STATUS BADAN HUKUM PERSEROAN TERBATAS YANG DICABUT IZIN USAHANYA OLEH MENTERI KEUANGAN Aflakhatul Kusuma Pradini Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya ABSTRACT Legal status Limited Liability Company (hereinafter referred to as the Company) is a juridical identity (persona standi in yudicio) for each company. PT. Indonesia Prisma insurance is an insurance company revoked by the Ministry of Finance. Filing for bankruptcy on himself. The problems discussed are the legal consequences of revocation of business license by the Minister of Finance on the status of legal entity PT. Indonesia Prisma insurance and whether an appeal to his right Cassation (PT. Asuransi Indonesia Prisma) after the license of business has been revoked a Limited Liability Company Ordinary. This type of research is normative juridical use statute approach, case approach and conceptual approach. The results obtained that license revocation does not result in the abolishment of the company's legal status, since the status of legal entity is related to the existence of the company as a legal subject, while the business license is related to the type of business activities conducted. Cassation (PT. Asuransi Indonesia Prisma) which states that the license revocation insurance have an impact on the change of PT. Prisma insurance Indonesia became a regular limited liability company is not right, because there is no legal basis for stating it. The company is as non active. Key word: limited company, licence of business, insurance ABSTRAK Status hukum Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut Perseroan) merupakan identitas yuridis (persona standi in yudicio) bagi setiap perseroan. PT. Asuransi Prisma Indonesia adalah perusahaan asuransi yang dicabut izinnya oleh Kementerian Keuangan. Mengajukan permohonan pailit atas dirinya sendiri. Permasalahan yang dibahas adalah akibat hukum dari pencabutan izin usaha oleh Menteri Keuangan terhadap status badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia dan apakah tepat Pemohon Kasasi mendalihkan dirinya (PT. Asuransi Prisma Indonesia) setelah dicabut izin usahanya menjadi Perseroan Terbatas Biasa. Jenis penelitian adalah yuridis normatif dengan penggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konsep. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pencabutan izin usaha tidak berakibat pada hapusnya status badan hukum perseroan, karena status badan hukum adalah berkaitan dengan eksistensi perseroan sebagai subyek hukum, sedangkan izin usaha adalah berkaitan dengan jenis kegiatan usaha yang dijalankan. Pemohon Kasasi (PT. Asuransi Prisma Indonesia) yang menyatakan bahwa pencabutan izin usaha asuransi berdampak pada berubahnya PT. Asuransi Prisma Indonesia menjadi perseroan terbatas biasa adalah tidak tepat, karena tidak terdapat dasar hukum yang menyatakan hal tersebut. Pencabutan izin usaha mengakibatkan perusahaan menjadi tidak aktif lagi (non aktif). Kata kunci: Perseroan Terbatas, Izin Usaha, Asuransi Latar Belakang Status hukum Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut Perseroan) merupakan identitas yuridis (persona standi in yudicio) bagi setiap perseroan. Status hukum adalah status yang diberikan oleh undang-undang terhadap keberadaan perseroan. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 (selanjutnya disebut dengan UUPT 2007) sebagai payung hukum bagi perseroan Indonesia memberikan status “Badan Hukum” bagi perseroan yang dibentuk berdasarkan hukum Indonesia (Pasal 1 angka 1 UUPT 2007). Sehingga dengan berstatus sebagai badan hukum, perseroan dapat menjadi salah satu jenis subjek hukum dalam kegiatan usaha di Indonesia.1 Sebagai subjek hukum, perseroan dapat membentuk hubungan hukum dan melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak lain dalam rangka untuk tercapainya tujuan perseroan yaitu, memperoleh keuntungan (profit oriented). Untuk mencapai tujuan tersebut, perseroan harus menjalankan kegiatan usaha yang telah ditetapkan dalam akta pendirian. Oleh sebab itu, pada saat pendirian perseroan jenis bidang usaha harus sudah ditetapkan dan ditulis dalam akta pendirian perseroan. Sehingga dengan tercantumnya bidang usaha dalam akte pendirian, perseroan telah memiliki bidang usaha riil yang dipilih dan