Aspek Aksiologis dari Perjanjian yang Dibuat Dihadapan Notaris dalam Perspektif Filsafat Hukum yang Ber-Ideologi Pancasila Oleh: Agus Setiawan Abstract The legal performance of a notary is authorized based on legislative rules. One of a notary’s authorities is to certify proper execution or signing of any sort of authentic documents. What can be found in the authentic documents, not merely an agreement among parties, but also territorial meanings of philosophical values, that are binding in Indonesian law. The discussion of the paperwork is to be started through analyzing the philosophy of regulations in Indonesia in general. The substance of law philosophy in Indonesia will be practiced as a framework of axiological aspect, such as how to act upon legal performance of a profession as a notary. The next discussion on the writer’s paperwork is to identify what service a notary should present along with their functions and authorities. Lastly, the paperwork contains axiological aspects in the relation of identifying necessary values and characteristics of Indonesian law philosophy in authorizing documents that are to be made by a legal notary. Through this paperwork, the writer is dealing with a certain methodological research, an analytical descriptive method, in which systematically and factually, the writer is depicting and analyzing the substance of law philosophy based on the ideology of Pancasila-based philosophy of law in accordance to notaries and deeds matters. The writer is employing normative-juridicial research method, that is an approach towards a method using secondary data or literature research as a core of the writer’s paperwork. The results of the writer’s discussion reveals that the legal performance of a notary in certifying proper execution or signing of any sort of authentic documents involves, not merely end-up achievements and agreements among parties executed, but also notifying and paying attention towards axiological aspects in Indonesian philosophy of law, that is Pancasilabased philosophy of law. The legal ideas of Pancasila-based philosophy of law should be characterized as guidance principles and touchstones in the authorities of a notary profession and signing legal documents as a notary’s product. The ignorance towards axiological aspects in Pancasila-based philosophy of law may be considered a disavowal of a notary’s office oath and a violation of an ought-to be-like notarial services one should carry out. On the contrary, the respect towards axiological aspects in Pancasila-based philosophy of law is expected to be cultivated as a custom of law which should always be performed in notaries authorization. Keywords: Axiological, notary, authorities, agreement. 103 PENDAHULUAN Tulisan ini mencoba untuk secara umum menelaah aspek aksiologis dari suatu perjanjian yang dibuat dihadapan 1 pengemban profesi Notaris yang diberi kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk meng-konstatir (menyatakan) keinginan para pihak, meramu, dan mengemas materi suatu perjanjian menjadi bentuk formal akta otentik dari sudut pandang filsafat hukumnya Indonesia. Oleh karenanya, konsentrasi penulisan ini lebih kepada suatu penelaahan bagaimana pengemban profesi Notaris seharusnya memberikan suatu makna atau nilai filosofis hukum tertentu ke dalam perjanjian yang dibuatnya bagi para pihak dan tidak hanya sekedar meng-konstatir keinginan para pihak. Nilai-nilai filosofis tersebut tentunya dapatkannya tidak lain dari filsafat hukumnya Indonesia. Dengan kata lain, seorang pengemban profesi notaris sudah layak dan sepantasnya untuk menjalankan kewenangannya dengan ‘menghembuskan jiwa’ bagi perjanjian yang dibuatnya dengan nilai-nilai filsafat hukumnya Indonesia. Adapun mengenai nilai-nilai filosofis apa yang harus ‘dihembuskan’ dan menjiwai perjanjian yang dibuatnya serta apakah filsafat hukumnya Indonesia akan dibahas secara umum di dalam tulisan ini. Pembahasannya dilakukan mulai dari menelaah secara umum mengenai apa filsafat hukumnya Indonesia. Filsafat hukumnya Indonesia ini nantinya akan digunakan sebagai kerangka berpikir atau 1 Kata ‘Pengemban’ dalam tulisan ini diambil dari terma ‘Pengembanan Hukum’; sebuah terma yang diperkenalkan oleh Prof. Dr. B. Arief Sidharta sebagai terjemahan dari kata ‘Rechtsbeoefening’. 