II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK IKAN Minyak ikan diproduksi melalui pengirisan, pemotogan, serta pemasakan pada suhu 90oC selama 15 menit. Minyak ikan diperoleh dari organ tubuh ikan seperti kepala ikan. Minyak kasar yang diperoleh dipisahkan dan dimurnikan dengan alkali dan diputihkan. (Chang et al., 1989). Minyak ikan merupakan fraksi lemak yang diperoleh dari ekstraksi ikan atau sebagai salah satu hasil samping dari industri pengalengan ikan yang dihasilkan karena pemanasan dan sterilisasi selama proses sehingga minyak dari ikan terekstrak dan terbuang bersamaan dengan panas (Aidos, 2002). Minyak ikan mengandung fraksi lemak seperti triasilgliserol, diasilgliserol, monoasilgliserol, fosfolipid, steril ester, sterol dan asam lemak bebas (Saify et al., 2003) Minyak ikan ini bermanfaat bagi kesehatan. Minyak ikan yang belum dimurnikan masih berbau ikan, tengik, dan bau amis. Hal ini dikarenakan autoksidasi dari asam lemak jenuh rantai ganda serta pembusukan bahan protein (Chang et al., 1989). Menurut Ketaren (1996), bau amis pada minyak disebabkan karena adanya senyawa trimetil amin oksida akibat oksidasi komponen trimetil amin oleh peroksida yang berinteraksi dengan asam lemak tak jenuh, sedangkan minyak yang berbau tengik dapat disebabkan karena adanya oksidasi pada minyak/lemak dengan udara, aksi mikroba, absorpsi bau oleh lemak dan aksi enzim dalam jaringan yang mengandung lemak. Bau amis disebabkan oleh interaksi trimetilamin oksida dengan ikatan rangkap dari lemak tidak jenuh. Pembentukan trimetilamin oksida disebabkan karena reaksi oksidasi trimetilamin dengan gugus peroksida dalam lemak. Trimetilamin sendiri bersumber dari lesithin yang mengalami pemecahan ikatan C-N pada gugus choline (CH2OH. CH2. NMe) oleh zat pengoksida. 5 Minyak ikan komersial memiliki standar mengenai sifat fisiko kimianya. Menurut Celik (2002), sifat fisiko-kimia ditunjukkan oleh Tabel 1. Tabel 1. Sifat fisiko-kimia minyak ikan komersial Sifat Jumlah Bilangan asam 10,15 Bilangan penyabunan 187,4 Kadar asam lemak bebas Bilangan Iod 4,6 64,93 Bilangan Polenske 0,6 Bilangan Reichert-Meissl 1,76 Bahan tak tersabunkan (%) 0,46 Sumber : Celik (2002) Perbedaan utama minyak ikan dengan minyak lain adalah keunikan jenis asam lemak yang dikandung minyak ikan. Minyak ikan mengandung asam lemak tidak jenuh dalam jumlah yang besar. Asam lemak minyak ikan mengandung 15% hingga 3 % lemak jenuh. Persentase asam lemak tak jenuh yang tinggi ditemukan di minyak yang berasal dari ikan atau komoditas laut lain. Banyaknya kandungan asam lemak dalam minyak ikan berbeda tergantung dari jenis ikan, makanan ikan, tempat hidup ikan, dan lain-lain (Wang et al., 1990). Jumlah kandungan omega terbesar terdapat pada ikan. Asam lemak omega-3 dilambangkan dengan n-3. Minyak ikan merupakan sumber terbaik asam lemak omega-3. Keuntungan utama konsumsi omega-3 dari minyak ikan adalah mengurangi penyumbatan pembuluh darah oleh kolesterol sehingga dapat mencegah tekanan darah tinggi dan mengurangi resiko penyakit jantung (Wang et al., 1990). 6 Minyak ikan sarden memiliki komponen asam lemak tak jenuh yang lebih banyak. Komposisi minyak ikan sarden menurut Gutierrez dan Silva (1993) ditunjukkan oleh Tabel 2 Tabel 2. Komponen asam lemak dalam minyak ikan sarden Jenis atom Karbon Nama Komponen Jumlah (%) 0,1 C 12:0 Asam Laurat C 14:0 Asam Miristat 9,8 C 16:0 Asam Palmitat 16,2 C16:1 Asam Palmitoleat 11,3 C18:0 Asam Stearat 1,3 C18:1 Asam Oleat 9,8 C20:0 Asam Eikosenoat 0,3 C18:3 dan C20:1 Asam Linolenat dan Asam 2,6 Gondorunat C20:2 Asam Eikosadienoat 2,5 C22:3 dan C22:1 Asam Dokosatrienoat dan 4,8 Asam Erukat C20:4 Asam Arachidonat 0,2 C20:5 Asam Eikosapentanoat 24,2 C22:4 Asam Dokosatetranoat 2,4 C22:5 Asam Dokosapentanoat 2,2 C22:6 Asam Dokosaheksanoat 6,5 Sumber : Gutierrez dan Silva (1993) B. ASAM LEMAK TAK JENUH OMEGA-3 Asam lemak tidak jenuh jamak (Polyunsaturated Fatty Acid) adalah