Laporan Nusantara Mei 2017.

advertisement
IV
Daftar isi
Kata Pengantar
Bagian I
v
vii
1
Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah
Bagian II
9
Perekonomian Sumatera
Boks 1
25
Diversifikasi Vertikal dan Horisontal Perekonomian Sumatera
Bagian III
31
Perekonomian Jawa
Boks 2
50
Strategi Transformasi Spasial dan Sektoral di Wilayah Jawa
Bagian IV
57
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Boks 3
75
Diversifikasi Sumber Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI)
Bagian V
79
Isu Strategis : Mendorong Strategi Kebijakan Diversifikasi Sumber Pertumbuhan
Ekonomi Daerah untuk Menjaga Momentum Perbaikan Ekonomi Nasional
Lampiran
V
89
D
alam proses perumusan kebijakan, Bank Indonesia mempertimbangkan
berbagai aspek, termasuk dinamika ekonomi dan isu terkini dari perspektif
kewilayahan.
Pembahasan
menyeluruh
terkait
perkembangan
perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di
daerah dilakukan secara periodik antara Dewan Gubernur dengan Kepala
Departemen Regional yang mewakili 3 (tiga) wilayah di seluruh Indonesia.
Hasil dari pembahasan tersebut menjadi bagian penting dalam melengkapi
pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko
yang berkembang.
Perekonomian nasional pada triwulan I 2017 tumbuh 5,01%, lebih tinggi dibandingkan
triwulan IV 2016 yang tumbuh 4,94%. Peningkatan pertumbuhan ekonomi ditopang oleh
kenaikan pertumbuhan di Jawa dan Kalimantan, sementara Sumatera dan Kawasan Timur
Indonesia (KTI) tumbuh lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya. Pada triwulan I 2017,
perekonomian Kalimantan mengalami perbaikan dibandingkan kondisi dua tahun terakhir.
Pertumbuhan ekonomi Jawa didukung oleh membaiknya investasi dan konsumsi
pemerintah, serta konsumsi rumah tangga yang masih kuat. Perlambatan ekonomi
Sumatera disebabkan oleh kinerja investasi yang lebih rendah, sementara ekspor luar negeri
dan konsumsi rumah tangga masih meningkat. Di KTI, perlambatan ekonomi disebabkan
oleh tekanan kinerja ekspor luar negeri di Balnusra dan Sulampua, sedangkan kinerja ekspor
Kalimantan membaik.
Asesmen terhadap sejumlah indikator ekonomi terkini di berbagai daerah mengindikasikan
perekonomian pada triwulan II 2017 akan tumbuh lebih baik terutama di Sumatera dan KTI.
Pertumbuhan ditopang oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah
serta ekspor luar negeri. Peningkatan konsumsi rumah tangga didukung oleh naiknya
permintaan sepanjang Ramadhan dan perayaan HBKN Idul Fitri. Sementara itu, konsumsi
pemerintah meningkat seiring realisasi APBD yang mulai terakselerasi. Dari sisi eksternal,
kinerja ekspor diprakirakan meningkat khususnya di KTI, sedangkan di Sumatera dan Jawa
sedikit tertekan.
Perkembangan inflasi di berbagai daerah secara agregat pada triwulan I 2017 tercatat
meningkat. Inflasi triwulan I 2017 didorong inflasi administered prices antara lain biaya
perpanjangan STNK, tarif listrik, dan BBM non subsidi. Selain itu, volatile foods khususnya
komoditas cabai rawit juga turut menyumbang tekanan inflasi akibat penurunan produksi.
Memasuki triwulan II 2017, tekanan inflasi cenderung meningkat di seluruh wilayah. Pada
April 2017, seluruh provinsi mencatatkan kenaikan tekanan inflasi (yoy) dibanding akhir
triwulan I 2017. Selain tarif listrik, inflasi juga disumbang oleh tarif angkutan udara. Realisasi
inflasi tertinggi year on year hingga April 2017 terjadi di Sumatera (4,81%), kemudian diikuti
KTI (4,24%), dan Jawa (3,95%).
Perekonomian pada triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh tertahan terutama karena
melambatnya ekonomi Jawa dan KTI. Kondisi ini disumbang oleh melambatnya konsumsi
rumah tangga pasca perayaan hari besar keagamaan serta ekspor luar negeri seiring belum
kuatnya permintaan dari negara mitra dagang dan harga komoditas ekspor yang
diperkirakan mengalami sedikit penurunan. Secara keseluruhan tahun 2017, perekonomian
daerah diperkirakan tumbuh di kisaran 5,0%-5,4%, lebih tinggi dibanding 2016. Peningkatan
optimisme konsumen, pembangunan infrastruktur pemerintah yang terus berlangsung serta
perbaikan investasi swasta dan ekspor luar negeri merupakan sumber pertumbuhan
ekonomi di 2017. Sementara itu, inflasi pada 2017 diperkirakan masih berada dalam kisaran
sasaran inflasi nasional 4±1%, meski lebih tinggi dari 2016.
Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai “Mendorong
Strategi Kebijakan Diversifikasi Sumber Pertumbuhan Ekonomi Daerah untuk Menjaga
Momentum Perbaikan Ekonomi Nasional”. Isu tersebut diangkat mengingat masih
terdapatnya ketidakseimbangan spasial dan sektoral dalam struktur perekonomian
Indonesia, dimana Jawa atau Kawasan Barat Indonesia memiliki kekuatan ekonomi yang
kurang seimbang dengan Kawasan Timur Indonesia. Secara sektoral, ketidakseimbangan
tercermin dari sumber pertumbuhan ekonomi di sejumlah wilayah yang masih bertumpu
komoditas berbasis Sumber Daya Alam (SDA). Kondisi tersebut mengakibatkan tingginya
volatilitas pertumbuhan daerah akibat fluktuasi harga dan permintaan dunia terhadap
komoditas berbasis SDA. Oleh karena itu, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang berkelanjutan, diperlukan upaya diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi
baik secara horizontal dan vertikal di berbagai daerah.
Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen
Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) serta Departemen Regional I, II, dan III yang
masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir
kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi
para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu
kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 23 Mei 2017
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Dody Budi Waluyo
Asisten Gubernur
Perkembangan Terkini Perekonomian
Daerah
Perekonomian nasional pada triwulan I 2017
tumbuh lebih tinggi dibanding triwulan
sebelumnya. Perekonomian tumbuh sebesar
5,01%, sedangkan pada triwulan sebelumnya
tumbuh 4,94%. Pertumbuhan nasional tersebut
tetap didorong oleh peran perekonomian Jawa,
dengan pangsa ekonomi dominan sebesar 58%,
yang tumbuh meningkat. Namun, pertumbuhan
ekonomi Sumatera dan Kawasan Timur Indonesia
(KTI) yang lebih rendah dibanding triwulan
sebelumnya menahan ekonomi nasional untuk
dapat tumbuh lebih tinggi. Pada triwulan ini
perekonomian Kalimantan mulai mencatat
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
dengan kondisi dua tahun terakhir.
Jika dilihat berdasarkan sebaran provinsi,
perbaikan ekonomi pada triwulan I 2017 belum
merata. Perbaikan ekonomi Jawa ditopang oleh
membaiknya ekonomi DKI Jakarta, Banten, dan
DIY. Sementara, tiga provinsi lainnya tumbuh
melambat. Di Sumatera, lebih dari separuh
provinsi di wilayah tersebut tumbuh melambat.
Adapun pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi
di KTI tercatat cukup beragam, pertumbuhan
ekonomi meningkat di seluruh Kalimantan,
namun melambat di sebagian besar wilayah
Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) dan BaliNusa Tenggara (Balinusra). Dari seluruh provinsi
di Indonesia, hanya Nusa Tenggara Barat yang
mencatatkan pertumbuhan negatif seiring
dengan berakhirnya periode ijin ekspor mineral
tembaga.
Perekonomian Jawa pada triwulan I 2017
tumbuh kuat sebesar 5,66% atau meningkat
dibanding triwulan lalu yang tumbuh 5,45%.
Lebih tingginya pertumbuhan ekonomi Jawa
didorong oleh membaiknya investasi dan
1
konsumsi pemerintah, yang sempat terkontraksi
1
di triwulan lalu . Pelaksanaan Pilkada serentak
termasuk di Jawa (DKI Jakarta dan 5 daerah
lainnya) pada Februari 2017 memberikan
sumbangan perbaikan realisasi konsumsi
pemerintah. Investasi tercatat meningkat, yang
ditandai oleh peran realisasi proyek infrastruktur
pemerintah yang masih lebih kuat dibandingkan
swasta yang juga memperlihatkan peningkatan
kapasitas
produksi
industri
manufaktur.
Sementara itu, konsumsi rumah tangga,
walaupun tumbuh sedikit melambat, tetap
tumbuh kuat dan masih menjadi penopang
ekonomi Jawa.
Di sisi lain, ekspor tumbuh melambat seiring
masih rendahnya permintaan dari mitra dagang
utama Jawa seperti Eropa, Tiongkok dan Jepang.
Meningkatnya impor, terutama bahan modal,
turut menahan laju pertumbuhan ekonomi Jawa
di triwulan laporan. Dari sisi lapangan usaha (LU),
seluruh
LU
utama
Jawa
mencatatkan
pertumbuhan lebih tinggi, khususnya industri
pengolahan, terutama pada sub-LU alat angkut;
serta perdagangan seiring masih kuatnya
permintaan domestik. Kinerja LU pertanian juga
tumbuh meningkat didorong adanya panen raya
tanaman bahan makanan di paruh kedua
triwulan I 2017.
Perekonomian Sumatera pada triwulan I 2016
tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya
karena melambatnya kinerja investasi. Ekonomi
Sumatera tercatat tumbuh 4,05%, lebih rendah
dibanding triwulan IV 2016 yang mampu tumbuh
4,49%. Perlambatan ekonomi tersebut terutama
1
Langkah konsolidasi fiskal oleh Pemerintah, seiring
terbatasnya pencapaian pajak, mendorong Pemerintah untuk
melakukan sejumlah efisiensi pengeluaran seperti pengadaan
barang dan jasa serta perjalanan dinas, termasuk
pemotongan dan penundaan transfer dana ke berbagai
daerah pada triwulan IV 2016.
karena masih lemahnya investasi non-bangunan
oleh swasta sebagaimana siklusnya di awal tahun,
ditengah membaiknya indikator makroekonomi
daerah lainnya. Kenaikan ekspor luar negeri yang
kemudian berimbas pada kenaikan konsumsi
rumah tangga, disertai membaiknya konsumsi
pemerintah yang sempat kontraktif di triwulan
lalu, berhasil membawa ekonomi Sumatera tetap
tumbuh kuat di triwulan laporan. Kenaikan harga
komoditas ekspor seperti CPO, karet, dan kopi
yang sudah berlangsung sejak triwulan akhir 2016
memberi dampak positif pada pendapatan
ekspor dan konsumsi rumah tangga di daerah
menurun, seperti yang tercatat di Riau dan
Kepulauan Riau. Kondisi tersebut mengakibatkan
kinerja LU Pertambangan menjadi terus menurun
yang kemudian berimbas pada LU perdagangan
dan akhirnya turut berperan pada melambatnya
perekonomian Sumatera. Penurunan ekspor
antar daerah di Sumatera secara jelas
mencerminkan
perlambatan
perdagangan
dimaksud. Namun, kinerja pertanian dan industri
pengolahan yang menguat seiring puncak panen
tabama serta perbaikan harga dan permintaan
ekspor komoditas telah berkontribusi dalam
menahan perlambatan ekonomi lebih dalam.
Dari sisi lapangan usaha utama, faktor natural
declining migas mengakibatkan lifting migas terus
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2017 (% yoy)
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI)
pada triwulan I 2017 masih tumbuh kuat meski
melambat karena kinerja ekspor luar negeri. KTI
tumbuh dari 5,54% menjadi 5,01% pada triwulan
I 2017. Sumber utama penyebab melemahnya
ekonomi KTI adalah kinerja ekspor konsentrat
Tembaga dari Papua dan NTB yang rendah karena
faktor regulasi ijin ekpsor yang belum diperbarui
oleh operator. Pengurusan administrasi untuk
perpanjangan izin ekspor baru, ternyata tidak
bisa selesai sesuai target. Namun, membaiknya
kinerja ekspor Batubara di wilayah Kalimantan
mampu menahan perlambatan ekonomi KTI lebih
dalam. Perbaikan ekspor Batubara, karena faktor
harga, juga mengubah arah ekonomi Provinsi
2
Kalimantan Timur menjadi tumbuh positif setelah
dua
tahun
berturut-turut
mengalami
pertumbuhan negatif.
Di sisi lain, membaiknya konsumsi pemerintah,
dari kondisi kontraksi pada triwulan sebelumnya,
serta meningkatnya kinerja konsumsi rumah
tangga dan investasi berhasil mendorong
tumbuhnya ekonomi KTI di triwulan laporan.
Peningkatan konsumsi rumah tangga tercermin
pada membaiknya konsumsi masyarakat pada
makanan dan minuman, pakaian dan alas kaki,
perumahan dan perlengkapan rumah tangga,
serta konsumsi restoran dan hotel. Sementara,
meningkatnya kinerja investasi didorong oleh
investasi bangunan di Kalimantan dan Sulampua
terkait percepatan pengerjaan beberapa proyek
infrastruktur strategis nasional. Peningkatan
kapasitas kilang minyak serta pembangunan
pabrik baru (misalnya pabrik makanan olahan di
NTT dan NTB) juga turut menyumbang
peningkatan investasi di sisi swasta.
Dari sisi lapangan usaha utama, selain karena
melambatnya LU pertambangan, lebih rendahnya
pertumbuhan KTI juga disumbang perlambatan
pertanian dan perdagangan. Melambatnya
pertanian terutama terjadi di Sulampua karena
masih lemahnya permintaan untuk komoditas
kakao, jagung, dan ikan. Adapun perlambatan
perdagangan
terutama
terjadi
untuk
perdagangan besar di Balnusra dan Sulampua
sebagai dampak dari menurunnya kinerja
pertambangan terhadap pendapatan dan daya
beli masyarakat. Meski demikian, meningkatnya
pertumbuhan LU industri pengolahan, konstruksi,
dan penyediaan akomodasi mampu menopang
pertumbuhan KTI di triwulan laporan.
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan II 2017*
PDRB
AGREGASI
SUMATERA
Tendensi
Asesmen
JAWA
Tendensi
Asesmen
KAWASAN TIMUR INDONESIA
Asesmen
Tendensi
Pertumbuhan
Ekonomi
Didorong meningkatnya
konsumsi dan investasi;
tertahan menurunnya netekspor.
Didorong meningkatnya
konsumsi dan investasi;
tertahan melambatnya
ekspor.
Didorong meningkatnya
konsumsi, investasi dan
ekspor; tertahan
meningkatnya impor.
Konsumsi RT
Naiknya permintaan
sepanjang Ramadhan &
Lebaran.
Naiknya permintaan
sepanjang Ramadhan &
Lebaran.
Naiknya permintaan sepanjang
Ramadhan & Lebaran.
Konsumsi
Pemerintah
Penyaluran gaji ke-13 dan ke14. Pengesahan lelang di awal
Tw II 2017.
Penyaluran gaji ke-13 dan ke14. Pengesahan lelang di awal
Tw II 2017.
Investasi
(PMTB)
Percepatan proyek
infrastruktur strategis
pemerintah.
Berlanjutnya proyek
infrastruktur pemerintah dan
swasta.
Ekspor LN
Prospek harga komoditas
tidak sebaik triwulan
sebelumnya. Potensi
diversifikasi negara tujuan
Ekspor ke negara mitra
dagang utama (Tiongkok,
Jepang, AS) diperkirakan
tumbuh terbatas.
Impor LN
Meningkatnya impor barang
konsumsi dan barang modal.
Impor barang modal
melambat.
Penyaluran gaji ke-13 dan ke14.Komitmen percepatan lelang
proyek.
Percepatan proyek
infrastruktur pemerintah.
Investasi swasta, a.l. smelter di
Kalimantan, Sulawesi, dan
Malut; peningkatan kapasitas
kilang minyak di Kalimantan;
pabrik makanan olahan di NTB
dan NTT.
Telah diperolehnya izin ekspor
produsen mineral. Relaksasi
aturan ekspor hasil tambang.
Meningkatnya impor bahan
baku & barang modal.
* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
Keterangan : hijau (berkontribusi positif terhadap PDRB), merah (berkontribusi negatif terhadap PDRB)
Perekonomian pada triwulan II 2017 terindikasi
membaik di seluruh wilayah. Perekonomian
akan didorong oleh meningkatnya konsumsi
rumah tangga, konsumsi pemerintah serta ekspor
luar negeri (Tabel I.1). Konsumsi rumah tangga
diprakirakan membaik sehubungan naiknya
permintaan karena faktor musiman Ramadhan
dan perayaan HBKN. Konsumsi pemerintah juga
diprakirakan meningkat seiring dikeluarkannya
gaji ke-13 dan ke-14 serta percepatan
pengesahan lelang yang biasanya mulai terjadi di
awal triwulan II 2017, sehingga belanja modal
serta barang dan jasa sudah mulai terealisasi.
3
Percepatan
proyek-proyek
infrastruktur
pemerintah serta menguatnya investasi swasta
diharapkan terus membaik untuk mendorong
investasi di seluruh wilayah.
Sementara itu, prospek harga komoditas yang
diprakirakan tidak sebaik triwulan sebelumnya
karena kebijakan negara partner, serta tekanan
permintaan mitra dagang utama diperkirakan
menekan kinerja ekspor Sumatera dan Jawa.
Namun, ekspor KTI diperkirakan pulih kembali
seiring dengan telah diberikannya izin ekspor
mineral kepada produsen utama di Papua dan
NTB serta adanya relaksasi ketentuan ekspor
hasil tambang nikel low grade.
NPL lapangan usaha utama masih di bawah 5%,
kecuali Pertambangan di Sumatera dan KTI.
Berdasarkan
lapangan
usaha
utama,
perekonomian Jawa tumbuh menguat terutama
ditopang
akselerasi
industri
pengolahan,
perdagangan, dan konstruksi seiring menguatnya
konsumsi rumah tangga dan berlanjutnya
investasi bangunan pemerintah dan swasta.
Sementara,
meningkatnya
pertumbuhan
Sumatera didorong oleh LU pertanian,
perdagangan, dan konstruksi. Meningkatnya
kinerja pertanian didorong adanya periode panen
raya di berbagai provinsi sentra seiring kondisi
cuaca yang mendukung peningkatan produksi
tabama. Adapun perekonomian KTI tumbuh
meningkat terutama ditopang meningkatnya
kinerja pertambangan, perdagangan dan industri
pengolahan. Ekspektasi kenaikan permintaan
menjelang Ramadhan mendorong tingginya
aktivitas perdagangan serta meningkatnya
produksi industri makanan olahan, seperti
industri tepung terigu di Sulawesi Selatan dan
beberapa industri bahan makanan di Balinusra.
Kinerja keuangan sektor rumah tangga juga
tumbuh meningkat dibanding triwulan lalu. Hal
ini tercermin dari penyaluran kredit rumah
tangga yang tumbuh 7,23%, lebih tinggi
dibanding triwulan III 2016 yang tumbuh 5,11%.
Peningkatan kredit rumah tangga tersebut terjadi
di Sumatera dan KTI, terutama untuk kredit
pemilikan rumah dan kredit multiguna.
Peningkatan pertumbuhan kredit rumah tangga
di semua wilayah tersebut terjadi seiring dengan
semakin membaiknya NPL.
Stabilitas Keuangan Daerah
Kinerja korporasi di daerah meningkat di semua
wilayah, yang tercermin dari kinerja kredit
2
sektor korporasi
pada triwulan I 2017.
Penyaluran kredit ke sektor usaha pada triwulan
laporan berhasil tumbuh 9,24% (yoy), lebih tinggi
dibanding triwulan lalu 7,50% (yoy). Peningkatan
kredit pertambangan di Sumatera dan KTI
melanjutkan pola recovery yang terjadi sejak
triwulan lalu seiring membaiknya harga
komoditas. Perbaikan harga komoditas juga
berkontribusi pada meningkatnya pertumbuhan
kredit industri pengolahan di Sumatera. Selain
itu, faktor harga komoditas juga berpengaruh
pada peningkatan kredit perdagangan khususnya
di Jawa dan Sumatera yang didukung oleh masih
kuatnya permintaan masyarakat. Pertumbuhan
kredit korporasi didukung tingkat nonperforming
loan (NPL) yang relatif stabil di semua wilayah.
2
Kredit korporasi disini merupakan kredit yang disalurkan
kepada lapangan usaha
4
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah
Aktivitas transaksi keuangan pada triwulan I
2017 tumbuh sejalan dengan pertumbuhan
perekonomian, baik melalui RTGS maupun
Kliring. Nilai transaksi keuangan melalui sistem
Real Time Gross Settlement (RTGS) sepanjang
triwulan I 2017 tumbuh 8,7% (yoy) atau senilai
Rp28.924 triliun, sedikit lebih rendah dibanding
triwulan sebelumnya yang tumbuh cukup tinggi
11,45% (yoy) sesuai pola musimannya pada akhir
tahun. Namun, dari sisi volume, transaksi RTGS
mengalami lonjakan signifikan. Transaksi RTGS
pada triwulan laporan mampu tumbuh 17,72%
(yoy) atau sebesar 1,69 juta transaksi; lebih tinggi
dari triwulan sebelumnya yang tercatat tumbuh
negatif 24,19% (yoy).
Sejalan dengan itu, perputaran kliring melalui
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
pada triwulan I 2017 terlihat semakin membaik.
Secara volume, meskipun masih tumbuh negatif
18,50% (yoy) atau tercatat sekitar 31,35 juta
transaksi, namun cenderung membaik dibanding
triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif
20,83% (yoy). Di sisi lain, nilai transaksi
perputaran kliring mencatatkan pertumbuhan
negatif 19,72% (yoy) atau sebesar Rp891,4 triliun;
lebih rendah dibanding triwulan lalu yang
tumbuh negatif 6,22% (yoy) atau sebesar Rp962,4
triliun.
Peredaran uang kartal juga menunjukkan
peningkatan signifikan sejalan dengan ekonomi
yang tumbuh di daerah. Kondisi tersebut
tercermin dari meningkatnya outflow uang kartal
dari Bank Indonesia sepanjang triwulan I 2017
yang mencapai pertumbuhan 26,55% (yoy), jauh
lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya
yang tumbuh 0,12% (yoy). Peningkatan
pertumbuhan tersebut terjadi di semua wilayah,
baik Sumatera, Jawa, dan KTI.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, April 2017 (yoy)
Perkembangan Inflasi
Tekanan inflasi daerah secara agregat pada
triwulan I 2017 tercatat meningkat. Inflasi
tahunan (yoy) tercatat meningkat di Jawa dan
KTI, serta mulai menurun di Sumatera. Meski
demikian, inflasi Sumatera masih yang tertinggi
dibanding dua wilayah lain (Gambar I.2).
Terdapat empat provinsi yang mencatatkan
inflasi diatas rentang sasaran inflasi 4±1%, yakni
Kepulauan Bangka Belitung (6,40%), Bengkulu
(6,01%), Riau (5,03%), dan Kalimantan Barat
(5,02%).
Tingginya inflasi triwulan I 2017 terutama terjadi
di awal periode yang didorong inflasi
administered prices seperti biaya perpanjangan
STNK, tarif listrik, dan bensin serta inflasi inti
terutama tarif pulsa ponsel. Kenaikan biaya
3
perpanjangan STNK lebih dari 100% terjadi di
semua daerah, dengan kenaikan tertinggi terjadi
di Jawa yang mencapai 5,5% (mtm). Inflasi tarif
listrik terjadi seiring penyesuaian tarif listrik
untuk pelanggan daya 900 VA nonsubsidi.
3
PP 60/2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) yang menggantikan PP No. 50 Th 2010
dan berlaku sejak 6 Januari 2017.
5
Sementara komoditas BBM yang mengalami
kenaikan yaitu Pertamax, Pertalite, Pertamina
Dex, dan Dexlite, masing-masing sebesar
Rp300/liter seiring meningkatnya harga minyak
dunia. Kenaikan tarif pulsa ponsel terjadi sejak
September 2016 untuk menutup biaya investasi
perusahaan
perusahaan
penyedia
jasa
telekomunikasi.
Selain kelompok administered prices dan inflasi
inti, volatile foods khususnya komoditas cabai
rawit juga turut menyumbang tekanan inflasi di
triwulan I 2017. Anomali cuaca dan curah hujan
tinggi yang merata di seluruh Indonesia
menyebabkan penurunan produksi cabai rawit
karena (i) menurunnya ekspektasi hasil produksi
yang mendorong sebagian petani menunda
waktu tanam, (ii) terjadinya gangguan distribusi
hasil panen, serta (iii) merebaknya berbagai
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang
merusak tanaman seperti jamur patek dan virus
Gemini. Meski demikian, koreksi harga cabai
merah di sepanjang triwulan I 2017 mampu
menahan tekanan inflasi di Jawa dan KTI, serta
menurunkan tekanan inflasi di Sumatera.
Memasuki triwulan II 2017, tekanan inflasi
cenderung meningkat di seluruh wilayah.
Berdasarkan rilis inflasi Apil 2017, tekanan inflasi
tahunan (yoy) wilayah secara berurut dari yang
tertinggi adalah Sumatera (4,81%), KTI (4,24%),
dan Jawa (3,95%). Seluruh provinsi juga
mencatatkan kenaikan tekanan inflasi (yoy)
dibanding akhir triwulan I 2017. Bahkan terdapat
lima provinsi yang mencatatkan inflasi diatas
rentang sasaran inflasi 4±1%, yakni Kepulauan
Bangka Belitung (8,37%), Bengkulu (6,60%), Riau
(6,40%), Kalimantan Barat (5,79%) dan Sulawesi
Tengah (5,09%).
Selain tarif listrik yang masih menjadi
penyumbang inflasi di triwulan ini, tarif angkutan
udara menjadi penyumbang tekanan inflasi
lainnya dari kelompok administered prices.
Komoditas ini mulai merangkak naik seiring
tingginya permintaan menjelang HBKN Idul Fitri
pada akhir triwulan II 2017. Tingginya permintaan
juga membuat harga komoditas pangan naik,
terutama bawang putih, daging ayam ras, dan
tomat sayur; yang merupakan penyumbang
inflasi utama April 2017. Peningkatan tekanan
inflasi diperkirakan terjadi di semua wilayah
sampai akhir triwulan II 2017 sejalan dengan
Siklus Ramadhan dan HBKN Idul Fitri.
Prospek dan Tantangan Ekonomi
Daerah
Prospek Ekonomi Daerah
Perekonomian daerah secara agregat pada
triwulan III 2017 diperkirakan tumbuh tertahan
terutama karena melambatnya ekonomi Jawa
dan KTI. Secara agregat, pertumbuhan ekonomi
tertahan oleh melambatnya konsumsi rumah
tangga serta ekspor luar negeri. Lebih rendahnya
konsumsi rumah tangga terjadi seiring kembali
normalnya konsumsi pasca mencapai puncaknya
pada Ramadhan dan HBKN Idul Fitri di triwulan II
2017. Sementara perbaikan ekspor tertahan
karena masih terbatasnya peningkatan harga
komoditas dan permintaan negara mitra dagang.
Meski demikian, meningkatnya konsumsi
6
pemerintah, investasi dan ekspor antar daerah
masih akan mendorong perekonomian.
Ekonomi Jawa melambat terutama karena
perlambatan
industri
pengolahan
dan
perdagangan sejalan dengan kembali normalnya
konsumsi masyarakat pasca Ramadhan dan
HBKN Idul Fitri. Namun, meningkatnya kinerja LU
pertanian dan konstruksi mampu menahan
perlambatan lebih dalam. Sementara itu,
perekonomian KTI tumbuh lebih rendah karena
melambatnya
sektor
pertambangan,
perdagangan, penyediaan akomodasi, dan
perdagangan. Hal ini terkait dengan pergerakan
harga komoditas yang diperkirakan tidak setinggi
triwulan II 2017, terutama untuk batubara, bijih
besi, nikel, dan CPO. Meski demikian,
membaiknya LU konstruksi karena percepatan
proyek infrastruktur pemerintah mampu
menahan perlambatan ekonomi KTI. Di sisi lain,
perekonomian Sumatera mampu tumbuh sedikit
lebih tinggi karena perbaikan di LU konstruksi dan
industri pengolahan, seiring masih berlanjutnya
proyek infrastruktur strategis dan mulai
menggeliatnya investasi swasta.
Hingga akhir tahun 2017, perekonomian
diperkirakan tumbuh di kisaran 5,0%-5,4%, lebih
tinggi dibanding 2016. Perbaikan pertumbuhan
ekonomi 2017 diperkirakan berlangsung di
seluruh wilayah. Optimisme konsumen yang
cukup kuat diperkirakan akan mampu menjadi
pondasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga
serta perdagangan antar daerah. Selain itu,
pembangunan infrastruktur pemerintah di
berbagai
daerah
diprakirakan
mampu
mendorong peningkatan investasi fisik. Beberapa
paket kebijakan pemerintah terkait deregulasi
perijinan dan berbagai insentif investasi
diharapkan mampu menarik investasi swasta
yang lebih tinggi di sepanjang tahun 2017. Selain
itu, perbaikan kondisi ekonomi dan capaian
positif tax amnesty diharapkan mampu
mendukung kondisi fiskal dan kinerja konsumsi
pemerintah yang lebih baik, meski masih
terdapat potensi short fall pajak. Sementara itu,
prakiraan meningkatnya ekspor di berbagai
daerah
juga
ditopang
oleh
perbaikan
perekonomian dunia, yang akan mendorong
volume perdagangan dunia, serta didukung
perbaikan harga komoditas seperti minyak, gas
alam, CPO, karet, aluminium, timah, dan nikel.
Inflasi pada 2017 diperkirakan masih berada
dalam kisaran sasaran inflasi nasional 4±1%,
namun lebih tinggi dari 2016. Hal tersebut
didukung terkendalinya inflasi inti seiring
stabilnya nilai tukar rupiah serta minimnya
ancaman cuaca yang dapat mengganggu produksi
tanaman pangan dan hortikultura. Namun,
penyesuaian
administered
prices
patut
diwaspadai karena berpotensi memberikan
tekanan inflasi 2017. Hingga akhir tahun 2017,
risiko inflasi terutama lebih banyak berasal dari
kelompok administered prices seiring dengan
beberapa kebijakan penyesuaian harga maupun
alokasi subsidi yang dilakukan oleh pemerintah,
antara lain kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL)
untuk pelanggan 900 VA dan 450 VA serta
kenaikan cukai rokok. Selain itu, terdapat risiko
kenaikan harga minyak dunia yang berpotensi
meningkatkan harga BBM, serta perlu diwaspadai
dampak turunannya terhadap tarif angkutan dan
harga komoditas lainnya.
Ke depan, Pemerintah Daerah perlu memberi
perhatian khusus yang berimbang baik pada
pencapaian pertumbuhan ekonomi maupun
pengendalian inflasi. Sesuai dengan arahan
Presiden pada Rakornas TPID VII 2016, dalam
konteks
pengendalian
inflasi
kedepan,
Pemerintah Daerah perlu (i) segera membentuk
TPID bagi daerah yang belum memilikinya; (ii)
merumuskan dukungan intervensi atau program
pengendalian harga yang diperlukan dengan
alokasi APBD yang memadai; (iii) bersama-sama
dengan penegak hukum untuk melakukan
pengawasan kewajaran stok pangan di gudanggudang daerah secara berkala; (iv) melakukan
monitoring kondisi infrastruktur distribusi pangan
daerah dan segera melakukan perbaikan yang
diperlukan; serta (v) mencermati kondisi
distribusi pasokan pangan dan mengidentifikasi
faktor-faktor yang memicu disparitas harga.
7
4
High Level Meeting TPI-TPID menyepakati tiga
hal terkait pengendalian inflasi kedepan.
Pertama, menekan laju inflasi volatile food (VF)
menjadi di kisaran 4-5%, melalui (i) penguatan
infrastruktur logistik pangan di daerah,
khususnya pergudangan untuk penyimpanan
komoditas; (ii) pembangunan sistem data lalu
lintas barang, khususnya komoditas pangan; (iii)
penggunaan instrumen dan insentif fiskal untuk
mendorong peran pemerintah daerah dalam
stabilisasi harga; (iv) upaya mendorong
diversifikasi pola konsumsi pangan masyarakat,
khususnya untuk konsumsi cabai dan bawang
segar, antara lain dengan mendorong inovasi
industri produk pangan olahan; (v) penguatan
kerjasama antar daerah; (vi) percepatan
pembangunan infrastruktur konektivitas; dan (vii)
perbaikan pola tanam pangan. Kedua,
mengendalikan
dampak
lanjutan
dari
penyesuaian kebijakan administered prices (AP),
seperti pengendalian tarif angkutan umum; serta
ketiga, melakukan pentahapan (sequencing)
kebijakan AP, termasuk rencana implementasi
konversi beberapa jenis subsidi langsung menjadi
transfer tunai antara lain subsidi pupuk, raskin,
dan LPG 3 kg.
Tantangan Ke Depan
Sepanjang 2017, perekonomian daerah akan
dihadapkan pada berbagai tantangan, baik
global maupun domestik. Di tengah ekonomi
global yang diprakirakan membaik, ekonomi
negara mitra dagang, khususnya Eropa dan
sebagian Asia, diproyeksikan masih tumbuh
terbatas. Walaupun terdapat perkiraan perbaikan
volume perdagangan dunia, kebijakan ekonomi
AS yang cenderung lebih protektif berisiko
menekan pertumbuhan ekonomi dunia. Meski
dampak langsung terhadap kinerja investasi dan
ekspor Indonesia tidak terlalu besar, mengingat
eksposurnya yang relatif kecil, namun dampak
tidak langsungnya perlu dicermati. Selain itu,
risiko peningkatan suku bunga The Fed akan
4
Diselenggarakan di Kantor Bank Indonesia, Jakarta pada 25
Januari 2017
memberikan tekanan terhadap nilai tukar dan
arus modal.
Di sisi domestik, kemampuan fiskal masih relatif
terbatas seiring potensi pajak yang belum dapat
terserap secara optimal. Disamping itu, proses
transisi kepemimpinan daerah hasil Pilkada 2017
berisiko menghambat pengambilan kebijakan
strategis. Momentum Pilkada juga berpotensi
mendorong investor untuk berperilaku wait and
see. Di sisi lain, kebijakan peningkatan Domestic
Market Obligation (DMO) mineral dan batubara
di tengah belum kuatnya serapan domestik,
berpotensi menahan peningkatan produksi. Lebih
5
jauh, ekspor mineral bersyarat juga menjadi
tantangan kinerja ekspor pertambangan.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang berkelanjutan, diperlukan upaya
diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi di
berbagai daerah. Hingga saat ini, masih terdapat
ketidakseimbangan spasial dan sektoral dalam
perekonomian Indonesia. Secara spasial, Jawa
menyumbang 58% dari perekonomian nasional,
sementara Sumatera dan KTI hanya menyumbang
masing-masing 22% dan 20%. Secara sektoral,
sumber pertumbuhan ekonomi berbagai wilayah
masih sangat bertumpu pada produksi dan
ekspor komoditas. Hal inilah yang membuat
ekonomi Indonesia rentan terhadap fuktuasi
harga komoditas dunia serta penurunan
ketersediaan sumber daya alam tak terbaharukan
seperti migas dan tambang. Keberhasilan
ekonomi suatu negara bukan ditentukan oleh
seberapa besar kekayaan SDA yang dimiliki,
namun ditentukan oleh strategi pengolaan SDA.
Karena tanpa pengelolaan yang baik, negara yang
kaya SDA seperti Indonesia tidak akan mendapat
benefit optimal dan rentan terjebak dalam
fenomena kutukan SDA (resource course).
Untuk mendorong upaya diversifikasi kita perlu
mengatasi simpul masalah dan berbagai
tantangan
terkait
upaya
diversifikasi
5
PP. No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP
No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.
8
perekonomian daerah di Indonesia. Terdapat
setidaknya tiga masalah utama terkait
diversifikasi: (i) diversifikasi ekonomi beberapa
daerah masih rendah sehingga struktur
ekonominya rentan terhadap shock, (ii)
overconcentration menyebabkan sektor ekonomi
lain
kurang
berkembang,
serta
(iii)
ketidakseimbangan sektoral mengakibatkan
kerentanan kinerja ekspor. Sejumlah tantangan
dan strategi diversifikasi akan dibahas pada Bab V
Isu Strategis: Mendorong Strategi Kebijakan
Diversifikasi Sumber Pertumbuhan Ekonomi
Daerah untuk Menjaga Momentum Perbaikan
Ekonomi Nasional.
Perekonomian Sumatera pada triwulan I 2017 tumbuh mencapai 4,05% (yoy), lebih rendah dari
triwulan sebelumnya sebesar 4,49% (yoy) terutama disebabkan realisasi investasi yang lebih rendah
ditengah peningkatan konsumsi dan ekspor. Sementara itu, komponen konsumsi pemerintah juga
mengalami peningkatan terutama didorong selain oleh realisasi yang lebih tinggi dibandingkan
periode yang sama tahun sebelumnya, juga oleh transfer DAU yang sempat tertunda di tahun lalu.
Di sisi lain, pelaksanaan Pilkada serentak di beberapa daerah di Sumatera turut mendorong aktivitas
ekonomi seiring terjadinya akselerasi pertumbuhan konsumsi Lembaga Non-Profit Rumah Tangga.
Dari sisi sektoral, perlambatan ekonomi lebih dalam di sektor pertambangan dan penggalian dapat
tertahan oleh peningkatan kinerja sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Musim panen
raya yang terjadi di triwulan I, setelah di tahun lalu mengalami pergeseran di triwulan II, memberi
dampak signifikan terhadap pertumbuhan sektor pertanian. Sejalan dengan itu, peningkatan harga
komoditas dan perbaikan kinerja ekspor memberi dampak positif terhadap kinerja sektor industri.
Penurunan tekanan inflasi masih berlanjut, dengan inflasi pada triwulan laporan mencapai 3,92%
(yoy). Penurunan tersebut terutama bersumber dari penurunan tekanan inflasi volatile foods seiring
dengan musim panen raya dan kelancaran distribusi antar daerah sehingga pasokan pangan
mencukupi. Namun penurunan tersebut sedikit tertahan oleh kenaikan harga kelompok
administered prices sejalan dengan kebijakan pemerintah menaikkan tarif STNK dan melakukan
penyesuaian tarif listrik di awal tahun.
Dengan adanya perbaikan harga komoditas, tekanan risiko terhadap sektor keuangan di Sumatera
relatif berkurang sehingga memberi dampak terhadap membaiknya kinerja sektor keuangan
meskipun masih terbatas. Penghimpunan DPK terus mengalami peningkatan, dan tingkat NPL juga
masih relatif terjaga. Ke depan, masih perlu dicermati tendensi penurunan kualitas kredit terutama
pada sektor konstruksi.
Perekonomian di Sumatera tahun 2017 diperkirakan akan lebih baik dibandingkan tahun 2016.
