kritik relasi buruh-majikan dalam sistem sekuler

advertisement
KRITIK RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM
SEKULER-KAPITALISME PERSPEKTIF HADITS
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Dalam Ilmu Ushuluddin
Jurusan Tafsir Hadits
Oleh :
ACHMAD AZIZ ABIDIN
NIM : 114211012
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
KRITIK RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM
SEKULER-KAPITALISME PERSEKTIF HADITS
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Dalam Ilmu Ushuluddin
Jurusan Tafsir Hadits
Oleh :
ACHMAD AZIZ ABIDIN
NIM : 114211012
Pembimbing I
Semarang, 25 Mei 2015
Disetujui Oleh,
Pembimbing II
Dr. Zuhad, MA
NIP. 19560510 198603 1 004
Muhtarom, M.Ag
NIP. 19690602 199703 1 002
ii
NOTA PEMBIMBING
Lamp
Hal
: 4 (empat) eksemplar
: Persetujuan Naskah Skripsi
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Walisongo Semarang
di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb.
Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan
sebagaimana mestinya, maka saya menyatakan bahwa skripsi saudara:
Nama
NIM
Jurusan
Judul Skripsi
:
:
:
:
ACHMAD AZIZ ABIDIN
114211012
Ushuluddin/TH
Kritik Relasi Buruh-Majikan dalam Sistem SekulerKapitalisme Perspektif Hadits
Dengan ini telah kami setujui dan mohon agar segera diujikan.
Demikian atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Semarang, 25 Mei 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Zuhad, MA
NIP. 19560510 198603 1 004
Muhtarom, M.Ag
NIP. 19690602 199703 1 002
iii
PENGESAHAN
Skripsi Saudara ACHMAD AZIZ
ABIDIN dengan NIM 114211012 telah
dimunaqasyahkan oleh Dewan Penguji
Skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Walisongo Semarang, pada
tanggal:
12 Juni 2015
Dan telah diterima serta disahkan sebagai
salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana (S.1) dalam Ilmu Ushuluddin
Jurusan Tafsir dan Hadits.
Ketua Sidang,
M. Masrur, M.Ag
NIP. 19690602 199703 1 002
Pembimbing I
Penguji I
Dr. Zuhad, MA
NIP. 19560510 198603 1 004
Dr. A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag
NIP. 19710402 199503 1 001
Pembimbing II
Penguji II
Muhtarom, M.Ag
NIP. 19690602 199703 1 002
Sri Purwaningsih,
……………………
M.Ag
NIP. 19700524 199803 2 002
Sekretaris Sidang,
Dr. Zainul Adfar, M.Ag
NIP. 19730826 200212 1 002
iv
MOTTO
Artinya: “Bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya.”
1
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu
Majah, (Ta’liq: Muhammad Nashiruddin al-Albani), (Riyadh: Maktabah alMa‟arif, Tth.), h. 417.
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk,
Diriku sendiri
(Menulis skripsi tidak hanya butuh kecerdasan tetapi juga keteladanan, kesabaran, dan ketabahan)
Kedua orang tuaku yang telah memberikan doa dan dukungan
(InsyaAllah doamu menghantarkanku pada kesuksesan-kesuksesan selanjutnya)
dan,
Untuk saudara-saudaraku seiman yang insyaAllah senantiasa dirahmati oleh Allah dalam setiap
langkah kebaikan.
vi
DEKLARASI
Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi
ataupun tulisan yang pernah diterbitkan oleh orang lain, termasuk juga
pemikiran-pemikiran orang lain, kecuali informasi yang penulis
peroleh dari referensi yang menjadi bahan rujukan bagi penelitian ini.
Semarang, 25 Mei 2015
Penulis,
Achmad Aziz Abidin
NIM. 114211012
vii
ABSTRAKSI
Dalam lintasan sejarah, masalah perburuhan (relasi buruhmajikan) senantiasa menjadi topik faktual yang ironis. Hampir setiap
kalangan mengakui bahwa buruh berada pada kondisi yang tidak
mendapatkan keadilan, khususnya dalam pembayaran upah. Di
samping itu, terdapat pula faktor-faktor lain yang membuat kondisi
buruh semakin perlu untuk dibela. Dalam tradisi perburuhan yang ada,
para buruh sering mendapatkan kekerasan, baik kekerasan yang
bersifat mental, ekonomi maupun kekerasan fisik. Buruh semacam ini
pada umumnya adalah mereka yang bekerja sebagai buruh migran.
Kekerasan-kekerasan dan berbagai aspek lain yang
menempatkan buruh pada posisi lemah ini perlu diatasi dengan
diberlakukannya sistem kerja Islam sebagaimana yang ada dalam
hadits Nabi Saw. Di dalam hadits, Nabi telah mengatur tentang
bagaimana bermu‟amalah dengan baik antara buruh dengan majikan.
Lain dari pada itu, hadits juga memberikan pengaturan-pengaturan
yang di situ berhubungan dengan relasi keduanya. Oleh sebab itu,
dalam skripsi ini penulis mencoba mengkritik sistem perburuhan yang
ada (sekuler-kapitalisme) berdasarkan nilai-nilai hadits yang memiliki
relevansi dengan pembahasan perburuhan.
Langkah yang penulis gunakan dalam mengkritik sistem
perburuhan tersebut adalah dengan mengumpulkan hadits-hadits
perburuhan, lalu mencari pensyarahan hadits-hadits tersebut di dalam
kitab-kitab syarah induk maupun di kitab lain yang memuat tentang
penjelasan hadits terkait.
Dari
hasil
pensyarahan
tersebut,
penulis
mengkontekstualisasikan nilai-nilai yang dikandungnya terhadap
kondisi perburuhan yang berkembang di masyarakat pada saat ini.
Adapun yang penulis kritik dalam bagian ini adalah perihal sistem
perburuhan itu sendiri dengan memfokuskan pada dua hal: pertama,
pada kedudukan keduanya, dan kedua, pada relasi keduanya.
Pada aspek kedudukan yaitu tentang posisi buruh dalam
sistem tersebut di mana mereka ditempatkan pada posisi subordinatif.
Penempatan posisi ini selayaknya tidaklah patut bagi seorang buruh,
karena mereka berhak memperoleh haknya secara baik. Sedangkan
aspek relasinya yaitu tentang aspek-aspek yang menghubungkan
viii
keduanya dalam membentuk persekutuan kerja. Di antara aspek-aspek
tersebut ialah sebagai berikut: pertama, kontrak kerja, kedua, waktu
libur (istirahat), dan ketiga, upah kerja.
Kedua aspek tersebut dikritik dengan hadits, sehingga yang
semula dalam sistem sekuler-kapitalisme, buruh ditempatkan pada
posisi subordinatif dan dipekerjakan dengan eksploitatif, maka
kemudian semua itu digantikan dengan sistem kerja Islam, yaitu
sistem kerja yang dalam aplikasinya lebih mengutamakan kepentingan
buruh di atas kepentingan yang lain, lebih memperhatikan serta
memperdulikan hak-hak buruh dalam bekerja dan yang paling inti
adalah tidak berbuat kasar terhadap buruh.
ix
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata bahasa Arab yang dipakai dalam
penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Transliterasi ArabLatin” yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri
Agama Dan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI tahun 1987.
Pedoman tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kata Konsonan
Huruf
Arab
‫ﺍ‬
Nama
Huruf Latin
Alif
‫ﺏ‬
‫ﺕ‬
‫ث‬
Ba
Ta
Sa
tidak
dilambangkan
B
T
ṡ
‫ج‬
‫ح‬
Jim
Ha
J
ḥ
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
Kha
Dal
Zal
Kh
D
Ż
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
Ra
Zai
Sin
Syin
Sad
R
Z
S
Sy
ṣ
‫ض‬
Dad
ḍ
‫ط‬
Ta
ṭ
‫ظ‬
Za
ẓ
‫ع‬
‫غ‬
„ain
Gain
…„
G
x
Nama
Tidak dilambangkan
Be
Te
es (dengan titik di
atas)
Je
ha (dengan titik di
bawah)
Ka dan ha
De
zet (dengan titik di
atas)
Er
Zet
Es
es dan ye
es (dengan titik di
bawah)
de (dengan titik di
bawah)
te (dengan titik di
bawah)
zet (dengan titik di
bawah)
koma terbalik di atas
Ge
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫ه‬
‫ء‬
‫ي‬
b.
Fa
Qaf
Kaf
Lam
Mim
Nun
Wau
Ha
Hamzah
Ya
F
Q
K
L
M
N
W
H
…‟
Y
Ef
Ki
Ka
El
Em
En
We
Ha
Apostrof
Ye
Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia terdiri
dari vokal tunggal dan vokal rangkap.
1.
Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa
tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Huruf Arab
2.
Nama
Fathah
Kasrah
Dhammah
Huruf Latin
A
I
U
Nama
A
I
U
Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya
berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya
berupa gabungan huruf, yaitu:
Huruf Arab
‫ ي‬....ْ
.... ْ‫و‬
Nama
fathah dan ya
fathah dan wau
xi
Huruf Latin
Ai
Au
Nama
a dan i
a dan u
c.
Vokal Panjang (Maddah)
Vokal panjang atau Maddah yang lambangnya berupa
harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Huruf Arab
...‫ﺍ‬... ...‫ى‬
....‫ي‬
....‫و‬
Contoh:
d.
َ‫قَال‬
Nama
Fathah dan alif
atau ya
Kasrah dan ya
Dhammah dan
wau
: qāla
َ‫قِيْل‬
: qīla
ُ‫َيقُىْل‬
: yaqūlu
Huruf Latin
Ā
Ī
Ū
Nama
a dan garis di
atas
i dan garis di
atas
u dan garis di
atas
Ta Marbutah
Transliterasinya menggunakan:
1.
Ta Marbutah hidup, transliterasinya adalah /t/
Contohnya:
2.
ُ‫رَوْضَة‬
: rauḍatu
Ta Marbutah mati, transliterasinya adalah /h/
Contohnya: ْ‫رَوْضَة‬
: rauḍah
3. Ta marbutah yang diikuti kata sandang al
Contohnya: ُ‫طفَال‬
ْ َ‫رَوْضَ ُة الْا‬: rauḍah al-aṭfāl
e.
Syaddah (tasydid)
Syaddah atau tasydid dalam transliterasi dilambangkan
dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah.
Contohnya:
َ‫رَّبَنا‬
: rabbanā
xii
f.
Kata Sandang
Transliterasi kata sandang dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Kata sandang syamsiyah, yaitu kata sandang yang
ditransliterasikan sesuai dengan huruf bunyinya
Contohnya:
‫الشفاء‬
: asy-syifā‟
2. Kata sandang qamariyah, yaitu kata sandang yang
ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya huruf /l/.
Contohnya :
g.
‫القلم‬
: al-qalamu
Penulisan kata
Pada dasarnya setiap kata, baik itu fi‟il, isim maupun
hurf, ditulis terpisah, hanya kata-kata tertentu yang penulisannya
dengan huruf Arab sudah lazimnya dirangkaikan dengan kata lain
karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan maka dalam
transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan
kata lain yang mengikutinya.
Contohnya:
‫وَاِّنَ اهللَ َلهُىَ خَيْ ُر الرَازِقِيْن‬
: wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn
wa innallāha lahuwa khairurrāziqīn
xiii
UCAPAN TERIMA KASIH
Bismilla>hirrahma>nirrahi>m
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang,
bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada sang pionir perubahan, pembebas sejati,
Muhammad saw, rasul dan kekasih Allah swt.
Skripsi yang berjudul Relasi Buruh-Majikan Dalam Hadits,
disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Strata satu (S.1) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri (UIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan
bimbingan dan saran-saran serta arahan dari berbagai pihak sehingga
penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Yang terhormat Rektor UIN Walisongo Semarang Prof. Dr. H.
Muhibbin, M.Ag., selaku penanggung jawab penuh terhadap
berlangsungnya proses belajar mengajar di lingkungan UIN
Walisongo.
2.
Bapak Dr. H. M. Mukhsin Jamil, M.Ag., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Walisongo Semarang yang telah merestui
pembahasan skripsi ini.
3.
Bapak Muhammad Sya‟roni, MA, selaku ketua jurusan Tafsir
Hadits dan Bapak Dr. H. Muh. In‟amuzzahidin, M.Ag., selaku
sekretaris jurusan Tafsir Hadits yang telah bersedia mengarahkan
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
4.
Bapak Dr. Zuhad, MA, selaku dosen pembimbing I dan Bapak
Muhtarom, M.Ag., selaku pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
5.
Bapak/Ibu Pimpinan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin,
Perpustakaan UIN Walisongo Semarang beserta stafnya yang
xiv
telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan
dalam penyusunan skripsi ini.
6.
Para dosen pengajar di lingkungan Fakultas Ushuluddin UIN
Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan
sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7.
Bapak (Djayusman) dan ibunda (Kustini) tercinta yang telah
mendidik, memberikan semangat dan mendoakan hingga
terselesaikannya penulisan skripsi ini.
8.
KH. Abdullah Nasir, pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut
Tholibin Rembang dan KH. Sirodj Khudlari, pengasuh Pondok
Pesantren Daarun Najaah Semarang yang telah memberikan
pelajaran agama dan ilmu yang manfaat-berkah kepada saya.
9.
Kekasih tercinta yang telah menjadi motivasi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Berbagai pihak yang secara tidak langsung telah membantu, baik
moral maupun material dalam penyusunan skripsi.
Selanjutnya penulis berharap, semoga amal kebaikannya
yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah
Swt. Amin.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini
belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri
khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Semarang, 25 Mei 2015
Penulis
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . .............................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................
ii
NOTA PEMBIMBING . .........................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ... .............................................
iv
HALAMAN MOTTO .. ..........................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ..............................................
vi
HALAMAN DEKLARASI ... .................................................
vii
HALAMAN ABSTRAK .... ....................................................
viii
HALAMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ...................
x
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH .............................
xiv
HALAMAN DAFTAR ISI .....................................................
xvi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.... ...............................
1
B. Rumusan Masalah.. ..........................................
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.. .......................
9
D. Tinjauan Pustaka .............................................
10
E. Metode Penelitian ............................................
12
F. Sistematika Penulisan.. .....................................
19
KONSEP HADITS RELASI BURUH-MAJIKAN
A. Hadits Etika Mempekerjakan Buruh ..............
21
B. Hadits Etika Buruh Menjaga Harta Majikannya 27
C. Hadits Larangan Membebani Buruh (dalam bentuk
setoran, upah, dan atau waktu kerja)...............
xvi
34
BAB III
D. Hadits Etika Pengupahan Terhadap Buruh .....
38
E. Konsep Adil dalam Tinjauan Islam ................
47
RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM
SEKULER-KAPITALISME
BAB IV
A. Pengertian Buruh dan Majikan. ......................
53
B. Historisitas Perburuhan. ..................................
59
C. Relasi Buruh dan Majikan ..............................
D. Sistem Sekuler-Kapitalisme dan
Perkembangannya ...........................................
67
ANALISIS
HADITS
MAJIKAN
DAN
RELASI
KRITIK
92
BURUHSISTEM
PERBURUHAN SEKULER-KAPITALISME
A. Kedudukan Buruh-Majikan dalam Hadits ......
100
B. Relasi Buruh-Majikan dalam Hadits...............
121
C. Kritik Hadits terhadap Relasi Buruh-Majikan
pada Konteks Sekarang ..................................
BAB V
150
PENUTUP
A. Kesimpulan.... .................................................
181
B. Saran-saran......................................................
182
C. Penutup ...........................................................
183
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bekerja merupakan kodrat kemanusiaan, karena syarat
kehidupan identik dengan aktivitas. Sementara aktivitas yang
dilakukan untuk memenuhi hajat hidup adalah bekerja. Dengan
bekerja, manusia dapat mempertahankan dan mengembangkan
kehidupannya menuju ke arah yang lebih baik. Kehidupan manusia
di planet ini mengharuskannya bekerja untuk memperoleh karunia
Allah Swt. Karena karunia Allah tersebar di laut, di darat, dan
bahkan jauh di dalam perut bumi, tinggal manusia mengerahkan
tenaga dan pikirannya agar dapat memperolehnya dengan cara-cara
yang lebih mudah dan bermartabat.
Keanekaan makhluk di bumi ini menjadi area tempat
manusia berkreasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Begitu pula banyak instrumen yang dapat direkayasa untuk
memudahkan pekerjaan dan memperoleh apa yang diinginkan
manusia sepanjang hayatnya. Hal demikian dapat menciptakan
aneka lapangan pekerjaan, ragam profesi, dan relasi-relasi yang
timbul terkait dengan pekerjaan itu, salah satunya seperti yang
dalam skripsi ini dikaji yaitu berkaitan dengan relasi antara pekerja
(buruh) dengan pemberi kerja (majikan).
Dalam konsepsi Islam, bekerja merupakan suatu bentuk
kewajiban yang mulia atas setiap manusia. Kerja memiliki tujuan
1
2
agar manusia bisa hidup dengan layak dan terhormat di tengahtengah masyarakat. Sehingga semua itu dijadikan sebagai sebuah
dasar bahwa bekerja merupakan amal ibadah yang diganjar secara
tersendiri oleh Allah Swt.
Sesungguhnya Islam menyuruh umatnya agar senantiasa
bekerja dengan sungguh-sungguh dan tidak meminta-minta atau
bahkan mengandalkan belas kasihan orang lain. Perintah bekerja
tersebut
dibarengi
dengan
argumen
bahwa
Islam
tidak
mengkhususkan jenis pekerjaan yang wajib dilakukan oleh
manusia. Menurut Islam, asalkan pekerjaan itu halal dan juga baik
untuk dilakukan, maka Islam senantiasa memperbolehkannya.
Berkaitan erat dengan kerja, pada skripsi ini dibahas
mengenai kerja upah, di mana kerja yang dilakukan oleh seseorang
didasarkan pada jumlah upah tertentu. Dengan kata lain, kerja
tersebut adalah kerja sebagai buruh. Sesungguhnya Islam
memperbolehkan bekerja sebagai buruh selama pekerjaan itu
dilakukan dengan dasar kejujuran dan dengan cara-cara yang baik
(ari>f). Menurut pandangan Islam, semua pekerjaan akan bernilai
ibadah apabila didasari dengan kesungguhan hati dan niat yang
tulus untuk memperoleh ridlo Allah Swt. serta dilakukan dengan
kejujuran dan ketekunan. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam
Al-Faqih Abu al-Laits bahwa segala bentuk gerak atau tindakan
3
yang membawa dampak bagi kemanfaatan di muka bumi adalah
ibadah.1
Oleh karena bekerja merupakan suatu bentuk ibadah, maka
manusia dalam menjalankan pekerjaannya tidak boleh merasa
malu, apapun itu jenis pekerjaannya, termasuk juga bekerja sebagai
buruh. Meskipun bekerja sebagai buruh dipandang oleh sebagian
orang berkategori rendahan (kerja bawahan), namun Islam tetap
memberlakukan sama antara bekerja sebagai majikan atau bahkan
sebagai buruh.
Buruh adalah manusia yang menggunakan tenaga dan
kemampuannya untuk mendapatkan imbalan berupa pendapatan,
baik imbalan tersebut berupa uang atau bentuk lainnya kepada
pemberi kerja (majikan). 2 Sedangkan pengertian upah sendiri
adalah bentuk tanda jasa yang berhak diterima oleh seorang buruh
dari majikannya, karena ia telah menyelesaikan pekerjaannya
dengan baik. Perintah bekerja ini sebagaimana difirmankan oleh
Allah Swt. dalam QS. At-Taubah (9) ayat 105:
Artinya:
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu
itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
1
Kartonmedia. blogspot.com/ 2013/ 04/ perbedaan- buruh-dan
karyawan- atau.html?m=1, diakses pada Kamis, 04 Desember 2014.
2
Ibid.
4
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan." (QS. At-Taubah (9): 105)
Bekerja sebagai buruh sudah ada sejak lama dan
berkembang serta tersebar luas di berbagai negara di seantero jagat
raya ini. Tentu saja pekerjaan ini melibatkan seorang majikan (bos
atau pengusaha), karena setiap mu’a>malah kerja yang dilakukan
oleh manusia tidak mungkin tidak tanpa adanya suatu relasi yang
di dalamnya memuat relasi antara buruh dengan majikan.
Jika kita mengamati fakta sejarah, banyak dari umat
muslim yang pada waktu itu bekerja sebagai buruh (di antaranya
sebagai buruh bekam, buruh ternak/penggembala, buruh dagang,
dan buruh tani). Mereka mengabdikan dirinya kepada seorang
majikan dengan diberi imbalan berupa upah (dalam bentuk uang
maupun barang). Bahkan Nabi sendiri dalam sejarah hidupnya
pernah mengabdikan dirinya kepada seorang pemodal yang
ternyata kemudian menjadi istrinya,
yaitu Khadijah binti
Khuwailid. Dengan modal kejujuran dan ketekunan, Muhammad
menjalin kerja sama sehingga kedua belah pihak melakukan relasi
bisnis (relasi kerja).
Tidak hanya itu, bahkan pekerjaan ini sampai saat ini
masih banyak diminati dan dilakukan oleh sebagian besar orang.
Ditambah kebutuhan ekonomi yang semakin meninggi, maka
semakin mengharuskan mereka bekerja apapun, termasuk bekerja
sebagai buruh.
5
Terlepas dari semua itu, akhir-akhir ini banyak dikeluhkan
oleh sebagian besar masyarakat tentang sistem kerja yang dirasa
kurang efektif. Keluhan ini disampaikan oleh banyak dari kaum
buruh yang merasa dirinya tertindas dengan diterapkannya sistem
kerja sekuler-kapitalisme. Banyak terjadi kesenjangan antara buruh
dengan majikan dalam relasi kerja. Buruh selalu menempati posisi
subordinatif terhadap majikan. Di bawah kondisi-kondisi materialkapitalisme, buruh dieksploitasi oleh para pengusaha (majikan)
dengan alasan profit, belum lagi ditambah kekerasan fisik dan atau
mental yang dialaminya membuat semakin tidak sebanding antara
gaji yang diterimanya dengan perlakuan yang diberikan oleh sang
majikan kepadanya.
Eksploitasi dan penindasan terhadap kaum buruh ini
merupakan fakta sosiologis dalam masyarakat yang akan terus
terjadi selama sistem belum berganti. Karena dalam masyarakat
kapitalis, proletariat (kaum buruh) memiliki akses ke sarana
produksi mereka sendiri. Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain
lagi bagi buruh kecuali menyerahkan hidupnya untuk memperkaya
sang majikan hanya untuk kelangsungan hidupnya.
Hal ini berbanding terbalik dengan sistem kerja Islam.
Dalam Islam buruh sangat diakui keberadaannya. Mereka diberi
tempat yang terhormat, diatur pemenuhan hak-haknya, sistem
pengupahan dan perjanjian kerjanya dilakukan dengan kejelasan
(keterbukaan). Dengan kata lain, relasi kerja yang terjalin antara
6
buruh dengan majikan dalam semua aspek kerjanya sangatlah
diperhatikan oleh Islam.
Dalam konteks hadits misalnya, buruh
tidak lagi
ditempatkan pada posisi subordinatif, melainkan mereka diberi
ruang yang nyaman serta dijaga secara baik hak-haknya. Relasi
keduanya diatur dengan sangat harmonis, sehingga hal itu dapat
menciptakan koordinasi kerja yang positif yang terjalin antara
seorang buruh dengan majikannya. Singkatnya, buruh dalam Islam
amat sangat diperhatikan, baik dalam hubungan kerjanya, sistem
kerjanya, dan pengupahannya.
Dengan adanya perhatian ini kondisi buruh mengalami
perbaikan, terlebih perbaikan dalam kebutuhan hidupnya. Karena
walau
bagaimanapun
buruh
adalah
manusia
biasa
yang
menginginkan kehidupan layak serta terhormat, baik dalam lingkup
masyarakat maupun dalam lingkungan di mana mereka bekerja. Di
antara wujud perhatian yang ditunjukkan oleh Nabi melalui sabdasabdanya (hadits) adalah sebagai berikut:
 Hadits larangan menunda pembayaran upah buruh
(
)
Artinya:
"Dari Abu Sa‟id al-Khudriy radhiyallahu „anhu.
Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang mempekerjakan
(menyewa) seorang buruh sampai dijelaskan (lebih dahulu)
besarnya upah baginya, (juga melarang) najsy -menyuruh
7
orang bayaran agar memuji barang dagangan supaya laku-,
sentuhan (yang maksudnya jika menyentuh harus
membeli), serta lemparan batu (ke barang/target yang akan
dibeli).” (HR. Ahmad)
 Hadits mempercepat pembayaran upah buruh
(
)
Artinya:
“Dari Abdillah bin Umar berkata, Rasulullah bersabda:
Berikanlah upah pegawai (buruh) sebelum kering
keringatnya.” (HR. Ibnu Majah)
 Hadits tentang kegiatan Nabi dalam menggembalakan kambing
milik penduduk Makkah
(
)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda: Allah tidak
mengutus seorang Nabi, melainkan dia adalah seorang yang
pernah menjadi penggembala kambing. Sahabat bertanya:
apakah anda juga seorang penggembala? Nabi menjawab:
benar. Saya menggembala dengan pembayaran beberapa
qira>t} untuk penduduk Makkah.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari,
Ibnu Majah)
Tiga hadits di atas merupakan sebagian dari contoh hadits
yang dibahas pada skripsi ini. Penulis dalam skripsi ini
mencantumkan tujuh hadits yang kesemuanya memiliki fokus
tersendiri dalam menjelaskan relasi kerja. Di antara fokus hadits
8
pada pembahasan yang ada dalam skripsi adalah tentang etika
mempekerjakan buruh, etika buruh dalam menjaga harta (uang atau
benda) majikannya, larangan membebani buruh (dalam bentuk
setoran, upah dan atau waktu kerja), dan etika pengupahan
terhadap buruh.
Berdasarkan informasi di atas berikut temuan-temuan
masalahnya, maka penulis menganggap perlu untuk mengadakan
penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan relasi buruhmajikan, sehingga nantinya dapat diketahui perihal bagaimana
sesungguhnya relasi buruh-majikan yang terjadi pada konteks masa
lalu (sosio-historis). Dengan mengetahui konteks sejarahnya, nilainilai dan norma-norma positif yang terkandung di dalamnya dapat
ditarik ke masa sekarang sebagai alat kritik atas sistem perburuhan
sekuler-kapitalisme. Sehingga problem terpenting yang penulis kaji
dalam skripsi ini meliputi tiga hal yaitu berkenaan dengan
kedudukan buruh-majikan dalam hadits, relasi buruh-majikan
dalam hadits dan kritik terhadap relasi buruh-majikan pada konteks
sekarang (kritik sistem sekuler-kapitalisme).
Dengan berbekal pada semua itu, penulis berharap semoga
penelitian yang berjudul KRITIK RELASI BURUH-MAJIKAN
DALAM SISTEM SEKULER-KAPITALISME PERSPEKTIF
HADITS ini dapat memberikan manfaat, baik kemanfaatan untuk
dunia akademik terlebih sebagai pemahaman kepada masyarakat
secara umum tentang pentingnya pemenuhan hak dan kewajiban
yang berkaitan dengan sistem kerja upah sebagai buruh. Di
9
samping itu juga sebagai tolok ukur bagi masyarakat terlebih
pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan pekerjaan tersebut
atau pihak
yang
mempekerjakan,
sehingga
dalam
sistem
perburuhan di berbagai bidang pekerjaan tidak lagi memunculkan
kesenjangan-kesenjangan dan sikap tidak adil (diskriminatif)
terhadap kaum buruh serta buruh tidak lagi ditempatkan pada
posisi subordinatif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
pemikiran
yang
telah
dikemukakan di atas, maka penulis mencantumkan tiga rumusan
masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan buruh-majikan dalam hadits?
2. Bagaimana relasi buruh-majikan dalam hadits?
3. Bagaimana kritik hadits terhadap relasi buruh-majikan pada
konteks sekarang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan, yaitu:
1. Mengetahui perihal kedudukan buruh-majikan dalam hadits.
2. Sebagai bentuk tinjauan sosio-historis berkaitan dengan
hubungan timbal balik yang terjalin antara buruh dengan
majikan, sehingga mampu diungkap secara jelas bagaimana
sesungguhnya relasi buruh-majikan dalam hadits.
3. Mengetahui nilai-nilai yang diperoleh dari hadits untuk
diaktualisasikan terhadap relasi buruh-majikan pada konteks
10
sekarang. Sehingga hadits tidak hanya dipahami dan dianggap
sebagai bukti sejarah yang statis, melainkan ia dinamis serta
mampu menjawab problem sosial yang terjadi pada konteks
sekarang.
Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu:
1. Sebagai suatu bentuk pemahaman atas pentingnya memenuhi
hak dan kewajiban dalam bekerja.
2. Memberikan pemahaman tentang konteks hadits buruhmajikan berdasarkan aspek sosio-historisnya.
3. Sebagai tolok ukur serta alat kritik konstruktif yang dapat
digunakan serta diterapkan dalam sistem perburuhan.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh
yang
penulis
ketahui,
tidak
atau
belum
diketemukan skripsi yang sama membahas tentang KRITIK
RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM SEKULERKAPITALISME PERSPEKTIF HADITS. Dalam hal ini penulis
mencantumkan beberapa judul skripsi yang dianggap memiliki
relevansi dengan judul skripsi yang sedang penulis bahas, di
antaranya:
Skripsi yang berjudul Tafsir Ayat Buruh Dalam Al-Qur’an,
yang ditulis oleh Umniya Labibah, mahasiswi Fakultas Ushuluddin
UIN Walisongo Semarang tahun 2003. Skripsi ini membahas
tentang penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an tentang keadilan buruh
dengan pendekatan hermeneutik. Di dalamnya diungkap perihal
11
kondisi buruh yang digambarkan oleh Al-Qur‟an serta penjelasan
mengenai keadilan terhadap kaum buruh.
Skripsi yang berjudul Mustad}’afin Dalam Al-Qur’an, yang
ditulis oleh Putri Ningsih, mahasiswi Fakultas Ushuluddin UIN
Walisongo Semarang tahun 2011. Berbeda dengan skripsi pertama,
skripsi yang kedua ini lebih menekankan pembahasannya pada
mustad}’afin atau yang sering disebut dengan kaum lemah menurut
pandangan
Al-Qur‟an
dengan
menggunakan
pendekatan
hermeneutika Fazlurrahman.
Tesis berjudul Fiqh Perburuhan, yang ditulis oleh Ali
Fakhruddin, mahasiswa Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang
tahun 2003. Tesis itu membahas tentang tinjauan hukum fiqh
perburuhan terhadap kasus TKI di luar negeri yang selama ini
kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Di samping skripsi-skripsi di atas, terdapat pula beberapa
buku yang membahas tentang perburuhan, diantaranya:
Buku yang berjudul Hubungan Perburuhan di Sektor
Informal, oleh Anne Friday Safaria dkk, yayasan Akatiga,
Bandung, 2003. Buku itu mengkaji tentang buruh di sektor
informal yakni di dalamnya dibahas mengenai relasi buruh dan
majikan.
Buku yang berjudul Syarh} Nus}u>s} Niz}am al-‘Amal wa al‘Umma>l fi> al-Mamlakah al-‘Arabiyyah, oleh Yusuf Abdul Aziz
Muhammad Abdul Majid, al-Daar al-Su‟udiyyah, Jedah, 1987. Di
dalamnya dibahas tentang akad bekerja, kewajiban pekerja dan
12
orang yang mempekerjakan. Lain daripada itu, dibahas pula
mengenai waktu bekerja dan istirahat untuk pekerja dalam
seminggu.
Buku yang berjudul Pengantar Hukum Perburuhan, oleh
Iman Soepomo, PT. Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta, 1992. Buku itu
membahas tentang pengertian buruh dan majikan serta dijelaskan
juga mengenai hubungan kerja dan hal-hal yang berkaitan dengan
aspek-aspek perburuhan.
Buku yang berjudul Hukum Perburuhan di Indonesia
Berlandaskan Pancasila, oleh G. Kartasapoetra, Sinar Grafika,
Jakarta, 1994. Buku itu membahas tentang perburuhan pancasila,
perjanjian kerja sebagai awal melakukan hubungan kerja,
pemberian upah oleh majikan, waktu bekerja, dan perlindungan
serta keselamatan kerja.
Melihat beberapa tinjauan pustaka di atas, penulis
berkesimpulan bahwa belum ada kajian yang membahas relasi
buruh-majikan dalam hadits secara komprehensif, yakni kajian
kritik terhadap sistem perburuhan sekuler-kapitalisme dengan
mempergunakan hadits sebagai alat kritiknya. Sehingga dari semua
itu bisa diketahui relasi buruh dan majikan yang dikehendaki oleh
hadits serta aplikasinya pada konteks sekarang.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah pendekatan, cara, dan teknis
yang akan dipakai dalam proses pelaksanaan penelitian yang
13
sangat tergantung pada disiplin ilmu yang dipakai serta masalah
pokok yang dirumuskan.3
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan jenis
penelitian kualitatif, yang secara teknis pelaksanaannya lebih
menekankan pada kajian teks. Penulis menginventarisir haditshadits yang berhubungan dengan buruh-majikan, kemudian
mengutip pendapat para Ulama‟ berkaitan dengan transmisi
sanadnya dan selanjutnya dilakukan analisis matan. Pada bagian
matan inilah, penulis menggunakan pendekatan sosio-historis yaitu
dengan menelaah sebab-sebab munculnya hadits perburuhan
tersebut beserta konteks sosial yang melatarbelakanginya dan
pendekatan sosiologis dengan cara mengaitkan pada fakta sosial
yang berkembang sekarang, agar hadits-hadits tersebut berdasarkan
konteksnya dapat dipahami secara komprehensif (ka>ffah), lalu
mampu diterapkan sebagai alat kritik terhadap sistem perburuhan
sekuler-kapitalisme.
Adapun hal-hal lain yang berkaitan dengan metodologi
penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Data
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan jenis
data berupa data kepustakaan (library research), yaitu
3
Tim Revisi Buku Pedoman Skripsi, Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Sagha Grafika,
2007), h. 23.
14
penelitian melalui riset kepustakaan untuk mengkaji sumbersumber tertulis yang telah dipublikasikan maupun yang belum. 4
Dalam hal ini penulis menelaah literatur-literatur
bacaan yang berkaitan dengan tema besar dalam skripsi ini,
sehingga dapat diperoleh informasi-informasi dan keteranganketerangan yang lengkap mengenai relasi buruh-majikan dalam
hadits.
Adapun secara garis besarnya, penelitian ini terbagi ke
dalam dua tahap, yaitu pengumpulan data dan pengolahan data.
Data-data yang sudah terkumpul diolah sedemikian rupa,
sehingga diperoleh pemahaman yang ketat dan komprehensif
mengenai relasi buruh-majikan dalam hadits sebagaimana yang
penulis harapkan dalam skripsi ini.
2. Sumber Data
Bersesuaian dengan judul skripsi dalam penelitian ini,
sumber data yang penulis gunakan terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Data primer (utama), yakni kitab-kitab syarah hadits, baik
klasik maupun kontemporer, dan buku-buku atau sumber
bacaan lain tentang sistem sekuler-kapitalisme. Data primer
ini merupakan data utama yang penulis gunakan sebagai
rujukan di dalam proses analisis pada bab empat. Di
samping itu, sebagai bahan penelitian pada skripsi ini.
Sehingga, kitab-kitab syarah hadits dan sumber-sumber
4
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktis, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), h. 10.
15
tersebut di atas dapat digunakan sebagai penjelas mengenai
isi dari skripsi ini.
b. Data sekunder (pendukung), yakni data pendukung dari data
primer. Data sekunder ini berfungsi sebagai pendukung dari
data pertama di dalam melakukan analisis pada bab empat.
Data-data tersebut di antaranya meliputi: kitab-kitab hadits
pendukung (selain kutub as-sittah), kitab-kitab syarah hadits
yang memiliki relevansi dengan hadits-hadits yang dibahas
dalam skripsi ini, kitab sira>h} nabawiyyah, dan sumbersumber ilmiah lainnya, baik berupa skripsi, tesis, disertasi,
artikel, jurnal, majalah, dan koran yang memiliki relevansi
dengan pembahasan dalam penelitian skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam rangka pengumpulan data, penulis dalam
penelitian
ini
menempuh
jalan
keluar
dengan
cara
mengumpulkan sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan
relasi
buruh-majikan
dalam
sistem
sekuler-kapitalisme.
Kemudian setelah data-data itu terkumpul, langkah selanjutnya
yang penulis tempuh ialah dengan menelaah sejumlah buku,
hasil penelitian (seperti: skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal), dan
sumber-sumber informasi lainnya yang
relevan dengan
pembahasan relasi buruh-majikan dalam sistem sekulerkapitalisme.
Dalam
proses
pengumpulan
data
ini,
penulis
menggunakan dua sistem pencarian, yaitu pencarian secara
16
manual, dengan mencari sumber-sumber bacaan yang tersedia
di perpustakaan maupun di toko-toko buku atau berdasarkan
informasi-informasi yang tersedia di lapangan, dan pencarian
melalui aplikasi, dengan cara mendownload sumber-sumber
bacaan secara online dan disimpan dalam bentuk file, sehingga
pencarian dilakukan dengan membuka file download-tan
tersebut.
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya yang
penulis tempuh demi mendapatkan informasi yang utuh ialah
dengan mengolah data-data tersebut dengan beberapa kegiatan
di antaranya: mendiskripsikan pengertian buruh dan majikan,
historisitas perburuhan, relasi keduanya dalam dua sektor kerja
(formal dan informal), dan menjelaskan sistem sekulerkapitalisme itu sendiri beserta perkembangannya.
Adapun analisis data dilakukan dengan beberapa
kegiatan yaitu: identifikasi problem perburuhan, baik dengan
pendekatan kepustakaan maupun lapangan (sebagai penunjang
data
kepustakaan),
kategorisasi
relasi
buruh-majikan
berdasarkan tinjauan aspek-aspek ilmu umum (seperti: ilmu
hukum, ilmu sosiologi, ilmu politik, dan ilmu ekonomi) maupun
ilmu keislaman (seperti: ilmu ushu>l fiqh, ilmu fiqh, ilmu tafsir,
dan ilmu hadits), diskripsi operasional tentang sistem sekulerkapitalisme, dan dilanjutkan kritik atas sistem sekuler-
17
kapitalisme
dengan
menggunakan
hadits
sebagai
pisau
analisisnya.
Di dalam penelitian ini, penulis menganalisis data-data
tersebut di atas dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.
Metode ini penulis gunakan untuk menganalisa data dengan
menggunakan pembahasan yang beranjak dari pemikiran yang
bersifat umum, kemudian disimpulkan dalam pengertian
khusus.5
Dalam
metode
deskriptif-analitis
ini,
penulis
menggunakan dua pendekatan yang dipandang sesuai dengan
tujuan penelitian pada skripsi ini. Dua pendekatan tersebut ialah
sebagai berikut:
Pertama, Pendekatan Sosio-Historis. Pendekatan ini
berupaya mendefinisikan keadaan-keadaan dan hal ihwal yang
menjadi sebab datangnya hadits dari Nabi Muhammad Saw.,
artinya ia merupakan suatu peristiwa yang terjadi pada masa
Nabi Muhammad Saw., atau pertanyaan yang diajukan kepada
beliau, lalu muncul jawaban atau respon untuk menjelaskan
sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa itu.6
Pendekatan ini merupakan sebuah tinjauan mengenai
setting
sosial
kemasyarakatan
yang
melatar
belakangi
munculnya teks (hadits-hadits Nabi Saw.), yaitu berkaitan
5
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset,
1993), h. 85.
6
Zuhad, Metode Pemahaman Hadits Mukhtalif dan Asbab AlWurud, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011), h. 189.
18
dengan relasi buruh-majikan, sehingga teks tersebut pada
akhirnya mampu dipahami secara kontekstual.
Pendekatan sosio-historis menekankan pada pertanyaan
mengapa Nabi bersabda demikian? Bagaimana kondisi sosiohistoris masyarakat pada saat itu? Serta mengamati proses
terjadinya
peristiwa
tersebut. 7
Dengan
berbekal
pada
pendekatan ini, maka dalam proses analisis akan mampu
dipahami secara kontekstual ruang lingkup hadits terkait untuk
selanjutnya dikontekstualisasikan dengan fakta perburuhan
(relasi buruh-majikan) yang ada pada masa sekarang.
Kedua, Pendekatan Sosiologis. Pendekatan sosiologis
ini mempelajari tentang bagaimana dan mengapa tingkah laku
sosial yang berhubungan dengan ketentuan hadits yang
dibahas.8 Dengan memahami kondisi sosial beserta tingkah
lakunya, data hadits berikut perangkat-perangkatnya (sosiohistoris hadits) mampu dikomparasikan dengan fakta sosial
yang telah atau sedang berkembang di dalam masyarakat, yaitu
dalam hal ini berkaitan dengan relasi buruh-majikan dalam
bingkai sistem sekuler-kapitalisme. Dengan demikian, dapat
diperoleh kesimpulan dan pemecahan masalah yang sesuai
dengan harapan penulis pada skripsi ini.
Sebagai tambahan, dalam penelitian skripsi ini penulis
melakukan analisis data dengan menggunakan tiga alur kegiatan
7
Abdul Mustaqim, dkk, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam
Memahami Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 8.
8
Ibid., h.8.
19
yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
F. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, skripsi ini terdiri dari tiga bagian, yaitu:
bagian muka yang terdiri dari; halaman judul, nota pembimbing,
halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan,
halaman kata pengantar, halaman pedoman literasi, dan halaman
daftar isi serta halaman daftar diagram dan tabel. Adapun bagian
isi atau batang tubuh karangan terdiri dari:
Bab pertama: bab ini merupakan pendahuluan dari seluruh
tulisan, oleh karenanya pada bab pertama ini terdiri dari; latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab kedua: bab ini merupakan kerangka teoritik guna
menjadi rujukan dan kerangka berpikir dalam memahami
pembahasan-pembahasan pada bab selanjutnya. Bab kedua ini
merupakan penyajian data dari hasil penelitian, yaitu pemaparan
hadits-hadits Nabi Saw. tentang relasi buruh-majikan, meliputi
penyajian redaksional hadits relasi buruh-majikan, diikuti dengan
kutipan para Ulama‟ tentang status sanad (transmisi sanad), baik
berkaitan dengan ketersambungannya maupun sisi kes\iqahan para
