BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Penuaan merupakan

advertisement
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
Penuaan merupakan suatu proses biologis yang kompleks ditandai
dengan kemunduran fungsional dan struktural dari sistem multiorgan secara
progresif yang pada akhirnya menyebabkan kematian (Fontana, 2009).
Teori penuaan menurut Goldman dan Klantz adalah sebagai berikut :
1.
Teori Wear and Tear
Kerusakan pada tubuh dan sel disebabkan oleh seringnya penggunaan
dan mengalami penyalahgunaan (overuse and abuse). Fungsi organ
tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan lainnya menurun karena
toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi lemak, gula,
kafein, alkohol dan nikotin berlebihan, sinar ultraviolet, dan stres fisik
serta emosional. Kerusakan terjadi pada tingkat organ maupun seluler.
2.
Teori Neuroendokrin
Teori ini berdasarkan pada peran hormon terhadap fungsi organ
tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa kelenjar yang dikendalikan
oleh hipotalamus, suatu kelenjar yang terletak di otak. Seiring
bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil
yang berakibat terganggunya berbagai sistem tubuh.
10
11
3.
Teori Kontrol Genetik
Berfokus pada peran genetik dalam menyandi DNA. Setiap individu
terlahir dengan kode genetik yang unik yang memungkinkan
berjalannya fungsi fisik dan mental tertentu. Seberapa cepat kita
menua dan berapa lama kita hidup ditentukan oleh genetik tersebut.
4.
Teori Radikal Bebas
Penuaan terjadi karena akumulasi kerusakan akibat radikal bebas
dalam sel. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki elektron
tidak berpasangan, bersifat reaktif karena cenderung menarik elektron
dari molekul lain dan mengubah molekul tersebut menjadi suatu
radikal bebas baru. Proses tersebut menimbulkan kerusakan sel,
gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel (Goldman dan Klantz,
2007).
2.2Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang memiliki elektron
yang tidak berpasangan, dapat juga diartikan sebagai molekul yang
dihasilkan selama metabolisme seluler normal berlangsung, seperti radikal
superoksida, hidroksil purin, dan pirimidin (Pangkahila, 2007).
Radikal bebas memiliki sifat yang tidak stabil dan reaktifitas yang
tinggi karena kecenderungannya menarik elektron dari molekul lain dan
mengubah molekul tersebut menjadi radikal bebas baru (Pham-Huy et al.,
2008). Reaksi tersebut berkesinambungan karena molekul baru yang tidak
stabil akan berusaha mengganti elektronnya yang hilang dengan cara
12
mengambil elektron dari molekul yang berdekatan dan demikian seterusnya
(Pangkahila, 2007).
Berdasar sumbernya, radikal bebas digolongkan menjadi radikal
bebas endogen, yaitu yang dihasilkan oleh tubuh secara alami, sebagai
akibat dari berbagai reaksi non enzimatik dan radikal bebas eksogen yang
berasal dari luar tubuh (Pham-Huy et al., 2008). Radikal bebas endogen
dihasilkan sebagai akibat aktivasi sel imun, inflamasi, stres mental, olah
raga berlebihan, iskemik, infeksi, kanker dan aging, sedangkan radikal
bebas eksogen dapat berasal daripolusi udara dan air, asap rokok, alkohol,
obat tertentu, proses memasak, industrial solvent, ozon, hyperoxia, radiasi
ionisasi dan ion logam berat (Pham-Huy et al., 2008; Birben et al., 2012).
Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan terminologi yang meliputi
semua molekul yang mengandung oksigen reaktif dalam kadar yang tinggi,
termasuk radikal bebas (Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012). Sumber
ROSdapat berasal dari metabolisme seluler dan dari lingkungan, organisme
hidup menghasilkan ROS dari molekul oksigen sebagai hasil dari
metabolisme seluler normal (Birben et al., 2012). ROS dibedakan menjadi
radikal bebas yaitu molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang
tidak berpasangan, dan non radikal yaitu molekul yang terbentuk apabila
dua radikal bebas saling berbagi elektron bebasnya (Birben et al., 2012).
Terdapat beberapa tipe ROS, namun yang berperan signifikan dalam
fisiologi tubuh adalah golongan 3 besar yaitu anion superoksida (O2ˉ•),
13
radikal hidroksil (•OH), dan hidrogen peroksida (H2O2) (Birben et al.,
2012; Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012).
Apabila dalam konsentrasi rendah atau sedang, ROS mempunyai
peran yang menguntungkan dalam maturasi struktur sel, respon seluler dan
fungsi imun, namun dalam konsentrasi tinggi akan menyebabkan stres
oksidatif yang berpotensi merusak struktur semua sel dengan cara bereaksi
dengan lipid membran, asam nukleat, protein dan enzim serta molekul kecil
lainnya (Pham-Huy et al., 2008; Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012).
Terbentuknya ROS terjadi melalui beberapa jalur baik secara
enzimatik maupun non enzimatik, dan yang paling banyak terjadi adalah
sebagai :
1. Konsekuensi dari metabolisme aerobik normal,
2. Ledakan oksidatif dari fagosit sebagai bagian dari mekanisme
penghancuran bakteri dan virus, dan karena denaturasi protein asing
(antigen),
3. Xenobiotic metabolism, contohnya : detoksifikasi dari substansi
beracun (Pham-Huy et al., 2008; Krishnamurthy dan Wadhwani,
2012).
2.3 Stres Oksidatif
Tahun 1997, Helmut Sies mendefinisikan stres oksidatif sebagai
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang berpotensi
menyebabkan kerusakan dan menjelaskan bahwa oksidan terbentuk baik
14
sebagai produk normal dari metabolisme aerobik dan juga akibat patologis
(Wahlquist, 2013).