selanjutnya menjadi kegiatan usaha sehari-hari yang dapat dijalankan oleh perseroan. Semua hal yang dilakukan oleh perseroan diatas harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi perseroan sebagaimana telah diaur dalam Pasal 4 UUPT 2007. Karakter perseroan sebagai badan hukum serta sistem perizinan usaha yang dianut oleh Peraturan Perundang – undangan di Indonesia hendaknya difahami tidak saja oleh para hakim sebagai aparat penegak hukum dan pemutus perkara ketika terdapat sengketa yang diajukan ke pengadilan tetapi juga perlu dimengerti oleh para pelaku usaha (pengusaha) karena pelaku bisnis merupakan wakil (organ) dari perseroan dalam melakukan perbuatan hukum keluar juga ketika menghadapi perkara di pengadilan. Diharapkan nantinya kegiatan usaha dapat dijalankan oleh pelaku usaha sesuai dengan hukum yang berlaku dan putusan Hakim yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan merupakan keputusan yang berdasarkan hukum dan keadilan. Sebagaimana dalam kasus PT. Asuransi Prisma Indonesia yang mengalami kepailitan pada tahun 2006 karena perusahaan tersebut tidak memenuhi standart kecukupan modal sebagaimana ditetapkan dalam keputusan menteri keuangan No.424/KMK.06/2003 diubah dengan peraturan menteri keuangan No.135/PMK.05/2005 tentang kesehatan keuangan 1 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2012, hlm.34-35 perusahaan asuransi dan reasuransi, sampai batas waktu yang diberikan selama 3 (tiga) bulan untuk memperbaiki, namun perusahaan tersebut tetap tidak mampu untuk memenuhi standart keuangan sehingga perusahaan tersebut mendapatkan sanksi dicabutnya ijin usaha oleh Menteri Keuangan. Setelah izin usahanya dicabut maka secara sukarela perusahaan tersebut melakukan pembubaran diri (dalam likuidasi) dimana pembubaran tersebut diputuskan dalam rapat umum pemegang saham dan pembubaran tersebut telah diumumkan dalam surat kabar Harian Suara Perubahan pada 12 Juli 2008. Namun sebelum izin usahanya dicabut oleh Menteri Keuangan PT. Asuransi Prisma Indonesia banyak melakukan kerjasama dengan banyak pihak yang berkaitan dengan kegiatan usahanya dimana dalam melakukan kerjasama tersebut timbul hutang sampai dengan jatuh tempo kepada kreditornya sehingga dengan banyaknya hutang – hutang yang telah jatuh tempo maka PT. Asuransi Prisma Indonesia akhirnya mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Oleh karena PT. Asuransi Prisma Indonesia tidak dapat menerima putusan PN, selanjutnya mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 10 Maret 2010 kepada Mahkamah Agung, dan Putusan Mahkamah Agung adalah menolak permohonan Pemohon Kasasi, yang berarti menguatkan Putusan Pengadilan sebelumnya, yaitu Pengadilan Niaga. Oleh karena Putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan sebelumnya, tampaknya tidak terdapat persoalan hukum yang penting untuk dikaji, namun terdapat hal yang tampaknya perlu dicermati berkaitan dengan pernyataan Pemohon Kasasi terhadap kedudukan PT. Asuransi Prisma Indonesia setelah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan. Apa yang telah diungkapkan oleh pemohon kasasi terhadap PT. Asuransi Prisma Indonesia bahwa setelah dicabut izin usahanya PT. Asuransi Prisma Indonesia berubah menjadi Perseroan Terbatas Biasa adalah pernyataan yang memerlukan kajian dan analisis lebih dalam. Mengingat istilah dan penyebutan dari aspek hukum perusahaan tentang penyebutan perseroan terbatas biasa tidak dikenal dan tidak ada pasal yang mengaturnya. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian permasalahan pada latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah akibat hukum dari pencabutan izin usaha oleh Menteri Keuangan terhadap status badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia? 2. Apakah boleh Perseroan mendalilkan dirinya sebagai Perseroan Terbatas Biasa setelah dicabut izin usahanya? Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian Yuridis Normatif, yakni prosedur penelitian ilmiah yang dilakukan untuk dapat menemukan kebenaran yang berdasarkan pada logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Ruang lingkup penelitian ini meliputi penelitian terhadap asas – asas hukum, penelitian sistematika hukum dan penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum. Data Primer yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini antara lain : a. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. c. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang d. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas . e. Keputusan Menteri Keuangan Nomor. KEP-137/KM.5/2005 Data Sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen – dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku – buku, teks, jurnal – jurnal, artikel dari Internet, hukum dan komentar – komentar atas putusan pengadilan. Pembahasan 1. Akibat Hukum Perseroan Yang Dicabut Izin Usahanya Subjek hukum maupun objek hukum merupakan istilah yang lazim dikenal dalam pengkajian ilmu hukum. Istilah subyek hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu rechtsubject atau law of subject dari bahasa Inggris. Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.2 Chaidir Ali menjelaskan subjek hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum, dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.3 Menurut Sudikno Mertokusumo, subyek hukum adalah 2 Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 40. 3 Chaidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 16 segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum.4 Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Subekti, yang menyatakan bahwa subyek hukum adalah pembawa hak atau subyek dalam hukum, yaitu orang.5 Hukum memberikan kedudukan dan wujud yang lain subjek hukum selain manusia yaitu badan hukum atau rechtspersoon. Rechtspersoon yang disebut sebagai badan hukum, merupakan persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai person,6 maka dalam hukum dikenal ada dua macam subjek hukum disamping manusia dan badan hukum. Dalam pengertian dasar, badan hukum itu adalah segala sesuatu yang berdasarkan hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Kamus Besar Bahasa Indonesia, memberikan pengertian badan hukum sebagai badan yang dalam hukum diakui sebagai subyek hukum (peseroan, yayasan, lembaga, dan sebagainya).7 Selanjutnya Kamus Hukum Ekonomi mengartikan badan hukum sebagai badan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan sebagai subyek hukum, yaitu pemegang hak dan kewajiban.8 Secara alamiah, badan hukum tidaklah dapat berkedudukan sebagai subyek hukum. Hal ini dikarenakan badan hukum tidak memiliki kehendak, tidak dapat bertindak dan tidak dapat hadir atau ada seperti halnya karakteristik yang dapat ditemukan pada orang. Karakteristik tersebut yang mengakibatkan orang dapat berkedudukan sebagai subyek hukum secara alamiah (kodrati), sedangkan badan hukum tidak dapat. Untuk menjadi subyek hukum serta dapat menjalankan fungsinya sebagai subyek hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar dapat menjalankan kewenangannya sebagai subyek hukum. Berdasarkan pendapat dari para ahli tentang kriteria badan hukum yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan, bahwa pemisahan harta kekayaan antara kekayaan pendiri dan kekayaan badan hukumnya menjadi salah satu persyaratan yang mutlak ada dalam suatu badan hukum. Kekayaan badan hukum inilah yang digunakan oleh badan hukum untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai subyek hukum. Sebagai pendukung hak dan kewajiban yang bukan manusia, namun memiliki status yang dipersamakan dengan manusia oleh peraturan perundang-undangan, kondisi ini membawa konsekuensi bahwa keberadaannya dan ketidakberadaannya sebagai badan hukum tidak digantungkan kepada kehendak sendiri atau anggotanya melainkan ditentukan oleh hukum yang mengatur badan hukum tersebut. Sebab badan hukum adalah subyek hukum 4 Sudikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hlm. 53 Subekti, 1996, Pokok-pokok Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta, hlm. 19 6 Chidir Ali, Op.Cit., hlm. 19. 