meningkatkan keuntungan bisnis melalui penerapan customer

advertisement
1
2
3
4
MENCIPTAKAN KEUNTUNGAN BISNIS MELALUI STRATEGI
CUSTOMERS PROFITABILITY BERDASARKAN ACTIVITY-BASED
COSTING
(Ilustrasi pada: Suatu Perusahaan Tekstil di Bandung)
CREATING BUSINESS PROFIT THROUGH CUSTOMERS
PROFITABILITY STRATEGY BASED ON ACTIVITY-BASED COSTING
(case illustration: A Textile Industry in Bandung)
Oleh: Elizabeth Manurung dan Arthur Purboyo
Full time lecturer inAccounting Department of Economics Faculty
Parahyangan Catholic University, Bandung – INDONESIA
Jl. Ciumbuluit No. 94 Bandung 40141 – West Java, Indonesia
[email protected]
http://www.unpar.ac.id
Abstract
Massive changes occurring in the environment are giving effects to the business environment,
which causes cultural changes along with significant increase of life costs. More severe competition in
the business should be faced by the companies with better ways of conducting the operations in order that
competitive advantageous be sustained and that they can win. One way to boost profit--usually done by
companies--is to increase the sales, the idea of which lies on the traditional volume-related concept. The
concept leads companies to accept products orders from customers without first investigating which will
bring profit and which will not. Activity based costing system is able to calculate more accurately and
precisely the cost that will go to the customers. The approach exercises the activities and costs consumed
by each customer in calculating which will be preserved and which will be ended. The result is more
efficient operation cost that enhances the profit . To show the accurateness and preciseness of the
calculation of customer profitability, an illustration is exercised as follows: calculation is done at the
printing department of a certain company which results in that, customer A, B, and E are profitable
whereas C and D not profitable.
Key words: Business profit, customers profitability, Traditional costing system, Activity-based costing
system
5
PENDAHULUAN
Berbagai perubahan pesat yang terjadi di lingkungan kita, baik perubahan perekonomian,
politik, sosial budaya bahkan sampai perubahan kondisi lingkungan alam dan planet bumi, telah
membawa dampak secara menyeluruh atau secara sistematis terhadap perubahan kehidupan
masyarakat termasuk perubahan budaya, dan hal ini telah berdampak pula pada kenaikan biaya
hidup yang tidak kecil, yang dirasakan masyarakat pada umumnya
Naiknya biaya hidup yang tidak kecil, yang disebabkan oleh ketidakstabilan ekonomi,
politik, sosial, budaya, ketidakseimbangan alam antar negara, adanya global warming,
munculnya globalisasi, yang telah mengubah lingkungan dengan signifikan termasuk berubahnya
lingkungan bisnis. Lingkungan bisnis saat ini dengan kompetisi yang sangat tajam, menuntut
perusahaan untuk senantiasa mencari cara agar dapat menjalankan operasinya lebih baik lagi,
sehingga tujuan perusahaan dapat dicapai serta dapat mempertahankan sustainability dalam
usahanya. Mencari cara lebih baik dalam menjalankan bisnis ini dikenal dengan istilah umumnya
operational excellence, agar perusahaan tetap dapat mempertahankan competitive advantagenya.
Berbagai aspek haruslah dipertimbangkan oleh perusahaan, untuk mempertahankan diri
dalam lingkungan kompetisi yang semakin berat. Perusahaan haruslah senantiasa meningkatkan
upaya untuk mencapai customers satisfaction baik melalui, kualitas produk, harga, pelayanan,
kecepatan waktu (delivery), serta beberapa faktor lainnya misalnya membuat swot analysis atas
competitor utama ataupun faktor lainnya yaitu continous improvement atas internal busineess
process , sehingga diharapkan melalui berbagai upaya tersebut perusahaan tetap dapat lebih
unggul dibanding perusahaan lain dan dapat sustainable dalam lingkungan bisnis yang
kompleks.