Secara luas diyakini bahwa oksigen reaktif yang diproduksi dalam
kondisi stres merupakan faktor perusak yang menimbulkan peroksidasi
lipid, inaktivasi enzim dan kerusakan oksidatif pada DNA (Pham Huy et al.,
2008).
Dalam keadaan normal, tubuh memiliki mekanisme pertahanan
terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas, mekanisme
tersebut beragam, efisien, tersebar di seluruh sel, dan dilakukan oleh
antioksidan endogen (Pham-Huy et al., 2008; Birben et al., 2012). Bila
mekanisme pertahanan ini menurun atau terlampaui maka kerusakan sel
dapat terjadi dan kondisi ini disebut sebagai stres oksidatif (Pham-Huy et
al., 2008; Birben et al., 2012).
Stres oksidatif berkontribusi pada beberapa kondisi patologis
termasuk
kanker,
kelainan
neurologis,
atherosklerosis,
hipertensi,
iskemia/perfusi, Diabetes, Acute Respiratory Distress Syndrome dan lain
sebagainya seperti pada Gambar 2.1 (Pham-Huyet al., 2008; Birben et al.,
2012).
15
Gambar 2.1 Stres Oksidatif Menginduksi Penyakit pada Manusia
(Pham-Huyet al., 2008)
2.4 Antioksidan
Antioksidan adalah suatu substansi yang mempunyai kemampuan
untuk mencegah atau memperlambat oksidasi dari molekul lain (Flora,
2009). Molekul antioksidan bertugas melindungi sel-sel tubuh dan
komponen tubuh lainnya dari radikal bebas dengan cara menetralisirnya
(Pham-Huyet al., 2008). Berdasar sumbernya, antioksidan digolongkan
menjadi dua, yaitu antioksidan endogen dan antioksidan eksogen.
Antioksidan endogen dihasilkan oleh tubuh, berupa enzim yang mengubah
radikal bebas menjadi radikal bebas lain atau senyawa lain yang tidak
berbahaya, contohnya adalah superoxide dismutase, catalase (CAT) dan
glutathione peroxidase (GPx)(Birben et al., 2012; Krishnamurthy dan
Wadhwadani, 2012). Antioksidan eksogen merupakan senyawa-senyawa
yang berasal dari luar tubuh yang memiliki kemampuan antioksidan
(Birben et al., 2012; Krishnamurthy dan Wadhwadani, 2012).Antioksidan
eksogen berupa mikromolekul yang merupakan antioksidan non-enzimatik
16
yang membantu aktivitas enzim, meliputi antara lain glutation, asam
pantotenat, koenzim Q 10, karnitin, vitamin A, E, C, B kompleks dan
mineral seperti seng, selenium, copper, dan krom (Walczak-Jedrzejowska
et al., 2012).
Secara kinetis, antioksidan diklasifikasikan menjadi 6 kategori:
1.
Antioksidan yang memutus rantai dengan cara bereaksi dengan
radikal peroksil yang mempunyai ikatan O-H atau N-H yang lemah:
fenol, naftol, hidroquinon, amin aromatik dan aminofenol.
2.
Antioksidan yang memutus rantai dengan cara bereaksi dengan
radikal alkil: quinon, nitron, imiquinon.
3.
Antioksidan yang memecah Hidroksi peroksida: sulfide, fosfida,
tiofosfat.
4.
Antioksidan yang me-non-aktivkan logam: diamin, asam hidroksil
dan bifunctional compounds.
5.
Antioksidan yang menghentikan reaksi berantai: amin aromatik,
radikal nitroksil, senyawa logam dengan berbagai valensi.
6.
Kerja sinergis dari beberapa antioksidan: sulfida fenol dimana gugus
fenol bereaksi dengan radikal peroksil dan gugus sulfida dengan hidro
peroksida (Flora, 2009).
Upaya mempertahankan keseimbangan status oksidatif lazimnya
dilakukan dengan pemberian antioksidan non-enzimatik, sedangkan
pemberian antioksidan enzimatik seperti SOD dan CAT pernah dilakukan
pada hewan coba namun menemui kegagalan karena kurangnya
17
kemampuan
menembus
blood-brain-barrier
dan
membran
sel
(Kanunnikova et al., 2012).
Toksisitas akibat antioksidan mungkin saja terjadi dan berakibat pada
ablasi fungsi pertahanan tubuh oleh antioksidan, termasuk fagositosis
terhadap antimikroba, detoksifikasi oleh kompleks sitokrom P-450 dan
apoptosis terhadap sel yang tidak diinginkan (Wahlquist, 2013). Toksisitas
antioksidan yang pernah dilaporkan adalahpemberian vitamin C, pada
kondisi kadar besi yang tinggi vitamin C merupakan mediator potensial dari
peroksidasi lipid, berisiko menjadi oksidan yang bersifat toksik dengan
mereduksi logam seperti besi pada reaksi Fenton (Wahlqvist, 2013).
Pemberian β-Carotene (prekursor vitamin A) sebagai suplemen terisolasi
dilaporkan
berisiko
menimbulkan
kanker
(Wahlqvist,
2013).
Hipervitaminosis A juga dilaporkan mestimulasi pembentukan ROS pada
berbagai jaringan tubuh (Aitken dan Roman, 2008).