104 sudut pandang mengenai aspek aksiologis seperti apa yang harus dihembuskan pada perjanjian yang dibuat oleh pengemban profesi notaris. Pembahasan kemudian dilanjutkan mengenai siapa yang dimaksud Notaris, fungsi, dan kewenangannya. Akhirnya, pembahasan berikutnya akan dilanjutkan dengan mencoba untuk secara umum membahas aspek aksiologis yang menentukan nilai-nilai seperti apa yang harus ‘dihembuskan’ dan menjiwai perjanjian yang dibuat dihadapan pengemban profesi notaris dalam perspekif filsafat hukumnya Indonesia. Dengan segala kerendahan hati, mengingat segala keterbatasan yang ada pada penulis, maka tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum terkait dengan judul yang dipilih; oleh karenanya masih banyak materi-materi yang nantinya dapat dikontemplatifkan, ditelaah, serta diteruskan untuk ditulis. ASPEK AKSIOLOGIS, MAKNA FILSAFAT, FILSAFAT HUKUM, PANCASILA, DAN FILSAFAT HUKUM PANCASILA Mengingat sangat pentingnya materi yang ada pada BAB II ini; maka dalam melakukan penulisan ini, penulis mayoritas mengambil intisari dari pandanganpandangan yang dikemukakan oleh Prof. H. Darji Darmodiharjo, S.H. dalam hubungannya antara filsafat, filsafat hukum, dan Pancasila dalam bukunya yang berjudul “Menatap Indonesia – Sebuah Antologi Filsafat Hukum dalam Bingkai Negara Pancasila”2. 2 Darji Darmodiharjo, Menatap Indonesia-Sebuah Antologi Filsafat Hukum dalam Bingkai Negara CABANG AKSIOLOGIS DARI FILSAFAT DAN ASPEK AKSIOLOGIS FILSAFAT HUKUM Sebelum membahas secara khusus aspek aksiologi dari filsafat, khususnya filsafat hukum, ada baiknya bila terlebih dahulu kita sekilas mengingat kembali cabang-cabang dari filsafat agar memberikan gambaran menyeluruh tetang cabang-cabang filsafat tersebut. Cabang-cabang filsafat ini terkait dengan pergumulan para filsuf dengan 3 (tiga) pertanyaan besar dalam filsafat yang juga sangat mendasar, yaitu3: 1. Apa hakikat dari kenyataan ? 2. Bagaimana kita dapat mengetahui ? 3. Apa yang harus kita lakukan ? Dari ke-3 (ketiga) pertanyaan besar tersebut, munculah 3 (tiga) cabang dalam Filsafat, yaitu: 1. Ontologi, yaitu: cabang Filsafat yang menyelidiki makna (hakikat) ada/keberadaan, termasuk keberadaan: alam, manusia, metafisika, dan kosmologi. 2. Epistemologi, yaitu: cabang Filsafat yang menyelidiki makna (hakikat) ilmu; misalnya tentang: sumber, syarat, proses terjadi, dan validitasnya. 3. Aksiologi, yaitu: cabang Filsafat yang menyelidiki makna (hakikat) nilai, termasuk di dalamnya estetika dan etika. Dalam filsafat hukum; salah satu cabang filsafat yaitu aksiologi, berdasarkan 3 Pancasila, Cet. Kesatu, Bandung: Jendela Mas Pustaka, 2010, hlm. Diintisarikan dari James Garvey, Dua puluh Karya Filsafat Terbesar, Cet. ke-5, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010, hlm. iii – v. 104 pengamatan penulis, sering disebut juga sebagai ‘aspek aksiologis’. Aspek aksiologis tersebut secara khusus membahas mengenai nilai-nilai filosifis dari hukum. Nilai-nilai filosofis hukum ini sesungguhnya juga merupakan tujuan dari hukum yang terkandung di dalam hukum. Mengenai nilai-nilai filosofis hukum atau tujuan dari hukum tersebut, Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. dalam bukunya4 mencuplik nilai-nilai atau tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang tidak lain adalah: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. MEMPERSEPSI PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI Filsafat dapat dipersepsi dari 2 (dua) makna, yaitu5: filsafat sebagai suatu produk, yang seringkali ditampilkan dalam suatu pandangan hidup atau ideologi dan dalam makna yang lain filsafat dalam makna proses, yang bentuknya adalah merupakan suatu ilmu. Jika Filsafat diartikan sebagai pandangan hidup atau ideologi; maka dapat dikatakan bahwa filsafat tersebut merupakan suatu produk atau pilihan atau kesepakatan. Pada makna tersebut, filsafat adalah merupakan genetivus subjectivus (subyek yang memberi penilaian terhadap segala sesuatu). Dalam arti ini filsafat lazim disebut sebagai falsafah. Pandangan hidup tersebut dapat berupa pandangan hidup individu, kelompok masyarakat, bangsa, atau negara. Oleh karenanya, pandangan hidup suatu bangsa disebut juga dengan ideologi bangsa dan pandangan hidup dari 4 Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Cet. I, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, hlm. 181. 