Merasakan Manisnya Iman Santosa ‘Irfaan *) *) Penulis adalah dosen tetap di Jurusan Hukum Islam (Syari’ah) STAIN Purwokerto, sekarang sedang studi pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Abstract: hadis studies about the sweetness of faith with eidetic studies pattern and practical studies will lead us to understanding that hadis elaboration can be very extensive. That we often found till now is more emphasizing on Practical studies, because it is the final point. Whereas eidetic studies will became basis to urge reader or audience of speech or Islamic informal education (pengajian) in order that they easier to receive and strengthening faith, and hopefully can manifested in daily life, with paradise as its stimuli (confirmative studies). Keywords: hadis studies, faith, eidetic studies, practical studies, confirmative studies. Pengantar Hadis dan sunnah secara struktural merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah al-Qur’an. Secara umum diketahui bahwa Hadis maupun sunnah berfungsi sebagai penjelas/perinci atas kandungan al-Qur’an yang global (bayân) atau pengecualian (takhshîsh) terhadap keumuman alQur’an atau pembatasan (taqyîd) terhadap kemutlakan al-Qur’an atau menguatkan kandungan alQur’an dan menjelaskan yang tidak secara eksplisit ditegaskan.1) Upaya pendalaman terhadap Hadis harus dilakukan lebih berhati-hati karena dalam rangkaian periwayatan Hadis, ada yang mutawâtir, 2) sebagaimana penyampaian (transformasi) al-Qur’an yang menurut akal sehat dan kebiasaan mustahil para penyampai berita sepakat untuk bohong. Namun terkadang ada juga penyampaian berita Hadis secara ahad, 3) yang hanya disampaikan oleh orang per orang. Penyampaian Hadis oleh orang per orang inilah yang harus lebih dikritisi dan dicermati karena bukan mustahil ada peluang bohong atau tidak benar. Pemahaman terhadap Hadis, tidak cukup hanya pada rangkaian pembawa berita, tetapi juga terhadap kandungan isi teks atau matan.4) Untuk mengetahui kandungan Hadis, harus lebih dahulu mengerti susunan redaksi (matan) Hadis. Oleh karenanya studi matan Hadis menjadi semakin penting. Lebih-lebih di luar kajian akademik, masyarakat umum lebih memperhatikan matan (teks) Hadis, daripada periwayat, apalagi rangkaian pembawa berita (sanad). 5) Kedua aspek, sanad dan matan, diperlukan dan wajib agar pendalaman studi Hadis tidak salah arah dan sasaran. Tulisan ini akan mencoba untuk menelaah suatu Hadis yang berhubungan dengan dasar agama Islam, yaitu iman. P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 1 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 Kritik Eiditis Analisis Isi 1. Kajian Linguistik Pada analisis ini akan diungkapkan lebih dulu makna bahasa pada Hadis Shahih Bukhari, Kitab alIman, nomor Hadis: 15. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﻤﺜﻨﻰ ﻗﺎل ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﻮهﺎب اﻟﺜﻘﻔﻰ ﻗﺎل ﺣﺪﺛﻨﺎ أﻳﻮب ﻋﻦ أﺑﻲ ﻗﻼﺑﺔ ﻋﻦ أﻧﺲ ﻦ ﻓﻴﻪ وﺟﺪ ﺣﻼوة ّ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﺛﻼث ﻣﻦ آ ﺐ اﻟﻤﺮء ﻻ ﻳﺤﺒّﻪ إﻻ ﷲ وأن ّ اﻹﻳﻤﺎن أن ﻳﻜﻮن اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ أﺣﺐ إﻟﻴﻪ ﻣﻤّﺎ ﺳﻮاهﻤﺎ و أن ﻳﺤ ( ﻳﻜﺮﻩ أن ﻳﻌﻮد ﻓﻲ اﻟﻜﻔﺮ آﻤﺎ ﻳﻜﺮﻩ أن ﻳﻘﺬف ﻓﻲ اﻟﻨﺎر6. Artinya: Tiga hal yang barang siapa memilikinya, maka dia akan memperoleh manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, dia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan dia benci kembali dalam kekufuran sebagaimana dia benci kalau dicampakkan ke dalam neraka. Arti kata-kata: ﺛﻼث = tiga, sebagai subjek (mubtada`). = ﻣﻦsiapa atau barang siapa. ﻦ ّ = آyaitu ada atau terdapat secara sempurna. = وﺟﺪmendapatkan atau memperoleh. = ﺣﻼوة اﻹﻳﻤﺎ نmanisnya iman atau lezatnya kepercayaan, sebagai isti`arah takhyiliyyah (kiasan yang bersifat imajinasi) dan juga sebagai talmih (isyarat yang berupa sindiran). = أن ﻳﻜﻮن اﷲ ورﺳﻮﻟﻪmenjadikan Allah dan Rasul-Nya. = أﺣﺐ إﻟﻴﻪlebih dia cintai, yaitu