ANALISA HASIL SURVAI SUMBER DAYA MANUSIA KEARSIPAN PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA I. Sumber Daya Manusia Jumlah Tenaga Kerja Dari hasil survey menunjukkan 100% respondent mempunyai petugas pengurusan surat. Meratanya keberadaan petugas tersebut menunjukkan: 1. Keseriusan institusi yang bersangkutan dalam pengurusan surat yang menjadi salah sumber informasi untuk menjalankan operasi kegiatan sehari-hari. 2. Apresiasi yang tinggi terhadap permasalahan pengurusan surat. Pengurusan surat yang baik menjadi syarat penting bagi terjaminnya komunikasi tertulis institusi dengan pihak lain. Dalam beberapa penelitian, banyak surat yang beredar atau dikelola dipakai sebagai indikator intensnya aktivitas intitusi yang bersangkutan. Pengurusan surat yang baik tidak berhenti pada penunjukkan petugas tetapi juga memperhatikan banyaknya petugas itu sendiri yang dihubungkan dengan volume surat yang dikelola. Kantor Walikotamadya Jakarta Pusat yang menerima surat lebih dari 30 surat perharinya menempatkan 9 orang pertugas untuk mengelolanya. Hal yang sama juga terjadi pada Kantor Walikotamadya Jakarta Selatan. Tentunya yang dimaksud dari lebih dari 30 adalah ratusan surat berbagai macam jenis yang perlu dikelola setiap hari. Dengan demikian keberadaan petugas khusus memang diperlukan untuk menjamin pendistribusian komunikasi tertulis berjalan dengan lancar. Hal yang menarik dapat terlihat pada Dinas Pekerjaan Umum Pemprov DKI Jakarta yang memperkerjakan 21 orang dan Biro Umum sebanyak 16 orang untuk mengurus persuratan. Besarnya jumlah petugas jelas menandai banyak dan pentingnya surat yang harus dikelola dan implikasi yang diharapkan adalah terekamnya komunikasi tertulis organisasi dan kemudahan dalam penemuan kembali. Sedangkan Dinas Kebersihan, Bapeda dan Dilklat Prop masing-masing memperkerjakan 5, 4 dan 4 orang untuk mengelola surat. Dilihat dari tingkat pendidikan petugas penanganan surat, 75% instansi sudah mempunyai petugas yang berpendidikan S1 sedangkan sisanya (25%) hanya memiliki petugas pengelola surat berpendidikan setingkat SLTA. Bagi instansi yang sudah memiliki petugas S1 yang diperlukan adalah keterampilan dan pemahaman yang lebih dalam mengenai manajemen kearsipan agar mereka lebih memahami kontribusi kerja mereka bagi organisasi secara keseluruhan. Sedangkan bagi instansi yang memiliki tenaga tertinggi hanya berpendidikan SLTA, peningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dapat dilakukan melalui program pendidikan D3 dan pelatihan di bidang penanganan kearsipan dan dokumen. Perlunya peningkatan kualitas SDM ini tercermin dari pendapat responden sebanyak 87,5% yang belum puas terhadap kinerja para petugas pengelola surat. Seluruh responden sepakat bahwa untuk meningkatkan kinerja tersebut perlu diadakan peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang kearsipan. Walaupun 87,5% responden pernah melakukan pelatihan di bidang kearsipan tetapi hasilnya belumlah memuaskan. Hal ini tentu saja menuntut perubahan yang mendasar dalam pemberian pelatihan kearsipan dengan menggunakan pendekatan baru. Pada prinsipnya survai awal ini memberikan informasi bahwa pada posisi pekerjaan yang memerlukan pengolahan kearsipan terdapat petugas khusus yang menangani. Sebagai contoh 75% responden telah memiliki tenaga khusus yang mengelola kearsipan di Cabang Tata Usaha (CTU) dan jumlah makin besar yaitu 87,5% dari responden telah memiliki tenaga kearsipan di Induk Tata Usaha (ITU). Responden yang tidak memilki tenaga khusus pengelola kearsipan menyadari perlunya kehadiran petugas khusus kearsipan di CTU dan ITU di institusi mereka. Dari uraian di atas kita bisa melihat bahwa secara kuantitatif pada umumnya responden berpendapat bahwa tenaga kearsipan tidak menjadi masalah dalam konteks institusi di lingkungan responden. Masalah baru muncul ketika berbicara pada kualitas tenaga itu sendiri yang belum memuaskan kinerjanya. Kebutuhan Sumber