asam lemak yang mempunyai ikatan rangkap lebih dari satu pada rantai asam lemaknya (Rasyid, 2001). Omega-3 merupakan asam lemak dimana terdapat ikatan rangkap diantara atom karbon ketiga dan keempat terhitung dari gugus metil atom karbon pertama. Asam lemak ini dinamakan omega-3 dan biasanya 7 disimbolkan dengan n-3 (Wang et al.,1990). Struktur dari asam omega-3 dapat dilihat dari Gambar 1. CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)7-COOH Asam Linolenat (C18:3) CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH= CH(CH2)3-COOH Asam Eikosapentanoaot(C20:5) CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CHCH2-CH CH-(CH2)2-COOH Asam Dokosahesanoat (C22:6) Gambar 1. Rumus molekul dari asam lemak omega-3 (Ackman, 1982) Wang et al. (1990) menyatakan bahwa kandungan minyak ikan dengan omega-3 tinggi terdapat pada ikan yang hidup pada kadar garam tinggi. Dinginnya suatu lingkungan hidup ikan tidak menjadikan indikator dalam menentukan banyaknya kandungan omega-3. Kandungan omega-3 pada beberapa komoditas pertanian menurut Wang et al. (1990) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan omega-3 pada beberapa komoditas pertanian Asam Lemak Asam α-linolenat Asam eikosapentanoat Asam dokosaheksaenoat Tipe N-3 N-3 N-3 Lambing α-LA EPA DHA Sumber Flax, canola, fish oil Minyak ikan Minyak ikan Sumber: Wang et al. (1990) Omega-3 yang terkandung di dalam minyak ikan dapat dimurnikan melalui proses pada suhu yang rendah. Apabila proses deodorisasi dilakukan diatas suhu 200oC akan terjadi reaksi kimia sehingga akan menurunkan manfaat biologis dari minyak ikan tersebut (Chang et al., 1989). Metode untuk pengkayaan omega-3 bermacam-macam. Namun, hanya sedikit yang cocok untuk produksi skala besar, diantaranya adsorption chromatography, fractional molekuler atau distilasi molekuler, hidrolisis enzimatik, kristalisasi temperatur rendah, dan urea complexation (Shahidi dan Wanasundara, 1998b) 8 Asam lemak omega-3 bermacam-macam jenisnya. Jenis asam lemak omega-4 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis asam lemak omega-3 Nama Umum Rumus 16:3 (n−3) Nama Kimia all-cis-7,10,13 hexadecatrienoic acid α-Linolenic acid 18:3 (n−3) (ALA) all-cis-9,12,15-octadecatrienoic acid Stearidonic acid 18:4 (n−3) (SDA) all-cis-6,9,12,15octadecatetraenoic acid Eicosatrienoic acid 20:3 (n−3) all-cis-11,14,17-eicosatrienoic (ETE) acid Eicosatetraenoic acid 20:4 (n−3) all-cis-8,11,14,17- (ETA) eicosatetraenoic acid Eicosapentaenoic acid 20:5 (n−3) all-cis-5,8,11,14,17- (EPA) eicosapentaenoic acid Docosapentaenoic acid 22:5 (n−3) (DPA), all-cis-7,10,13,16,19docosapentaenoic acid Clupanodonic acid Docosahexaenoic acid 22:6 (n−3) all-cis-4,7,10,13,16,19- (DHA) docosahexaenoic acid Tetracosapentaenoic 24:5 (n−3) acid Tetracosahexaenoic acid (Nisinic acid) all-cis-9,12,15,18,21docosahexaenoic acid 24:6 (n−3) all-cis-6,9,12,15,18,21tetracosenoic acid Sumber : (http://en.wikipedia.org/wiki/omega_3.htm) Kehadiran cis- ikatan ganda antara atom karbon dengan karbon pada asam lemak menyebabkan pembengkokan rantai asam lemak. Oleh karena itu, gugus metil asam lemak yang dekat dengan ikatan ester meyebabkan rintangan sterik (steric hindrance) pada lipase. Tingginya gugus cis- pada EPA dan DHA meningkatkan rintangan sterik (steric hindrance), oleh karena itu, lipase tidak 9 dapat mencapai ikatan ester diantara asam lemak dan gliserol. Namun, asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh satu rantai ganda tidak menghalangi katalisis lipase terhadap ikatan ester dan dengan mudah reaksi hidrolisis terjadi (Shahidi dan Wanasundara, 1998b). Rintangan sterik (steric hindrance) adalah penghambatan struktur atom. Steric hindrance terjadi karena suatu gugus molekul yang membentuk suatu ruang dengan ukuran tertentu menghambat terjadinya reaksi kimia. C. ENZIM LIPASE Aspergillus niger Enzim adalah protein yang terdiri dari asam amino dalam komposisi dan urutan yang