BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan utama dan
menjadi beban ekonomi bagi negara-negara berkembang. World Health
Organization (WHO) memperkirakan bahwa sekitar 340 juta kasus baru dari
empat IMS (gonore, infeksi klamidia, sifilis, dan trikomoniasis) dapat
disembuhkan. Sekitar 75-85% dari jumlah tersebut berasal dari negara
berkembang. Infeksi menular seksual
menimbulkan beban besar terhadap
morbiditas dan mortalitas di negara berkembang, baik secara langsung melalui
dampaknya terhadap reproduksi dan kesehatan anak, dan secara tidak langsung
berperan dalam memfasilitasi penularan infeksi HIV (Mayaud & Mabey, 2004).
Pada tahun 2005, diperkirakan ada 318 juta IMS dengan perkiraan
39.690.000 kasus infeksi klamidia, 9.430.000 kasus gonore, 2,54 juta kasus sifilis
dan sekitar 25.760.000 kasus trikomonas (WHO, 2012). Kasus baru IMS
diperkirakan lebih
dari 110 juta di kalangan laki-laki dan perempuan di dunia
(CDC, 2013).
Prostitusi merupakan masalah utama dalam penyebaran IMS sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan secara berkala (McGough, 2008). Wanita Penjaja Seks
(WPS) merupakan sasaran yang penting dalam pengendalian IMS, karena
kelompok ini berisiko tinggi menularkan IMS kepada masyarakat melalui
kliennya (Nguyen et al., 2008).
Wanita penjaja seks langsung (WPSL) adalah wanita yang secara terbuka
menjajakan seks baik di jalanan maupun di lokalisasi/eks-lokalisasi. Pekerja seks
langsung mengacu pada keadaan mereka dimana interaksi seks untuk
mendapatkan uang merupakan tujuan utama (Blancard & Moses, 2008)
Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 yang dilaksanakan
pada 23 Kabupaten/Kota di 11 Provinsi di Indonesia diketahui bahwa prevalensi
Sifilis pada WPSL sebesar 10%, wanita penjaja seks tidak langsung (WPSTL)
2
sebesar 3%, sementara itu gonore pada WPSL adalah 38%, serta gonore dan/atau
klamidia berkisar antara 56% pada WPSL (Kemenkes RI, 2011a).
Di Kabupaten Kediri terdapat delapan eks-lokalisasi yaitu Eks lokalisasi
Wonojoyo Kecamatan Gurah, Gedangsewu Kecamatan Pare, Tambi Kandangan,
Dadapan Kecamatan Ngasem, Bolodewo Kecamatan Wates, Butuh Kecamatan
Kras, Krian Kecamatan Ngadiluwih dan Weru Kecamatan Kandat dengan jumlah
WPS sebanyak 700-800 orang. Wanita penjaja seks yang berada di eks lokalisasi
tersebut secara periodik memeriksakan diri ke klinik IMS yaitu klinik IMS
Puskesmas Gurah, Puskesmas Kandangan, Puskesmas Ngasem, Puskesmas Wates
dan Puskesmas Ngadiluwih. Dari data kunjungan klinik IMS di Kabupaten Kediri
diketahui bahwa proporsi kejadian IMS masih tinggi. Kejadian IMS tiga tahun
terakhir tidak mengalami penurunan, tahun 2011 sebesar 69,44%, tahun 2012
sebesar 62,78% dan tahun 2013 sebesar 64,62% dan kecenderungan naik pada
tahun 2013. Diagnosis IMS di Kabupaten Kediri selama tahun 2013 didominasi
oleh servisitis sebesar 42%, kandidiasis sebesar 10,8%, sifilis (4,3%) dan
trikomoniasis sebesar 3,4% (Dinkes Kabupaten Kediri, 2013).
Infeksi menular seksual diketahui mempermudah penularan HIV yang dapat
berkembang menjadi AIDS dengan tingkat kematian yang tinggi. Adanya bisul
atau radang pada IMS sangat meningkatkan efisiensi transmisi HIV, dengan cara
meningkatkan daya menular, dan kerentanan terhadap infeksi HIV. Penelitian
Nguyen et al. (2009) menyebutkan bahwa IMS (kandidiasis dan trikomoniasis)
berperan dalam peningkatan infeksi HIV pada WPS. Infeksi menular seksual
mungkin sangat penting dalam tahap awal epidemi lokal HIV, ketika orang-orang
dengan perilaku seksual berisiko yang paling mungkin untuk menjadi terinfeksi
(Galvin & Cohen, 2004). Hal ini sejalan dengan peningkatan prevalensi HIV pada
kelompok risiko tinggi wanita penjaja seks sebagaimana hasil kegiatan sero survei
HIV di Kabupaten Kediri dari 2,7% pada tahun 2010 meningkat menjadi 4,6 pada
tahun 2011 dan 7,3 pada tahun 2012 (Dinkes Kabupaten Kediri, 2012)
Pencegahan dan pengendalian IMS merupakan bagian integral dalam upaya
pelayanan kesehatan. Penularan IMS dapat dikendalikan dengan intervensi pada
penjaja seks dan pelanggannya serta kelompok risiko tinggi lainnya dengan cara
3
yang efektif. Intervensi pada penjaja dan pelanggan seks diharapkan memberikan
dampak yang besar dalam menurunkan prevalensi IMS (Kemenkes, 2010).
