KRITIK RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM SEKULER-KAPITALISME PERSPEKTIF HADITS SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits Oleh : ACHMAD AZIZ ABIDIN NIM : 114211012 FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2015 KRITIK RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM SEKULER-KAPITALISME PERSEKTIF HADITS SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits Oleh : ACHMAD AZIZ ABIDIN NIM : 114211012 Pembimbing I Semarang, 25 Mei 2015 Disetujui Oleh, Pembimbing II Dr. Zuhad, MA NIP. 19560510 198603 1 004 Muhtarom, M.Ag NIP. 19690602 199703 1 002 ii NOTA PEMBIMBING Lamp Hal : 4 (empat) eksemplar : Persetujuan Naskah Skripsi Kepada Yth. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang di Semarang Assalamu’alaikum wr. wb. Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya, maka saya menyatakan bahwa skripsi saudara: Nama NIM Jurusan Judul Skripsi : : : : ACHMAD AZIZ ABIDIN 114211012 Ushuluddin/TH Kritik Relasi Buruh-Majikan dalam Sistem SekulerKapitalisme Perspektif Hadits Dengan ini telah kami setujui dan mohon agar segera diujikan. Demikian atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. Semarang, 25 Mei 2015 Pembimbing I Pembimbing II Dr. Zuhad, MA NIP. 19560510 198603 1 004 Muhtarom, M.Ag NIP. 19690602 199703 1 002 iii PENGESAHAN Skripsi Saudara ACHMAD AZIZ ABIDIN dengan NIM 114211012 telah dimunaqasyahkan oleh Dewan Penguji Skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal: 12 Juni 2015 Dan telah diterima serta disahkan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana (S.1) dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits. Ketua Sidang, M. Masrur, M.Ag NIP. 19690602 199703 1 002 Pembimbing I Penguji I Dr. Zuhad, MA NIP. 19560510 198603 1 004 Dr. A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag NIP. 19710402 199503 1 001 Pembimbing II Penguji II Muhtarom, M.Ag NIP. 19690602 199703 1 002 Sri Purwaningsih, …………………… M.Ag NIP. 19700524 199803 2 002 Sekretaris Sidang, Dr. Zainul Adfar, M.Ag NIP. 19730826 200212 1 002 iv MOTTO Artinya: “Bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya.” 1 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Ta’liq: Muhammad Nashiruddin al-Albani), (Riyadh: Maktabah alMa‟arif, Tth.), h. 417. v PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk, Diriku sendiri (Menulis skripsi tidak hanya butuh kecerdasan tetapi juga keteladanan, kesabaran, dan ketabahan) Kedua orang tuaku yang telah memberikan doa dan dukungan (InsyaAllah doamu menghantarkanku pada kesuksesan-kesuksesan selanjutnya) dan, Untuk saudara-saudaraku seiman yang insyaAllah senantiasa dirahmati oleh Allah dalam setiap langkah kebaikan. vi DEKLARASI Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi ataupun tulisan yang pernah diterbitkan oleh orang lain, termasuk juga pemikiran-pemikiran orang lain, kecuali informasi yang penulis peroleh dari referensi yang menjadi bahan rujukan bagi penelitian ini. Semarang, 25 Mei 2015 Penulis, Achmad Aziz Abidin NIM. 114211012 vii ABSTRAKSI Dalam lintasan sejarah, masalah perburuhan (relasi buruhmajikan) senantiasa menjadi topik faktual yang ironis. Hampir setiap kalangan mengakui bahwa buruh berada pada kondisi yang tidak mendapatkan keadilan, khususnya dalam pembayaran upah. Di samping itu, terdapat pula faktor-faktor lain yang membuat kondisi buruh semakin perlu untuk dibela. Dalam tradisi perburuhan yang ada, para buruh sering mendapatkan kekerasan, baik kekerasan yang bersifat mental, ekonomi maupun kekerasan fisik. Buruh semacam ini pada umumnya adalah mereka yang bekerja sebagai buruh migran. Kekerasan-kekerasan dan berbagai aspek lain yang menempatkan buruh pada posisi lemah ini perlu diatasi dengan diberlakukannya sistem kerja Islam sebagaimana yang ada dalam hadits Nabi Saw. Di dalam hadits, Nabi telah mengatur tentang bagaimana bermu‟amalah dengan baik antara buruh dengan majikan. Lain dari pada itu, hadits juga memberikan pengaturan-pengaturan yang di situ berhubungan dengan relasi keduanya. Oleh sebab itu, dalam skripsi ini penulis mencoba mengkritik sistem perburuhan yang ada (sekuler-kapitalisme) berdasarkan nilai-nilai hadits yang memiliki relevansi dengan pembahasan perburuhan. Langkah yang penulis gunakan dalam mengkritik sistem perburuhan tersebut adalah dengan mengumpulkan hadits-hadits perburuhan, lalu mencari pensyarahan hadits-hadits tersebut di dalam kitab-kitab syarah induk maupun di kitab lain yang memuat tentang penjelasan hadits terkait. Dari hasil pensyarahan tersebut, penulis mengkontekstualisasikan nilai-nilai yang dikandungnya terhadap kondisi perburuhan yang berkembang di masyarakat pada saat ini. Adapun yang penulis kritik dalam bagian ini adalah perihal sistem perburuhan itu sendiri dengan memfokuskan pada dua hal: pertama, pada kedudukan keduanya, dan kedua, pada relasi keduanya. Pada aspek kedudukan yaitu tentang posisi buruh dalam sistem tersebut di mana mereka ditempatkan pada posisi subordinatif. Penempatan posisi ini selayaknya tidaklah patut bagi seorang buruh, karena mereka berhak memperoleh haknya secara baik. Sedangkan aspek relasinya yaitu tentang aspek-aspek yang menghubungkan viii keduanya dalam membentuk persekutuan kerja. Di antara aspek-aspek tersebut ialah sebagai berikut: pertama, kontrak kerja, kedua, waktu libur (istirahat), dan ketiga, upah kerja. Kedua aspek tersebut dikritik dengan hadits, sehingga yang semula dalam sistem sekuler-kapitalisme, buruh ditempatkan pada posisi subordinatif dan dipekerjakan dengan eksploitatif, maka kemudian semua itu digantikan dengan sistem kerja Islam, yaitu sistem kerja yang dalam aplikasinya lebih mengutamakan kepentingan buruh di atas kepentingan yang lain, lebih memperhatikan serta memperdulikan hak-hak buruh dalam bekerja dan yang paling inti adalah tidak berbuat kasar terhadap buruh. ix TRANSLITERASI ARAB-LATIN Transliterasi kata-kata bahasa Arab yang dipakai dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Transliterasi ArabLatin” yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI tahun 1987. Pedoman tersebut adalah sebagai berikut: a. Kata Konsonan Huruf Arab ﺍ Nama Huruf Latin Alif ﺏ ﺕ ث Ba Ta Sa tidak dilambangkan B T ṡ ج ح Jim Ha J ḥ خ د ذ Kha Dal Zal Kh D Ż ر ز س ش ص Ra Zai Sin Syin Sad R Z S Sy ṣ ض Dad ḍ ط Ta ṭ ظ Za ẓ ع غ „ain Gain …„ G x Nama Tidak dilambangkan Be Te es (dengan titik di atas) Je ha (dengan titik di bawah) Ka dan ha De zet (dengan titik di atas) Er Zet Es es dan ye es (dengan titik di bawah) de (dengan titik di bawah) te (dengan titik di bawah) zet (dengan titik di bawah) koma terbalik di atas Ge ف ق ك ل م ن و ه ء ي b. Fa Qaf Kaf Lam Mim Nun Wau Ha Hamzah Ya F Q K L M N W H …‟ Y Ef Ki Ka El Em En We Ha Apostrof Ye Vokal Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia terdiri dari vokal tunggal dan vokal rangkap. 1. Vokal Tunggal Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut: Huruf Arab 2. Nama Fathah Kasrah Dhammah Huruf Latin A I U Nama A I U Vokal Rangkap Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu: Huruf Arab ي....ْ .... ْو Nama fathah dan ya fathah dan wau xi Huruf Latin Ai Au Nama a dan i a dan u c. Vokal Panjang (Maddah) Vokal panjang atau Maddah yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: Huruf Arab ...ﺍ... ...ى ....ي ....و Contoh: d. َقَال Nama Fathah dan alif atau ya Kasrah dan ya Dhammah dan wau : qāla َقِيْل : qīla َُيقُىْل : yaqūlu Huruf Latin Ā Ī Ū Nama a dan garis di atas i dan garis di atas u dan garis di atas Ta Marbutah Transliterasinya menggunakan: 1. Ta Marbutah hidup, transliterasinya adalah /t/ Contohnya: 2. ُرَوْضَة : rauḍatu Ta Marbutah mati, transliterasinya adalah /h/ Contohnya: ْرَوْضَة : rauḍah 3. Ta marbutah yang diikuti kata sandang al Contohnya: ُطفَال ْ َرَوْضَ ُة الْا: rauḍah al-aṭfāl e. Syaddah (tasydid) Syaddah atau tasydid dalam transliterasi dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah. Contohnya: َرَّبَنا : rabbanā xii f. Kata Sandang Transliterasi kata sandang dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Kata sandang syamsiyah, yaitu kata sandang yang ditransliterasikan sesuai dengan huruf bunyinya Contohnya: الشفاء : asy-syifā‟ 2. Kata sandang qamariyah, yaitu kata sandang yang ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya huruf /l/. Contohnya : g. القلم : al-qalamu Penulisan kata Pada dasarnya setiap kata, baik itu fi‟il, isim maupun hurf, ditulis terpisah, hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazimnya dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya. Contohnya: وَاِّنَ اهللَ َلهُىَ خَيْ ُر الرَازِقِيْن : wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn wa innallāha lahuwa khairurrāziqīn xiii UCAPAN TERIMA KASIH Bismilla>hirrahma>nirrahi>m Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada sang pionir perubahan, pembebas sejati, Muhammad saw, rasul dan kekasih Allah swt. Skripsi yang berjudul Relasi Buruh-Majikan Dalam Hadits, disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S.1) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran serta arahan dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Yang terhormat Rektor UIN Walisongo Semarang Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku penanggung jawab penuh terhadap berlangsungnya proses belajar mengajar di lingkungan UIN Walisongo. 2. Bapak Dr. H. M. Mukhsin Jamil, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang yang telah merestui pembahasan skripsi ini. 3. Bapak Muhammad Sya‟roni, MA, selaku ketua jurusan Tafsir Hadits dan Bapak Dr. H. Muh. In‟amuzzahidin, M.Ag., selaku sekretaris jurusan Tafsir Hadits yang telah bersedia mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Zuhad, MA, selaku dosen pembimbing I dan Bapak Muhtarom, M.Ag., selaku pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Bapak/Ibu Pimpinan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan UIN Walisongo Semarang beserta stafnya yang xiv telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Para dosen pengajar di lingkungan Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 7. Bapak (Djayusman) dan ibunda (Kustini) tercinta yang telah mendidik, memberikan semangat dan mendoakan hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini. 8. KH. Abdullah Nasir, pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin Rembang dan KH. Sirodj Khudlari, pengasuh Pondok Pesantren Daarun Najaah Semarang yang telah memberikan pelajaran agama dan ilmu yang manfaat-berkah kepada saya. 9. Kekasih tercinta yang telah menjadi motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 10. Berbagai pihak yang secara tidak langsung telah membantu, baik moral maupun material dalam penyusunan skripsi. Selanjutnya penulis berharap, semoga amal kebaikannya yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah Swt. Amin. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya. Semarang, 25 Mei 2015 Penulis xv DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL . ............................................................. i PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii NOTA PEMBIMBING . ......................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ... ............................................. iv HALAMAN MOTTO .. .......................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................. vi HALAMAN DEKLARASI ... ................................................. vii HALAMAN ABSTRAK .... .................................................... viii HALAMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ................... x HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ............................. xiv HALAMAN DAFTAR ISI ..................................................... xvi BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.... ............................... 1 B. Rumusan Masalah.. .......................................... 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.. ....................... 9 D. Tinjauan Pustaka ............................................. 10 E. Metode Penelitian ............................................ 12 F. Sistematika Penulisan.. ..................................... 19 KONSEP HADITS RELASI BURUH-MAJIKAN A. Hadits Etika Mempekerjakan Buruh .............. 21 B. Hadits Etika Buruh Menjaga Harta Majikannya 27 C. Hadits Larangan Membebani Buruh (dalam bentuk setoran, upah, dan atau waktu kerja)............... xvi 34 BAB III D. Hadits Etika Pengupahan Terhadap Buruh ..... 38 E. Konsep Adil dalam Tinjauan Islam ................ 47 RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM SEKULER-KAPITALISME BAB IV A. Pengertian Buruh dan Majikan. ...................... 53 B. Historisitas Perburuhan. .................................. 59 C. Relasi Buruh dan Majikan .............................. D. Sistem Sekuler-Kapitalisme dan Perkembangannya ........................................... 67 ANALISIS HADITS MAJIKAN DAN RELASI KRITIK 92 BURUHSISTEM PERBURUHAN SEKULER-KAPITALISME A. Kedudukan Buruh-Majikan dalam Hadits ...... 100 B. Relasi Buruh-Majikan dalam Hadits............... 121 C. Kritik Hadits terhadap Relasi Buruh-Majikan pada Konteks Sekarang .................................. BAB V 150 PENUTUP A. Kesimpulan.... ................................................. 181 B. Saran-saran...................................................... 182 C. Penutup ........................................................... 183 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan kodrat kemanusiaan, karena syarat kehidupan identik dengan aktivitas. Sementara aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi hajat hidup adalah bekerja. Dengan bekerja, manusia dapat mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya menuju ke arah yang lebih baik. Kehidupan manusia di planet ini mengharuskannya bekerja untuk memperoleh karunia Allah Swt. Karena karunia Allah tersebar di laut, di darat, dan bahkan jauh di dalam perut bumi, tinggal manusia mengerahkan tenaga dan pikirannya agar dapat memperolehnya dengan cara-cara yang lebih mudah dan bermartabat. Keanekaan makhluk di bumi ini menjadi area tempat manusia berkreasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Begitu pula banyak instrumen yang dapat direkayasa untuk memudahkan pekerjaan dan memperoleh apa yang diinginkan manusia sepanjang hayatnya. Hal demikian dapat menciptakan aneka lapangan pekerjaan, ragam profesi, dan relasi-relasi yang timbul terkait dengan pekerjaan itu, salah satunya seperti yang dalam skripsi ini dikaji yaitu berkaitan dengan relasi antara pekerja (buruh) dengan pemberi kerja (majikan). Dalam konsepsi Islam, bekerja merupakan suatu bentuk kewajiban yang mulia atas setiap manusia. Kerja memiliki tujuan 1 2 agar manusia bisa hidup dengan layak dan terhormat di tengahtengah masyarakat. Sehingga semua itu dijadikan sebagai sebuah dasar bahwa bekerja merupakan amal ibadah yang diganjar secara tersendiri oleh Allah Swt. Sesungguhnya Islam menyuruh umatnya agar senantiasa bekerja dengan sungguh-sungguh dan tidak meminta-minta atau bahkan mengandalkan belas kasihan orang lain. Perintah bekerja tersebut dibarengi dengan argumen bahwa Islam tidak mengkhususkan jenis pekerjaan yang wajib dilakukan oleh manusia. Menurut Islam, asalkan pekerjaan itu halal dan juga baik untuk dilakukan, maka Islam senantiasa memperbolehkannya. Berkaitan erat dengan kerja, pada skripsi ini dibahas mengenai kerja upah, di mana kerja yang dilakukan oleh seseorang didasarkan pada jumlah upah tertentu. Dengan kata lain, kerja tersebut adalah kerja sebagai buruh. Sesungguhnya Islam memperbolehkan bekerja sebagai buruh selama pekerjaan itu dilakukan dengan dasar kejujuran dan dengan cara-cara yang baik (ari>f). Menurut pandangan Islam, semua pekerjaan akan bernilai ibadah apabila didasari dengan kesungguhan hati dan niat yang tulus untuk memperoleh ridlo Allah Swt. serta dilakukan dengan kejujuran dan ketekunan. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Al-Faqih Abu al-Laits bahwa segala bentuk gerak atau tindakan 3 yang membawa dampak bagi kemanfaatan di muka bumi adalah ibadah.1 Oleh karena bekerja merupakan suatu bentuk ibadah, maka manusia dalam menjalankan pekerjaannya tidak boleh merasa malu, apapun itu jenis pekerjaannya, termasuk juga bekerja sebagai buruh. Meskipun bekerja sebagai buruh dipandang oleh sebagian orang berkategori rendahan (kerja bawahan), namun Islam tetap memberlakukan sama antara bekerja sebagai majikan atau bahkan sebagai buruh. Buruh adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan imbalan berupa pendapatan, baik imbalan tersebut berupa uang atau bentuk lainnya kepada pemberi kerja (majikan). 2 Sedangkan pengertian upah sendiri adalah bentuk tanda jasa yang berhak diterima oleh seorang buruh dari majikannya, karena ia telah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Perintah bekerja ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt. dalam QS. At-Taubah (9) ayat 105: Artinya: Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu 1 Kartonmedia. blogspot.com/ 2013/ 04/ perbedaan- buruh-dan karyawan- atau.html?m=1, diakses pada Kamis, 04 Desember 2014. 2 Ibid. 4 diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. At-Taubah (9): 105) Bekerja sebagai buruh sudah ada sejak lama dan berkembang serta tersebar luas di berbagai negara di seantero jagat raya ini. Tentu saja pekerjaan ini melibatkan seorang majikan (bos atau pengusaha), karena setiap mu’a>malah kerja yang dilakukan oleh manusia tidak mungkin tidak tanpa adanya suatu relasi yang di dalamnya memuat relasi antara buruh dengan majikan. Jika kita mengamati fakta sejarah, banyak dari umat muslim yang pada waktu itu bekerja sebagai buruh (di antaranya sebagai buruh bekam, buruh ternak/penggembala, buruh dagang, dan buruh tani). Mereka mengabdikan dirinya kepada seorang majikan dengan diberi imbalan berupa upah (dalam bentuk uang maupun barang). Bahkan Nabi sendiri dalam sejarah hidupnya pernah mengabdikan dirinya kepada seorang pemodal yang ternyata kemudian menjadi istrinya, yaitu Khadijah binti Khuwailid. Dengan modal kejujuran dan ketekunan, Muhammad menjalin kerja sama sehingga kedua belah pihak melakukan relasi bisnis (relasi kerja). Tidak hanya itu, bahkan pekerjaan ini sampai saat ini masih banyak diminati dan dilakukan oleh sebagian besar orang. Ditambah kebutuhan ekonomi yang semakin meninggi, maka semakin mengharuskan mereka bekerja apapun, termasuk bekerja sebagai buruh. 5 Terlepas dari semua itu, akhir-akhir ini banyak dikeluhkan oleh sebagian besar masyarakat tentang sistem kerja yang dirasa kurang efektif. Keluhan ini disampaikan oleh banyak dari kaum buruh yang merasa dirinya tertindas dengan diterapkannya sistem kerja sekuler-kapitalisme. Banyak terjadi kesenjangan antara buruh dengan majikan dalam relasi kerja. Buruh selalu menempati posisi subordinatif terhadap majikan. Di bawah kondisi-kondisi materialkapitalisme, buruh dieksploitasi oleh para pengusaha (majikan) dengan alasan profit, belum lagi ditambah kekerasan fisik dan atau mental yang dialaminya membuat semakin tidak sebanding antara gaji yang diterimanya dengan perlakuan yang diberikan oleh sang majikan kepadanya. Eksploitasi dan penindasan terhadap kaum buruh ini merupakan fakta sosiologis dalam masyarakat yang akan terus terjadi selama sistem belum berganti. Karena dalam masyarakat kapitalis, proletariat (kaum buruh) memiliki akses ke sarana produksi mereka sendiri. Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain lagi bagi buruh kecuali menyerahkan hidupnya untuk memperkaya sang majikan hanya untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini berbanding terbalik dengan sistem kerja Islam. Dalam Islam buruh sangat diakui keberadaannya. Mereka diberi tempat yang terhormat, diatur pemenuhan hak-haknya, sistem pengupahan dan perjanjian kerjanya dilakukan dengan kejelasan (keterbukaan). Dengan kata lain, relasi kerja yang terjalin antara 6 buruh dengan majikan dalam semua aspek kerjanya sangatlah diperhatikan oleh Islam. Dalam konteks hadits misalnya, buruh tidak lagi ditempatkan pada posisi subordinatif, melainkan mereka diberi ruang yang nyaman serta dijaga secara baik hak-haknya. Relasi keduanya diatur dengan sangat harmonis, sehingga hal itu dapat menciptakan koordinasi kerja yang positif yang terjalin antara seorang buruh dengan majikannya. Singkatnya, buruh dalam Islam amat sangat diperhatikan, baik dalam hubungan kerjanya, sistem kerjanya, dan pengupahannya. Dengan adanya perhatian ini kondisi buruh mengalami perbaikan, terlebih perbaikan dalam kebutuhan hidupnya. Karena walau bagaimanapun buruh adalah manusia biasa yang menginginkan kehidupan layak serta terhormat, baik dalam lingkup masyarakat maupun dalam lingkungan di mana mereka bekerja. Di antara wujud perhatian yang ditunjukkan oleh Nabi melalui sabdasabdanya (hadits) adalah sebagai berikut: Hadits larangan menunda pembayaran upah buruh ( ) Artinya: "Dari Abu Sa‟id al-Khudriy radhiyallahu „anhu. Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang mempekerjakan (menyewa) seorang buruh sampai dijelaskan (lebih dahulu) besarnya upah baginya, (juga melarang) najsy -menyuruh 7 orang bayaran agar memuji barang dagangan supaya laku-, sentuhan (yang maksudnya jika menyentuh harus membeli), serta lemparan batu (ke barang/target yang akan dibeli).” (HR. Ahmad) Hadits mempercepat pembayaran upah buruh ( ) Artinya: “Dari Abdillah bin Umar berkata, Rasulullah bersabda: Berikanlah upah pegawai (buruh) sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah) Hadits tentang kegiatan Nabi dalam menggembalakan kambing milik penduduk Makkah ( ) Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda: Allah tidak mengutus seorang Nabi, melainkan dia adalah seorang yang pernah menjadi penggembala kambing. Sahabat bertanya: apakah anda juga seorang penggembala? Nabi menjawab: benar. Saya menggembala dengan pembayaran beberapa qira>t} untuk penduduk Makkah.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Ibnu Majah) Tiga hadits di atas merupakan sebagian dari contoh hadits yang dibahas pada skripsi ini. Penulis dalam skripsi ini mencantumkan tujuh hadits yang kesemuanya memiliki fokus tersendiri dalam menjelaskan relasi kerja. Di antara fokus hadits 8 pada pembahasan yang ada dalam skripsi adalah tentang etika mempekerjakan buruh, etika buruh dalam menjaga harta (uang atau benda) majikannya, larangan membebani buruh (dalam bentuk setoran, upah dan atau waktu kerja), dan etika pengupahan terhadap buruh. Berdasarkan informasi di atas berikut temuan-temuan masalahnya, maka penulis menganggap perlu untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan relasi buruhmajikan, sehingga nantinya dapat diketahui perihal bagaimana sesungguhnya relasi buruh-majikan yang terjadi pada konteks masa lalu (sosio-historis). Dengan mengetahui konteks sejarahnya, nilainilai dan norma-norma positif yang terkandung di dalamnya dapat ditarik ke masa sekarang sebagai alat kritik atas sistem perburuhan sekuler-kapitalisme. Sehingga problem terpenting yang penulis kaji dalam skripsi ini meliputi tiga hal yaitu berkenaan dengan kedudukan buruh-majikan dalam hadits, relasi buruh-majikan dalam hadits dan kritik terhadap relasi buruh-majikan pada konteks sekarang (kritik sistem sekuler-kapitalisme). Dengan berbekal pada semua itu, penulis berharap semoga penelitian yang berjudul KRITIK RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM SEKULER-KAPITALISME PERSPEKTIF HADITS ini dapat memberikan manfaat, baik kemanfaatan untuk dunia akademik terlebih sebagai pemahaman kepada masyarakat secara umum tentang pentingnya pemenuhan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan sistem kerja upah sebagai buruh. Di 9 samping itu juga sebagai tolok ukur bagi masyarakat terlebih pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan pekerjaan tersebut atau pihak yang mempekerjakan, sehingga dalam sistem perburuhan di berbagai bidang pekerjaan tidak lagi memunculkan kesenjangan-kesenjangan dan sikap tidak adil (diskriminatif) terhadap kaum buruh serta buruh tidak lagi ditempatkan pada posisi subordinatif. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pemikiran yang telah dikemukakan di atas, maka penulis mencantumkan tiga rumusan masalah, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan buruh-majikan dalam hadits? 2. Bagaimana relasi buruh-majikan dalam hadits? 3. Bagaimana kritik hadits terhadap relasi buruh-majikan pada konteks sekarang? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan, yaitu: 1. Mengetahui perihal kedudukan buruh-majikan dalam hadits. 2. Sebagai bentuk tinjauan sosio-historis berkaitan dengan hubungan timbal balik yang terjalin antara buruh dengan majikan, sehingga mampu diungkap secara jelas bagaimana sesungguhnya relasi buruh-majikan dalam hadits. 3. Mengetahui nilai-nilai yang diperoleh dari hadits untuk diaktualisasikan terhadap relasi buruh-majikan pada konteks 10 sekarang. Sehingga hadits tidak hanya dipahami dan dianggap sebagai bukti sejarah yang statis, melainkan ia dinamis serta mampu menjawab problem sosial yang terjadi pada konteks sekarang. Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu: 1. Sebagai suatu bentuk pemahaman atas pentingnya memenuhi hak dan kewajiban dalam bekerja. 2. Memberikan pemahaman tentang konteks hadits buruhmajikan berdasarkan aspek sosio-historisnya. 3. Sebagai tolok ukur serta alat kritik konstruktif yang dapat digunakan serta diterapkan dalam sistem perburuhan. D. Tinjauan Pustaka Sejauh yang penulis ketahui, tidak atau belum diketemukan skripsi yang sama membahas tentang KRITIK RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM SEKULERKAPITALISME PERSPEKTIF HADITS. Dalam hal ini penulis mencantumkan beberapa judul skripsi yang dianggap memiliki relevansi dengan judul skripsi yang sedang penulis bahas, di antaranya: Skripsi yang berjudul Tafsir Ayat Buruh Dalam Al-Qur’an, yang ditulis oleh Umniya Labibah, mahasiswi Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang tahun 2003. Skripsi ini membahas tentang penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an tentang keadilan buruh dengan pendekatan hermeneutik. Di dalamnya diungkap perihal 11 kondisi buruh yang digambarkan oleh Al-Qur‟an serta penjelasan mengenai keadilan terhadap kaum buruh. Skripsi yang berjudul Mustad}’afin Dalam Al-Qur’an, yang ditulis oleh Putri Ningsih, mahasiswi Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang tahun 2011. Berbeda dengan skripsi pertama, skripsi yang kedua ini lebih menekankan pembahasannya pada mustad}’afin atau yang sering disebut dengan kaum lemah menurut pandangan Al-Qur‟an dengan menggunakan pendekatan hermeneutika Fazlurrahman. Tesis berjudul Fiqh Perburuhan, yang ditulis oleh Ali Fakhruddin, mahasiswa Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang tahun 2003. Tesis itu membahas tentang tinjauan hukum fiqh perburuhan terhadap kasus TKI di luar negeri yang selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Di samping skripsi-skripsi di atas, terdapat pula beberapa buku yang membahas tentang perburuhan, diantaranya: Buku yang berjudul Hubungan Perburuhan di Sektor Informal, oleh Anne Friday Safaria dkk, yayasan Akatiga, Bandung, 2003. Buku itu mengkaji tentang buruh di sektor informal yakni di dalamnya dibahas mengenai relasi buruh dan majikan. Buku yang berjudul Syarh} Nus}u>s} Niz}am al-‘Amal wa al‘Umma>l fi> al-Mamlakah al-‘Arabiyyah, oleh Yusuf Abdul Aziz Muhammad Abdul Majid, al-Daar al-Su‟udiyyah, Jedah, 1987. Di dalamnya dibahas tentang akad bekerja, kewajiban pekerja dan 12 orang yang mempekerjakan. Lain daripada itu, dibahas pula mengenai waktu bekerja dan istirahat untuk pekerja dalam seminggu. Buku yang berjudul Pengantar Hukum Perburuhan, oleh Iman Soepomo, PT. Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta, 1992. Buku itu membahas tentang pengertian buruh dan majikan serta dijelaskan juga mengenai hubungan kerja dan hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek perburuhan. Buku yang berjudul Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, oleh G. Kartasapoetra, Sinar Grafika, Jakarta, 1994. Buku itu membahas tentang perburuhan pancasila, perjanjian kerja sebagai awal melakukan hubungan kerja, pemberian upah oleh majikan, waktu bekerja, dan perlindungan serta keselamatan kerja. Melihat beberapa tinjauan pustaka di atas, penulis berkesimpulan bahwa belum ada kajian yang membahas relasi buruh-majikan dalam hadits secara komprehensif, yakni kajian kritik terhadap sistem perburuhan sekuler-kapitalisme dengan mempergunakan hadits sebagai alat kritiknya. Sehingga dari semua itu bisa diketahui relasi buruh dan majikan yang dikehendaki oleh hadits serta aplikasinya pada konteks sekarang. E. Metode Penelitian Metode penelitian adalah pendekatan, cara, dan teknis yang akan dipakai dalam proses pelaksanaan penelitian yang 13 sangat tergantung pada disiplin ilmu yang dipakai serta masalah pokok yang dirumuskan.3 Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, yang secara teknis pelaksanaannya lebih menekankan pada kajian teks. Penulis menginventarisir haditshadits yang berhubungan dengan buruh-majikan, kemudian mengutip pendapat para Ulama‟ berkaitan dengan transmisi sanadnya dan selanjutnya dilakukan analisis matan. Pada bagian matan inilah, penulis menggunakan pendekatan sosio-historis yaitu dengan menelaah sebab-sebab munculnya hadits perburuhan tersebut beserta konteks sosial yang melatarbelakanginya dan pendekatan sosiologis dengan cara mengaitkan pada fakta sosial yang berkembang sekarang, agar hadits-hadits tersebut berdasarkan konteksnya dapat dipahami secara komprehensif (ka>ffah), lalu mampu diterapkan sebagai alat kritik terhadap sistem perburuhan sekuler-kapitalisme. Adapun hal-hal lain yang berkaitan dengan metodologi penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Data Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan jenis data berupa data kepustakaan (library research), yaitu 3 Tim Revisi Buku Pedoman Skripsi, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, (Semarang: Sagha Grafika, 2007), h. 23. 14 penelitian melalui riset kepustakaan untuk mengkaji sumbersumber tertulis yang telah dipublikasikan maupun yang belum. 4 Dalam hal ini penulis menelaah literatur-literatur bacaan yang berkaitan dengan tema besar dalam skripsi ini, sehingga dapat diperoleh informasi-informasi dan keteranganketerangan yang lengkap mengenai relasi buruh-majikan dalam hadits. Adapun secara garis besarnya, penelitian ini terbagi ke dalam dua tahap, yaitu pengumpulan data dan pengolahan data. Data-data yang sudah terkumpul diolah sedemikian rupa, sehingga diperoleh pemahaman yang ketat dan komprehensif mengenai relasi buruh-majikan dalam hadits sebagaimana yang penulis harapkan dalam skripsi ini. 2. Sumber Data Bersesuaian dengan judul skripsi dalam penelitian ini, sumber data yang penulis gunakan terbagi menjadi dua, yaitu: a. Data primer (utama), yakni kitab-kitab syarah hadits, baik klasik maupun kontemporer, dan buku-buku atau sumber bacaan lain tentang sistem sekuler-kapitalisme. Data primer ini merupakan data utama yang penulis gunakan sebagai rujukan di dalam proses analisis pada bab empat. Di samping itu, sebagai bahan penelitian pada skripsi ini. Sehingga, kitab-kitab syarah hadits dan sumber-sumber 4 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), h. 10. 