teratur dan tetap. Enzim berfungsi sebagai katalis biologis yang digunakan makhluk hidup untuk melaksanakan berbagai konversi senyawa kimia (Web dan Dixon, 1979). Semua enzim yang telah diamati sampai saat ini adalah protein, dan aktivitas katalitiknya bergantung kepada integritas strukturnya sebagai protein (Lehninger, 1995). Enzim lipase didefinisikan sebagai enzim yang mengkatalis hidrolisis ikatan ester. Menurut system International Union of Biochemistry, enzim lipase diklasifikasikan sebagai enzim hidrolase dengan nama sistematik gliserol ester hidrolase (EC 3.1.1.3) yang menghidrolisis gliserida menjadi asam lemak bebas, gliserida parsial (monogliserida, digliserida) dan gliserol (Macrae, 1983). Pengkayaan omega-3 dapat dilakukan melalui reaksi kimia seperti esterifikasi, hidrolisis, dan perubahan asam lemak dalam ester (asidolisis) dengan metode enzimatik sebagai katalis (Shahidi dan Wanasundara, 1998b). Hal ini dikarenakan keuntungan penggunaan enzim lipase sebagai katalis hanya membutuhkan suhu dan pH mendekati kondisi ruang (Moore et al., 1996). Selain itu, efisiensi katalitik dari enzim lipase sangat tinggi, sehingga hanya membutuhkan enzim dalam jumlah yang sedikit. Keuntungan lain penggunaan enzim lipase adalah selektivitasnya tinggi, menghilangkan penggunaan katalis inorganik dan bahan kimia berbahaya lainnya, bekerja optimal pada kondisi ringan sehingga dapat menghemat energi, menghasilkan produk yang kualitas warna dan kemurniannya baik, dan dapat digunakan 10 kembali jika enzim yang digunakan terimobilisasi (Haraldson et al., 1997). Menurut Lehninger (1982), enzim merupakan katalis yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi. Mekanisme peningkatan laju reaksinya dengan cara menurunkan energi aktivasi. Pada reaksi hidrolisis, enzim lipase mengkatalisis pelepasan ikatan ester triasilgliserol dengan membutuhkan air secara bersamaan. Penggunaan enzim sebagai katalis dapat menurunkan penggunaan energi pada suatu proses industri karena enzim dapat beroperasi pada kondisi mendekati suhu ruang. Hidrolisis enzimatik dapat dilakukan dalam suatu media organik pada suhu ruang dan menghasilkan produk yang tidak berwarna gelap serta tidak teroksidasi. Asam lemak yang diproduksi setelah reaksi hidrolisis dipisahkan dari enzim menggunakan pelarut organik (Akoh dan Min, 1998) Gambar 2. Mekanisme pembentukan asil enzim pada reaksi yang dikatalisis oleh enzim lipase (Hariyadi, 1995) Reaksi yang dikatalis oleh enzim lipase diperkirakan terjadi melalui pembentukan suatu senyawa antara yaitu asil-enzim (Macrae, 1983). Mekanisme katalitik yang diasumsikan untuk lipase triasilgliserol berpusat pada sisi aktif serin. Nukleofil oksigen pada sisi aktif serin berbentuk tetrahedral hemicetal intermediet dengan triasilgliserol. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 2. Ikatan ester pada hemicetal tersebut dihidrolisis dan diasilgliserol dilepaskan. Sisi aktif serin asil ester bereaksi dengan molekul air dan asil enzim dilepaskan sehingga asam lemak terlepas (Petterson et al,. 2001) 11 Menurut Gandhi (1997) ada dua kategori dimana lipase dapat digunakan sebagai katalis yaitu : a Hidrolisis RCOOR’ + H2O RCOOH + R’OH Sintesis b Reaksi sintesis dapat dipisahkan menjadi : i. Esterifikasi RCOOH + R’OH RCOOR’ + H2O ii. Interesterifikasi RCOOR’ + R”COOR” RCOOR” + R”COOR’ iii. Alkoholisis RCOOR’ + R”OH RCOOR” + R’OH iv. Asidolisis RCOOR’ + R”COOH R”COOR’ + RCOOH Penggunaan lipase sebagai katalis untuk menghasilkan konsentrat EPA dan DHA dapat lebih menguntungkan, hal ini karena : a. katalis lipase mempunyai efisiensi katalitik yang tinggi dan bila dalam kondisi immobilisasi dapat dipergunakan kembali. b. rentangan selektivitasnya terhadap asam lemak telah diketahui dan sangat penting dalam penggunaan berkelanjutan (Fatimah, 2002). Lipase mikroba diproduksi dari fermentasi bakteri, kapang dan khamir. Mikroba penghasil lipase adalah Rhizopus delemar, Aspergilus niger, Geotrichum candidum, Candida rugosa, dan Chromobacterium viscocum (Gandhi, 1997). Lipase berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi tiga yaitu: a lipase non spesifik yaitu lipase yang dapat mengkatalis seluruh ikatan trigliserida b lipase spesifik 1,3 atau 2 yaitu lipase yang dapat mengkatalis trigliserida pada ikatan 1,3 atau 2 c lipase spesifik yaitu lipase yang hanya mengkatalis jenis asam lemak tertentu (Herawan, 1993). 