2.5 Sel Leydig
Sel Leydig merupakan tipe sel spesifik dari testis, ditemukan oleh
Frans Leydig pada tahun 1850, berperan memproduksi androgen dan faktor
lain yang bertanggung jawab terhadap sifat maskulin individu. Terdapat
dua populasi sel Leydig pada sebagian besar mamalia yang dibedakan
berdasar
kemampuannya
dalam
memproduksi
androgen
selama
perkembangan testis, yaitu Fetal Leydig Cells (FLCs) dan Adult Leydig
Cells (ALCs)(Chen et al., 2009; Svechnikov et al., 2010). Pembentukan
FLCspada tikus dimulai pada hari ke-14,5masa embrionik dan pada
18
manusia pada minggu ke-7-8 masa gestasi (Svechnikov et al.,
2010).Jumlahnya meningkat selama perkembangan embrionik terlepas dari
fakta bahwa diferensiasi FLCs inaktif secara mitotik, sehingga diduga
peningkatan FLCs terjadi lebih cenderung sebagai akibat diferensiasi sel
progenitor dibanding sebagai hasil pembelahan FLCs yang sudah
ada.FLCssecara bertahap digantikan olehALCs pada akhir masa fetus,
populasi ALCsterutama berkembang dari undifferentiated mesenchymal-like
stem cells yang berada di jaringan interstitial testis neonatal melalui 4 tahap
perkembangan sebagai berikut:
Gambar 2.2 Tahap Perkembangan Adult Leydig Cells
(Modifikasi Chenet al., 2013)
Stem Leydig Cells adalah sel yang belum berdiferensiasi yang
mempunyai kemampuan memperbarui diri, berdiferensiasi dan mengisi
ketiadaaan sel Leydig, Progenitor Leydig Cells berasal dari Stem Leydig
Cells, berbentuk spindle, merupakan reseptor positif dari Luteinizing
Hormone (LH), mempunyai aktivitas mitotik yang tinggi dan memproduksi
testosteron dalam jumlah kecil, lebih dominan pada metabolit testosteron.
Progenitor Leydig Cells kemudian berkembang menjadi Immature Leydig
Cellsyang berbentuk bulat dan mengandung banyak retikulum endoplasma
halus,
memproduksi
lebih banyak Testosteron dan
metabolitnya.
19
Selanjutnya Immature Leydig Cells akan berkembang menjadi ALCs (Chen
et al., 2009). Bertambahnya jumlah sel Leydig sebelum dan pada masa
pubertas terjadi melalui dua mekanisme yaitu diferensiasi dari sel-sel
mesenkim (precursor) dan pembelahan mitosis dari bentukan baru sel
Leydig (Chen et al., 2009).
Sel Leydig dewasa sering beragregasi dalam kelompok kecil di antara
tubulus (ruang interstisial) bersama-sama dengan fibrosit, pembuluh darah,
pembuluh limfe, dan sejumlah besar leukosit, terutama makrofag, diikuti
kemudian dengan Limfosit T dan sel Mast (Meinhardt, 2006). Sel Leydig
berbentuk polyhedral dengan diameter 15 - 20 µm. Sitoplasma dari sel
Leydig merupakan tempat berlangsungnya steroidogenesis, di dalamnya
terdapat banyak organela retikulum endoplasma halus dan mitokondria
yang merupakan ciri khas dari sel yang mensintesis hormon steroid.
Sitoplasma sel Leydig berwarna merah muda, mengandung lipid, pigmen
lipokrom dan kristal Reinke, intinya bulat dengan nukleoli yang jelas dan
sering terhubung dengan serabut saraf (Meinhardt, 2006).Diduga
peningkatan jumlah lipid droplet, kristal-kristal, dan vakuola pada
sitoplasma sel Leydig menunjukkan penurunan kualitas sel Leydig yang
terjadi akibat proses penuaan (aging) (Chen et al., 2009).
2.6 Sel Sertoli
Sel sertoli adalah sel somatik post mitotik yang memanjang dari
membran basal tubulus seminiferus hingga ke lumen, dengan kuat
menyokong ramifikasi sitoplamik dan dikelilingi oleh sel-sel germinal,
20
berperan sebagai blood-testis-barrier dalam epitel tubulus seminiferus
(Meinhardt, 2006). Fungsi dari sel Sertoli adalah menyokong dan
menstimulasi
perkembangan
spermatogenik)
dengan
dan
diferensiasi
memediasi
stimulasi
sel
germinal
hormonal,
(sel
menutrisi
spermatosit, spermatid dan sperma, memfagosit kelebihan sitoplasma
spermatid selama proses perkembangan, mengkontrol mobilisasi sel
spermatogenik dan pelepasan sperma ke dalam lumen tubulus seminiferus,
selain itu juga memproduksi cairan untuk transport sperma, mensekresi
hormon inhibin serta mengatur efek testosteron dan Follicle Stimulating
Hormone (FSH). Terkait dengan fungsi yang terakhir, sel Sertoli
merupakan satu-satunya tipe sel dalam tubulus seminiferus yang
mengekspresikan membrane-bound FSH receptor (FSHR) dan nuclear
androgens receptor (AR) (Meinhardt, 2006; Tortora dan Derrickson, 2009).
Perkembangan sel germinal pada mamalia mutlak tergantung pada
keberadaan
sel
Sertoli
karena
perannya
dalam
diferensiasi
dan
perkembangan fungsi testis. Jumlah sel Sertoli merupakan faktor paling
penting dalam menentukan besarnya produksi sperma (Schulz et al., 2005).
Proliferasi postnatal dari sel Sertoli pada mamalia terutama terjadi
hanya jika terdapat spermatogonia di dalam epitel seminiferus dan berhenti
bila spermatosit primer mulai berproliferasi, jadi pada mamalia termasuk
manusia dan tikus tidak terjadi proliferasi sel Sertoli setelah pubertas dan
aktivitas mitotik berhenti setelah gelombang pertama spermatogenesis
berlangsung (Schulz et al., 2005).
