UPAYA POSITIVISASI HUKUM PIDANA ISLAM BIDANG PERKAWINAN DALAM RUU HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA Oleh : M. TOYEB PENDAHULUAN Indonesia bukan negara agama, namun juga bukan negara sekuler yang memisahkan agama dalam kehidupan bernegara. Keberadaan agama di Indonesia dijamin dan dilindungi oleh negara untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan konstitusi. Islam sebagai salah satu agama resmi diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke VII masehi dan sekarang menjadi agama yang mayoritas dianut oleh bangsa Indonesia. Berdasarkan jaminan konstitusi tersebut, maka umat Islam Indonesia dapat mengamalkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Jaminan dan perlindungan oleh negara tersebut terdapat dalam ketentuan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen pasal 29 ayat (2) sebagai berikut : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-msing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” 1 Sebagai agama yang mayoritas dianut oleh bangsa Indonesia, tentu keberadaanya memberikan pengaruh dan warna dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di bidang hukum misalnya, keberadaan hukum Islam banyak mewarnai hukum nasional. Dra. Chuzaimah Batubara, MA menyatakan dalam tulisannya bahwa sejak masa orde baru hingga masa reformasi sekarang ini dapat dikatakan bahwa secara politis-yuridis, Hukum Islam telah mengalami kemajuan dengan adanya keberpihakan pemerintah terhadap umat Islam dengan melegalisasi Hukum Islam menjadi hukum positif yang merupakan bagian 1 ) Prof.Dr.Drs.H. Muhammad Amin Suma,MA.,SH.,MM., Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta, hal. 69. dari hukum nasional. Akan tetapi, legislasi Hukum Islam masih sebatas di wilayah hukum privat yang berkenaan dengan ubudiyah dan mu’amalah (perdata Islam) yang diantaranya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Syari’ah dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. sedangkan untuk wilayah Hukum Publik sampai sekarang hanya dalam bentuk wacana.2 Selanjutnya terbit pula Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan pertama Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Perkembangan terakhir yang menarik bagi kita semua terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia adalah dengan adanya usaha pemerintah untuk menjadikan hukum terapan Kompilasi Hukum Islam sebagai Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama. Pada Bab XXI dalam rancangan undang-undang ini dari pasal 143 hingga pasal 151 diatur tentang ketentuan pidana terhadap beberapa hal di bidang perkawinan. Sesuatu yang sama sekali baru dalam perkembangan Hukum Islam di Indonesia berkaitan dengan hukum publik. Padahal menurut A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad sebagaimana diungkap oleh Dra. Chuzaimah Batubara, MA., bahwa upaya untuk mengkodifikasi hukum pidana Islam ke dalam hukum nasional telah dilakukan ketika Menteri Kehakiman dan HAM (Kabinet Gotong Royong) Yusril Ihza Mahendra mengusulkan masalah kodifikasi Hukum Islam ke dalam atau menjadi hukum nasional. Perdebatan pro-kontra lahir dari berbagai kalangan, baik dari para politisi, praktisi maupun ahli Hukum Islam. Ketidakserasian pendapat dapat 2) Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Msyarakat Madani (PPHIMM), Mimbar Hukum dan Peradilan, Nomor 68, hal. 156-157 dikatakan salah satu penyebab tidak terkodifikasi dan terlegalisasinya Hukum Pidana Islam ke dalam hukum nasional, selain faktor-faktor lainnya. 3 Mahfud MD mengatakan bahwa keberadaan Hukum Islam dalam sistem hukum nasional bersifat dinamis karena terkait dengan kehidupan beragama mayoritas rakyat Indonesia. Perdebatan terjadi di seluruh wilayah hukum standing dengan sifat ajaran yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk hukum perkawinan Islam. Perdebatan itu telah terjadi sejak masa sebelum kemerdekaan hingga sekarang ini. Perdebatan itu melahirkan konstruksi dasar hubungan antara negara dan agama, dalam hal ini khususnya antara Hukum Islam dengan hukum nasional. Konstruksi inilah yang menjadi pedoman bersama segenap komponen bangsa dalam pembangunan hukum nasional, termasuk dalam memposisikan Hukum Islam. 