Daya Manusia Menyangkut jumlah Sumber Daya Manusia Kantor Walikota Jakarta Selatan mengusulkan adanya penyediaan tenaga kearsipan dari mulai tingkat kelurahan sampai kotamadya. Penyediaan ini dilakukan melalui pelatihan dan pendidikan D3 kearsipan dengan peserta diperkirakan 100 orang. Sementara Dinas Pekerjaan Umum mengusulkan adanya SDM untuk tugas belajar sebanyak 10 orang. Responden lain walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan jumlah tenaga kearsipan, mereka mengusulkan pendidikan kearsipan setingkat D3. Adanya permintaan penyediaan tenaga kearsipan dari responden dapat diinterpertasikan sebagai berikut: 1. Adanya apresiasi yang tinggi terhadap pentingnya data dan informasi dalam dokumen atau arsip untuk menunjang kelancaran administrasi organisasi 2. Adanya pengakuan bahwa pengelolaan arsip yang baik dan benar tidak saja menuntut keterampilan tetapi juga pengetahuan, pemahaman yang paripurna mengenai manajemen kearsipan dan peranannya dalam organisasi 3. Adanya tuntutan penanganan karsipan yang lebih serius mengingat tidak saja jumlah volume arsip yang besar dan perlu dikelola secara baik tetapi perlu juga dibuat suatu sistem terpadu guna menjamin arsip yang tercipta dapat tertata dengan baik dan dapat diketemukan ketika diperlukan. Peningkatkan kinerja petugas kearsipan bisa dilakukan dengan memberikan perhatian kepada pendekatan mereka secara maksimal “reward” dan “punishment” baik dengan melakukan (ganjaran dan hukuman) atas prestasi kerja mereka. Pendanaan khusus bagi kegiatan kearsipan dan kesejahteraan petugas seperti yang diusulkan oleh beberapa responden bisa menjadi awal cermin komitmen dan dukungan tinggi pimpinan terhadap masalah kearsipan. Akan tetapi hal ini janganlah dijadikan tradisi karena dapat menimbulkan persepsi salah yaitu tidak menjanjikannya profesi kearsipan, tidak mandirinya SDM yang bersangkutan akibat terus mendapat perlindungan dan keistimewaan. Isu jabatan fungsional arsiparis sepintas dapat menjadikan daya tarik sendiri terhadap profesi ini. Tetapi jika kita melihat lebih jauh dalam penerapannya lebih banyak kesulitannya daripada kemudahan. Masih bingung dan tidak pahamnya pimpinan terhadap sistem penilaian angka kredit, adanya usaha dari pimpinan sendiri untuk menahan laju kenaikan pangkat arsiparis sampai kecilnya tunjangan fungsional mewarnai kesulitan penerapan jabatan fungsional ini. Bukti lain yang ditemukan mengenai belum berjalannya penerapan jabatan fungsional kearsipan dari survai ini adalah hanya 25% responden yang telah mempunyai arsiparis fungsional dan hanya 37,5% yang mempunyai program pengembangan jabatan fungsional. Minimnya perhatian terhadap jabatan fungsional arsiparis semakin menguatkan argumentasi bahwa cara menarik SDM yang lebih andal di bidang kearsipan dengan memakai janji pemberian jabatan fungsional tidaklah efektif. Dengan demikian perlu dicari pendekatan lain untu mendapatkan SDM lebih baik di bidang kearsipan. Cara lain sebagai konsekuensi dari mulai diterapkannya konsep “learning organization” (organisasi pembelajaran) adalah meminta karyawan yang telah mengeluti bidang kearsipan. untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan di bidang manajemen kearsipan dengan konsep baru. Pendidikan manajemen kearsipan dengan konsep baru adalah pendidikan yang berfokus pada kemampuan, pemahaman dan penerapan secara baik dan benar, kemampuan prinsip manajemen teknologi informasi, keterampilan pengorganisasian informasi dalam konteks kearsipan, pemahaman akan nilai dan dampak informasi, sistem administrasi atau manajemen perkantoran, keuangan dan akutansi, keterampilan komunikasi, dan bahasa asing. Isi pendidikan ini dirancang untuk memungkinkan seorang yang telah mengikuti untuk dapat mengembangkan tidak saja dalam konteks tingkat pendidikan tetapi juga pengembangan karir yang bersangkutan. Seseorang yang memulai karirnya di bagian kearsipan tidak harus menutup karirnya di