Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis EKINOKOKOSIS/HIDATIDOSIS, SUATU ZOONOSIS PARASIT CESTODA PENTING TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT TARMUDJI Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114 ABSTRAK Ekinokokosis/hidatidosis adalah suatu penyakit zoonosis cestoda yang disebabkan oleh infeksi stadium larva Echinococcosis granulosus. Parasit cacing pita ini berukuran kecil (panjangnya < 1 cm) dan mempunyai tiga segmen. Untuk melengkapi siklus hidupnya, E. granulosus memerlukan dua mamalia sebagai inangnya. Cacing dewasanya hidup di dalam usus kecil hewan carnivora, terutama anjing (induk semang definitif) dan menghasilkan telur yang mengandung larva infektif. Sedangkan stadium larva, metacestode berkembang di dalam organ internal hewan ungulata, misalnya, domba, sapi, babi dan onta (induk semang antara). Secara asidental E. granulosus dapat menginfeksi manusia (bila tertelan telur infektif) dan dalam perkembangan stadium larva (hidatid) dapat membentuk kista pada organ tubuh inangnya (terutama hati dan paru-paru). Penyebaran penyakit hidatid secara kosmopolitan, terutama di daerah yang mempunyai populasi domba dan sapi yang sangat banyak. Penyakit ini merupakan problem utama di daerah Timur Tengah, Afrika utara dan sub sahara serta di Amerika Utara. E. granulosus kurang patogen pada anjing, tetapi bersifat patogen pada manusia dan menyebabkan hidatidosis (cystic hydatidosis). Penyakit ini, pada stadium awal tidak memperlihatkan gejala klinik (aymptomatic). Gejala klinis dapat terjadi setelah masa inkubasi yang cukup lama (diperkirakan beberapa bulan hingga tahunan). Dan, tergantung dari jumlah, besar dan lokasi kista, perkembangannya (aktif/inaktif) serta terjadinya penekanan kista terhadap jaringan di sekitarnya. Ukuran kista pada organ tubuh manusia sangat bervariasi, biasanya sekitar 1-15 cm, tetapi bisa juga lebih besar (diameter > 15 cm). Kista pada hati dapat menimbulkan rasa nyeri perut di bagian atas, hepatomegali dan berbagai macam gejala yang lain. Batuk kronik, sesak nafas dan hemoptysis dapat disebabkan oleh kista pada paru-paru. Pada induk semang antara, diagnosa tergantung ada/tidaknya kista pada organ, terutama pada hati dan paru-paru. Diagnosis pada anjing dengan ditemukannya cacing (dewasa) E. granulosus. Sedang pada manusia diagnosis ekinokokosis didasarkan pada gejala klinik, ultrasonografi dan pemeriksaan dengan sinar X (X-Ray) dan metode lain yang dapat mendukung diagnosis yaitu dengan deteksi serum spesifik antibodi/uji imunodiagnostik. Di Indonesia, secara serologi pernah ditemukan pada penduduk di sekitar danau Lindu, Sulawesi Tengah, namun pada anjing tidak ditemukan cacing E. granulosus. Kata kunci : Ekinokokosis/hidatidosis, E. granulosus, zoonosis, anjing, hewan ungulata, manusia PENDAHULUAN Beberapa parasit cestoda pada hewan ada yang bersifat zoonosis dan salah satu diantaranya adalah genus Echinococcus (SOULSBY, 1965). Echinococcus sp. adalah cacing kecil (panjang <1cm) yang daur hidupnya melibatkan dua mamalia (ECKERT et al., 1982). Cacing dewasanya hidup di dalam usus kecil (intestine) hewan carnivora, terutama anjing sebagai induk semang definitive/ISD (Definitive Host), sedangkan stadium larvanya (hidatid) hidup di dalam tubuh hewan ungulata (misalnya, domba, sapi, babi, kuda, onta, dsb) sebagai induk semang antara/ISA (Intermediate Host). Di dalam usus, 266 Echinococcus sp. memproduksi telur yang dikeluarkan bersama feses anjing, sehingga dapat mencemari lingkungan. Bila telur tersebut termakan oleh ISA, akan berkembang dan membentuk kista yang menyerupai tumor di dalam organ tubuh inangnya, terutama pada organ hati dan paru-paru. Manusia dapat terinfeksi parasit tersebut secara asidental, bila ia tertelan oleh telur cacing infektif melalui jari tangannya atau makanan yang terkontaminasi feses anjing tersebut (FAO, 1957; ECKERT et al., 1982). Dua bentuk larva Echinococcus yang merupakan masalah