4 PERMASALAHAN Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai apakah materi hukum bidang perkawinan yang ada pada Bab XXI tentang ketentuan pidana sudah layak untuk dikodifikasikan, kemudian bagaimana upaya politisi, praktisi dan ahli Hukum Islam dalam memperjuangkan Hukum Pidana Islam Bidang Perkawinan ini menjadi hukum positif? PEMBAHASAN 1. Sejarah Politik Hukum Islam di Indonesia Ketika kita berbicara tentang Hukum Islam di Indonesia, maka tidak terlepas dari pembicaraan sejarah hadirnya agama Islam di Nusantara. Pembicaraannya sangat kompleks dan tentu keberadaannya seiring perkembangan kerajaan Islam yang ada pada saat itu. Selain perjuangan politik para Ulama, pada kenyataanya secara sosiologis dan kultural, Hukum Islam merupakan hukum yang telah mengakar di masyarakat dalam budaya masyarakat, karena pada saat itu masyarakat banyak 3) 4) Ibid hal.157 Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Varia Peradilan, Tahun XXV No. 290 Januari 2009 hal.20 menganut agama Islam dan agama Islam mewajibkan pemeluknya untuk melaksanakan kewajiban –kewajiban agama. Pada masa penjajah Belanda keberadaan Hukum Islam mengalami pasang surut. Dr. Chuzaimah Batubara, MA., mengatakan bahwa pada zaman VOC (1602-1880) Hukum Islam dalam aspek hukum perdata telah mendapat legalitas, dalam hal ini merupakan kelanjutan dari statuta Batavia, yang menegaskan bahwa hukum kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam harus menggunakan Hukum Islam, yaitu hukum yang biasanya dipakai oleh rakyat sehari-hari. Meskipun awal kedatangan dari Belanda tidak ada hubungannya dengan agama, namun dalam perkembangannya demi kepentingan penjajah, tidak bisa dihindari pergesekan dengan masalah Hukum Islam, sehingga ketika pemberlakuan hukum bagi bangsa Indonesia, berlakulah teori, yaitu Receptio in Complexue yang digagas oleh Van Den Berg (1845-1927). 5 Abdul Manan dalam salah satu bukunya mengatakan bahwa untuk menghambat perkembangan Hukum Islam di Nusantara, maka penjajah Belanda melalui ahlinya Snouk Horgronye mencetuskan Teori Resepsi yang berpandangan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat masing-masing. Hukum Islam dapat diberlakukan apabila telah diresepsi atau diterima oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada atau tidaknya Hukum Islam. 6 Sebagai akibat kebijakan politik penjajah Belanda terhadap keberadaan Hukum Islam, maka penjajah Belanda mengeluarkan beberapa aturan berkaitan dengan keberadaan Hukum Islam antara lain : 1. Resolutie der indiesche Regeering, mulai diterapkan pada tanggal 25 Mei 1760. 2. Staatsblad 1882 nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Drs. Darmansyah Hsb, SH mengatakan 5) 6 ) Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Msyarakat Madani (PPHIMM), Op. cit. hal.165 Dr.H.Abdul Manan,SH.,S.Ip.,M.Hum, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. hal.293-294 Pengadilan Agama pada saat itu mempunyai kewenangan menangani perkara Hukum Keluarga, Hukum Warisan, Hukum Wakaf dan Shadaqah dan Hukum Pidana dalam hal-hal tertentu.7 3. Staatsblad 1937 Nomor 116 dan 610, Drs. Mohd. Abdu A. Ramly dalam tulisannya mengatakan bahwa penjajah Belanda memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menangani perkaraperkara di sekitar nikah, talak dan ruju’, termasuk mahar dan pembagian nafkah bagi suami kepada istrinya. 8 4. Staatsblad 1937 Nomor 638 dan 639 (Peraturan tentang Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residen Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Terhadap keberadaan teori resepsi yang diterapkan oleh Penjajah Belanda, banyak bermunculan teori sebagai reaksi dari teori resepsi Snouck Hurgronje, diantaranya adalah Teori Receptie Exit, Teori Receptio A Contrario, Teori Eksistensi dan Teori Pembaharuan. Pada masa jajahan Jepang, menurut Taufiq Hamami dalam tulisannya mengatakan bahwa selama kekuasaan Jepang, tidak ada perubahan terhadap eksistensi Peradilan Agama (sebagai lembaga yang diberi kewenangan menyelesaikan masalah-masalah umat Islam dan Hukum Islam, penulis). Hal ini