periwayatnya, dilanjutkan penjelasan tentang matan hadits.
Bab ketiga: Pada bab ketiga ini berisi relasi buruh-majikan
dalam sistem sekuler-kapitalisme. Di dalamnya meliputi uraian
20
pembahasan tentang pengertian buruh dan majikan, historisitas
perburuhan,
relasi
buruh-majikan;
relasi
tersebut
dibahas
berdasarkan dua sektor kerja, yaitu sektor kerja formal dan sektor
kerja informal, dan yang terakhir sistem sekuler-kapitalisme dan
perkembangannya.
Bab keempat: bab ini merupakan analisis penulis,
sebagaimana fokus penelitian ini yaitu tentang KRITIK RELASI
BURUH-MAJIKAN
DALAM
SISTEM
SEKULER-
KAPITALISME PERSPEKTIF HADITS. Pembahasan pada bab
ini meliputi analisis: 1) Kedudukan buruh-majikan dalam hadits, di
dalamnya memuat deskripsi tentang kedudukan buruh-majikan
ditinjau dari aspek yuridis, sosiologis, politik, dan ekonomi. 2)
Relasi buruh-majikan dalam hadits, di dalamnya memuat sub
pembahasan yaitu: (1) buruh dan majikan dalam hubungan
pekerjaan, (2) buruh dan majikan dalam penjagaan harta, (3) buruh
dan majikan dalam waktu libur. (4) buruh dan majikan dalam
penunaian upah. 3) kritik hadits terhadap relasi buruh-majikan
pada konteks sekarang. Di dalamnya diuraikan kritik terhadap
relasi buruh-majikan pada konteks sekarang secara kedudukan dan
relasinya.
Bab kelima, bab kelima ini merupakan penutup dari
keseluruhan isi tulisan. Di dalamnya berisi; kesimpulan, saransaran dan penutup. Bagian penutup terdiri dari daftar pustaka,
lampiran-lampiran dan riwayat singkat penulis.
BAB II
KONSEP HADITS RELASI BURUH-MAJIKAN
A. Hadits Etika Mempekerjakan Buruh
Dalam sub bab ini terdapat dua hadits yang menerangkan
etika majikan dalam mempekerjakan buruhnya. Bahwa di dalam
seorang majikan mempekerjakan buruhnya, terdapat etika (tata
cara) yang diatur secara jelas dalam hadits-hadits Nabi di bawah
ini:
1. Hadits pertama adalah riwayat Imam Ahmad nomor 11503 dan
11592 tentang larangan Nabi Saw. kepada majikan dalam
mempekerjakan buruh sampai dijelaskan besaran upahnya.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah
menceritakan kepada kami Hammad, dari Hammad, dari Abu
Sa‟id al-Khudriy radhiyallahu „anhu. Sesungguhnya Rasulullah
Saw. melarang mempekerjakan (menyewa) seorang buruh
sampai dijelaskan (lebih dahulu) besarnya upah baginya, (juga
melarang) najsy -menyuruh orang bayaran agar memuji barang
dagangan supaya laku-, sentuhan (yang maksudnya jika
menyentuh harus membeli), serta lemparan batu (ke
barang/target yang akan dibeli).” (HR. Ahmad)9
9
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Musnad Ahmad
bin Hambal, (Pensyarah: Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad alZain), (Kairo: Da>r al-Hadi>s|, 1995), vol. 10, h. 185 dan 215.
21
22
Perkataan yang termuat dalam redaksi hadits di atas
yaitu "...sehingga lebih dahulu dia harus menjelaskan
upahnya..."
dijadikan
sebagai
dalil
oleh
Ulama
yang
berpendapat bahwa menentukan upah adalah wajib hukumnya.
Mereka yang berpendapat demikian adalah Ulama kalangan
Ahli Bait seperti asy-Syafi'i, Abu Yusuf, dan Muhammad.
Sedangkan Malik, Ahmad, Ibnu Syibrimah berpendapat bahwa
upah tidak wajib hukumnya, apabila upah tersebut sudah ma'ru>f
(dimaklumi) dan dipandang baik oleh umumnya orang Islam.
Dalam hal ini pendapat pertama lebih dikuatkan dengan alasan
mengqiyaskan pada harga penjualan (yang harus dilakukan
dengan jelas).10
Kewajiban menjelaskan upah ini dilakukan oleh pihak
majikan (pihak pengupah) kepada pihak buruh. Penjelasan upah
tersebut dimaksudkan supaya pihak buruh mengetahui besaran
upah yang nanti akan ia terima saat setelah menyelesaikan tugas
kerjanya. Upaya penjelasan ini dinilai perlu karena dalam
proses mu‟amalah, keterbukaan merupakan sikap yang sangat
ditekankan, baik oleh pihak pemberi pekerjaan (majikan) atau
pihak pelaksana pekerjaan (buruh). Majikan dalam hal ini tidak
hanya menjelaskan upah buruhnya saja, namun lebih dari itu ia
harus pula menjaga hak-haknya yang lain, sebagaimana ia
menjaga haknya dalam urusan upah.
Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Terjemahan Nailul Aut}ar:
Himpunan Hadits-hadits Hukum, (penerj.: A. Qadir Hasan, dkk.), (Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 2001), Vol. 4, h. 1882.
10
23
Oleh karena penjelasan upah ini diqiyaskan dengan
harga penjualan, maka penjelasan mengenai upah buruh
tersebut harus dilakukan dengan sistem keterbukaan. Sistem
keterbukaan ini akan membawa dampak baik bagi keduanya,
sebab dengan digunakannya sistem ini kedua belah pihak bisa
saling mengetahui hak serta kewajiban masing-masing. Di
samping itu, dengan adanya sistem keterbukaan ini pihak buruh
dapat
mengukur
seberapa
besar
tenaga
yang
akan
dicurahkannya.
Syaikh Ahmad Syakir menjelaskan bahwa sanad hadits
tersebut shahih. Maksud dari
(ilqo>’ al-h}ajar) dalam
hadits itu adalah salah satu bentuk pembelian barang dengan
cara melempar batu-batu kecil (seperti kerikil). Karena menurut
adat yang berlaku pada waktu itu, calon pembeli suatu barang
melemparkan batu kecil ke arah sejumlah barang yang dituju
dan apabila lemparan kerikil itu mengenai barang tersebut maka
terjadilah akad jual beli atas barang tadi.11
Sedangkan najsy yaitu menyuruh orang yang dibayar
untuk memuji barang dagangannya supaya laku terjual. Adapun
lams yaitu setiap orang yang menyentuh barang tersebut
diharuskan membeli. 12 Kesemuanya merupakan permainan
spekulasi pada jual beli yang dilakukan oleh para pedagang
11
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Op.Cit., h.
185.
12
Ibid.
24
untuk mendapati untung yang melimpah. Dari sini kemudian
Nabi menyabdakan dalam sebuah haditsnya tentang larangan
melakukan ketiga hal tersebut, karena ketiganya mengandung
unsur penipuan. Sama juga dalam urusan upah, bahwa Nabi
menyuruh para majikan agar menjelaskan terlebih dahulu upah
buruhnya sebelum akad kerja dimulai.
2. Adapun hadits kedua yaitu riwayat Imam Bukhari nomor 2264
tentang Nabi dan Abu Bakar mempekerjakan buruh sebagai
seorang penunjuk jalan.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair,
telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari „Uqail,
(dari) Ibnu Syihab yang berkata, Telah mengabariku
„Urwah bin al-Zubair, bahwa sesungguhnya „Aisyah
radhiyallaohu „anha –istri Rasulullah Saw.- berkata:
“Nabi Saw. dan Abu Bakar radhiyallah „anhu menyewa
seorang lelaki dari Bani ad-Di>l untuk menjadi penunjuk
jalan. Dia orang yang terampil dan masih menganut
agama Kafir Quraisy. Keduanya menyerahkan hewan
tunggangannya kepada Nabi dan Abu Bakar r.a., dan
keduanya menjanjikan beliau Saw. (akan bertemu
kembali) di Gua Tsur setelah (berlalu) tiga malam.
25
Maka keduanya mendatangi beliau berdua (Nabi Saw.
dan Abu Bakar r.a.) dengan (membawa) hewan
tunggangan pada pagi hari ketiga.” (HR. Al-Bukhari)13
Hadits tersebut menjelaskan tentang kebolehan seorang
majikan mempekerjakan buruhnya setelah tiga hari, dengan
catatan bahwa keduanya (buruh dan majikan) terikat oleh
sebuah syarat sebagaimana yang telah dibuat dan disepakati
oleh keduanya ketika sudah datang waktunya.
Pada hadits di atas dijelaskan bahwa sesungguhnya
keduanya menjanjikan seorang penunjuk perjalanan dengan
kendaraannya setelah waktu tiga hari. Dalam hal ini al-Isma‟iliy
mensinyalir bahwa sesungguhnya tidak ada berita yang
mengatakan
bahwa
keduanya
mempekerjakannya
(menyewanya) untuk tidak bekerja kecuali setelah tiga hari,
bahkan dijelaskan pula bahwa keduanya mempekerjakannya
(menyewanya) dan telah dimulai (akadnya) bekerja semenjak
waktu penyerahan hewan tunggangan kepada beliau Saw. dan
Abu Bakar r.a., setelah itu kemudian mereka menjaga dan
menunjukkan jalan sampai keduanya mendapatkan jalan keluar
(dari kejaran kaum kafir Quraisy). 14
Dikatakan bahwa keduanya menyewa seorang penunjuk
jalan adalah untuk menghindari kejaran kaum kafir Quraisy
13
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih
al-Bukhari, (Tahqiq: Abdul Qadir Syaibah al-Hamd), (Riyadh: Maktabah alMali>k Fahd al-Wat}a>niyah, 2001), vol. 4, h. 518.
14
Ibid.
26
karena pada waktu itu Nabi diburu oleh para kafir Quraisy.
Sehingga Nabi memutuskan meninggalkan rumah pada tanggal
27 shafar tahun 14 dari nubuwah menuju rumah sahabatnya,
yaitu Abu Bakar r.a. Setelah Nabi bertemu dengan Abu Bakar,
mereka berdua kemudian pergi bersama menuju Madinah
dengan mengambil jalur yang mengarah ke Yaman, dari
Makkah ke arah selatan. Mereka bersembunyi di dalam gua
selama tiga malam, yaitu malam jum‟at, malam sabtu, dan
malam ahad. Di tengah perjalanan menuju Madinah inilah
beliau menyewa dua orang sebagai penunjuk jalan. Satu dari
mereka menjadi penuntun unta, sedang yang lainnya sebagai
penunjuk jalan.15
Ibnu Hajar dalam konteks hadits itu menyatakan bahwa
orang yang menuntun kedua hewan tunggangan Rasul Saw. dan
Abu Bakar adalah bernama Amir ibn Fahirah dan bukanlah si
penunjuk/pemandu jalan. Jadi, dari sini bisa diketahui bahwa
terdapat dua orang yang disewa oleh Rasul Saw. yaitu salah
satunya menjadi penuntun unta, sedang yang lainnya sebagai
penunjuk jalan.
Kemudian Ibnu al-Munayyar berpendapat bahwa di
dalam hadits itu tidak terdapat penegasan hukum yaitu
mengenai hukum ijarah yang dilaksanakan bukan sejak di awal
perjanjian, baik yang menetapkan maupun yang menafikan. Hal
Syafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sira>h Nabawiyah, (Bandung:
Pustaka Islamika, 2008), h. 223-224.
15
27
itu diperbolehkan karena dalam masa yang pendek yaitu tiga
hari,
sehingga kecil kemungkinan terjadi unsur
garar
(penipuan) yang sering terjadi pada jenis ija>rah jangka panjang.
Pendapat ini menjadi pilihan madzhab Imam Malik mengenai
batas kebolehan dalam jual beli, asalkan barang dagangannya
tidak mengalami perubahan (nilai) dalam masanya. Sehingga
dari kisah ini dapat dijadikan istinbat tentang bolehnya akad
sewa-menyewa rumah dalam batas waktu tertentu sebelum
dijalankannya awal masa kontrak penyewaan itu. Hal ini
didasarkan atas sahnya hukum dasar dalam riwayat tersebut
yang juga menghasilkan permasalahan variasi (turunan)
lainnya.16
B. Hadits Etika Buruh Menjaga Harta Majikannya
Secara sadar bahwa hubungan buruh dengan majikan
adalah tidak hanya terbatas dalam urusan pekerjaan saja, lebih dari
itu pelaksanaan kerja buruh juga memiliki keterkaitan erat dengan
urusan menjaga harta (berupa uang atau benda). Seorang buruh
memiliki kewenangan menjaga harta majikannya, karena hal itu
merupakan bagian dari pekerjaannya. Sehingga dari sini terdapat
dua hadits yang menjelaskan tentang kewajiban buruh dalam
menjaga harta majikannya.
1. Hadits pertama yaitu riwayat Imam Bukhari nomor 2663
tentang kewajiban buruh menjaga harta majikan.
16
Ibid.
28
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad,
di berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yunus,
dari al-Zuhri yang berkata: Telah mengabarkan kepada
kami Salim bin Abdullah, dari Ibnu Umar radhiyallohu
„anhuma dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda, “Setiap kalian adalah seorang pemimpin
(pengelola) dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinan itu, seorang imam adalah pemimpin dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas yang
dipimpinnya, laki-laki adalah pemimpin keluarganya
dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, perempuan
adalah seorang pengelola di rumah suaminya dan akan
ditanya tentang kepemimpinannya, pelayan adalah
penjaga harta majikannya dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya”, Ibnu Umar berkata, “Aku menduga
bahwa beliau Saw. juga berkata, ”Laki-laki adalah
penjaga harta ayahnya dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Masing-masing kalian adalah
seorang pemimpin dan akan ditanya tentang
kepemimpinan kalian.” (HR. Al-Bukhari)17
17
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Op.Cit., vol. 5, h. 444.
29
Pada dasarnya hadits ini adalah menjelaskan tentang
mendahulukan
wasiat
daripada
hutang.
Ini
merupakan
penggalan hadits yang ditakhri>j oleh Imam Ahmad, at-Tirmidzi,
dan lainnya dari jalur al-Harits yaitu al-A‟war dari Ali bin Abi
Thalib yang berkata, “Nabi Muhammad memutuskan bahwa
(melunasi) hutang didahulukan sebelum wasiat.”
Secara redaksi hadits, bahwa hadits itu menjelaskan
tentang
tanggungjawab
masing-masing
manusia
dalam
menjalankan amanat tugasnya, baik tugas pemimpin kepada
yang dipimpinnya, laki-laki kepada keluarganya (dalam rumah
tangga), perempuan kepada suaminya (dalam rumah tangga),
serta tugas buruh kepada majikannya.
Pernyataan hadits di atas yaitu “...Seorang hamba
adalah pemelihara bagi harta majikannya...” merupakan
penggalan dari hadits terdahulu secara maushu>l (bersambung)
dalam bab kara>hiyati tathawwul ‘alar raqi>q” yaitu dalam kitab
al-‘Itqi sebuah hadits dari Nafi‟ dari Ibnu Umar r.a.
Hadits ini menyimpan maksud bahwa terdapatnya sifat
tanggungjawab yang diemban oleh seorang buruh kepada
majikannya
dalam
pelaksanaan
kerjanya.
Sehingga
tanggungjawab tersebut dideskripsikan dengan redaksi hadits
ra>’in yang memiliki arti penggembala/penjaga.
Dalam
pembahasan
hadits
ini
Ibnul
Munayyar
berpendapat bahwa ketika saling berbenturan mengenai harta
seorang budak (buruh) antara haknya dan hak majikannya,
30
maka didahulukan yang terkuat yaitu hak majikannya. Budak
(buruh) menjadi seorang yang bertanggungjawab atasnya,
karena ini merupakan salah satu bentuk penjagaan hartanya.
Budak (buruh) berkewajiban menjaga harta majikannya dengan
baik, sehingga hak majikannya dapat terpenuhi. Demikian juga
dengan hak hutang ketika hak wasiat memalingkannya padahal
hutang wajib untuk dilunasi sedangkan wasiat hanya sunnah,
maka wajib mendahulukan pelunasan hutang.18
Maksud dari hak yang terkuat tersebut adalah hak
majikan yang perlu didahulukan, seperti majikan yang sedang
mengalami kehilangan uang atau sejumlah barang berharga.
Maka dalam kasus seperti ini, majikan mempunyai hak untuk
tidak membayarkan gaji kepada buruhnya dan seorang buruh
dituntut untuk bisa memahami kondisi majikannya dengan cara
mendahulukan haknya, yaitu penundaan pembayaran gaji.
Demikian ini merupakan sebagian dari tanggungjawab buruh
kepada majikannya dalam urusan menjaga harta.
2. Hadits yang kedua diriwayatkan dalam Shahih Bukhari bab
Ra>’il Ganami ala> Qara>rit} nomor 2200. Berikut ini adalah
riwayat hadits dalam Shahih Bukhari:
18
Ibid., h. 445.
31
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Muhammad al-Makkiy, telah menceritakan kepada
kami Amr bin Yahya, dari kakeknya, dari Abu Hurairah
radhiyallohu „anhu, dari Nabi Shallahu alaihi wa sallam
yang bersabda: “Allah tidak mengutus seorang Nabi
melainkan sebagai penggembala kambing.” Kemudian
para sahabat bertanya, “Adapun engkau?” Nabi
Menjawab: “Ya, saya juga dahulunya menggembala
kambing milik penduduk Makkah dengan upah
beberapa qira>t}.” (HR. al-Bukhari)19
Dalam riwayat Ibnu Majah dari Suwaid dari ibn Said
dari Amr ibn Yahya, diriwayatkan dengan kalimat ( ‫كنت أرعاها‬
‫)ألهل مكة بالقراريط‬. Demikian juga dalam riwayat Ismaily dari AlMani‟y dari Muhammad ibn Hassan dari Amr ibn Yahya. Salah
satu perowinya yaitu Suwaid berkata bahwa upah setiap
kambing adalah satu qira>t}, sejenis pecahan dinar ataupun
dirham. Berbeda dengan Ibrahim Al-Harby yang berpendapat
bahwa qara>rit} yang dimaksud dalam redaksi hadits tersebut
adalah nama suatu tempat di Makkah, bukan qara>rit} berupa
upah mata uang perak.
Berdasarkan
pendapat
keduanya,
yaitu
yang
mengatakan bahwa qara>rit} bermakna mata uang, sedang yang
lain memaknai qara>rit} sebagai nama suatu tempat, maka dalam
19
Ibid., h. 516.
32
hal ini pendapat pertamalah yang lebih dikuatkan, dengan
alasan karena penduduk Makkah tidak mengenal suatu tempat
yang disebutnya sebagai Qara>rit}.
Dengan demikian, maka qara>rit} yang dimaksudkan
dalam redaksi hadits tersebut adalah mata uang perak, bahwa
Nabi pernah menggembalakan sejumlah kambing miliknya
penduduk Makkah dan setiap kambingnya mendapatkan upah
satu qira>t}. Penyebutan qira>t} dalam bentuk jama‟ (qara>rit})
menunjukkan bahwa kambing yang digembalai oleh Nabi pada
waktu itu adalah berjumlah lebih dari satu.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa‟i
dari hadits Nashr bin Hazn yang berkata:
Artinya:
Pernah terjadi antara pemilik unta dan pemilik kambing
saling membanggakan diri, kemudian Nabi Saw.
bersabda: “Nabi Musa diutus sebagai penggembala
kambing, dan Dawud diutus sebagai penggembala
kambing, sedangkan saya diutus juga sebagai
penggembala kambing untuk keluargaku di Jiyad.”20
Berbeda dengan pendapat yang pertama bahwa qara>rit}
dimaknai sebagai mata uang, maka sebagian Ulama dalam
memaknai hadits ini adalah dengan menganggap bahwa hadits
20
Ibid.
33
ini sebagai bentuk penolakan terhadap penakwilan Suwaid ibn
Said, dengan alasan bahwa Nabi tidak menggembala kambing
untuk mendapatkan upah dari keluarganya, melainkan sebagai
penjelas suatu tempat yang ada di Makkah. Oleh sebab itu,
terkadang penyebutannya menggunakan Qara>rit}, dan pada
riwayat lain terkadang pula menggunakan Jiya>d.
Bantahan seperti ini dinilai kurang tepat, sebab bisa jadi
Beliau Saw. meminta upah dari menggembalakan kambing
milik penduduk Makkah dan Beliau Saw. tidak meminta upah
jika menggembalakan kambing milik keluarganya. Atau bisa
jadi penyebutan
pada redaksi hadits di atas yang dimaksud
adalah ahli Makkah (penduduk Makkah). Maka kedua riwayat
ini bisa dipadukan, yaitu salah satu hadits bisa saja berbicara
mengenai suatu upah dan yang lain berbicara tentang suatu
tempat.21
Sebagian ulama berkata bahwa orang Arab tidak
mengenal qira>t} yang merupakan sejenis mata uang. Untuk itu,
ada sebuah riwayat shahih menjelaskan “...mereka akan
membuka (mengelola) suatu lahan yang disebut di dalamnya
sebagai qira>t}..”. Tetapi, pendapat seperti ini pun tidak jelas. 22
Dalam konteks hadits ini terdapat dua pemaknaan yang
berbeda yang menyebutkan tentang pemaknaan qira>t} dan jiya>d,
apakah ia menjelaskan suatu upah ataukah suatu tempat yang
21
22
Ibid.
Ibid., h. 516.
34
berada di Makkah. Tidak bisa diketahui secara pasti maksud
dari qira>t} dan jiya>d.
Terlepas dari pemaknaan qira>t} atau jiya>d, para Ulama
menjelaskan bahwa terdapat hikmah dari menggembalakan
kambing yang dilakukan oleh para nabi Allah sebelum menuju
masa
nubuwwah, yaitu agar mereka berhasil dalam
menjalankan tugas kenabiannya dan apa yang telah Allah Swt.
bebankan kepadanya di dalam menegakkan urusan umatnya. 23
C. Hadits Larangan Membebani Buruh (dalam bentuk setoran,
upah dan atau waktu kerja)
Dalam pelaksanaan kerjanya, seorang buruh sering merasa
terbebani oleh adanya beban setoran, upah, dan waktu kerja yang
berlebihan. Kapasitas buruh dalam bekerja tidak mendapatkan
perhatian dari majikan, sehingga kondisi buruh menjadi terkatungkatung, apalagi dalam urusan setoran, upah, dan waktu kerja.
Kondisi seperti ini akan semakin membebani buruhnya. Oleh sebab
itu pada bagian ini terdapat sebuah hadits yang menjelaskan
tentang larangan membebani buruh.
Pada bagian ini hanya tercantum satu hadits sebagaimana
yang telah Bukhari riwayatkan dalam hadits nomor 2215 tentang
bekamnya Abu Thaibah kepada Nabi Saw. sebagai berikut:
23
Ibid.
35
Artinya:
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Yusuf,
telah menceritakan kepada kami Humaid al-Thawil, dari
Anas bin Malik radhiyallahu „anhu, dia berkata: “Abu
Thaibah menghijamah (membekam) Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, lalu beliau memerintahkan untuk
memberikan kepadanya satu atau dua sha‟ makanan, lantas
beliau berbicara kepada para majikannya, agar
meringankan setoran (beban kerja) atau upetinya.” (HR.
Al-Bukhari)24
Hadits tersebut juga diulangi al-Bukhari dalam bab man
kallama mawa>liya al-‘abdi an yukhoffifu ‘anhu min kharra>jihi
nomor 2219 dengan redaksi hadits sebagai berikut:
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Adam, dai berkata: telah
menceritakan kepada kami Syu‟bah, dari Humaid alThawil dari Anas bin Malik dia berkata: “Nabi Saw.
memanggil seorang gulam (anak/budak) lalu dia
menghijamah (membekam) beliau, lantas beliau
memberikan satu atau dua sho‟ atau satu dua mud
(makanan). Lantas beliau berbicara dengan mawalinya
agar diringankan setorannya.” (HR. al-Bukhari)25
24
25
Ibid., vol. 4, h. 535.
Ibid., h. 537.
36
Maksud dhari>bah dalam redaksi hadits tersebut adalah
kemampuan tanggungan (setoran beban pekerjaan) buruh dalam
setiap harinya. Hal itu disebut pula sebagai kharra>j (pajak/upeti).
Sedangkan makna gullah itu sendiri adalah upah.
Dhari>bah adalah beban yang ditetapkan sang majikan
kepada buruhnya untuk disetorkan setiap hari. Dikatakan juga
sebagai kharra>j (pajak/upeti), setoran, dan upah, karena itu semua
disetorkan kepada majikan. Al-Bukhari menyebutkan bahwa
hukum yang terkandung dalam hadits tersebut ada pada z}ahirnya.
Pernyataan Nabi Saw. tersebut adalah dalil atas kebolehannya
(mengambil upah dari membekam).
Penamaan bab dhara>ibul ima>’ pada hadits ini diambil
dengan cara menghubungkan serta kekhususannya dengan ta'ahud
(memperhatikan), karena pada umumnya keadaannya yang seperti
itu (membebani setoran, upah, dan waktu kerja) memuat jalan
kerusakan. Maksud kerusakan tersebut adalah sebagaimana halnya
ditakutkan si amat (budak perempuan) yaitu mencari penghasilan
dari kemaluannya, demikian pula dikhawatirkan penghasilan budak
laki-laki dari hasil mencuri.
Dalam kaitan ini al-Bukhari mensinyalir sebagaimana
dalam riwayat yang ditakhrij olehnya dalam kitab Tari>kh al-Kabi>r
dari jalur Abu Dawud al-Ahmari yang berkata: "Hudzaifah
berkhotbah ketika memasuki kota al-Madain, dia berkata:
Perhatikan/telitilah setoran buruh perempuan kalian." Ini menurut
37
Abu Nu'aim dalam kitab al-Hilyah-nya dengan lafaz "dhara>iba
gilma>nikum".
Perkataan Hudzaifah tersebut sesungguhnya memuat
maksud bahwa majikan harus senantiasa memerhatikan dan
meneliti setoran buruh perempuannya (tanpa terkecuali buruh lakilaki juga). Hal ini dilakukan supaya majikan dapat mengetahui dan
mengukur besaran setoran yang diberikan buruhnya tersebut.
Said bin Manshur dalam Sunannya mencantumkan riwayat
panjang dari Syaddad bin al-Furat yang berkata: "Abu Dawud
meriwayatkan dari Rafi' bin Khadij secara marfu' bahwa "Beliau
Saw. melarang (memungut setoran hasil) pekerjaan budak wanita
sampai diketahui dari mana hasil itu diperoleh". Ibnu al-Munayyar
dalam Hasyiyahnya berkata: "Seakan-akan Beliau Saw. berpesan
agar memperhatikan (meninjau) besarnya setoran budak wanita
karena ada kemungkinan memberatkan, maka dia perlu pekerjaan
dosa untuk melunasi setoran tersebut. Segi pendalilan hadits
tersebut adalah perintah Nabi Saw. untuk meringankan besarnya
setoran tukang bekam.26
Nama Abu Thaibah menurut pendapat yang kuat adalah
Nafi'. Sedangkan Menurut Ibnu Abdil Barr, namanya adalah Dinar.
Adapun menurut al-Baghawi dalam kitabnya al-Shaha>bah bahwa
namanya adalah Maisarah. Sedangkan para mawali (para tuannya)
yang dimaksud adalah Banu Haritsah. Adapun tuannya Abu
Thaibah bernama Mahishah bin Mas'ud. Penyebutan dengan
26
Ibid., h. 535-536.
38
bentuk jamak al-mawali adalah sebagai majaz (majaz z}ikru alkulliy li bayani al-juz’iy) sebagaimana sebuah perkataan bahwa
banu fulan (keturunan si fulan) telah membunuh seseorang,
padahal yang membunuh hanya salah satu dari mereka. 27
D. Hadits Etika Pengupahan Terhadap Buruh
Sebagaimana mestinya bahwa setelah seorang buruh
selesai melakukan kerjanya, upah adalah suatu yang wajib untuk
segera ditunaikan. Upah dalam hadits merupakan sesuatu yang
sangat diperhatikan, sebab kesejahteraan buruh dapat ditimbang
dari penunaian upahnya. Dalam sub-bab ini dipaparkan mengenai
hadits-hadits tentang upah.
1. Hadits pertama adalah riwayat Ibnu Majjah nomor 2443 tentang
mengupah buruh sebelum keringatnya kering.
Artinya:
Telah meriwayatkan kepada kami al-Abbas bin alWalid al-Dimasyqi, telah meriwayatkan kepada kami
Wahb bin Said bin Athiyyah al-Salamiy, telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam, dari ayahnya, dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu „anhuma dia berkata: Rasulullah Saw.
27
Ibid., h. 537-538.
39
bersabda: “Bayarlah upah buruhmu sebelum kering
keringatnya.” (HR. Ibnu Majah) 28
Hadits yang sama diriwayatkan pula oleh al-Bushiri
dalam Zawa>id ibnu Majah nomor 816 dengan redaksi sebagai
berikut:
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami al-Abbas Abul Abd
ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepadaku Wahb bin
Said bin Athiyyah al-Sulami, telah menceritakan
kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari
ayahnya dari Abdullah bin Umar yang berkata,
“Rasulullah Saw. bersabda, „Bayarlah upah buruhmu
sebelum kering keringatnya.‟” (Zawaid Ibnu Majah)29
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu majah dalam
Sunannya dalam kitab al-Ahkam dari Ibnu Umar bin alKhatthab r.a. Dalam riwayat itu terdapat perawi yang bernama
Abdurrahman bin Yazid, dia did}a’ifkan oleh para ulama. Ibnu
Thahir berkata bahwa dia salah satu perawi d}a’if.
28
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu
Majah, (Ta’liq: Muhammad Nashiruddin al-Albani), (Riyadh: Maktabah alMa’a>rif, Tth.), h. 417.
29
Abu al-Abbas Shihabuddin Ahmad bin Abu Bakar al-Kannani alBushiri, Zawaid Ibnu Majah ala al-Kutub al-Khamsah, (Ta’liq: Muhammad
Mukhtar Husain), (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), h. 332.
40
Dalam menilai riwayat ini al-Bushiri berkata bahwa
asal riwayat hadits di atas adalah dalam Shahih al-Bukhari dan
lainnya dari hadits Abu Hurairah. Beliau menilai bahwa Isnad
dari ibnu Umar ini adalah lemah. Wahb bin Said salah satu
perawi di atas adalah Abdul Wahhab bin Said, serta Abdullah
bin Zaid, keduanya dinilai d}a’if (lemah).30
Diriwayatkan juga oleh Abu Ya‟la al-Maushili dalam
Musnadnya dari jalur Abu Hurairah r.a. Al-Haitsami berkata: di
dalamnya terdapat perawi bernama Abdullah bin Ja‟far alMadani, dia adalah d}a’if. Adz-Dzahabi berkata: Dia lemah.
Diriwayatkan juga oleh al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam
al-Ausat} dari Jabir bin Abdillah. Al-haitsami berkata: dalam
riwayatnya ada Syarafi bin Qithomi dan Muhammad bin Ziyad
yang meriwayatkan darinya, keduanya d}a’if. Adz-Dzahabi
berkata: hadits ini adalah mungkar. Al-Munawi (pensyarah
Jami’ Shoghir) berkata: mengenai Muhammad bin Ziyad alKalbiy, dia telah ditetapkan ked}a’if annya oleh al-Dzahabi
dalam kitab ad-D{hu’afa’. Lalu Yahya bin Ma‟in mengatakan
bahwa dia tiada apa-apanya (indikasi jarh). Dalam al-Lisan
(Lisa>n al-Miza>n) dinyatakan pula bahwa Ibnu Hibban
menyebutkannya dalam kitabnya as\-S|iqat bahwa terkadang dia
terlalaikan dan lemah.
Mengenai
Bisy
bin
al-Husain,
menetapkannya dalam kitab ad-D{u’afa’
30
Ibid.
al-Dzahabi
bahwa Imam al-
41
Daruquthni berkata: dia adalah matruk. Dalam kitab al-Lisa>n
(Lisa>n al-Miza>n) seperti asalnya (mengutip) dari Ibnu „Adiy
yang pada kebanyakan haditsnya gairu mahfu>z} (tidak terjaga),
Abu Hatim berkata: dia berdusta atas nama Ibnu Zubair r.a.
Dari sekian banyak jalurnya, masing-masing tidak terlepas dari
indikasi d}a’if atau matru>k. Tetapi, hasilnya menjadikannya
berstatus hasan.31
Sebagaimana dijelaskan oleh al-Munawi bahwa semua
jalur riwayat tersebut adalah lemah akan tetapi asal haditsnya
terdapat dalam riwayat al-Bukhari dari jalur Abu Hurairah yang
tercantum dalam shahihnya. Hal ini bisa menaikkan statusnya
menjadi hasan li gairih. Muhaddits al-Albani juga menghukumi
hadits tersebut dengan status shahi>h sebagaimana dinyatakan
dalam ta’liqnya terhadap Sunan Ibnu Majah.32
Maksud dari “tunaikanlah upah si buruh” dalam redaksi
kedua hadits di atas ialah gaji si buruh. Adapun maksud dari
“sebelum
kering
keringatnya”
ialah
sebelum
menguap/mengering. Karena sesungguhnya upah itu adalah
gaji/komisi fisiknya. Dia telah menyegerakan tugasnya, maka
ketika tugas tersebut sudah tuntas dia pun berhak segera
mendapatkan upah sebagai bentuk balas jasa yang diberikan
majikan kepadanya. Ketika harga darahnya (susah payahnya)
Abdul Rauf al-Munawi, Faid} al-Qadi>r Syarh al-Jami>’ as-S{agi>r,
(Beirut: Da>r al-Makrifah, 1972), vol.1, h. 562-563.
32
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu
Majah, (Ta’liq: Muhammad Nashiruddin al-Albani), h. 417.
31
42
bukanlah harga sebuah barang dagangan, maka haram menunda
(pembayaran upah) dan menangguhkannya padahal dia
(majikan) mampu membayar.
Perintah untuk menunaikan upah sebelum kering
keringatnya sesungguhnya hanyalah sebuah kiasan bagi
keharusan bersegera (membayarnya) setelah diselesaikannya
pekerjaan ketika dia meminta, meskipun belum berkeringat atau
dia telah berkeringat lalu kering. Dari sini ada pensyariatan
tentang akad persewaan (mempekerjakan) bahwa penyegeraan
upah adalah sebuah penekanan yang wajib diperhatikan oleh
seorang majikan.
Penyegeraan upah dalam hadits ini dimaksudkan agar
buruh terjaga haknya, sebab dia bekerja dengan tenaga dan
sebagai balasannya maka diupahlah dia. Pengertian ‘araq
(keringat) dalam hadits tersebut adalah cairan yang merembes
dari pori-pori kulit.
2. Hadits kedua adalah riwayat Bukhari nomor 2208 dan 2170 dari
jalur Abu Hurairah.
43
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin
Muhammad, dia berkata: Telah menceritakan
kepadaku Yahya bin Sulaim, dari Ismail bin
Umayyah, dari Said bin Abu Said, dari Abu Hurairah
radhiyallohu „anhu, dari Nabi Saw. beliau bersabda:
“Allah ta'ala berfirman: „Ada tiga golongan manusia
di hari kiamat kelak yang akan Kukalahkan (dalam
perdebatan), yaitu: orang yang memberi sesuatu
karena-Ku kemudian dia berkhianat, orang yang
menjual orang merdeka lalu dia memakan (hasil
penjualan) nya, orang yang mengangkat seorang
buruh
dan
(buruh
itu)
telah
memenuhi
(kewajibannya), tetapi dia tidak menunaikan
upahnya." (HR. Al-Bukhari)33
Hadits ini ditakhrij oleh al-Bukhari dalam shahi>hnya
yaitu dalam bab is}mu man mana’a ajra al-aji>r dengan nomor
hadits 2208 dan diriwayatkan juga dalam bab is}mu man ba>’a
hurran dengan nomor hadits 2170 dari jalur Busyr bin Marhum
dari Yahya bin Sulaim.
Maksud dari “dosa menjual orang merdeka” adalah jika
pelaku benar-benar mengetahui bahwa orang tersebut adalah
bukan budak serta dengan sengaja melakukannya. Sedangkan
orang merdeka (non budak) di sini adalah semua keturunan
manusia secara umum, tidak hanya terbatas pada kalangan
Arab. Mengandung kemungkinan juga bahwa ini menyangkut
yang lebih umum, termasuk di dalamnya semacam orang yang
dipenjara (tawanan).
33
523.
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Op.Cit., vol. 4, h. 487 dan
44
Nama asli Busyr bin Marhum adalah Busyr bin Ubais
bi Marhum bin Abdul Aziz bin Mahran al-Atthar, beliau
dinisbatkan kepada kakeknya, seorang syaikh (guru hadits) alBashriy (berkebangsaan Basrah) di mana enam imam (kutub assittah) telah meriwayatkan darinya kecuali hanya al-Bukhari.
Al-Bukhari mentakhrij haditsnya ini dalam bab al-ija>rah dari
guru lain di mana dia menyepakati keshahihan riwayat Busyr di
antara kedua syaikh ini.34
Yahya bin Sulaim al-Thaify adalah seorang berwarga
Thaif yang menetap di Makkah. Beliau telah diperselisihkan
ketsiqahannya. Dalam riwayat al-Bukhari, semua riwayat dari
jalurnya tidak pernah berstatus maus}ul kecuali riwayat ini. AlBukhari menyebutkannya dalam bab al-ija>rah dari jalur lain.
Penelitian menyatakan bahwa dia telah gugur (terputus
rantai sanadnya) dalam riwayatnya dari Ubaidullah bin Umar
secara khusus. Sedangkan hadits ini bukan dari riwayatnya.
Para perawi telah menyepakati jalur dari Yahya bin Sulaim
bahwa hadits ini dari riwayat Said al-Maqburiy dari abu
Hurairah r.a. Abu Ja‟far al-Nufailiy berbeda dengan mereka,
beliau berkata: “riwayat ini adalah dari Said dari ayahnya dari
Abu Hurairah r.a.” Al-Baihaqi berkata bahwa riwayat yang
mahfuzh adalah sebagaimana pendapat mayoritas ulama tadi. 35
34
35
Ibid., h. 487.
Ibid.
45
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Ismailiy dalam
riwayat
mereka
“sedangkan
)‫خصمته‬
menambahkan
siapapun
yang
Kulawan
‫خصمه‬
‫كنت‬
(berdebat)
‫(ومه‬
pasti
Kukalahkan.” Ibnu al-Tin berkata: Dialah Allah Swt. yang
mendebat semua orang dzalim tiada lain hanya ingin
menekankan atas semua orang ini dengan penegasan. Berdebat
di sini berarti bisa melibatkan satu pihak atau lebih. Al-Harawi
berkata, jika yang dimaksud hanya sepihak maka dengan dibaca
kasrah (‫(خِصمهم‬. Al-Farra‟ berkata bahwa yang pertama adalah
pendapat para ahli fonem. Bisa juga dibaca dengan tatsniyah
(‫ (خصمان‬dan dalam bentuk jamak. 36
َ‫ أَعْطَى بِي ثُمَ غَدَر‬maksudnya adalah dia membuat janji
lalu bersumpah dengan nama Allah, kemudian dia merusaknya
(mengingkari janjinya itu). Sedangkan redaksi ُ‫بَاعَ حُرًا فَأَكَلَ ثَمَنَه‬
mengkhususkan penyebutan pada kata “memakan (hasilnya)”
karena ini merupakan maksud dari hadits di atas. Seperti ini
terjadi pula dalam riwayat Abu Dawud dari jalur Abdullah bin
Umar r.a. secara marfu’ “Tiga golongan yang tidak diterima
sholatnya” salah satunya adalah orang yang memperbudak
orang merdeka.
Al-Kahtthabi berkata, memperhamba seorang yang
merdeka
mengandung
dua
pengertian:
pertama,
dia
memerdekakan budak lalu menutupi (berita merdekanya itu)
36
Ibid., h. 488.
46
atau dia mengingkarinya. Kedua, dia mempekerjakannya
dengan paksaan setelah ia merdeka.
Ibnu Hajar berkata, hadits bab mengenai hal ini lebih
buruk karena di dalamnya beserta menutup status kemerdekaan
atau mengingkarinya adalah pekerjaan yang berkenaan dengan
hal itu menyerupai jual beli dan memakan harga. Maka dari sini
ancaman terhadapnya lebih dahsyat. Al-Muhallib berkata,
Sesungguhnya dosanya berat karena orang islam adalah sejajar
dalam kemerdekaannya. Maka barangsiapa menjual orang
merdeka sungguh dia mencegahnya untuk berubah (lebih baik)
dalam hal yang diperbolehkan oleh Allah Swt. serta dia
melanggengkan kehinaan kepadanya yang telah Allah hapuskan
darinya.37
Ibnu al-Jauzi berkata, “orang merdeka adalah hamba
Allah. Barang siapa berbuat kejahatan atasnya, maka Allah akan
menantangnya.” Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama tak
berbeda dalam hal orang yang menjual seorang merdeka bahwa
dia tidak dihukum potong (tangan), yaitu bila dia tidak
mencurinya dari gudangnya. Kecuali apa yang diriwayatkan
dari Ali bahwa tangan seseorang yang menjual orang merdeka
akan
dipotong.
Diriwayatkan
dari
Ali
yang
berkata:
“Barangsiapa yang menyatakan diri bahwa dia seorang budak
maka dia adalah
budak.”
Ibnu Hajar
berkata bahwa
kemungkinan posisi (dianggapnya sebagai budak) itu adalah
37
Ibid.
47
dalam
lingkungan
orang
yang
tak
mengetahui
status
merdekanya. Tetapi, ada riwayat dari Ibnu Ani Syaibah dari
jalur Qatadah, “Bahwa ada seseorang yang menjual dirinya,
maka Umar memutuskan bahwa dia seorang budak dan besar
harga dirinya adalah di jalan Allah.” Juga dari jalur Zuroroh bin
Abi Aufa seorang tabi’in bahwa dia menjual dirinya sendiri
karena terkena hutang. Ibnu Hazm menukil suatu riwayat
bahwa orang merdeka dijual karena hutang sehingga turun ayat:
‫وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة‬.38
Adapun maksud (
) adalah barang siapa menjual orang merdeka kemudian
mengonsumsi hasilnya, sedang sesungguhnya si buruh telah
menunaikan kewajibannya tanpa mendapat ganti rugi maka
seakan-akan dia memakan (harga)nya. Karena sesungguhnya
dia mempekerjakannya tanpa upah, maka seakan-akan dia telah
memperbudaknya. 39
E. Konsep Adil dalam Tinjauan Islam
Pada hakekatnya, keadilan atau adil adalah kata sifat yang
artinya sifat adil, tidak berat sebelah. Dalam kamus bahasa
Indonesia, adil dimaknai dengan tidak berat sebelah, tidak
38
39
Ibid.
Ibid.
48
sewenang-wenang, dan tidak memihak.40 Orang yang adil adalah
orang yang tidak bersikap berat sebelah terhadap orang lain. Di
pihak lain, keadilan atau adil adalah sebagai suatu konsep yang
mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam perlakuan (justice or
fair treatment). Dengan demikian, setiap orang mempunyai hak
untuk diperlakukan secara adil, suatu hak yang merupakan hak
asasi manusia.41
Menurut Nurcholish Majid, adil ialah ketetapan Allah bagi
kosmos (alam raya) ciptaan-Nya. Karena menurut ajaran Islam,
keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh jagat raya
ini. Oleh karena itu, melanggar keadilan sama dengan melanggar
hukum kosmos dan dosa ketidakadilan akan mempunyai dampak
kehancuran terhadap tatanan masyarakat.
Menurut John Rawls dalam teori deontologisnya, keadilan
substantif yang menjadi subyek struktur dasar masyarakat ialah
cara di mana institusi-institusi sosial utama mendistribusikan hakhak dan kewajiban fundamental, serta menentukan pembagian
nikmat-nikmat dan beban kerjasama sosial.42 Dalam teori ini
keadilan dipandang sebagai sebuah cara untuk mendistribusikan
hak-hak dan kewajiban dalam suatu urusan tertentu, serta
40
YS. Bichu, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Citra Harta Prima,
2013), h. 10.
41
Al. Andang dkk (Ed.), Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna
Kesejahteraan Bersama di Indonesia, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2004), h. 13.
42
Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005), h. 18-19.
49
dilakukan pembagian atas hasil yang telah dicapai dan beban
kerjasama. Dengan kata lain, teori ini menganggap bahwa keadilan
merupakan pemerataan terhadap semua aspek sosial dengan dasar
keseimbangan.
Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan menjadi dua bagian
yaitu adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang
berhubungan dengan kemasyarakatan: 43
1. Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang
mempunyai hak. Apabila seseorang mengambil haknya tanpa
melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa
menguranginya, itulah yang dinamakan tidak adil. Dengan kata
lain, adil perseorangan ini ialah keadilan yang hanya
melibatkan satu orang saja, tidak bersifat kelompok (umum).
2. Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya
tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau
orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika
hakim
menegakkan
neraca
keadilannya
dengan
lurus,
dikatakan ia merupakan hakim yang adil. Begitu juga
sebaliknya, jika ia berat sebelah, maka ia dipandang sebagai
hakim
yang
zalim.
Sama halnya dengan pemerintah,
pemerintah dipandang adil jika ia mengusahakan kemakmuran
rakyatnya secara merata, baik di kota-kota maupun di desadesa.
43
file:///C:/Users/pc/Downloads/keadilan.htm, diakses pada Kamis,
18 Juni 2015.
50
Di dalam merumuskan kata adil, terdapat pula faktor-faktor
yang menunjang keadilan itu sendiri, karena adil erat kaitannya
dengan sikap atau sifat manusia dalam memandang dan
memperlakukan sesuatu. Berikut adalah beberapa faktor yang
menunjang keadilan, di antaranya: 44
1. Adil di dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah
dalam tindakan karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka
ataupun karena kecintaan kepada seseorang.
2. Memperluas pandangan dan melihat persoalannya secara
obyektif. Untuk dapat berlaku adil, maka segala hal yang
berkaitan dengan sesuatu yang sedang dihadapi harus dikaji
secara obyektif.
Di dalam Al-Qur‟an terdapat beberapa term adil yang sering
digunakan dalam menjelaskan suatu perkara. Di antara term-term
tersebut ialah al-‘adl (sama), al-qist} (bagian), dan al-mi>za>n
(timbangan). Oleh karena itu, adil dapat dimaknai dengan beberapa
makna sebagaimana berikut:45
1. Adil berarti sama. Sama dalam arti tidak membedakan
seseorang dengan yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam
konteks ini adalah persamaan hak. Allah Swt. berfirman
dalam QS. An-Nisa>' (4) ayat 58:
      