penting bagi kesehatan masyarakat yaitu, Echinococcus granulosus yang menyebabkan Cystic Echinococcosis Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis (CE) dan E. multilocularis yang menyebabkan Alveolar Echinococcosis (AE). CE dan AE merupakan problem utama di wilayah peternakan domba intensif dengan transmisi anjing-domba-anjing (LEECH et al., 1988). Masih ada dua spesies lagi yaitu E. vogeli dan E.oligarthrus yang dapat menyebabkan Polycystic Echinococcosis, namun tidak begitu penting karena frekuensi kejadiannya sangat rendah. (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Meskipun secara geografis CE dan AE penyebarannya luas dan berdampak terhadap ekonomi dan kesehatan masyarakat, namun CE yang paling penting diantara keduanya. Karena penyebaran CE sangat luas, paling sedikit sudah dilaporkan terdapat di 100 negara dan variasi inangnya juga banyak (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). E. granulosus bersifat kosmopolitan dan mampu beradaptasi dengan berbagai jenis inangnya pada hewan-hewan di Eropa dan di belahan bumi lainnya. Di sebagian besar negara-negara Mediterranean yang paling timur, infeksinya hiper-endemik pada domba, onta, kambing dan keledai. E. granulosus juga dilaporkan di sebagian besar negara Asia, termasuk China, Kampuchea, Vietnam, Philipina, Taiwan dan Indonesia dan daerah yang prevalensinya tertinggi adalah Iran, India, Nepal dan Pakistan. (ECKERT et al., 1982). E. granulosus ini kurang patogen terhadap anjing, tetapi patogenitasnya cukup tinggi pada manusia dan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan (di daerah endemik), yang disebut penyakit hidatid (Hydatid Disease/ Hidatidosis) atau Ekinokokosis (THOMPSON dan ROBERTSON, 2003). Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ekinokokosis/ hidatidosis yang disebabkan oleh infeksi E. granulosus dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. EKINOKOKOSIS/HIDATIDOSIS Ekinokokosis dan hidatidosis merupakan suatu istilah yang biasa digunakan untuk menyatakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing dewasa dan stadium larva (metacestoda) dari genus Echinococcus (Family: Taeniidae). Istilah hidatidosis terbatas untuk infeksi metacestoda, sedang ekinokokosis untuk keduanya (infeksi cacing dewasa maupun larvanya) (ECKERT et al., 1982). Penyebaran geografis E. granulosus Phenotipe dan varietas dari spesies E. granulosus telah diisolasi dan diidentifikasi, ada beberapa strain E. granulosus yang terdapat pada hewan piaraan/ternak (ISD – ISA) yang berpotensi dapat menginfeksi manusia. Penyebaran E. granulosus secara geografis pada berbagai jenis hewan antara lain sbb: 1. Anjing – Domba (strain domba/common sheep strain): di Eropa, Timur Tengah, Afrika, Iran, India, Nepal, China, Rusia, Australia, Tasmania, New Zeland, USA dan Amerika Selatan. 2. Anjing – Sapi (strain sapi/cattle strain): di Eropa, Afrika Selatan, India, Nepal, Sri Lanka, Rusia, Amerika Selatan. 3. Anjing – Babi (strain babi/pig strain): di Polandia, Slowakia, Ukraina, Rusia dan Argentina. 4. Anjing – Onta (strain onta/camel strain): Timur Tengah, Iran, Afrika, China, Nepal dan Argentina. 5. Anjing – Rusa (strain rusa/deer strain): di Norwegia, Swedia dan Alaska. Selain itu, ada strain E. granulosus yang lainnya yang infektivitasnya pada manusia masih dipertanyakan/belum diketahui secara pasti yaitu, strain kerbau/bufallo strain (di Asia), strain kuda/horse strain (di Timur Tengah, Eropa dan Afrika Selatan) dan Lion strain (di Polandia dan Afrika) (OIE, 2000; ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Morfologi dan Daur Hidup E. granulosus E. granulosus adalah cacing cestoda kecil, panjangnya 3-8,5 mm. Terdiri dari kepala (scolex), leher (neck) dan proglottid (3-4 segmen). Scolex mempunyai empat alat penghisap (oral suckers), dan mempunyai dua deret kait (hooks). Segmen terakhir (gravid proglottid), panjangnya lebih dari setengah dari panjang total cacing dewasa dan mengandung