12 Menurut Carvalho et al. (2009), mekanisme reaksi hidrolisis oleh selektif enzim regio 1,3 lipase ditunjukkan oleh gambar 3 berikut. Gambar 3. Mekanisme hidrolisis spesifik spesifik triasilgliserol dengan katalis lipase (Carvalho et al., 2009) Tabel 5. Aktifitas mikrobial dan karakteristik enzim lipase Jenis Lipase Manufaktur Suhu pH Spesifik Optimal Optimal Aspergillus niger Amano Enzyme 30-40 5-7 1,3 >>2 Mucor meihei Novo Nordisk 30-45 6,5-7,5 1,3 >>>2 Rhizopus oryzae Amano Enzyme 30-45 5-8 1,3 >>>2 Rhizopus niveus Amano Enzyme 30-45 5-8 1,3 >>>2 Candida cylindracea Amano Enzyme 30-50 5-8 Random Chromobacterium viscosum Asahi Chemicals - - Random Geotrichum candidum Amano Enzyme 30-45 6-8 Random Pseudomonas sp Amano Enzyme 40-60 5-9 Random Sumber : Shahidi dan Wanasundara (1998). Lipase yang diproduksi oleh Aspergillus niger memiliki struktur tiga dimensi yang memiliki fenomena interfasial karena adanya loop peptide yang menutupi enzim yang dikenal dengan lid enzim. Pada suatu interfase air, lipase mempunyai struktur sekunder yang membuatnya tidak dapat dilalui substrat. Dengan adanya interfase air-pelarut hidrofobik, lipase akan menjadi struktur terbuka. Sisi aktif lipase terdiri dari asam amino aspartat-histidin-serin. Pada suatu larutan, segmen heliks akan menutup sisi aktif lipase, namun dengan adanya lemak/minyak atau pelarut organik, terjadi perubahan bentuk dimana lid akan membuka (Ozturk, 2001). Lid enzim lipase Aspergillus niger 13 terbentuk dari asam amino triptofan yang cenderung hidrofobik (Nuraida et al, 2000). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nuraida et al. (2000) lipase Aspergillus niger mengkatalisis asam palmitat, kaprilat, dan asam miristat lebih banyak. Asam amino triptofan merupakan asam amino yang cenderung non polar, sedangkan asam amino aspartat merupakan jenis asam amino yang bermuatan negatif. Asam amino histidin memiliki muatan positif sehingga tergolong dalam asam amino positif, sedangkan asam amino serin cenderung polar (Lehninger, 1982). Histidin Aspartat Serin Triptofan Gambar 4. Struktur asam amino penyusun enzim lipase Aspergillus niger (Lehninger, 1982) Enzim lipase Aspergillus niger dari Amano A Parmaceutical Manufactures Co. memiliki kandungan karbohidrat 68%, NaCL 0,1%, abu 6%, uap air 5,1%, lemak 0,1%, dan protein 20,8% pada tiap gram serbuknya (Boomer et al., 2001). Kadar protein pada enzim lipase tersebut cukup tinggi, tetapi kadar karbohidrat juga tinggi. Menurut Boomer et al. (2001), kandungan karbohidrat yang tinggi yang melebihi 50% akan menghambat aktivitas lipolitik dari enzim. Pada reaksi hidrolisis minyak ikan menhaden, lipase Aspergillus niger memiliki tingkat hidrolisis sebesar 9% selama 72 jam dengan kandungan EPA 14% dan DHA 10%. Sedangkan pada reaksi hidrolisis minyak ikan seal bubber, tingkat hidrolisis yang diperoleh selama 72 jam sebesar 25% dengan konversi EPA dan DHA sebesar 7% dan 10% (Shahidi dan Wanasundara, 1998). 