tempat yang sama. Pendekatan baru dalam pendidikan kearsipan ini akan sangat membekali keterampilan peserta tidak saja dalam rana kearsipan tetapi juga dalam bidang lain yang lebih luas. Dengan demikian seorang yang telah melalui pendidikan ini dan kemudian bekerja di bagian kearsipan pada suatu hari akan meningkatkan karirnya di bidang lain dengan pengetahuan yang pernah didapat ketika mengikuti pendidikan manajemen kearsipan yang pasti berguna seperti manajemen dan keuangan serta keterampilan teknologi informasi. Sedangakan pengetahuan dan pengalaman penerapan manajemen kearsipan akan menjadi ideologi yang dipegang yang bersangkutan dalam melakukan pekerjaan di bidang lain. Penerapan model kurikulum pendidikan yang diberi nama manajemen kearsipan dan informasi diharapkan dapat menarik banyak pihak atau karyawan di lingkungan Pemprop DKI Jakarta. Pengalaman membuktikan bahwa tawaran untuk mengikuti pendidikan kearsipan dengan pola lama sangat kurang mendapatkan tanggapan bukan saja dari institusi tetapi dari karyawan itu sendiri. Hal ini tidak terlepas citra yang sudah terbentuk di lapangan bahwa kearsipan hanya mengurusi persuratan dan kertas yang berantakan sehingga tidak memberi tantangan dari segi intelektual dan pengembangan karir Kareteristik Sumber Daya Manusia Di samping itu peningkatan keterampilan dan pengetahuan di bidang manajemen kearsipan yang paripurna akan mengantarkan staf kearsipan akan pemahaman pentingnya kontribusi kearsipan dalam konteks penerapan administrasi institusi dan manajemen itu sendiri. Keadaan ini akan mengantarkan pada pemunculan paradigma baru mengenai seorang arsiparis yang perlu diberi tanda kutip. Pelatihan dan pendidikan di bidang manajemen kearsipan akan mengantarkan pada pemunculan paradigma baru mengenai seorang pengelola arsip atau arsiparis. Gambaran kareteristik pengelola arsip atau arsiparis paradigma baru adalah sebagai berikut: 1.3.1. Arsiparis sebagai pemasok informasi (information supplier) Pada saat ini pemahaman sebagian besar masyarakat mengenai arsiparis berkisar pada hal berikut ini: Pencatat, penyortir, penyampai dan penyimpan surat Penjaga gudang kertas informasi Takut akan perubahan dan tantangan, bersikaf pasif, tidak kreatif Profesi kelas dua (second class profession) Menjadi arsiparis sering bukan menjadi suatu cita-cita seseorang. Banyak hal yang menyebabkan keadaan ini, mulai dari pekerjaan yang dianggap membosankan sampai gaji yang tidak memadai. Persepsi negatif masyarakat bukan tanpa alasan melihat apa yang dikerjakan dan keadaan yang dimilki oleh para arsiparis dalam kenyataan tidaklah jauh berbeda. Pekerjaan arsiparis pada saat ini intinya masih berkisar pada pengorganisasian iinformasi guna menjamin kemudahan penemuan kembali dan menunggu waktu penyusutan arsip. Aktivitas ini telah menjadi rutin dan ritual yang berakibat matinya kreatifitas. Kontribusi arsiparis bagi pencapaian misi dan tujuan organisasi terkesan minimal terutama pada tingkat manajemen. Untuk merubah citra yang tidak menguntungan ini, perlu menambahan aktivitas arsiparis yaitu mempersiapkan informasi yang terdapat pada arsip untuk digunakan manajemen dalam pengambilan keputusan. Kemampuan menyediakan informasi yang tepat, akurat, relevan, dan cepat yang diperlukan pihak manajemen menuntut seorang arsiparis untuk mempunyai keterampilan dan pemahaman: 1. Nilai dan dampak informasi bagi organisasi 2. Kebutuhan informasi manajemen 3. Bentuk kemasan informasi yang tepat bagi organisasi 4. Aktivitas manajemen Dengan demikian arsiparis dapat menjadi pemasok informasi yang berperan strategis dan signifikan dalam menunjang perencanaan dan operasional institusi. 