sekitar 5000 butir telur. Setiap telur berbentuk ovoid dengan diameter 30 – 40 mikron. Di dalam telur terdapat hexacanth embrio, yaitu embrio yang memiliki tiga pasang kait 267 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis (Oncosphere) (MULLER, 1975). Selanjutnya oncosphere di lokasi akhir (organ tubuh ISA) akan berkembang menjadi metacestoda (larva hidatid) selama beberapa bulan dan menghasilkan protoscolices (metcestoda fertile) atau tidak menghasilkan protoscolices (metcestoda steril) (ECKERT et al., 1982). Metacestoda fertile inilah yang akan menjadi cacing dewasa bila berada dalam tubuh ISD. E. granulosus dewasa, hidupnya menempel pada usus kecil anjing atau carnivora lainnya (wolf, dingo, jackal) sebagai ISD. Proglottid (gravid) yang mengandung telur-telur infektif dikeluarkan bersama feses. Apabila telur infektif E. granulosus termakan/tertelan oleh ISA (domba, sapi, babi, kuda, onta dsb) atau manusia, maka telur tersebut akan menetas menjadi larva di dalam duodenum inangnya. Kemudian oncosphere, dengan bantuan kait yang dimilikinya menembus mukosa usus, menuju pembuluh darah portal dan mengikuti aliran darah ke berbagai organ tubuh. Dalam perkembangannya metacestoda ini membentuk kista hidatid pada organ sasaran (hati, paruparu dan organ lainnya) (EDINGTON dan GILLES, 1976). Perkembangan kista sangat lambat, tetapi pasti dan makin lama makin membesar. Ukurannya baru mencapai 1mm setelah satu bulan dan setelah lima bulan ukurannya bertambah besar, menjadi 10-55 mm dan mulai membentuk gelembung berbentuk kapsula yang berisi cairan bening dan steril. Cairan tersebut mengandung garam, enzim,sedikit protein dan substansi toksik (MULLER, 1975). Kasus hidatidosis pada manusia terjadi secara asidental, bila telur cacing yang infektif tertelan olehnya dan selanjutnya akan berkembang menjadi metacestoda di organ tubuhnya. Sedangkan metacestoda fertile dengan protoscolices (scolex pada metacestoda) merupakan stadium larva yang infektif. Siklus hidup cacing E. granulosus akan sempurna, apabila metacestoda fertile (pada organ domba atau hewan lain) tersebut dimakan oleh anjing atau carnivora lainnya yang peka dan larva tersebut akan menjadi dewasa di dalam usus anjing (Gambar 1) (ECKERT et al., 1982). Untuk kelangsungan hidup E. granulosus, maka domba merupakan ISA yang penting dan 268 menjadi sumber utama untuk transmisi kista hidatid, karena metacestoda ini daya fertilitasnya tinggi. (1) Cacing dewasa di dalam usus halus anjing atau Canidae lain. (2) Proglottid dengan telurtelurnya dikeluarkan bersama feses, (3) Telur, (4) ISA - domba. Metacestoda (kista hidatid ) berkembang dalam hati, paru-paru dan organ viscera lainnya. (4a) Infeksi secara asidental pada manusia (5) Hati yang terinfeksi metacestoda (5a) Metacestoda fertile dengan protoscolex. Ini merupakan stadium infectif. Siklus hidup lengkap, bila metacestoda fertile dimakan oleh carnivora yang peka. Ekinokokosis pada hewan dan manusia Adanya kista hidatid pada organ tubuh ternak dapat menimbulkan problem ekonomi, karena sebagian produk ternaknya tidak layak dikonsumsi dan harus diafkir. Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat, adanya kista hidatid pada manusia yang terus membesar, meskipun dalam waktu yang lama, dapat menimbulkan penyakit kronik. Bagi penderitanya hal ini menjadi beban karena untuk pengobatannya maupun operasi (pembedahan) memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada Hewan Di Algeria, siklus anjing-domba-anjing biasanya merupakan sumber utama penularan pada manusia. Namun, kapan strain E. granulosus tersebut terlibat dalam kontaminasi dan peranan hewan lainnya, tidak/belum diketahui (BARDONNET et al., 2003). Di Australia, E. granulosus (sheep strain) sudah lama terjadi, yaitu semasa kolonisasi bangsa Eropa di sana. Ternyata siklus anjing-dombaanjing ini berkembang di daerah peternakan (banyak anjing yang diberi makan jerohan domba) dan kejadian ini terus meluas dan menimbulkan masalah kesehatan di daerah perkotaan (urban area). Kista hidatid juga diketemukan pada kanguru (THOMPSON dan ROBERTSON, 2003). Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis Gambar 1. Siklus hidup E. Granulosus Sumber: ECKERT et al. (1982) Studi ekinokokosis di Iran bagian Barat, selama tiga tahun (1997-2000) yang meliputi lima propinsi dapat ditemukan pada ISD dan kista hidatid pada ISA. Pada ISD, 19,1% dari 115 ekor anjing yang positip E. granulosus. Demikian pula pada jackal (2,3% dari 86) dan fox (5% dari 60) juga positip E. granulosus. Sedangkan kista hidatid dapat dijumpai pada domba (19,1% dari 32.898), kambing (6,3% dari 10.691), sapi (16,4% dari 15.799) dan kerbau (12,4% dari 659). Kista (pada hati dan paru-paru) pada domba lebih fertile dibanding dengan kista dari hewan lainnya (DALIMI et al., 2002). Hal ini menunjukkan bahwa, anjing berpotensi dalam penularan penyakit hidatid ke hewan lain dan semua ruminansia berisiko terserang penyakit hidatid ini, terutama domba. Meskipun kista hidatid dapat terbentuk pada hewan ungulata, namun metacestoda fertile tidak berkembang pada semua hewan, adakalanya steril dan perkembangan stadium fertile (terbentuk protoscolices) yang terbaik hanya pada domba (EUZEBY, 1974). Karena kista hidatid pada domba lebih fertile (90% 269 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis fertile) dibanding dengan kista pada sapi (90% steril) atau babi (80% steril) (JUBB dan KENNEDY, 1970). Di Brosov, kerbau berisiko tinggi terinfeksi ekinokokosis, hal ini ditunjukkan dengan tingginya kasus tersebut. Dari hasil survai mencapai 86% (37 dari 43 ekor) kerbau betina positip ekinokokosis. Sebagian besar kista E. granulosus ditemukan di paru-paru dan hati, dengan diameter kista 1-5,1 cm (COMAN et al., 2001). Kasus yang sama juga pernah dilaporkan di Punjab. Empat dari tujuh ekor kerbau betina (7-9 tahun) menderita ekinokokosis paru-paru (pulmonary echinococcosis). Selain di paru-paru, kista juga ditemukan pada organ hati. Pada pemeriksaan post mortem, ditemukan sejumlah kista hidatid dengan ukuran bervariasi, dari sebesar buah anggur sampai sebesar bola yang memenuhi rongga thorax. Kista hidatid juga ditemukan pada organ hati (PANDEY et al., 1978). Pada manusia Hidatidosis yang disebabkan oleh stadium larva E. ganulosus ini menjadi penting karena dapat menginfeksi manusia. Satu atau lebih kista besar dapat menimbulkan lesi kronik (ANDERSON, 1986). Menurut MAEINTYRE dan DIXON (2001), protoscolices dapat menyebabkan reaksi local dan menginduksi mitosis sel-sel B dan se-sel T yang berpotensi terjadinya proliferasi dan deplesi sel-sel tersebut di sekitar lokasi kista. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan kista membentuk protoscolices tidak diketahui, tetapi diperkirakan lebih dari 10 bulan post infeksi (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Bahkan mungkin tahunan, seperti yang dikatakan oleh MULLER (1975) bahwa, periode inkubasi biasanya paling sedikit lima tahun, kecuali kista pada otak atau kelopak mata. Kista primer dapat berkembang di berbagai organ tubuh, tetapi kista sekunder (metastasis dari serpihan kista besar yang rupture akibat trauma) dapat terjadi di ruang abdomen. Kista yang kecil (dari metastasis tersebut) terus berkembang dan tumbuh menjadi besar (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Prevalensi hidatidosis pada manusia di setiap negara bervariasi. ECKERT et al. (1982) menyebutkan bahwa, prevalensi kasus per 270 100.000 populasi/penduduk per tahun di beberapa negara adalah sbb : Di Uruguay 20,7 kasus per 100.000, selanjutnya terjadi 12,9 kasus di Cyprus, 7,8 di Chili, 7,5-8,3 di Greece, 5,1-6,1 di Algeria dan 3,7 di Yugoslavia. Kasus Ekinokokosis pada manusia ini, di daerah endemik E. granulosus cukup banyak dan merupakan masalah yang serius. Di daerah urban di Brazil (dekat perbatasan Argentina-Uruguay), ekinokokosis ini menimbulkan problema kesehatan masyarakat yang