14 D. HIDROLISIS ENZIMATIK Salah satu reaksi yang terjadi pada produk atau bahan pangan berlemak adalah hidrolisis, yaitu pembentukan gliserol dan asam lemak bebas melalui pemecahan molekul lemak dan penambahan elemen air (Hartley, 1977). Winarno (1997) menyatakan bahwa lemak dan minyak dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak dengan adanya air. Reaksi ini dapat dipercepat dengan adanya katalis basa, asam, dan enzim. Pada umumnya proses hidrolisis disebabkan karena aktivitas enzim dan mikroba. Proses hidrolisis dapat berlangsung bila tersedia sumber nitrogen, garam mineral, dan sejumlah air. Hidrolisis yang terjadi pada minyak atau lemak yang mempunyai asam-asam lemak dengan rantai karbon panjang mengalami proses yang lebih lambat (Djatmiko dan Wijaya, 1984). Efek air terhadap kinetika reaksi hidrolisis sangat penting karena air dapat menyebabkan proses hidrolisis lemak dan akan mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan. Hidrolisis lemak merupakan reaksi kesetimbangan yang memungkinkan terjadinya pengubahan arah reaksi dengan cara mengatur kadar air sistem reaksi atau kandungan air (Kurashige et al., 1993). Pada awalnya hidrolisis minyak dan lemak dilakukan dengan suhu o 250 C dan pada tekanan 50-55 bar (Loebis, 1989). Penggunaan proses ini, selain membutuhkan energi yang cukup besar dan investasi peralatan yang mahal, juga menghasilkan produk yang gelap dan berbau yang relatif kurang disukai konsumen (Herawan, 1983). Untuk meminimumkan biaya, meminimumkan energi dan meminimumkan produk yang kurang baik maka dilakukan hidrolisis secara enzimatik (Macrae, 1983). Menurut Herawan (1993), kelebihan hidrolisis enzimatik antara lain: a. Reaksi dilakukan pada suhu rendah,sehingga kualitas produk lebih baik b. Menggunakan lipase spesifik, sehingga produk yang diinginkan dapat ditingkatkan dan produk samping dapat dikurangi. c. Investasi lebih murah d. Lingkungan kerja aman Reaksi hidrolisis trigliserida terjadi secara bertahap dan merupakan reaksi yang bersifat reversible (bolak-balik) sehingga akan berakhir dalam 15 Lipase suatu kesetimbangan (Swern, 1979). Secara sistematik, reaksi hidrolisis yang dikatalis oleh lipase disajikan pada Gambar 5 Triacylglicerol + H20 Diacylglicerol + Asam Lemak Bebas Diacylglicerol + H20 Monoacylglicerol + Asam Lemak Bebas Monoacylglicerol+H20 gliserol + Asam Lemak Bebas Triacylglicerol +3 H20 gliserol + 3Asam Lemak Bebas Gambar 5. Tahapan hidrolisis trigliserida yang dikatalis oleh lipase (Brockman, 1984) Menurut Rahman et al.(2006), hidrolisis dengan katalis enzim lipase dapat dilakukan pada media air, pelarut organik maupun media nonkonvesional lainnya. Keuntungan penggunaan pelarut organik sebagai media yaitu dapat meningkatkan stabilitas thermal enzim, pemisahan enzim dari substrat atau produk dapat dilakukan secara mudah dan alami karena enzim tidak larut dalam pelarut organik, aktivitas lipolitik enzim meningkat, tidak menyebabkan perubahan pH media dan memungkinkan terjadinya reaksi hidrolisis dalam lingkungan yang sedikit air. E. PELARUT HEPTANA Media yang sesuai untuk reaksi enzimatik adalah media dimana protein tidak dapat terlarut. Karena pada media tersebut enzim akan mengubah struktur tiga dimensinya dan non aktif (Zaks dan Klibanov, 1985). Media untuk reaksi enzimatik bermacam-macam, baik yang bersifat polar maupun non polar. Media yang paling umum digunakan pada reaksi hidrolisis adalah pelarut organik. Pelarut dapat menyebabkan modifikasi bentuk enzim yaitu mengubah efisiensi katalitiknya dan spesifitasnya. Berdasarkan Eeji dan Takashi (1999), penggunaan media non konvensional akan meningkatkan enantioselektivitas pada reaksi katalisis oleh biokatalis. Non aqueous media reaksi seperti n-heksana juga akan meningkatkan stabilitas enzim (Rahman et al., 2006). Keuntungan lain penggunaan pelarut non aqueous adalah resiko kontaminasi mikrobial yang lebih rendah daripada pada sistem aqueous. 