7 http://kamusbahasaindonesia.org , diunduh 22 Juli 2015 8 AF Elly Erawati dan JS Badudu, Kamus Hukum Ekonomi, Proyek Elips, 1991, Jakarta. hlm.26 5 yang keberadaannya didasarkan pada hukum yang mengaturnya atau doktrin-doktrin yang muncul dari pendapat para ahli hukum. Berdasarkan beberapa pendapat yang dipaparkan tersebut dapat disimpulkan bahwa badan hukum merupakan subyek hukum yang pembentukan melalui proses hukum dan dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban yang dilakukan melalui perantara organ atau pengurus dari badan hukum. Oleh karena badan ini adalah hasil rekayasa manusia, maka badan ini banyak menyebutnya dengan artifical person. Dengan perkataan lain, sebagaimana yang dikatakan oleh J. Satrio, mereka memiliki hak dan atau kewajiban yang diakui hukum.9 Badan yang dimaksud adalah perseroan, dapat melakukan kegiatan bisnis atas nama perseroan sendiri seperti manusia juga memiliki nama. Bidang usaha yang dijalankan, kekayaan yang dikuasai, perjanjian-perjanjian yang dibuat semua atas nama badan hukum. Memiliki kewajiban – kewajiban hukum, seperti membayar pajak dan mengajukan izin kegiatan bisnis atas nama diri badan hukum. Perseroan Terbatas adalah badan hukum sebagaiamana telah di jelaskan dalam pengertian Perseroan Terbatas Pasal 1 ayat 1 dan pasal 7 ayat (4) Undang – undang Nomor 4 Tahun 2007. Dalam mendirikan perseroan terbatas tidak cukup dengan cara membuat akta pendirian yang dilakukan dengan bantuan seorang notaris, akan tetapi harus dilalui pula proses pengesahan akta pendirian perseroan itu sehingga perseroan memperoleh status sebagai perseroan yang berbadan hukum, dalam hukum perseroan yang berstatus sebagai badan hukum dan yang belum diperoleh pengesahan badan hukum memiliki akibat hukum yang tidak sama bagi perseroan itu. Selama perseroan belum atau tidak memenuhi persyaratan untuk memperoleh status badan hukum, maka pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi, dimana tanggung jawab secara pribadi bukan karakter dari perseroan. Jika perseroan masih bertanggung jawab secara pribadi dapat dikatakan perseroan tersebut belum ada. Dari penjelasan dan uraian pada sub bab ini dapat disimpulkan bahwa kewenangan Menteri Hukum dan HAM terhadap perseroan adalah dalam kerangka proses pengesahan atas lahirnya suatu subyek hukum yang disebut badan hukum yaitu badan hukum perseroan terbatas. Jadi dengan pengesahan badan hukum itu eksistensi perseroan telah lahir atau berdiri dan perseroan yang telah berbadan hukum telah sah menjadi subyek hukum. Subyek hukum yang berupa badan hukum memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum, 9 J. Satrio, Hukum Pribadi, Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.13. memiliki hak serta kewajiban-kewajiban hukum sebagaimana yang ditentukan dalam anggaran dasar perseroan. Oleh karena perseroan berbadan hukum berkedudukan sebagai subyek hukum, maka perseroan juga harus bertanggung jawab atas segala akibat hukum atas perbuatan yang dilakukan perseroan baik secara internal maupun eksternal dengan karakter tanggung jawab terbatas sebagai ciri khas dari perseroan yang berbadan hukum. Setiap pihak yang akan menyelenggarakan usaha perasuransian wajib melengkapi segala syarat yang ditetapkan peraturan perundangan-undangan. Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Penyelenggaraan usaha perasuransian wajib dilengkapi dengan ijin usaha perusahaan perasuransian. Pada saat kasus PT. Api ini diputus oleh pengadilan pada tahun 2010, masih berlaku ketentuan Undangundang Nomor 2 Tahun 1992, sehingga terhadap ijin usaha masih menjadi kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana yang telah ditegaskan pada pasal 9 jo pasal 1 angka 14 Undang – undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, bahwa untuk Setiap Pihak yang melakukan Usaha Perasuransian wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. Dengan demikian, setelah berlakunya undang-undang yang baru kewenagan Menteri Keuangan sebagai pemberi ujin usaha perusahaan bidang asuransi dan jasa keuangan lainnya sudah digantikan oleh badan otoritas jasa keuangan. Pemberian izin usaha perasuransian dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap pertama pemberian persetujuan prinsip dan tahap ke dua pemberian izin usaha. Akan tetapi, persetujuan prinsip bagi agen asuransi dan konsultan akuaria tidak diperlukan. Persetujuan prinsip berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal izin usaha ditetapkan, perusahaan perasuransian yang bersangkutan tidak menjalankan kegiatan usahanya, maka izin usaha perasuransian dapat dicabut (pasal 9 – 10 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992). Berdasarkan pembahasan pada sub bab ini terkait dengan kewenangan Menteri Keuangan terhadap pemberian ijin usaha kepada perusahaan asuransi, maka kewenangan itu dalam kaitannya dengan aspek operasionalisasi bidang usaha agar kegiatan usaha perasuransian dapat diselenggarakan dan berproduksi. Dengan diperolehnya ijin kegiatan usaha, perseroan dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sehingga dapat meraih keuntungan perseroan sehingga tercapai tujuan pendirian sebagaimana yang ditetapkan dalam anggaran dasar yaitu memperoleh keuntungan. 