serius (HOFFMANN et al., 2001). Sementara itu, di Spanyol, selama kurun waktu 15 tahun (1981-1996), pernah didiagnosa adanya 575 kasus hidatidosis pada manusia di salah satu rumah sakit di sana dan 321 pasien diantaranya dilakukan terapi dengan operasi/ pembedahan (CAMPOS-BUENO et al., 2000). Dan, pada penelitian selanjutnya mereka menyimpulkan bahwa, faktor resiko terjadinya penyakit ini, berkaitan dengan lingkungan keluarga (lingkungan peternakan, tempat tinggal di kota kecil dan sering kontak dengan anjing). Resiko mereka untuk terkena ekinokokosis secara asidental lebih besar dibanding pekerja pada peternakan itu sendiri. Karena mereka sering bergaul dengan anjing dan kurang menjaga kebersihan diri maupun lingkungannya agar terbebas dari pencemaran kotoran anjing tersebut (FAO, 1957). Sementara itu, REINECKE (1983) mengatakan bahwa, penyakit ini dapat ditularkan ke manusia (orang yang selalu kontak dengan anjing) melalui embriophore yang menempel pada rambut dan cakar anjing. Kista hidatid pada manusia dapat terjadi di berbagai lokasi organ tubuh, namun yang terbanyak pada organ hati. Ukuran kista pada tubuh manusia sangat bervariasi dengan diameter 1-15cm, tetapi bisa juga lebih besar (>15 cm atau lebih), tergantung dari umur dan perkembangan kista (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Dilaporkannya bahwa, di rumah sakit di Mediterranean, didapatkan adanya 459 kasus hidatidosis. Kista hidatid secara tunggal (single site), paling banyak dijumpai pada organ hati (68,8 %) dan paru-paru (17,2 %). Selebihnya terjadi pada organ ginjal (3,7 %), limpa (3,3%), otot dan kulit (2,2%), rongga abdominal dan rongga pelvis (2,0%), jantung (1,1%), otak (0,9%), tulang (0,6%) dan ovarium (0,2%). Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis Demikian pula di China, kasus hidatidosis pada pasien bedah (15.289 kasus), ditemukan kista pada berbagai organ yang bersifat tunggal (single) dan ganda (multiple), sebanyak 75,2% dijumpai pada organ hati, 22,4% pada paruparu dan selebihnya pada organ lainnya (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Banyaknya kista pada organ hati ini, disebabkan pada tahap awalnya larva yang masuk vena portal tersaring dan tidak mampu melewati filter kapiler hati. Sedangkan larva yang dapat lolos dari filter di kapiler hati akan masuk ke sirkulasi darah secara sistemik masuk paruparu dan atau organ tubuh lainnya (EDINGTON dan GILLES, 1976). EKINOKOKOSIS DI INDONESIA Kejadian ekinokokosis di Indonesia belum banyak diketahui. Kemungkinan tidak ada kasus atau sedikit kejadiannya, sehingga kurang menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian penyakit tersebut. Penyakit ini bukanlah penyakit zoonosis yang diprioritaskan untuk diteliti di Indonesia, baik pada hewan maupun pada manusia. Meskipun di daerah endemik di beberapa negara lain telah banyak dilakukan penelitian penyakit ini, karena ekinokokosis merupakan salah satu zoonosis penting yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat. ECKERT et al. (1982) memang pernah melaporkan adanya E. granulosus di Indonesia. Sementara itu, PALMIERI et al (1984) dalam laporannya menyebutkan bahwa, secara serologis serum darah dari penduduk asli (berumur lebih dari 10 tahun) di sekitar danau Lindu Sulawesi Tengah, ditemukan reaksi positip mengandung antibodi Echinococcus. Namun di lokasi yang sama, pada pemeriksaan material intestin dari anjing tidak ditemukan adanya cacing E. granulosus. Material intestin ini diperoleh setelah anjing (63 ekor) diberi purgatif arecoline hydrobromida (1,5%) melalui oral. Yang ditemukan adalah endoparasit lain selain E. granulosus, antara lain Toxocara sp. dan Diphyllobotrium sp. Sementara itu, secara serologis (dengan metoda indirect hemagglutination test), ditemukan 17 dari 903 (1,8%) sera yang bereaksi positip mengandung antibodi echinococcus (titer: 1: 64 sampai 1: 512) (PALMIERI et al., 1984). Hal ini menunjukkan bahwa, orang-orang tersebut