15 tersebut di atas dapat digunakan sebagai penjelas mengenai isi dari skripsi ini. b. Data sekunder (pendukung), yakni data pendukung dari data primer. Data sekunder ini berfungsi sebagai pendukung dari data pertama di dalam melakukan analisis pada bab empat. Data-data tersebut di antaranya meliputi: kitab-kitab hadits pendukung (selain kutub as-sittah), kitab-kitab syarah hadits yang memiliki relevansi dengan hadits-hadits yang dibahas dalam skripsi ini, kitab sira>h} nabawiyyah, dan sumbersumber ilmiah lainnya, baik berupa skripsi, tesis, disertasi, artikel, jurnal, majalah, dan koran yang memiliki relevansi dengan pembahasan dalam penelitian skripsi ini. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam rangka pengumpulan data, penulis dalam penelitian ini menempuh jalan keluar dengan cara mengumpulkan sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan relasi buruh-majikan dalam sistem sekuler-kapitalisme. Kemudian setelah data-data itu terkumpul, langkah selanjutnya yang penulis tempuh ialah dengan menelaah sejumlah buku, hasil penelitian (seperti: skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal), dan sumber-sumber informasi lainnya yang relevan dengan pembahasan relasi buruh-majikan dalam sistem sekulerkapitalisme. Dalam proses pengumpulan data ini, penulis menggunakan dua sistem pencarian, yaitu pencarian secara 16 manual, dengan mencari sumber-sumber bacaan yang tersedia di perpustakaan maupun di toko-toko buku atau berdasarkan informasi-informasi yang tersedia di lapangan, dan pencarian melalui aplikasi, dengan cara mendownload sumber-sumber bacaan secara online dan disimpan dalam bentuk file, sehingga pencarian dilakukan dengan membuka file download-tan tersebut. 4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya yang penulis tempuh demi mendapatkan informasi yang utuh ialah dengan mengolah data-data tersebut dengan beberapa kegiatan di antaranya: mendiskripsikan pengertian buruh dan majikan, historisitas perburuhan, relasi keduanya dalam dua sektor kerja (formal dan informal), dan menjelaskan sistem sekulerkapitalisme itu sendiri beserta perkembangannya. Adapun analisis data dilakukan dengan beberapa kegiatan yaitu: identifikasi problem perburuhan, baik dengan pendekatan kepustakaan maupun lapangan (sebagai penunjang data kepustakaan), kategorisasi relasi buruh-majikan berdasarkan tinjauan aspek-aspek ilmu umum (seperti: ilmu hukum, ilmu sosiologi, ilmu politik, dan ilmu ekonomi) maupun ilmu keislaman (seperti: ilmu ushu>l fiqh, ilmu fiqh, ilmu tafsir, dan ilmu hadits), diskripsi operasional tentang sistem sekulerkapitalisme, dan dilanjutkan kritik atas sistem sekuler- 17 kapitalisme dengan menggunakan hadits sebagai pisau analisisnya. Di dalam penelitian ini, penulis menganalisis data-data tersebut di atas dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Metode ini penulis gunakan untuk menganalisa data dengan menggunakan pembahasan yang beranjak dari pemikiran yang bersifat umum, kemudian disimpulkan dalam pengertian khusus.5 Dalam metode deskriptif-analitis ini, penulis menggunakan dua pendekatan yang dipandang sesuai dengan tujuan penelitian pada skripsi ini. Dua pendekatan tersebut ialah sebagai berikut: Pertama, Pendekatan Sosio-Historis. Pendekatan ini berupaya mendefinisikan keadaan-keadaan dan hal ihwal yang menjadi sebab datangnya hadits dari Nabi Muhammad Saw., artinya ia merupakan suatu peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw., atau pertanyaan yang diajukan kepada beliau, lalu muncul jawaban atau respon untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa itu.6 Pendekatan ini merupakan sebuah tinjauan mengenai setting sosial kemasyarakatan yang melatar belakangi munculnya teks (hadits-hadits Nabi Saw.), yaitu berkaitan 5 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1993), h. 85. 6 Zuhad, Metode Pemahaman Hadits Mukhtalif dan Asbab AlWurud, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011), h. 189. 18 dengan relasi buruh-majikan, sehingga teks tersebut pada akhirnya mampu dipahami secara kontekstual. Pendekatan sosio-historis menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi bersabda demikian? Bagaimana kondisi sosiohistoris masyarakat pada saat itu? Serta mengamati proses terjadinya peristiwa tersebut. 7 Dengan berbekal pada pendekatan ini, maka dalam proses analisis akan mampu dipahami secara kontekstual ruang lingkup hadits terkait untuk selanjutnya dikontekstualisasikan dengan fakta perburuhan (relasi buruh-majikan) yang ada pada masa sekarang. Kedua, Pendekatan Sosiologis. Pendekatan sosiologis ini mempelajari tentang bagaimana dan mengapa tingkah laku sosial yang berhubungan dengan ketentuan hadits yang dibahas.8 Dengan memahami kondisi sosial beserta tingkah lakunya, data hadits berikut perangkat-perangkatnya (sosiohistoris hadits) mampu dikomparasikan dengan fakta sosial yang telah atau sedang berkembang di dalam masyarakat, yaitu dalam hal ini berkaitan dengan relasi buruh-majikan dalam bingkai sistem sekuler-kapitalisme. Dengan demikian, dapat diperoleh kesimpulan dan pemecahan masalah yang sesuai dengan harapan penulis pada skripsi ini. Sebagai tambahan, dalam penelitian skripsi ini penulis melakukan analisis data dengan menggunakan tiga alur kegiatan 7 Abdul Mustaqim, dkk, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 8. 8 Ibid., h.8. 19 yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. F. Sistematika Penulisan Secara garis besar, skripsi ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: bagian muka yang terdiri dari; halaman judul, nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar, halaman pedoman literasi, dan halaman daftar isi serta halaman daftar diagram dan tabel. Adapun bagian isi atau batang tubuh karangan terdiri dari: Bab pertama: bab ini merupakan pendahuluan dari seluruh tulisan, oleh karenanya pada bab pertama ini terdiri dari; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua: bab ini merupakan kerangka teoritik guna menjadi rujukan dan kerangka berpikir dalam memahami pembahasan-pembahasan pada bab selanjutnya. Bab kedua ini merupakan penyajian data dari hasil penelitian, yaitu pemaparan hadits-hadits Nabi Saw. tentang relasi buruh-majikan, meliputi penyajian redaksional hadits relasi buruh-majikan, diikuti dengan kutipan para Ulama‟ tentang status sanad (transmisi sanad), baik berkaitan dengan ketersambungannya maupun sisi kes\iqahan para periwayatnya, dilanjutkan penjelasan tentang matan hadits. Bab ketiga: Pada bab ketiga ini berisi relasi buruh-majikan dalam sistem sekuler-kapitalisme. Di dalamnya meliputi uraian 20 pembahasan tentang pengertian buruh dan majikan, historisitas perburuhan, relasi buruh-majikan; relasi tersebut dibahas berdasarkan dua sektor kerja, yaitu sektor kerja formal dan sektor kerja informal, dan yang terakhir sistem sekuler-kapitalisme dan perkembangannya. Bab keempat: bab ini merupakan analisis penulis, sebagaimana fokus penelitian ini yaitu tentang KRITIK RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM SEKULER- KAPITALISME PERSPEKTIF HADITS. Pembahasan pada bab ini meliputi analisis: 1) Kedudukan buruh-majikan dalam hadits, di dalamnya memuat deskripsi tentang kedudukan buruh-majikan ditinjau dari aspek yuridis, sosiologis, politik, dan ekonomi. 2) Relasi buruh-majikan dalam hadits, di dalamnya memuat sub pembahasan yaitu: (1) buruh dan majikan dalam hubungan pekerjaan, (2) buruh dan majikan dalam penjagaan harta, (3) buruh dan majikan dalam waktu libur. (4) buruh dan majikan dalam penunaian upah. 3) kritik hadits terhadap relasi buruh-majikan pada konteks sekarang. Di dalamnya diuraikan kritik terhadap relasi buruh-majikan pada konteks sekarang secara kedudukan dan relasinya. Bab kelima, bab kelima ini merupakan penutup dari keseluruhan isi tulisan. Di dalamnya berisi; kesimpulan, saransaran dan penutup. Bagian penutup terdiri dari daftar pustaka, lampiran-lampiran dan riwayat singkat penulis. BAB II KONSEP HADITS RELASI BURUH-MAJIKAN A. Hadits Etika Mempekerjakan Buruh Dalam sub bab ini terdapat dua hadits yang menerangkan etika majikan dalam mempekerjakan buruhnya. Bahwa di dalam seorang majikan mempekerjakan buruhnya, terdapat etika (tata cara) yang diatur secara jelas dalam hadits-hadits Nabi di bawah ini: 1. Hadits pertama adalah riwayat Imam Ahmad nomor 11503 dan 11592 tentang larangan Nabi Saw. kepada majikan dalam mempekerjakan buruh sampai dijelaskan besaran upahnya. Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Hammad, dari Abu Sa‟id al-Khudriy radhiyallahu „anhu. Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang mempekerjakan (menyewa) seorang buruh sampai dijelaskan (lebih dahulu) besarnya upah baginya, (juga melarang) najsy -menyuruh orang bayaran agar memuji barang dagangan supaya laku-, sentuhan (yang maksudnya jika menyentuh harus membeli), serta lemparan batu (ke barang/target yang akan dibeli).” (HR. Ahmad)9 9 Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Pensyarah: Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad alZain), (Kairo: Da>r al-Hadi>s|, 1995), vol. 10, h. 185 dan 215. 21 22 Perkataan yang termuat dalam redaksi hadits di atas yaitu "...sehingga lebih dahulu dia harus menjelaskan upahnya..." dijadikan sebagai dalil oleh Ulama yang berpendapat bahwa menentukan upah adalah wajib hukumnya. Mereka yang berpendapat demikian adalah Ulama kalangan Ahli Bait seperti asy-Syafi'i, Abu Yusuf, dan Muhammad. Sedangkan Malik, Ahmad, Ibnu Syibrimah berpendapat bahwa upah tidak wajib hukumnya, apabila upah tersebut sudah ma'ru>f (dimaklumi) dan dipandang baik oleh umumnya orang Islam. Dalam hal ini pendapat pertama lebih dikuatkan dengan alasan mengqiyaskan pada harga penjualan (yang harus dilakukan dengan jelas).10 Kewajiban menjelaskan upah ini dilakukan oleh pihak majikan (pihak pengupah) kepada pihak buruh. Penjelasan upah tersebut dimaksudkan supaya pihak buruh mengetahui besaran upah yang nanti akan ia terima saat setelah menyelesaikan tugas kerjanya. Upaya penjelasan ini dinilai perlu karena dalam proses mu‟amalah, keterbukaan merupakan sikap yang sangat ditekankan, baik oleh pihak pemberi pekerjaan (majikan) atau pihak pelaksana pekerjaan (buruh). Majikan dalam hal ini tidak hanya menjelaskan upah buruhnya saja, namun lebih dari itu ia harus pula menjaga hak-haknya yang lain, sebagaimana ia menjaga haknya dalam urusan upah. Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Terjemahan Nailul Aut}ar: Himpunan Hadits-hadits Hukum, (penerj.: A. Qadir Hasan, dkk.), (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), Vol. 4, h. 1882. 10 23 Oleh karena penjelasan upah ini diqiyaskan dengan harga penjualan, maka penjelasan mengenai upah buruh tersebut harus dilakukan dengan sistem keterbukaan. Sistem keterbukaan ini akan membawa dampak baik bagi keduanya, sebab dengan digunakannya sistem ini kedua belah pihak bisa saling mengetahui hak serta kewajiban masing-masing. Di samping itu, dengan adanya sistem keterbukaan ini pihak buruh dapat mengukur seberapa besar tenaga yang akan dicurahkannya. Syaikh Ahmad Syakir menjelaskan bahwa sanad hadits tersebut shahih. Maksud dari (ilqo>’ al-h}ajar) dalam hadits itu adalah salah satu bentuk pembelian barang dengan cara melempar batu-batu kecil (seperti kerikil). Karena menurut adat yang berlaku pada waktu itu, calon pembeli suatu barang melemparkan batu kecil ke arah sejumlah barang yang dituju dan apabila lemparan kerikil itu mengenai barang tersebut maka terjadilah akad jual beli atas barang tadi.11 Sedangkan najsy yaitu menyuruh orang yang dibayar untuk memuji barang dagangannya supaya laku terjual. Adapun lams yaitu setiap orang yang menyentuh barang tersebut diharuskan membeli. 12 Kesemuanya merupakan permainan spekulasi pada jual beli yang dilakukan oleh para pedagang 11 Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Op.Cit., h. 185. 12 Ibid. 24 untuk mendapati untung yang melimpah. Dari sini kemudian Nabi menyabdakan dalam sebuah haditsnya tentang larangan melakukan ketiga hal tersebut, karena ketiganya mengandung unsur penipuan. Sama juga dalam urusan upah, bahwa Nabi menyuruh para majikan agar menjelaskan terlebih dahulu upah buruhnya sebelum akad kerja dimulai. 2. Adapun hadits kedua yaitu riwayat Imam Bukhari nomor 2264 tentang Nabi dan Abu Bakar mempekerjakan buruh sebagai seorang penunjuk jalan. Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair, telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari „Uqail, (dari) Ibnu Syihab yang berkata, Telah mengabariku „Urwah bin al-Zubair, bahwa sesungguhnya „Aisyah radhiyallaohu „anha –istri Rasulullah Saw.- berkata: “Nabi Saw. dan Abu Bakar radhiyallah „anhu menyewa seorang lelaki dari Bani ad-Di>l untuk menjadi penunjuk jalan. Dia orang yang terampil dan masih menganut agama Kafir Quraisy. Keduanya menyerahkan hewan tunggangannya kepada Nabi dan Abu Bakar r.a., dan keduanya menjanjikan beliau Saw. (akan bertemu kembali) di Gua Tsur setelah (berlalu) tiga malam. 25 Maka keduanya mendatangi beliau berdua (Nabi Saw. dan Abu Bakar r.a.) dengan (membawa) hewan tunggangan pada pagi hari ketiga.” (HR. Al-Bukhari)13 Hadits tersebut menjelaskan tentang kebolehan seorang majikan mempekerjakan buruhnya setelah tiga hari, dengan catatan bahwa keduanya (buruh dan majikan) terikat oleh sebuah syarat sebagaimana yang telah dibuat dan disepakati oleh keduanya ketika sudah datang waktunya. Pada hadits di atas dijelaskan bahwa sesungguhnya keduanya menjanjikan seorang penunjuk perjalanan dengan kendaraannya setelah waktu tiga hari. Dalam hal ini al-Isma‟iliy mensinyalir bahwa sesungguhnya tidak ada berita yang mengatakan bahwa keduanya mempekerjakannya (menyewanya) untuk tidak bekerja kecuali setelah tiga hari, bahkan dijelaskan pula bahwa keduanya mempekerjakannya (menyewanya) dan telah dimulai (akadnya) bekerja semenjak waktu penyerahan hewan tunggangan kepada beliau Saw. dan Abu Bakar r.a., setelah itu kemudian mereka menjaga dan menunjukkan jalan sampai keduanya mendapatkan jalan keluar (dari kejaran kaum kafir Quraisy). 14 Dikatakan bahwa keduanya menyewa seorang penunjuk jalan adalah untuk menghindari kejaran kaum kafir Quraisy 13 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, (Tahqiq: Abdul Qadir Syaibah al-Hamd), (Riyadh: Maktabah alMali>k Fahd al-Wat}a>niyah, 2001), vol. 4, h. 518. 14 Ibid. 26 karena pada waktu itu Nabi diburu oleh para kafir Quraisy. Sehingga Nabi memutuskan meninggalkan rumah pada tanggal 27 shafar tahun 14 dari nubuwah menuju rumah sahabatnya, yaitu Abu Bakar r.a. Setelah Nabi bertemu dengan Abu Bakar, mereka berdua kemudian pergi bersama menuju Madinah dengan mengambil jalur yang mengarah ke Yaman, dari Makkah ke arah selatan. Mereka bersembunyi di dalam gua selama tiga malam, yaitu malam jum‟at, malam sabtu, dan malam ahad. Di tengah perjalanan menuju Madinah inilah beliau menyewa dua orang sebagai penunjuk jalan. Satu dari mereka menjadi penuntun unta, sedang yang lainnya sebagai penunjuk jalan.15 Ibnu Hajar dalam konteks hadits itu menyatakan bahwa orang yang menuntun kedua hewan tunggangan Rasul Saw. dan Abu Bakar adalah bernama Amir ibn Fahirah dan bukanlah si penunjuk/pemandu jalan. Jadi, dari sini bisa diketahui bahwa terdapat dua orang yang disewa oleh Rasul Saw. yaitu salah satunya menjadi penuntun unta, sedang yang lainnya sebagai penunjuk jalan. Kemudian Ibnu al-Munayyar berpendapat bahwa di dalam hadits itu tidak terdapat penegasan hukum yaitu mengenai hukum ijarah yang dilaksanakan bukan sejak di awal perjanjian, baik yang menetapkan maupun yang menafikan. Hal Syafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sira>h Nabawiyah, (Bandung: Pustaka Islamika, 2008), h. 223-224. 15 27 itu diperbolehkan karena dalam masa yang pendek yaitu tiga hari, sehingga kecil kemungkinan terjadi unsur garar (penipuan) yang sering terjadi pada jenis ija>rah jangka panjang. Pendapat ini menjadi pilihan madzhab Imam Malik mengenai batas kebolehan dalam jual beli, asalkan barang dagangannya tidak mengalami perubahan (nilai) dalam masanya. Sehingga dari kisah ini dapat dijadikan istinbat tentang bolehnya akad sewa-menyewa rumah dalam batas waktu tertentu sebelum dijalankannya awal masa kontrak penyewaan itu. Hal ini didasarkan atas sahnya hukum dasar dalam riwayat tersebut yang juga menghasilkan permasalahan variasi (turunan) lainnya.16 B. Hadits Etika Buruh Menjaga Harta Majikannya Secara sadar bahwa hubungan buruh dengan majikan adalah tidak hanya terbatas dalam urusan pekerjaan saja, lebih dari itu pelaksanaan kerja buruh juga memiliki keterkaitan erat dengan urusan menjaga harta (berupa uang atau benda). Seorang buruh memiliki kewenangan menjaga harta majikannya, karena hal itu merupakan bagian dari pekerjaannya. Sehingga dari sini terdapat dua hadits yang menjelaskan tentang kewajiban buruh dalam menjaga harta majikannya. 1. Hadits pertama yaitu riwayat Imam Bukhari nomor 2663 tentang kewajiban buruh menjaga harta majikan. 16 Ibid. 28 Artinya: Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad, di berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yunus, dari al-Zuhri yang berkata: Telah mengabarkan kepada kami Salim bin Abdullah, dari Ibnu Umar radhiyallohu „anhuma dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap kalian adalah seorang pemimpin (pengelola) dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu, seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, laki-laki adalah pemimpin keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, perempuan adalah seorang pengelola di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, pelayan adalah penjaga harta majikannya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya”, Ibnu Umar berkata, “Aku menduga bahwa beliau Saw. juga berkata, ”Laki-laki adalah penjaga harta ayahnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Masing-masing kalian adalah seorang pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinan kalian.” (HR. Al-Bukhari)17 17 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Op.Cit., vol. 5, h. 444. 29 Pada dasarnya hadits ini adalah menjelaskan tentang mendahulukan wasiat daripada hutang. Ini merupakan penggalan hadits yang ditakhri>j oleh Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan lainnya dari jalur al-Harits yaitu al-A‟war dari Ali bin Abi Thalib yang berkata, “Nabi Muhammad memutuskan bahwa (melunasi) hutang didahulukan sebelum wasiat.” Secara redaksi hadits, bahwa hadits itu menjelaskan tentang tanggungjawab masing-masing manusia dalam menjalankan amanat tugasnya, baik tugas pemimpin kepada yang dipimpinnya, laki-laki kepada keluarganya (dalam rumah tangga), perempuan kepada suaminya (dalam rumah tangga), serta tugas buruh kepada majikannya. Pernyataan hadits di atas yaitu “...Seorang hamba adalah pemelihara bagi harta majikannya...” merupakan penggalan dari hadits terdahulu secara maushu>l (bersambung) dalam bab kara>hiyati tathawwul ‘alar raqi>q” yaitu dalam kitab al-‘Itqi sebuah hadits dari Nafi‟ dari Ibnu Umar r.a. Hadits ini menyimpan maksud bahwa terdapatnya sifat tanggungjawab yang diemban oleh seorang buruh kepada majikannya dalam pelaksanaan kerjanya. Sehingga tanggungjawab tersebut dideskripsikan dengan redaksi hadits ra>’in yang memiliki arti penggembala/penjaga. Dalam pembahasan hadits ini Ibnul Munayyar berpendapat bahwa ketika saling berbenturan mengenai harta seorang budak (buruh) antara haknya dan hak majikannya, 30 maka didahulukan yang terkuat yaitu hak majikannya. Budak (buruh) menjadi seorang yang bertanggungjawab atasnya, karena ini merupakan salah satu bentuk penjagaan hartanya. Budak (buruh) berkewajiban menjaga harta majikannya dengan baik, sehingga hak majikannya dapat terpenuhi. Demikian juga dengan hak hutang ketika hak wasiat memalingkannya padahal hutang wajib untuk dilunasi sedangkan wasiat hanya sunnah, maka wajib mendahulukan pelunasan hutang.18 Maksud dari hak yang terkuat tersebut adalah hak majikan yang perlu didahulukan, seperti majikan yang sedang mengalami kehilangan uang atau sejumlah barang berharga. Maka dalam kasus seperti ini, majikan mempunyai hak untuk tidak membayarkan gaji kepada buruhnya dan seorang buruh dituntut untuk bisa memahami kondisi majikannya dengan cara mendahulukan haknya, yaitu penundaan pembayaran gaji. Demikian ini merupakan sebagian dari tanggungjawab buruh kepada majikannya dalam urusan menjaga harta. 2. Hadits yang kedua diriwayatkan dalam Shahih Bukhari bab Ra>’il Ganami ala> Qara>rit} nomor 2200. Berikut ini adalah riwayat hadits dalam Shahih Bukhari: 18 Ibid., h. 445. 31 Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad al-Makkiy, telah menceritakan kepada kami Amr bin Yahya, dari kakeknya, dari Abu Hurairah radhiyallohu „anhu, dari Nabi Shallahu alaihi wa sallam yang bersabda: “Allah tidak mengutus seorang Nabi melainkan sebagai penggembala kambing.” Kemudian para sahabat bertanya, “Adapun engkau?” Nabi Menjawab: “Ya, saya juga dahulunya menggembala kambing milik penduduk Makkah dengan upah beberapa qira>t}.” (HR. al-Bukhari)19 Dalam riwayat Ibnu Majah dari Suwaid dari ibn Said dari Amr ibn Yahya, diriwayatkan dengan kalimat ( كنت أرعاها )ألهل مكة بالقراريط. Demikian juga dalam riwayat Ismaily dari AlMani‟y dari Muhammad ibn Hassan dari Amr ibn Yahya. Salah satu perowinya yaitu Suwaid berkata bahwa upah setiap kambing adalah satu qira>t}, sejenis pecahan dinar ataupun dirham. Berbeda dengan Ibrahim Al-Harby yang berpendapat bahwa qara>rit} yang dimaksud dalam redaksi hadits tersebut adalah nama suatu tempat di Makkah, bukan qara>rit} berupa upah mata uang perak. Berdasarkan pendapat keduanya, yaitu yang mengatakan bahwa qara>rit} bermakna mata uang, sedang yang lain memaknai qara>rit} sebagai nama suatu tempat, maka dalam 19 Ibid., h. 516. 32 hal ini pendapat pertamalah yang lebih dikuatkan, dengan alasan karena penduduk Makkah tidak mengenal suatu tempat yang disebutnya sebagai Qara>rit}. Dengan demikian, maka qara>rit} yang dimaksudkan dalam redaksi hadits tersebut adalah mata uang perak, bahwa Nabi pernah menggembalakan sejumlah kambing miliknya penduduk Makkah dan setiap kambingnya mendapatkan upah satu qira>t}. Penyebutan qira>t} dalam bentuk jama‟ (qara>rit}) menunjukkan bahwa kambing yang digembalai oleh Nabi pada waktu itu adalah berjumlah lebih dari satu. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa‟i dari hadits Nashr bin Hazn yang berkata: Artinya: Pernah terjadi antara pemilik unta dan pemilik kambing saling membanggakan diri, kemudian Nabi Saw. bersabda: “Nabi Musa diutus sebagai penggembala kambing, dan Dawud diutus sebagai penggembala kambing, sedangkan saya diutus juga sebagai penggembala kambing untuk keluargaku di Jiyad.”20 Berbeda dengan pendapat yang pertama bahwa qara>rit} dimaknai sebagai mata uang, maka sebagian Ulama dalam memaknai hadits ini adalah dengan menganggap bahwa hadits 20 Ibid. 33 ini sebagai bentuk penolakan terhadap penakwilan Suwaid ibn Said, dengan alasan bahwa Nabi tidak menggembala kambing untuk mendapatkan upah dari keluarganya, melainkan sebagai penjelas suatu tempat yang ada di Makkah. Oleh sebab itu, terkadang penyebutannya menggunakan Qara>rit}, dan pada riwayat lain terkadang pula menggunakan Jiya>d. Bantahan seperti ini dinilai kurang tepat, sebab bisa jadi Beliau Saw. meminta upah dari menggembalakan kambing milik penduduk Makkah dan Beliau Saw. tidak meminta upah jika menggembalakan kambing milik keluarganya. Atau bisa jadi penyebutan pada redaksi hadits di atas yang dimaksud adalah ahli Makkah (penduduk Makkah). Maka kedua riwayat ini bisa dipadukan, yaitu salah satu hadits bisa saja berbicara mengenai suatu upah dan yang lain berbicara tentang suatu tempat.21 Sebagian ulama berkata bahwa orang Arab tidak mengenal qira>t} yang merupakan sejenis mata uang. Untuk itu, ada sebuah riwayat shahih menjelaskan “...mereka akan membuka (mengelola) suatu lahan yang disebut di dalamnya sebagai qira>t}..”. Tetapi, pendapat seperti ini pun tidak jelas. 22 Dalam konteks hadits ini terdapat dua pemaknaan yang berbeda yang menyebutkan tentang pemaknaan qira>t} dan jiya>d, apakah ia menjelaskan suatu upah ataukah suatu tempat yang 21 22 Ibid. Ibid., h. 516. 34 berada di Makkah. Tidak bisa diketahui secara pasti maksud dari qira>t} dan jiya>d. Terlepas dari pemaknaan qira>t} atau jiya>d, para Ulama menjelaskan bahwa terdapat hikmah dari menggembalakan kambing yang dilakukan oleh para nabi Allah sebelum menuju masa nubuwwah, yaitu agar mereka berhasil dalam menjalankan tugas kenabiannya dan apa yang telah Allah Swt. bebankan kepadanya di dalam menegakkan urusan umatnya. 23 C. Hadits Larangan Membebani Buruh (dalam bentuk setoran, upah dan atau waktu kerja) Dalam pelaksanaan kerjanya, seorang buruh sering merasa terbebani oleh adanya beban setoran, upah, dan waktu kerja yang berlebihan. Kapasitas buruh dalam bekerja tidak mendapatkan perhatian dari majikan, sehingga kondisi buruh menjadi terkatungkatung, apalagi dalam urusan setoran, upah, dan waktu kerja. Kondisi seperti ini akan semakin membebani buruhnya. Oleh sebab itu pada bagian ini terdapat sebuah hadits yang menjelaskan tentang larangan membebani buruh. Pada bagian ini hanya tercantum satu hadits sebagaimana yang telah Bukhari riwayatkan dalam hadits nomor 2215 tentang bekamnya Abu Thaibah kepada Nabi Saw. sebagai berikut: 23 Ibid. 35 Artinya: Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Yusuf, telah menceritakan kepada kami Humaid al-Thawil, dari Anas bin Malik radhiyallahu „anhu, dia berkata: “Abu Thaibah menghijamah (membekam) Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu beliau memerintahkan untuk memberikan kepadanya satu atau dua sha‟ makanan, lantas beliau berbicara kepada para majikannya, agar meringankan setoran (beban kerja) atau upetinya.” (HR. Al-Bukhari)24 Hadits tersebut juga diulangi al-Bukhari dalam bab man kallama mawa>liya al-‘abdi an yukhoffifu ‘anhu min kharra>jihi nomor 2219 dengan redaksi hadits sebagai berikut: Artinya: Telah menceritakan kepada kami Adam, dai berkata: telah menceritakan kepada kami Syu‟bah, dari Humaid alThawil dari Anas bin Malik dia berkata: “Nabi Saw. memanggil seorang gulam (anak/budak) lalu dia menghijamah (membekam) beliau, lantas beliau memberikan satu atau dua sho‟ atau satu dua mud (makanan). Lantas beliau berbicara dengan mawalinya agar diringankan setorannya.” (HR. al-Bukhari)25 24 25 Ibid., vol. 4, h. 535. Ibid., h. 537. 36 Maksud dhari>bah dalam redaksi hadits tersebut adalah kemampuan tanggungan (setoran beban pekerjaan) buruh dalam setiap harinya. Hal itu disebut pula sebagai kharra>j (pajak/upeti). Sedangkan makna gullah itu sendiri adalah upah. Dhari>bah adalah beban yang ditetapkan sang majikan kepada buruhnya untuk disetorkan setiap hari. Dikatakan juga sebagai kharra>j (pajak/upeti), setoran, dan upah, karena itu semua disetorkan kepada majikan. Al-Bukhari menyebutkan bahwa hukum yang terkandung dalam hadits tersebut ada pada z}ahirnya. Pernyataan Nabi Saw. tersebut adalah dalil atas kebolehannya (mengambil upah dari membekam). Penamaan bab dhara>ibul ima>’ pada hadits ini diambil dengan cara menghubungkan serta kekhususannya dengan ta'ahud (memperhatikan), karena pada umumnya keadaannya yang seperti itu (membebani setoran, upah, dan waktu kerja) memuat jalan kerusakan. Maksud kerusakan tersebut adalah sebagaimana halnya ditakutkan si amat (budak perempuan) yaitu mencari penghasilan dari kemaluannya, demikian pula dikhawatirkan penghasilan budak laki-laki dari hasil mencuri. Dalam kaitan ini al-Bukhari mensinyalir sebagaimana dalam riwayat yang ditakhrij olehnya dalam kitab Tari>kh al-Kabi>r dari jalur Abu Dawud al-Ahmari yang berkata: "Hudzaifah berkhotbah ketika memasuki kota al-Madain, dia berkata: Perhatikan/telitilah setoran buruh perempuan kalian." Ini menurut 37 Abu Nu'aim dalam kitab al-Hilyah-nya dengan lafaz "dhara>iba gilma>nikum". Perkataan Hudzaifah tersebut sesungguhnya memuat maksud bahwa majikan harus senantiasa memerhatikan dan meneliti setoran buruh perempuannya (tanpa terkecuali buruh lakilaki juga). Hal ini dilakukan supaya majikan dapat mengetahui dan mengukur besaran setoran yang diberikan buruhnya tersebut. Said bin Manshur dalam Sunannya mencantumkan riwayat panjang dari Syaddad bin al-Furat yang berkata: "Abu Dawud meriwayatkan dari Rafi' bin Khadij secara marfu' bahwa "Beliau Saw. melarang (memungut setoran hasil) pekerjaan budak wanita sampai diketahui dari mana hasil itu diperoleh". Ibnu al-Munayyar dalam Hasyiyahnya berkata: "Seakan-akan Beliau Saw. berpesan agar memperhatikan (meninjau) besarnya setoran budak wanita karena ada kemungkinan memberatkan, maka dia perlu pekerjaan dosa untuk melunasi setoran tersebut. Segi pendalilan hadits tersebut adalah perintah Nabi Saw. untuk meringankan besarnya setoran tukang bekam.26 Nama Abu Thaibah menurut pendapat yang kuat adalah Nafi'. Sedangkan Menurut Ibnu Abdil Barr, namanya adalah Dinar. Adapun menurut al-Baghawi dalam kitabnya al-Shaha>bah bahwa namanya adalah Maisarah. Sedangkan para mawali (para tuannya) yang dimaksud adalah Banu Haritsah. Adapun tuannya Abu Thaibah bernama Mahishah bin Mas'ud. Penyebutan dengan 26 Ibid., h. 535-536. 38 bentuk jamak al-mawali adalah sebagai majaz (majaz z}ikru alkulliy li bayani al-juz’iy) sebagaimana sebuah perkataan bahwa banu fulan (keturunan si fulan) telah membunuh seseorang, padahal yang membunuh hanya salah satu dari mereka. 27 D. Hadits Etika Pengupahan Terhadap Buruh Sebagaimana mestinya bahwa setelah seorang buruh selesai melakukan kerjanya, upah adalah suatu yang wajib untuk segera ditunaikan. Upah dalam hadits merupakan sesuatu yang sangat diperhatikan, sebab kesejahteraan buruh dapat ditimbang dari penunaian upahnya. Dalam sub-bab ini dipaparkan mengenai hadits-hadits tentang upah. 1. Hadits pertama adalah riwayat Ibnu Majjah nomor 2443 tentang mengupah buruh sebelum keringatnya kering. Artinya: Telah meriwayatkan kepada kami al-Abbas bin alWalid al-Dimasyqi, telah meriwayatkan kepada kami Wahb bin Said bin Athiyyah al-Salamiy, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu „anhuma dia berkata: Rasulullah Saw. 27 Ibid., h. 537-538. 39 bersabda: “Bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah) 28 Hadits yang sama diriwayatkan pula oleh al-Bushiri dalam Zawa>id ibnu Majah nomor 816 dengan redaksi sebagai berikut: Artinya: Telah menceritakan kepada kami al-Abbas Abul Abd ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepadaku Wahb bin Said bin Athiyyah al-Sulami, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari Abdullah bin Umar yang berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, „Bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya.