analisis efektiv transmisi kebijaka sasaran tunggal in

advertisement
ANALISIS EFEKTIVITAS JALUR-JALUR
JALUR JALUR
TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DENGAN
SASARAN TUNGGAL INFLASI DI INDONESIA
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Mohamad Yusuf
115020115111003
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL
Artikel Jurnal dengan judul :
ANALISIS EFEKTIVITAS JALUR-JALUR TRANSMISI KEBIJAKAN
MONETER DENGAN SASARAN TUNGGAL INFLASI DI INDONESIA
Yang disusun oleh :
Nama
:
Mohamad Yusuf
NIM
:
115020115111003
Fakultas
:
Ekonomi dan Bisnis
Jurusan
:
S1 Ilmu Ekonomi
Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang
dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 10 Juli 2014
Malang, 10 Juli 2014
Dosen Pembimbing,
Putu Mahardika A.S. SE., M.Si, MA., PhD
NIP. 197609102002121003
Analisis Efektivitas Jalur-Jalur Transmisi Kebijakan Moneter dengan Sasaran Tunggal
Inflasi di Indonesia
Mohamad Yusuf
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
ABSTRACT
Transmission mechanism of monetary policy moves through various pathways, including
direct monetary channel, interest rate channel, credit channel, and exchange rate channel. This
study used Vector Auto regression (VAR) model to analyze effectiveness of monetary policy
transmission mechanism in Indonesia through the fourth channel period between 2000 first quarter
to 2013 third quarter. This study used secondary data issued by Bank Indonesia and BPS as well as
from International Finance Statistic (IFS). The results showed that the interest rate channel is the
most effective compared with other pathways. The analysis is done through testing impulse
response and variance decomposition tests illustrate the reliability of the use of the interest rate
channel in reaching the end of the inflation target. Interest rates on the interbank money market is
the most suitable variable is used as an operational target for the interest rate channel. Test results
on path impulse response rate indicates that shocks RPUAB get a strong response and fast too.
Keywords : transmission mechanism of monetary policy, inflation targeting, VAR analysis.
A. LATAR BELAKANG
Krisis yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 telah menimbulkan berbagai permasalahan
yang kompleks di berbagai bidang. Krisis yang pada awalnya berasal dari krisis moneter
berkembang menjadi krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis sosial budaya, sehingga menjadi
krisis multi dimensi. Kondisi krisis tersebut menunjukkan bahwa dalam pembangunan nasional
yang dilaksanakan pemerintah pada masa sebelum krisis mengandung banyak kelemahan struktur
dan sistem perekonomian. Untuk mewujudkan perekonomian yang kokoh, perlu diadakan
penyesuaian berbagai kebijakan ekonomi yang telah ditempuh Indonesia. Kebijakan moneter yang
merupakan salah satu bagian penting dari kebijakan pembangunan ekonomi nasional harus lebih
diarahkan kepada upaya untuk menciptakan dan menjaga stabilitas moneter. Temuan empiris dari
pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan moneter akan lebih optimal apabila
difokuskan pada pemeliharaan stabilitas moneter. Dari sisi kelembagaan, peranan Bank Indonesia
dipandang tidak sesuai lagi dalam menghadapi tuntutan perkembangan dan dinamika
perekonomian nasional dan internasional. Berbagai permasalahan tersebut melandasi
dikeluarkannya undang-undang tentang Bank Indonesia.
Undang Undang (UU) Bank Indonesia No. 23 tahun 1999 sebagaimana telah diamandemen
dengan UU No. 3 tahun 2004 pada pasal 7 menyatakan bahwa tujuan Bank Indonesia (BI) adalah
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang merupakan single objective Bank
Indonesia. Pada UU tersebut Bank Indonesia diberikan kewenangan penuh dalam melaksanakan
kebijakan moneter untuk mengendalikan nilai rupiah. Kebijakan moneter dengan tujuan stabilisasi
nilai rupiah mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 2000, namun secara formal diterapkan mulai
Juli tahun 2005. Tujuan tunggal kebijakan moneter BI tersebut terangkum dalam kerangka kerja
penargetan inflasi (Inflation Targeting Framework). Penargetan inflasi adalah sebuah kerangka
kerja kebijakan moneter dengan ciri adanya pernyataan resmi dari bank sentral bahwa tujuan akhir
kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, dan mengumumkan
target inflasi tersebut kepada publik (Warjiyo dan Solikin, 2003). Kerangka kerja kebijakan
moneter ini pertama kali diterapkan oleh Selandia Baru pada tahun 1990, keberhasilan negara
tersebut dalam implementasi Inflation Targeting Framework (ITF) memicu negara-negara lain
untuk mengkaji lebih dalam dan menerapkan kerangka kerja kebijakan moneter tersebut. ITF
diyakini dapat membantu bank sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga dengan
menentukan sasaran kebijakan moneter secara eksplisit dengan berdasarkan proyeksi dan target
inflasi tertentu.
Tabel 1. Negara-negara yang telah Menerapkan ITF
Negara
Selandia Baru
Kanada
Israel
Inggris
Australia
Finlandia
Tahun
1990
1991
1991
1992
1993
1993
Negara
Swedia
Spanyol
Thailand
Korea
Filipina
Indonesia
Tahun
1993
1995
1997
1998
2002
2005
Sumber: Cavoli (2010), Hakim (2001).
Kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting harus dapat dimengerti dengan baik oleh
setiap pelaku pasar. Penetapan inflasi sebagai sasaran akhir akan memberikan konsekuensi
terhadap pengendalian inflasi yang mana akan tergantung pada ekspektasi inflasi dan kredibilitas
kebijakan moneter. Dalam kerangka Inflation Targeting, perumusan dan pelaksanaan kebijakan
moneter oleh bank sentral bersifat forward looking, yang artinya bahwa kebijakan moneter yang
ditempuh pada saat ini sebagai langkah antisipatif dalam mencapai target inflasi di masa yang akan
datang. Kebijakan moneter yang berorientasi pada masa depan disebabkan oleh adanya selang
waktu (time lag) dari pengaruh perkembangan suatu variabel ekonomi terhadap variabel ekonomi
lainnya. Dengan adanya efek tunda (lag) dalam kebijakan moneter, mendorong perlunya
memahami mekanisme transmisi kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi riil, yang mana
mekanisme tersebut dapat dilalui dengan berbagai jalur atau saluran.
Transmisi kebijakan moneter menuju sasaran akhir berlangsung dengan selang waktu yang
lama dan bervariasi. Hal ini terkait dengan pola hubungan antara berbagai variabel ekonomi dan
keuangan yang selalu berubah sejalan dengan perkembangan ekonomi di negara bersangkutan.
Pada perekonomian tradisional, dimana peranan perbankan masih dominan dan produknya masih
sederhana, biasanya peranan saluran uang juga masih dominan dengan pola hubungan antar
aktivitas ekonomi yang relatif stabil pula. Namun, dengan semakin berkembangnya perbankan dan
pasar keuangan, semakin banyak pula produk keuangan dengan jenis transaksi yang semakin
bervariasi pula. Demikian juga dengan perekonomian yang terbuka, perkembangan ekonomi dan
keuangan di suatu negara akan dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan keuangan negara
lain. Pengaruh tersebut antara lain melalui perubahan nilai tukar, volume ekspor dan impor,
ataupun besarnya arus dana masuk dan keluar dari negara yang bersangkutan. Dengan demikian,
peranan saluran lain seperti suku bunga, kredit, dan nilai tukar menjadi semakin penting. Selain
itu, peranan saluran harga aset lainnya, seperti obligasi dan saham, dan saluran ekspektasi juga
perlu diperhatikan (Warjiyo, 2004).