diperkirakan pernah terpapar oleh larva echinococcus, namun belum cukup untuk menimbulkan gejala klinik, mengingat timbulnya gejala klinik cukup lama. Gejala klinik dan patologik Manifestasi klinik sangat tergantung dari banyaknya kista hidatid dan di mana kista tersebut berada. Kista biasanya ditemukan secara tunggal dan 50% menginfeksi orang dewasa pada organ hati, di lobus kanan. Sedang pada anak-anak lebih sering dijumpai pada paru-parunya daripada di hati (MULLER, 1975). Pada phase awal infeksi primer, tidak memperlihatkan gejala klinik (asymptomatic), karena bentuk kistanya masih kecil dan dilindungi kapsula sehingga tidak menimbulkan reaksi tubuh dan tidak menunjukkan gejala klinik. Namun dalam perkembangan selanjutnya, untuk dapat menimbulkan gejala klinik tergantung dari jumlah, besar dan perkembangan kista (aktif atau inaktif), organ yang terlibat (lokasi kista), tekanan kista terhadap jaringan di sekitarnya dan mekanisme pertahanan tubuh dari inangnya (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Kista ekinikokosis terlihat sebagai gelembung-gelembung yang terdiri dari dinding parasit dan isinya yaitu cairan bening. Membran ekinokokosis terdiri dari kutikula yang strukturnya berlapis-lapis (terdapat di sebelah luar). Sedang lapisan parenkim terletak di sebelah dalam, terdiri dari serabut-serabut otot dan endapan-endapan kapur. Lapisan parenkim menjadi scolices di dalam gelambung-gelembung fertile. Scolices tidak terbentuk di dalam gelambung-gelembung steril (RESSANG, 1984). Efek patologi dari kista hidatid berupa tekanan pada organ yang dapat menyebabkan nekrosis pada hati atau organ lainnya.. Reaksi allergi (pruritis dan urticaria) dapat terjadi bila kista hidatid secara spontan robek (ruptur) akibat trauma atau pembedahan (operasi). Serpihan antigen hidatid menimbulkan reaksi dengan gejala-gejala dyspnoe, sianosis (MULLER, 1975; ANDERSON, 1985). Kista pada hati dapat menyebabkan rasa sakit di bagian atas abdomen, gangguan pencernaan, hepatomegali, cholestasis, sirosis dan berbagai 271 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis manifestasi klinik lainnya. Sedang kista pada paru-paru yang ruptur ke dalam ruang peritoneum dapat menyebabkan batuk kronis, sesak nafas, hemoptysis, pleuritis dan abses paru-paru dan kista di otak dapat menyebabkan gangguan syaraf (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Teknologi Diagnosis Tehnik dan prosedur diagnosis yang digunakan untuk identifikasi E. granulosus tergantung infeksinya (secara alami), inangnya (ISD & ISA) yang akan diperiksa. Diagnosis juga untuk menentukan stadia larva hidatid dalam tubuh manusia (WOODS, 1986). Menurut MULLER (1975), diagnosis dapat dilakukan sbb: 1. secara klinik dan parsitologi, bila ditemukan adanya protoscolices dalam sputum penderita akibat kista paru-paru yang ruptur, 2. secara radiology, dengan sinar X (Xray), 3.secara imunologi (Uji Casoni, uji Haemaglutinasi, uji Complement Fixation Test/CFT). DOGANAY et al. (2003) menambahkan bahwa dengan uji Indirect Flourescent Antibody Technique (IFAT) dapat untuk diagnosis ekinokokosis pada manusia dan domba. Sementara BARDONNET et al. (2003) mengatakan bahwa, untuk mengetahui peranan inang lain (terutama sapi) yang dapat menjadi transmisi (reservoar) ke manusia dapat dilakukan analisis DNA dengan PCR. DIAGNOSIS HIDATIDOSIS PADA ISA Diagnosis ini dapat dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH). Kista hidatid dari E. granulosus pada berbagai organ (domba dan sapi) dapat diobservasi secara palpasi dan insisi. Tetapi pada babi dan kambing, kadangkadang sulit dilakukan, karena dapat dikelirukan dengan infeksi cacing pita yang lain (Taenia hydatigena ), bila kedua parasit tersebut menginfeksi organ hati yang sama. Namun dengan pemeriksaan histopatologi dari potongan organ tersebut, dengan pewarnaan Periodic-acid Schiff (PAS), dapat diketahui perbedaannya, yakni terdapat protoscolex dengan brood capsule atau “hydatid sand” yang merupakan ciri khas E. granulosus (OIE, 2000). 