lebih diakibatkan karena Jepang sibuk menghadapi peperangan di mana-mana.9 Dra. Hj. Husnaini A.,SH., M.Ag., mengatakan bahwa sewaktu pergantian kekuasaan dari Belanda kepada Jepang, pemuka agama Islam berupaya menjadikan moment tersebut untuk memperoleh kembali wewenang Pengadilan Agama yang telah dialihkan oleh Belanda ke Pengadilan Umum. Pada saat itulah Supomo menyampaikan laporannya tentang Sooryoo Hooin (Pengadilan Agama) dan hukum waris yang intinya menentang pemulihan kembali wewenang Pengadilan Agama tentang waris dan eksekusi. Setidak-tidaknya supomo 7) 8) 9) Al Hikmah & DITBINPERA Islam, Mimbar Hukum No. 59 Thn.XIV 2003 hal. 27-28 Al Hikmah & DITBINPERA Islam, Mimbar Hukum No. 64 Thn.XV 2004 hal. 33 Mimbar Hukum No. 59, Op cit. hal. 21 telah dapat meyakinkan Jepang bahwa masalah tersebut sangat kompleks dan sebaliknya ditangguhkan sampai Indonesia merdeka. Itulah sebabnya pada zaman Jepang Pengadilan Agama (sebagai lembaga yang diberi kewenangan menyelesaikan masalah-masalah umat Islam dan Hukum Islam, penulis), tidak mengalami kemajuan. 10 Pada masa kemerdekaan, eksistensi Hukum Islam dalam kebijakan pemerintah saat itu mengacu kepada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan “Segala badan negara peraturan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini”. 11 Jadi sejak kemerdekaan Indonesia hingga dikeluarkannya UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989, pemerintah cukup memberikan apresiasi terhadap keberadaan Hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional. Menurut H. Ichtijanto SA., sebagaimana diungkap oleh Drs. Darmansyah Hsb, SH., mengatakan bahwa ada beberapa peraturan perundangundangan yang Hukum Islam ada di dalam hukum nasional, yaitu : a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 jo Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1970. d. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961. e. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954. 12 Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 29 Desember 1989, merupakan 10 ) 11 ) 12 ) Al Hikmah & DITBINPERA Islam, Mimbar Hukum Nomor 66 Thn. XVI 2005 September-Oktober, hal. 11 Drs.C.S.T. Kansil, SH,Pancasila dan UUD 1945, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980, hal. 333 Mimbar Hukum Nomor 64, hal. 35 babak baru pemberlakuan Hukum Islam di negeri ini dengan memberikan kewenangan secara penuh kepada Peradilan Agama sekaligus sejajar dengan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Bagir Manan berkomentar sebagaimana diungkap oleh Drs. Darmansyah Hsb, SH bahwa Peradilan Agama sekarang ini tidak lagi memperjuangkan eksistensinya secara legal, akan tetapi sekarang ini Peradilan Agama itu adalah memperjuangkan eksistensinya sebagai sebuah kenyataan. 13 Setelah lahirnya Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut, maka pemerintah semakin terbuka dan mengapresiasi Hukum Islam sebagai salah satu hukum yang memberikan kontribusi besar dalam melahirkan aturan perundang-undangan nasional yang ruhnya diwarnai oleh Hukum Islam. Peraturan perundang-undangan yang Hukum Islam ada di dalamnya antara lain : 1. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengakui bank berdasarkan syari’ah. 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. 5. Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. 6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan pertama Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. 9. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah 13 ) Mimbar Hukum Nomor 64, hal. 39 10. Undang-Undang 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989. Walaupun telah banyak aturan perundang-undangan nasional yang diwarnai oleh Hukum Islam, namun baru sebatas hukum privat, sedangkan hukum publik yang islami dalam hukum nasional belum ada. 2. Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Kehadiran Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawianan seakan-akan mengangkat kembali semangat untuk mengkodifikasikan Hukum Pidana Islam, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya untuk mengkodifikasikan Hukum Pidana Islam ke dalam hukum nasional seperti telah diungkap pada awal tulisan ini. Seperti upaya kodifikasi Hukum Pidana Islam sebelumnya, tentu Rancangan Undang-Undang Materiil Peradilan Agama ini juga pasti banyak pro dan kontra di kalangan para politisi, praktisi maupun ahli Hukum Islam. Padahal jika kita meneliti kembali isi ketentuan pidana dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama yang diajukan oleh pemerintah, hanya 8 pasal saja yang mengatur tentang aturan pidana dan semuanya hanya berkaitan dengan bidang perkawinan. Adapun ketentuan pidana dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama terdapat pada pasal 143 sampai dengan pasal 151. Ketentuan pidana dimaksud adalah perkara yang terkait dengan : 1. Pelaksanaan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah. 2. Perkawinan Mut’ah, perkawinan poligami tanpa izin pengadilan. 3. Mentalak istri tidak di depan sidang pengadilan. 4. Berzina dengan seorang perempuan yang belum kawin hingga hamil, sementara pelaku laki-laki menolak mengawininya. 5. Pelanggaran kewajiban oleh Pegawai Pencatat Nikah, 6. Siapapun yang bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat nikah atau sebagai wali hakim. 7. Siapapun yang tidak berhak menjadi wali nikah, tetapi dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah. Barang siapa yang melanggar ketentuan pidana tersebut, maka menurut Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama akan dikenai sanksi pidana berupa: 1. Pidana denda. 2. Pidana kurungan. 3. Pidana penjara. Ketentuan Pidana dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Pasal Bunyi Pasal Keterangan 143 Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Setiap orang yang melakukan perkawinan mut’ah sebagaimana dimaksud pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun, dan perkawinannya batal karena hukum. Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta Ketentuan ini bagi pelaku akad nikah antara mempelai lakilaki dengan wali yang melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pegawai Pencatat Nikah, pelanggara tindak pidana n terhadap pasal ini termasuk kategori tindak pidana pelanggaran. 144 145 Ketentuan dalam pasal ini merupakan tindak lanjut dari pasal 39 rancangan undangundang ini. tindak pidana terhadap pasal ini termasuk tindak pidana kejahatan. Ketentuan dalam pasal ini berlaku bagi sumai yang hendak berpoligami dan merupakan tindak lanjut dari pasal 52 ayat (1) rancangan undang-undang ini. tindak pidana terhadap pasal ini termasuk tindak pidana pelanggaran. 146 147 148 149 150 rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Setiap orang yang menceraikan istrinya tidak di depan sidang pengadilan sebagaimana dalam pasal 119 dipidana dengan pidana denda paling banya Rp. 6.000.000,(enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang ia menolak mengawininya dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan. Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun Setiap orang yang tidak berhak sebagai wali nikah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, dan dengan sengaja bertindak sebagai Ketentuan dalam pasal ini untuk menjaga kemaslahatan dan menjaga hak-hak istri yang dicerai suami. rancangan undang-undang ini. tindak pidana terhadap pasal ini termasuk tindak pidana pelanggaran. Ketentuan dalam pasal ini merupakan tindak lanjut dari pasal 47 rancangan undangundang ini. tindak pidana terhadap pasal ini termasuk tindak pidana kejahatan. Ketentuan ini berlaku bagi Pejabat Pencatat Nikah yang tidak menjalankan kewajibannya untuk mencatatkan setiap peristiwa perkawinan, tindak pidana terhadap pasal ini termasuk kategori tindak pidana pelanggaran. Ketentuan ini berlaku bagi oknum yang bertindak seolaholah Pejabat Pencatat Nikah atau menjadi wali hakim, tindak pidana terhadap pasal ini termasuk tindak pidana kejahatan. Larangan dalam pasal ini merupakan konsekuensi tidak sahnya perkawinan yang dilakukan oleh bukan wali. tindak pidana terhadap pasal wali nikah dipidana dengan ini termasuk tindak pidana pidana penjara paling lama kejahatan. 