mendahulukan suatu hal sesuai dengan akal sehat dan nurani, meski bisa bertentangan dengan kepentingan pribadi. Juga P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 2 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 = ﻣﻤّﺎ ﺳﻮاهﻤﺎdaripada selain keduanya (Allah dan Rasul-Nya), bukan karena digunakan untuk memperluas arti yang sesuatu yang berakal ataupun tidak. ﺐ اﻟﻤﺮء ﻻ ﻳﺤﺒّﻪ إﻻ ﷲ ّ = أن ﻳﺤdia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah. = أن ﻳﻜﺮﻩ أن ﻳﻌﻮد ﻓﻲ اﻟﻜﻔﺮdia benci jika kembali dalam kekufuran (mengingkari iman kepada Allah). = آﻤﺎsebagaimana. = ﻳﻜﺮﻩ أن ﻳﻘﺬف ﻓﻲ اﻟﻨﺎرdia benci manakala dicampakkan api (neraka) 2. Kajian Tematis Komprehensif Untuk memperoleh arti Hadis yang sama atau minimal mendekati kesamaan, perlu dipertimbangkan dan dibandingkan dengan teks-teks Hadis lain yang mempunyai tema yang sama atau relevan dengan Hadis tentang manisnya iman agar didapatkan pemahaman yang komprehensif. Hal ini dilakukan melalui Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaihi, penelusuran CD ROM Mausû‘ah al-Hadîts al- Syarîf atas entri kata iman dan Sunan an-Nasa’iy, Jilid V, maka ditemukan setidaknya ada 4 (empat) Hadis. ﻦ ﻓﻴﻪ وﺟﺪ ّ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﺛﻼث ﻣﻦ آ:ﺣﺪﺛﻨﺎ أﻧﺲ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﺐ اﻟﻤﺮء ﻻ ّ ﺐ إﻟﻴﻪ ﻣﻤّﺎ ﺳﻮاهﻤﺎ و أن ﻳﺤ ّ ﻦ ﺣﻼوة اﻹﻳﻤﺎن ﻣﻦ آﺎن اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ أﺣ ّ ﺑﻬ ﻳﺤﺒّﻪ إﻻ ﷲ و أن ﻳﻜﺮﻩ أن ﻳﻌﻮد ﻓﻲ اﻟﻜﻔﺮ ﺑﻌﺪ أن أﻧﻘﺬﻩ اﷲ ﻣﻨﻪ آﻤﺎ ﻳﻜﺮﻩ أن ﻳﻘﺬف ﻓﻲ .اﻟﻨﺎر Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia telah berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Tiga perkara, jika terdapat di dalam diri seseorang maka dia akan memperoleh kemanisan iman: “Mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi kecintaannya terhadap sesuatu yang lain, mencintai seseorang P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 3 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 semata-mata hanya karena Allah, tidak suka kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkan dirinya )dari kekafiran sebagaimana dia merasa tidak suka dicampakkan ke dalam siksa neraka.”7 ﺣﺪﺛﻨﺎ إﺳﺤﺎق ﺑﻦ إﺑﺮاهﻴﻢ و ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ أﺑﻲ ﻋﻤﺮ و ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺑﺸﺎر ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻋﻦ ﻰ ﻗﺎل إﺑﻦ أﺑﻲ ﻋﻤﺮ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﻮهﺎب ﻋﻦ أﻳﻮب ﻋﻦ أﺑﻲ ﻗﻼﺑﺔ ﻋﻦ أﻧﺲ ﻋﻦ اﻟﺜﻘﻔ ّ ﻦ ﺣﻼوة اﻹﻳﻤﺎن ﻣﻦ آﺎن اﷲ ﻦ ﻓﻴﻪ وﺟﺪ ﺑﻬ ّ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﺛﻼث ﻣﻦ آ ّ ﺐ اﻟﻤﺮء ﻻ ﻳﺤﺒّﻪ إﻻ ﷲ و أن ﻳﻜﺮﻩ أن ﻳﻌﻮد ﻓﻲ ﺐ إﻟﻴﻪ ﻣﻤّﺎ ﺳﻮاهﻤﺎ و أن ﻳﺤ ّ ورﺳﻮﻟﻪ أﺣ ّ اﻟﻜﻔﺮ ﺑﻌﺪ أن أﻧﻘﺬﻩ اﷲ ﻣﻨﻪ آﻤﺎ ﻳﻜﺮﻩ أن ﻳﻘﺬف ﻓﻲ اﻟﻨﺎر. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﻤﺜﻨﻰ و اﺑﻦ ﺑﺸﺎر ﻗﺎﻻ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺷﻌﺒﺔ ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺖ ﻗﺘﺎدة ﻳﺤﺪث ﻋﻦ أﻧﺲ ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﺛﻼث ﺐ اﻟﻤﺮء ﻻ ﻳﺤﺒّﻪ إﻻ ﷲ و ﻣﻦ آﺎن ﻦ ﻓﻴﻪ وﺟﺪ ﻃﻌﻢ اﻹﻳﻤﺎن ﻣﻦ آﺎن ﻳﺤ ّ ﻣﻦ آ ّ ﺐ إﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺐ إﻟﻴﻪ ﻣﻤّﺎ ﺳﻮاهﻤﺎ و ﻣﻦ آﺎن أن ﻳﻠﻘﻲ ﻓﻲ اﻟﻨﺎر أﺣ ّ اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ أﺣ ّ أن ﻳﺮﺟﻊ ﻓﻲ اﻟﻜﻔﺮ ﺑﻌﺪ أن أﻧﻘﺬﻩ اﷲ ﻣﻨﻪ ﺣﺪﺛﻨﺎ إﺳﺤﺎق ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮر أﻧﺒﺄﻧﺎ اﻟﻨﻀﺮ ﺑﻦ ﺷﻤﻴﻞ أﻧﺒﺄﻧﺎ ﺣﻤّﺎد ﻋﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﻋﻦ أﻧﺲ ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﺣﺪﻳﺜﻬﻢ ﻏﻴﺮ أﻧّﻪ ﻗﺎل ﻣﻦ أن ﻳﺮﺟﻊ ﻳﻬﻮدﻳﺎ أو ﻧﺼﺮاﻧﻴﺎ. ﻋﻦ ﻗﺘﺎدﻩ ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺖ أﻧﺲ اﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ رﺿﻲ اﷲ ﻳﺤﺪث ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﻞ وﻣﻦ آﺎن اﷲ ﺐ اﻟﻤﺮء ﻻ ﻳﺤﺒّﻪ إﻻ ﷲ ﻋ ّﺰ و ﺟ ّ ﻦ ﺣﻼوة اﻹﻳﻤﺎن ﻣﻦ أﺣ ّ ﻦ ﻓﻴﻪ وﺟﺪ ﺑﻬ ّ ﺛﻼث ﻣﻦ آ ّ ﺐ إﻟﻴﻪ ﻣﻦ أن ﺐ إﻟﻴﻪ ﻣﻤّﺎ ﺳﻮاهﻤﺎ أن و ﻣﻦ آﺎن أن ﻳﻘﺬف ﻓﻲ اﻟﻨﺎر اﺣ ّ ﻞ ورﺳﻮﻟﻪ أﺣ ّ ﻋ ّﺰ و ﺟ ّ .