Sayangnya perusahaan seringkali beranggapan bahwa semakin tinggi volume penjualan
maka laba akan meningkat pula sebesar proporsi peningkatan penjualan. Konsep ini yang sampai
saat ini masih dijadikan patokan dalam pengelolaan bisnis pada umumnya. Pada dasarnya
konsep ini yang menyatakan bahwa laba akan meningkat sejumlah peningkatan penjualan, akan
mengakibatkan perusahaan menerima semua pesanan dari pelanggan, serta akan melakukan
pembebanan biaya dengan jumlah yang sama kepada masing-masing pelanggan tanpa
memperhatikan perbedaan konsumsi aktivitas oleh masing-masing pelanggan. Konsep ini
mendasarkan pemikiran pada volume-related, yang menyatakan bahwa semakin sedikit
pelanggan membeli barang, maka biaya yang ditimbulkan pelanggan tersebut jumlahnya
semakin kecil, konsep ini sering disebut konsep tradisional (traditional costing system).
Pada kenyataannya, tentu saja hal ini tidak selalu benar, karena pelanggan yang berbeda
menimbulkan biaya yang berbeda pula, tergantung pada aktivitas apa saja yang dikonsumsi oleh
pelanggan tersebut. Biaya untuk melayani pelanggan yang umumnya terdiri dari: biaya
6
pemasaran, pengiriman, dan biaya pelayanan lainnya akan cenderung meningkat secara tidak
proporsional dengan peningkatan unit output (tidak sama dengan volume related). Sehingga bila
pembebanan biaya tersebut menggunakan dasar unit output maka akan menimbulkan
pembebanan biaya yang terlalu tinggi (overcosted) atau terlalu rendah (undercosted) kepada
pelanggan. Pelanggan umumnya digolongkan dalam 2 kelompok (Kaplan dan Cooper: 2005 :
181): (1) high cost to serve customers – merupakan pelanggan yang menimbulkan biaya
pelayanan yang tinggi; (2) dan low cost to serve customers – merupakan pelanggan yang
menimbulkan biaya pelayanan yang rendah. Besarnya biaya pelanggan bergantung pada aktivitas
yang ditimbulkan oleh masing-masing pelanggan.
Uraian di atas menjadi dasar mengapa tulisan ini disusun, yaitu untuk mencari alternatif
bagaimanakah menghindarkan pembebanan biaya kepada pelanggan yang overcosted atau
undercosted. Salah satu cara yang dapat digunakan perusahaan untuk membebankan biaya
pelanggan dengan lebih tepat, adalah melalui pengidentifikasian aktivitas apa saja yang
dikonsumsi oleh masing-masing pelanggan, sehingga dapat ditentukan biaya yang ditimbulkan
oleh setiap pelanggan tersebut dengan tepat dan akurat.
Activity based costing merupakan sistem pembebanan biaya yang memperhatikan
aktivitas yang dikonsumsi oleh masing-masing cost object. Pembebanan menggunakan metode
ini dianggap lebih tepat sebab perusahaan akan memperoleh informasi yang lengkap dan akurat
atas seluruh aktivitas dan biaya yang ditimbulkan oleh masing-masing pelanggan dengan
karakteristik yang berbeda, sehingga perusahaan dapat menganalisis pelanggan yang dapat
dipertahankan atau pelanggan mana yang sebaiknya dihentikan. Keputusan mengenai
pengelolaan pelanggan ini akan berdampak terhadap efisiensi operasi perusahaan, sehingga pada
gilirannya laba operasi perusahaan dapat ditingkatkan.
PEMBAHASAN
Tahap-Tahap Pembahasan yang dilakukan
Tahap pertama: menentukan langkah-langkah yang dilakukan untuk menghasilkan tulisan
ini, yaitu dimulai memilih topik dan menganalisisnya/menghubungkannya dengan teori yang ada
serta kenyataannya di dunia bisnis; tahap ke dua: melalukan pembahasan dengan mengambil
contoh ilustrasi perhitungan customers profitability pada departemen printing di suatu
perusahaan textile di Bandung; tahap ke tiga: menganalisis laba per pelanggan
Tahap Pertama: Menentukan Topik
Topik yang dibahas ditentukan setelah melalui pengumpulan, penyajian, dan
penganalisisan data atau fakta atas perubahan yang terjadi di lingkungan bisnis dihubungkan
dengan teori yang terkait dan penggunaan daya nalar untuk menganalisisnya, serta mencari
hubungannya dengan dunia nyata pada sector bisnis. Topik yang telah terpilih dielaborasi
melalui teori-teori yang mendukung topik tersebut, mencari jurnal yang relevan dan
mengananilisisnya dengan menghubungkan dengan kenyataan yang terjadi di lingkungan bisnis.
