukum. Pustaka Mahardika.hlm 30
Ibid
12
Ibid, hlm 32
13
ibid
14
Bahan Kuliah Mata kuliah Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta, Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta 2012.
11
9
10
A Pitlo mengatakan:
“Akta adalah surat yang ditandatangani,diperbuat untuk dipakai sebagai
bukti dan untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa
surat itu dibuat.”
Pasal 1 angka 7 Undang-undang Jabatan Notaris menyatakan:
“Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang
dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini.”15
Akta otentik yang diuraikan dalam Pasal 1868 Kitab Undangundang Hukum Perdata berbunyi sebagai berikut:
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan
oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”16
Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan batasan
secara unsur yang dimaksud dengan akta otentik adalah:
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan)
seorang Pejabat Umum;
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang;
c. Pegawai umum (Pejabat Umum) oleh-atau dihadapan siapa akta itu
dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.17
Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata dapat disimpulkan unsure
dari akta otentik yakni:
1. Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan (verleden) dalam bentuk
menurut hukum;
15
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
16
R.Subekti, R.Tjitrosudibio.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Jakarta.Pradnya
Paramita.2008.hlm 475
17
Habib Adjie.Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris.Cetakan kedua.Bandung.Refika
Aditama.2013.hlm 5-6
11
2. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;
3. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang untuk membuatnya ditempat akta tersebut dibuat, jadi
akta itu harus ditempat wewenang pejabat yang membuatnya.18
Akta yang dibuat di hadapan notaris disebut akta notarial, atau
authentik, atau akta otentik.
Pasal 1869 KUH Perdata kemudian
menyatakan bahwa akta tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik,
apabila pejabat umum yang membuatnya tidak berwenang atau tidak
cakap sebagai pejabat umum atau bentuk akta tersebut tidak memenuhi
persyaratan yang dinyatakan dalam undang-undang. Berdasarkan
ketentuan tersebut, persoalan apakah sebuah akta otentik atau bukan
merupakan persoalan sah atau tidaknya suatu akta.
Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi
kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat
hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut (vide Pasal 165
HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870 KUHPerdata). Akta otentik
merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang
tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut
dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain
yang dapat membuktikan sebaliknya. Sebaliknya, akta di bawah tangan
dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang
menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang
mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di
bawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak
dipakai. (vide Pasal 1857 KUHPerdata).19
18
Abdul Ghofur Anshori.Lembaga Kenotariatan Indonesia Prespektif Hukum dan Etika.
Cetakan Kedua.Yogyakarta.Tim UII Press.2013.hlm 18
19
http://id.wikipedia.org/wiki/Akta_otentik,diakses pada tanggal 16 April 2015 pukul 20.59
WIB
12
b. Syarat-Syarat Akta Otentik
Syarat-Syarat akta otentik menurut Philipus M. Hadjon antara lain
sebagai berikut:
1.
Di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang (bentuknya
baku)
2.
Di buat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.20
Syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata:21
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat
perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang
sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada
beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun
bagi laki-laki,dan 19 tahuh bagi wanita.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
dewasa adalah 19 tahun bagi laki-laki, 16 tahun bagi wanita.
Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku
secara umum.
3. Adanya Obyek.
Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal
atau barang yang cukup jelas.
4. Adanya klausa yang halal.
Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu
sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
20
hlm 3
21
Philipus M. Hadjon.Formulir Pendaftaran Tanah Bukun Akta Otentik.Surabaya Post.2001.
https://amelia27.wordpress.com/2008/12/03/syarat-sahnya-perjanjian-pasal-1320-kuhperdata/,
diakses pada tanggal 17 April 2015 pukul 21.37 WIB
13
Berdasarkan pengertian akta yang dikemukakan oleh Sudikno
Mertokusumo dan A Pitlo tersebut diatas dan dikaitkan dengan Pasal
1874 ayat (1) jo. 1869 KUHPerdata, maka untuk dapat dikategorikan akta
harus memenuhi syarat yaitu:22
1. Akta harus ditandatangani
a. Keharusan tanda tangan untuk membedakan akta yang satu
dengan akta yang lain atau akta yang dibuat oleh pihak lain.
b. Fungsi tanda tangan untuk mengindividualisir suatu akta.
2. Akta harus memuat peristiwa-peristiwa hukum yang menjadi dasar
suatu hak atau perikatan
Isi akta harus memuat suatu peristiwa yang melahirkan hak atau
perikatan yang dapat menjadi bukti yang diperlukan. Jika
keterangan yang dimuat dalam isi akta tidak melahirkan hak atau
perikatan hukum, maka surat tersebut tidak dapat dikategorikan
sebagai akta, karena surat tersebut tidak dapat dipakai sebagaialat
bukti.
3. Akta sengaja di buat sebagai alat bukti
Pembuatan akta, sengaja untuk dipergunakan sebagai alat bukti
mengenai peristiwa hukum yang menimbulkan hak atau perikatan,
jika terjadi suatu sengketa hukum.
Ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi untuk dikategorikan
sebagai akta otentik yaitu :23
1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan)
seorang pejabat umum.
Akta ini disebut juga dengan akta relaas atau akta berita acara yang
berisi uraian dari pejabat umum yang dilihat dan disaksikaan
22
http://woronotariatuns2012.blogspot.co.id/2012/11/teknik-pembuatan-akta-kuliah-ke1.html?view=snapshot.diakses pada tanggal 18 April 2015 pukul 12.56 WIB
23
http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/09/akta-otentik.html. pada tanggal 14 Oktober 2015
pukul 20.05 WIB
14
pejabat umum sendiri atas permintaan para pihak agar tindakan atau
perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk
akta otentik.Sedangkan akta yang dibuat di hadapan pejabat umum
dalam praktek disebut akta pihak yang berisi uraian atau
keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang
diceritakan dihadapan pejabat umum.Para pihak berkeinginan agar
uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik.
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang (wet).
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum dalam bentuk
yang sudah ditentukan dalam undang-undang.
Dalam pasal 38 UUJN disebutkan bahwa :
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
a. Awal akta atau kepala akta;
b. Badan akta; dan
c. Akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat :
a. Judul akta;
b. Nomor akta;
c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat :
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan,
pekerjaan,
jabatan,
kedudukan,
tempat
tinggal
para
penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan daripihak
yang berkepentingan; dan
15
d. Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal lahir, serta
pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiaptiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat :
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b.Uraian
tentang
penandatanganan
dan
tempat
penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam
pembutaan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.
3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Wewenang Notaris dan PPAT meliputi empat hal , yaitu :
a) Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang
harus dibuat itu.
Wewenang Notaris dan PPAT dalam pembuatan akta otentik
sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain
atau notaris juga berwenang membuatnya. Di samping dapat
dibuat oleh pihak atau pejabat lain, juga mengandung makna
bahwa wewenang notaris dalam membuat akta otentik
mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya
mempunyai wewenang terbatas, seperti halnya PPAT yaitu
hanya terbatas pada pembuatan delapan jenis akta saja.
b) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat.
16
Mengenai orang dan untuk siapa akta itu dibuat harus ada
keterkaitan yang jelas.
c) Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai tempat di
mana akta itu dibuat.
Baik Notaris maupun PPAT mempunyai tempat kedudukan dan
wilayah kerja masing-masing .
d) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan
akta itu.
Notaris dan PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya harus
dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti, atau
diberhentikan sementara waktu.
Satu syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, karena di dalam akta
otentik tersebut didalamnya telah termasuk semua unsur bukti:24
a)
tulisan;
b)
saksi-saksi;
c)
persangkaan-persangkaan;
d)
pengakuan;
e)
sumpah.
c. Jenis-Jenis Akta
Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 KUH Perdata suatu akta dibagi
menjadi 2 (dua), antara lain:
1.
Akta Di Bawah Tangan (Underhands)
Akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau
Notaris.Akta ini yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang
membuatnya. Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal
24
Habib Adjie. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris.Bandung. Refika Aditama. 2013. hlm 6
17
oleh Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak
menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan
tersebut, sehingga sesuai Pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah
tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan
suatu Akta Otentik.
Perjanjian di bawah tangan terdiri dari:

Akta di bawah tangan biasa

Akta Waarmerken, adalah suatu akta di bawah tangan yang
dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian
didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka
Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun
tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para
pihak.

Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat
oleh para pihak namun penandatanganannya disaksikan oleh
atau di hadapan Notaris,namun Notaris tidak bertanggung jawab
terhadap
materi/isi
dokumen
melainkan
Notaris
hanya
bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang
bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.
Selain akta otentik dikenal juga akta dibawah tangan. Akta di
bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Hal sematasemata dibuat antara para pihak yang berkepantingan.25
2.
Akta Resmi (Otentik)
Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu
tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau
25
Sudikno Mertokusumo.Hukum Acara Perdata Indonesia.Yogyakarta.Liberty.Cetakan
pertama.Edisi ketujuh.2006.hlm 158
18
disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta itu. Pejabat umum yang
dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan,
pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.
Jenis akta notaris ada 2 yaitu:
1. Akta Relaas atau Akta Berita Acara - akta yang dibuat oleh
(door) Pejabat Umum
Berisi uraian dari Pejabat Umum yang dilihat dan disaksikan
Pejabat Umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan
atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam
bentuk akta otentik.
2. Akta Pihak -akta yang dibuat di hadapan (ten overstan) Pejabat
Umum
Berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang
diberikan atau yang diceritakan di hadapan Pejabat Umum.Para
pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan
ke dalam bentuk akta otentik.
Akta Notaris ada 2 golongan, yaitu:26
1. “Akta partij atau akta pihak”, akta ini berisi cerita dari apa yang
terjadi karena perbuatan dan kesepakatan yang dilakukan oleh para
pihak dihadapan notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk
keperluan itu maka para pihak datang menghadap dihadapan notaris
dan memberikan keterangan atau melakukan perbuatan itu
dihadapan notaris,agar keterangan itu dikonstatir oleh notaris pada
suatu akta otentik/akta notaris.
2. “Akta relaas atau akta pejabat”, akta ini berisi uraian secara otentik
mengenai sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang
26
Teknik Pembuatan Akta Otentik (Akta Notaris dan Akta PPAT), Buku Pertama Mata Kuliah
Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.2012.hlm
24. Pengampu Dr.(Candidat).Michael Josef Widijatmoko,SH,SPn, Sunarto,SH,SPn, Wahyu
Nugroho,SH,SPn.
19
dilihat atau disaksikan oleh notaris sendiri dalam menjalankan
jabatannya sebagai notaris. Dalam akta ini notaris menceritakan dan
menerangkan suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan
yang dilihat atau disaksikan oleh notaris sendiri dalam menjalankan
jabatannya.
Menurut Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang
perbedaan dari kedua akta itu adalah:
4. Akta relaas dibuat oleh pejabat, sedangkan akta para pihak dibuat
oleh para pihak dihadapan pejabat, atau para pihak meminta
bantuan pejabat itu untuk membuat akta yang mereka inginkan
tersebut.