ﻳﺮﺟﻊ إﻟﻰ اﻟﻜﻔﺮ ﺑﻌﺪ أن أﻧﻘﺬﻩ اﷲ ﻣﻨﻪ Dari Qatadah dari Anas RA berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang berada di dalam tiga perkara ini, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu: bila ia mencintai seseorang hanya karena Allah, bila Allah dan Rasul-Nya adalah sesuatu yang paling ia cintai, dan bila ia lebih memilih dimasukkan Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 4 P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan ke dalam api daripada ia harus kembali kepada kekufuran, setelah Allah menyelamatkan dari kekufuran itu.” 8 Dari 4 (empat) Hadis sebagai uji perbandingan dan komprehensif, ada sedikit susunan kalimat yang berbeda: a. Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih, No. 12: b. CD ROM Mawsu‘ah al-Hadits al-Syarif dengan entri kata iman, Shahih Muslim, 2, al-Iman, al- Hadits: 1). No. 60: 2). No. 61: c. Terjemah Sunan an-Nasa’iy, Jilid V, No. 4832: Dari kajian di atas, memang ada perbedaan redaksi dalam matan Hadis, hingga ada penambahan kata-kata pada Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih, no. 12, Hadis Muslim nomor 60 dan 61 (CD ROM), dan Terjemah Sunan an-Nasa’iy, Jilid V, nomor 4832. Meskipunpun demikian, keberadaan kata-kata atau kalimat yang berbeda itu, secara esensial artinya tetap sama. Jadi, tidak ada ikhtilâf (perbedaan maknawi) dan ta‘ârudl (pertentangan). Oleh karena itu, meskipun ada sedikit variasi, tidak terlalu gegabah untuk dapat disimpulkan Hadis tersebut diriwayatkan dengan jalan bil ma‘nâ (masyhûr ma‘nawy). 3. Kajian Konfirmatif Pada kajian konfirmatif ini disebabkan Hadis maupun Sunnah hanyalah sebagai sumber kedua dan berperan sebagai penjelas, maka harus dicari sumber pertamanya, yaitu ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang iman dan balasannya, di mana ayat-ayat tersebut sebagai teks yang dijelaskan oleh Hadis Nabi. Setidaknya ada 6 (enam) ayat yang berkaitan dengan Hadis manisnya iman sebagai balasan atas keimanan seseorang. 3 (tiga) hal tersebut sebagai sebab, sedangkan manisnya iman sebagai akibat. Hal itulah yang dimaksud kausalitas. Keenam ayat itu dapat dibagi menjadi 2 (dua). Pertama, adalah Q. S. al-Baqarah: 82 dan 202 serta Alu Imran: 148. Kedua, yaitu Q. S. Alu Imran: 198 dan an-Nisa: 122 serta al-Baqarah: 25. Kelompok awal sebagai balasan abstrak dan akhir merupakan akibat konkrit, setidaknya karena ada gambaran. Artinya: “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya” (Q. S. al-Baqarah: 82) P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 5 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya” (Q. S. al-Baqarah: 202) Artinya: “Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (Q. S. Alu Imran: 148) Artinya: “Akan tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedangkan mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti” (Q. S. Alu Imran: 198) Artinya: “Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah ?” (Q. S. anNisa: 122) P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 6 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 Artinya: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buahbuahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya” (Q. S. al-Baqarah: 25) Pada ayat-ayat yang dikelompokkan pertama, Q. S. al-Baqarah: 82 + 202 dan Alu Imran: 148 sebagai balasan yang masih abstrak. Pada Q. S. al-Baqarah: 82 dinyatakan bahwa orang-orang yang beriman dengan iman yang benar sebagaimana diajarkan oleh Nabi-nabi mereka dan beramal shaleh (yang kasat mata, dibandingkan dengan 2 {dua} lainnya, seorang mu’min tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah) sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, maka mereka adalah calon penghuni surga dan mereka akan kekal di dalam surga. Pada Q. S. al-Baqarah: 202, orang mu’min dengan keimanan yang benar, baik dan bersih serta suci yang senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk meraih apa yang diinginkan dengan tetap selalu diiringi doa, mereka itulah yang akan mendapatkan nasib ataupun hasil dari apa yang mereka upayakan dengan segenap kemampuannya. Usaha ini tidak saja niat dan ucapan, namun dilengkapi dengan perbuatan nyata. Yang perlu diingat bahwa perhitungan Allah itu sangat cepat. Kecepatan hitungan Allah itu tidak akan keliru, tak bakal mengurangi kebaikan dan juga tidak akan melebihkan kesalahan serta selalu adil dan bijaksana.9) Apa yang mereka peroleh dari usaha dan doa adalah barakah yang mereka upayakan. Kata mereka di sini, bisa siapapun, meski payung utamanya tetap orang-orang yang beriman. Dan usaha itu, usaha baik yang mereka lakukan dalam rangka meraih apa yang mereka mohonkan, bukan sekadar ketulusan berdoa dengan lidah saja, namun sebelumnya didahului dengan kesungguhan kerja dan disempurnakan dengan kesucian aqidah. Kecepatan hitungan Allah itu, tidak perlu menanti selesainya suatu pekerjaan untuk mengerjakan pekerjaan lain karena Dia tidak terhalangi oleh apapun dan siapapun. 10) Pada Q. S. Alu Imran: 148, diperlihatkan sambutan Allah atas usaha dan permohonan orangorang yang beriman dengan sungguh-sungguh. Allah menganugerahi pahala di dunia, nama baik dan lain-lain. Juga pahala di akhirat, yaitu surga, keridlaan Allah dan yang tidak dapat dilukiskan oleh kata-kata. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa kebaikan anugerah duniawi tidak akan sebaik karunia ukhrawi, disebabkan ada kata husna, sedangkan di dunia tidak. Karena anugerah ukhrawi boleh jadi ada, banyak, dan sedikit, sebelum dan sesudahnya, beberapa kekeruhan. Ayat ini merupakan dorongan kuat kepada orang-orang yang beriman agar bisa lebih baik daripada umat sebelumnya. 11) Adapun ayat-ayat yang dikelompokkan kedua, Q. S. Alu Imran: 198, an-Nisa: 122 dan alBaqarah: 25. Ada kebiasaan ayat al-Qur‘an yang selalu menyandingkan 2 (dua) hal yang bertentangan, dengan maksud untuk melahirkan keserasian (lihat Q. S. Alu Imran: 197, an-Nisa: 121 dan alBaqarah: 24). Begitu pula pada kelompok ini, ada gambaran lebih tentang apa yang ada di dalam surga, dibandingkan dengan ayat-ayat kelompok pertama. Pada Q. S. Alu Imran: 197, dinyatakan keadaan orang-orang kafir yang mendapat kenikmatan sementara dan neraka jahanam seburuk-buruk P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 7 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 tempat mereka. Maka pada Q. S. Alu Imran: 198 kebalikannya, yaitu balasan untuk orang-orang yang beriman (lawannya kafir) bertolak belakang dengan neraka jahanam, yaitu surga. Ada gambaran setidaknya keterangan tentang surga, yaitu di dalamnya mengalir sungai-sungai hingga akan selalu segar dan indah, atau sesuatu yang belum pernah terlihat dalam benak siapapun. Orang-orang yang beriman akan berada di surga dan kekal di dalamnya. Apa yang diperoleh orang yang bertakwa itu karena imannya sebagai karunia besar yang dihidangkan bagai hidangan tuan rumah yang murah dan kaya kepada tamu agungnya. Apa yang diisi oleh Allah itu lebih baik bagi orang-orang yang berbakti karena apa yang ada di sisi-Nya itu tidak dapat diperbandingkan dengan apa yang berada pada tangan semua makhluk-Nya.12) Pada Q. S. an-Nisa: 121, ada uraian keadaan orang-orang yang durhaka dan sanksi yang menantikan mereka, maka pada Q. S. an-Nisa: 122 ada penantian untuk orang-orang yang beriman agar melakukan amal shaleh sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad, dengan janji yang sama sekali tidak akan diingkari oleh Allah, yaitu memasukkan mereka ke surga dan kekal abadi di situ. Di sini ada 3 (tiga) tambahan keterangan. Keterangan pertama, dengan penguatan kata abadan. Keterangan kedua, janji Allah sebagai janji yang betul-betul hak, pasti sesuai dengan kenyataan nantinya. Keterangan ketiga, dengan redaksi pertanyaan yang sesungguhnya peniadaan ucapan janji yang tidak benar, kecuali perkataan dan janji Allah, sebagai jawaban terhadap janji-janji setan yang merupakan tipuan. 