5 Diadaptasikan dari: Darji Darmodiharjo, Menatap Indonesia…, Op. Cit., hlm. 15-16. suatu negara dapat disebut juga ideologi negara. Akan tetapi, jika filsafat diartikan sebagai ilmu, maka filsafat diartikan sebagai suatu proses yang memiliki obyek, metode, dan sistematika tertentu, serta bersifat universal. Pada makna ini, filsafat adalah merupakan genetivus objectivus. Mengenai Pancasila sebagai pandangan hidup atau ideologi ataukah sebagai ilmu; menurut hemat Darji Darmodiharjo, Pancasila haruslah dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai suatu pandangan hidup dan bukan filsafat yang merupakan suatu ilmu. Dengan demikian, Pancasila merupakan norma atau kaidah yang mengandung nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia yang tentunya atau dengan sendirinya dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. MEMPERSEPSI PANCASILA 6 SEBAGAI FILSAFAT Dalam perspektif ajaran filsafat, Pancasila menunjukkan nilai mendasar tentang hubungan bangsa Indonesia dengan sumber kesemestaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Asas Ketuhanan adalah asas fundamental dalam kesemestaan. Hal ini menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia yang religius atau theisme-religius. Demikian pula tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan seterusnya yang mencerminkan asas kekeluargaan, cinta sesama, dan cinta keadilan. Nilai-nilai fundamental yang pada pokoknya mengandung nilai dasar ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan (sosial) inilah yang disebut sebagai “Sistem filsafat-nya Pancasila”. Dengan kata lain, “Pancasila sebagai Sistem Filsafat”. Pancasila menempatkan diri sebagai subyek yang memberi penilaian, oleh karenanya dapatlah disebut bahwa Pancasila merupakan genetivus subjectivus. Dalam hal ini, Pancasila merupakan produk dari proses berfilsafat, dan bukan merupakan proses itu sendiri. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah bersifat final. Pancasila dalam konteksnya sebagai ideologi haruslah menempatkan Pancasila sebagai genetivus subjectivus. Berbeda dengan genetivus objectivus yang menempatkan Pancasila sebagai suatu obyek yang belum berbentuk dan substansinya masih dalam proses pencarian. Sebagai sistem filsafat, Pancasila tidak menutup diri terhadap pengkajian, sepanjang tidak menjurus ke arah pencarian “pancasila” selain daripada yang telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) / Dokuritsu Junbi Iinkai. PANCASILA SEBAGAI SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM POSITIFNYA INDONESIA Dalam suatu negara hukum seperti Indonesia, diperlukan pelbagai hukum positif yang mengatur aspek-aspek tertentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum positif tersebut harus bersumber pada Pancasila. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum atau cita hukum (rechtsidee)-nya Indonesia. Mengenai cita hukum, Prof. H. Darji Darmodiharjo, S.H. menyebutkan Darji Darmodiharjo, Menatap Indonesia…, Op. Cit., hlm. 15-16. 6 105 menjamin, menlindungi hak asasi manusia). c. Asas Kesatuan dan Persatuan (mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, berfungsi sebagai pemersatu bangsa). d. Asas Demokrasi (mengamanatkan bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum yang adil demokratis). e. Asas Keadilan Sosial (mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama bahwa semua orang sama dihadapan hukum). bahwa cita hukum mempunyai 2 kategori fungsi7: 1. Fungsi konstitutif yang menentukan dasar dari suatu tata hukum; 2. Fungsi regulatif yang menentukan apakah suatu hukum positif itu adil atau tidak adil. Demikian juga apabila filsafat hukum (Indonesia) bermaksud untuk membuat atau menilai suatu kaidah hukum yang berlaku di Indonesia; maka jiwa yang harus ada pada filsafat hukum-nya Indonesia tersebut haruslah Pancasila. Oleh karenanya, Darji Darmodiharjo menempatkan Pancasila sebagai sumber hukum dengan menggambarkan gagasan dari Hans Kelsen tetang Grundnorm atau norma dasar sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia8. Menyambung pemikiran Darji Darmodiharjo tersebut di atas, Mochtar Kusuma-atmadja mengemukakan bahwa dalam negara yang berdasar atas hukum untuk Republik Indonesia harus menganut asas dan konsep Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni9: a. Asas Ketuhanan (mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang anti agama). b. Asas Kemanusiaan (mengamanatkan bahwa hukum nasional harus Darji Darmodiharjo, Menatap Indonesia…, Op. Cit., hlm. 36-37. 8 Lihat Anthon Sutanto, Ilmu Hukum Non Sistematik “Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia”, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 294. 9 Mochtar Ksuma-atmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Citra, 1972, hlm. 11. 