Kinerja investasi diperkirakan relatif membaik ditopang oleh masih berlanjutnya proyek
infrastruktur strategis. Sementara inflasi Sumatera pada akhir 2017 diproyeksikan mengalami
penurunan dan diperkirakan masih akan berada pada rentang sasaran inflasi nasional sebesar
4±1%, didukung oleh koordinasi dan sejumlah program pengendalian inflasi dalam TPID.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi wilayah Sumatera pada
triwulan I 2017 menunjukkan perlambatan
dibandingkan triwulan IV 2016. Pada triwulan
laporan, ekonomi Sumatera tumbuh 4,05% (yoy),
lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya
yang tumbuh 4,49% (yoy). Dari sisi penggunaan,
perlambatan pertumbuhan ekonomi Sumatera
bersumber dari kegiatan investasi yang masih
terbatas di awal tahun, terutama investasi nonbangunan. Sementara konsumsi rumah tangga
9
yang meningkat, ditengah kenaikan administered
prices,
belum
mampu
mengkompensasi
perlambatan pertumbuhan investasi tersebut.
Dari sisi sektoral, perlambatan pertumbuhan
ekonomi disebabkan oleh menurunnya kinerja
sektor pertambangan dan penggalian seiring
dengan lifting produksi minyak dan gas bumi
yang terus menurun.
Dari 10 provinsi di Sumatera, 6 provinsi
menunjukkan perlambatan pertumbuhan, yaitu
Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Kepulauan Riau,
Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Perlambatan
pertumbuhan di Sumatera Utara disebabkan oleh
menurunnya produksi perkebunan sawit dan
karet yang berdampak pada penurunan laju
ekspor, serta bergesernya periode panen
tanaman pangan dan hortikultura akibat anomali
cuaca pada akhir tahun 2016. Di sisi lain,
perlambatan
pertumbuhan
ekonomi
di
Kepulauan Riau diakibatkan oleh lifting minyak
dan gas bumi yang terus mengalami penurunan,
serta melemahnya kinerja industri galangan kapal
dan industri elektronik.
Konsumen (IKK) dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat
Ini (IKE) (Grafik II.1.). Konsumen juga
menunjukkan optimisme yang lebih baik sejalan
dengan Indeks Ekspektasi Konsumen yang
menunjukkan arah peningkatan. Perbaikan
konsumsi rumah tangga juga tercermin pada
penyaluran kredit konsumsi rumah tangga yang
meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya
dari semula tumbuh 7,64% (yoy) menjadi 8,21%
(yoy) (Grafik II.2.).
Tabel II.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera
(%yoy)
Provinsi
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Kep. Riau
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Kep. Babel
PDRB (% YoY)
I
3.74
4.66
5.58
2.74
3.53
4.21
4.93
5.02
5.06
3.44
4.19
2016
II
II
2.67
2.52
5.49
5.28
5.85
4.81
2.75
1.26
3.55
4.01
5.17
5.50
5.08
4.95
5.43
5.18
5.24
5.26
3.85
4.21
4.47
4.03
IV
4.30
5.25
4.86
2.22
6.35
5.24
5.15
5.56
5.01
4.92
4.49
2016
3.31
5.18
5.26
2.23
4.37
5.03
5.03
5.30
5.15
4.11
4.29
2017
I
2.87
4.50
4.91
2.82
4.27
2.02
5.11
5.21
5.11
6.42
4.05
Grafik II.1. IKK, IKE, dan IEK
Sumber: BPS
Tabel II.2. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Sisi
Penggunaan (%yoy)
Komponen
I
Konsumsi RT
5.23
Konsumsi LNPRT
6.59
Konsumsi Pemerintah 1.38
PMTB
6.30
Ekspor
(1.47)
Impor
(2.14)
Net Ekspor
1.12
Perubahan Inventori (38.16)
PDRB Penggunaan
4.19
2016
II
III
5.44 4.90
5.02 4.48
6.76 (5.60)
6.20 4.54
(0.09) (0.15)
0.95 (1.55)
(4.37) 5.32
(11.56) 7.92
4.47 4.03
IV
4.69
3.89
(3.60)
4.40
0.96
(1.00)
15.83
20.46
4.49
2016
5.06
4.95
(0.81)
5.33
0.44
0.11
1.94
(14.63)
4.29
2017
I
4.71
6.62
2.54
4.05
9.06
10.25
4.63
(31.82)
4.05
Sumber: BPS
Konsumsi rumah tangga yang tumbuh
meningkat
menjadi
tumpuan
penahan
perlambatan pertumbuhan ekonomi Sumatera
lebih dalam. Konsumsi rumah tangga pada
triwulan I 2017 tumbuh 4,71% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh
4,69% (yoy). Membaiknya konsumsi rumah
tangga, dikonfirmasi oleh survei konsumen yang
menunjukkan tren peningkatan Indeks Keyakinan
10
Grafik II.2. Pertumbuhan Kredit Konsumsi
Pertumbuhan konsumsi pemerintah yang lebih
baik dibandingkan triwulan sebelumnya turut
menopang pertumbuhan ekonomi Sumatera.
Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada
periode laporan tumbuh 2,54% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan
triwulan
sebelumnya
yang
menurun sebesar 3,60% (yoy). Peningkatan ini
didorong oleh serapan belanja APBD di Sumatera
pada triwulan I 2017 yang mencapai 8,63%,
melebihi catatan historis pada triwulan yang
sama tahun sebelumnya sebesar 8,30%.
Peningkatan penyerapan juga didukung oleh
alokasi penyaluran dana Transfer Ke Daerah dan
Dana Desa (TKDD) yang lebih cepat sejalan
dengan perbaikan kebijakan fiskal pemerintah
pusat.
Di tengah penguatan konsumsi rumah tangga
dan konsumsi pemerintah tersebut, kinerja
investasi tumbuh melambat. Perlambatan
tersebut seiring dengan kegiatan investasi non
bangunan, khususnya dari pelaku swasta yang
masih terbatas. Pada triwulan I 2017 investasi
tumbuh 4,05% (yoy), lebih rendah dibandingkan
triwulan sebelumnya sebesar 4,40% (yoy).
Perlambatan terjadi seiring dengan siklus
kegiatan investasi swasta yang cenderung
melambat di awal tahun. Hal ini tercermin dari
hasil liaison kepada pelaku usaha yang
menunjukkan posisi investasi relatif sama dengan
triwulan sebelumnya. Investasi non bangunan
pada triwulan I 2017 tercatat 0,57% (yoy), jauh
lebih rendah dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya sebesar 5,87% (yoy).
Grafik II.3. Perkembangan PMTB
Tren perbaikan harga komoditas dunia turut
menopang perbaikan kinerja ekspor. Ekspor
pada triwulan laporan tumbuh signifikan
mencapai 9,06% (yoy), jauh melebihi pencapaian
triwulan sebelumnya yang hanya tumbuh 0,96%
(yoy). Peningkatan pertumbuhan didorong oleh
peningkatan aktivitas ekspor luar negeri produk
komoditas seperti minyak kelapa sawit (CPO),
karet, minyak nabati dan kopi. Namun,
pertumbuhan
impor
jauh
lebih
tinggi
dibandingkan ekspor sejalan dengan menguatnya
pertumbuhan konsumsi rumah tangga, terutama
berasal dari impor antar daerah. Di samping itu,
impor luar negeri juga meningkat khususnya
11
untuk pemenuhan bahan baku industri.
Pertumbuhan impor pada triwulan I 2017
tumbuh mencapai 10,25% (yoy), jauh melebihi
triwulan sebelumya yang menurun 1,0% (yoy).
Lebih
tingginya
pertumbuhan
impor
dibandingkan ekspor tersebut menyebabkan
pertumbuhan net ekspor melambat dari semula
sempat mencapai 15,83% (yoy) pada triwulan
sebelumnya menjadi tumbuh 4,63% (yoy).
Grafik II.4. Perkembangan Ekspor
Pada triwulan II 2017, pertumbuhan ekonomi
Sumatera diperkirakan tumbuh lebih baik
mencapai 4,53% (yoy). Perbaikan pertumbuhan
ditopang konsumsi rumah tangga yang membaik
sejalan dengan meningkatnya permintaan
memasuki bulan Ramadhan dan perayaan Hari
Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Idul Fitri.
Optimisme perbaikan konsumsi rumah tangga ini
tercermin dari perbaikan Indeks Ekspektasi
Konsumen (IEK). Penguatan konsumsi rumah
tangga juga didukung oleh peningkatan belanja
konsumsi pemerintah melalui pencairan gaji ke13 dan 14 PNS. Kinerja investasi juga diperkirakan
akan semakin membaik didukung oleh
peningkatan belanja modal pemerintah sejalan
dengan proses pengadaan yang akan dipercepat.
Di samping itu, pemerintah juga akan melakukan
percepatan pengerjaan proyek infrastruktur
strategis, seperti pembangunan jalan tol MedanKualanamu, Tebing Tinggi-Parapat, PalembangSimpang Indralaya, serta Pelabuhan Kuala
Tanjung. Di sisi lain, kinerja ekspor diperkirakan
akan sedikit melambat disebabkan oleh prospek
harga komoditas yang diperkirakan tidak sebaik
di triwulan sebelumnya.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Kinerja sektor pertanian meningkat sejalan
dengan meningkatnya produksi terkait dengan
musim panen yang terjadi di triwulan I 2017,
setelah di tahun lalu mengalami pergeseran di
triwulan II. Peningkatan hasil pertanian juga
dikonfirmasi oleh pelaku usaha melalui liaison
(Grafik II.5) dan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU) (Grafik II.6). Pelaku usaha dari sektor
pertanian mengkonfirmasi adanya peningkatan
jumlah permintaan dibandingkan periode
sebelumnya baik yang berasal dari pemintaan
domestik maupun permintaan untuk pemenuhan
ekspor.
berpeluang
meningkat
sejalan
dengan
pelaksanaan
program-program
ketahanan
pangan di sejumlah provinsi, serta didukung
dengan prakiraan cuaca yang relatif kondusif bagi
peningkatan hasil produksi pertanian dan
perkebunan.
Grafik II.7. Perkiraan Kegiatan Usaha Pertanian
Sub
sektor
perkebunan
diperkirakan
perbaikannya akan sedikit tertahan sejalan
dengan prospek harga komoditas pada triwulan II
2017 yang diperkirakan tidak sebaik di triwulan
sebelumnya. Harga CPO pada triwulan I 2017
meningkat sebesar 22,99% (yoy) setelah triwulan
sebelumnya mencatat peningkatan tertinggi
sebesar 32,25% (yoy) (Grafik II.8).
Grafik II.5. Likert Scale Pertanian
Grafik II.6. Realisasi Kegiatan Usaha Pertanian
Kinerja pertanian diperkirakan mengalami
peningkatan pada triwulan II 2017 sejalan
dengan periode panen raya yang sebagian besar
terjadi pada triwulan II. Optimisme ini terlihat
dari indikasi optimisme pelaku usaha pertanian
hingga April 2017 berdasarkan hasil Survei
Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) (Grafik II.7). Hasil
produksi tanaman bahan makanan (Tabama)
12
Sumber: Bloomberg
Grafik II.8. Harga CPO Internasional
Pertambangan
Kinerja lapangan usaha pertambangan pada
triwulan I 2017 masih mengalami kontraksi. Hal
ini terutama akibat penurunan lifting minyak di
Riau.
Pada
periode
laporan,
kinerja
pertambangan menurun 2,03% (yoy), lebih
rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang
menurun sebesar 1,04% (yoy) (Grafik II.9.).
Penurunan lifting minyak di Riau terjadi akibat
penurunan produktivitas sumur minyak yang
sudah tua (natural declining) dan minimnya
eksplorasi sumber cadangan minyak baru yang
produktif.
Sumber: Bloomberg
Grafik II.9. Lifting Minyak Riau
Berdasarkan hasil liaison, pelaku usaha utama
yang bergerak sebagai produsen gas di Sumatera
mengalami
penurunan
penjualan
akibat
penghentian pembelian gas alam dari salah satu
pelaku usaha yang bergerak dalam eskplorasi dan
pengolahan minyak bumi sebagai respon
terjadinya penurunan produksi minyak bumi.
Lapangan usaha pertambangan diperkirakan
akan sedikit mengalami perbaikan pada triwulan
II 2017 sejalan dengan perkiraan peningkatan
harga migas dunia. Kontraksi diperkirakan akan
mereda pada komoditas migas selaras dengan
prospek harga migas yang akan mengalami
sedikit peningkatan.
Sumber: World Economic Outlook, IMF
Grafik II.10. Average Petroleum Spot Price
Selain itu, produksi batubara di Sumatera Selatan
juga diperkirakan akan meningkat seiring dengan
13
beroperasinya infrastruktur pendukung, seperti
rel kereta api, tempat penampung, dan
meningkatnya permintaan domestik dari
beberapa PLTU yang beroperasi di Sumatera.
Kinerja
produksi
tambang
timah
juga
diperkirakan akan meningkat sejalan dengan
harga timah ke depan yang diperkirakan akan
membaik. Perbaikan harga timah selain didorong
oleh peningkatan permintaan, juga terjadi akibat
menurunnya pasokan timah dunia terkait
rencana Tiongkok untuk mengurangi produksi
timah. Selain itu, dengan mulai beroperasinya
beberapa smelter sebagai bentuk implementasi
ketentuan
Permendag
No.
33/M.DAG/PER/5/2015 diperkirakan akan turut
mendorong pertumbuhan lapangan usaha
pertambangan
dan
turut
mendorong
peningkatan kinerja ekspor luar negeri.
Sumber: Bloomberg
Grafik II.11. Harga Batu Bara Internasional
Industri Pengolahan
Lapangan usaha industri pengolahan membaik
terutama
ditopang
oleh
peningkatan
penyerapan CPO domestik. Hal ini sejalan
dengan kebijakan pemerintah yang menerapkan
regulasi domestic market obligation (DMO), yaitu
15% dari produksi kelapa sawit digunakan untuk
pemenuhan permintaan domestik dan sebagai
Bahan Bakar Nabati (BBN). Pertumbuhan industri
pengolahan pada triwulan I 2017 tercatat 5,28%
(yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya
sebesar 5,17% (yoy). Peningkatan kinerja industri
pengolahan juga tercermin dari hasil liaison yang
menunjukkan peningkatan penjualan domestik.
Grafik II.12. Likert Scale Industri Pengolahan
Kinerja industri pengolahan diperkirakan akan
mengalami perlambatan pada triwulan II 2017.
Perlambatan diperkirakan bersumber dari
beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh
lapangan usaha industri pengolahan di Sumatera
seperti produk kelapa sawit beserta turunannya,
serta produk kertas, antara lain terkait: i) Black
Campaign CPO di Eropa yang berdampak pada
penerapan peningkatan bea masuk dan non-tariff
barrier berupa kewajiban penggunaan label POF
(Palm Oil Free) pada sejumlah produk impor. Di
samping itu beberapa negara lain seperti India,
Rusia, dan Tiongkok juga menerapkan bea masuk;
ii) Tindakan anti dumping kertas oleh Amerika
Serikat; dan iii) Harga gas industri yang masih
relatif tinggi serta adanya penyesuaian tarif listrik
yang berpotensi meningkatkan biaya produksi
dan menekan margin usaha.
Grafik II.13. Survei Penjualan Eceran (SPE)
Sumber: SAMSAT
Grafik II.14. Pendaftaran Kendaraan Baru
Perdagangan
Kinerja perdagangan tumbuh melambat pada
triwulan I 2017, didorong oleh perlambatan
kinerja perdagangan antardaerah. Sektor
perdagangan tumbuh 5,73% (yoy), lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya
sebesar 7,46% (yoy). Perlambatan sektor
perdagangan disebabkan oleh masih lemahnya
akitivitas perdagangan retail yang tercermin pada
hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang
mengindikasikan terjadinya penurunan penjualan
eceran (Grafik II.13). Di samping itu, penurunan
aktivitas sektor perdagangan juga terkonfirmasi
oleh menurunnya pendaftaran kendaraan
bermotor baru di Sumatera yang mencerminkan
penurunan penjualan kendaraan (Grafik II.14).
14
Grafik II.15. SKDU Perdagangan
Kinerja
perdagangan
diperkirakan
akan
membaik di triwulan II 2017. Permintaan
diperkirakan meningkat sejalan dengan konsumsi
rumah tangga yang akan semakin membaik
memasuki masa Ramadhan dan perayaan HBKN
Idul Fitri pada Juni 2017. Peningkatan permintaan
juga ditopang oleh pencairan gaji ke-13 dan 14
PNS yang diperkirakan akan turut menopang
peningkatan konsumsi. Searah dengan itu, pelaku
usaha optimis akan terjadi peningkatan aktivitas
perdagangan yang diindikasikan oleh trend
peningkatan indeks perdagangan hasil Survei
Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) (Grafik II.15).
Konstruksi
Kinerja konstruksi tumbuh melambat pada
triwulan I 2017 sebesar 5,49% (yoy),
dibandingkan triwulan sebelumnya yang
tumbuh 6,57% (yoy). Siklus perlambatan
investasi di awal tahun dan kecenderungan
investor untuk wait and see memicu terbatasnya
kinerja konstruksi pada triwulan laporan. Kondisi
ini terkonfirmasi dari likert scale investasi dan
kapasitas utilisasi yang relatif menurun. Di sisi
lain, sebagian proyek pembangunan infrastruktur
pemerintah pada triwulan laporan sudah
mencapai tahap akhir, sementara sebagian
proyek lainnya masih dalam tahap awal berupa
studi kelayakan dan proses pengadaan.
terkait pembangunan jalan tol, pelabuhan dan
fasilitas pendukung pelaksanaan Asian Games
2018 diperkirakan mendorong perbaikan kinerja
konstruksi. Realisasi belanja investasi swasta juga
diperkirakan meningkat guna peningkatan
kapasitas produksi merespon permintaan yang
semakin tinggi di triwulan II. Hasil survei SKDU
kepada beberapa
perusahaan konstruksi
menunjukkan bahwa kegiatan usaha konstruksi
akan semakin baik (Grafik II.18)
Grafik II.18. SKDU Konstruksi
Fiskal Daerah
Grafik II.16. Likert Scale Investasi dan Kapasitas
Utilisasi.
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Grafik II.17. Konsumsi Semen Sumatera
Ke depan, sektor konstruksi diperkirakan akan
menguat sejalan percepatan realisasi proyek
strategis nasional di Sumatera. Percepatan
beberapa proyek infrastruktur di Sumatera
15
Peningkatan realisasi belanja APBD menjadi
salah satu tumpuan pertumbuhan ekonomi di
Sumatera. Serapan belanja APBD di Sumatera
(termasuk APBD provinsi dan kabupaten/kota)
pada triwulan I 2017 mencapai 8,63%, lebih tinggi
dibandingkan periode yang sam tahun
sebelumnya sebesar 8,30%. Secara spasial,
penyerapan tertinggi terjadi di Bengkulu dengan
mencapai 11,81%, disusul Jambi 10,81% dan Kep.
Bangka Belitung 10,61%.
Secara spasial, dari 10 provinsi di Sumatera, 6
provinsi mengalami peningkatan penyerapan
belanja APBD pada triwulan I dibandingkan
periode yang sama tahun sebelumnya.
Peningkatan penyerapan belanja APBD terjadi di
Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, dan
Kep. Bangka Belitung.
Peningkatan penyerapan fiskal daerah tersebut
mengakselerasi
pertumbuhan
ekonomi
Sumatera. Meningkatnya realisasi APBD di
triwulan laporan searah dengan membaiknya
kinerja konsumsi pemerintah, meskipun Pemda
sempat mengalami perubahan struktur organisasi
dan mutasi pejabat pengelola keuangan.
APBD Sumatera tahun 2017 mengalami
peningkatan menjadi sebesar Rp227,8 triliun
dibandingkan APBD tahun 2016 sebesar Rp196,8
triliun. Secara spasial, provinsi yang mengalami
peningkatan APBD terbesar terjadi di Sumatera
Utara sebesar 26,57% (yoy). Sebaliknya,
beberapa provinsi menunjukkan penurunan
anggaran seperti di Riau seiring dengan DBH
migas yang menurun.
Grafik II.19. Realisasi APBD Sumatera Triwulan I 2017
Peningkatan penyerapan APBD di tahun 2017
antara lain disebabkan oleh percepatan
pengesahan APBD, peralihan kewenangan
penyaluran dana sertifikasi guru, serta kenaikan
transfer dana desa. Alokasi DAU di Sumatera
mengalami peningkatan seiring dengan peralihan
kewenangan penyaluran dana sertifikasi guru dari
kabupaten/kota ke provinsi. Di samping itu,
alokasi Dana Desa untuk tahun anggaran 2017 di
Sumatera mencapai Rp18 triliun, lebih tinggi
dibandingkan tahun sebelumnya Rp14,2 triliun.
Berdasarkan kebijakan terbaru, penyaluran Dana
Desa di daerah akan dilakukan oleh Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN),
sehingga penyalurannya dapat lebih merata
hingga ke pelosok daerah. Realisasi penyaluran
Dana Desa tahap I akan dilakukan pada bulan
April-Juli 2017.
Perkembangan Inflasi
Pada triwulan I 2017, laju inflasi Sumatera
menurun dari triwulan sebelumnya yang
sebesar 4,53% (yoy) menjadi 3,92% (yoy).
16
Namun capaian tersebut tercatat lebih tinggi
dibandingkan dengan inflasi nasional sebesar
3,61% (yoy).
Penurunan tekanan inflasi berasal dari
kelompok volatile food. Rendahnya inflasi
kelompok volatile food dipicu oleh penurunan
harga sejumlah komoditas pangan, antara lain:
cabe merah, daging ayam ras, telur, serta
beberapa jenis sayur-sayuran seiring dengan
terpenuhinya pasokan dengan masuknya musim
panen, serta terpenuhinya pemenuhan pasokan
yang berasal dari daerah lain.
Namun di sisi lain tekanan inflasi dari kelompok
administered price masih cukup tinggi,
khususnya akibat kenaikan biaya tarif listrik, tarif
angkutan udara, bensin, dan rokok kretek.
Kenaikan
tarif
listrik
diakibatkan
oleh
penyesuaian tahap II bagi pelanggan paska bayar
daya 900 VA nonsubsidi, sementara kenaikan
tarif
angkutan
udara disebabkan
oleh
meningkatnya permintaan akibat banyaknya
momentum liburan panjang selama triwulan I.
Sedangkan inflasi bensin didorong oleh kenaikan
harga bahan bakar khusus (BBK) yang meningkat
Rp100/liter, dan kenaikan harga rokok
disebabkan oleh peningkatan cukai rokok sebesar
10,54% per tahun. (Grafik II.20)
Grafik II.20. Realisasi APBD Sumatera Triwulan I 2017
Inflasi kelompok inti (core inflation) juga
tercatat
mengalami
trend
peningkatan.
Peningkatan tekanan inflasi inti diakibatkan dari
sisi permintaan seiring kenaikan penghasilan
masyarakat dari kenaikan upah. Di samping itu,
tekanan inflasi juga bersumber dari kenaikan
biaya sewa/kontrak rumah, serta
ekspektasi inflasi masyarakat.
peningkatan
Secara spasial, inflasi tertinggi terjadi di Bangka
Belitung dan Bengkulu dengan masing-masing
sebesar 6,40% (yoy) dan 6,01% (yoy). Sebaliknya,
inflasi terendah terjadi di Jambi dan Kepulauan
Riau yang masing-masing tercatat sebesar 2,85%
(yoy) dan 3,08% (yoy).
Inflasi Sumatera pada triwulan II 2017
diperkirakan meningkat menjadi 5,24% (yoy)
(Grafik II.19). Peningkatan tekanan inflasi berasal
dari kelompok administered prices akibat
penyesuaian subsidi energi oleh Pemerintah,
serta peningkatan permintaan terkait momentum
Ramadhan dan HBKN IdulFitri.
Dalam rangka pengendalian inflasi di Sumatera,
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di
Sumatera menjalankan beberapa kegiatan
unggulan, antara lain:
a.
Mengupayakan optimalisasi penanganan
pasca panen dan penerapan gerakan tanam
cabai di polybag untuk mengendalikan harga
komoditas cabai.
b.
Pengembangan Pusat Informasi Harga
Pangan
Strategis
(PIHPS)
di
17
Kabupaten/Kota dan sinkronisasi Early
Warning System agar dapat memberikan
peringatan bagi daerah yang harga
pangannya melonjak naik.
c.
Melaksanakan inisiasi koperasi peternak
ayam guna memberikan kemudahan akses
tambahan likuiditas bagi peternak ayam.
d.
Memperbanyak jumlah Toko Tani Indonesia,
Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat
(LDPM), gudang dan cold storage untuk
memastikan kelancaran distribusi dan
ketersediaan pasokan pangan.
e.
17
Pembentukan klaster bawang merah dan
hortikultura, serta pengadaan kebutuhan
pangan
mengantisipasi
peningkatan
permintaan dimasa Ramadhan dan HBKN
IdulFitri di Sumatera Selatan.
f.
Memperluas jaringan Rumah Pangan Kita
(RPK) untuk menjual dan mendistribusikan
beras di Kepulauan Riau.
g.
Pembentukan klaster pembibitan
Brahman X di Kabupaten Siak, Riau.
h.
Diversifikasi pangan dan konsumsi produk
lokal di Bengkulu. TPID Bengkulu juga
melakukan pengembangan produk substitusi
daging ayam kampung dan daging itik talang
benih
sapi
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko
Peningkatan harga komoditas berdampak pada
6
membaiknya kinerja korporasi di kawasan
Sumatera. Hal ini tercermin dari membaiknya
rentabilitas, likuiditas, solvabilitas perusahaan
yang
berdampak
pada
meningkatnya
kemampuan membayar dalam memenuhi
kewajiban pembayaran hutang dan bunga.
Kemampuan korporasi dalam menghasilkan laba
dari aset yang dimiliki semakin meningkat sejalan
dengan
kemampuan
korporasi
dalam
memaksimalkan tingkat pengembalian ekuitas
untuk menghasilkan laba bagi pemegang saham.
Grafik II.21. ROA Korporasi Sumatera
Rasio
rentabilitas
korporasi
menunjukan
perbaikan sejak triwulan I 2016 (Grafik II.21).
Return on Asset (ROA) mengalami peningkatan
6
Korporasi di Sumatera diwakilkan oleh 12 perusahaan yang
tercatat dalam Bursa Efek Indonesia.
dari 2,84% pada triwulan III 2016 menjadi 3,67%
pada triwulan IV 2016. Indikator lainnya yaitu
Return on Equity (ROE) juga tercatat meningkat
dari 6,02% menjadi 7,58% (Grafik II.22).
Membaiknya indikator profitabilitas tersebut
terutama
terjadi
baik
pada
korporasi
perkebunan, pertambangan, maupun industri
pengolahan.
kewajiban berupa bunga pinjaman mengalami
peningkatan yang tercermin dari ICR dari triwulan
III 2016 yang hanya mencapai 4,72 menjadi 7,86
pada triwulan IV 2016. Selain itu, (DSR) korprorasi
mengalami penurunan yang mengindikasikan
terjadi peningkatan kemampuan laba perusahaan
untuk menutup risk debt yang dimiliki baik itu
kewajiban jangka pendek, baik pemenuhan
pembayaran pokok hutang maupun bunganya.
DSR pada triwulan IV 2016 mencapai 12,93,
membaik
dibandingkan
dengan
triwulan
sebelummya yang tercatat sebesar 13,06 (Grafik
II.24).
Sumber: Bloomberg
Grafik II.22. ROE Korporasi Sumatera
Ketahanan korporasi juga terlihat dari proporsi
hutang terhadap pendanaan yang semakin
menurun.
Preferensi
korporasi
dalam
penggunaan dana internal semakin tinggi
dibandingkan dengan penambahan porsi hutang
dari pihak eksternal. Hal ini tercermin dari
turunnya rasio Debt to Equity Ratio (DER) dari
sebesar 1,29 menjadi 1,26 (Grafik II.23.).
Sumber: Bloomberg
Grafik II.24. ICR Korporasi Sumatera
Grafik II.25. DSR Korporasi Sumatera
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Sumber: Bloomberg
Grafik II.23. DER Korporasi Sumatera
Perbaikan profitabilitas serta kemampuan
korporasi dalam membayar hutang semakin
membaik tercermin dari perbaikan rasio Interest
Coverage Ratio (ICR) dan Debt Service Ratio
(DSR). Kemampuan korporasi dalam memenuhi
18
Penurunan suku bunga kredit di triwulan I 2017
diikuti dengan peningkatan penyaluran kredit
kepada korporasi. Suku bunga kredit tercatat
9,14%,
menurun
dibandingkan
triwulan
sebelumnya sebesar 9,28%. Penurunan suku
bunga ini terjadi baik pada suku bunga kredit
modal kerja maupun suku bunga kredit investasi.
Sejalan dengan penurunan suku bunga kredit,
penyaluran kredit perbankan ke korporasi
tumbuh meningkat dari 5,43% (yoy) pada
triwulan IV 2016 menjadi 8,33% (yoy) pada
triwulan I 2017. Peningkatan terutama terjadi
pada penyaluran kredit industri pengolahan dan
kredit perdagangan yang masing-masing memiliki
pangsa 35,47% dan 17,68% dari total penyaluran
kredit korporasi (Grafik II.26). Penyaluran kredit
ke sektor industri pertanian melambat dari 9,09%
(yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 1,14% (yoy).
Sementara kredit perdagangan tumbuh menjadi
12.87% (yoy) dari sebelumnya 3.91% (yoy).
Grafik II.28. Pertumbuhan Kredit Korporasi Sektoral
Grafik II.29. Pertumbuhan NPL Kredit Korporasi Sektoral
Grafik II.26. Proporsi Kredit Sektoral Korporasi
Peningkatan aktivitas usaha dan penghasilan
korporasi
seiring
peningkatan
penjualan
berdampak positif terhadap peningkatan DPK
korporasi. DPK perbankan milik korporasi
mengalami pertumbuhan dari 5,40% menjadi
17,66% pada triwulan laporan. Pertumbuhan
terjadi pada semua jenis DPK, baik tabungan,
deposito dan giro.
Grafik II.27. Proporsi Kredit Korporasi per Jenis
Penggunaan
Pertumbuhan kredit masih didukung dengan
NPL yang relatif terjaga. Tingkat NPL sektor
korporasi sepanjang dua triwulan terakhir relatif
stabil dan terjaga, yaitu dari 2,37% menjadi
2,39%. Secara sektoral, peningkatan NPL terjadi
pada sektor-sektor seperti pertanian, industri,
konstruksi, dan perdagangan. Namun demikian,
keseluruhan rasio NPL masih berada dibawah
target indikatif 5%. (Grafik II.28)
19
Grafik II.30. Pertumbuhan DPK Korporasi Sumatera
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah
Tangga
Perbaikan daya beli dan pendapatan mendorong
peningkatan konsumsi rumah tangga dan
kenaikan
tabungan
milik
perseorangan.
Pertumbuhan DPK perseorangan Sumatera pada
triwulan I 2017 tercatat tumbuh sebesar 11,37%
(yoy),
membaik
dibandingkan
triwulan
sebelumnya yang tumbuh sebesar 10,50% (yoy).
DPK perseorangan masih mendominasi porsi DPK
perbankan atau mencapai 70,52% (Grafik II.31).
Meskipun sedikit menurun dibandingkan periode
sebelumnya, pertumbuhan DPK perseorangan
masih menjadi penopang pertumbuhan DPK
(Grafik II.32).
Grafik II.31. Perkembangan Pangsa DPK Perseorangan
Kredit Perseorangan di Perbankan
Penurunan suku bunga kredit perumahan (KPR)
dan kredit kendaraan bermotor (KKB) di
triwulan I 2017 berdampak pada peningkatan
pertumbuhan kredit KPR dan KKB, namun
pertumbuhan tersebut tertahan oleh kredit
multiguna yang tumbuh terbatas. Secara
keseluruhan penyaluran kredit sektor rumah
tangga (RT) membaik dari tumbuh 7,23% (yoy)
pada triwulan IV 2016 menjadi 8,04% (yoy) pada
triwulan I 2017 (Grafik II.33).
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tumbuh 7,00%
(yoy)
menguat
dibandingkan
triwulan
sebelumnya yang tumbuh 6,76% (yoy) (Grafik
II.34). Peningkatan pertumbuhan KPR terutama
terjadi pada penyaluran KPR untuk tipe rumah di
2
atas 70 m . Demikian juga dengan pertumbuhan
KKB yang mengalami perbaikan meskipun masih
mengalami kontraksi, dari semula menurun
6,51% (yoy) menjadi menurun 3,62% (yoy).
Perbaikan penyaluran KKB tersebut terjadi baik
untuk kendaraan sepeda motor maupun
kendaraan bermotor lainnya. Sementara itu,
kredit multiguna mengalami perlambatan pada
triwulan I 2017 dengan tumbuh 7,21% (yoy),
lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya
yang sebesar 7,98% (yoy).
Grafik II.32. Perkembangan Pertumbuhan DPK
Perseorangan
Pertumbuhan DPK Perorangan pada triwulan
laporan didorong utamanya oleh pertumbuhan
tabungan dari 10,01% (yoy) menjadi 12,59%
(yoy). Sementara itu, pertumbuhan deposito dan
giro mengalami perlambatan. Pertumbuhan
deposito dalam dua triwulan terakhir tumbuh
melambat dari 16,92% (yoy) dan 10,60% (yoy),
begitupula pertumbuhan giro yang melambat
dari 16,79% (yoy) menjadi 8,40% (yoy).
20
Grafik II.33. Pertumbuhan Pembiayaan Sektor Rumah
Tangga per Jenis Penggunaan
Di tengah pertumbuhan penyaluran kredit RT
yang meningkat, rasio NPL tetap terjaga di bawah
5%, meskipun terjadi peningkatan. Rasio NPL
meningkat dari 1,69% di triwulan IV 2016
menjadi 2,8% di triwulan I 2017. Peningkatan NPL
kredit RT terjadi pada seluruh jenis penyaluran
kredit RT, dengan kenaikan tertinggi pada NPL
KPR/KPA.
pemerintah di triwulan I. Kondisi net inflow ini
dialami hampir seluruh provinsi di Sumatera
terkecuali Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan
Sumatera Selatan. Secara total, net inflow
Sumatera di triwulan I 2017 mencapai Rp7,85
triliun. Berdasarkan provinsinya, aliran uang
masuk (inflow) terbesar terjadi di Sumatera Utara
(Rp4,98 triliun) dan Sumatera Barat (Rp2,44
triliun) (Grafik II.35)
Grafik II.34. Pertumbuhan KPR per Tipe
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM)
Penyaluran kredit UMKM di Sumatera
cenderung melambat serta tumbuh di bawah
pertumbuhan nasional. Penyaluran kredit UMKM
pada triwulan I 2017 tercatat tumbuh sebesar
15,49% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan
IV 2016 sebesar 5,20% (yoy). Secara sektoral,
pertumbuhan kredit UMKM terjadi pada sektor
ekonomi utama di Sumatera, seperti industri
pengolahan, pertanian, pertambangan, dan
perdagangan dengan pertumbuhan pada triwulan
laporan masing-masing sebesar 72,54%; 36,25%;
31,28%; dan 4,51%.
Penyaluran kredit UMKM Sumatera pada
triwulan I 2017 masih didominasi oleh sektor
perdagangan, hotel, dan restoran (PHR), dan
sektor pertanian, masing-masing tercatat sebesar
49,2% dan 24,7%.
Grafik II.35. Pembayaran Tunai
Sementara itu, temuan uang palsu (UPAL) di
wilayah Sumatera pada triwulan I 2017
sebanyak 1.661 lembar. Penemuan tersebut
menurun dibanding triwulan IV 2016 yang
berjumlah sebanyak 4.781 lembar dan lebih kecil
dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang
mencapai 5.371 lembar. Secara spasial, temuan
UPAL se-Sumatera terbanyak berasal dari
Lampung (48,48%) dan Sumatera Selatan
(18,00%).
Peningkatan penyaluran kredit UMKM tersebut
masih diikuti dengan NPL yang relatif terjaga.
Rasio NPL kredit UMKM sedikit meningkat dari
5,04% (yoy) di triwulan IV 2016 menjadi 5,05% di
triwulan I 2017 (yoy) .
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Transaksi keuangan tunai
mengalami penurunan net
triwulan yang sama tahun
sejalan dengan pola
21
di triwulan I 2017
inflow dibandingkan
lalu. Peningkatan ini
operasi keuangan
Grafik II.36. Temuan Uang Palsu (UPAL)
Sistem Pembayaran Non-Tunai
Transaksi kliring di kawasan Sumatera baik
secara nominal maupun volume pada triwulan I
2017
menurun
dibandingkan
triwulan
sebelumnya seiring dengan penurunan aktivitas
sektor perdagangan. Secara nominal transaksi
kliring triwulan I 2017 tumbuh sebesar 13,22%
(yoy), melambat dibandingkan triwulan IV 2016
yang tumbuh 14,75% (yoy). Total transaksi kliring
pada triwulan I tahun 2017 mencapai Rp114,36
triliun, meningkat dari Rp120,79 triliun pada
triwulan sebelumnya.
Sejalan dengan
perlambatan transaksi kliring secara nominal,
volume kliring juga turut melambat dibandingkan
dengan triwulan IV 2016 yang tumbuh sebesar
15,37% (yoy) menjadi sebesar 7,08% (yoy) pada
triwulan I 2017 (Grafik II.38).
Perkembangan Layanan Keuangan Digital di
Wilayah Sumatera
Ketersediaan Layanan Keuangan Digital (LKD)
bagi
penduduk
Sumatera
menunjukkan
peningkatan signifikan. Pada triwulan I 2017
ketersediaan LKD meningkat 5,24% (yoy). Jumlah
agen LKD di wilayah Sumatera saat ini telah
mencapai 30.844 agen. Provinsi dengan jumlah
agen LKD terbesar berasal dari Sumatera Utara
atau mencapai 26,89% dari total agen LKD seSumatera. Sementara jumlah agen LKD di
Bengkulu masih terbatas dengan hanya mencapai
2,21% dari total agen LKD yang berada di wilayah
Sumatera.
Grafik II.37. Transaksi Kliring Menurut Nominal
(Wilayah Sumatera)
Grafik II.39. Jumlah Agen LKD
Dalam rangka meningkatkan jumlah agen LKD di
daerah, Bank Indonesia melaksanakan beberapa
program, antara lain:
Grafik II.38. Transaksi Kliring Menurut Volume
Secara spasial, transaksi kliring tertinggi terjadi di
Sumatera Utara sebesar Rp48,95 triliun atau
42,8% dari keseluruhan transaksi di Sumatera.
Sedangkan transaksi kliring terendah terjadi di
Bengkulu dengan nominal sebesar Rp1,5 triliun
atau 1,31% dari total Sumatera.
22
a.
Melakukan sosialisasi dan kampanye LKD
kepada pemerintah daerah, sekolah,
universitas, dan pengusaha (termasuk
UMKM).
b.
Melakukan
kerjasama
diikuti
penandatanganan MoU antara BI, perbankan
dan instansi terkait untuk pembayaran gaji,
pajak, tagihan, dan cicilan pelunasan
pinjaman.
c.