13) Pada Q. S. al-Baqarah: 24, Allah menyediakan neraka dengan bahan bakar manusia dan batu untuk orang-orang kafir, maka pada Q. S. al-Baqarah: 25, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman secara tulus dan melakukan amal shaleh sebagai bukti keimanannya, dengan janji surga yang ada sungai-sungai mengalir di bawahnya. Di sini ada gambaran lebih tentang surga, karena mereka akan diberi aneka rezeki berupa keragaman buahbuahan, tidak hanya sebagaimana ketika mereka masih hidup di dunia, tetapi juga buah-buahan yang sebenarnya tidak sama karena dan bahkan melebihi rasa kelezatannya dan kenikmatannya. Penampakan luar bisa saja sama, agar mereka tidak ragu mencicipinya dan memakannya dengan penuh kelezatan dan penuh kenikmatan ternyata juga tak hanya rezeki buah-buahan, namun juga pasangan istri atau suami yang telah berulang kali disucikan dari segala sesuatu yang mengotori jasmani, jiwa, ruhani, maupun lainnya seperti iri, dengki, cemburu, dan kebohongan serta keculasan, dan lain sebagainya.14) Analisis Realitas Historis Jika di dalam Tafsir atau ‘Ulumul Qur’an itu ada asbâbun nuzûl, maka di dalam studi tentang Hadis ada asbâbul wurûd. Asbâbul wurûd adalah peristiwa atau hal yang melatarbelakangi munculnya Hadis sebagai hubungan kausa.15) Akan tetapi terkadang juga ada Hadis yang tidak diketahui sebab turunnya atau munculnya, sehingga tidak mustahil bisa menimbulkan dampak yang tidak baik saat akan diamalkan. Meskipun demikian asbâbul wurûd ini pun kadang belum tentu diperlukan, lebih- P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 8 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 lebih jika dibenarkan untuk memahami Hadis yang bermuatan informasi alam gaib atau aqidah. Oleh karena memang kedua tema tersebut tidak terpengaruh oleh situasi apapun.16) Dari kepustakaan yang sempat dibaca, penulis belum memperoleh sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya Hadis tentang manisnya iman ini. Oleh karena itu, maka penulis akan mencoba mengutarakan keadaan umumnya (secara makro), yaitu kehidupan Nabi Muhammad dan proses dakwah Islam. Pada saat Nabi Muhammad masih berdakwah di kota Makkah, memang yang lebih diutamakan adalah penanaman aqidah, keyakinan sebagai dasar atau pondasi keislaman umat. Mengiyaskan kepada al-Qur’an, maka ayat-ayat yang diturunkan di Makkah, kebanyakan didahului dengan yâ ayyuhan nâs (wahai sekalian manusia), secara umum. Ajakan utamanya adalah mengimani Allah Yang Maha Esa (tauhid). Dalam hubungan vertikal ini, Nabi Muhammad mencoba untuk mengajak dan menundukkan hati seseorang, agar mau hanya Allah-lah sebagai satu-satunya Dzat yang wajib diimani karena Dialah pencipta alam semesta dan segala isinya. Oleh karena itulah, maka penghambaan seorang makhluk itu hanya pantas dan wajib ditujukan kepada Allah. Sementara hubungan horizontalnya, maka Nabi Muhammad sebagai penerima berita dari langit dan pendakwah, dialah contoh utama pengejawantahan Islam. Oleh karena itu, kecintaan seorang mukmin kepada Allah tidak bisa dipisahkan dan dibedakan dengan kecintaan kepada Nabi Muhammad, sebagai pemegang amanah nubuwwah (kenabian), sebagai pemberi kejelasan atau first interpreter.17) Kecintaan seorang mukmin kepada selain Allah dan Rasul-Nya menempati urutan berikutnya. Sementara itu, pondasi kecintaan seseorang terhadap sesama manusia, baik terhadap Nabi Muhammad ataupun sesama makhluk, maka satu-satunya yang dibenarkan untuk dijadikan ukuran adalah Allah, melalui firman-firman-Nya, yaitu ajaran-ajaran agama Islam. Dengan menjadikan Allah sebagai Penentu aturan, maka paling tidak diharapkan seorang mukmin tidak akan melanggar larangan-larangan yang diberlakukan di dalam agama Islam. Bahkan sekaligus dengan didasari keikhlasan, seorang mukmin akan