7 106 MENJADIKAN NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI KAIDAH HUKUM Pancasila adalah suatu nilai-nilai, bukanlah suatu kaidah hukum konkret yang langsung dapat diterapkan sebagai hukum positif. Oleh karenanya tidak dapat secara konkret langsung mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut harus dijadikan sebagai kaidah hukum yang lebih konkret agar dapat dioperasionalkan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Kaidah hukum adalah wujud nilai-nilai yang paling konkret dan langsung berinteraksi dengan masyarakat, karena penerapannya dapat dipaksakan berdasarkan kaidah kewenangan. Darji Darmodiharjo10 pada intinya mengemukakan bahwa dari nilai-nilai Pancasila yang dikonkretkan dalam bentuk 10 Lihat lebih lanjut pada Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2004, hlm. 211-213. norma (sebagaimana ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945); maka kedudukannya menjadi Norma Dasar (Grundnorm, Ursprungnorm) atau tepatnya Staatsfundamentalnorm. Apabila ingin dijadikan pedoman, maka Norma Dasar (Grundnorm) tersebut harus dikonkretkan lagi dalam wujud peraturan perundangundangan dalam suatu tata urutan peraturan perundang-undangan, yang sepenuhnya menunjukkan adanya keterikatan antara norma hukum yang satu dengan yang lain. Norma yang lebih rendah tingkatannya harus bersumber pada norma yang lebih tinggi dan seterusnya sampai pada satu tingkat tertentu yang disebut sumber dan segala sumber hukum, yaitu: cita hukum (rechtsidee) Bangsa Indonesia, yaitu: Pancasila. Berkaitan dengan cita hukum ini, B. Arief Sidharta mengemukakan bahwa cita hukum Pancasila dan asas-asas hukum ini berperan sebagai “guiding principles” dan batu uji proses pembentukan perundangundangan dan pembentukan hukum melalui yurisprudensi (dan praktik hukum). Jadi, tata hukum yang akan dibangun itu secara hierarkhis piramidal tersusun atas Cita Hukum Pancasila, Asas-asas Hukum Nasional, dan kaidah-kaidah Hukum Positif yang terdiri atas perundang-undangan, yurisprudensi, pranata dan kaidah Hukum Adat sepanjang masih hidup dalam kenyataan an belum diangkat menjadi ketentuan undang-undang, kaidah-kaidah Hukum Islam sejauh sudah diresepsi dalam Hukum Adat atau sudah menjadi ketentuan undang-undang, dan hukum kebiasaan11. 11 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Pada tulisan yang dikemukakan oleh B. Arief Sidharta mengenai cita hukum Pancasila, disebutkan juga bahwa cita hukum Pancasila berperan juga salah satunya sebagai “guiding principles” dan batu uji dalam praktik hukum. Dengan demikian, baik penggunaan kewenangan pengemban profesi notaris, maupun produk hukumnya berupa akta otentik, harus merujuk dan dapat diuji dengan cita hukum Pancasila. FILSAFAT HUKUM-NYA INDONESIA ADALAH FILSAFAT HUKUM PANCASILA Pada intinya, Darji Darmodiharjo mengemukakan bahwa suatu ideologi adalah hasil dari suatu filsafat yang sudah sampai pada kesimpulan. Bila ideologi tersebut disepakati untuk digunakan oleh suatu negara, maka ideologi itu akan menjadi suatu ‘ideologi negara’ atau ‘dasar negara’. Bila ideologi tersebut dimasukkan dan dikonkretkan menjadi kaidah hukum, maka akan menjadi ‘hukum dasar’ yangmana ideologi tersebut akan masuk dan menjiwai ke setiap peraturan perundang-undangan dari negara tersebut. Selanjutnya bila Pancasila sebagai pandangan hidup atau ideologi yang menjadi hukum dasar tersebut dimasukkan ke dalam sistem filsafat hukum dari suatu negara, maka filsafat hukum-nya Indonesia adalah filsafat hukum yang ber-ideologi Pancasila atau dengan kata lain: filsafat hukum Pancasila. Memang jika direnungkan lebih mendalam mengenai hubungan antara sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Cet. 2 Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm. 81 107 filsafat hukum Pancasila dengan 4 (empat) amandemen yang telah dilakukan terhadap hukum dasar-nya Indonesia; maka dapat diajukan pertanyaan sebagaimana yang ditanyakan oleh Sunaryati Hartono12: Masihkah UUD kita setelah empat kali diamandemen, mencerminkan Falsafah Hukum itu? dan Haruskah amandemen ke-5 dan seterusnya nanti juga masih setia pada Falsafah Hukum Pancasila itu? SIAPA YANG DIMAKSUD DENGAN NOTARIS ? Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya13. Adapun yang dimaksud dengan ‘UndangUndang ini’ pada definisi di atas tidak lain adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Untuk selanjutnya dalam penulisan ini, undang-undang tersebut akan disebut sebagai ‘UUJN No. 2/2014’). FUNGSI NOTARIS Menilik lebih jauh mengenai definisi Notaris sebagaimana tersebut di atas, dapatlah kiranya didapat suatu gambaran dan diprediksi mengenai fungsi dari pengemban profesi Notaris. Prediksinya tidak lain adalah bahwa fungsi dari pengemban profesi notaris kemungkinan 12 13 Sunaryati Hartono dalam kumpulan karangan: Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Penyunting), Butir-butir Pemikiran dalam hukum – Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H., Cet. I, Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm. 149. Definisi ‘Notaris’ tersebut dituangkan dalam pasal 1 angka 1 UUJN No. 2/2014. 