‟” (Zawaid Ibnu Majah)29 Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu majah dalam Sunannya dalam kitab al-Ahkam dari Ibnu Umar bin alKhatthab r.a. Dalam riwayat itu terdapat perawi yang bernama Abdurrahman bin Yazid, dia did}a’ifkan oleh para ulama. Ibnu Thahir berkata bahwa dia salah satu perawi d}a’if. 28 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Ta’liq: Muhammad Nashiruddin al-Albani), (Riyadh: Maktabah alMa’a>rif, Tth.), h. 417. 29 Abu al-Abbas Shihabuddin Ahmad bin Abu Bakar al-Kannani alBushiri, Zawaid Ibnu Majah ala al-Kutub al-Khamsah, (Ta’liq: Muhammad Mukhtar Husain), (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), h. 332. 40 Dalam menilai riwayat ini al-Bushiri berkata bahwa asal riwayat hadits di atas adalah dalam Shahih al-Bukhari dan lainnya dari hadits Abu Hurairah. Beliau menilai bahwa Isnad dari ibnu Umar ini adalah lemah. Wahb bin Said salah satu perawi di atas adalah Abdul Wahhab bin Said, serta Abdullah bin Zaid, keduanya dinilai d}a’if (lemah).30 Diriwayatkan juga oleh Abu Ya‟la al-Maushili dalam Musnadnya dari jalur Abu Hurairah r.a. Al-Haitsami berkata: di dalamnya terdapat perawi bernama Abdullah bin Ja‟far alMadani, dia adalah d}a’if. Adz-Dzahabi berkata: Dia lemah. Diriwayatkan juga oleh al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Ausat} dari Jabir bin Abdillah. Al-haitsami berkata: dalam riwayatnya ada Syarafi bin Qithomi dan Muhammad bin Ziyad yang meriwayatkan darinya, keduanya d}a’if. Adz-Dzahabi berkata: hadits ini adalah mungkar. Al-Munawi (pensyarah Jami’ Shoghir) berkata: mengenai Muhammad bin Ziyad alKalbiy, dia telah ditetapkan ked}a’if annya oleh al-Dzahabi dalam kitab ad-D{hu’afa’. Lalu Yahya bin Ma‟in mengatakan bahwa dia tiada apa-apanya (indikasi jarh). Dalam al-Lisan (Lisa>n al-Miza>n) dinyatakan pula bahwa Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitabnya as\-S|iqat bahwa terkadang dia terlalaikan dan lemah. Mengenai Bisy bin al-Husain, menetapkannya dalam kitab ad-D{u’afa’ 30 Ibid. al-Dzahabi bahwa Imam al- 41 Daruquthni berkata: dia adalah matruk. Dalam kitab al-Lisa>n (Lisa>n al-Miza>n) seperti asalnya (mengutip) dari Ibnu „Adiy yang pada kebanyakan haditsnya gairu mahfu>z} (tidak terjaga), Abu Hatim berkata: dia berdusta atas nama Ibnu Zubair r.a. Dari sekian banyak jalurnya, masing-masing tidak terlepas dari indikasi d}a’if atau matru>k. Tetapi, hasilnya menjadikannya berstatus hasan.31 Sebagaimana dijelaskan oleh al-Munawi bahwa semua jalur riwayat tersebut adalah lemah akan tetapi asal haditsnya terdapat dalam riwayat al-Bukhari dari jalur Abu Hurairah yang tercantum dalam shahihnya. Hal ini bisa menaikkan statusnya menjadi hasan li gairih. Muhaddits al-Albani juga menghukumi hadits tersebut dengan status shahi>h sebagaimana dinyatakan dalam ta’liqnya terhadap Sunan Ibnu Majah.32 Maksud dari “tunaikanlah upah si buruh” dalam redaksi kedua hadits di atas ialah gaji si buruh. Adapun maksud dari “sebelum kering keringatnya” ialah sebelum menguap/mengering. Karena sesungguhnya upah itu adalah gaji/komisi fisiknya. Dia telah menyegerakan tugasnya, maka ketika tugas tersebut sudah tuntas dia pun berhak segera mendapatkan upah sebagai bentuk balas jasa yang diberikan majikan kepadanya. Ketika harga darahnya (susah payahnya) Abdul Rauf al-Munawi, Faid} al-Qadi>r Syarh al-Jami>’ as-S{agi>r, (Beirut: Da>r al-Makrifah, 1972), vol.1, h. 562-563. 32 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Ta’liq: Muhammad Nashiruddin al-Albani), h. 417. 31 42 bukanlah harga sebuah barang dagangan, maka haram menunda (pembayaran upah) dan menangguhkannya padahal dia (majikan) mampu membayar. Perintah untuk menunaikan upah sebelum kering keringatnya sesungguhnya hanyalah sebuah kiasan bagi keharusan bersegera (membayarnya) setelah diselesaikannya pekerjaan ketika dia meminta, meskipun belum berkeringat atau dia telah berkeringat lalu kering. Dari sini ada pensyariatan tentang akad persewaan (mempekerjakan) bahwa penyegeraan upah adalah sebuah penekanan yang wajib diperhatikan oleh seorang majikan. Penyegeraan upah dalam hadits ini dimaksudkan agar buruh terjaga haknya, sebab dia bekerja dengan tenaga dan sebagai balasannya maka diupahlah dia. Pengertian ‘araq (keringat) dalam hadits tersebut adalah cairan yang merembes dari pori-pori kulit. 2. Hadits kedua adalah riwayat Bukhari nomor 2208 dan 2170 dari jalur Abu Hurairah. 43 Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Muhammad, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Sulaim, dari Ismail bin Umayyah, dari Said bin Abu Said, dari Abu Hurairah radhiyallohu „anhu, dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Allah ta'ala berfirman: „Ada tiga golongan manusia di hari kiamat kelak yang akan Kukalahkan (dalam perdebatan), yaitu: orang yang memberi sesuatu karena-Ku kemudian dia berkhianat, orang yang menjual orang merdeka lalu dia memakan (hasil penjualan) nya, orang yang mengangkat seorang buruh dan (buruh itu) telah memenuhi (kewajibannya), tetapi dia tidak menunaikan upahnya." (HR. Al-Bukhari)33 Hadits ini ditakhrij oleh al-Bukhari dalam shahi>hnya yaitu dalam bab is}mu man mana’a ajra al-aji>r dengan nomor hadits 2208 dan diriwayatkan juga dalam bab is}mu man ba>’a hurran dengan nomor hadits 2170 dari jalur Busyr bin Marhum dari Yahya bin Sulaim. Maksud dari “dosa menjual orang merdeka” adalah jika pelaku benar-benar mengetahui bahwa orang tersebut adalah bukan budak serta dengan sengaja melakukannya. Sedangkan orang merdeka (non budak) di sini adalah semua keturunan manusia secara umum, tidak hanya terbatas pada kalangan Arab. Mengandung kemungkinan juga bahwa ini menyangkut yang lebih umum, termasuk di dalamnya semacam orang yang dipenjara (tawanan). 33 523. Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Op.Cit., vol. 4, h. 487 dan 44 Nama asli Busyr bin Marhum adalah Busyr bin Ubais bi Marhum bin Abdul Aziz bin Mahran al-Atthar, beliau dinisbatkan kepada kakeknya, seorang syaikh (guru hadits) alBashriy (berkebangsaan Basrah) di mana enam imam (kutub assittah) telah meriwayatkan darinya kecuali hanya al-Bukhari. Al-Bukhari mentakhrij haditsnya ini dalam bab al-ija>rah dari guru lain di mana dia menyepakati keshahihan riwayat Busyr di antara kedua syaikh ini.34 Yahya bin Sulaim al-Thaify adalah seorang berwarga Thaif yang menetap di Makkah. Beliau telah diperselisihkan ketsiqahannya. Dalam riwayat al-Bukhari, semua riwayat dari jalurnya tidak pernah berstatus maus}ul kecuali riwayat ini. AlBukhari menyebutkannya dalam bab al-ija>rah dari jalur lain. Penelitian menyatakan bahwa dia telah gugur (terputus rantai sanadnya) dalam riwayatnya dari Ubaidullah bin Umar secara khusus. Sedangkan hadits ini bukan dari riwayatnya. Para perawi telah menyepakati jalur dari Yahya bin Sulaim bahwa hadits ini dari riwayat Said al-Maqburiy dari abu Hurairah r.a. Abu Ja‟far al-Nufailiy berbeda dengan mereka, beliau berkata: “riwayat ini adalah dari Said dari ayahnya dari Abu Hurairah r.a.” Al-Baihaqi berkata bahwa riwayat yang mahfuzh adalah sebagaimana pendapat mayoritas ulama tadi. 35 34 35 Ibid., h. 487. Ibid. 45 Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Ismailiy dalam riwayat mereka “sedangkan )خصمته menambahkan siapapun yang Kulawan خصمه كنت (berdebat) (ومه pasti Kukalahkan.” Ibnu al-Tin berkata: Dialah Allah Swt. yang mendebat semua orang dzalim tiada lain hanya ingin menekankan atas semua orang ini dengan penegasan. Berdebat di sini berarti bisa melibatkan satu pihak atau lebih. Al-Harawi berkata, jika yang dimaksud hanya sepihak maka dengan dibaca kasrah ((خِصمهم. Al-Farra‟ berkata bahwa yang pertama adalah pendapat para ahli fonem. Bisa juga dibaca dengan tatsniyah ( (خصمانdan dalam bentuk jamak. 36 َ أَعْطَى بِي ثُمَ غَدَرmaksudnya adalah dia membuat janji lalu bersumpah dengan nama Allah, kemudian dia merusaknya (mengingkari janjinya itu). Sedangkan redaksi ُبَاعَ حُرًا فَأَكَلَ ثَمَنَه mengkhususkan penyebutan pada kata “memakan (hasilnya)” karena ini merupakan maksud dari hadits di atas. Seperti ini terjadi pula dalam riwayat Abu Dawud dari jalur Abdullah bin Umar r.a. secara marfu’ “Tiga golongan yang tidak diterima sholatnya” salah satunya adalah orang yang memperbudak orang merdeka. Al-Kahtthabi berkata, memperhamba seorang yang merdeka mengandung dua pengertian: pertama, dia memerdekakan budak lalu menutupi (berita merdekanya itu) 36 Ibid., h. 488. 46 atau dia mengingkarinya. Kedua, dia mempekerjakannya dengan paksaan setelah ia merdeka. Ibnu Hajar berkata, hadits bab mengenai hal ini lebih buruk karena di dalamnya beserta menutup status kemerdekaan atau mengingkarinya adalah pekerjaan yang berkenaan dengan hal itu menyerupai jual beli dan memakan harga. Maka dari sini ancaman terhadapnya lebih dahsyat. Al-Muhallib berkata, Sesungguhnya dosanya berat karena orang islam adalah sejajar dalam kemerdekaannya. Maka barangsiapa menjual orang merdeka sungguh dia mencegahnya untuk berubah (lebih baik) dalam hal yang diperbolehkan oleh Allah Swt. serta dia melanggengkan kehinaan kepadanya yang telah Allah hapuskan darinya.37 Ibnu al-Jauzi berkata, “orang merdeka adalah hamba Allah. Barang siapa berbuat kejahatan atasnya, maka Allah akan menantangnya.” Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama tak berbeda dalam hal orang yang menjual seorang merdeka bahwa dia tidak dihukum potong (tangan), yaitu bila dia tidak mencurinya dari gudangnya. Kecuali apa yang diriwayatkan dari Ali bahwa tangan seseorang yang menjual orang merdeka akan dipotong. Diriwayatkan dari Ali yang berkata: “Barangsiapa yang menyatakan diri bahwa dia seorang budak maka dia adalah budak.” Ibnu Hajar berkata bahwa kemungkinan posisi (dianggapnya sebagai budak) itu adalah 37 Ibid. 47 dalam lingkungan orang yang tak mengetahui status merdekanya. Tetapi, ada riwayat dari Ibnu Ani Syaibah dari jalur Qatadah, “Bahwa ada seseorang yang menjual dirinya, maka Umar memutuskan bahwa dia seorang budak dan besar harga dirinya adalah di jalan Allah.” Juga dari jalur Zuroroh bin Abi Aufa seorang tabi’in bahwa dia menjual dirinya sendiri karena terkena hutang. Ibnu Hazm menukil suatu riwayat bahwa orang merdeka dijual karena hutang sehingga turun ayat: وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة.38 Adapun maksud ( ) adalah barang siapa menjual orang merdeka kemudian mengonsumsi hasilnya, sedang sesungguhnya si buruh telah menunaikan kewajibannya tanpa mendapat ganti rugi maka seakan-akan dia memakan (harga)nya. Karena sesungguhnya dia mempekerjakannya tanpa upah, maka seakan-akan dia telah memperbudaknya. 39 E. Konsep Adil dalam Tinjauan Islam Pada hakekatnya, keadilan atau adil adalah kata sifat yang artinya sifat adil, tidak berat sebelah. Dalam kamus bahasa Indonesia, adil dimaknai dengan tidak berat sebelah, tidak 38 39 Ibid. Ibid. 48 sewenang-wenang, dan tidak memihak.40 Orang yang adil adalah orang yang tidak bersikap berat sebelah terhadap orang lain. Di pihak lain, keadilan atau adil adalah sebagai suatu konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam perlakuan (justice or fair treatment). Dengan demikian, setiap orang mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil, suatu hak yang merupakan hak asasi manusia.41 Menurut Nurcholish Majid, adil ialah ketetapan Allah bagi kosmos (alam raya) ciptaan-Nya. Karena menurut ajaran Islam, keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh jagat raya ini. Oleh karena itu, melanggar keadilan sama dengan melanggar hukum kosmos dan dosa ketidakadilan akan mempunyai dampak kehancuran terhadap tatanan masyarakat. Menurut John Rawls dalam teori deontologisnya, keadilan substantif yang menjadi subyek struktur dasar masyarakat ialah cara di mana institusi-institusi sosial utama mendistribusikan hakhak dan kewajiban fundamental, serta menentukan pembagian nikmat-nikmat dan beban kerjasama sosial.42 Dalam teori ini keadilan dipandang sebagai sebuah cara untuk mendistribusikan hak-hak dan kewajiban dalam suatu urusan tertentu, serta 40 YS. Bichu, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Citra Harta Prima, 2013), h. 10. 41 Al. Andang dkk (Ed.), Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004), h. 13. 42 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 18-19. 49 dilakukan pembagian atas hasil yang telah dicapai dan beban kerjasama. Dengan kata lain, teori ini menganggap bahwa keadilan merupakan pemerataan terhadap semua aspek sosial dengan dasar keseimbangan. Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan menjadi dua bagian yaitu adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan: 43 1. Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak. Apabila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya, itulah yang dinamakan tidak adil. Dengan kata lain, adil perseorangan ini ialah keadilan yang hanya melibatkan satu orang saja, tidak bersifat kelompok (umum). 2. Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakkan neraca keadilannya dengan lurus, dikatakan ia merupakan hakim yang adil. Begitu juga sebaliknya, jika ia berat sebelah, maka ia dipandang sebagai hakim yang zalim. Sama halnya dengan pemerintah, pemerintah dipandang adil jika ia mengusahakan kemakmuran rakyatnya secara merata, baik di kota-kota maupun di desadesa. 43 file:///C:/Users/pc/Downloads/keadilan.htm, diakses pada Kamis, 18 Juni 2015. 50 Di dalam merumuskan kata adil, terdapat pula faktor-faktor yang menunjang keadilan itu sendiri, karena adil erat kaitannya dengan sikap atau sifat manusia dalam memandang dan memperlakukan sesuatu. Berikut adalah beberapa faktor yang menunjang keadilan, di antaranya: 44 1. Adil di dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang. 2. Memperluas pandangan dan melihat persoalannya secara obyektif. Untuk dapat berlaku adil, maka segala hal yang berkaitan dengan sesuatu yang sedang dihadapi harus dikaji secara obyektif. Di dalam Al-Qur‟an terdapat beberapa term adil yang sering digunakan dalam menjelaskan suatu perkara. Di antara term-term tersebut ialah al-‘adl (sama), al-qist} (bagian), dan al-mi>za>n (timbangan). Oleh karena itu, adil dapat dimaknai dengan beberapa makna sebagaimana berikut:45 1. Adil berarti sama. Sama dalam arti tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah persamaan hak. Allah Swt. berfirman dalam QS. An-Nisa>' (4) ayat 58: 44 Ibid. file:///C:/Users/pc/Downloads/keadilan-dalam-islam.html, diakses pada Kamis, 18 Juni 2015. 45 51 Artinya: “Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil.” (QS. An-Nisa>' (4): 58) 2. Adil berarti seimbang. Seimbang dalam hal ini berarti tidak berat sebelah, dalam artian bahwa keadilan merupakan keseimbangan sebagaimana keseimbangan yang telah Allah berikan kepada manusia dalam segi penyusunannya. Dengan keseimbangan, manusia dapat berjalan dengan tegak, dapat melakukan berbagai aktifitas kesehariannya, terlebih dapat menjalankan aktifitasnya dalam beribadah kepada Allah Swt. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Infit}ar (82) ayat 6-7: Artinya: “Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang).” (QS. Al-Infit}ar (82): 6-7) Seandainya ada salah satu anggota tubuh kita berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Oleh karena itu, keadilan perlu ditegakkan dengan dasar keseimbangan. Dengan berdasar pada keseimbangan, segala hal yang problematik dapat diatasi dengan baik. 52 3. Adil berarti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu pada setiap pemiliknya. Adil dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai wad}’u as-syai’ fi> mah}allihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Lawannya adalah zalim, yaitu wad}’u as-syai’ fi> gairi mah}allihi (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). Dengan demikian, adil yang dikehendaki oleh Islam dalam menjelaskan permasalahan relasi buruh-majikan di dalam skripsi ini ialah menyamakan, menyeimbangkan, dan memperhatikan hakhak buruh dalam bekerja serta memberikan hak-hak itu pada pemiliknya. Sehingga dari sini dapat diketahui batasan adil yang dimaksud, baik adil dalam hubungannya sebagai bentuk sifat, maupun adil sebagai suatu konsep. BAB III RELASI BURUH-MAJIKAN DALAM SISTEM SEKULERKAPITALISME A. Pengertian Buruh dan Majikan Secara etimologi, buruh adalah pekerja, sedangkan majikan adalah bos atau pengusaha. Buruh ini tidak sama dengan pekerja dan karyawan. Meskipun secara umum keduanya memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu sama-sama sebagai pekerja. Namun di sisi lain terdapat perbedaan. Di antara perbedaannya ialah sebagai berikut:46 1. Pekerja adalah setiap orang yang melakukan pekerjaan, baik dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja. Misalnya: dokter yang membuka praktek partikelir, advokat, penjual kopi di pinggir jalan, petani yang menggarap sawahnya sendiri. Buruh bebas ini dinamakan swa pekerja, yaitu orang yang bekerja dengan tanpa terikat oleh waktu kerja. 2. Karyawan adalah setiap orang yang melakukan karya (pekerjaan). Misalnya: karyawan buruh, karyawan pengusaha, karyawan angkatan bersenjata, dan lain-lain. Oleh sebagian besar orang, karyawan dipahami sebagai seorang yang bekerja di suatu perkantoran ataupun instansi-instansi lain yang dalam 46 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 26-27. 53 54 pelaksanaan kerjanya cenderung mempergunakan akal (white collar worker). Selain itu, perbedaan yang mendasar dari karyawan dan buruh ialah; karyawan sepenuhnya adalah pembantu dari pemilik modal untuk mengatur pola kerja perusahaan secara menyeluruh, dan buruh adalah bagian dari “bahan mentah” yang akan mendatangkan keuntungan berkat keahliannya untuk mengerjakan tugas yang secara khusus diperuntukkan bagi dia. Upah karyawan ditentukan oleh besar kecilnya tanggungjawab yang harus dipikul, yakni ditentukan dalam jenjang organisasi. Sedangkan kaum buruh tidak memiliki karir organisasional, melainkan jenjangnya bergerak dari buruh kasar menjadi mandor dan seterusnya, sehingga upah ditentukan dari tingkat keahlian teknis yang dia miliki.47 Melihat kedua istilah di atas, maka dapat didefinisikan bahwa secara terminologi pengertian buruh dan majikan terbagi ke dalam beberapa pengertian di bawah ini: 1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), buruh adalah seseorang yang bekerja dengan mendapatkan upah.48 Sedangkan majikan adalah seseorang yang memberi pekerjaan dan upah.49 47 Emmanuel Subangun, Kapitalisme Gotong Royong, (Yogyakarta: CRI Alocita, 1995), h. 164-165. 48 Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 240. 49 Ibid., h. 960. 55 2. Menurut undang-undang penyelesaian perselisihan perburuhan, buruh adalah seseorang yang bekerja di bawah pimpinan orang lain dengan mendapatkan upah. Sedangkan majikan adalah seseorang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh dengan memberinya upah.50 3. Adapun menurut hukum perundang-undangan, buruh adalah setiap laki-laki atau perempuan yang mengerjakan suatu pekerjaan di bawah kekuasaan majikan dengan tujuan memperoleh upah yang diberikan oleh majikan kepadanya sebab pekerjaan yang telah ia lakukan. 51 Sedangkan majikan adalah orang yang menemui pekerjaan yang pekerjaan itu kemudian dikerjakan oleh buruh dengan memberinya imbalan berupa upah.52 Buruh dalam konteks hadits biasa disebut dengan istilah aji>r, sebuah istilah yang populer digunakan untuk menyebut seorang pekerja fisik (white collar worker) di zaman Nabi. Dari sini perlu penulis jelaskan bahwa aji>r yang menjadi fokus kajian dalam skripsi ini adalah meliputi dua kelompok berikut:53 1. Aji>r khusus Pengertian aji>r khusus ini ialah seseorang yang bekerja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti pembantu 50 C.S.T Kansil, Op.Cit., h. 317. Ahmad Said Abdul Khaliq dan Unwar al-Amrusy, Syarh Qanu>n al-Amal, Maktabah al-Ja>mia>t, h. 20. 52 Ibid., h. 23. 53 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 134. 51 56 rumah tangga. Jika ada barang yang rusak ia tidak bertanggung-jawab menggantikannya. 2. Aji>r musytari>k Jenis aji>r musytari>k ini seperti halnya para pekerja di pabrik. Adapun mengenai tanggung-jawab kerusakan, para Ulama’ masih berselisih pendapat. Ada yang mengatakan ia wajib bertanggungjawab atas kerusakan barang, terdapat pula yang tidak mewajibkan. Namun terlepas dari tanggung-jawabnya dalam sebuah pekerjaan, kedua jenis buruh itu (aji>r khusus dan aji>r musytari>k) adalah sama-sama bekerja kepada seorang majikan dan atau lembaga (perusahaan) di mana tentu keduanya memiliki akses hubungan kepada para majikannya. Hubungan antara buruh dan majikan ini yang terkadang menimbulkan polemik, sehingga dalam hubungan kerja yang tercipta antara keduanya tidak dapat berjalan harmonis. Terkait hubungan buruh dengan majikan, berikut penulis jelaskan mengenai perbedaan buruh dalam dua segi, bahwa buruh menurut pembagian kerjanya terbagi ke dalam dua jenis, yaitu: 1. Buruh merdeka, yaitu seseorang yang bekerja dengan bayaran khusus. Mereka ini seperti buruh pengelola industri kerajinan yang memiliki tempat khusus, juga pemilik bisnis atau profesi yang memiliki kantor sendiri. 2. Buruh sekunder, yaitu seseorang yang bekerja untuk memperoleh upah tertentu, seperti para buruh pertanian, 57 perindustrian, perdagangan, layanan jasa publik, buruh rumah tangga serta berbagai layanan lainnya, baik pekerjaan itu untuk pribadi tertentu maupun untuk negara. Buruh adalah komponen yang tidak bisa terlepas dari kegiatan kerja, sehingga buruh dalam konsepsi orang Barat disebut sebagai Blue Collar Worker, artinya buruh adalah seorang pekerja yang bekerja pada pekerjaan-pekerjaan yang menggunakan fisik sebagai landasan pekerjaannya. Buruh memiliki peran penting dalam membangun sektor kerja, baik sektor formal (seperti pada perusahaan-perusahaan dan lain-lain) atau pada sektor informal (seperti buruh pertanian, buruh panggul, buruh industri kecil lainnya yang belum tercatat memiliki badan usaha resmi dari pemerintah). Oleh sebab itu, peran buruh ditinjau dari jenis pekerjaannya terbagi menjadi lima bentuk, yaitu sebagai berikut:54 1. Buruh harian, ialah buruh yang menerima upah berdasarkan hari masuk kerja. 2. Buruh kasar, ialah buruh yang tidak mempunyai keahlian (keterampilan) di bidang tertentu. 3. Buruh tani, ialah buruh yang menerima upah dengan bekerja di kebun atau di sawah orang lain. 4. Buruh terampil, ialah buruh yang mempunyai keahlian (keterampilan) di bidang tertentu. 54 C.S.T Kansil, Op.Cit., h. 24. 58 5. Buruh terlatih, ialah buruh yang sudah dilatih untuk keahlian (keterampilan) tertentu. Dari kelima pembagian di atas, dapat dipahami bahwa tidak semua buruh adalah bekerja dengan tanpa keterampilan, terlebih dari itu terdapat pula buruh yang dalam pelaksanaan kerjanya memiliki keterampilan khusus yang diperolehnya baik dari pelatihan maupun belajar dari pengalaman, sehingga hal ini dapat membantu membangun kinerja buruh menjadi lebih baik lagi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa buruh dan majikan merupakan dua komponen yang tidak terpisahkan serta saling membutuhkan. Seorang buruh membutuhkan majikan karena dalam hubungan kerja majikan adalah sebagai pemberi kerja (pengupah), begitu juga majikan membutuhkan seorang buruh karena buruh adalah sebagai pihak pemberi jasa. Oleh karena itu, dari hubungan kerja inilah kemudian menciptakan istilah buruh dan majikan, di mana buruh berposisi sebagai bawahan majikan (sebagai pelaksana kerja) dan majikan berposisi sebagai atasan (sebagai pemberi kerja). Buruh dikatakan sebagai golongan bawah karena posisinya terletak di bawah kuasa majikan, sedangkan majikan sebagai golongan atas karena posisinya sebagai pihak penentu kegiatan kerja buruh, sekaligus sebagai atasannya. Di samping itu, ada sebagian pihak yang menyebut bahwa buruh adalah sebagai golongan kiri. Buruh disebut sebagai 59 golongan kiri karena dalam prakteknya mereka sebagai pelaksana kerja dari majikan, dan hal seperti ini pada umumnya diibaratkan sebagai golongan kiri (golongan lemah). Adapun majikan disebut sebagai golongan kanan, karena seorang majikan memiliki peran dan fungsi sebagai atasan bagi buruhnya, ia berhak dan memiliki wewenang serta ketentuan-ketentuan khusus dalam mengatur kerja buruhnya. B. Historisitas Perburuhan Buruh adalah bagian integral yang tidak bisa terlepaskan dari sejarah panjang dalam membangun peradaban dunia. Terbukti sampai hari ini setiap pekerjaan masih membutuhkan tenaga seorang buruh. Bahkan apabila buruh melakukan mogok kerja dalam beberapa kurun waktu tertentu misalnya, maka hal ini akan berdampak luas pada tingkat penurunan produktivitas suatu perusahaan atau usaha milik majikan. Keberadaan buruh dan majikan merupakan sebuah sebab adanya suatu relasi. Namun terkadang keberadaan kaum buruh justru sering termarjinalkan serta tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah ataupun instansi yang mempekerjakannya. Hal ini dikarenakan selama ini mereka dianggap sebagai pekerja bawahan yang tidak selayaknya mendapatkan itu semua. Oleh sebab itu, perlu kiranya mengetahui sejarah dan periodisasi perburuhan yang selama ini telah banyak membantu kegiatan-kegiatan produksi ataupun yang lainnya. 60 Sejarah perburuhan pada bagian ini akan penulis jelaskan berdasarkan dua konteks, yaitu konteks internasional berkaitan dengan sejarah kali pertama munculnya istilah buruh dan majikan, dan konteks nasional yaitu perkembangan buruh yang ada di Indonesia. Walau bagaimanapun juga kedua konteks tersebut masih memiliki keterkaitan dan perlu untuk dimengerti serta dipahami sebagai landasan teori dalam penyusunan skripsi ini. Buruh dibagi atas dua klasifikasi besar, yaitu: 1) buruh profesional yang menggunakan otak dalam bekerja (white collar worker), dan 2) buruh kasar yang menggunakan tenaga otot dalam bekerja (blue collar worker).55 Dalam skripsi ini, buruh yang dimaksud adalah jenis buruh yang ke dua yaitu blue collar worker, bahwa buruh yang kedua ini dalam prakteknya sering kali terpinggirkan dan cenderung kurang mendapatkan keadilan, sehingga dalam sejarah disebut bahwa munculnya gagasan may day (sebagai hari buruh internasional) dilatarbelakangi oleh sebab tidak adanya penerapan keadilan bagi mereka, sehingga memunculkan inisiatif may day sebagai bentuk perjuangannya dalam mempertahankan hak hidup, termasuk di dalamnya adalah hak untuk memperoleh upah yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya, jaminan kesehatan yang memadai, tunjangan untuk keluarganya dan jaminan hari tua. 55 http://qoidul.blogspot.com/2013/05/makalah-revolusiindustri.html, diakses pada Jum’at, 12 Desember 2014. 61 Berbicara pada konteks internasional, kelas buruh dan majikan lahir sebagai dampak sosial dari adanya revolusi industri, lebih tepatnya setelah adanya revolusi industri pada tahun 1870. Karena pada saat itu kondisi sosial mulai ikut mengalami perubahan, disebabkan perubahan kelas ekonomi dengan ditandai oleh munculnya aktivitas-aktivitas produksi yang melibatkan pekerja dengan majikan. Istilah revolusi industri itu sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Friedrich Engels dan Louis Auguste Blanqui pada pertengahan abad ke-19. Tidak diketahui penanggalan secara pasti tentang kapan dimulainya revolusi industri, tetapi T.S. Ashton mencatat bahwa permulaan revolusi industri terjadi sekitar antara tahun 1760-1830. Revolusi ini kemudian berkembang dan mengalami puncaknya pada pertengahan abad ke-19, sekitar tahun 1850 ketika kemajuan teknologi dan ekonomi mendapatkan momentum dengan berkembangnya mesin tenaga uap, rel, kemudian pada akhir abad tersebut berkembang pula mesin kombusi serta mesin pembangkit tenaga listrik.56 Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sektor masyarakat yang semula agraris dengan pola hidup alamiah bergeser ke pola hidup masyarakat industrialis yang merupakan hasil rekayasa teknologi dan ilmu pengetahuan, di mana peran manusia yang dominan sebelumnya diambil alih oleh tenaga-tenaga mesin. Hal ini menandai bergesernya ciri masyarakat agraris yang padat karya (labour 56 Ibid. 62 intensive) ke masyarakat industri yang padat modal (capital intensive).57 Revolusi industri ini berkembang pertama kali di Inggris. Kehidupan sosial-ekonomi Eropa pada masa sebelum munculnya revolusi industri ditandai dengan berkembangnya tata kehidupan agraris yang bercorak feodal. Kondisi ini mulai berubah ketika meletus perang salib (1096-1291) yang memberi ruang hubungan antara negara-negara Eropa dengan dunia Timur. Kebutuhan yang sama akan barang-barang keperluan hidup antara kedua wilayah ini mendorong terbentuknya hubungan perdagangan. Hal tersebut juga mendorong terbentuknya kota-kota dagang Eropa seperti Florence, Venesia, Genoa, dan lain-lain. Munculnya kota-kota dagang itu kemudian diikuti dengan munculnya usaha-usaha industri berskala kecil yang disebut industri rumah tangga (home industry). Hingga tahun 1200, industri rumah tangga semakin berkembang dengan terbentuknya gilda.58 Dari sini juga memunculkan istilah buruh dan majikan, karena terdapat pihak yang mempekerjakan (sebagai majikan) dan pihak yang dipekerjakan produktivitasnya masih (sebagai kecil, yaitu buruh), hanya tetapi skala terbatas pada pemenuhan kebutuhan hidup yang pada saat itu dibutuhkan oleh kedua belah pihak. 57 Danggur Konradus, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, (Litbang Danggur dan Partners, 2006), h. 15. 58 Gilda adalah persekutuan industri rumah tangga sejenis hak yang mendapat monopoli dan perlindungan pemerintah. 63 Pada tahun 1350, di Eropa mulai terbentuk perserikatan kota-kota dagang yang disebut Hansa. Hansa dimaksudkan untuk melindungi usaha perdagangan secara mandiri. Dengan perkembangan ini, Eropa mulai memasuki tahap masyarakat industri yang digerakkan oleh sektor perdagangan. Sejak dibentuknya Hansa tersebut, maka aktivitas produksi mulai berkembang luas dan menunjukkan progres. Adapun pada abad ke-14, Inggris di bawah perlindungan Raja Edward III mulai membangun industri-industri laken (sejenis kain wol). Dari munculnya industri-industri tersebut, maka istilah buruh dan majikan mulai dikenal secara luas sebagai bentuk hubungan antara seorang pekerja dengan tuannya (majikan). Sedangkan pada konteks nasional sebagai bentuk lanjutan dari sejarah awal buruh, sejarah organisasi perburuhan terbagi ke dalam lima kemerdekaan periode Indonesia, perkembangan, masa yaitu revolusi, periode masa pra- demokrasi terpimpin, masa awal orde baru dan masa di mana buruh mulai melepaskan diri dari kepentingan politik. Dalam konteks nasional ini, buruh sudah ada dalam bentuk organisasi dan dominan terpengaruh oleh kegiatan-kegiatan politik yang berkembang pada setiap masanya. Episode pertama dalam sejarah perkembangan organisasi buruh berlangsung pada masa penjajahan Belanda. Pembentukan serikat buruh pada masa ini cenderung lebih berlatar belakang politik karena ia tumbuh dan berkembang sebagai bagian yang 64 tidak terpisahkan dari politik dalam upaya merebut kemerdekaan. Seiring dengan lahirnya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, berdiri pula serikat buruh di bawah pimpinan Sneevliet dan Semaoen, yaitu Vereniging van Spoor, en Tramweg Personel (VSTP) atau Persatuan Pekerja Kereta Api dan Term. 59 Setelah itu mulai banyak bermunculan gerakan-gerakan buruh dari berbagai kalangan, baik dari guru (dianggap sebagai buruh), HindiaBelanda, kalangan Bumi Putra dan lain sebagainya. Berbeda dengan gerakan buruh di Eropa maupun Amerika Utara, yang menitikberatkan pada perjuangan perbaikan sosialekonomi, gerakan buruh Indonesia pada masa penjajahan ini lebih memprioritaskan isu politik untuk mencapai kemerdekaan politik. Dengan keadaan demikian, maka terjadilah polarisasi aliran politik dalam setiap tubuh serikat buruh. Selanjutnya pada episode kedua, dibentuk Barisan Buruh Indonesia (BBI) pada 19 September 1945. Pembentukan ini bertujuan untuk ikut serta mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, selanjutnya untuk kepentingan pertahanan dibentuk Laskar Buruh Indonesia. Seperti halnya kondisi buruh pada masa penjajahan Belanda, tujuan berdirinya organisasi buruh pada masa ini terbagi menjadi dua, yaitu untuk meningkatkan 59 Sukarno, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan Perburuhan Pancasila, (Bandung: Alumni, 1979), h. 1. 