5. Dalam akta para pihak, para pejabat pembuat akta sama sekali tidak
pernah memulai inisiatif, sedangkan dalam akta relaas, pejabat
pembuat akta itu kadang-kadang yang memulai inisiatif untuk
membuat akta itu
6. Akta para pihak harus ditandatangani oleh para pihak dengan
ancaman kehilangan sifat otentiknya, sedangkan akta relaas tanda
tangan demikian tidak merupakan keharusan.
7. Akta para pihak berisikan keterangan yang dikehendaki oleh para
pihak yang membuat atau menyuruh membuat akta itu, sedangkan
akta relaas berisikan keterangan tertulis dari pejabat yang membuat
akta itu sendiri.
8. Kebenaran dari isi akta relaas tidak dapat diganggu gugat kecuali
dengan menuduh bahwa akta itu palsu, sedangkan kebenaran isi
akta para pihak dapat diganggu gugat tanpa menuduh kepalsuan
akta tersebut.27
27
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. Grosse Akta dalam Pembuktian dan
Eksekutorial. Jakarta. Rineka Cipta.Cetakan Pertama.1993. hlm 30-31
20
Akta yang dibuat oleh notaris dalam praktek kenotariatan
disebut akta relaas (relaas acten) atau akta berita acara yang berisi
berupa uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas
permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak
dilakukan dan dituangkan kedalam bentuk akta notaris. Akta yang
dibuat atau yang diceritakan dihadapan notaris, para pihak berkeinginan
agar uraian atau keterangannya dituangkan dalam bentuk akta notaris.28
d. Fungsi Akta ( Akta di bawah tangan dan akta otentik)
Akta memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu:
1. Fungsi formal (Formalitas Causa), yaitu suatu perbuatan hukum baru
dinyatakan sah atau sempurna jika dibuat dengan akta otentik atau
akta di bawah tangan dan tidak dapat dibuktikan dengan alat bukti
lain.
2. Fungsi sebagai alat bukti (Probationis Causa), yaitu akta otentik atau
akta di bawah tangan dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti
dikemudian hari tentang perbuatan hukum yang disebut dalam akta,
dan adanya akta bukan syarat untuk sahnya suatu perbuatan hukum.29
e. Daya Pembuktian Akta Otentik
Daya pembuktian akta otentik dapat dibagi kedalam 3 golongan, yaitu:30
1. Kekuatan bukti lahiriah (luar);
Kekuatan bukti ini disebut dengan akta publica probant seseipsa atau
suatu akta yang Nampak dari lahirnya (luarnya) atau dari kata-katanya
berasal dari seorang pejabat umum dianggap sebagai akta otentik,
28
151
29
GHS Lumbun Tobing.Peraturan Jabatan Notaris.Jakarta.Erlangga.Cetakan ke-3.1983.hlm
Bahan Kuliah Mata kuliah Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta, Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta 2012.
30
Ibid
21
sampai terbukti sebaliknya. Pembuktian lahiriah berlaku bukan saja
bagi para pihak tetapi juga bagi pihak ketiga, sedangkan akta bawah
tangan jika tandatangannya diakui hanya berlaku bagi para pihak.
2. Kekuatan Bukti Formal
a. Mengenai akta pejabat, akta ini membuktikan kebenaran dari apa
yang disaksikan yakni dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri
oleh
notaris
sebagai
pejabat
umum
dalam
menjalankan
jabatannya.
b. Mengenai akta partij, membuktikan bahwa pejabat umum dan
para pihak ada menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta
itu.
c. Pembuktian formal memberikan kekuatan pembuktian lengkap
baik terhadap akta pejabat maupun akta partij dan berlaku
terhadap setiap orang tentang apa yang ada dan terdapat diatas
tandatangan mereka.
3. Kekuatan Pembuktian Materiil
Kekuatan pembuktian ini hanya dipunyai oleh akta partij dan tidak
dipunyai oleh akta pejabat. Pada akta partij tidak saja membuktikan
bahwa para pihak sudah menerangkan sesuai dengan apa yang
dicantumkan dalam akta, tetapi juga apa yang diterangkan dalam akta
itu adalah benar dan hanya berlaku antara para pihak yang
bersangkutan, para ahli waris serta penerima hak mereka, sedangkan
daya pembuktian materiil kepada pihak ketiga diserahkan kepada
pertimbangan hakim. Lain halnya dengan akta pejabat yang tidak
mempunyai kekuatan pembuktian materiil dan hanya membuktikan
kebenaran apa yang dilihat dan dilakukan oleh notaris selaku Pejabat
Umum.
22
f. Faktor-faktor penyebab suatu akta dapat dibatalkan
Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan suatu akta dapat
dibatalkan adalah sebagai berikut:
1. Adanya kesalahan dalam proses pembuatan akta yang tidak sesuai
dengan Undang-Undang
Undang-Undang yang dimaksud disini adalah Undang-Undang Jabatan
Notaris No. 2 Tahun 2014, yaitu pelanggaran terhadap ketentuanketentuan yang terdapat di dalam Pasal 84.
Misalnya:

Ketentuan Pasal 52 UUJN No. 2 Tahun 2014 mengenai Notaris
yang membuat akta untuk dirinya sendiri, istri dan keluarganya.

Ketentuan Pasal 44 UUJN No. 2 Tahun 2014 mengenai akta
Notaris harus ditandatangani.
2. Apabila ada kesalahan ketik pada salinan akta
Notaris seharusnya kita kembali pada ketentuan UndangUndang.Yang mempunyai nilai sebagai akta otentik sebetulnya adalah
akta asli dari akta Notaris tersebut.Pasal 1888 KUHPerdata
menentukan kekuatan pembuktian dari akta otentik ada pada aslinya.
Salinan akta hanya mempunyai kekuatan yang sama dengan akta
aslinya apabila salinan tersebut sama dengan aslinya. Kalau ada
salinan akta yang bunyinya tidak sama dengan aslinya (karena ada
kesalah ketikan) maka yang bersangkutan dapat meminta kembali
salinan yang sama bunyinya. Salinan yang salah tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
3. Adanya kesalahan bentuk akta Notaris
Kesalahan bentuk dari akta Notaris itu bisa terjadi seperti yang
seharusnya berbentuk Berita Acara Rapat, oleh Notaris dibuat Akta
Pernyataan Keputusan Rapat.
23
4. Adanya kesalahan atas isi akta Notaris
Kesalahan yang terjadi pada isi akta bisa terjadi apabila para
pihak memberikan keterangan yang pada saat pembuatan akta
dianggap benar, tetapi setelah itu kemudian ternyata tidak benar.
5. Adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris dalam
pembuatan akta
Yaitu perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal
1365 KUHPerdata.
Misalnya, seorang Notaris yang membuat suatu akta dimana Notaris
mengetahui perbuatan hukum yang diinginkan dalam akta tersebut
nyata-nyata merugikan salah satu pihak.
Dalam Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014,
tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan
sebagaimana
yang
dimaksud
oleh
Undang-Undang
yang
mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi
hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian
untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada
Notaris.
2. Tinjauan tentang Keterangan Palsu
Keterangan palsu yang tercantum dalam akta otentik adalah suatu
keterangan-keterangan
mengenai
kejadian
atau
peristiwa
yang
bertentangan atau yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya.Adanya
suatu keterangan palsu dalam suatu akta otentik bukan semata-mata
karena kesalahan notaris.Pada dasarnya semua notaris membuat suatu
akta dengan penuh kehati-hatian yang berdasar pada Undang-Undang
Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya. Notaris
membuat akta sesuai dengan apa yang terjadi sesuai dengan keterangan,
24
identitas, dan surat-surat atau dokumen-dokumen yang diberikan oleh
para pihak. Para pihak yang memberikan keterangan palsu atau yang
meminta agar notaris memasukan keterangan palsu bertujuan untuk
menguntungkan diri sendiri.
Berdasarkan keterangan-keterangan, identitas serta surat-surat atau
dokumen-dokumen yang tidak benar yang diberikan oleh para penghadap
tersebut notaris membuat akta otentik sesuai dengan kehendak para
pihak.Setelah
akta
tersebut
selesai
dibuat
maka
akta
tersebut
ditandatangani oleh para pihak/penghadap, saksi-saksi dan notaris.Maka
dengan demikian akta tersebut dapat disebut sebagai akta otentik yang
dibuat berdasarkan keterangan palsu.
Tindak pidana menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu
dalam suatu akta otentik telah dilarang dalam ketentuan pidana yang
diatur dalam Pasal 266 KUHP. Tindak pidana yang dimaksudkan didalam
ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP terdiri atas
unsur-unsur sebagai berikut:
Unsur subyektif :dengan maksud untuk menggunakannya atau
untuk menyuruh orang lain menggunakannya seolah-olah keterangannya
itu sesuai dengan kebenaran.
Unsur obyektif
:
1. Barangsiapa
2. menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu
hal, yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut.
3. di dalam suatu akta auterntik
4. jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian.31
31
P.A.F Lamintang, Theo Lamintang.Delik-Delik Khusus Kejahatan Membahayakan
Kepercayaan Umum Terhadap Surat, Alat Pembayaran, Alat Bukti, dan Peradilan.Edisi
Kedua.Jakarta. Sinar Grafika. 2009.hlm 71-72
25
Tindak pidana dengan sengaja menggunakan akta autentik yang
berisi keterangan palsu yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana
yang diatur dalam Pasal 266 ayat (2) KUHP terdiri atas unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Unsur subyektif
: dengan sengaja
b. Unsur obyektif
:1. Barangsiapa
2..menggunakan akta seperti yang dimaksudkan
di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam
Pasal 266 ayat (1) KUHP
3. jika penggunaanya dapat menimbulkan
sesuatu kerugian.32
Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan
memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu/membuat palsu surat
sebelum perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian di buat suatu
surat yang isinya sebagaian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan
kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam tulisan itu di hasilkan
membuat surat palsu. Surat yang demikian di sebut dengan surat palsu
atau surat tidak asli. Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat.
Sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah ada sebuah surat disebut surat
asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda
tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuat memalsu yang
akibatnya surat yang semula benar menjadian surat yang semula benar
dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu.
Sanksi pidana tentang pemalsuan surat diatur dalam Pasal 264
KUHP. Pasal 264 merumuskan:
Pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun, jika
dilakukan terhadap:
32
Ibid, .hal 83
26
1. Akta-akta otentik
2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya
ataupun dari suatu lembaga umumnya
3. Surat sero atau surat hutang atau sertifikat sero hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan perseroan atau maskapai;
4. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari surat yang diterangkan
dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti
surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntuhkan untuk diedarkan
Dipidana dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja
memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak asli atau
tidak dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian
surat itu dapat menimbulkan kerugian. Hal yang menyebabkan diperberat
pemalsuan surat Pasal 264 diatas terletak pada faktor macamnya surat.
Surat-surat tertentu yang menjadi objek kejahatan adalah surat-surat yang
mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya. Suratsurat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi daripada suratsurat biasa atau surat lainnya. Kepercayaan yang lkebih besar terhadap
kebenaran akan isi dari macam-macam surat itulah yang menyebabkan
diperberat ancaman pidananya.33
3.