21
2.7Monosodium Glutamate
Monosodium glutamate (MSG) merupakan garam sodium dari (L-)
Glutamic acid, bentuk murninya menyerupai bubuk kristal (Ault, 2004).
Gambar 2.3 Monosodium Glutamate (Dokumen pribadi)
Rumus kimia MSGmenurut International Union of Pure and Applied
Chemistry nomenclature (IUPAC) adalah C5 H8 NNaO4 dengan struktur
molekul sebagai berikut :
Gambar 2.4 Struktur kimia MSG(Ault, 2004)
Kandungan MSG terdiri dari asam glutamate, sodium, dan air (Eweka
dan Adjene, 2007).
Asam glutamat pertama kali diisolasi sebagai substansi murni pada
tahun 1866 oleh seorang ahli kimia Jerman, Ritthausen melalui hidrolisis
asam dari Gliadin, suatu komponen dari gluten gandum. Ahli kimia
berkebangsaan Jepang, Dr. Kikunea Ikeda pada 1908 menemukan bahwa
22
asam glutamat-lah yang berefek menguatkan rasa dari rumput laut “kombu”
atau Laminaria japonicayang biasa digunakan dalam masakan (sup) Jepang
selama berabad-abad, kemudian pada tahun 1909 proses isolasi MSG dari
tepung gandum dipatenkan dan mulai diproduksi MSG secara komersial
dengan nama Ajinomoto (at the origin of flavor) (Ault, 2004).
Menurut Walker dan Lupien di tahun 2000, MSG modern untuk
keperluan komersial diproduksi dengan memfermentasikan starch, gula,
bit, sugarcane atau molasses(Sakr dan Badawy, 2013).
Glutamat merupakan asam amino yang paling banyak dijumpai di
alam dan merupakan komponen utama protein dan peptida pada jaringan,
selain itu juga diproduksi di dalam tubuh dan berperan penting dalam
metabolisme (Eweka dan Adjene, 2007). Glutamat juga memiliki fungsi
sebagai eksitator neurotransmitter pada sistem saraf pusat mamalia,
berperan penting baik dalam proses fisiologis maupun patologis (Noor dan
Mourad, 2010).
Metabolisme MSG serupa dengan asam glutamat dari protein diet
normal karena dalam suasana lambung yang asam MSG dipresentasikan
sebagai asam glutamat (Ault, 2004). Bersama dengan aspartat, asam
glutamat akan dimetabolisme dengan cepat dalam usus dan hati, kemudian
glutamat yang diserap akan ditransaminasikan dengan piruvatke bentuk
alanin.
Alanin
bersama
asam
amino
dikarboksilat
menghasilkan
aketoglutarat atau oksaloasetat. Proses ini menyebabkan menurunnya asam
amino dikarboksilat yang dilepaskan dalam sirkulasi portal. Glutamat dan
23
aspartat yang lolos dari mukosa dibawa melalui vena porta ke hati, sebagian
glutamate dan aspartat dikonversikan oleh usus dan hati ke bentuk mukosa
dan laktat kemudian dialirkan ke dalam sirkulasi perifer (Sukawan, 2008).
Asam glutamat yang diabsorbsi, 57% dikonversikan menjadi urea di hati,
6% menjadi protein plasma, 23% diserap melalui sirkulasi sebagai asam
amino bebas dan 14% sisanya belum diketahui secara pasti namun diduga
disimpan dalam hati sebagai protein hati atau enzim (Sukawan, 2008).
Penggunaan MSG dalam dosis optimal bermanfaat meningkatkan
transmisi impuls saraf untuk mendukung fungsi koordinasi dan regulasi
tubuh, dan pada lansia dengan penurunan sensitivitas kemosensoris
bermanfaat untuk memelihara intake nutrient (Beyreuther et al., 2007; Noor
dan Mourad, 2010). Namun penggunaan berlebihan ataudalam waktu yang
lama dapat berefek sitotoksik, genotoksikdan mengakibatkan stres oksidatif
pada manusia dan hewan percobaan (Noor dan Mourad, 2010). Diduga
MSGsecara langsung berefek menyebabkan peningkatan ROS yang
dipresentasikan dengan peningkatan peroksidasi lipid (Okwudiriet al.,
2012). Berdasarkan pertimbangan adanya risiko dari intake MSG
berlebihan maka WHO menetapkan Acceptable Daily Intake (ADI) untuk
MSG yaitu 120 mg/kg berat badan namun pada tahun 1987 ketetapan itu
dicabut kembali sehingga tidak ada batasan pasti mengenai penggunaan
MSG(Jinap dan Hajeb, 2010).Tidak adanya pembatasan resmi inilah yang
diduga berdampak pada meningkatnya konsumsi MSG karena produsen
makanan maupun konsumen beranggapan MSG aman dikonsumsi
24
berapapun jumlahnya. Hal serupa terjadi juga di Indonesia, Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 23 tahun 2013tidak
menyebutkan berapa batasan maksimum penggunaan bahan tambahan
pangan penguat rasa seperti yang dicantumkan di Lampiran 2.
Sekitar 80% protein dalam diet normal mengandung ± 15 gram asam
glutamat (per 100 gram protein), maka sesungguhnya manusia tidak
memerlukan tambahan MSG sebagai penyedap rasa karena alasan
kesehatan (Ault, 2004).
Hingga saat ini efek toksik MSG pada hewan coba yang sudah diteliti
adalah meliputi kelainan atau kerusakan sistem saraf pusat, kelenjar
endokrin termasuk hipotalamus dan gonad, defek metabolik dan masih
banyak lagi (Nayanatara et al, 2008; Noor dan Mourad, 2010).