Telah terjadi kesepakatan di kalangan akademisi maupun bank sentral, bahwa dalam perspektif
jangka panjang, inflasi merupakan satu-satunya variabel ekonomi makro yang dapat dipengaruhi
oleh kebijakan moneter. Dampak dari implementasi kebijakan moneter terhadap inflasi bersifat
tidak segera, namun terdapat time lag. Hal ini terjadi karena adanya mekanisme operasional dari
instrumen kebijakan moneter dalam mempengaruhi sasaran akhir melalui jalur-jalur, yang dikenal
dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Efektivitas jalur-jalur transmisi kebijakan moneter menjadi sangat penting, karena hal tersebut
digunakan untuk mengetahui saluran transmisi mana yang paling dominan dalam ekonomi untuk
dipergunakan sebagai dasar dalam perumusan strategi kebijakan moneter. Juga untuk mengetahui
seberapa kuat dan lamanya tenggat waktu masing-masing saluran transmisi tersebut bekerja. Hal
ini penting untuk menentukan variabel ekonomi dan keuangan mana yang paling kuat dijadikan
leading indicators terhadap pergerakan inflasi serta variabel mana sebagai indikator untuk
penentuan sasaran operasional kebijakan moneter (Warjiyo, 2004). Hubungan antara instrumen
pengendalian moneter dengan sasaran akhir kebijakan moneter bersifat tidak langsung dan
kompleks serta membutuhkan waktu yang relatif panjang. Oleh karena itu, para ahli dan praktisi di
bidang moneter menambahkan indikator yang disebut dengan sasaran operasional. Sasaran
tersebut merupakan indikator guna menilai kinerja keberhasilan kebijakan moneter dan dapat
digunakan untuk mengarahkan tercapainya sasaran akhir. Penelitian ini akan menganalasis empat
jalur transmisi kebijakan moneter, yaitu jalur moneter langsung, jalur suku bunga, jalur kredit, dan
jalur nilai tukar untuk mengetahui jalur mana yang paling efektif dalam implementasi kebijakan
moneter dengan sasaran tunggal inflasi di Indonesia. Dari jalur yang paling efektif tersebut juga
akan dicari variabel apa yang paling cocok digunakan sebagai sasaran operasionalnya.
B. KERANGKA TEORI
Inflasi
Pengertian umum inflasi adalah proses kenaikan harga barang-barang secara umum yang
berlangsung terus menerus, bukan hanya satu macam barang dan bukan dalam waktu sesaat.
Inflasi menggambarkan kenaikan tingkat harga rata-rata yang tidak diimbangi dengan kenaikan
yang proporsional dari barang dan jasa yang dikonsumsi. Secara garis besar ada tiga teori
mengenai inflasi yaitu teori kuantitas, teori Keynes, dan teori strukturalis (Boediono, 1982).
a) Teori Kuantitas
Teori ini lebih menyoroti peranan dalam proses terjadinya inflasi yang disebabkan dua faktor,
yaitu jumlah uang beredar dan ekspektasi atau harapan masyarakat mengenai kenaikan harga.
Inflasi hanya bisa terjadi jika ada penambahan volume jumlah uang beredar (baik penambahan
uang kartal maupun uang giral). Tanpa adanya kenaikan jumlah uang beredar maka tidak akan
terjadi inflasi, meskipun terjadi kenaikan harga. Misalnya saja jika terjadi kegagalan panen, harga
cenderung naik, namun kenaikan harga beras tersebut hanya sementara waktu saja dan tidak
menyebabkan terjadinya inflasi. Dengan demikian, bila jumlah uang beredar tidak ditambah lagi,
inflasi akan berhenti dengan sendirinya.
b) Teori Keynes
Menurut teori ini, inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan
ekonominya. Hal ini terjadi karena masyarakat mengetahui keinginannya dan menjadikan
keinginan tersebut dalam bentuk permintaan yang efektif terhadap barang. Dengan kata lain,
masyarakat berhasil memperoleh dana tambahan diluar batas kemampuan ekonominya sehingga
golongan masyarakat ini bisa memperoleh barang dengan jumlah yang lebih besar daripada yang
seharusnya. Bila jumlah permintaan barang meningkat, pada tingkat harga berlaku, melebihi
jumlah maksimum dari barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary
gap akan timbul. Keadaan ini menyebabkan harga-harga naik dan berarti rencana pembelian
barang tidak dapat terpenuhi. Pada periode selanjutnya, masyarakat akan berusaha untuk
memperoleh dana yang lebih besar lagi (baik dari pencetakan uang baru maupun dari kredit pada
bank dan permintaan kenaikan gaji). Proses inflasi akan tetap berlangsung selama jumlah
permintaan efektif dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan
masyarakat.
c) Teori Strukturalis
Teori ini juga disebut dengan teori inflasi jangka panjang, karena menyoroti sebab-sebab
munculnya inflasi yang berasal dari kekakuan struktur ekonomi terutama yang terjadi di negara
berkembang. Ada dua kekakuan/ ketidakelastisan dalam perekonomian di negara berkembang
yang menimbulkan inflasi. Pertama, kekakuan dari penerimaan ekspor. Hal ini disebabkan nilai
ekspor tumbuh lebih kecil dari sektor lain karena harga di pasar dunia dari barang-barang ekspor
negara tersebut tidak menguntungkan atau dengan kata lain term of trade semakin memburuk.
Kedua, kekakuan supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri. Penawaran bahan
makanan lebih lambat daripada pertambahan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita,
sehingga kenaikan harga bahan makanan dalam negeri cenderung untuk naik melebihi harga
barang-barang lainya. Akibatnya timbul tuntutan dari buruh untuk meminta upah yang lebih tinggi.
Kenaikan upah berarti kenaikan ongkos produksi yang akan mengakibatkan kenaikan harga
barang-barang yang bersangkutan. Kenaikan harga barang-barang tersebut mendorong terjadinya
inflasi yang dikenal dengan istilah wage push inflation.
Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk
pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang
diinginkan. Dalam prakteknya yang disebut dengan perkembangan kegiatan perekonomian yang
diinginkan tersebut adalah stabilitas ekonomi makro yang tercermin pada stabilitas harga
(rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan output riil (pertumbuhan ekonomi), serta
cukup luasnya lapangan kerja yang tersedia (Warjiyo dan Solikin, 2003).
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Guna
mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia secara resmi menerapkan kerangka
kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting
Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Dalam
usahanya untuk menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah, BI memiliki
otoritas untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti
uang beredar atau suku bunga). Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter
tersebut menggunakan instrumen-instrumen, diantaranya operasi pasar terbuka (Open Market
Operation) di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto (Discount
Rate), penetapan cadangan wajib minimum (Reserve Requirement Ratio), dan pengaturan kredit
atau pembiayaan.
Inflation Targeting
Inflasi merupakan indikator stabilitas perekonomian yang menjadi pusat perhatian dalam
kebijakan makroekonomi sehingga laju perubahannya selalu diusahakan berada pada tingkat yang
rendah dan stabil. Pengendalian inflasi di Indonesia dilakukan dengan menerapkan strategi
penargetan inflasi (inflation targeting). Penargetan inflasi merupakan kerangka kerja kebijakan
moneter yang relatif baru digunakan. Kerangka kerja kebijakan moneter ini pertama kali
diterapkan pada tahun 1990 di Selandia Baru, kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Di
Indonesia sendiri, penargetan inflasi dimulai sejak tahun 2000 dan secara resmi diterapkan mulai
tahun 2005. Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting
Framework (ITF) dalam melaksanakan kebijakan moneternya. Dengan kerangka ini, Bank
Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter
diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut.