16 Ketertarikan khusus terhadap non konvensional media pada reaksi hidrolisis dengan kadar air yang rendah dapat digunakan untuk reaksi sintesis yang menyediakan kelarutan yang terbaik pada substrat hidrofobik dengan lipase sebagai katalis (Krieger et al., 2004). Stabilitas protein lebih rendah dalam air yang tak larut dalam pelarut yang ada pada -2,5<logP<0 seperti aseton dan eter daripada pada pelarut hidrofobik (2<logP<4) seperti alkana atau haloalkana. Pelarut organik hidrofobik tidak dapat memotong ikatan asam amino dengan molekul air dari permukaan enzim. Ketika pelarut organik memotong ikatan air dari enzim, berakibat pada tidak adanya ikatan antara molekul. Pelarut organik yang dapat memotong ikatan tersebut adalah bahan yang bersifat hidrofilik. Oleh sebab itu, penerimaan stabilitas enzim lipase pada penggunaan pelarut hidrofilik jarang dilakukan (Krieger et al., 2004) Pelarut organik menghasilkan berbagai efek fisiko-kimia pada molekul enzim. Pelarut akan mengubah bentuk asli dari enzim. Mekanisme perubahan susunan proteinnya adalah dengan mengganggu ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik. Dengan demikian aktivitas dan stabilitasnya akan berubah (Kim et al., 2000). Aktivitas lipase secara normal akan meningkat dengan meningkatnya kepolaran (Schneider dan Berger, 1991). Namun, walaupun kepolaran suatu larutan yang direpresentasikan sebagai log P merupakan faktor dalam optimisasi biokatalisis, faktor lain seperti kelarutan substrat pada media reaksi, dan penambahan air harus diperhatikan. Pada studi Kim et al. (2000), esterifikasi trikaprilat dengan asam linoleat terkonjugasi dengan katalis enzim lipase Rhizomucor miehei regioselektif menunjukkan tingkat esterifikasi yang lebih tinggi pada pelarut n-hexane (log P 3,5) daripada isooktana (log P 4,5). Pada media n-heksana.nilai, tingkat esterifikasinya 57% sedangkan pada isooktana bernilai 52%. Koefisien partisi adalah rasio konsentrasi bahan yang tidak terionisasi diantara dua larutan. Harga koefisien partisi suatu senyawa atau yang sering disimbolkan dengan P didefinisikan sebagai kadar keseimbangan termodinamik senyawa tersebut dalam fase non polar dibagi 17 dengan kadar dalam fase polar. Nilai log p menunjukkan tingkat hidrofobitas suatu bahan. Semakin tinggi suatu senyawa terikat dengan oktanol, maka semakin hidrofobik senyawa tersebut. Makin panjang rantai karbon atau rantai samping karbon, bagian molekul yang non polar semakin tinggi. Dengan demikian titik didihnya semakin tinggi dan kelarutannya dalam air semakin kecil (http://en.wikipedia.org/wiki/ Partition_coefficient.htm). Herees et al. (2008) menyatakan nilai log P suatu pelarut merupakan fungsi dari laju reaksi esterifikasi untuk menghasilkan asam oleat. Koefisien opartisi berbanding terbalik dengan konstanta dielektrik. Tabel 6 menjelaskan hubungan koefisien partisi, konstanta dielektrik, dengan laju reaksi. Tabel 6. Nilai kepolaran dan laju reaksi esterifikasi pelarut Pelarut Nilai log Laju reaksi 4 Konstanta dielektrik -1 -1 P (x10 mol L s ) heptana 4 8,17a 1,9b Heksana 3,5 3,33a 2,0b Toluena 2,5 2a 2,4b Sumber : a Herees et al. (2008) b (http://www.engineeringtoolbox.com/liquid-dielectric-constantsd_1263.html) Menurut Klibanov (1985), penggunaan pelarut organik pada reaksi hidrolisis ester mempunyai beberapa keuntungan selain penggunaan air, yaitu: a. Substrat organik bahan dapat larut dalam pelarut organik, dimana enzim tidak dapat larut. Oleh karena itu, produk dan enzim mudah didapatkan kembali dengan metode non ekstraksi. Dengan demikian rendemen dapat meningkat. b. Mampu untuk menjalankan reaksi yang tidak mungkin dilakukan dengan air karena terdapat penghambatan kinetika dan termodinamika. c. Substrat yang sensitif terhadap air dapat digunakan d. Kesetimbangan reaksi berubah e. Meningkatkan kestabilan enzim. 18 f. Ketidaklarutan enzim dalam media sehingga enzim mudah untuk didapatkan dan digunakan kembali tanpa harus menggunakan imobilisasi enzim. Zaks dan Klibanov (1985) menyatakan, suatu model ideal dalam penggunaan media pelarut organik pada reaksi enzimatik harus memenuhi syarat seperti a. Enzim yang digunakan bebas dari ikatan kovalen dengan kofaktor b. Substrat yang digunakan larut dalam media organik Pelarut heptana (C7H16) memiliki beberapa karakteristik yaitu nilai kepolaran 4, bobot molekul 100,21 gram/mol, densitas 0,684 gram/mL larutan, titik leleh -90,61oC, dan titik didih 98oC (http://en.wikipedia.org/wiki /heptana.htm). Berhubung titik didihnya tinggi, oleh sebab itu, penggunaan heptana sebagai media reaksi untuk aplikasi pada suhu tinggi dapat dilakukan. F. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKTIVITAS DAN STABILITAS ENZIM LIPASE 1. Pengaruh Suhu Suhu yang tinggi dan kontak langsung panas selama distilasi akan berdampak pada hidrolisis, oksidasi thermal, polimerisasi dan isomerisasi. Degradasi asam lemak rantai panjang dengan banyak ikatan rangkap kemungkinan membentuk asam lemak siklik, dan polimer dengan bobot molekul tinggi (Shahidi dan Wanasundara, 1998b). Oleh karena itu, omega-3 yang cenderung labil membutuhkan suhu dan kondisi pH yang sesuai (Haraldson et al., 1997). Termostabilitas enzim merupakan faktor utama pada aplikasi industri, dikarenakan thermal degradation enzim pada suhu tinggi. Suhu dihubungkan dengan keterbatasan transfer massa. Suhu yang tinggi akan menurunkan viskositas campuran minyak dan akan meningkatkan transfer subsrat-produk pada permukaan atau di dalam partikel enzim. Suhu akan berpengaruh pada stabilitas enzim dan affinitas enzim terhadap substrat dan kompetisi reaksi dalam jumlah yang besar. Semakin tinggi suhu, akan 19 berakibat pada penurunan densitas dan viskositas media reaksi. Pada penurunan densitas media, akan meningkatkan difusitas dan berakibat pada peningkatan transfer massa substrat dan produk (Kim et al., 2004). Suhu dapat berpengaruh positif terhadap reaksi hidrolisis maupun sebaliknya. Kenaikan suhu akan meningkatkan laju reaksi. Namun, pada reaksi menggunakan suhu tinggi struktur tersier enzim terganggu akibat terjadi denaturasi. Pada suhu 50oC nilai tingkat konversinya berubah menjadi cukup rendah. Sedangkan suhu 45oC merupakan suhu optimum reaksi hidrolisis sebab pada suhu diatas 45oC tingkat konversinya turun secara tibatiba dikarenakan enzim mengalami denaturasi (Kamarudin et al., 2008). Suhu berpengaruh terhadap aktivitas dan stabilitas enzim lipase, suhu yang sesuai untuk penggunaan enzim lipase sebagai katalis adalah dibawah 70oC karena pada suhu tinggi menyebabkan terjadinya migrasi alkil secara non-enzimatic, terjadi oksidasi, isomerisasi dan denaturasi enzim (Shahidi et al., 1998). Stabilitas panas enzim dipengaruhi oleh dua faktor yaitu struktur primer enzim dan komponen lain pada enzim. Tingginya kadar protein hidrofobik pada molekul enzim akan membuat struktur enzim rapat dan padat, dimana pada sistem ini enzim tidak mudah terdenaturasi karena perubahan lingkungan eksternal enzim. Komponen spesifik pada enzim seperti polisakarida dan kation divalen akan menstabilkan molekul enzim (Oztrurk, 2001) 2. Pengaruh pH Enzim sangat sensitif terhadap perlakuan medium pH, karena memungkinkan perubahan status ionisasi enzim, yang akan mempengaruhi aktivitas dan selektifitas. Studi yang telah dilakukan menunjukan pH optimum untuk reaksi hidrolisis minyak sawit pada heksana adalah pH 7,5 dengan asam lemak yang dihasilkan 97,4% menggunakan enzim lipase dari Candida rugosa. Enzim optimum pada medium alkali namun mendekati netral (Kamarudin et al., 2008) 20 Berdasarkan studi Microbial Lipase Potential Biocatalist for the future industry yang dilakukan oleh Saxena et al. (2009), titik isoelektrik lipase adalah 4,3. Stabilitas lipase pada kondisi asam berada pada pH diatas 4. Stabilitas lipase pada kondisi basa berada pada pH diatas 8. Katalisis enzim lipase aktif pada pH tertentu tergantung dari asal enzim tersebut dan status ionisasi asam amino penyusunnya. Asam amino asam, basa, dan netral hanya aktif pada satu bagian status ionisasi (Ozturk, 2001). Berdasarkan Staufer (1989), ketertarikan studi mengenai tingkat enzim sebagai fungsi pH dikarenakan karena beberapa faktor yaitu : a. Status protonasi sisi rantai asam amino pada sisi aktif kompleks enzim substrat (ES) mungkin akan berubah. Hasilnya perubahan kemampuan enzim substrat untuk menjadi produk. b. Perubahan ionik molekul substrat atau perubahan ionik sisi aktif yaitu kecenderungan dua molekul tersebut untuk menjadi kompleks ES. c. Perubahan pH dari netral yang memungkinkan melemahkan kekuatan stabilitas bentuk protein, yang berakibat peningkatan denaturasi enzim (kehilangan aktivitas). 