Tinjauan tentang Yayasan
a. Pengertian Yayasan
Yayasan (Inggris: foundation) adalah suatu badan hukum yang
mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan
kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang
ditentukan dalam undang-undang. Di Indonesia, yayasan diatur dalam
33
http://sitimaryamnia.blogspot.co.id/2012/02/tindak-pidana-pemalsuan-surat.html. diakses
pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 12.43 WIB.
27
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.34
Pengertian Yayasan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan adalah:
“Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidakmempunyai anggota.”35
Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik
yayasan adalah:
1. Yayasan sebagai badan hukum
2. Mempunyai harta kekayaan tersendiri yang berasal dari pendirinya
untuk mencapai tujuan yayasan
3. Tujuan yayasan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan
4. Tidak mempunyai anggota.
Yayasan merupakan suatu badan yang melakukan berbagai
kegiatan bersifat nonkomersial (nirlaba) dan bergerak di bidang sosial,
keagamaan
atau
pendidikan,
dan
cenderung
memiliki
tujuan
idiil.36Badan Hukum Yayasan merupakan sebuah kumpulan dari
sejumlah orang yang terorganisir serta dalam kegiatannya lebih tampak
sebagai lembaga sosial. Pengertian lebih lanjut tentang Yayasan secara
sederhana dijelaskan dalam Black’s Law Dictionary bahwa Foundation
is Permanent fund established and maintained by contributions for
charitable, educated, religious or other benevolentpurpose (Black’s Law
Dictionary, 5th ed). Dapat diartikan sejak awal Yayasan didirikan bukan
untuk suatu tujuan yang bersifat komerisal atau mencari keuntungan,
34
https://id.wikipedia.org/wiki/Yayasan. di akses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 13.15 WIB
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
36
Mulhadi.Hukum Perusahaan.Bogor.Ghalia Indonesia.2010.hlm 194
35
28
akan tetapi lebih berorientasi sosial untuk membantu atau meningkatkan
kesejahteraan hidup orang banyak.37
Untuk dapat mengetahui apakah yayasan itu ada beberapa
pandangan para ahli, antara lain :
1. Menurut Poerwadarminta dalam kamus umumnya memberikan
pengertian yayasan sebagai berikut :
a. Badan yang didirikan dengan maksud mengusahakan sesuatu
seperti
sekolah dan
sebagainya
(sebagai
badan
hukum
bermodal, tetapi tidak mempunyai anggota).
b. Gedung-gedung yang teristimewa untuk sesuatu maksud yang
tertentu(seperti : rumah sakit dsb).
2. Menurut Achmad Ichsan, Yayasan tidaklah mempunyai anggota,
karena yayasan terjadi dengan memisahkan suatu harta kekayaan
berupa uang atau benda lainnya untuk maksud-maksud idiil yaitu
(sosial, keagamaan dan kemanusiaan) itu, sedangkan pendirinya
dapat berupa Pemerintah atau orang sipil sebagai penghibah,
dibentuk suatu pengurus untuk mengatur pelaksanaan tujuan itu.
3. Menurut Zainul Bahri dalam kamus umumnya memberikan suatu
definisi yayasan sebagai suatu badan hukum yang didirikan untuk
memberikan bantuan untuk tujuan sosial.
4. Yayasan adalah suatu paguyuban atau badan yang pendiriannya
disahkan dengan akte hukum atau akte yang disahkan oleh notaris,
dimana yayasanitu aktifitasnya bergerak di bidang sosial, misalnya
mendirikan sesuatuatau sekolah.38
37
Winuratri Gita Prawardhani, Adi Sulistiyono. Analisis Yuridis Badan Hukum Yayasan dalam
Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah.Jurnal Private Law Universitas Sebelas Maret Surakarta
Vol.2 No 5 Tahun 2014.
38
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=5461,diakses pada tanggal 19 April
2015,pukul 15.26 WIB
29
b. Pendirian Yayasan
Pasal 9 Undang-undang Yayasan menyatakan bahwa:
“(1) Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan
sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.
(2) Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
(3) Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat.
(4) Biaya pembuatan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan denganPeraturan Pemerintah.
(5) Dalam hal Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didirikan oleh orang asing atau bersama-sama orang asing,
mengenai syarat dan tata cara pendirian Yayasan tersebut diatur
dengan Peraturan Pemerintah.”39
Dalam penjelasan Pasal 9 UUY secara terang menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan orang adalah orang perorangan atau
badan hukum. Artinya hanya bisa didirikan oleh orang-perorangan saja
atau badan hukum saja. Dengan demikian UUY tidak memberikan
kemungkinan pendiri campuran orang perorangan dengan badan hukum.
Hal ini berkaitan erat dengan adanya kewajiban dari para pendiri
yayasan untuk memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai
kekayaan awal yayasan. Sedangkan jumlah pendiri menurut UU ini bisa
satu pendiri atau lebih dari 1 (satu) pendiri. Dalam hal ini pendiri
yayasan adalah “orang asing” atau “bersama-sama orang asing”, maka
peraturan mengenai syarat dan tata cara pendirian yayasan demikian
diataur dengan Peraturan Pemerintah. Mengenai hal tersebut, memang
sudah tepat apabila Pemerintah mengatur secara cermat mengenai
pendirian yayasan oleh “orang asing” atau “bersama-sama orang asing”,
dengan tujuan agar yayasan demikian tidak membawa dampak yang
merugikan kepentingan pemerintah dan masyarakat Indonesia.40
Pada Pasal 10 Undang-undang Yayasan disebutkan bahwa:
39
40
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-yayasan-definisi-maksud.html
30
“(1) Dalam pembuatan akta pendirian Yayasan, pendiri dapat diwakili
oleh orang lain berdasarkan surat kuasa.
(2) Dalam hal pendirian Yayasan dilakukan berdasarkan surat wasiat,
penerima wasiat bertindak mewakili pemberi wasiat.
(3) Dalam hal surat wasiat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak dilaksanakan, maka atas permintaan pihak yang
berkepentingan, Pengadilan dapat memerintahkan ahli waris atau
penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat
tersebut.”41
Setelah dibuat akta pendirian Yayasan maka Yayasan tersebut
harus didaftarkan ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk
mendapatkan pengesahan. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 11
Undang-undang Yayasan:
“(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian
Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
memperoleh pengesahan dari Menteri.
(2) Kewenangan Menteri dalam memberikan pengesahan akta
pendirian Yayasan sebagai badan hukum dilaksanakan oleh
Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak
AsasiManusia atas nama Menteri, yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kedudukan Yayasan.
(3) Dalam memberikan pengesahan, Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dapat meminta pertimbangan dari
instansi terkait.”42
Permohonan pengesahan Yayasan sebagai badan hukum harus
diajukan secara tertulis kepada Menteri. Pengesahan terhadap
permohonan atau diterima atau ditolak dalam jangka waktu paling
lambat 30 hari sejak permohonan diterima secara lengkap.dalam hal
diperlukan pertimbangan dari instansi yang terkait,pengesahan
diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 14 hari sejak
tanggal jawaban atas permintaan pertimbangan dari instansi terkait
diterima. Bila jawaban atas permintaan pertimbangan tidak diterima,
41
42
Undang-Undang no 28 Tahun 2004,Op.cit
ibid
31
pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat
30 hari sejak tanggal permintaan pertimbangan disampaikan kepada
instansi terkait. Permohonan pengesahan secara tertulis yang diajukan
secara tertulis oleh Notaris berdasarkan surat kuasa yang diterimanya.
Bila satu atau beberapa syarat formal yang ditentukan dalam Undangundang Yayasan dan peraturan pelaksanannya tidak dipenuhi, maka
kemungkinan Menteri akan menolak permohonan tersebut. Bila hal itu
yang terjadi, Menteri wajib memberitahukan secara tertulis disertai
dengan alasannya kepada pemohon mengenai pengesahan tersebut.
c. Anggaran Dasar dan Perubahan Anggaran Dasar
Anggaran Dasar merupakan bagian penting dalam akta pendirian
suatu Yayasan. Akta pendirian Yayasan terdiri dari Anggaran Dasar
dan keterangan-keterangan yang lain yang dianggap penting. Anggaran
Dasar merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Akta
Pendirian Yayasan yang memuat hal-hal seperti yang terdapat pada
Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Yayasan berikut ini:
a. Nama dan tempat kedudukan;
b. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan
tujuan tersebut;
c. Jangka waktu pendirian;
d. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi
pendiri dalam bentukuang atau benda;
e. Cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;
f. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota
Pembina,Pengurus, dan Pengawas;
g. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
h. Tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan;
i. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
j. Penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan
32
k. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan
Yayasan setelah pembubaran.
Anggaran Dasar dapat diubah dan hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan keputusan rapat Pembina yang hanya dapat dilakukan
apabila dihadiri oleh paling sedikit dua pertiga dari jumlah anggota
pembina.
Perubahan
Anggaran
Dasar
sebagaimana
dimaksud
dilakukan dengan akta notaris.Dalam hal keputusan rapat tidak
tercapai, maka keputusan rapat ditetapkan berdasarkan persetujuan
paling sedikit dua pertiga dari jumlah anggota pembina yang hadir.
Pasal 20 Undang-undang Yayasan menyatakan bahwa:
“(1) Dalam hal korum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2) tidak tercapai, rapat Pembina yang kedua dapat
diselenggarakan paling cepat 3 (tiga) hari terhitung sejak
tanggalrapat Pembina yang pertama diselenggarakan.
(2) Rapat Pembina yang kedua sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sah, apabila dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua)
dari seluruh anggota Pembina.
(3) Keputusan rapat Pembina yang kedua sah, apabila diambil
berdasarkan persetujuan suara terbanyak dari jumlah anggota
Pembina yang hadir.”
Perubahan Anggaran Dasar yang substansial meliputi nama
dan kegiatan Yayasan maka harus mendapat pengesahan Menteri. Jika
perubahan Anggaran Dasar dianggap tidak substansial maka
prosedurnya hanya cukup diberitahukan kepada Menteri.Perubahan
Anggaran Dasar tidak dapat dilakukan apabila Yayasan dinyatakan
dalam keadaan pailit, kecuali atas persetujuan kurator.
d. Organ Yayasan
Yayasan mempunyai organ yang terdiri dari pembina, pengurus
dan pengawas yang masing-masing penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1. Pembina
33
Penjelasan lebih lanjut tentang pembina terdapat pada Pasal 28
Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 sebagai berikut:
“(1) Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai
kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau
Pengawas oleh Undang-undang ini atau Anggaran Dasar.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi:
a. keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
b. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan
anggota Pengawas;
c. penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan
Anggaran Dasar Yayasan;
d. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran
tahunan Yayasan; dan
e. penetapan keputusan mengenai penggabungan atau
pembubaran Yayasan.
(3) Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah orang perseorangan sebagai
pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan
keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai
dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan
Yayasan.
(4) Dalam hal Yayasan karena sebab apapun tidak lagi
mempunyai Pembina, paling lambat dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal kekosongan, anggota
Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat
gabungan
untuk
mengangkat
Pembina
dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3).