44
Ibid.
file:///C:/Users/pc/Downloads/keadilan-dalam-islam.html, diakses
pada Kamis, 18 Juni 2015.
45
51
Artinya:
“Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia,
maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil.”
(QS. An-Nisa>' (4): 58)
2. Adil berarti seimbang. Seimbang dalam hal ini berarti tidak
berat sebelah, dalam artian bahwa keadilan merupakan
keseimbangan sebagaimana keseimbangan yang telah Allah
berikan kepada manusia dalam segi penyusunannya. Dengan
keseimbangan, manusia dapat berjalan dengan tegak, dapat
melakukan berbagai aktifitas kesehariannya, terlebih dapat
menjalankan aktifitasnya dalam beribadah kepada Allah Swt.
Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Infit}ar (82) ayat 6-7:
        
  
Artinya:
“Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu
(berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha
Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan
kejadianmu, dan mengadilkan kamu (menjadikan susunan
tubuhmu seimbang).” (QS. Al-Infit}ar (82): 6-7)
Seandainya ada salah satu anggota tubuh kita berlebih
atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, pasti
tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Oleh karena itu,
keadilan perlu ditegakkan dengan dasar keseimbangan.
Dengan berdasar pada keseimbangan, segala hal yang
problematik dapat diatasi dengan baik.
52
3. Adil berarti perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu pada setiap pemiliknya. Adil dalam
hal ini bisa didefinisikan sebagai wad}’u as-syai’ fi> mah}allihi
(menempatkan sesuatu pada tempatnya). Lawannya adalah
zalim, yaitu wad}’u as-syai’ fi> gairi mah}allihi (menempatkan
sesuatu tidak pada tempatnya).
Dengan demikian, adil yang dikehendaki oleh Islam dalam
menjelaskan permasalahan relasi buruh-majikan di dalam skripsi
ini ialah menyamakan, menyeimbangkan, dan memperhatikan hakhak buruh dalam bekerja serta memberikan hak-hak itu pada
pemiliknya. Sehingga dari sini dapat diketahui batasan adil yang
dimaksud, baik adil dalam hubungannya sebagai bentuk sifat,
maupun adil sebagai suatu konsep.
BAB III
RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM SEKULERKAPITALISME
A. Pengertian Buruh dan Majikan
Secara etimologi, buruh adalah pekerja, sedangkan
majikan adalah bos atau pengusaha. Buruh ini tidak sama dengan
pekerja dan karyawan. Meskipun secara umum keduanya
memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu sama-sama sebagai
pekerja. Namun di sisi lain terdapat perbedaan. Di antara
perbedaannya ialah sebagai berikut:46
1. Pekerja adalah setiap orang yang melakukan pekerjaan, baik
dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja.
Misalnya: dokter yang membuka praktek partikelir, advokat,
penjual kopi di pinggir jalan, petani yang menggarap
sawahnya sendiri. Buruh bebas ini dinamakan swa pekerja,
yaitu orang yang bekerja dengan tanpa terikat oleh waktu
kerja.
2. Karyawan adalah setiap orang yang melakukan karya
(pekerjaan). Misalnya: karyawan buruh, karyawan pengusaha,
karyawan angkatan bersenjata, dan lain-lain. Oleh sebagian
besar orang, karyawan dipahami sebagai seorang yang bekerja
di suatu perkantoran ataupun instansi-instansi lain yang dalam
46
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 26-27.
53
54
pelaksanaan kerjanya cenderung mempergunakan akal (white
collar worker).
Selain itu, perbedaan yang mendasar dari karyawan dan
buruh ialah; karyawan sepenuhnya adalah pembantu dari pemilik
modal untuk mengatur pola kerja perusahaan secara menyeluruh,
dan buruh adalah bagian dari “bahan mentah” yang akan
mendatangkan keuntungan berkat keahliannya untuk mengerjakan
tugas yang secara khusus diperuntukkan bagi dia.
Upah
karyawan
ditentukan
oleh
besar
kecilnya
tanggungjawab yang harus dipikul, yakni ditentukan dalam
jenjang organisasi. Sedangkan kaum buruh tidak memiliki karir
organisasional, melainkan jenjangnya bergerak dari buruh kasar
menjadi mandor dan seterusnya, sehingga upah ditentukan dari
tingkat keahlian teknis yang dia miliki.47
Melihat kedua istilah di atas, maka dapat didefinisikan
bahwa secara terminologi pengertian buruh dan majikan terbagi ke
dalam beberapa pengertian di bawah ini:
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), buruh
adalah seseorang yang bekerja dengan mendapatkan upah.48
Sedangkan majikan adalah seseorang yang memberi pekerjaan
dan upah.49
47
Emmanuel Subangun, Kapitalisme Gotong Royong, (Yogyakarta:
CRI Alocita, 1995), h. 164-165.
48
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 240.
49
Ibid., h. 960.
55
2. Menurut
undang-undang
penyelesaian
perselisihan
perburuhan, buruh adalah seseorang yang bekerja di bawah
pimpinan orang lain dengan mendapatkan upah. Sedangkan
majikan
adalah
seseorang
atau
badan
hukum
yang
mempekerjakan buruh dengan memberinya upah.50
3. Adapun menurut hukum perundang-undangan, buruh adalah
setiap laki-laki atau perempuan yang mengerjakan suatu
pekerjaan di bawah kekuasaan majikan dengan tujuan
memperoleh upah yang diberikan oleh majikan kepadanya
sebab pekerjaan yang telah ia lakukan. 51 Sedangkan majikan
adalah orang yang menemui pekerjaan yang pekerjaan itu
kemudian dikerjakan oleh buruh dengan memberinya imbalan
berupa upah.52
Buruh dalam konteks hadits biasa disebut dengan istilah
aji>r, sebuah istilah yang populer digunakan untuk menyebut
seorang pekerja fisik (white collar worker) di zaman Nabi. Dari
sini perlu penulis jelaskan bahwa aji>r yang menjadi fokus kajian
dalam skripsi ini adalah meliputi dua kelompok berikut:53
1. Aji>r khusus
Pengertian aji>r khusus ini ialah seseorang yang
bekerja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti pembantu
50
C.S.T Kansil, Op.Cit., h. 317.
Ahmad Said Abdul Khaliq dan Unwar al-Amrusy, Syarh Qanu>n
al-Amal, Maktabah al-Ja>mia>t, h. 20.
52
Ibid., h. 23.
53
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia,
2001), h. 134.
51
56
rumah tangga. Jika ada barang yang rusak ia tidak
bertanggung-jawab menggantikannya.
2. Aji>r musytari>k
Jenis aji>r musytari>k ini seperti halnya para pekerja di
pabrik. Adapun mengenai tanggung-jawab kerusakan, para
Ulama’ masih berselisih pendapat. Ada yang mengatakan ia
wajib bertanggungjawab atas kerusakan barang, terdapat pula
yang tidak mewajibkan.
Namun terlepas dari tanggung-jawabnya dalam sebuah
pekerjaan, kedua jenis buruh itu (aji>r khusus dan aji>r musytari>k)
adalah sama-sama bekerja kepada seorang majikan dan atau
lembaga (perusahaan) di mana tentu keduanya memiliki akses
hubungan kepada para majikannya.
Hubungan antara buruh dan majikan ini yang terkadang
menimbulkan polemik, sehingga dalam hubungan kerja yang
tercipta antara keduanya tidak dapat berjalan harmonis. Terkait
hubungan buruh dengan majikan, berikut penulis jelaskan
mengenai perbedaan buruh dalam dua segi, bahwa buruh menurut
pembagian kerjanya terbagi ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Buruh merdeka, yaitu seseorang yang bekerja dengan bayaran
khusus. Mereka ini seperti buruh pengelola industri kerajinan
yang memiliki tempat khusus, juga pemilik bisnis atau profesi
yang memiliki kantor sendiri.
2. Buruh sekunder, yaitu seseorang yang bekerja untuk
memperoleh upah tertentu, seperti para buruh pertanian,
57
perindustrian, perdagangan, layanan jasa publik, buruh rumah
tangga serta berbagai layanan lainnya, baik pekerjaan itu
untuk pribadi tertentu maupun untuk negara.
Buruh adalah komponen yang tidak bisa terlepas dari
kegiatan kerja, sehingga buruh dalam konsepsi orang Barat
disebut sebagai Blue Collar Worker, artinya buruh adalah seorang
pekerja
yang
bekerja
pada
pekerjaan-pekerjaan
yang
menggunakan fisik sebagai landasan pekerjaannya.
Buruh memiliki peran penting dalam membangun sektor
kerja, baik sektor formal (seperti pada perusahaan-perusahaan dan
lain-lain) atau pada sektor informal (seperti buruh pertanian,
buruh panggul, buruh industri kecil lainnya yang belum tercatat
memiliki badan usaha resmi dari pemerintah). Oleh sebab itu,
peran buruh ditinjau dari jenis pekerjaannya terbagi menjadi lima
bentuk, yaitu sebagai berikut:54
1.
Buruh harian, ialah buruh yang menerima upah berdasarkan
hari masuk kerja.
2.
Buruh kasar, ialah buruh yang tidak mempunyai keahlian
(keterampilan) di bidang tertentu.
3.
Buruh tani, ialah buruh yang menerima upah dengan bekerja
di kebun atau di sawah orang lain.
4.
Buruh terampil, ialah buruh yang mempunyai keahlian
(keterampilan) di bidang tertentu.
54
C.S.T Kansil, Op.Cit., h. 24.
58
5.
Buruh terlatih, ialah buruh yang sudah dilatih untuk keahlian
(keterampilan) tertentu.
Dari kelima pembagian di atas, dapat dipahami bahwa
tidak semua buruh adalah bekerja dengan tanpa keterampilan,
terlebih dari itu terdapat pula buruh yang dalam pelaksanaan
kerjanya memiliki keterampilan khusus yang diperolehnya baik
dari pelatihan maupun belajar dari pengalaman, sehingga hal ini
dapat membantu membangun kinerja buruh menjadi lebih baik
lagi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa buruh dan majikan
merupakan dua komponen yang tidak terpisahkan serta saling
membutuhkan. Seorang buruh membutuhkan majikan karena
dalam hubungan kerja majikan adalah sebagai pemberi kerja
(pengupah), begitu juga majikan membutuhkan seorang buruh
karena buruh adalah sebagai pihak pemberi jasa. Oleh karena itu,
dari hubungan kerja inilah kemudian menciptakan istilah buruh
dan majikan, di mana buruh berposisi sebagai bawahan majikan
(sebagai pelaksana kerja) dan majikan berposisi sebagai atasan
(sebagai pemberi kerja).
Buruh
dikatakan
sebagai
golongan
bawah
karena
posisinya terletak di bawah kuasa majikan, sedangkan majikan
sebagai golongan atas karena posisinya sebagai pihak penentu
kegiatan kerja buruh, sekaligus sebagai atasannya.
Di samping itu, ada sebagian pihak yang menyebut bahwa
buruh adalah sebagai golongan kiri. Buruh disebut sebagai
59
golongan kiri karena dalam prakteknya mereka sebagai pelaksana
kerja dari majikan, dan hal seperti ini pada umumnya diibaratkan
sebagai golongan kiri (golongan lemah). Adapun majikan disebut
sebagai golongan kanan, karena seorang majikan memiliki peran
dan fungsi sebagai atasan bagi buruhnya, ia berhak dan memiliki
wewenang serta ketentuan-ketentuan khusus dalam mengatur
kerja buruhnya.
B. Historisitas Perburuhan
Buruh adalah bagian integral yang tidak bisa terlepaskan
dari sejarah panjang dalam membangun peradaban dunia. Terbukti
sampai hari ini setiap pekerjaan masih membutuhkan tenaga
seorang buruh. Bahkan apabila buruh melakukan mogok kerja
dalam beberapa kurun waktu tertentu misalnya, maka hal ini akan
berdampak luas pada tingkat penurunan produktivitas suatu
perusahaan atau usaha milik majikan.
Keberadaan buruh dan majikan merupakan sebuah sebab
adanya suatu relasi. Namun terkadang keberadaan kaum buruh
justru sering termarjinalkan serta tidak mendapatkan perhatian
dari pemerintah ataupun instansi yang mempekerjakannya. Hal ini
dikarenakan selama ini mereka dianggap sebagai pekerja bawahan
yang tidak selayaknya mendapatkan itu semua. Oleh sebab itu,
perlu kiranya mengetahui sejarah dan periodisasi perburuhan yang
selama ini telah banyak membantu kegiatan-kegiatan produksi
ataupun yang lainnya.
60
Sejarah perburuhan pada bagian ini akan penulis jelaskan
berdasarkan dua konteks, yaitu konteks internasional berkaitan
dengan sejarah kali pertama munculnya istilah buruh dan majikan,
dan konteks nasional yaitu perkembangan buruh yang ada di
Indonesia. Walau bagaimanapun juga kedua konteks tersebut
masih memiliki keterkaitan dan perlu untuk dimengerti serta
dipahami sebagai landasan teori dalam penyusunan skripsi ini.
Buruh dibagi atas dua klasifikasi besar, yaitu: 1) buruh
profesional yang menggunakan otak dalam bekerja (white collar
worker), dan 2) buruh kasar yang menggunakan tenaga otot dalam
bekerja (blue collar worker).55 Dalam skripsi ini, buruh yang
dimaksud adalah jenis buruh yang ke dua yaitu blue collar
worker, bahwa buruh yang kedua ini dalam prakteknya sering kali
terpinggirkan dan cenderung kurang mendapatkan keadilan,
sehingga dalam sejarah disebut bahwa munculnya gagasan may
day (sebagai hari buruh internasional) dilatarbelakangi oleh sebab
tidak adanya penerapan keadilan bagi mereka, sehingga
memunculkan inisiatif may day sebagai bentuk perjuangannya
dalam mempertahankan hak hidup, termasuk di dalamnya adalah
hak untuk memperoleh upah yang sesuai dengan kebutuhan
hidupnya, jaminan kesehatan yang memadai, tunjangan untuk
keluarganya dan jaminan hari tua.
55
http://qoidul.blogspot.com/2013/05/makalah-revolusiindustri.html, diakses pada Jum’at, 12 Desember 2014.
61
Berbicara pada konteks internasional, kelas buruh dan
majikan lahir sebagai dampak sosial dari adanya revolusi industri,
lebih tepatnya setelah adanya revolusi industri pada tahun 1870.
Karena pada saat itu kondisi sosial mulai ikut mengalami
perubahan, disebabkan perubahan kelas ekonomi dengan ditandai
oleh munculnya aktivitas-aktivitas produksi yang melibatkan
pekerja dengan majikan.
Istilah revolusi industri itu sendiri diperkenalkan pertama
kali oleh Friedrich Engels dan Louis Auguste Blanqui pada
pertengahan abad ke-19. Tidak diketahui penanggalan secara pasti
tentang kapan dimulainya revolusi industri, tetapi T.S. Ashton
mencatat bahwa permulaan revolusi industri terjadi sekitar antara
tahun 1760-1830. Revolusi ini kemudian berkembang dan
mengalami puncaknya pada pertengahan abad ke-19, sekitar tahun
1850 ketika kemajuan teknologi dan ekonomi mendapatkan
momentum dengan berkembangnya mesin tenaga uap, rel,
kemudian pada akhir abad tersebut berkembang pula mesin
kombusi serta mesin pembangkit tenaga listrik.56 Pada masa inilah
mulai terjadi perubahan sektor masyarakat yang semula agraris
dengan pola hidup alamiah bergeser ke pola hidup masyarakat
industrialis yang merupakan hasil rekayasa teknologi dan ilmu
pengetahuan, di mana peran manusia yang dominan sebelumnya
diambil alih oleh tenaga-tenaga mesin. Hal ini menandai
bergesernya ciri masyarakat agraris yang padat karya (labour
56
Ibid.
62
intensive) ke masyarakat industri yang padat modal (capital
intensive).57
Revolusi industri ini berkembang pertama kali di Inggris.
Kehidupan sosial-ekonomi Eropa pada masa sebelum munculnya
revolusi industri ditandai dengan berkembangnya tata kehidupan
agraris yang bercorak feodal. Kondisi ini mulai berubah ketika
meletus perang salib (1096-1291) yang memberi ruang hubungan
antara negara-negara Eropa dengan dunia Timur. Kebutuhan yang
sama akan barang-barang keperluan hidup antara kedua wilayah
ini mendorong terbentuknya hubungan perdagangan. Hal tersebut
juga mendorong terbentuknya kota-kota dagang Eropa seperti
Florence, Venesia, Genoa, dan lain-lain.
Munculnya kota-kota dagang itu kemudian diikuti dengan
munculnya usaha-usaha industri berskala kecil yang disebut
industri rumah tangga (home industry). Hingga tahun 1200,
industri rumah tangga semakin berkembang dengan terbentuknya
gilda.58 Dari sini juga memunculkan istilah buruh dan majikan,
karena terdapat pihak yang mempekerjakan (sebagai majikan) dan
pihak
yang
dipekerjakan
produktivitasnya masih
(sebagai
kecil,
yaitu
buruh),
hanya
tetapi
skala
terbatas pada
pemenuhan kebutuhan hidup yang pada saat itu dibutuhkan oleh
kedua belah pihak.
57
Danggur Konradus, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, (Litbang
Danggur dan Partners, 2006), h. 15.
58
Gilda adalah persekutuan industri rumah tangga sejenis hak yang
mendapat monopoli dan perlindungan pemerintah.
63
Pada tahun 1350, di Eropa mulai terbentuk perserikatan
kota-kota dagang yang disebut Hansa. Hansa dimaksudkan untuk
melindungi
usaha
perdagangan
secara
mandiri.
Dengan
perkembangan ini, Eropa mulai memasuki tahap masyarakat
industri yang digerakkan oleh sektor perdagangan. Sejak
dibentuknya Hansa tersebut, maka aktivitas produksi mulai
berkembang luas dan menunjukkan progres. Adapun pada abad
ke-14, Inggris di bawah perlindungan Raja Edward III mulai
membangun industri-industri laken (sejenis kain wol). Dari
munculnya industri-industri tersebut, maka istilah buruh dan
majikan mulai dikenal secara luas sebagai bentuk hubungan antara
seorang pekerja dengan tuannya (majikan).
Sedangkan pada konteks nasional sebagai bentuk lanjutan
dari sejarah awal buruh, sejarah organisasi perburuhan terbagi ke
dalam
lima
kemerdekaan
periode
Indonesia,
perkembangan,
masa
yaitu
revolusi,
periode
masa
pra-
demokrasi
terpimpin, masa awal orde baru dan masa di mana buruh mulai
melepaskan diri dari kepentingan politik. Dalam konteks nasional
ini, buruh sudah ada dalam bentuk organisasi dan dominan
terpengaruh oleh kegiatan-kegiatan politik yang berkembang pada
setiap masanya.
Episode pertama dalam sejarah perkembangan organisasi
buruh berlangsung pada masa penjajahan Belanda. Pembentukan
serikat buruh pada masa ini cenderung lebih berlatar belakang
politik karena ia tumbuh dan berkembang sebagai bagian yang
64
tidak terpisahkan dari politik dalam upaya merebut kemerdekaan.
Seiring dengan lahirnya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, berdiri
pula serikat buruh di bawah pimpinan Sneevliet dan Semaoen,
yaitu Vereniging van Spoor, en Tramweg Personel (VSTP) atau
Persatuan Pekerja Kereta Api dan Term. 59 Setelah itu mulai
banyak bermunculan gerakan-gerakan buruh dari berbagai
kalangan, baik dari guru (dianggap sebagai buruh), HindiaBelanda, kalangan Bumi Putra dan lain sebagainya.
Berbeda dengan gerakan buruh di Eropa maupun Amerika
Utara, yang menitikberatkan pada perjuangan perbaikan sosialekonomi, gerakan buruh Indonesia pada masa penjajahan ini lebih
memprioritaskan isu politik untuk mencapai kemerdekaan politik.
Dengan keadaan demikian, maka terjadilah polarisasi aliran
politik dalam setiap tubuh serikat buruh.
Selanjutnya pada episode kedua, dibentuk Barisan Buruh
Indonesia (BBI) pada 19 September 1945. Pembentukan ini
bertujuan untuk ikut serta mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia, selanjutnya untuk kepentingan pertahanan
dibentuk Laskar Buruh Indonesia. Seperti halnya kondisi buruh
pada masa penjajahan Belanda, tujuan berdirinya organisasi buruh
pada masa ini terbagi menjadi dua, yaitu untuk meningkatkan
59
Sukarno, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan
Hubungan Perburuhan Pancasila, (Bandung: Alumni, 1979), h. 1.
65
kesejahteraan anggotanya dan untuk memperkuat barisan politik
Indonesia.60
Adapun periode ketiga yakni masa demokrasi terpimpin
ditandai dengan adanya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959
(dinyatakan untuk kembali kepada Undang-undang 1945). Dalam
hal ini pemerintah melontarkan perlu adanya persatuan organisasiorganisasi buruh dengan mendirikan Organisasi Persatuan Pekerja
Indonesia (OPPI). Namun, karena pengaruh dari SOBSI
(organisasi buruh yang berkiblat pada komunis) yang menyatakan
sebagai oposisi terhadap rencana tersebut masih sangat besar,
upaya mempersatukan organisasi-organisasi buruh menjadi
mentah kembali, karena pada masa ini dunia perburuhan sebagian
besar didominasi oleh SOBSI dengan doktrin perburuhan
komunisnya. Akibat adanya doktrin tersebut akhirnya menjelang
G30S PKI hampir tidak ada lagi perusahaan swasta yang besar
dan perusahaan milik negara (BUMN) yang dapat bertahan.
Pada masa awal orde baru terdapat peristiwa penting di
dalam pergerakan perburuhan di Indonesia, yaitu dibentuknya
Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI) tahun 1966 dan Majelis
Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) pada tanggal 1
November 1969. Dalam perkembangannya, lahir pula Federasi
Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) dan Serikat Pekerja Seluruh
60
Djumadi, Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 22.
66
Indonesia (SPSI).61 Pada masa ini, baik organisasi buruh maupun
pihak pengusaha sama-sama dalam keadaan lumpuh dan lemah.
Akibat pertentangan yang terjadi tersebut, pemerintah akhirnya
menerapkan suatu pola hubungan antara buruh dengan majikan
yang berfalsafahkan pada Pancasila, atau sering disebut Hubungan
Perburuhan Pancasila (HPP).
Sebagai bagian lanjutan dari perkembangan perburuhan di
Indonesia, pada periode terakhir ini buruh mulai melepaskan diri
dari kepentingan politik. Berbeda dengan periode-periode
sebelumnya yang sebagian besar berkaitan dengan kepentingan
politik. Pada masa ini, keberadaan organisasi buruh memiliki
beberapa kelemahan, diantaranya: Secara politis dan keuangan
mereka belum bebas karena masih terikat oleh kepentingan politik
meskipun sudah mulai melepaskan diri dari kepentingan politik,
perjuangan gerakan buruh Indonesia lebih bersifat gerakan politik
daripada gerakan buruh, dan adanya faktor internal dan eksternal
sehingga organisasi buruh sulit dipersatukan.62
Dengan
demikian,
keberadaan
organisasi
buruh
memerlukan adanya perubahan dan pembaruan yang mendasar,
baik di bidang politik maupun keuangan. MPBI (Majelis
Permusyawaratan Buruh Indonesia) kemudian menyelenggarakan
seminar di Tugu pada tanggal 21-28 Oktober 1971. Pada seminar
itu berhasil ditegaskan identitas gerakan organisasi-organisasi
61
M.S. Hidayat, Episode Kelima Gerakan Buruh, Surat Kabar
Harian Republika, tanggal 4 Oktober 1994, h. 4.
62
Djumadi, Op.Cit., h. 31-32.
67
buruh di Indonesia, salah satu penegasannya ialah gerakan buruh
harus lepas dari kekuatan politik manapun. Sehingga pada
akhirnya, keberadaan organisasi buruh mampu terlepas dari
belenggu politik.
C. Relasi Buruh dan Majikan
Dalam suatu relasi kerja, pembagian kerja berdasarkan
instansi/kelompok kerjanya terbagi menjadi dua bentuk, yaitu
bentuk sektor formal dan bentuk sektor informal.
1. Sektor Formal
Secara terminologi, sektor formal adalah suatu sektor
kerja yang bersifat formal, yaitu pelaku perekonomian
nasional yang resmi (berbadan hukum), memiliki izin usaha
dari pemerintah,
dan wajib membayar pajak kepada
pemerintah.63
Dalam ilmu hukum, relasi buruh-majikan diartikan
sebagai suatu hubungan antar kedua belah pihak dalam
membentuk
suatu
persekutuan
kerja
demi
mencapai
kesepakatan kerja yang jelas berdasarkan kebijaksanaan
keduanya. Adapun relasi kerja menurut KUHP buku III bab
7A, ialah hubungan orang yang bekerja pada pihak lain yang
menerima upah dari pihak lain tersebut. 64
63
Lilyistigfaiyah.blogspot.com/2014/09/pengertian-sektor-usahaformal.html, diakses pada Jum’at, 03 Maret 2015.
64
Anne Friday Safaria dkk, Hubungan Perburuhan di Sektor
Informal, terj. Sonya Sondakh, (Bandung: Yayasan Akatiga, 2003), h. 10.
68
Pada sektor kerja formal, permasalahan perburuhan
sangat
ditekankan
pemerhatiannya
baik
oleh
hukum
perundang-undangan maupun oleh instansi terkait. Oleh sebab
itu, terdapat dua kategori pandangan perihal relasi buruhmajikan ditinjau dari dua segi, yaitu:
a. Secara yuridis, buruh memiliki kebebasan, dalam arti
bahwa ia tidak diperlakukan sebagaimana budak atau
diperhamba
oleh
majikannya.
Ia
bekerja
dengan
kesepakatan yang jelas.
b. Secara sosiologis, buruh tidak bebas, sebab ia sebagai
orang yang tidak mempunyai bekal hidup selain daripada
tenaganya, ia bekerja kepada orang lain dengan berbagai
syarat kerja yang diajukan oleh majikannya.
Berdasarkan kedua pandangan tersebut jelas bahwa
dalam pelaksanaan tugasnya sebagai seorang yang bekerja
kepada pihak lain yaitu majikan, buruh memiliki dua aspek
tinjauan: pertama, tinjauan secara yuridis yang lebih
mengarah kepada kebebasan dalam arti tidak sebagai budak
dan kedua, tinjauan secara sosiologis bahwa ia bergantung
kepada majikannya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Setiap hubungan kerjasama, baik secara perseorangan
maupun
organisasi
dibutuhkan
komitmen
yang
jelas.
Komitmen ini dibangun atas dasar tujuan supaya dalam
pelaksanaan kerja, buruh maupun majikan tidak mengalami
69
kerugian dan penyesalan. Di samping itu, sebagai bentuk
kesepakatan kerja/kontrak kerja.
Perlu diketahui aspek-aspek penting yang melingkupi
kegiatan kerjasama tersebut, agar dalam prakteknya mampu
terjalin sebuah hubungan yang harmonis dan kondusif antara
buruh dengan majikan. Aspek-aspek dalam sektor formal yang
harus ada menyangkut hubungan antara buruh dan majikan
berdasarkan tinjauan hukum perburuhan, yaitu meliputi:
a. Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja merupakan kesepakatan kerja yang
dibuat oleh kedua belah pihak secara bersama, berkenaan
dengan kontrak kerja yang akan dilaksanakan. Menurut
Undang-undang Arab, bahwa yang dimaksud dengan
perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang salah satu
dari kedua belah pihak membuat janji untuk melaksanakan
pekerjaan yang telah disediakan oleh pemberi kerja dengan
tujuan memperoleh upah. 65 Perjanjian kerja ini dibentuk
supaya kedua belah pihak yang bekerja sama mendapatkan
hak dan kewajibannya masing-masing.
Perjanjian kerja terbagi ke dalam dua macam, yaitu
perjanjian kerja lisan dan perjanjian kerja tertulis.
Perjanjian kerja secara lisan biasanya dilakukan oleh buruh
dan majikan dalam sektor kerja informal. Sedangkan
Yusuf Abdul Aziz Muhammad Abdul Majid, Syarh} Nus}u>s} Niz}a>m
al-Amali wa al-Umma>l Fi> Mamlakah al-Ara>biyah as-Su’u>diyah, (Jedah: adDa>r as-Su’u>diyah, 1987), h.53.
65
70
perjanjian kerja tertulis, dilakukan oleh instansi formal,
yaitu suatu perjanjian yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak sebagai bentuk kesepakatan yang di dalamnya
memuat tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak. 66
Dari segi keakurasiannya, perjanjian tertulis dinilai
lebih akurat jika dibandingkan perjanjian lisan, karena
perjanjian tertulis mempunyai kekuatan hukum (vide pasal
1338 ayat (1) KUHP, bahwa perjanjian yang sah dapat
berlaku sebagai Undang-undang bagi masing-masing pihak
yang terlibat).67 Di samping itu, dengan melakukan
perjanjian tertulis maka apabila suatu saat terdapat
masalah, baik masalah yang ditimbulkan oleh pihak buruh
ataupun
majikan,
perjanjian
tertulis
tersebut
dapat
digunakan sebagai bukti otentik. Oleh sebab itu, sektor
kerja formal dalam hal ini lebih dominan menggunakan
jenis perjanjian kerja tertulis daripada perjanjian secara
lisan.
Perjanjian kerja yang harus diadakan secara tertulis,
misalnya seperti macam dan jenis pekerjaan, lamanya
perjanjian itu berlaku, besaran upah, jenis upah, lamanya
waktu istirahat (cuti), besaran upah selama masa cuti,
besarnya bagian dari keuntungan (tantiem) dan cara
66
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT.
Ikrar Mandiri Abadi, 1992), h. 53.
67
G. Kartasapoetra, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan
Pancasila, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 73.
71
menghitung keuntungan serta pemberian pensiun untuk
hari tua. Kesemuanya itu dibuat dan dibentuk oleh kedua
belah pihak agar dalam pelaksanaan kerja yang dilakukan
oleh buruh maupun pengawasan kerja oleh majikan dapat
berjalan efektif.
Dalam
sebuah
perjanjian
kerja,
ija>rah
adalah
memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak. Apabila
transaksi tersebut berhubungan dengan seorang buruh,
maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya. Sehingga
untuk bisa mengontrak seorang buruh, harus ditentukan
kerjanya, waktu, upah serta tenaganya.68 Penjelasan
tersebut dimaksudkan agar transaksi antara kedua belah
pihak menjadi jelas, termasuk yang harus dijelaskan adalah
mengenai tenaga yang harus dicurahkan oleh buruh,
sehingga para buruh tidak merasa terbebani dengan
pekerjaan yang berada di luar kapasitasnya. Allah Swt.
Berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 286:
     