Penerapan Inflation Targeting (IT) di beberapa negara menunjukkan karakteristik sebagai
berikut (Svensson, 1998): (1) pengumuman target tingkat inflasi untuk beberapa periode tertentu
(baik dalam bentuk point target ataupun target range), (2) melakukan inflation forecasting untuk
digunakan sebagai intermediete target, (3) adanya transparansi dan akuntabilitas dengan tingkat
yang tinggi. Dalam perkembangannya, IT mulai digunakan sebagai alat yang efektif untuk
mempertahankan tingkat harga yang rendah dan stabil, hal tersebut telah mendorong sejumlah
otoritas moneter di beberapa negara untuk meneliti kemungkinan untuk menerapkannya. Bernanke
et.al. (1995) mengemukakan beberapa alasan penting digunakannya besaran inflasi sebagai sasaran
tunggal, yaitu: (1) inflasi merupakan besaran ekonomi yang mampu dipengaruhi oleh otoritas
moneter dalam dimensi jangka panjang. Terdapat relevansi yang logis antara otoritas moneter
dengan pencapaian tujuan kebijakan yang berupa variabel ekonomi (inflasi) dibandingkan,
misalnya dengan menargetkan pada besaran tingkat pengangguran yang tidak dapat dipengaruhi
hanya oleh otoritas moneter saja, (2) tingkat inflasi yang moderat sekalipun, masih dapat
meningkatkan efisiensi dalam perekonomian, (3) penerapan kebijakan yang menargetkan tingkat
inflasi menimbulkan aturan penting bahwa Bank Sentral harus menjaga agar pasar keuangan dan
publik berada pada tingkat yang mendukung formasi ekspektasi yang didukung oleh tingkat
kepastian yang tinggi.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Bank Indonesia menggunakan kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk
mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian sasaran
inflasi. Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering
disebut dengan istilah mekanisme transmisi kebijakan moneter (MTM). Mekanisme ini
menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan
instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variabel ekonomi dan
keuangan yang kemudian berpengaruh terhadap tujuan akhir inflasi. Taylor (1995) menyatakan
bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan jalur-jalur yang dilalui oleh kebijakan
untuk dapat mempengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter yaitu pendapatan nasional dan inflasi.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan
dan sektor keuangan, serta sektor riil. Mekanisme tersebut dapat terjadi melalui berbagai jalur,
diantaranya jalur moneter langsung, jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga
aset, dan jalur ekspektasi.
a) Jalur Moneter Langsung
Mekanisme transmisi melalui jalur moneter langsung (direct monetary channel) dimulai
dengan tindakan bank sentral mengendalikan uang primer atau base money (M0) sesuai dengan
sasaran akhir yang ingin dicapai. Kemudian uang primer ini melalui proses money multiplier,
ditransmisikan ke jumlah uang beredar (M1 dan M2) sesuai dengan permintaan masyarakat.
Selanjutnya uang beredar akan mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi, khususnya inflasi dan
output riil karena peranannya dalam pemenuhan kebutuhan transaksi ekonomi.
b) Jalur Kredit
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit (credit channel) didasarkan pada
asumsi bahwa tidak semua simpanan masyarakat dalam bentuk uang beredar (M1, M2) selalu
disalurkan oleh perbankan sebagai kredit kepada dunia usaha. Oleh karena itu, yang lebih
berpengaruh terhadap ekonomi riil adalah kredit perbankan, bukan simpanan masyarakat yang
tercermin dalam jumlah uang beredar. Terdapat dua jenis jalur kredit yang akan mempengaruhi
transmisi moneter dari sektor keuangan ke sektor riil, yaitu jalur pinjaman bank (bank lending
channel) dan jalur neraca perusahaan (firms balance sheet channel). Jalur pinjaman bank lebih
menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank, khususnya sisi aset.
Sedangkan jalur neraca perusahaan lebih menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi
keuangan perusahaan (borrower), dan selanjutnya berpengaruh terhadap akses perusahaan untuk
mendapatkan kredit.
c) Jalur Suku bunga
Jalur suku bunga (interest rate channel) lebih menekankan pentingnya aspek harga di pasar
keuangan terhadap berbagai aktivitas ekonomi di sektor riil. Warjiyo dan Solikin (2003)
mengemukakan, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga menekankan
bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi permintaan agregat melalui perubahan suku bunga.
Pengaruh perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga jangka menengah
atau panjang melalui mekanisme penyeimbangan sisi permintaan dan penawaran di pasar uang.
Perkembangan suku bunga tersebut akan berpengaruh terhadap biaya modal (cost of capital) yang
kemudian akan mempengaruhi pengeluaran investasi dan konsumsi yang merupakan komponen
dari permintaan agregat. Lebih lanjut Maski (2007) mengemukakan bahwa perubahan suku bunga
berdampak langsung pada cost of credit dan cash flow. Kebijakan moneter yang ditandai dengan
sinyal perubahan jumlah uang beredar, dengan mengnggap bahwa formasi permintaan adalah
tertentu (given), mendorong perubahan suku bunga di pasar keuangan. Berikutnya, inter bank rate
akan berubah dan ini akan merubah pula bank loan rate yang merupakan biaya atau harga yang
dikenakan pada peminjam/investor.
d) Jalur Nilai Tukar
Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar (exchange rate channel) menekankan pentingnya
pengaruh perubahan harga aset finansial terhadap berbagai aktivitas ekonomi. Pengaruh aset
finansial dalam bentuk valuta asing yang timbul dari kegiatan ekonomi suatu negara dengan
negara lain menjadikan pentingnya jalur nilai tukar dalam transmisi kebijakan moneter. Pengaruh
tersebut tidak hanya terjadi pada perubahan nilai tukar tetapi juga pada besarnya aliran dana akibat
perdagangan luar negeri maupun aliran modal investasi dalam neraca pembayaran. Perkembangan
nilai tukar dan aliran dana luar negeri tersebut selanjutnya akan mempengaruhi output riil dan
inflasi negara yang bersangkutan.
e) Jalur Harga Aset
Mekanisme transmisi melalui jalur harga aset (assets price channel) menekankan bahwa
kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga aset dan kekayaan masyarakat, yang
kemudian berpengaruh terhadap investasi dan konsumsi. Apabila bank sentral melakukan
kebijakan moneter kontraktif, maka hal tersebut akan mendorong peningkatan suku bunga, dan
pada gilirannya akan menekan harga aset perusahaan. Penurunan harga aset dapat berakibat pada
dua hal, yaitu mengurangi kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi dan mengurangi
nilai kekayaan yang pada gilirannya akan mengurangi pengeluaran konsumsi. Secara keseluruhan,
kedua hal tersebut berdampak pada penurunan pengeluaran agregat.
f) Jalur Ekspektasi
Mekanisme transmisi melalui jalur ekspektasi (expectation channel) menekankan bahwa
kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi mengenai
inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi perilaku para pelaku ekonomi
dalam melakukan keputusan konsumsi dan investasi, yang selanjutnya akan mendorong perubahan
permintaan agregat dan inflasi. Ekspektasi inflasi pada umumnya dipengaruhi oleh perkembangan
inflasi yang telah terjadi (inertia) dan juga kebijakan moneter yang ditempuh oleh bank sentral,
yang dapat terlihat pada perkembangan suku bunga dan nilai tukar. Semakin kredibel kebijakan
moneter, yang diantaranya tercermin pada kemampuan mengendalikan suku bunga dan stabilisasi
nilai tukar, maka semakin kuat pula dampaknya terhadap ekspektasi inflasi masyarakat.
Penelitian Tedahulu
Terdapat penelitian-penelitian sebelumnya yang dapat digunakan sebagai referensi dalam
penelitian ini. Wulandari (2012) meneliti apakah jalur kredit dan jalur suku bunga memainkan
peran penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia dengan menggunakan
model Structural Vector Autoregression (SVAR). Peramalan error variance decomposition
dilakukan untuk mengetahui kontribusi dari masing-masing variabel terhadap inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Hasil menunjukkan bahwa jalur suku bunga memainkan peran penting
pada mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam menjaga inflasi, hal ini terlihat dari nilai error
variance decomposition pada variabel SBI yang lebih besar daripada variabel kredit pada
peramalan inflasi.. Sedangkan jalur kredit secara efektif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,
terlihat dari nilai error variance decomposition pada variabel kredit yang lebih besar daripada
variabel SBI pada peramalan tingkat output.
Natsir (2011) melakukan penelitian untuk menganalisis dan membuktikan efektivitas jalur suku
bunga dalam MTM di Indonesia serta menganalisis dan membuktikan peranan suku bunga pasar
uang antar bank sebagai sasaran operasional kebijakan moneter di Indonesia. Efektivitas diukur
dengan dua indikator, yaitu berapa besar kecepatan atau berapa tenggat waktu (time lag) dan
berapa kekuatan variabel-variabel dalam merespon adanya shock instrumen kebijakan moneter dan
variabel lainnya hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter. Kedua indikator tersebut
diperoleh dari hasil uji Impulse Response Function (IRF) dan uji Variance Decomposition (VD).