Prevalensi IMS yang tinggi tersebut perlu dilakukan upaya pendidikan
kesehatan, promosi kondom, dan memodifikasi perilaku yang akan mengurangi
kejadian IMS. Selain itu skrining perlu dilakukan untuk penemuan kasus,
peningkatan akses ke perawatan, dan perbaikan manajemen kasus untuk dapat
mencegah
komplikasi,
dan
juga
mengurangi
transmisi
karena
dapat
memperpendek durasi infeksi. Perlu juga dilakukan pemeriksaan secara periodik
untuk mengetahui sedini mungkin karena IMS sering tanpa gejala, dengan tujuan
untuk mengurangi kejadian dengan mengurangi
orang yang terinfeksi, pada
populasi dengan prevalensi IMS tinggi (Mayaud & Mabey, 2004)
Intervensi yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri
berupa penjangkauan,
pendampingan, pelayanan kesehatan kepada WPSL
bersama dengan LSM. Program pengendalian IMS dilaksanakan secara
terintegrasi dengan upaya pengendalian infeksi HIV dan AIDS.
pencegahan IMS/HIV, pemeriksaan dan pengobatan IMS
Sosialisasi
secara rutin dan
distribusi kondom telah dilaksanakan secara berkala yang dikoordinasikan oleh
Komisi Penaggulangan AIDS Daerah (KPAD).
Pemeriksaan dan pengobatan
IMS pada WPS di klinik IMS yang
dilaksanakan secara periodik setiap dua bulan sekali seharusnya mampu
menurunkan insidensi IMS secara bertahap.
Namun dari hasil pemeriksaan
proporsi IMS diantara yang diperiksa cenderung tidak terjadi penurunan.
Tingginya IMS pada kelompok berisiko tinggi merupakan indikasi terjadinya
infeksi berulang.
Layanan IMS di Kabupaten Kediri meliputi pemeriksaan, pengobatan,
konseling perubahan perilaku serta pemberian kondom. Beberapa faktor yang
mungkin berkontribusi terjadinya infeksi berulang/reinfeksi terserbut adalah
faktor sosio demografi, perilaku dan juga layanan IMS. Variabel-variabel tersebut
adalah usia, pendidikan, masa kerja, tarif transaksi, jumlah pelanggan, layanan
seksual, pemakaian kondom dan juga kualitas layanan IMS.
4
Penelitian Chiao & Morisky (2007) menunjukkan bahwa pasangan seks
teratur memiliki risiko yang lebih rendah menderita IMS atau terjadinya IMS
berulang dengan peluang sekitar 31 % sampai 33 % lebih rendah dari wanita
tanpa pasangan seks teratur. Selain itu usia 21-25 tahun lebih terlindung dari
terjadinya IMS maupun IMS berulang.
Penelitian Mehta et al. (2004) menunjukkan bahwa reinfeksi gonore terjadi
pada 4,28 per 100 orang dengan peningkatan risiko IMS berulang dikaitkan
dengan usia yang lebih muda dan lebih banyak pasangan seks, sementara
konsistensi pemakaian kondom dan datang ke klinik sebagai faktor protektif.
Modifikasi terhadap faktor-faktor yang berkontribusi terjadinya IMSi
berulang tersebut diharapkan dapat menurunkan kejadian infeksi menular seksual
pada wanita penjaja seks yang berdampak pada penurunan IMS pada populasi
umum dan dapat mengendalikan infeksi HIV.
Berdasarkan hal diatas peneliti ingin melakukan penelitian tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi menular seksual berulang pada
WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut: Faktor apa yang berhubungan dengan kejadian infeksi
menular seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi
menular seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi hubungan antara usia dengan kejadian infeksi menular
seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur.
5
b. Mengidentifikasi hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian infeksi
menular seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa
Timur.
c. Mengidentifikasi hubungan antara masa kerja dengan kejadian infeksi menular
seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur.
d. Mengidentifikasi hubungan antara tarif transaksi dengan infeksi menular
seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur.
e. Mengidentifikasi hubungan antara jumlah pelanggan dengan infeksi menular
seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur.
f. Mengidentifikasi hubungan antara pemakaian kondom dengan kejadian infeksi
menular seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa
Timur.
g. Mengidentifikasi hubungan antara
layanan seks dengan kejadian infeksi
menular seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa
Timur.
h. Mengidentifikasi hubungan antara kecukupan kondom dengan kejadian infeksi
menular seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa
Timur.
i. Mengidentifikasi hubungan antara distribusi kondom dengan kejadian infeksi
menular seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa
Timur.
j. Mengidentifikasi hubungan antara jarak layanan dengan kejadian infeksi
menular seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa
Timur.
k. Mengidentifikasi hubungan antara pemberi layanan dengan kejadian infeksi
menular seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa
Timur.
l. Mengidentifikasi hubungan antara jenis
layanan dengan kejadian infeksi
menular seksual berulang pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa
Timur.