2. Analisis Terhadap Penyebutan PT. ASURANSI PRISMA INDONESIA Yang Telah Dicabut Izin Usahanya Menjadi Perseroan Terbatas Biasa. Pembahasan ini tentang Pemohon Kasasi untuk sampai pada pernyataannya bahwa PT. Asuransi Prisma Indonesia menjadi Perseroan Biasa. Adapun yang menjadi dalih Pemohon Kasasi terhadap putusan Mahkamah Agung ada 2 (dua) argumentasi, yaitu pertama, mendalihkan bahwa Pengadilan Niaga telah salah menerapkan bahwa Pemohon sebagai badan hukum yang masih eksis dan yang kedua, Pengadilan Niaga telah salah menerapkan hukum yang menyatakan Pemohon tidak berhak mengajukan Permohonan pailit. Penyebutan suatu perseroan dalam praktik hukum dapat ditinjau dari klasifikasi Perseroan yang diatur dalam UUPT 2007, pada Pasal 1 angka 6 dan Pasal 1 angka 7. Berdasarkan ketentuan pasal yang dimaksud, klasifikasi Perseroan adalah sebagai berikut : Menurut Yahya Harahap Perseroan ada 3 (tiga) klasifikasi Perseroan yaitu: 1. Perseroan Tertutup Terdapat ciri yang menjadi karakternya jika dibandingkan dengan Perseroan lain. Yaitu : a. Biasanya pemegang sahamnya “terbatas” dan “tertutup” (besloten close). Hanya terbatas pada orang – orang yang masih kenal-mengenal atau pemegang sahamnya hanya terbatas diantara mereka yang masih ada ikatan keluarga, dan tertutup bagi orang luar. b. Saham Perseroan yang ditetapkan dalam AD, hanya sedikit jumlahnya dan dalam AD, sudah ditentukan dengan tegas siapa yang boleh menjadi pemegang saham, Sahamnya juga hanya atas nama (aandeel op nam, registered share) atas orang-orang tertentu secara terbatas. Berdasarkan hasil penunjauan beberapa ketentuan di atas, belum ditemukan dalam UUPT 2007 dan pendapat ahli yang menyebut istilah perseroan biasa bagi perseroan yang dicabut izin usahanya maupun yang tidak dicabut izin usahanya. Ketentuan hukum perseroan tersebut mengklasifikasikan jenis –jenis perseroan berdasarkan atas status saham yang dikeluarkan perseroan untuk dimiliki para pemegang saham dan bukan didasarkan pada jenis usahanya. Pengaturan perseroan dalam UUPT 2007 lebih mengarah pada prosedur bagaimana perseroan itu dapat didirikan secara benar sehingga memiliki legalitas perseroan sebagai badan hukum yang sah. Jadi UUPT mengatur tentang lahirnya suatu subyek hukum yang disebut badan hukum. Selama akte pendirian perseroan itu belum berakhir atau dibubarkan maka perseroan tetap berdiri dan ada. Apakah keberadaannya itu beraktivitas atau vakum tidak beraktiitas, artinya perseroan tidak melaksanakan bidang usahanya UUPT tetap memandang perseroan itu masih ada. Jadi yang menjadi batasan UUPT adalah pada legalitas eksistensinya bukan pada aktivitas usahanya. Setiap perseroan yang didirikan pasti memiliki bidang usaha yang akan dijalankan utuk mencapai tujuan perseroan memperoleh keuntungan perseroan. Seperti PT. Asuransi Prima Indonesia adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha asuransi, sebagai perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas keberadaan PT. Asuransi Prima Indonesia tunduk pada UUPT tetapi sebagai badan usaha diatur oleh Undang-undang Usaha Perasuransian. Apabila badan hukum yang menjalankan usaha perasuransian itu berbentuk perseroan terbatas dan perusahaan perseroan, maka pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undangundang perseroan terbatas, khusus persero perlu mengikuti juga ketentuan tentang perusahaan perseroan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Bagi perusahaan asuransi yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara tidak diperlukann izin usaha dari Menteri (Penjelasan Pasal 9 ayat (1). Pemberian izin usaha perasuransian dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama : pemberian persetujuan prinsip dan tahap kedua pemberian izin usaha. Persetujuan prinsip berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal izin usaha ditetapkan perusahaan perasuransian tidak menjalankan kegiatan usahanya, maka izin usaha perasuransian dapat dicabut.10 Terkait dengan ketentuan yang mengatur pencabutan izin usaha, dapat disimpulkan bahwa pencabutan izin usaha perasuransian dilakukan oleh Menteri, karena 2 (dua) hal, yang pertama apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal izin usaha ditetapkan perusahaan perasuransian tidak menjalankan kegiatan usahanya, yang kedua, perusahaan tidak berhasil melakukan tindakan dalam rangka mengatasi tingkat kesehatan keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip asuransi yang sehat. Meskipun di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tidak mencantumkan ketentuan yang mengatur perihal status hukum dari perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan, namun tetap saja perusahaan asuransi tersebut harus tunduk pada ketentuan Undang-undang Usaha Perasuransian. Sebagaimana ditetapkan 10 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 27 dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) tersebut di atas. Dari telaah uraian di atas dapat dikatakan bahwa pencabutan izin usaha yang dimiliki oleh perusahaan asuransi tidak menghapus statusnya sebagai perusahaan asuransi, karena pencabutan izin usaha berkorelasi pada kegiatan usaha yang dijalankan sebagai yang tercantum dalam akte pendirian. Terkait dengan izin usaha maka dapat dikatakan bahwa fungsi dari sebuah izin usha adalah untuk menunjukkan agar perusahaan tersebut dapat melaksanakan kegiatan usahanya sesuai dengan izin usaha yang telah diberikan. Bukan pada terkait dengan status hukum dari perusahaan tersebut. Dari sisi Pemohon Kasasi mendalihkan dirinya telah berubah menjadi perseroan terbatas biasa, atas dasar apa penyebutan perseroan terbatas biasa itu dimunculkan dalam dasar gugatan permohonan kasasi. Kalau ditelaah dari pernyataan Pemohon menyebutkan PT. Asuransi Prisma Indonesia menjadi perseroan biasa dalam permohonan kasasinya dapat dikelompokkan dalam dua alasan: 1. Pengadilan Niaga telah salah menerapkan bahwa Pemohon Kasasi adalah sebagai badan hukum yang masih eksis; 2. Pengadilan Niaga telah salah menerapkan hukum yang menyatakan Pemohon tidak berhak mengajukan Permohonan pailit 3. Pernyataan Pemohon Kasasi yang menyatakan dengan telah dicabutnya izin usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia oleh Menteri Keuangan berdampak pada putusnya hubungan hukum antara PT. Asuransi Prisma Indonesia oleh Menteri Keuangan antara PT. Asuransi Prisma Indonesia oleh Menteri Keuangan merupakan alasan yang sangat sumir, karena tidak terdapat dasar hukum yang menyatakan demikian. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal Undangundang Nomor 2 Tahun 1992, bahwa pencabutan izin usaha yang dimiliki oleh perusahaan asuransi tidak menghapus statusnya sebagai perusahaan asuransi, karena pencabutan izin usaha berkorelasi pada kegiatan usaha yang dijalankan sebagaimana yang tercantum dalam akte pendirian perseroan lebih ditegaskan lagi dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992, bahwa anggaran dasar perusahaan perasuransian harus mencantumkan maksud dan tujuan untuk menjalankan salah satu jenis usaha perasuransian. 4. Alasan kedua ketika Pemohon kasasi menyatakan bahwa Pengadilan Niaga telah salah menerapkan hukum yang menyatakan Pemohon tidak berhak mengajukan Permohonan pailit adalah alasan yang didasarkan pada pendapat bahwa konsekuensi atas pencabutan izin usaha adalah putusnya kewenangan Menteri Keuangan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit. 5. Ketika suatu subyek hukum lahir karena bentukan hukum yang melalui proses hukum berdasarkan pada ketentuan hukum, maka berakhirnya subyek hukum itu juga harus didasarkan pada ketentuan hukum tersebut. PT. Asuransi Prisma Indonesia (dalam likuidasi) berarti proses pembubaran belum selesai, maka keberadaan PT. Asuransi Prisma Indonesia sebagai perusahaan asuransi belum hapus, sehingga ketentuan Undang-undang Kepailitan tidak boleh diabaikan oleh Pemohon Kasasi. Pembubaran PT. API masih dalam tahap proses likuidasi dan belum selesai, karena hasil akhir likuidasi wajib disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM dan berdasarkan