272 DIAGNOSIS E. GRANULOSUS PADA ANJING Diagnosis dengan mengidentifikasi telur E. granulosus dari feses anjing secara mikroskopis sulit dilakukan, karena tidak mudah untuk membedakan antara telur E. granulosus dan telur Taenia sp. (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Namun dengan nekropsi anjing, dapat dilakukan identifikasi cacing dewasanya dengan bantuan mikroskup stereo, biasanya E. granulosus dapat dijumpai pada sepertiga bagian usus kecil anjing (OIE, 2000). Menurut HOFFMANN et al. (2001), ada tiga cara untuk diagnosis ekinokokosis yaitu, pertama, purgasi dengan arecoline bromida untuk verifikasi adanya parasit. Kedua, Uji ELISA untuk mendeteksi coproantigen dan ketiga dengan indirect immunosorbent antibody test untuk mendeteksi adanya antibody terhadap E. granulosus. Diagnosis hidatidosis pada manusia Diagnosis larva hidatid pada manusia didasarkan pada pemeriksaan sinar X (XRAY), ultrasonography dan metode lainnya dan didukung dengandeteksi antibody terhadap antigen echinococcus. Kemudian dikonfirmasi dengan adanya parasit tersebut. Diagnosis secara serologis dapat dilakukan secara imunodiagnostik yakni, mendeteksi serum antibody spesifik dengan metode ELISA (Enzyme Linked immunosorbent Assay) dengan Crude Antigen EgCF (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Sementara itu, DOGANAY et al. (2003) menyatakan bahwa, diagnosis kejadian awal hidatidosis yang dilakukan dengan metoda IFAT dapat memberikan tingkat specifisitas dan sensitivitas masing-masing pada manusia 80 dan 90% dan pada domba keduanya 90%. PENCEGAHAN DAN KONTROL Di daerah endemik, perlu dilakukan pencegahan dan kontrol terhadap kemungkinan penularan parasit lebih lanjut. Yaitu, memutus siklus hidup parasit dengan mencegah anjinganjing di wilayah tersebut memperoleh kemudahan/mendapatkan ases makanan atau makan visceral domba (yang berasal dari RPH). Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis Karena organ visceral tersebut diperkirakan ada yang mengandung kista hidatid fertile, sehingga dapat merupakan sumber penularan. Memberi makan anjing dengan visceral domba yang telah dimasak terlebih dulu, agar parasitnya mati (WOODS, 1986). Infeksi telur cacing E.granulosus pada domba sulit dicegah, namun hal ini dapat diatasi dengan vaksinasi domba dengan vaksin rekombinan antigen oncosphere yang dapat memproteksi hewan itu terhadap parasit tersebut (OIE, 2000). Pada manusia, harus membiasakan diri dengan menjaga kebersihan, terutama harus mencuci tangan sebelum makan dan minum bagi mereka sering kontak dengan anjing. Penyuluhan kepada masyarakat akan bahayanya penyakit hidatidosis ini (WOODS, 1986). Sementara pasien penderita hidatidosis dapat dilakukan pembedahan (operasi) untuk membuang kistanya dan dilakukan pengobatan /khemoterapi dengan Benzimedazole (Albendazole atau Mebendazole) (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. E. granulosus, cacing cestoda kecil (< 1cm), hidup di dalam usus kecil anjing atau carnivora lainnya (ISD). Sedangkan stadium larvanya (metacestoda) berkembang di dalam tubuh ISA (domba, sapi, babi, kuda, onta dsb). Di dalam organ tubuh (terutama hati atau paru-paru), terbentuk kista yang mempunyai protoscolices (metacestoda fertile). Daur hidup menjadi lengkap, bila metacestoda fertile pada organ tubuh ISA tersebut dimakan oleh anjing atau carnivora lainnya. 2. Kasus hidatidosis pada manusia terjadi secara asidental, bila ia tertelan/termakan telur E. granulosus infektif. Kejadian semacam ini sering terjadi di daerah endemic parasit tersebut, terutama bagi mereka yang sering kontak dengan anjing dan tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungannya. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh hidatidosis tergantung stadium larva, lokasi dan besarnya kista di dalam organ tubuh inangnya. 