Artinya:
“Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan
sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah (2):
286)
68
Sebagaimana dalam akad ijarah dianggap syah apabila terdapat
ijab dan qabul, baik dengan lafal ijarah atau lafal yang menunjukkan makna
tersebut.
72
Sedang dalam hadits, Rasulullah bersabda yang
artinya: “Apabila aku telah memerintahkan kepada kalian
suatu perintah, maka tunaikanlah perintah itu semampu
kalian”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah).
Demikian jelas betapa pentingnya sebuah perjanjian
kerja dan peraturan-peraturan yang memuat hak serta
kewajiban kedua belah pihak. Apalagi pada sektor formal
yang notabene dalam
kenyataannya mempekerjakan
banyak buruh, tidak hanya satu ataupun dua buruh.
Perjanjian
kerja
ini
akan
menyebabkan
terikatnya
hubungan, baik majikan maupun buruh untuk melakukan
kewajiban-kewajibannya di samping menerima hak-haknya
(pasal 1601-a KUHP). Dengan adanya sebuah relasi kerja
yang di dalamnya terdapat kontrak atau perjanjian yang
jelas, maka buruh dan majikan tidak bisa melakukan halhal yang sekiranya dapat memicu pelanggaran-pelanggaran
norma dalam bekerja, serta sebagai batasan bagi keduanya
dalam melaksanakan kegiatan bekerja.
b. Waktu kerja dan Istirahat
Secara praktis, waktu kerja dan istirahat merupakan
sesuatu hal yang penting untuk dipahami oleh pihak yang
sedang
melakukan
persekutuan
kerja
(oleh
buruh,
utamanya majikan). Sebab jika salah satu dari mereka tidak
paham dan tidak menerapkan aturan ini, maka akan
73
membawa dampak buruk pada beberapa hal, termasuk di
antaranya pada kesehatan buruh dan juga instansi
perusahaan di mana seorang buruh bekerja.
Waktu kerja adalah waktu yang diberikan oleh majikan
kepada
buruh
untuk
melaksanakan
pekerjaannya.
Sedangkan waktu istirahat adalah waktu yang diberikan
majikan kepada seorang buruh untuk beristirahat atau
berhenti dalam bekerja. Antara waktu bekerja dan waktu
istirahat ini harus sesuai dan seimbang, supaya dalam
pelaksanaan kerjanya, baik buruh maupun majikan bisa
mendapati kepuasan secara tersendiri, sekaligus sebagai
bentuk toleransi seorang majikan kepada buruhnya. Walau
bagaimanapun juga seorang buruh adalah manusia yang
membutuhkan waktu untuk beristirahat.
Berkenaan
dengan
waktu
kerja
dan
istirahat,
pemerintah telah mengaturnya di dalam Undang-undang
No. 12 Tahun 1948 pasal 10, sebagai berikut:
1. Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7
jam sehari dan 40 jam dalam seminggu. Dalam giliran
(shift), pekerjaan itu dijalankan pada malam hari atau
pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau
keselamatan buruh, maka waktu kerjanya tidak boleh
lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
2. Setelah buruh menjalankan pekerjaannya selama 4
jam berturut-turut (terus-menerus), maka buruh harus
74
diberikan waktu istirahat minimal setengah jam,
waktu istirahat ini tidak termasuk jam kerja yang telah
ditentukan di atas. Setiap minggu harus diadakan
minimal satu hari istirahat.
3. Apabila dalam kenyataannya suatu perusahaan yang
vital bagi pembangunan negara memerlukan kerja
yang menyimpang dari ketentuan lamanya waktu
kerja,
pihak
pengusaha
atau
majikan
harus
mengajukan permohonan kepada Kepala Jawatan
Pengawasan Perburuhan (Sub Dit Pembinaan dan
Pengawasan
perundang-undangan/Departemen
Tenaga Kerja setempat).
Dalam konteks buruh yang hendak melaksanakan
ibadah agamanya, kepada buruh yang bersangkutan diberi
kesempatan yang sepatutnya untuk menjalankan ibadah
agamanya itu (pasal 15 UU No. 12 Tahun 1948). Demikian
pula dengan istirahat tahunan bagi buruh, Undang-undang
No. 12 Tahun 1948 pasal 14 telah menentukan bahwa
kepada buruh yang telah bekerja pada suatu perusahaan
minimal satu tahun, kepadanya harus diberikan izin untuk
beristirahat dengan memperoleh upah penuh minimal 2
minggu. Bagi buruh yang telah bekerja pada perusahaan
selama 6 tahun berturut-turut, berhak atas istirahat yang
lebih lama dari ketentuan di atas sesuai dengan
kebijaksanaan pihak pengusaha atau majikannya.
75
Istirahat tahunan ini dianggap sebagai hari kerja, jadi
selama
menjalankan
istirahat
tahunan
buruh
yang
bersangkutan tetap berhak atas upahnya yang utuh, dalam
hal ini apabila upahnya tidak tentu maka sebagai upah
harian diambil rata-rata upahnya dalam enam bulan yang
mendahului atau yang telah berlaku, terhitung saat
dimulainya istirahat tahunan tersebut, dan bagi buruh
harian upah ini harus dibayarkan sebelum istirahat tahunan
itu dimulai.69
Sebagai bentuk pengecualian, buruh memiliki tiga hari
untuk keluarganya dan satu hari untuk bekerja dengan
sempurna berdasar pada dua keadaan, yaitu; 1) karena
melahirkan anak dan 2) karena suami atau salah satu
keluarganya meninggal dunia. Dalam situasi seperti ini
seorang majikan diperkenankan untuk mencari buruh lain
yang bisa mengganti atau menguatkan pekerjaan yang
telah ditinggalkan oleh buruh yang awal tadi.70
c. Upah Kerja
Di Indonesia, kata upah biasa digunakan dalam
konteks hubungan antara majikan dengan para buruhnya.
Upah dengan kerja adalah satu kesatuan yang tidak bisa
terpisahkan, karena keduanya merupakan hukum alam
yang selama ini berjalan di muka bumi. Apabila seseorang
69
70
G. Kartasapoetra, Op.Cit., h. 124-126.
Yusuf Abdul Aziz Muhammad Abdul Majid, Op.Cit., h. 175.
76
mau bekerja dengan sungguh-sungguh, maka secara
hukum kausalitas ia akan mendapatkan upah. Begitu juga
sebaliknya, apabila seseorang dalam pelaksanaan kerjanya
tidak bekerja dengan sungguh-sungguh atau bahkan tidak
memiliki pekerjaan, maka secara kausalitas pula ia tidak
akan memperoleh upah. Karena pada dasarnya, upah
diperoleh
sebab
terdapatnya
pekerjaan
yang
telah
terselesaikan, sehingga pihak pemberi kerja mengupah
buruhnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), upah
adalah uang dan lain sebagainya yang dibayarkan sebagai
pembalas jasa
atau pembayar tenaga
yang sudah
dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu. 71
Di dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan upah adalah pembayaran yang
diterima
oleh
buruh
untuk
jasa-jasa
yang
telah
diberikannya.72
Berbeda dengan Edwin B. Flippo di dalam karya
tulisnya
yang
berjudul
“Principles
of
Personal
Management”, dinyatakan bahwa upah adalah harga untuk
jasa yang telah diterima atau diberikan oleh orang lain bagi
kepentingan seseorang atau badan hukum.
71
Pusat Bahasa DepDikNas, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi ke-3, h. 1250.
72
Hasan Sadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru,
1984), cet. ke-6, h. 3718.
77
Sedangkan
menurut
Undang-undang
Kecelakaan
nomor 33 Tahun 1947, yang dimaksud dengan upah ialah:
a. Setiap pembayaran berupa uang yang diterima oleh
buruh sebagai ganti pekerjaan.
b. Perumahan, makan, bahan makanan dan pakaian
dengan cuma-cuma yang harganya ditaksir menurut
harga umum di tempat itu.
Sampai sini dapat dipahami bahwa upah merupakan
pengganti jasa yang telah diserahkan atau dikerahkan oleh
seseorang kepada pihak lain, dalam hal ini ialah majikan.
Dalam
teori
ekonomi
konvensional,
dibedakan
pembayaran tenaga kerja pada dua pengertian, yakni gaji
dan upah. Istilah gaji biasanya digunakan pada instansi
pemerintah, sedangkan istilah upah biasanya digunakan
oleh perusahaan-perusahaan swasta. 73 Perbedaan kedua
istilah ini disematkan kepada seseorang berdasarkan pada
jenis pekerjaan dan
instansi
yang membawahinya,
meskipun pada kenyataannya kedua istilah itu sering
disamakan.
Secara lebih spesifik, gaji merupakan balas jasa yang
dibayarkan
kepada
pemimpin-pemimpin,
pengawas-
pengawas, pegawai kantor, pegawai tata-usaha serta para
73
F. Winanrni dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji dan Upah,
(Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006), cet. ke-1, h. 16.
78
manajer lainnya. 74 Upah oleh teori ekonomi konvensional
diartikan sebagai suatu penerimaan berupa imbalan dari
pemberi kerja kepada penerima kerja termasuk tunjangan,
baik untuk pekerja sendiri maupun keluarganya. 75 Dalam
hal ini, upah lebih dipandang sebagai balas jasa kepada
para pekerja kasar yang lebih banyak mengandalkan
kekuatan fisiknya dalam bekerja, seperti halnya buruh.
Upah merupakan sesuatu yang penting, karena dengan
upah buruh akan semakin giat dalam melakukan pekerjaan
yang telah diberikan oleh majikan kepadanya, dalam artian
sebagai motivasi kerja seorang buruh. Penunaian upah ini
merupakan suatu bentuk terima kasih dari seorang majikan
kepada buruhnya atas jasa-jasa yang telah dilakukannya
dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab yang telah
diberikan oleh majikan kepadanya.
Di dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2)
telah ditentukan landasan hukum mengenai upah yang
berbunyi, “Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dapat
dipahami bahwa seharusnya upah yang diterima oleh buruh
atas jasa-jasa yang telah dijualnya adalah berupa upah yang
wajar, sehingga dengan upah wajar tersebut seorang buruh
74
75
Ibid., h. 16.
Ibid., h. 17.
79
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik dan
tercukupi.
Upah dalam arti yuridis merupakan balas jasa dari
pihak majikan yang diberikan kepada para buruhnya atas
penyerahan jasa-jasanya dalam kurun waktu tertentu. Upah
dalam pengertian ini adalah sebagai bentuk balas kasih
yang diberikan oleh majikan sesuai dengan porsi lamanya
bekerja bagi seorang buruh. Berikut adalah jenis-jenis
upah, yaitu:
a. Upah Nominal
Upah
nominal
ialah
sejumlah
uang
yang
dibayarkan kepada para buruh secara tunai sebagai
imbalan
atas
pengerahan
atas
jasa-jasa
atau
pelayanannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian kerja, baik di bidang
industri ataupun dalam suatu organisasi kerja. Upah
nominal ini disebut juga dengan upah uang (money
wages) sehubungan dengan wujudnya yang memang
berupa uang.
b. Upah Nyata (Real Wages)
Upah nyata ialah upah uang yang nyata yang
harus diterima oleh seseorang yang berhak. Upah
nyata ini ditentukan oleh daya beli upah tersebut yang
tergantung pada besar atau kecilnya jumlah uang yang
diterima dan besar atau kecilnya biaya hidup yang
80
diperlukan. Adakalanya upah nyata ini diterima dalam
bentuk uang dan fasilitas. Sehingga upah ini pada
prinsipnya sangat dibutuhkan oleh para buruh dalam
kondisi tertentu.
c. Upah Hidup
Upah hidup ialah upah yang diterima seorang
buruh relatif cukup untuk membiayai keperluan
hidup, tidak hanya terbatas pada kebutuhan pokoknya
saja
melainkan
kebutuhan
sosial
keluarganya,
misalnya bagi pendidikan, bahan pangan yang
memiliki nilai-nilai gizi yang lebih, iuran asuransi
jiwa dan lain-lain.
d. Upah Minimum (Minimum Wages)
Tidak bisa dinafikan bahwa seorang buruh adalah
manusia, sewajarnya kalau diberikan penghargaan
yang wajar dan atau perlindungan yang layak. Dalam
hal ini maka upah minimum sebaiknya dapat
mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup buruh beserta
keluarganya, dalam artian bahwa cost of living perlu
diperhatikan dalam penentuan upah.
e. Upah Wajar (Fair Wages)
Upah wajar dimaksudkan sebagai upah yang
secara relatif dinilai cukup wajar oleh majikan dan
para buruhnya sebagai uang imbalan atas jasa-jasa
81
yang
diberikan
buruh
kepada
majikan
sesuai
perjanjian kerja di antara mereka.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), upah dikategorikan ke dalam empat bentuk,
yaitu:76
a. Upah Bersih
Upah bersih ini diartikan sebagai jumlah uang
yang dibayarkan kepada karyawan atau buruh berupa
gaji dan tunjangan setelah dilakukan pemotongan.
b. Upah Borongan
Upah borongan merupakan upah yang dibayarkan
kepada karyawan bukan atas dasar satuan waktu (hari,
minggu, bulan), melainkan atas dasar satuan barang
(tugas) yang harus dikerjakan.
c. Upah Harian
Upah harian merupakan bayaran yang diberikan
kepada karyawan atau buruh hanya untuk hasil kerja
harian, apabila yang bersangkutan masuk kerja.
d. Upah Lembur
Upah lembur merupakan upah yang dibayarkan
kepada karyawan atau buruh yang melakukan
pekerjaan di luar jam kerja resmi yang telah
ditetapkan atau pada hari libur resmi.
76
Pusat Bahasa Depdiknas, Op.Cit., h. 1250.
82
Selama ini yang sering dikeluhkan para buruh adalah
berkaitan dengan pemberian upah yang tidak sesuai dengan
kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, perlu penulis jelaskan
tentang karakteristik upah agar tidak menimbulkan dampak
yang kurang baik, baik untuk para buruh, majikan, maupun
untuk konsumen. Di antara karakteristik upah tersebut
ialah sebagai berikut:
a. Upah harus menjamin upah minimum. Artinya bahwa
upah yang dibayarkan kepada seorang buruh harus
berdasarkan pada upah minimum yang berlaku di suatu
daerah tertentu.
b. Upah tersebut dapat diterima atau disetujui oleh para
buruh dengan penuh kesadaran.
c. Upah harus fleksibel dalam menghadapi perubahanperubahan yang tidak diharapkan. Fleksibel yang
dimaksud adalah menyesuaikan perubahan konteks
kebutuhan ekonomi.
d. Sistem
pengupahan
hendaknya
dapat
dirasakan
berkeadilan serta berkemanusiaannya baik oleh pihak
buruh maupun oleh pihak majikan.
Dengan
dipenuhi
serta
ditaatinya
seperangkat
ketentuan-ketentuan di atas, baik berkenaan dengan
perjanjian kerja, waktu bekerja dan istirahat serta upah
kerja, maka hubungan yang terjalin antara buruh dengan
majikan, khususnya dalam sektor formal akan berjalan
83
dengan baik serta tidak lagi menimbulkan kesenjangankesenjangan sosial-ekonomi di antara keduanya.
2. Sektor Informal
Secara terminologi, sektor informal adalah unit-unit
usaha yang tidak atau sedikit sekali menerima proteksi
ekonomi secara resmi dari pemerintah. Konsep sektor informal
ini pertama kali diperkenalkan oleh Keith Hart pada tahun
1973. Pada sektor informal, relasi kerja diatur berdasarkan
hubungan kedua belah pihak, yaitu buruh dan majikan dengan
tanpa campur tangan dari pemerintah.77
Dari berbagai penelitian tentang sektor usaha informal
di Indonesia, telah menghasilkan sepuluh ciri pokok, yaitu: (1)
Kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik. (2) Tidak
memiliki izin usaha. (3) Pola kegiatan usaha tidak teratur, baik
dalam arti lokasi maupun jam kerja. (4) Tidak terikat oleh
aturan pemerintah. (5) Unit usaha bisa keluar masuk dari
subsektor ke lain subsektor. (6) Teknologi yang digunakan
bersifat primitif. (7) Modal dan perputaran usaha relatif kecil.
(8) Pada umumnya unit usaha termasuk golongan one-manenterprises dan cenderung mempekerjakan buruh yang berasal
dari keluarganya sendiri. (9) Sumber dana modal berasal dari
tabungan pribadi. (10) Hasil produksi atau jasa dikonsumsikan
77
Mulyadi Subri, Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif
Pembangunan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 114.
84
oleh golongan masyarakat kota/desa yang berpenghasilan
menengah.78
Sektor informal mempunyai nilai strategis dalam
pertumbuhan perekonomian dan stabilitas nasional. Sektor ini
sangat dibutuhkan karena mempunyai daya serap tenaga kerja
yang tidak tertampung pada sektor formal, dapat menciptakan
pemerataan pendapatan terutama bagi golongan ekonomi
lemah karena mudah di masuki, tidak membutuhkan modal
yang terlalu banyak dan keterampilan yang tinggi. Oleh karena
itu, hampir sebagian besar sektor kerja yang berlaku di setiap
daerah adalah sektor informal, hal ini terjadi terutama di
daerah-daerah pedesaan.
Sektor informal adalah suatu kenyataan sebagai katub
pengaman
untuk
memberikan
kesempatan
kerja
dan
pendapatan dalam rangka mengurangi keresahan-keresahan
sosial. Oleh karena itu, eksistensi sektor informal yang
semakin bertambah perlu mendapatkan pembinaan. Pembinaan
sektor informal bisa dilaksanakan secara langsung dan tidak
langsung. Pembinaan secara langsung adalah pembinaan secara
terpadu dengan keterpaduan fasilitas-fasilitas pembinaan,
sistem pembinaan dan jenis bantuan-bantuan itu sendiri
menurut
fungsi
dari
masing-masing
pembina.
Adapun
pembinaan secara tidak langsung dapat dilakukan melalui
sektor-sektor pemerintah ataupun swasta agar membina
78
Ibid., h. 115.
85
keterkaitan dengan ekonomi lemah/kecil melalui sub-kontrak,
sub-agen ataupun melalui penyediaan fasilitas, sarana atau
kemudahan lainnya yang dapat diberikan oleh sektor formal. 79
Pada konteks kerja informal, relasi buruh-majikan
dipahami sebagai suatu hubungan timbal balik antara pemberi
pekerjaan (majikan) dengan orang yang melakukan/menerima
pekerjaan (buruh) dengan tanpa adanya hal-hal yang bersifat
formil.80 Sebagaimana dikemukakan di atas, karena pada
sektor ini tidak memperoleh proteksi dari pemerintah, maka
dalam perjalanannya ia cenderung lebih bersifat fleksibel dan
tidak mengikat, bahkan dalam beberapa kasus sektor ini lebih
bersifat kekeluargaan. Dengan tidak adanya peran pemerintah
di dalamnya, sehingga buruh yang bekerja pada sektor ini
cenderung lebih merasa bebas, karena tidak terikat oleh
peraturan-peraturan dari pemerintah maupun lembaga/instansi
sebagaimana pada sektor formal.
Relasi buruh-majikan harus dibangun secara harmonis,
seorang
buruh
dan
majikan
harus
berjalan
secara
berdampingan serta seimbang agar dalam praktek kerja
lapangan tidak terjadi konflik kepentingan yang ditimbulkan
oleh adanya keegoisan masing-masing pihak. Di dalamnya
perlu dibentuk kesepakatan yang jelas oleh kedua belah pihak
79
Direktorat
Pengelolaan
Informasi
Perekonomian,
Ketenagakerjaan dan Serikat Pekerja, 2001, h. 21.
80
Anne Friday Safaria dkk, Hubungan Perburuhan di Sektor
Informal, terj. Sonya Sondakh, (Bandung: Yayasan Akatiga, 2003), h. 2.
86
(buruh dan majikan) mengenai apa saja yang sekiranya
diperlukan dalam pelaksanaan kerja. Secara sederhana,
keperluan-keperluan itu minimal harus mencakup tiga hal
pokok berikut ini:
a. Perjanjian Kerja
Secara ideal, dalam hubungan industrial yang
terjalin antara buruh dan majikan perjanjian kerja harus
dibentuk serta dijalankan secara seimbang. Sehingga hal
itu akan membentuk keseimbangan antara hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang
berhubungan.
Keseimbangan itu bisa terwujud manakala terdapat syarat
kerja yang baik. Menurut Endang Rokhani, SH., terdapat
dua tujuan dibuatnya syarat kerja, yaitu: pertama, agar
buruh
dapat
menikmati
dan
mengembangkan
peri
kehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan kedua,
untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja (atau kondisi
kerja).81
Pada bagian ini terdapat dua hal pokok yang
menjadi titik fokus dalam persoalan kerja yang dalam hal
ini dilaksanakan oleh kedua belah pihak (buruh dan
majikan). Dua hal pokok tersebut ialah berkaitan dengan
kontrak kerja dan kesepakatan hak serta kewajiban masingmasing pihak dalam melakukan kontrak.
81
Muhaimin Iskandar, Membajak di Ladang Mesin, (Semarang:
Yayasan Wahyu Sosial, 2004), h. 85.
87
Dalam pembentukan aturan kesepakatan hak dan
kewajiban dalam suatu hubungan kerja, sangatlah penting
untuk dipahami batasan siapa yang disebut dengan buruh
dan siapa yang disebut dengan majikan. Batasan ini
diperlukan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam
pelaksanaan peran yang dijalankan oleh buruh atau
majikan. Label majikan dan buruh yang disandang oleh
seseorang memiliki implikasi terhadap hak-hak serta
kewajiban
masing-masing.
Sebagai
contoh,
dengan
diketahui bahwa si A adalah majikan dan si B adalah
buruhnya, maka masing-masing dari A dan B akan
melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan kewajiban
masing-masing, begitu juga dengan hak mereka.
Majikan dalam konteks ini adalah pihak yang
memiliki
otoritas
mengatur
proses
mempekerjakan
tertinggi
dalam
produksi,
pihak
menentukan
pembiayaan
lain,
serta
dan
produksi,
berkewajiban
memberikan imbalan. Imbalan itu bisa berbentuk upah,
fasilitas kerja yang memadai, dan jaminan sosial.
Sedangkan buruh didefinisikan sebagai orang atau pihak
yang mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak tertentu
dengan memperoleh imbalan. 82
Biasa kita temui di masyarakat khususnya di
daerah-daerah pedesaan, kebanyakan dari mereka lebih
82
Anne Friday Safaria dkk., Op.Cit., h. 11.
88
sering menggunakan sistem kontrak dan kesepakatan kerja
yang non-formil, hal ini dikarenakan kebanyakan dari
mereka tidak dalam suatu produksi besar atau bahkan
seperti halnya sektor formal yang lebih menekankan
kepada hal-hal yang bersifat teknis serta berlandaskan pada
hukum. Dalam sektor informal ini, kontrak kerja dilakukan
secara kekeluargaan dan tidak mengikat (fleksibel). Oleh
sebab itu, diantara karakteristik sektor informal ini adalah
sebagai berikut; bersifat padat karya, kekeluargaan, tingkat
pendidikan formal rendah dan biasanya skala kegiatannya
kecil dan mudah berubah-ubah.83
Berkaitan pula dengan kesepakatan hak dan
kewajiban, sektor kerja informal lebih bersifat fleksibel
dan tidak terikat oleh norma-norma ketenagakerjaan
sebagaimana perjanjian kerja pada sektor formal. Hal ini
dikarenakan pada sektor informal pihak yang bersepakat
kerja tidak membuat semacam peraturan kerja. Hak dan
kewajiban kerja dibangun atas kesadaran masing-masing,
dalam artian bahwa dalam sektor informal ini antara pihak
yang mempekerjakan dengan pihak yang dipekerjakan
sudah maklum dengan hak dan kewajiban masing-masing.
Hanya
83
saja
biasanya
majikan
atau
pihak
yang
Eggi Sujana, Buruh Menggugat: Perspektif Islam, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2002), 172.
89
mempekerjakan menerangkan tugas dan tanggung jawab
yang harus dilaksanakan oleh buruhnya.
b. Waktu Kerja dan Istirahat
Setiap buruh mempunyai hak untuk beristirahat
dan juga mendapatkan ketenangan jasmani dan rohani.
Tuntunan akan hal-hal tersebut menjadi tanggung jawab
majikan selama ia masih terikat dengan perjanjian kerja
dengannya.
Secara fiqh, hak untuk beristirahat bagi seorang
buruh adalah bagian integral dari kontrak kerja yang dibuat
bersama sehingga ketentuan tersebut harus diperjelas dan
terpisah dari waktu kerja. 84
Kesehatan buruh berhubungan erat dengan tenaga
yang dikeluarkan dalam bekerja. Karena jika jam kerjanya
panjang, maka hal itu akan berdampak buruk pada
kesehatan buruh, di samping juga berakibat pada lemahnya
produktivitas kerja. Melalui pembatasan waktu kerja dan
istirahat inilah salah satu cara agar kesehatan dan
kebugaran buruh tetap terjaga.
Islam dalam hal ini sangat menjunjung tinggi
aspek kesehatan dan kemakmuran buruh, ia tidak
memperbolehkan kaum buruh mengalami keletihan dalam
bekerja. Pandangan Islam dalam membatasi jam kerja ini
bertujuan agar dalam pelaksanaan kerjanya, seorang buruh
84
Abdul Jalil, Teologi Buruh, (Yogyakarta: LkiS, 2008), h. 154.
90
dan majikan mampu menjalin kerjasama dengan baik serta
tidak memunculkan kesenjangan yang berimplikasi pada
tidak terpenuhinya tujuan keduanya. Islam menghendaki
agar dalam hubungan kerjasama tersebut terjalin proses
saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Pada sektor informal ini waktu kerja dan jam
istirahat diberlakukan oleh majikan kepada buruhnya
berdasarkan jam atau lamanya waktu bekerja dalam sehari.
Umumnya pekerjaan ini dilakukan oleh sektor seperti
pertanian, peternakan, perdagangan, pengangkutan barang
dan lain sebagainya. Bahkan dalam sektor ini umumnya
seorang buruh dapat mengajukan permohonan waktu kerja
dan jam istirahat kepada majikannya sesuai dengan kondisi
(bersifat kondisional). Ini karena umumnya pekerjaan yang
berada pada lingkup informal adalah jenis pekerjaan
harian.
Waktu kerja dan istirahat dalam sektor informal
dipandang sebagai suatu kesepakatan yang bersifat
kekeluargaan,
karena
kecil
kemungkinan
memiliki
ketergantungan terhadap faktor-faktor dari luar dan
cenderung memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga
terdekat.
Sehingga
apabila
dicermati,
salah
satu
karakteristik dari sektor informal dalam hal berkenaan
91
dengan waktu kerja dan istirahat adalah keluwesan dan
kebebasan relatifnya.85
c. Upah Kerja
Menentukan upah kerja termasuk salah satu
permasalahan sosial yang penting, lantaran standar upah
secara praktis menentukan standar hidup seorang buruh.
Jika upah dapat diberikan secara adil, standar upah itu
dapat menjamin kehidupan yang baik baginya; jika tidak,
maka akan menimbulkan penderitaan dan kemalangannya
serta menciptakan permusuhan-permusuhan antara buruh
dan majikannya.86
Secara prinsip, pembahasan mengenai upah dalam
sektor kerja formal maupun informal adalah sama. Di
sektor informal juga terdapat pembagian upah berdasarkan
jenis dan kategorinya. Hanya saja pada sektor ini, upah
lebih dominan diberikan oleh seorang majikan kepada
buruhnya dengan dasar rela sama rela, dalam artian bahwa
penunaian
upah
dalam
sektor
informal
ini
tidak
dilaksanakan dengan ketat sebagaimana sektor formal.
Namun demikian, upah tetap menjadi satu hal yang penting
untuk ditunaikan sebagai bentuk balas jasa dan penunaian
hak buruh atas pekerjaan yang telah dilakukannya.
85
Anne Friday Safaria dkk, Op.Cit., h. 8.
Baqir Syarif Al-Qarashi, Keringat Buruh, terj. Ali Yahya, (Jakarta:
Al-Huda, 2007), cet. I, h. 250.
86
92
Pembahasan upah merupakan bagian dari hak
buruh dalam bekerja. Sehingga menunaikan upah buruh
sama
halnya
dengan
menunaikan
haknya.
Dengan
diberikannya upah, secara otomatis hak buruh telah
terpenuhi.
Jenis upah yang sering dipergunakan dalam
praktek kerja sektor informal ini adalah upah nominal dan
upah hidup. Karena wilayah kerjanya yang kecil serta tidak
terikat oleh aturan-aturan hukum, maka penunaian upah
tidak disesuaikan dengan Upah Minimum Regional (UMR)
pada daerah tertentu, namun penunaian upah lebih bersifat
relatif sesuai dengan harga upah umum yang berlaku bagi
jenis pekerjaan tertentu. Sehingga keumuman upah
tersebut menjadi acuan penunaian upah yang nantinya akan
diterima oleh seorang buruh setelah ia menyelesaikan
pekerjaannya.
D. Sistem Sekuler-Kapitalisme dan Perkembangannya
Kapitalisme
adalah
sistem
perekonomian
yang
memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk
melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi
barang,
menjual
barang,
menyalurkan
barang
dan
lain
sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian
untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan
perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak
ikut campur dalam ekonomi.
93
Dalam perekonomian kapitalisme setiap warga dapat
mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua
orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba
sebesar-besarnya. Semua orang bebas melakukan kompetisi
untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara. 87
Di samping hal di atas, kapitalisme memiliki pondasi
utama yang mendasarinya sehingga ia mampu berkuasa atas
perekonomian global, yaitu:88
1. Kepemilikan individu
Dalam sistem ini, seorang individu tidak dilarang memiliki
apapun yang diinginkan dan negara tidak berhak menguasai
harta milik individu dan merampas darinya. Sebaliknya,
negara berkewajiban memfasilitasi usahanya agar ia dapat
mengembangkan hartanya dan memperbesar keuntungannya.
2. Kebebasan
Sistem kapitalisme menjamin kebebasan sempurna individu
dalam segala bidang usaha. Karenanya, individu dapat
menggunakan
segala
sarana
dalam
menghasilkan
keuntungan dan mengembangkan kekayaan, sekalipun itu
dilakukan dengan menguras tenaga para buruh.
87
file:///C:/Users/pc/Downloads/SISTEM%20EKONOMI%20KAPI
TALISME%20dan%20SOSIALISME%20_%20diananggraeni.htm, diakses
pada Minggu, 14 Juni 2015.
88
Baqir Syarif Al-Qarashi, Op.Cit., h. 181-183.
94
3. Manfaat dan kepentingan diri
Manfaat dan kepentingan diri termasuk sifat yang mengakar
dalam sistem kapitalisme. Sehingga, inilah yang menjadi
pemicu kerja, penghasil segala materi yang dikonsumsi, dan
menjadi unsur utama yang membentuk ajaran kapitalisme.
Adapun ciri-ciri dari sistem ekonomi kapitalisme yaitu
sebagai berikut:89
1. Pengakuan yang luas atas hak-hak pribadi.
2. Pemilikan alat-alat produksi di tangan individu.
3.
Individu bebas memilih pekerjaan atau usaha yang
dipandang baik bagi dirinya.
4.
Perekonomian diatur oleh mekanisme pasar.
5.
Pasar berfungsi memberikan “signal” kepada produsen dan
konsumen dalam bentuk harga-harga.
6. Campur tangan pemerintah diusahakan sekecil mungkin.
“The Invisible Hand” yang mengatur perekonomian menjadi
efisien.
7.
Barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas (free market)
yang bersifat kompetitif.
8. Modal kapitalis
(baik
uang
maupun
kekayaan lain)
diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan
laba (profit).
89
http:///SISTEM%20EKONOMI%20KAPITALIS%20%28LIBER
AL%29%20_%20ZUMARA%27S%20BLOG.htm, diakses pada Minggu, 14
Juni 2015.
95
Kapitalisme dapat digambarkan dalam struktur dasarnya
sebagai sistem ekonomi yang tidak lagi mendasarkan diri pada
asas manfaat, tetapi pada proses yang menggerakkan agar
ekonomi itu tumbuh terus-menerus, tidak peduli ada manfaatnya
atau tidak. Artinya, tidak ada lagi wibawa moral dalam ekonomi,
sebab yang dikejar adalah kepentingan (interest) setiap orang
yang lalu dianggap bahwa pemenuhan kepentingan adalah sama
saja dengan kebahagiaan. Atau juga sistem itu dapat dilihat
sebagai wawasan dalam politik yang lalu menempatkan tugas
negara tak lain adalah untuk menjamin hak milik mutlak setiap
orang akan harta dan kekuasaan. 90
Secara historis, perkembangan kapitalisme merupakan
bagian
dari
gerakan
individualisme.
Gerakan
ini
juga
menimbulkan dampak dalam bidang yang lain. Dalam bidang
keagamaan gerakan ini menimbulkan reformasi. Dalam hal
penalaran melahirkan ilmu pengetahuan alam. Dalam hubungan
masyarakat memunculkan ilmu-ilmu sosial. Dalam bidang
ekonomi melahirkan sistem kapitalisme. Oleh karena itu,
peradaban kapitalis sah (legitimate) adanya. Di dalamnya
terkandung pengertian bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem
sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar tipe tertentu dalam
perekonomian. Sistem ini berkembang di Inggris pada abad 18 M
dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat Laut dan
Amerika Utara (Baca: Ebenstein & Fogelman, 1994: 148).
90
Emmanuel Subangun, Op.Cit., h. 179.
96
Perjalanan sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari
bumi Eropa, tempat lahir dan berkembangnya kapitalisme. Tahun
1648 (tahun tercapainya perjanjian Westphalia) dipandang
sebagai tahun lahirnya sistem negara modern. Perjanjian itu
mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (antara Katolik dan
Protestan di Eropa) dan menetapkan sistem negara merdeka yang
didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan
pada otoritas politik Paus dan Gereja Katolik Roma (Baca: Papp,
1988: 17). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itu aturan
main kehidupan dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil
Tuhan), dengan anggapan bahwa negara itu sendiri yang paling
tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga negaralah
yang layak membuat aturan untuk kehidupannya, sementara
Tuhan (agama) diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di
gereja (hubungan manusia dengan Tuhannya).
Selanjutnya terdapat tiga perkembangan penting yang
mempengaruhi perubahan situasi di Eropa, yaitu: revolusi
industri (1760 - 1860), revolusi Perancis (1775 - 1799) dan
tingkat melek huruf (literasi) (abad ke-19). Ketiga peristiwa
tersebut telah mendorong munculnya keterlibatan rakyat (di luar
raja dan kaum bangsawan) di dalam politik (pengaturan urusan
rakyat) (Robert & Lovecy, 1984: 7). Revolusi industri telah
memunculkan kelas menengah yang mempunyai kekuatan
ekonomi,
sehingga
dengan
kekuatannya
tersebut
mereka
menuntut derajat kekuatan politik yang berimbang. Revolusi
97
Perancis telah mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa
rakyat bisa memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh
yang lain), libelarisme (ide bahwa otoritas politik harus disahkan
lebih dahulu secara konsensus dan tidak secara turun temurun,
serta dibatasi oleh hukum dan konstitusi) dan equalitas (ide
bahwa partisipasi politik tidak hanya di tingkat elit aristokrat saja,
tetapi terbuka untuk semua penduduk). Sedangkan meningkatnya
derajat melek huruf di kalangan rakyat telah menyebabkan
mereka dapat membaca peristiwa-peristiwa dan pemikiranpemikiran
yang
berkembang
mempengaruhi mereka.
di
Eropa
dan
sekaligus
91
Atas landasan pandangan hidup seperti di atas, mereka
berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak untuk
membuat peraturan hidupnya. Mereka juga mengharuskan pula
untuk mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari
kebebasan
beragama,
kebebasan
berpendapat
(berbicara),
kebebasan individu (pribadi), dan kebebasan kepemilikan (hak
milik). Dari kebebasan hak kepemilikan itulah dihasilkan sistem
ekonomi kapitalis, yang merupakan hal yang paling menonjol
pada ideologi ini. Oleh karena itu, ideologi ini dinamakan
kapitalisme, sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling
menonjol dalam ideologi ini (Baca: An-Nabhani, 1953: 24).
91
http;///sejarah-dan-perkembangan-ekonomi.html, diakses pada
Minggu, 14 Juni 2015.
98
Oleh karena itu, kapitalisme saat ini sudah tidak bisa
disebut sebagai hanya
sebuah "isme" biasa atau sebuah
pemikiran filsafat belaka, bahkan tidak bisa juga hanya
dikatakan
kapitalisme
sebagai sebuah
telah
menjadi
teori ekonomi . Akan tetapi
sebuah
ideologi
dunia
yang
mencengkeram dan mengatur semua sendi-sendi kehidupan
manusia secara menyeluruh dan sistemik. Lester C. Thurow
dalam bukunya The Future of Capitalism (1996) menggambarkan
tentang perjalanan kapitalisme sebagai berikut:
“Since the onset of the industrial revolution, when success
came to be defined as rising material standards of living,
no economic system other than capitalism has been made
to work anywhere. No one knows how to run successful
economies on any other principles. The market, and the
market alone, rules. No one doubts it. Capitalism alone
taps into modern beliefs about individuality and exploits
what some would consider the baser human motives, greed
and self-interest, to produce rising standards of living.
When it comes to catering to the wants and desires of every
individual, no matter how trivial those wants seem to
others, no system does it even half so well. Capitalism’s
nineteenth and twentieth-century competitors - fascism,
socialism and communism - are all gone (Thurow, 1996:
1).”
Akan tetapi, ternyata kapitalisme justru menimbulkan
suatu masyarakat yang tidak egalitarian. Ia menimbulkan
kesengsaraan bagi rakyat banyak, di samping menyebabkan
munculnya keserakahan kaum kapitalis dan individualis yang
menyebabkan alienasi. Sebagai anti thesis terhadap kapitalisme,
muncul marxisme pada abad 19 yang dipandang dapat
99
melahirkan sosialisme ilmiah. Berbagai bentuk sosialisme di
Eropa sebelum kehadiran marxisme dianggap sebagai sosialisme
utopia. USSR merupakan negara sosialisme Marxis pertama,
otomatis negara sosialis ilmiah yang berhasil didirikan dan
kemudian diikuti oleh RRC maupun negara Eropa Timur (Baca:
Rais, 1995: 92).92
92
Ibid.
BAB IV
ANALISIS HADITS RELASI BURUH-MAJIKAN DAN KRITIK
SISTEM PERBURUHAN SEKULER-KAPITALISME
A. Kedudukan Buruh-Majikan dalam Hadits
Sebagaimana penulis telah jelaskan pada bagian awal,
bahwa Islam senantiasa menempatkan buruh dan majikan pada
tempat dan kedudukan yang sama, serta tidak ada pembedaan
yang signifikan di antara mereka. Hal ini lebih dilatarbelakangi
oleh alasan karena menurut Islam semua manusia pada dasarnya
adalah pekerja, namun Allah memberikan kemampuan dan
kemahiran yang berbeda-beda atas mereka, sehingga timbullah
perbedaan status. Bagi mereka yang mempunyai kemahiran lebih
dan modal yang cukup dalam menjalankan usaha, status mereka
adalah sebagai majikan. Begitu juga mereka yang mempunyai
kemampuan dan kemahiran yang kurang memadai serta tidak
didukung dengan modal yang cukup, secara otomatis mereka
berstatus sebagai buruh (pelaksana kerja majikan).
Meskipun
buruh
dalam
konteks
relasi
pekerjaan
(mu‟amalah kerja) adalah sebagai bawahan majikan, namun
secara kedudukan yang dikehendaki oleh hadits, sesungguhnya
buruh memiliki status sosial yang sama dengan majikan, dalam
arti bahwa mereka memiliki hak persamaan dan kebebasan yang
sama dalam menjalankan masing-masing pekerjaannya. Demikian
pula kedudukan sederajat, termasuk sederajat di muka hukum
100
101
ialah persamaan yang dimiliki oleh manusia tanpa ada perbedaan
di antara mereka baik karena perbedaan etnis, warna kulit, agama,
keturunan kelas, dan kekayaan. Juga tanpa dibedakan antara
muslim, nasrani atau lainnya, antara cendekiawan dengan yang
bukan cendekiawan, dan antara yang kuat dengan yang lemah. 93
Karena manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon)
yang memiliki hak persamaan dan kebebasan, di samping itu juga
memiliki kecenderungan sifat saling membutuhkan, maka yang
menjadi titik tekan dalam prinsip kedudukan pada bagian skripsi
ini yaitu mengenai kesetaraan dan keadilan, baik setara dan adil
dalam hubungan pekerjaan maupun dalam hubungan sosial yang
terjalin antara buruh dengan majikan.
Dalam hubungan pekerjaan misalnya, kewajiban seorang
majikan adalah memberikan tempat kerja dan kenyamanan kerja,
perlindungan, kesejahteraan, serta memberikan upah yang cukup
kepada buruhnya. Adapun dalam hubungan sosial sebagaimana
yang berlaku pada umumnya bahwa mereka harus tetap menjalin
hubungan yang harmonis, saling menjaga, saling menghormati,
dan tidak saling merendahkan satu sama lain.94 Keadilan dalam
dua dimensi ini sangat diperlukan, karena secara relasi keduanya
terikat oleh unsur-unsur yang ada di dalamnya. Perintah berlaku
93
Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia,
(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 36.
94
Muhammad Hanafi Muchlis (ed.), Kerja dan Ketenagakerjaan
(Tafsir Tematik), (Jakarta: Aku Bisa, 2012), h. 221 dan 230.
102
adil ini sebagaimana telah dideskripsikan oleh Allah Swt. melalui
firman-Nya dalam QS. An-Nisa‟ (4) ayat 58 berbunyi:
      