pemberitahuan tersebut, Bahwa Menteri : a. Mencatat berakhirnya status badan hukum perseroan (Pasal 152 ayat (5); b. Menghapus nama perseroan tersebut dari daftar perseroan (Pasal 152 ayat(5); c. Mengumumkan berakhirnya status badan hukum perseroan dalam Berita Negara RI (Pasal 152 ayat (8). Ketentuan dalam Undang - undang mewajibkan Menteri untuk mencatat, menghapus dan mengumumkan berakhirnya status badan hukum perseroan. Sehingga hapusnya hubungan Menteri Keuangan terhadap PT. Asuransi Prisma Indonesia adalah sampai dilakukan pemgumuman berakhirnya status badan hukum perseroan dalam Berita Negara RI. Bilamana sebuah perusahaan asuransi dicabut izin usahanya, maka pencabutan izin usaha yang dimiliki oleh perusahaan asuransi tidak menghapus statusnya sebagai perusahaan asuransi, karena pencabutan izin usaha berkorelasi pada kegiatan usaha yang dijalankan, sehingga dengan berhentinya kegiatan usaha, perusahaan asuransi berkedudukan sebagai perusahaan asuransi yang non aktif. 6. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan beberapa bab sebelumnya terkait dengan permasalahan yang diajukan, akhirnya dapat disimpulkan: Akibat hukum dari pencabutan izin usaha asuransi oleh Menteri Keuangan tidak memiliki relevansi dengan status perseroan sebagai badan hukum. Pencabutan izin usaha asuransi oleh Menteri Keuangan adalah terkait dengan keberlangsungan perseroan dalam menjalankan kegiatan usaha, dengan dicabutnya izin usaha berakibat pada berhentinya kelangsungan usaha tetapi tidak membawa akibat hukum pada dicabutnya status perseroan sebagai badan hukum, karena Menteri Keuangan tidak memiliki kewenangan dalam pencabutan badan hukum perseroan. Pernyataan Pemohon Kasasi (PT.Asuransi Prisma Indonesia) yang menyebutkan dirinya sebagai Perseroan Terbatas Biasa adalah pendapat yang tidak memiliki landasan hukum yang jelas, karena pencabutan izin usaha tidak berkorelasi pada status badan usahanya, selama akte pendirian perseroan belum diadakan perubahan, maka kegiatan usaha masih sebagai perusahaan asuransi tetapi tidak aktif (non aktif) DAFTAR PUSTAKA Ali, Chaidir, Badan Hukum, 1979, Alumni, Bandung. Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 2006, Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta. Apeldoorn,Van, Pengantar Ilmu Hukum, 1983, Pradnya Paramita, Jakarta. Asikin, Zainal, Pengantar Ilmu Hukum, 2012, Rajawali Press, Jakarta Azizah, Hukum Perseroan, 2011, elKAF, Surabaya. Badudu AF Elly Erawati dan JS, Kamus Hukum Ekonomi, 1991, Proyek Elips, Jakarta Dirdjosisworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, 1999, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Harahap, M.Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan ke tiga, 2011, Sinar Grafika, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, 2005, Prenada Media Group, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Asuransi Indonesia, 2011, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Pramono, Nindyo, Pesembahan Kepada Sang Maha Guru, Seputar Hukum Bisnis, FH-UGM, Yogyakarta, 2007 Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, 1995, Citra Aditya Bakti, Bandung. Prasetya, Rudhi, Perseroan Terbatas, Teori dan Praktik, 2013, Sinar Grafika, Jakarta. Purwosutjipto, HMN, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, 2007, Djambatan, Jakarta. Rido, R Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, 2001, Alumni, Bandung. Satrio J., Hukum Pribadi, 1999, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), 1988, Liberty, Yogyakarta Subekti, Pokok – pokok Hukum Perdata, 2003, Intermasa, Jakarta. Triwulan, Titik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Indonesia, 2008, Prenada Media Group, Jakarta. Usman, Marzuki, Singgih Riphat, Syahrir, Pengetahuan Dasar Pasar Modal, 1997, Istibat Braker Indonesia. Widjaja, I.G. Ray, Hukum Perusahaan, Kasant Blanc, 2000, Jakarta. Harahap, Yahya, Separate Entity, Limited Liability and Piercing the Corporate Vei l, 2007, Jurnal Hukum Bisnis. http://artikata.com/arti-175493-status.html, diunduh tanggal 30 Maret 2015. http://kamusbahasaindonesia.org , diunduh 22 Juli 2015 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas . Putusan Mahkamah Agung Nomor. 338K/PDT.SUS/2010. Keputusan Menteri Keuangan Nomor. KEP-137/KM.5/2005