Mendorong kerjasama antara perbankan,
pemerintah daerah, dan sekolah dalam
penyaluran dana sosial bergulir ke
masyarakat, pelaku UMKM, dan pembayaran
pajak oleh Pemda.
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Sumatera triwulan III 2017
diperkirakan tumbuh relatif stabil dengan
kecenderungan sedikit meningkat dibandingkan
triwulan II 2017 dengan berada pada level
4,54%. Perbaikan tersebut terutama didorong
oleh tingginya realisasi belanja Pemerintah dan
masih relatif terjaganya tingkat konsumsi
masyarakat. Di sisi sektoral, industri pengolahan
diperkirakan masih tumbuh stabil didorong oleh
permintaan global yang masih resilien, sedangkan
lapangan usaha pertanian dan perdagangan
diperkirakan sedikit menurun seiring dengan
berakhirnya masa panen raya dan penurunan
permintaan pasca momentum perayaan HBKN
Idul Fitri.
Konsumsi rumah tangga pada triwulan III 17
diperkirakan tumbuh terbatas sejalan dengan
dampak seasonal penuruan permintaan paska
Ramadhan dan HBKN Idul Fitri. Peningkatan
terbatas ini terkonfirmasi dari IKK terhadap
kondisi 6 bulan mendatang yang menunjukkan
arah sedikit perlambatan. Di sisi lain, konsumsi
pemerintah diprakirakan meningkat didorong
oleh percepatan realisiasi proyek pembangunan
strategis nasional di Sumatera. Ekspor luar negeri
pada triwulan III 2017 diprediksikan akan
meningkat terkait adanya potensi diversifikasi
tujuan ekspor CPO seperti ke Pakistan dengan
disepakatinya
perjanjian
kerjasama
perdangangan antara Indonesia dengan Pakistan
(PTA), serta didorong pula oleh meningkatnya
produksi perkebunan.
Secara keseluruhan tahun 2017, perekonomian
Sumatera diprakirakan akan mengalami
perbaikan, terutama didorong oleh peningkatan
konsumsi rumah tangga, ekspor dan belanja
pemerintah. Pertumbuhan ekonomi Sumatera
pada 2017 diprakirakan tumbuh 4,47% (yoy).
Perbaikan konsumsi rumah tangga pada 2017
didorong momentum perbaikan harga komoditas
perkebunan serta pelaksanaan Pilkada di
beberapa daerah. Investasi akan mengalami
23
perbaikan sejalan dengan masih berlanjutnya
proyek infrastruktur strategis pemerintah, antara
lain: infrastruktur pendukung Asian Games,
pembangunan tol dan jalur kereta api Sumatera.
Lebih cepatnya proses penyaluran DAU dan DAK
dibandingkan tahun 2016 diharapkan dapat
diikuti oleh peningkatan realisasi belanja
pemerintah.
Kinerja ekspor diprakirakan akan meningkat
seiring dengan masih positifnya pergerakan harga
komoditas dunia, dan didorong pula oleh
perbaikan kondisi ekonomi negara mitra dagang
sehingga akan meningkatkan permintaan ekspor.
Secara sektoral, perbaikan ekonomi Sumatera
akan ditopang oleh sektor pertanian sebagai
dampak peningkatan produksi perkebunan dan
harga komoditas yang masih akan tumbuh positif.
Hal ini kemudian turut berdampak positif pada
perbaikan kinerja industri pengolahan dan
perdagangan.
Secara spasial, perbaikan ekonomi Sumatera
pada keseluruhan tahun 2017 akan terjadi pada
hampir seluruh provinsi, kecuali di Aceh,
Sumatera Utara dan Kepulauan Riau. Produksi
dan cadangan migas yang diperkirakan akan terus
mengalami penurunan (Aceh dan Kepulauan
Riau), serta terjadi perlambatan di sektor
pertanian dan ekspor antar daerah (Sumatera
Utara).
Prospek Inflasi
Inflasi Sumatera pada keseluruhan tahun 2017
diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan
2016. Level inflasi Sumatera pada 2017
diprakirakan akan berada dalam kisaran target
inflasi nasional, yaitu 4% ± 1%. Selain disebabkan
oleh base effect inflasi tahun 2016 yang
cenderung tinggi, penurunan inflasi di tahun 2017
juga didukung oleh beberapa faktor yang salah
satunya bersumber dari menurunnya tekanan
inflasi dari harga pangan. Produksi tanaman
bahan pangan diprakirakan akan membaik
didukung oleh kondisi cuaca yang relatif kondusif.
Implementasi penetapan Harga Eceran Tertinggi
(HET) pada beberapa
komoditas akan
mendukung upaya pengendalian inflasi di
Sumatera. Perbaikan jalur distribusi seiring
dengan mulai beroperasinya beberapa ruas tol
baru akan semakin menunjang konektivitas
antardaerah dan kelancaran distribusi pangan
dari daerah lain.
Beberapa faktor risiko yang perlu mendapat
perhatian mengingat dampaknya terhadap
peningkatan tekanan inflasi, yaitu terkait
kebijakan penyesuaian administered price. Untuk
mengurangi dampak inflasi akibat pelaksanaan
kebijakan tersebut, maka diperlukan upaya di
bawah koordinasi TPID
untuk mengelola
ekspektasi masyarakat, serta menjaga agar inflasi
kelompok volatile food tetap relatif rendah dan
stabil.
24
Boks 1
Sumber Utama Perekonomian
Sumatera
Dalam sepuluh tahun terakhir, rata-rata
pertumbuhan ekonomi Sumatera berada di
bawah nasional. Tiga sektor utama ekonomi
yang mencakup 57% dari total perekonomian
Sumatera adalah pertanian, industri pengolahan
dan pertambangan dengah pangsa masingmasing 23%, 21%, dan 13% (Grafik II.40).
Pertumbuhan ekonomi Sumatera yang lebih
rendah dibandingkan dengan nasional terutama
disebabkan oleh melambatnya kinerja sektor
pertambangan.
Perlambatan
sektor
pertambangan
tersebut
bersumber
dari
penurunan produksi minyak dan gas bumi yang
terjadi secara alamiah (natural declining),
terbatasnya investasi baru di sektor migas, dan
penurunan harga komoditas tambang dalam
beberapa tahun terakhir.
ekspor Sumatera agar risiko yang bersumber dari
gejolak eksternal, khususnya gejolak permintaan
dan harga komoditas di pasar internasional,
dapat dimitigasi.
Sumber: Bank Indonesia, data diolah, Cognos, UN
Comtrade diolah berdasarkan klasifikasi UNIDO
Grafik II.41. Persentase Ekspor Sumatera
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.42. Diversifikasi Komoditas Ekspor
Sumber: BPS, 2016
Grafik II.40. Pangsa Sektoral PDRB (%) – Sumatera
Dari sisi ekspor, sebagian besar komoditas ekspor
nonmigas merupakan hasil ekstraksi Sumber
Daya Alam (SDA) sehingga cenderung memiliki
nilai tambah relatif rendah. Dari total seluruh
produk ekspor Sumatera pada 2016, sekitar 70%nya berasal dari SDA seperti CPO dan produk
olahannya, batubara, karet, kopi, kertas, timah,
dan produk pertanian lainnya. Kerentanan yang
terjadi pada kinerja ekspor menjadi pendorong
perlunya strategi kebijakan diversifikasi produk
25
Keberagaman produk ekspor di sebagian besar
provinsi di Sumatera masih cukup rendah.
Sebagaimana terlihat pada Grafik II.42, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Sumatera Barat dan
Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi
dengan tingkat keberagaman produk ekspor
cukup rendah. Sementara, untuk Aceh, Jambi,
Lampung dan Riau, keberagaman produk
ekspornya relatif lebih tinggi. Hanya Sumatera
Utara dan Kepulauan Riau yang memiliki
keberagaman produk ekspor yang paling tinggi.
dengan menggunakan metode BCG Matrix,
Backward and Forward Linkage, Prospek Ekspor,
serta kesesuaian dengan RPJMD/RPJMN,
terdapat beberapa komoditas yang potensial
untuk dikembangkan lebih lanjut di Sumatera.
Komoditas potensial tersebut di antaranya adalah
hilirisasi kelapa sawit, kopi, perikanan, konstruksi
dan pariwisata.
Sumber: Hasil Estimasi, BI
Nilai mendekati 0 berarti portfolio eksport
terdiversifikasi, nilai mendekati 1 terkonsentrasi
Grafik II.43. HHI Product Concentration Index Ekspor
Sumatera
Dalam empat tahun terakhir, tren ekspor non
migas Sumatera semakin terkonsentrasi, yang
mengindikasikan
ketergantungan
ekspor
terhadap komoditas utama semakin tinggi. Hal ini
tercermin dari indeks Herfindhl Hirschman pada
Grafik II.43. Peningkatan konsentrasi ekspor
Sumatera berada jauh di atas level nasional.
Secara provinsi, hanya Kepulauan Riau memiliki
tingkat diversifikasi produk ekspornya yang tinggi
(HHI = 0.11).
Perikanan
Pangsa sektor perikanan tangkap Sumatera
terhadap nasional tergolong cukup besar yaitu
mencapai 27,9%. Sejumlah provinsi di Sumatera
yang merupakan penghasil utama produk
perikanan yaitu Sumatera Utara, Lampung dan
Kepulauan Riau. Sebagian besar hasil perikanan
tangkap Sumatera dipasarkan dalam bentuk ikan
segar, sehingga memiliki nilai tambah yang
rendah. Adapun pangsa ekspor perikanan
Sumatera hanya mencapai 8,36% dari ekspor
perikanan secara nasional
Diversifikasi Vertikal dan Horizontal di
Sumatera
Tabel II.3. Kajian Pemetaan Sektor/Komoditas Potensial
di Sumatera
Grafik II.44. Ekspor vs Produksi Perikanan Sumatera
*Berdasarkan strategi daerah yang disusun dalam
RPJMN 2015-2019 dan RPJMD
Sumber: Hasil Estimasi, BI
Beberapa sumber pertumbuhan ekonomi baru
dapat menjadi alternatif diversifikasi ekonomi
Sumatera. Berdasarkan hasil kajian pemetaan
26
Dengan potensi perikanan yang tergolong besar,
hasil perikanan tangkap Sumatera memiliki
peluang untuk lebih ditingkatkan, terutama untuk
daerah yang berdekatan dengan Laut Natuna dan
Laut Cina Selatan. Namun, terdapat beberapa
tantangan peningkatan hasil perikanan laut yaitu
(i) keterbatasan sarana prasarana, antara lain
jumlah/kapasitas kapal dan cold storage; dan (ii)
kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM). Kapal
nelayan Sumatera mayoritas memiliki kapasitas
yang kecil, dimana 93% kapal nelayan bermuatan
di bawah 10 gross ton. Adapun sarana cold
storage yang tersedia saat ini hanya mampu
memenuhi 2,34% kebutuhan atau hanya memiliki
kapasitas sekitar 22,7 ribu ton dari total
kebutuhan 969,7 ribu ton. Dengan demikian,
peningkatan daya saing industri perikanan di
Sumatera memerlukan strategi kebijakan
terintegrasi meliputi pengembangan kapasitas
SDM (tenaga kerja), infrastruktur teknologi,
konektivitas, inovasi, keberadaan industri terkait,
serta regulasi yang mendukung pengembangan
sektor prioritas.
Pariwisata
Pangsa
pariwisata
dalam
perekonomian
Sumatera terus menunjukkan peningkatan.
Pangsa sektor transportasi dan sektor penyedia
akomodasi makan minum berada di atas 5% dari
total PDRB Sumatera dan cenderung terus
meningkat.
Adapun
pangsa
wisatawan
mancanegara (wisman) yang mengunjungi
Sumatera terhadap total wisman nasional
mencapai hampir 23%, sementara pangsa
wisatawan nusantara mencapai sekitar 16%.
Kunjungan wisman ke Sumatera masih
terkonsentrasi di Kepulauan Riau dan Sumatera
Utara mengingat akses transportasi di daerah
tersebut yang relatif lebih mudah dibandingkan
daerah lain. Sementara itu, sebaran kunjungan
wisatawan nusantara relatif lebih beragam.
Berdasarkan tingkat daya saingnya, daya saing
pariwisata di berbagai daerah Sumatera belum
merata. Berdasarkan Indeks Pariwisata Indonesia
2016, hanya terdapat 4 (empat) kota/kabupaten
yang termasuk dalam peringkat 20 besar
nasional. Daerah di Sumatera yang memiliki daya
saing pariwisata paling tinggi yaitu Batam,
Padang, Palembang dan Belitung. Berdasarkan
daftar Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, setiap provinsi
di Sumatera memiliki destinasi pariwisata
unggulan. Dua daerah di antaranya menjadi
Destinasi Wisata Prioritas di Indonesia, yakni
Danau Toba dan Tanjung Kelayang.
Melalui survei yang dilakukan terhadap 32
perusahaan di sektor pariwisata Sumatera
disimpulkan beberapa upaya yang perlu
27
dilakukan untuk meningkatkan daya saing
pariwisata. Upaya perbaikan yang diperlukan
antara lain terkait ketersediaan fasilitas umum,
teknologi, pemasaran/paket promosi pariwisata,
iklim usaha yang kondusif, ketersediaan
infrastruktur pendukung konektivitas dan
aksesibilitas.
Tabel II.4. Indeks Daya Saing Pariwisata 2016
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kab / Kota Skor Peringkat
Denpasar
3.94
1
Sleman
3.9
2
Surabaya
3.87
3
Batam
3.84
4
Badung
3.66
5
Semarang 3.64
6
Bandung
3.34
7
Bogor
3.3
8
Banyuwangi 3.26
9
Bantul
3.25
10
No
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Kab / Kota
Makasar
Gianyar
Kota Batu
Sukabumi
Yogyakarta
Padang
Kebumen
Surakarta
Palembang
Beitung
Skor Peringkat
3.07
11
3.06
12
3.04
13
3.03
14
3.03
15
3.02
16
3.02
17
3.01
18
2.99
19
2.97
20
Sumber : Kompas
Optimalisasi pengembangan pariwisata Sumatera
diperkirakan
mampu
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi wilayah. Hasil estimasi
Bank Indonesia menunjukkan bahwa setiap
peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan
domestik
sebesar
10%
akan
mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar
0,31% dan mendorong penambahan jumlah
tenaga kerja sekitar 0,68%.
Perkebunan Kopi
Secara nasional, Sumatera merupakan pelaku
utama ekspor kopi Indonesia. Ekspor kopi
Sumatera mencapai 80,1% dari total ekspor kopi
nasional. Komoditas kopi memiliki prospek
pengembangan
lebih
lanjut
mengingat
permintaan dalam negeri dan luar negeri yang
terus meningkat. Selain itu, perkembangan harga
kopi yang diprediksi akan terus meningkat ratarata 2,5% per tahun sampai dengan 2020 juga
merupakan peluang yang harus dioptimalkan.
Namun, nilai tambah produk kopi ekspor
Sumatera masih relatif rendah karena sebagian
besar diekspor hanya dalam bentuk non-roasted
coffee. Non-roasted coffee memiliki nilai tambah
yang lebih rendah dibandingkan roasted coffee
tercermin dari lebih tingginya harga jual roasted
coffee dibandingkan non-roasted coffee (Grafik
II.44).
sarana prasarana, permodalan, teknologi, riset
produk, dan akses pemasaran.
Keterbatasan industri pengolahan kopi Sumatera
yang ada saat ini menjadi salah satu faktor
penyebab rendahnya nilai tambah produk kopi.
Di lain sisi, permintaaan kopi olahan di dunia
terus meningkat, terlihat dari kenaikan pangsa
kopi olahan (Grafik II.45). Saat ini, industri
pengolahan Sumatera terkonsentrasi di Sumatera
Utara, Lampung dan Sumatera Selatan.
Konstruksi
Sumber: Badan Pusat Statistik dan SITC, UN Comtrade,
Kementrian Perindustrian, 2016
Grafik II.45. Perbandingan Harga Kopi Roasted dan Non
Roasted
Sektor konstruksi di Sumatera menunjukkan
trend yang terus meningkat dalam 5 tahun
terakhir,
disertai
dengan
peningkatan
penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan jenis
kegiatannya, perkembangan konstruksi terutama
didukung oleh pembangunan sub sektor
bangunan sipil untuk publik yang mencakup jalan,
jembatan dan landasan, jalan, jembatan kereta
api, pengairan, dan dermaga dengan pangsa 60%.
Kemudian, diikuti sub sektor bangunan gedung
yang mencakup tempat tinggal, kantor, pusat
perbelanjaan, kesehatan, pendidikan, akomodasi,
dan tempat hiburan dengan pangsa 28%.
Peluang sektor swasta untuk terlibat dalam
sektor konstruksi sangat besar terutama dalam
konstruksi bangunan perumahan dan komersial.
Peluang pembangunan perumahan di Sumatera
cukup besar mengingat masih ada sekitar 22%
rumah tangga yang belum memiliki hunian milik
sendiri dan backlog pasokan rumah yang
mencapai 3 juta rumah (KemenPUPERA, 2015).
Sumber: Badan Pusat Statistik dan SITC, UN Comtrade,
Kementrian Perindustrian, 2016
Grafik II.46. Pangsa Kopi Olahan Dunia
Berdasarkan indikator luas lahan, jumlah
produksi,
jumlah
ekspor
serta
kondisi
geografisnya, terdapat lima provinsi yang
berpotensi untuk selanjutnya dikembangkan
menjadi sentra produksi kopi di Sumatera, antara
lain Sumatera Selatan, Lampung, Aceh, Sumatera
Utara, dan Bengkulu. Upaya pengembangan
ekspor kopi, terutama roasted coffee perlu
disertai dengan peningkatan dan pengembangan
28
Sumber: IHPR, BI
Grafik II.47. Level Harga Tanah (Rp/m2)
Adapun sejumlah tantangan pengembangan
perumahan yang
mengemuka yaitu terkait
regulasi, perizinan, maupun pembiayaan
Tantangan regulasi terkait dengan Peraturan
Daerah (Perda) Rencana Tataruang dan Tata
Wilayah (RTRW) yang belum dimiliki oleh seluruh
provinsi di Sumatera. Daerah yang memiliki
potensi tinggi dalam pengembangan perumahan
di antaranya Riau dan Kepulauan Riau. Hal ini
didukung oleh tingginya permintaan di kedua
daerah tersebut sejalan dengan jumlah penduduk
berpendapatan di atas Rp2 juta per bulan yang
lebih tinggi dibandingkan daerah lain dan harga
tanah yang masih relatif lebih rendah (Grafik
II.47).
penghasil minyak nabati lainnya (kedelai, biji
matahari, canola) sehingga dapat menghasilkan
harga yang lebih ekonomis.
Produk Turunan Kelapa Sawit
Sumatera merupakan penghasil utama kelapa
sawit di Indonesia dan dunia. Produksi kelapa
sawit Sumatera mencapai 36% produksi kelapa
sawit dunia. Sekitar 68% produksi minyak kelapa
sawit (CPO) di Indonesia berasal dari Sumatera
terutama dari Provinsi Riau, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan dan Jambi.
Potensi pengembangan produk turunan Kelapa
Sawit didukung oleh peningkatan permintaan
minyak nabati dunia maupun domestik.
Permintaan minyak nabati dunia diproyeksikan
akan meningkat mencapai 15 % (2015-2020) dan
8% (2020-2025). Sementara, peningkatan
permintaan domestik berasal dari pemenuhan
domestic market obligaton (DMO) dan
mandatory pemanfaatan biodiesel kelapa sawit
melalui implementasi aturan BBN 20 (Grafik
II.48).
Grafik II.49. Ekspor CPO di Sumatera
Saat ini, hilirisasi dalam rangka peningkatan nilai
tambah kelapa sawit sudah berjalan cukup baik.
Hal ini terlihat dari peningkatan komposisi ekspor
untuk produk turunan CPO. Sekitar 77,5% dari
total produk kelapa sawit ekspor, diekspor dalam
bentuk produk turunan berupa refinery,
oleokimia dan biodiesel (Grafik II.49). Adapun
lokasi hilirisasi berdasarkan ketersediaan bahan
baku dimana mayoritas terletak di Sumatera
Utara dan Riau.
Tabel II.5. Pangsa Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia
Sumber: GAPKI
Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan
Penyerapan Tenaga Kerja
Grafik II.48. Proyeksi Permintaan Domestik CPO
Peluang perluasan pasar ekspor luar negeri
semakin terbuka yaitu ke beberapa negara
potensial, seperti Bangladesh, Pakistan, Italia,
Malaysia dan Spanyol. Sejumlah Negara tersebut
terus menunjukkan peningkatan permintaan
terhadap produk turunan CPO. Kondisi ini
didukung dengan produktivitas lahan kelapa
sawit yang lebih tinggi dibandingkan lahan
29
Hasil simulasi yang dilakukan oleh Bank
Indoonesia menunjukkan pengembangan sektor
perikanan dan produk turunan kelapa sawit
mampu memberikan dampak ekonomi (output)
yang lebih tinggi dibandingkan pengembangan
pariwisata. Sementara, dari sisi tenaga kerja,
pengembangan sektor pariwisata dan perikanan
mampu mendorong penyerapan tenaga kerja
yang lebih baik.
Pengembangan sumber pertumbuhan ekonomi
baru tersebut tentunya perlu disesuaikan dengan
potensi yang dimiliki setiap daerah dan turut
mempertimbangkan keterkaitan ekonomi antar
daerah. Hasil pemetaan menunjukkan peran
penting Sumatera Selatan sebagai hub dalam
jaringan produksi domestik dan distribusi di
Sumatera. Dengan demikian, Sumatera Selatan
dapat menjadi hub utama aktivitas ekonomi di
Sumatera.
Tabel II.6. Dampak Pertumbuhan Sektor/Komoditas
Potensial terhadap Perekonomian Sumatera
Sumber: Hasil Estimasi, BI
30
Perekonomian Jawa pada triwulan I 2017 berhasil tumbuh sebesar 5,66% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan triwulan IV 2016 yang tercatat sebesar 5,45% (yoy). Akselerasi pertumbuhan ekonomi
Jawa ditopang oleh meningkatnya realisasi investasi, baik dari pemerintah maupun swasta, serta
realiasi konsumsi pemerintah yang membaik. Konsumsi rumah tangga, ditengah kenaikan harga
administered price, masih tumbuh cukup kuat dan masih menjadi penopang ekonomi Jawa, meski
mengalami sedikit perlambatan. Di sisi lain, kinerja ekspor mengalami perlambatan seiring masih
rendahnya permintaan dari mitra dagang utama Jawa seperti Eropa, Tiongkok dan Jepang.
Meningkatnya pertumbuhan impor turut menahan laju pertumbuhan ekonomi Jawa. Kenaikan
impor tersebut didorong oleh impor barang modal yang mengindikasikan optimisme pelaku usaha
pada perekonomian Jawa di tahun 2017. Dari sisi lapangan usaha, seluruh lapangan usaha utama
tercatat tumbuh lebih tinggi, khususnya industri pengolahan dan perdagangan, terutama pada sub
lapangan usaha alat angkut. Kinerja lapangan usaha pertanian juga terakselerasi yang didorong
oleh adanya panen raya untuk tanaman bahan makanan di triwulan I 2017.
Laju inflasi tahunan Jawa pada triwulan I 2017 mengalami peningkatan, terutama bersumber dari
komoditas kelompok administered prices dan kelompok inti. Tekanan terbesar kelompok
administered prices didorong oleh penyesuaian TTL, khususnya untuk golongan rumah tangga
900VA, dan juga kenaikan biaya adminsitrasi STNK. Selain itu, kenaikan cukai rokok pada awal 2017
mendorong adanya penyesuaian secara bertahap harga rokok hingga akhir tahun 2017. Sementara
itu, komoditas penyumbang inflasi terbesar dari kelompok inti adalah tarif pulsa ponsel, yang
disebabkan oleh adanya penyesuaian tarif oleh operator dalam mengkompensasi penurunan tarif
interkoneksi. Selain tarif pulsa ponsel, kenaikan sewa rumah dan kontrak rumah di awal tahun turut
memberikan sumbangan inflasi yang cukup tinggi di triwulan I 2017. Sementara itu, laju inflasi
volatile food relatif terjaga seiring kembali normalnya pasokan aneka cabai dan bawang merah.
Panen raya beras yang sejak akhir triwulan I 2017 turut menahan tekanan inflasi dari kelompok
volatile food.
Perekonomian Jawa pada tahun 2017 diprakirakan lebih tinggi dari tahun 2016 yang ditopang oleh
perbaikan pada seluruh komponen PDRB dengan rentang 5,6% - 6,0% (yoy), di atas realisasi tahun
2016 yang sebesar 5,59% (yoy). Dari sisi permintaan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih
menjadi penopang utama ekonomi Jawa yang turut didukung oleh peningkatan realisasi investasi
dan kinerja ekspor. Sementara dari sisi penawaran, optimisme perbaikan ekonomi global
diprakirakan dapat mendorong produksi industri pengolahan dan juga perdagangan. Akselerasi
pembangunan proyek infrastruktur pemerintah dan aktivasi pabrik baru juga mendorong kinerja
lapangan usaha konstruksi di Jawa. Sementara itu, laju inflasi tahunan Jawa untuk tahun 2017
diperkirakan lebih tinggi dari tahun 2016, namun masih dalam rentang sasaran target inflasi 4% ±
1%. Sumbangan inflasi terbesar untuk tahun 2017 diperkirakan bersumber dari komoditas
administered prices, terutama penyesuaian TTL untuk golongan 900 VA dan kenaikan biaya
administrasi STNK. Tekanan dari kelompok inti diperkirakan juga relatif tinggi yang disebabkan oleh
kenaikan tarif pulsa ponsel dan penyesuaian sewa rumah dan kontrak rumah pada awal tahun
maupun pada pertengahan tahun menjelang tahun ajaran baru. Namun tingginya tekanan inflasi
Jawa pada tahun 2017 diperkirakan dapat tertahan oleh relatif terjaganya inflasi volatile food.
31
Terkendalinya harga volatile food tidak terlepas dari terjaganya pasokan komoditas hortikultura,
beras dan daging sapi.
Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Jawa pada triwulan I 2017
tumbuh meningkat, ditopang akselerasi
ekonomi provinsi DKI Jakarta dan Banten.
Perekonomian Jawa tumbuh sebesar 5,66% (yoy),
lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2016 yang
tercatat sebesar 5,45% (yoy). Secara spasial,
meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa
didorong oleh tingginya pertumbuhan di Provinsi
DKI Jakarta yang mencapai 6,48% (yoy) dan
Provinsi Banten yang tumbuh sebesar 5,90%
(yoy) serta naiknya pertumbuhan D.I. Yogyakarta
sebesar 5,12% (yoy). Sedangkan 3 (tiga) provinsi
lainnya di Jawa tercatat mengalami perlambatan.
Tertahannya konsumsi rumah tangga didorong
oleh perlambatan provinsi Jawa Timur yang
disebabkan oleh relatif tingginya dampak inflasi
kelompok administered prices terutama TTL,
biaya administrasi STNK dan bensin. Namun
pertumbuhan kredit konsumsi yang meningkat,
terutama kredit multiguna, memberikan indikasi
masih kuatnya konsumsi rumah tangga di Jawa.
Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa
Provinsi
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
PDRB (% YoY)
I
5.74
5.20
5.10
5.08
5.11
5.44
5.38
2016
II
II
6.04
6.10
6.06
5.97
5.17
5.24
5.71
5.01
5.44
4.95
5.64
5.62
5.82
5.70
IV
5.51
5.45
5.53
5.33
4.71
5.48
5.45
2016
5.85
5.67
5.26
5.28
5.05
5.55
5.59
2017
I
6.48
5.24
5.90
5.20
5.12
5.37
5.66
Sumber: BPS, diolah
Grafik III.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan
(Triwulanan)
Sumber: BPS, diolah
Membaiknya perekonomian Jawa didorong oleh
akselerasi
pertumbuhan
investasi
dan
meningkatnya realisasi konsumsi pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi Jawa yang lebih tinggi
masih tertahan oleh perlambatan ekspor luar
negeri, terutama ke mitra dagang utama Jawa
seperti Jepang, Tiongkok dan Eropa. Sementara
itu, pertumbuhan net ekspor antar daerah Jawa
masih tinggi mengindikasikan membaiknya
perekonomian di luar Jawa.
Konsumsi rumah tangga masih tumbuh cukup
kuat meski mengalami sedikit perlambatan di
triwulan I 2017. Perlambatan konsumsi rumah
tangga, meski pada tingkat yang rendah,
tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Jawa yang lebih rendah dari triwulan
sebelumnya, terutama pada komponen indeks
penghasilan yang mengalami penurunan.
32
Grafik III.2. Perkembangan Kredit Konsumsi, IKK dan IPR
Percepatan pertumbuhan ekonomi Jawa
didorong investasi dari proyek multiyears
swasta dan pemerintah. Secara spasial,
peningkatan pertumbuhan investasi tercatat di
DKI Jakarta, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi
Banten. Realisasi investasi di Provinsi DKI Jakarta
ditopang oleh proyek infrastruktur pemerintah,
terutama fasilitas transportasi dan publik.
Sementara itu, peningkatan pertumbuhan
investasi di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi
Banten didorong oleh investasi di industri
manufaktur yang bertujuan untuk peningkatan
kapasitas produksi. Tingginya realisasi investasi
terkonfirmasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia
Usaha (SKDU) yang tercatat sebesar 12,05%
(SBT), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang
sebesar 9,91% (SBT). Penjualan semen di Jawa
turut mengkonfirmasi peningkatan aktivitas
pembangunan proyek infrastruktur pemerintah
dan swasta. Selain itu, peningkatan impor barang
modal yang tumbuh lebih tinggi mengindikasikan
realisasi pihak swasta dalam meningkatkan
kapasitas produksinya.
dan Tiongkok meski perlambatan tersebut masih
dapat tertahan oleh meningkatnya ekspor ke AS.
Kinerja ekspor juga didorong oleh peningkatan
kinerja ekspor TPT dan elektronik, terutama
dengan negara tujuan AS dan ASEAN.
Pertumbuhan ekonomi Jawa yang masih kuat,
mendorong pertumbuhan impor barang modal
di awal tahun. Akselerasi pertumbuhan impor
ditopang oleh impor barang modal yang tumbuh
sebesar 16,71% (yoy), lebih tinggi dari posisi
triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi 2,74% (yoy). Sementara itu impor konsumsi dan
bahan baku tercatat melambat dibandingkan
periode sebelumnya. Peningkatan impor barang
modal ini menandakan optimisme pihak swasta
dalam melihat prospek ekonomi Jawa tahun
2017.
Sumber: Bea Cukai dan Asosiasi Semen, diolah
Grafik III.3. Perkembangan SKDU, Impor Barang Modal
dan Penjualan Semen
Meningkatnya konsumsi pemerintah sejalan
dengan pelaksanaan PILKADA yang dilaksanakan
serentak pada bulan Februari. Secara spasial,
dari 101 daerah yang melaksanakan Pilkada
serentak terdapat 6 wilayah di Jawa (termasuk
DKI Jakarta) yang melaksanakan. Konsumsi
pemerintah meningkat terutama tercatat di DKI
Jakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa
Tengah dan D.I. Yogyakarta. Sementara itu,
realiasi belanja pemerintah di Provinsi Banten
dan Provinsi Jawa Barat mengalami kontraksi.
Membaiknya realiasi belanja pemerintah turut
terlihat dari terkontraksinya pertumbuhan Dana
Pihak Ketiga (DPK) di BPD pada triwulan I 2017.
Kinerja ekspor Jawa menunjukkan perlambatan,
terutama kepada mitra dagang utama Jawa.
Perlambatan ekspor Jawa khususnya terjadi pada
komoditas makanan dan minuman, logam dasar
dan alat angkutan. Perlambatan ekspor utamanya
berasal dari lemahnya permintaan Eropa, Jepang
33
Sumber: Bea Cukai, diolah
Grafik III.4. Perkembangan Ekspor dan ImporLuar Negeri
Akselerasi
pertumbuhan
ekonomi
Jawa
diperkirakan masih terus berlanjut hingga
triwulan II 2017. Peningkatan terutama didorong
oleh konsumsi rumah tangga yang meningkat
seiring dengan momen Ramadhan dan HBKN Idul
Fitri di akhir triwulan II. Dari sisi Investasi,
berlanjutnya pembangunan proyek infrastruktur
pemerintah serta pembangunan beberapa pabrik
baru di Jawa turut mendorong naiknya investasi
pada triwulan II 2017. Selain itu, meningkatnya
ekonomi Jawa turut ditopang oleh konsumsi
pemerintah yang akan melakukan pencairan gaji
Pegawai Negeri Sipil (PNS) ke 13 dan 14 di bulan
Juni 2017.
Peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah
tangga berpotensi meningkat memasuki bulan
Ramadhan dan menjadi penopang ekonomi
Jawa. Indeks Ekspektasi Konsumsi (IKK) dan
Indeks Penjualan Riil (IPR) mengindikasikan
adanya peningkatan konsumsi rumah tangga,
khususnya pada jenis makanan minuman dan
peralatan rumah tangga. Namun demikian, inflasi
kelompok administrered prices yang relatif tinggi
hingga April 2017, masih berisiko mengurangi
daya beli sehingga dapat menahan pertumbuhan
konsumsi rumah tangga.
indikatif 50. Di sisi lain, pertumbuhan ekspor
yang diperkirakan melambat dapat menahan
perlambatan laju pertumbuhan net ekspor,
seiring impor barang modal yang diperkirakan
tidak setinggi triwulan sebelumnya.
Kinerja Lapangan Usaha
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada
triwulan I 2017 didorong oleh perbaikan kinerja
pada seluruh lapangan usaha utama, khususnya
industri
pengolahan
dan
perdagangan.
Pertumbuhan
lapangan
usaha
industri
pengolahan dan perdagangan yang membaik
sejalan dengan konsumsi rumah tangga dan
konsumsi lembaga non profit yang masih cukup
kuat. Realisasi investasi di Jawa yang meningkat
pada triwulan I 2017 turut mendorong kinerja
lapangan usaha konstruksi, terutama di DKI
Jakarta, D.I. Yogyakarta dan Banten.
*) Data hingga April 2017
Grafik III.5. Perkembangan Kredit Konsumsi, IKK dan
IPR
Investasi triwulan II 2017 diperkirakan masih
mengalami akselerasi, ditopang oleh masih
berjalannya pembangunan proyek infrastruktur
pemerintah dan swasta. Berlanjutnya proyek
pembangunan infrastruktur pemerintah di
sejumlah daerah yang telah dimulai triwulan I
akan dipercepat pada triwulan II, khususnya
terkait proyek pembangunan jalan untuk
mengantisipasi arus mudik sepanjang periode
Idul Fitri. Sementara itu, Investasi multiyears oleh
pelaku usaha diperkirakan masih akan beranjut
seiring dengan optimisme terhadap prospek
ekonomi pada tahun 2017.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa di
triwulan II 2017 tertahan oleh perlambatan
ekspor yang masih berlanjut hingga triwulan
mendatang. Kinerja ekspor ke mitra dagang
utama Jawa diperkirakan tumbuh terbatas yang
dapat terlihat pada PMI Tiongkok, Jepang dan AS
yang tercatat melambat meski masih di atas level
34
Sumber: BPS, diolah
Grafik III.6. Pertumbuhan Lapangan Usaha Utama
Industri Pengolahan
Peningkatan kinerja industri pengolahan yang
merupakan lapangan usaha terbesar di Jawa
menjadi
pendorong
utama
akselerasi
pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2017.
Lapangan usaha industri pengolahan tumbuh
sebesar 4,64% (yoy), meningkat dibandingkan
triwulan IV 2016 yang tercatat sebesar 4,10%
(yoy). Membaiknya kinerja industri pengolahan
tersebut terkonfirmasi dari hasil liaison yang
dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Likert scale
(LS) penjualan domestik dan ekspor tercatat
mengalami peningkatan yang didorong oleh sub
lapangan usaha makanan dan minuman serta alat
angkut. Membaiknya kinerja industri pengolahan
juga terkonfirmasi dari naiknya kapasitas utilisasi
dari 75,5% menjadi 77,9% pada triwulan laporan.
Akselerasi kinerja industri pengolahan didorong
oleh sub lapangan usaha alat angkut, TPT dan
juga logam dasar. Meningkatnya permintaan
kendaraan bermotor terkonfirmasi dari data
penjualan mobil (GAIKINDO) dan motor (AISI)
yang mengalami peningkatan di triwulan I 2017.
Permintaan untuk produk TPT terpantau
meningkat, terlihat dari nilai ekspor TPT Jawa
yang meningkat, selain itu hasil liaison juga
menunjukkan permintaan TPT dari Tiongkok dan
AS mengalami peningkatan. Sementara itu,
meningkatnya realisasi investasi yang diikuti oleh
akselerasi
lapangan
usaha
konstruksi,
memberikan
dampak
positif
terhadap
permintaan sub lapangan usaha logam dasar dan
semen.
Sumber: Liaison
Grafik III.7. Perkembangan Industri Pengolahan
Sumber: Bea Cukai, AISI dan GAIKINDO, diolah
Grafik III.8. Perkembangan Industri Pengolahan Sub
Lapangan Usaha Alat Angkut, TPT dan Semen
35
Membaiknya kinerja industri pengolahan di
triwulan I 2017 diperkirakan akan terus
berlanjut pada triwulan II 2017. Peningkatan
produksi
industri
pengolahan
tersebut
merupakan salah satu upaya dalam memenuhi
permintaan domestik yang meningkat selama
bulan Ramadhan dan HBKN Idul Fitri. Sub
lapangan usaha yang diperkirakan akan
mengalami peningkatan antara lain makanan dan
minuman, TPT dan alat angkut. Meningkatnya
kinerja industri pengolahan juga terindikasi dari
penyaluran kredit ke lapangan usaha industri
pengolahan yang meningkat hingga bulan April
2017.
Konstruksi
Percepatan pembangunan sejumlah proyek
infrastruktur pemerintah dan pabrik-pabrik
sektor swasta di Jawa mendorong kinerja
lapangan usaha konstruksi di triwulan I 2017.
Pertumbuhan lapangan usaha konstruksi tercatat
sebesar 4,64% (yoy), lebih tinggi dibanding
triwulan IV 2016 sebesar 4,10% (yoy). Akselerasi
kinerja lapangan usaha konstruksi ditopang oleh
pembangunan proyek dari sektor pemerintah
maupun swasta. Beberapa proyek infrastruktur
pemerintah, khususnya di DKI Jakarta seperti
pembangunan New Tanjung Priok, Fly Over
Semanggi, MRT, LRT serta pembangunan
sejumlah ruas jalan tol memberikan andil
terhadap tingginya pertumbuhan lapangan usaha
konstruksi di triwulan ini. Selain itu, beberapa
proyek infrastruktur lain di Kawasan Jawa seperti
PLTU Batang dan pembangunan ruas jalan tol di
Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam menyambut
arus mudik pada periode Idul Fitri 2017 turut
mendorong kinerja lapangan usaha konstruksi.