65 kesejahteraan anggotanya dan untuk memperkuat barisan politik Indonesia.60 Adapun periode ketiga yakni masa demokrasi terpimpin ditandai dengan adanya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 (dinyatakan untuk kembali kepada Undang-undang 1945). Dalam hal ini pemerintah melontarkan perlu adanya persatuan organisasiorganisasi buruh dengan mendirikan Organisasi Persatuan Pekerja Indonesia (OPPI). Namun, karena pengaruh dari SOBSI (organisasi buruh yang berkiblat pada komunis) yang menyatakan sebagai oposisi terhadap rencana tersebut masih sangat besar, upaya mempersatukan organisasi-organisasi buruh menjadi mentah kembali, karena pada masa ini dunia perburuhan sebagian besar didominasi oleh SOBSI dengan doktrin perburuhan komunisnya. Akibat adanya doktrin tersebut akhirnya menjelang G30S PKI hampir tidak ada lagi perusahaan swasta yang besar dan perusahaan milik negara (BUMN) yang dapat bertahan. Pada masa awal orde baru terdapat peristiwa penting di dalam pergerakan perburuhan di Indonesia, yaitu dibentuknya Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI) tahun 1966 dan Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) pada tanggal 1 November 1969. Dalam perkembangannya, lahir pula Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) dan Serikat Pekerja Seluruh 60 Djumadi, Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 22. 66 Indonesia (SPSI).61 Pada masa ini, baik organisasi buruh maupun pihak pengusaha sama-sama dalam keadaan lumpuh dan lemah. Akibat pertentangan yang terjadi tersebut, pemerintah akhirnya menerapkan suatu pola hubungan antara buruh dengan majikan yang berfalsafahkan pada Pancasila, atau sering disebut Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP). Sebagai bagian lanjutan dari perkembangan perburuhan di Indonesia, pada periode terakhir ini buruh mulai melepaskan diri dari kepentingan politik. Berbeda dengan periode-periode sebelumnya yang sebagian besar berkaitan dengan kepentingan politik. Pada masa ini, keberadaan organisasi buruh memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: Secara politis dan keuangan mereka belum bebas karena masih terikat oleh kepentingan politik meskipun sudah mulai melepaskan diri dari kepentingan politik, perjuangan gerakan buruh Indonesia lebih bersifat gerakan politik daripada gerakan buruh, dan adanya faktor internal dan eksternal sehingga organisasi buruh sulit dipersatukan.62 Dengan demikian, keberadaan organisasi buruh memerlukan adanya perubahan dan pembaruan yang mendasar, baik di bidang politik maupun keuangan. MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia) kemudian menyelenggarakan seminar di Tugu pada tanggal 21-28 Oktober 1971. Pada seminar itu berhasil ditegaskan identitas gerakan organisasi-organisasi 61 M.S. Hidayat, Episode Kelima Gerakan Buruh, Surat Kabar Harian Republika, tanggal 4 Oktober 1994, h. 4. 62 Djumadi, Op.Cit., h. 31-32. 67 buruh di Indonesia, salah satu penegasannya ialah gerakan buruh harus lepas dari kekuatan politik manapun. Sehingga pada akhirnya, keberadaan organisasi buruh mampu terlepas dari belenggu politik. C. Relasi Buruh dan Majikan Dalam suatu relasi kerja, pembagian kerja berdasarkan instansi/kelompok kerjanya terbagi menjadi dua bentuk, yaitu bentuk sektor formal dan bentuk sektor informal. 1. Sektor Formal Secara terminologi, sektor formal adalah suatu sektor kerja yang bersifat formal, yaitu pelaku perekonomian nasional yang resmi (berbadan hukum), memiliki izin usaha dari pemerintah, dan wajib membayar pajak kepada pemerintah.63 Dalam ilmu hukum, relasi buruh-majikan diartikan sebagai suatu hubungan antar kedua belah pihak dalam membentuk suatu persekutuan kerja demi mencapai kesepakatan kerja yang jelas berdasarkan kebijaksanaan keduanya. Adapun relasi kerja menurut KUHP buku III bab 7A, ialah hubungan orang yang bekerja pada pihak lain yang menerima upah dari pihak lain tersebut. 64 63 Lilyistigfaiyah.blogspot.com/2014/09/pengertian-sektor-usahaformal.html, diakses pada Jum’at, 03 Maret 2015. 64 Anne Friday Safaria dkk, Hubungan Perburuhan di Sektor Informal, terj. Sonya Sondakh, (Bandung: Yayasan Akatiga, 2003), h. 10. 68 Pada sektor kerja formal, permasalahan perburuhan sangat ditekankan pemerhatiannya baik oleh hukum perundang-undangan maupun oleh instansi terkait. Oleh sebab itu, terdapat dua kategori pandangan perihal relasi buruhmajikan ditinjau dari dua segi, yaitu: a. Secara yuridis, buruh memiliki kebebasan, dalam arti bahwa ia tidak diperlakukan sebagaimana budak atau diperhamba oleh majikannya. Ia bekerja dengan kesepakatan yang jelas. b. Secara sosiologis, buruh tidak bebas, sebab ia sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup selain daripada tenaganya, ia bekerja kepada orang lain dengan berbagai syarat kerja yang diajukan oleh majikannya. Berdasarkan kedua pandangan tersebut jelas bahwa dalam pelaksanaan tugasnya sebagai seorang yang bekerja kepada pihak lain yaitu majikan, buruh memiliki dua aspek tinjauan: pertama, tinjauan secara yuridis yang lebih mengarah kepada kebebasan dalam arti tidak sebagai budak dan kedua, tinjauan secara sosiologis bahwa ia bergantung kepada majikannya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap hubungan kerjasama, baik secara perseorangan maupun organisasi dibutuhkan komitmen yang jelas. Komitmen ini dibangun atas dasar tujuan supaya dalam pelaksanaan kerja, buruh maupun majikan tidak mengalami 69 kerugian dan penyesalan. Di samping itu, sebagai bentuk kesepakatan kerja/kontrak kerja. Perlu diketahui aspek-aspek penting yang melingkupi kegiatan kerjasama tersebut, agar dalam prakteknya mampu terjalin sebuah hubungan yang harmonis dan kondusif antara buruh dengan majikan. Aspek-aspek dalam sektor formal yang harus ada menyangkut hubungan antara buruh dan majikan berdasarkan tinjauan hukum perburuhan, yaitu meliputi: a. Perjanjian Kerja Perjanjian kerja merupakan kesepakatan kerja yang dibuat oleh kedua belah pihak secara bersama, berkenaan dengan kontrak kerja yang akan dilaksanakan. Menurut Undang-undang Arab, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang salah satu dari kedua belah pihak membuat janji untuk melaksanakan pekerjaan yang telah disediakan oleh pemberi kerja dengan tujuan memperoleh upah. 65 Perjanjian kerja ini dibentuk supaya kedua belah pihak yang bekerja sama mendapatkan hak dan kewajibannya masing-masing. Perjanjian kerja terbagi ke dalam dua macam, yaitu perjanjian kerja lisan dan perjanjian kerja tertulis. Perjanjian kerja secara lisan biasanya dilakukan oleh buruh dan majikan dalam sektor kerja informal. Sedangkan Yusuf Abdul Aziz Muhammad Abdul Majid, Syarh} Nus}u>s} Niz}a>m al-Amali wa al-Umma>l Fi> Mamlakah al-Ara>biyah as-Su’u>diyah, (Jedah: adDa>r as-Su’u>diyah, 1987), h.53. 65 70 perjanjian kerja tertulis, dilakukan oleh instansi formal, yaitu suatu perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak sebagai bentuk kesepakatan yang di dalamnya memuat tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak. 66 Dari segi keakurasiannya, perjanjian tertulis dinilai lebih akurat jika dibandingkan perjanjian lisan, karena perjanjian tertulis mempunyai kekuatan hukum (vide pasal 1338 ayat (1) KUHP, bahwa perjanjian yang sah dapat berlaku sebagai Undang-undang bagi masing-masing pihak yang terlibat).67 Di samping itu, dengan melakukan perjanjian tertulis maka apabila suatu saat terdapat masalah, baik masalah yang ditimbulkan oleh pihak buruh ataupun majikan, perjanjian tertulis tersebut dapat digunakan sebagai bukti otentik. Oleh sebab itu, sektor kerja formal dalam hal ini lebih dominan menggunakan jenis perjanjian kerja tertulis daripada perjanjian secara lisan. Perjanjian kerja yang harus diadakan secara tertulis, misalnya seperti macam dan jenis pekerjaan, lamanya perjanjian itu berlaku, besaran upah, jenis upah, lamanya waktu istirahat (cuti), besaran upah selama masa cuti, besarnya bagian dari keuntungan (tantiem) dan cara 66 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 1992), h. 53. 67 G. Kartasapoetra, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 73. 71 menghitung keuntungan serta pemberian pensiun untuk hari tua. Kesemuanya itu dibuat dan dibentuk oleh kedua belah pihak agar dalam pelaksanaan kerja yang dilakukan oleh buruh maupun pengawasan kerja oleh majikan dapat berjalan efektif. Dalam sebuah perjanjian kerja, ija>rah adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak. Apabila transaksi tersebut berhubungan dengan seorang buruh, maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya. Sehingga untuk bisa mengontrak seorang buruh, harus ditentukan kerjanya, waktu, upah serta tenaganya.68 Penjelasan tersebut dimaksudkan agar transaksi antara kedua belah pihak menjadi jelas, termasuk yang harus dijelaskan adalah mengenai tenaga yang harus dicurahkan oleh buruh, sehingga para buruh tidak merasa terbebani dengan pekerjaan yang berada di luar kapasitasnya. Allah Swt. Berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 286: Artinya: “Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah (2): 286) 68 Sebagaimana dalam akad ijarah dianggap syah apabila terdapat ijab dan qabul, baik dengan lafal ijarah atau lafal yang menunjukkan makna tersebut. 72 Sedang dalam hadits, Rasulullah bersabda yang artinya: “Apabila aku telah memerintahkan kepada kalian suatu perintah, maka tunaikanlah perintah itu semampu kalian”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Demikian jelas betapa pentingnya sebuah perjanjian kerja dan peraturan-peraturan yang memuat hak serta kewajiban kedua belah pihak. Apalagi pada sektor formal yang notabene dalam kenyataannya mempekerjakan banyak buruh, tidak hanya satu ataupun dua buruh. Perjanjian kerja ini akan menyebabkan terikatnya hubungan, baik majikan maupun buruh untuk melakukan kewajiban-kewajibannya di samping menerima hak-haknya (pasal 1601-a KUHP). Dengan adanya sebuah relasi kerja yang di dalamnya terdapat kontrak atau perjanjian yang jelas, maka buruh dan majikan tidak bisa melakukan halhal yang sekiranya dapat memicu pelanggaran-pelanggaran norma dalam bekerja, serta sebagai batasan bagi keduanya dalam melaksanakan kegiatan bekerja. b. Waktu kerja dan Istirahat Secara praktis, waktu kerja dan istirahat merupakan sesuatu hal yang penting untuk dipahami oleh pihak yang sedang melakukan persekutuan kerja (oleh buruh, utamanya majikan). Sebab jika salah satu dari mereka tidak paham dan tidak menerapkan aturan ini, maka akan 73 membawa dampak buruk pada beberapa hal, termasuk di antaranya pada kesehatan buruh dan juga instansi perusahaan di mana seorang buruh bekerja. Waktu kerja adalah waktu yang diberikan oleh majikan kepada buruh untuk melaksanakan pekerjaannya. Sedangkan waktu istirahat adalah waktu yang diberikan majikan kepada seorang buruh untuk beristirahat atau berhenti dalam bekerja. Antara waktu bekerja dan waktu istirahat ini harus sesuai dan seimbang, supaya dalam pelaksanaan kerjanya, baik buruh maupun majikan bisa mendapati kepuasan secara tersendiri, sekaligus sebagai bentuk toleransi seorang majikan kepada buruhnya. Walau bagaimanapun juga seorang buruh adalah manusia yang membutuhkan waktu untuk beristirahat. Berkenaan dengan waktu kerja dan istirahat, pemerintah telah mengaturnya di dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1948 pasal 10, sebagai berikut: 1. Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam dalam seminggu. Dalam giliran (shift), pekerjaan itu dijalankan pada malam hari atau pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, maka waktu kerjanya tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu. 2. Setelah buruh menjalankan pekerjaannya selama 4 jam berturut-turut (terus-menerus), maka buruh harus 74 diberikan waktu istirahat minimal setengah jam, waktu istirahat ini tidak termasuk jam kerja yang telah ditentukan di atas. Setiap minggu harus diadakan minimal satu hari istirahat. 3. Apabila dalam kenyataannya suatu perusahaan yang vital bagi pembangunan negara memerlukan kerja yang menyimpang dari ketentuan lamanya waktu kerja, pihak pengusaha atau majikan harus mengajukan permohonan kepada Kepala Jawatan Pengawasan Perburuhan (Sub Dit Pembinaan dan Pengawasan perundang-undangan/Departemen Tenaga Kerja setempat). Dalam konteks buruh yang hendak melaksanakan ibadah agamanya, kepada buruh yang bersangkutan diberi kesempatan yang sepatutnya untuk menjalankan ibadah agamanya itu (pasal 15 UU No. 12 Tahun 1948). Demikian pula dengan istirahat tahunan bagi buruh, Undang-undang No. 12 Tahun 1948 pasal 14 telah menentukan bahwa kepada buruh yang telah bekerja pada suatu perusahaan minimal satu tahun, kepadanya harus diberikan izin untuk beristirahat dengan memperoleh upah penuh minimal 2 minggu. Bagi buruh yang telah bekerja pada perusahaan selama 6 tahun berturut-turut, berhak atas istirahat yang lebih lama dari ketentuan di atas sesuai dengan kebijaksanaan pihak pengusaha atau majikannya. 75 Istirahat tahunan ini dianggap sebagai hari kerja, jadi selama menjalankan istirahat tahunan buruh yang bersangkutan tetap berhak atas upahnya yang utuh, dalam hal ini apabila upahnya tidak tentu maka sebagai upah harian diambil rata-rata upahnya dalam enam bulan yang mendahului atau yang telah berlaku, terhitung saat dimulainya istirahat tahunan tersebut, dan bagi buruh harian upah ini harus dibayarkan sebelum istirahat tahunan itu dimulai.69 Sebagai bentuk pengecualian, buruh memiliki tiga hari untuk keluarganya dan satu hari untuk bekerja dengan sempurna berdasar pada dua keadaan, yaitu; 1) karena melahirkan anak dan 2) karena suami atau salah satu keluarganya meninggal dunia. Dalam situasi seperti ini seorang majikan diperkenankan untuk mencari buruh lain yang bisa mengganti atau menguatkan pekerjaan yang telah ditinggalkan oleh buruh yang awal tadi.70 c. Upah Kerja Di Indonesia, kata upah biasa digunakan dalam konteks hubungan antara majikan dengan para buruhnya. Upah dengan kerja adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan, karena keduanya merupakan hukum alam yang selama ini berjalan di muka bumi. Apabila seseorang 69 70 G. Kartasapoetra, Op.Cit., h. 124-126. Yusuf Abdul Aziz Muhammad Abdul Majid, Op.Cit., h. 175. 76 mau bekerja dengan sungguh-sungguh, maka secara hukum kausalitas ia akan mendapatkan upah. Begitu juga sebaliknya, apabila seseorang dalam pelaksanaan kerjanya tidak bekerja dengan sungguh-sungguh atau bahkan tidak memiliki pekerjaan, maka secara kausalitas pula ia tidak akan memperoleh upah. Karena pada dasarnya, upah diperoleh sebab terdapatnya pekerjaan yang telah terselesaikan, sehingga pihak pemberi kerja mengupah buruhnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), upah adalah uang dan lain sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu. 71 Di dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan upah adalah pembayaran yang diterima oleh buruh untuk jasa-jasa yang telah diberikannya.72 Berbeda dengan Edwin B. Flippo di dalam karya tulisnya yang berjudul “Principles of Personal Management”, dinyatakan bahwa upah adalah harga untuk jasa yang telah diterima atau diberikan oleh orang lain bagi kepentingan seseorang atau badan hukum. 71 Pusat Bahasa DepDikNas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi ke-3, h. 1250. 72 Hasan Sadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1984), cet. ke-6, h. 3718. 77 Sedangkan menurut Undang-undang Kecelakaan nomor 33 Tahun 1947, yang dimaksud dengan upah ialah: a. Setiap pembayaran berupa uang yang diterima oleh buruh sebagai ganti pekerjaan. b. Perumahan, makan, bahan makanan dan pakaian dengan cuma-cuma yang harganya ditaksir menurut harga umum di tempat itu. Sampai sini dapat dipahami bahwa upah merupakan pengganti jasa yang telah diserahkan atau dikerahkan oleh seseorang kepada pihak lain, dalam hal ini ialah majikan. Dalam teori ekonomi konvensional, dibedakan pembayaran tenaga kerja pada dua pengertian, yakni gaji dan upah. Istilah gaji biasanya digunakan pada instansi pemerintah, sedangkan istilah upah biasanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan swasta. 73 Perbedaan kedua istilah ini disematkan kepada seseorang berdasarkan pada jenis pekerjaan dan instansi yang membawahinya, meskipun pada kenyataannya kedua istilah itu sering disamakan. Secara lebih spesifik, gaji merupakan balas jasa yang dibayarkan kepada pemimpin-pemimpin, pengawas- pengawas, pegawai kantor, pegawai tata-usaha serta para 73 F. Winanrni dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji dan Upah, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006), cet. ke-1, h. 16. 78 manajer lainnya. 74 Upah oleh teori ekonomi konvensional diartikan sebagai suatu penerimaan berupa imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja termasuk tunjangan, baik untuk pekerja sendiri maupun keluarganya. 75 Dalam hal ini, upah lebih dipandang sebagai balas jasa kepada para pekerja kasar yang lebih banyak mengandalkan kekuatan fisiknya dalam bekerja, seperti halnya buruh. Upah merupakan sesuatu yang penting, karena dengan upah buruh akan semakin giat dalam melakukan pekerjaan yang telah diberikan oleh majikan kepadanya, dalam artian sebagai motivasi kerja seorang buruh. Penunaian upah ini merupakan suatu bentuk terima kasih dari seorang majikan kepada buruhnya atas jasa-jasa yang telah dilakukannya dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan oleh majikan kepadanya. Di dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) telah ditentukan landasan hukum mengenai upah yang berbunyi, “Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dapat dipahami bahwa seharusnya upah yang diterima oleh buruh atas jasa-jasa yang telah dijualnya adalah berupa upah yang wajar, sehingga dengan upah wajar tersebut seorang buruh 74 75 Ibid., h. 16. Ibid., h. 17. 79 dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik dan tercukupi. Upah dalam arti yuridis merupakan balas jasa dari pihak majikan yang diberikan kepada para buruhnya atas penyerahan jasa-jasanya dalam kurun waktu tertentu. Upah dalam pengertian ini adalah sebagai bentuk balas kasih yang diberikan oleh majikan sesuai dengan porsi lamanya bekerja bagi seorang buruh. Berikut adalah jenis-jenis upah, yaitu: a. Upah Nominal Upah nominal ialah sejumlah uang yang dibayarkan kepada para buruh secara tunai sebagai imbalan atas pengerahan atas jasa-jasa atau pelayanannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja, baik di bidang industri ataupun dalam suatu organisasi kerja. Upah nominal ini disebut juga dengan upah uang (money wages) sehubungan dengan wujudnya yang memang berupa uang. b. Upah Nyata (Real Wages) Upah nyata ialah upah uang yang nyata yang harus diterima oleh seseorang yang berhak. Upah nyata ini ditentukan oleh daya beli upah tersebut yang tergantung pada besar atau kecilnya jumlah uang yang diterima dan besar atau kecilnya biaya hidup yang 80 diperlukan. Adakalanya upah nyata ini diterima dalam bentuk uang dan fasilitas. Sehingga upah ini pada prinsipnya sangat dibutuhkan oleh para buruh dalam kondisi tertentu. c. Upah Hidup Upah hidup ialah upah yang diterima seorang buruh relatif cukup untuk membiayai keperluan hidup, tidak hanya terbatas pada kebutuhan pokoknya saja melainkan kebutuhan sosial keluarganya, misalnya bagi pendidikan, bahan pangan yang memiliki nilai-nilai gizi yang lebih, iuran asuransi jiwa dan lain-lain. d. Upah Minimum (Minimum Wages) Tidak bisa dinafikan bahwa seorang buruh adalah manusia, sewajarnya kalau diberikan penghargaan yang wajar dan atau perlindungan yang layak. Dalam hal ini maka upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup buruh beserta keluarganya, dalam artian bahwa cost of living perlu diperhatikan dalam penentuan upah. e. Upah Wajar (Fair Wages) Upah wajar dimaksudkan sebagai upah yang secara relatif dinilai cukup wajar oleh majikan dan para buruhnya sebagai uang imbalan atas jasa-jasa 81 yang diberikan buruh kepada majikan sesuai perjanjian kerja di antara mereka. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), upah dikategorikan ke dalam empat bentuk, yaitu:76 a. Upah Bersih Upah bersih ini diartikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan kepada karyawan atau buruh berupa gaji dan tunjangan setelah dilakukan pemotongan. b. Upah Borongan Upah borongan merupakan upah yang dibayarkan kepada karyawan bukan atas dasar satuan waktu (hari, minggu, bulan), melainkan atas dasar satuan barang (tugas) yang harus dikerjakan. c. Upah Harian Upah harian merupakan bayaran yang diberikan kepada karyawan atau buruh hanya untuk hasil kerja harian, apabila yang bersangkutan masuk kerja. d. Upah Lembur Upah lembur merupakan upah yang dibayarkan kepada karyawan atau buruh yang melakukan pekerjaan di luar jam kerja resmi yang telah ditetapkan atau pada hari libur resmi. 76 Pusat Bahasa Depdiknas, Op.Cit., h. 1250. 82 Selama ini yang sering dikeluhkan para buruh adalah berkaitan dengan pemberian upah yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, perlu penulis jelaskan tentang karakteristik upah agar tidak menimbulkan dampak yang kurang baik, baik untuk para buruh, majikan, maupun untuk konsumen. Di antara karakteristik upah tersebut ialah sebagai berikut: a. Upah harus menjamin upah minimum. Artinya bahwa upah yang dibayarkan kepada seorang buruh harus berdasarkan pada upah minimum yang berlaku di suatu daerah tertentu. b. Upah tersebut dapat diterima atau disetujui oleh para buruh dengan penuh kesadaran. c. Upah harus fleksibel dalam menghadapi perubahanperubahan yang tidak diharapkan. Fleksibel yang dimaksud adalah menyesuaikan perubahan konteks kebutuhan ekonomi. d. Sistem pengupahan hendaknya dapat dirasakan berkeadilan serta berkemanusiaannya baik oleh pihak buruh maupun oleh pihak majikan. Dengan dipenuhi serta ditaatinya seperangkat ketentuan-ketentuan di atas, baik berkenaan dengan perjanjian kerja, waktu bekerja dan istirahat serta upah kerja, maka hubungan yang terjalin antara buruh dengan majikan, khususnya dalam sektor formal akan berjalan 83 dengan baik serta tidak lagi menimbulkan kesenjangankesenjangan sosial-ekonomi di antara keduanya. 2. Sektor Informal Secara terminologi, sektor informal adalah unit-unit usaha yang tidak atau sedikit sekali menerima proteksi ekonomi secara resmi dari pemerintah. Konsep sektor informal ini pertama kali diperkenalkan oleh Keith Hart pada tahun 1973. Pada sektor informal, relasi kerja diatur berdasarkan hubungan kedua belah pihak, yaitu buruh dan majikan dengan tanpa campur tangan dari pemerintah.77 Dari berbagai penelitian tentang sektor usaha informal di Indonesia, telah menghasilkan sepuluh ciri pokok, yaitu: (1) Kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik. (2) Tidak memiliki izin usaha. (3) Pola kegiatan usaha tidak teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. (4) Tidak terikat oleh aturan pemerintah. (5) Unit usaha bisa keluar masuk dari subsektor ke lain subsektor. (6) Teknologi yang digunakan bersifat primitif. (7) Modal dan perputaran usaha relatif kecil. (8) Pada umumnya unit usaha termasuk golongan one-manenterprises dan cenderung mempekerjakan buruh yang berasal dari keluarganya sendiri. (9) Sumber dana modal berasal dari tabungan pribadi. (10) Hasil produksi atau jasa dikonsumsikan 77 Mulyadi Subri, Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 114. 84 oleh golongan masyarakat kota/desa yang berpenghasilan menengah.78 Sektor informal mempunyai nilai strategis dalam pertumbuhan perekonomian dan stabilitas nasional. Sektor ini sangat dibutuhkan karena mempunyai daya serap tenaga kerja yang tidak tertampung pada sektor formal, dapat menciptakan pemerataan pendapatan terutama bagi golongan ekonomi lemah karena mudah di masuki, tidak membutuhkan modal yang terlalu banyak dan keterampilan yang tinggi. Oleh karena itu, hampir sebagian besar sektor kerja yang berlaku di setiap daerah adalah sektor informal, hal ini terjadi terutama di daerah-daerah pedesaan. Sektor informal adalah suatu kenyataan sebagai katub pengaman untuk memberikan kesempatan kerja dan pendapatan dalam rangka mengurangi keresahan-keresahan sosial. Oleh karena itu, eksistensi sektor informal yang semakin bertambah perlu mendapatkan pembinaan. Pembinaan sektor informal bisa dilaksanakan secara langsung dan tidak langsung. Pembinaan secara langsung adalah pembinaan secara terpadu dengan keterpaduan fasilitas-fasilitas pembinaan, sistem pembinaan dan jenis bantuan-bantuan itu sendiri menurut fungsi dari masing-masing pembina. Adapun pembinaan secara tidak langsung dapat dilakukan melalui sektor-sektor pemerintah ataupun swasta agar membina 78 Ibid., h. 115. 85 keterkaitan dengan ekonomi lemah/kecil melalui sub-kontrak, sub-agen ataupun melalui penyediaan fasilitas, sarana atau kemudahan lainnya yang dapat diberikan oleh sektor formal. 79 Pada konteks kerja informal, relasi buruh-majikan dipahami sebagai suatu hubungan timbal balik antara pemberi pekerjaan (majikan) dengan orang yang melakukan/menerima pekerjaan (buruh) dengan tanpa adanya hal-hal yang bersifat formil.80 Sebagaimana dikemukakan di atas, karena pada sektor ini tidak memperoleh proteksi dari pemerintah, maka dalam perjalanannya ia cenderung lebih bersifat fleksibel dan tidak mengikat, bahkan dalam beberapa kasus sektor ini lebih bersifat kekeluargaan. Dengan tidak adanya peran pemerintah di dalamnya, sehingga buruh yang bekerja pada sektor ini cenderung lebih merasa bebas, karena tidak terikat oleh peraturan-peraturan dari pemerintah maupun lembaga/instansi sebagaimana pada sektor formal. Relasi buruh-majikan harus dibangun secara harmonis, seorang buruh dan majikan harus berjalan secara berdampingan serta seimbang agar dalam praktek kerja lapangan tidak terjadi konflik kepentingan yang ditimbulkan oleh adanya keegoisan masing-masing pihak. Di dalamnya perlu dibentuk kesepakatan yang jelas oleh kedua belah pihak 79 Direktorat Pengelolaan Informasi Perekonomian, Ketenagakerjaan dan Serikat Pekerja, 2001, h. 21. 80 Anne Friday Safaria dkk, Hubungan Perburuhan di Sektor Informal, terj. Sonya Sondakh, (Bandung: Yayasan Akatiga, 2003), h. 2. 86 (buruh dan majikan) mengenai apa saja yang sekiranya diperlukan dalam pelaksanaan kerja. Secara sederhana, keperluan-keperluan itu minimal harus mencakup tiga hal pokok berikut ini: a. Perjanjian Kerja Secara ideal, dalam hubungan industrial yang terjalin antara buruh dan majikan perjanjian kerja harus dibentuk serta dijalankan secara seimbang. Sehingga hal itu akan membentuk keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak yang berhubungan. Keseimbangan itu bisa terwujud manakala terdapat syarat kerja yang baik. Menurut Endang Rokhani, SH., terdapat dua tujuan dibuatnya syarat kerja, yaitu: pertama, agar buruh dapat menikmati dan mengembangkan peri kehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan kedua, untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja (atau kondisi kerja).81 Pada bagian ini terdapat dua hal pokok yang menjadi titik fokus dalam persoalan kerja yang dalam hal ini dilaksanakan oleh kedua belah pihak (buruh dan majikan). Dua hal pokok tersebut ialah berkaitan dengan kontrak kerja dan kesepakatan hak serta kewajiban masingmasing pihak dalam melakukan kontrak. 81 Muhaimin Iskandar, Membajak di Ladang Mesin, (Semarang: Yayasan Wahyu Sosial, 2004), h. 85. 87 Dalam pembentukan aturan kesepakatan hak dan kewajiban dalam suatu hubungan kerja, sangatlah penting untuk dipahami batasan siapa yang disebut dengan buruh dan siapa yang disebut dengan majikan. Batasan ini diperlukan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan peran yang dijalankan oleh buruh atau majikan. Label majikan dan buruh yang disandang oleh seseorang memiliki implikasi terhadap hak-hak serta kewajiban masing-masing. Sebagai contoh, dengan diketahui bahwa si A adalah majikan dan si B adalah buruhnya, maka masing-masing dari A dan B akan melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan kewajiban masing-masing, begitu juga dengan hak mereka. Majikan dalam konteks ini adalah pihak yang memiliki otoritas mengatur proses mempekerjakan tertinggi dalam produksi, pihak menentukan pembiayaan lain, serta dan produksi, berkewajiban memberikan imbalan. Imbalan itu bisa berbentuk upah, fasilitas kerja yang memadai, dan jaminan sosial. Sedangkan buruh didefinisikan sebagai orang atau pihak yang mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak tertentu dengan memperoleh imbalan. 82 Biasa kita temui di masyarakat khususnya di daerah-daerah pedesaan, kebanyakan dari mereka lebih 82 Anne Friday Safaria dkk., Op.Cit., h. 11. 88 sering menggunakan sistem kontrak dan kesepakatan kerja yang non-formil, hal ini dikarenakan kebanyakan dari mereka tidak dalam suatu produksi besar atau bahkan seperti halnya sektor formal yang lebih menekankan kepada hal-hal yang bersifat teknis serta berlandaskan pada hukum. Dalam sektor informal ini, kontrak kerja dilakukan secara kekeluargaan dan tidak mengikat (fleksibel). Oleh sebab itu, diantara karakteristik sektor informal ini adalah sebagai berikut; bersifat padat karya, kekeluargaan, tingkat pendidikan formal rendah dan biasanya skala kegiatannya kecil dan mudah berubah-ubah.83 Berkaitan pula dengan kesepakatan hak dan kewajiban, sektor kerja informal lebih bersifat fleksibel dan tidak terikat oleh norma-norma ketenagakerjaan sebagaimana perjanjian kerja pada sektor formal. Hal ini dikarenakan pada sektor informal pihak yang bersepakat kerja tidak membuat semacam peraturan kerja. Hak dan kewajiban kerja dibangun atas kesadaran masing-masing, dalam artian bahwa dalam sektor informal ini antara pihak yang mempekerjakan dengan pihak yang dipekerjakan sudah maklum dengan hak dan kewajiban masing-masing. Hanya 83 saja biasanya majikan atau pihak yang Eggi Sujana, Buruh Menggugat: Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), 172. 89 mempekerjakan menerangkan tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh buruhnya. b. Waktu Kerja dan Istirahat Setiap buruh mempunyai hak untuk beristirahat dan juga mendapatkan ketenangan jasmani dan rohani. Tuntunan akan hal-hal tersebut menjadi tanggung jawab majikan selama ia masih terikat dengan perjanjian kerja dengannya. Secara fiqh, hak untuk beristirahat bagi seorang buruh adalah bagian integral dari kontrak kerja yang dibuat bersama sehingga ketentuan tersebut harus diperjelas dan terpisah dari waktu kerja. 