3. Pengaruh Penambahan Air Air sangat diperlukan untuk aktivitas enzim. Air berpartisipasi dalam seluruh interaksi non kovalen untuk mempertahankan bentuk sisi aktifnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Reaksi enzimatik yang dilakukan tanpa keberadaan air akan mengubah sisi aktifnya secara drastis sehingga menonaktifkan enzim (Zaks dan Klibanov, 1985). Sejumlah air selalu diperlukan enzim lipase untuk mempertahankan aktivitasnya. Namun, banyaknya air yang digunakan berbeda-beda tergantung dari jenis enzim lipase. Banyaknya air juga tergantung pada media reaksi, polaritas pelarut organik, dan lain-lain. Suatu reaksi yang dilakukan dengan menggunakan enzim mengandung kurang dari 1% air dan biasanya pada konsidi tanpa air (Haraldson et al., 1997). 21 Laju reaksi hidrolisis membutuhkan sejumlah air. Namun, terlalu banyak air akan berakibat pada reaksi hidrolisis trigliserida yang berlebihan yang berakibat pada peningkatan asam lemak bebas dan gliserida parsial (monogliserida dan digliserida) (Dordick, 1989). Banyaknya air akan mempengaruhi fleksibilits enzim (Krieger et al.,2004). Pengaturan kadar air pada sistem ini menjadi sangat penting karena semua proses berdasarkan pada manipulasi kesetimbangan kimia secara termodinamik pada reaksi reversible dimana air berpartisipasi dalam reaksi. Selain itu, air diperlukan secara esensial untuk menjaga integritas dari struktur tiga dimensi molekul enzim. Aktivitas lipase merupakan fungsi dari kadar air. Enzim membutuhkan sedikit layer hidrasi yang bertindak sebagai komponen primer pada reaksi enzimatik pada suatu media organik. Layer ini akan bertindak sebagai buffer diantara permukaan enzim dengan medium reaksi (Dordick, 1989) Sejumlah air dibutuhkan untuk memaksimalkan aktivitas enzim. Klibanov (1988) menyatakan bahwa sedikit air diperlukan untuk mencapai aktivitas maksimal pada pelarut hidrofobik daripada pelarut hidrofilik. Pada aktivitas kadar air yang rendah, semakin rendah polaritas suatu pelarut berakibat semakin tinggi aktivitas enzim. Ketika aktivitas katalitik diplotkan terhadap banyaknya air yang terikat dengan enzim, suatu pola muncul untuk beberapa pelarut yang berbeda. Menurut (Salis et al., 2008), walaupun air tidak ikut serta dalam produk, namun kadar air dalam suatu reaksi sangat penting karena mengekspresikan aktivitas enzimatik secara penuh. Air digunakan sebagai pelumas pada rantai polipeptida. Hal ini akan mempengaruhi mobilitas. Mobilitas lipase menjelaskan aktivitas enzimatik. Efek aktivitas enzim dipelajari sebagai fungsi bobot sejumlah air pada reaksi trigliserida metanolisis. Terlihat pada lipase Pseudomonas fluorescens inaktif ketika media yang digunakan kering. Peningkatan aktivitas secara tajam terjadi ketika 0,5 mg air/mg katalis ditambahkan. 22 Menurut Medina et al. (2003), mekanisme pengikatan air dan media pelarut organik digambarkan oleh Gambar 6 sebagai berikut: Gambar 6. Mekanisme pengikatan air dan media pelarut organik dalam suatu reaksi (Medina et al., 2003) Pada percobaan yang dilakukan oleh Schneider dan Berger (1991) menyatakan bahwa kenaikan laju reaksi menyebabkan disebabkan oleh sejumlah air. Namun, total 1,2 dan 1,3 digliserida menurun. Pada media bifase, monogliserida dan digliserida relative lebih stabil terhadap migrasi asil pada pelarut organik dengan kadar air maksimum 2%. Konsentrasi minyak dan air sebagai substrat dalam reaksi hidrolisis juga mempengaruhi aktivitas lipase. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Shimada et al. (1997), konsentrasi oil water ratio optimum pada reaksi selektif hidrolisis adalah 50% dan aktivitasnya semakin menurun dengan meningkatnya oil water ratio 23