Akselerasi kinerja lapangan usaha konstruksi
baik dari proyek pemerintah dan swasta
tercermin dari penjualan semen yang meningkat
pada triwulan laporan. Sementara itu,
berjalannya pembangunan proyek swasta yang
masih
berlangsung
diantaranya
adalah
pembangunan pabrik otomotif di Jawa Barat,
pabrik karet ban, semen dan logam dasar di
Banten, serta perluasan pabrik rokok di Jawa
Timur juga ikut mendorong pertumbuhan sektor
konstruksi ini. Kenaikan konstruksi juga
terkonfirmasi dari
Indeks Harga Properti
Residensial yang meningkat. Hal tersebut juga
sejalan dengan peningkatan pertumbuhan
penyaluran Kredit Pemilikian Rumah (KPR) di
wilayah Jawa, terutama untuk tipe rumah di atas
2
22 m .
Sumber: Asosiasi Semen, diolah
Grafik III.9. Perkembangan Penjualan Semen dan
Indeks Harga Properti Residensial (IHPR)
Kinerja lapangan usaha konstruksi pada triwulan
II 2017 diperkirakan masih dapat tumbuh lebih
tinggi dibandingkan triwulan I 2017. Masih
relatif kuatnya kinerja lapangan usaha konstruksi
tersebut
didorong
oleh
masih
terus
berlangsungnya pembangunan proyek baik dari
sektor Pemerintah maupun swasta. Akselerasi
lapangan usaha konstruksi di triwulan II 2017
juga juga terindikasi dari hasil SKDU, dimana
ekspektasi kegiatan usaha konstruksi mengalami
kenaikan dari 6,13% pada triwulan I 2017
menjadi 12,45% pada triwulan laporan.
Pertanian
Masa panen raya yang berlangsung pada bulan
Maret 2017 berdampak positif terhadap
tumbuhnya lapangan usaha pertanian. Lapangan
usaha pertanian tumbuh 7,07% (yoy), meningkat
dari triwulan IV 2016 yang tumbuh 6,64% (yoy).
Panen raya tanaman bahan makanan, terutama
padi, menjadi penyumbang terbesar dalam
produksi pertanian pada triwulan laporan.
Meskipun curah hujan masih relatif tinggi, namun
kondisi tersebut tidak berpengaruh terhadap
36
produktifitas tanaman pangan dan hanya
memengaruhi produksi komoditas hortikultura
yang memberikan sumbangan inflasi cukup besar
pada awal tahun 2017. Meningkatnya kinerja
lapangan usaha pertanian juga tercermin dari
peningkatan kredit pertanian.
Masa panen raya untuk komoditas tanaman
pangan yang telah dimulai sejak triwulan I 2017
membuat produksi di triwulan II 2017 tidak
setinggi
tahun
sebelumnya.
Kebijakan
Kementerian Pertanian yang membatasi produksi
Day Old Chicken (DOC) juga berisiko mengurangi
produksi ayam di triwulan II 2017. Selain itu,
perlambatan kinerja juga terindikasi dari hasil
SKDU terkait ekspektasi kegiatan usaha pertanian
yang diperkirakan menurun pada triwulan II
2017. Namun demikian, untuk tanaman
hortikultura telah dilakukan pola tanam off
season yang diperkirakan mampu mendorong
produksi komoditas hortikultura di triwulan II
2017.
Grafik III.10. Perkembangan Kredit Pertanian
Perdagangan
Daya beli masyarakat di Jawa yang masih kuat
serta adanya penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah
(PILKADA)
serentak
mendorong
pertumbuhan lapangan usaha perdagangan.
Lapangan usaha perdagangan mencatatkan
pertumbuhan sebesar 5,44% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan triwulan IV 2016 yang tumbuh
5,12% (yoy). Indeks Penjualan Riil (IPR) Jawa
menunjukkan adanya peningkatan kegiatan
perdagangan di hampir seluruh provinsi di Jawa.
Selain itu, pertumbuhan penjualan mobil
(GAIKINDO) dan motor (AISI) mengalami
peningkatan di triwulan I 2017. Membaiknya
kinerja lapangan usaha perdagangan turut
terkonfirmasi
oleh
adanya
peningkatan
permintaan kredit konsumsi, yang tumbuh
meningkat dari 11,86% (yoy) di triwulan IV 2016
menjadi 12,33% (yoy) di triwulan I 2017.
Bulan Ramadhan dan HBKN Idul Fitri di triwulan
II diperkirakan mampu mendorong kinerja
lapangan usaha perdagangan di triwulan II 2017.
Indikator kinerja lapangan usaha perdagangan
yaitu IPR mengindikasikan adanya peningkatan
omset penjualan di awal triwulan II 2017. IKK
yang
diperkirakan
meningkat
turut
mengkonfirmasi adanya tendensi peningkatan
konsumsi rumah tangga di triwulan mendatang
sebagai dampak dari meningkatnya kebutuhan
masyarakat seiring dengan Ramadhan dan HBKN
Idul Fitri yang mendorong arus perdagangan
semakin tinggi. Pencairan gaji ke 13 dan 14 bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) di bulan Juni,
diperkirakan turut mampu mendorong konsumsi
rumah tangga.
Sumber: GAIKINDO dan AISI
Grafik III.11. Perkembangan LU Perdagangan dan
Indikator Pendukungnya
Jasa Keuangan
Prospek pertumbuhan ekonomi Jawa tahun
2017 yang diperkirakan membaik, mendorong
akselerasi kinerja lapangan usaha jasa
keuangan. Pertumbuhan lapangan usaha jasa
keuangan pada triwulan I 2017 tumbuh 6,69%
(yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan IV
2016 yang tumbuh 2,93% (yoy). Meningkatnya
lapangan usaha jasa keuangan sejalan dengan
37
pertumbuhan penyaluran kredit yang tercatat
9,72% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan IV
2016
sebesar
8,11
(yoy).
Peningkatan
pertumbuhan penyaluran kredit diikuti dengan
kualitas kredit yang masih terjaga. Sementara itu,
salah satu index pasar keuangan, yaitu Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat
mengalami peningkatan di triwulan I 2017. Hal
tersebut mengindikasikan transaksi keuangan
yang lebih tinggi di pasar saham pada triwulan I
2017.
Sumber: IDX
Grafik III.12. Perkembangan Pasar Keuangan
Kinerja lapangan usaha jasa keuangan
diperkirakan tumbuh lebih tinggi pada triwulan
II 2017. Akselerasi lapangan usaha jasa keuangan
tersebut didorong oleh permintaan kredit yang
diperkirakan lebih tinggi dari triwulan I 2017.
Penyaluran kredit hingga bulan April 2017 masih
menunjukkan adanya peningkatan, dimana
pertumbuhan kredit sebesar 10,33 % (yoy).
Sementara itu, transaksi pasar saham juga
diperkirakan akan meningkat yang terlihat dari
IHSG di bulan April yang lebih tinggi dari realisasi
triwulan I 2017.
Fiskal Daerah
Realisasi belanja APBD pada triwulan I 2017
tercatat lebih rendah bila dibandingkan dengan
periode yang sama tahun 2016. Realisasi belanja
daerah (APBD provinsi dan Kab/Kota) pada
triwulanan laporan hanya sebesar 7,73%, lebih
rendah dari tahun sebelumnya sebesar 9,96%.
Secara spasial, D.I. Yogyakarta dan 5 kabupaten
di wilayahnya memiliki persentase realisasi
tertinggi sebesar 10,73%. Sementara itu secara
nominal realisasi tertinggi terjadi di wilayah Jawa
Timur dengan total realisasi sebesar Rp 10,15
Triliun, meski secara persentase hanya sebesar
8,8%.
besar pada akhir tahun 2016, sementara realisasi
belanja di triwulan I 2017 masih relatif terbatas.
Tabel III.2. Realisasi Belanja Daerah
Anggaran
(Rp
Triliun)
DKI Jakarta
57
Jawa Barat
115
Banten
33
Jawa Tengah
96
D.I. Yogyakarta
14
Jawa Timur
113
Jawa
427
Provinsi
Tahun 2016
Realisasi
Realisasi
(Rp
(%)
Triliun)
3
5%
13
11%
3
9%
9
10%
1
10%
13
12%
43
10%
Anggaran
(Rp
Triliun)
64
117
33
94
15
115
437
Tahun 2017
Realisasi
Realisasi
(Rp
(%)
Triliun)
4
6%
9
8%
1
4%
8
8%
2
11%
10
9%
34
8%
Grafik III.13. Porsi Dana Pemda di BPD
Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA, diolah
Perkembangan Inflasi
Penurunan realisasi belanja APBD pada triwulan
I 2017, terjadi baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. Realisasi belanja daerah di
tingkat provinsi tercatat sebesar 9,13%, lebih
rendah dari tahun sebelumnya sebesar 10,65%.
Peningkatan realisasi belanja daerah di tingkat
provinsi hanya terjadi di DKI Jakarta yang tahun
sebelumnya sebesar hanya 4,86% menjadi 5,86%.
Akselerasi realisasi belanja daerah di DKI Jakarta
disebabkan oleh dipercepatnya penetapan APBD
2017. Sementara itu, realisasi belanja di tingkat
kabupten/kota, terjadi penurunan signifikan dari
9,60% menjadi 6,90%.
Realisasi belanja daerah pada awal tahun 2017
masih terbatas pada pengeluran rutin dan
belanja pegawai. Anggaran belanja modal pada
triwulan I 2017 baru terealisasikan di Provinsi DKI
Jakarta dan Jawa Timur, sementara untuk empat
provinsi lainnya, masih dalam tahapan lelang.
Penyerapan anggaran belanja modal diperkirakan
baru akan terealisasi pada triwulan II 2017 dan
akan terus terakselerasi hingga triwualn IV 2017.
Porsi dana Pemda di BPD kembali mengalami
kenaikan di triwulan I 2017. Sesuai dengan pola
historisnya, dana Pemda di BPD pada triwulan I
2017 memiliki porsi sebesar 51% (setara Rp106,8
triliun) atau lebih tinggi dari triwulan IV 2016
yang memiliki porsi 33% (senilai Rp 59,3 triliun).
Kenaikan porsi dana Pemda tersebut disebabkan
oleh adanya penarikan anggaran yang cukup
38
Tekanan inflasi pada triwulan I 2017 yang relatif
tinggi menyebabkan laju inflasi tahunan Jawa
pada triwulan I 2017 mengalami peningkatan.
Tingkat inflasi Jawa tercatat sebesar 3,47% (yoy),
lebih tinggi dari realisasi pada triwulan IV 2016
sebesar 2,59% (yoy), namun masih lebih rendah
dibandingkan dengan inflasi nasional sebesar
3,61% (yoy). Realisasi inflasi Jawa tersebut masih
berada dalam rentang sasaran inflasi tahun 2017
sebesar 4% ± 1%. Berdasarkan disagregasinya,
laju inflasi tahunan kelompok inti dan
administered prices mengalami peningkatan,
sementara inflasi dari kelompok volatile food
terpantau lebih rendah dan dapat menahan laju
inflasi yang lebih tinggi.
Sumber: BPS, diolah
Grafik III.14. Disagregasi Kelompok Inflasi
Tekanan inflasi terbesar pada triwulan I 2017
berasal dari komoditas kelompok administered
prices dan kelompok inti. Penyesuaian Tarif
Tenaga Listrik (TTL) dan biaya administrasi STNK
menjadi penyumbang inflasi terbesar di bulan
Januari. Laju inflasi bulanan Jawa pada bulan
Januari tercatat sebesar 1,02% (mtm), lebih tinggi
dari realisasi nasional yang sebesar 0,97% (mtm).
Sementara itu, tekanan dari kelompok inti juga
relatif besar, terutama dari kenaikan tarif pulsa
ponsel serta adanya penyesuaian harga kontrak
rumah dan sewa rumah. Namun tekanan inflasi
Jawa di triwulan I 2017 dapat diredam oleh
penurunan harga-harga komoditas volatile food
seperti cabai merah, bawang merah dan beras.
Tekanan inflasi volatile food yang lebih rendah
dari triwulan sebelumnya, mampu meredam
peningkatan inflasi Jawa yang lebih tinggi.
Kembali normalnya harga komoditas hortikultura
seperti cabai merah dan bawang merah mampu
menahan tekanan inflasi dari kelompok volatile
food. Pasokan cabai merah dan bawang merah
pada triwulan I 2017 kembali meningkat seiring
masa panen yang terjadi di beberapa sentra
produksi di Jawa Tengah. Panen raya padi yang
serentak dimulai sejak awal Maret 2017,
memberikan tambahan pasokan beras sehingga
mampu memberi sumbangan deflasi di triwulan
laporan. Selain itu, pasokan telur ayam ras yang
melebihi permintaan masyarakat di awal tahun
dapat menahan laju inflasi volatile food yang
lebih tinggi. Di sisi lain, tekanan terbesar
kelompok volatile food disumbang oleh cabai
rawit. Pasokan cabai rawit sempat terhambat
pada awal tahun yang disebabkan oleh gagal
panen karena berkembangnya penyakit “patek”.
Namun demikian, harga cabai rawit telah
berangsur menurun pada akhir triwulan
menyusul pasokan yang kembali normal.
Kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan biaya
administrasi STNK menjadi penyumbang inflasi
terbesar pada triwulan I 2017. Sumbangan inflasi
tertinggi bersumber dari Tarif Tenaga Listrik
(TTL), yang disebabkan adanya penyesuaian tarif
untuk golongan rumah tangga 900VA. Kenaikan
TTL untuk golongan 900VA dilakukan secara
bertahap setiap 2 bulan, mulai Januari hingga Juli
2017. Tekanan inflasi yang cukup besar pada awal
39
tahun juga turut disumbang oleh penyesuaian
biaya administrasi STNK di bulan Januari.
Kenaikan biaya administrasi STNK untuk
kendaraan roda empat mencapai 167%,
sementara untuk kendaraan roda dua sebesar
100%. Tekanan dari kelompok administered
prices masih ditambah oleh kenaikan harga rokok
secara bertahap sepanjang tahun 2017, seiring
diimplementasikkannya
PMK
No
147/PMK.010/2016 terkait cukai rokok 2017.
Sumbangan inflasi kelompok inti pada triwulan I
2017 relatif besar, terutama dengan adanya
penyesuaian tarif pulsa ponsel dan kenaikan
kontrak rumah serta sewa rumah. Komoditas
kelompok inti yang memberikan sumbangan
inflasi terbesar adalah tarif pulsa ponsel, yang
disebabkan adanya upaya operator jasa
telekomunikasi untuk menutup biaya investasi
paska penurunan tarif interkoneksi. Sementara
itu, penyesuaian tarif sewa rumah dan kontrak
rumah yang umumnya dilakukan pada awal
tahun turut memberikan sumbangan inflasi yang
relatif tinggi pada triwulan laporan. Kenaikan
sewa rumah dan kontrak rumah yang secara rutin
terjadi di awal dan pertengahan tahun ditengarai
salah satunya disebabkan oleh rasio kepemilikan
rumah tinggal yang rendah. Secara umum, kota
yang memiliki basis pendidikan maupun industri
cenderung memiliki potensi risiko inflasi sewa
dan kontrak rumah lebih tinggi dibandingkan
daerah lain.
Tabel III.3. Komoditas Penyumbang Inflasi
% yoy Andil yoy
Komoditas
Bobot
Volatile Food
Cabai Rawit
0.11
107.93
0.19
Minyak Goreng
0.94
9.73
0.08
Daging Ayam Ras
1.17
4.39
0.05
Administered Prices
Tarif Listrik
2.90
15.44
0.51
Biaya Perpanjangan STNK
0.32
106.72
0.28
Rokok Kreket Filter
1.52
7.25
0.13
Core Inflation
Tarif Pulsa Ponsel
2.14
12.32
0.22
Sewa Rumah
4.23
3.35
0.13
Kontrak Rumah
4.74
2.66
0.11
Sumber: BPS, diolah
Secara spasial, laju inflasi tahunan seluruh
provinsi mengalami peningkatan namun masih
berada di bawah rentang sasaran inflasi tahun
2017. Tingkat inflasi tertinggi pada triwulan I
2017 tercatat di provinsi Jawa Timur sebesar
3,84% (yoy), dan menjadi satu-satunya provinsi di
Jawa yang memiliki tingkat inflasi tahunan di atas
nasional. Hal tersebut dikarenakan bobot dari
biaya administrasi STNK yang lebih besar
sehingga andil dari komoditas dimaksud juga
menjadi lebih tinggi daripada provinsi lainnya di
Jawa. Sementara itu, laju inflasi tahunan
terendah berada di Jawa Tengah yang tercatat
sebesar 3,30% (yoy). Relatif rendahnya capaian
inflasi Jawa Tengah disebabkan oleh terjaganya
inflasi bahan pangan yang merupakan terendah
bila dibandingkan provinsi lainnya di wilayah
Jawa.
Tabel III.4. Perkembangan Inflasi Spasial
Provinsi
2014
2015
DKI Jakarta
8.95 3.30
Jawa Barat
7.60 2.74
Banten
10.20 4.29
Jawa Tengah 8.21 2.73
DI Yogyakarta 6.59 3.09
Jawa Timur
7.77 3.08
Jawa
8.35 3.12
I
3.62
3.78
5.70
4.21
3.69
3.71
3.93
2016
II
III
3.08 2.40
3.22 2.54
3.78 3.01
2.96 2.71
2.94 2.68
2.93 2.69
3.14 2.58
III
2.73
2.96
2.90
2.53
2.87
3.03
2.59
2017
I
3.43
3.37
3.45
3.30
3.40
3.84
3.47
Sumber: BPS, diolah
Tekanan inflasi pada triwulan II 2017
diperkirakan meningkat, didorong kenaikan
permintaan masyarakat pada bulan Ramadhan
dan HBKN Idul Fitri. Seluruh kelompok
disagregasi inflasi diperkirakan akan mengalami
peningkatan, khususnya kelompok administered
prices. Sumbangan inflasi dari kelompok
administered prices diperkirakan bersumber dari
tarif angkutan, baik darat, udara maupun kereta
api pada musim mudik. Selain itu masih
berlanjutnya penyesuaian tarif tenaga listrik dan
BBM akibat tren peningkatan harga minyak dunia
akan memberikan sumbangan inflasi yang cukup
besar. Sementara tekanan inflasi dari kelompok
volatile food diperkirakan relatif terjaga, seiring
komitmen Pemerintah dalam pengendalian inflasi
bahan pangan selama bulan Ramadhan dan
HBKN Idul Fitri. Tekanan terbesar akan
40
bersumber dari kenaikan harga daging ayam ras
terkait Keputusan Menteri Pertanian nomor 3035
tahun 2017 terkait pengurangan Day Old Chicken
Final Stock (DOC FS). Pada inflasi inti,
peningkatan harga emas perhiasan diperkirakan
akan menjadi penyumbang utama inflasi di
triwulan II 2017.
Dalam rangka menghadapi inflasi pada bulan
Ramadhan dan HBKN Idul Fitri, TPID di Jawa
telah mempersiapkan berbagai program dan
kegiatan rutin maupun khusus. Beberapa
kegiatan rutin yang akan dilaksanakan antara lain
pemantauan harga melalui PIHPS, rapat
koordinasi, pemantauan atau “sidak” stok bahan
pangan dan bahan bakar, persiapan operasi pasar
murah atau pasar Ramadhan dan pengendalian
ekspektasi inflasi di masyarakat. Sementara itu,
beberapa
kegiatan
khusus
yang
telah
direncanakan untuk dilaksanakan antara lain
pertemuan dengan ulama setempat dalam
rangka mensosialisasikan pengertian inflasi dan
pentingnya kestabilan harga, pendirian warung
TPID serta pelaksanaan “sidak” terhadap tarif
angkut.
Dari lima pilar di roadmap pengendalian inflasi,
fokus pengembangan program dan kegiatan
TPID di Jawa saat ini lebih diarahkan pada pilar 2
dan pilar 3, yaitu produksi, distribusi dan
konektivitas serta kerjasama dan sinergi antar
daerah. Melalui berbagai program dan kegiatan
yang disusun, diharapkan dapat membantu
meredam tekanan inflasi hingga akhir tahun
2017.
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
7
Ketahanan dan kinerja korporasi di wilayah
Jawa menunjukkan peningkatan, yang tercermin
dari membaiknya seluruh indikator. Perbaikan
kinerja korporasi dapat terlihat dari rasio
7
Korporasi di Jawa diwakili oleh 40 (empat puluh) perusahaan
manufaktur terbesar di Jawa dan tercatat dalam Bursa Efek
Indonesia (IDX)
8
9
10
rentabilitas , solvabilitas , likuiditas
serta
11
repayment capacity yang meningkat. Kenaikan
seluruh indikator tersebut melanjutkan tren
peningkatan sepanjang tahun 2016 dan menjadi
pertanda sudah mulai pulihnya kinerja korporasi
setelah melewati tren penurunan sejak tahun
2013. Hasil positif seluruh indikator menunjukkan
masih kuatnya ketahanan korporasi dalam
stabilitas keuangan daerah.
Rasio rentabilitas korporasi kembali mengalami
akselerasi yang mengindikasikan efisiensi
kinerja korporasi. Kinerja korproasi dalam
menghasilkan laba tercermin dari indikator
Return on Assets (ROA) yang mengalami
peningkatan dari 6,13% menjadi 6,93%. Indikator
lainnya yaitu Return on Equity (ROE) juga tercatat
meningkat dari 12,09% menjadi 13,31%.
Peningkatan efisiensi kinerja korporasi tercermin
dari rasio profit margin korporasi yang meningkat
di tengah pertumbuhan penjualan di triwulan IV
2016 yang melambat. Secara sektoral, rasio ROA
dan ROE pada seluruh sub lapangan usaha
tercatat meningkat, namun pertumbuhan
penjualan untuk sub lapangan usaha TPT, logam
dan sejenisnya, serta tembakau tercatat
mengalami perlambatan.
Sumber: IDX dan Bloomberg
Grafik III.15. Perkembangan ROA dan ROE Korporasi
8
Rentabilitas adalah kemampuan korporasi dalam
menghasilkan laba atau keuntungan
9
Solvabilitas adalah kemampuan korporasi dalam memenuhi
seluruh kewajibannya
10
Likuiditas adalah kemampuan korporasi dalam memenuhi
kewajiban finansial jangka pendek
11
Repayment capacity adalah kemampuan korporasi dalam
membayar bunga pinjaman dan juga cicilan pokoknya
41
Ketahanan korporasi di triwulan IV 2017 juga
terlihat rasio solvabilitas yang meningkat
dengan tingkat hutang yang lebih rendah. Rasio
solvabilitas korporasi di Jawa tercatat meningkat
menjadi 2,27%, lebih tinggi dari triwulan III 2016
sebesar 2,07%. Meningkatnya rasio solvabilitas
tidak terlepas dari menurunnya rasio Debt to
Equity Ratio (DER) ke level 0,79%, di bawah
realiasi triwulan sebelumnya yang sebesar 2,07%.
Menurunnya rasio DER pada triwulan IV 2016
mengindikasikan adanya kehati-hatian korporasi
dalam mendapatkan hutang baru di tengah mulai
membaiknya kinerja perusahaan.
Sumber: IDX dan Bloomberg
Grafik III.16. Perkembangan DER dan Solvability Ratio
Korporasi
Kemampuan korporasi dalam memenuhi
kewajiban
bunga
pinjaman
mengalami
peningkatan. Rasio Interest Coverage Ratio (ICR)
pada triwulan IV 2016 tercatat meningkat dari
menjadi 8,79%, lebih tinggi dari realiasi triwulan
III 2016 sebesar 4,19%. Debt Service Ratio (DSR)
korporasi di Jawa pada tahun 2016 juga
menunjukkan penurunan. Rasio DSR yang turun
mengindikasikan semakin rendahnya kewajiban
korporasi dalam bentuk bunga pinjaman dan
pinjaman jangka panjang yang akan jatuh tempo
pada tahun depan. Rasio ICR yang meningkat
serta DSR yang lebih rendah tersebut
menunjukkan ketahanan korporasi dalam
memenuhi kewajibannya. Sementara itu,
indikator rasio likuiditas yang tercermin dari
current ratio, juga mengalami peningkatan. Rasio
likuiditas korporasi Jawa tercatat sedikit
meningkat dari 1,55% menjadi 1,62%. Rasio
likuiditas korporasi di Jawa yang meningkat
sejalan dengan peningkatan kinerja korporasi
sepanjang tahun 2016.
dibandingkan sektor lainnya. Dari sisi rentabilitas,
ROA dan ROE pada sektor logam dan sejenisnya
masih mencatatkan angka negatif meski relatif
lebih baik dari triwulan sebelumnya. Rasio
solvabilitas dari sektor logam dan sejenisnya
masih berada di atas satu kali, yang menandakan
masih kuatnya ketahanan koproasi sektor logam
dan sejenisnya.
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Sumber: IDX dan Bloomberg
Grafik III.17. Perkembangan ICR dan Current Ratio
Korporasi
Tabel III.5. Indikator Kinerja Korporasi
ROA
Tw III Tw IV
Automotive & Components 5.34 5.71
Food & Beverage
7.54 7.94
Pulp& Paper
2.00 2.87
Tobacco Manufacturers
14.07 15.31
Cement
10.30 9.60
Metal & Allied Products
-6.34 -4.05
Chemicals
10.85 14.84
Pharmaceuticals
15.66 16.61
Textile, Garment
1.00 1.72
Ceramics, Glass, Porcelain
2.84 3.06
Plastics & Packaging
2.62 2.09
Total
6.12 6.91
ROE
Tw III Tw IV
10.34 11.01
14.87 15.23
5.32 7.47
22.97 23.96
14.62 13.45
-13.57 -8.71
21.16 28.33
19.14 20.31
6.64 10.33
7.19 7.75
5.22 4.14
12.07 13.28
DER
Tw III Tw IV
0.93 0.92
0.94 0.76
1.61 1.46
0.53 0.43
0.42 0.31
1.18 1.14
0.86 0.87
0.22 0.22
5.78 1.86
1.63
0.96
0.94 0.79
Solvability
Tw III Tw IV
Automotive & Components 2.08 2.08
Food & Beverage
2.06 2.31
Pulp& Paper
1.62 1.68
Tobacco Manufacturers
2.89 3.32
Cement
3.36 4.21
Metal & Allied Products
1.85 1.88
Chemicals
2.17 2.16
Pharmaceuticals
5.64 5.51
Textile, Garment
1.17 1.54
Ceramics, Glass, Porcelain
1.61
Plastics & Packaging
2.04
Total
2.07 2.27
ICR
Tw III Tw IV
21.77 33.90
7.66 8.73
1.92 2.40
20.11 29.81
9.23 19.90
0.31
7.94 12.29
128.56 199.18
1.51
0.71
4.19 8.79
Current Ratio
Tw III Tw IV
1.39 1.26
1.86 1.75
1.42 1.55
2.25 2.69
1.84 2.19
0.80 0.81
1.50 1.53
4.08 4.13
0.85 3.06
1.44
1.08
1.55 1.62
Sektor
Sektor
Prospek positif dari perekonomian domestik di
tahun
2017,
diikuti
dengan
semakin
membaiknya permintaan kredit di Jawa.
Penyaluran kredit di kawasan Jawa secara
keseluruhan tumbuh sebesar 9,72% di triwulan I
2017 meningkat dibanding triwulan sebelumnya
sebesar 8,11% (yoy), dan menjadi pertumbuhan
kredit tertinggi sejak tahun 2016. Realisasi
pertumbuhan kredit di Jawa tercatat di atas
capaian nasional sebesar 9,26% (yoy). Akselerasi
pertumbuhan kredit di Jawa didorong oleh
permintaan kredit korporasi yang meningkat
sebesar 10,34% (yoy) pada triwulan I 2017.
Sementara itu, permintaan kredit oleh golongan
perseorangan juga mengalami peningkatan,
meski tidak setinggi pertumbuhan golongan
korporasi.
Sumber: IDX dan Bloomberg
Grafik III.18. Perkembangan Kredit Perbankan
Secara sektoral, seluruh sektor korporasi di Jawa
mengalami peningkatan kinerja, tercermin dari
perbaikan rasio rentabilitas dan ICR. Secara
umum seluruh sektor korporasi masih memiliki
rasio solvabilitas di atas satu kali, dengan rasio
solvabilitas terendah pada sektor TPT sebesar
1,54. Secara keseluruhan, rasio DER seluruh
sektor menurun, walaupun secara level, sektor
DER kertas dan TPT relatif lebih tinggi
42
Peningkatan pertumbuhan kredit Jawa didorong
oleh lapangan usaha utama seperti perdagangan
dan konstruksi, meski permintaan kredit untuk
industri
pengolahan
sedikit
melambat.
Peningkatan penyaluran kredit korporasi terjadi
baik pada kredit modal kerja maupun investasi.
Pertumbuhan kredit korporasi yang meningkat
terutama didorong peningkatan permintaan
lapangan usaha perdagangan dan konstruksi.
Kenaikan permintaan kredit terkonfirmasi dari
meningkatnya pertumbuhan lapangan usaha
perdagangan dan konstruksi pada PDRB.
Sementara itu, penyaluran kredit ke lapangan
usaha industri pengolahan masih relatif terbatas
dan mengalami sedikit perlambatan.
lapangan usaha utama mengalami penurunan.
Risiko kredit dari lapangan usaha perdagangan
perlu mendapat perhatian meski mengalami
penurunan di triwulan I 2017, seiring rasio NPL
yang hampir melampaui batas indikatif aman 5%.
Sementara itu, terjaganya kualitas kredit dari
lapangan usaha industri pengolahan dan
perdagangan mampu menjaga kualitas kredit
korporasi secara keseluruhan.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan
Grafik III.19. Penyaluran Kredit Sektoral Korporasi
Grafik III.20. Rasio NPL Kredit Sektoral Korporasi
Peningkatan pertumbuhan kredit korporasi yang
diikuti kualitas kredit yang relatif terjaga
menunjukkan ketahanan korporasi pada
triwulan I 2017. Terjaganya kualitas kredit
korporasi di triwulan I 2017 mengindikasikan
masih kuatnya kemampuan bayar dari korporasi
dalam memenuhi kewajibannya. Pada triwulan I
2017, rasio Non Performing Loan (NPL) korporasi
tercatat stabil pada level 3,37% namun lebih
tinggi dari rasio NPL kredit secara keseluruhan
yang
sebesar
2,96%.
Berdasarkan
penggunaannya, risiko kredit investasi mengalami
kenaikan, namun dapat tertahan oleh
membaiknya kualitas kredit dari jenis modal
kerja. Secara sektoral, risiko kredit dari seluruh
43
Dana Pihak Ketiga (DPK) dari golongan
perseorangan tercatat mengalami perlambatan,
terutama bersumber dari perlambatan giro dan
tabungan.
Secara
keseluruhan,
DPK
perseorangan tumbuh melambat dari 9,38% (yoy)
menjadi 9,05% (yoy) di triwulan I 2017.
Sementara itu, deposito yang pangsanya
mencapai 45,1% dari total DPK, tercatat
meningkat dari 3,57% (yoy) menjadi 6,60% (yoy).
Peningkatan pertumbuhan deposito ditengarai
didorong oleh adanya peningkatan suku bunga
deposito dengan jangka waktu 3 bulan.
Sementara itu, pertumbuhan deposito giro
mengalami perlambatan yang cukup dalam dari
28,06% (yoy) menjadi 3,54% (yoy), sementara
tabungan sedikit melambat dari 12,56% (yoy)
pada triwulan IV-2016 menjadi 12,07% (yoy).
Grafik III.21. Pertumbuhan DPK Perseorangan
Kredit Perseorangan di Perbankan
Sejalan dengan pertumbuhan kredit secara
umum, kredit rumah tangga turut mengalami
peningkatan, khususnya pada kredit KPR dan
Kredit Multiguna. Penyaluran kredit rumah
tangga tumbuh dari 9,43% (yoy) menjadi 10,30%
(yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan
penyaluran kredit rumah tangga terutama
disumbang pertumbuhan kredit kepemilikan
rumah (KPR) yang meningkat dari 8,58% (yoy)
menjadi 8,95% (yoy). Penyaluran Kredit
Multiguna juga tumbuh meningkat sebesar
13,40% (yoy) setelah sempat melambat pada
triwulan sebelumnya. Namun pertumbuhan
kredit rumah tangga tertahan perlambatan KKB,
yang justru sedikit melambat dari 1,52% (yoy)
pada triwulan sebelumnya menjadi 1,26% (yoy)
pada triwulan I 2017.
tahun terakhir. Perlambatan juga dialami pada
penyaluran KPR tipe >70 yang hanya tumbuh
sebesar 3,95% (yoy). Membaiknya permintaan
KPR di awal tahun 2017 sejalan dengan relaksasi
LTV
sejak
pertengahan
tahun
2015.
Meningkatnya permintaan akan aset tetap juga
tercermin dari peningkatan indeks konsumsi
barang tahan lama saat ini yang lebih tinggi
dibandingkan 3 bulan sebelumnya, sebagaimana
ditunjukkan hasil Survei Konsumen.
Grafik III.23. Perkembangan KPR
Grafik III.22. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Perlambatan KKB didorong oleh melemahnya
permintaan kredit kepemilikan kendaraan roda
empat (mobil). Kredit kepemilikan mobil tercatat
tumbuh sebesar 7,01% (yoy) pada triwulan I
2017, relatif lebih rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya yang sebesar 7,32% (yoy).
Sementara itu, pertumbuhan penyaluran kredit
kepemilikan sepeda bermotor masih terkontraksi,
meskipun
sudah
cenderung
membaik
dibandingkan
triwulan
sebelumnya.
Pertumbuhan kredit sepeda bermotor meningkat
dari minus 11,81% (yoy) menjadi minus 7,08%
(yoy) pada triwulan laporan.
Penyaluran KPR pada triwulan laporan tumbuh
meningkat, sejalan dengan Indeks Harga
Properti Residensial (IHPR) yang relatif stabil.
Peningkatan permintaan KPR bersumber dari
rumah tipe 22 s.d 70. Sementara penyaluran KPR
untuk tipe tipe <21 masih terkontraksi, walaupun
lebih
kecil
kontraksinya,
melanjutkan
pertumbuhan negatif yang terjadi dalam satu
44
Grafik III.24. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga
Kerentanan sektor rumah tangga yang tercermin
dari rasio NPL kredit rumah tangga sedikit
meningkat meski masih berada dalam level yang
aman. Menurunnya ketahanan sektor rumah
tangga juga terlihat dari indeks penghasilan
(Survei Konsumen) yang mengalami penurunan di
triwulan I 2017. Sementara rasio NPL kredit
rumah tangga sedikit meningkat ke 1,63%, di atas
realisasi
triwulan
sebelumnya
1,50%.
Meningkatnya risiko kredit rumah tangga
bersumber dari peningkatan rasio NPL KPR dan
multiguna, sementara kualitas KKB relatif
membaik dibandingkan triwulan sebelumnya.
Peningkatan risiko KPR terjadi pada seluruh tipe
rumah. NPL terendah tercatat pada KPR dengan
tipe 22 s.d 70 yaitu sebesar 1,99% pada triwulan I
2017, walaupun lebih tinggi daripada triwulan
sebelumnya. Sementara NPL Kredit Multiguna
meningkat dari 1,12% menjadi 1,17%. Di sisi lain,
risiko kredit KKB masih relatif rendah dan terjaga,
dengan rasio NPL sebesar 1,13%.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah
transaksi. Transaksi SKNBI di Jawa secara total
mencapai Rp682,63 triliun, atau terkontraksi
sebesar 23,06% (yoy). Pertumbuhan pada
triwulan laporan tersebut turun lebih dalam bila
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang
terkontraksi sebesar 7,92% (yoy). Pada triwulan
IV 2015, sempat diberlakukan caping yang lebih
besar yaitu sebesar Rp500 juta yang
menyebabkan terjadinya base year effect pada
rendahnya angka pertumbuhan triwulan I 2017.
Sistem Pembayaran Non Tunai
Sejalan dengan pola historisnya, transaksi kliring
melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(SKNBI) mengalami perlambatan dari sisi volume
transaksi di triwulan I 2017. Volume transaksi
SKNBI tercatat mencapai 26,04 juta transaksi
atau tumbuh sebesar 7,19% (yoy), lebih rendah
dibandingkan triwulan sebelumnya yang dapat
tumbuh sebesar 8,94% (yoy). Penurunan volume
transaksi kliring ini sejalan dengan pola
musimannya, yaitu menurunnya aktivitas
perekonomian di awal tahun paska momen Natal
dan Tahun Baru serta realisasi APBD yang
cenderung lebih tinggi pada akhir tahun. Ini
terlihat dari rata-rata transaksi harian melalui
SKNBI yang turun dari 8,4 triliun rupiah per hari
menjadi 7,6 triliun rupiah per harinya.
Grafik III.26. Nominal Transaksi SKNBI
Pengelolaan Uang Rupiah
Transaksi RTGS (Real Time Gross Settlement)
baik secara nominal maupun volume tercatat
melambat di triwulan I 2017 bila dibandingkan
periode yang sama tahun sebelumnya. Namun
perlambatan pertumbuhan volume RTGS tidak
sedalam perlambatan pertumbuhan nominal
RTGS. Jumlah nominal transaksi melalui RTGS
sebesar Rp5.888 triliun dengan volume transaksi
mencapai 1,68 juta kali. Secara spasial,
perlambatan transaksi RTGS disumbang oleh
provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Banten.
Grafik III.25. Volume Transaksi SKNBI
Pemberlakuan ketentuan terkait
caping
12
transaksi kliring melalui SKNBI berdampak
kepada melambatnya pertumbuhan nominal
12
Ketentuan Caping transaksi SKNBI adalah pemberlakuan
ketentuan transaksi kliring menjadi maksimum 100 juta
rupiah sejak 1 Juli 2016
45
Grafik III.27. Perkembangan Inflow dan Outflow
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang
cenderung melambat serta masih terbatasnya
realisasi APBD mendorong net-inflow di Jawa
pada triwulan I 2017. Net-inflow Jawa sebesar
27,3 triliun rupiah ini juga sesuai dengan pola
historisnya kawasan Jawa pada awal tahun. Netinflow tersebut lebih rendah dibandingkan netinflow pada periode yang sama tahun
sebelumnya yang mencapai Rp43,7 triliun. Hal ini
disebabkan oleh penggunaan uang kartal oleh
masyarakat dan pemerintah yang relatif terbatas
serta realisasi APBD yang belum optimal pada
awal tahun.
jaringan kas titipan di wilayah Jawa, yaitu di
Kabupaten Kebumen yang telah diresmikan pada
tanggal 21 April 2017, serta akan dibukanya
layanan kas titipan di Kabupaten Cilacap.
Penguatan koordinasi dengan instansi yang
berwenang serta peningkatan upaya edukasi
CIKUR (Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah),
berdampak kepada menurunnya penemuan
uang yang diragukan keasliannya. Sampai
dengan Februari 2017, jumlah uang yang
diragukan keasliannya yang dilaporkan kepada
Bank Indonesia pada triwulan I 2017 sebanyak
18.157 lembar, lebih rendah daripada triwulan
sebelumnya yang mencapai 32.341 lembar.