1.3.2. Terampil Teknologi Informasi Penerapan teknologi informasi di hampir semua lini kegiatan organisasi tak dapat dihindarkan dan telah menjadi suatu keharusan dalam rangka memenangkan hati pelanggan dan mengalahkan pesaing. Keberadaan dan pemakaian komputer untuk menyimpan menciptakan, menyimpan, menemukan kembali dan menyebarkan informasi organisasi yang cepat dan tepat mendorong terciptanya arsip dalam bentuk media baru seperti disket, hard disk, Compact Disc. Disamping itu layanan On-line informasi telah menjadi ciri utama manajemen kantor modern. Perkembangan ini telah memberikan dampak besar bagi arsiparis dalam memperlakukan media baru dan layanan on-line informasi dengan baik dan benar. Oleh karena itu arsiparis dituntut dapat mengoperasikan komputer dan memahami penggunaan software seperti Microsoft Office secara maksimal serta memahami perlindungan dan pelestarian media baru ini agar ia tetap dapat diakses atau dipakai informasinya sesuai nilai guna yang menyertai. Penguasaan dan keterampilan dalam menggunakan internet dalam rangka mempercepat pendapatan dan penyebaran informasi yang diperlukan juga menjadi ‘feature” seorang arsiparis andal. Kemampuan ini akan sangat berguna jika yang bersangkutan ditempatkan pada bagian lain. Pada survai yang dilakukan terlihat bahwa 100% responden yang diteliti tidak mempunyai staf yang ditugaskan khusus untuk menangani komunikasi dengan menggunakan sarana internet atau populernya disebut E-mail. Di masa yang akan dating komunikasi dengan cara elektronik akan semakin tinggi. Disamping itu 37% responden sudah menciptakan arsip non kertas/media baru seperti foto,kaset, film, video, disket dan CD-ROM. Penciptaan ini pada gilirannya akan menuntut keahlian penggunaan teknologi informasi yang harus dikuasai oleh pengelola atau arsiparis. 1.3.3. Keterampilan Manajerial Seorang yang mengikuti pelatihan atau pendidikan di bidang manajemen kearsipan perlu diberikan pengetahuan dan keterampilan dalam penerapan manajemen baik di institusi tempat mereka bekerja Kemampuan dan penguasaan dalam mengerjakan fungsi manajemen secara paripurna dan terpadu menyangkut perencanaan, penganggaran, pengarahan dan kepemimpinan, penempatan staf, pengawasan dan pengevalusian kegiatan akan sangat membantu yang bersangkutan untuk bekerja di bagian manapun ia ditugaskan kelak oleh pimpinan. Kesiapan seorang yang telah menjalani pendidikan manajemen kearsipan membuktikan bahwa kulitas SDM kearsipan dapat pula bekerja dengan baik di lini lain di lembaga yang bersangkutan. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa dengan kemampuan manajerial yang paripurna dan terpadu dalam penerapan fungsi manajemen seseorang yang telah mengikuti manajemen kearsipan siap untuk bekerja di semua lini organisasi. 1.3.4. High Profile Pengertian high profile bagi seorang arsiparis atau bagi seseorang yang bekerja di bidang kearsipan adalah ungkapan percaya diri karena pekerjaan yang dilakukan diyakini memberikan sumbangan yang signifikan bagi keberhasilan pencapaian tujuan organisasi atau lembaganya. Akan tetapi perlu diperhatikan disini perilaku high profile seorang arsiparis atau staf bidang kearsipan harus ditunjang oleh kenyataan bahwa yang bersangkutan mempunyai kemampuan dan keterampilan yang mendalam dii bidang manajemen kearsipan, manajemen dan teknologi informasi. Sehingga seorang arsiparis berani mengatakan Sir, I exist. 1.3.5. Keahlian Komunikasi Kemampuan komunikasi sering menjadi factor penentu jenjang karir seseorang dalam organisasi. Kemampuan komunikasi seseorang tidak saja mencerminkan kemampuan merumuskan pikiran tetapi juga kemampuan untuk memahami dan menyebarkan isi pesan atau informasi pada kondisi dan konteks yang tepat. Bagi seorang arsiparis kemampuan komunikasi dapat digunakan dalam memberikan layanan kearsipan yang profesional. 1.3.6. Penggunaan Kemampuan Intelektual Jika loyalitas kepada bagi organisasi adalah keharusan, maka penggunaan kemapuan intelektual yang intensif dalam pekerjaan harus dijadikan tradisi bagi seorang arsiparis. Tantangan pekerjaan bernuansa intelektual seperti penilaian informasi, pengemasan informasi, presentasi di depan pimpinan dapat dilakukan dengan baik dan meyakinkan oleh seorang arsiparis. 