Artinya:
“Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
(QS. An-Nisa‟ (4): 58)
Ayat di atas memuat penjelasan tentang pentingnya
penerapan keadilan dalam setiap pengambilan keputusan. Sama
halnya dengan pengambilan keputusan dalam kebijakan kerja
yang dilakukan oleh majikan terhadap buruhnya, seorang majikan
harus benar-benar menerapkan prinsip keadilan ini di dalam
semua unsur kerjanya. Kebijakan yang diambil serta peraturan
yang dibuatnya tidak boleh keluar dari prinsip adil sebagaimana
yang dikehendaki oleh ayat tersebut, sehingga para buruh dapat
memperoleh hak-haknya secara proporsional serta kedudukan
yang nyaman dalam bekerja. Hal ini penting dilakukan mengingat
majikan merupakan motor (penggerak) bagi terlaksananya sistem
kerja yang Islami, sistem kerja di mana segala sesuatu
ditempatkan pada kedudukan yang saling menguntungkan dan
tidak memberatkan satu pihak di antara pihak lain. Oleh sebab itu,
mengenai hal ini penulis akan menguraikan lebih lanjut perihal
kedudukan buruh dan majikan dalam hadits ditinjau dari berbagai
aspek. Penulis berasumsi bahwa aspek-aspek di bawah ini
memiliki keterkaitan erat dengan kedudukan buruh dan majikan
103
yang dideskripsikan oleh hadits. Di antara aspek-aspek tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Aspek Yuridis (hukum)
Secara etimologi, yuridis bermakna hukum. Sebagaimana
telah kita ketahui bahwa Al-Qur‟an dan hadits merupakan
kitab hukum yang mengatur segala aspek kehidupan duniawi
(dunia) maupun kehidupan ukhrawi (akhirat). Sama seperti
Al-Qur‟an, hadits memiliki kandungan-kandungan hukum
yang secara nilai yang dikandungnya dapat digunakan untuk
mengatur serta menyelesaikan setiap problematika sosial yang
telah atau sedang dihadapi oleh manusia, termasuk di
dalamnya
mengatur
serta
menyelesaikan
problematika
perburuhan yang telah sekian lama berlangsung dalam
kehidupan sosial. Selain itu, hadits juga dijadikan pedoman
hidup kedua setelah Al-Qur‟an. Oleh sebab itu, keberadaan
hadits sebagaimana fungsinya sebagai kitab hukum sangatlah
dibutuhkan dalam ikut andil menyelesaikan problematika
perburuhan yang dibahas dalam skripsi ini.
Buruh
dalam
bingkai
yuridis
diartikan
memiliki
kebebasan karena mereka tidak diperlakukan sebagaimana
halnya perlakuan yang diterima oleh budak (hamba sahaya),
akan tetapi mereka bekerja atas dasar kemauan sendiri (tanpa
ada paksaan) dan didukung oleh seperangkat aturan kerja
yang jelas, seperti contoh: disepakatinya perjanjian kerja,
masa kerja yang jelas, dan adanya upah kerja di setiap akhir
104
pekerjaannya. Berbeda dengan budak, mereka bekerja dengan
tanpa ada unsur-unsur di atas. Di samping itu, mereka
diperhamba oleh majikannya dengan tanpa diupah.
Apabila penulis cermati, dalam aspek yuridis ini
seharusnya
buruh
memiliki
kedudukan
yang
layak
diperhatikan dan dipelihara hak-haknya, sebab Indonesia
adalah negara hokum di mana segala sesuatu terikat oleh
aturan-aturan hukum yang berlaku. Di samping itu, Indonesia
merupakan negara Islam terbesar yang secara aspek
keagamaan keberadaan dan kedudukan buruh sangat layak
mendapat perhatian, karena di dalamnya telah diatur
hubungan keduanya.
Perhatian terhadap kaum buruh ini sudah sejak lama
dinyatakan oleh Nabi Saw. di dalam haditsnya. Sebagaimana
diketahui pada sebagian hadits yang penulis muat pada bab
tiga berikut pensyarahannya, bahwa secara prinsip haditshadits itu memuat tentang hak-hak serta kewajiban-kewajiban
buruh dan majikan di dalam menjalankan hubungan kerjanya.
Pemenuhan hak dan kewajiban itu sangatlah penting, karena
dengan adanya kedua unsur ini, seorang majikan maupun
buruh dapat menempatkan masing-masing dirinya pada
tempat dan posisi yang strategis, dalam arti majikan dan buruh
dapat saling menjalin hubungan kerjasama secara harmonis.
Oleh karena itu, berikut penulis jelaskan mengenai hak dan
kewajiban keduanya:
105
Kewajiban majikan adalah sebagai berikut: 95
a.
Memberikan upah.
b.
Menyediakan tempat kerja dan memberi kenyamanan
kerja.
c.
Meningkatkan kecakapan dan kepribadian pekerja, serta
membantu mereka untuk sukses.
d.
Memberikan perlindungan, kesejahteraan,
tunjangan
sosial, dan pesangon.
Sedangkan hak majikan yaitu:96
a.
Memperoleh keuntungan.
b.
Profesionalitas buruh.
c.
Loyalitas buruh.
Adapun mengenai kewajiban buruh, seorang buruh
memiliki kewajiban untuk melakukan tiga hal di bawah ini,
yaitu:97
a.
Pengertian buruh.
b.
Hubungan buruh.
c.
Kewajiban buruh.
Sedangkan hak buruh, diantaranya sebagai berikut:98
a.
Mendapat upah yang sesuai.
b.
Memperoleh kenyamanan.
c.
Memperoleh keamanan dan keselamatan.
95
Ibid., h. 221-246.
Ibid., h. 255-285.
97
Ibid., h. 293-298.
98
Ibid., h. 343-355.
96
106
d.
Mendapatkan pesangon.
e.
Jaminan sosial.
f.
Memperoleh pendidikan dan pelatihan.
Semua itu merupakan kewajiban serta hak buruh-majikan
yang harus dibangun secara sinergi, supaya mereka bisa saling
memberikan profit (keuntungan), baik keuntungan yang
bersifat materiil maupun keuntungan moril. Karena penulis
sadari bahwa salah satu penyebab kesenjangan yang selama
ini terjadi antara buruh dan majikan adalah akibat tidak atau
diabaikannya masing-masing hak serta kewajiban di antara
mereka. Sehingga yang terjadi adalah penyalahgunaan
wewenang dan sistem kerja eksploitatif, di mana buruh tidak
lagi memberikan kerja maksimal kepada majikannya, begitu
juga seorang majikan tidak memberikan pelayanan terbaik
kepada buruhnya, yang hanya ada di dalam mindset-nya
hanyalah profit (keuntungan) yang besar dengan tanpa
memerhatikan aspek-aspek perburuhan.
Relasi yang terjalin antara buruh dengan majikan ditinjau
dari aspek hukum yang terdapat dalam hadits sangatlah
diperhatikan. Hal ini mampu dibuktikan dengan adanya
sebagian
hadits
sebagaimana
yang
tercantum
mengatur
pada
hubungan
pembahasan
keduanya
sebelumnya.
Pengaturan tersebut secara dasar meliputi; 1) pembahasan
tentang peraturan kerja dan mempekerjakan yang terjalin
antara buruh dengan majikan, 2) penjagaan harta majikan oleh
107
buruh, 3) waktu libur yang diberikan oleh majikan kepada
buruhnya, 4) penunaian upah kerja sebagai bentuk balas jasa
dari majikan kepada buruhnya.
Demikian secara tinjauan hukum, keempat aspek itu telah
mengatur secara ari>f bahwa untuk membangun sebuah relasi
yang harmonis antara buruh-majikan yaitu dengan memenuhi
keempat aspek tersebut. Seperti halnya penulis telah paparkan
pada bagian awal bahwa dalam konteks perburuhan, buruh
dapat diartikan memiliki kebebasan, sebab mereka bekerja
dengan seperangkat aturan dan kesepakatan yang jelas serta
memiliki hak yang lebih longgar jika dibandingkan dengan
budak. Aspek yuridis (hukum) mendudukkan buruh berbeda
dengan budak, dengan alasan bahwa seorang buruh bekerja
bukan untuk dimiliki oleh majikannya sebagaimana halnya
seorang budak, melainkan mereka bekerja untuk mendapatkan
upah yang nantinya upah tersebut dapat digunakan sebagai
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan juga mencukupi
keluarganya (anak dan istri serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan keluarga).
Hadits telah mengatur secara jelas bahwa dalam
pelaksanaan kerja yang terjalin antara buruh dan majikan
terdapat sejumlah aturan yang mengikat keduanya. Sebagai
buruh mereka harus menjalankan
kewajibannya yaitu
melaksanakan perintah dari majikan serta mentaati semua
peraturan yang telah diberlakukan oleh majikan kepadanya.
108
Demikian pula dengan majikan, mereka harus menjaga hakhak buruhnya, memperlakukannya dengan baik serta selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan
selama berlangsungnya proses kerja. Karena secara fitri, Allah
Swt. telah menganugerahkan kecenderungan dan kemampuan
serta keahlian yang berbeda-beda atas setiap manusia.
Heterogenitas kemampuan dan keahlian ini mengharuskan
adanya pembagian tugas dan kerja di antara mereka sesuai
dengan keahlian dan profesi masing-masing. Hal ini
sebagaimana Allah Swt. nyatakan dalam firman-Nya QS. AzZukhruf (43) ayat 32 berbunyi:
          
         
      
Artinya:
“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat
Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
kehidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami
telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
(QS. Az-Zukhruf (43): 32)
Maksud ayat ini menurut para ahli tafsir adalah bahwa
manusia itu sengaja diciptakan oleh Allah dengan kemampuan
dan keahlian yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dengan
109
perbedaan kemampuan dan keahlian ini, maka manusia dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya yang banyak itu,
mereka harus menjalin kerjasama, saling tolong-menolong
antar sesama.
Bagaimanapun juga,
karena banyaknya
kebutuhan hidup manusia yang tidak mungkin dapat mereka
penuhi secara individual, maka mau tidak mau mereka harus
bergabung dengan orang lain yaitu dengan cara saling
mempekerjakan,
saling
kerjasama,
dan
saling
tolong
menolong.99
Relasi dari segi yuridis (hukum) yang dimaksud pada
bagian ini adalah relasi yang lebih mengarah kepada nilai
keadilan dan kebebasan yaitu menjalankan segala aktifitas,
baik sebagai pihak majikan atau sebagai pihak buruh dengan
ukuran yang proporsional serta tidak mengikat. Adil dalam
kaitan ini memiliki definisi yaitu menempatkan sesuatu pada
tempatnya (‫)وضع شيئ فى محله‬.
Sedangkan tidak mengikat
dalam arti bebas mampu ditafsiri bahwa dalam pelaksanaan
kerja, seorang buruh berhak memperoleh hak-haknya, baik
hak secara spiritual, hukum maupun hak secara sosialnya.
Secara spiritual, buruh berhak memperoleh waktu yang
cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab sesuai
dengan agamanya. Hal ini dinilai perlu karena sebagai
99
Abuddin Nata (ed.), Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang
Kemasyarakatan, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 83.
110
manusia, mereka memiliki hak untuk mendekatkan diri
kepada Tuhannya.
Sedangkan secara hukum, buruh berhak memperoleh
payung hukum yang bisa melindunginya dari segala bentuk
bahaya yang mengancam. Dalam konteks ini berarti
melibatkan dua elemen, yaitu elemen pemerintah dan elemen
majikan itu sendiri. Dengan diberikannya payung hukum,
resiko buruk yang mengancam ketentraman buruh akan
mampu diminimalisir dengan baik.
Begitu juga secara sosial, buruh berhak bersosialisasi
secara bebas-terikat dengan rekan sekerjanya maupun dengan
majikan serta pemerintah. Hubungan sosial ini penting
dilakukan supaya buruh tidak mengalami stres saat melakukan
pekerjaannya. Dalam konteks ini pula dipahami bahwa buruh
berhak menerima upah yang layak serta cukup sebagai bentuk
konsekuensi dari adanya hubungan sosial yang terjalin baik
antara buruh dengan majikan.
Dengan penempatan yang
proporsional dalam semua
aspek di atas ditambah kerelaan serta keikhlasan keduanya,
maka praktek relasi yang terjalin antara buruh dengan majikan
dapat berjalan secara efektif dan efisien, terutama relasi yang
mengatur kedudukan serta peran masing-masing keduanya
dalam bekerja.
111
2. Aspek Sosiologis (sosial)
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa bekerja
merupakan sebuah anjuran yang sangat ditekankan oleh Islam
dan kiranya ia merupakan suatu amalan ibadah apabila
dilaksanakan dengan dasar kesungguhan dan keikhlasan.
Agama telah memerintahkan pemeluknya agar senantiasa
bekerja dengan sungguh-sungguh serta menghimbaunya
supaya tidak mengandalkan belas kasihan orang lain yaitu
dengan meminta-minta dan sejenisnya. Dengan kesungguhan
kerja itulah manusia akan mendapati sejumlah hasil yang
sesuai dengan besar kecilnya pekerjaan yang telah dilakukan.
Keteladanan bekerja ini telah dicontohkan oleh Ali bin
Abi Thalib yang kala itu sangat lapar, sementara di rumahnya
tidak terdapat makanan. Ia kemudian pergi ke desa-desa yang
ada
Madinah
untuk
mencari
pekerjaan
yang
bisa
menghasilkan upah. Di salah satu desa, ia menemukan
seorang perempuan yang hendak membasahi batu batanya. Ia
meminta supaya diberikan pekerjaan itu kepadanya dengan
upah sebiji kurma untuk setiap timba air yang diambilnya dari
sumur. Sesudah enam belas timba, ia kemudian meminta upah
dari majikan perempuan tadi. Setelah dihitung upahnya adalah
enam belas biji kurma, Ali segera pulang dan menemui Nabi,
112
lalu memberitakan kejadian itu. Mendengar cerita Ali, Nabi
bergembira, lalu makan bersama-sama.100
Demikianlah anjuran bekerja yang tekankan oleh Islam,
sebab manusia adalah makhluk yang termulia di antara
makhluk Allah lainnya, sehingga dengan kemuliaan itulah
manusia dituntut untuk bekerja dengan sungguh-sungguh
supaya kemuliaan itu tetap terjaga dalam dirinya.
Di dunia Barat yang mengamalkan sistem kapitalis,
hubungan buruh dan majikan menjadi masalah yang sangat
kompleks, kesatuan sekerja tumbuh bercambah sebagai bukti
betapa antara buruh dan majikan saling tidak percayamempercayai satu sama lain, mereka saling membenci dan
tuduh-menuduh.101 Suasana tidak harmonis antara buruh dan
majikan yang demikian pada akhirnya banyak menimbulkan
masalah-masalah yang berdampak pada kehidupan sosial
seperti demonstrasi dan mogok kerja. Sehingga kondisi
semacam ini dapat menyebabkan kerugian bagi semua pihak,
baik pihak buruh itu sendiri, majikan maupun masyarakat.
Secara umum, hubungan buruh dan majikan di dalam
bingkai syari‟at Islam terikat oleh satu acuan yaitu hablun min
an-na>s (hubungan interpersonal) yang wajib dijaga oleh kedua
belah
100
pihak.
Sedangkan
menurut
pandangan
Islam,
Ibnu Husein Al-Ashee, Pribadi Muslim Ideal, (Semarang:
Perpustakaan Nuun, 2004), h. 200.
101
Hakim Muhammed Said, The Employer and The EmployeeIslamic Concept, (Trans, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1989).
113
kesempurnaan hubungan sesama manusia hanya akan lahir
setelah manusia tersebut menyempurnakan hubungannya
dengan Allah (hablun min Alla>h). Sehingga secara prinsip,
tidak akan menjadi baik hubungan sesama manusia melainkan
apabila mereka menyempurnakan hubungannya dengan Allah.
Dan begitu sebaliknya, tidak akan menjadi baik dan sempurna
hubungan manusia dengan Allah jika mereka tidak menjaga
hubungan dengan sesama manusia.
Pada aspek sosiologis ini, sesungguhnya dapat dipahami
bahwa hubungan yang terjalin antara buruh dengan majikan
adalah seperti anggota dalam satu persaudaraan. Harapan
yang diberikan oleh saudara kepada saudara lainnya diberikan
pula oleh buruh kepada majikannya. Seorang saudara tidak
akan merasa tentram melihat saudaranya berada dalam
keadaan sukar. Majikan bebas melakukan usaha untuk
mengeluarkan produktifitas serta mencari profit (untung)
dalam jumlah besar, tetapi tidak dengan memeras keringat
buruh untuk kepentingan pribadi.
Islam mempunyai mekanisme yang jelas untuk mencapai
tujuan tersebut. Pencapaian tujuan itu disebut dalam AlQur‟an melalui kisah Nabi Musa A.S. yang bekerja di rumah
Nabi Syu‟aib A.S, Nabi Syu‟aib berkata kepada Musa dalam
QS. Al-Qashash (28) ayat 27 yang berbunyi:
114
          