Model penelitian yang digunakan adalah model Vector Auto Regression (VAR). Hasil
menunjukkan bahwa MTM melalui jalur suku bunga efektif mewujudkan sasaran akhir kebijakan
moneter di Indonesia periode 1990:2-2007:1. Variabel utama jalur ini yaitu rPUAB mampu
menjelaskan variasi sasaran akhir kebijakan moneter secara signifikan, hal ini berarti bahwa
rPUAB berfungsi secara efektif sebagai sasaran operasional kebijakan moneter di Indonesia.
Penelitian dilakukan oleh Maski (2005) untuk membuktikan bahwa jalur tingkat bunga lebih
efektif dibandingkan jalur moneter, membuktikan bahwa jalur nilai tukar tidak efektif, dan untuk
mengetahui sektor mana yang dominan pengaruhnya pada jalur kredit perbankan dengan
menggunakan model Vector Auto Regression (VAR). Dari penelitian tersebut diperoleh hasil
bahwa pengujian melalui estimasi VAR menggambarkan keandalan penggunaan jalur suku bunga
(RPUAB) dalam mengejar target kebijakan yang berupa inflasi. Jalur nilai tukar rupiah ($/Rp)
pengaruhnya terhadap inflasi terlalu kecil dan cenderung terabaikan. Pada jalur kredit perbankan,
kredit sektor pertanianlah yang paling dominan pengaruhnya terhadap inflasi.
Hakim (2004) melakukan penelitian untuk menganalisis keseimbangan permintaan dan
penawaran kredit, menganalisis peranan jalur kredit dalam mekanisme transmisi kebijakan
moneter dan membandingkan peranan jalur kredit pada masa sebelum dan ketika krisis moneter.
Metode yang digunakan adalah metode simultan FIML dan metode VAR. Hasil analisis
keseimbangan kredit menunjukkan bahwa sebagian besar hasil estimasi tidak sesuai dengan teori.
Dalam mempengaruhi output riil, pada masa sebelum krisis M2 jauh lebih berperan daripada
kredit, sedangkan pada masa krisis kredit lebih berperan dibandingkan M2. Suku bunga PUAB
baik pada masa sebelum krisis maupun ketika krisis, lebih berperan dibandingkan suku bunga SBI.
Penelitian dilakukan oleh Chow (2004) untuk menganalisis mekanisme transmisi kebijakan
moneter di Singapura dimana jalur yang digunakan adalah jalur nilai tukar. Penelitian ini
menggunakan analisis Vector Auto Regression (VAR). Melalui Impulse Response Function (IRF),
penelitian ini ingin mengetahui bagaimana respon yang dihasilkan oleh shock dari nilai tukar
terhadap output, suku bunga, harga dan nilai tukar itu sendiri. Variance Decompositions (VD)
menunjukkan bahwa inovasi nilai tukar merupakan sumber yang lebih penting dari fluktuasi
output, dibandingkan dengan shock suku bunga. Di akhir penelitian ditunjukkan bahwa variabel
suku bunga bisa menjadi variabel endogen atau eksogen, hal tersebut terlihat dari Impulse
Response yang tidak jauh berbeda.
Kerangka Pikir
Berdasarkanpenjelasan teori dan konsep sebelumnya, maka dapat digambarkan kerangka pikir
penelitian sebagai berikut :
Tabel 2. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter dalam Kerangka Inflation Targeting
di Indonesia
Sasaran
Variabel
Sasaran Operasional
Jalur MTM
Akhir
Instrumen
Jalur Moneter
M0
M1, M2, KRDT, OG
Jalur Suku Bunga
RPUAB, RDEPO, RKRDT, OG
INFLASI
RSBI
Jalur Kredit
RDEPO, CB, KRDT, OG
Jalur Nilai Tukar
RDEPO, PSB, CAPIN, KURS
Sumber : Peneliti (2014)
Keterangan:
M0
: Uang Inti
M1, M2
: Uang Sekunder
OG
: Output Gap
RSBI
: Suku Bunga SBI
RDEPO
: Suku Bunga Deposito
RKRDT : Suku Bunga Kredit
KURS
RPUAB
KRDT
CAPIN
CB
PSB
: Nilai Tukar
: Suku Bunga PUAB
: Kredit Perbankan
: Capital Inflows
: Cadangan Bank
: Paritas Suku Bunga
C. METODOLOGI PENELITIAN
Sumber Data
Jenis pendekatan yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kuantitatif. Penelitian ini akan dilakukan pada Negara Indonesia dengan waktu
penelitian antara tahun 2000 triwulan I sampai dengan tahun 2013 triwulan III. Data yang
diperoleh bersumber dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Laporan Tahunan
Bank Indonesia berbagai edisi, IMF Financial Statistic, dan publikasi dari Badan Pusat Statistik
RI. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Inflasi (INF), yaitu inflasi berdasarkan IHK, dinyatakan dalam satuan persen.
Uang Inti(M0), yaitu uang kartal ditambah reserve money, dinyatakan dalam miliar rupiah.
Uang Sekunder (M1), terdiri atas uang kartal dan rekening koran, dalam miliar rupiah.
Uang Sekunder (M2), terdiri atas uang kartal, rekening koran dan uang kuasi, dinyatakan
dalam satuan miliar rupiah.
Output Gap (OG), yaitu selisih antara Produk Domestik Bruto (PDB) aktual dengan PDB
potensial, dinyatakan dalam satuan miliar rupiah.
Suku Bunga SBI (RSBI), dengan jangka waktu 1 bulan, dinyatakan dalam satuan persen.
Suku Bunga deposito (RDEPO), dengan jangka waktu 3 bulan, dinyatakan dalam persen.
Suku Bunga Kredit (RKRDT), kredit bank umum untuk pinjaman investasi, dinyatakan
dalam satuan persen.
Nilai Tukar (KURS), nilai Dollar Amerika terhadap Rupiah ($/Rp).
Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank (RPUAB), adalah tingkat suku bunga yang dikenakan
oleh pihak bank kepada bank yang melakukan pinjaman, dinyatakan dalam satuan persen.
Kredit Perbankan (KRDT), disalurkan pada berbagai sektor ekonomi, dalam miliar rupiah.
Capital Inflows (CAPIN), yaitu aliran modal yang masuk ke dalam negeri, dinyatakan
dalam satuan juta Dollar Amerika.
Cadangan Bank (CB), yaitu cadangan uang yang dimiliki bank, dalam satuan miliar rupiah.
Paritas Suku Bunga (PSB), yaitu selisih antara suku bunga domestik (RDEPO) dengan suku
bunga deposito perbankan di Singapura (SIBOR), dinyatakan dalam satuan persen.
Model VAR
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif berupa
VectorAuto Regression (VAR). Adapun model VAR dapat diformulasikan sebagai berikut :
(1) Mekanisme transmisi jalur moneter langsung
INF = C+ai∑M0t-k+ai∑M1t-k+ai∑M2t-k+ai∑KRDTt-k+ai∑OGt-k+ai∑INFt-k+ε
(2) Mekanisme transmisi jalur suku bunga
INF = C+ai∑RSBIt-k+ai∑RPUABt-k+ai∑RDEPOt-k+ai∑RKRDTt-k+ai∑OGt-k +ai∑INFt+ε
(3) Mekanisme transmisi jalur nilai tukar
INF = C+ai∑RSBIt-k+ai∑RDEPOt-k+ai∑PSBt-k+ai∑CAPINt-k+ai∑KURSt-k+ai∑INFt-k+ε
(4) Mekanisme transmisi jalur kredit
INF = C+ai∑RSBIt-k+ai∑RDEPOt-k+ai∑CBt-k+ai∑KRDTt-k+ai∑OGt-k+ai∑INFt-k+ε
Model VAR diatas hanya ditampilkan sebagian, yaitu pada persamaan inflasinya saja karena
fokus dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas jalur-jalur transmisi kebijakan
moneter dengan sasaran tunggal inflasi.