1.3.7. Kemampuan Bahasa Pemakaian internet yang semakin membudaya dan mudah, posisi Jakarta sebagai kota Megapolitan dan Kota Jasa menuntut aparat pemerintah untuk mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Kemampuan bahasa asing ini memberikan keluasan dalam mendapatkan akses dan wawasan pengetahuan. Untuk seorang arsiparis penguasaan bahasa Inggris akan sangat membantu pemahaman teks dokumen sehingga mampu menilai kegunaan nilai informasi yang tertera pada media bagi organisasi. 1.3.8. Pengembangan Karir Tradisi yang berlaku sekarang ini bagi jenjang karir seorang arsiparis atau staf di bidang kearsipan adalah berawal sebagai pengelola arsip dan berujung sebagai pengelola kearsipan atau jika mungkin memegang jabatan fungsional kearsipan. Disini kita melihat bahwa tidak ada jenjang karir yang menjanjikan bagi seseorang yang mengawali karirnya atau ditempatkan di bidang kearsipan. Banyak alasan yang melatarbelakangi “mandeknya” jenjang karir seorang yang bekerja di bidang kearsipan. Salah satunya adalah kesan bahwa pekerja kearsipan tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pekerjaan di luar bidang kearsipan. Dengan program pelatihan dan pendidikan mulai dar, D1, D2, D3, S1 sampai S2 di bidang manajemen kearsipan, seseorang yang mengawali karirnya di bidang kearsipan dapat saja ditempatkan di bidang lain sesuai dengan tingkat pendidikan yang telah dimiliki. Disadari bahwa pencapaian sumber daya manusia kearsipan yang andal memerlukan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang relatif lama. Akan tetapi mempertimbangan manfaat yang sangat besar yang dapat disumbangan sumber daya manusia di bidang kearsipan bagi organisasi maka pengeluaran biaya dan lamanya pencapaian dapat tergantikan pada keuntungan yang lebih besar. Perubahan paradigma dalam kareteristik sumber daya manusia kearsipan akan banyak memberikan dampak positif bagi profesi arsip itu sendiri. Berikut ini digambarkan matriks pengelola kearsipan atau arsiparis paradigma lama dan baru: No Lama Baru 1. Penjaga arsip Penyimpan dan pemasok informasi bagi kepentingan organisasi 2. Gagap teknologi informasi Terampil teknologi informasi 3. Keterampilan klerikal Keterampilan manajerial 4. “Low profile” “High profile” 5. Minimal dalam penggunaan Maksimal kemampuan intelektual 6. Keterampilan bahasa penggunaan kemampuan intelektual asing Keterampilan bahasa asing tinggi rendah 7. dalam (Inggris) Awal dan akhir karir di tempat Awal dan akhir karir ada perubahan yang sama tidak saja dari segi tempat tetapi juga posisi yang lebih baik 8. Kemampuan komunikasi kurang Kemampuan komunikasi tinggi Pengembangan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia kearsipan melalui pembentukan pengelola kearsipan atau arsiparis paradigma baru diharapkan mampu “mendongkrak” citra profesi kearsipan, ketertarikan banyak pihak untuk mendalami manajemen kearsipan, apresiasi pimpinan terhadap pekerjaan kearsipan. II. Pelaksanaan Sistem Kearsipan Manajemen Kearsipan Seratus persen (100%) responden belum puas dengan manajemen kearsipan. Penyebab utama dari belum berjalannya manajemen kearsipan yang baik adalah disebabkan oleh minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) hal ini tercermin dari 75% responden yang berpendapat demikian. Sedangkan sisanya menyangkut pada system (25%) dan peralatan (37,5%). Sumber daya manusia, sistem dan peralatan merupakan tiga unsur utama dalam menunjang keberhasilan penerapan manajemen kearsipan. Adanya sistem yang baik akan menjamin konsistensi operasi suatu kegiatan kearsipan yang pada gilirannya akan memudahkan pencapaian tujuan organisasi. Sementara itu kehadiran peralatan sebagai unsur penunjang penerapan sistem juga menentukan bagai kelancaran berjalannya sistem yang telah ditentukan. Adanya sistem yang baku dan baik serta peralatan yang mecukupi jelas tidak mempunyai arti banyak tanpa didukung oleh keberadaan Sumber Daya