Pemberian MSG 4 mg/gBB secara intraperitoneal pada tikus selama 6
hari menunjukkan penurunan aktivitas catalase di hipokampus dan korteks
sedangkan pemberian MSG dosis yang sama selama 4 minggu menurunkan
aktivitas glutathion s-transferase (GST) dan jumlah glutation tereduksi
pada korteks otak (Noor dan Mourad, 2010).Penelitian terhadap ginjal tikus
yang mendapat MSG4 g/kgBB selama 10 hari membuktikan adanya cidera
seluler karena kerusakan oksidatif akibat terbentuknya reactive oxygen
species (ROS) yang terakumulasi menjadi stres oksidatif, disertai
peningkatan
kadar
lipid
peroksidasi,
peningkatan
penurunanSOD, dan catalase (CAT)(Okwudiri et al., 2012).
aktivitasGST,
25
Tabel 2.1
Efek Pemberian MSG Terhadap Marker Stres Oksidatif
(Peroksida lipid, Glutation, GST, SOD, dan Katalase)
(Sumber: Okwudiriet al., 2012)
Efek toksik MSGyang secara khusus diteliti pada organ testis tikus
dilakukan tahun 2006 pada tikus dewasa menunjukkan apoptosis sel
germinal, penurunan diameter tubulus seminiferus, penurunan jumlah sel
Leydig dan sel Sertoli, penurunan LH dan FSH serta peningkatan hormon
leptin (Franca et al., 2006).
PemberianMSG4g/kg berat badan secara intraperitoneal selama 15
hari (jangka pendek) dan 30 hari (jangka panjang)pada tikus jantan
berakibat pada penurunanjumlah spermanormal (oligozoospermia) dan
kadar vitamin C(Nayanataraet al., 2008).
Penelitian terhadap 48 tikus albino dewasa yang dibagi menjadi
Kelompok Kontrol yang diberi normal saline dan Kelompok Perlakuan
yang diberi MSG 4 mg/kg berat badan
selama 14 harimenunjukkan
perbedaan bermakna pada parameter morfometrik testis antara 2
kelompok.Hasil menunjukkan adanya penurunan diameter tubulus,
berkurangnya tinggi epitel tubulus seminiferus, penurunan jumlah sel
Leydig, berkurangnya ketebalan lamina propria dan penurunan diameter
26
pembuluh darah secara bermakna padaKelompok Perlakuan seperti yang
disajikan dalam Tabel 2.2 (Nosseir et al., 2012).
Tabel 2.2
Efek MSG pada Testis Tikus Albino Dewasa
(Sumber: Nosseir et al.,2012)
Penelitian Nosseir tersebut menguatkan hasil penelitian yang
dilakukan di Indonesia yang menunjukkan gangguan kualitas dan kuantitas
sel Leydig tikus putih jantan dewasa yang diberi MSG 4.8dan 9.8 g/kg berat
badan/hari per oral selama satu siklus spermatogenesis, namun tidak pada
pemberian MSG 2.4 g/kg berat badan/hari (Suryadi et al., 2007).
Perubahan histologis testis ditunjukkan dengan hilangnya sel
spermatogenik, atropi/deformasi tubulus seminiferus, sel Sertoli berkurang
jumlahnya dan terlepas dari lamina basalis yang irregular, terdapat materi
hyalin dalam lumen tubulus dan jaringan penyambung interstitial,
vakuolisasi intrasel pada stroma dan fibrosis peritubular, perdarahan
intertubulus, jumlah sel Leydig berkurang dan intinya menjadi piknotik
(Franca et al., 2006; Suryadi et al., 2007; Nosseir et al., 2012; Sakr dan
Badawy, 2013).
Gejala toksisitas MSG pada manusia yang pernah dilaporkan adalah
rasa kebas, lemah, flushing, berkeringat banyak, dizziness dan sakit kepala
27
(Alalwani, 2014). Oforuofo pada tahun 1997 melaporkan pula bahwa MSG
mengakibatkan
gangguan
fertilitas
pada
manusia
(pria)
dengan
menimbulkan perdarahan dalam jaringan testis, degenerasi dan perubahan
jumlah maupun bentuk sperma (Eweka dan Adjene, 2007; Alalwani, 2014).
Gambar 2.5 Gambaran Histologist Testis Normal, LC : Leydig cell,
SC: Sertoli cell (Alalwani, 2013)
Gambar 2.6 Perubahan Histologis Testis Tikus Wistar Akibat MSG
(Alalwani, 2013)
28
2.7.1
Mekanisme
KerjaMSG
dalam
Menimbulkan
Kerusakan
Oksidatif
Monosodium Glutamate (MSG) merupakan agen yang dapat
menimbulkan radikal bebas yang bersifat merusak jaringan. Intake MSG
yang berlebihan akan menyebabkan kadar glutamat berlebihan di dalam
sirkulasi dan jaringan karena dalam suasana lambung yang asam MSG
dipresentasikan sebagai asam glutamat dan akan dimetabolisme sama
seperti asam glutamat dari protein diet normal (Ault, 2004). Kadar glutamat
yang optimal bermanfaat untuk fungsi fisiologis yaitu meningkatkan
transmisi impuls saraf untuk mendukung fungsi koordinasi dan regulasi
tubuh, dan pada lansia dengan penurunan sensitivitas kemosensoris
bermanfaat untuk memelihara intake nutrient (Beyreuther et al., 2007; Noor
dan Mourad, 2010). Namun penggunaan berlebihan atau dosis kecil dalam
waktu yang lama dapat berefek sitotoksik, genotoksik dan mengakibatkan
stres oksidatif pada manusia dan hewan percobaan (Noor dan Mourad,
2010). Glutamat di dalam jaringan akan berikatan dengan reseptor NMDA
(N-Methyl-D-Aspartate)
yang
kemudian
menimbulkan
depolarisasi
membran sel sehingga terjadi influx Ca2+ ke dalam sel (Beyreuther et al.,
2007).