Metode Analisis
a. Step 1: Uji Stasioneritas dan Derajat Integrasi
Untuk menganalisis data yang bersifat time series perlu menguji ada tidaknya korelasi antar
waktu, yaitu waktu saat ini (t) dengan waktu sebelumnya (t-1) dan seterusnya. Pengujian ini akan
dilakukan dengan uji akar-akar unit atau biasa disebut unit roots test. Masing- masing variabel
akan diuji, apakah variabel tersebut stasioner atau tidak. Apabila variabel yang diuji tidak stasioner
pada tingkat level maka dilanjutkan dengan uji derajat integrasi.
b. Step 2: Penentuan Lag Length
Ada lima kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui berapakah jumlah lag yang sesuai
untuk model yang diamati. Indikator criterion lag length tersebut adalah: LR, FPE, AIC, SC dan
HQ. Hasil dari tahapan ini akan menunjukkan lag optimal yang direkomendasikan.
c. Step 3: Analisis VAR
Metodologi Vector Auto Regression (VAR) merupakan pemodelan persamaan simultan dimana
kita memiliki beberapa variabel endogen secara bersamaan. Namun, masing-masing variabel
endogen dijelaskan oleh lag, atau masa lalu, dari nilainya sendiri dan variabel endogen lainnya
dalam model (Gujarati, 2012). Analisis VAR merupakan analisis yang menunjukkan masingmasing variabel sebagai fungsi linear dari konstanta dan nilai lag masing-masing variabel tersebut,
dan nilai lag dari variabel lain yang ada dalam model. Variabel independen dalam VAR meliputi
nilai lag seluruh variabel tak bebas dalam model VAR yang membutuhkan identifikasi restriksi
untuk mencapai persamaan melalui intepretasi persamaan. Media yang digunakan untuk
melakukan estimasi dalam model VAR adalah Impulse Response Function (IRF) dan Variance
Decomposition. IRF digunakan untuk mengestimasi respon yang ditunjukkan setiap variabel ketika
terjadi shock pada variabel tertentu. Sedangkan Variance Decomposition digunakan untuk
mendapatkan informasi tentang kontribusi varians setiap variabel terhadap perubahan yang terjadi
pada variabel tertentu.
Nachrowi (2006) berpendapat bahwa model Vector Auto Regression (VAR) memiliki beberapa
keunggulan, yaitu:
1. Model tergolong sederhana, variabel-variabelnya tidak perlu dibedakan menjadi variabel
endogen atau eksogen;
2. Estimasi VAR dapat dilakukan dengan mudah;
3. Dalam beberapa hal, peramalan menggunakan VAR lebih baik dibandingkan model
persamaan simultan yang lebih kompleks.
D. HASIL
Gambaran Umum
Perekonomian Indonesia pada tahun 2013 menghadapi tantangan yang tidak ringan. Tekanan
inflasi yang meningkat cukup kuat pada tahun 2013 dipicu oleh kenaikan harga pangan dan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Pada triwulan I 2013, tekanan inflasi banyak dipengaruhi
kenaikan harga pangan akibat kebijakan pembatasan impor produk hortikultura dan anomali cuaca.
Tekanan inflasi semakin kuat sejak Juni 2013 saat Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi,
sebagai upaya menjaga ketahanan fiskal. Kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut juga
memberikan dampak lanjutan kepada harga kelompok barang-barang lain akibat dari naiknya tarif
transportasi. Pada saat bersamaan, inflasi volatile food pada bulan Juni-Agustus 2013 juga
meningkat akibat dampak lanjutan kenaikan harga BBM bersubsidi dan gangguan produksi dalam
negeri akibat masa panen yang mundur. Kenaikan harga di kedua kelompok tersebut pada
gilirannya memberikan dampak lanjutan kepada inflasi inti yang kemudian secara keseluruhan
mendorong inflasi pada Agustus 2013 naik menjadi 8,8% (yoy).
Kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah berpengaruh positif kepada inflasi
yang mulai September 2013 menurun kembali kepada pola historis. Kondisi ini dipengaruhi
tekanan harga pangan yang menurun dan bahkan mencatat deflasi. Dampak lanjutan kenaikan
harga BBM juga mulai mereda dipengaruhi ekspektasi inflasi yang mereda. Selain itu, pengaruh
depresiasi rupiah terhadap inflasi juga minimal sehingga tekanan terhadap inflasi inti tetap
terkendali.
kendali. Berbagai perkembangan positif tersebut mendorong inflasi bulanan kembali kepada
pola normal mulai September 2013, bahkan berada di bawah perilaku historis.
Gambar 1. Perkembangan Inflasi
Sumber: Bank Indonesia, 2014.
Tekanan inflasi yang mereda mulai September 2013 mendorong inflasi keseluruhan tahun 2013
tidak melebihi angka dua digit seperti terjadi pada periode-periode
periode periode kenaikan harga BBM
bersubsidi di 2005 dan 2008. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2013 tercatat
tercatat mencapai
8,4%, lebih tinggi dari inflasi tahun 2012 yang sebesar 4,3%, dan berada di atas kisaran sasaran
yang ditetapkan sebesar 4,5%±1%. Berdasarkan komponennya, kenaikan inflasi terutama
dipengaruhi oleh tingginya inflasi administered prices dan inflasi volatile food yang masing
masingmasing mencapai 16,7% dan 11,8%. Sementara itu, inflasi inti masih cukup terkendali yakni
sebesar 5,0%, meskipun sedikit meningkat bila dibandingkan inflasi inti tahun sebelumnya yang
sebesar 4,4%(Gambar 1).
Nilai tukar rupiah
iah pada tahun 2013 berada dalam tren melemah. Tekanan terhadap nilai
tukar rupiah tersebut tidak terlepas dari pengaruh ekonomi global yang melambat dan harga
komoditas internasional yang menurun, yang kemudian mendorong melebarnya defisit transaksi
berjalan
lan Indonesia. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin kuat sejak akhir Mei 2013 saat
terjadinya aliran keluar modal asing dari pasar keuangan domestik.
Gambar 2. Volatilitas Nilai Tukar Rupiah
Sumber: Bank Indonesia, 2014.
Pada 2013, tren pelemahan nilai tukar rupiah mulai terjadi sejak awal tahun, meskipun masih
terbatas. Pada triwulanI 2013, rupiah ditutup pada level Rp9.718 per dolar AS, melemah 0,82%
dibandingkan dengan level penutupan akhir triwulan IV 2012. Secara rata-rata,
rata rata, rupiah pa
pada
triwulan I 2013 juga melemah 0,70% menjadi Rp9.680 per dolar AS dibandingkan Rp9.613 per
dolar AS pada triwulan IV 2012.
Bekerjanya transmisi kebijakan jalur suku bunga tercermin pada perkembangan suku
bunga PUAB yang secara umum mengikuti kenaikan BI R
Rate
ate sepanjang 2013. Kenaikan BI Rate
dan suku bunga PUAB ditransmisikan kepada suku bunga perbankan, khususnya suku bunga
deposito. Suku bunga deposito pada akhir tahun 2013 tercatat sebesar 7,69% atau mengalami
peningkatan sebesar 193 bps jika dibandingkan
dibandingkan dengan suku bunga deposito pada akhir tahun 2012
yang sebesar 5,76%. Secara individual, beberapa bank telah menawarkan suku bunga pada level
sama atau di atas suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Gambar 3. Perkembangan Suku Bunga
Sumber: Bank Indonesia, 2014.
Selanjutnya, kenaikan suku bunga deposito ditransmisikan lebih lanjut kepada suku bunga kredit
meski dengan besaran yang lebih terbatas. Setelah cenderung mengalami penurunan dan mencapai
titik terendah sebesar 11,93% pada bulan Juni 2013, suku bunga kredit mengalami peningkatan
sejak bulan Juni 2013 seiring dengan kenaikan BI Rate. Rata-rata
Rata rata tertimbang suku bunga kredit
pada akhir tahun 2013
013 tercatat sebesar 12,39% atau meningkat 23 bps dibandingkan dengan posisi
akhir tahun 2012 yang sebesar 12,16%. Kenaikan suku bunga deposito kemudian berpengaruh
pada besaran deposito perbankan. Setelah mengalami perlambatan pertumbuhan pada awal tahun
2013, pertumbuhan deposito mengalami peningkatan pada paruh kedua tahun 2013.