Manusia yang andal. Sumber Daya Manusia yang lemah akan memberikan efek negatif yang besar bagi keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Pada lembaga responden yang diteliti, terlihat bahwa masih banyak (25%) yang berpendapat bahwa dibutuhkan waktu lama untuk mendapatkan arsip yang diperlukan yaitu lebih dari 5 menit. Lamanya pendapatan arsip yang diperlukan tentunya akan sangat menghambat proses pekerjaan administrasi organisasi yang akan berdampak buruk pada gilirannya pada kinerja organisasi itu sendiri. Pelaksanaan Sistem Kearsipan Pada prinsipnya pelaksanaan sistem kearsipan dasar sudah berjalan baik hal ini dapat dilihat dengan sistem pengurusan surat yang 87,5% responden melakukannnya dengan sistem sentralisasi untuk memudahkan koordinasi dan pengawasan komunikasi tertulis. Bukti lain yang ditemukan dalam survai poenelitian ini adalah 100% responden sudah mengerjakan pemisahan arsip yang masih sering dipakai (aktif) dengan arsip yang jarang digunakan. Pemisahan ini penting dalam rangka kemudahan dan kecepatan penemuan kembali arsip yang dibutuhkan dan proses penyusutan secara sistematis. Proses pemilihan arsip ini juga diidukung oleh pelaksanaan transfer arsip secara rutin dari Cabang Tata Usaha (CTU) ke Induk Tata Usaha (ITU). Disamping itu interaksi antar CTU dan ITU dalam hal kearsipan juga sangat tinggi yang ini terlihat bahwa 100% responden yang diteliti mengatakan bahwa mereka memanfaatkan arsip yang tersimpan pada ITU. Berjalannya pemanfatan arsip yang berada di ITU didukung pada kenyataan bahwa arsip yang berada di ITU telah ditata secara baik (100%) dengan didukung jumlah pengelola arsip yang memadai. Penyusutan dan Pemusnahan Arsip Kendala biaya dan Sumber Daya Manusia adalah dua faktor yang menyebabkan tidak terlaksananya program penyusutan pada 25% lembaga yang diteliti. Kedua faktor ini jelas merupakan dua sisi pada koin mata uang. Keduanya adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan. Tidak terlaksananya program penyusutan tentunya akan memberikan beban tersendiri bagi pengelolaan arsip di lembaga yang bersangkutan yang kemudian akan diikuti oleh masalah kacaunya arsip dan sulit penemuan kembali serta ruangan yang tidak lagi mencukupi. Akibatnya jelas bahwa pemanfaatan data dan informasi yang terdapat pada arsip tidak dapat dilakukan dalam rangka mendukung pengembilan kebijakan di lembaga yang bersangkutan. Pemusnahan arsip sebagai salah manifestasi kegiatan pelaksanaan Jadwal Retensi Arsip (JRA) telah dilakukan oleh 75% responden. Beberapa penelitian terdahulu di bidang kearsipan mengatakan bahwa hanya sekitar 5-10% arsip yang diciptakan akan disimpan permanen. Sedangkan sisanya harus dimusnahkan untuk menghindari beban finansial penyimpanan dan pengelolaan. Pelaksanaan pemusnahan sudah seharusnya merupakan kegiatan yang terencana dan terprogram dengan baik dan dilakukan secara konsisten. Dalam survai yang dilakukan ini hanya 50% responden yang melakukan kegiatan pemusnahan arsip secara rutin. Kendala utama bagi pelaksanaan pemusnahan secara rutin masih berkisar pada masalah sumber daya manusia, dana dan teknis (67,5%). Minimnya dana dan kurangnya Sumber Daya Manusia seakan telah menjadi kendala klasik dalam pelaksanaan manajemen kearsipan di banyak organisasi. Minimnya pengetahuan dan apresiasi pimpinan terhadap kearsipan serta citra Sumber Daya Manusia Kearsipan yang masih buram melengkapi kesulitan peberapan manjemen kearsipan. Bagi responden yang melaksanakan kegiatan pemusnahan, mereka meminta bantuan jasa pihak lain untuk membantu melaksanakan penyusutan arsip. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi biaya bagi lembaga yang bersangkutan. Sarana dan Prasarana Sebagian besar responden yang disurvey (87,5%) telah memiliki ruang penyimpanan arsip dengan luas mulai dari 16 meter persegi. Ruang arsip terletak pada area yang sama dengan kantor utama lembaga yang bersangkutan. Kedekatan tempat penyimpanan arsip akan memudahkan pentransferan arsip inaktif dari unit kerja ke “central file” atau dari CTU ke ITU. Hal ini juga akan memudahkan dalam pemakaian arsip inaktif juga jika akan digunakan kembali. Kelengkapan sarana penunjang seperti rak, lemari arsip, ventilasi dan boks tidak dimliki oleh 12,5% yang telah memiliki ruang penyimpanan arsip sendiri. Tidak adanya sarana penunjang ini terkesan aneh mengingat sarana ini merupakan syarat mutlak bagi penyimpanan arsip. Akibatnya tempat penyimpanan tersebut lebih berperan sebagai penampungan tumpukan kertas yang akan memberatkan pada proses akuisisi di kemudian hari. Keadaan ini juga diperburuk oleh tidak tersedianya sarana pengamanan ruang arsip yaitu alat pemadam kebakaran, sprikel dan alarm pada sebagian besar responden. Semua ini mengidentifakasikan bahwa tidak adanya suatu pelaksanaan manajemen bencana pada tingkat “minimal requirement”. Walaupun perlu penelitian lanjutan, keadaan ini mengisyaratkan belum adanya apresiasi pada bidang kearsipan dan belum adanya perlakuan arsip sebagai asset dan pusat ingatan lembaga. Disamping itu responden yang telah memiliki sarana pengaman juga menemui kesulitan dalam mengoperasikannya. Dengan demikian jelas efektifitas pemanfaatan peralatan masih dipertanyakan. III. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Dari pembahasan dari survai mengenai Sumber Daya Manusia di Lingkungan Pemda Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan penting yaitu: 1. Kinerja pengelola arsip atau arsiparis yang ada belum memuaskan. (K) 2. Manajemen kearsipan belum berjalan dengan baik 3. Pada prinsipnya pelaksanaan sistem kearsipan dasar sudah berjalan baik. 4. Program penyusutan dan pemusnahan masih menghadapi kendala dalam hal Sumber Daya Manusia, teknis dan dana 5. Sarana dan prasarana kearsipan masih minim. Saran 1. Diperlukan pengembangan Sumber Daya Manusia baik dari segi kualitas maupun kuantitas melalui pendidikan formal dan informal 2. Pengembangan Sumber Daya Manusia kearsipan dilakukan melalui pendekatan paradigma baru SDM kearsipan 3. Sarana dan prasarana yang untuk kearsipan ada perlu peningkatan baik dari segi kualitas dan kuantitas 4. Perlu perencanaan yang paripurna bagi kegiatan penyusutan dan pemusnahan arsip. Kepada Yth Bapak Nelson KAD DKI Jakarta Fax. 322763 Analisa Hasil Survey SDM Kearsipan PEMDA DKI Dari hasil survey menunjukkan 100% respondent mempunyai petugas pengolah surat. Meratanya keberadaan petugas tersebut menunjukkan: 1. Keseriusan institusi yang bersangkutan dalam pengolahan surat yang menjadi salah sumber informasi untuk menjalankan operasi kegiatan seharihari. 2. Apresiasi yang tinggi terhadap permasalahan pengolahan surat Pengolahan surat yang baik menjadi syarat penting bagi terjaminnya komunikasi tertulis institusi dengan pihak lain. Dalam beberapa penelitian, banyak surat yang beredar atau dikelola dipakai sebagai indikator intensnya aktivitas intitusi yang bersangkutan. Dilihat dari tingkat pendidikan petugas penanganan surat, 75% mempunyai instansi sudah petugas yang berpendidikan S1 sedangkan sisanya (25%) hanya memiliki petugas pengola surat berpendidikan setingkat SLTA. Bagi instansi yang sudah memiliki petugas S1 yang diperlukan adalah keterampilan dan pemahaman yang lebih dalam mengenai manajemen kearsipan agar mereka lebih memahami kontribusi kerja mereka bagi organisasi secara keseluruhan. Sedangkan bagi instansi yang memiliki tenaga tertinggi hanya berpendidikan SLTA, peningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dapat dilakukan melalui program pendidikan D3 dan pelatihan di bidang penanganan kearsipan dan dokumen. Perlunya peningkatan kualitas SDM ini tercermin dari pendapat responden sebanyak 87,5% yang belum puas terhadap kinerja para petugas pengelola surat. Seluruh responden sepakat bahwa untuk meningkatkan kinerja tersebut perlu diadakan peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang kearsipan. Data