(5) Keputusan rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan
ayat (4) sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan
mengenai korum kehadiran dan korum keputusan untuk
perubahan Anggaran Dasar sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar.”43
Anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota
pengurus maupun pengawas. Pembina mengadakan rapat paling
sedikit satu kali dalam satu tahun. Dalam rapat tahunan, pembina
43
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
34
mengadakan evaluasi tentang kekayaan, hak dan kewajiban
Yayasan tahun yang lampau sebagai dasar pertombangkan bagi
perkiraan mengenai perkembangan Yayasan untuk tahun yang
akan datang..
2. Pengurus
Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan
kepengurusan yayasan, yang dapat diangkat menjadi pengurus
adalah orang perorangan yang mampu melakukan perbuatan
hukum, dan pengurus tidak boleh merangkap sebagai pembina
atau pengawas.
Susunan pengurus sekurang-kurangnya sebagai berikut:
a. Seorang ketua
b. Seorang sekertaris
c. Seorang bendahara
Berdasarkan Pasal 35 Undang-undang Nomor 28 tahun 2004
disebutkan tanggung jawab pengurus Yayasan antara lain:
(1) Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas
kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan
Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam
maupun di luar Pengadilan.
(2) Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan
penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan
Yayasan.
(3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), Pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan
pelaksana kegiatan Yayasan.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian pelaksana kegiatan Yayasan diatur dalam
Anggaran Dasar Yayasan.
(5) Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi
apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya
tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang
mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.44
44
ibid
35
Wewenang yang dimiliki oleh pengurus Yayasan, yaitu
antara lain:
a. Pengurus berwenang mewakili Yayasan baik di dalam maupun
di luar Pengadilan
b. Pengurus berwenang mengangkat dan memberhentikan
pelaksana kegiatan Yayasan.
Terdapat beberapa sebab pengurus kehilangan wewenang,
yaitu apabila terjadi:
a. Terjadi perkara didepan pengadilan antara Yayasan dengan
anggota pengurus yang bersangkutan.
b. Anggota
pengurus
yang
bersangkutan
mempunyai
kepentingan yang bersangkutan dengan kepentingan Yayasan
c. Pengurus tidak berwenang mengikat Yayasan sebagai
penjamin utang
d. Pengurus tidak berwenang mengalihkan kekayaan Yayasan
(kecuali dengan persetujuan pembina)
e. Pengurus tidak berwenang membebani kekayaan Yayasan
untuk kepentingan pihak lain.
f. Pengurus Yayasan dilarang mengadakan perjanjian dengan
organisasi yang terafiliasi demngan Yayasan.
3. Pengawas
Penjelasan tentang pengawas yayasan dijelaskan dalam
Undang-undang Yayasan Pasal 40, 42, 43, 44, 45 dan 47. Menurut
Pasal 40 Undang-undang Yayasan menyatakan pengertian
Yayasan sebagai berikut:
“(1) Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan
pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam
menjalankan kegiatan Yayasan.
36
(2) Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu)
orang Pengawas yang wewenang, tugas, dan tanggung
jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar.
(3) Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang
perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum.
(4) Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau
Pengurus.”45
Menurut
Pasal
42
Undang-undang
Yayasan
menyatakan
kewajiban pengawas Yayasan sebagai berikut:
“Pengawas wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan Yayasan.”46
Menurut Pasal 43 Undang-undang Yayasan menyatakan tentang
kewenangan pengawas Yayasan sebagai berikut:
(1) Pengawas dapat memberhentikan sementara anggota Pengurus
dengan menyebutkan alasannya.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
pemberhentian sementara, wajib dilaporkan secara
tertuliskepada Pembina.
(3) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
laporan diterima, Pembina wajib memanggil anggota
Pengurus yang bersangkutan untuk diberi kesempatan
membela diri.
(4) Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), Pembina wajib:
a. mencabut keputusan pemberhentian sementara; atau
b. memberhentikan anggota Pengurus yang bersangkutan.
(5) Apabila Pembina tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) danayat (4), pemberhentian
sementara tersebut batal demi hukum.47
Menurut Pasal 44 Undang-undang Yayasan menyatakan tentang
pengangkatan pengawas Yayasan sebagai berikut:
45
Ibid
Ibid.
47
Ibid
46
37
(1) Pengawas Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan
keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat kembali.
(2) Pengawas Yayasan dapat diangkat kembali setelah masa
jabatan pertama berakhir untuk masa jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat(1), ditentukan dalam Anggaran Dasar.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tata cara
pengangkatan,pemberhentian, dan penggantian Pengawas
diatur dalam Anggaran Dasar.48
Menurut Pasal 45 Undang-undang Yayasan menyatakan tentang
penggantian Yayasan sebagai berikut:
(1) Dalam hal terjadi penggantian Pengawas, Pengurus
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal penggantian Pengawas
Yayasan.49
Menurut Pasal 46 Undang-undang Yayasan menyatakan tentang
pemberhentian Yayasan sebagai berikut:
(1) Pengawas Yayasan sewaktu-waktu dapat diberhentikan
berdasarkan keputusan rapat Pembina.
(2) Dalam hal pengangkatan, pemberhentian dan penggantian
Pengawas dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran
Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas
permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan
umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan,
pemberhentian, atau penggantian Pengawas tersebutdalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal permohonan pembatalan diajukan.50
Menurut Pasal 47 Undang-undang Yayasan menyatakan tentang
kepailitan Yayasan sebagai berikut:
48
Ibid
Ibid
50
Ibid
49
38
(1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian
Pengawas dalam melakukan tugas pengawasan dan kekayaan
Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat
kepailitan tersebut, setiap anggota Pengawas secara tanggung
renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
(2) Anggota Pengawas Yayasan yang dapat membuktikan bahwa
kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, tidak
bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
tersebut.
(3) Setiap anggota Pengawas yang dinyatakan bersalah dalam
melakukan pengawasan Yayasan yang menyebabkan kerugian
bagi Yayasan, masyarakat, dan/atau Negara berdasarkan
putusan Pengadilan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun sejak putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum
tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengawas Yayasan
manapun.51
e.
Tujuan Yayasan di Bidang Sosial, Keagamaan, dan Kemanusiaan
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Yayasan menegaskan
bahwa Yayasan mempunyai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan. Tujuan Yayasan hanya ada 3 (tiga),
tetapi dari tiga tujuan tersebut dapat diderivasikan dalam berbagai
kegiatan Yayasan yang tidak terlepas dari maksud tujuan Yayasan,
misalnya:
1. Tujuan Yayasan di Bidang Sosial
a. lembaga formal dan nonformal
b. Panti asuhan, panti jompo, dan panti wreda
c. Rumah sakit, poliklinik, dan laboratorium
d. Pembinaan olahraga
e. Penelitian di bidang ilmu pengetahuan
f. Studi banding
2. Tujuan Yayasan di Bidang Keagamaan
a. Mendirikan sarana ibadah
51
Ibid
39
b. Menyelenggarakan pondok pesantren dan madrasah
c. Menerima serta menyalurkan amal, zakat, infak, dan sedekah
d. Meningkatkan pemahaman keagamaan
e. Melaksanakan syiar agama
f. Studi banding keagamaan
3. Tujuan Yayasan di Bidang Kemanusiaan
a. Memberikan bantuan kepada korban bencana alam
b. Memberikan bantuan kepada pengungsi akibat perang
c. Memberikan bantuan kepada tunawisma, fakir miskin dan
gelandangan
d. Mendirikan dan menyelenggarakan rumah singga dan rumah
duka
e. Memberikan perlindungan konsumen
f. Melestarikan lingkungan hidup52
4.
Tinjauan Tentang Notaris
Menurut Kamus Indonesia
“Notaris, adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik
dan
kewenangan
lainnya
sebagaimana
dimaksud
dalam
undang‐undang ini (Peraturan Jabatan Notaris).”
Menurut Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
RepublikIndonesia Nomor.M.01‐HT.03.01 Tahun 2006, tentang Syarat dan
Tata Cara Pengangkatan Dan Pemindahan, dan Pemberhentian Notaris.
Ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan Notaris, adalah
Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang Jabatan
Notaris.
52
Habib Adjie, Muhammad Hafidh. Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Yayasan.
Semarang. Pustaka Zaman. 2013.Hlm 23-24
40
Menurut Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2014tentang Jabatan Notaris. Ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1), yang
dimaksud dengan Notaris, adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dengan undang‐undang ini
Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris disebutkan pada Pasal 3
UUJN adalah:
a. Warga negara Indonesia;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat
dari dokter dan psikiater;
e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan
Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturutturut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi
Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;
g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau
tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang
untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan
h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Mengenai Pemberhentian notaris terdapat pada Pasal 8 ayat (1)
UUJN, antara laian sebagai berikut:
a. Meninggal dunia;
b. Telah berumur 65 (enampuluh lima) tahun;
c. Permintaan sendiri;
41
d. Tidak mampu secara rohani dan /atau jasmani untuk melaksanakan
tugas jabatan Notaris secara terus menerus selama lebih dari 3 (tiga)
tahun: atau
e. Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g
Pemberhentian sementara Notaris diatur dalam Pasal 9 ayat (1):
UUJN Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena:
a.
Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;
b.
Berada di bawah pengampuan;
c.
Melakukan perbuatan tercela;
d.
Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta
kode etik Notaris; atau
e.
Sedang menjalani masa penahanan.
Kewenangan Notaris diatur dalam Pasal 15 UUJN:
(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris
berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
42
c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
Akta;
f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana
tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris,
maka ada 2 (dua) kesimpulan, yaitu:
1. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan tindakan
para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan
hukum yang berlaku.
2. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan
alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan
bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau
menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau
pernyataan sesuai aturan hukum yang bertlaku. Kekuatan pembuktian
akta notaris ini berhubungan dengan sifat public dari jabatan notaris.53
Kewajiban Notaris diatur pada Pasal 16 ayat (1) UUJN:
53
Hennry susanto. Peranan Notaris
Kontrak.Yogyakarta.FH UII Press.2010.hlm 42.
dalam
Menciptakan
Kepatutan
dalam
43
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta;
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta
tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi
lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan
tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan Akta setiap bulan;
j. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
setiap akhir bulan;
44
l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan
n. Menerima magang calon Notaris.
Larangan bagi seorang Notaris diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN:
a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau
Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
h. Menjadi Notaris Pengganti; atau
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
45
5. Tinjauan tentang Pidana
a. Pengertian Pidana
Hukum Pidana merupakan hokum yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku.54
Pengertian Hukum Pidana menurut Sudarsono adalah hukum
yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan
umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan
suatu penderitaan. Menurut WPJ. Pompe, Pengertian Hukum Pidana
ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyaknya
bersifat umum yang abstrak dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.