Selanjutnya, untuk menghasilkan ilustrasi perhitungan yang akurat dipilih objek perusahaan
yaitu salah satu perusahaan tekstil di Bandung, dengan fokus adalah departemen printing.
7
Tahap kedua. Analisis Customer Profitability
Teori awal menyatakan bahwa sistem informasi akuntansi digolongkan ke dalam 2
subsistem yaitu: (1) sistem akuntansi keuangan dan (2) sistem manajemen biaya. Manajemen
baiaya menggambarkan pengungkapan, pengumpulan, pengukuran, pengelompokkan, dan
pelaporan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan manajemen. Informasi
yang dihasilkan tersebut misalnya: biaya produk, biaya pelanggan, biaya pemasok ataupun objek
lain yang relevan. Informasi tersebut digunakan oleh para manager baik untuk perencanaan,
pengendalian, melakukan perbaikan/improvement, dan mengambil keputusan-keputusan lain
yang relevan. Dapat dikatakan manajemen biaya merupakan penggabungan dari akuntansi biaya
dan akuntansi manajemen.
Salah satu keputusan yang dibuat oleh manajemen untuk mengefisiensikan operasi adalah
mempertahankan pelanggan tertentu yang menguntungkan perusahaan atau menghentikan
pelanggan lainnya yangdianggap tidak menguntungkan. Perusahaan perlu mengetahui pelanggan
mana yang memberikan kontribusi keuntungan terbesar, sehingga dapat mengarahkan
kebijakannya untuk mengoptimumkan laba perusahaan. Keputusan ini didasarkan pada informasi
yang dihasilkan atas laba per pelanggan (Customer profitability).
Analisis laba per pelanggan bertujuan untuk mengukur laba pelanggan dan
mengidentifikasikan efektivitas atau tidaknya pelanggan tersebut. Analisis laba per pelanggan
dapat membantu untuk melakukan analisis cost-benefit dari setiap keputusan perusahaan dalam
meningkatkan market share dan customer satisfaction. Analisi laba per pelanggan mampu
mengidentifikasi pelanggan mana yang menguntungkan serta pelanggan mana yang merugikan,
sehingga memampukan perusahaan untuk mengambil tindakan yang tepat terhadap para
pelanggan yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Artinya, perusahaan dapat
mengidentifikasikan aktivitas-aktivitas mana yang tidak efektif, sehingga aktivitas yang tidak
efektif tersebut dapat diperbaiki atau dieliminasi untuk tujuan peningkatan profitabilitas
perusahaan, dan untuk mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan pelanggan, dengan
memenuhi harapan konsumen, maka perusahaan mempunyai peluang untuk tetap dapat bertahan
dalam persaingan (Hilton, et Al: 2003: 220).
Analisis laba per pelanggan dilakukan melalui penganalisisan: (1) analisis revenue per
pelanggan dan (2) analisis cost per pelanggan. Yang pertama menggambarkan aset yang diterima
dari pelanggan atas produk/jasa yang dikirimkan oleh perusahaan kepada pelanggan tersebut.
Beberapa hal yang mempengaruhi customer revenue diantaranya jumlah unit yang dijual,
besarnya harga jual yang dibebankan, jumlah barang yang diretur, dan diskon yang diberikan
(Hongren, et.Al: 2000: 582). Sedangkan yang kedua yaitu analisis cost per pelanggan
menggambarkan biaya-biaya yang timbul untuk melayani pelanggan, yang meliputi: aktivitas
atas proses penjualan, penanganan pemesanan, pengiriman sampai proses penagihan.