84 Kesehatan buruh berhubungan erat dengan tenaga yang dikeluarkan dalam bekerja. Karena jika jam kerjanya panjang, maka hal itu akan berdampak buruk pada kesehatan buruh, di samping juga berakibat pada lemahnya produktivitas kerja. Melalui pembatasan waktu kerja dan istirahat inilah salah satu cara agar kesehatan dan kebugaran buruh tetap terjaga. Islam dalam hal ini sangat menjunjung tinggi aspek kesehatan dan kemakmuran buruh, ia tidak memperbolehkan kaum buruh mengalami keletihan dalam bekerja. Pandangan Islam dalam membatasi jam kerja ini bertujuan agar dalam pelaksanaan kerjanya, seorang buruh 84 Abdul Jalil, Teologi Buruh, (Yogyakarta: LkiS, 2008), h. 154. 90 dan majikan mampu menjalin kerjasama dengan baik serta tidak memunculkan kesenjangan yang berimplikasi pada tidak terpenuhinya tujuan keduanya. Islam menghendaki agar dalam hubungan kerjasama tersebut terjalin proses saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Pada sektor informal ini waktu kerja dan jam istirahat diberlakukan oleh majikan kepada buruhnya berdasarkan jam atau lamanya waktu bekerja dalam sehari. Umumnya pekerjaan ini dilakukan oleh sektor seperti pertanian, peternakan, perdagangan, pengangkutan barang dan lain sebagainya. Bahkan dalam sektor ini umumnya seorang buruh dapat mengajukan permohonan waktu kerja dan jam istirahat kepada majikannya sesuai dengan kondisi (bersifat kondisional). Ini karena umumnya pekerjaan yang berada pada lingkup informal adalah jenis pekerjaan harian. Waktu kerja dan istirahat dalam sektor informal dipandang sebagai suatu kesepakatan yang bersifat kekeluargaan, karena kecil kemungkinan memiliki ketergantungan terhadap faktor-faktor dari luar dan cenderung memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga terdekat. Sehingga apabila dicermati, salah satu karakteristik dari sektor informal dalam hal berkenaan 91 dengan waktu kerja dan istirahat adalah keluwesan dan kebebasan relatifnya.85 c. Upah Kerja Menentukan upah kerja termasuk salah satu permasalahan sosial yang penting, lantaran standar upah secara praktis menentukan standar hidup seorang buruh. Jika upah dapat diberikan secara adil, standar upah itu dapat menjamin kehidupan yang baik baginya; jika tidak, maka akan menimbulkan penderitaan dan kemalangannya serta menciptakan permusuhan-permusuhan antara buruh dan majikannya.86 Secara prinsip, pembahasan mengenai upah dalam sektor kerja formal maupun informal adalah sama. Di sektor informal juga terdapat pembagian upah berdasarkan jenis dan kategorinya. Hanya saja pada sektor ini, upah lebih dominan diberikan oleh seorang majikan kepada buruhnya dengan dasar rela sama rela, dalam artian bahwa penunaian upah dalam sektor informal ini tidak dilaksanakan dengan ketat sebagaimana sektor formal. Namun demikian, upah tetap menjadi satu hal yang penting untuk ditunaikan sebagai bentuk balas jasa dan penunaian hak buruh atas pekerjaan yang telah dilakukannya. 85 Anne Friday Safaria dkk, Op.Cit., h. 8. Baqir Syarif Al-Qarashi, Keringat Buruh, terj. Ali Yahya, (Jakarta: Al-Huda, 2007), cet. I, h. 250. 86 92 Pembahasan upah merupakan bagian dari hak buruh dalam bekerja. Sehingga menunaikan upah buruh sama halnya dengan menunaikan haknya. Dengan diberikannya upah, secara otomatis hak buruh telah terpenuhi. Jenis upah yang sering dipergunakan dalam praktek kerja sektor informal ini adalah upah nominal dan upah hidup. Karena wilayah kerjanya yang kecil serta tidak terikat oleh aturan-aturan hukum, maka penunaian upah tidak disesuaikan dengan Upah Minimum Regional (UMR) pada daerah tertentu, namun penunaian upah lebih bersifat relatif sesuai dengan harga upah umum yang berlaku bagi jenis pekerjaan tertentu. Sehingga keumuman upah tersebut menjadi acuan penunaian upah yang nantinya akan diterima oleh seorang buruh setelah ia menyelesaikan pekerjaannya. D. Sistem Sekuler-Kapitalisme dan Perkembangannya Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. 93 Dalam perekonomian kapitalisme setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara. 87 Di samping hal di atas, kapitalisme memiliki pondasi utama yang mendasarinya sehingga ia mampu berkuasa atas perekonomian global, yaitu:88 1. Kepemilikan individu Dalam sistem ini, seorang individu tidak dilarang memiliki apapun yang diinginkan dan negara tidak berhak menguasai harta milik individu dan merampas darinya. Sebaliknya, negara berkewajiban memfasilitasi usahanya agar ia dapat mengembangkan hartanya dan memperbesar keuntungannya. 2. Kebebasan Sistem kapitalisme menjamin kebebasan sempurna individu dalam segala bidang usaha. Karenanya, individu dapat menggunakan segala sarana dalam menghasilkan keuntungan dan mengembangkan kekayaan, sekalipun itu dilakukan dengan menguras tenaga para buruh. 87 file:///C:/Users/pc/Downloads/SISTEM%20EKONOMI%20KAPI TALISME%20dan%20SOSIALISME%20_%20diananggraeni.htm, diakses pada Minggu, 14 Juni 2015. 88 Baqir Syarif Al-Qarashi, Op.Cit., h. 181-183. 94 3. Manfaat dan kepentingan diri Manfaat dan kepentingan diri termasuk sifat yang mengakar dalam sistem kapitalisme. Sehingga, inilah yang menjadi pemicu kerja, penghasil segala materi yang dikonsumsi, dan menjadi unsur utama yang membentuk ajaran kapitalisme. Adapun ciri-ciri dari sistem ekonomi kapitalisme yaitu sebagai berikut:89 1. Pengakuan yang luas atas hak-hak pribadi. 2. Pemilikan alat-alat produksi di tangan individu. 3. Individu bebas memilih pekerjaan atau usaha yang dipandang baik bagi dirinya. 4. Perekonomian diatur oleh mekanisme pasar. 5. Pasar berfungsi memberikan “signal” kepada produsen dan konsumen dalam bentuk harga-harga. 6. Campur tangan pemerintah diusahakan sekecil mungkin. “The Invisible Hand” yang mengatur perekonomian menjadi efisien. 7. Barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif. 8. Modal kapitalis (baik uang maupun kekayaan lain) diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba (profit). 89 http:///SISTEM%20EKONOMI%20KAPITALIS%20%28LIBER AL%29%20_%20ZUMARA%27S%20BLOG.htm, diakses pada Minggu, 14 Juni 2015. 95 Kapitalisme dapat digambarkan dalam struktur dasarnya sebagai sistem ekonomi yang tidak lagi mendasarkan diri pada asas manfaat, tetapi pada proses yang menggerakkan agar ekonomi itu tumbuh terus-menerus, tidak peduli ada manfaatnya atau tidak. Artinya, tidak ada lagi wibawa moral dalam ekonomi, sebab yang dikejar adalah kepentingan (interest) setiap orang yang lalu dianggap bahwa pemenuhan kepentingan adalah sama saja dengan kebahagiaan. Atau juga sistem itu dapat dilihat sebagai wawasan dalam politik yang lalu menempatkan tugas negara tak lain adalah untuk menjamin hak milik mutlak setiap orang akan harta dan kekuasaan. 90 Secara historis, perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan individualisme. Gerakan ini juga menimbulkan dampak dalam bidang yang lain. Dalam bidang keagamaan gerakan ini menimbulkan reformasi. Dalam hal penalaran melahirkan ilmu pengetahuan alam. Dalam hubungan masyarakat memunculkan ilmu-ilmu sosial. Dalam bidang ekonomi melahirkan sistem kapitalisme. Oleh karena itu, peradaban kapitalis sah (legitimate) adanya. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar tipe tertentu dalam perekonomian. Sistem ini berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat Laut dan Amerika Utara (Baca: Ebenstein & Fogelman, 1994: 148). 90 Emmanuel Subangun, Op.Cit., h. 179. 96 Perjalanan sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari bumi Eropa, tempat lahir dan berkembangnya kapitalisme. Tahun 1648 (tahun tercapainya perjanjian Westphalia) dipandang sebagai tahun lahirnya sistem negara modern. Perjanjian itu mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (antara Katolik dan Protestan di Eropa) dan menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katolik Roma (Baca: Papp, 1988: 17). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itu aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil Tuhan), dengan anggapan bahwa negara itu sendiri yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya, sementara Tuhan (agama) diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di gereja (hubungan manusia dengan Tuhannya). Selanjutnya terdapat tiga perkembangan penting yang mempengaruhi perubahan situasi di Eropa, yaitu: revolusi industri (1760 - 1860), revolusi Perancis (1775 - 1799) dan tingkat melek huruf (literasi) (abad ke-19). Ketiga peristiwa tersebut telah mendorong munculnya keterlibatan rakyat (di luar raja dan kaum bangsawan) di dalam politik (pengaturan urusan rakyat) (Robert & Lovecy, 1984: 7). Revolusi industri telah memunculkan kelas menengah yang mempunyai kekuatan ekonomi, sehingga dengan kekuatannya tersebut mereka menuntut derajat kekuatan politik yang berimbang. Revolusi 97 Perancis telah mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa rakyat bisa memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh yang lain), libelarisme (ide bahwa otoritas politik harus disahkan lebih dahulu secara konsensus dan tidak secara turun temurun, serta dibatasi oleh hukum dan konstitusi) dan equalitas (ide bahwa partisipasi politik tidak hanya di tingkat elit aristokrat saja, tetapi terbuka untuk semua penduduk). Sedangkan meningkatnya derajat melek huruf di kalangan rakyat telah menyebabkan mereka dapat membaca peristiwa-peristiwa dan pemikiranpemikiran yang berkembang mempengaruhi mereka. di Eropa dan sekaligus 91 Atas landasan pandangan hidup seperti di atas, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak untuk membuat peraturan hidupnya. Mereka juga mengharuskan pula untuk mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan beragama, kebebasan berpendapat (berbicara), kebebasan individu (pribadi), dan kebebasan kepemilikan (hak milik). Dari kebebasan hak kepemilikan itulah dihasilkan sistem ekonomi kapitalis, yang merupakan hal yang paling menonjol pada ideologi ini. Oleh karena itu, ideologi ini dinamakan kapitalisme, sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam ideologi ini (Baca: An-Nabhani, 1953: 24). 91 http;///sejarah-dan-perkembangan-ekonomi.html, diakses pada Minggu, 14 Juni 2015. 98 Oleh karena itu, kapitalisme saat ini sudah tidak bisa disebut sebagai hanya sebuah "isme" biasa atau sebuah pemikiran filsafat belaka, bahkan tidak bisa juga hanya dikatakan kapitalisme sebagai sebuah telah menjadi teori ekonomi . Akan tetapi sebuah ideologi dunia yang mencengkeram dan mengatur semua sendi-sendi kehidupan manusia secara menyeluruh dan sistemik. Lester C. Thurow dalam bukunya The Future of Capitalism (1996) menggambarkan tentang perjalanan kapitalisme sebagai berikut: “Since the onset of the industrial revolution, when success came to be defined as rising material standards of living, no economic system other than capitalism has been made to work anywhere. No one knows how to run successful economies on any other principles. The market, and the market alone, rules. No one doubts it. Capitalism alone taps into modern beliefs about individuality and exploits what some would consider the baser human motives, greed and self-interest, to produce rising standards of living. When it comes to catering to the wants and desires of every individual, no matter how trivial those wants seem to others, no system does it even half so well. Capitalism’s nineteenth and twentieth-century competitors - fascism, socialism and communism - are all gone (Thurow, 1996: 1).” Akan tetapi, ternyata kapitalisme justru menimbulkan suatu masyarakat yang tidak egalitarian. Ia menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat banyak, di samping menyebabkan munculnya keserakahan kaum kapitalis dan individualis yang menyebabkan alienasi. Sebagai anti thesis terhadap kapitalisme, muncul marxisme pada abad 19 yang dipandang dapat 99 melahirkan sosialisme ilmiah. Berbagai bentuk sosialisme di Eropa sebelum kehadiran marxisme dianggap sebagai sosialisme utopia. USSR merupakan negara sosialisme Marxis pertama, otomatis negara sosialis ilmiah yang berhasil didirikan dan kemudian diikuti oleh RRC maupun negara Eropa Timur (Baca: Rais, 1995: 92).92 92 Ibid. BAB IV ANALISIS HADITS RELASI BURUH-MAJIKAN DAN KRITIK SISTEM PERBURUHAN SEKULER-KAPITALISME A. Kedudukan Buruh-Majikan dalam Hadits Sebagaimana penulis telah jelaskan pada bagian awal, bahwa Islam senantiasa menempatkan buruh dan majikan pada tempat dan kedudukan yang sama, serta tidak ada pembedaan yang signifikan di antara mereka. Hal ini lebih dilatarbelakangi oleh alasan karena menurut Islam semua manusia pada dasarnya adalah pekerja, namun Allah memberikan kemampuan dan kemahiran yang berbeda-beda atas mereka, sehingga timbullah perbedaan status. Bagi mereka yang mempunyai kemahiran lebih dan modal yang cukup dalam menjalankan usaha, status mereka adalah sebagai majikan. Begitu juga mereka yang mempunyai kemampuan dan kemahiran yang kurang memadai serta tidak didukung dengan modal yang cukup, secara otomatis mereka berstatus sebagai buruh (pelaksana kerja majikan). Meskipun buruh dalam konteks relasi pekerjaan (mu‟amalah kerja) adalah sebagai bawahan majikan, namun secara kedudukan yang dikehendaki oleh hadits, sesungguhnya buruh memiliki status sosial yang sama dengan majikan, dalam arti bahwa mereka memiliki hak persamaan dan kebebasan yang sama dalam menjalankan masing-masing pekerjaannya. Demikian pula kedudukan sederajat, termasuk sederajat di muka hukum 100 101 ialah persamaan yang dimiliki oleh manusia tanpa ada perbedaan di antara mereka baik karena perbedaan etnis, warna kulit, agama, keturunan kelas, dan kekayaan. Juga tanpa dibedakan antara muslim, nasrani atau lainnya, antara cendekiawan dengan yang bukan cendekiawan, dan antara yang kuat dengan yang lemah. 93 Karena manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang memiliki hak persamaan dan kebebasan, di samping itu juga memiliki kecenderungan sifat saling membutuhkan, maka yang menjadi titik tekan dalam prinsip kedudukan pada bagian skripsi ini yaitu mengenai kesetaraan dan keadilan, baik setara dan adil dalam hubungan pekerjaan maupun dalam hubungan sosial yang terjalin antara buruh dengan majikan. Dalam hubungan pekerjaan misalnya, kewajiban seorang majikan adalah memberikan tempat kerja dan kenyamanan kerja, perlindungan, kesejahteraan, serta memberikan upah yang cukup kepada buruhnya. Adapun dalam hubungan sosial sebagaimana yang berlaku pada umumnya bahwa mereka harus tetap menjalin hubungan yang harmonis, saling menjaga, saling menghormati, dan tidak saling merendahkan satu sama lain.94 Keadilan dalam dua dimensi ini sangat diperlukan, karena secara relasi keduanya terikat oleh unsur-unsur yang ada di dalamnya. Perintah berlaku 93 Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 36. 94 Muhammad Hanafi Muchlis (ed.), Kerja dan Ketenagakerjaan (Tafsir Tematik), (Jakarta: Aku Bisa, 2012), h. 221 dan 230. 102 adil ini sebagaimana telah dideskripsikan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya dalam QS. An-Nisa‟ (4) ayat 58 berbunyi: Artinya: “Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa‟ (4): 58) Ayat di atas memuat penjelasan tentang pentingnya penerapan keadilan dalam setiap pengambilan keputusan. Sama halnya dengan pengambilan keputusan dalam kebijakan kerja yang dilakukan oleh majikan terhadap buruhnya, seorang majikan harus benar-benar menerapkan prinsip keadilan ini di dalam semua unsur kerjanya. Kebijakan yang diambil serta peraturan yang dibuatnya tidak boleh keluar dari prinsip adil sebagaimana yang dikehendaki oleh ayat tersebut, sehingga para buruh dapat memperoleh hak-haknya secara proporsional serta kedudukan yang nyaman dalam bekerja. Hal ini penting dilakukan mengingat majikan merupakan motor (penggerak) bagi terlaksananya sistem kerja yang Islami, sistem kerja di mana segala sesuatu ditempatkan pada kedudukan yang saling menguntungkan dan tidak memberatkan satu pihak di antara pihak lain. Oleh sebab itu, mengenai hal ini penulis akan menguraikan lebih lanjut perihal kedudukan buruh dan majikan dalam hadits ditinjau dari berbagai aspek. Penulis berasumsi bahwa aspek-aspek di bawah ini memiliki keterkaitan erat dengan kedudukan buruh dan majikan 103 yang dideskripsikan oleh hadits. Di antara aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut: 1. Aspek Yuridis (hukum) Secara etimologi, yuridis bermakna hukum. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Al-Qur‟an dan hadits merupakan kitab hukum yang mengatur segala aspek kehidupan duniawi (dunia) maupun kehidupan ukhrawi (akhirat). Sama seperti Al-Qur‟an, hadits memiliki kandungan-kandungan hukum yang secara nilai yang dikandungnya dapat digunakan untuk mengatur serta menyelesaikan setiap problematika sosial yang telah atau sedang dihadapi oleh manusia, termasuk di dalamnya mengatur serta menyelesaikan problematika perburuhan yang telah sekian lama berlangsung dalam kehidupan sosial. Selain itu, hadits juga dijadikan pedoman hidup kedua setelah Al-Qur‟an. Oleh sebab itu, keberadaan hadits sebagaimana fungsinya sebagai kitab hukum sangatlah dibutuhkan dalam ikut andil menyelesaikan problematika perburuhan yang dibahas dalam skripsi ini. Buruh dalam bingkai yuridis diartikan memiliki kebebasan karena mereka tidak diperlakukan sebagaimana halnya perlakuan yang diterima oleh budak (hamba sahaya), akan tetapi mereka bekerja atas dasar kemauan sendiri (tanpa ada paksaan) dan didukung oleh seperangkat aturan kerja yang jelas, seperti contoh: disepakatinya perjanjian kerja, masa kerja yang jelas, dan adanya upah kerja di setiap akhir 104 pekerjaannya. Berbeda dengan budak, mereka bekerja dengan tanpa ada unsur-unsur di atas. Di samping itu, mereka diperhamba oleh majikannya dengan tanpa diupah. Apabila penulis cermati, dalam aspek yuridis ini seharusnya buruh memiliki kedudukan yang layak diperhatikan dan dipelihara hak-haknya, sebab Indonesia adalah negara hokum di mana segala sesuatu terikat oleh aturan-aturan hukum yang berlaku. Di samping itu, Indonesia merupakan negara Islam terbesar yang secara aspek keagamaan keberadaan dan kedudukan buruh sangat layak mendapat perhatian, karena di dalamnya telah diatur hubungan keduanya. Perhatian terhadap kaum buruh ini sudah sejak lama dinyatakan oleh Nabi Saw. di dalam haditsnya. Sebagaimana diketahui pada sebagian hadits yang penulis muat pada bab tiga berikut pensyarahannya, bahwa secara prinsip haditshadits itu memuat tentang hak-hak serta kewajiban-kewajiban buruh dan majikan di dalam menjalankan hubungan kerjanya. Pemenuhan hak dan kewajiban itu sangatlah penting, karena dengan adanya kedua unsur ini, seorang majikan maupun buruh dapat menempatkan masing-masing dirinya pada tempat dan posisi yang strategis, dalam arti majikan dan buruh dapat saling menjalin hubungan kerjasama secara harmonis. Oleh karena itu, berikut penulis jelaskan mengenai hak dan kewajiban keduanya: 105 Kewajiban majikan adalah sebagai berikut: 95 a. Memberikan upah. b. Menyediakan tempat kerja dan memberi kenyamanan kerja. c. Meningkatkan kecakapan dan kepribadian pekerja, serta membantu mereka untuk sukses. d. Memberikan perlindungan, kesejahteraan, tunjangan sosial, dan pesangon. Sedangkan hak majikan yaitu:96 a. Memperoleh keuntungan. b. Profesionalitas buruh. c. Loyalitas buruh. Adapun mengenai kewajiban buruh, seorang buruh memiliki kewajiban untuk melakukan tiga hal di bawah ini, yaitu:97 a. Pengertian buruh. b. Hubungan buruh. c. Kewajiban buruh. Sedangkan hak buruh, diantaranya sebagai berikut:98 a. Mendapat upah yang sesuai. b. Memperoleh kenyamanan. c. Memperoleh keamanan dan keselamatan. 95 Ibid., h. 221-246. Ibid., h. 255-285. 97 Ibid., h. 293-298. 98 Ibid., h. 343-355. 96 106 d. Mendapatkan pesangon. e. Jaminan sosial. f. Memperoleh pendidikan dan pelatihan. Semua itu merupakan kewajiban serta hak buruh-majikan yang harus dibangun secara sinergi, supaya mereka bisa saling memberikan profit (keuntungan), baik keuntungan yang bersifat materiil maupun keuntungan moril. Karena penulis sadari bahwa salah satu penyebab kesenjangan yang selama ini terjadi antara buruh dan majikan adalah akibat tidak atau diabaikannya masing-masing hak serta kewajiban di antara mereka. Sehingga yang terjadi adalah penyalahgunaan wewenang dan sistem kerja eksploitatif, di mana buruh tidak lagi memberikan kerja maksimal kepada majikannya, begitu juga seorang majikan tidak memberikan pelayanan terbaik kepada buruhnya, yang hanya ada di dalam mindset-nya hanyalah profit (keuntungan) yang besar dengan tanpa memerhatikan aspek-aspek perburuhan. Relasi yang terjalin antara buruh dengan majikan ditinjau dari aspek hukum yang terdapat dalam hadits sangatlah diperhatikan. Hal ini mampu dibuktikan dengan adanya sebagian hadits sebagaimana yang tercantum mengatur pada hubungan pembahasan keduanya sebelumnya. Pengaturan tersebut secara dasar meliputi; 1) pembahasan tentang peraturan kerja dan mempekerjakan yang terjalin antara buruh dengan majikan, 2) penjagaan harta majikan oleh 107 buruh, 3) waktu libur yang diberikan oleh majikan kepada buruhnya, 4) penunaian upah kerja sebagai bentuk balas jasa dari majikan kepada buruhnya. Demikian secara tinjauan hukum, keempat aspek itu telah mengatur secara ari>f bahwa untuk membangun sebuah relasi yang harmonis antara buruh-majikan yaitu dengan memenuhi keempat aspek tersebut. Seperti halnya penulis telah paparkan pada bagian awal bahwa dalam konteks perburuhan, buruh dapat diartikan memiliki kebebasan, sebab mereka bekerja dengan seperangkat aturan dan kesepakatan yang jelas serta memiliki hak yang lebih longgar jika dibandingkan dengan budak. Aspek yuridis (hukum) mendudukkan buruh berbeda dengan budak, dengan alasan bahwa seorang buruh bekerja bukan untuk dimiliki oleh majikannya sebagaimana halnya seorang budak, melainkan mereka bekerja untuk mendapatkan upah yang nantinya upah tersebut dapat digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan juga mencukupi keluarganya (anak dan istri serta hal-hal lain yang berkaitan dengan keluarga). Hadits telah mengatur secara jelas bahwa dalam pelaksanaan kerja yang terjalin antara buruh dan majikan terdapat sejumlah aturan yang mengikat keduanya. Sebagai buruh mereka harus menjalankan kewajibannya yaitu melaksanakan perintah dari majikan serta mentaati semua peraturan yang telah diberlakukan oleh majikan kepadanya. 108 Demikian pula dengan majikan, mereka harus menjaga hakhak buruhnya, memperlakukannya dengan baik serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan selama berlangsungnya proses kerja. Karena secara fitri, Allah Swt. telah menganugerahkan kecenderungan dan kemampuan serta keahlian yang berbeda-beda atas setiap manusia. Heterogenitas kemampuan dan keahlian ini mengharuskan adanya pembagian tugas dan kerja di antara mereka sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing. Hal ini sebagaimana Allah Swt. nyatakan dalam firman-Nya QS. AzZukhruf (43) ayat 32 berbunyi: Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka kehidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf (43): 32) Maksud ayat ini menurut para ahli tafsir adalah bahwa manusia itu sengaja diciptakan oleh Allah dengan kemampuan dan keahlian yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dengan 109 perbedaan kemampuan dan keahlian ini, maka manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya yang banyak itu, mereka harus menjalin kerjasama, saling tolong-menolong antar sesama. Bagaimanapun juga, karena banyaknya kebutuhan hidup manusia yang tidak mungkin dapat mereka penuhi secara individual, maka mau tidak mau mereka harus bergabung dengan orang lain yaitu dengan cara saling mempekerjakan, saling kerjasama, dan saling tolong menolong.99 Relasi dari segi yuridis (hukum) yang dimaksud pada bagian ini adalah relasi yang lebih mengarah kepada nilai keadilan dan kebebasan yaitu menjalankan segala aktifitas, baik sebagai pihak majikan atau sebagai pihak buruh dengan ukuran yang proporsional serta tidak mengikat. Adil dalam kaitan ini memiliki definisi yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya ()وضع شيئ فى محله. Sedangkan tidak mengikat dalam arti bebas mampu ditafsiri bahwa dalam pelaksanaan kerja, seorang buruh berhak memperoleh hak-haknya, baik hak secara spiritual, hukum maupun hak secara sosialnya. Secara spiritual, buruh berhak memperoleh waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab sesuai dengan agamanya. Hal ini dinilai perlu karena sebagai 99 Abuddin Nata (ed.), Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Kemasyarakatan, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 83. 110 manusia, mereka memiliki hak untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Sedangkan secara hukum, buruh berhak memperoleh payung hukum yang bisa melindunginya dari segala bentuk bahaya yang mengancam. Dalam konteks ini berarti melibatkan dua elemen, yaitu elemen pemerintah dan elemen majikan itu sendiri. Dengan diberikannya payung hukum, resiko buruk yang mengancam ketentraman buruh akan mampu diminimalisir dengan baik. Begitu juga secara sosial, buruh berhak bersosialisasi secara bebas-terikat dengan rekan sekerjanya maupun dengan majikan serta pemerintah. Hubungan sosial ini penting dilakukan supaya buruh tidak mengalami stres saat melakukan pekerjaannya. Dalam konteks ini pula dipahami bahwa buruh berhak menerima upah yang layak serta cukup sebagai bentuk konsekuensi dari adanya hubungan sosial yang terjalin baik antara buruh dengan majikan. Dengan penempatan yang proporsional dalam semua aspek di atas ditambah kerelaan serta keikhlasan keduanya, maka praktek relasi yang terjalin antara buruh dengan majikan dapat berjalan secara efektif dan efisien, terutama relasi yang mengatur kedudukan serta peran masing-masing keduanya dalam bekerja. 111 2. Aspek Sosiologis (sosial) Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa bekerja merupakan sebuah anjuran yang sangat ditekankan oleh Islam dan kiranya ia merupakan suatu amalan ibadah apabila dilaksanakan dengan dasar kesungguhan dan keikhlasan. Agama telah memerintahkan pemeluknya agar senantiasa bekerja dengan sungguh-sungguh serta menghimbaunya supaya tidak mengandalkan belas kasihan orang lain yaitu dengan meminta-minta dan sejenisnya. Dengan kesungguhan kerja itulah manusia akan mendapati sejumlah hasil yang sesuai dengan besar kecilnya pekerjaan yang telah dilakukan. Keteladanan bekerja ini telah dicontohkan oleh Ali bin Abi Thalib yang kala itu sangat lapar, sementara di rumahnya tidak terdapat makanan. Ia kemudian pergi ke desa-desa yang ada Madinah untuk mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan upah. Di salah satu desa, ia menemukan seorang perempuan yang hendak membasahi batu batanya. Ia meminta supaya diberikan pekerjaan itu kepadanya dengan upah sebiji kurma untuk setiap timba air yang diambilnya dari sumur. Sesudah enam belas timba, ia kemudian meminta upah dari majikan perempuan tadi. Setelah dihitung upahnya adalah enam belas biji kurma, Ali segera pulang dan menemui Nabi, 112 lalu memberitakan kejadian itu. Mendengar cerita Ali, Nabi bergembira, lalu makan bersama-sama.100 Demikianlah anjuran bekerja yang tekankan oleh Islam, sebab manusia adalah makhluk yang termulia di antara makhluk Allah lainnya, sehingga dengan kemuliaan itulah manusia dituntut untuk bekerja dengan sungguh-sungguh supaya kemuliaan itu tetap terjaga dalam dirinya. Di dunia Barat yang mengamalkan sistem kapitalis, hubungan buruh dan majikan menjadi masalah yang sangat kompleks, kesatuan sekerja tumbuh bercambah sebagai bukti betapa antara buruh dan majikan saling tidak percayamempercayai satu sama lain, mereka saling membenci dan tuduh-menuduh.101 Suasana tidak harmonis antara buruh dan majikan yang demikian pada akhirnya banyak menimbulkan masalah-masalah yang berdampak pada kehidupan sosial seperti demonstrasi dan mogok kerja. Sehingga kondisi semacam ini dapat menyebabkan kerugian bagi semua pihak, baik pihak buruh itu sendiri, majikan maupun masyarakat. Secara umum, hubungan buruh dan majikan di dalam bingkai syari‟at Islam terikat oleh satu acuan yaitu hablun min an-na>s (hubungan interpersonal) yang wajib dijaga oleh kedua belah 100 pihak. Sedangkan menurut pandangan Islam, Ibnu Husein Al-Ashee, Pribadi Muslim Ideal, (Semarang: Perpustakaan Nuun, 2004), h. 200. 101 Hakim Muhammed Said, The Employer and The EmployeeIslamic Concept, (Trans, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1989). 113 kesempurnaan hubungan sesama manusia hanya akan lahir setelah manusia tersebut menyempurnakan hubungannya dengan Allah (hablun min Alla>h). Sehingga secara prinsip, tidak akan menjadi baik hubungan sesama manusia melainkan apabila mereka menyempurnakan hubungannya dengan Allah. Dan begitu sebaliknya, tidak akan menjadi baik dan sempurna hubungan manusia dengan Allah jika mereka tidak menjaga hubungan dengan sesama manusia. Pada aspek sosiologis ini, sesungguhnya dapat dipahami bahwa hubungan yang terjalin antara buruh dengan majikan adalah seperti anggota dalam satu persaudaraan. Harapan yang diberikan oleh saudara kepada saudara lainnya diberikan pula oleh buruh kepada majikannya. Seorang saudara tidak akan merasa tentram melihat saudaranya berada dalam keadaan sukar. Majikan bebas melakukan usaha untuk mengeluarkan produktifitas serta mencari profit (untung) dalam jumlah besar, tetapi tidak dengan memeras keringat buruh untuk kepentingan pribadi. Islam mempunyai mekanisme yang jelas untuk mencapai tujuan tersebut. Pencapaian tujuan itu disebut dalam AlQur‟an melalui kisah Nabi Musa A.S. yang bekerja di rumah Nabi Syu‟aib A.S, Nabi Syu‟aib berkata kepada Musa dalam QS. Al-Qashash (28) ayat 27 yang berbunyi: 114 Artinya: “Aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al-Qashash (28): 27) Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap muslim tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan dan keseksamaan, dengan terjemahan arti sebagai berikut: 102 a. Majikan tidak boleh membebani buruh dengan suatu pekerjaan di luar kemampuannya. Beban kerja buruh haruslah ditakar sesuai dengan kekuatan yang dimiliki buruh tersebut. b. Majikan seharusnya mengutamakan kebajikan kepada buruhnya. Kebajikan yang dimaksud adalah kebaikan buruh, di mana seorang buruh hendaknya senantiasa harus diperhatikan kebaikan dirinya maupun pekerjanya. c. Upah perlu diberikan kepada buruh sesuai dengan hasil kerjanya. Dalam artian bahwa upah ditunaikan kepada seorang buruh sesuai dengan besaran tenaga yang telah ia curahkan selama bekerja. Dengan demikian, jelas bahwa ditinjau dari aspek sosial terdapat tiga prinsip yang termuat di dalam Al-Qur‟an perihal 102 Ibnu Husein Al-Ashee, Op.Cit., h. 2002. 