dengan ringan tangan menjalankan perintah ajaran Islam. Kecintaan terhadap 2 (dua) pribadi, Allah dan Rasul-Nya, serta Allah sebagai acuan cinta itu menunjukkan seorang mukmin tidak mau lagi untuk kembali kepada kekufuran atau sebelum seseorang mengikrarkan syahadat. Oleh karena ikrar syahadat adalah batasan yang tegas antara keadaan seseorang saat belum mengikrarkan syahadat atau kafir, bahkan mungkin musyrik, dengan sesudah seseorang mau dengan keimanan dan kesadaran untuk mengikrarkan 2 (dua) kalimat syahadat, dengan segala konsekuensinya. Keadaan seseorang dalam kekufuran, lebih-lebih kesyirikan itulah yang dibenci. Setidaknya tidak disenangi karena hal tersebut akan melemparkan seseorang ke dalam api neraka. Analisis Generalisasi P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 9 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 Hadis ini diawali dengan kata man, yang mengacu kepada siapa saja. Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin seseorang, keadaan ekonominya, status sosial, dan politiknya atau usia seseorang maupun bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi. Yang secara implisit berbeda adalah apakah seseorang masih menjadi kafir, bahkan malah musyrik, ataukah sudah beriman melalui ikrar 2 (dua) kalimat syahadat? Dari keimanan ini akan terlihat sejauh mana Allah dan Rasul-Nya itu dijadikan patokan dan ukuran dalam penghambaan dan kehidupan sehari-hari. Aspek persamaan atau kesetaraan (egalitarianisme) ini diawali secara lahiriah yang bisa diamati orang lain adalah ikrar 2 (dua) kalimat syahadat seseorang, yang mengakibatkan dia disebut mukmin. Atas dasar ikrar inilah, seorang mukmin mau tidak mau, sadar tidak sadar, sebagai konsekuensinya maka dia dibebani (mukallaf) 4 (empat) rukun Islam lainnya dan kewajiban-kewajiban lain di luar rukun Islam. Orang yang tidak atau belum beriman maupun orang musyrik otomatis tidak terbebani. Namun tidak berarti dia bisa bebas atau dibebaskan. Dia akan tetap dikenai sanksi atau dimintai pertanggungjawaban atas kekufurannya atau kesyirikannya. Ukuran atau barometer keimanan seorang mukmin adalah sejauh mana aspek ketakwaannya yang membedakannya dengan mukmin secara vertikal di hadapan Allah atau seberapa banyak beban kewajiban itu ditunaikan. Secara horizontal sejauh mana dirinya dan apa yang dimilikinya itu mendatangkan manfaat bagi dirinya dan orang-orang lain di sekelilingnya. Setinggi keimanan seorang mukmin yang dibuktikan oleh anggota badannya, sejauh itu dia akan bisa merasakan manisnya iman. Kadar kemanisan itu setara dengan kadar keimanan seorang mukmin dalam menjalani atau merealisasikan keimanannya. Allah dan Rasul-Nya dijadikan tujuan, Allah dijadikan ukuran dan ketidakmauan seorang mukmin menjadi kafir sebagai hal yang sangat dibenci. Kritik Praksis Menurut Ahmad bin ‘Aly bin Hajar al-‘Asqalâny, Syaikh Abû Muhammad bin Abû Jamrah menjelaskan bahwa penggunaan kata manis karena Allah menyerupakan iman dengan pohon. Dalam Q. S. Ibrahim ayat 24 – 25, kata kalimah dapat berarti ikhlas. Pohon dikiyaskan dengan keimanan dan cabang-cabangnya itu menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Daun-daunnya dimisalkan amal kebajikan dan buahnya itu ketaatan. Manisnya buah itu diperoleh dengan memetiknya. Kesempurnaan itu akan terasa sekali saat buah tersebut sudah masak. Di situlah akan jelas terasakan kemanisan buah iman. Kegunaan Hadis tersebut digunakan sebagai petunjuk untuk menghiasi diri dengan amal kebajikan dan mengosongkan diri dari perbuatan kotor dan nista.18) Menurut Abû al-‘Abbâs Syihâbuddin Ahmad al-Qasthalâny, manisnya iman itu merasakan faedah nikmatnya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan senang hati menjalankan perintah agama Islam, seolah-olah sudah mendarah daging dalam diri seseorang. Menurut al-Baydlâwi, lanjut Abû al‘Abbâs, yang dimaksud cinta di sini adalah cinta yang rasional, yaitu