6
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang faktor yang
berhubungan dengan kejadian infeksi menular seksual berulang sebagai bahan
rekomendasi dalam upaya pengendalian IMS dan HIV pada WPSL.
2. Bagi Dinas Kesehatan
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan dalam merumuskan
kebijakan pengendalian IMS dan HIV pada WPSL dalam upaya menurunkan
prevalensi IMS di Kabupaten Kediri yang diharapkan dapat berimplikasi pada
penurunan infeksi HIV baik pada kelompok risiko tinggi maupun masyarakat
umum.
3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini memberikan manfaat terhadap pencegahan penularan
IMS baik kepada kelompok risiko tinggi (WPSL dan pelanggannya) maupun pada
masyarakat secara umum.
7
E. Keaslian Penelitian
Penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya terkait
faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada WPS sebagai berikut:
No.
1.
Aspek
Judul
Peneliti
Tahun
Tempat
Rancangan
Subjek
Analisis
Hasil
Persamaan
Perbedaan
2.
Judul
Peneliti
Tahun
Tempat
Rancangan
Subjek
Analisis
Hasil
Persamaan
Perbedaan
3.
Judul
Peneliti
Tahun
Tempat
Rancangan
Subjek
Analisis
Hasil
Tabel 1. Keaslian penelitian
Keterangan
Risk Factors and Prevalence of HIV and Sexually
Transmitted Infections Among Low-Income Female
Commercial Sex Workers
Hagan & Dulmaa
2007
Mongolia
Cross sectional
179 WPS berpenghasilan rendah
chi-square, regresi logistik
Masa kerja > 2 tahun (OR = 8,2)
Beberapa variabel independen
Waktu, tempat, rancangan penelitian, variabel
independen, dan dependen
Increased Risk of Chlamydial and Gonococcal Infection
in Adolescent Sex Workers
Pettifor et al.
2007
Madagaskar
Cohort
1000 WPS diperiksa pada 6, 12 dan 18 bulan
Chi square Pearson test, uji t, regresi binomial
WPS muda: RR 1,5 untuk gonore dan 1,72 untuk
klamidia, gabungan gonore dan klamidia 1,42. dibanding
WPS yang lebih tua
Subjek penelitian.
Waktu, tempat, rancangan penelitian, analisis, variabel
independen
The role of a regular sex partner in sexually transmitted
infections and reinfections.
Chiao & Morisky
2007
Philipina
Cross sectional
876 Wanita pekerja tempat hiburan
Chi square, regresi logistik
Tinggal bersama pasangan tetap, usia 21-25 tahun
bersifat protektif terjadinya infeksi berulang. Konsistensi
pemakaian kondom protektif terhadap IMS tapi tidak
berhubungan dengan reinfeksi.
8
No.
Aspek
Persamaan
Perbedaan
4.
Judul
Peneliti
Tahun
Tempat
Rancangan
Subjek
Analisis
Hasil
Persamaan
Perbedaan
5.
Judul
Peneliti
Tahun
Tempat
Rancangan
Subjek
Analisis
Hasil
Persamaan
Perbedaan
Keterangan
Variabel dependen dan beberapa variabel independen,
Analisis
Tempat, Waktu, Subjek penelitian rancangan
penelitian, beberapa variabel independen
Sexually Transmitted Infections and Risk Factors for
Gonorrhea and Chlamydia in Female Sex Workers
Nguyen et al.
2008
Soc Trang-Vietnam
Cross sectional
406 WPS
chi-square and Fisher exact test, regresi logistik
Masa kerja lebih dari 6 bulan (OR = 2,40), menerima US
$ 4 atau kurang per transaksi seksual (OR = 1,91), dan
riwayat aborsi (OR = 1,68). Jumlah pelanggan >4 per
bulan (OR = 2,35).
Subjek penelitian, beberapa variabel independen
Waktu, tempat, rancangan, variabel independen dan
dependen
Faktor risiko penularan sifilis pada wanita penjaja seks
(WPS)
Amad Suwandi
2010
Lokalisasi Dolly Surabaya
Cross sectional
WPS sebanyak 165 orang
Chi square, regresi logistik
Bivariabel: Pengetahuan rendah OR: 6,2; pendapatan
tinggi OR:0,18 (protektif), aktivitas seksual OR: 22,32
dan pemakaian kondom tidak konsisten OR: 11,27.
Multivariabel: Aktivitas seksual OR: 17,1; Pemakaian
kondom OR: 7,98
Analisis, subjek penelitian
Waktu, tempat,
rancangan penelitian,variabel
independen dan dependen
Penelitian yang dilakukan peneliti adalah mengidentifikasi faktor
yang
berhubungan dengan infeksi menular seksual berulang (sifilis, gonore, kandidiasis
dan trikomoniasis) pada WPSL di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur dengan
rancangan penelitian kasus kontrol.
Download