Step 1 : Pengujian Stasioneritas Variabel
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa uuntuk
ntuk menganalisis data yang bersifat time
series perlu menguji ada tidaknya korelasi antar waktu. Dalam hal ini akan dilakukan pengujian
stasioneritas terhadap variabel-variabel
variabel variabel yang digunakan dalam penelitian. Pengujian ini akan
dilakukan dengan uji akar-akar
akar unit atau biasa disebut unit roots test. Apabila
abila variabel yang diuji
tidak stasioner pada tingkat level maka dilanjutkan dengan uji derajat integrasi. Prosedur yang
digunakan untuk menguji suatu data stasioner atau tidak adalah dengan membandingkan antara
nilai statistik dari Dickey-Fuller
Fuller (DF statistic)) dengan nilai kritisnya pada tingkat signifikansi
tertentu (1%, 5%, dan 10%). Jika nilai absolut dari statistik ADF lebih besar dibandingkan dengan
nilai kritisnya, maka data tersebut berarti stasioner dan sebaliknya. Sehubungan dengan ini,
seluruh variabel
ariabel penelitian stasioner dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel 3. Hasil Uji Akar-akar Unit Terhadap Variabel Penelitian dengan Pendekatan
Augmented Dickey-Fuller (ADF)
Variabel Penelitian
INF
M0
M1
M2
OG
RSBI
RDEPO
RKRDT
KURS
PRUAB
KRDT
CAPIN
CB
PSB
ADF Statistik
-5.467340*
-16.22604*
-16.08217*
-10.95531*
-39.28269*
-4.181443*
-3.581224**
-4.520854*
-7.013081*
-8.769732*
-4.435195*
-4.809156*
-3.502339**
-3.835629**
ADF Kritis
-4.152511 (1%)
-3.502373 (5%)
-3.180699 (10%)
Variabel RDEPO, RKRDT, dan CAPIN
stasioner pada level.
Variabel INF, CB, KURS, PSB, RPUAB,
dan RSBI stasioner pada beda satu
(1 st different)
Variabel M0, M1, M2, KRDT, dan OG
stasioner pada beda dua (2 nd different)
Catatan: * (signifikan pada taraf 1%)
** (signifikan pada taraf 5%)
Sumber: Peneliti (2014)
Dari hasil uji akar-akar unit (unit roots test) menunjukkan bahwa variabel-variabel yang diteliti
stasioner pada derajat yang berbeda-beda, maka dari itu dalam penelitian ini akan menggunakan
model VAR indifference.
Step 2 : Penentuan Lag Optimal
Ada lima kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui berapakah jumlah lag yang sesuai
untuk model yang diamati. Indikator criterion lag length tersebut adalah: LR, FPE, AIC, SC dan
HQ. Hasil dari tahapan ini akan menunjukkan lag optimal yang direkomendasikan. Hasil
pengujian dapat dilihat pada tabel 4 berikut:
Tabel 4. Hasil Uji Penentuan Lag Optimal
Lag
0
1
2
LogL
-4879.952
-4146.345
-3855.585
LR
NA
1051.964
263.3297*
FPE
8.91e+62
1.72e+54
2.53e+53*
AIC
184.6774
164.3904
160.8145*
SC
185.1979
172.1972*
175.9077
HQ
184.8776
167.3925
166.6187*
Sumber: Peneliti (2014)
Dari tabel 4 terlihat bahwa tanda bintang yang paling banyak berada pada lag 2. Hal ini
menunjukkan bahwa lag optimal yang direkomendasikan adalah lag 2.
Step 3 : Analisis VAR (Variance Decomposition dan Impulse Response Function)
Analisis Variance Decomposition dilakukan untuk mengetahui variabel-variabel mana yang
mempunyai peran yang relatif penting dalam perubahan variabel itu sendiri maupun variabel
lainnya. Analisis Variance Decomposition dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel untuk
lebih memudahkan dalam memberikan gambaran varians dari sebuah variabel akibat adanya shock
(kejutan) variabel lainnya maupun terhadap dirinya sendiri. Analisis ini bermanfaat untuk
mengetahui kejutan variabel mana yang paling mempengaruhi perubahan suatu variabel.
Analisis Variance Decomposition inflasi pada jalur moneter langsung menunjukkan bahwa
varians M0 sebagai variabel instrumen, dan juga variabel-variabel lainnya yang bisa dijadikan
sebagai sasaran operasional nilainya jauh lebih kecil daripada varians inflasi itu sendiri. Sedangkan
pada jalur suku bunga terlihat bahwa varians RSBI sebagai variabel instrumen mempunyai nilai
yang jauh lebih besar dari inflasi itu sendiri, selain itu varians RPUAB dan RDEPO memberikan
kontribusi yang rata-rata meningkat dari waktu ke waktu.
Tabel 5. Hasil Uji Variance Decomposition
Jalur Moneter
Per
S.E.
1
2.139088
5
3.519237
10
3.636005
D2M0
0.051547
2.032630
5.763224
D2M1
0.327149
0.310004
0.589945
D2M2
1.087827
6.020843
6.703470
D2KRDT
9.073196
17.51047
16.62779
D2OG
0.893136
2.014474
1.935270
DINF
88.56715
72.11158
68.38030
Jalur Suku Bunga
Per
S.E.
1
1.578380
5
3.353119
10
3.580901
DRSBI
7.829868
31.86563
30.85708
DRPUAB
0.908110
11.18409
15.05190
RDEPO
0.123753
18.24560
17.21578
RKRDT
8.928700
11.86966
11.48383
D2OG
4.076128
1.988567
1.961365
DINF
78.13344
24.84646
23.43005
Jalur Kredit
Per
S.E.
1
1.666668
5
3.102316
10
3.420494
DRSBI
11.50126
25.04413
23.22559
RDEPO
0.092113
33.52583
38.16072
DCB
1.750883
6.863338
6.691585
D2KRDT
1.685373
2.032168
2.596647
D2OG
1.849253
1.883357
2.941838
DINF
83.12111
30.65118
26.38363
Jalur Nilai Tukar
Per
S.E.
1
1.747006
5
3.430109
10
3.765087
DRSBI
14.38382
43.91374
37.86463
RDEPO
0.118061
22.40516
21.85966
DPSB
11.60723
6.327946
11.54744
CAPIN
0.861570
0.860827
2.832079
DKURS
1.533756
1.290615
1.584906
DINF
71.49556
25.20171
24.31129
Sumber: Peneliti (2014)
Kemudian pada jalur kredit dan jalur nilai tukar memperlihatkan bahwa variabel Cadangan Bank
(CB) dan Kredit (KRDT) pada jalur kredit dan variabel KURS pada jalur nilai tukar yang
seharusnya memegang peranan penting pada jalur-jalur tersebut mempunyai nilai varians yang
sangat kecil. Analisis tersebut menunjukkan bahwa jalur kredit dan jalur nilai tukar kurang efektif
dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Analisis variance decomposition
inflasi pada keempat jalur ini menunjukkan bahwa jalur suku bunga lebih efektif dibandingkan
dengan jalur-jalur lainnya.
Analisis Impulse Response dilakukan untuk melihat respon suatu variabel ketika terjadi shock
(kejutan/goncangan) pada variabel lainnya. Impulse Response merupakan hasil estimasi VAR yang
dapat digambarkan dengan grafik atau tabel. Dari grafik atau tabel tersebut dapat dilihat seberapa
besar respon variabel terhadap shock sebesar satu standar deviasi (S.D) dari variabel-variabel di
dalam model. Analisis Impulse Response dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk grafik untuk
lebih memudahkan dalam melihat respon suatu variabel ketika terjadi shock pada variabel lainnya
maupun terhadap dirinya sendiri.
Analisis Impulse Response inflasi pada jalur moneter langsung menunjukkan lemahnya respon
inflasi terhadap shock M0 yang menjadi variabel instrumen pada jalur ini dan juga terhadap
variabel M1 dan M2 yang merupakan variabel penting pada jalur ini. Shock satu standar deviasi
variabel M0 pada periode pertama direspon positif oleh inflasi hanya sebesar 0,05%, kemudian
pada periode-periode berikutnya direspon negatif, pada periode keenam mendapatkan respon
sebesar -0,36%. Respon inflasi terhadap shock satu standar deviasi variabel M2 sebesar 0,22%
pada periode pertama dan respon terkuat hanya sebesar -0,52% pada periode keempat.