Penemuan terbesar masih berasal dari Jakarta
disusul Jawa Timur yang merupakan daerahdaerah pusat transaksi bisnis. Makin sedikitnya
temuan uang yang diragukan keasliannya
merupakan hasil koordinasi yang semakin kuat
antara Bank Indonesia dengan pihak berwajib
dalam melakukan upaya-upaya preventif
terhadap tindak pemalsuan uang serta edukasi
yang dilakukan Bank Indonesia kepada
masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang rupiah.
Sementara itu, sejalan dengan upaya Bank
Indonesia untuk menjaga kualitas uang beredar,
rasio pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE)
terhadap inflow tercatat meningkat pada
triwulan I 2017. Selain itu, ketersediaan uang
layak edar semakin ditingkatkan di seluruh
pelosok Indonesia melalui kegiatan kas keliling
oleh Bank Indonesia yang menjangkau hingga ke
seluruh pelosok negeri. Agar masyarakat
mendapatkan uang yang berkualitas, peningkatan
layanan perkasan kepada masyarakat oleh Bank
Indonesia juga ditingkatkan melalui penambahan
*) hingga Februari 2017
Grafik III.28. Perkembangan Temuan Uang Palsu
46
Grafik III.29. Perkembangan Pemusnahan UTLE
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan III
2017 diprakirakan lebih rendah, terutama
dipengaruhi oleh menurunnya konsumsi
musiman paska perayaan HBKN Idul Fitri.
Setelah melewati masa puncaknya pada akhir
triwulan II 2017, pertumbuhan konsumsi rumah
tangga diperkirakan melambat. Perlambatan
pertumbuhan konsumsi rumah tangga setelah
periode puncak HBKN Idul Fitri, diprakirakan
dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi Jawa
secara keseluruhan, walaupun realisasi investasi
dan konsumsi pemerintah masih diprakirakan
meningkat di samping prakiraan akselerasi kinerja
ekspor Jawa seiring perbaikan kondisi ekonomi
global dan kenaikan harga komoditas.
Secara sektoral, perlambatan ekonomi Jawa
pada triwulan III 2017 dipengaruhi oleh
melambatnya kinerja lapangan usaha industri
pengolahan dan perdagangan paska Ramadhan
dan HBKN Idul Fitri. Produksi industri pengolahan
kembali ke level normal setelah melewati masa
puncak permintaan pada periode Ramadhan dan
HBKN Idul Fitri 2017. Hal yang sama juga terjadi
pada kinerja lapangan usaha perdagangan,
dimana volume perdagangan diprakirakan akan
lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Meski
demikian, membaiknya produksi dari lapangan
usaha pertanian dan juga masih kuatnya
pertumbuhan lapangan usaha konstruksi seiring
masih terus berlanjutnya pembangunan proyek
infrastruktur pemerintah dan proyek swasta
lainnya, mampu mengurangi perlambatan
musiman yang terjadi.
Perekonomian Jawa tahun 2017 diprakirakan
mampu tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun
2016. Ekonomi Jawa diperkirakan tumbuh dalam
rentang 5,6% - 6,0% (yoy), di atas realiasi tahun
2016 yang sebesar 5,59% (yoy). Akselerasi
pertumbuhan ekonomi Jawa tersebut didorong
oleh membaiknya seluruh komponen PDRB.
Beberapa faktor yang mendukung peningkatan
pertumbuhan ekonomi Jawa antara lain
optimisme perbaikan ekonomi global, khususnya
mitra dagang utama Jawa, meningkatnya harga
komoditas, multiplier effect dari pembangunan
proyek-proyek infrastruktur pemerintah serta
bauran kebijakan dari otoritas moneter dan
otoritas fiskal.
Peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah
tangga masih menjadi penopang utama
ekonomi Jawa pada tahun 2017. Optimisme
keyakinan konsumen di Jawa yang masih relatif
tinggi hingga pertengahan 2017, mengindikasikan
daya beli masyarakat yang masih kuat dan
diperkirakan masih akan berlanjut hingga akhir
tahun 2017. Masih kuatnya konsumsi rumah
tangga tercermin dari penyaluran kredit
konsumsi maupun kredit secara umum yang
mulai menunjukkan tren meningkat di awal tahun
2017. Selain peningkatan konsumsi rumah
47
tangga, realisasi investasi di tahun 2017
diperkirakan turut membaik. Perbaikan iklim
investasi dan meningkatnya peringkat investasi
Indonesia oleh sejumlah lembaga rating,
mendorong masuknya lebih banyak PMA ke
Indonesia. Meningkatnya realisasi investasi sudah
mulai terlihat semenjak triwulan I 2017 dimana
PMDN dan PMA untuk wilayah Jawa tercatat
lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Selain itu
optimisme sektor swasta terhadap kondisi
Indonesia paska PILKADA serentak di awal tahun,
mampu mendorong realisasi investasi yang sudah
terlihat pada semester I 2017.
Perbaikan ekonomi global, terutama mitra
dagang utama Jawa, diprakirakan mampu
mendorong kinerja ekspor di tahun 2017.
Perbaikan prospek ekenomi global terlihat dari
ekonomi AS yang terus menguat disertai dengan
membaiknya ekonomi Eropa dan Tiongkok.
Menguatnya perekonomian di tiga negara tujuan
utama ekspor Jawa, berpotensi untuk
meningkatkan permintaan akan produk industri
pengolahan. Selain itu, berdasarkan hasil survey
liason Bank Indonesia, para pelaku usaha di Jawa
telah melakukan diversifikasi negara tujuan
ekspor ke negara ASEAN, Amerika Latin dan
Afrika. Permintaan ekspor Jawa yang meningkat,
diprarkirakan
akan
berdampak
kepada
peningkatan impor, terutama impor bahan baku
dan barang modal. Hal ini sejalan dengan
prakiraan realisasi investasi Jawa yang meningkat
untuk keseluruhan tahun 2017.
Dari sisi penawaran, akselerasi ekonomi Jawa
Tahun 2017 ditopang oleh seluruh lapangan
usaha utama. Peningkatan ekonomi Jawa,
terutama didorong oleh akselerasi pertumbuhan
lapangan usaha industri pengolahan dan
perdagangan. Prospek ekonomi Indonesia yang
membaik di tahun 2017 mendorong pelaku usaha
untuk merealisasikan investasi yang bertujuan
untuk peningkatan kapasitas produksi. Sejalan
dengan masih kuatnya daya beli masyarakat,
maka kinerja lapangan usaha perdagangan
diprakirakan masih dapat tumbuh cukup kuat.
Sementara itu, pertumbuhan lapangan usaha
pertanian juga mengalami peningkatan, seiring
perkiraan cuaca yang lebih kondusif di tahun
2017 dan berlanjutnya program perbaikan
infrastruktur pertanian.
Percepatan pembangunan proyek Pemerintah
maupun
swasta
diprakirakan
menjadi
pendorong utama kinerja lapangan usaha
konstruksi. Pembangunan proyek pemerintah
terutama berasal dari akselerasi proyek
infrastruktur seperti pembangunan jalan Trans
Jawa, Bandara di Jawa Barat dan DIY, pelabuhan
New Priok di Jakarta dan pelabuhan Patimban
serta sarana pendukung untuk penyelenggaraan
ASEAN Games di Jakarta. Pembangunan proyek
sektor swasta turut mendorong kinerja lapangan
usaha konstruksi, terutama dari sub lapangan
usaha alat angkut serta tekstil dan produk
turunannya.
Prakiraan pertumbuhan ekonomi Jawa yang
membaik masih dibayangi oleh beberapa risiko
internal dan eksternal. Dari sisi external, arah
kebijakan pemerintah baru AS dan peningkatan
suku bunga AS di tahun 2017 masih berpotensi
memberikan risiko tekanan terhadap nilai tukar
dan arus modal. Sementara itu, dari sisi domestik,
tekanan inflasi akibat penyesuaian beberapa
komoditas administered prices berisiko untuk
menurunkan daya beli masyarakat. Hal tersebut
sudah dapat terlihat di triwulan I 2017 yaitu
dengan
sedikit
melambatnya
dimana
pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Selain itu,
di sisi fiskal, resiko shortfall pajak masih cukup
tinggi, terutama untuk DKI Jakarta, yang
berpotensi menurunkan transfer dana ke daerah
di tahun 2017.
Tekanan inflasi di triwulan II 2017 yang relatif
lebih tinggi diperkirakan akan berlanjut pada
triwulan III 2017. Laju inflasi tahunan Jawa pada
triwulan III 2017 diperkirakan masih akan relatif
tinggi sejalan dengan dorongan kenaikan
permintaan pada perayaan Idul Adha paska
mengalami masa puncaknya pada perayaan
HBKN Idul Fitri di akhir Juni 2017. Risiko inflasi
volatile food diperkirakan bersumber kenaikan
48
harga daging ayam ras, sebagai dampak lanjutan
dari kebijakan pengurangan DOC di semester I
2017. Dampak penyesuaian TTL diperkirakan
masih akan dirasakan pada awal triwulan III
disertai masih akan adanya penyesuaian harga
rokok secara bertahap. Sementara tekanan dari
kelompok inti diperkirakan berasal dari
penyesuaian biaya pendidikan untuk seluruh
tingkat pendidikan, yang secara historis terjadi di
triwulan III 2017.
Laju inflasi tahunan Jawa untuk tahun 2017
diprakirakan lebih tinggi dari tahun 2016,
namun masih dalam rentang sasaran target
inflasi tahun 2017 yaitu 4% ± 1%. Sumbangan
inflasi terbesar diprakirakan bersumber dari
komoditas administered prices dan kelompok inti,
sementara inflasi dari kelompok volatile food
diprakirakan lebih rendah dibandingkan tahun
2016. Secara spasial, tingkat inflasi untuk seluruh
provinsi di Jawa diprakirakan juga akan lebih
tinggi dari capaian tahun 2016 dengan
penyumbang inflasi utama berasal dari komoditas
administered prices.
Kenaikan inflasi tahun 2017 didorong oleh
peningkatan inflasi administered prices,
khususnya penyesuaian TTL dan juga biaya
perpanjangan STNK. Laju inflasi tahunan
administered prices diprakirakan akan meningkat
dan menjadi penyumbang inflasi terbesar untuk
tahun 2017. Komoditas penyumbang inflasi
tertinggi bersumber dari penyesuaian Tarif
Tenaga Listrik (TTL), yang disebabkan adanya
penyesuaian tarif untuk golongan rumah tangga
900VA. Tekanan inflasi yang cukup besar turut
disumbang oleh adanya penyesuaian biaya
administrasi STNK yang signifikan pada bulan
Januari 2017. Risiko inflasi dari kelompok
administered prices juga bersumber dari kenaikan
harga rokok secara bertahap, sejalan dengan
diimplementasikannya ketentuan cukai rokok
2017.
Inflasi dari kelompok inti juga diprakirakan
menambah sumbangan inflasi tahunan Jawa
untuk keseluruhan tahun 2017. Salah satu
komoditas yang menjadi risiko penyumbang
inflasi terbesar adalah tarif pulsa ponsel.
Kenaikan tersebut merupakan upaya dari
operator telekomunikasi dalam menutupi biaya
investasi paska penurunan tarif interkoneksi.
Selain itu, sumbangan inflasi dari kelompok inti
juga berasal dari penyesuaian tarif sewa rumah
dan kontrak rumah yang biasanya secara historis
terjadi pada awal dan pertengahan tahun.
Sementara itu, tren peningkatan harga emas
perhiasan diprakirakan turut menyumbang inflasi
pada tahun 2017, terutama pada triwulan II 2017
di periode Ramadhan dan HBKN Idul Fitri.
Laju inflasi tahunan Jawa tahun 2017
diprakirakan dapat tertahan oleh relatif
terjaganya harga komoditas volatile food.
Tingkat inflasi volatile food pada bulan April 2017
tercatat cukup rendah dan hingga akhir tahun
diperkirakan tidak akan mengalami peningkatan
yang signifikan. Terjaganya inflasi volatile food
tidak terlepas dari pasokan beras yang terjaga
dan produksi komoditas hortikultura yang
kembali normal setelah mengalami gagal panen
di akhir tahun 2016. Risiko terbesar dari
kelompok volatile food disumbang oleh potensi
kenaikan harga daging ayam ras, setelah
dikeluarkannya peraturan oleh Kementerian
Pertanian terkait pembatasan DOC. Menghadapi
tekanan inflasi pada 2017, semua TPID di wilayah
Jawa bersama-sama dengan Pemerintah Daerah
dan instansi terkait akan terus berkoordinasi
dalam mengimplementasikan berbagai program
dan kegiatan pengendalian inflasi daerah agar
realisasi inflasi tetap berada dalam sasaran
inflasi.
49
Boks 2
Strategi diversifikasi sumber pertumbuhan baru
dapat mengintegrasikan antara transformasi
sektoral dengan transformasi spasial. Strategi
transformasi perekonomian dapat dibagi ke
dalam tiga kategori, yaitu i) peningkatan efisiensi
untuk sektor pertanian dan industri padat karya;
ii) industrial upgrading menuju medium to high
technology; dan iii) new source of growth dengan
mendorong industri pariwisata dan industri
kreatif. Strategi transformasi untuk setiap
wilayah dapat berbeda antara satu sama lain,
dengan mempertimbangkan stage of growth
wilayah tersebut pada saat ini.
klasifikasi Huggins (2014) dengan variabel
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per
kapita.
Analisis transformasi spasial hingga ke tingkat
kabupaten kota yang ada di Pulau Jawa penting
untuk dilakukan agar strategi yang akan
diterapkan untuk masing-masing wilayah dapat
disesuaikan dengan stage of growth-nya. Wilayah
dengan basis sumber daya alam dan tenaga kerja
murah dapat diarahkan pada efisiensi pertanian
dan industri padat karya. Sementara, daerahdaerah penyangga kota besar diarahkan untuk
upgrading teknologi med-high. Selain itu, wilayah
dengan potensi wisata yang besar diarahkan
untuk mendorong sektor pariwisata dan industri
kreatif.
Setelah mengetahui stage of growth dari masingmasing kabupaten/kota, selanjutnya akan
dilakukan analisis dan pemetaan sektoral
ekonomi dengan mengadaptasi metode Boston
Consulting Group (BCG) Matrix (Henderson,
1970). Berdasarkan hasil pemetaan tersebut,
dapat diperoleh asesmen awal terkait strategi
pengembangan yang dianggap terbaik untuk
masing-masing sektor ekonomi. Untuk wilayah
yang masih mengandalkan sumber daya alam
(seperti sektor pertanian) dan industri padat
karya, akselerasi pertumbuhan ekonomi dapat
didorong
dengan
peningkatan
efisiensi.
Sementara, wilayah yang berbasis industri
pengolahan perlu melakukan upgrading menuju
industri berteknologi menengah-tinggi. Di sisi
lain, sumber pertumbuhan baru (new source of
growth) perlu didorong melalui sektor pariwisata,
jasa kreatif, dan jasa-jasa bernilai tinggi (high
value).
Gambar III.1. Strategi Transformasi Perekonomian
Pemetaan Spasial dan Sektoral
Penentuan stage of growth masing-masing
kabupaten-kota di kawasan Jawa dilakukan
dengan menggunakan metodologi Klassen dan
50
Sumber: BPS, diolah
Gambar III.2. Pemetaan Stage of Growth
Pengintegrasian
dua
pemetaan
diatas
menunjukkan bahwa daerah yang memiliki fungsi
sebagai pusat pertumbuhan seperti Jakarta,
Bandung, dan Tangerang Selatan dapat diarahkan
untuk menjadi sumber pertumbuhan baru dari
sektor jasa-jasa high-value. Sementara, daerah
penyangga di sekitar pusat pertumbuhan
ekonomi dapat menjadi sentra-sentra industri
berteknologi menengah tinggi. Di sisi lain,
peningkatan pertumbuhan wilayah pertanian
masih perlu untuk tetap dijaga dan ditingkatkan
produktivitasnya. Selain itu, pada daerah yang
memiliki potensi pariwisata seperti Banten
selatan, DIY, Banyuwangi, dan Jawa bagian
tengah pariwisata dapat menjadi sumber
pertumbuhan ekonomi baru bagi Jawa.
Sumber: BPS, diolah
Gambar III.3. Pemetaan Sektor Ekonomi
Sumber: BPS, diolah
Gambar III.4. Peta Pengembangan Sektoral Daerah
Tantangan dan Strategi Diversifikasi
Ekonomi
Peningkatan Efisiensi
Dalam
menjalankan
strategi
diversifikasi
ekonomi, pertumbuhan sektor pertanian dan
industri padat karya sebagai dua sektor ekonomi
penyerap tenaga kerja terbesar masih perlu
ditingkatkan. Pada tahun 2016, sektor pertanian
dan industri padat karya masing-masing
menyerap 24,19% dan 11,51% dari total tenaga
51
kerja yang ada di Pulau Jawa. Strategi utama dari
peningkatan kinerja kedua sektor ekonomi
tersebut dapat ditempuh dengan melakukan
peningkatan
efisiensi.
Namun
demikian,
peningkatan efisiensi sektor pertanian Jawa
masih menghadapai beberapa tantangan seperti
(i) skala usaha yang tidak ekonomis; (ii)
rendahnya
pendidikan
SDM;
dan
(iii)
produktivitas tenaga kerja yang rendah.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan pertumbuhan di kedua sektor di
atas antara lain memperbaiki skala usaha melalui
Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) untuk
mencapai economies of scale. Mekanisasi dan
modern farming dapat menjadi solusi untuk
mendorong efisiensi pada sektor pertanian.
Selain
itu,
diperlukan
upaya
untuk
mempermudah mobility of labor melalui
pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja di
sektor pertanian, agar dapat masuk ke sektor
industri padat karya.
Peningkatan kinerja industri padat karya Jawa
juga menghadapi beberapa tantangan, antara
lain (i) tren peningkatan upah dalam bentuk Upah
Minimum Provinsi atau Kab / Kota (UMP/UMK);
(ii) rendahnya produktivitas tenaga kerja industri
padat karya; dan (iii) semakin berkembangnya
Vietnam sebagai sentra industri padat karya
ASEAN sehingga menjadi kompetitor Indonesia.
Strategi utama yang dapat dijalankan dalam
menghadapi tantangan tersebut adalah melalui
peningkatan kualitas SDM tenaga kerja industri
padat karya. Kualitas SDM yang lebih tinggi akan
mendukung peningkatan produktivitas, sehingga
dampak dari kenaikan UMK bagi pelaku usaha
akan dapat terkompensasi oleh produktivitas
yang tinggi. Selain itu, dari sisi industri,
peningkatan iklim usaha dan daya saing industri
diperlukan untuk menarik minat investor dalam
maupun luar negeri agar berinvestasi atau
melakukan ekspansi industri padat karya existing
di wilayah Jawa.
Sumber: BPS, diolah
Gambar III.5. Peta Potensi Pengembangan Industri Low-Med Tech
Industrial Upgrading
Beberapa wilayah di Jawa juga dapat
mengembangkan industri med-high technology
yang menghasilkan nilai tambah lebih tinggi.
Secara khusus, industri otomotif dan mesin
merupakan industri yang paling terkonsentrasi di
Jawa. Berdasarkan Dati II, maka wilayah yang
menjadi pusat industri high tech di Jawa adalah
Bekasi, Karawang, dan Jakarta Utara. Dari sisi
investasi, PMA yang masuk ke industri med-high
relatif besar dengan pangsa yang mencapai 32%,
lebih besar dari pangsa realisasi PMDN ke industri
med-high technology.
Sumber: BPS, diolah
Gambar III. 6. Peta Potensi Pengembangan Industri Med-High Tech
52
Namun demikian, pangsa industri med-high
technology terhadap PDRB Jawa relatif stagnan,
bahkan pangsanya terhadap ekspor luar negeri
Jawa terus mengalami penurunan. Neraca
perdagangan luar negeri untuk industri ini juga
masih konsisten mengalami defisit, khususnya
pada industri kimia dan mesin. Hal tersebut
disebabkan oleh ketergantungan terhadap impor
untuk pemenuhan input antara di industri medhigh tech yang relatif lebih tinggi dibanding
industri manufaktur pada umumnya. Sementara
itu, ketersediaan tenaga kerja dengan skill dan
pemahaman teknologi yang tinggi masih
terbatas. Hal ini terindikasi dari tenaga kerja pada
industri med-high tech yang masih didominasi
oleh lulusan pendidikan menengah.
Tantangan lain yang dihadapi pengembangan
industri
med-high
technology
adalah
technological readiness Indonesia yang cukup
tertinggal dan hanya lebih baik dari Vietnam
untuk kawasan ASEAN. Salah satu negara dengan
technological readiness tertinggi di ASEAN adalah
Singapura dan Malaysia, yang memiliki
ketersediaan teknologi terkini dan firm level
technology absorption tertinggi. Posisi Indonesia
yang rendah tersebut disebabkan tingkat
pemanfaatan teknologi terkini serta technological
transfer oleh PMA yang masih relatif rendah. Di
sisi lain, tingkat inovasi Indonesia berada dalam
posisi yang moderat dibanding negara lain di
ASEAN. Namun, pemanfaatannya di industri medhigh technology diperkirakan masih belum
optimal.
Sumber: CGI (2016-2017)
Gambar III.7. Technological Readiness Negara di ASEAN
Mempertimbangkan relatif besarnya tantangan
dalam pengembangan industri
med-high
technology di Jawa, beberapa strategi
53
diversifikasi yang dapat dilakukan untuk
mendorong upgrading industri med-high tech
antara lain (i) Peningkatan alokasi biaya untuk
research
&
development
(R&D)
untuk
menghasilkan produk yang inovatif sehingga
mampu bersaing secara global; (ii) Mendorong
kerjasama dengan Industri Kecil Menengah (IKM)
sebagai pendukung dalam memasok input
antara; (iii) Mendorong investor asing melakukan
technological transfer kepada SDM lokal; dan (iv)
Optimalisasi peran Regional Investor Relation
Unit (RIRU) untuk mengakomodir kebutuhan
investor dengan menawarkan potensi industri
med-high di wilayah Jawa.
New Source of Growth
Untuk daerah di Jawa yang tidak berada di pusat
aglomerasi, sehingga tidak memungkinkan untuk
membangun
industri
pengolahan,
maka
pengembangan sektor Pariwisata dan industri
kreatif dapat menjadi alternatif sumber
pertumbuhan ekonomi baru. Pertumbuhan
sektor pariwisata Jawa terus mengalami
pertumbuhan yang cukup tinggi dengan pangsa
terhadap PDRB yang terus meningkat. Potensi
pariwisata yang dimiliki Jawa dapat bersaing
dengan objek pariwisata di luar Jawa yang sering
menjadi tujuan wisatawan asing. Selain wisata
alam, sejumlah daerah di Jawa memiliki kekayaan
budaya, sejarah dan nilai-nilai religi yang dapat
dioptimalkan menjadi tujuan wisata tematik.
Potensi sektor pariwisata Jawa ke depan
diperkirakan
akan
semakin berkembang,
khususnya untuk daerah-daerah yang telah
menjadi Kawasan Strategis Swasta Nasional
(KSPN) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Tantangan
utama
dalam
pengembangan
pariwisata di Jawa antara lain terkait kualitas
infrastruktur penunjang pariwisata yang masih
kurang, isu keberlangsungan lingkungan, kualitas
keamanan, keselamatan dan kebersihan serta
kesiapan information and communication
technologies (ICT). Selain itu, upaya pemerintah
untuk meningkatkan kunjungan wisatawan
mancanegara (wisman) masih menghadapi
sejumlah tantangan. Kebijakan pemerintah untuk
memberikan bebas visa kunjungan bagi 169
negara, secara umum berdampak positif secara
nasional, namun belum optimal bagi Jawa.
Sejumlah upaya pemerintah untuk memperkuat
branding
Indonesia
melalui
peningkatan
anggaran pemasaran juga belum mampu
mendorong kenaikan jumlah kunjungan wisman
secara signifikan.
Sumber : Kementerian Pariwisata
Gambar III.8. Peta Potensi Daerah Pariwisata
Strategi transformasi pariwisata perlu difokuskan
kepada upaya pembenahan tata kelola, antara
lain melalui alignment kebijakan pusat-daerah.
Selain itu, upaya pemerintah pusat terkait
pembangunan
infrastruktur
pendukung
pariwisata juga perlu diikuti dengan upaya
penyiapan sumber daya manusi dan peningkatan
keterlibatan masyarakat setempat. Upaya lain
yang
dapat
dilakukan
adalah
melalui
pengembangan
industri
kreatif
sebagai
penggerak sektor wisata di daerah.
Sumber : BPS, diolah
Gambar III.9. RCA Ekspor Industri Kreatif
Pengembangan aktivitas pariwisata perlu
didukung oleh industri kreatif yang mengisi ceruk
54
produk souvenir, kuliner, dan seni hiburan. Saat
ini, sebagai basis industri dan didukung oleh
warisan sosial budaya, Jawa merupakan pusat
industri kreatif nasional. Hal ini terindikasi dari
ekspor industri kreatif yang 97% berasal dari
Jawa. Dari sisi keunggulan komparatif, revealed
comparative advantage (RCA) ekspor industri
kreatif yang berasal dari D.I. Yogyakarta, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta
tercatat unggul dengan nilai RCA > 1.
Proses pengembangan industri kreatif di Jawa
tergolong lebih unggul dibandingkan dengan
daerah lain, namun tetap menghadapi beberapa
tantangan. Tantangan pengembangan industri
kreatif terkait dengan peningkatan produktivitas
kelompok usaha mikro kecil yang saat ini memiliki
tingkat produktivitas di bawah rata-rata industri.
Alternatif solusi dalam mengatasi tantangan
tersebut adalah melalui optimalisasi e-commerce
mengoptimalkan riset dan pengembangan
industri kreatif melalui pembentukan pusat
desain, riset, dan konsultansi industri kreatif.
Apabila kendala di atas sudah dapat teratasi,
maka
tahapan
selanjutnya
adalah
mengembangkan sektor kreatif bernilai tinggi
sebagai mesin pertumbuhan menuju ekonomi
berbasis pengetahuan, inovasi, dan kreativitas
seperti industri musik, jasa arsitektur dan desain,
pengembangan industri game dan konten
aplikasi, serta teknologi penunjang industri
seperti robotik. Upaya yang perlu dilakukan
antara lain adalah meningkatkan iklim
kemudahan
berinvestasi
dan
berusaha,
penyediaan media dan ajang menyalurkan
inovasi, serta kemudahan mendirikan pusatpusat pelatihan berbasis teknologi informasi dan
desain.
55
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
56
Pada triwulan I 2017, ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup wilayah Kalimantan,
Sulampua (Sulawesi, Maluku, dan Papua), dan Balinusra (Bali dan Nusa Tenggara) tumbuh 5,01%
(yoy,) lebih rendah daripada triwulan sebelumnya sebesar 5,54% (yoy). Perlambatan dipengaruhi
oleh penurunan ekspor mineral tambang dari Papua dan NTB, meski perlambatan lebih dalam masih
dapat ditahan oleh membaiknya kinerja ekspor batubara dari Kalimantan. Di sisi perkembangan
harga, laju inflasi KTI meningkat dari 2,90%, (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 3,76% (yoy) pada
triwulan I 2017. Peningkatan inflasi terutama disebabkan oleh inflasi beberapa komoditas yang
mengalami penyesuaian tarif di awal tahun, seperti tarif listrik, biaya perpanjangan STNK, serta tarif
pulsa telepon seluler.
Memasuki triwulan II 2017, laju pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan membaik seiring dengan
peningkatan konsumsi terkait Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Idul Fitri dan telah
diperolehnya izin ekspor sementara oleh produsen mineral utama di Papua dan NTB. Namun,
tekanan terhadap pertumbuhan datang dari melambatnya pertumbuhan harga batubara dan CPO
yang berdampak pada deselerasi ekonomi Kalimantan. Pada triwulan III 2017, perekonomian KTI
diprakirakan kembali tumbuh melambat akibat prospek perlambatan harga komoditas ekspor
utama. Namun, untuk keseluruhan tahun 2017, ekonomi KTI diprakirakan akan tumbuh meningkat
yaitu pada kisaran 5,50-5,90% (yoy) ditopang oleh membaiknya seluruh komponen permintaan. Di
sisi perkembangan harga, pada awal triwulan II 2017, inflasi April 2017 tercatat sebesar 0,12%
(mtm) yang disebabkan oleh peningkatan tarif listrik dan tarif angkutan udara. Kenaikan inflasi
sejumlah komoditas administered prices diprakirakan berlanjut hingga akhir triwulan II 2017 dan
seiring dengan peningkatan permintaan menjelang perayaan HBKN Idul Fitri, maka tekanan inflasi
secara keseluruhan akan bertambah. Selanjutnya, tekanan Inflasi pada triwulan III 2017
diprakirakan sedikit berkurang sesuai pola historisnya pasca HBKN Idul Fitri. Secara keseluruhan
tahun 2017, inflasi diprakirakan berada pada kisaran 4,70%-5,10% (yoy), meningkat dibandingkan
tahun 2016.
Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian KTI secara agregat mengalami
perlambatan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Perekonomian KTI tumbuh 5,01%
(yoy) pada triwulan I 2017, melambat dari 5,54%
(yoy) pada triwulan IV 2016. Perlambatan
pertumbuhan ekonomi di KTI dipengaruhi oleh
deselerasi perekonomian baik di Sulampua dan
Balinusra yang lebih besar daripada perbaikan
kinerja ekonomi di Kalimantan. Perlambatan
ekonomi Sulampua dan Balinusra disebabkan
oleh menurunnya ekspor luar negeri tambang
seiring dengan berakhirnya periode izin ekspor
mineral mentah dari Papua dan NTB. Hal ini turut
57
menekan kinerja permintaan kepada usaha
perdagangan di kedua daerah tersebut. Adapun
provinsi lain yang juga mengalami perlambatan
ekonomi adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,
Sulawesi Utara, Papua Barat, dan NTT (Tabel
IV.1). Perlambatan di daerah-daerah tersebut
terkait dengan pelemahan kinerja sektor
ekonomi utama. Sementara dari sisi permintaan,
capaian kinerja pendapatan dan konsumsi rumah
tangga di Sulawesi Utara, Papua Barat, dan NTT,
serta net ekspor luar negeri di Sulawesi Barat dan
Sulawesi Selatan tidak sebaik triwulan
sebelumnya.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi di berbagai
daerah di Kalimantan menjadi penopang
pertumbuhan pada triwulan I 2017. Perbaikan
ekonomi
Kalimantan
didorong
oleh
meningkatnya pertumbuhan ekonomi hampir di
seluruh provinsi. Peningkatan ekonomi tersebut
terutama disebabkan oleh tumbuhnya ekonomi
Kalimantan Timur setelah sempat mengalami
kontraksi dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut
didorong oleh peningkatan ekspor luar negeri
batubara sejalan dengan perbaikan harga
batubara sejak akhir 2016.
negeri Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara (Grafik
IV.1). Peningkatan ekspor juga terjadi pada
komoditas nikel dari Sulawesi Selatan.
Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI
Provinsi
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Bali
NTB
NTT
PDRB (% YoY)
2016
I
II
III
IV
6.64
4.28
6.25
3.77
5.13
5.73
5.95
4.69
4.51
3.13
(0.52)
(0.69)
3.03
2016
2017
I
IIp
5.22
4.77
4.64
8.59
6.36
9.49
8.06
5.28
4.38
5.33
5.40
(0.01)
(0.30)
(0.38)
3.85
3.01
3.38
4.28
4.27
3.75
6.17
6.07
7.27
8.02
6.78
7.60
7.41
7.52
7.72
6.10
4.71
5.72
7.51
6.03
7.38
10.08
5.50
6.81
5.96
7.65
6.51
8.39
8.68
13.56
15.56
7.91
3.80
9.98
3.91
4.06
6.67
5.37
6.98
7.02
6.52
7.27
7.15
5.97
6.15
6.02
6.49
6.17
6.43
6.51
5.57
6.04
5.52
5.91
5.76
6.19
5.52
5.17
5.72
5.61
6.54
5.77
7.54
6.57
(0.72)
(5.17)
20.44
21.41
9.21
3.36
25.30
5.46
3.88
3.87
4.86
4.52
3.68
4.94
6.38
6.54
6.61
5.47
6.24
5.75
6.07
8.36
8.18
3.43
3.77
5.82
(4.18)
4.04
5.07
5.35
5.11
5.19
5.18
4.98
5.40
4.33
4.03
5.39
5.54
4.84
5.01
6.81
Sumber: BPS, data realisasi periode sebelumnya direvisi
Dari sisi permintaan, perlambatan pertumbuhan
ekonomi KTI disebabkan oleh capaian ekspor
luar negeri yang tidak sebaik triwulan
sebelumnya. Ekspor ke luar negeri tumbuh 8,80%
(yoy) pada triwulan I 2017, lebih rendah dari
triwulan IV 2016 yang tercatat sebesar 12,22%
(yoy). Berakhirnya izin ekspor hasil tambang
mineral di Papua dan NTB serta pengurusan
administrasi perpanjangan izin ekspor baru yang
tidak selesai sesuai dengan target yang
diharapkan, menjadi faktor utama penyebab
perlambatan. Meski demikian, ekspor luar negeri
masih dapat tumbuh cukup tinggi karena
meningkatnya ekspor batubara seiring dengan
perbaikan harga sejak akhir tahun 2016.
Membaiknya harga batubara memberikan
dukungan positif terhadap kinerja ekspor luar
58
Sumber: Bea Cukai, diolah
Grafik IV.1. Volume Ekspor Batubara
Selain oleh pelemahan kinerja ekspor luar
negeri, tekanan terhadap ekonomi KTI juga
datang dari peningkatan impor luar negeri. Pada
triwulan I 2017, impor luar negeri tercatat
tumbuh 6,30% (yoy), lebih tinggi dari triwulan
sebelumnya yang tercatat mengalami kontraksi
sebesar -5,50% (yoy). Peningkatan impor
disebabkan oleh meningkatnya impor barang
modal dan barang antara dihampir seluruh
daerah. Impor barang modal dan barang antara
tumbuh meningkat didorong oleh optimisme
pelaku usaha tambang dan industri pengolahan di
Kalimantan dan Sulampua seiring dengan
membaiknya harga komoditas. Sementara itu,
peningkatan impor barang modal di Balinusra
disebabkan oleh beberapa proyek pembangunan
pabrik bahan makanan di NTB dan NTT.
Di tengah tekanan perlambatan dari komponen
neraca perdagangan luar negeri, konsumsi
rumah tangga tumbuh meningkat dan menjadi
salah satu penopang pertumbuhan. Konsumsi
rumah tangga meningkat dari 4,42% (yoy) pada
triwulan IV 2016 menjadi 4,53% (yoy) pada
triwulan I 2017. Peningkatan konsumsi rumah
tangga, ditengah kenaikan administered prices
seperti TTL, didorong oleh konsumsi makanan
dan minuman, pakaian dan alas kaki, perumahan
dan perlengkapan rumah tangga, serta konsumsi
restoran dan hotel. Peningkatan konsumsi rumah
tangga terutama terjadi di Kalimantan dan
Sulampua. Perbaikan di Kalimantan didukung
oleh terjaganya tingkat pendapatan masyarakat,
seiring dengan perbaikan kondisi ekonomi secara
keseluruhan. Di Sulampua, konsumsi rumah
tangga yang masih cukup kuat dinilai sebagai
dampak dari masih terkendalinya inflasi dan
terjaganya tingkat pendapatan di sektor sekunder
dan tersier. Hal tersebut didukung oleh
peningkatan UMP yang relatif tinggi (rata-rata
kenaikan mencapai 9,50%, yoy) dan cukup
kuatnya aktivitas konsumsi dari sektor pariwisata,
terkait perayaan tahun baru dan Imlek.
Peningkatan konsumsi rumah tangga yang terjadi
juga dikonfirmasi dari peningkatan Indeks
Keyakinan Konsumen di beberapa daerah di
Kalimantan dan Sulampua (Grafik IV.2).
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik IV.2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Sejalan dengan peningkatan konsumsi rumah
tangga, konsumsi pemerintah pada triwulan I
2017 juga mengalami perbaikan pertumbuhan,
setelah berada dalam fase kontraksi di triwulan
sebelumnya. Konsumsi pemerintah di KTI
tercatat tumbuh sebesar 3,56% (yoy) setelah
turun sebesar -8,49% (yoy) pada triwulan IV
2016. Pencairan DAU yang sempat mengalami
penundaan pada tahun 2016 (DAU dicairkan di
akhir Desember 2016) dan pelaksanaan Pilkada
serentak di beberapa daerah di KTI menjadi
pendorong meningkatnya kinerja konsumsi
pemerintah. Namun, tingkat pertumbuhan dinilai
masih terbatas dan akselerasi yang terjadi lebih
dipengaruhi oleh adanya kontraksi yang dalam
pada triwulan IV 2016. Beberapa kendala dalam
59
realisasi belanja masih perlu mendapat perhatian
di daerah, khususnya terkait adanya perubahan
struktur organisasi serta masih lambatnya
pemrosesan dokumen lelang sehingga jadwal
pelaksanaan proyek mengalami penundaan.
Kinerja investasi di KTI yang tercermin dari
komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto
(PMTB) mengalami akselerasi pada triwulan I
2017. Secara agregat, tingkat pertumbuhan
PMTB tercatat sebesar 4,22% (yoy), lebih tinggi
dari triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar
3,37% (yoy). Akselerasi pertumbuhan tersebut
terutama didorong oleh naiknya investasi
bangunan di Kalimantan dan Sulampua. Adanya
percepatan pengerjaan beberapa proyek
infrastruktur yang termasuk dalam proyek
strategis nasional (Perpres No. 3 Tahun 2016)
menjadi salah satu pendorong kinerja PMTB
bangunan di KTI. Sementara itu, kinerja investasi
langsung swasta juga mengalami peningkatan
yang diindikasikan oleh akselerasi pertumbuhan
Penanaman Modal Asing (PMA) (Grafik IV.3).
Selain itu, peningkatan kapasitas kilang minyak,
pembangunan sejumlah pabrik di sektor riil, serta
lanjutan dari proyek Pemerintah Daerah yang
bersifat multiyears juga berkontribusi terhadap
peningkatan pertumbuhan investasi.
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah
Grafik IV.3. Realisasi PMA dan PMDN di KTI
Memasuki triwulan II 2017, perekonomian KTI
diperkirakan mengalami peningkatan yang
diindikasikan oleh berbagai indikator serta hasil
survei dan liaison. Ekonomi KTI diperkirakan
tumbuh 6,81% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
dengan
triwulan
I
2017.
Peningkatan
pertumbuhan ekonomi terutama terjadi di
Sulampua dan Balinusra yang didorong oleh
perbaikan kinerja konsumsi, investasi dan
khususnya ekspor luar negeri. Namun demikian,
ekonomi Kalimantan diperkirakan mengalami
perlambatan yang disebabkan oleh melemahnya
kinerja ekspor luar negeri komoditas hasil
pertambangan.
Perbaikan ekspor luar negeri akan menjadi
faktor utama pendorong ekonomi KTI pada
triwulan II 2017. Telah diberikannya izin ekspor
mineral kepada produsen utama di Papua dan
NTB akan memperbaiki kinerja ekspor tembaga
yang sebelumnya mengalami penurunan. Selain
itu, adanya relaksasi ketentuan ekspor hasil
tambang nikel low grade juga akan menjadi
faktor pendorong akselerasi ekspor dari Sulawesi.