108 besar berhubungan dengan pembuatan akta otentik, bukti-bukti tertulis, beserta dengan segala sesuatu yang menyertainya dan yang merupakan turunan dari pembuatan akta otentik tersebut. Tan Thong Kie menyebutkan dalam bukunya14 bahwa John Henry Merryman menulis dalam bukunya yang berjudul the Civil Law Tradition: Our notary public is a person of very slight importance. The Civil Law notary is a person of considerable importance. He serves three principle functions: (1) He drafts important legal instruments, such as wills, corporate charters, conveyances and contracts. (2) He authenticates instruments; an authenticated instruments (called everywhere in the Civil Law world a public act) has special evidenciary effects: it conclusively establishes that instrument itself is genuine and that what it recites accurately, represents what the parties said and what the notary saw and heard. (3) He acts as a kind of public record office by retaining a copy of every instrument he prepares and furnishes authenticated copies on request. Ke-3 (ketiga) fungsi pokok yang disampaikan oleh John Henry Merryman tersebut sangat menggambarkan fungsi pokok dari pengemban profesi Notaris yang ada pada ranah hukum Eropa Kontinental. Dalam ‘dunia kenotariatan’, pengemban profesi Notaris yang ada pada ranah hukum Eropa Kontinental sering disebut sebagai Latin-style notary. 14 Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Cet.3, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2013, hlm. 449. KEWENANGAN NOTARIS DAN AKTA OTENTIK Dilihat dari kewenangannya, pengemban profesi notaris sebagai pejabat umum diberikan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan sebagian tugas pemerintah dalam bidang hukum perdata dengan membuat akta otentik. Kewenangan tersebut diejawantahkan menjadi kaidah hukum dan dituangkan dalam pasal 15 ayat (1) UUJN No. 2/2014 yang pada intinya menyebutkan bahwa notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari pasal 15 UUJN No. 2/2014, Notaris berwenang pula: a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan foto kopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat Akta risalah lelang. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dari pasal 15 UUJN No. 2/2014, ayat (3)-nya juga menyebutkan bahwa notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terlihat bahwa kewenangan yang ada pada Pasal 15 ayat (1) dan (2) adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yang mengatur jabatan notaris, sedangkan kewenangan pada pasal 15 ayat (3)-nya diberikan oleh peraturan perundangundangan lain, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2001 Tentang Perseroan Terbatas, dan lain sebagainya. Dengan demikian berdasarkan pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN No. 2/2014, dapat dilihat bahwa ternyata pengemban profesi notaris memiliki kewenangan yang begitu luas yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adapun kewenangan yang relevan dengan pembahasan tulisan ini adalah salah satu dari sekian banyak kewenangan pengemban profesi notaris, yaitu kewenangannya untuk membuat perjanjian dalam bentuk akta otentik. Adapun yang dimaksud dengan akta otentik didefinisikan dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: “Akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh 109 undang-undang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu ditempat di mana akta itu dibuatnya” Mengenai definisi akta otentik tersebut, GHS. Lumban Tobing merinci unsurunsurnya sebagai berikut15: a. Akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau “dihadapan” (ten overstaan) seorang pejabat umum. b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang. c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. PENGGUNAAN KEWENANGAN DAN PERJANJIAN YANG MINIM APEK AKSIOLOGI Berkaitan dengan salah satu kewenangan pengemban profesi notaris untuk membuat perjanjian dalam bentuk akta otentik, sudah selayaknya dan sepantasnya bahwa perjanjian yang dibuatnya tersebut tidak memihak, menjamin kepastian hukum dan memberikan manfaat yang baik. Kelayakan dan kepantasan tersebut tentunya sangat diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi, sebagai manusia biasa, dengan berbagai sebab dan alasan, baik disengaja maupun tidak, seorang pengemban profesi notaris berpotensi membuat suatu perjanjian yang ‘berat sebelah’, tidak begitu memberikan kepastian hukum, atau bahkan berpotensi 15 GHS. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1980, hlm. 42. 110 untuk melanggar atau melawan hukum sehingga tidak mendatangkan manfaat yang baik bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Notaris dapat saja lebih mengakomodir kepentingan dari salah satu pihak dan cenderung hanya mengakomodir unsur esensial atau kepentingan yang paling mendasar dari salah satu pihak yang lainnya. Sebagai contoh, seorang calon pihak yang bermaksud untuk menyewakan benda tetap miliknya menghubungi seorang notaris dan meminta notaris tersebut untuk membuatkan perjanjian sewa menyewa. Calon pihak yang menyewakan tersebut mengatakan kepada notaris bahwa honorarium atas pembuatan akta perjanjian sewa menyewa tersebut ditanggung 50 % (lima puluh persen) oleh dirinya selaku calon pihak yang menyewakan dan 50 % (lima puluh) persen lagi akan ditanggung oleh calon pihak penyewa. Akan tetapi, selain honorarium tersebut, calon pihak yang menyewakan menjanjikan akan memberikan bonus kepada notaris yangmana bonus tersebut tidak boleh diinfokan kepada siapapun, termasuk calon pihak penyewa. Terkait dengan pemberian bonus, calon pihak yang menyewakan tersebut menyampaikan pesan-pesan tertentu yang pada intinya meminta agar dirinya lebih mendapatkan perlindungan dan keuntungan dari perjanjian sewa menyewa tersebut. Karena adanya janji bonus yang akan diberikan oleh calon pihak yang menyewakan, maka notaris tersebut mengikuti keinginan dari pihak yang menyewakan untuk membuat perjanjian yang lebih melindungi dan menguntungkan calon pihak yang menyewakan. Pada contoh tersebut, notaris terlihat berpihak pada salah satu pihak dalam perjanjian sewa tersebut. Contoh lain yang terkait dengan kepastian hukum adalah pendapat hukum dan akta yang dibuat oleh notaris yang sesungguhnya merupakan penyelundupan hukum. Para pihak yang melakukan perbuatan hukum pinjam meminjam uang dengan jaminan benda tetap dalam bentuk tanah dan bangunan, seharusnya dibuatkan perjanjian pinjam meminjam uang dan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dibuatkan akta pembebanan hak atas tanah dan bangunan. Akan tetapi akta yang dibuatnya adalah perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian pengikatan jual beli yang telah dibayar lunas, dan surat kuasa untuk menjual. Perjanjian pengikatan jual beli yang telah dibayar lunas dan surat kuasa untuk menjual tersebut dibuat sebagai ‘pengganti’ dari akta pembebanan hak atas tanah dan bangunan. Tujuannya tidak lain adalah apabila pihak penyewa tidak dapat membayar kembali pinjaman uangnya, maka pihak yang menyewakan dapat menggunakan kuasa jual yang ada padanya untuk secara langsung mengalihkan hak atas tanah dan bangunan tersebut kepada dirinya. Hal-hal seperti pada contoh di atas yang menurut hemat penulis dimaksudkan sebagai suatu penggunaan kewenangan dan perjanjian yang minim aspek aksiologis. Menurut pendapat penulis, hal-hal tersebut di atas sangat mungkin terjadi karena kurangnya perhatian atau kepedulian terhadap aspek aksiologis dari pembuatan suatu perjanjian. Oleh karenanya, sudah seharusnya pengemban profesi notaris memperhatikan dan memberikan makna atau nilai aksiologis tertentu pada perjanjian yang dibuatnya. SUMPAH / JANJI KEPATUHAN DAN KESETIAAN NOTARIS Pengemban profesi notaris memiliki kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Akan tetapi kewenangannya tersebut tidak boleh digunakan sebelum dirinya melaksanakan kewajiban tertentu sebagaimana diamanatkan dalam pasal 4 ayat (1) UUJN. Pasal 4 ayat (1) UUJN tersebut pada intinya menyebutkan bahwa sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Bunyi dari sumpah/janji Notaris adalah sebagai berikut: “Saya bersumpah/berjanji: Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Jabatan Notaris serta peraturan perundangundangan lainnya. Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak. Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris. Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, 111 tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun”. 