Artinya:
“Aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya
Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
baik.” (QS. Al-Qashash (28): 27)
Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap muslim tidak boleh
mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan dan
keseksamaan, dengan terjemahan arti sebagai berikut: 102
a. Majikan tidak boleh membebani buruh dengan suatu
pekerjaan di luar kemampuannya. Beban kerja buruh
haruslah ditakar sesuai dengan kekuatan yang dimiliki
buruh tersebut.
b. Majikan seharusnya mengutamakan kebajikan kepada
buruhnya. Kebajikan yang dimaksud adalah kebaikan
buruh, di mana seorang buruh hendaknya senantiasa
harus diperhatikan kebaikan dirinya maupun pekerjanya.
c. Upah perlu diberikan kepada buruh sesuai dengan hasil
kerjanya. Dalam artian bahwa upah ditunaikan kepada
seorang buruh sesuai dengan besaran tenaga yang telah ia
curahkan selama bekerja.
Dengan demikian, jelas bahwa ditinjau dari aspek sosial
terdapat tiga prinsip yang termuat di dalam Al-Qur‟an perihal
102
Ibnu Husein Al-Ashee, Op.Cit., h. 2002.
115
bagaimana penjelasan tentang hubungan buruh dengan
majikan yang semestinya harus dipenuhi, terlebih oleh
majikan, karena ia sebagai pihak yang menyediakan pekerjaan
sekaligus sebagai pihak yang berhak mengatur serta
mengupah buruhnya. Ketiga prinsip tersebut ialah prinsip
kemanusiaan, keadilan, dan keseksamaan.
Dalam hubungan pekerjaan, tugas seorang majikan adalah
tidak membuat peraturan yang keluar dari ketiga prinsip
tersebut. Sebab ketiganya merupakan landasan yang dapat
menciptakan hubungan dan sistem kerja yang baik. Di
samping itu, ketiganya merupakan pensyari‟atan Allah yang
harus dipraktekkan secara seksama oleh majikan, karena
sebagaimana hadits di depan bahwa setiap manusia dalam
semua hal akan dimintai pertanggungjawabannya, termasuk
pertanggungjawaban
seorang
majikan
terhadap
para
buruhnya.
3. Aspek Politik
Peran penting politik dalam memandang dan memberikan
tempat kepada buruh dan majikan adalah sangat penting. Hal
ini mampu dibuktikan dengan fakta sejarah, bahwa politik
yang diemban oleh Nabi pada saat memimpin Madinah dapat
membawa kedamaian pada relasi keduanya (buruh dan
majikan). Nabi menjadikan politik kekuasaannya sebagai
sarana untuk membentuk keharmonisan keduanya. Dengan
kekuatan politik yang dimilikinya pada saat itu, Nabi mampu
116
membangun konsolidasi relasi antara buruh-majikan dengan
baik.
Gerakan dakwah politik Nabi adalah sebaik-baik teladan
bagi umat manusia. Dalam kampanye dakwahnya, beliau
senantiasa mengajak umatnya dengan cara lembut, sopan,
bijaksana, kasih sayang, penuh keteladanan, dan ketelatenan
dalam merespon isu-isu yang berkembang dengan konsep
tabayyun, yaitu check and recheck terkait informasi yang
bersumber dari berita-berita yang belum jelas terbukti
faktanya.
Dalam Al-Qur‟an Allah Swt. memberikan tuntunan
berdakwah atau berkampanye program kebaikan dengan tiga
cara sebagaimana yang dilakukan Nabi, yakni bil hikmah
(kebijaksanaan), mau’iz}oh al-hasanah wa ja>dilhum billati
hiya ahsan (perkataan yang baik dan bertukar pikiran dengan
cara yang baik).103 Hal itu sesuai dengan firman Allah Swt. di
dalam QS. An-Nahl (16) ayat 125:
         
 
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bertukar fikiranlah/
103
http://www.radarbanten.com/read/berita/150/16297/TeladanBerpoliitk-Rasulullah-Muhammad-SAW.html, diakses pada Kamis, 19
Februari 2015.
117
berargumentasilah dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl
(16): 125)
Dengan
membangun
menerapkan
politiknya
ketiga
konsep
berdasarkan
tersebut
nilai-nilai
Nabi
Islam,
termasuk di dalamnya adalah pembangunan dan pengaturan
sistem kerja buruh-majikan yang terjadi pada zamannya.
Terbukti bahwa dalam menyelesaikan suatu masalah, beliau
selalu mengedepankan tiga konsep itu, yaitu kebijaksanaan,
perkataan yang baik, dan bertukar pikiran dengan cara yang
baik.
Dalam kasus perburuhan misalnya, Nabi senantiasa
melakukan tabayyun (klarifikasi) sebelum melangkah pada
aspek permasalahan selanjutnya. Setelah tabayyun dilakukan,
lalu
beliau
mengajak
keduanya
dengan
cara
bijak.
Kebijaksanaan di sini sangat diperlukan oleh seorang
pemimpin suatu negara agar konflik dapat segera teratasi.
Adapun selanjutnya, supaya proses mediasi berjalan dengan
baik, beliau kemudian mengajak keduanya berlaku baik dalam
menyampaikan argumen-argumennya. Dengan penyampaian
yang baik itu, bisa dilanjutkan pada proses ketiga yaitu
bertukar pikiran. Begitu juga dalam proses bertukar pikiran,
Nabi senantiasa mengajak dengan cara yang baik. Beliau
memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
menyampaikan masing-masing keluhannya. Setelah keluhankeluhan tersampaikan lalu diambillah keputusan. Keputusan
118
ini tentunya tidak boleh keberpihakan, keputusan harus
didasarkan pada prinsip keadilan. 104
Disadari ataupun tidak bahwa kekuatan dan kesejahteraan
sebuah negara tidak dapat dipisahkan dari pengaturan sistem
ekonominya. Sebagaimana lazimnya sebuah negara yang baru
berdiri, negara Madinah pada waktu itu juga tidak luput dari
persoalan-persoalan ekonomi, karena pada faktanya ekonomi
Madinah dikuasai oleh kaum Yahudi yang terkenal mahir
dalam melakukan aktivitas perekonomian. Sehingga dalam
mengatasi kondisi seperti itu, Nabi mengambil beberapa
kebijakan, salah satunya adalah dengan membentuk peraturan
sistem upah. Beliau sangat memperhatikan sistem upah. Salah
satu pesan beliau tentang sistem upah ini adalah agar
membayar upah buruh sesegera mungkin, sebelum kering
keringatnya.
Selain daripada itu, Nabi juga melakukan penyatuan
terhadap
kelompok
Muhajirin105
dan
Anshar.106
Nabi
melakukan penyatuan terhadap keduanya dengan tujuan
supaya kekuatan sosial-politik termasuk juga ekonomi
menjadi semakin kuat. Salah satu contoh persaudaraan itu
adalah persaudaraan antara Abdurrahman bin „Auf dan Sa‟ad
104
105
Ibid
Muhajirin artinya penduduk Muslim Makkah yang berhijrah ke
Madinah
106
Muhajirin.
Anshar adalah penduduk asli madinah yang menolong kaum
119
bin ar-Rabi‟. Persaudaraan yang terbina antara golongan
Muhajirin dan Anshar tersebut berpengaruh kepada sektor
ekonomi, di mana kaum Muhajirin sebagaimana lazimnya
orang Makkah mempunyai keahlian di bidang pertanian.
Sementara kaum Anshar lebih mempunyai keahlian di bidang
perdagangan. Sehingga kombinasi antara perdagangan dan
pertanian ini membawa kepada perekonomian Madinah yang
lebih baik.107
Begitulah cara Nabi menjadikan politik kekuasaannya
sebagai instrumen dalam menyelesaikan permasalahanpermasalahan sosial-ekonomi yang melibatkan kaum buruh
dan majikan. Beliau senantiasa menempatkan keduanya pada
porsi dan kedudukan yang seimbang. Di lain sisi, beliau juga
memberikan
kedudukan
yang
berbeda
dalam
proses
mu’amalah kerja. Sebab secara teori, seorang buruh diberi
kedudukan di bawah majikan karena sebagai pelayan majikan
dan pengemban pekerjaan majikan. Begitu pula sebagai
majikan, ia diberi kedudukan di atas buruhnya karena sebagai
pihak yang memiliki wewenang mengatur dan memberikan
pekerjaan kepadanya.
4. Aspek Ekonomi
Dalam
persoalan
relasi
buruh-majikan,
ekonomi
merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh dominan
107
Muhammad Syafi‟i Antonio, Muhammad Saw: The Super Leader
Super Manager, (Jakarta: ProLM Centre, 2007), h. 152-153.
120
terhadap proses berlangsungnya suatu mu’amalah kerja.
Bahkan kedudukan seseorang dalam ranah sosial sering
ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ekonominya. Ekonomi
menjadi faktor penting yang dapat membuat seseorang
menjadi semangat dalam bekerja. Begitu pula, ekonomi bisa
membuat seseorang menjadi lemah dalam bekerja.
Berbicara pada aspek ekonomi dengan melibatkan kaum
buruh dan majikan sebagai obyeknya, ini sangatlah sensitif.
Namun demikian halnya, menurut pandangan Islam serta
ajaran yang dibawa oleh Nabi melalui hadits-haditsnya,
menyebutkan bahwa sesungguhnya segi ekonomi telah
mengatur secara baik relasi keduanya. Misalkan saja seperti
hadits tentang menyegerakan upah, bahwa menyegerakan
upah bagi buruh yang telah selesai melakukan pekerjaannya
adalah suatu kewajiban bagi majikan. Upah ini adalah bagian
dari ekonomi yang harus ditunaikan oleh seorang majikan
kepada buruhnya. Sehingga dengan ditunaikannya upah
tersebut, hak ekonomi yang dimiliki oleh buruh secara
otomatis menjadi terpenuhi.
Ekonomi di sini berperan sebagai faktor penggerak
sebuah relasi kerja. Seorang majikan dengan tingkatan
ekonominya
mampu
mempekerjakan
serta
menggaji
buruhnya. Demikian halnya, seorang buruh dengan tingkatan
ekonominya bersedia menjalin kerjasama dengan majikan. Itu
semua didasari oleh sebuah alasan karena ekonomi merupakan
121
faktor penggerak yang bisa dijadikan sebagai alat untuk
menciptakan keserasian dan keharmonisan hubungan kerja.
Lain daripada itu, ekonomi tidak boleh dijadikan sebagai
faktor utama yang bisa menimbulkan hubungan buruh dan
majikan menjadi tidak harmonis, melainkan ekonomi harus
menjadi
penyeimbang
hubungan
yang
terjalin
antara
keduanya sehingga terciptalah keharmonisan. Oleh sebab itu,
pada segi ekonomi ini kedudukan buruh dan majikan tidak
lagi ditentukan oleh kekuatan ekonominya, akan tetapi
kekuatan ekonomi dijadikan sebagai penguat hubungan
keduanya. Dengan kata lain, bahwa ekonomi tidak dijadikan
sebagai satu-satunya faktor dominan yang bisa menguasai
buruh dalam hubungan kerja, namun ekonomi dijadikan
sebagai penyeimbang hubungan keduanya serta penguat bagi
keberlangsungan mu’amalah kerja yang terjalin antara buruh
dengan majikan.
B. Relasi Buruh-Majikan dalam Hadits
Meskipun antara hak dan kewajiban bersifat timbal balik
dan berhadap-hadapan, hubungan antara buruh dengan majikan
dalam
Islam
adalah
hubungan
kemitraan
dan
saling
membutuhkan. Islam menempatkan buruh dan majikan pada
kedudukan yang setara, baik setara dalam aspek sosialnya maupun
aspek ekonominya, karena keduanya saling membutuhkan antara
satu dengan yang lainnya. Hubungan keduanya adalah kemitraan
dalam bekerja, majikan adalah orang yang memiliki dana dan
122
membutuhkan kerja manusia, sementara buruh adalah pemilik
tenaga yang memerlukan dana. Oleh karena itu, hubungan
keduanya harus diatur dengan baik supaya masing-masing
menjalankan kewajiban dan memperoleh haknya secara benar dan
tepat.
Sebagaimana telah penulis ketengahkan dalam uraian
terdahulu, bahwa Islam memandang semua anggota masyarakat
pada hakekatnya adalah pekerja, masing-masing bekerja untuk
orang lain dan sebaliknya orang lain bekerja untuk dirinya. AlQur‟an menegaskan bahwa Allah sengaja menciptakan manusia
dengan kemampuan dan keahlian yang berbeda-beda, sehingga
antara satu dengan lainnya dapat saling memanfaatkan dan
mempekerjakan orang lain sesuai dengan kemampuan dan
keahliannya demi memenuhi kebutuhan (hajat) hidup masingmasing.
Adapun fenomena dunia usaha yang lazim mengenal
adanya istilah majikan sebagai pemilik modal dan buruh sebagai
pekerja, tidak lain adalah konsekuensi dari heterogenitas
kemampuan dan keahlian yang telah Allah berikan kepada
masing-masing dari mereka. Namun semua itu tetap dalam
kerangka suatu sistem kerjasama dan tolong menolong demi
terpenuhinya kebutuhan semua pihak, dengan kata lain hubungan
kerja antara majikan dan para buruh dapat dipandang sebagai
123
hubungan
atas
dasar
saling
membutuhkan
dan
saling
menguntungkan. 108
Ringkasnya, Islam tidak mengenal pengelompokan atau
kelas kerja kepada kelompok yang kuat (superior) di satu pihak,
dan kelompok yang lemah (inferior) di pihak lain. Kenyataan
adanya unsur usaha yang terdiri dari majikan, pekerja profesional,
dan pekerja buruh bukanlah indikasi
kelas yang dapat
menimbulkan kesenjangan sosial, melainkan sebagai indikasi
keharusan kerjasama. Oleh karena itu, berdasarkan relasi yang
terbangun antara buruh dan majikan, hubungan buruh dan majikan
terintegrasi dalam beberapa aspek dibawah ini:
1. Relasi Buruh-Majikan dalam Hubungan Pekerjaan
Sebagaimana telah dikemukakan pada awal uraian
terdahulu,
bahwa
untuk
memenuhi
kebutuhan
(hajat)
hidupnya seseorang harus berusaha dan bekerja. Di dalam AlQur‟an terdapat banyak ayat yang menganjurkan kerja dan
usaha mencari rizki secara halal lagi baik, salah satunya
seperti halnya firman Allah dalam Qs. At-Taubah (9) ayat
105:
       
       

108
Abuddin Nata (ed.), Op.Cit., h. 91-92.
124
Artinya:
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) yang mengetahui hal-hal ghaib dan yang
nyata, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah (9): 105)
Perintah dan anjuran Al-Qur‟an tentang kerja dan
usaha ini dikuatkan ulang oleh hadits Nabi di bawah ini:
Artinya:
“Tidak ada makanan yang dimakan oleh seseorang
lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja
tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s.
memakan makanan dari hasil kerja tangannya.” (HR.
Al-Bukhari)
Kembali pada permasalahan usaha dan kerja, bahwa
di antara sekian banyak bentuk kerja dan kegiatan ekonomi,
terdapat bentuk usaha yang dikenal dengan sebutan jual jasa
atau dalam bahasa sederhananya mengambil upah. Bentuk
kerja dengan menjual jasa ini secara praktek merupakan hal
yang penting, karena tidak sebagaimana umumnya bahwa
bentuk kerja ini disamping mengeluarkan banyak waktu untuk
bekerja juga memerlukan banyak tenaga, sebab bentuk
kerjaannya adalah menjual jasa.
Di dalam syari‟at Islam, seperti yang dijabarkan
dalam kitab-kitab fikih, sistem usaha pemberian dan
125
penerimaan gaji atau upah disebut dengan al-ija>rah (sewa
menyewa). Ayat Al-Qur‟an yang dijadikan sebagai landasan
hukum bagi keabsahan bentuk usaha al-ija>rah ini adalah
firman Allah QS. Ath-Thalaq (65) ayat 6:
    
Artinya:
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu)
untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.”
(QS. Ath-Thalaq (65): 6)
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang ibu yang
menyusukan anak mantan suaminya atau orang lain berhak
mendapatkan upah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
praktek al-ija>rah adalah dibenarkan oleh syari‟at Islam
sebagai suatu kebolehan. Karena hal ini merupakan cara
memudahkan manusia untuk mencapai manfaat yang mereka
inginkan dari suatu barang yang tidak mereka miliki;
sementara kebutuhan akan manfaat tersebut sama halnya
dengan kebutuhan akan benda-benda tertentu. Orang miskin
berhajat kepada harta orang kaya dan orang kaya berhajat
kepada kerja orang miskin. Memperhatikan dan memelihara
kebutuhan manusia merupakan salah satu dasar syari‟at. 109
Pengklasifikasian
buruh-majikan
berdasarkan
hubungan pekerjaan ini didasarkan pada relasi keduanya
sebelum akad ija>rah dimulai. Terdapat beberapa syarat dan
109
Ibid., h. 90.
126
ketentuan yang harus dibuat serta disepakati oleh keduanya
sebelum ija>rah dimulai, salah satu di antaranya adalah
membuat perjanjian (kontrak) kerja.
Pada sub bab ini, penulis akan menganalisis relasi
buruh-majikan dalam hubungan pekerjaan yang didasarkan
pada dua hadits berikut ini; 1) hadits yang memuat penjelasan
tentang perlunya penjelasan upah yang akan dibayarkan
sebelum mempekerjakan buruh, dan 2) hadits yang memuat
penjelasan tentang akad sewa dalam batasan waktu.
Hadits
pertama
yaitu
tentang
larangan
Nabi
mempekerjakan buruh sampai dijelaskan besaran upahnya.
Dalam konteks hadits ini terdapat tiga hal yang perlu
diperhatikan oleh seorang majikan sebelum mempekerjakan
buruhnya, yaitu: 1) penjelasan besaran upah kerja buruh, 2)
penjelasan jenis pekerjaannya, dan 3) kekuatan yang
diperlukan untuk melakukan pekerjaan itu.
Pada hadits pertama ini, Nabi Saw. menegaskan
kepada para majikan tentang perlunya sebuah penjelasan
kepada buruhnya tentang besaran upah yang nantinya akan
diberikan kepadanya, penjelasan ini disampaikan sebelum
ija>rah dimulai. Meskipun dalam hal ini Malik, Ahmad, Ibnu
Syibrimah berpendapat itu tidak wajib, jika upah itu sudah
ma'ru>f (dimaklumi/diketahui) dan dipandang baik oleh
umumnya orang Islam. Namun pendapat pertama yang
mengatakan bahwa penjelasan perlu disampaikan adalah lebih
127
dikuatkan dengan mengqiyaskan pada harga penjualan (yang
harus dilakukan dengan jelas). Sehingga dengan penguatan itu
jelas bahwa seorang majikan harus menjelaskan besaran upah
buruhnya, meskipun di daerah tertentu upah tersebut sudah
ma’ru>f (dimaklumi/diketahui) dan umum dijadikan sebagai
bayaran terhadap para buruh dalam bekerja.
Dalam konteks hadits ini, penulis mencermati bahwa
sebagai pihak yang saling membutuhkan, maka keduanya
harus bersikap saling terbuka. Sebagai seorang majikan yang
dalam konteks ini memiliki kewenangan dalam mengatur dan
menggaji buruhnya, ia dituntut untuk bersikap terbuka dengan
cara menjelaskan besaran upah buruhnya. Penjelasan ini
sangat penting dilakukan karena dalam suatu akad (seperti
akad jual beli misalnya), manakala ada seorang pembeli yang
ingin membeli suatu barang dari si penjual, maka dengan rela
hati
si
penjual
harus
bersedia
menjelaskan
barang
dagangannya kepada pembeli tersebut dengan sikap terbuka.
Penjelasan itu dilakukan pada saat terjadinya proses jual-beli
yaitu sebelum akad disetujui. Hal ini dilakukan dengan alasan
supaya tidak terjadi kekeliruan atau kerugian, baik yang
melibatkan pembeli itu sendiri maupun penjual. Begitu juga
dalam konteks ija>rah (mempekerjakan buruh), di dalamnya
harus terdapat penjelasan yang shari>h (jelas) perihal apa saja
yang harus dikerjakan dan diterima oleh buruh dalam bekerja,
termasuk penjelasan tentang besaran upah kerjanya. Karena
128
ija>rah dalam konteks ini adalah menyewa tenaga buruh untuk
mengerjakan pekerjaan majikan.
Sebagaimana halnya jual beli yang memiliki syaratsyarat sebagai bentuk sahnya akad, ija>rah juga memiliki
syarat-syarat yang bisa membawa dampak pada sahnya akad
ija>rah itu sendiri, di antara syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:110
a. Kerelaan keduanya
Kerelaan di sini artinya tidak ada unsur paksaan,
apakah itu paksaan dari pihak yang memberi kerja
(majikan)
ataupun
pihak
yang
bekerja
(buruh).
Kesemuanya berjalan atas dasar kerelaan. Sebagaimana
yang Allah firmankan dalam QS. An-Nisa‟ (4) ayat 29:
        
     
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. AnNisa‟ (4): 29)
Dengan adanya ayat tersebut jelas bahwa ija>rah harus
dilakukan atas dasar kerelaan hati (suka sama-suka).
110
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
(Damaskus: Da>r Al-Fikri, 2008), h. 529-530.
Al-Isla>mi
wa
Adillatuhu,
129
Karena yang demikian itu merupakan sesuatu yang baik
dan mulia di mata Allah Swt.
b. Sesuatu yang disepakati adalah sesuatu yang manfaat.
Sesuatu yang disepakati secara bersama antara
pemberi kerja (majikan) dengan yang bekerja (buruh)
harus jelas kemanfaatannya. Artinya bahwa sesuatu yang
akan disewakan tersebut, apakah itu berupa barang
maupun jasa dapat diketahui manfaatnya. Karena jika
nilai kemanfaatannya tidak diketahui secara jelas, maka
maksud yang dituju menjadi tidak berhasil. Oleh sebab
itu, sesuatu yang disepakati dalam hal ini ialah terkait
dengan penjelasan kemanfaatannya, waktu dan pekerjaan
yang akan dilakukan.
Adapun hadits kedua membahas tentang perlunya
akad sewa yang dilakukan oleh seorang majikan dalam
menggunakan jasa buruh pada kurun waktu tertentu. Hal ini
senada dengan firman Allah Swt. dalam QS. Al-Qashash (28)
ayat 27:
          
           
        
Artinya:
Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang
dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
130
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan
sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari
kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan
kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orangorang yang baik". (QS. Al-Qashash (28): 27)
Ayat
tersebut
merupakan
gambaran
tentang
penyewaan buruh dalam batasan waktu, yaitu delapan tahun
lamanya. Buruh yang dimaksud di dalam kisah ayat tersebut
adalah Nabi Musa. Beliau dijanjikan akan dinikahkan dengan
putrinya (Syu‟aib) apabila telah melampaui batas waktu
delapan tahun. Setelah masa delapan tahun bekerja sebagai
buruh ditambah dengan suka rela yang dilampaui oleh Musa,
dikawinkanlah ia dengan putrinya yang bernama Shafura.
Sebagai hadiah perkawinan, diberinyalah beberapa ekor
kambing untuk dijadikan sebagai modal pertama bagi
hidupnya yang baru sebagai suami-isteri. Pemberian beberapa
ekor kambing itu juga merupakan tanda terima kasih Syu‟aib
kepada Musa yang selama ini di bawah kepengurusannya. 111
Dalam kaitan pembahasan mengenai akad sewa (aqd
al-ija>rah), bahwa sebelum buruh melakukan pekerjaannya,
sesungguhnya terlebih dulu harus dibuat perjanjian atau akad
kerja yang melibatkan buruh dan majikan. Perjanjian kerja ini
dinilai perlu yaitu untuk mengikat keduanya supaya senantiasa
berada pada aturan-aturan dan syarat-syarat yang telah
111
Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 21.
131
disepakati bersama. Di samping itu, perjanjian kerja
merupakan cerminan baik dalam bekerja, karena dengan
adanya perjanjian kerja, semua aktifitas kerja mampu
terkontrol dengan baik.
Perjanjian kerja dapat dilakukan dengan dua metode,
yaitu metode lisan dan tertulis. Jika perjanjian itu dilakukan
secara lisan, maka harus ada kejelasan yang sekiranya bisa
menguatkan relasi keduanya, lebih baik jika dalam perjanjian
lisan didatangkan satu orang sebagai saksi atas dibuatnya
perjanjian tersebut. Saksi dalam hal ini memiliki peran
penting, sebagaimana pada hadits di atas dijelaskan bahwa
sesungguhnya keduanya menjanjikan seorang penunjuk
perjalanan dengan kendaraannya setelah waktu tiga hari.
Dalam konteks hadits itu, Abu Bakar As-Shidiq dapat
berperan sebagai saksi, karena pada saat itu perjanjian
dilakukan secara lisan yang di dalamnya melibatkan tiga
orang, yaitu: Abu Bakar, Nabi dan penyedia jasa penyewaan
(penunjuk jalan) itu sendiri. Dengan adanya seorang saksi
sebagai penguat perjanjian, maka segala kemungkinan yang
bisa mendatangkan garar (penipuan) bisa diminimalisir,
karena secara fungsional ia bertugas sebagai penguat
perjanjian dan perjanjian menjadi kuat dengan adanya seorang
saksi tersebut.
Berbeda
pula
dengan
perjanjian
lisan,
bahwa
sesungguhnya perjanjian yang dilakukan dengan metode
132
tertulis dinilai lebih efektif dan efisien terutama untuk para
pelaku usaha sektor formal. Jika pada sektor informal dapat
dilakukan dengan metode lisan dengan cara mendatangkan
satu atau lebih orang sebagai saksi, pada sektor kerja formal
tidak dinilai perlu mendatangkan seorang sebagai saksi, sebab
pada sektor formal sudah diwakili oleh adanya perjanjian
tertulis (teks). Perjanjian tertulis ini dinilai lebih aman karena
di dalamnya memuat hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang
secara jelas dan kuat dinyatakan dalam bentuk tulisan. Semua
aturan yang berkaitan dengan relasi kerja telah termuat di
dalamnya, sehingga perjanjian tertulis sudah mewakili adanya
seorang saksi dalam sektor kerja ini.
Perjanjian tertulis ini dikuatkan oleh sebuah dalil AlQur‟an tentang akad hutang-piutang dalam pembahasan
salam112, di mana orang yang menghutangi dianjurkan untuk
mencatat besaran hutang orang yang berhutang, jika hutang
tersebut memiliki nilai nominal yang cukup berarti dan perlu
untuk dicatat. Hal itu sebagaimana telah Allah Swt. nyatakan
dalam firman-Nya pada QS. Al-Baqarah (2) ayat 282:
         