Meski demikian, ekspor batubara dari Kalimantan
diperkirakan sedikit melambat dan menahan
akselerasi
lebih
lanjut
seiring
dengan
melambatnya pertumbuhan harga komoditas
tersebut di pasar global.
p) Proyeksi atau angka sementara
Grafik IV.4. Perkembangan Kegiatan Dunia Usaha (Survei
Kegiatan Dunia Usaha) dan Liaison Penjualan Domestik
Konsumsi pada triwulan II 2017 diperkirakan
mengalami peningkatan, baik konsumsi rumah
tangga maupun pemerintah. Peningkatan kinerja
konsumsi rumah tangga akan didorong oleh
meningkatnya aktivitas konsumsi dan permintaan
masyarakat seiring dengan persiapan dan
perayaan HBKN Idul Fitri, yang turut mendorong
kinerja usaha perdagangan dan usaha akomodasi,
makanan, dan minuman. Selain itu, peningkatan
juga akan ditopang oleh terjaganya tingkat
60
pendapatan di sektor tradable, pencairan THR,
serta optimisme peningkatan kinerja pariwisata.
Searah dengan konsumsi rumah tangga,
konsumsi pemerintah juga diperkirakan dapat
tumbuh lebih tinggi pada triwulan II 2017.
Komitmen percepatan lelang proyek, upaya
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
akselerasi pencairan Dana Desa, serta pencairan
gaji ke-13 PNS akan menjadi faktor-faktor
pendorong percepatan pertumbuhan konsumsi
pemerintah pada triwulan berjalan.
Kinerja investasi (PMTB) juga diperkirakan terus
melanjutkan peningkatannya pada triwulan II
2017. Akselerasi PMTB tersebut salah satunya
didorong oleh adanya komitmen dari Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan
percepatan pembangunan infrastruktur utama di
daerah, seperti jalur rel kereta api, jalan tol,
jembatan, pelabuhan, dan bandara. Selain itu,
investasi bangunan dan non-bangunan milik
swasta pada sektor industri pengolahan di KTI
(smelter di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku
Utara; peningkatan kapasitas kilang minyak di
Kalimantan; pabrik bahan makanan di NTB dan
NTT) diperkirakan masih akan mengalami
peningkatan. Peningkatan tersebut dipengaruhi
oleh optimisme pelaku usaha terhadap prospek
perbaikan perekonomian tahun 2017. Hal ini
dikonfirmasi oleh hasil liaison Bank Indonesia di
daerah yang mengindikasikan para pelaku usaha
cenderung mulai melakukan penambahan
investasi di tahun 2017. Meski masih belum
signifikan, namun penambahan investasi itu
diakui lebih tinggi dibandingkan tahun 2016,
khususnya bagi pelaku usaha di sektor pertanian,
tambang, industri pengolahan, serta penyediaan
akomodasi.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Pada triwulan I 2017, pertumbuhan lapangan
usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan KTI
mengalami perlambatan. Perlambatan tersebut
tercatat dari angka 8,42% (yoy) menjadi 6,82%
(yoy). Perlambatan dipengaruhi oleh deselerasi
kinerja pertanian di Sulampua sebagai dampak
dari masih lemahnya permintaan komoditas
kakao, jagung, dan ikan, di tengah harga jual yang
belum menunjukkan perbaikan yang signifikan
dibandingkan dengan komoditas tambang (Grafik
IV.5). Perlambatan pertanian juga dipengaruhi
oleh base effect pertumbuhan pada akhir tahun
2016 yang mengalami lonjakan cukup tinggi
seiring dengan anomali El Nino 2015 yang
menekan tingkat produksi tanaman bahan
makanan (tabama) pada masa tersebut. Dengan
kondisi cuaca yang kondusif di triwulan IV 2016,
produksi tabama mencatat pertumbuhan yang
tinggi sehingga capaian pertumbuhan di awal
2017 menjadi tidak sebaik triwulan sebelumnya.
berkurangnya aktivitas penangkapan ikan oleh
nelayan. Perlambatan usaha pertanian tersebut
tercermin dari nilai tukar petani (NTP) di
beberapa daerah sentra produksi yang cenderung
menurun pada April 2017 (Grafik IV.6).
Sumber: Badan Pusat Statistik
Grafik IV.6. Nilai Tukar Petani
Pertambangan
Sumber: IMF, diolah
Grafik IV.5. Pertumbuhan Harga Komoditas Pertanian
Pada triwulan II 2017, usaha pertanian di KTI
diperkirakan kembali mengalami perlambatan.
Perlambatan diperkirakan terjadi di Sulampua
dan Kalimantan, khususnya untuk komoditas
terkait perkebunan dan perikanan. Dari
subkategori usaha perkebunan, harga kakao dan
jagung masih belum menunjukkan pemulihan
yang berarti sehingga akan menjadi faktor
disinsentif produksi di Sulampua. Sementara,
prospek perbaikan harga jual CPO dan karet
olahan di pasar domestik juga diperkirakan mulai
melambat, sehingga akan berdampak pada
berkurangnya permintaan hasil produksi dari
perkebunan kelapa sawit dan karet di
Kalimantan. Untuk subkategori usaha perikanan,
curah hujan yang cukup tinggi pada periode AprilMei, serta adanya periode Ramadhan dan HBKN
Idul Fitri ditengarai akan menjadi sumber utama
61
Lapangan usaha pertambangan mengalami
perlambatan pertumbuhan pada triwulan I
2017. Pertambangan tercatat tumbuh melambat
dari 6,33% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi
2,13% (yoy) pada triwulan I 2017. Adanya
deselerasi tersebut lebih didorong oleh
perlambatan produksi tembaga di Papua serta
penurunan penjualan konsentrat mineral di NTB
(Grafik IV.7), yang disebabkan oleh berakhirnya
periode izin ekspor produsen utama dari dua
provinsi tersebut sejak awal Januari 2017.
Sementara itu, faktor positif yang menopang
kinerja usaha tambang di KTI adalah peningkatan
produksi batubara di Kalimantan dan nikel di
Sulawesi seiring dengan membaiknya harga di
pasar internasional.
Memasuki periode triwulan II 2017, usaha
pertambangan diperkirakan dapat tumbuh lebih
baik dan mengalami akselerasi pertumbuhan.
Percepatan pertumbuhan terutama dipengaruhi
oleh perbaikan ekspor tembaga dari Papua dan
NTB setelah proses negosiasi dan administrasi
izin ekspor sementara selesai dilakukan selama
periode Maret-April 2017. Indikasi perbaikan juga
tercermin dari hasil survei yang menunjukkan
adanya optimisme dari para pelaku usaha terkait
kinerja pertambangan pada triwulan berjalan
(Grafik IV.8). Meski demikian, akselerasi
diperkirakan tertahan oleh perlambatan produksi
batubara seiring dengan perkiraan melambatnya
pertumbuhan harga batubara meski masih
berada di level yang cukup tinggi.
faktor penopang kinerja industri pengolahan di
Kalimantan. Capaian pertumbuhan konsumsi
semen juga tercatat tumbuh membaik seiring
dengan permintaan yang meningkat untuk
mendukung
kebutuhan
proyek
investasi
infrastruktur dan sektor riil di KTI.
Sumber: Produsen, diolah
Grafik IV.7. Kinerja Pertumbuhan Mineral di KTI
Sumber: Produsen, diolah
Grafik IV.9. Kinerja Pertumbuhan Industri di KTI
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha
p) Proyeksi
Grafik IV.8. Perkembangan Kegiatan Dunia Usaha
Pertambangan
Industri
Kinerja lapangan usaha industri pengolahan
mengalami akselerasi pada triwulan I 2017.
Angka pertumbuhan tercatat meningkat yaitu
dari 2,97% (yoy) pada triwulan sebelumnya
menjadi 6,11% (yoy). Hampir seluruh provinsi
mengalami perbaikan kinerja industri utamanya
(Grafik IV.9). Semakin dekatnya periode bulan
Ramadhan dan perayaan HBKN dinilai menjadi
faktor pendorong kinerja industri makanan
olahan, seperti industri tepung terigu di Sulawesi
Selatan dan beberapa industri bahan makanan di
Balinusra. Selain itu, perbaikan harga komoditas
karet dan CPO hingga awal 2017 turut menjadi
62
Memasuki triwulan II 2017, kinerja usaha
industri pengolahan di KTI diperkirakan tumbuh
melambat. Sumber perlambatan terutama
berasal dari Kalimantan seiring dengan perkiraan
perlambatan pertumbuhan harga komoditas yang
akan berimbas pada perlambatan produksinya. Di
samping itu, industri makanan olahan juga
diperkirakan tumbuh relatif moderat karena telah
melakukan penyediaan stok sejak triwulan I 2017.
Hasil liaison mengkonfirmasi pesimisme kinerja
industri pengolahan KTI di triwulan II 2017 (Grafik
IV.10). Meski demikian, kinerja beberapa industri
pengolahan yang lain diperkirakan meningkat,
seperti industri semen dan nikel yang ditopang
oleh permintaan yang masih cukup kuat.
Sumber: Liaison
*) Angka sementara
Grafik IV.10. Likert Scale Kinerja Industri Pengolahan
Konstruksi
Pada triwulan I 2017, lapangan usaha konstruksi
tumbuh lebih baik dari triwulan IV 2016.
Percepatan pertumbuhan tercatat dari 3,18%
(yoy) menjadi 4,87% (yoy). Akselerasi terjadi di
sebagian besar daerah di KTI, kecuali Kalimantan
Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat,
Sulawesi Utara, Papua, Papua Barat, dan NTT.
Sejalan dengan kinerja investasi bangunan yang
meningkat, kegiatan konstruksi di KTI juga
tumbuh lebih tinggi. Salah satu faktor
pendukungnya
adalah
lanjutan
proyek
pembangunan Pemerintah Daerah seiring dengan
pencairan DAU yang sebelumnya ditunda
sehingga dapat mendorong penyelesaian
kegiatan-kegiatan operasional pra-pembangunan.
Adanya arahan Pemerintah Pusat untuk
mempercepat proyek yang bersifat strategis juga
diyakini menjadi faktor pendorong investasi
pemerintah. Di samping itu, berbagai proyek
swasta terkait hilirisasi, baik pembangunan pabrik
baru maupun penambahan kapasitas, masih
berlangsung di beberapa daerah di Kalimantan,
Sulawesi, Maluku Utara, NTB, dan NTT. Akselerasi
ini juga tercermin dari percepatan pertumbuhan
jumlah proyek baru bernilai di atas US$0,5 juta
yang dimulai pada triwulan I 2017 (Grafik IV.11).
Sumber: BCI Asia, diolah
Grafik IV.11. Perkiraan Jumlah Proyek yang Dimulai
(Memasuki Fase Konstruksi)
Memasuki triwulan II 2017, pertumbuhan
lapangan usaha konstruksi diperkirakan lebih
tinggi dari triwulan sebelumnya. Optimisme
perbaikan tersebut terutama ditopang oleh
komitmen
percepatan
realisasi
proyek
63
pembangunan dari Pemerintah Daerah, termasuk
proses lelang dari proyek-proyek baru di 2017.
Sementara itu, dari sisi swasta, kegiatan investasi
bangunan secara historis akan lebih intensif
dibandingkan dengan awal tahun. Beberapa
proyek terkait peningkatan kapasitas kilang
minyak di Kalimantan, hilirisasi mineral di
Sulampua,
serta
pengembangan
industri
makanan olahan di Balinusra dinilai akan terus
dipacu pada triwulan berjalan. Hasil survei
kepada para pelaku usaha yang dilakukan oleh
Bank Indonesia di daerah juga menunjukkan
adanya optimisme dari sisi peningkatan realisasi
usaha bangunan, investasi, dan harga jual.
Khusus untuk Kalimantan, beberapa proyek
infrastruktur utama dan pengembangan
kawasan khusus masih terus berlanjut. Hal ini
menjadi sangat penting untuk menjaga
kesinambungan ekonomi di tengah prospek
harga komoditas yang masih diwarnai
ketidakpastian. Di Kalimantan Barat, pada awal
2017, telah diresmikan tiga Pos Lintas Batas
Negara (PLBN) di Badau, Aruk, dan Entikong. Ke
depan, pembangunan infrastruktur pendukung di
PLBN tersebut masih akan dilakukan sehingga
dapat mendorong kinerja konstruksi dan
perdagangan.
Di
Kalimantan
Timur,
pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Maloy Batuta juga terus berjalan terkait dengan
pembangunan pelabuhan di sisi laut dan darat.
Pembangunan pelabuhan dan akses jalan
menjadi agenda utama ke depan bersama
dengan pembangunan tangki timbun CPO.
Sementara itu, di Kalimantan Selatan, terdapat
dua proyek Kawasan Industri (KI) yaitu di Jorong
dan Batulicin. Pengembangan dua KI tersebut
masih menemui beberapa kendala terkait
pembebasan lahan dan pasokan listrik. Apabila
kendala-kendala
tersebut
dapat
diatasi,
pembangunan di dua KI ini dinilai akan mampu
berkontribusi pada peningkatan nilai tambah
konstruksi dan industri di daerah setempat.
Perdagangan
Pertumbuhan lapangan usaha perdagangan KTI
pada triwulan I 2017 mengalami perlambatan.
Pertumbuhan tercatat sebesar 6,02% (yoy),
sedikit lebih rendah dari triwulan sebelumnya
sebesar 6,30% (yoy). Perlambatan pertumbuhan
terutama terjadi di beberapa daerah di Sulawesi,
Papua, dan Balinusra. Melambatnya kinerja
usaha perdagangan di Papua dan Balinusra
terutama dipengaruhi oleh perlambatan kinerja
perdagangan besar seiring dengan penurunan
produksi tambang mineral utama. Hal tersebut
dinilai juga memengaruhi kinerja pendapatan dan
permintaan konsumsi dari golongan masyarakat
dan usaha terkait. Sementara itu, perlambatan
kegiatan perdagangan di Sulawesi terutama
sebagai dampak dari persaingan industri baru di
daerah lain di KTI yang dapat memenuhi pasokan
ke daerahnya sendiri, seperti dengan hadirnya
industri semen di Kalimantan Selatan dan Papua
Barat. Hal ini juga diindikasikan oleh kinerja
aktivitas di pelabuhan utama KTI yang mengalami
perlambatan (Grafik IV.12).
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.12. Volume Bongkar Muat Pelabuhan
Pada triwulan II 2017, lapangan usaha
perdagangan diperkirakan tumbuh meningkat.
Secara spasial, hampir seluruh daerah akan
mengalami akselerasi usaha perdagangan.
Kenaikan tersebut utamanya ditopang oleh
perbaikan pertumbuhan ekonomi sehingga turut
menopang kinerja permintaan dari sisi konsumsi,
baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi
pemerintah. Momen hari besar keagamaan juga
akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan
64
usaha perdagangan. Dari sektor pariwisata,
jumlah wisatawan mancanegara (wisman)
diperkirakan masih akan tumbuh cukup kuat dan
akan berkontribusi pada perkiraan percepatan
kinerja usaha perdagangan. Hasil survei kepada
pelaku usaha juga menunjukkan adanya
optimisme terkait perkembangan kegiatan
perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) pada
triwulan berjalan (Grafik IV.13).
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha
p) Proyeksi
Grafik IV.13. Perkembangan Kegiatan Dunia Usaha PHR
Akomodasi
Usaha penyediaan akomodasi (termasuk
makanan dan minuman) mengalami akselerasi
pada triwulan I 2017. Pertumbuhan tercatat
meningkat dari 6,40% (yoy) menjadi 7,01% (yoy).
Peningkatan kinerja terjadi di Kalimantan dan
Balinusra, khususnya di daerah-daerah yang
merupakan pusat pertambangan atau pariwisata
seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Utara,
Kalimantan Barat, dan Bali. Meningkatnya harga
komoditas dan ekspor batubara menjadi faktor
pendorong kegiatan ekonomi di Kalimantan yang
turut berdampak pada kemajuan investasi dan
usaha akomodasi. Dari sisi pariwisata, adanya
periode liburan di awal tahun serta perayaan
Imlek menjadi faktor penopang pertumbuhan
pariwisata yang tercermin dari tingginya
pertumbuhan jumlah wisatawan mancanegra ke
KTI (Grafik IV.14).
Memasuki triwulan II 2017, lapangan usaha
akomodasi diperkirakan kembali melanjutkan
tren akselerasi pertumbuhannya. Dari sisi
permintaan, optimisme percepatan pertumbuhan
ditopang oleh adanya momen Ramadhan dan
libur HBKN Idul Fitri yang akan mendorong
konsumsi untuk hotel dan restoran di hampir
seluruh daerah, khususnya di Kalimantan dan
Sulampua. Optimisme kinerja pariwisata,
khususnya di Balinusra, akan menjadi penopang
utama
pertumbuhan
usaha
penyediaan
akomodasi, makanan dan minuman. Hal ini juga
didukung oleh akan berlangsungnya liburan
musim panas di Eropa dan liburan musim dingin
di Australia yang diperkirakan akan mendorong
jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke
KTI.
Seiring dengan realisasi pendapatan yang lebih
rendah, penyerapan belanja APBD di KTI pada
triwulan I 2017 juga tercatat tidak sebaik tahun
sebelumnya yaitu dari 11,86% menjadi 10,51%.
Penurunan realisasi terjadi pada jenis belanja
operasional dan belanja modal. Selain karena
pola siklikal, penurunan realisasi serapan belanja
operasional dinilai sebagai salah satu dampak
dari upaya penghematan anggaran dan
konsolidasi di awal tahun yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah. Hal ini terjadi baik di
Kalimantan, Sulampua, maupun Balinusra. Meski
demikian, beberapa kendala realisasi juga turut
menjadi faktor penyebab penurunan penyerapan
seperti penyusunan rencana kerja yang tidak
realistis, kecepatan penyiapan dan pemrosesan
dokumen lelang yang belum optimal, serta
adanya pergantian personil di satuan kerja
karena reorganisasi berupa pembentukan
Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang baru.
Tabel IV.2. Realisasi Agregat APBD Provinsi di KTI
Komponen APBD
Sumber: Badan Pusat Statisik, diolah
Grafik IV.14. Jumlah Wisatawan Mancanegara
Fiskal Daerah
13
Penyerapan pendapatan daerah dalam APBD
di KTI pada triwulan I 2017 tercatat sebesar
21,31%, lebih rendah dari capaian triwulan yang
sama tahun 2016 sebesar 22,41%. Lebih
rendahnya realisasi disebabkan oleh menurunnya
realisasi dari seluruh sumber pendapatan (Tabel
IV.2). Penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan pendapatan lain yang sah dibandingkan
dengan triwulan yang sama tahun lalu, khususnya
terjadi di Kalimantan. Hal ini mengindikasikan
perbaikan ekspor batubara belum memberikan
pengaruh langsung pada kinerja fiskal di daerah
dan diperkirakan baru akan berdampak dan
memperluas kapasitas fiskal di daerah pada
triwulan berjalan.
13
Data realisasi APBD Pemerintah Daerah Provinsi, kecuali
Provinsi Papua
65
Pendapatan APBD Provinsi
Pendapatan Asli Daerah
Dana Perimbangan
Lain-lain Pendapatan yang Sah
Belanja APBD Provinsi
Belanja Operasi + Transfer
Belanja Modal
Belanja Tidak Terduga
Realisasi (%)*
2016 Q1 2017 Q1
22.41
21.31
18.69
17.79
27.35
24.84
10.87
4.66
11.86
10.51
13.54
12.03
5.75
3.54
1.46
2.52
Sumber: SKPD masing-masing provinsi
*) Angka sangat sementara
Sementara itu, penurunan realisasi belanja
modal terjadi khususnya di Kalimantan dan
Balinusra, sedangkan di Sulampua mengalami
peningkatan. Selain karena adanya reorganisasi,
penurunan realisasi juga dipengaruhi oleh adanya
keterlambatan di beberapa daerah dalam
melakukan pengurusan administrasi dokumen
APBD maupun berkas lelang sehingga
pelaksanaan beberapa kegiatan pembangunan
menjadi mundur dari jadwal sebelumnya. Adapun
pembangunan beberapa proyek strategis seperti
Kawasan Industri (KI) dan Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) di beberapa daerah juga masih
terkendala oleh masalah pembebasan lahan,
keterbatasan investor, serta belum maksimalnya
pembangunan infrastruktur pendukung kawasan
yang bersumber dari dana APBD.
Ke depan, berbagai daerah di KTI akan
menerapkan strategi peningkatan efektivitas
penyerapan anggaran sebagai upaya untuk
peningkatan kinerja APBD 2017. Upaya-upaya
tersebut akan ditempuh melalui monitoring
realisasi dan saldo anggaran secara berkala oleh
kepala daerah di level provinsi, percepatan lelang
proyek infrastruktur, percepatan pengesahan
administrasi terkait penggunaan anggaran, serta
optimalisasi sumber penerimaan, khususnya PAD.
Keberhasilan peningkatan efektivitas realisasi
anggaran menjadi krusial di tengah peningkatan
pertumbuhan DAU dan Dana Desa yang tidak
setinggi 2016, serta alokasi belanja modal di
beberapa daerah yang relatif menurun
dibandingkan dengan tahun 2016. Selain itu,
terdapat risiko adanya pengetatan fiskal nasional
yang juga dapat berpengaruh terhadap kinerja
fiskal di daerah.
Selain itu, cukup terjaganya pasokan pangan
menjadi faktor meredanya tekanan inflasi volatile
food.
Peningkatan inflasi pada triwulan I 2017 terjadi
di sebagian besar provinsi di KTI. Inflasi tahunan
tertinggi terjadi di Kalimantan Barat sebesar
5,02% yoy. Kondisi ini disebabkan oleh
meningkatnya permintaan pada masa perayaan
Imlek dan Cap Go Meh, khususnya terkait tarif
angkutan udara dan permintaan beberapa bahan
makanan. Sejumlah faktor tersebut memberikan
sumbangan besar pada inflasi tahunan di
Kalimantan Barat. Sementara itu, Bali dan
beberapa daerah lain di Kalimantan dan Sulawesi
juga mencatat inflasi yang cukup tinggi di akhir
triwulan I 2017 yang dipicu oleh tekanan inflasi
dari beberapa komoditas pangan seperti cabai
rawit, aneka ikan, dan bawang putih.
Perkembangan Inflasi
Inflasi KTI pada triwulan I 2017 meningkat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya,
meski masih dalam level yang terkendali. Inflasi
KTI tercatat sebesar 3,76% (yoy) pada triwulan I
2017, sementara pada triwulan IV 2016 sebesar
2,90% (yoy). Peningkatan inflasi pada triwulan I
2017 terutama didorong oleh kelompok
administered prices, seiring dengan kebijakan
pemerintah dalam menaikkan tarif STNK, serta
pencabutan subsidi listrik untuk sebagian
pelanggan listrik dengan daya 900 VA. Di samping
itu, peningkatan tarif angkutan udara turut
meningkatkan tekanan inflasi sepanjang triwulan
I 2017. Di lain pihak, faktor penahan kenaikan
inflasi berasal dari kelompok core dan volatile
food (Grafik IV.15). Terjaganya ekspektasi serta
masih normalnya tingkat permintaan domestik
menyebabkan pergerakan inflasi inti relatif stabil
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
66
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.15. Disagregasi Inflasi KTI
Sumber: Survei Pemantauan Harga
Grafik IV.16. Perkembangan Harga Beberapa Komoditas
Pada April 2017, realisasi inflasi KTI tercatat
lebih tinggi dari capaian historisnya. Inflasi KTI
pada April 2017 tercatat sebesar 0,12% (mtm), di
atas pola historis tiga tahun terakhir pada bulan
yang sama sebesar 0,04% (mtm). Cukup tingginya
tekanan inflasi pada April 2017 dibandingkan
dengan historisnya terutama didorong oleh
peningkatan tekanan inflasi administered prices.
Komoditas penyumbang inflasi terbesar berasal
dari tarif listrik dan tarif angkutan udara. Selain
itu, berdasarkan survei Bank Indonesia pada awal
Mei 2017, menjelang Ramadhan beberapa
komoditas pangan tercatat mulai mengalami
kenaikan harga, yaitu komoditas daging ayam ras,
daging sapi, dan telur ayam ras (Grafik IV.16).
Secara kumulatif, inflasi di hampir seluruh
provinsi di KTI sampai dengan April 2017, tercatat
lebih tinggi dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Hanya dua provinsi yang mencatat
inflasi kumulatif hingga April 2017 yang lebih
rendah dari tahun 2016, yaitu Kalimantan Utara
dan Sulawesi Tenggara.
Dengan perkembangan yang ada, secara
tahunan, inflasi KTI pada triwulan II 2017
diperkirakan sebesar 4,60% (yoy), lebih tinggi
dari triwulan sebelumnya. Pengurangan subsidi
listrik untuk pelanggan 900 VA serta kenaikan
permintaan pada bulan Ramadhan dan perayaan
HBKN Idul Fitri diperkirakan menjadi sumber
utama tekanan inflasi. Selain itu, banyaknya hari
libur juga akan menyebabkan kenaikan tarif
angkutan udara. Secara historis, ekspektasi
konsumen juga cenderung meningkat memasuki
periode hari besar keagamaan (Grafik IV.17).
Sumber: Survei Konsumen
Grafik IV.17. Ekspektasi Harga Konsumen
Menyadari berbagai risiko ke depan dan dalam
upaya mengendalikan tingkat inflasi, beberapa
67
langkah telah dan akan diambil oleh Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di KTI.
Langkah yang diambil telah disesuaikan dengan
Lima Pilar Roadmap Pengendalian Inflasi yang
terdiri dari program rutin dan khusus (insidentil),
antara lain: (i) penguatan fungsi kelembagaan
dan regulasi, (ii) produksi, distribusi, dan
konektivitas, (iii) kerjasama dan sinergi antar
daerah, (iv) riset dan informasi, dan (v) ekspektasi
masyarakat. Di samping itu, secara khusus,
menghadapi kenaikan inflasi saat Ramadhan dan
Idul Fitri, TPID se-KTI telah melakukan dan
merencanakan upaya antisipasi kelangkaan
pasokan melalui Rapat Koordinasi TPID praRamadhan, monitoring dan sidak ke produsen
hingga distributor, pengadaan Pasar Murah, dan
komunikasi melalui media cetak maupun
elektronik, termasuk melalui alim ulama.
Stabilitas Keuangan Daerah
Identifikasi & Pengukuran Sumber Kerentanan
Pada triwulan I 2017, sumber kerentanan
terhadap stabilitas keuangan daerah di KTI, baik
dari sisi eksternal maupun internal dinilai masih
terjaga. Sumber-sumber kerentanan dari sisi
eksternal antara lain terdiri dari perkembangan
ekonomi dunia serta harga komoditas yang sejak
tahun 2016 menunjukkan perkembangan yang
positif. Optimisme terhadap pertumbuhan
ekonomi negara mitra dagang seperti India dan
Jepang serta membaiknya harga batubara, nikel,
karet, dan CPO yang berkontribusi pada
meningkatnya kinerja ekspor komoditas dari KTI,
kecuali ekspor tembaga yang mengalami
penurunan karena faktor regulasi. Nilai tukar
yang relatif stabil dan kondusifnya suku bunga
kebijakan moneter turut mendukung optimisme
tersebut. Dari sisi domestik, inflasi dan harga
properti di triwulan I 2017 tercatat relatif
terkendali meskipun terdapat risiko dari kenaikan
harga komoditas administered prices. Menilai
semua
perkembangan
tersebut,
sumber
kerentanan dinilai belum memberikan risiko
instabilitas yang signifikan terhadap kinerja
keuangan korporasi maupun rumah tangga.
Sejalan dengan membaiknya harga komoditas
dan ekspor, kinerja keuangan korporasi terbuka
di tahun 2016 turut mengalami perbaikan.
Profitabilitas perusahaan menunjukkan kinerja
positif setelah tercatat negatif pada tahun 2015.
Perbaikan tersebut terutama terjadi pada
korporasi yang bergerak di sektor tambang
batubara dan industri kelapa sawit. Likuiditas
mengalami perbaikan yang diiringi dengan
penurunan tingkat leverage. Para pelaku usaha
responden survei Bank Indonesia di daerah
melaporkan kondisi profitabilitas dan likuiditas
yang membaik sepanjang triwulan I 2017 (Tabel
IV.3). Meski demikian, untuk repayment capacityI
dari perseroan terbuka yang berusaha atau
memiliki area operasional di KTI, masih belum
menunjukkan perbaikan. Hal ini dipengaruhi oleh
peningkatan hutang jangka pendek dalam
beberapa tahun terakhir, terutama pada industri
produk logam dan migas.
Tabel IV.3. Kinerja Keuangan Korporasi Terbuka dan
Pelaku Usaha di KTI
Kinerja Keuangan
Korporasi Terbuka
Profitabilitas (Return on Assets %)
Profitabilitas (Return on Equity %)
Leverage (Debt to Equity Ratio)
Likuiditas (Current Ratio)
Kemampuan Bayar (ICR)
Kemampuan Bayar (DSR %)
Pelaku Usaha Responden SKDU
Likuiditas (%Baik - %Buruk)
Profitabilitas (%Baik - %Buruk)
Periode
2015 Q4 2016 Q3 2016 Q4
(5.17)
2.44
3.06
(13.39)
6.52
8.00
1.78
1.62
1.37
0.81
0.88
1.75
1.93
1.75
258.72 293.49 261.50
2016 Q3 2016 Q4 2017 Q1
41.40
44.10
39.68
40.35
45.51
39.25
Sumber: Bloomberg (diolah dari 44 perusahaan
terbuka) dan Survei Kegiatan Dunia Usaha
Di tengah perbaikan kinerja keuangan korporasi
di akhir 2016, kinerja keuangan rumah tangga
mengalami sedikit pelemahan pada triwulan I
2017. Berdasarkan hasil survei dari Bank
Indonesia (Grafik IV.18), penghasilan rumah
tangga diperkirakan sedikit menurun di tengah
tingkat pengeluaran yang berpotensi meningkat
seiring dengan datangnya hari besar keagamaan
dan musim liburan sekolah. Kondisi tersebut
dinilai berpengaruh terhadap posisi pinjaman dari
masyarakat yang dipersepsikan terus mengalami
peningkatan. Hal tersebut pada akhirnya
menekan kinerja repayment capacity rumah
68
tangga. Dengan kata lain, alokasi pendapatan
yang digunakan rumah tangga untuk membayar
cicilan mengalami peningkatan, meski masih
berada pada tingkat rasio yang aman.
Sumber: Survei Konsumen
Grafik IV.18. Kinerja Keuangan Rumah Tangga
Ketahanan Sektor Korporasi
Sejalan dengan kinerja keuangan korporasi yang
membaik, intermediasi perbankan kepada
korporasi turut mengalami perbaikan. Hal ini
terlihat dari adanya peningkatan pertumbuhan
kredit kepada debitur korporasi. Meski demikian,
risiko kredit korporasi masih tercatat di atas
batas aman dan cenderung meningkat. Hal ini
dinilai sebagai dampak dari repayment capacity
korporasi yang belum menunjukkan pemulihan.
Ke depan, perbankan diperkirakan akan semakin
optimis dalam menyalurkan pembiayaan kepada
korporasi seiring dengan prospek perbaikan
kondisi ekonomi secara umum.
Ekspansi pertumbuhan kredit kepada debitur
korporasi pada triwulan I 2017 tercatat
meningkat dari sebesar 3,59% (yoy) di triwulan
IV 2016 menjadi 5,52% (yoy). Peningkatan terjadi
baik untuk jenis kredit modal kerja maupun
investasi. Secara spasial, peningkatan kredit
terjadi di Kalimantan dan Sulampua, sedangkan
Balinusra masih mengalami perlambatan.
Peningkatan kredit di Kalimantan dan Sulampua
antara lain terjadi pada sektor pertanian.
Akselerasi ini sejalan dengan perbaikan
optimisme perbankan terhadap kinerja korporasi
kelapa sawit serta adanya upaya pemerintah
yang mendorong perbankan untuk berfokus pada
penyaluran kredit kepada petani, nelayan, dan
peternak. Selain pertanian, sektor lain yang
mencatat akselerasi kredit adalah sektor industri
pengolahan dan perdagangan, khususnya di
Sulawesi Utara, Papua, dan Papua Barat.
Percepatan pertumbuhan kredit korporasi
disertai dengan meningkatnya rasio NPL untuk
seluruh jenis kredit. NPL korporasi tercatat
meningkat dari 5,33% menjadi 5,86%.
Memburuknya kualitas kredit dinilai sebagai
pengaruh dari belum membaiknya kinerja
repayment capacity korporasi pasca tekanan
perlambatan kondisi ekonomi di tahun
sebelumnya. Secara sektoral, NPL tertinggi
berada di sektor pertambangan (14,49%),
konstruksi (7,36%), dan akomodasi (6,12%).
Beberapa provinsi yang memiliki NPL di atas 5%
antara lain adalah Papua (15,93%), Kalimantan
Timur (9,55%), serta NTT (9,78%). Memburuknya
kualitas kredit tersebut perlu menjadi perhatian
perbankan dan pemangku kepentingan agar tidak
menjadi faktor penghambat dalam penyaluran
kredit ke depan.
Tabel IV.4. Pertumbuhan dan NPL Kredit Korporasi
gKredit (% yoy)
2016
2017
I
IV
I
Total Kredit
7.06 3.59 5.52
- Modal Kerja
5.76 3.93 5.84
- Investasi
7.75 3.12 5.47
- Pertanian
10.00 11.37 20.41
- Perikanan
5.09 (6.49) (6.21)
- Tambang
(10.82) (6.48) (7.43)
- Industri
21.41 1.72 1.95
- Konstruksi
8.87 (3.43) (4.57)
- Perdagangan 9.19 6.92 9.74
- Akomodasi
23.90 12.06 7.20
Kalimantan
(0.14) (0.56) 3.52
Sulampua
24.28 13.49 13.15
Balinusra
10.63 2.75 0.35
Indikator &
Wilayah
NPL (%)
2016
2017
I
IV
I
5.10 5.33 5.86
7.59 6.71 7.72
3.20 4.27 4.46
0.63 1.29 1.17
1.65 4.26 7.93
8.39 14.79 15.51
7.12 4.14 5.55
8.35 6.59 7.05
4.71 6.69 7.17
4.40 4.17 4.84
5.29 6.22 6.35
5.25 3.91 4.80
4.20 4.66 6.01
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah
Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) milik
deposan
korporasi
tercatat
mengalami
peningkatan pada triwulan I 2017. Kinerja
keuangan korporasi yang cenderung membaik
sejak akhir tahun lalu dinilai menjadi faktor
pendorong
pertumbuhan
DPK
tersebut.
Pertumbuhan DPK korporasi meningkat dari
69
2,15% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi 7,23%
(yoy) pada triwulan I 2017. Peningkatan ini
didorong oleh pertumbuhan jenis simpanan
tabungan dan giro. Di sisi lain, pertumbuhan
deposito tercatat masih mengalami perlambatan.
Secara spasial, perbaikan pertumbuhan DPK
terutama terjadi di Kalimantan dan Balinusra.
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah
Grafik IV.19. Pertumbuhan DPK Golongan Debitur
Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Di tengah perbaikan kredit kepada debitur
korporasi, kredit kepada rumah tangga tercatat
tumbuh melambat pada triwulan I 2017.
Perbankan dinilai masih berhati-hati dan lebih
berfokus pada ekspansi golongan debitur
korporasi karena adanya kecenderungan
peningkatan NPL kredit rumah tangga yang
tercatat
lebih
tinggi
dari
tahun-tahun
sebelumnya. Apalagi, kinerja repayment capacity
dari masyarakat cenderung melemah seiring
dengan porsi pembayaran cicilan pinjaman yang
meningkat pada triwulan I 2017. Meski demikian,
pertumbuhan kredit tercatat di atas 10% dengan
NPL yang masih tercatat di bawah 2%.
Kredit rumah tangga mengalami perlambatan
dari 11,51% (yoy) pada triwulan IV 2016 menjadi
11,31% (yoy). Deselerasi penyaluran kredit
rumah tangga utamanya terjadi pada kredit
lainnya yang meliputi peralatan rumah tangga
dan keperluan rumah tangga yang lain.
Sementara itu, meski belum signifikan, Kredit
Kepemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan
Bermotor (KKB), maupun kredit multiguna
mencatat kinerja yang lebih baik dibandingkan
dengan
triwulan
sebelumnya.
Adapun
pelonggaran kebijakan LTV dan FTV dinilai belum
memberikan
dampak
yang
besar
bagi
peningkatan kredit rumah tangga, meski
perbankan telah merespon secara positif melalui
penurunan suku bunga kredit konsumsi.
Ketahanan kredit rumah tangga masih terjaga
dengan cukup baik meski risiko kredit
menunjukkan sedikit peningkatan. Rasio NPL
kredit rumah tangga tercatat 1,73% (yoy), atau
lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar
1,53% (yoy). Peningkatan risiko kredit terjadi
pada KPR, kredit multiguna, dan kredit rumah
tangga lainnya. Ke depan, sejalan dengan prospek
membaiknya kinerja korporasi dan ekonomi
secara keseluruhan, keuangan rumah tangga juga
dinilai berpotensi untuk mengalami perbaikan
sehingga rasio NPL rumah tangga pada akhirnya
akan turut mengalami penurunan.
Tabel IV.5. Pertumbuhan dan NPL Kredit Rumah Tangga
Indikator &
Wilayah
Total Kredit
- Multiguna
- KPR
- KKB
- Lainnya
Kalimantan
Sulampua
Balinusra
gKredit (% yoy)
2016
2017
I
IV
I
8.99 11.51 11.31
12.75 11.01 11.25
8.44 5.49 5.53
(13.76) (6.63) (6.14)
13.47 33.19 30.74
6.51 7.20 7.22
9.22 14.97 14.54
11.72 9.73 9.70
NPL (%)
2016
I
IV
1.65 1.53
0.92 0.75
3.16 3.34
1.85 1.88
1.15 0.88
2.01 2.10
1.73 1.48
1.05 0.94
2017
I
1.73
0.84
3.94
1.81
0.93
2.34
1.66
1.14
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah
Pada sisi penghimpunan dana dari deposan
rumah
tangga,
terjadi
peningkatan
pertumbuhan dari 5,82% (yoy) menjadi 6,36%
(yoy). Peningkatan pertumbuhan DPK rumah
tangga yang dihimpun perbankan terutama
terjadi untuk jenis simpanan tabungan. Hal ini
dinilai sebagai pengaruh dari sikap masyarakat
yang lebih berhati-hati dan cenderung menahan
konsumsi. Berdasarkan asesmen keuangan
rumah tangga sebelumnya, masyarakat memiliki
persepsi bahwa posisi pinjaman dan pengeluaran
akan cenderung meningkat di tengah penghasilan
saat ini yang belum membaik secara signifikan.
Oleh sebab itu, rumah tangga mengalokasikan
70
sebagian besar dananya untuk ditabung sebagai
motif berjaga-jaga terhadap risiko adanya
kebutuhan
pengeluaran
konsumsi
atau
pembayaran cicilan di masa yang akan datang.