Kadar Ca2+ yang berlebihan di dalam sel akan mengaktifkan
konversi Xanthine Dehydrogenase(XDH) menjadi Xanthine Oxidase,
mengaktifkan Nitric Oxide Syntase (NOS) sehingga produksi Nitric Oxide
(NO) meningkat, mengaktifkan Phospolipase A2 dan Cyclooxygenase 2
yang meningkatkan pembentukan radikal bebas dan pelepasan asam
29
arakhidonat, selain itu juga meningkatkan kadar radikal hidroksil melalui
reaksi Fenton dan reaksi Haber Weiss. Mekanisme-mekanisme tersebut
menginduksi peroksidasi lipid dan oksidasi protein, DNA maupun RNA
yang disertai cidera oksidatif (Liu, 2002).
Peroksidasi lipid merupakan mekanisme autokatalisis yang menjadi
indikator utama dari kerusakan oksidatif (Noor dan Mourad, 2010;
Okwudiri et al., 2012). Peroksida lipid yang terbentuk akan menyebabkan
perubahan fluiditas dan integritas membran dan menimbulkan kebocoran
ion keluar melalui membran sel. Jadi aktivitas ROS dalam menimbulkan
kerusakan oksidatif dapat terjadi melalui oksidasi langsung dari protein
bebas maupun yang terikat asam amino sehingga menginaktivasi enzim,
berikatan dengan reseptor dan merusak struktur protein (Liu, 2002; Birben
et al., 2012).
Penurunan antioksidan jaringan juga terjadi setelah pemberian MSG
pada hewan coba yaitu Vitamin C,reduced glutathione (GSH), superoxide
dismutase (SOD)dan catalase(Nayanatara et al., 2008; Okwudiri et al.,
2012).
Turunnya kadar antioksidan jaringan menimbulkan keseimbangan
oksidatif terganggu, bila berlanjut akan terjadi kerusakan oksidatif dengan
meningkatnya kematian sel (Keller dan O’Connor, 2010).
2.8. Dexpanthenol
Dexpanthenol (D-panthenol; D-panthotenyl alcohol; Panthenol; pro
vitamin B5) adalah analog asam pantotenat dalam alkohol (bentuk liquid)
30
yang akan diubah menjadi asam pantotenat di dalam jaringan (Gregory dan
Kelly, 2011;Altintas et al.,2012). Asam pantotenat yang pertama kali
dideskripsikan sebagai
Lactobacillus bulgaricus growth factor, adalah
salah satu keluarga vitamin B yang merupakan nutrisi esensial bagi semua
sel hidup. Nama asampantotenat berasal dari bahasa Yunani yaitu
pantothen (pantoyen) yang artinya from everywhere, karena sejumlah kecil
panthetheine dapat ditemukan pada hampir semua jenis makanan (Eidi et
al., 2012). Hanya asam pantotenat dalam bentuk D(+) yang aktif secara
biologis atau mempunyai aktivitas sebagai vitamin(O’Neil, 2006). Bentuk
alkohol dari asam pantotenat ini merupakan bentuk yang lebih stabil
sehingga lebih dimanfaatkan sebagai sumber vitamin dalam suplemen
multivitamin, kelebihan lain dari panthenol adalah lebih cepat diabsorbsi
daripada bentuk asam (Buhler, 2002; Norris dan Ringrose, 2008).
Rumus kimia dari Dexpanthenol adalah C9-H19-N-O4, sedangkan
struktur kimianya adalah sebagai berikut :
Gambar 2.7 Struktur kimia Dexpanthenol (Buhler, 2002)
Dexpanthenol
berbentuk viscous liquid, memiliki berat molekul
205,25 g/mol, pH nya 9,5, larut dengan mudah dalam methanol, air dan
alkohol, dan sedikit larut dalam eter, sedangkan rasanya
pahit(O’Neil, 2006).
sedikit
31
Sumber asam pantotenat di alam adalah whole-grain cereals,
legumes, telur dan daging (Eidi et al., 2012).
Dexpanthenol dosis oral diabsorbsi dengan cepat sekitar 40-63%, siap
untuk dikonversi menjadi asam pantotenat yang secara luas terdistribusi
dalam jaringan tubuh terutama sebagai koenzim A dan metabolit asam
pantotenat lainnya dalam 6 jam (Gregory dan Kelly, 2011).
Dexpanthenol atau asam pantotenat pertama kali digunakan sebagai
kosmetik dalam bentuk topikal atau injeksi untuk membantu proses wound
healing, hingga sekarang masih populer dalam pengobatan dermatosis dan
skin care terkait dengan kemampuannya menstimulasi epitelialisasi,
granulasi, anti pruritik dan anti inflamasi (Gregory dan Kelly, 2011).
Sesungguhnya
disinyalir
terdapat
lebih
banyak
lagi
kegunaan
Dexpanthenolkarena asam pantotenat terlibat dalam sejumlah reaksi
biologis termasuk dalam memproduksi energi, katabolisme asam lemak dan
asam amino, sintesis asam lemak, fosfolipid, sphingolipids, kolesterol,
sintesis asam amino seperti leusin, arginin, dan methionin, sintesis hormon
steroid, sintesis heme dan neurotransmiter asetilkolin (Eidi et al., 2012).