Biaya yang ditimbulkan oleh pelanggan, haruslah dibebankan kepada masing-masing
pelanggan, dengan membebankan biaya aktivitas kepada pelanggan , perusahaan memiliki
kesempatan untuk memperbaiki profitabilitas. Kesempatan memperbaiki profitabilitas tersebut
meliputi (Kaplan dan Cooper: 2005: 181): protecting existing highly profitable customers, re-
8
pricing expensive service, based on cost to serve, discounting – if necessary – to gain business
with low cost to serve customers, negotiating win-win relationships that lower cost to serve with
cooperatives custmers, conceding permanent loss customers to competitors, attempting to
capture high-profit customers from competitors.
Biaya pelanggan ini ada yang dapat dibebankan langsung pada cost object dan ada pula
yang harus menggunakan dasar alokasi atau cost driver dalam pembebanannya. Masalah akan
terjadi pada pembebanan biaya tidak langsung, sebab seringkali biaya tidak langsung
dibebankan mengunakan single cost pool, di mana peningkatan biaya dianggap disebabkan oleh
peningkatan unit atau unit related driver . Padahal ada biaya-biaya yang meningkat secara tidak
proporsional dengan peningkatan unit, sehingga bila dibebankan menggunakan unit dirver saja
akan mengakibatkan pembebanan biaya yang overcosted atau undercosted. Metode pembebanan
ini dikenal dengan istilah traditional costing system
Traditional costing system umum digunakan karena dianggap murah dan mudah
perhitungannya untuk diterapkan. Kelemahan yang muncul akibat penggunaan traditional
costing system di atas, nampaknya dapat diatasi dengan mengunakan activity based costing
system (ABC). ABC system tidak saja hanya menggunakan unit output sebagai cost driver tetapi
juga menggunakan non-unit driver. ABC system juga dapat mengarahkan manajer untuk
memfokuskan diri terhadap pengaturan aktivitas yang ada sehingga aktivitas yang tidak
menghasilkan nilai tambah dapat diminimalkan, karena sistem ini memberikan informasi yang
lengkap mengenai semua aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan secara terintegrasi.
Keputusan yang diambil oleh para manajer berdasarkan informasi yang dihasilkan ABC
dikenal sebagai activity-based management (ABM), yang dijabarkan (Hansen dan Mowen: 2005:
549) sebagai sistem yang luas, dengan pendekatan terintegrasi yang mengarahkan manajemen
untuk berfokus pada aktivitas-aktivitas untuk meningkatkan customers value sehingga
meningkatkan profit.
Tujuan ABM adalah untuk meningkatkan nilai yang diterima pelanggan sehingga dapat
meningkatkan laba, dengan cara mengidentifikasikan terlebih dahulu peluang untuk melakukan
perbaikan dalam strategi dan operasi perusahaan. Tujuan ABM ini dicapai melalui 2 pendekatan
yaitu: (1) operational abm; dan (2) strategic abm. Strategic ABM lebih berfokus pada
melakukan tindakan yang benar (do the right thing). Analisis laba per pelanggan merupakan
strategic activity based management, yang memiliki tujuan untuk mengetahui pelanggan mana
yang menguntungkan dan pelanggan mana yang merugikan, sehingga manajer dapat membuat
keputusan apakah akan mempertahankan pelanggan yang menguntungkan, menghentikan
pelanggan yang merugikan, atau mengambil tindakan untuk mengefisienkan aktivitas operasinya
sehingga biaya dapat dikurangi.
Ilustrasi Perhitungan Laba per Pelanggan berdasarkan Activity Based Costing
Ilustrasi ini diterapkan pada departemen printing suatu perusahaan tekstil di Bandung, digunakan
sebagai alat untuk menunjukkan bagaimana metode ABC dapat digunakan untuk menghitung
pembebanan biaya per pelanggan yang lebih tepat, di bawah ini disajikan perhitungannya.
9
Untuk memperoleh hasil perhitungan penerapan ABC dalam membebankan biaya
pelanggan dengan tepat dan akurat maka diambil departemen printing pada suatu perusahaan
tekstil di Bandung sebagai objek untuk ilustrasi perhitungan, sehingga melalui angka yang sesuai
dengan fakta yang ada di perusahaan, dapat dihasilkan perbedaan yang signifikan nilai
pembebanan biaya berdasarkan ABC dan traditional costing.