16 Pada sumpah atau janji Notaris tersebut di atas, disebutkan bahwa dirinya sebagai Notaris akan patuh dan setia, salah satunya, kepada Pancasila. Menurut hemat penulis, hal ini dapat diartikan bahwa setiap nilainilai yang terkandung dalam Pancasila, harus disertakan atau harus menjiwai setiap penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh pengemban profesi notaris; tidak terkecuali pada saat dirinya membuat perjanjian bagi para pihak. Selain itu sebelum menjalankan jabatannya sebagai Notaris, dirinya bersumpah/berjanji untuk tidak memihak. Dengan demikian, dalam menggunakan kewenangannya, termasuk membuat dan untuk kemudian membacakan perjanjian bagi para pihak, seorang Notaris harus menjaga salah satu aspek aksiologis dari filsafat hukum Pancasila, yaitu keadilan. Menjadi sesuatu yang tidak adil bila seorang Notaris lebih membuat perlindungan hukum atau mengakomodir berbagai kepentingan hanya bagi kliennya yang menunjuknya sebagai Notaris yang menangani pembuatan perjanjian dengan counterpart bisnisnya. Penegasan mengenai hal ini dapat ditemui juga pada pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN No. 2 Tahun 2014 yang berbunyi: “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan 16 Bunyi sumpah atau janji Notaris tersebut disebutkan secara eksplisit pada pasal 4 ayat (2) UUJN No. 30/2004 112 pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.” Kewajiban untuk tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dengan perjanjian merupakan kewajiban yang berasal dari peraturan perundangundangan yang harus ditaati oleh pengemban profesi notaris. Adapun peraturan perundang-undangan tersebut dijiwai oleh Pancasila sebagai filsafat hukumnya Indonesia dan juga sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. ASPEK AKSIOLOGIS DALAM FILSAFAT HUKUM PANCASILA Sebagaimana telah dibahas di atas, tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch adalah: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Tujuan hukum tersebut dalam perspektif filsafat hukum tidak lain adalah merupakan aspek aksiologis dari filsafat hukum. Jika dipersepsi bahwa Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm menurut Stufen bau des Recht Theorie-nya Hans Kelsen; maka materi muatan dari aspek aksiologis (keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan) secara lebih rincinya harus mengandung keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang bersumber dari Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia atau sebagai grundnorm-nya Indonesia. Hal ini tercermin juga dalam alinea pertama dari penjelasan umum UUJN No. 2/2014 yang pada intinya menyebutkan bahwa: “Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila…”. Mengenai salah satu aspek aksiologis, yaitu: Keadilan; Mahfud MD17 pernah menyampaikan pada intinya sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi landasan dalam hidup bermasyarakat yang berkeadilan sosial, sehingga mereka yang lemah secara sosial dan ekonomis tidak ditindas oleh mereka yang kuat secara sewenang-wenang. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab mengamanatkan kepada para pengemban profesi notaris untuk menghargai dan melilndungi hak-hak asasi manusia yang non-diskriminatif, termasuk pada saat pengemban notaris tersebut menjalankan kewenangannya dengan pembuat akta otentik. Keadilan juga dapat berarti tidak berat sebelah, berpihak pada kebenaran, dan tidak sewenang-wenang. Aspek aksiologis keadilan harus senantiasa diperhatikan dan diamalkan pada saat pengemban profesi notaris melaksanakan kewenangannya untuk membuat produk akta perjanjian. Jika aspek keadilan diperhatikan dan diamalkan; maka para pengemban profesi notaris akan berlaku adil dan produk akta perjanjiannya akan mencerminkan keadilan tersebut. Para pihak yang terlibat dengan perjanjian tersebut akan merasakan bahwa dirinya masing-masing diperlakukan secara adil. Mengenai aspek kepastian hukum; pengemban profesi notaris tentunya harus menguasai kaidah hukum atau hukum positif yang berkaitan dengan materi perjanjian yang dikehendaki oleh para pihak, mengetahui dan melaksanakan prosedurprosedur formal dalam pembuatan, pembacaan, dan penandatanganan akta 17 Lihat Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006, hlm. 17-18. otentik. Selama hal-hal tersebut dilaksanakan sesuai kaidah hukumnya dan telah terpenuhi seluruhnya, maka pastilah di dalam produk hukum yang dibuatnya, yang dalam hal ini adalah akta perjanjian terkandung kepastian hukum yang dijiwai oleh Pancasila. Dikatakan demikian karena setiap kaidah hukum yang berlaku di Indonesia, pada saat pembentukkannya telah dijiwai oleh Pancasila. Jika pengemban profesi notaris mengikuti kaidah