112
Salam ialah salah satu bentuk jual beli di mana uang harga
barang dibayarkan secara tunai, sedangkan barang yang dibeli belum ada,
hanya sifat-sifat, jenis, dan ukurannya sudah disebutkan pada waktu
perjanjian dibuat.
133
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS.
Al-Baqarah (2): 282)
Di samping itu, dikuatkan pula oleh Hadits Nabi Saw.
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
Artinya:
Ibnu Abbas berkata: Nabi Saw. telah datang ke
Madinah dan mereka (penduduk Madinah) memesan
buah-buahan selama satu tahun dan dua tahun, maka
Nabi bersabda: Barangsiapa yang memesan buah
kurma, maka hendaklah ia memesannya dalam
takaran tertentu dan timbangan tertentu serta waktu
tertentu. (HR. Muttafaq ‘Alaih. Menurut Al-Bukhari:
Barangsiapa yang memesan sesuatu). 113
Dari surah Al-Baqarah (2) ayat 282 tersebut dapat
dipahami bahwa transaksi dengan cara berhutang hukumnya
diperbolehkan dan transaksi tersebut hendaklah dikuatkan
dengan cara menuliskan sejumlah hutang tertentu. Adapun
hadits
yang
diriwayatkan
oleh
Ibnu
Abbas
jelas
Muhammad bin Isma‟il Al-Kahlani, Subul as-Sala>m, juz 3,
(Mesir: Maktabah Musht}afa Al-Ba>bi Al-H{alabi), cet. IV, 1960, h. 49.
113
134
memperbolehkan dilakukannya salam, yang semula telah
dilakukan oleh penduduk Madinah. 114
Di samping itu, Quraish Shihab di dalam bukunya AlLubab menjelaskan bahwa perlunya mencatat hutang piutang
yaitu bagi yang bisa menulis agar jangan enggan jika diminta
untuk menulisnya. Juga hendaknya transaksi dipersaksikan
dengan dua orang saksi pria atau seorang pria dan dua orang
perempuan agar bila salah seorang lupa maka yang lain
mengingatkannya. Menurut beliau, pencatatan dan persaksian
itu dianjurkan, meskipun jumlah hutangnya kecil, demi
terpeliharanya harta dan hubungan harmonis antara orangorang yang bertransaksi. 115
Bertumpu pada kedua dalil tersebut ditambah dengan
penjelasan Quraish Shihab di dalam bukunya Al-Lubab, maka
dipersyaratkan dalam muamalah kerja yang terjalin antara
buruh dan majikan terdapat pencatatan sebagai bentuk
kesepakatan antara pihak yang mempekerjakan (majikan) dan
pihak yang bekerja (buruh). Di samping itu, pensyaratan
pencatatan dalam akad kerja dibutuhkan sebagai data penguat
dari adanya kontrak kerja dan sebagai penjelas atas apa-apa
yang dipersyaratkan di dalamnya.
114
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah,
2010), h. 243-244.
115
M. Quraish Shihab, Al-Luba>b, (Tangerang: Lentera Hati, 2012),
h. 91.
135
2. Relasi Buruh-Majikan dalam Penjagaan Harta
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia
dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga oleh ushu>l
fiqh persoalan harta dimasukkan ke dalam salah satu ad-
dharu>riyyat al-khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri
atas: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. 116
Selain merupakan salah satu keperluan hidup yang
pokok bagi manusia, harta juga merupakan perhiasan
kehidupan dunia, sebagai cobaan (fitnah), sarana untuk
memenuhi kesenangan, dan sarana untuk menghimpun bekal
bagi kehidupan akhirat. 117
Penyalahgunaan
terhadap
wewenang
serta
tanggungjawab sering terjadi akibat sifat tamak terhadap
harta. Kewemahannya membuat manusia semakin mencari
dan berhasrat kuat ingin mendapatkannya dengan segala
macam cara. Tanpa terkecuali hal ini bisa terjadi pada sektor
kerja yang di dalamnya melibatkan hubungan buruh dengan
majikan.
Majikan
dengan
segala
kemampuan
dan
kekuasaannya mampu mempermainkan harta sedemikian
Ibn Ishaq as-Syathiby, Al-Muwa>faqat fi> Us}u>l as-Syari>’ah,
(Beirut: Da>r al-Ma’a>rifah, 1975), h. 8-12. Lihat pula Wahbah az-Zuhaily,
Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2001), juz 2, cet. 2, h. 1048.
117
Tentang harta sebagai perhiasan dunia, lihat QS. Al-Kahfi (18):
46. Tentang harta sebagai cobaan, lihat QS. At-Taghaabun (64): 15. Tentang
harta sebagai sarana untuk memenuhi kesenangan, lihat QS. Ali Imran (3):
14. Tentang harta sebagai sarana untuk menghimpun bekal menuju
kehidupan akhirat, lihat QS. Al-Baqarah (2): 262 dan QS. At-Taubah (9): 41.
116
136
rupa, hingga terkadang sampai mengabaikan hak-hak
buruhnya. Begitu juga buruh dengan segala keterbatasannya
sangat merindukan harta sebagai pemenuh kebutuhan hidup
yang serba dalam keterbatasan. Oleh karena itu, tidak heran
apabila harta merupakan sesuatu yang penting untuk
dijaga.118
Pada sub bab ini penulis akan menganalisis relasi
buruh-majikan dalam penjagaan harta yaitu berdasarkan dua
hadits. Hadits pertama tentang penjagaan harta majikan, dan
hadits kedua tentang cerminan sikap tanggungjawab seorang
buruh dalam menjaga harta atau barang titipan majikannya.
Di dalam hadits tersebut telah disebutkan bahwa
terdapat gambaran sikap tanggungjawab dari manusia yang
kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya. Sikap
tanggungjawab itu salah satunya dimiliki oleh buruh kepada
majikannya yaitu dalam soal penjagaan harta. Wewenang dan
tanggungjawab yang telah diamanahkan oleh seorang
majikan kepada buruhnya tersebut merupakan cerminan sikap
tanggungjawab buruh atas majikannya. Buruh diminta agar
menjaga harta majikannya, karena itu merupakan bagian dari
sikap tanggungjawab kerjanya kepada seorang majikan.
Harta dalam konteks ini dapat dipahami tidak hanya sebatas
pada harta yang berbentuk uang saja, melainkan semua harta
118
Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana,
2010), h. 20-21.
137
benda yang dimiliki oleh majikan harus mampu dijaga dan
dipelihara dengan baik oleh buruh tersebut.
Ibnul Munayyar dalam pensyarahan bab tiga telah
menyebutnya sebagai suatu bentuk sikap tanggungjawab dari
seorang buruh dalam penjagaan harta majikan yang dalam
konteks ini diamanahkan kepadanya. Wujud penjagaan yang
dimaksud adalah dengan cara tidak merusak dzat harta
tersebut dan tidak pula menguranginya. Sebagai contoh,
seorang majikan mengamanahkan kepada buruhnya menjaga
toko. Wujud penjagaan yang musti dilakukan oleh buruh
tersebut adalah dengan tidak merusak barang dagangan yang
ada di toko dan tidak pula mengurangi hasil penjualannya.
Sebab, apabila buruh tersebut melakukan perusakan terhadap
barang
dagangan
dan
mengurangi
sebagian
hasil
penjualannya, maka yang demikian termasuk kategori tidak
amanah dan tidak menjaga harta majikan.
Sedangkan hadits kedua menyebut bahwa Nabi Saw.
pernah menggembalakan kambing milik penduduk Makkah.
Pada konteks hadits itu disebutkan bahwa terdapat perbedaan
mengenai penyebutan qara>rit} (yang diduga sebagai nama
mata uang dan atau nama suatu tempat). Ada yang
menyebutnya ia sebagai mata uang penduduk Makkah, ada
pula yang menyebutnya ia sebagai nama suatu tempat yang
ada di Makkah. Namun pada intinya keduanya memiliki
kebenaran yang sama, di satu sisi penduduk Makkah
138
menyebutnya sebagai qara>rit} (dalam bentuk mata uang),
dengan alasan bahwa menurut Suwaid pada saat itu Nabi
menggembalakan
beberapa
kambing
dan
setiap
satu
kambingnya diupah satu qira>t}, yakni sejenis pecahan dinar
ataupun dirham. Adapun yang menyebutnya sebagai qara>rit}
(dalam bentuk nama tempat), dengan alasan bahwa
penyebutannya
terkadang
terkadang
menggunakan
menggunakan
qara>rit}
dan
jiya>d yang dianggapnya itu
merupakan nama sebuah tempat yang ada di Makkah.
Penulis mencermati bahwa dalam konteks hadits ini
Nabi Saw. berperan sebagai seorang buruh sedangkan
penduduk Makkah sebagai majikannya. Lafadz ar’a>ha
(menggembala) yang terdapat pada kedua redaksi hadits itu
dapat diartikan sebagai wewenang dan tanggungjawab
seorang buruh - dalam konteks hadits itu adalah Nabi -,
sedangkan qara>rit} (dalam bentuk mata uang) adalah bentuk
balas jasa yang diberikan oleh sang majikan kepada Nabi
(yang pada konteks hadits itu berperan sebagai buruh).
Sehingga secara prinsip,
hadits tersebut memberikan
pengertian tentang sikap tanggungjawab Nabi sebagai
seorang buruh di dalam menjaga harta majikannya yaitu
berupa kambing yang digembalanya.
Sampai sini dapat disimpulkan bahwa dalam konteks
relasi yang terjalin antara buruh dengan majikan, seorang
majikan berhak memberikan suatu beban tanggungjawab
139
kepada buruhnya untuk menjaga hartanya secara baik, begitu
juga buruh memiliki hak untuk meminta upahnya setelah
tugas
dan
tanggungjawabnya
terselesaikan.
Dengan
dilakukannya serta terpenuhinya semua tugas dan wewenang
masing-masing (baik buruh dan atau majikan), maka proses
ija>rah akan berjalan dengan baik serta keduanya bisa saling
mengisi satu sama lain serta bisa saling memberikan manfaat,
baik kemanfaatan yang bersifat lahir maupun batin.
3. Relasi Buruh-Majikan dalam Waktu Libur
Seorang buruh mempunyai hak untuk beristirahat atau
libur dan juga mendapatkan ketenangan jasmani dan rohani.
Tuntutan akan hal itu menjadi tanggungjawab majikan selama
ia masih terikat perjanjian kerja dengannya.
Islam
tidak
memperkenankan
manusia
mengeksploitasi tubuhnya, karena hal itu bertentangan dengan
fitrah kemanusiaan. 119 Bahkan dalam sebuah hadits juga
dinyatakan bahwa Nabi melarang seseorang mengeksploitasi
jasadnya sekalipun untuk kegiatan beribadah. 120
119
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (QS. A-Baqarah [2]: 286).
120
Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa Rasulullah pernah
menegur sahabatnya, Abdullah bin Amr yang tidak pernah memperhatikan
kesehatan dirinya karena terlalu asyik beribadah. Dalam hadits itu dinyatakan
bahwa Rasulullah bertanya kepada Abdullah: “Wahai Abdullah, saya
mendengar bahwa engkau berpuasa di siang hari dan shalat semalam penuh.
Abdullah menjawab: benar, wahai Rasul. Rasul bersabda: “jangan lakukan
itu. Jasadmu, matamu, istrimu, dan tamumu mempunyai hak atas dirimu...”
Lihat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 1839. Kata jasad dalam
konteks hadits tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh Ibnu Hajar adalah
140
Secara fiqh, hak beristirahat atau libur bagi seorang
buruh adalah bagian integral dari kontrak kerja yang dibuat
bersama sehingga ketentuan tersebut harus diperjelas dan
terpisah dari waktu kerja. 121 Terpisah di sini diartikan bahwa
waktu istirahat atau libur buruh itu tidak dalam waktu kerja,
sehingga ada waktu khusus yang digunakan untuk istirahat
atau libur.
Dalam pelaksanaan ija>rah, secara teori seorang buruh
perlu mendapatkan hak untuk istirahat atau libur. Hak ini
lazimnya diberikan oleh majikan kepada buruhnya sesuai
dengan kesepakatan yang telah dibuat atau murni hak
prerogatif dari majikan, karena dalam konteks ini majikan
adalah sebagai pihak penentu peraturan dan semua unsur
kerja, termasuk dalam mengatur waktu libur buruhnya.
Nabi dalam hal ini telah mencontohkan kepada kita,
bahwa beliau selalu bersikap baik dan senantiasa menjaga
hak-hak buruhnya. Sebagai contoh, sebagaimana yang
dikisahkan oleh Anas bin Malik, selama sepuluh tahun beliau
mengabdikan dirinya kepada Nabi. Tidak pernah sedikitpun
Nabi memarahinya, dan tidak pula mempertanyakan setiap
perbuatan yang ia lakukan dalam bekerja. Misalnya seperti,
memberikan hak dasarnya, termasuk di dalamnya adalah hak untuk
beristirahat, baik jasmani maupun rohani. Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, vol. III, hlm. 38.
121
Ibid. Lihat juga ar-Ramli, Niha>yah al-Muhta>j, vol. V, hlm. 275280 dan Abdullah Ibn Hijazi, H{asyiyah asy-Syarqawi, vol. II, hlm. 85.
141
mengapa engkau lakukan ini, dan mengapa engkau tinggalkan
itu? Di samping itu, Nabi selalu memperhatikan waktu libur
buruhnya, beliau memberikan waktu untuk beristirahat atau
libur seimbang dengan waktu bekerja. Suatu ketika Nabi
terlambat pulang ke rumah sampai satu jam setelah isya‟.
Dalam setiap hari biasanya selalu tersedia satu gelas susu
untuk berbuka dan satu gelas lainnya untuk sahur Nabi.
Karena mengira Nabi telah berbuka bersama para sahabat,
sang pembantu/buruh, Anas bin Malik meminumnya. Tatkala
kembali ternyata Nabi belum berbuka. Melihat susunya sudah
ada yang meminum beliau hanya diam saja, tidak menanyakan
sedikitpun dan tidak memarahi sang pembantu/buruh.122
Begitulah di antara sekian banyak contoh betapa Nabi sangat
menghormati dan menghargai para buruhnya.
Buruh dalam hal ini perlu diperhatikan mengenai
waktu liburnya, agar bisa tercipta keseimbangan dalam
bekerja. Karena sekali lagi penulis tegaskan bahwa buruh
tidak sama dengan budak. Mereka bukan merupakan mesin
produksi yang bisa diproduksikan secara terus-menerus tanpa
jeda istirahat. Buruh yang bekerja dengan diberikan waktu
libur akan sangat berbeda dengan buruh yang bekerja tanpa
diberikan waktu libur. Pada segi kesehatan misalnya, buruh
yang diberikan waktu istirahat atau libur yang cukup akan bisa
lebih mengontrol dirinya daripada buruh yang dipaksa untuk
122
Muhammad Hanafi Muchlis (ed.), Op.Cit., h. 339.
142
selalu bekerja tanpa jeda istirahat atau libur. Kontrol diri yang
dimaksud adalah menjaga pola hidup dengan sehat, seperti
istirahat cukup, makan makanan yang cukup dan beribadah
dengan cukup. Adapun dari segi produktifitas, buruh akan
mampu lebih giat dalam meningkatkan kinerja kerjanya.
Kinerja kerja ini memiliki hubungan yang erat dengan
kesehatan, sehingga dengan terkontrolnya waktu istirahat atau
libur yang diberikan, terkontrol pula kesehatan buruh. Apabila
kesehatan buruh telah terkontrol dengan baik, maka hal ini
akan mampu menciptakan produktifitas kerja yang baik pula.
Pada hadits tentang meringankan beban setoran
buruh yang memiliki keahlian yang telah disebutkan
sebelumnya mengandung maksud bahwa Nabi Saw. melarang
memberatkan beban setoran dan upah kerja buruh. Hal ini
dilandasi oleh adanya sebuah alasan karena Nabi khawatir
akan terjadi tindakan-tindakan yang melanggar syari‟at (dosa)
apabila setoran dan upah buruh semakin ditekan oleh majikan.
Dengan dilakukan peringanan beban setoran (d}ari>bah) dan
upah (gullah) tersebut, maka buruh tidak lagi merasa tertekan
dan tidak melakukan hal-hal yang menuju pada jalan
kemaksiatan (dosa).
Dengan pernyataan hadits itu, penulis berasumsi
bahwa maksud kandungan hadits itu mampu diinterpretasikan
ke dalam pembahasan waktu libur buruh, karena apabila
seorang buruh tidak diberikan waktu istirahat atau libur kerja,
143
maka dikhawatirkan akan terjadi sebuah tindakan yang sama
yaitu tindakan-tindakan yang mengarah kepada pelanggaran
syari‟at (dosa), sebagaimana yang Nabi khawatirkan dalam
pembahasan hadits tentang meringankan beban setoran buruh
di atas.
Penyebutan d}ari>bah (setoran) dan gullah (upah) pada
hadits itu menunjukkan perhatian Nabi kepada buruh bekam –
dalam konteks hadits tersebut yaitu Abu Thaibah - untuk
diberikan kelonggaran dalam setoran dan upah. Lafadz khaffif
(ringankan) merupakan bentuk pekerjaan yang memiliki arti
perintah dan anjuran, sehingga penekanannya mengarah
kepada konteks peringanan beban setoran buruh dan upahnya.
Anjuran peringanan beban setoran dan upah tersebut menjadi
dasar penguat terhadap kondisi mental buruh itu sendiri,
termasuk juga dalam soal istirahat atau libur. Karena apabila
jam kerjanya tidak dibatasi dan secara terus-menerus
dilakukan pekerjaan yang justru akan memberatkan buruh,
maka yang terjadi adalah pelemahan produktifitas kerja, di
samping itu juga terjadi pelemahan secara fisik maupun psikis
pada diri buruh itu sendiri. Sehingga hal itu akan membawa
konsekuensi pada tindakan-tindakan destruktif (merusak) yang
pada akhirnya berujung pada dosa.
Oleh sebab itu, selain peringanan beban setoran dan
upah, perlu juga diberikan peringanan waktu istirahat atau
libur dalam bekerja. Itu semua menjadi bukti bahwa Nabi
144
Saw. sangat memperhatikan dan memperdulikan kondisi para
buruh. Karena walau bagaimanapun, Islam senantiasa
mengajarkan aspek musa>wah (persamaan) atas diri setiap
manusia, tanpa terkecuali mereka kaya atau miskin, tidak pula
mereka sebagai majikan maupun buruh. Semuanya oleh Islam
dipandang sama, termasuk dalam hal pemenuhan hak-hak
buruh dalam waktu istirahat atau libur.
4. Relasi Buruh-Majikan dalam Penunaian Upah
Setelah beberapa tahapan telah terpenuhi yang
meliputi: membuat perjanjian kerja (kontrak kerja), kemudian
bekerja, maka tahapan selanjutnya adalah penerimaan upah
kerja. Upah kerja merupakan bagian dari hak buruh dalam
pekerjaannya, ia menempati urutan terakhir setelah semua
kewajibannya sebagai buruh terpenuhi. Oleh karena upah
merupakan bagian dari hak buruh, maka sudah semestinya
penunaian upah harus diberikan tepat pada waktunya oleh
seorang yang bertanggungjawab memberikannya, yaitu
majikan. Sebab seorang majikan dalam konteks ija>rah tidak
bisa
terlepas
dari
sebuah
tanggungjawab,
yaitu
tanggungjawab yang ada kaitannya dengan dirinya sendiri
dan juga tanggungjawab yang melibatkan buruhnya.
Dalam
konteks
pekerjaan,
upah
merupakan
komponen terpenting yang dapat menunjang kinerja dan
semangat buruh dalam bekerja. Sebagaimana tujuan awal
bekerja adalah untuk memperoleh upah, maka dalam konteks
145
ini pula buruh bekerja adalah untuk tujuan memperoleh upah.
Penunaian upah sangatlah ditunggu-tunggu oleh para buruh
yang telah menyelesaikan tugas kerjanya. Karena sangat
pentingnya
upah,
dalam
hal
ini
Sayyid
Sabiq
mendefinisikannya dengan pengertian di bawah ini:
Artinya:
“Jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian.”
Maksud dari manfaat tersebut adalah terkadang
berupa manfaat benda, pekerjaan dan tenaga. Adapun
manfaat benda antara lain mendiami rumah atau mengendarai
mobil, manfaat pekerjaan seperti pekerjaan menjahit,
pekerjaan insinyur dan manfaat tenaga seperti para pembantu
dan buruh. 123 Pada pengambilan manfaat kategori ketiga
yaitu berupa manfaat tenaga inilah seorang buruh berhak
memperoleh upahnya dengan layak, karena mereka telah
mencurahkan tenaganya untuk bisa memberikan manfaat
kepada seorang majikan.
Penunaian upah dalam kitab at-T{i>b an-Nabawi> yaitu
pada
pembahasan
tentang
bekam
disebutkan
bahwa
menerima upah dari hasil bekerja sebagai tukang bekam
adalah boleh, bahkan hal ini sangat dianjurkan oleh Nabi
123
78.
Qomarul Huda, Fiqh Mu’amalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), h.
146
Saw. Tidak hanya terbatas pada tukang bekam saja,
melainkan segala bentuk isti’ja>r (sewa-menyewa) yang bisa
mendatangkan upah yang tidak bertentangan dengan syari‟at,
maka hukumnya diperbolehkan. Adapun mengenai ketentuan
upahnya ditegaskan pula bahwa upah harus diberikan sesuai
dengan kekuatan buruh dalam bekerja. Upah ini dihitung
perhari (satu hari bekerja), sehingga sesungguhnya dalam
setiap hari buruh berhak menerima upah kerjanya. Adapun
jika upah kerja diberikan dalam kurun waktu tertentu, maka
tetap dengan pedoman hitungan per harinya yaitu sesuai
dengan besarnya kekuatan yang telah dicurahkan oleh buruh
tersebut dalam bekerja. 124
Berdasarkan uraian penjelasan mengenai hadits di
atas, penulis mencermati bahwa terdapat kiasan berupa
perintah Nabi Saw. kepada para majikan agar segera
menunaikan (membayarkan) upah kerja buruhnya sebelum
kering keringatnya. Anjuran tersebut terlihat dari bentuk kata
kerja perintah (fi’il amr) berupa lafadz u’t}u>, yang memiliki
arti berikanlah atau tunaikanlah. Lafadz ini merupakan satu
bentuk perintah sekaligus penegasan kepada para majikan
agar bersegera dalam memberikan upah kerja kepada
buruhnya. Meskipun hadits itu adalah kiasan, namun
Syamsuddin Muhammad, At-T{ib> An-Nabawi, (Surabaya:
Haramain, t.th.), h. 48.
124
147
kandungannya memuat penegasan bahwa upah buruh harus
segera ditunaikan sebelum keringatnya mengering.
Menurut penulis, maksud dari sebelum keringatnya
mengering (‫ )قبل ان يجيف عرقه‬adalah sebelum datang batas
waktu pengupahan yang telah ditentukan dan disepakati
bersama. Hal itu senada dengan sabda Nabi Saw. dalam
Shahih Muslim juz 3:
Artinya:
“Rasulullah Saw. melakukan bekam, dan membayar
upah terhadap tukang bekam tersebut, kemudian
Rasul menggunakan obatnya.” (HR. Muslim)125
Dengan demikian, upah harus diberikan dalam batas
waktu tertentu. Alangkah lebih baik jika upah ditunaikan
setelah buruh menyelesaikan pekerjaannya sebagaimana
hadits di atas. Karena yang demikian merupakan anjuran
Nabi. Namun berbeda halnya pada sejumlah usaha formal
sebagaimana
yang
sekarang
banyak
berkembang
di
masyarakat, maka penunaian upah adalah sistem bulanan.
Karena pada umumnya sektor kerja formal bersifat instansi
(lembaga) dan terdapat aturan-aturan baku yang mengatur
segala bentuk tindakan buruhnya dalam bekerja, termasuk
dalam hal penerimaan upah. Adapun pada sektor kerja
informal, upah biasanya diberikan dengan sistem mingguan
125
Muslim, Shahih Muslim, juz 3, h. 60.
148
tergantung pada kesepakatan antara buruh dengan majikan
dalam
membentuk perjanjian kerja di
awal.
Sistem
pengupahan sektor informal ini lebih didasarkan pada sistem
kekeluargaan, dalam arti bahwa antara buruh dan majikan
memiliki hubungan yang erat serta tidak terikat oleh aturanaturan baku sebagaimana sektor formal, sehingga sistem
pengupahan yang digunakanpun cenderung lebih fleksibel
dan bersifat kekeluargaan.
Adapun hadits kedua, tentang peringatan kepada tiga
golongan yang salah satu di antaranya adalah golongan orang
yang mengangkat seorang buruh dan buruh itu telah
memenuhi kewajibannya, tetapi ia tidak menunaikan
upahnya. Golongan ini adalah satu di antara tiga yang kelak
akan dikalahkan (didebat) oleh Allah pada hari kiamat.
Makna berdebat di sini berarti bisa melibatkan satu atau lebih
pihak.
Hadits kedua ini memberi peringatan kepada para
majikan agar tidak menunda dan atau tidak membayarkan
gaji buruhnya. Maksud dari potongan hadits (
) adalah barangsiapa menjual orang
merdeka dan mengonsumsi hasilnya, karena sesungguhnya si
buruh telah menunaikan kewajibannya tanpa mendapat ganti
rugi, maka seakan-akan ia memakan (harganya). Artinya
bahwa barang siapa – mengarah kepada para majikan –
149
mempekerjakan buruhnya dengan tanpa dibayar upahnya,
maka ia termasuk tiga golongan yang kelak akan dikalahkan
(didebat) oleh Allah di hari kiamat. Hadits ini merupakan
penegasan serta peringatan kepada para majikan supaya
selalu menunaikan upah kerja buruhnya sesuai dengan batas
waktu yang telah ditentukan dalam bekerja serta tidak
menunda-nunda pembayarannya.
Ketepatan dalam memberikan upah buruh pada
hadits tersebut adalah suatu penekanan yang ditujukan
kepada para majikan sekaligus sebagai anjuran yang harus
dilaksanakan. Dengan ketepatan penunaian upah, hak-hak
buruh
secara
proporsional
mampu
terpenuhi
dan
tanggungjawab sebagai seorang majikan telah selesai.
Lain daripada itu, bahwa sesungguhnya dalam
penetapan upah ini pemerintah memiliki hak untuk
mengaturnya. Pemerintah berhak memaksa para buruh
industri untuk memakai jasa mereka, misalnya dalam
penyediaan
pakaian
ketika
sangat
dibutuhkan
oleh
masyarakat. Dengan menetapkan upah yang adil, sehingga
menutup kemungkinan para konsumen memberi upah yang
lebih rendah kepada para buruh industri atau mencegah para
buruh industri meminta upah melebihi kewajaran.
Demikian pula ketika masyarakat membutuhkan alatalat perang, seperti pedang dan jembatan untuk perang, atau
lain-lainnya. Maka hendaknya masyarakat mempekerjakan
150
mereka dengan upah standar, tidak ada alasan bagi mereka
untuk berlaku aniaya kepada para buruh, dan tidak pula bagi
buruh menuntut upah yang lebih tinggi dengan alasan
kemendesakan kebutuhan masyarakat. 126
Demikianlah kontrol upah dalam bidang jasa dan
pekerjaan yang perlu dilakukan oleh pemerintah sebagai ulil
amri (pihak yang mengatur segala urusan) di dunia ini.
Dengan terkontrolnya upah yang adil, maka proses ija>rah
yang ada bisa berjalan kondusif dan sesuai dengan cita-cita
luhur Islam.
C. Kritik Hadits terhadap Relasi Buruh-Majikan pada Konteks
Sekarang
Sebagaimana diketahui bahwa sistem perburuhan yang
diterapkan pada konteks sekarang adalah sistem sekulerkapitalisme, sebuah sistem di mana perekonomian dikuasai secara
penuh oleh kaum kapitalis dengan tanpa memerhatikan hak-hak
buruhnya dalam bekerja. Sistem ini pertama kali dipelopori oleh
Adam Smith, seorang tokoh pemikir ekonomi klasik yang
memiliki beberapa teori di antaranya; division theory of labour
dan labour theory of value. Labour theory of value inilah yang
kemudian menjadi dasar munculnya kapitalisme. Oleh sebab itu,
126
Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam, terj. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 41-42.
151
Karl Marx menyebutnya sebagai teori eksploitasi yakni proses
apropriasi nilai lebih yang seharusnya menjadi hak buruh. 127
Di dalam sistem ini dikatakan bahwa setiap upaya yang
dilakukan oleh seseorang melalui sarana apapun hasilnya adalah
milik kaum kapitalis. Mereka berhak menggunakan sesuka
hatinya, sedangkan negara berkewajiban melindunginya serta
memfasilitasinya dalam menggunakan hasil upayanya tersebut.
Untuk itu tidak jarang dalam sistem ini digunakan segala cara
seperti praktek riba, monopoli, eksploitasi, dan praktek-praktek
lainnya yang merugikan masyarakat terutama kaum buruh, karena
dalam konteks kerja mereka sebagai pihak yang berhubungan
secara langsung dengan aturan kerja sistem tersebut.
Sistem kapitalisme berasaskan pada pengakuan prinsip
personal property (kepemilikan pribadi). Dalam sistem ini,
individu memiliki hak untuk memiliki aset-aset kekayaan
konsumtif dan produktif serta aset-aset itu memungkinkan untuk
diwarisi. Di samping itu, sistem kapitalisme juga berlandaskan
pada prinsip liberalisasi ekonomi bagi setiap individu tanpa ada
intervensi negara untuk memberikan aturan serta batasan-batasan
terhadap aktivitas produksi atau konsumsi. Padahal secara relasi,
negara (pemerintah) memiliki peran dan wewenang dalam
mengatur serta mengawasi hubungan keduanya. Salah satu di
antara peran dan wewenang negara (pemerintah) dalam mengatur
127
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
(Yogyakarta: Insist Press, 2001), h. 46-47.
152
aktivitas ekonomi adalah amar ma’ru>f nahi munkar (menyeru
kebaikan, mencegah kemungkaran) dan kontrol upah. Keduanya
merupakan tanggungjawab negara (pemerintah) yang musti
dilakukan dengan kebijaksanaan sikap dan keterbukaan mental
supaya tercipta perekonomian yang merata.
Selain itu, sistem ini juga membawa dampak pada
terjadinya ketimpangan dalam pemerataan aset kekayaan di antara
individu dan terbaginya masyarakat ke dalam dua kelas, yaitu
kelas pemilik kapital yang feodal dan kelas yang berpendapatan
terbatas, seperti buruh. Di samping itu, sistem ini juga berakibat
pada terkonsentrasinya kekayaan di tangan sekelompok kecil
orang, terjadi banyak pengangguran serta memunculkan praktekpraktek
monopoli
yang
mengeksploitasi
konsumen
dan
masyarakat kelas bawah (buruh). Akibatnya, sistem ini gagal
dalam
menciptakan
stabilitas
perekonomian
kehidupan yang makmur bagi manusia.
Itu
semua
tidak
dan
jaminan
128
terlepas
dari
ciri
utama
yang
melatarbelakanginya. Sehingga perlu penulis jelaskan bahwa ciri
utama
masyarakat
kapitalis
adalah
keterpilahan
sosial-
ekonominya ke dalam kelas-kelas sosial, yaitu kelas pemilik
sarana produksi dan kelas tanpa sarana produksi. Di samping itu,
tiap-tiap orang dalam masyarakat kapitalis diisolasi sebagai
individu
128
2011), h. 29.
oleh pranata
kepemilikan
pribadi absolut.
Dari
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam, terj. (Jakarta: Gema Insani,
153
keterpilahan dan isolasi di dalam kerangka hak milik pribadi
absolut inilah kerja diorganisasi oleh sistem perupahan. Di bawah
sistem ini, untuk bisa mendapatkan manfaat dari sarana produksi
dan memenuhi kebutuhan hidupnya, golongan tanpa sarana
produksi (buruh) harus menjual tenaga kerjanya. 129
Sebagai sebuah sistem ekonomi, kapitalisme selama ini
telah mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian. Bentuk
produksi
kapitalisme
yang
paling
awal
adalah
industri
manufaktur, di mana sejumlah pengrajin atau buruh bekerja pada
suatu perusahaan dengan spesialisasi dan pembagian kerja yang
cukup rumit, namun efektif. Berbeda dengan kegiatan ekonomi
tradisional yang dipandang tidak efisien. Sedang dalam kegiatan
ekonomi kapitalis yang diterapkan adalah kerja maksimal, di
mana kerja buruh hampir sebagian besar digantikan oleh mesin.
Kapitalisme
industrial
dicirikan
oleh
seperangkat
hubungan sosial antar kelas yang memungkinkan kelas yang satu,
yang menguasai kapital melakukan eksploitasi terhadap kelaskelas sosial lainnya. Sehingga menurut Meghnad Desai di
samping ciri-ciri di atas, salah satu ciri yang menandai kapitalisme
di antaranya ialah: 1) proses kerja berada dalam kontrol para
pemilik modal (majikan), 2) kontrol dalam keputusan keuangan
129
Dede Mulyanto, Genealogi Kapitalisme, (Yogyakarta: Resist
Book, 2012), h. 17-18.
154
berada di tangan pemilik modal, di mana para buruh tidak ikut
serta dalam proses pengambilan keputusan itu. 130
Sistem ini menjamin individu secara penuh dalam segala
bidang
usaha
untuk
menghasilkan
keuntungan
mengembangkan kekayaan. Inilah yang dijadikan
dan
sebagai
landasan utama bagi kaum kapitalis dalam membentuk dan
mengembangbiakkan prinsip kapitalisnya. Mereka menganggap
individu sebagai poros dan sumbu gerakan ekonomi yang berputar
dalam segala situasi dan kondisi. Kebebasan ekonomi yang
dimiliki kaum kapitalis merupakan penyebab pengembangan
produksi dan penggelembungan kekayaan nasional di negara
mereka. Sehingga terjadi penumpukan kekayaan pada segelintir
orang, dan hal ini mengakibatkan kondisi kaum buruh semakin
memprihatinkan. 131
Berkebalikan dengan apa yang telah dinyatakan oleh AlQur‟an bahwa secara tegas disampaikan tentang larangan
penumpukan harta pada segelintir orang. Pelarangan ini
dimaksudkan supaya harta tersebut tidak hanya beredar pada
sejumlah orang saja, melainkan dapat merata ke seluruh segi
kehidupan, termasuk merata kepada orang-orang lemah seperti
kaum buruh. Dengan pemerataan tersebut, maka akan tercipta
130
Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi
di Era Masyarakat Post-Modernisme, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2013), h. 83.
131
Muhammad Hanafi Muchlis (ed.), Op.Cit., h. 340.
155
kestabilan ekonomi. Oleh karena itu, Allah Swt. di dalam firmanNya melalui QS. Al-Hasyr (59) ayat 7 menyatakan:
           
         

Artinya:
“Harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk beberapa
negeri adalah untuk Allah, rasul, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr (59):
7)
Ditinjau dari aspek lapangan, sistem kapitalisme ini
hampa dari kasih sayang, hal itu disebabkan karena sistem ini
dikendalikan oleh keserakahan segelintir orang dalam menumpuk
harta. Para buruh mengalami berbagai macam penderitaan serta
penindasan karena eksploitasi tenaga kerja yang dilakukan oleh
kaum kapital (majikan), sementara upah yang mereka peroleh
sangatlah rendah. Watak majikan dalam sistem ini adalah mencari
profit (keuntungan) sebesar-besarnya, sedangkan hak-hak buruh
(seperti: upah, kesejahteraan, kesehatan, kenyamanan kerja,
perlindungan, tunjangan sosial dan pesangon) dijadikan sebagai
ongkos produksi bagi majikan. Oleh karena itu, hak-hak buruh
tersebut dianggap sebagai ongkos produksi yang harus dikurangi
untuk mendapatkan profit (keuntungan) yang besar tadi. Dengan
156
adanya pengurangan ongkos produksi, maka upah buruh menjadi
rendah. Di samping itu, penggunaan alat-alat modern yang tidak
menyerap banyak tenaga kerja telah menyebabkan rakyat
kebanyakan terpaksa mau bekerja dengan upah yang rendah.
Apabila dicermati, hampir di seluruh negara termasuk di
Indonesia tercatat memiliki hubungan tripartit yang kurang
harmonis yaitu antara pemerintah, buruh dan majikan. Ketiga
komponen
ini
sering
mengalami
ketidakberdayaan
dalam
membangun dan menciptakan keharmonisan kerja. Padahal jika
ditimbang ketiganya merupakan poros utama yang dapat
menciptakan stabilitas ekonomi nasional. Namun demikian
halnya, yang terjadi justru kaum tidak diperhatikan, baik perhatian
yang diberikan pemerintah atau majikannya itu sendiri. Buruh
selalu dipandang subordinatif dalam pelaksanaan kerjanya,
bahkan mereka dianggap sebagai mesin produksi yang bisa kapan
saja dieksploitasi tanpa batas.
Dengan demikian, secara umum dapat dipahami bahwa
kaum buruh telah mengalami kasus kekerasan yang apabila
ditinjau dari sisi kemanusiaan sangatlah memprihatinkan. Tidak
hanya kekerasan saja, melainkan terdapat juga di antara mereka
yang bekerja dengan tanpa diupah, ditambah lagi terkadang
mereka diposisikan sebagaimana budak yang bebas diperlakukan
serta diperintah sekehendak majikan.
Persoalan perburuhan di Indonesia sesungguhnya bersifat
kompleks, tidak hanya persoalan yang muncul dari hubungan
157
industrial saja,
melainkan juga
berkaitan dengan politik
perburuhan dan intervensi negara. Sehingga secara umum kondisi
buruh di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya
ialah:132
1. Lemahnya posisi tawar (bargaining power) tenaga kerja
(buruh) berhadapan dengan pemilik industri (majikan). Ini
dikarenakan sebagian besar dari mereka tidak memiliki
keahlian khusus (unskilled labor) dan tingkat pendidikan yang
sangat rendah.
2. Tidak adanya organisasi buruh yang cukup berbobot dan
mempunyai kualifikasi yang diperlukan sebagai lembaga
untuk mewujudkan aspirasi dan kepentingan tenaga kerja.
3. Kebijakan pemerintah yang masih kurang responsif dan
akomodatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di
masyarakat. Akibatnya aspirasi yang berkembang, khususnya
dari kalangan bawah tidak terakomodasi secara proporsional.
Di samping itu, pemerintah juga kurang afirmatif terhadap
kepentingan buruh.
Adapun ditinjau dari aspek temuan masalahnya, buruh
terbagi ke dalam lima kategori berikut ini:133
1. Buruh industri. Secara umum, pada sektor industri ini
persoalan
perburuhannya meliputi; terbatasnya akses untuk
berorganisasi, tingkat upah yang masih di bawah ketentuan
132
Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering,
(Jakarta: Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), 2000), h. 10-12.
133
Ibid., h. 13-20.
158
minimum yang tidak layak hidup, keselamatan dan kesehatan
kerja yang belum memadai. Persoalan lain yang tak kalah
penting adalah fasilitas sosial dan keagamaan yang terbatas.
2. Buruh pertanian dan perkebunan. Persoalan yang dihadapi
oleh buruh tani adalah terbatasnya upah yang diterima dan
sistem pengupahan yang digunakan menganut hukum pasar.
Hal ini jelas tidak memadai dibanding buruh lainnya, apalagi
jaminan sosial, keselamatan dan kesehatan kerjanya hampir
tidak ada. Sedangkan persoalan buruh perkebunan adalah
kurangnya perlindungan hukum, tingkat upah yang rendah dan
jaminan keselamatan serta kesehatan kerja yang terabaikan.
3. Buruh perumahan. Persoalan yang dihadapi adalah tidak
adanya batasan jam kerja, upah diberikan berdasarkan
produktifitasnya, ditambah lagi sering terjadi kasus-kasus
penganiayaan yang melibatkan buruh ini.
4. Buruh pertokoan/retail. Buruh ini rentan sekali terhadap
pelecehan karena umumnya kebanyakan dari mereka adalah
perempuan dan ancaman penyakit varises karena harus atau
banyak berdiri. Di samping itu, haknya untuk menjalankan
syari‟at Islam sering dihambat majikan, seperti shalat dan
berbusana muslim.
5. Buruh migran. Persoalan buruh yang terakhir ini adalah
tentang kurangnya perlindungan dan pengawasan dari
pemerintah, sehingga terjadi banyak kasus yang dewasa ini
menimpa buruh migran ini, diantaranya kasus pemerkosaan,
159
pelecehan seksual, penganiayaan, bahkan berujung sampai
pada kematian.
Berdasarkan beberapa fakta perburuhan di atas, sudah
selayaknya kaum buruh mendapatkan perhatian serta perlindungan
dari pemerintah terlebih dari majikannya. Perhatian
dan
perlindungan ini bertujuan supaya dalam suatu relasi kerja tidak
terjadi pelanggaran-pelanggaran yang menimpa kaum buruh. Di
samping itu, sebagai sebuah kewajiban kaum buruh juga harus
selalu dipantau serta diawasi keberadaannya, sehingga tidak ada
lagi buruh ilegal yang bekerja dengan tanpa sepengetahuan pihak
terkait (pemerintah). Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah maupun oleh majikan membuat kondisi mereka
semakin tidak terurus dan cenderung terabaikan.
Dari sini dapat diketahui bahwa sesungguhnya terkandung
suatu masalah dalam sebuah hubungan kerja yang berkaitan
dengan relasi antara buruh dengan majikan yaitu tidak
seimbangnya antara penunaian kewajiban dan pemenuhan hak di
antara mereka. Masalah ini yang kemudian berdampak pada tidak
adanya harmonisasi hubungan kerja. Sehingga relasi yang kurang
harmonis itu pada akhirnya menimbulkan banyak kesenjangan dan
ketimpangan
dalam
dunia
kerja.
Inilah
akar
munculnya
kesenjangan dan masalah-masalah perburuhan yang sampai saat
ini belum bisa teratasi.
Menurut penulis, sistem sekuler-kapitalisme tidak mampu
menjamin
individu
dalam
meraih
kesejahteraan,
justru
160
memberikan beban yang banyak bagi individu yang bekerja di
bawah kuasanya. Berbeda dengan sistem kerja Islam, di mana
Islam selalu memerhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan
hubungan kerja yang terjalin antara buruh dengan majikan serta
mengawasinya dengan baik. Islam senantiasa memberikan
keimbangan antara penunaian kewajiban dan pemenuhan hak-hak
keduanya. Oleh sebab itu, dalam skripsi ini penulis berasumsi
bahwa sistem kerja model ini (sistem sekuler-kapitalisme) sudah
seharusnya digantikan oleh sistem kerja baru (sistem Islam) yang
dapat memberikan capaian baik bagi kesejahteraan individu
(buruh) dalam kehidupannya.
Berawal dari sinilah penulis akan melakukan kritik
terhadap
sistem
perburuhan
tersebut
melalui
dua
aspek
pendekatan, aspek pertama ialah kritik atas aspek kedudukan
buruh-majikan yang dipandang perlu karena dalam sistem sekulerkapitalisme buruh selalu diposisikan subordinatif. Sedangkan
aspek kedua ialah kritik atas aspek relasi keduanya dengan alasan
karena
dalam
sistem
sekuler-kapitalisme
buruh
selalu
dieksploitasi dalam pelaksanaan kerjanya. Dengan demikian,
penulis menilai bahwa sistem sekuler-kapitalisme yang diterapkan
pada konteks perekonomian kita, terutama dalam hubungan
perburuhan yang di dalamnya melibatkan relasi antara buruh
dengan majikan sangatlah menindas dan semakin menghimpit
kondisi buruh dalam bekerja. Oleh karena itu, penulis perlu
menunjukkan segi lain (sistem Islam) yang mengatur relasi
161
keduanya yaitu sebagai bentuk kritik terhadap sistem tersebut
sekaligus sebagai pembenahannya. Berikut adalah kritik atas dua
aspek pendekatan di atas:
1. Kritik Aspek Kedudukan Buruh-Majikan
Selain tidak setuju terhadap pemikiran “mencukupkan
kepada al-ihsa>n al-fardi (kesalehan individual) secara suka
rela”, Islam dalam hal ini hadits tidak setuju terhadap
anggapan orang kaya bahwa mereka adalah pemilik absolut
terhadap harta kekayaannya. Anggapan seperti ini sama
dengan
pandangan
Qarun
yang
menganggap
semua
kekayaannya adalah milik dirinya sendiri. Mereka ingkar
terhadap nikmat Tuhannya, menganiaya masyarakatnya.
Sehingga Allah menenggelamkan seluruh harta, rumah, dan
dia ke dalam perut bumi. Sebagaimana dinyatakan dalam
firman Allah Swt. QS. Al-Qashash ayat 81:
        
       
Artinya:
“Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya
ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu
golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah.
Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat)
membela (dirinya).” (QS. Al-Qashash: 81)
Islam secara tegas menolak pandangan kapitalisme
ini. Islam menganggap bahwa harta atau kekayaan hakikatnya
adalah milik Allah. Dia yang menciptakan dan memberikan
162
kepada manusia. Orang kaya hanyalah wakil dan bendahara
Tuhan yang bertugas mengamankan harta tersebut. Dengan
bahasa lain, orang kaya hanyalah wakil dari pemilik yang
sebenarnya
untuk
menjaga,
mengembangkan,
dan
mendistribusikan sesuai dengan ketentuan yang direstui
Allah.134
Di sini Islam tidak hanya membatasi diri dengan
memberi peringatan dan dorongan untuk mengajak mereka
bersedekah dengan harta kekayaannya, namun Islam juga
menggabungkan dengan adanya intervensi pemerintah (atas
nama syari‟at) agar proaktif mengambil harta benda orangorang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada orangorang miskin.
Dengan demikian, Islam mengintegrasikan dua pola;
pola petunjuk keagamaan dan etika atau moral serta pola
hukum positif dan ketetapan-ketetapan pemerintah.
Dalam aspek kedudukan ini seorang buruh berhak
mendapatkan tempat yang layak serta posisi yang berkeadilan.
Hal ini dikuatkan oleh alasan karena seorang buruh bekerja
untuk membantu meringankan beban pekerjaan majikan,
maka sudah menjadi kewajiban bagi seorang majikan untuk
memberinya tempat yang sesuai serta kedudukan yang
seimbang dalam
134
bekerja,
dalam
artian
bahwa buruh
Yusuf Qardhawi, Teologi Kemiskinan, terj. (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2002), h. 51-52.
163
ditempatkan
pada
suatu
kedudukan
yang
manusiawi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam sangat menghargai dan
menghormati manusia termasuk buruh tanpa memandang
jenis, warna kulit, agama, bahasa, asal-usul, kebangsaan dan
kedudukan sosialnya.135 Allah Swt. berfirman dalam QS. AlIsra‟ (17) ayat 70:
         