Wirjino Prodjodikor mengatakan bahwa Pengertian Hukum Pidana
merupakan peraturan hukum mengenai pidana. Kata "pidana" diartikan
sebagai "dipidanakan" dimana oleh instansi tertentu yang berkuasa
dilimpahkan kepada seseorang oknum sebagai hal yang tidak enak
dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan. Pengertian
Hukum Pidana Menurut Moeljatno yaitu bagian daripada keseluruhan
hukum yang berlaku dalam suatu negara, dimana dasar-dasar dan aturanaturannya untuk:
a. Hukum pidana menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh
dilakukan (dilarang) dengan disertai ancaman pidana bagi siapa yang
melanggarnya,
b. Hukum pidana menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka
yang melanggar larangan dapat dikenakan pidana,
c. Hukum pidana Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana
itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang melanggarnya.55
54
Bambang Waluyo.Pidana dan Pemidanaan.Jakarta.Sinar Grafika.2014.hlm 6
http://www.pengertianpakar.com/2014/10/pengertian-hukum-pidana-menurutpara.html#_,diakses pada tanggal 14 Desember 2015. Pukul 21:54 WIB
55
46
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut
dengan istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari istilah
hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.
Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang
sebagai akibat hokum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah
melanggar larangan hokum pidana, secara khusus larangan dalam hokum
pidana ini disebut sebagai tindak pidana (stafbaar feit). Pidana dalam
hokum pidana adalah suatu alat dan bukan tujuan dari hokum pidana, yang
apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak
enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana.
Tujuan utama hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus
dapat disebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap
kepentingan hukum yang dilindungi.56 Pidana adalah penderitaan atau
nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan
yang memenuhi unsur syarat-syarat tertentu.57 Sedangkan pengertian tindak
pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan
perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari
segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan
yang dilakukan.58
56
24-25
57
Adami Chazawi.Pelajaran Hukum Pidana Bagian I.Jakarta.Raja Grafindo Persada.2002.hlm
Tri Andrisman.Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia.BandarLampung.
Unila.2009. hlm.8
58
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
2001. hlm. 22
47
b..Jenis-Jenis Pidana
Berdasarkan Pasal 10 KUHP disebutkan bahwa, pidana terdiri atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
c.. Sanksi Pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas
culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa
asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan
berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.
Walaupun
Konsep
berprinsip
bahwa
pertanggungjawaban
pidana
berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup
kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability)
dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan
(error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun
kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf
sehingga
pelaku
tidak
dipidana
kecuali
kesesatannya
itu
patut
59
dipersalahkan.
59
Nawawi Arief,Barda . Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23
48
Pertanggungjawaban pidana dapat dilaksanakan dengan pengenaan
sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Sanksi Pidana adalah suatu
hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah
hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk
penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi Pidana
merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa yang diancamkan atau
dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak
pidana yang dapat menggangu atau membahayakan kepentingan hukum.
Sanksi pidana pada
dasarnya merupakan
suatu
penjamin untuk
merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang
bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan
manusia itu sendiri.
Sanksi pidana terdapat pada Pasal 10 KUHP, yaitu:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
49
2. Teori Kewenangan
Sumber hukum dalam arti sebagai asalnya mengarah kepada suatu
pembicaraan tentang kewewenangan60 yang merupakan syarat mutlak
untuk dapat membuat keputusan oleh penguasa. Mempelajari suatu
ketentuan atau aturan hukum membawa konsekuensi bahwa ketentuan
hukum tersebut merupakan keputusan dari penguasa yang berwenang atau
tidak. Selain itu harus dipelajari mengenai wewenang tersebut berasal dari
wewenang yang lebih tinggi atau tidak, demikian seterusnya sehingga
terjadi susunan bertingkat kewenangan dari wewenang yang tertinggi
sampai wewenang yang terendah. Perlu dipahami bahwa setiap masyarakat
yang menghendaki adanya tertib hukum, syarat bahwa setiap keputusan
yang menimbulkan hukum positif yang baru harus diberikan oleh yang
berwenang untuk itu, merupakan hal yang mutlak. Apabila syarat tersebut
tidak dipegang teguh, maka akan menimbulkan dampak bahwa keputusan
yang menimbulkan hukum positif itu akan dilakukan oleh siapapun juga,
maka akan terjadi ketidakpastian hukum.
Menurut Prajudi Atmosudirjo,61 kewenangan adalah apa yang
disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif
(diberi oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan eksekutif / administratif.
Kewenangan merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang-orang
tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang
bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu
saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang
adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik. Oleh
karena itu dalam masyarakat akan terjadi suatu kekusutan hukum dalam
arti bahwa para anggota masyarakatnya dan para anggota pelaksana dalam
60
35-36.
61
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm
http://boeyberusahasabar.wordpress.com/2013/12/10/sumber-kewenangan-atribusi-delegasidan-mandat, hlm. 27, diakses pada tanggal 15 September 2015, pukul 18:34 WIB.
50
kesatuannya, tidak tahu lagi keputusan siapakah yang seharusnya ditaati
untuk dilaksanakan atau setidak-tidaknya dihormati berlakunya. Kekusutan
itu akan terjadi apabila ada dua atau lebih keputusan yang satu dengan
lainnya saling bertentangan bunyinya 62
Apabila ada suatu ketentuan hukum atau aturan hukum yang
merupakan perwujudan dari keputusan penguasa yang ternyata secara
hukum tidak dapat dicari dasar hukumnya pada suatu ketentuan hukum
atau aturan hukum yang lebih tinggi, atau kewenangan yang lebih tinggi,
maka terjadi dua kemungkinan, yaitu63 : (1) Bahwa ketentuan hukum atau
aturan hukum tersebut bukan merupakan ketentuan hukum atau aturan
hukum yang sah, oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat; (2)
Bahwa ketentuan hukum atau aturan hukum tersebut merupakan ketentuan
hukum atau aturan hukum yang tertinggi dalam tata hukum negara yang
bersangkutan.
Pembatasan adanya pembagian wewenang ini, tidak cukup kalau
hanya dikaji dengan adanya pembagian kewenangan yang jelas dan
lengkap di dalam sistem ketatanegaraannya. Selain itu masih perlu adanya
pengawasan dan pertanggungjawaban lengkap dengan sanksi-sanksinya
yang tertentu sesuai dengan lapangannya. Pengujian penyalahgunaan
wewenang terhadap keputusan-keputusan yang menimbulkan hukum yang
berhubungan dengan syarat-syarat formal yang harus dipenuhi dalam
pembuatannya disebut pengujian formal. Sedangkan pengujian yang
berhubungan dengan materi keputusannya, apakah ada penyalahgunaan
wewenang atau tidak, disebut pengujian materiil. Pengertian kewenangan
(authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang
62
Soenarno, Publik Policy : Pengertian Pokok Untuk Memahami Dan Analisis Kebijakan
Pemerintah, Airlangga University Press, Surabaya, 1993, hlm. 26
63
Ibid, hlm. 27
51
(competence), Perbedaan itu terletak pada karakter hukumnya, yang mana
istilah wewenang digunakan dalam konsep hukum publik. Kewenangan
secara umum merupakan lingkup kekuasaan yang dimiliki seseorang atau
kelompok untuk memerintah, mengatur, dan menjalankan tugas di
bidangnya masing-masing. Kewenangan merupakan unsur dari kekuasaan
yang dimiliki seseorang. Dalam berkuasa biasanya seorang pemegang
kuasa berwenang untuk menjalankan kekuasaannya sesuai dengan
wewenang yang diberikan kepadanya. Dalam hukum tata pemerintahan
pejabat tata usaha negara merupakan pelaku utama dalam melakukan
perbuatan dan tindakan hukum fungsi pokok pemerintahan dan fungsi
pelayanan
pemerintahan,
namun
dalam
melakukan
tindakan
dan
perbuatannya harus mempunyai kewenangan yang jelas.64
Dilihat dari cara memperoleh jenis kewenangan maka ada 3 (tiga)
cara yaitu :
(1) Kewenangan secara atribusi yaitu kewenangan yang diberikan kepada
suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu
badan legislatif yang independen, asli dan tidak diambil dari
kewenangan yang ada sebelumnya. Atribusi terjadinya pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan. Atribusi kewenangan dalam peraturan
perundangundangan adalah pemberian kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan yang pada puncaknya diberikan oleh
UUD 1945 atau UU kepada suatu lembaga negara atau pemerintah.
Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan
atas prakarsa sendiri setiap diperlukan. Disini dilahirkan atau
diciptakan suatu wewenang baru.
64
Philipus M.Hajon, Tentang Wewenang, Makalah Bahan Kuliah, Universitas Airlangga,
Surabaya, 2000, hlm. 20
52
(2) Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi
dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya
sehingga delegator (organ yang memberi kewenangan) dapat menguji
kewenangan tersebut atas namanya. Pada delegasi ini tidak ada
penciptaan wewenang yang ada hanya pelimpahan wewenang dari
pejabat yang satu kepada pejabat yang lainnya. Tanggung jawab
yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi tetapi beralih pada
penerima delegasi. Pada delegasi, terjadilah pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara
yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif
kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu
delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.
(3) Mandat tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi
mandat memberikan kewenangan pada organ lain untuk membuat
keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Dalam
Hukum Administrasi Negara mandat diartikan sebagai perintah untuk
melaksanakan atasan, kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan
oleh pemberi mandat, dan tidak terjadi peralihan tanggung jawab.
Bahwa setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas
kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber,
yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya
digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang
Dasar, sedang dalam hal delegasi mengenai prosedur pelimpahannya
berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan
yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung
jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi
tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada
pencabutan dengan berpegang dengan
asas ”contrarius actus”.
Artinya, setiap perobahan, pencabutan suatu peraturan pelaksanaan
53
perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan
peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau
yang lebih tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam
rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun
tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat.
Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri wewenang
yang dilimpahkan itu.65
Berdasarkan uraian tersebut, apabila wewenang yang diperoleh
organ pemerintahan secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari
peraturan perundang-undangan, yaitu dari redaksi pasal-pasal tertentu
dalam peraturan perundang-undangan. Penerima dapat
menciptakan
wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan
tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang
diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).
Wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masingmasing dijelaskan
sebagai
berikut
:
Wewenang
yang
diperoleh
secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh
suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini
dilahirkan /
diciptakan
suatu
wewenang pemerintah yang baru.
Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh
Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang
pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya.
Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi
wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang
baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang
satu kepada yang lain.66 Penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas
65
Ibid, hlm. 24
J.G.Brouwer dan Schilder, A Survey of Ducth Administrative Law, Nijmegen ; Ars Aeguilibri,
1998, hlm. 16-17.
66
54
nama pemberi mandat, tanggung jawab akhir keputusan yang diambil tetap
berada pada pemberi mandat, hal ini karena pada dasarnya penerima
mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.67
Kewenangan Notaris sebagai pejabat umum yang bertugas
membuat akta otentik, termasuk kewenangan secara atribusi68 karena
kewenangan Notaris diberikan oleh undang-undang langsung yaitu Pasal
15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, yang menyatakan
Notaris berwenang untuk membuat akta otentik. Dimana kewenangan yang
diperoleh secara atribusi ini bersifat asli yang berasal dari peraturan
perundang-undangan.
Penerima
wewenang
dalam
atribusi
dapat
menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada
dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang
didistribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang tersebut.