115 bagaimana penjelasan tentang hubungan buruh dengan majikan yang semestinya harus dipenuhi, terlebih oleh majikan, karena ia sebagai pihak yang menyediakan pekerjaan sekaligus sebagai pihak yang berhak mengatur serta mengupah buruhnya. Ketiga prinsip tersebut ialah prinsip kemanusiaan, keadilan, dan keseksamaan. Dalam hubungan pekerjaan, tugas seorang majikan adalah tidak membuat peraturan yang keluar dari ketiga prinsip tersebut. Sebab ketiganya merupakan landasan yang dapat menciptakan hubungan dan sistem kerja yang baik. Di samping itu, ketiganya merupakan pensyari‟atan Allah yang harus dipraktekkan secara seksama oleh majikan, karena sebagaimana hadits di depan bahwa setiap manusia dalam semua hal akan dimintai pertanggungjawabannya, termasuk pertanggungjawaban seorang majikan terhadap para buruhnya. 3. Aspek Politik Peran penting politik dalam memandang dan memberikan tempat kepada buruh dan majikan adalah sangat penting. Hal ini mampu dibuktikan dengan fakta sejarah, bahwa politik yang diemban oleh Nabi pada saat memimpin Madinah dapat membawa kedamaian pada relasi keduanya (buruh dan majikan). Nabi menjadikan politik kekuasaannya sebagai sarana untuk membentuk keharmonisan keduanya. Dengan kekuatan politik yang dimilikinya pada saat itu, Nabi mampu 116 membangun konsolidasi relasi antara buruh-majikan dengan baik. Gerakan dakwah politik Nabi adalah sebaik-baik teladan bagi umat manusia. Dalam kampanye dakwahnya, beliau senantiasa mengajak umatnya dengan cara lembut, sopan, bijaksana, kasih sayang, penuh keteladanan, dan ketelatenan dalam merespon isu-isu yang berkembang dengan konsep tabayyun, yaitu check and recheck terkait informasi yang bersumber dari berita-berita yang belum jelas terbukti faktanya. Dalam Al-Qur‟an Allah Swt. memberikan tuntunan berdakwah atau berkampanye program kebaikan dengan tiga cara sebagaimana yang dilakukan Nabi, yakni bil hikmah (kebijaksanaan), mau’iz}oh al-hasanah wa ja>dilhum billati hiya ahsan (perkataan yang baik dan bertukar pikiran dengan cara yang baik).103 Hal itu sesuai dengan firman Allah Swt. di dalam QS. An-Nahl (16) ayat 125: Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bertukar fikiranlah/ 103 http://www.radarbanten.com/read/berita/150/16297/TeladanBerpoliitk-Rasulullah-Muhammad-SAW.html, diakses pada Kamis, 19 Februari 2015. 117 berargumentasilah dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl (16): 125) Dengan membangun menerapkan politiknya ketiga konsep berdasarkan tersebut nilai-nilai Nabi Islam, termasuk di dalamnya adalah pembangunan dan pengaturan sistem kerja buruh-majikan yang terjadi pada zamannya. Terbukti bahwa dalam menyelesaikan suatu masalah, beliau selalu mengedepankan tiga konsep itu, yaitu kebijaksanaan, perkataan yang baik, dan bertukar pikiran dengan cara yang baik. Dalam kasus perburuhan misalnya, Nabi senantiasa melakukan tabayyun (klarifikasi) sebelum melangkah pada aspek permasalahan selanjutnya. Setelah tabayyun dilakukan, lalu beliau mengajak keduanya dengan cara bijak. Kebijaksanaan di sini sangat diperlukan oleh seorang pemimpin suatu negara agar konflik dapat segera teratasi. Adapun selanjutnya, supaya proses mediasi berjalan dengan baik, beliau kemudian mengajak keduanya berlaku baik dalam menyampaikan argumen-argumennya. Dengan penyampaian yang baik itu, bisa dilanjutkan pada proses ketiga yaitu bertukar pikiran. Begitu juga dalam proses bertukar pikiran, Nabi senantiasa mengajak dengan cara yang baik. Beliau memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menyampaikan masing-masing keluhannya. Setelah keluhankeluhan tersampaikan lalu diambillah keputusan. Keputusan 118 ini tentunya tidak boleh keberpihakan, keputusan harus didasarkan pada prinsip keadilan. 104 Disadari ataupun tidak bahwa kekuatan dan kesejahteraan sebuah negara tidak dapat dipisahkan dari pengaturan sistem ekonominya. Sebagaimana lazimnya sebuah negara yang baru berdiri, negara Madinah pada waktu itu juga tidak luput dari persoalan-persoalan ekonomi, karena pada faktanya ekonomi Madinah dikuasai oleh kaum Yahudi yang terkenal mahir dalam melakukan aktivitas perekonomian. Sehingga dalam mengatasi kondisi seperti itu, Nabi mengambil beberapa kebijakan, salah satunya adalah dengan membentuk peraturan sistem upah. Beliau sangat memperhatikan sistem upah. Salah satu pesan beliau tentang sistem upah ini adalah agar membayar upah buruh sesegera mungkin, sebelum kering keringatnya. Selain daripada itu, Nabi juga melakukan penyatuan terhadap kelompok Muhajirin105 dan Anshar.106 Nabi melakukan penyatuan terhadap keduanya dengan tujuan supaya kekuatan sosial-politik termasuk juga ekonomi menjadi semakin kuat. Salah satu contoh persaudaraan itu adalah persaudaraan antara Abdurrahman bin „Auf dan Sa‟ad 104 105 Ibid Muhajirin artinya penduduk Muslim Makkah yang berhijrah ke Madinah 106 Muhajirin. Anshar adalah penduduk asli madinah yang menolong kaum 119 bin ar-Rabi‟. Persaudaraan yang terbina antara golongan Muhajirin dan Anshar tersebut berpengaruh kepada sektor ekonomi, di mana kaum Muhajirin sebagaimana lazimnya orang Makkah mempunyai keahlian di bidang pertanian. Sementara kaum Anshar lebih mempunyai keahlian di bidang perdagangan. Sehingga kombinasi antara perdagangan dan pertanian ini membawa kepada perekonomian Madinah yang lebih baik.107 Begitulah cara Nabi menjadikan politik kekuasaannya sebagai instrumen dalam menyelesaikan permasalahanpermasalahan sosial-ekonomi yang melibatkan kaum buruh dan majikan. Beliau senantiasa menempatkan keduanya pada porsi dan kedudukan yang seimbang. Di lain sisi, beliau juga memberikan kedudukan yang berbeda dalam proses mu’amalah kerja. Sebab secara teori, seorang buruh diberi kedudukan di bawah majikan karena sebagai pelayan majikan dan pengemban pekerjaan majikan. Begitu pula sebagai majikan, ia diberi kedudukan di atas buruhnya karena sebagai pihak yang memiliki wewenang mengatur dan memberikan pekerjaan kepadanya. 4. Aspek Ekonomi Dalam persoalan relasi buruh-majikan, ekonomi merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh dominan 107 Muhammad Syafi‟i Antonio, Muhammad Saw: The Super Leader Super Manager, (Jakarta: ProLM Centre, 2007), h. 152-153. 120 terhadap proses berlangsungnya suatu mu’amalah kerja. Bahkan kedudukan seseorang dalam ranah sosial sering ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ekonominya. Ekonomi menjadi faktor penting yang dapat membuat seseorang menjadi semangat dalam bekerja. Begitu pula, ekonomi bisa membuat seseorang menjadi lemah dalam bekerja. Berbicara pada aspek ekonomi dengan melibatkan kaum buruh dan majikan sebagai obyeknya, ini sangatlah sensitif. Namun demikian halnya, menurut pandangan Islam serta ajaran yang dibawa oleh Nabi melalui hadits-haditsnya, menyebutkan bahwa sesungguhnya segi ekonomi telah mengatur secara baik relasi keduanya. Misalkan saja seperti hadits tentang menyegerakan upah, bahwa menyegerakan upah bagi buruh yang telah selesai melakukan pekerjaannya adalah suatu kewajiban bagi majikan. Upah ini adalah bagian dari ekonomi yang harus ditunaikan oleh seorang majikan kepada buruhnya. Sehingga dengan ditunaikannya upah tersebut, hak ekonomi yang dimiliki oleh buruh secara otomatis menjadi terpenuhi. Ekonomi di sini berperan sebagai faktor penggerak sebuah relasi kerja. Seorang majikan dengan tingkatan ekonominya mampu mempekerjakan serta menggaji buruhnya. Demikian halnya, seorang buruh dengan tingkatan ekonominya bersedia menjalin kerjasama dengan majikan. Itu semua didasari oleh sebuah alasan karena ekonomi merupakan 121 faktor penggerak yang bisa dijadikan sebagai alat untuk menciptakan keserasian dan keharmonisan hubungan kerja. Lain daripada itu, ekonomi tidak boleh dijadikan sebagai faktor utama yang bisa menimbulkan hubungan buruh dan majikan menjadi tidak harmonis, melainkan ekonomi harus menjadi penyeimbang hubungan yang terjalin antara keduanya sehingga terciptalah keharmonisan. Oleh sebab itu, pada segi ekonomi ini kedudukan buruh dan majikan tidak lagi ditentukan oleh kekuatan ekonominya, akan tetapi kekuatan ekonomi dijadikan sebagai penguat hubungan keduanya. Dengan kata lain, bahwa ekonomi tidak dijadikan sebagai satu-satunya faktor dominan yang bisa menguasai buruh dalam hubungan kerja, namun ekonomi dijadikan sebagai penyeimbang hubungan keduanya serta penguat bagi keberlangsungan mu’amalah kerja yang terjalin antara buruh dengan majikan. B. Relasi Buruh-Majikan dalam Hadits Meskipun antara hak dan kewajiban bersifat timbal balik dan berhadap-hadapan, hubungan antara buruh dengan majikan dalam Islam adalah hubungan kemitraan dan saling membutuhkan. Islam menempatkan buruh dan majikan pada kedudukan yang setara, baik setara dalam aspek sosialnya maupun aspek ekonominya, karena keduanya saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Hubungan keduanya adalah kemitraan dalam bekerja, majikan adalah orang yang memiliki dana dan 122 membutuhkan kerja manusia, sementara buruh adalah pemilik tenaga yang memerlukan dana. Oleh karena itu, hubungan keduanya harus diatur dengan baik supaya masing-masing menjalankan kewajiban dan memperoleh haknya secara benar dan tepat. Sebagaimana telah penulis ketengahkan dalam uraian terdahulu, bahwa Islam memandang semua anggota masyarakat pada hakekatnya adalah pekerja, masing-masing bekerja untuk orang lain dan sebaliknya orang lain bekerja untuk dirinya. AlQur‟an menegaskan bahwa Allah sengaja menciptakan manusia dengan kemampuan dan keahlian yang berbeda-beda, sehingga antara satu dengan lainnya dapat saling memanfaatkan dan mempekerjakan orang lain sesuai dengan kemampuan dan keahliannya demi memenuhi kebutuhan (hajat) hidup masingmasing. Adapun fenomena dunia usaha yang lazim mengenal adanya istilah majikan sebagai pemilik modal dan buruh sebagai pekerja, tidak lain adalah konsekuensi dari heterogenitas kemampuan dan keahlian yang telah Allah berikan kepada masing-masing dari mereka. Namun semua itu tetap dalam kerangka suatu sistem kerjasama dan tolong menolong demi terpenuhinya kebutuhan semua pihak, dengan kata lain hubungan kerja antara majikan dan para buruh dapat dipandang sebagai 123 hubungan atas dasar saling membutuhkan dan saling menguntungkan. 108 Ringkasnya, Islam tidak mengenal pengelompokan atau kelas kerja kepada kelompok yang kuat (superior) di satu pihak, dan kelompok yang lemah (inferior) di pihak lain. Kenyataan adanya unsur usaha yang terdiri dari majikan, pekerja profesional, dan pekerja buruh bukanlah indikasi kelas yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial, melainkan sebagai indikasi keharusan kerjasama. Oleh karena itu, berdasarkan relasi yang terbangun antara buruh dan majikan, hubungan buruh dan majikan terintegrasi dalam beberapa aspek dibawah ini: 1. Relasi Buruh-Majikan dalam Hubungan Pekerjaan Sebagaimana telah dikemukakan pada awal uraian terdahulu, bahwa untuk memenuhi kebutuhan (hajat) hidupnya seseorang harus berusaha dan bekerja. Di dalam AlQur‟an terdapat banyak ayat yang menganjurkan kerja dan usaha mencari rizki secara halal lagi baik, salah satunya seperti halnya firman Allah dalam Qs. At-Taubah (9) ayat 105: 108 Abuddin Nata (ed.), Op.Cit., h. 91-92. 124 Artinya: “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui hal-hal ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah (9): 105) Perintah dan anjuran Al-Qur‟an tentang kerja dan usaha ini dikuatkan ulang oleh hadits Nabi di bawah ini: Artinya: “Tidak ada makanan yang dimakan oleh seseorang lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s. memakan makanan dari hasil kerja tangannya.” (HR. Al-Bukhari) Kembali pada permasalahan usaha dan kerja, bahwa di antara sekian banyak bentuk kerja dan kegiatan ekonomi, terdapat bentuk usaha yang dikenal dengan sebutan jual jasa atau dalam bahasa sederhananya mengambil upah. Bentuk kerja dengan menjual jasa ini secara praktek merupakan hal yang penting, karena tidak sebagaimana umumnya bahwa bentuk kerja ini disamping mengeluarkan banyak waktu untuk bekerja juga memerlukan banyak tenaga, sebab bentuk kerjaannya adalah menjual jasa. Di dalam syari‟at Islam, seperti yang dijabarkan dalam kitab-kitab fikih, sistem usaha pemberian dan 125 penerimaan gaji atau upah disebut dengan al-ija>rah (sewa menyewa). Ayat Al-Qur‟an yang dijadikan sebagai landasan hukum bagi keabsahan bentuk usaha al-ija>rah ini adalah firman Allah QS. Ath-Thalaq (65) ayat 6: Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq (65): 6) Ayat ini menjelaskan bahwa seorang ibu yang menyusukan anak mantan suaminya atau orang lain berhak mendapatkan upah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa praktek al-ija>rah adalah dibenarkan oleh syari‟at Islam sebagai suatu kebolehan. Karena hal ini merupakan cara memudahkan manusia untuk mencapai manfaat yang mereka inginkan dari suatu barang yang tidak mereka miliki; sementara kebutuhan akan manfaat tersebut sama halnya dengan kebutuhan akan benda-benda tertentu. Orang miskin berhajat kepada harta orang kaya dan orang kaya berhajat kepada kerja orang miskin. Memperhatikan dan memelihara kebutuhan manusia merupakan salah satu dasar syari‟at. 109 Pengklasifikasian buruh-majikan berdasarkan hubungan pekerjaan ini didasarkan pada relasi keduanya sebelum akad ija>rah dimulai. Terdapat beberapa syarat dan 109 Ibid., h. 90. 126 ketentuan yang harus dibuat serta disepakati oleh keduanya sebelum ija>rah dimulai, salah satu di antaranya adalah membuat perjanjian (kontrak) kerja. Pada sub bab ini, penulis akan menganalisis relasi buruh-majikan dalam hubungan pekerjaan yang didasarkan pada dua hadits berikut ini; 1) hadits yang memuat penjelasan tentang perlunya penjelasan upah yang akan dibayarkan sebelum mempekerjakan buruh, dan 2) hadits yang memuat penjelasan tentang akad sewa dalam batasan waktu. Hadits pertama yaitu tentang larangan Nabi mempekerjakan buruh sampai dijelaskan besaran upahnya. Dalam konteks hadits ini terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan oleh seorang majikan sebelum mempekerjakan buruhnya, yaitu: 1) penjelasan besaran upah kerja buruh, 2) penjelasan jenis pekerjaannya, dan 3) kekuatan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan itu. Pada hadits pertama ini, Nabi Saw. menegaskan kepada para majikan tentang perlunya sebuah penjelasan kepada buruhnya tentang besaran upah yang nantinya akan diberikan kepadanya, penjelasan ini disampaikan sebelum ija>rah dimulai. Meskipun dalam hal ini Malik, Ahmad, Ibnu Syibrimah berpendapat itu tidak wajib, jika upah itu sudah ma'ru>f (dimaklumi/diketahui) dan dipandang baik oleh umumnya orang Islam. Namun pendapat pertama yang mengatakan bahwa penjelasan perlu disampaikan adalah lebih 127 dikuatkan dengan mengqiyaskan pada harga penjualan (yang harus dilakukan dengan jelas). Sehingga dengan penguatan itu jelas bahwa seorang majikan harus menjelaskan besaran upah buruhnya, meskipun di daerah tertentu upah tersebut sudah ma’ru>f (dimaklumi/diketahui) dan umum dijadikan sebagai bayaran terhadap para buruh dalam bekerja. Dalam konteks hadits ini, penulis mencermati bahwa sebagai pihak yang saling membutuhkan, maka keduanya harus bersikap saling terbuka. Sebagai seorang majikan yang dalam konteks ini memiliki kewenangan dalam mengatur dan menggaji buruhnya, ia dituntut untuk bersikap terbuka dengan cara menjelaskan besaran upah buruhnya. Penjelasan ini sangat penting dilakukan karena dalam suatu akad (seperti akad jual beli misalnya), manakala ada seorang pembeli yang ingin membeli suatu barang dari si penjual, maka dengan rela hati si penjual harus bersedia menjelaskan barang dagangannya kepada pembeli tersebut dengan sikap terbuka. Penjelasan itu dilakukan pada saat terjadinya proses jual-beli yaitu sebelum akad disetujui. Hal ini dilakukan dengan alasan supaya tidak terjadi kekeliruan atau kerugian, baik yang melibatkan pembeli itu sendiri maupun penjual. Begitu juga dalam konteks ija>rah (mempekerjakan buruh), di dalamnya harus terdapat penjelasan yang shari>h (jelas) perihal apa saja yang harus dikerjakan dan diterima oleh buruh dalam bekerja, termasuk penjelasan tentang besaran upah kerjanya. Karena 128 ija>rah dalam konteks ini adalah menyewa tenaga buruh untuk mengerjakan pekerjaan majikan. Sebagaimana halnya jual beli yang memiliki syaratsyarat sebagai bentuk sahnya akad, ija>rah juga memiliki syarat-syarat yang bisa membawa dampak pada sahnya akad ija>rah itu sendiri, di antara syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:110 a. Kerelaan keduanya Kerelaan di sini artinya tidak ada unsur paksaan, apakah itu paksaan dari pihak yang memberi kerja (majikan) ataupun pihak yang bekerja (buruh). Kesemuanya berjalan atas dasar kerelaan. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam QS. An-Nisa‟ (4) ayat 29: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. AnNisa‟ (4): 29) Dengan adanya ayat tersebut jelas bahwa ija>rah harus dilakukan atas dasar kerelaan hati (suka sama-suka). 110 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh (Damaskus: Da>r Al-Fikri, 2008), h. 529-530. Al-Isla>mi wa Adillatuhu, 129 Karena yang demikian itu merupakan sesuatu yang baik dan mulia di mata Allah Swt. b. Sesuatu yang disepakati adalah sesuatu yang manfaat. Sesuatu yang disepakati secara bersama antara pemberi kerja (majikan) dengan yang bekerja (buruh) harus jelas kemanfaatannya. Artinya bahwa sesuatu yang akan disewakan tersebut, apakah itu berupa barang maupun jasa dapat diketahui manfaatnya. Karena jika nilai kemanfaatannya tidak diketahui secara jelas, maka maksud yang dituju menjadi tidak berhasil. Oleh sebab itu, sesuatu yang disepakati dalam hal ini ialah terkait dengan penjelasan kemanfaatannya, waktu dan pekerjaan yang akan dilakukan. Adapun hadits kedua membahas tentang perlunya akad sewa yang dilakukan oleh seorang majikan dalam menggunakan jasa buruh pada kurun waktu tertentu. Hal ini senada dengan firman Allah Swt. dalam QS. Al-Qashash (28) ayat 27: Artinya: Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja 130 denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orangorang yang baik". (QS. Al-Qashash (28): 27) Ayat tersebut merupakan gambaran tentang penyewaan buruh dalam batasan waktu, yaitu delapan tahun lamanya. Buruh yang dimaksud di dalam kisah ayat tersebut adalah Nabi Musa. Beliau dijanjikan akan dinikahkan dengan putrinya (Syu‟aib) apabila telah melampaui batas waktu delapan tahun. Setelah masa delapan tahun bekerja sebagai buruh ditambah dengan suka rela yang dilampaui oleh Musa, dikawinkanlah ia dengan putrinya yang bernama Shafura. Sebagai hadiah perkawinan, diberinyalah beberapa ekor kambing untuk dijadikan sebagai modal pertama bagi hidupnya yang baru sebagai suami-isteri. Pemberian beberapa ekor kambing itu juga merupakan tanda terima kasih Syu‟aib kepada Musa yang selama ini di bawah kepengurusannya. 111 Dalam kaitan pembahasan mengenai akad sewa (aqd al-ija>rah), bahwa sebelum buruh melakukan pekerjaannya, sesungguhnya terlebih dulu harus dibuat perjanjian atau akad kerja yang melibatkan buruh dan majikan. Perjanjian kerja ini dinilai perlu yaitu untuk mengikat keduanya supaya senantiasa berada pada aturan-aturan dan syarat-syarat yang telah 111 Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 21. 131 disepakati bersama. Di samping itu, perjanjian kerja merupakan cerminan baik dalam bekerja, karena dengan adanya perjanjian kerja, semua aktifitas kerja mampu terkontrol dengan baik. Perjanjian kerja dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode lisan dan tertulis. Jika perjanjian itu dilakukan secara lisan, maka harus ada kejelasan yang sekiranya bisa menguatkan relasi keduanya, lebih baik jika dalam perjanjian lisan didatangkan satu orang sebagai saksi atas dibuatnya perjanjian tersebut. Saksi dalam hal ini memiliki peran penting, sebagaimana pada hadits di atas dijelaskan bahwa sesungguhnya keduanya menjanjikan seorang penunjuk perjalanan dengan kendaraannya setelah waktu tiga hari. Dalam konteks hadits itu, Abu Bakar As-Shidiq dapat berperan sebagai saksi, karena pada saat itu perjanjian dilakukan secara lisan yang di dalamnya melibatkan tiga orang, yaitu: Abu Bakar, Nabi dan penyedia jasa penyewaan (penunjuk jalan) itu sendiri. Dengan adanya seorang saksi sebagai penguat perjanjian, maka segala kemungkinan yang bisa mendatangkan garar (penipuan) bisa diminimalisir, karena secara fungsional ia bertugas sebagai penguat perjanjian dan perjanjian menjadi kuat dengan adanya seorang saksi tersebut. Berbeda pula dengan perjanjian lisan, bahwa sesungguhnya perjanjian yang dilakukan dengan metode 132 tertulis dinilai lebih efektif dan efisien terutama untuk para pelaku usaha sektor formal. Jika pada sektor informal dapat dilakukan dengan metode lisan dengan cara mendatangkan satu atau lebih orang sebagai saksi, pada sektor kerja formal tidak dinilai perlu mendatangkan seorang sebagai saksi, sebab pada sektor formal sudah diwakili oleh adanya perjanjian tertulis (teks). Perjanjian tertulis ini dinilai lebih aman karena di dalamnya memuat hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang secara jelas dan kuat dinyatakan dalam bentuk tulisan. Semua aturan yang berkaitan dengan relasi kerja telah termuat di dalamnya, sehingga perjanjian tertulis sudah mewakili adanya seorang saksi dalam sektor kerja ini. Perjanjian tertulis ini dikuatkan oleh sebuah dalil AlQur‟an tentang akad hutang-piutang dalam pembahasan salam112, di mana orang yang menghutangi dianjurkan untuk mencatat besaran hutang orang yang berhutang, jika hutang tersebut memiliki nilai nominal yang cukup berarti dan perlu untuk dicatat. Hal itu sebagaimana telah Allah Swt. nyatakan dalam firman-Nya pada QS. Al-Baqarah (2) ayat 282: 112 Salam ialah salah satu bentuk jual beli di mana uang harga barang dibayarkan secara tunai, sedangkan barang yang dibeli belum ada, hanya sifat-sifat, jenis, dan ukurannya sudah disebutkan pada waktu perjanjian dibuat. 133 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah (2): 282) Di samping itu, dikuatkan pula oleh Hadits Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: Artinya: Ibnu Abbas berkata: Nabi Saw. telah datang ke Madinah dan mereka (penduduk Madinah) memesan buah-buahan selama satu tahun dan dua tahun, maka Nabi bersabda: Barangsiapa yang memesan buah kurma, maka hendaklah ia memesannya dalam takaran tertentu dan timbangan tertentu serta waktu tertentu. (HR. Muttafaq ‘Alaih. Menurut Al-Bukhari: Barangsiapa yang memesan sesuatu). 113 Dari surah Al-Baqarah (2) ayat 282 tersebut dapat dipahami bahwa transaksi dengan cara berhutang hukumnya diperbolehkan dan transaksi tersebut hendaklah dikuatkan dengan cara menuliskan sejumlah hutang tertentu. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas jelas Muhammad bin Isma‟il Al-Kahlani, Subul as-Sala>m, juz 3, (Mesir: Maktabah Musht}afa Al-Ba>bi Al-H{alabi), cet. IV, 1960, h. 49. 113 134 memperbolehkan dilakukannya salam, yang semula telah dilakukan oleh penduduk Madinah. 114 Di samping itu, Quraish Shihab di dalam bukunya AlLubab menjelaskan bahwa perlunya mencatat hutang piutang yaitu bagi yang bisa menulis agar jangan enggan jika diminta untuk menulisnya. Juga hendaknya transaksi dipersaksikan dengan dua orang saksi pria atau seorang pria dan dua orang perempuan agar bila salah seorang lupa maka yang lain mengingatkannya. Menurut beliau, pencatatan dan persaksian itu dianjurkan, meskipun jumlah hutangnya kecil, demi terpeliharanya harta dan hubungan harmonis antara orangorang yang bertransaksi. 115 Bertumpu pada kedua dalil tersebut ditambah dengan penjelasan Quraish Shihab di dalam bukunya Al-Lubab, maka dipersyaratkan dalam muamalah kerja yang terjalin antara buruh dan majikan terdapat pencatatan sebagai bentuk kesepakatan antara pihak yang mempekerjakan (majikan) dan pihak yang bekerja (buruh). Di samping itu, pensyaratan pencatatan dalam akad kerja dibutuhkan sebagai data penguat dari adanya kontrak kerja dan sebagai penjelas atas apa-apa yang dipersyaratkan di dalamnya. 114 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 243-244. 115 M. Quraish Shihab, Al-Luba>b, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 91. 135 2. Relasi Buruh-Majikan dalam Penjagaan Harta Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga oleh ushu>l fiqh persoalan harta dimasukkan ke dalam salah satu ad- dharu>riyyat al-khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri atas: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. 116 Selain merupakan salah satu keperluan hidup yang pokok bagi manusia, harta juga merupakan perhiasan kehidupan dunia, sebagai cobaan (fitnah), sarana untuk memenuhi kesenangan, dan sarana untuk menghimpun bekal bagi kehidupan akhirat. 117 Penyalahgunaan terhadap wewenang serta tanggungjawab sering terjadi akibat sifat tamak terhadap harta. Kewemahannya membuat manusia semakin mencari dan berhasrat kuat ingin mendapatkannya dengan segala macam cara. Tanpa terkecuali hal ini bisa terjadi pada sektor kerja yang di dalamnya melibatkan hubungan buruh dengan majikan. Majikan dengan segala kemampuan dan kekuasaannya mampu mempermainkan harta sedemikian Ibn Ishaq as-Syathiby, Al-Muwa>faqat fi> Us}u>l as-Syari>’ah, (Beirut: Da>r al-Ma’a>rifah, 1975), h. 8-12. Lihat pula Wahbah az-Zuhaily, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2001), juz 2, cet. 2, h. 1048. 117 Tentang harta sebagai perhiasan dunia, lihat QS. Al-Kahfi (18): 46. Tentang harta sebagai cobaan, lihat QS. At-Taghaabun (64): 15. Tentang harta sebagai sarana untuk memenuhi kesenangan, lihat QS. Ali Imran (3): 14. Tentang harta sebagai sarana untuk menghimpun bekal menuju kehidupan akhirat, lihat QS. Al-Baqarah (2): 262 dan QS. At-Taubah (9): 41. 116 136 rupa, hingga terkadang sampai mengabaikan hak-hak buruhnya. Begitu juga buruh dengan segala keterbatasannya sangat merindukan harta sebagai pemenuh kebutuhan hidup yang serba dalam keterbatasan. Oleh karena itu, tidak heran apabila harta merupakan sesuatu yang penting untuk dijaga.118 Pada sub bab ini penulis akan menganalisis relasi buruh-majikan dalam penjagaan harta yaitu berdasarkan dua hadits. Hadits pertama tentang penjagaan harta majikan, dan hadits kedua tentang cerminan sikap tanggungjawab seorang buruh dalam menjaga harta atau barang titipan majikannya. Di dalam hadits tersebut telah disebutkan bahwa terdapat gambaran sikap tanggungjawab dari manusia yang kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya. Sikap tanggungjawab itu salah satunya dimiliki oleh buruh kepada majikannya yaitu dalam soal penjagaan harta. Wewenang dan tanggungjawab yang telah diamanahkan oleh seorang majikan kepada buruhnya tersebut merupakan cerminan sikap tanggungjawab buruh atas majikannya. Buruh diminta agar menjaga harta majikannya, karena itu merupakan bagian dari sikap tanggungjawab kerjanya kepada seorang majikan. Harta dalam konteks ini dapat dipahami tidak hanya sebatas pada harta yang berbentuk uang saja, melainkan semua harta 118 Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 20-21. 137 benda yang dimiliki oleh majikan harus mampu dijaga dan dipelihara dengan baik oleh buruh tersebut. Ibnul Munayyar dalam pensyarahan bab tiga telah menyebutnya sebagai suatu bentuk sikap tanggungjawab dari seorang buruh dalam penjagaan harta majikan yang dalam konteks ini diamanahkan kepadanya. Wujud penjagaan yang dimaksud adalah dengan cara tidak merusak dzat harta tersebut dan tidak pula menguranginya. Sebagai contoh, seorang majikan mengamanahkan kepada buruhnya menjaga toko. Wujud penjagaan yang musti dilakukan oleh buruh tersebut adalah dengan tidak merusak barang dagangan yang ada di toko dan tidak pula mengurangi hasil penjualannya. Sebab, apabila buruh tersebut melakukan perusakan terhadap barang dagangan dan mengurangi sebagian hasil penjualannya, maka yang demikian termasuk kategori tidak amanah dan tidak menjaga harta majikan. Sedangkan hadits kedua menyebut bahwa Nabi Saw. pernah menggembalakan kambing milik penduduk Makkah. Pada konteks hadits itu disebutkan bahwa terdapat perbedaan mengenai penyebutan qara>rit} (yang diduga sebagai nama mata uang dan atau nama suatu tempat). Ada yang menyebutnya ia sebagai mata uang penduduk Makkah, ada pula yang menyebutnya ia sebagai nama suatu tempat yang ada di Makkah. Namun pada intinya keduanya memiliki kebenaran yang sama, di satu sisi penduduk Makkah 138 menyebutnya sebagai qara>rit} (dalam bentuk mata uang), dengan alasan bahwa menurut Suwaid pada saat itu Nabi menggembalakan beberapa kambing dan setiap satu kambingnya diupah satu qira>t}, yakni sejenis pecahan dinar ataupun dirham. Adapun yang menyebutnya sebagai qara>rit} (dalam bentuk nama tempat), dengan alasan bahwa penyebutannya terkadang terkadang menggunakan menggunakan qara>rit} dan jiya>d yang dianggapnya itu merupakan nama sebuah tempat yang ada di Makkah. Penulis mencermati bahwa dalam konteks hadits ini Nabi Saw. berperan sebagai seorang buruh sedangkan penduduk Makkah sebagai majikannya. Lafadz ar’a>ha (menggembala) yang terdapat pada kedua redaksi hadits itu dapat diartikan sebagai wewenang dan tanggungjawab seorang buruh - dalam konteks hadits itu adalah Nabi -, sedangkan qara>rit} (dalam bentuk mata uang) adalah bentuk balas jasa yang diberikan oleh sang majikan kepada Nabi (yang pada konteks hadits itu berperan sebagai buruh). Sehingga secara prinsip, hadits tersebut memberikan pengertian tentang sikap tanggungjawab Nabi sebagai seorang buruh di dalam menjaga harta majikannya yaitu berupa kambing yang digembalanya. Sampai sini dapat disimpulkan bahwa dalam konteks relasi yang terjalin antara buruh dengan majikan, seorang majikan berhak memberikan suatu beban tanggungjawab 139 kepada buruhnya untuk menjaga hartanya secara baik, begitu juga buruh memiliki hak untuk meminta upahnya setelah tugas dan tanggungjawabnya terselesaikan. Dengan dilakukannya serta terpenuhinya semua tugas dan wewenang masing-masing (baik buruh dan atau majikan), maka proses ija>rah akan berjalan dengan baik serta keduanya bisa saling mengisi satu sama lain serta bisa saling memberikan manfaat, baik kemanfaatan yang bersifat lahir maupun batin. 3. Relasi Buruh-Majikan dalam Waktu Libur Seorang buruh mempunyai hak untuk beristirahat atau libur dan juga mendapatkan ketenangan jasmani dan rohani. Tuntutan akan hal itu menjadi tanggungjawab majikan selama ia masih terikat perjanjian kerja dengannya. Islam tidak memperkenankan manusia mengeksploitasi tubuhnya, karena hal itu bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. 119 Bahkan dalam sebuah hadits juga dinyatakan bahwa Nabi melarang seseorang mengeksploitasi jasadnya sekalipun untuk kegiatan beribadah. 120 119 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. A-Baqarah [2]: 286). 120 Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa Rasulullah pernah menegur sahabatnya, Abdullah bin Amr yang tidak pernah memperhatikan kesehatan dirinya karena terlalu asyik beribadah. Dalam hadits itu dinyatakan bahwa Rasulullah bertanya kepada Abdullah: “Wahai Abdullah, saya mendengar bahwa engkau berpuasa di siang hari dan shalat semalam penuh. Abdullah menjawab: benar, wahai Rasul. Rasul bersabda: “jangan lakukan itu. Jasadmu, matamu, istrimu, dan tamumu mempunyai hak atas dirimu...” Lihat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 1839. Kata jasad dalam konteks hadits tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh Ibnu Hajar adalah 140 Secara fiqh, hak beristirahat atau libur bagi seorang buruh adalah bagian integral dari kontrak kerja yang dibuat bersama sehingga ketentuan tersebut harus diperjelas dan terpisah dari waktu kerja. 