3 (tiga) tahun 3. Urgensi Legalisasi Ketentuan Pidana Dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Dra. Chuzaimah Batubara, MA., dalam tulisannya mengatakan bagi umat Islam, tidak ada pilihan lain selain meyakini bahwa menjalankan Hukum Islam merupakan bagian dari menjalani agamanya secara kaffah. Hukum Islam, salah satunya hukum pidana Islam adalah perangkat yang paling sesuai dalam mewujudkan keadilan dan menjamin kebutuhan dasar hidup manusia (maqashidusy syari’ah al-khamsah, dlaruriyah), yakni melindungi agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Selain itu, Hukum Islam menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajjiyah. Ini mencakup hal-hal penting bagi pengaturan berbagai fasilitas utnuk penduduk. Terakhir, Hukum Islam akan memberikan perbaikan di berbagai segi kehidupan, yaitu menjadikan manusia mampu mengatur urusan hidup lebih baik dan menghiasi kehidupan sosialnya sebagai kebutuhan tersier atau tahsiniyah. 14 Berdasarkan maqasidusy syari’ah tersebut di atas, bagi umat Islam legalisasi terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan kebutuhan Hukum Materiil yang sangat mendesak diberlakukan untuk : 1. Menjaga terpenuhinya tujuan syariat dengan melindungi kebutuhan dasar hidup manusia, yakni agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. 2. Kemaslahatan umum 3. Mencegah kerusakan dan kerugian di masyarakat 14 ) Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Msyarakat Madani (PPHIMM), Op. cit. hal.162-163 4. Secara keseluruhan terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama adalah demi kepastian hukum di bidang perkawinan dan memenuhi kebutuhan para hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara. Oleh karena itu harus ada upaya-upaya aktif, kontineu dan istiqamah dari para politisi, praktisi dan ahli Hukum Islam untuk meyakinkan publik di negeri ini akan pentingnya legalisasi Hukum Pidana Islam bidang perkawinan dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama, sehingga RUU Hukum Materiil Peradilan Agama khususnya ketentuan pidana bidang perkawinan dapat diterima dan disahkan menjadi undang-undang. KESIMPULAN Dari uraian yang telah diutarakan, penulis berkesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam kaitannya dengan politik hukum, upaya positivisasi ketentuan pidana dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama merupakan kepercayaan pihak pemerintah pada Hukum Pidana Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional yang menurut Mahfud MD15 hukum agama sebagai sumber hukum diartikan sebagai sumber hukum materiil (sumber bahan hukum) dan bukan harus menjadi hukum formal (dalam bentuk tertentu sebagai peraturan perundang-undangan). 2. Bagi umat Islam dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama menjadi undang-undang merupakan perjuangan yang panjang untuk menegakkan kembali hukum Islam, terutama tentang Hukum Pidana Islam yang sudah pernah diberlakukan di negeri ini dahulu pada masa kerajaan Islam dan pada awal masa penjajahan Belanda sesuai ketentuan Staatsblad 1882 Nomor 152 berdasarkan teori Receptio in Complexu. 15 ) Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Varia Peradilan, op cit. hal.26 3. Diperlukan kerjasama yang sungguh-sungguh umat Islam di Indonesia khususnya politisi, praktisi dan ahli Hukum Islam, ormas Islam beserta segenap muslim Indonesia untuk memperjuangkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama. SUMBER PUSTAKA 1. Al Hikmah & DITBINPERA Islam, Mimbar Hukum, No. 59 Thn.IV 2003. 2. Al Hikmah & DITBINPERA Islam, Mimbar Hukum, No. 64 Thn.V 2004. 3. Al Hikmah & DITBINPERA Islam, Mimbar Hukum, No. 66 Thn.VI 2005. 4. Al Hikmah & DITBINPERA Islam, Mimbar Hukum, No. 68 Thn.VI 2005. 5. Dr. H. Abdul Manan, SH., S.IP., M.Hum, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Goup, 2006. 6. Drs. C.S.T. Kansil, SH, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta Pradnya Paramita, 1980. 7. Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Varia Peradilan, Majalah Hukum ThnXXV No.290, Jakarta, Januari 2010. 8. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, M.A., S.H.,M.M., Himpunan UndangUndang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2004.