survey menunjukkan hanya 12,5% responden yang pernah melakukan pelatihan di bidang kearsipan dengan frekuensi kegiatan yang rendah. Pada prinsipnya survey awal ini memberikan informasi bahwa pada posisi pekerjaan yang memerlukan pengolahan kearsipan terdapat petugas khusus yang menangani. Sebagai contoh 75% responden telah memiliki tenaga khusus yang mengelola kearsipan di Cabang Tata Usaha (CTU) dan jumlah makin besar yaitu 87,5% dari responden telah memiliki tenaga kearsipan di Induk Tata Usaha (ITU). Responden yang tidak memilki tenaga khusus pengelola kearsipan menyadari perlunya kehadiran petugas khusus kearsipan di CTU dan ITU di institusi mereka. Dari uraian di atas kita bisa melihat bahwa secara kuantitatif pada umumnya responden berpendapat bahwa tenaga kearsipan tidak menjadi masalah dalam konteks institusi di lingkungan responden. Masalah baru muncul ketika berbicara pada kualitas tenaga itu sendiri yang belum memuaskan kinerjanya. Menyangkut jumlah SDM Kantor Walikota Jakarta Selatan mengusulkan adanya penyediaan tenaga kearsipan dari mulai tingkat kelurahan sampai kotamadya. Penyediaan ini dilakukan melalui pelatihan dan pendidikan D3 kearsipan dengan peserta diperkirakan 100 orang. Sementara Dinas Pekerjaan Umum mengusulkan adanya SDM untuk tugas belajar sebanyak 10 orang. Responden lain walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan jumlah tenaga kearsipan, mereka mengusulkan pendidikan kearsipan setingkat D3. Adanya permintaan penyediaan tenaga kearsipan dari responden dapat diinterpertasikan sebagai berikut: Peningkatkan kinerja petugas kearsipan bisa dilakukan dengan memberikan perhatian kepada mereka secara maksimal baik dengan melakukan pendekatan “reward” dan “punishment” (ganjaran dan hukuman) atas prestasi kerja mereka. Pendanaan khusus bagi kegiatan kearsipan dan kesejahteraan petugas seperti yang diusulkan oleh beberapa responden bisa menjadi awal cermin komitmen dan dukungan tinggi pimpinan terhadap masalah kearsipan. Akan tetapi hal ini janganlah dijadikan tradisi karena dapat menimbulkan persepsi salah yaitu tidak menjanjikannya profesi kearsipan, tidak mandirinya SDM yang bersangkutan akibat terus mendapat perlindungan dan keistimewaan. Isu jabatan fungsional arsiparis sepintas dapat menjadikan daya tarik sendiri terhadap profesi ini. Tetapi jika kita melihat lebih jauh dalam penerapannya lebih banyak kesulitannya daripada kemudahan. Masih bingung dan tidak pahamnya pimpinan terhadap sistem penilaian angka kredit, adanya usaha dari pimpinan sendiri untuk menahan laju kenaikan pangkat arsiparis sampai kecilnya tunjangan fungsional mewarnai kesulitan penerapan jabatan fungsional ini. Bukti lain yang ditemukan mengenai belum berjalannya penerapan jabatan fungsional kearsipan dari survey ini adalah hanya 25% responden yang telah mempunyai arsiparis fungsional dan hanya 37,5% yang mempunyai program pengembangan jabatan fungsional. Minimnya perhatian terhadap jabatan fungsional arsiparis semakin menguatkan argumentasi bahwa cara menarik SDM yang lebih andal di bidang kearsipan dengan memakai janji pemberian jabatan fungsional tidaklah efektif. Dengan demikian perlu dicari pendekatan lain untu mendapatkan SDM lebih baik di bidang kearsipan. Cara lain sebagai konsekuensi dari mulai diterapkannya konsep “learning organization” (organisasi pembelajaran) adalah meminta karyawan yang telah mengeluti bidang kearsipan untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan di bidang manajemen kearsipan dengan konsep baru. Pendidikan manajemen kearsipan dengan konsep baru adalah pendidikan yang berfokus pada kemampuan, pemahaman dan penerapan prinsip manajemen secara baik dan benar, kemampuan teknologi informasi, keterampilan pengorganisasian informasi dalam konteks kearsipan, pemahaman akan nilai dan dampak informasi, sistem adminitrasi atau manajemen perkantoran, keuangan dan akutansi, keterampilan komunikasi, dan bahasa asing.