Sebagai prekursor koenzim A (Co. A), asam pantotenat dan derivatnya
melindungi sel dan seluruh organ dari kerusakan peroksidatif dengan cara
meningkatkan kadar glutation sel. Asam pantotenat dan derivatnya di dalam
tubuh diubah menjadi Co A dengan bantuan enzim pantotenat kinase yang
menyebabkan kadar Co Asel terutama di dalam mitokondria meningkat
32
sehingga produksi energi dan sintesis ATP juga meningkat dan pada
akhirnya meningkatkan sintesis glutation (Altintaset al., 2012).
Pendapat ini dikuatkan oleh sumber lain menyebutkan bahwa asam
pantotenat dan derivatnya diketahui mempunyai peran penting dalam
meningkatkan kadar Co A, ATP danGSH yang semuanya berperan besar
dalam pertahanan seluler dan sistem perbaikan melawan stres oksidatif dan
inflamasi (Altintas et al., 2012).
Suatu penelitian membuktikan aktivitas hepatoprotektif dari asam
pantotenat/Dexpanthenol terhadap sel-sel hati tikus yang rusak oleh CCL4
dan penelitian lain membuktikan kemampuanDexpanthenol memperbaiki
kerusakan jaringan ginjal tikus yang mengalami iskemi, dari penelitianpenelitian tersebut dilaporkan dosis Dexpanthenol yang memberikan respon
terapi adalah mulai 500 mg/kg berat badan (Altintas et al., 2012).
D-Dexpanthenol 1 gram setara dengan 1068 mg D-pantothenic acid,
artinya 1 gram D-pantothenic acid setara dengan 936 mg Ddexpanthenol(Buhler, 2002).
Dietary Reference Intake (DRI) dari asam pantotenat dapat dilihat
pada Tabel 2.2, sedangkan batas suplementasi adalah 100 – 1000 mg/hari
terbagi dalam 2-3 dosis (Gregory dan Kelly, 2011).
33
Tabel 2.3
Dietary Reference Intake (DRI)Asam Pantotenat
(Sumber : Gregory dan Kelly, 2011)
Defisiensi dari asam pantotenat/derivatnya pada tikus berakibat pada
hilangnya warna bulu (pada tikus hitam/coklat), pada ayam dapat terjadi
dermatitis dan pada mencit lebih beragam seperti kehilangan berat badan,
poor grooming, kehilangan bulu, eksudasi sekitar mata, diare dan hind leg
paralyses. Tanda defisiensi yang selalu konsisten ditemukan adalah
perubahan morfologi dan fungsi adrenal secara progresif, atropi timus,
pembesaran limpa,dan lymphopenia diikuti lymphocytosispada mencit,
sedangkan pada tikus jantan terjadi peningkatan berat testis, penurunan
motilitas sperma dan penurunan testosteron serta kortikosteroid plasma.
Defisiensi asam pantotenat pada manusia menimbulkan gejala numbness,
burning sensation pada kaki yang dapat membaik dengan suplementasi
asam pantotenat, selain itu secara konsisten ditemukan adanya triad of
fatique, gangguan gastrointestinal, gangguan tidur, dan perubahan
kepribadian serta gangguan emosi (Gregory dan Kelly, 2011).
Tanda-tanda toksisitas asam pantotenat yang ditemukan adalah
kehilangan berat badan pada tikus dengan pemberian > 2000 mg/kg berat
34
sedangkan dosis lethal dari asam pantotenat yang dilaporkan adalah 10.000
mg/kg berat badanpada tikus dan mencit (Gregory dan Kelly, 2011). Tidak
ada efek tambahan yang pernah dilaporkan terkait pemberian asam
pantotenat berlebihan pada manusia, pada pemberian 10g/hari hanya
menimbulkan diare dan distres intestinal yang ringan (Norris dan Ringrose,
2008).
Berdasarkan
penelitian,
penggunaan
Dexpanthenol
dilaporkan
memiliki tingkat keamananyang luas(Altintas et al., 2012).
2.9Glutation
Glutation merupakan protein yang paling banyak mengandung thiol
pada sel dan organ. Ditemukan dalam bentuk tereduksi dan teroksidasi di
dalam sel. Kadar glutation yang tinggi dan potensi reduksi/oksidasinya
yang tinggi menjadikan glutation sebagai antioksidan yang kuat dan
menjadi first defense line dalam melawan radikal bebas (Ashtiani et al.,
2011).
Mekanisme kerja glutation dalam melindungi sel/jaringan adalah
dengan bertindak sebagai antioksidan, detoxifier, regulator, dan berperan
dalam fungsi imun (Ashtiani et al., 2011).
Aktivitas glutation sebagai antioksidan sebagian besar diperankan
oleh reaksi yang dikatalisis oleh GPx dimana terjadi penurunan
peroksidahidrogen
dan peroksida lipid selama oksidasi GSH menjadi
GSSG. Sebaliknya GSSG dapat tereduksi kembali menjadi GSH oleh GSSG
reduktase pada pemakaian NADPH dalam siklus redoks. Peroksida organik
35
juga dapat dikurangi oleh GPx dan GST. Catalase dapat mengurangi
hidrogen peroksida namun terbatas hanya dalam peroksisom, hal ini
menjadikan glutation penting bagi mitokondria dalam bertahan melawan
stres oksidatif yang terbentuk secara fisiologis maupun patologis seperti
dipaparkan dalam Gambar 2.8 (Lu, 2013).