Data perusahaan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas telah terdokumentasi
di perusahaan kemudian dikumpulkan, bila ada informasi lain yang diinginkan dilakukan
wawancara dengan pihak terkait serta dilakukan observasi. Data tersebut diolah dan dilakukan
penerapan perhitungan menggunakan metode ABC untuk menghitung biaya per pelanggan.
Informasi mengenai biaya per pelanggan ini selanjutnya digunakan untuk menghitung laba setiap
pelanggan, dan hasil perhitungan dibandingkan dengan hasil perhitungan perusahaan
berdasarkan traditional costing system.
Berdasarkan observasi yang dilakukan, biaya-biaya yang terjadi pada departemen
printing di perusahaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 : biaya produksi dan biaya
operasional. Biaya produksi merupakan biaya-biaya yang terjadi di lapangan/pabrik berkaitan
dengan proses printing kain sampai kain tersebut dikirimkan kepada pelanggan. Biaya produksi
ini terdiri dari: biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya tidak langsung.
Sedangkan biaya operasional adalah biaya-biaya yang tmbul di luar proses produksi
sebagai usaha untuk menunjang proses produksi yang ada. Biaya operasional mencakup biaya
gaji staf, biaya penyusutan opersional, biaya pemeliharaan, telepon, konsumsi, biaya perjalanan
dinas, alat tulis kantor, biaya konsultan, biaya perizinan, biaya pos, telegram, materai, biaya
pajak kendaraan, biaya pajak bumi dan bangunan, biaya asuransi, biaya kesejahteraan karyawan,
retribusi lain, biaya umum dan sosial.
Hasil Perhitungan
Setelah diteliti, departemen printing memasukkan beberapa biaya operasional
sebagai biaya produksi, seperti biaya listrik kantor sebesar Rp. 1.982.025,- biaya gaji bagian
pengiriman dan knek sebesar Rp. 72.425.338,- biaya gaji bagian laboratorium sebesar Rp.
8.472.740,- biaya konsumsi seharusnya Rp. 69.173.221,- Sedangkan biayaa laboratorium, biaya
transport pabrik, dan ongkos angkut pabrik seharusnya dicatat sebagai biaya operasional, seperti
gaji kepala bagian, gaji satpam pabrik, dan gaji karyawan produksi lainnya.
Perusahaan melakukan pembebanan biaya operasional berdasarkan persentase
terhadap harga pokok penjualan. Perhitungan harga pokok dilakukan dengan menggunakan
metode rata-rata, berdasarkan data yang diperoleh periode sebelumnya. Peningkatan harga pokok
penjualan dianggap sebagai akibat peningkatan unit output yang diproduksi. Anggapan ini akan
berpengaruh terhadap pembebanan biaya operasional, atau dengan kata lain jumlah biaya
operasional yang akan dibebankan bergantung pada jumlah unit output yang dibeli oleh
pelanggan. Pembebanan biaya pelanggan dengan menggunakan kebijakan tradisional untuk
masing-masing pelanggan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
10
Biaya per Pelanggan berdasarkan traditional costing system
Nama Pelanggan
Pelanggan A
Pelanggan B
Pelanggan C
Pelanggan D
Pelanggan E
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
HPP
1,025,497,419
461,391,855
90,928,276
61,897,979
60,256,871
Biaya Operasional
Rp
143,569,639
Rp
64,594,860
Rp
12,729,959
Rp
8,665,717
Rp
8,435,962
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Total Biaya
1,169,067,058
525,986,715
103,658,235
70,563,696
68,692,833
Sumber: Data perusahaan yang diolah kembali
Sedangkan biaya per pelanggan berdasarkan perhitungan activity-based costing adalah
sebagai berikut:
Tabel 2
Biaya per Pelanggan dengan Activity-Based Costing (dalam Rp)
Nama Pelanggan
HPP