3. Pada anjing, ekinokokosis kurang patogen terhadap inangnya, tetapi pada ternak/ISA dapat menimbulkan masalah ekonomi akibat sebagian produknya banyak yang harus diafkir dan menimbulkan problem kesehatan masyarakat terhadap penduduk di daerah endemik parasit tersebut. DAFTAR PUSTAKA ANDERSON. J.R., 1985. Textbook of Pathology. Twelfth Edition. ELBS. Edward Arnold. Ltd. Pp: 28.33 – 28.25. BARDONET.K., M.C.B. ELFEGOUN, J.M. BART, S.HARRAGA, N. HANNACHE, S.HADDAD, H.DUMON, D.A.VUITTON and R.PIARROUX. 2003. Cystic echinococcosis in Algeria: Cattle act as reservoirs of sheep strain and may contribute to human contamination. Vet. parasitol. 116 (1): 35-44. CAMPOS-BUENO, A., G.L.ABENTE and A.M.A. LERCARDILLO. 2000. Risk factors for Echinococcus granulosus infection: A Casecontrol study. Am. J.Trop.Med. Hyg. 62(3): 329-334. COMAN. I., E. SUTEU, F. GRIGORE and M. SOLOMON. 2001. Observation on the potensial risk of Echinococcosis from slaughtered buffaloes. Abstract. Vet. Bull. 72 (1): 234 DALIMI.A., G. MOTAMEDI, M. HOSSEINI, B. MOHAMMADIAN, H. MALAKI, Z.GAMARI, and F.G. FAR. 2002. Echinococcosis/hydatidosis in Western Iran. Abstract. Vet. Par. 105 (2): 161171. DOGANAY, A., A. BURGU, O. SARIMEH METOGULU, M. TANYUKSEL, B. GONENE, E. KOSAM and A. YILDIRIM. 2003. Diagnosis of Hidatidosis in Human and Sheep by Indirect Flourecent Antibody Technique. Indian Veterinary Journal. 80 (12): 1230-1233. ECKERT.J., M.A. GEMMELL and E.J.L. SOULSBY. 1982. Echinococcosis/hydatidosis. Surveillance, Prevention and Control. FAO of The United Nation. Rome. ECKERT. J and P. DEPLAZES, 2004. Biological, Epidemiological and Clinical Aspects of Echinococcosis, a Zoonosis of Increasing Concern. Clinical Microbiology Reviews. Jan 2004: 107-135. EDINGTON. G.M. and H.M. GILLES. 1976. Pathology in the Tropics. Second Edition. EDWARD ARNOLD Ltd. London. 273 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis EUZEBY. J.A. 1974. Zoonotic Cestoda. In : SOULSBY. E.J.L. 1974. Parasit zoonosis. Clinical and Experimental Studies. Academic Press, Inc. London. pp: 151-178. OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES. 2000. Echinococcus/Hydatidosis Manual of Standard for Diagnostic Test and Vaccines. Pp: 258-254. FOOD and AGRICULTURE ORGANIZATION. 1957. Meat Hygiene. FAO and WHO: Monograph Series, No :33. pp : 53-55. PANDEY. N.N., D.C. NAURIYAL and S.S. RATHOR. 1978. pulmonary Echinococcosis in Buffaloes Bubalus Bubalis – A Clinical Entity. Indian Vet J. 55: 823-826. HOFFMANN.A.N., R. MALGOR, M. RUE and L. DELA. 2001. Prevalence of Echinococcus granulosus in Urban straydogs from Dom Pedrito in the state of Rio Grande do Sue Brazile: abstract Vet. Bull. 72 (6) : 4449. JUBB. K.V.F. and P.C. KENNEDY. 1970. Pathology of Domestic Animals. Second Edition. Vol. 2. Academic Press. New York and London. pp: 151-154. LEECH. J.H., M. A. SANDE and R.K. ROOT. 1988. Parasitic Infection. Churchill Livingstone Inc. USA. MULLER. R. 1975. Worms and Disease. A Manual of Medical Helminthology. William Heinemann Medicals Books Limited. London. MAEINTYRE, A.R. and J.B. DIXON. 2001. Echinococcus granulosus regulation of leucocyt growth by living protoscolices from horse, sheep and cattle. Experimental of Parasitology. Abstract. Vet Bull 72 (7) : 5270. 274 PALMIERI. J.R., P.SCHANTZ, S. MARBAR, PURNOMO and BAROEDJI. 1984. Absence of Echinococcus granulosus in Dog from Central Sulawesi (Celebes) Indonesia. J.Parasitol. 70 (1) : 180-181. REINECKE, R.K. 1983. veterinary Helminthology. Butterworth Publishers Ltd. Pretoria. RESSANG. A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. BCDIU. Denpasar, Bali. SOULSBY. E.J.L. 1965. Textbook of Veterinary Parasitology. Vol 1. Helminths. Blackwell Scientific Publication Oxford. THOMPSON.R.C.A and I.D. ROBERTSON. 2003. Gastrointestinal Parasites of Dogs and Cats : Current Issues. Suppl Compend Contin Educ Pract Vet. Vol 25 (7A): 4-11. WOODS. G.T. 1986. Practices in Veterinary Public Health and Preventive Medicine in The United States. Iowa State University Press, Ames, Iowa.