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah
Grafik IV.20. Pertumbuhan DPK Golongan Debitur
Perseorangan
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM)
Pembiayaan UMKM tetap menunjukkan
ketahanan cukup baik pada triwulan I 2017. Hal
ini ditunjukkan dengan adanya akselerasi kredit
dengan risiko yang masih terjaga di bawah batas
aman. Pertumbuhan kredit tercatat sebesar
26,20% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya sebesar 10,56%
(yoy). Peningkatan kredit UMKM terutama terjadi
di Sulampua dan Kalimantan, khususnya kepada
sektor pertanian, perikanan, pertambangan,
industri pengolahan, dan penyediaan akomodasi.
Adanya optimisme perbankan terhadap kinerja
UMKM dinilai menjadi dasar akselerasi
penyaluran kredit seiring dengan masih cukup
tingginya risiko penyaluran kredit kepada
korporasi besar dalam dua tahun terakhir.
Adapun kualitas kredit UMKM masih terjaga dan
tercatat sebesar 4,57%, sedikit lebih tinggi dari
triwulan IV 2016 sebesar 4,38%. Peningkatan NPL
disebabkan oleh meningkatnya NPL di sektor
perdagangan, sektor konstruksi, dan sektor
akomodasi.
Rasio kredit UMKM terhadap total kredit
tercatat meningkat pada hampir seluruh daerah
di KTI. Secara agregat, rasio kredit UMKM
meningkat dari 28,15% di triwulan IV 2016
menjadi 31,33% di triwulan I 2017. Peningkatan
rasio tersebut menunjukkan upaya perbankan
untuk lebih mendorong pengembangan UMKM di
KTI. Terkait upaya tersebut, perbankan di KTI
akan terus mengoptimalkan peran jaringan yang
dimiliki untuk memetakan UMKM potensial,
termasuk utilisasi dari Layanan Keuangan Digital
(LKD). Edukasi produk dan pendampingan intensif
juga menjadi strategi perbankan untuk
mendukung pembiayaan UMKM yang sehat dan
memiliki daya tahan yang baik.
Tabel IV.6. Pertumbuhan dan NPL Kredit UMKM*
gKredit (% yoy)
2016
2017
I
IV
I
Total Kredit
6.84
10.56 26.20
- Modal Kerja
6.91
11.06 11.96
- Investasi
6.69
9.43
57.49
- Pertanian
20.73 17.35 109.98
- Perikanan
21.22 19.98 36.19
- Tambang
(42.46) (7.08) 112.78
- Industri
10.45 11.88 78.88
- Konstruksi
(4.72) 9.12
12.89
- Perdagangan 12.41 10.79 10.15
- Akomodasi
9.11
19.81 22.81
Kalimantan
3.49
7.14
38.50
Sulampua
6.23
9.43
20.39
Balinusra
12.67 17.11 20.40
Indikator &
Wilayah
NPL (%)
2016
I
IV
4.70
4.38
4.87
4.36
4.31
4.43
2.11
2.83
5.74
4.19
18.51 7.98
5.62
4.07
12.60 10.74
3.91
3.70
4.76
5.00
5.99
4.95
4.97
5.14
2.57
2.43
2017
I
4.57
5.01
3.89
2.28
5.34
3.55
2.86
11.97
4.36
7.20
4.28
5.55
3.33
pada transaksi kliring maupun transaksi RTGS.
Perlambatan itu sesuai dengan pola historis dari
transaksi sistem pembayaran nontunai. Pada
awal tahun, pelaku usaha cenderung masih
melakukan perencanaan sehingga kegiatan
settlement terhadap transaksi belum dilakukan
secara intensif.
Pertumbuhan jumlah transaksi kliring melalui
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
pada triwulan I 2017 mengalami penurunan.
Volume transaksi SKNBI pada tahun triwulan I
2017 tercatat sebanyak 2,29 juta transaksi
dengan nominal mencapai Rp83,11 triliun atau
mengalami penurunan baik dari sisi volume (2,23% yoy) maupun dari sisi nomionalnya (16,45% yoy). Penurunan transaksi kliring tersebut
terjadi pada seluruh daerah di KTI.
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah
*) Angka sangat sementara
Grafik IV.22. Volume Transaksi Kliring
Sumber: Laporan Bank Umum, diolah
Grafik IV.21. Rasio Kredit UMKM
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah
Sistem Pembayaran Non Tunai
Sejalan dengan perlambatan perekonomian KTI,
kinerja sistem pembayaran turut melambat
pada triwulan I 2017. Perlambatan kinerja sistem
pembayaran tersebut diindikasikan dari kontraksi
71
Grafik IV.23. Nominal Transaksi Kliring
Dari sistem BI-RTGS (Bank Indonesia Real Time
Gross Settlement), total transaksi dari KTI juga
tercatat mengalami kontraksi. Selama periode
Januari, Februari, dan Maret 2017, transaksi RTGS
(from) KTI masing-masing tercatat turun sebesar 31,98% (yoy), -28,02% (yoy), dan -19,25% (yoy)
dengan total nominal transaksi selama tiga bulan
tersebut sebesar Rp73,00 triliun. Kontraksi dari
transaksi RTGS terutama terjadi di Kalimantan
dan Balinusra. Sama halnya dengan transaksi
kliring, penurunan kinerja RTGS dinilai masih
sesuai dengan pola historisnya.
Pengelolaan Uang Rupiah
Peredaran uang kartal (uang kertas dan uang
logam) di KTI sepanjang triwulan I 2017 sesuai
dengan pola historisnya mengalami net inflow.
Meski demikian, posisi net inflow uang kartal
pada triwulan I 2017 tercatat lebih rendah dari
tahun
sebelumnya.
Melemahnya
kinerja
pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan I 2017
dinilai turut berdampak pada peredaran uang
kartal. Kondisi ini dinilai juga dipengaruhi oleh
melemahnya konsumsi rumah tangga di
beberapa daerah di KTI antara lain di NTB, NTT,
Papua Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara,
dan Maluku Utara.
Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Utara, Maluku Utara, dan Papua. Upaya ini
diharapkan dapat meningkatkan soil level
(kualitas uang yang diedarkan) dan menekan
angka temuan uang palsu di masyarakat. \
Jumlah uang palsu atau yang diragukan
keasliannya yang dilaporkan kepada Bank
Indonesia di KTI pada triwulan I 2017 tercatat
menurun. Temuan uang palsu pada triwulan I
2017 tercatat sebanyak 2.394 lembar, lebih
sedikit dari triwulan sebelumnya yang mencapai
6.628 lembar. Upaya antisipasi peningkatan
peredaran uang palsu melalui edukasi kepada
masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang Rupiah
akan terus ditingkatkan di daerah. Hal tersebut
juga akan didukung oleh peningkatan kegiatan
bersama serta penguatan koordinasi antara Bank
Indonesia dengan perbankan dan pihak yang
berwenang dalam hal penanganan laporan
masyarakat terkait uang yang diragukan
keasliannya.
Grafik IV.24. Aliran Uang Kartal
Grafik IV.25. Temuan Uang Palsu
Terkait kegiatan pengedaran uang, Kantor
Perwakilan Bank Indonesia di KTI terus
berupaya meningkatkan layanan perkasan di
daerah. Hal ini ditempuh melalui perluasan
jaringan kas titipan, penambahan frekuensi kas
keliling, serta sosialisasi ciri-ciri keaslian uang
Rupiah. Selain melalui upaya-upaya tersebut,
Bank Indonesia (BI) juga berupaya untuk
meningkatkan jangkauan layanan pengedaran
uang di area perbatasan dan kepulauan terpencil
melalui inisiatif BI Jangkau. Di KTI, inisiatif
tersebut direncanakan di tujuh provinsi, yaitu
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan
72
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Ekonomi KTI triwulan III 2017 diprakirakan
masih tumbuh positif, namun lebih rendah
dibandingkan dengan triwulan II 2017.
Perlambatan ekonomi terjadi di beberapa
provinsi di KTI disebabkan oleh penurunan kinerja
ekspor luar negeri dan konsumsi rumah tangga.
Penurunan kinerja ekspor luar negeri terjadi di
Kalimantan
dan
Sulampua.
Sementara,
penurunan konsumsi terjadi di sebagian besar
daerah di KTI seiring dengan melemahnya
pendapatan ekspor dari sektor-sektor ekonomi
utama dan sesuai pola musiman penurunan
konsumsi pasca berakhirnya perayaan HBKN Idul
Fitri.
Dari sisi permintaan, perlambatan kinerja
perekonomian KTI pada triwulan III 2017
disebabkan oleh penurunan ekspor luar negeri.
Penurunan kinerja ekspor luar negeri KTI dipicu
oleh pergerakan harga komoditas yang dinilai
lebih rendah daripada triwulan II 2017, terutama
harga batubara, bijih besi, nikel, dan CPO. Selain
itu, di triwulan III 2017 ekonomi Tiongkok yang
merupakan
mitra
dagang
utama
KTI,
diprakirakan tumbuh sedikit lebih rendah
dibanding triwulan II 2017. Melemahnya ekspor
komoditas utama akan menekan pendapatan
masyarakat
dan
menahan
pertumbuhan
konsumsi rumah tangga. Di samping itu, kembali
normalnya permintaan masyarakat pasca
perayaan HBKN Idul Fitri juga berdampak pada
melambatnya konsumsi rumah tangga. Di sisi
lain, konsumsi dan investasi pemerintah
diprakirakan justru mengalami peningkatan
sesuai dengan pola historisnya didorong oleh
peningkatan konsumsi kolektif dalam bentuk
kegiatan pertemuan atau koordinasi antara
satuan kerja serta percepatan realisasi belanja
modal proyek strategis di daerah.
Di sisi penawaran, perlambatan ekonomi KTI
triwulan III 2017 terutama disebabkan oleh
sektor pertambangan. Sejalan dengan ekspor
luar negeri yang menurun, kinerja sektor
pertambangan diperkirakan akan mengalami
perlambatan seiring dengan pergerakan harga
komoditas yang tumbuh melambat dibandingkan
dengan
triwulan
sebelumnya.
Sektor
perdagangan juga akan tumbuh melambat seiring
dengan menurunnya konsumsi masyarakat. Di sisi
lain, kinerja konstruksi diperkirakan akan menjadi
penopang pertumbuhan ekonomi KTI pada
triwulan III 2017. Akselerasi sektor konstruksi
akan didukung oleh semakin meningkatnya
realisasi pekerjaan konstruksi proyek pemerintah,
antara
lain
pembangunan
infrastruktur
transportasi (jalan trans-antardaerah, jalan tol,
73
rel kereta api, pelabuhan, dsb) serta beberapa
proyek renovasi gedung (bangunan) milik
pemerintah maupun fasilitas umum lainnya.
Walaupun melambat di triwulan III 2017, secara
keseluruhan tahun 2017, ekonomi diprakirakan
tumbuh lebih baik daripada 2016. Ekonomi KTI
tahun 2017 diprakirakan tumbuh pada kisaran
5,50%-5,90% (yoy), lebih tinggi dari capaian 2016
sebesar 4,84% (yoy). Prakiraan pertumbuhan
ekonomi KTI cenderung bias ke atas dari proyeksi.
Peningkatan
perekonomian
KTI
tersebut
didorong oleh perbaikan di Kalimantan dan
Sulampua. Membaiknya ekonomi Kalimantan
diprakirakan terjadi di seluruh komponen
permintaan, terutama ekspor dari usaha industri
pengolahan dan tambang. Hal ini ditopang oleh
perkembangan harga komoditas yang secara
tahunan 2017 dinilai akan lebih tinggi dari tahun
2016. Kondisi serupa juga terjadi pada Sulampua
yang ditopang oleh perbaikan harga dan ekspor
nikel. Di samping itu, kontinuitas ekspor mineral
tembaga juga akan menopang pertumbuhan
ekonomi Sulampua. Berdasarkan hasil liaison,
pelaku usaha di KTI optimis bahwa penjualan dan
investasi di tahun 2017 akan mengalami
perbaikan
dibandingkan
dengan
tahun
sebelumnya. Di tengah optimisme tersebut,
upaya diversifikasi sumber pertumbuhan
ekonomi perlu menjadi agenda penting dan
mendesak agar KTI agar dapat keluar dari jebakan
ketergantungan terhadap kinerja usaha berbasis
komoditas (Lihat Boks III).
Sumber: Liaison – One Year Projection
Grafik IV.26. Perkiraan Kinerja Pelaku Usaha
Peningkatan kinerja perekonomian KTI tahun
2017 masih dihadapkan pada risiko-risiko yang
bersumber dari eksternal dan internal. Dari sisi
eksternal, divergensi arah pertumbuhan ekonomi
negara mitra dagang utama dan perbaikan harga
komoditas yang belum stabil dan fundamental
memberikan risiko terhadap kinerja ekspor luar
negeri. Sementara itu, meski dengan probabilitas
yang sangat kecil, anomali iklim La Nina (dengan
skala lemah) yang terjadi sejak Agustus 2016
hingga awal 2017, diprakirakan dapat berisiko
terhadap produksi pertanian di Sulawesi bagian
timur, Papua bagian tengah, serta di Kalimantan.
Adapun untuk semester II 2017, terdapat risiko
terjadinya El Nino sehingga diperlukan antisipasi
di sentra pertanian. Masih terdapatnya sejumlah
risiko akan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi
KTI dapat berdampak pada menurunnya tingkat
kepercayaan investor. Lebih lanjut, regulasi
pertambangan
seperti
domestic
market
obligation (DMO) batubara dan pembatasan
ekspor mineral mentah juga dapat menekan laju
pertumbuhan ekonomi KTI secara temporer
meski kemudian akan berdampak positif dalam
jangka panjang.
Prospek Inflasi
Tekanan inflasi di KTI pada triwulan III 2017
diprakirakan sedikit berkurang. Penurunan laju
inflasi terutama akan terjadi di Balinusra dan
Sulampua. Turunnya tekanan inflasi terutama
berasal dari volatile food. Tren penurunan harga
komoditas hortikultura seperti cabai rawit dan
bawang merah, serta kondisi cuaca yang lebih
kondusif bagi penangkapan ikan menjadi faktor
yang mengurangi tekanan inflasi pangan.
Sementara laju inflasi inti dan administered prices
diprakirakan akan melandai. Berakhirnya
perayaan HBKN Idul Fitri serta liburan sekolah
menyebabkan penurunan harga tiket pesawat.
Kendati demikian, penurunan inflasi KTI yang
lebih dalam diprakirakan akan tertahan oleh
meningkatnya tekanan inflasi di beberapa
daerah. Peningkatan permintaan masyarakat
menjelang Idul Adha dan Tahun Baru Islam serta
penundaan masa tanam dan panen padi akibat
74
curah hujan yang tinggi pada triwulan
sebelumnya, terutama di Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Utara, Kepulauan Maluku, dan Pulau Papua,
menjadi faktor utama yang dapat menahan
penurunan inflasi lebih lanjut.
Dengan perkembangan pada triwulan III 2017
tersebut, inflasi hingga akhir 2017 diprakirakan
lebih tinggi dari 2016. Inflasi diprakirakan masih
berada pada kisaran 4,70%-5,10% (yoy), namun
lebih tinggi dari inflasi 2016 sebesar 2,90% (yoy).
Meningkatnya tekanan inflasi 2017 terutama
bersumber dari inflasi administered prices antara
lain kenaikan biaya perpanjangan STNK pada
Januari 2017 lalu, kenaikan tarif angkutan udara,
serta tarif listrik bagi pelanggan pra-bayar dan
pasca-bayar dengan daya 900 VA. Inflasi inti juga
meningkat sejalan dengan peningkatan harga
komoditas yang akan tertransmisi kepada harga
konsumen, khususnya untuk komoditas emas
perhiasan, serta melalui jalur ekspektasi. Adapun
peningkatan tekanan inflasi volatile food
terutama akan bersumber dari gangguan
produksi hortikultura karena curah hujan tinggi di
awal tahun yang menggeser waktu produksi serta
dampak negatif dari alih fungsi lahan.
Dengan perkiraan inflasi 2017 yang lebih tinggi
dari 2016, berbagai risiko administered prices
perlu semakin diwaspadai. Pada komoditas
volatile food, risiko yang ada terutama terkait
dengan anomali iklim yang dapat mengurangi
produksi pangan sehingga berdampak pada
peningkatan harga.
Boks 3
Urgensi Diversifikasi
Tren perlambatan pertumbuhan ekonomi di KTI
serta kinerja ekonomi yang berada di bawah
potensialnya sangat dipengaruhi oleh fluktuasi
kinerja ekspor yang berbasis komoditas tambang
(Grafik IV.28). Dominasi komoditas tambang
dalam pangsa ekspor non-migas KTI masih sangat
kuat sehingga menyebabkan kerentanan
terhadap gejolak harga, perubahan regulasi, serta
konflik
sosial-operasional
di
sektor
pertambangan. Kemampuan daerah untuk
melakukan diversifikasi ekonomi ke sektor atau
komoditi selain pertambangan menjadi suatu
keharusan agar volatilitas pertumbuhan akibat
gejolak eksternal pada komoditas tambang dapat
diminimalkan.
Keberagaman ekspor KTI tergolong cukup rendah
sebagaimana
tercermin
dari
Herfindahl
Hirschman Index (HHI) yang cukup tinggi
disebagian besar daerah di KTI (Grafik IV.29).
Kondisi ini menunjukkan ketergantungan yang
tinggi pada komoditas SDA. Tingkat diversifikasi
ekspor yang rendah dapat menimbulkan
ketimpangan ekonomi. Sejumlah daerah di KTI
yang memiliki kekayaan SDA yang cukup besar
dan memiliki tingkat diversifikasi ekspor rendah,
terlihat memiliki tingkat ketimpangan yang tinggi
antara lain yaitu NTB, Papua, dan Papua Barat
(Kuadran II).
Grafik IV.29. Export Diversity Index & Gini Ratio
Grafik IV.27. Tren Pertumbuhan Melambat
Namun demikian, terdapat pula daerah dengan
diversifikasi ekspor yang relatif tinggi tetapi
memiliki indeks ketimpangan yang juga relatif
tinggi seperti terjadi di Bali dan NTT. Dalam kasus
ini, sektor pariwisata yang memiliki penyerapan
tenaga kerjanya cukup tinggi dapat berperan
mengurangi ketimpangan ekonomi. Hal ini
mengingat ketimpangan juga sangat dipengaruhi
oleh seberapa besar penyerapan tenaga kerja
dan keterlibatan masyarakat dalam sektor
tersebut. Dengan demikian, bagi KTI, diversifikasi
sumber pertumbuhan ekonomi baru yang
14
Grafik IV.28. Dominasi Tambang Di Ekspor
75
14
Angka Index Export Diversity (Herfindahl Hirschman Index)
dibawah 0.25 mencerminkan ekspor dengan jenis komoditi
yang lebih beragam. Sementara, angka indeks Gini Ratio yang
semakin tinggi, mencerminkan ketimpangan yang semakin
tinggi.
berorientasi ekspor dan mampu menyerap
tenaga kerja yang lebih banyak merupakan
langkah yang tepat untuk memperkuat
sustanabilitas ekonomi daerah.
Identifikasi Sektor dan Komoditi
Diversifikasi
Karakteristik
ekonomi
yang
berbeda
menyebabkan jenis diversifikasi ekonomi yang
berbeda
untuk
masing-masing
wilayah.
Kalimantan yang memiliki tingkat konsentrasi
tambang tertinggi perlu melakukan diversifikasi
ke
arah
komoditas
non-tambang
dan
mengoptimalkan pemanfaatan komoditi tambang
di pasar domestik. Sementara, karakteristik
ekonomi Sulampua yang sudah cukup berimbang
antara pangsa industri dengan pertambangan
memerlukan strategi diversifikasi yang berbeda.
Upgrading/deepening sektor industri merupakan
strategi
yang
dinilai
potensial
untuk
mengoptimalkan kinerja sektor industri sekaligus
memanfaatkan potensi sumber daya alam yang
masih tinggi. Upgrading tersebut dilakukan
melalui hilirisasi berbasis pertambangan dan
pertanian untuk menghasilkan produk bernilai
tambah lebih tinggi.
Di sisi lain, meski pangsa ekspor Balinusra
khususnya di Nusa Tenggara masih didominasi
oleh pertambangan, namun secara keseluruhan
ekonomi Balinusra didominasi sektor pariwisata.
Dengan
competitive
advantage
berupa
keindahan alam dan budaya, terdapat potensi
besar dalam pengembangan pariwisata di
Balinusra. Untuk itu, diversifikasi ekonomi di
Balinusra dapat diarahkan ke deepening sektor
pariwisata secara lebih spesifik yaitu melalui
segmentasi pasar pariwisata yang selama ini
belum digarap secara intensif seperti EcoTourism, Senior-Tourism dan Halal-Tourism.
Diversifikasi Wilayah Kalimantan:
Upgrading Pertambangan dan Shifting
Sumber Pertumbuhan Baru
Diversifikasi di wilayah Kalimantan berpotensi
untuk dilakukan secara vertikal dan horizontal.
76
Salah satu potensi diversifikasi vertikal adalah
dengan memanfaatkan hilirisasi batubara ke
dalam bentuk lainnya. Selama ini, mayoritas
batubara dijual dalam bentuk ore sehingga
sangat rentan terhadap gejolak harga batubara
dunia. Mengingat cadangan batubara Kalimantan
masih cukup besar, yaitu mencapai 55% dari total
cadangan nasional atau sebesar 69,46 miliar ton,
serta ditengah lemahnya permintaan global
batubara, potensi penyerapan batubara yang
besar justru berasal dari domestik.
Saat ini sekitar 10% dari total produksi batubara
nasional digunakan utk memenuhi kebutuhan
dalam negeri melalui skema Domestic Market
Obligation (DMO), sedangkan 90% sisanya di
Ekspor. Sekitar 70,13% batubara DMO tersebut
digunakan sebagai bahan bakar pembangkit
listrik. Dengan adanya proyek kelistrikan 35.000
MW yang sebagian besar berbahan bakar
batubara, diperkirakan akan mampu menyerap
15
batubara lokal sebanyak ±315 Juta ton . Namun
demikian, nilai tambah pemanfaatan batubara
sebagai bahan bakar pembangkit listrik ini
terbilang masih relatif rendah.
Kebutuhan batubara yang sangat besar juga
muncul dari potensi hilirisasi industri batubara
yang memiliki varian produk yang cukup banyak.
Beberapa produk turunan batubara yang bernilai
tambah cukup tinggi (medium) adalah kokas
batubara, hasil gasifikasi batubara, dan briket
batubara. Pengolahan produk turunan tersebut
berpotensi memberikan kontribusi sekitar 3%
terhadap total PDRB Kalimantan. Selanjutnya,
potensi pengembangan industri batubara juga
dapat diarahkan pada produk bernilai tambah
tinggi, sesuai RIPIN 2015-2035 yaitu menjadi
industri pendukung petrokimia di Jawa. Adapun
pasokan produk petrokimia nasional saat ini
dipenuhi dari pintu impor sebesar 2,3 juta ton
dari total kebutuhan produk petrokimia 8,5 juta
ton/tahun. Dengan menjadikan batubara sebagai
produk antara dan mengkonversinya menjadi
metanol, amoniak, hidrogenolfelin, maka
15
Sumber : Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia
kecenderungan ketergantungan impor produk
petrokimia dapat dikurangi. Jumlah penyerapan
batubara yang dipergunakan untuk menghasilkan
2,3 juta ton produk petrokimia diperkirakan
mencapai ± 4,6 juta ton batubara. Sementara,
nilai tambah yang dihasilkan dari pengembangan
industri petrokimia berpotensi memberikan
kontribusi 1,2% terhadap PDRB Kalimantan.
Selain hilirisasi pertambangan, diversifikasi
sumber pertumbuhan ekonomi di Kalimantan
juga dapat diarahkan pada pemanfaatan potensi
kayu dan hutan melalui industri furnitur. Potensi
industri kayu didukung oleh luasnya lahan hutan
Kalimantan (24,5 juta Ha) yang dapat
dimanfaatkan sebagai hutan produksi (Hutan
Tanaman Industri) dan memiliki potensi produksi
hingga mencapai 87 juta meter kubik per tahun.
Industri furnitur memiliki nilai tambah produk
yang lebih tinggi dibandingkan industri kertas.
Nilai tambah produk industri furnitur mampu
mencapai US$ 431,5 per meter kubik kayu,
dibanding industri keras yang hanya mampu
menghasilkan US$ 96,6 per meter kubik kayu.
Pengembangan industri furnitur menjadi semakin
penting mengingat adanya penurunan konsumsi
kertas domestik dalam 3 tahun terakhir dan
bertambahnya kalangan menengah Indonesia
hingga 146 juta jiwa pada tahun 2015 yang
berpotensi besar menjadi konsumen furnitur
domestik.
Potensi shifting ke sumber pertumbuhan
ekonomi baru juga muncul dari pemanfaatan
hutan menjadi tempat eco-tourism. Kondisi hutan
Kalimantan dengan kekayaan flora dan fauna
yang tinggi, dapat menjadi daya tarik bagi
wisatawan mancanegara. Kalimantan saat ini
sudah memiliki beberapa taman nasional, hutan
wisata dan hutan konservasi antara lain Taman
Nasional Kutai, Hutan Wisata Baning dan Taman
Konservasi Mangrove yang menjadi habitat
hewan endemik langka di dunia seperti orang
utan dan bekantan. Namun demikian, wisata
hutan tersebut belum dikembangkan dengan baik
akibat minimnya infrastruktur dan fasilitas
konektivitas untuk menjangkau area tersebut,
77
serta kurangnya kualitas sumber daya manusia
pengelola lokasi wisata.
Diversifikasi Wilayah Sulampua:
Upgrading Berbasis Pertambangan dan
Pertanian
Berbeda dengan Kalimantan yang baru akan
melakukan hilirisasi berbasis tambang, hilirisasi
tambang sudah berlangsung di Sulampua sejak
tahun 2012, walau masih terbatas pada
pemurnian konsentrat nikel (smelter). Upgrading
pertambangan di Sulampua dalam bentuk
hilirisasi smelter sebagian besar telah selesai dan
telah mulai berproduksi. Industri pengolahan/
pemurnian nikel di wilayah KTI terpusat di daerah
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, dan Maluku Utara. Saat ini, nilai produksi
olahan nikel di Sulampua mencapai Rp113,21
triliun per tahun, dan diperkirakan akan terus
meningkat seiring dengan proses penyelesaian
beberapa smelter dan diperkirakan akan siap
untuk beroperasi di tahun 2017.
Berbeda dengan nikel, hilirisasi tembaga, yang
merupakan komoditi yang cadangannya masih
cukup besar, masih sulit dilakukan. Saat ini
hilirisasi tembaga direncanakan dibangun di Jawa
Timur. Namun, rencana tersebut belum dapat
direalisasikan mengingat banyaknya berbagai
kendala regulasi pada perusahaan utama
pengolah tembaga.
Potensi diversifikasi ekonomi daerah melalui
startegi upgrading lain di wilayah Sulampua,
adalah upgrading berbasis komoditas pertanian,
khususnya Kakao. Saat ini, 76% produksi kakao
nasional bersumber dari Sulampua, namun
industri pengolahan kakao menjadi coklat olahan
justru terdapat di Jawa dan Sumatera. Meski
Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar
ke-tiga di dunia, namun peran Indonesia dalam
Global Value Chain kakao masih rendah yaitu
terbatas pada produk cocoa butter dengan nilai
tambah relatif rendah. Adapun total produksi
cocoa butter tersebut baru mencapai 10% dari
total produksi dunia. Untuk itu, masih sangat
terbuka peluang hilirisasi produk kakao yang
mampu memberikan nilai tambah yang lebih
tinggi antara lain melalui pengolahan menjadi
kosmetik, parfum, coklat batang, dll .
Kendala pengembangan hilirisasi kakao terutama
berasal dari sisi hulu, yaitu terkait dengan
jaminan pasokan dan tingkat kualitas kakao.
Produktivitas yang rendah dan alih fungsi lahan
perkebunan kakao menjadi tantangan domestik
bagi pengembangan industri kakao yang
memerlukan
pasokan
kakao
yang
berkesinambungan. Selain itu, etos kerja petani
yang masih rendah dan kurangnya pengetahuan
mengenai penyakit tanaman kakao turut
menyebabkan produktivitas dan kualitas kakao
yang rendah.
Di sisi hilir, tantangan terutama muncul dari
eksternal berupa pengenaan tarif bea masuk
varian produk kakao di Eropa dan sejumlah
Negara tujuan ekspor lainnya. Tarif bea masuk
yang cukup tinggi dikenakan kepada produk
coklat olahan ekspor seiring dengan added value
yang semakin tinggi. Padahal, coklat olahan
dengan added value yang tinggi mampu
memberikan nilai ekspor yang lebih baik dan
memiliki pasar ekspor yang lebih luas. Oleh
karena itu, peran pemerintah sangat penting
dalam memfasilitasi kemudahan perdagangan
internasional kakao dan melakukan negosiasi
perdagangan untuk meringankan tariff bea
masuk ke Eropa.
Diversifikasi Wilayah Balinusra:
Potensi ‘Halal Tourism’
Di dukung oleh potensi alam yang cukup besar,
diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi
Balinusra dapat dilakukan melalui deepening
sektor pariwisata. Pengembangan sektor
pariwisata tersebut sejalan dengan RPJMN 20152019 yang mentargetkan kunjungan 20 juta
Wisatawan Mancanegara (wisman) dan 275 juta
Wisatawan Nusantara pada 2019. Oleh karena itu
dibutuhkan pengembangan pariwisata yang
strategis untuk mencapai target tersebut,
khususnya di Balinusra, mengingat pangsa
78
kunjungan wisatawan ke Balinusra mencapai 43%
dari total kunjungan wisatawan ke Indonesia.
Salah satu strategi pengembangan pariwisata
yang dapat dilakukan di Balinusra adalah melalui
pengembangan pariwisata segmen Halal Tourism.
Segmen halal tourism berpotensi mendatangkan
20 juta wisatawan muslim dari mancanegara.
Adapun implementasi perdana konsep Halal
Tourism dilaksanakan di Provinsi NTB melalui
pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Mandalika yang menjual konsep Nature Luxuries
dan Syariah. Konsep pengembangan KEK
Mandalika akan menggabungkan Integrated
tourism complex, Ecotourism dan syariah, high
capacity tourism, dan future connectivity yang
didukung teknologi ramah lingkungan. Total
investasi KEK Mandalika diperkirakan mencapai
Rp32,14 triliun dan diharapkan mampu
menciptakan multiplier effect pada masyarakat
melalui penyerapan tenaga kerja baru sebesar
58.700 orang, pemanfaatan lahan yang tidak
produktif, serta meningkatkan output nasional
hingga Rp7,5 triliun. Selain itu, pengembangan
KEK Mandalika juga menciptakan peluang
investasi ritel, akomodasi dan restoran serta jasa
penunjang lainnya.
Untuk mewujudkan pengembangan Halal
Tourism, terdapat sejumlah tantangan yang harus
di hadapi yaitu (1) penciptaan produk wisata
halal baik dari segi budaya, alam dan wisata alam;
(2) penyediaan muslim friendly amenities; serta
(3) pengembangan infrastruktur pariwisata halal.
Sertifikasi halal pada aspek logistik dan seluruh
fasilitas layanan wisata menjadi salah satu contoh
dari tantangan dimaksud. Untuk mendukung
pengembangan
Halal
Tourism
secara
komprehensif, maka diperlukan pengembangan
Cetak Biru Pengembangan Logistik Halal di
Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan alam berlimpah baik dari
sektor minyak dan gas bumi (migas), maupun non migas. Kemajuan ekonomi Indonesia yang
signifikan di era 70-an hingga 90-an tak lepas dari peran penting komoditas berbasis Sumber Daya
Alam (SDA) dalam perekonomian. Keran investasi dibuka seluas-luasnya untuk memaksimalkan
kinerja sektor ekstraktif. Kondisi ini didukung pula oleh commodity boom yang semakin membuat
komoditas SDA bersinar, termasuk komoditas perkebunan. Sejumlah daerah memanfaatkan
kesempatan tersebut dan menjadi cara yang sederhana untuk menggenjot perekonomian daerah,
dan kurang memperhatikan perkembangan sektor lainnya. Akibatnya, sejumlah daerah di Indonesia
cenderung memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kinerja salah satu komoditas SDA. Kinerja
perekonomian daerah tersebut menjadi sangat terpengaruh kinerja ekspor komoditas SDA yang
bergantung pada fluktuasi harga dan permintaan dunia. Kondisi tiga tahun terakhir ketika
commodity boom berbalik arah menjadi commodity bust, mengakibatkan perlambatan ekonomi di
berbagai daerah. Sejumlah sektor pun ikut terimbas. Strategi pengelolaan SDA yang belum optimal
mengakibatkan rentannya ketahanan ekonomi daerah dan berisiko terjebak dalam fenomena
resource curse. Untuk menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, maka diperlukan upaya
diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah. Strategi diversifikasi perlu
disesuaikan dengan dengan karakter masing-masing daerah dan mempertimbangkan fokus
pembangunan daerah dan nasional. Terdapat sejumlah tantangan dalam mengimplementasikan
strategi diversifikasi ekonomi terutama terkait dengan koordinasi kebijakan pusat-daerah, regulasi,
dan kapabilitas SDM. Selain tantangan tersebut, isu struktural terkait ketersediaan infrastruktur
yang merata, praktik good governance dan kemudahan akses pembiayaan juga masih perlu
mendapatkan perhatian.
Pengelolaan perekonomian Indonesia masih
belum
optimal,
terindikasi
dari
ketidakseimbangan perekonomian baik dari sisi
spasial maupun secara sektoral. Secara spasial,
Jawa secara konsisten memiliki kontribusi
terbesar terhadap perekonomian nasional yaitu
mencapai 59% dari total perekonomian.
Kemudian, berturut-turut diikuti oleh Sumatera
(22%), Sulawesi Maluku Papua (Sulampua, 9%),
Kalimantan (8%), dan Bali-Nusa Tenggara
(Balnusra, 3%). Secara sektoral, sejumlah sektor
strategis juga terkonsentrasi di Jawa antara lain
seperti pertanian, industri pengolahan dan jasa
keuangan. Ketidakseimbangan ini merupakan
dampak dari proses selama ini terkait strategi
79
kebijakan ekonomi nasional, ketimpangan kondisi
infrastruktur fisik, konektivitas dan komunikasi,
kapasitas SDM, kemampuan tata kelola
pemerintahan daerah, serta kondisi geografis.
Secara umum, perekonomian Indonesia hingga
saat masih belum dapat terlepas dari peran
besar komoditas Sumber Daya Alam (SDA)
dalam menopang pertumbuhan ekonomi
nasional. Pertumbuhan ekonomi nasional sejak
tahun 1960-an ditopang oleh eksploitasi berbagai
komoditas SDA antara lain seperti minyak bumi
dan gas alam, pertambangan mineral, produk
hutan dan perkebunan. Meskipun terdapat
periode dimana terjadi shifting perekonomian
nasional dari sektor pertanian ke sektor industri
pengolahan, namun peran komoditas SDA masih
besar, terutama jika dilihat dari sisi ekspor.
Grafik V.1. Komposisi Dana Bagi Hasil (DBH) Terhadap Total Pendapatan dalam APBD
Ketergantungan terhadap komoditas SDA juga pendapatan dari pengelolaan eksploitasi sumber
tercermin dari pengelolaan keuangan daerah. daya alam. Berbagai kemudahan diberikan agar
Saat ini, sebagian besar keuangan daerah masih maksimisasi SDA dapat diraih. Akibatnya, terjadi
sangat bergantung pada dana transfer APBN. migrasi kapital dan labor dari kegiatan produktif
Sejumlah daerah yang perekonomiannya berbasis non-SDA ke kegiatan ekstraktif SDA baik dari
SDA,
misal
Kalimantan
Timur,
masih dalam daerah SDA itu sendiri maupun dari luar
mengandalkan pendapatan daerah dari transfer daerah SDA.
Dana Bagi Hasil (DBH) yang mencapai sekitar
35,82% dari total pendapatan daerah pada APBD
2017 (Grafik V.1). Sementara pada APBD 2014,
ketika harga komoditas masih tinggi, komposisi
DBH mencapai 52,67% dari pendapatan APBD .
Ketergantungan keuangan daerah terhadap SDA
semakin mulai terlihat paska penerapan
desentralisasi keuangan daerah yang berdampak
pada berubahnya pola transfer daerah. Transfer
daerah yang semula besarannya seragam,
penyalurannya diubah menjadi berdasarkan
Sumber: Frankel, 2010
kriteria tertentu antara lain seperti jumlah
Gambar V.1. Hubungan Antara Kekayaan SDA &
penduduk dan luasan wilayah. Dengan demikian,
Pertumbuhan Ekonomi: Kasus Dunia
daerah dengan perekonomian berbasis SDA
berusaha
sedapat
mungkin
untuk Indonesia memang memiliki kekayaan alam yang
memaksimalkan pendapatan daerah. Dengan begitu berlimpah (resource rich). Namun,
kesiapan daerah
untuk mendiversifikasikan kekayaan SDA Indonesia yang tinggi tersebut
perekonomiannya yang masih terbatas, maka perlu diimbangi dengan manajemen pengelolaan
pilihan cara yang paling mudah dan cepat SDA yang tepat agar kemudian tidak terjebak
dilakukan adalah dengan memaksimalkan dalam permasalahan resource curse. Secara
80
nasional indikasi resource curse di Indonesia
memang relatif belum terlihat. Hal ini tercermin
dari tingkat diversifikasi ekspor yang relatif baik
dan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang diatas
rata-rata sejumlah negara resource based lainnya
(Gambar V.1). Namun demikian, bila fenomena
tersebut dilihat pada lingkup spasial kedaerahan,
maka indikasi resourse curse terlihat terjadi pada
sejumlah daerah, antara lain Kalimantan Timur
(Gambar V.2).
khususnya yang terkait dengan SDA. Sepanjang
tahun 2014 hingga 2016, perekonomian global
mengalami perlambatan yang signifikan. Pada
periode sebelum 2014, perekonomian global
mampu tumbuh rata-rata 3,1%, namun dalam 3
tahun terakhir hanya mampu tumbuh rata-rata
sekitar 2,8%. Perlambatan ekonomi yang
berlangsung merata di hampir seluruh negara
maju maupun sejumlah negara berkembang,
berdampak pada melemahnya permintaan
terhadap komoditas SDA, baik migas maupun
non migas. Kondisi ini kemudian berdampak pada
turunnya harga jual komoditas SDA secara
signifikan. Salah satunya yaitu komoditas minyak
bumi yang terkoreksi hingga sekitar 50,4% (ratarata harga 2015 dibanding 2014) dan harga
batubara bahkan terkoreksi sebesar 28,4% (ratarata harga 2016 dibanding 2014) (Grafik V.2).