Biaya Operasional
Total Biaya
Pelanggan A
Rp 996,065,643 Rp
124,260,829 Rp 1,120,326,472
Pelanggan B
Rp 448,149,909 Rp
46,404,210 Rp 494,554,118
Pelanggan C
Rp 88,318,635 Rp
32,234,305 Rp 120,552,939
Pelanggan D
Rp 60,121,507 Rp
27,973,657 Rp
88,095,164
Pelanggan E
Rp 58,527,499 Rp
13,486,388 Rp
72,013,886
Sumber: data perusahaan diolah kembali
Selanjutnya pada tabel 3 akan ditunjukkan perhitungan laba per pelanggan
berdasarkan traditional cost system dan berdasarkan activity-based costing, laba per pelanggan
ini dihitung dengan cara mengurangkan hasil dari revenue per pelanggan dengan cost
perpelanggan, hasilnya adalah sebagai berikut:
Tabel 3
Perhitungan Laba dengan ABC dan Kebijakan Perusahaan
Nama Pelanggan
Perusahaan
ABC
Pelanggan A
Rp 100,278,281.86 Rp 149,018,867.87
Pelanggan B
Rp 52,631,735.37 Rp 84,064,331.61
Pelanggan C
Rp
3,263,940.08 Rp (13,630,764.26)
Pelanggan D
Rp
2,947,714.83 Rp (14,583,753.29)
Pelanggan E
Rp
3,929,454.58 Rp
608,401.14
Sumber: data perusahaan setelah diolah kembali
Tahap ketiga: Analisis Laba per Pelanggan
Pada tabel 2, biaya per pelanggan dihitung menggunakan dasar activity-based
costing, dengan cara 2 tahap yaitu pertama biaya sumber daya dibebankan kepada 7 aktivitas
11
yang telah diidentifikasi sebelumnya pada departemen printing. Kemudian tahap kedua, biayabiaya atas aktivitas tersebut dibebankan kepada masing-masing pelanggan, berdasarkan
konsumsi aktivitas oleh masing-masing pelanggan. Keakuratan perhitungan biaya per pelanggan
menjadi hal yang sangat penting, karena bila terjadi pembebanan biaya per pelanggan yang tidak
tepat atau overcosted maupun undercosted maka akan mengakibatkan laba yang dihasilkan tidak
menggambarkan laba yang sebenarnya.
Penganalisisan laba per pelanggan pada departemen printing berdasarkan activitybased costing dibandingkan berdasarkan traditional costing, dapat menunjukkan bahwa
pelanggan A memberikan kontribusi laba yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan
perusahaan selama ini, dan Pelanggan B pun memberikan kontribusi laba yang lebih besar dari
yang diperkirakan. Sedangkan Pelanggan C dan Pelanggan D yang selama ini berdasarkan
traditional costing dianggap memberi keuntungan ternyata memberikan kerugian bagi
perusahaan. Perusahaan dapat menganalisis lebih jauh atas pelanggan C dan D ini, apakah
pelanggan C dan D akan dihentikan atau tetap dipertahankan. Pelanggan merugikan dapat saja
tetap dipertahankan bila dapat menjadi penarik bagi pelanggan lain. Pelanggan E memberikan
kontribusi yang lebih kecil dari yang diperkirakan, perusahaan dapat saja melakukan negosiasi
dengan pelanggan E ataupun melakukan repricing atas pelanggan E, sehingga biaya operasi
perusahaan dapat diefisienkan dan keuntungan dapat ditingkatkan. Besarnya kontribusi laba
setiap pelanggan dapat dilihat pada tabel 3.
KESIMPULAN
Analisis laba per pelanggan pada ilustrasi di departemen printing suatu perusahaan
tekstil, telah menunjukkan bahwa perhitungan laba per pelanggan yang selama ini digunakan
oleh perusahaan ternyata tidak tepat. Dengan perhitungan activity-based costing system,
perusahaan memperoleh informasi yang lebih tepat dan akurat, yaitu Pelanggan A dan Pelanggan
B memberikan kontribusi laba yang lebih besar dari perkiraan perusahaan. Sedangkan Pelanggan
C dan Pelanggan D kenyataannya memberikan kerugian bagi perusahaan. Dan Pelanggan E
memberikan kontribusi yang jauh lebih kecil dari yang dihitung oleh perusahaan.