      
Artinya:
“Dan sungguh telah Kami muliakan Bani Adam dan
Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami
beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
(QS. Al-Isra‟ (17): 70)
Ayat ini merupakan gambaran bagaimana Allah Swt.
menciptakan manusia dengan segenap kesempurnaan, dan
Allah lebihkan manusia di atas apapun. Ayat ini juga
memberikan isyarat kepada hubungan buruh-majikan supaya
di dalam hubungan yang terjalin di antara keduanya terdapat
nilai-nilai penghargaan dan penghormatan yang termanifestasi
ke dalam hubungan kerja.
Islam dalam memandu hubungan buruh dan majikan
sesungguhnya memiliki prinsip-prinsip yang baik. Prinsip
135
h. 34.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj. (Bandung: Al-Ma‟arif, 1997),
164
utama dalam hubungan kerja yang ditekankan oleh Islam
adalah prinsip kesetaraan dan prinsip keadilan.
Prinsip
kesetaraan
(egaliterisme)
merupakan
penempatan buruh dan majikan pada kedudukan yang sama
atau setara, yaitu sama-sama sebagai pihak yang langsung
membutuhkan dan menyerahkan apa yang dimiliki, baik
dalam bentuk tenaga maupun upah. Prinsip kesetaraan ini
didasarkan pada firman Allah Swt. QS. Al-Hujurat 49 ayat 13:
        
           

Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 49: 13)
Dari ayat tersebut telah jelas bahwa sebagai makhluk
sosial, manusia tidak diperkenankan berbuat suatu hal yang
dapat membawa mad}a>rat (bahaya) bagi sesamanya, karena
sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi-Nya ialah orang
yang bertaqwa kepada Allah Swt.
165
Secara hirarki pekerjaan, keduanya memiliki status
dan peran serta fungsi masing-masing, namun secara
kedudukan
sebagai
makhluk
sosial
keduanya
harus
disetarakan. Sebab berdasarkan asal katanya, status adalah
tempat yang diambil seseorang di dalam masyarakat. 136
Sedangkan peran adalah pola tingkah laku yang diharapkan
oleh masyarakat dari seorang individu yang memiliki status di
dalam masyarakat.137
Sebagaimana halnya status, peran juga selalu terarah
kepada relasi dengan orang lain. Peran yang ideal untuk orang
tua
selalu
didefinisikan
dalam
hubungan
dengan
tanggungjawabnya terhadap anak-anak. Sebaliknya peran
yang ideal seorang anak selalu dikaitkan dengan kewajibankewajiban terhadap orang tua. Begitu juga dengan peran
majikan yang ideal selalu didefinisikan dalam hubungan
dengan tanggungjawabnya terhadap para buruhnya. Sama
halnya peran yang ideal seorang buruh selalu dikaitkan
dengan kewajiban-kewajiban terhadap majikannya. 138
Sedangkan prinsip keadilan merupakan prinsip ideal
yang
menempatkan
perjanjian
yang
masing-masing
telah
dibuat
dan
pihak
memenuhi
memenuhi
semua
kewajibannya. Prinsip keadilan ini menempatkan semua hal
136
Bernard Raho, Sosiologi, (Maumere: Ledalero, 2014), h. 82.
Ibid., h. 86.
138
Ibid., h. 87.
137
166
pada tempat dan porsi yang sesuai. Allah Swt. berfirman
dalam QS. An-Nahl 16 ayat 90:
        
       
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,
dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl
16: 90)
Berdasarkan deskripsi ayat di atas, jelas bahwa
prinsip ini tidak mempedulikan apakah ia sebagai atasan
(majikan) atau sebagai bawahan (buruh), semua diatur sesuai
dengan batas keadilan yaitu pada porsi yang seimbang. Oleh
sebab itu, prinsip keadilan ini dapat dijadikan sebagai sebuah
prinsip dalam mengatur relasi buruh-majikan dalam dunia
kerja.
Kedua prinsip tersebut (prinsip kesetaraan dan
keadilan)
ditambah
dengan
tinjauan
keempat
aspek
kedudukan di atas (aspek yuridis, sosiologis, politik dan
ekonomi) dapat dijadikan sebagai sebuah acuan dalam proses
relasi kerja antara buruh dengan majikan. Di samping sebagai
sebuah acuan, juga dapat dijadikan sebagai landasan berpijak
dalam mengatur hubungan kerja yang terjalin antara
keduanya. Dengan demikian, secara teori kedudukan kedua
167
aspek tersebut ditambah keempat aspek berdasarkan tinjauan
di atas telah membantah sistem sekuler-kapitalisme yang
dalam konteksnya cenderung mengarah pada sistem kerja
eksploitatif.
2. Kritik Aspek Relasi Buruh-Majikan
Sebagaimana
diketahui,
bahwa
sistem
sekuler-
kapitalisme tidak telah membentuk relasi kerja yang
harmonis, justru menciptakan kondisi dunia kerja semakin
memprihatinkan. Salah satunya disebabkan oleh adanya relasi
kerja yang terjalin antara buruh dengan majikan yang tidak
nyambung. Hal ini lebih didasari oleh karena sistem ini
memberlakukan kepemilikan absolut pada pemilik modal dan
tidak mengindahkan para buruhnya dalam bekerja. Sehingga
yang terjadi adalah ketimpangan serta ketidakharmonisan
dalam dunia kerja.
Islam secara tegas telah menyatakan bahwa harta
kekayaan haruslah dikembangkan dengan baik. Wujud
pengembangan
yang
dikehendaki
oleh
Islam
adalah
pengembangan yang dapat mendatangkan kemanfaatan
kepada sesama. Dalam hal ini Islam juga mengharuskan
memelihara kekayaan dengan baik dan tidak menghamburhamburkannya tanpa ada faedah.
168
Dalam memelihara kekayaan dan harta, Islam telah
memberi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:139
a. Melarang
orang-orang
bodoh
memegang
dan
mengembangkan harta kekayaannya sendiri, kalau ia
tidak dapat menggunakannya dengan baik.
b. Melatih anak-anak yatim dalam masa menginjak dewasa,
sebelum hartanya diserahkan. Kalau mereka sudah bisa
mengaturnya sendiri, serahkanlah harta miliknya itu.
c. Mencatat hutang piutang dan penggadaian.
d. Dilarang hidup terlalu mewah dan berlebih-lebihan.
Keempat ketentuan di
atas merupakan
wujud
perhatian Islam terhadap pemeliharaan harta dan kekayaan.
Islam menginginkan supaya ada pemerataan harta dan
kekayaan, sehingga dibuatlah ketentuan-ketentuan tersebut.
Secara relasi, terdapat tiga aspek yang ditekankan
penerapannya sebagai kritik atas sistem sekuler-kapitalisme,
di antara ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, adanya sebuah perjanjian kerja yang jelas
antara buruh dengan seorang majikan. Perjanjian kerja ini
dinilai penting karena di dalamnya memuat berbagai
kesepakatan (baik tertulis atau lisan) yang bisa mengikat
keduanya dalam bekerja. Dengan dibuatnya perjanjian kerja,
maka seluruh aspek kerja menjadi jelas dan terarah.
139
Sayyid Sabiq, Unsur-Unsur Dinamika dalam Islam, terj. (Jakarta:
PT Intermasa, 1981), h. 104-105.
169
Perjanjian kerja sebaiknya dilakukan dengan metode
tertulis, jika perjanjian itu berhubungan dengan sektor kerja
formal. Tetapi apabila perjanjian tersebut berhubungan
dengan sektor kerja informal, maka perjanjian bisa dilakukan
dengan menunjuk satu atau lebih orang sebagai saksi atas
dibuatnya perjanjian kerja tersebut.
Lain dari pada itu, dalam proses perjanjian kerja wajib
bagi majikan untuk menjelaskan besaran upah yang nantinya
akan diberikan kepada buruhnya di akhir pekerjaan.
Penjelasan ini ditujukan kepada buruh supaya dapat
memberikan rangsangan kepada buruh dalam bekerja, di
samping juga sebagai penjelas tentang besaran tenaga yang
nantinya akan mereka curahkan selama kerja berlangsung.
Secara ringkas penulis nyatakan bahwa sistem yang
dikehendaki hadits dalam mengatur perjanjian kerja adalah
sistem keterbukaan, di mana masing-masing pihak saling
mengetahui apa saja yang menjadi hak serta kewajibannya
dalam bekerja.
Kedua, berkaitan dengan waktu kerja dan libur
(istirahat). Meskipun buruh adalah manusia yang secara tugas
kerja mereka berkewajiban melaksanakan perintah dan
tanggungjawab yang diembankan oleh majikan kepadanya,
tetapi secara nilai hadits mereka harus diberi ruang yang
cukup untuk beristirahat, termasuk di dalamnya adalah dalam
hal peringanan beban setoran dan upah. Majikan dalam
170
konteks pekerjaan harus memberikan waktu istirahat yang
proporsional kepada buruhnya. Tujuan diberikannya waktu
istirahat ini adalah agar buruh tidak terlalu kelelahan, di
samping juga untuk menjaga kesehatannya. Ada banyak
karangan buku yang menyebutkan bahwa sesungguhnya
buruh berhak mendapatkan jaminan kesehatan yang mumpuni
dari majikan. Salah satu cara agar buruh selalu sehat adalah
dengan memberikannya waktu istirahat yang cukup.
Waktu
istirahat
(libur)
dalam
analisis
hadits
meringankan beban setoran buruh yang memiliki keahlian
adalah bertujuan agar dalam proses bekerja seorang buruh
tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada dosa.
Apabila buruh tetap dipaksa untuk membayar setoran dan
upah kepada majikan dalam setiap harinya, maka besar
kemungkinan mereka akan melakukan cara-cara yang
abnormal. Oleh karena itu, menjadi penting kiranya penulis
mengkiaskan hadits tersebut dengan waktu libur kerja, karena
secara isi materi peringanan beban setoran dan upah kerja
memiliki relevansi dengan waktu libur buruh. Dengan adanya
pemberlakuan waktu libur yang proporsional atas buruh, maka
kecil kemungkinan buruh tersebut terjerumus ke dalam
lembah kesesatan (dosa) sebagaimana yang dikhawatirkan
pada buruh yang dipaksakan membayar setoran dan upah
kepada majikannya.
171
Ketiga, penunaian upah kerja. Upah ini dalam
prakteknya memiliki peran penting bagi buruh dalam
pelaksanaan tugasnya, karena pada bagian sebelumnya secara
definitif telah dinyatakan bahwa buruh tidak sama dengan
budak. Jika budak adalah orang yang diposisikan sebagai
pembantu, abdi, atau seseorang yang diletakkan layaknya
setengah manusia (subhuman). Berbeda dengan buruh,
mereka adalah orang yang bekerja kepada orang lain dengan
tujuan mendapatkan upah. 140
Jika penulis cermati secara dasar pemahaman, peran
upah di sini sangatlah vital bagi seorang buruh. Penunaian
upah dalam kaitan ini adalah tanggungjawab majikan,
sehingga upah harus diberikan kepada buruh sesuai dengan
kapasitas kerja yang telah dikerjakan oleh buruh tersebut
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Oleh sebab itu,
penting dilakukan koordinasi antara buruh dengan majikan
dalam membahas persoalan upah (di bagian perjanjian kerja).
Pengaturan penunaian upah sangat ditekankan oleh
Nabi, bahkan bahasa kiasan yang dipergunakan Nabi dalam
menjelaskan penunaian upah adalah dengan menyebut
sebelum kering keringatnya (‫)قبل ان يجيف عرقه‬. Di tambah lagi
penegasan beliau tentang peringatan Allah akan orang-orang
yang menunda pembayaran upah buruhnya.
140
Abdul Jalil, Teologi Buruh, (Yogyakarta: LKIS, 2008), h. 1.
172
Secara tegas, kedua hadits itu mengatur agar
penunaian upah dilakukan secepat mungkin dan jangan
sampai menunda, apalagi tidak memberikan. Aturan-aturan itu
memberi ketegasan kepada para majikan agar bersikap
amanah dalam mempekerjakan buruh-buruhnya, termasuk
dalam menggaji buruhnya. Dengan diberlakukannya nilainilai hadits itu, maka sesungguhnya problem perburuhan yang
melibatkan relasi buruh-majikan dapat terminimalisir.
Menurut teori keilmuan, berbagai uraian di atas
merupakan problem sosial yang selama ini dialami oleh
masyarakat, utamanya masyarakat yang menempati kelas
ekonomi rendah seperti halnya buruh. Oleh karena itu, perlu
kiranya penulis melakukan upaya pemecahannya supaya tidak
lagi terjadi kesenjangan-kesenjangan yang berefek pada
semakin meluasnya masalah-masalah perburuhan.
Terdapat tiga tahapan dalam melakukan pemecahan
atas masalah perburuhan yang terjadi dalam konteks sekarang
ini, di antaranya sebagai berikut:141
Pertama, tahapan identifikasi. Tahap ini dilakukan
untuk membuka kesadaran dan keyakinan bahwa dalam
kehidupan masyarakat terdapat masalah sosial. Lebih dari itu,
tahap ini selain memberikan awareness akan keberadaan
masalah sosial juga berfungsi untuk mengubah masalah sosial
141
Soetomo, Masalah Sosial dan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 33-49.
Upaya
Pemecahannya,
173
laten menjadi manifes, serta selanjutnya memberikan inspirasi
dan dorongan bagi dilaksanakannya langkah berikutnya yaitu
diagnosis dan treatment.
Sebagaimana telah penulis uraikan dalam skripsi ini,
bahwa sesungguhnya terdapat masalah perburuhan yang
berimplikasi pada kesenjangan yang terjadi antara buruh dan
majikan dalam dunia kerja. Kesenjangan-kesenjangan itu
diantaranya muncul serta ditandai dengan banyaknya kasus
kekerasan baik secara fisik, mental maupun ekonomi yang
melibatkan relasi keduanya (buruh dan majikan). Kondisi
semacam ini telah banyak diketahui dan disadari oleh publik,
dalam hal ini masyarakat umum mengetahui bahwa semua itu
merupakan masalah sosial yang selama ini telah berlangsung.
Dengan demikian, pada tahap identifikasi ini jelas diketahui
bahwa masalah perburuhan adalah bagian dari masalah sosial
yang harus segera diselesaikan.
Kedua, tahapan diagnosis. Tahap ini dimaksudkan
sebagai upaya untuk mencari dan mempelajari latar belakang
masalah, faktor yang terkait dan terutama faktor yang menjadi
penyebab atau sumber masalah.
Pada tahap ini penulis menemukan sejumlah masalah
yang ada kaitannya dengan sistem perburuhan yakni buruh
ditempatkan pada posisi subordinatif. Buruh dituntut bekerja
di bawah kuasa sistem sekuler-kapitalisme yang sangat
174
menekan keberadaannya terutama dalam urusan pemenuhan
perekonomian dalam hidupnya.
Berkaitan dengan hal ini, terdapat dua pendekatan
yang dapat digunakan untuk mendiagnosis masalah tersebut,
yaitu person blame approach dan system blame approach.
Pendekatan pertama mencari masalah pada level individu,
sedangkan pendekatan kedua beranggapan bahwa sumber
masalah sosial ada pada level sistem, sehingga dalam
mendiagnosis masalah, sumber masalah dicari pada level
sistem juga.
Person blame approach, pendekatan ini lebih melihat
sumber masalah pada faktor-faktor yang melekat pada
individu penyandang masalah, baik faktor fisik, psikis
maupun proses sosialisasinya. Melihat sejumlah korban
kekerasan (baik fisik, mental maupun ekonomi) yang
notabene mereka adalah kaum buruh, menjadi bukti bahwa
pada pendekatan yang pertama ini memang benar adanya.
Sementara itu, system blame approach lebih memfokuskan
pada sistem sebagai unit analisis untuk mencari dan
menjelaskan sumber masalahnya. Pada pendekatan kedua ini,
penulis
mendapati
sejumlah
kejanggalan
pada
sistem
perburuhan yang berlangsung selama ini, sebuah sistem di
mana
buruh
dieksploitasi
secara
besar-besaran
demi
mendapatkan profit yang besar, yaitu sistem sekulerkapitalisme.
175
Ketiga,
tahapan
treatment.
Tahap
ketiga
ini
merupakan upaya pemecahan masalah sosial yang didasari
oleh hasil diagnosis. Pada tahap treatment ini analisis masalah
didasarkan pada tiga penanganan masalah yang semuanya
memiliki ketersambungan dalam melakukan pemecahan
masalah. Tiga usaha penanganan masalah itu adalah sebagai
berikut:142
a. Usaha Rehabilitatif
Fokus utama usaha ini terletak pada kondisi
penyandang masalah sosial, terutama upaya untuk
melakukan perubahan atau perbaikan terhadap kondisi
yang tidak diharapkan menjadi kondisi yang sesuai
harapan. Pada bagian rehabilitasi ini, treatment dilakukan
dengan memperbaiki semua yang diasumsikan sebagai
bentuk
kejanggalan
atau
masalah
yang
harus
diselesaikan. Dalam konteks ini, kejanggalan dan
masalah yang harus diselesaikan adalah permasalahan
perburuhan baik pada tataran level individu maupun
sistem.
Sebagaimana ketujuh hadits yang telah penulis
teliti pada bagian sebelumnya, bahwa ketujuh hadits itu
telah memberi penegasan kepada masyarakat tentang
hubungan antara buruh dan majikan yang harus dibangun
sesuai dengan nilai-nilai yang baik dan berasaskan pada
142
Ibid., h. 53-63.
176
kesetaraan serta keadilan. Sebagaimana telah disebutkan
pada
peraturan
diperhatikan
pemerintah
kesehatan,
bahwa
keselamatan,
buruh
harus
dan
diberi
perlindungan yang memadai. Begitu juga dengan haditshadits
yang telah disebutkan
menegaskan
bahwa
sesungguhnya perhatian terhadap buruh mulai dari
kesehatan, keselamatan dan juga perlindungan perlu
dilakukan oleh pihak majikan, dalam hal ini adalah orang
yang mempekerjakan dan pemerintah karena sebagai
bagian dari pengayom kaum buruh.
b. Usaha Preventif
Usaha preventif ini memiliki fokus perhatian
pada kondisi masalah yang belum terjadi, walaupun
mungkin saja di dalamnya terkandung potensi munculnya
masalah sosial. Dengan kata lain, usaha ini merupakan
usaha pencegahan dan usaha antisipatif agar masalah
sosial tidak terjadi.
Pada usaha yang kedua ini sasarannya adalah
individu, kelompok dan masyarakat yang dikategorikan
masih normal, sehingga masuk di dalamnya adalah kaum
buruh dan majikan, sistem perburuhannya serta tata
kelola yang ada di dalamnya. Semua harus dibangun
dengan kuat dan berasaskan pada nilai-nilai kebaikan
yang berdasar pada syari‟at agama (Al-Qur‟an dan AsSunnah) dan hukum negara yang berlaku. Dengan
177
dibangunnya kekuatan sistem dan tata kelola yang
mendukung, maka hal-hal yang berpotensi buruk yang
dimungkinkan akan terjadi di kemudian hari mampu
dicegah dan diminimalisir dengan baik.
c. Usaha Developmental
Usaha
developmental
dimaksudkan
untuk
meningkatkan kemampuan atau kapasitas seseorang atau
sekelompok orang agar dapat memenuhi kehidupan yang
lebih baik. Dengan peningkatan kemampuan tersebut,
maka akan tercipta suasana
yang kondusif bagi
masyarakat untuk menghadapi berbagai tantangan dan
tuntutan kebutuhan dalam kehidupannya.
Adapun berkaitan dengan usaha development ini,
langkah konkrit yang bisa dilakukan oleh buruh dalam
meningkatkan kemampuannya adalah dengan berlaku
bijak dan bertanggungjawab penuh atas apa yang telah
majikan bebankan kepadanya. Seorang buruh juga harus
mampu berlaku adil, jujur, disiplin serta melaksanakan
kerjanya dengan baik. Semua yang telah menjadi
kesepakatan kerja harus ditaati dengan sebaik-baiknya
oleh buruh, yaitu sebagai wujud rasa tanggungjawabnya
kepada seorang majikan. Hal ini sesuai dengan firman
Allah Swt. dalam QS. An-Nahl (16) ayat 93:
178
        
        
Artinya:
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia
menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan
memberi
petunjuk
kepada
siapa
yang
dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan
ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”
(QS. An-Nahl (16): 93)
Begitu juga dengan majikan yang senantiasa
harus memperhatikan dan mengawasi buruhnya dalam
bekerja, mampu bersikap adil, amanah serta tidak
eksploitatif
dalam
mempekerjakan
buruhnya.
Pengawasan ini dinilai perlu dan penting karena dengan
adanya pengawasan, seorang majikan akan bisa menilai
kinerja buruhnya dengan lebih cermat. Penilaian prestasi
kerja (performance appraisal) ini sangat penting
dilakukan
pelaksanaan
oleh
seorang
kerjanya,
majikan
seorang
supaya
buruh
dalam
senantiasa
terkontrol dan terawasi dengan baik. 143
Dari hasil analisis di atas, penulis berasumsi bahwa
sesungguhnya kondisi buruh yang banyak berkembang seperti
yang terjadi pada konteks sekarang ini patut mendapatkan
143
Soekidjo Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), h. 122.
179
solusi alternatif yang mampu menghantarkan nasibnya kepada
perbaikan serta kelayakan mutu hidup yang lebih mapan dan
lebih terjamin. Penanganan terhadap problem perburuhan
harus dilakukan mulai dari unsur terkecil hingga unsur
terbesarnya. Sehingga kondisi buruh dalam dunia kerja tidak
lagi terbatasi oleh sistem yang menekan, melainkan dapat
berjalan dengan baik.
Untuk mencapai semua itu tentu tidak mudah,
melainkan butuh usaha yang serius dari semua pihak, baik dari
pihak pemerintah, majikan dan atau masyarakat secara umum.
Agar problem perburuhan dapat teratasi, salah satu caranya
adalah dengan menerapkan nilai-nilai yang telah penulis
paparkan pada skripsi ini. Dengan penerapan hasil penelitian
ini, penulis berharap sistem perburuhan yang mengarah pada
sistem sekuler-kapitalisme mampu digantikan oleh sistem
perburuhan Islam yaitu sebuah sistem perburuhan yang telah
Nabi terapkan pada konteks masa lalu, sistem yang dapat
menunjang kehidupan buruh menjadi lebih terarah dan tidak
eksploitatif, juga mampu membawa kemashlahatan bersama
baik untuk kaum buruh itu sendiri maupun untuk majikan.
Dengan terpenuhinya semua aspek serta terciptanya
harmonisasi relasi yang terjalin antara buruh dengan majikan,
maka secara personal hak dan kewajiban buruh bisa terpenuhi
dengan baik, demikian pula hak dan kewajiban majikan. Di
samping itu, secara sistem yaitu terkait dengan usaha
180
membangun sistem ketenagakerjaan dan penegakan hukum
perburuhan, usaha tersebut tidak hanya terhenti pada teoriteori
dan
konsep-konsep
diimplementasikan
secara
real
belaka,
(nyata)
namun
dapat
dalam
sistem
perburuhan.144
Sistem perburuhan yang semula mengarah pada
sistem kerja eksploitatif mampu diubah menjadi sistem kerja
solidariter (sistem kekeluargaan) yang sesuai dengan nilainilai dan ajaran Islam. Dengan diterapkannya sistem tersebut
diharapkan relasi yang terjalin antara buruh dengan majikan
mampu menunjukkan perbaikan, baik perbaikan dalam tataran
individu maupun sistemnya. Sehingga hal ini mampu
memberikan dampak positif bagi terpenuhinya hak-hak serta
kewajiban masing-masing pihak (buruh dan majikan) dalam
bekerja, tercukupinya kebutuhan ekonomi serta terciptanya
keadilan yang merata bagi kaum buruh.
144
Erman Suparno, National Manpower Strategy (Strategi
Ketenagakerjaan Nasional), (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009),
h.51.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian tentang relasi buruhmajikan dalam hadits, penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Kedudukan buruh-majikan dalam hadits diatur secara lebih
rinci,
bahwa
masing-masing
dari
mereka
memiliki
kedudukan yang sama serta tidak ada perbedaan yang
menghantarkan pada perbuatan diskriminatif-subordinatif. Di
samping itu, hadits menempatkan mereka sebagai pihak yang
saling membutuhkan, sehingga tidak ada sikap saling
menjatuhkan yang terjadi antara seorang majikan terhadap
buruhnya maupun buruh terhadap majikannya.
2. Relasi buruh-majikan dalam hadits diatur berdasarkan prinsip
kerjasama, dalam arti bahwa tidak ada perbedaan kelas yang
terjadi antara buruh dan majikan, kedua belah pihak tersebut
saling melakukan kerjasama dengan berbekal pada prinsip
keterbukaan.
3. Kritik
terhadap
sistem
perburuhan sekuler-kapitalisme
diarahkan pada dua segi, yaitu segi kedudukan dan segi
relasi. Segi kedudukan, buruh dan majikan mendapatkan
porsi tempat yang sama dalam bekerja, yaitu tidak ada pihak
yang tersubordinasikan dan atau mendapat perlakuan yang
merendahkan posisi buruh, keduanya memperoleh persamaan
hak dan kewajiban yang jelas dalam melaksanakan tugas
181
182
kerjanya. Sedangkan segi relasi, buruh dan majikan terbagi
ke dalam tiga pengaturan kerja yang meliputi pengaturan prakerja, pelaksanaan kerja dan pasca-kerja. Pra-kerja adalah
segala sesuatu yang perlu disepakati oleh buruh-majikan
sebelum kerja dimulai. Pelaksanaan kerja adalah kegiatan
kerja yang melibatkan peran keduanya. Adapun pasca-kerja
adalah konsekuensi yang berhak diterima oleh masingmasing pihak
setelah semua
pekerjaan
terselesaikan,
termasuk di dalamnya adalah konsekuensi upah yang
merupakan bagian dari hak buruh.
B. Saran-saran
Setelah melakukan penelitian ini, tampaknya perlu
ditindak lanjuti dengan penelitian-penelitian berikutnya yaitu
meneliti secara seksama hadits-hadits lain yang memiliki
pembahasan tentang tema buruh dan majikan, terutama berkaitan
dengan relasi keduanya. Karena apabila penulis amati, kasuskasus yang selama ini melanda sebagian besar kaum buruh di
dunia, terutama di Indonesia adalah berkaitan dengan relasi
keduanya yang tidak sejalan dan atau tidak harmonis, sehingga hal
ini memicu terjadinya banyak polemik yang pada akhirnya
merugikan kaum buruh itu sendiri. Seperti contoh kasus kekerasan
seksual, kasus kekerasan fisik, tidak terpenuhinya perjanjian atau
kontrak kerja, penundaan pembayaran upah kerja dan masih
banyak lagi kasus-kasus yang lainnya. Semua itu merupakan
problem yang patut kiranya mendapat perhatian serius dari kita
182
183
sebagai akademisi, terlebih mengenai bagaimana sesungguhnya
aturan yang diinginkan oleh Islam – dalam hal ini hadits – dalam
ikut andil menyelesaikan problem perburuhan yang selama ini
terkesan diskriminatif, subordinatif dan tidak berkeadilan sosial.
Peneliti merasa bahwa apa yang telah dilakukan belum
sepenuhnya menyelesaikan persoalan. Oleh sebab itu, penulis
masih membutuhkan kritik konstruktif dari berbagai pihak yang
memiliki konsern di bidang kajian tafsir dan hadis Nabi Saw.
Dengan dibangunnya kritik yang konstruktif serta penelitian yang
berkelanjutan, maka diharapkan akan membantu penyelesaian
terhadap konflik perburuhan. Karena walau bagaimanapun mereka
adalah pahlawan “devisa” yang memiliki andil besar terhadap
kemajuan, pembangunan, dan kesejahteraan Negara Indonesia. Di
samping itu, mereka adalah kaum lemah yang selayaknya
mendapatkan perhatian lebih.
Selebihnya, penulis berharap semoga apa yang telah
diteliti pada skripsi ini ada manfaatnya, khususnya untuk peneliti
sendiri dan umumnya untuk pembaca laporan penelitian skripsi
ini.
C. Penutup
Demikian akhirnya dengan mengucap alhamdulilla>hi
rabbil ‘a>lami>n, proses penelitian skripsi ini dapat diselesaikan
sekalipun masih banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya.
Terima kasih, semoga bermanfaat dan membawa keberkahan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Abu Abdillah bin Muhammad bin Hambal, Musnad Ahmad
bin Hambal, Pensyarah: Ahmad Muhammad Syakir dan
Hamzah Ahmad al-Zain), Kairo: Da>r al-Hadi>s|, 1995.
Ahmad, Abu al-Abbas Shihabuddin bin Abu Bakar al-Kannani alBushiri, Zawaid Ibnu Majah ala al-Kutub al-Khamsah,
Ta’liq: Muhammad Mukhtar Husain), Beirut: Da>r al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1993.
al-Ashee, Ibnu Husein,
Pribadi Muslim
Perpustakaan Nuun, 2004.
Ideal,
Semarang:
al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari Syarah Shahih
al-Bukhari, Tahqiq: Abdul Qadir Syaibah al-Hamd), Riyadh:
Maktabah al-Mali>k Fahd al-Wat}a>niyah, 2001.
al-Kahlani, Muhammad bin Isma’il, Subul as-Sala>m, juz 3, Mesir:
Maktabah Musht}afa Al-Ba>bi Al-H{alabi, cet. IV, 1960.
al-Mubarakfuri, Syafiyyurrahman,
Pustaka Islamika, 2008.
Sira>h Nabawiyah, Bandung:
al-Munawi, Abdul Rauf, Faid} al-Qadi>r Syarh al-Jami>’ as-S{agi>r,
Beirut: Da>r al-Makrifah, 1972.
Al-Qarashi, Baqir Syarif, Keringat Buruh, terj. Ali Yahya, Jakarta:
Al-Huda, 2007.
Andang, Al. dkk (Ed.), Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna
Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2004.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Muhammad Saw: The Super Leader
Super Manager, Jakarta: ProLM Centre, 2007.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis,
Jakarta: Bina Aksara, 1989.
as-Syathiby, Ibn Ishaq, Al-Muwa>faqat fi> Us}u>l as-Syari>’ah, (Beirut:
Da>r al-Ma’a>rifah, 1975), h. 8-12. Lihat pula Wahbah azZuhaily, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi, Damaskus: Da>r al-Fikr, 2001.
az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Isla>mi wa Adillatuhu, Damaskus:
Da>r Al-Fikri, 2008.
_________, Fiqh Islam, terj. Jakarta: Gema Insani, 2011.
Bichu, YS. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Citra Harta Prima,
2013.
Direktorat Pengelolaan Informasi Perekonomian, Ketenagakerjaan
dan Serikat Pekerja, 2001.
Djumadi, Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
Yogyakarta: Insist Press, 2001.
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana,
2010.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Ofset, 1993.
Hanafi, Muhammad Muchlis ed., Kerja dan Ketenagakerjaan Tafsir
Tematik), Jakarta: Aku Bisa, 2012.
Hidayat, M.S, . Episode Kelima Gerakan Buruh, Surat Kabar Harian
Republika, tanggal 4 Oktober 1994.
Huda, Qomarul, Fiqh Mu’amalah, Yogyakarta: Teras, 2011..
Iskandar, Muhaimin,
Membajak di Ladang Mesin, Semarang:
Yayasan Wahyu Sosial, 2004.
Jalil, Abdul, Teologi Buruh, Yogyakarta: LKIS, 2008.
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Kartasapoetra, G,. Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan
Pancasila, Jakarta: Sinar Grafika, 1994.
Khaliq, Ahmad Said Abdul dan Unwar al-Amrusy, Syarh Qanu>n alAmal, Maktabah al-Ja>mia>t, h. 20.
Konradus, Danggur, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Litbang
Danggur dan Partners, 2006.
Lopa, Baharuddin,
Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia,
Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.
Majid, Yusuf Abdul Aziz Muhammad Abdul, Syarh Nus}u>s} Niz}am alAmali wa al-Umma>l Fi> Mamlakah al-Ara>biyah as-Su’u>diyah,
Jedah: ad-Da>r as-Su’u>diyah, 1987.
Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syari’ah, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011.
Mubarak, Faishal bin Abdul Aziz Alu, Terjemahan Nailul Aut}ar:
Himpunan Hadits-hadits Hukum, penerj.: A. Qadir Hasan,
dkk.), Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001.
Muhammad, Abu Abdullah bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah,
Ta’liq: Muhammad Nashiruddin al-Albani), Riyadh:
Maktabah al-Ma’a>rif, Tth.
Muhammad, Syamsuddin, At-T{i>b An-Nabawi, Surabaya: Haramain,
t.th.
Mulyanto, Dede, Genealogi Kapitalisme, Yogyakarta: Resist Book,
2012.
Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010.
Muslim, Shahih Muslim, juz 3.
Mustaqim, Abdul, dkk, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam
Memahami Hadits, Yogyakarta: Teras, 2009.
Nata,
Abuddin ed., Kajian Tematik Al-Qur’an
Kemasyarakatan, Bandung: Angkasa, 2008.
Tentang
Notoatmodjo, Soekidjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.
Pusat Bahasa DepDikNas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2005..
_________, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa,
2008.
Qardhawi, Yusuf, Teologi Kemiskinan, terj. Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2002.
Raho, Bernard, Sosiologi, Maumere: Ledalero, 2014..
Rasuanto,Bur, Keadilan Sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2005.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, terj. Bandung: Al-Ma’arif, 1997.
_________, Unsur-Unsur Dinamika dalam Islam, terj. Jakarta: PT
Intermasa, 1981.
Sadily, Hasan, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru, 1984),
cet. ke-6, h. 3718.
Safaria, Anne Friday dkk, Hubungan Perburuhan di Sektor Informal,
terj. Sonya Sondakh, Bandung: Yayasan AKATIGA, 2003.
Said, Hakim Muhammed, The Employer and The Employee-Islamic
Concept, Trans, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1989.
Shihab, M. Quraish, Al-Luba>b, Tangerang: Lentera Hati, 2012.
Soepomo, Iman, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: PT. Ikrar
Mandiri Abadi, 1992.
Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013.
Subangun, Emmanuel, Kapitalisme Gotong Royong, Yogyakarta: CRI
Alocita, 1995.
Subri, Mulyadi, Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif
Pembangunan, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Sudjana, Eggi, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering,
Jakarta: Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia PPMI),
2000.
_________, Buruh Menggugat: Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan 2002.
Sukarno, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan
Perburuhan Pancasila, Bandung: Alumni, 1979.
Suparno, Erman,
National Manpower Strategy Strategi
Ketenagakerjaan Nasional), Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2009.
Suyanto, Bagong, Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi di
Era Masyarakat Post-Modernisme, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013.
Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Taimiyah, Ibnu, Tugas Negara Menurut Islam, terj. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Tim Revisi Buku Pedoman Skripsi, Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Semarang:
Sagha Grafika, 2007.
Winanrni, F. dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji dan Upah,
Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006.
Zuhad, Metode Pemahaman Hadits Mukhtalif dan Asbab Al-Wurud,
Semarang: RaSAIL Media Group, 2011.
file:///C:/Users/pc/Downloads/keadilan.htm, diakses pada Kamis, 18
Juni 2015.
file:///C:/Users/pc/Downloads/keadilan-dalam-islam.html,
pada Kamis, 18 Juni 2015.
diakses
file:///C:/Users/pc/Downloads/SISTEM%20EKONOMI%20KAPITA
LISME%20dan%20SOSIALISME%20_%20diananggraeni.ht
m, diakses pada Minggu, 14 Juni 2015.
http:///SISTEM%20EKONOMI%20KAPITALIS%20%28LIBERAL
%29%20_%20ZUMARA%27S%20BLOG.htm, diakses pada
Minggu, 14 Juni 2015.
http://qoidul.blogspot.com/2013/05/makalah-revolusi-industri.html,
diakses pada Jum’at, 12 Desember 2014.
http://www.radarbanten.com/read/berita/150/16297/TeladanBerpolitik-Rasulullah-Muhammad-SAW.html, diakses pada
Kamis, 19 Februari 2015.
http;///sejarah-dan-perkembangan-ekonomi.html,
Minggu, 14 Juni 2015.
diakses
pada
Kartonmedia. blogspot.com/2013/04/ perbedaan-buruh-dan karyawanatau.html?m=1, diakses pada Kamis, 04 Desember 2014.\
Lilyistigfaiyah.
blogspot.com/2014/09/
pengertian-sektor-usahaformal.html, diakses pada Jum’at, 03 Maret 2015.
Download