hukum tersebut, maka pastilah produk hukum yang dibuatnya turut dijiwai oleh aspek kepastian hukum-nya Pancasila. Mengenai aspek aksiologis lain, yaitu; Kemanfaatan; selama tidak bertentangan dengan hukum positif, apabila aspek keadilan dan kepastian hukum sudah terpenuhi, maka pastilah perjanjian yang dibuat oleh pengemban profesi notaris tersebut akan membawa manfaat yang baik bagi para pihak yang terkait dengan perjanjian tersebut. Masing-masing pihak akan merasa mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum dari perjanjian tersebut dan merasa diperlakukan secara adil. Manfaat itupun akan terasa bagi pengemban profesi notaris, yaitu berupa kepercayaan yang utuh dari masing-masing pihak, karena pengemban profesi notaris tersebut tidak dapat ‘dibeli’ maupun ‘diancam’ oleh pihak manapun dan dengan cara apapun. Selain itu, pengemban profesi notaris tersebut telah memegang teguh sumpah jabatan dan kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku baginya. Jika para pengemban profesi notaris sudah senantiasa menjadikan aspek aksiologis dari filsafat hukum Pancasila sebagai nilai-nilai yang selalu 113 ‘dihembuskan’ pada setiap pelaksanaan kewenangannya dan setiap produk akta otentik yang dibuatnya; maka hal tersebut akan menjadi suatu budaya hukum-nya pengemban profesi notaris. Seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo pada intinya bahwa budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan daam mempraktekkan hukumnya18. KESIMPULAN Dalam melaksanakan kewenangannya, salah satunya dalam membuat perjanjian dalam bentuk akta otentik, pengemban profesi notaris tidak hanya sebatas mengkonstatir (menyatakan) keinginan para pihak dalam suatu akta otentik; tetapi harus juga senantiasa memperhatikan dan peduli pada aspek aksiologis yang didapat dari filsafat hukumnya Indonesia, yang tidak lain adalah aspek aksiologis yang terkandung di dalam filsafat hukum Pancasila. Aspek aksiologis tersebut tidak lain adalah: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang terkandung di dalam filsafat hukum Pancasila. Adapun cita hukum Pancasila adalah merupakan “guidance principles” dan batu uji dari penggunaan kewenangan pengemban profesi notaris dan produk hukum akta otentik yang dibuatnya. Ketidak-pedulian pada aspek aksiologis yang terkandung dalam filsafat hukum Pancasila sesungguhnya adalah pengingkaran terhadap sumpah jabatan dan kewajibannya selaku pengemban profesi notaris. Sebaliknya, kepedulian pada aspek aksiologis yang terdapat di dalam filsafat hukum Pancasila nantinya akan menjadi 18 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Indonesia, Jakarta: Kompas, 2006, hlm. 96. 114 budaya hukum dari para pengemban profesi notaris. SARAN Karena dalam melaksanakan kewenangannya, pengemban profesi notaris harus memperhatikan dan ‘menghembuskan’ atau menghidupkan nilainilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang jiwanya berasal dari Pancasila dalam setiap produk akta otentik yang dibuatnya; maka pengemban profesi notaris haruslah mengetahui dan mempelajari filsafat hukum Pancasia sebagai filsafat hukumnya Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Anthon Sutanto, Ilmu Hukum Non Sistematik “Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia”, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010. B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Cet. 2, Bandung: Mandar Maju, 2000 Darji Darmodiharjo, Menatap IndonesiaSebuah Antologi Filsafat Hukum dalam Bingkai Negara Pancasila, Cet. Kesatu, Bandung: Jendela Mas Pustaka, 2010. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, PokokPokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2004. GHS. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1980. James Garvey, Dua puluh Karya Filsafat Terbesar, Cet. ke-5, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010. Mochtar Kusuma-atmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Citra, 1972. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006. Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Indonesia, Jakarta: Kompas, 2006. Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Cet. I, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013. Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri (Penyunting), Butir-butir Pemikiran dalam hukum – Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H., Cet. I, Bandung: Refika Aditama, 2008. Tan Thong Kie, Studi Notariat dan SerbaSerbi Praktek Notaris, Cet.3, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2013. 115