3. Teori Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum yang dimaksudkan tersebut ada di
dalam istilah hukum pidana (wederrechttelijk) maupun di dalam hukum
perdata (onrechmatige daad), meskipun sebenarnya keduanya memiliki
persamaan dan perbedaan dalam penerapannya yaitu sama-sama perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau adanya ketentuan hukum yang
dilanggar dan pada prisipnya sama-sama melindungi kepentingan hukum
(interest) Adapun perbedaan yang mendasar adalah perbuatan pidana
berada dalam koridor hukum pidana yang bertujuan melindungi
kepentingan atau ketertiban publik (umum), sedangkan Hukum Perdata
67
106
68
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 105-
Stout HD, De Betekenissen Van De Wet, dalam Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan
Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004, hal 1. Kusnu Goesniadhie S.,
Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, JP Books, Surabaya, 2006, hlm. 150
55
lebih bertujuan melindungi kepentingan individu dan hubungan antar
individu (privat).
Perbuatan melawan hukum dapat diartikan secara sempit dan luas.
Dalam arti sempit yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hak orang
lain yang timbul karena undang-undang atau bertentangan dengan
kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang.69
Perbuatan melawan hukum dalam arti yang luas yaitu perbuatan-perbuatan
yang mencakup dari salah satu perbuatan antara lain: (1) Perbuatan yang
bertentangan dengan hak orang lain yaitu melanggar hak-hak seseorang
yang diakui oleh hukum, tetapi tidak terbatas pada hak-hak yaitu hak-hak
pribadi, hak kekayaan, hak atas kebebasan dan hak atas kehormatan dan
nama baik; (2) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri, baik itu hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis;
(3)
Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, manakala perbuatan
tersebut mengakibatkan kerugian orang lain; (4) Perbuatan yang
bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan
masyarakat yang baik, yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.70
Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup perbuatan
melawan hukum baik hukum perdata maupun hukum pidana, dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Perbuatan Melawan Hukum Dalam Aspek Perdata.
Pelanggaran hukum perdata bersumber pada dua dasar
hukum, yaitu Pertama : Wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata)71 dan
Kedua : Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).
Adapun landasan hukum menyangkut perbuatan melawan hukum
adalah Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi :
69
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Adhitya Bakti,
Bandung, 2010, hlm. 6
70
Ibid, hlm. 8.
71
Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, 1985, hlm. 45.
56
“Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.”
Perbuatan melawan hukum72 tidak hanya bertentangan
dengan undang-undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang
melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang
yang berbuat atau tidak berbuat bertentangan dengan kesusilaan
maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan kepatutan dalam lalu lintas
masyarakat. Ada syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut
kerugian adanya perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365
KUHPerdata antara lain sebagai berikut : (1) Adanya perbuatan
(daad) yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan hukum;73 (2)
Adanya kesalahan (dolus dan/atau culpa);
(3) Adanya kerugian
(schade). Perlakuan yang tidak benar menjadi suatu pelanggaran
perjanjian (wanprestasi) dan atau perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) dan (4) adanya hubungan kausal antara
perbuatan dengan kerugian.
Untuk
dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan
hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata harus
terpenuhinya syarat-syarat atau unsur-unsur antara lain : (a)
Perbuatan
tersebut
merupakan
perbuatan
melawan
hukum
(onrechtmatige daad) yang dapat dipersalahkan pada pembuatnya
harus mengandung sifat melawan hukum. Perbuatan melawan
hukum, tidak hanya hal yang bertentangan dengan UU tetapi juga
jika berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang memenuhi salah satu
unsur bertentangan dengan hak orang lain, kewajiban hukumnya
sendiri, kesusilaan dan kehati-hatian / kepantasan yang harus
72
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Adhitya Bakti,
Bandung, 2010, hlm. 14.
73
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 61- 62
57
diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau
benda; (b) harus ada kesalahan. Kesalahan adalah perbuatan dan
akibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku; (c) harus
ada kerugian yang ditimbulkan. Kerugian tidak hanya berupa uang
tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril (d) adanya hubungan
kausal antara perbuatan dan kerugian. Ada hubungan kausal antara
perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan sehingga
si pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Perbuatan yang dilarang
oleh hukum atau perbuatan melawan hukum yang lazimnya disebut
“onrechtmatige daad” adalah sesuatu perbuatan yang menimbulkan
kerugian kepada orang lain dan mewajibkan si pelaku / pembuat
yang bersalah untuk mengganti kerugian yang ditimbulkannya
(KUHPerdata Pasal 1365). Perbuatan melawan hukum tersebut diatur
dalam Pasal 1365-1380 KUH Perdata. Perbuatan tersebut dikatakan
melawan hukum, apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum
pada umumnya. Yang dimaksud dengan hukum bukan hanya berupa
undang-undang saja, melainkan termasuk juga hukum tak tertulis,
yang harus ditaati oleh masyarakat.
Kerugian
maksudnya
adalah
kerugian-kerugian
yang
ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum tersebut antara lain:
kerugian-kerugian
dan
perbuatan-perbuatan
itu
harus
ada
hubungannya secara langsung, kerugian itu ditimbulkan karena
kesalahan
pembuat/pelaku.
Adapun
yang
dimaksud
dengan
kesalahan ialah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan
(kelalaian).
Kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dapat berupa
kerugian harta benda, menurunnya kesehatan atau tenaga kerja.
Misalnya
:
Seorang
supir
bekerja
pada
suatu
perusahaan
pengangkutan. Pada suatu ketika sopir tersebut menimbulkan
58
kecelakaan karena kurang berhati-hatinya si supir. Seorang laki-laki
mendapat luka-luka sehingga terpaksa dirawat di rumah sakit.
Perusahaan pengangkutan tersebut dapat dituntut untuk membayar
ganti kerugian dari biaya perawatan, harga obat, honor dokter dan
pengurangan penghasilan sebagai akibat dari kecelakaan tersebut.
Seandainya si korban meninggal dunia, maka isteri, anak-anak, orang
tua yang selama itu menjadi tanggungannya (almarhum korban)
berhak menuntut ganti kerugian yang jumlahnya ditentukan menurut
kedudukan dan kekayaan masing-masing pihak dan menurut
keadaannya
(KUHPerdata
Pasal
1370).
Dalam
KUHPerdata
ditentukan pula bahwa setiap orang tidak hanya bertanggung-jawab
atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri namun
dapat juga terhadap kerugian yang disebabkan oleh perbuatanperbuatan orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang
yang berada di bawah pengawasannya.
Gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum dapat dilihat
dari
model
pertanggungjawaban
yang
diterapkan
yaitu
pertanggungjawaban karena kesalahan (fault liability) yang bertumpu
pada tiga asas sebagaimana diatur dalam Pasal 1365, 1366 dan 1367
KUHPerdata, sebagai berikut :
1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
2) Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaian atau kekuranghati-hatiannya.
3) Setiap orang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang
berada di bawah tanggung jawabnya atau disebabkan oleh
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Adanya suatu perbuatan hukum harus disertai dengan
59
pernyataan kehendak dari yang melakukan perbuatan hukum tersebut
dan akibat dari perbuatan itu diatur oleh hukum. Pernyataan
kehendak pada asasnya tidak terikat dengan bentuk-bentuk tertentu
dan tidak ada pengecualiannya. Oleh karena itu bentuk pernyataan
kehendak dapat terjadi : (a) Pernyataan kehendak secara tegas, dapat
dilakukan dengan : (1) Tertulis, yang dapat teijadi antara lain ;
ditulis sendiri, ditulis oleh pejabat tertentu ditanda-tangani oleh
pejabat itu, disebut juga akte otentik atau akte resmi seperti
mendirikan PT dan semacamnya; (2) Mengucapkan kata, pernyataan
kehendak ini cukup dengan mengucapkan kata setuju, misalnya
dengan mengucapkan ya, dan semacamnya; (b) Pernyataan kehendak
secara diam-diam dapat diketahui dari sikap atau perbuatan.74
Adapun yang termasuk dalam kategori perbuatan hukum itu
terdiri dari : (a) Perbuatan hukum sepihak adalah perbuatan hukum
yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan
kewajiban pada satu pihak pulka. Contoh : (1) Perbuatan membuat
surat wasiat (Pasal 875 KUHPerdata), dan (2) Pemberian hibah
sesuatu benda (Pasal 1666 KUHPerdata); (b) Perbuatan hukum dua
pihak. Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan
menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak
(timbal balik) misal : persetujuan jual beli (Pasal 1457), perjanjian
sewa menyewa (Pasal 1548 KUHPerdata), dan lain-lain. Adapun
perbuatan yang akibatnya tidak dikehendari oleh yang tersangkut
adalah bukan perbuatan hukum, meskipun perbuatan tersebut diatur
oleh peraturan hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa kehendak dari
yang melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok dari perbuatan
tersebut.
74
Suroso, Perbuatan-Perbuatan yang dilarang oleh Hukum, Jakarta, Gramedia, 2007.hlm. 4
60
Termasuk yang bukan dikategorikan perbuatan hukum adalah
sebagai berikut : Perbuatan hukum yang dilarang oleh hukum.
Perbuatan ini menjadi akibat hukum yang tak tergantung pada
kehendak. Contoh : Zaakwaarmeming, ialah tindakan mengurus
kepentingan orang lain tanpa diminta oleh orang itu untuk
kepentingannya. Misalnya : A sakit, sehingga tidak dapat mengurus
kepentingannya. Tanpa diminta oleh A, B mengurus kepentingan A.
B wajib meneruskan mengurus itu sampai A sembuh dan dapat
mengurus kepentingannya kembali. Hal ini sesuai dengan Pasal 1354
KUHPerdata, “Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat
perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa
pengetahuan orang lain, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya
untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, sampai
orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan segala
sesuatu yang termasuk urusan tersebut. Ia memikul segala kewajiban
yang harus dipikulnya, seandainya iua dikuasakan dengan suatu
pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas. Onverschultigde
betaling, ialah orang yang membayar utang kepada orang lain,
karena ia mengira mempunyai utang yang sebenamya tidak. Untuk
ini diatur oleh Pasal 1359 KUHPerdata, yang berbunyi : “Tiap-tiap
pembayaran memperkirakan adanya suatu utang. Apa yang telah
dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali”.
Terhadap perkiraan-perkiraan bebas, yang secara sukarela telah
dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali.
b. Perbuatan Melawan Hukum dalam Aspek Pidana.
Perbuatan melawan hukum dalam aspek hukum pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana
bagi yang melanggarnya. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang
61
oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi
yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut.75
Bersifat melawan hukum berarti pula bertentangan dengan hukum atau
tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum atau menyerang suatu
kepentingan yang dilindungi oleh hukum positif yang berlaku.
Perbuatan melawan hukum pidana pada umumnya disebut juga
dengan tindak pidana yang mana istilah tindak pidana dimaksudkan
sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit atau delict. Beberapa istilah
yang dimaksud sebagai terjemahan dari strafbaar feit tersebut yaitu
peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang
dapat dihukum dan perbuatan yang boleh di hukum.76 Moeljatno,
mengatakan bahwa istilah yang paling tepat untuk menerjemahkan
strafbaarfeit adalah perbuatan pidana dengan uraiannya sebagai berikut :
“ Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh
suatu aturan hukum dilarang atau diancam pidana asal saja dalam pidana
itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatannya (yaitu suatu
keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh suatu kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidana yang ditujukan orang yang menimbulkan
kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan erat, oleh
karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada
hubungan erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain.
Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang dan
orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang
ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan erat itu maka
dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang
menunjukkan kepada dua keadaan konkrit : pertama adanya kejadian yang
tertentu dan kedua adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian
itu ”.77
75
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada , Jakarta, 2005, hlm 40.
M.Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Remaja Karya, Bandung, 1986, hlm. 1
76
77
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 5.
62
Pengertian tentang tindak pidana (delik) adalah “perbuatan yang
oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang
siapa yang melanggar larangan tersebut”.
“ Dan perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan
dengan atau menghambat akan tercapainya tertentu dalam pergaulan
masyarakat dan di cita-citakan oleh masyarakat itu”.78
“ Maka perbuatan pidana, secara mutlak harus termaktub unsur formal, yaitu
mencocoki rumusan undang-undang (tatbestand maszgheit) dan unsur
material, yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan
masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum (rechtswidristeit),
tidak kurang dan tidak lebih dari itu”.
Menurut Roeslan Saleh,79 tindak pidana adalah perbuatan yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan terlarang,
Pengertian yang diberikan oleh Tim Pengkajian Hukum Pidana Nasional
adalah : Perbuatan melakukan atau tidak dilakukan sesuatu yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana.
Di dalam hukum pidana dikenal asas Nullum Delictum nulla poena
sine praevia lege poenali yang artinya : “tiada delik, tiada hukuman tanpa
suatu peraturan
yang terlebih dahulu menyebut perbuatan
yang
bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang
dapat dijatuhkan atas delik itu”. Asas ini dimuat dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP : “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Dengan
asas ini diperoleh suatu kepastian hukum, bahwa seseorang dapat dipidana
bilamana dapat dinyatakan salah (telah melakukan tindak pidana) dan telah
ada aturannya terlebih dahulu. Sejalan dengan hal itu, Moeljatno
mengatakan tindak pidana ini kiranya dapat disamakan dengan istilah
78
Moeljatno, Ibid, hlm. 21
Roeslan Saleh, Tentang Tindak Pidana dan Pertangungjawaban Pidana, Lokakarya Masalah
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, BPHN-Depkeh, 1982.
79
63
Inggris “criminal act”. Pertama, karena criminal act juga berarti kelakukan
dan akibat, atau dengan kata lain perkataan akibat dari suatu kelakuan yang
dilarang oleh hukum. Kedua, karena criminal act juga dipisahkan dari
pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau
responsibility. Untuk adanya criminal liability (untuk dapat dipidananya
seseorang) selain melakukan criminal act, orang itu harus mempunyai
kesalahan.80
Penetapan sesuatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan
yang dilarang, merupakan tugas pemerintah dan pembuat undang-undang.
Namun tidak berarti semua perbuatan yang melawan hukum atau bersifat
merugikan masyarakat dapat disebut sebagai tindak pidana dan dapat diberi
sanksi pidana. Atau hanya perbuatan-perbuatan yang menimbulkan
kerugian yang besar saja yang dijadikan tindak pidana.
Penentuan ini harus dilakukan dengan bijaksana, selain disesuaikan
dengan perasaan hukum yang hidup di dalam masyarakat, juga dipengaruhi
oleh pandangan apakah ancaman dan penjatuhan pidana itu merupakan
jalan utama untuk mencegah dilanggarnya larangan tersebut. Pada Pasal 1
ayat (1) berisi dua hal yaitu : (a) suatu tindak pidana harus dirumuskan /
disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, (b) peraturan undangundang ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Sejalan dengan hal
tersebut, maka setiap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat dua
hal pokok, Pertama, memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang
yang diancam, pidana, artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi
yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi seolah-olah
negara menyatakan dan siapa yang dapat dipidana. Kedua, menetapkan dan
mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan
perbuatan yang dilarang itu.
80
Moeljatno, op cit, hlm. 57
64
Dalam konteks hukum pidana material, permasalahan akan berkisar
pada tiga permasalahan pokok hukum pidana yakni perumusan perbuatan
yang dilarang (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan
sanksi yang diancamkan, baik pidana maupun tindakan.81 Sebagai
konsekuensi diakuinya asas legalitas ini, maka menurut Moeljatno
dikehendaki adanya beberapa hal :
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
perundang-undangan.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.82
Dilihat dari sudut dogmatis-normatif, memang materi substantif
atau masalah dari Hukum Pidana terletak pada masalah mengenai : a)
perbuatan apa yang sepatutnya dipidana; b) syarat apa yang seharusnya
dipenuhi untuk mempermasalahkan / mempertanggungjawabkan seseorang
yang melakukan perbuatan itu dan; c) sanksi (pidana) apa yang sepatutnya
dikenakan kepada orang itu. Ketiga materi / masalah pokok itu biasa
disebut secara singkat dengan istilah : (1) masalah “tindak pidana”, (2)
masalah “kesalahan” dan (3) masalah pidana.83 Tindak Pidana atau
perbuatan pidana menurut Moeljatno adanya (1) perbuatan (manusia), (2)
memenuhi rumusan dalam UU, (3) bersifat melawan hukum sehingga
“perbuatan pidana” adalah perbuatan yang diancam dengan pidana dan
dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum (pidana).
Unsur-unsur yang harus dipenuhi sebagai perbuatan melawan
hukum pidana antara lain sebagai berikut :
a) Unsur obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang
81
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1995, hlm. 50
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 25
83
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana, UNDIP,
Semarang, 1994, hlm. 16
82
65
berupa :
1) suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam
dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu,
dan sebagainya;
2) suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana
oleh undang-undang seperti pembunuhan, penganiayaan;
3) keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi
pidana oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar
ketertiban / kesusilaan umum.
b) Unsur subyektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri
manusia.
c) Unsur subyektif dapat berupa :
1) Dapat dipertanggungjawabkan.
2) Kesalahan (schuld).84
Unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud antara lain sebagai
berikut : (1) Perbuatan dalam arti luas dari manusia (aktif atau
membiarkan); (2) Sifat melawan hukum (bersifat obyektif maupun yang
subyektif); (3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang; (4)
Diancam dengan pidana. Adapun perbuatan-perbuatan pidana dalam
KUHP saat ini dibagi atas kejahatan (misdruijven) dan pelanggaran
(overtredingen), meskipun dalam KUHP sendiri tidak ada pasal satupun
yang memberikan pengertian / definisi tentang kejahatan.
Adapun tindakan Notaris yang merupakan Tindak Pidana Notaris
antara lain sebagai berikut :
1) Membuat surat palsu / yang dipalsukan dan mengunakan surat palsu /
yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP). Unsur-unsur
tindak pidana pemalsuan yang terdapat dalam rumusan Pasal 263
ayat (1) terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut : (a) Unsur Obyektif
; yaitu Perbuatannya, yaitu membuat surat palsu dan memalsukan
surat. Obyeknya : adalah Surat yang dapat menimbulkan suatu hak,
menimbulkan suatu perikatan, menimbulkan suatu pembebasan
84
Liliana Tedjosaputro, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana, CV. Agung, Semarang,
1991, hlm. 51.
66
utang, yang diperuntukkan sebagai bukti daripada suatu hal. Dapat
menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut. (b)
Unsur Subyektifnya ; “dengan sengaja” untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak
dipalsu.
Sedangkan unsur-unsur Pasal 263 ayat (2) sebagai berikut :
(a)
Unsur Obyektif : yaitu Perbuatannya, memakai. Obyeknya itu surat
palsu, surat yang dipalsukan, dan pemakaian surat tersebut dapat
menimbulkan kerugian. (b) Unsur Subyektifnya adalah “dengan
sengaja“.
Membuat surat palsu adalah membuat surat yang isinya bukan
semestinya (tidak benar), atau membuat surat sedemikian rupa
sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Sedangkan
memalsukan surat adalah mengubah asal surat sedemikian rupa
sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli sehingga surat itu
menjadi lain dari yang asli. Keduanya dapat terjadi terhadap sebagian
atau seluruh surat.85 Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat
surat palsu dan memalsukan surat adalah bahwa dalam membuat
surat palsu sebelumnya perbuatan itu dilakukan belum ada surat,
kemudian dibuat surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah
bertentangan dengan kebenaran. Sedangkan perbuatan memalsukan
surat, sebelum perbuatan itu dilakukan sudah ada sebuah surat (surat
asli), dan terhadap surat asli ini dilakukan perbuatan memalsu yang
akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau
seluruhnya isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran.
Kewenangan Notaris yaitu membuat akta, bukan surat, dengan
demikian harus dibedakan antara surat dan akta. Surat berarti surat
85
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1994, hlm. 195
67
pada umumnya yang dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti
atau untuk tujuan tertentu sesuai dengan keinginan dan maksud
pembuatnya. Sedangkan akta dibuat dengan maksud sebagai alat
bukti yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang untuk
membuatnya dan terikat pada bentuk yang sudah ditentukan. Dengan
demikian pengertian surat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP tidak
mutatis mutatandis sebagai akta otentik, sehingga tidak tepat jika akta
Notaris diberikan perlakuan sebagai suatu surat pada umumnya.
2) Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (Pasal 264 KUHP). Pada
Pasal 264 ayat (1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : (a)
semua unsur baik obyektif maupun subyektif Pasal 263 KUHP. (b)
unsur-unsur khusus pemberatnya berupa obyek surat tertentu yaitu ;
Akta-akta otentik, surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu
negara, bagian negara atau lembaga umum, surat sero, surat hutang
dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai, Talon,
tanda deviden atau tanda bukti bunga dari surat-surat pada butir 2 dan
3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat
itu, surat-surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk
diedarkan. Sedangkan unsur-unsur dalam ayat (2) sebagai berikut :
(a) Unsur Obyektif, perbuatan memakai, obyeknya surat-surat
tersebut ayat (1), dan pemakaiannya itu seolah-olah isisnya benar dan
tidak dipalsu. (b) Unsur Subyektif “dengan sengaja“.
3) Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik
(Pasal 266 KUHP). Pasal 266 ayat (1) mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut : (a) Unsur Obyektif, Perbuatan menyuruh
memasukkan, Obyeknya keterangan palsu, kedalam akta otentik,
mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan
akta, dan jika pemakaianya dapat menimbulkan kerugian.
(b)
Unsur Subyektif, dengan maksud memakai atau menyuruh memakai
68
seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenaran. Ayat (2)
mempunyai unsur-unsur Obyektif, Perbuatan memakai, Obyeknya
akta otentik tersebut ayat (1), seolah-olah isinya benar. (b) Unsur
Subyektifnya “dengan sengaja“.
4) Melakukan, menyuruh, turut serta melakukan (Pasal 55 jo Pasal 263
ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP).
Notaris yang turut aktif merekayasa substansi akta yang tidak
sesuai dengan hukum dan perundang-undangan, maka tidak tertutup
kemungkinan terjadi pelanggaran norma hukum, khususnya hukum
pidana.