Pada jalur suku bunga terlihat bahwa shock RSBI sebagai variabel instrumen direspon positif dan
sangat kuat oleh inflasi. Guncangan pada variabel lainnya, seperti RPUAB dan RDEPO juga
direspon oleh inflasi dengan cukup kuat. Shock satu standar deviasi variabel RSBI pada periode
pertama direspon positif oleh inflasi sebesar 0,44%, kemudian terus meningkat hingga 1,02% pada
periode ketiga. Respon inflasi terhadap shock satu standar deviasi variabel RPUAB dan RDEPO
juga cukup kuat hingga diatas 0,8%.
Gambar 4. Respon Inflasi terhadap Variabel-variabel pada Semua Jalur
Jalur Moneter
Response of DINF to D2M1
Response of DINF to D2M0
Response of DINF to D2M2
3
3
3
2
2
2
1
1
1
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
-2
2
4
6
8
10
2
4
6
8
2
10
4
6
8
10
Jalur Suku Bunga
Response of DINF to DRPUAB
Response of DINF to DRSBI
Response of DINF to RDEPO
2
2
2
1
1
1
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
-2
2
4
6
8
2
10
4
6
8
2
10
4
6
8
10
Jalur Kredit
Response of DINF to DRSBI
Response of DINF to D2KRDT
Response of DINF to DCB
2
2
2
1
1
1
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
-2
2
4
6
8
10
2
4
6
8
2
10
4
6
8
10
Jalur Nilai Tukar
Response of DINF to DKURS
Response of DINF to CAPIN
Response of DINF to DRSBI
3
3
3
2
2
2
1
1
1
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
2
4
6
8
10
-2
2
4
6
8
10
2
4
6
8
10
Sumber: Peneliti (2014)
Pada jalur kredit dan jalur nilai tukar memperlihatkan bahwa shock variabel Cadangan Bank
(CB) dan Kredit (KRDT) pada jalur kredit dan variabel KURS pada jalur nilai tukar yang
seharusnya memegang peranan penting pada jalur-jalur tersebut hanya mendapat sedikit respon
dari inflasi. Shock satu standar deviasi variabel CB pada periode pertama direspon negatif oleh
inflasi sebesar -0,22%, respon terkuat pada variabel ini ada pada periode kedua namun hanya
sebesar -0,44%. Respon terkuat inflasi terhadap shock satu standar deviasi variabel KRDT hanya
sebesar 0,34% pada periode kedua. Shock satu standar deviasi variabel KURS pada periode
pertama direspon negatif oleh inflasi sebesar -0,21, respon terkuat pada variabel ini ada pada
periode kedua namun hanya sebesar -0,25%. Analisis ini menunjukkan bahwa kedua jalur tersebut
dinilai kurang efektif dalam implementasi kebijakan moneter dengan sasaran tunggal inflasi di
Indonesia. Melihat respon inflasi terhadap shock yang terjadi pada variabel-variabel yang terlibat
dengan keempat jalur, maka bisa dikatakan bahwa jalur suku bunga lebih efektif bila dibandingkan
dengan jalur-jalur lainnya.
Selanjutnya akan dicari variabel mana yang paling cocok digunakan sebagai sasaran operasional
pada jalur yang paling efektif, dalam hal ini adalah jalur suku bunga. Berdasarkan uji Variance
Decomposition pada jalur suku bunga didapatkan hasil bahwa varians RPUAB dan RDEPO
mempunyai selisih yang sangat tipis, yakni hanya 2% saja, sehingga perlu mempertimbangkan
hasil uji Impulse Response Function. Dari hasil pengujian IRF akan tampak seberapa kuat dan
cepat respon yang diberikan oleh inflasi atas shock satu standar deviasi variabel RPUAB dan
RDEPO. Kekuatan dan kecepatan respon menjadi pertimbangan dalam menentukan variabel mana
yang lebih baik dalam memberikan respon. Dalam penelitian ini akan dilihat yang pertama adalah
kekuatan respon, apabila sama-sama kuat kemudian dilihat seberapa cepat respon yang diberikan
oleh inflasi terhadap variabel-variabel tersebut.
Uji IRF pada jalur suku bunga menunjukkan bahwa shock RPUAB dan RDEPO mendapatkan
respon sama-sama kuat dari inflasi, namun terlihat bahwa respon inflasi terhadap shock RPUAB
lebih cepat daripada RDEPO. Respon terkuat dari shock RPUAB berada di periode kedua,
sedangkan pada RDEPO berada di periode ketiga.
Gambar 5. Perbandingan Respon Inflasi terhadap RPUAB dan RDEPO
Response of DINF to DRPUAB
Response of DINF to RDEPO
2
2
1
1
0
0
-1
-1
-2
-2
2
4
6
8
10
2
4
6
8
10
Sumber: Peneliti (2014)
Dari hasil pengujian yang dilakukan maka dapat dinyatakan bahwa suku bunga pasar uang antar
bank (RPUAB) sebagai variabel yang paling cocok digunakan sebagai sasaran operasional pada
jalur suku bunga dalam kebijakan moneter dengan sasaran tunggal inflasi di Indonesia. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, diantaranya oleh oleh Hakim
(2001) yang menyatakan bahwa suku bunga PUAB layak dijadikan sasaran operasional, dan
penelitian yang dilakukan Natsir (2011) yang menyatakan bahwa suku bunga Pasar Uang Antar
Bank (rPUAB) berfungsi secara efektif sebagai sasaran operasional.
E. PEMBAHASAN
Pendekatan jalur moneter (kuantitas uang) mengacu pada persamaan kuantitas uang klasik, yaitu
MV=PT (the equation of exchange) yang menyatakan bahwa, dalam keseimbangan, jumlah uang
beredar yang digunakan pada seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah
output yang ditransaksikan berdasar harga yang berlaku (PT). Nampak bahwa terdapat suatu
hubungan antara jumlah uang beredar (M) dan nominal output (PT) dalam perekonomian.
Persamaan ini menggambarkan keterkaitan antara sektor riil dan sektor moneter. Berdasarkan hal
tersebut, dengan asumsi money multiplier yang dapat diprediksi, bank sentral berusaha
mengendalikan uang primer (M0) yang selanjutnya akan mempengaruhi jumlah uang beredar (M1
dan M2), sehingga sebagai konsekuensinya sasaran laju inflasi akan terpenuhi juga.
Berdasarkan hasil uji variance decomposition dan uji impulse response pada jalur moneter dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter pada jalur kuantitas
uang (moneter) di Indonesia pada periode penelitian dinilai tidak cukup efektif. Hal ini disebabkan
bahwa perekonomian Indonesia telah berubah dengan cepat dan semakin terbuka sehingga
hubungan dengan negara lain semakin terintegrasi. Selain itu, deregulasi dan globalisasi telah
mendorong sektor keuangan berkembang sangat cepat ke arah bekerjanya mekanisme pasar,
timbulnya inovasi produk-produk keuangan baru, serta membaurnya operasi bank dengan
lembaga-lembaga keuanngan lainnya. Hal-hal tersebut telah menyebabkan proses penciptaan uang
lebih banyak terjadi di luar kendali otoritas moneter dan proses money multiplier tidak lagi dapat
diprediksi dengan baik, sehingga paradigma lama sistem pengendalian moneter dengan sasaran
kuantitas (monetary aggregates targetting) tersebut menjadi semakin kurang relevan.
Jalur suku bunga (interest rate channel) menekankan pentingnya aspek harga di pasar keuangan
terhadap berbagai aktivitas ekonomi di sektor riil. Kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral
akan mempengaruhi perkembangan berbagai suku bunga di sektor keuangan dan selanjutnya akan
berpengaruh pada tingkat inflasi dan output riil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga telah bekerja dengan efektif dan mengikuti
paradigma uang pasif, yakni shock RSBI mempengaruhi suku bunga jangka pendek, dalam hal ini
RPUAB sebagai sasaran operasional. Selanjutnya ditransmisikan ke sektor riil melalui pengaruh
RDEPO dan RKRDT terhadap output gap dan selanjutnya terhadap inflasi sebagai sasaran akhir
kebijakan moneter.