121 Terpisah di sini diartikan bahwa waktu istirahat atau libur buruh itu tidak dalam waktu kerja, sehingga ada waktu khusus yang digunakan untuk istirahat atau libur. Dalam pelaksanaan ija>rah, secara teori seorang buruh perlu mendapatkan hak untuk istirahat atau libur. Hak ini lazimnya diberikan oleh majikan kepada buruhnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat atau murni hak prerogatif dari majikan, karena dalam konteks ini majikan adalah sebagai pihak penentu peraturan dan semua unsur kerja, termasuk dalam mengatur waktu libur buruhnya. Nabi dalam hal ini telah mencontohkan kepada kita, bahwa beliau selalu bersikap baik dan senantiasa menjaga hak-hak buruhnya. Sebagai contoh, sebagaimana yang dikisahkan oleh Anas bin Malik, selama sepuluh tahun beliau mengabdikan dirinya kepada Nabi. Tidak pernah sedikitpun Nabi memarahinya, dan tidak pula mempertanyakan setiap perbuatan yang ia lakukan dalam bekerja. Misalnya seperti, memberikan hak dasarnya, termasuk di dalamnya adalah hak untuk beristirahat, baik jasmani maupun rohani. Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, vol. III, hlm. 38. 121 Ibid. Lihat juga ar-Ramli, Niha>yah al-Muhta>j, vol. V, hlm. 275280 dan Abdullah Ibn Hijazi, H{asyiyah asy-Syarqawi, vol. II, hlm. 85. 141 mengapa engkau lakukan ini, dan mengapa engkau tinggalkan itu? Di samping itu, Nabi selalu memperhatikan waktu libur buruhnya, beliau memberikan waktu untuk beristirahat atau libur seimbang dengan waktu bekerja. Suatu ketika Nabi terlambat pulang ke rumah sampai satu jam setelah isya‟. Dalam setiap hari biasanya selalu tersedia satu gelas susu untuk berbuka dan satu gelas lainnya untuk sahur Nabi. Karena mengira Nabi telah berbuka bersama para sahabat, sang pembantu/buruh, Anas bin Malik meminumnya. Tatkala kembali ternyata Nabi belum berbuka. Melihat susunya sudah ada yang meminum beliau hanya diam saja, tidak menanyakan sedikitpun dan tidak memarahi sang pembantu/buruh.122 Begitulah di antara sekian banyak contoh betapa Nabi sangat menghormati dan menghargai para buruhnya. Buruh dalam hal ini perlu diperhatikan mengenai waktu liburnya, agar bisa tercipta keseimbangan dalam bekerja. Karena sekali lagi penulis tegaskan bahwa buruh tidak sama dengan budak. Mereka bukan merupakan mesin produksi yang bisa diproduksikan secara terus-menerus tanpa jeda istirahat. Buruh yang bekerja dengan diberikan waktu libur akan sangat berbeda dengan buruh yang bekerja tanpa diberikan waktu libur. Pada segi kesehatan misalnya, buruh yang diberikan waktu istirahat atau libur yang cukup akan bisa lebih mengontrol dirinya daripada buruh yang dipaksa untuk 122 Muhammad Hanafi Muchlis (ed.), Op.Cit., h. 339. 142 selalu bekerja tanpa jeda istirahat atau libur. Kontrol diri yang dimaksud adalah menjaga pola hidup dengan sehat, seperti istirahat cukup, makan makanan yang cukup dan beribadah dengan cukup. Adapun dari segi produktifitas, buruh akan mampu lebih giat dalam meningkatkan kinerja kerjanya. Kinerja kerja ini memiliki hubungan yang erat dengan kesehatan, sehingga dengan terkontrolnya waktu istirahat atau libur yang diberikan, terkontrol pula kesehatan buruh. Apabila kesehatan buruh telah terkontrol dengan baik, maka hal ini akan mampu menciptakan produktifitas kerja yang baik pula. Pada hadits tentang meringankan beban setoran buruh yang memiliki keahlian yang telah disebutkan sebelumnya mengandung maksud bahwa Nabi Saw. melarang memberatkan beban setoran dan upah kerja buruh. Hal ini dilandasi oleh adanya sebuah alasan karena Nabi khawatir akan terjadi tindakan-tindakan yang melanggar syari‟at (dosa) apabila setoran dan upah buruh semakin ditekan oleh majikan. Dengan dilakukan peringanan beban setoran (d}ari>bah) dan upah (gullah) tersebut, maka buruh tidak lagi merasa tertekan dan tidak melakukan hal-hal yang menuju pada jalan kemaksiatan (dosa). Dengan pernyataan hadits itu, penulis berasumsi bahwa maksud kandungan hadits itu mampu diinterpretasikan ke dalam pembahasan waktu libur buruh, karena apabila seorang buruh tidak diberikan waktu istirahat atau libur kerja, 143 maka dikhawatirkan akan terjadi sebuah tindakan yang sama yaitu tindakan-tindakan yang mengarah kepada pelanggaran syari‟at (dosa), sebagaimana yang Nabi khawatirkan dalam pembahasan hadits tentang meringankan beban setoran buruh di atas. Penyebutan d}ari>bah (setoran) dan gullah (upah) pada hadits itu menunjukkan perhatian Nabi kepada buruh bekam – dalam konteks hadits tersebut yaitu Abu Thaibah - untuk diberikan kelonggaran dalam setoran dan upah. Lafadz khaffif (ringankan) merupakan bentuk pekerjaan yang memiliki arti perintah dan anjuran, sehingga penekanannya mengarah kepada konteks peringanan beban setoran buruh dan upahnya. Anjuran peringanan beban setoran dan upah tersebut menjadi dasar penguat terhadap kondisi mental buruh itu sendiri, termasuk juga dalam soal istirahat atau libur. Karena apabila jam kerjanya tidak dibatasi dan secara terus-menerus dilakukan pekerjaan yang justru akan memberatkan buruh, maka yang terjadi adalah pelemahan produktifitas kerja, di samping itu juga terjadi pelemahan secara fisik maupun psikis pada diri buruh itu sendiri. Sehingga hal itu akan membawa konsekuensi pada tindakan-tindakan destruktif (merusak) yang pada akhirnya berujung pada dosa. Oleh sebab itu, selain peringanan beban setoran dan upah, perlu juga diberikan peringanan waktu istirahat atau libur dalam bekerja. Itu semua menjadi bukti bahwa Nabi 144 Saw. sangat memperhatikan dan memperdulikan kondisi para buruh. Karena walau bagaimanapun, Islam senantiasa mengajarkan aspek musa>wah (persamaan) atas diri setiap manusia, tanpa terkecuali mereka kaya atau miskin, tidak pula mereka sebagai majikan maupun buruh. Semuanya oleh Islam dipandang sama, termasuk dalam hal pemenuhan hak-hak buruh dalam waktu istirahat atau libur. 4. Relasi Buruh-Majikan dalam Penunaian Upah Setelah beberapa tahapan telah terpenuhi yang meliputi: membuat perjanjian kerja (kontrak kerja), kemudian bekerja, maka tahapan selanjutnya adalah penerimaan upah kerja. Upah kerja merupakan bagian dari hak buruh dalam pekerjaannya, ia menempati urutan terakhir setelah semua kewajibannya sebagai buruh terpenuhi. Oleh karena upah merupakan bagian dari hak buruh, maka sudah semestinya penunaian upah harus diberikan tepat pada waktunya oleh seorang yang bertanggungjawab memberikannya, yaitu majikan. Sebab seorang majikan dalam konteks ija>rah tidak bisa terlepas dari sebuah tanggungjawab, yaitu tanggungjawab yang ada kaitannya dengan dirinya sendiri dan juga tanggungjawab yang melibatkan buruhnya. Dalam konteks pekerjaan, upah merupakan komponen terpenting yang dapat menunjang kinerja dan semangat buruh dalam bekerja. Sebagaimana tujuan awal bekerja adalah untuk memperoleh upah, maka dalam konteks 145 ini pula buruh bekerja adalah untuk tujuan memperoleh upah. Penunaian upah sangatlah ditunggu-tunggu oleh para buruh yang telah menyelesaikan tugas kerjanya. Karena sangat pentingnya upah, dalam hal ini Sayyid Sabiq mendefinisikannya dengan pengertian di bawah ini: Artinya: “Jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.” Maksud dari manfaat tersebut adalah terkadang berupa manfaat benda, pekerjaan dan tenaga. Adapun manfaat benda antara lain mendiami rumah atau mengendarai mobil, manfaat pekerjaan seperti pekerjaan menjahit, pekerjaan insinyur dan manfaat tenaga seperti para pembantu dan buruh. 123 Pada pengambilan manfaat kategori ketiga yaitu berupa manfaat tenaga inilah seorang buruh berhak memperoleh upahnya dengan layak, karena mereka telah mencurahkan tenaganya untuk bisa memberikan manfaat kepada seorang majikan. Penunaian upah dalam kitab at-T{i>b an-Nabawi> yaitu pada pembahasan tentang bekam disebutkan bahwa menerima upah dari hasil bekerja sebagai tukang bekam adalah boleh, bahkan hal ini sangat dianjurkan oleh Nabi 123 78. Qomarul Huda, Fiqh Mu’amalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 146 Saw. Tidak hanya terbatas pada tukang bekam saja, melainkan segala bentuk isti’ja>r (sewa-menyewa) yang bisa mendatangkan upah yang tidak bertentangan dengan syari‟at, maka hukumnya diperbolehkan. Adapun mengenai ketentuan upahnya ditegaskan pula bahwa upah harus diberikan sesuai dengan kekuatan buruh dalam bekerja. Upah ini dihitung perhari (satu hari bekerja), sehingga sesungguhnya dalam setiap hari buruh berhak menerima upah kerjanya. Adapun jika upah kerja diberikan dalam kurun waktu tertentu, maka tetap dengan pedoman hitungan per harinya yaitu sesuai dengan besarnya kekuatan yang telah dicurahkan oleh buruh tersebut dalam bekerja. 124 Berdasarkan uraian penjelasan mengenai hadits di atas, penulis mencermati bahwa terdapat kiasan berupa perintah Nabi Saw. kepada para majikan agar segera menunaikan (membayarkan) upah kerja buruhnya sebelum kering keringatnya. Anjuran tersebut terlihat dari bentuk kata kerja perintah (fi’il amr) berupa lafadz u’t}u>, yang memiliki arti berikanlah atau tunaikanlah. Lafadz ini merupakan satu bentuk perintah sekaligus penegasan kepada para majikan agar bersegera dalam memberikan upah kerja kepada buruhnya. Meskipun hadits itu adalah kiasan, namun Syamsuddin Muhammad, At-T{ib> An-Nabawi, (Surabaya: Haramain, t.th.), h. 48. 124 147 kandungannya memuat penegasan bahwa upah buruh harus segera ditunaikan sebelum keringatnya mengering. Menurut penulis, maksud dari sebelum keringatnya mengering ( )قبل ان يجيف عرقهadalah sebelum datang batas waktu pengupahan yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Hal itu senada dengan sabda Nabi Saw. dalam Shahih Muslim juz 3: Artinya: “Rasulullah Saw. melakukan bekam, dan membayar upah terhadap tukang bekam tersebut, kemudian Rasul menggunakan obatnya.” (HR. Muslim)125 Dengan demikian, upah harus diberikan dalam batas waktu tertentu. Alangkah lebih baik jika upah ditunaikan setelah buruh menyelesaikan pekerjaannya sebagaimana hadits di atas. Karena yang demikian merupakan anjuran Nabi. Namun berbeda halnya pada sejumlah usaha formal sebagaimana yang sekarang banyak berkembang di masyarakat, maka penunaian upah adalah sistem bulanan. Karena pada umumnya sektor kerja formal bersifat instansi (lembaga) dan terdapat aturan-aturan baku yang mengatur segala bentuk tindakan buruhnya dalam bekerja, termasuk dalam hal penerimaan upah. Adapun pada sektor kerja informal, upah biasanya diberikan dengan sistem mingguan 125 Muslim, Shahih Muslim, juz 3, h. 60. 148 tergantung pada kesepakatan antara buruh dengan majikan dalam membentuk perjanjian kerja di awal. Sistem pengupahan sektor informal ini lebih didasarkan pada sistem kekeluargaan, dalam arti bahwa antara buruh dan majikan memiliki hubungan yang erat serta tidak terikat oleh aturanaturan baku sebagaimana sektor formal, sehingga sistem pengupahan yang digunakanpun cenderung lebih fleksibel dan bersifat kekeluargaan. Adapun hadits kedua, tentang peringatan kepada tiga golongan yang salah satu di antaranya adalah golongan orang yang mengangkat seorang buruh dan buruh itu telah memenuhi kewajibannya, tetapi ia tidak menunaikan upahnya. Golongan ini adalah satu di antara tiga yang kelak akan dikalahkan (didebat) oleh Allah pada hari kiamat. Makna berdebat di sini berarti bisa melibatkan satu atau lebih pihak. Hadits kedua ini memberi peringatan kepada para majikan agar tidak menunda dan atau tidak membayarkan gaji buruhnya. Maksud dari potongan hadits ( ) adalah barangsiapa menjual orang merdeka dan mengonsumsi hasilnya, karena sesungguhnya si buruh telah menunaikan kewajibannya tanpa mendapat ganti rugi, maka seakan-akan ia memakan (harganya). Artinya bahwa barang siapa – mengarah kepada para majikan – 149 mempekerjakan buruhnya dengan tanpa dibayar upahnya, maka ia termasuk tiga golongan yang kelak akan dikalahkan (didebat) oleh Allah di hari kiamat. Hadits ini merupakan penegasan serta peringatan kepada para majikan supaya selalu menunaikan upah kerja buruhnya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan dalam bekerja serta tidak menunda-nunda pembayarannya. Ketepatan dalam memberikan upah buruh pada hadits tersebut adalah suatu penekanan yang ditujukan kepada para majikan sekaligus sebagai anjuran yang harus dilaksanakan. Dengan ketepatan penunaian upah, hak-hak buruh secara proporsional mampu terpenuhi dan tanggungjawab sebagai seorang majikan telah selesai. Lain daripada itu, bahwa sesungguhnya dalam penetapan upah ini pemerintah memiliki hak untuk mengaturnya. Pemerintah berhak memaksa para buruh industri untuk memakai jasa mereka, misalnya dalam penyediaan pakaian ketika sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan menetapkan upah yang adil, sehingga menutup kemungkinan para konsumen memberi upah yang lebih rendah kepada para buruh industri atau mencegah para buruh industri meminta upah melebihi kewajaran. Demikian pula ketika masyarakat membutuhkan alatalat perang, seperti pedang dan jembatan untuk perang, atau lain-lainnya. Maka hendaknya masyarakat mempekerjakan 150 mereka dengan upah standar, tidak ada alasan bagi mereka untuk berlaku aniaya kepada para buruh, dan tidak pula bagi buruh menuntut upah yang lebih tinggi dengan alasan kemendesakan kebutuhan masyarakat. 126 Demikianlah kontrol upah dalam bidang jasa dan pekerjaan yang perlu dilakukan oleh pemerintah sebagai ulil amri (pihak yang mengatur segala urusan) di dunia ini. Dengan terkontrolnya upah yang adil, maka proses ija>rah yang ada bisa berjalan kondusif dan sesuai dengan cita-cita luhur Islam. C. Kritik Hadits terhadap Relasi Buruh-Majikan pada Konteks Sekarang Sebagaimana diketahui bahwa sistem perburuhan yang diterapkan pada konteks sekarang adalah sistem sekulerkapitalisme, sebuah sistem di mana perekonomian dikuasai secara penuh oleh kaum kapitalis dengan tanpa memerhatikan hak-hak buruhnya dalam bekerja. Sistem ini pertama kali dipelopori oleh Adam Smith, seorang tokoh pemikir ekonomi klasik yang memiliki beberapa teori di antaranya; division theory of labour dan labour theory of value. Labour theory of value inilah yang kemudian menjadi dasar munculnya kapitalisme. Oleh sebab itu, 126 Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam, terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 41-42. 151 Karl Marx menyebutnya sebagai teori eksploitasi yakni proses apropriasi nilai lebih yang seharusnya menjadi hak buruh. 127 Di dalam sistem ini dikatakan bahwa setiap upaya yang dilakukan oleh seseorang melalui sarana apapun hasilnya adalah milik kaum kapitalis. Mereka berhak menggunakan sesuka hatinya, sedangkan negara berkewajiban melindunginya serta memfasilitasinya dalam menggunakan hasil upayanya tersebut. Untuk itu tidak jarang dalam sistem ini digunakan segala cara seperti praktek riba, monopoli, eksploitasi, dan praktek-praktek lainnya yang merugikan masyarakat terutama kaum buruh, karena dalam konteks kerja mereka sebagai pihak yang berhubungan secara langsung dengan aturan kerja sistem tersebut. Sistem kapitalisme berasaskan pada pengakuan prinsip personal property (kepemilikan pribadi). Dalam sistem ini, individu memiliki hak untuk memiliki aset-aset kekayaan konsumtif dan produktif serta aset-aset itu memungkinkan untuk diwarisi. Di samping itu, sistem kapitalisme juga berlandaskan pada prinsip liberalisasi ekonomi bagi setiap individu tanpa ada intervensi negara untuk memberikan aturan serta batasan-batasan terhadap aktivitas produksi atau konsumsi. Padahal secara relasi, negara (pemerintah) memiliki peran dan wewenang dalam mengatur serta mengawasi hubungan keduanya. Salah satu di antara peran dan wewenang negara (pemerintah) dalam mengatur 127 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, 2001), h. 46-47. 152 aktivitas ekonomi adalah amar ma’ru>f nahi munkar (menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran) dan kontrol upah. Keduanya merupakan tanggungjawab negara (pemerintah) yang musti dilakukan dengan kebijaksanaan sikap dan keterbukaan mental supaya tercipta perekonomian yang merata. Selain itu, sistem ini juga membawa dampak pada terjadinya ketimpangan dalam pemerataan aset kekayaan di antara individu dan terbaginya masyarakat ke dalam dua kelas, yaitu kelas pemilik kapital yang feodal dan kelas yang berpendapatan terbatas, seperti buruh. Di samping itu, sistem ini juga berakibat pada terkonsentrasinya kekayaan di tangan sekelompok kecil orang, terjadi banyak pengangguran serta memunculkan praktekpraktek monopoli yang mengeksploitasi konsumen dan masyarakat kelas bawah (buruh). Akibatnya, sistem ini gagal dalam menciptakan stabilitas perekonomian kehidupan yang makmur bagi manusia. Itu semua tidak dan jaminan 128 terlepas dari ciri utama yang melatarbelakanginya. Sehingga perlu penulis jelaskan bahwa ciri utama masyarakat kapitalis adalah keterpilahan sosial- ekonominya ke dalam kelas-kelas sosial, yaitu kelas pemilik sarana produksi dan kelas tanpa sarana produksi. Di samping itu, tiap-tiap orang dalam masyarakat kapitalis diisolasi sebagai individu 128 2011), h. 29. oleh pranata kepemilikan pribadi absolut. Dari Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam, terj. (Jakarta: Gema Insani, 153 keterpilahan dan isolasi di dalam kerangka hak milik pribadi absolut inilah kerja diorganisasi oleh sistem perupahan. Di bawah sistem ini, untuk bisa mendapatkan manfaat dari sarana produksi dan memenuhi kebutuhan hidupnya, golongan tanpa sarana produksi (buruh) harus menjual tenaga kerjanya. 129 Sebagai sebuah sistem ekonomi, kapitalisme selama ini telah mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian. Bentuk produksi kapitalisme yang paling awal adalah industri manufaktur, di mana sejumlah pengrajin atau buruh bekerja pada suatu perusahaan dengan spesialisasi dan pembagian kerja yang cukup rumit, namun efektif. Berbeda dengan kegiatan ekonomi tradisional yang dipandang tidak efisien. Sedang dalam kegiatan ekonomi kapitalis yang diterapkan adalah kerja maksimal, di mana kerja buruh hampir sebagian besar digantikan oleh mesin. Kapitalisme industrial dicirikan oleh seperangkat hubungan sosial antar kelas yang memungkinkan kelas yang satu, yang menguasai kapital melakukan eksploitasi terhadap kelaskelas sosial lainnya. Sehingga menurut Meghnad Desai di samping ciri-ciri di atas, salah satu ciri yang menandai kapitalisme di antaranya ialah: 1) proses kerja berada dalam kontrol para pemilik modal (majikan), 2) kontrol dalam keputusan keuangan 129 Dede Mulyanto, Genealogi Kapitalisme, (Yogyakarta: Resist Book, 2012), h. 17-18. 154 berada di tangan pemilik modal, di mana para buruh tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan itu. 130 Sistem ini menjamin individu secara penuh dalam segala bidang usaha untuk menghasilkan keuntungan mengembangkan kekayaan. Inilah yang dijadikan dan sebagai landasan utama bagi kaum kapitalis dalam membentuk dan mengembangbiakkan prinsip kapitalisnya. Mereka menganggap individu sebagai poros dan sumbu gerakan ekonomi yang berputar dalam segala situasi dan kondisi. Kebebasan ekonomi yang dimiliki kaum kapitalis merupakan penyebab pengembangan produksi dan penggelembungan kekayaan nasional di negara mereka. Sehingga terjadi penumpukan kekayaan pada segelintir orang, dan hal ini mengakibatkan kondisi kaum buruh semakin memprihatinkan. 131 Berkebalikan dengan apa yang telah dinyatakan oleh AlQur‟an bahwa secara tegas disampaikan tentang larangan penumpukan harta pada segelintir orang. Pelarangan ini dimaksudkan supaya harta tersebut tidak hanya beredar pada sejumlah orang saja, melainkan dapat merata ke seluruh segi kehidupan, termasuk merata kepada orang-orang lemah seperti kaum buruh. Dengan pemerataan tersebut, maka akan tercipta 130 Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), h. 83. 131 Muhammad Hanafi Muchlis (ed.), Op.Cit., h. 340. 155 kestabilan ekonomi. Oleh karena itu, Allah Swt. di dalam firmanNya melalui QS. Al-Hasyr (59) ayat 7 menyatakan: Artinya: “Harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr (59): 7) Ditinjau dari aspek lapangan, sistem kapitalisme ini hampa dari kasih sayang, hal itu disebabkan karena sistem ini dikendalikan oleh keserakahan segelintir orang dalam menumpuk harta. Para buruh mengalami berbagai macam penderitaan serta penindasan karena eksploitasi tenaga kerja yang dilakukan oleh kaum kapital (majikan), sementara upah yang mereka peroleh sangatlah rendah. Watak majikan dalam sistem ini adalah mencari profit (keuntungan) sebesar-besarnya, sedangkan hak-hak buruh (seperti: upah, kesejahteraan, kesehatan, kenyamanan kerja, perlindungan, tunjangan sosial dan pesangon) dijadikan sebagai ongkos produksi bagi majikan. Oleh karena itu, hak-hak buruh tersebut dianggap sebagai ongkos produksi yang harus dikurangi untuk mendapatkan profit (keuntungan) yang besar tadi. Dengan 156 adanya pengurangan ongkos produksi, maka upah buruh menjadi rendah. Di samping itu, penggunaan alat-alat modern yang tidak menyerap banyak tenaga kerja telah menyebabkan rakyat kebanyakan terpaksa mau bekerja dengan upah yang rendah. Apabila dicermati, hampir di seluruh negara termasuk di Indonesia tercatat memiliki hubungan tripartit yang kurang harmonis yaitu antara pemerintah, buruh dan majikan. Ketiga komponen ini sering mengalami ketidakberdayaan dalam membangun dan menciptakan keharmonisan kerja. Padahal jika ditimbang ketiganya merupakan poros utama yang dapat menciptakan stabilitas ekonomi nasional. Namun demikian halnya, yang terjadi justru kaum tidak diperhatikan, baik perhatian yang diberikan pemerintah atau majikannya itu sendiri. Buruh selalu dipandang subordinatif dalam pelaksanaan kerjanya, bahkan mereka dianggap sebagai mesin produksi yang bisa kapan saja dieksploitasi tanpa batas. Dengan demikian, secara umum dapat dipahami bahwa kaum buruh telah mengalami kasus kekerasan yang apabila ditinjau dari sisi kemanusiaan sangatlah memprihatinkan. Tidak hanya kekerasan saja, melainkan terdapat juga di antara mereka yang bekerja dengan tanpa diupah, ditambah lagi terkadang mereka diposisikan sebagaimana budak yang bebas diperlakukan serta diperintah sekehendak majikan. Persoalan perburuhan di Indonesia sesungguhnya bersifat kompleks, tidak hanya persoalan yang muncul dari hubungan 157 industrial saja, melainkan juga berkaitan dengan politik perburuhan dan intervensi negara. Sehingga secara umum kondisi buruh di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah:132 1. Lemahnya posisi tawar (bargaining power) tenaga kerja (buruh) berhadapan dengan pemilik industri (majikan). Ini dikarenakan sebagian besar dari mereka tidak memiliki keahlian khusus (unskilled labor) dan tingkat pendidikan yang sangat rendah. 2. Tidak adanya organisasi buruh yang cukup berbobot dan mempunyai kualifikasi yang diperlukan sebagai lembaga untuk mewujudkan aspirasi dan kepentingan tenaga kerja. 3. Kebijakan pemerintah yang masih kurang responsif dan akomodatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Akibatnya aspirasi yang berkembang, khususnya dari kalangan bawah tidak terakomodasi secara proporsional. Di samping itu, pemerintah juga kurang afirmatif terhadap kepentingan buruh. Adapun ditinjau dari aspek temuan masalahnya, buruh terbagi ke dalam lima kategori berikut ini:133 1. Buruh industri. Secara umum, pada sektor industri ini persoalan perburuhannya meliputi; terbatasnya akses untuk berorganisasi, tingkat upah yang masih di bawah ketentuan 132 Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, (Jakarta: Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), 2000), h. 10-12. 133 Ibid., h. 13-20. 158 minimum yang tidak layak hidup, keselamatan dan kesehatan kerja yang belum memadai. Persoalan lain yang tak kalah penting adalah fasilitas sosial dan keagamaan yang terbatas. 2. Buruh pertanian dan perkebunan. Persoalan yang dihadapi oleh buruh tani adalah terbatasnya upah yang diterima dan sistem pengupahan yang digunakan menganut hukum pasar. Hal ini jelas tidak memadai dibanding buruh lainnya, apalagi jaminan sosial, keselamatan dan kesehatan kerjanya hampir tidak ada. Sedangkan persoalan buruh perkebunan adalah kurangnya perlindungan hukum, tingkat upah yang rendah dan jaminan keselamatan serta kesehatan kerja yang terabaikan. 3. Buruh perumahan. Persoalan yang dihadapi adalah tidak adanya batasan jam kerja, upah diberikan berdasarkan produktifitasnya, ditambah lagi sering terjadi kasus-kasus penganiayaan yang melibatkan buruh ini. 4. Buruh pertokoan/retail. Buruh ini rentan sekali terhadap pelecehan karena umumnya kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan ancaman penyakit varises karena harus atau banyak berdiri. Di samping itu, haknya untuk menjalankan syari‟at Islam sering dihambat majikan, seperti shalat dan berbusana muslim. 5. Buruh migran. Persoalan buruh yang terakhir ini adalah tentang kurangnya perlindungan dan pengawasan dari pemerintah, sehingga terjadi banyak kasus yang dewasa ini menimpa buruh migran ini, diantaranya kasus pemerkosaan, 159 pelecehan seksual, penganiayaan, bahkan berujung sampai pada kematian. Berdasarkan beberapa fakta perburuhan di atas, sudah selayaknya kaum buruh mendapatkan perhatian serta perlindungan dari pemerintah terlebih dari majikannya. Perhatian dan perlindungan ini bertujuan supaya dalam suatu relasi kerja tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang menimpa kaum buruh. Di samping itu, sebagai sebuah kewajiban kaum buruh juga harus selalu dipantau serta diawasi keberadaannya, sehingga tidak ada lagi buruh ilegal yang bekerja dengan tanpa sepengetahuan pihak terkait (pemerintah). Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh majikan membuat kondisi mereka semakin tidak terurus dan cenderung terabaikan. Dari sini dapat diketahui bahwa sesungguhnya terkandung suatu masalah dalam sebuah hubungan kerja yang berkaitan dengan relasi antara buruh dengan majikan yaitu tidak seimbangnya antara penunaian kewajiban dan pemenuhan hak di antara mereka. Masalah ini yang kemudian berdampak pada tidak adanya harmonisasi hubungan kerja. Sehingga relasi yang kurang harmonis itu pada akhirnya menimbulkan banyak kesenjangan dan ketimpangan dalam dunia kerja. Inilah akar munculnya kesenjangan dan masalah-masalah perburuhan yang sampai saat ini belum bisa teratasi. Menurut penulis, sistem sekuler-kapitalisme tidak mampu menjamin individu dalam meraih kesejahteraan, justru 160 memberikan beban yang banyak bagi individu yang bekerja di bawah kuasanya. Berbeda dengan sistem kerja Islam, di mana Islam selalu memerhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan hubungan kerja yang terjalin antara buruh dengan majikan serta mengawasinya dengan baik. Islam senantiasa memberikan keimbangan antara penunaian kewajiban dan pemenuhan hak-hak keduanya. Oleh sebab itu, dalam skripsi ini penulis berasumsi bahwa sistem kerja model ini (sistem sekuler-kapitalisme) sudah seharusnya digantikan oleh sistem kerja baru (sistem Islam) yang dapat memberikan capaian baik bagi kesejahteraan individu (buruh) dalam kehidupannya. Berawal dari sinilah penulis akan melakukan kritik terhadap sistem perburuhan tersebut melalui dua aspek pendekatan, aspek pertama ialah kritik atas aspek kedudukan buruh-majikan yang dipandang perlu karena dalam sistem sekulerkapitalisme buruh selalu diposisikan subordinatif. Sedangkan aspek kedua ialah kritik atas aspek relasi keduanya dengan alasan karena dalam sistem sekuler-kapitalisme buruh selalu dieksploitasi dalam pelaksanaan kerjanya. Dengan demikian, penulis menilai bahwa sistem sekuler-kapitalisme yang diterapkan pada konteks perekonomian kita, terutama dalam hubungan perburuhan yang di dalamnya melibatkan relasi antara buruh dengan majikan sangatlah menindas dan semakin menghimpit kondisi buruh dalam bekerja. Oleh karena itu, penulis perlu menunjukkan segi lain (sistem Islam) yang mengatur relasi 161 keduanya yaitu sebagai bentuk kritik terhadap sistem tersebut sekaligus sebagai pembenahannya. Berikut adalah kritik atas dua aspek pendekatan di atas: 1. Kritik Aspek Kedudukan Buruh-Majikan Selain tidak setuju terhadap pemikiran “mencukupkan kepada al-ihsa>n al-fardi (kesalehan individual) secara suka rela”, Islam dalam hal ini hadits tidak setuju terhadap anggapan orang kaya bahwa mereka adalah pemilik absolut terhadap harta kekayaannya. Anggapan seperti ini sama dengan pandangan Qarun yang menganggap semua kekayaannya adalah milik dirinya sendiri. Mereka ingkar terhadap nikmat Tuhannya, menganiaya masyarakatnya. Sehingga Allah menenggelamkan seluruh harta, rumah, dan dia ke dalam perut bumi. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Swt. QS. Al-Qashash ayat 81: Artinya: “Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS. Al-Qashash: 81) Islam secara tegas menolak pandangan kapitalisme ini. Islam menganggap bahwa harta atau kekayaan hakikatnya adalah milik Allah. Dia yang menciptakan dan memberikan 162 kepada manusia. Orang kaya hanyalah wakil dan bendahara Tuhan yang bertugas mengamankan harta tersebut. Dengan bahasa lain, orang kaya hanyalah wakil dari pemilik yang sebenarnya untuk menjaga, mengembangkan, dan mendistribusikan sesuai dengan ketentuan yang direstui Allah.134 Di sini Islam tidak hanya membatasi diri dengan memberi peringatan dan dorongan untuk mengajak mereka bersedekah dengan harta kekayaannya, namun Islam juga menggabungkan dengan adanya intervensi pemerintah (atas nama syari‟at) agar proaktif mengambil harta benda orangorang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada orangorang miskin. Dengan demikian, Islam mengintegrasikan dua pola; pola petunjuk keagamaan dan etika atau moral serta pola hukum positif dan ketetapan-ketetapan pemerintah. Dalam aspek kedudukan ini seorang buruh berhak mendapatkan tempat yang layak serta posisi yang berkeadilan. Hal ini dikuatkan oleh alasan karena seorang buruh bekerja untuk membantu meringankan beban pekerjaan majikan, maka sudah menjadi kewajiban bagi seorang majikan untuk memberinya tempat yang sesuai serta kedudukan yang seimbang dalam 134 bekerja, dalam artian bahwa buruh Yusuf Qardhawi, Teologi Kemiskinan, terj. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), h. 51-52. 163 ditempatkan pada suatu kedudukan yang manusiawi. Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam sangat menghargai dan menghormati manusia termasuk buruh tanpa memandang jenis, warna kulit, agama, bahasa, asal-usul, kebangsaan dan kedudukan sosialnya.135 Allah Swt. berfirman dalam QS. AlIsra‟ (17) ayat 70: Artinya: “Dan sungguh telah Kami muliakan Bani Adam dan Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra‟ (17): 70) Ayat ini merupakan gambaran bagaimana Allah Swt. menciptakan manusia dengan segenap kesempurnaan, dan Allah lebihkan manusia di atas apapun. Ayat ini juga memberikan isyarat kepada hubungan buruh-majikan supaya di dalam hubungan yang terjalin di antara keduanya terdapat nilai-nilai penghargaan dan penghormatan yang termanifestasi ke dalam hubungan kerja. Islam dalam memandu hubungan buruh dan majikan sesungguhnya memiliki prinsip-prinsip yang baik. Prinsip 135 h. 34. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj. (Bandung: Al-Ma‟arif, 1997), 164 utama dalam hubungan kerja yang ditekankan oleh Islam adalah prinsip kesetaraan dan prinsip keadilan. Prinsip kesetaraan (egaliterisme) merupakan penempatan buruh dan majikan pada kedudukan yang sama atau setara, yaitu sama-sama sebagai pihak yang langsung membutuhkan dan menyerahkan apa yang dimiliki, baik dalam bentuk tenaga maupun upah. Prinsip kesetaraan ini didasarkan pada firman Allah Swt. QS. Al-Hujurat 49 ayat 13: Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 49: 13) Dari ayat tersebut telah jelas bahwa sebagai makhluk sosial, manusia tidak diperkenankan berbuat suatu hal yang dapat membawa mad}a>rat (bahaya) bagi sesamanya, karena sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi-Nya ialah orang yang bertaqwa kepada Allah Swt. 165 Secara hirarki pekerjaan, keduanya memiliki status dan peran serta fungsi masing-masing, namun secara kedudukan sebagai makhluk sosial keduanya harus disetarakan. Sebab berdasarkan asal katanya, status adalah tempat yang diambil seseorang di dalam masyarakat. 136 Sedangkan peran adalah pola tingkah laku yang diharapkan oleh masyarakat dari seorang individu yang memiliki status di dalam masyarakat.137 Sebagaimana halnya status, peran juga selalu terarah kepada relasi dengan orang lain. Peran yang ideal untuk orang tua selalu didefinisikan dalam hubungan dengan tanggungjawabnya terhadap anak-anak. Sebaliknya peran yang ideal seorang anak selalu dikaitkan dengan kewajibankewajiban terhadap orang tua. Begitu juga dengan peran majikan yang ideal selalu didefinisikan dalam hubungan dengan tanggungjawabnya terhadap para buruhnya. Sama halnya peran yang ideal seorang buruh selalu dikaitkan dengan kewajiban-kewajiban terhadap majikannya. 138 Sedangkan prinsip keadilan merupakan prinsip ideal yang menempatkan perjanjian yang masing-masing telah dibuat dan pihak memenuhi memenuhi semua kewajibannya. Prinsip keadilan ini menempatkan semua hal 136 Bernard Raho, Sosiologi, (Maumere: Ledalero, 2014), h. 82. Ibid., h. 86. 138 Ibid., h. 87. 137 166 pada tempat dan porsi yang sesuai. Allah Swt. berfirman dalam QS. An-Nahl 16 ayat 90: Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl 16: 90) Berdasarkan deskripsi ayat di atas, jelas bahwa prinsip ini tidak mempedulikan apakah ia sebagai atasan (majikan) atau sebagai bawahan (buruh), semua diatur sesuai dengan batas keadilan yaitu pada porsi yang seimbang. Oleh sebab itu, prinsip keadilan ini dapat dijadikan sebagai sebuah prinsip dalam mengatur relasi buruh-majikan dalam dunia kerja. Kedua prinsip tersebut (prinsip kesetaraan dan keadilan) ditambah dengan tinjauan keempat aspek kedudukan di atas (aspek yuridis, sosiologis, politik dan ekonomi) dapat dijadikan sebagai sebuah acuan dalam proses relasi kerja antara buruh dengan majikan. Di samping sebagai sebuah acuan, juga dapat dijadikan sebagai landasan berpijak dalam mengatur hubungan kerja yang terjalin antara keduanya. Dengan demikian, secara teori kedudukan kedua 167 aspek tersebut ditambah keempat aspek berdasarkan tinjauan di atas telah membantah sistem sekuler-kapitalisme yang dalam konteksnya cenderung mengarah pada sistem kerja eksploitatif. 2. Kritik Aspek Relasi Buruh-Majikan Sebagaimana diketahui, bahwa sistem sekuler- kapitalisme tidak telah membentuk relasi kerja yang harmonis, justru menciptakan kondisi dunia kerja semakin memprihatinkan. Salah satunya disebabkan oleh adanya relasi kerja yang terjalin antara buruh dengan majikan yang tidak nyambung. Hal ini lebih didasari oleh karena sistem ini memberlakukan kepemilikan absolut pada pemilik modal dan tidak mengindahkan para buruhnya dalam bekerja. Sehingga yang terjadi adalah ketimpangan serta ketidakharmonisan dalam dunia kerja. Islam secara tegas telah menyatakan bahwa harta kekayaan haruslah dikembangkan dengan baik. Wujud pengembangan yang dikehendaki oleh Islam adalah pengembangan yang dapat mendatangkan kemanfaatan kepada sesama. Dalam hal ini Islam juga mengharuskan memelihara kekayaan dengan baik dan tidak menghamburhamburkannya tanpa ada faedah. 168 Dalam memelihara kekayaan dan harta, Islam telah memberi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:139 a. Melarang orang-orang bodoh memegang dan mengembangkan harta kekayaannya sendiri, kalau ia tidak dapat menggunakannya dengan baik. b. Melatih anak-anak yatim dalam masa menginjak dewasa, sebelum hartanya diserahkan. Kalau mereka sudah bisa mengaturnya sendiri, serahkanlah harta miliknya itu. c. Mencatat hutang piutang dan penggadaian. d. Dilarang hidup terlalu mewah dan berlebih-lebihan. Keempat ketentuan di atas merupakan wujud perhatian Islam terhadap pemeliharaan harta dan kekayaan. Islam menginginkan supaya ada pemerataan harta dan kekayaan, sehingga dibuatlah ketentuan-ketentuan tersebut. Secara relasi, terdapat tiga aspek yang ditekankan penerapannya sebagai kritik atas sistem sekuler-kapitalisme, di antara ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, adanya sebuah perjanjian kerja yang jelas antara buruh dengan seorang majikan. Perjanjian kerja ini dinilai penting karena di dalamnya memuat berbagai kesepakatan (baik tertulis atau lisan) yang bisa mengikat keduanya dalam bekerja. Dengan dibuatnya perjanjian kerja, maka seluruh aspek kerja menjadi jelas dan terarah. 139 Sayyid Sabiq, Unsur-Unsur Dinamika dalam Islam, terj. (Jakarta: PT Intermasa, 1981), h. 104-105. 169 Perjanjian kerja sebaiknya dilakukan dengan metode tertulis, jika perjanjian itu berhubungan dengan sektor kerja formal. Tetapi apabila perjanjian tersebut berhubungan dengan sektor kerja informal, maka perjanjian bisa dilakukan dengan menunjuk satu atau lebih orang sebagai saksi atas dibuatnya perjanjian kerja tersebut. Lain dari pada itu, dalam proses perjanjian kerja wajib bagi majikan untuk menjelaskan besaran upah yang nantinya akan diberikan kepada buruhnya di akhir pekerjaan. Penjelasan ini ditujukan kepada buruh supaya dapat memberikan rangsangan kepada buruh dalam bekerja, di samping juga sebagai penjelas tentang besaran tenaga yang nantinya akan mereka curahkan selama kerja berlangsung. Secara ringkas penulis nyatakan bahwa sistem yang dikehendaki hadits dalam mengatur perjanjian kerja adalah sistem keterbukaan, di mana masing-masing pihak saling mengetahui apa saja yang menjadi hak serta kewajibannya dalam bekerja. Kedua, berkaitan dengan waktu kerja dan libur (istirahat). Meskipun buruh adalah manusia yang secara tugas kerja mereka berkewajiban melaksanakan perintah dan tanggungjawab yang diembankan oleh majikan kepadanya, tetapi secara nilai hadits mereka harus diberi ruang yang cukup untuk beristirahat, termasuk di dalamnya adalah dalam hal peringanan beban setoran dan upah. Majikan dalam 170 konteks pekerjaan harus memberikan waktu istirahat yang proporsional kepada buruhnya. Tujuan diberikannya waktu istirahat ini adalah agar buruh tidak terlalu kelelahan, di samping juga untuk menjaga kesehatannya. Ada banyak karangan buku yang menyebutkan bahwa sesungguhnya buruh berhak mendapatkan jaminan kesehatan yang mumpuni dari majikan. Salah satu cara agar buruh selalu sehat adalah dengan memberikannya waktu istirahat yang cukup. Waktu istirahat (libur) dalam analisis hadits meringankan beban setoran buruh yang memiliki keahlian adalah bertujuan agar dalam proses bekerja seorang buruh tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada dosa. Apabila buruh tetap dipaksa untuk membayar setoran dan upah kepada majikan dalam setiap harinya, maka besar kemungkinan mereka akan melakukan cara-cara yang abnormal. Oleh karena itu, menjadi penting kiranya penulis mengkiaskan hadits tersebut dengan waktu libur kerja, karena secara isi materi peringanan beban setoran dan upah kerja memiliki relevansi dengan waktu libur buruh. Dengan adanya pemberlakuan waktu libur yang proporsional atas buruh, maka kecil kemungkinan buruh tersebut terjerumus ke dalam lembah kesesatan (dosa) sebagaimana yang dikhawatirkan pada buruh yang dipaksakan membayar setoran dan upah kepada majikannya. 171 Ketiga, penunaian upah kerja. Upah ini dalam prakteknya memiliki peran penting bagi buruh dalam pelaksanaan tugasnya, karena pada bagian sebelumnya secara definitif telah dinyatakan bahwa buruh tidak sama dengan budak. Jika budak adalah orang yang diposisikan sebagai pembantu, abdi, atau seseorang yang diletakkan layaknya setengah manusia (subhuman). Berbeda dengan buruh, mereka adalah orang yang bekerja kepada orang lain dengan tujuan mendapatkan upah. 140 Jika penulis cermati secara dasar pemahaman, peran upah di sini sangatlah vital bagi seorang buruh. Penunaian upah dalam kaitan ini adalah tanggungjawab majikan, sehingga upah harus diberikan kepada buruh sesuai dengan kapasitas kerja yang telah dikerjakan oleh buruh tersebut dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Oleh sebab itu, penting dilakukan koordinasi antara buruh dengan majikan dalam membahas persoalan upah (di bagian perjanjian kerja). Pengaturan penunaian upah sangat ditekankan oleh Nabi, bahkan bahasa kiasan yang dipergunakan Nabi dalam menjelaskan penunaian upah adalah dengan menyebut sebelum kering keringatnya ()قبل ان يجيف عرقه. Di tambah lagi penegasan beliau tentang peringatan Allah akan orang-orang yang menunda pembayaran upah buruhnya. 140 Abdul Jalil, Teologi Buruh, (Yogyakarta: LKIS, 2008), h. 1. 172 Secara tegas, kedua hadits itu mengatur agar penunaian upah dilakukan secepat mungkin dan jangan sampai menunda, apalagi tidak memberikan. Aturan-aturan itu memberi ketegasan kepada para majikan agar bersikap amanah dalam mempekerjakan buruh-buruhnya, termasuk dalam menggaji buruhnya. Dengan diberlakukannya nilainilai hadits itu, maka sesungguhnya problem perburuhan yang melibatkan relasi buruh-majikan dapat terminimalisir. Menurut teori keilmuan, berbagai uraian di atas merupakan problem sosial yang selama ini dialami oleh masyarakat, utamanya masyarakat yang menempati kelas ekonomi rendah seperti halnya buruh. Oleh karena itu, perlu kiranya penulis melakukan upaya pemecahannya supaya tidak lagi terjadi kesenjangan-kesenjangan yang berefek pada semakin meluasnya masalah-masalah perburuhan. Terdapat tiga tahapan dalam melakukan pemecahan atas masalah perburuhan yang terjadi dalam konteks sekarang ini, di antaranya sebagai berikut:141 Pertama, tahapan identifikasi. Tahap ini dilakukan untuk membuka kesadaran dan keyakinan bahwa dalam kehidupan masyarakat terdapat masalah sosial. Lebih dari itu, tahap ini selain memberikan awareness akan keberadaan masalah sosial juga berfungsi untuk mengubah masalah sosial 141 Soetomo, Masalah Sosial dan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 33-49. Upaya Pemecahannya, 173 laten menjadi manifes, serta selanjutnya memberikan inspirasi dan dorongan bagi dilaksanakannya langkah berikutnya yaitu diagnosis dan treatment. Sebagaimana telah penulis uraikan dalam skripsi ini, bahwa sesungguhnya terdapat masalah perburuhan yang berimplikasi pada kesenjangan yang terjadi antara buruh dan majikan dalam dunia kerja. Kesenjangan-kesenjangan itu diantaranya muncul serta ditandai dengan banyaknya kasus kekerasan baik secara fisik, mental maupun ekonomi yang melibatkan relasi keduanya (buruh dan majikan). Kondisi semacam ini telah banyak diketahui dan disadari oleh publik, dalam hal ini masyarakat umum mengetahui bahwa semua itu merupakan masalah sosial yang selama ini telah berlangsung. Dengan demikian, pada tahap identifikasi ini jelas diketahui bahwa masalah perburuhan adalah bagian dari masalah sosial yang harus segera diselesaikan. Kedua, tahapan diagnosis. Tahap ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari dan mempelajari latar belakang masalah, faktor yang terkait dan terutama faktor yang menjadi penyebab atau sumber masalah. Pada tahap ini penulis menemukan sejumlah masalah yang ada kaitannya dengan sistem perburuhan yakni buruh ditempatkan pada posisi subordinatif. Buruh dituntut bekerja di bawah kuasa sistem sekuler-kapitalisme yang sangat 174 menekan keberadaannya terutama dalam urusan pemenuhan perekonomian dalam hidupnya. Berkaitan dengan hal ini, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis masalah tersebut, yaitu person blame approach dan system blame approach. Pendekatan pertama mencari masalah pada level individu, sedangkan pendekatan kedua beranggapan bahwa sumber masalah sosial ada pada level sistem, sehingga dalam mendiagnosis masalah, sumber masalah dicari pada level sistem juga. Person blame approach, pendekatan ini lebih melihat sumber masalah pada faktor-faktor yang melekat pada individu penyandang masalah, baik faktor fisik, psikis maupun proses sosialisasinya. Melihat sejumlah korban kekerasan (baik fisik, mental maupun ekonomi) yang notabene mereka adalah kaum buruh, menjadi bukti bahwa pada pendekatan yang pertama ini memang benar adanya. Sementara itu, system blame approach lebih memfokuskan pada sistem sebagai unit analisis untuk mencari dan menjelaskan sumber masalahnya. Pada pendekatan kedua ini, penulis mendapati sejumlah kejanggalan pada sistem perburuhan yang berlangsung selama ini, sebuah sistem di mana buruh dieksploitasi secara besar-besaran demi mendapatkan profit yang besar, yaitu sistem sekulerkapitalisme. 175 Ketiga, tahapan treatment. Tahap ketiga ini merupakan upaya pemecahan masalah sosial yang didasari oleh hasil diagnosis. Pada tahap treatment ini analisis masalah didasarkan pada tiga penanganan masalah yang semuanya memiliki ketersambungan dalam melakukan pemecahan masalah. Tiga usaha penanganan masalah itu adalah sebagai berikut:142 a. Usaha Rehabilitatif Fokus utama usaha ini terletak pada kondisi penyandang masalah sosial, terutama upaya untuk melakukan perubahan atau perbaikan terhadap kondisi yang tidak diharapkan menjadi kondisi yang sesuai harapan. Pada bagian rehabilitasi ini, treatment dilakukan dengan memperbaiki semua yang diasumsikan sebagai bentuk kejanggalan atau masalah yang harus diselesaikan. Dalam konteks ini, kejanggalan dan masalah yang harus diselesaikan adalah permasalahan perburuhan baik pada tataran level individu maupun sistem. Sebagaimana ketujuh hadits yang telah penulis teliti pada bagian sebelumnya, bahwa ketujuh hadits itu telah memberi penegasan kepada masyarakat tentang hubungan antara buruh dan majikan yang harus dibangun sesuai dengan nilai-nilai yang baik dan berasaskan pada 142 Ibid., h. 53-63. 176 kesetaraan serta keadilan. Sebagaimana telah disebutkan pada peraturan diperhatikan pemerintah kesehatan, bahwa keselamatan, buruh harus dan diberi perlindungan yang memadai. Begitu juga dengan haditshadits yang telah disebutkan menegaskan bahwa sesungguhnya perhatian terhadap buruh mulai dari kesehatan, keselamatan dan juga perlindungan perlu dilakukan oleh pihak majikan, dalam hal ini adalah orang yang mempekerjakan dan pemerintah karena sebagai bagian dari pengayom kaum buruh. b. Usaha Preventif Usaha preventif ini memiliki fokus perhatian pada kondisi masalah yang belum terjadi, walaupun mungkin saja di dalamnya terkandung potensi munculnya masalah sosial. Dengan kata lain, usaha ini merupakan usaha pencegahan dan usaha antisipatif agar masalah sosial tidak terjadi. Pada usaha yang kedua ini sasarannya adalah individu, kelompok dan masyarakat yang dikategorikan masih normal, sehingga masuk di dalamnya adalah kaum buruh dan majikan, sistem perburuhannya serta tata kelola yang ada di dalamnya. Semua harus dibangun dengan kuat dan berasaskan pada nilai-nilai kebaikan yang berdasar pada syari‟at agama (Al-Qur‟an dan AsSunnah) dan hukum negara yang berlaku. Dengan 177 dibangunnya kekuatan sistem dan tata kelola yang mendukung, maka hal-hal yang berpotensi buruk yang dimungkinkan akan terjadi di kemudian hari mampu dicegah dan diminimalisir dengan baik. c. Usaha Developmental Usaha developmental dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan atau kapasitas seseorang atau sekelompok orang agar dapat memenuhi kehidupan yang lebih baik. Dengan peningkatan kemampuan tersebut, maka akan tercipta suasana yang kondusif bagi masyarakat untuk menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan kebutuhan dalam kehidupannya. Adapun berkaitan dengan usaha development ini, langkah konkrit yang bisa dilakukan oleh buruh dalam meningkatkan kemampuannya adalah dengan berlaku bijak dan bertanggungjawab penuh atas apa yang telah majikan bebankan kepadanya. Seorang buruh juga harus mampu berlaku adil, jujur, disiplin serta melaksanakan kerjanya dengan baik. Semua yang telah menjadi kesepakatan kerja harus ditaati dengan sebaik-baiknya oleh buruh, yaitu sebagai wujud rasa tanggungjawabnya kepada seorang majikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam QS. An-Nahl (16) ayat 93: 178 Artinya: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl (16): 93) Begitu juga dengan majikan yang senantiasa harus memperhatikan dan mengawasi buruhnya dalam bekerja, mampu bersikap adil, amanah serta tidak eksploitatif dalam mempekerjakan buruhnya. Pengawasan ini dinilai perlu dan penting karena dengan adanya pengawasan, seorang majikan akan bisa menilai kinerja buruhnya dengan lebih cermat. Penilaian prestasi kerja (performance appraisal) ini sangat penting dilakukan pelaksanaan oleh seorang kerjanya, majikan seorang supaya buruh dalam senantiasa terkontrol dan terawasi dengan baik. 143 Dari hasil analisis di atas, penulis berasumsi bahwa sesungguhnya kondisi buruh yang banyak berkembang seperti yang terjadi pada konteks sekarang ini patut mendapatkan 143 Soekidjo Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), h. 122. 179 solusi alternatif yang mampu menghantarkan nasibnya kepada perbaikan serta kelayakan mutu hidup yang lebih mapan dan lebih terjamin. Penanganan terhadap problem perburuhan harus dilakukan mulai dari unsur terkecil hingga unsur terbesarnya. Sehingga kondisi buruh dalam dunia kerja tidak lagi terbatasi oleh sistem yang menekan, melainkan dapat berjalan dengan baik. Untuk mencapai semua itu tentu tidak mudah, melainkan butuh usaha yang serius dari semua pihak, baik dari pihak pemerintah, majikan dan atau masyarakat secara umum. Agar problem perburuhan dapat teratasi, salah satu caranya adalah dengan menerapkan nilai-nilai yang telah penulis paparkan pada skripsi ini. Dengan penerapan hasil penelitian ini, penulis berharap sistem perburuhan yang mengarah pada sistem sekuler-kapitalisme mampu digantikan oleh sistem perburuhan Islam yaitu sebuah sistem perburuhan yang telah Nabi terapkan pada konteks masa lalu, sistem yang dapat menunjang kehidupan buruh menjadi lebih terarah dan tidak eksploitatif, juga mampu membawa kemashlahatan bersama baik untuk kaum buruh itu sendiri maupun untuk majikan. Dengan terpenuhinya semua aspek serta terciptanya harmonisasi relasi yang terjalin antara buruh dengan majikan, maka secara personal hak dan kewajiban buruh bisa terpenuhi dengan baik, demikian pula hak dan kewajiban majikan. Di samping itu, secara sistem yaitu terkait dengan usaha 180 membangun sistem ketenagakerjaan dan penegakan hukum perburuhan, usaha tersebut tidak hanya terhenti pada teoriteori dan konsep-konsep diimplementasikan secara real belaka, (nyata) namun dapat dalam sistem perburuhan.144 Sistem perburuhan yang semula mengarah pada sistem kerja eksploitatif mampu diubah menjadi sistem kerja solidariter (sistem kekeluargaan) yang sesuai dengan nilainilai dan ajaran Islam. Dengan diterapkannya sistem tersebut diharapkan relasi yang terjalin antara buruh dengan majikan mampu menunjukkan perbaikan, baik perbaikan dalam tataran individu maupun sistemnya. Sehingga hal ini mampu memberikan dampak positif bagi terpenuhinya hak-hak serta kewajiban masing-masing pihak (buruh dan majikan) dalam bekerja, tercukupinya kebutuhan ekonomi serta terciptanya keadilan yang merata bagi kaum buruh. 144 Erman Suparno, National Manpower Strategy (Strategi Ketenagakerjaan Nasional), (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h.51. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian tentang relasi buruhmajikan dalam hadits, penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Kedudukan buruh-majikan dalam hadits diatur secara lebih rinci, bahwa masing-masing dari mereka memiliki kedudukan yang sama serta tidak ada perbedaan yang menghantarkan pada perbuatan diskriminatif-subordinatif. Di samping itu, hadits menempatkan mereka sebagai pihak yang saling membutuhkan, sehingga tidak ada sikap saling menjatuhkan yang terjadi antara seorang majikan terhadap buruhnya maupun buruh terhadap majikannya. 2. Relasi buruh-majikan dalam hadits diatur berdasarkan prinsip kerjasama, dalam arti bahwa tidak ada perbedaan kelas yang terjadi antara buruh dan majikan, kedua belah pihak tersebut saling melakukan kerjasama dengan berbekal pada prinsip keterbukaan. 3. Kritik terhadap sistem perburuhan sekuler-kapitalisme diarahkan pada dua segi, yaitu segi kedudukan dan segi relasi. Segi kedudukan, buruh dan majikan mendapatkan porsi tempat yang sama dalam bekerja, yaitu tidak ada pihak yang tersubordinasikan dan atau mendapat perlakuan yang merendahkan posisi buruh, keduanya memperoleh persamaan hak dan kewajiban yang jelas dalam melaksanakan tugas 181 182 kerjanya. Sedangkan segi relasi, buruh dan majikan terbagi ke dalam tiga pengaturan kerja yang meliputi pengaturan prakerja, pelaksanaan kerja dan pasca-kerja. Pra-kerja adalah segala sesuatu yang perlu disepakati oleh buruh-majikan sebelum kerja dimulai. Pelaksanaan kerja adalah kegiatan kerja yang melibatkan peran keduanya. Adapun pasca-kerja adalah konsekuensi yang berhak diterima oleh masingmasing pihak setelah semua pekerjaan terselesaikan, termasuk di dalamnya adalah konsekuensi upah yang merupakan bagian dari hak buruh. B. Saran-saran Setelah melakukan penelitian ini, tampaknya perlu ditindak lanjuti dengan penelitian-penelitian berikutnya yaitu meneliti secara seksama hadits-hadits lain yang memiliki pembahasan tentang tema buruh dan majikan, terutama berkaitan dengan relasi keduanya. Karena apabila penulis amati, kasuskasus yang selama ini melanda sebagian besar kaum buruh di dunia, terutama di Indonesia adalah berkaitan dengan relasi keduanya yang tidak sejalan dan atau tidak harmonis, sehingga hal ini memicu terjadinya banyak polemik yang pada akhirnya merugikan kaum buruh itu sendiri. Seperti contoh kasus kekerasan seksual, kasus kekerasan fisik, tidak terpenuhinya perjanjian atau kontrak kerja, penundaan pembayaran upah kerja dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lainnya. Semua itu merupakan problem yang patut kiranya mendapat perhatian serius dari kita 182 183 sebagai akademisi, terlebih mengenai bagaimana sesungguhnya aturan yang diinginkan oleh Islam – dalam hal ini hadits – dalam ikut andil menyelesaikan problem perburuhan yang selama ini terkesan diskriminatif, subordinatif dan tidak berkeadilan sosial. Peneliti merasa bahwa apa yang telah dilakukan belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan. Oleh sebab itu, penulis masih membutuhkan kritik konstruktif dari berbagai pihak yang memiliki konsern di bidang kajian tafsir dan hadis Nabi Saw. Dengan dibangunnya kritik yang konstruktif serta penelitian yang berkelanjutan, maka diharapkan akan membantu penyelesaian terhadap konflik perburuhan. Karena walau bagaimanapun mereka adalah pahlawan “devisa” yang memiliki andil besar terhadap kemajuan, pembangunan, dan kesejahteraan Negara Indonesia. Di samping itu, mereka adalah kaum lemah yang selayaknya mendapatkan perhatian lebih. Selebihnya, penulis berharap semoga apa yang telah diteliti pada skripsi ini ada manfaatnya, khususnya untuk peneliti sendiri dan umumnya untuk pembaca laporan penelitian skripsi ini. C. Penutup Demikian akhirnya dengan mengucap alhamdulilla>hi rabbil ‘a>lami>n, proses penelitian skripsi ini dapat diselesaikan sekalipun masih banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Terima kasih, semoga bermanfaat dan membawa keberkahan. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Abu Abdillah bin Muhammad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Pensyarah: Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad al-Zain), Kairo: Da>r al-Hadi>s|, 1995. Ahmad, Abu al-Abbas Shihabuddin bin Abu Bakar al-Kannani alBushiri, Zawaid Ibnu Majah ala al-Kutub al-Khamsah, Ta’liq: Muhammad Mukhtar Husain), Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993. al-Ashee, Ibnu Husein, Pribadi Muslim Perpustakaan Nuun, 2004. Ideal, Semarang: al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Tahqiq: Abdul Qadir Syaibah al-Hamd), Riyadh: Maktabah al-Mali>k Fahd al-Wat}a>niyah, 2001. al-Kahlani, Muhammad bin Isma’il, Subul as-Sala>m, juz 3, Mesir: Maktabah Musht}afa Al-Ba>bi Al-H{alabi, cet. IV, 1960. al-Mubarakfuri, Syafiyyurrahman, Pustaka Islamika, 2008. Sira>h Nabawiyah, Bandung: al-Munawi, Abdul Rauf, Faid} al-Qadi>r Syarh al-Jami>’ as-S{agi>r, Beirut: Da>r al-Makrifah, 1972. Al-Qarashi, Baqir Syarif, Keringat Buruh, terj. Ali Yahya, Jakarta: Al-Huda, 2007. Andang, Al. dkk (Ed.), Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004. Antonio, Muhammad Syafi’i, Muhammad Saw: The Super Leader Super Manager, Jakarta: ProLM Centre, 2007. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Bina Aksara, 1989. as-Syathiby, Ibn Ishaq, Al-Muwa>faqat fi> Us}u>l as-Syari>’ah, (Beirut: Da>r al-Ma’a>rifah, 1975), h. 8-12. Lihat pula Wahbah azZuhaily, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi, Damaskus: Da>r al-Fikr, 2001. az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Isla>mi wa Adillatuhu, Damaskus: Da>r Al-Fikri, 2008. _________, Fiqh Islam, terj. Jakarta: Gema Insani, 2011. Bichu, YS. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Citra Harta Prima, 2013. Direktorat Pengelolaan Informasi Perekonomian, Ketenagakerjaan dan Serikat Pekerja, 2001. Djumadi, Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press, 2001. Ghazaly, Abdul Rahman, dkk, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Ofset, 1993. Hanafi, Muhammad Muchlis ed., Kerja dan Ketenagakerjaan Tafsir Tematik), Jakarta: Aku Bisa, 2012. Hidayat, M.S, . Episode Kelima Gerakan Buruh, Surat Kabar Harian Republika, tanggal 4 Oktober 1994. Huda, Qomarul, Fiqh Mu’amalah, Yogyakarta: Teras, 2011.. Iskandar, Muhaimin, Membajak di Ladang Mesin, Semarang: Yayasan Wahyu Sosial, 2004. Jalil, Abdul, Teologi Buruh, Yogyakarta: LKIS, 2008. Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Kartasapoetra, G,. Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Jakarta: Sinar Grafika, 1994. Khaliq, Ahmad Said Abdul dan Unwar al-Amrusy, Syarh Qanu>n alAmal, Maktabah al-Ja>mia>t, h. 20. Konradus, Danggur, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Litbang Danggur dan Partners, 2006. Lopa, Baharuddin, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996. Majid, Yusuf Abdul Aziz Muhammad Abdul, Syarh Nus}u>s} Niz}am alAmali wa al-Umma>l Fi> Mamlakah al-Ara>biyah as-Su’u>diyah, Jedah: ad-Da>r as-Su’u>diyah, 1987. Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syari’ah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011. Mubarak, Faishal bin Abdul Aziz Alu, Terjemahan Nailul Aut}ar: Himpunan Hadits-hadits Hukum, penerj.: A. Qadir Hasan, dkk.), Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001. Muhammad, Abu Abdullah bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Ta’liq: Muhammad Nashiruddin al-Albani), Riyadh: Maktabah al-Ma’a>rif, Tth. Muhammad, Syamsuddin, At-T{i>b An-Nabawi, Surabaya: Haramain, t.th. Mulyanto, Dede, Genealogi Kapitalisme, Yogyakarta: Resist Book, 2012. Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010. Muslim, Shahih Muslim, juz 3. Mustaqim, Abdul, dkk, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadits, Yogyakarta: Teras, 2009. Nata, Abuddin ed., Kajian Tematik Al-Qur’an Kemasyarakatan, Bandung: Angkasa, 2008. Tentang Notoatmodjo, Soekidjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009. Pusat Bahasa DepDikNas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.. _________, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Qardhawi, Yusuf, Teologi Kemiskinan, terj. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002. Raho, Bernard, Sosiologi, Maumere: Ledalero, 2014.. Rasuanto,Bur, Keadilan Sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, terj. Bandung: Al-Ma’arif, 1997. _________, Unsur-Unsur Dinamika dalam Islam, terj. Jakarta: PT Intermasa, 1981. Sadily, Hasan, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru, 1984), cet. ke-6, h. 3718. Safaria, Anne Friday dkk, Hubungan Perburuhan di Sektor Informal, terj. Sonya Sondakh, Bandung: Yayasan AKATIGA, 2003. Said, Hakim Muhammed, The Employer and The Employee-Islamic Concept, Trans, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1989. Shihab, M. Quraish, Al-Luba>b, Tangerang: Lentera Hati, 2012. Soepomo, Iman, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 1992. Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Subangun, Emmanuel, Kapitalisme Gotong Royong, Yogyakarta: CRI Alocita, 1995. Subri, Mulyadi, Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan, Jakarta: Rajawali Pers, 2014. Sudjana, Eggi, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, Jakarta: Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia PPMI), 2000. _________, Buruh Menggugat: Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 2002. Sukarno, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Bandung: Alumni, 1979. Suparno, Erman, National Manpower Strategy Strategi Ketenagakerjaan Nasional), Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009. Suyanto, Bagong, Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001. Taimiyah, Ibnu, Tugas Negara Menurut Islam, terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Tim Revisi Buku Pedoman Skripsi, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Semarang: Sagha Grafika, 2007. Winanrni, F. dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji dan Upah, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006. Zuhad, Metode Pemahaman Hadits Mukhtalif dan Asbab Al-Wurud, Semarang: RaSAIL Media Group, 2011. file:///C:/Users/pc/Downloads/keadilan.htm, diakses pada Kamis, 18 Juni 2015. file:///C:/Users/pc/Downloads/keadilan-dalam-islam.html, pada Kamis, 18 Juni 2015. diakses file:///C:/Users/pc/Downloads/SISTEM%20EKONOMI%20KAPITA LISME%20dan%20SOSIALISME%20_%20diananggraeni.ht m, diakses pada Minggu, 14 Juni 2015. http:///SISTEM%20EKONOMI%20KAPITALIS%20%28LIBERAL %29%20_%20ZUMARA%27S%20BLOG.htm, diakses pada Minggu, 14 Juni 2015. http://qoidul.blogspot.com/2013/05/makalah-revolusi-industri.html, diakses pada Jum’at, 12 Desember 2014. http://www.radarbanten.com/read/berita/150/16297/TeladanBerpolitik-Rasulullah-Muhammad-SAW.html, diakses pada Kamis, 19 Februari 2015. http;///sejarah-dan-perkembangan-ekonomi.html, Minggu, 14 Juni 2015. diakses pada Kartonmedia. blogspot.com/2013/04/ perbedaan-buruh-dan karyawanatau.html?m=1, diakses pada Kamis, 04 Desember 2014.\ Lilyistigfaiyah. blogspot.com/2014/09/ pengertian-sektor-usahaformal.html, diakses pada Jum’at, 03 Maret 2015.