Parameternya
adalah
kecurangan,
penyesatan,
penyembunyian, kenyataan, manipulasi, pelanggaran kepercayaan,
dan pengelakan peraturan, yang harus dilakukan dengan sengaja dan
sama sekali tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf yang dapat
digunakan.
4. Teori Kepastian Hukum
Indonesia merupakan Negara hukum dimana Negara hukum
bertujuan untuk menjamin bahwa kepoastian hukum terwujud dalam
masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam
hubungan antar mnanusia, yaitu menjamin prediktabilitas, dan juga
bertujuan untuk mencegah bahwa hak yang terkuat yang berlaku.86
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai
bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian
hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan
tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum
setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika
86
Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani.Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris.Jakarta.Dunia
Cerdas.Cetakan I. 2013.hlm 79.
69
melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk
mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.87
Kata ”kepastian” berkaitan erat dengan asas kebenaran, yaitu
sesuatu yang secara ketat dapat disilogismekan secara legal-formal.
Melalui logika deduktif, aturan-aturan hukum positif ditempatkan sebagai
premis mayor, sedangkan peristiwa konkret menjadi premis minor. Melalui
sistem logika tertutup akan serta merta dapat diperoleh konklusinya.
Konklusi itu harus sesuatu yang dapat diprediksi, sehingga semua orang
wajib berpegang kepadanya. Dengan pegangan inilah masyarakat menjadi
tertib. Oleh sebab itu, kepastian akan mengarahkan masyarakat kepada
ketertiban.88
Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada
kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam
menjalankan perilaku. Menurut Gustav Radbruch sebagaimana di kutip
Sudikno Mertokusumo, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum,
yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari
hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam
masyarakat adalah hukum yang berguna, dan kepastian hukum dalam
hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam
undang-undang.89
Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang
berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu :
87
Moh. Mahfud MD, Penegakan Hukum DanTata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Bahan pada
Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai
HANURA. Mahkamah Konstitusi Jakarta, 8 Januari 2009.
88
Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat
Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm 8
89
Jarot Widya Muliawan, Tinjauan Kritis Regulasi dan Implementasi P3MB, Pustaka Ifada,
Malang, 2014, hlm. 22
70
a.
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu
adalah perundang-undangan.
b.
Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan
pada kenyataan.
c.
Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah
dilaksanakan.
d.
Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.
Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya
bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri.
Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari
perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut
Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan
manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu
kurang adil.90
Kepastian hukum seperti yang dikemukaan oleh Jan M. Otto
sebagimana dikutip oleh Sidharta bahwa kepastian hukum dalam situasi
tertentu mensyaratkan sebagai berikut:91
1.
Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan
mudah diperoleh yang diterbitkan oleh kekuasaan negara.
2.
Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturanaturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat
kepadanya.
90
Memahami
Kepastian
(Dalam)
Hukum
https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/ diakses pada
tanggal 15 November 2015, Hari Senin, pukul 20.35
91
Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Refika Aditama,
Bandung, 2006. hlm 85
71
3.
Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan
karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan
tersebut.
4.
Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu
mereka menyelesaikan sengketa hukum.
5.
Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Kelima syarat yang dikemukaan Jan M. Otto tersebut menunjukan
bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi masyarakat. Aturan
hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang
lahir dari mencerminkan budaya masyarakat.kepastian hukum yang seperti
inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenernya.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk
menciptakan ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam
pergaulan manusia di masyarakat. Tidak mungkin manusia dapat
mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya
secara optimal tanpa adanya kepastian hukum.92
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan
bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun
kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak
identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat
menyamaratakan,
sedangkan
individualistis, dan tidak menyamaratakan.
keadilan
bersifat
subjektif,
93
Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan
bunyinya aturan, sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum
92
Carl Joachim, Filsafat Hukum Persfektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004,
hlm 239
93
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Atmajaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 2007, hlm 160
72
dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus
diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan
instrumen
hukum
yang
mengaktualisasikannya
positif
pada
dan
hukum
peranan
positif.
negara
Kepastian
dalam
hukum
menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan
yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturanaturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian
bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.94
B. PENELITIAN YANG RELEVAN
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan oleh
penulis, terdapat beberapa penelitian yang relevan antara lain:
a. Penelitian yang dilakukan oleh Andriyana Gina Indri dengan judul “Tinjauan
tentang Pembatalan Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 12/Pdt.G/2001/PN/YK. Putusan
Pengadilan
Tinggi
Yogyakarta
No.
30/PDT/2002/pty dan
Putusan
Mahkamah Agung No. 318 K/Pdt/2003)”.
Dengan hasil penelitian sebagai berikutr:
Berdasarkan hasil analisa terhadap hasil putusan dan bahan-bahan hukum
primer maupun sekunder yang relevan diperoleh hasil bahwa dasar
pertimbangan hakim dalam memutus kasus pembatalan akta perubahan
Anggaran Dasar Yayasan adalah, salah satu pihak dalam membentuk
kepengurusan yang baru tidak meminta persetujuan dari Pendiri yang lain.
Akibat hukum dari putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap
Yayasan ialah dikembalikannya kepengurusan Yayasan seperti sedia
kala.Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh pihak yang kalah dalam
94
Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 95
73
persidangan dengan pihak ketiga tidak mempunyai akibat hukum.Serta para
Tergugat harus menyerahkan seluruh asset/ inventaris Yayasan kepada para
Penggugat.Notaris
Repertorium,
berkewajiban
Klapper,
memberikan
membuat
berita
acara
keterangan
tentang
dalam
putusan
tersebut.Notaris tidak memiliki tanggung jawab berkaitan dengan putusan
tersebut.
b. Penelitian yang dilakukan oleh Robin Dwijorumantyo,SH dengan judul
“Kedudukan Notaris dalam Kaitan Penempatan Keterangan Palsu atau yang
Dipalsukan oleh Pihak-Pihak dalam Suatu Akta Otentik”.
Dengan hasil penelitian sebagai berikut:
Berdasarkan hasil analisa diperoleh hasil bahwa akta Notaris yang
mengandung penempatan keterangan palsu atau yang dipalsukan oleh pihak
atau pihak-pihak dapat dibatalkan oleh para pihak yang ada dalam akta
tersebut, dengan menghadap Notaris yang kemudian membuat akta
pembatalan, dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.
Hal itu tentu saja terkait dengan ketentuan bahwa suatu perjanjian tidak
dapat dibatalkan secara sepihak meskipun pihak yang bermaksud
membatalkan
akta
Notaris
tersebut
dirugikan.Sebaliknya
tuntutan
pembatalan akta Notaris yang memuat keterangan palsu diajukan ke
pengadilan tidak harus membutuhkan persetujuan pihak lainnya. Namun
demikian, dalam mengajukan gugatan tersebut pihak yang dirugikan oleh
akta Notaris yang memuat keterangan palsu harus menguraikan secara
cermat dan jelas mengapa akta Notaris itu dikatakan palsu, dan harus
dibuktikan, apalagi jika pihak lain menyangkal adanya keterangan palsu
dalam akta Notaris dimaksud.
c. Penelitian yang dilakukan oleh Yusnani dengan judul “Analisis Hukum
Terhadap Akta Otentik yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus di
Kota Medan)”.
Dengan hasil penelitian sebagai berikut:
74
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tanggung jawab
notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah
bahwa notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab
notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta notaris hanya
mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para
pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan
yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak
diwajibkan untuk menyellidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik
tersebut. Dan akta tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadisuatu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap.adapun sanksi
yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu
adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni ganti rugi atas kerugian yang
ditimbulkan terhadap si penderita, dan sedangkan secara pidana penghadap
layak diberi hukuman pidana penjara. Akibat hukum terhadap akta otentik
yang mengandung keterangan palsu adalah akta tersebut batal demi hukum
dan tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat
hukum.
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut diatas, maka
yang membedakan dengan penelitian yang dibuat oleh penulis adalah:
Dalam penelitian ini hasil yang diharapkan berdasarkan studi kepustakaan yang
dilakukan penulis adalah mengetahui apa dasar hukum pertimbangan hakim
dalam memutus perkara nomor 1014 K/Pid/2013, mengapa yang digunakan
untuk memutus perkara tersebut adalah KUHP padahal notaris telah mempunyai
peraturan yang lebih khusus yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris dan
bagaimana putusan pidana tersebut jika ditinjau dari prespektif tugas dan
wewenang notaris, karena notaris hanya bertugas menuangkan kehendak dan
keterangan dari para pihak tidak ada kewajiban notaris untuk membuktikan
semua keterangan, data dan surat-surat yang diserahkan oleh para penghadap.
75
C.
KERANGKA BERPIKIR
Penyesuaian
Badan Hukum
Yayasan
Rapat
Pembina
Pemalsuan akta
perubahan anggaran dasar
Menteri Hukum
dan HAM
Notaris
DITOLAK
Yayasan belum mendapat
pengesahan dari Departemen Hukum
dan HAM
Banding Ke PT Semarang
Putusan :
Menguatkan Putusan
PN.Ska
Gugatan ke PN Surakarta
Putusan :
Notaris di pidana penjara
8 bulan
Pertimbangan Hakim
Kasasi
Putusan :
Menguatkan Putusan
PN.Ska dan PT.Smg
Teori perbuatan melawan hukum
Teori Kepastian hukum
Di tinjau dari tugas dan
wewenang notaris
Teori Kewenangan
76
Keterangan:
Yayasan Bhakti Sosial Surakarta akan mengadakan penyesuaian badan
hukum Yayasan dalam rangka menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan
yang baru yaitu Undang-Undang No 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas
Undang-Undang No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.para pembina Yayasan
mengadakan rapat pembina dan hasil rapat tersebut di fax kepada notaris.
Berdasarkan fax dari Ketua Badan Pembina Yayasan tersebut notaris membuat
Berita Acara Rapat Pembina Yayasan dan Akta Berita Acara Rapat Yayasan
Bhakti Sosial Surakarta No 58 tanggal 15 April 2008. Notaris mengirimkan Akta
Perubahan Anggaran Dasar tersebut kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, akan tetapi ada beberapa revisi dan beberapa kali ditolak/dikembalikan
kepada notaris bahkan notaris telah mencabut pendaftaran/pemberitahuan kepada
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Sehingga Yayasan tersebut belum
mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia,
sehingga pihak Yayasan mengalami kerugian baik materiil maupun immateriil.
Lalu pihak Yayasan melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Surakarta dan
putusannya bahwa terdakwa di penjara 8 bulan. Mengajukan banding dan
putusan
Pengadilan Tinggi
Semarang menguatkan
Putusan Pengadilan
Negeri.Lalu ada upaya hukum kasasi dan putusannya yaitu menguatkan putusan
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tersebut. digunakannya teori perbuatan
melawan hukum dan teori kepastian hukum diharapkan dapat mengetahui dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap Notaris
Ninoek Poernomo, S.H, serta dapat mengetahui lebih jelas putusan tersebut
apabila ditinjau dari prespektif tugas dan wewenang notaris dengan
menggunakan teori kewenangan.
Download