Efektivitas jalur suku bunga yang sudah terbukti pada penelitian ini telah sejalan dengan
penelitian-penelitian sebelumnya, diantaranya yang dilakukan oleh Natsir (2011), yang
menyatakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga efektif
mewujudkan sasaran akhir kebijakan moneter di Indonesia periode 1990:2-2007:1, dan juga yang
telah dilakukan oleh Maski (2005) yang menyatakan keandalan penggunaan jalur suku bunga
dalam mengejar target kebijakan yang berupa inflasi. Hal ini menunjukkan bahwa sejak
diterapkannya ITF hingga penelitian ini dilakukan, jalur suku bunga dalam mekanisme transmisi
kebijakan moneter masih efektif digunakan di Indonesia.
Kebijakan moneter oleh bank sentral, secara teori bisa mempengaruhi likuiditas perbankan (bank
reserve) dan kemudian akan berpengaruh terhadap keputusan perbankan dalam pemberian kredit.
Dan dampak selanjutnya terhadap sektor riil dan inflasi terjadi melalui dampak penyaluran kredit
perbankan kepada investasi dan konsumsi. Berdasarkan hal tersebut bisa dikatakan bahwa
cadangan bank (bank reserve) dan kredit perbankan yang disalurkan merupakan variabel penting
dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter pada jalur kredit. Berdasarkan hasil pada penelitian
ini, perubahan yang terjadi pada suku bunga SBI tidak banyak berpengaruh terhadap cadangan
bank maupun jumlak kredit perbankan yang disalurkan. Hal ini bisa disebabkan oleh perilaku
sektor perbankan dalam hal implementasi fungsi intermediasinya. Situasi ekonomi yang tidak
menentu menjadikan bank lebih memilih memutarkan uangnya di pasar uang antar bank daripada
menyalurkan kepada masyarakat, selain itu tingginya non performing loans (NPL) menjadikan
perbankan lebih selektif dalam menyalurkan kredit.
Kurs atau nilai tukar suatu mata uang di definisikan sebagai harga suatu mata uang terhadap
mata uang lainnya. Sejalan dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter, nilai tukar (kurs)
seharusnya memegang peranan penting pada jalur nilai tukar, namun hasil pengujian yang telah
dilaksanakan pada penelitian ini tidak menunjukkan hal demikian. Berdasarkan hasil uji variance
decomposition dan uji impulse response menunjukkan bahwa mekanisme transmisi kebijakan
moneter pada jalur nilai tukar kurang efektif dibandingkan dengan jalur suku bunga. Hasil studi ini
berbeda dengan kondisi yang disyaratkan dalam teori purchasing power parity bahwa gejolak nilai
tukar berpengaruh terhadap variablitas harga barang-barang yang diperdagangkan (tradeable) yang
selanjutnya berpengaruh terhadap variabilitas inflasi, tidak relevan dengan kondisi perekonomian
Indonesia dalam periode studi ini. Hal ini terjadi karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selain
dipengaruhi oleh faktor ekonomi juga dipengaruhi oleh faktor non-ekonomi misalnya faktor
sentimen pasar dan gejolak politik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Maski pada tahun 2005, yang menyatakan bahwa dalam implementasi kebijakan
moneter dengan sasaran tunggal inflasi, jalur nilai tukar tidak bisa dibuktikan keberadaannya
dalam kasus di Indonesia.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan pada bagian sebelumnya, maka penelitian
analisis efektivitas jalur-jalur transmisi kebijakan moneter di Indonesia dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Di antara empat jalur transmisi kebijakan moneter, dalam hal ini jalur moneter langsung (direct
monetary channel), jalur suku bunga (interest rate channel), jalur nilai tukar (exchange rate
channel) dan jalur kredit (credit channel), jalur suku bunga merupakan jalur yang paling efektif
dibanding dengan jalur-jalur lainnya. Analisis yang dilakukan melalui uji impulse response dan
uji variance decomposition menggambarkan keandalan penggunaan jalur suku bunga dalam
mencapai sasaran akhir inflasi, terlihat dari respon yang diberikan oleh inflasi dan varians dari
variabel-variabel yang terlibat dalam jalur ini. Kesimpulan ini telah sejalan dengan penelitianpenelitian sebelumnya yang telah dilakukan pada kasus di Indonesia.
2. Suku bunga pasar uang antar bank merupakan variabel yang paling cocok digunakan sebagai
sasaran operasional pada jalur suku bunga dalam kebijakan moneter dengan sasaran tunggal
inflasi di Indonesia. Hasil uji impulse response pada jalur suku bunga menunjukkan bahwa
shock RPUAB mendapatkan respon yang kuat dan juga cepat dari inflasi. Selain kekuatan,
kecepatan juga menjadi pertimbangan dalam menentukan variabel mana yang lebih baik dalam
memberikan respon.
Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa saran yang dapat diajukan, baik untuk
pengembangan pengetahuan maupun untuk kepentingan praktis, antara lain:
1. Pada penelitian ini hanya membahas empat jalur transmisi kebijakan moneter di Indonesia,
selain keempat jalur tersebut masih ada jalur harga aset dan jalur ekspektasi, diharapkan
kedepannya ada penelitian yang juga melibatkan jalur harga aset dan jalur ekspektasi guna
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang moneter.
2. Jalur suku bunga yang telah terbukti efektif dapat digunakan sebagai dasar dalam perumusan
kebijakan sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter di
Indonesia.
3. Stabilitas suku bunga pasar uang antar bank sebagai sasaran operasional kebijakan moneter
hendaknya perlu dijaga agar sasaran akhir berupa inflasi juga bisa terkendali.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. 2014. Laporan Perekonomian Indonesia 2013. ISSN 0522-2572. Jakarta: Bank
Indonesia.
Bernanke and Ilian Mihov. 1995. Measuring Monetary Policy. National Bureau of Economic
Research (NBER) Working Paper, No. 5145.
Boediono. 1982. Ekonomi Makro. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 2. Edisi Ketiga.
Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE) UGM.
Cavoli, Tony. 2010. What Drives Monetary Policy in Post-Crisis East Asia? Interest Rate or
Exchange Rate Monetary Policy Rules. Journal of Asian Economics, (No.21): 456-465.
Chow, Hwee Kwan. 2004. A VAR Analysis of Singapore’s Monetary Transmission Mechanism.
SMU Economics & Statistics Working Paper Series.
Gujarati, Damodar, N dan Porter, Dawn, C. (Mangunsong, Raden Carlos). 2012. Dasar-Dasar
Ekonometrika. Buku 2, Edisi 5. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Hakim, Lukman. 2001. Penerapan Pentargetan Inflasi dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan
Moneter 1990.1-2000.4. Media Ekonomi, Vol. 7, (No. 2).
Hakim, Lukman. 2004. Perbandingan Peranan Jalur Kredit pada Masa Sebelum dan Ketika Krisis
Ekonomi 1990.1-2000.4. Media Ekonomi, Januari 2004.
Maski, Ghozali. 2005. Studi Efektifitas Jalur-Jalur Transmisi Kebijakan Moneter dengan Sasaran
Tunggal Inflasi (Pendekatan VAR). Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca
Sarjana Universitas Brawijaya Malang.
Maski, Ghozali. 2007. Transmisi Kebijakan Moneter: Kajian Teoritis dan Empiris. Malang:
Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya (BPFE UNIBRAW)
Nachrowi, D.N. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis EKONOMETRIKA untuk Analisis
Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: LP-FEUI.
Natsir, M. 2011. Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di
Indonesia melalui Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel) Periode 1990:2-2007:1.
Majalah Ekonomi, Tahun XXI, (No. 2)
Svensson, Lars E.O. 1998. Inflation Targeting as a Monetary Policy Rule. National Bureau of
Economic Research (NBER) Working Paper (No. 6790).
Taylor, John B. 1995. The Monetary Transmission Mechanism: An Empirical Framework. The
Journal of Economic Perspective. Vol.09, (Number 04), Pp:11-26.
Warjiyo, P dan Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia. Seri Kebanksentralan No. 6.
PPSK. Jakarta: Bank Indonesia.
Warjiyo, Perry. 2004. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Kebanksentralan No. 11. PPSK. Jakarta: Bank Indonesia.
di Indonesia. Seri
Wulandari, Ries. 2012. Do Credit Channel and Interest Rate Channel Play Important Role in
Monetary Transmission Mechanism in Indonesia?: A Structural Vector Autoregression
Model. ICIBSoS 2012. Procedia-Social and Behavioral Sciences (Number 65): 557-563.
Download