Menganalisis laba per pelanggan dengan menggunakan activity-based costing
memberikan informasi kepada perusahaan mengenai kontribusi dari tiap-tiap pelanggan,
sehingga para manajer dapat mengambil tindakan yang tepat dalam mengelola pelanggannya.
Selain itu para manajer mendapatkan informasi pula mengenai aktivitas yang tidak efektif, serta
aktivitas yang tidak menambah nilai bagi pelanggan, sehingga manajer dapat melakukan efisiensi
atau bahkan mengeliminasi aktivitas-aktivitas tersebut untuk meminimalkan biaya produksi dan
biaya operasi. Bila manajer dapat mengambil keputusan yang tepat mengenai setiap
pelanggannya dan manajer mampu meminimalkan biaya operasional, maka dengan sendirinya
keuntungan bisnis dapat ditingkatkan
12
Pada kondisi lingkungan bisnis yang lebih kompleks seperti yang terjadi dewasa ini,
sudah saatnya perusahaan-perusahaan mulai menerapkan perhitungan laba setiap pelanggan
berdasarkan activity based costing, sehingga para manajemen memperoleh informasi yang lebih
tepat dan akurat atas biaya yang dibebankan kepada setiap pelanggan, manajemen dapat pula
meningkatkan efisiensi operasi perusahaan, serta dapat menghindarkan overcosted atau
undercosted pembebanan biaya dan perhitungan laba.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Bescos, Pierre-Laurent, and Carla Mendoza,(1995), “ ABC in France” Management Accounting,
pp. 33-41
Brausch, John M., (1994), “ Beyond ABC: Target Costing for profit Enhancement” Management
Accounting, pp. 45-49
Institute of Management Accountants, (1997), “Statements on Management Accounting:
Objectives of Management Accounting”, Statement
No. 1C Montvale, N.J.: The
Institute of Management Accountants.
PricewaterhouseCoopers, (1999), “Audit Committees: Best Practices for Protecting Shareholders
Interests”. New York: PricewaterhouseCoopers .
Buku Teks
Horngren, Charles, T.; Foster, George; Datar, Srikant, M., (2005) ; Eleven Edition; Twelve
Edition. Cost Accounting: A Managerial Emphasis. New Jersey: Prentice Hall,
Inc.
Hammer, Lawrence; Carter, William, K.; Usry, Milton, F. ,(1994). Eleventh Edition. Cost
Accounting. Ohio: South Western Publishing Co.
Supriyono,R., A. (1990). Edisi ke 2. Akuntansi Biaya: Perencanaan dan Pengendalian Biaya
serta Pembuatan Keputusan. Yogyakarta:BPFE.
Hansen, Don, R.; Mowen, Maryanne, M. (2005). Fifth Edition. Cost Management: Accounting
and Control. USA: Thomson South Western.
Hilton, Ronal, W.; Maher, Michael, W.; Selto, Frank, H. (2003). Second Edition. Cost
Management: Strategies for Business Decision. Americas. New York: McGraw
Hill.
Mowen, Maryanne, M.; Hansen, Don, R. (2005). Management Accounting the Cornerstone for
Business Decisions. USA: Thomson South Western.
Kaplan, Robert, S.; Cooper, Robin. (1998). Cost and Effect: Using Integrated Cost Systems to
Drive Profitability and Performance. USA: Harvard College.
Holmes, Scott; Hodgson, Allan; Godfrey, Jayne (2000). Fourth Edition. Accounting Theory.
Australia: John Wiley and Son, Ltd.
Kieso, Donald, E.; Weygand, Jerry, J.; Warfield Terry D. (2001). Tenth Edition. Intermediate
Accounting. USA: John Wiley and Sons, Inc.
Ingram, Robert W.; Albright, Thomas L.; Baldwin, Bruce A. (2004). Fifth Edition. Financial
Accounting: A Bridge to Decision Making. Canada:Thomson South Western.
13
Warren, Carl, S.; Reeve, James, M.; Fess, Philip, E. (2005). Eight Edition. Corporate Financial
Accounting. Singapore: Thomson South Western.
Lucas, Robert, W. (2005). Third Edition. Customer Service: Building Successful Skill for the
Twenty First Century. Americas, New York: McGraw Hill.
*
14
Download