Gambar 2.8 Glutation Sebagai Antioksidan (Lu, 2013 )
Sebagai detoxifier, glutation menggunakan materi sel untuk
menyingkirkan racun dari obat, insektisida, logam berat, dan bahan
xenobiotic lainnya serta menetralkan racun tersebut sebelum sempat
bereaksi dengan komponen sel seperti asam nukleat dan protein (Ashtiani et
al., 2011).
Peran glutation dalam fungsi regulasi dilakukan dengan mengatur
turn over protein, memelihara stabilitas protein ekstrasel, memelihara stem
sistein dalam melawan oksidasi, mengatur berbagai enzim dan agen
reproduksi (Ashtiani et al., 2011). Sumber lain menyebutkan glutation
36
memodulasi pertumbuhan dan kematian sel dengan mengatur siklus sel (Lu,
2013).
Meskipun belum ditetapkan secara pasti namun peran glutation dalam
sistem imun diduga melalui kemampuannya meningkatkan aktivasi
Limfosit T sitotoksik dan CD
8+
yang serta menurunkan aktivitas CD4+
(Ashtiani et al., 2011).
Penurunan kadar glutation dapat terjadi pada kondisi stres
berkepanjangan,
meningkatnya
pembentukan
radikal
bebas
dan
hiperaktivitas sistem imun(Keller dan O’Connor, 2010).
Kehilangan GSH berakibat fatal, yaitu kematian sel yang kemudian
menimbulkan kerusakan jaringan(Keller dan O’Connor, 2010).
Pemberian GSH secara intravena memiliki kekurangan karena
umurnya dalam plasma manusia sangat pendek (<3 menit) dan sukar
menembus membran sel sehingga memerlukan dosis yang tinggi untuk
mencapai efek terapetik (Cacciatore et al., 2010).Pemberian GSH per oral
tidak dianjurkan karena tidak diabsorbsi oleh sebagian besar sel mamalia
dan tidak mengisi kehilangannya dalam sel. Selain itu GSH per oral terlalu
mahal dan tidak nyaman sehingga dibuat alternatif cara untuk
meningkatkan kadar glutation dalam sel yaitu dengan suplementasi Lcystein, N-acetyl cystein (NAC) danglutation ester(Keller dan O’Connor,
2010).Namun upaya tersebut masih menemui kendala karena suplementasi
L-cystein dapat berakibat toksik. Sementara pemberian NACterkendala oleh
adanya gangguan fungsi digestif sehingga sistem uptake sel terganggu dan
37
secara langsung menghambat sintesis
GSH(Keller dan O’Connor,
2010).Selain itu NAC dalam jangka lama dapat menimbulkan pertumbuhan
jamur berlebihan sementara glutation ester in vivo rentan berubah menjadi
alkohol ketika ikatan esternya terlepas dan keamanannya dalam jangka
panjang belum memuaskan(Keller dan O’Connor, 2010).
2.10 Hewan Coba
Penelitian ilmiah pada hewan lebih sering menggunakan hewan coba
berupa tikus karena memiliki daya adaptasi yang baik. Kelebihan tikus
daripada hewan percobaan lain, yaitu tidak dapat muntahkarena struktur
anatomi muara esofagus kedalam lambung tidak lazim sehingga
mempermudah proses pencekokan dengan sonde lambung dan tidak
mempunyai kantong empedu (Krinke,2000).
Tikus Norwegia(Rattus norvegicus)galur Wistar paling sering
digunakan karena mudah dipelihara, mudah ditangani, tidak terlalu agresif,
relatif sehat, dan cocok untuk berbagai macampenelitian (Koolhaas, 2010).
Konversi umur tikus putih galur Wistar dengan manusia berbeda pada
tiap fasenya. Berdasarkan total life span, 13,8 hari tikus setara dengan 1
tahun manusia, berdasarkan fase pubertas, 3,3 hari tikus setara dengan 1
tahun manusia dan pada fase dewasa, 11,8 hari tikus setara dengan 1 tahun
manusia (Sengupta, 2011).
Tikus putih galur Wistarmengalami descent of testes pada usia 15-50
hari, matur secara seksual pada usia 40-50 hari, aktif secara seksual pada
usia 90-120 hari dan berhenti kawin pada usia 9-24 bulan (Koolhaas, 2010).
38
Tikus
putih
galur
Wistardiketahui
mempunyaisistem
organ
menyerupai manusia sehingga dengan menggunakan tikus diharapkan
hasilnya dapatdigeneralisasi pada manusia (Suryadi et al., 2007).
2.11 Hasil Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan pada12 tikus putih galur Wistar
yang dibagi menjadi 3 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 3 sampel
dengan cadangan masing-masing kelompok 1 ekor tikus, semua tikus diberi
MSG 4g/kgBB/hari dengan sonde, Kelompok 1 diberi plasebo aquadest
secara intraperitoneal 2x/minggu, Kelompok 2 diberi Dexpanthenol 500
mg/kgBB tikus 2x/minggu, dan Kelompok 3 diberi Dexpanthenol 1000
mg/kgBB tikus 2x/minggu. Setelah 14 hari, dari setiap kelompok diambil
satu sampel untuk dikurbankan dan diambil testisnya untuk dibuat preparat
histologi. Perlakuan tetap dilanjutkan pada sisa sampel sampai hari ke-21,
kemudian sampel dikurbankan dan diambil jaringantestisnya untuk dibuat
preparat histologi. Preparat yang dibuat kemudian dihitung jumlah sel
Leydig dan sel Sertolinya untuk selanjutnya dianalisis secara statistik.
Berdasarkan hasil analisis statistik, perlakuan yang mulai memberikan
respon terapi bermakna adalah pemberian Dexpanthenol 1000 mg/kgBB
selama 14 hari (Hartati, 2015).
Download