Gambar V.2. Hubungan Antara Kekayaan SDA &
Pertumbuhan Ekonomi: Kasus Indonesia
Besarnya kekayaan SDA yang dimiliki suatu
negara tidak menjamin kemajuan ekonomi
negara tersebut. Keberhasilan ekonomi suatu
negara justru lebih banyak ditentukan oleh
strategi pengelolaan SDA-nya. Pengelolaan SDA
yang optimal perlu memperhatikan keberlanjutan
ketersediaan SDA tersebut bagi pembangunan
ekonomi ke depan. Pemanfaatan SDA perlu
diarahkan secara optimal untuk pencapaian
kesejahteraan masyarakat, dan juga perlu disertai
dengan upaya untuk memastikan ketersediaan
SDA dimasa depan.
Struktur Ekonomi Daerah
Perkembangan ekonomi global yang kurang
kondusif beberapa tahun terakhir, berdampak
pada melemahnya kinerja sejumlah sektor,
81
Sumber: Bloomberg
Grafik V.2. Pergerakan Harga Batubara & Minyak Bumi
Dampak perlambatan perekonomian dunia juga
turut dirasakan oleh Indonesia, tercermin dari
perlambatan pertumbuhan ekonomi dari 5,56%
pada 2013 menjadi 4,79% pada tahun 2015.
Hampir seluruh daerah mengalami perlambatan
pertumbuhan ekonomi, terutama daerah yang
ekonominya terkonsentrasi pada pengelolaan
SDA, umumnya di daerah yang berada di luar
Jawa.
Sementara
itu,
Jawa
yang
perekonomiannya relatif lebih terdiversifikasi
meski
turut
mengalami
perlambatan
pertumbuhan, namun tidak sedalam wilayah
yang lebih mengandalkan SDA.
Keterangan: Concentration Ratio mengukur tingkat terkonsentrasi suatu ekonomi pd sektor ekonomi tertentu, diukur
melalui sum of squares %kontribusi sektor dlm ekonomi. Diversification Quotient diestimasi melalui inverse dari
Concentration Ratio
Sumber: PwC, Booz & Company, BPS, diolah
Grafik V.3. Tingkat Diversifikasi dan Konsentrasi Ekonomi Daerah
Keterangan: Growth volatility dihitung berdasarkan standard deviasi pertumbuhan ekonomi daerah dari Tw I 2012 –
Tw I 2017. Economic Concentration. Semakin tinggi angkanya, semakin rendah diversifikasi ekonominya atau
terkonsentrasi pd sektor ekonomi tertentu.
Sumber: BPS, diolah
Gambar V.3. Hubungan Antara Konsentrasi Ekonomi dan Volatilitas Pertumbuhan
Sejumlah daerah di Indonesia memiliki tingkat
diversifikasi ekonomi yang masih rendah,
akibatnya struktur ekonomi daerah tersebut
menjadi rentan. Kalimantan Timur dan Papua
merupakan salah satu contoh daerah yang
82
memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi terhadap
sektor tertentu, dalam hal ini pertambangan,
sehingga diversifikasi ekonominyapun rendah
(Grafik V.3). Akibatnya, ketika terjadi tekanan
permintaan yang berdampak pada penurunan
harga komoditas maupun perubahan regulasi
ekspor, perekonomian kedua daerah tersebut
menjadi rentan. Konsentrasi ekonomi pada satu
sektor tertentu akan berdampak pada rendahnya
kesinambungan pertumbuhan ekonomi dan
kecenderungan volatilitas pertumbuhan yang
tinggi (Gambar V.3). Papua, Papua Barat dan NTB
merupakan sejumlah daerah yang memiliki
volatilitas pertumbuhan ekonomi yang sangat
tinggi dibandingkan daerah lain.
perkembangan industri pengolahan berbasis SDA
cenderung memiliki linkage yang rendah dengan
sektor lain. Sementara itu, konsentrasi dan
diversifikasi industri pengolahan di Jawa, yang
relatif minim SDA, menjadi semakin tinggi.
Sumber: Cognos BI, diolah
Grafik V.5. Pangsa Ekspor Resource Based dan Non
Resource Based
Sumber: BPS, diolah
Grafik V.4. Pertumbuhan Net-Migrasi Risen Penduduk
Per Wilayah
Perkembangan ekonomi daerah yang bertumpu
pada satu sektor/komoditi tertentu, cenderung
kurang
memberikan
insentif
pada
pengembangan sektor lain. Hal ini kemudian
mengakibatkan ketidakseimbangan sektoral
Sumber: Cognos, IHEX, BI, diolah
dalam perekonomian daerah. Sebagai contoh,
Grafik V.6. Hubungan Ekspor Dengan Pergerakan Indeks
peningkatan harga komoditas pada era 2000-an
Harga Komoditas Ekspor
mendorong peningkatan ekspor komoditas
pertambangan maupun perkebunan. Akibatnya, Ketidakseimbangan
sektoral
di
daerah
banyak
daerah
yang
berlomba-lomba mengakibatkan kerentanan kinerja ekspor.
memaksimalkan pendapatan melalui sektor Konsentrasi ekspor pada komoditas tertentu,
tersebut. Berbagai peluang investasi dibuka khususnya SDA, meningkatkan risiko terhadap
untuk meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi gejolak eksternal, khususnya terkait dengan
SDA daerah. Sejalan dengan keuntungan instan volatilitas harga maupun permintaan dunia
yang diperoleh dari kegiatan eksploitasi tersebut, (Grafik V.5 dan V.6.) Kondisi ini berdampak pada
terjadi disinsentif bagi pengembangan sektor lain tidak berkesinambungannya kinerja ekspor
maupun
hilirisasi
pengolahan
SDA. daerah. Ketidakseimbangan sektoral, khususnya
Perkembangan sektor industri pengolahan juga yang terkonsentrasi pada sektor pertambangan,
terhambat oleh terjadinya labor dan capital juga berpotensi menghambat transformasi
migration ke sektor berbasis SDA, khususnya ekonomi daerah seiring dengan tingginya labor
pada masa commodity boom dan terutama mobility cost sektor tersebut akibat requirement
berlangsung di luar Jawa (Grafik V.4). Di sisi lain, skill yang spesifik.
83
Tantangan Diversifikasi Perekonomian
Daerah
Untuk menjamin keberlanjutan pertumbuhan
ekonomi di daerah, maka daerah harus mampu
memitigasi berbagai potensi risiko yang dapat
mengakibatkan
volatilitas
pertumbuhan
ekonomi. Konsentrasi sektoral yang berimbas
pada konsentrasi komoditas ekspor, khususnya
yang berbasis SDA, mengandung risiko bagi
keberlanjutan ekonomi daerah. Untuk itu, maka
upaya diversifikasi perekonomian daerah perlu
dituangkan dalam strategi pengelolaan ekonomi
daerah jangka menengah panjang. Diversifikasi
ekonomi, selain dapat mendukung keberlanjutan
pertumbuhan ekonomi, juga sebagai instrumen
penting menuju pencapaian pemerataan
kesejahteraan masyarakat.
dihadapi. Tantangan tersebut mencakup (i)
Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM),
khususnya terkait kewirausahaan dan dukungan
pendidikan vokasional; (ii) Regulasi/ketentuan,
terkait dukungan bagi kemudahan berusaha dan
harmonisasi ketentuan agar tidak tumpang
tindih; (iii) Pengembangan UMKM/IKM, terkait
dengan penguatan peran UMKM/IKM sebagai
elemen penggerak diversifikasi ekonomi di level
mikro berbasis potensi lokal; (iv) Koordinasi,
sikronisasi kebijakan terkait arah pengembangan
ekonomi daerah. Selain itu, sejumlah syarat
mendasar diperlukan dalam mewujudkan
diversifikasi ekonomi yaitu (i) ketersediaan
infrastruktur dasar yang memadai (konektivitas,
energi dan komunikasi); (ii) Dukungan akses
pembiayaan yang mudah dan terjangkau; (iii)
Tata kelola yang baik (good governance).
Dalam mewujudkan diversifikasi ekonomi daerah
terdapat sejumlah tantangan yang perlu
Gambar V.4. Strategi Diversifikasi Ekonomi Daerah
Strategi Diversifikasi Perekonomian
Diversifikasi perekonomian daerah dapat
ditempuh melalui dua cara yaitu diversifikasi
vertikal dan diversifikasi horizontal. Diversifikasi
vertikal erat kaitannya dengan optimalisasi
potensi hilirisasi industri berbahan baku SDA
lokal. Jenis diversifikasi ini cocok diterapkan di
daerah yang memiliki cadangan atau pasokan
84
SDA yang melimpah. Dengan demikian,
komoditas yang dihasilkan di wilayah tersebut
dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih
tinggi. Sementara itu, diversifikasi horisontal
merupakan strategi suatu daerah untuk
mengembangkan sektor lain diluar sektor utama
sebagai sumber pertumbuhan baru. Idealnya,
daerah mampu menerapkan kedua strategi
diversifikasi ini secara simultan sehingga
keberlanjutan pertumbuhan ekonomi daerah
dapat lebih resilien.
Implementasi strategi diversifikasi ekonomi
daerah sangat bergantung pada dua hal yaitu (i)
karakteristik dan potensi daerah tersebut, (ii)
fokus dan arah pengembangan daerah yang
diselaraskan dengan rencana jangka panjang
nasional. Wilayah seperti Sumatera, Kalimantan
dan Sulampua-Balnusra yang kaya akan bahan
baku
komoditas
perkebunan
maupun
pertambangan dapat menerapkan strategi
diversifikasi vertikal. Strategi ini memungkinkan
transformasi ekonomi lebih lanjut dengan
peningkatan peran industri pengolahan dalam
perekonomian daerah. Selain itu, mengingat
potensi lokal yang cukup beragam dan belum
sepenuhnya tergarap, strategi diversifikasi
ekonomi horisontal juga dapat diterapkan di
Sumatera, Kalimantan dan Sulampua-Balnusra.
Sumber: Estimasi Bank Indonesia
Gambar V.5. Pemetaan Economic Stages dan Strategi Diversifikasi Kabupaten/Kota Pulau Jawa
Gambar V.6. Strategi Diversifikasi Kawasan Timur Indonesia
Berdasarkan hasil asesmen Bank Indonesia dan
telah diselaraskan dengan arah RPJMN dan
RPJMD, diversifikasi vertikal ekonomi Sumatera
dapat difokuskan pada hilirisasi dan upgrading
komoditas kelapa sawit dan kopi, dimana
85
Sumatera merupakan daerah penghasil kelapa
sawit dan kopi terbesar secara nasional.
Peningkatan nilai tambah kedua komoditas
tersebut yang disertai dengan perluasan pasar
ekspor akan berdampak luas pada perekonomian
Sumatera. Sementara itu, peluang diversifikasi
horisontal dapat diterapkan pada sektor
perikanan dan pariwisata yang didukung oleh
posisi geografis dan potensi pariwisata alam yang
berlimpah, serta sektor konstruksi. Konstruksi
berpotensi menjadi sumber pertumbuhan baru
seiring dengan adanya peningkatan permintaan
ditengah pengembangan properti Sumatera yang
masih terbatas.
Jawa yang perekonomiannya sudah lebih
terdiversifikasi, maka strategi diversifikasi
ekonomi dapat difokuskan pada upaya (i)
peningkatan efisiensi dan produktivitas sektor
utama (pertanian dan industri-khususnya padat
karya); (ii) industrial up grading dengan fokus
pada pengembangan industri berteknologi medhigh tech, dan (iii) pengembangan pariwisata dan
industri kreatif sebagai sumber pertumbuhan
ekonomi baru. Jawa bagian barat dan Jawa Timur
terindikasi lebih sesuai bagi pengembangan
industri berbasis teknologi dan inovasi.
Sementara, diversifikasi Jawa bagian tengah
dapat difokuskan pada peningkatan produktivitas
dan efisiensi sumber daya yang ada (Gambar
V.5).
dan mendorong terjadinya diversifikasi;
menyediakan kebijakan membantu daerah
yang terdampak SDA.
b.
Perlunya strategi kebijakan pemerintah
(Pusat dan Daerah) yang konsisten dalam
menciptakan hilirisasi/industrialisasi sektor
atau komoditas unggulan.
c.
Perlunya institusi yang kuat dan kredibel,
didukung oleh Good Governance agar proses
diversifikasi dan pengelolaannya dilakukan
secara profesional (bekerja berdasarkan
sistem) dan optimal.
d.
Diversifikasi diarahkan pada komoditaskomoditas unggulan dan sektor-sektor yang
sesuai dengan karakteristik daerah meliputi
maritim,
agroindustri,
manufaktur,
pariwisata dan industri kreatif serta
pertanian dan perkebunan.
e.
Diversifikasi difokuskan pada kegiatan yang
menciptakan dan meningkatkan keterkaitan
ekonomi
(linkage)
dalam
struktur
perekonomian daerah secara internal
maupun dalam kaitannya dengan daerah
lainnya serta fokus pada peningkatan peran
sektor industri pengolahan. Salah satunya
adalah melalui pengembangan industri
strategis seperti industri kimia dasar dan
logam dasar. Karena karakteristik kebutuhan
modal dan skala usaha industri strategis
biasanya sangat besar, maka peran
pemerintah pusat dalam pembangunannya
menjadi sangat penting (baca Laporan
Nusantara edisi November 2016 tentang
Mempercepat
Transformasi
Industri
Manufaktur
untuk
Mewujudkan
Industrialisasi Indonesia yang Berdaya Saing
Global).
f.
Pemenuhan
ketersediaan
energi,
konektivitas antar daerah, dukungan
pembiayaan dan kemudahan transaksi serta
ketentuan tata ruang dan wilayah yang jelas
terus perlu diupayakan yang kemudian
Di Kawasan Timur Indonesia (Kalimantan,
Sulampua, Balnusra), penerapan strategi
diversifikasi ekonomi antara satu wilayah dengan
wilayah lainnya memiliki fokus yang berbeda
(Gambar V.6). Wilayah Kalimantan perlu
melakukan diversifikasi horisontal untuk dapat
mengurangi ketergantungannya pada komoditas
ekstraktif. Sementara, di wilayah Sulampua dan
Balnusra memerlukan diversifikasi vertikal
berupa
hilirisasi
dan
upgrading
untuk
meningkatkan nilai tambah komoditas.
Rekomendasi Kebijakan
Dalam rangka mendorong implementasi
diversifikasi ekonomi daerah, terdapat sejumlah
rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
a.
86
Kebijakan
aktif
pemerintah
untuk
mendorong agar daerah tidak tergantung
berlebihan kepada satu komoditas tertentu
menjadi faktor enabler bagi pertumbuhan
ekonomi daerah.
g.
Kestabilan makroekonomi dan kestabilan
sosial-politik dengan tingkat fragmentasi
sosial yang rendah. Semakin tinggi
ketidakstabilan makroekonomi dan sosialpolitik serta fragmentasi sosial, maka akan
semakin besar tenaga yang tercurah hanya
untuk
menghasilkan
kesepakatankesepakatan antar pihak dan bahkan
semakin mahal upaya untuk melakukan
monitoring dan evaluasinya karena besarnya
pertentangan kepentingan berbagai interestgroup yang berjuang mendapatkan rente
ekonomi.
h.
Peningkatan kemampuan SDM dengan
tenaga kerja yang berkeahlian lebih tinggi
dan kemampuan wirausaha. Beberapa
daerah yang kaya SDA, disinyalir kesulitan
dalam mengembangkan industri dengan nilai
tambah yang lebih besar bukan karena
semata kesulitan modal, namun lebih kepada
kesulitan mendapatkan tenaga SDM yang
berkualitas yang mampu menjalankan
industri bernilai tambah lebih besar atau
tinggi secara menguntungkan agar dapat
berkelanjutan secara ekonomi.
i.
Pemanfaatan Rantai Nilai Global untuk
mendukung peningkatan produksi dan
pemasaran produk/jasa yang dihasilkan misal
industri furnitur, perikanan, pariwisata (halal
tourism, eco-tourism), industri kreatif.
Pemanfaatan
rantai
nilai
global
membutuhkan peningkatan kerjasama baik
dalam skala bilateral maupun multilateral,
antar pemerintah dan swasta untuk
menciptakan saling keterkaitan yang saling
menguntungkan secara ekonomi dan
berkelanjutan dalam jangka menengahpanjang.
87
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
88
89
Tahun Dasar 2010
2016
II
III
IV
4.5
4.0
4.5
2016
4.3
I
4.0
2017
IIp
4.28 - 4.78
IIIp
4.29 - 4.79
4.22 - 4.72
4.7
3.9
(3.6)
4.4
1.0
(1.0)
15.8
5.2
5.3
(0.7)
5.4
0.4
0.1
1.9
4.7
6.6
2.5
4.0
9.1
10.2
4.6
4.86 - 5.36
5.99 - 6.49
3.16 - 3.66
5.36 - 5.86
3.62 - 4.12
4.20 - 4.70
1.08 - 1.58
5.03 - 5.53
6.45 - 6.95
5.98 - 6.48
6.43 - 6.93
3.68 - 4.18
4.63 - 5.13
0.23 - 0.73
4.97 - 5.47
6.18 - 6.68
5.32 - 5.82
5.35 - 5.85
4.49 - 4.99
5.49 - 5.99
0.02 - 0.52
3.7
(0.7)
3.6
11.7
3.8
(1.0)
5.2
4.9
3.8
(0.6)
4.2
10.0
3.9
4.48 - 4.98
(2.0) (1.74) - (1.24)
5.3
3.96 - 4.46
6.1
4.32 - 4.82
4.30- 4.80
4.30- 4.81
4.30- 4.82
4.30- 4.83
4.15 - 4.65
(1.8) - (1.3)
4.52 - 5.02
6.60 - 7.10
3.1
5.2
6.5
4.4
6.4
6.15 - 6.65
4.30- 4.84
5.82 - 6.32
6.9
6.4
6.6
6.4
5.5
5.98 - 6.48
4.30- 4.85
5.96 - 6.46
4.6
5.9
6.0
7.5
6.0
5.7
6.28 - 6.78
4.30- 4.86
5.80 - 6.30
5.2
5.9
6.6
6.1
5.2
5.4
6.6
6.6
7.2
9.1
6.0
5.1
6.1
7.2
7.9
6.1
6.5
6.0
5.6
8.2
9.5
4.4
6.5
6.7
5.9
7.0
7.8
6.4
6.1
5.8
6.2
7.1
7.7
1.1
7.7
6.5
6.40 - 6.90
7.28 - 7.78
8.49 - 8.99
3.65 - 4.15
5.74 - 6.24
5.24 - 5.74
4.30- 4.87
4.30- 4.88
4.30- 4.89
4.30- 4.90
4.30- 4.91
4.30- 4.92
6.31 - 6.81
7.41 - 7.91
8.06 - 8.56
3.71 - 4.21
6.07 - 6.57
5.35 - 5.85
7.0
4.1
8.4
1.7
0.9
3.7
2.7
5.25 - 5.75
4.30- 4.93
4.56 - 5.06
7.1
7.3
7.6
6.4
6.1
5.8
8.2
7.0
5.6
5.3
4.6
6.3
3.2
5.3
8.1
5.7
5.7
6.5
3.1
5.3
7.1
5.13 - 5.63
7.06 - 7.56
6.70 - 7.20
4.30- 4.94
4.30- 4.95
4.30- 4.96
4.93 - 5.43
6.62 - 7.12
6.59 - 7.09
(0.7)
5.1
5.5
0.2
4.2
6.0
4.4
5.1
5.1
4.1
3.05
1.53
3.24
1.08
2.65
4.40
1.37
3.10
3.25
4.34
3.27
3.7
4.7
5.6
2.7
3.5
4.2
4.9
5.0
5.1
3.4
5.71
3.55
7.16
6.62
4.42
5.59
4.95
5.05
5.93
5.29
5.50
2.7
5.5
5.8
2.7
3.6
5.2
5.1
5.4
5.2
3.8
3.71
2.34
4.32
3.23
1.92
3.85
3.38
4.37
5.47
3.16
6.21
2.5
5.3
4.8
1.3
4.0
5.5
4.9
5.2
5.3
4.2
4.28
3.65
7.38
6.13
4.07
3.87
4.99
4.22
5.72
2.89
5.04
4.3
5.2
4.9
2.2
6.4
5.2
5.1
5.6
5.0
4.9
4.53
3.95
6.34
4.89
4.04
3.53
4.39
3.58
5.00
2.78
6.75
4.3
5.2
4.9
2.2
6.4
5.2
5.1
5.6
5.0
4.9
4.53
3.95
6.34
4.89
4.04
3.53
4.39
3.58
5.00
2.78
6.75
2.9
4.5
4.9
2.8
4.3
2.0
5.1
5.2
5.1
6.4
3.92
3.45
3.91
3.82
5.03
3.08
2.85
3.71
6.01
3.67
6.40
3.37 - 3.87
5.03 - 5.53
5.22 - 5.72
2.69 - 3.19
4.57 - 5.07
3.53 - 4.03
5.11 - 5.61
5.29 - 5.79
4.92 - 5.42
4.94 - 5.44
4.99 - 5.49
3.42 - 3.92
4.39 - 4.89
6.18 - 6.68
7.07 - 7.57
4.54 - 5.04
4.92 - 5.42
4.01 - 4.51
6.73 - 7.23
4.44 - 4.94
7.58 - 8.08
3.15 - 3.65
5.01 - 5.51
5.14 - 5.64
2.87 - 3.37
5.02 - 5.52
3.85 - 4.35
4.60 - 5.10
5.02 - 5.52
4.99 - 5.49
5.20 - 5.70
4.22 - 4.72
3.42 - 3.92
4.39 - 4.89
6.18 - 6.68
7.07 - 7.57
4.54 - 5.04
4.92 - 5.42
4.01 - 4.51
6.73 - 7.23
4.44 - 4.94
7.58 - 8.08
2.74 - 3.24
4.90 - 5.40
5.07 - 5.57
2.81 - 3.31
4.90 - 5.40
3.46 - 3.96
4.86 - 5.36
5.10 - 5.60
4.96 - 5.46
5.43 - 5.93
3.89 - 4.39
2.72 - 3.22
3.59 - 4.09
4.29 - 4.79
5.96 - 6.46
4.11 - 4.61
4.63 - 5.13
3.26 - 3.76
5.03 - 5.53
4.53 - 5.03
7.25 - 7.75
Indikator Makroekonomi Daerah
2015
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi LNPRT
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Ekspor
Impor
Net Ekspor Antar Daerah
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Pengadaan Listrik dan Gas
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
Jasa lainnya
PDRB (%,yoy)
Provinsi Aceh
Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Barat
Provinsi Riau
Provinsi Jambi
Provinsi Kepulauan Riau
Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Bengkulu
Provinsi Lampung
Provinsi Kep. Bangka Belitung
Inflasi IHK (%,yoy)
Provinsi Aceh
Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Barat
Provinsi Riau
Provinsi Kepulauan Riau
Provinsi Jambi
Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Bengkulu
Provinsi Lampung
Provinsi Kep. Bangka Belitung
3.5
I
4.2
5.0
2.0
4.5
3.2
(3.2)
(4.3)
2.4
5.2
6.6
1.4
6.3
(1.5)
(2.1)
1.1
5.4
5.0
6.8
6.2
(0.1)
0.9
(4.4)
4.9
4.5
(5.6)
4.5
(0.2)
(1.5)
5.3
3.5
(2.3)
3.8
5.0
3.4
0.5
5.1
8.6
4.6
(1.1)
3.1
15.4
4.9
3.0
4.3
5.8
4.2
7.0
6.8
7.9
4.3
5.9
5.8
`
90
2017p
2016
5.5
I
5.3
Tahun Dasar 2010
2016
II
III
IV
5.8
5.6
5.7
4.5
(4.0)
4.2
4.3
(1.7)
(9.0)
(10.7)
4.9
6.0
8.0
4.1
0.9
(5.8)
(7.4)
5.2
6.2
13.0
4.7
5.3
(4.8)
(16.9)
5.1
9.7
(2.9)
4.9
(3.3)
(4.1)
7.2
3.4
5.1
4.6
(3.9)
(0.7)
8.8
4.5
1.9
2.6
6.3
4.6
(0.4)
4.2
3.1
4.8
4.2
5.6
I
5.7
2017
IIp
5.75 - 6.15
IIIp
5.52 - 5.92
5.59 - 5.99
5.2
9.8
(0.9)
5.0
(0.5)
(1.5)
22.7
5.1
8.1
0.4
4.0
1.6
(2.6)
3.6
5.1
11.3
1.8
6.0
2.2
7.9
20.3
5.37 - 5.77
2.20 - 2.60
1.02 - 1.42
6.33 - 6.73
1.63 - 2.03
2.92 - 3.32
7.14 - 7.54
5.15 - 5.55
(1.09) - (1.49)
7.09 - 7.49
6.69 - 7.09
2.46 - 2.86
2.50 - 2.90
1.46 - 1.86
5.16 - 5.56
2.23 - 2.63
4.24 - 4.64
6.38 - 6.78
2.03 - 2.43
3.57 - 3.97
8.60 - 9.00
4.5
12.4
4.4
(1.6)
3.6
4.2
4.9
(4.1)
3.3
10.5
4.3
0.6
7.1
7.5
4.6
0.9
4.11 - 4.51
6.39 - 6.79
5.20 - 5.60
1.54 - 1.94
4.66 - 5.06
1.64 - 2.04
5.10 - 5.50
3.36 - 3.76
4.56 - 4.96
4.78 - 5.18
5.05 - 5.45
2.00 - 2.40
4.7
5.9
5.3
4.6
5.8
4.45 - 4.85
3.46 - 3.86
4.46 - 4.86
3.8
4.0
3.4
4.4
4.1
4.6
5.07 - 5.47
5.44 - 5.84
5.08 - 5.48
4.9
5.1
4.4
4.8
5.0
5.4
5.92 - 6.32
5.64 - 6.04
5.58 - 5.98
8.1
6.9
9.8
9.5
5.2
7.6
7.9
7.8
9.9
10.2
5.6
7.3
7.3
6.7
9.9
13.9
5.6
7.4
9.5
7.4
10.0
9.4
5.6
8.0
9.3
6.8
9.6
7.9
6.0
8.1
8.2
7.3
10.0
9.0
5.5
8.1
(5.6) (3.25) - (3.65) (3.85) - (4.25) (3.94) - (4.34)
22.7 21.29 - 21.69 18.60 - 19.00 20.28 - 20.68
8.4
8.70 - 9.10
8.80 - 9.20
8.69 - 9.09
6.7
7.33 - 7.73
6.41 - 6.81
6.79 - 7.19
4.7
5.45 - 5.85
5.55 - 5.95
5.26 - 5.66
8.3
6.88 - 7.28
7.11 - 7.51
7.23 - 7.63
3.7
3.5
6.5
1.4
2.8
3.7
0.9
1.65 - 2.05
1.95 - 2.35
1.67 - 2.07
7.3
8.2
7.1
7.5
8.0
7.5
7.7
7.5
7.7
6.3
7.4
8.3
6.6
7.0
11.0
6.8
7.8
7.8
5.3
7.2
7.8
4.37 - 4.77
7.62 - 8.02
7.56 - 7.96
6.50 - 6.90
6.30 - 6.70
5.03 - 5.43
5.36 - 5.76
6.80 - 7.20
7.01 - 7.41
5.9
5.0
5.4
5.4
4.9
5.4
3.12
3.30
2.73
4.29
2.73
3.09
3.08
5.6
5.2
5.1
4.9
4.8
5.5
3.93
3.62
3.78
5.70
4.21
3.69
3.71
5.9
6.0
5.2
5.7
5.5
5.6
3.14
3.08
3.22
3.78
2.96
2.94
2.93
5.8
5.8
5.4
5.1
4.7
5.6
2.58
2.40
2.54
3.01
2.72
2.68
2.69
5.6
5.8
5.5
5.5
5.1
5.7
2.59
2.37
2.75
2.94
2.36
2.29
2.73
5.8
5.7
5.3
5.3
5.0
5.5
2.59
2.37
2.75
2.94
2.36
2.29
2.73
6.5
5.2
5.9
5.2
5.1
5.4
3.47
3.43
3.37
3.45
3.30
3.39
3.85
6.03 - 6.43
5.77 - 6.17
5.77 - 6.17
5.55 - 5.95
5.08 - 5.48
5.57 - 5.97
4.25 - 4.65
3.98 - 4.38
4.00 - 4.40
4.17 - 4.57
4.79 - 5.19
4.06 - 4.46
4.92 - 5.32
5.81 - 6.21
5.54 - 5.94
5.19 - 5.59
5.23 - 5.63
4.93 - 5.33
5.48 - 5.88
4.40 - 4.80
4.02 - 4.42
4.57 - 4.97
4.51 - 4.91
4.55 - 4.95
3.76 - 4.16
4.75 - 5.15
6.03 - 6.43
5.50 - 5.90
5.48 - 5.88
5.30 - 5.70
4.99 - 5.39
5.44 - 5.84
4.52 - 4.92
4.13 - 4.53
4.70 - 5.10
4.83 - 5.23
4.64 - 5.04
3.99 - 4.39
4.78 - 5.18
Indikator Makroekonomi Daerah
2015
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi LNPRT
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Ekspor
Impor
Net Ekspor Antar Daerah
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Pengadaan Listrik dan Gas
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
Jasa lainnya
PDRB (%,yoy)
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Inflasi IHK (%,yoy)
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
91
2017p
Tahun Dasar 2010
2016
II
III
IV
4.0
5.4
5.5
2016
4.8
I
5.0
2017
IIp
6.60 - 7.00
Indikator Makroekonomi Daerah
2015
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi LNPRT
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Ekspor Luar Negeri
Impor Luar Negeri
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Pengadaan Listrik dan Gas
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
Jasa lainnya
PDRB (%,yoy)
Provinsi Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Timur
Provinsi Kalimantan Utara
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Tengah
Provinsi Gorontalo
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Maluku
Provinsi Maluku Utara
Provinsi Papua
Provinsi Papua Barat
Provinsi Bali
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Provinsi Nusa Tenggara Timur
5.2
I
4.3
5.0
3.9
5.4
6.1
(5.7)
(3.0)
5.2
6.7
5.2
4.3
(8.8)
(9.5)
5.6
5.0
6.5
2.5
(7.0)
(2.2)
4.8
3.7
(5.4)
4.1
(6.0)
(11.2)
4.4
1.7
(8.5)
3.4
12.2
(5.5)
5.0
4.2
(0.3)
3.6
(2.6)
(7.0)
4.5
8.1
3.6
4.2
8.8
6.3
4.3
2.1
5.7
10.2
2.2
(2.3)
10.0
9.2
2.3
(2.9)
7.1
15.9
3.9
4.5
6.9
14.6
8.4
6.3
3.0
3.8
4.2
1.4
6.6
10.7
6.8
2.1
6.1
4.4
6.00 - 6.40
8.70 - 9.10
5.90 - 6.30
5.60 - 6.00
5.80 - 6.20
2.30 - 2.70
5.90 - 6.30
7.30 - 7.70
5.60 - 6.00
3.70 - 4.10
6.10 - 6.50
6.60 - 7.00
3.3
5.4
5.3
6.5
5.7
5.7
4.8
5.80 - 6.20
6.00 - 6.40
5.70 - 6.10
7.4
5.2
4.6
5.3
3.2
4.6
4.9
5.60 - 6.00
6.20 - 6.60
6.10 - 6.50
6.3
6.9
7.3
6.8
6.3
6.8
6.0
7.30 - 7.70
5.80 - 6.20
6.80 - 7.20
6.5
6.3
8.4
5.6
5.9
4.4
7.1
6.8
9.0
7.6
5.5
5.6
7.1
7.0
8.4
13.1
5.0
4.3
7.7
7.4
7.8
7.9
4.1
4.6
6.3
6.4
7.2
11.1
4.5
4.6
7.0
6.9
8.1
9.9
4.8
4.8
6.4
7.0
7.9
4.0
3.7
5.0
7.20 - 7.60
7.50 - 7.90
8.20 - 8.60
3.80 - 4.20
4.70 - 5.10
5.40 - 5.80
6.00 - 6.40
7.00 - 7.40
8.10 - 8.50
4.20 - 4.60
6.00 - 6.40
5.30 - 5.70
6.10 - 6.50
7.40 - 7.80
7.60 - 8.00
3.90 - 4.20
5.00 - 5.40
5.10 - 5.50
8.0
7.7
9.8
1.3
(0.4)
4.3
2.2
3.90 - 4.30
6.90 - 7.30
5.00 - 5.40
7.4
8.2
7.3
8.3
8.1
7.9
8.1
8.1
8.1
6.6
7.4
7.2
4.2
6.8
7.0
6.7
7.6
7.5
6.0
6.6
6.6
6.00 - 6.40
6.10 - 6.50
6.30 - 6.70
6.50 - 6.90
6.40 - 6.80
6.30 - 6.70
6.40 - 6.80
6.50 - 6.90
6.20 - 6.80
4.9
7.0
3.8
(1.2)
3.4
7.2
7.4
6.9
15.5
6.2
6.1
5.5
6.1
7.5
4.2
6.0
21.8
5.0
6.6
5.1
4.7
(0.5)
3.0
7.3
6.1
5.5
13.6
6.7
6.0
5.6
5.2
(0.7)
5.5
6.4
8.4
5.1
4.3
5.7
4.5
(0.7)
3.4
8.0
4.7
6.8
15.6
5.4
6.2
6.0
5.7
(5.2)
3.9
6.5
8.2
5.4
6.2
5.9
3.1
(0.0)
4.3
6.8
5.7
6.0
7.9
7.0
6.0
5.5
5.6
20.4
3.9
6.6
3.4
5.1
3.8
8.6
5.3
(0.3)
4.3
7.6
7.5
7.6
3.8
7.0
6.5
5.9
6.5
21.4
4.9
5.5
3.8
5.2
5.2
6.4
4.4
(0.4)
3.7
7.4
6.0
6.5
10.0
6.5
6.2
5.8
5.8
9.2
4.5
6.2
5.8
5.2
4.8
9.5
5.3
3.9
6.2
7.5
7.4
8.4
3.9
7.3
6.4
6.2
7.5
3.4
3.7
5.7
(4.2)
5.0
4.40 - 4.80
5.30 - 5.70
7.80 - 8.20
5.90 - 6.30
5.40 - 5.90
4.60 - 5.00
2.80 - 3.20
2.10 - 2.50
5.90 - 6.30
6.50 - 6.90
7.40 - 7.80
7.30 - 7.70
9.70 - 10.10 6.90 - 7.30
8.50 - 8.90
7.80 - 8.20
3.90 - 4.30 9.70 - 10.10
6.80 - 7.20
6.50 - 6.90
6.10 - 6.50
6.30 - 6.70
5.50 - 5.90
5.90 - 6.30
6.20 - 6.60
6.90 - 7.30
25.10 - 25.50 6.60 - 7.00
4.70 - 5.10
4.30 - 4.70
6.00 - 6.40
6.20 - 6.60
3.80 - 4.20
1.90 - 2.30
5.10 - 5.50
5.10 - 5.50
4.80 - 5.20
7.50 - 7.90
4.40 - 4.80
2.70 - 3.10
6.30 - 6.70
7.50 - 7.90
7.80 - 8.20
8.30 - 8.70
7.70 - 8.10
6.80 - 7.20
6.10 - 6.50
5.70 - 6.10
6.60 - 7.00
8.90 - 9.30
4.40 - 4.80
6.10 - 6.50
1.60 - 2.00
5.10 - 5.50
92
IIIp
5.30 - 5.70
2017p
5.50 - 5.90
5.40 - 5.80
5.20 - 5.60
5.10 - 5.50
4.30 - 4.70
3.50 - 3.90
4.40 - 4.80
4.10 - 4.50
7.50 - 7.90
5.90 - 6.30
5.80 - 6.20
5.60 - 6.00
5.30 - 5.70
17.00 - 17.40 11.90 - 12.30 11.00 - 11.40
13.80 - 14.20 12.30 - 12.70 11.70 - 12.10
Indikator Makroekonomi Daerah
Inflasi IHK (%,yoy)
Provinsi Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Timur
Provinsi Kalimantan Utara
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Tengah
Provinsi Gorontalo
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Maluku
Provinsi Maluku Utara
Provinsi Papua
Provinsi Papua Barat
Provinsi Bali
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Provinsi Nusa Tenggara Timur
93
2015
4.43
5.79
4.74
5.15
5.11
3.42
4.48
5.07
2.27
4.17
4.30
5.56
6.15
4.52
3.59
5.34
2.75
3.43
4.92
I
4.84
4.62
4.56
6.04
4.94
4.71
5.70
5.19
4.75
6.03
5.74
4.90
2.22
5.45
3.76
5.53
3.59
4.34
5.04
Tahun Dasar 2010
2016
II
III
IV
4.26 3.47 2.90
5.25 3.82 3.66
3.13 3.18 2.11
5.88 4.73 3.57
4.37 3.70 3.40
6.16 4.56 4.31
4.30 3.07 2.94
4.29 3.42 2.23
4.12 3.28 2.69
4.21 4.08 1.49
4.89 2.77 1.30
3.67 2.28 0.35
1.82 2.90 3.26
3.87 4.05 1.91
5.22 4.72 3.22
3.95 3.99 3.62
2.96 3.18 3.23
4.39 2.94 2.60
5.02 3.07 2.48
2016
2.90
3.66
2.11
3.57
3.40
4.31
2.94
2.23
2.69
1.49
1.30
0.35
3.26
1.91
3.22
3.62
3.23
2.60
2.48
I
3.76
5.02
4.10
4.02
3.89
4.34
3.42
4.10
2.25
4.05
2.73
3.93
3.97
2.41
3.90
3.66
4.40
2.58
2.95
2017
IIp
4.30 - 4.70
4.90 - 5.30
5.20 - 5.60
4.90 - 5.30
4.60 - 5.00
3.40 - 3.80
4.90 - 5.30
4.90 - 5.30
2.70 - 3.10
5.40 - 5.80
2.70 - 3.10
4.70 - 5.10
3.60 - 4.00
3.50 - 3.90
4.10 - 4.50
5.00 - 5.40
4.70 - 4.90
3.90 - 4.30
3.10 - 3.50
IIIp
4.50 - 4.90
4.60 - 5.00
4.60 - 5.00
4.80 - 5.20
4.90 - 5.30
5.60 - 6.00
4.90 - 5.30
4.40 - 4.80
1.90 - 2.30
6.30 - 6.70
2.80 - 3.20
4.70 - 5.10
4.70 - 5.10
3.60 - 4.00
4.20 - 4.60
3.50 - 3.90
3.20 - 3.60
5.10 - 5.50
5.00 - 5.40
2017p
4.70 - 5.10
4.90 - 5.30
5.30 - 5.70
5.10 - 5.50
4.50 - 4.90
4.70 - 5.10
4.70 - 5.10
4.80 - 5.20
2.80 - 3.20
6.50 - 6.90
3.80 - 4.20
4.70 - 5.10
3.90 - 4.30
4.20 - 4.60
5.50 - 5.90
4.20 - 4.60
3.40 - 3.80
4.60 - 5.20
4.70 - 5.10
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
94
Dody Budi Waluyo
Noor Yudanto
Gunawan Wicaksono
Retno Muhardini
Maximilian T. Tutuarima
Neva Andina
Gaffari Ramadhan
Ragil Misas Fuadi
Hesti Werdaningtyas
Diah Ratnasari
Warsono
Rizki Fitrama
Erwin Syafi’i
Evy Marya Deswita Siburian
Andree Breitner Makahinda
Download