memprioritaskan sesuatu selalu P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 10 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 disesuaikan dengan koordinasi akal sehat, meskipunpun hal tersebut berlawanan dengan keinginan pribadi. Contohnya, orang sakit cenderung tidak senang terhadap obat yang sering terasa pahit. Namun dengan pertimbangan akal sehat karena obat tersebut akan mneyembuhkan penyakit, maka dia akan memakannya walau rasanya pahit.19) Dalam hal ini, Ahmad Lutfi Fathullah menerangkan bahwa untuk bisa menikmati manisnya iman dan sekaligus nikmatnya beribadah itu, terletak pada sejauh mana pengetahuan dan pengenalan orang mukmin kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia tahu bahwa Allah selalu ada dan dekat dengan dirinya. Dia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat, menyapa, dan menyayanginya. Semua pengetahuan dan kesadarannya akan membawa kepada ketaatan dan kekhusyu‘an dalam melaksanakan perintah Allah. Pengetahuan dan kesadarannya akan berubah menjadi keyakinan yang akan menaikkan posisi kedekatan seseorang menjadi muttaqy, orang yang bertakwa. Mukmin yang sudah sampai pada martabat ihsan akan merasa seolah-olah saat menyembah Allah, dia melihat-Nya. 20) Dengan penguasaan ilmu dan ketinggian iman itulah Allah menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Hal ini tidak hanya akan membawa dirinya taat dan tunduk saja, tetapi juga makin mengenal Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, di dalam hatinya tambah tertanam rasa cinta dan rindu yang luar biasa kuatnya hingga makin bertawakal dan bersandar kepada Allah. Cinta dan kerinduan akan mengubah pola pikir, pola juang, pola hidup, pandangan hidup, serta semangat hidupnya. Cinta dan kerinduannya akan menghasilkan kesederhanaan pola hidup kewara‘an (menghindari apa saja yang baik), cinta kasih sesama, ketawadlu‘an (rendah hati) dan keikhlasan. Cinta itu akan menghasilkan cinta dan akan menyatukan cinta serta akan membuahkan ketaatan dan kebersamaannya serta kegembiraannya. Potret itulah yang tergambar dari perilaku sahabat Nabi. 21) Penutup Agama Islam yang diturunkan oleh Allah melaui malaikat Jibril dan Nabi Muhammad yang mendatangi manusia dengan berita gembira (basyîran) dan kabar sedih (nadzîran). Kabar gembira terhadap orang yang mau mengimani agama Islam ini antara lain, melalui gambaran rasa manisnya iman yang terlebih dulu didasari oleh kecintaan mukmin kepada Allah dan Rasul-Nya, Allah sebagai ukurannya dan kembali kepada kekufuran sebagai hal yang sangat dibenci. Endnote 1) Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hal. 23 – 25. Ibid., hal. 83; Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan) (Yogyakarta: CESaD YPI AlRahmah, 2001), hal. 1. Dan juga Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi, Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 3 – 4. 2) P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 11 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 Nizar Ali, Memahami, hal. 1 dan Muh. Zuhri, Telaah., hal. 86. 3) M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid Pertama (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 44. Juga M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1413 H/1992 M), hal. 26. 4) 5) M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok, hal. 42 – 43. Dan M. Syuhudi Ismail, Metodologi, hal. 23 – 24. 6) CD ROM Mausû‘ah al-Hadîts al-Syarîf dengan entri kata iman. KH Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaihi: Bagian IBADAT (Jakarta: Prenada Media, 7) 2004), hal. 50. Abû Abdir Rahmân Ahmad An Nasâ’iy, Sunan An Nasâ’iy VIII, Terj. Bey Arifin, dkk., Terjemah Sunan An Nasa’iy Jilid V, Asy Syifa’ (Semarang: TP 1993), hal. 189. 8) M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‘an, Jilid 1 (Jakarta: Lentera Hati, 1421/2000), hal.413. 9) 10) Ibid. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‘an, Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 1421/2000), hal. 226 - 227. 11) Ibid., hal. 302 – 303. Ibid., hal. 569. 14) M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hal. 127 – 128. 15) Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadits: Sebuah Tawaran Metodologi (Yogyakarta: Lesfi, 2003), hal. 62. Dan 12) 13) juga Jalaludin as-Sayuthi, Asbab Wurud al-Hadits Au al-Luma’ fi Asbab al-Hadits, diedit dan diberi notasi oleh Yahya Ismail Ahmad, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, Beirut, Lebanon, 1404 H – 1948 M, penerjemah Taufiqullah dan Afif Mohammad, Asbab Wurud al-Hadits: Proses Lahirnya Sebuah Hadis ( Bandung: Bandung, 1406 H – 1986 M), hal. 5 – 19. 16) 17 Bandingkan dengan Dedik, “Fadhilah Menuntut Ilmu”, dalam Makalah tidak diterbitkan. ) Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Op. Cit., hal. 5. Ahmad bin ‘Aly bin Hajar al-‘Asqalâny, Fath al-Bâry: Syarah Shahîh al-Bukhâry, al-Juz al-Awwal (Baerut: Dâr al-Fikr, Liththibâ‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘, 1416 H/1996 M), hal. 87. 18) Abû al-‘Abbâs Syihâbuddîn Ahmad al-Qasthalâny, Irsyâd al-Sâry: Lisarh Shahîh al-Bukhâry, al-Mujallad al-Awwal (Bayrut: Dâr al-Fikr, Liththibâ‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘, 1410 H/1990 M), hal. 166. 20) Ahmad Lutfi Fathullah, “Menikmati Indahnya Iman”, dalam Gontor, 08 Tahun IV, Dzulqa`dah 19) 1427/Desember 2006, hal. 26. 21 ) Ibid., hal. 27. Daftar Pustaka Ali, Nizar. 2001. Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan. Yogyakarta: CESaD YPI Al-Rahmah. Al-‘Asqalâny, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar. 1416 H/1996 M. Fath al-Bâry: Syarah Shahîh al-Bukhâry, al-Juz al-Awwal. Bayrut: Dâr al-Fikr, Liththibâ‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘. An Nasâ’iy, Abû Abdir Rahmân Ahmad, Sunan An Nasâ’iy VIII. 1993. Terjemah Sunan An Nasa’iy Jilid V, Asy Syifa’. Terj. Bey Arifin, dkk. Semarang: TP. P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 12 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148 Al-Qasthalâny, Abû al-‘Abbâs Syihâbuddîn Ahmad. 1410 H/1990 M. Irsyâd al-Sâry: Lisyarh Shahîh al- Bukhâry, al-Mujallad al-Awwal. Bayrut: Dâr al-Fikr Liththibâ‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘. As-Sayûthy, Jalâluddîn, Asbâb Wurûd al-Hadîts Aw al-Luma’ fi Asbâb al-Hadits. 1404 H/1948 M. Diedit dan diberi notasi oleh Yahyâ Ismâ‘îl Ahmad. Bayrut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiah. Terj. Taufiqullah dan Afif Mohammad, Asbab Wurud al-Hadits: Proses Lahirnya Sebuah Hadis. Bandung: Pustaka. Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1987. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid Pertama. Jakarta: Bulan Bintang. Ismail, M. Syuhudi. 1413H/1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang. Dedik. TT. “Fadhilah Menuntut Ilmu”, dalam Makalah tidak diterbitkan Fathullah, Ahmad Lutfi. 1427 H/2006M. “Menikmati Indahnya Iman”, dalam Gontor, 08 Tahun IV, Dzulqa`dah 1427/Desember 2006. Mahalli, KH Ahmad Mudjab. 2004. Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaihi: Bagian IBADAT, Jakarta: Prenada Media. Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim. 2001. Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi, Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Shihab, M. Quraish. 1421/2000. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‘an, Jilid 1. Jakarta: Lentera Hati. ______________. 1421/2000. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‘an, Jilid 2. Jakarta: Lentera Hati. Zuhri, Muh. 1997. Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana. ______________. 2003. Telaah Matan Hadits: Sebuah Tawaran Metodologi. Yogyakarta: Lesfi. CD ROM Mausû‘ah al-Hadîts al-Syarîf. P3M STAIN Purwokerto | Santosa `Irfaan 13 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 132-148