budaya politik balsem

advertisement
Pengantar Sajian Utama Sm No. 116/89/2004
BUDAYA POLITIK BALSEM
Rakyat Indonesia sudah berkali-kali mengalami pemilu. Mulai dari Pemilu 1955 yang
banyak dipuji orang sebagai pemilu paling demokratis dan paling sedikit ongkos sosialnya
sampai dengan pemilu-pemilu di zaman Orde Baru yang banyak dikritik sebagai pemilu
‘jadi-jadian’ alias pemilu semu karena hasilnya sudah diplot lebih dahulu, Golkar harus selalu
menang, dan pemilu di zaman Oprde Baru ini ongkos sosialnya amat tinggi karena diwarnai
dengan kekerasan buatan dan kekerasan sungguh-sungguh, dicampur dengan aneka macam
fitnah intelijen yang mendirikan bulu roma karena korban-korbannya selalu rakyat kritis yang
tidak berdosa.
Lalu ada pemilu di era orde reformasi, pemilu 1999 yang kembali dipuji-puji sebagai
pemilu paling demokratis dan paling sedikit ongkos sosialnya. Menurut para pengamat
Pemilu 1999 mirip betul dengan Pemilu 1955. Meski banyak yang terkecoh. Memang benar,
saat kampanye dan pencoblosan semua berlangsung damai dan relatif fair. Akan tetapi terasa
sekali bau kecurangannya justru pada saat penghitungan, penjumlahan dan penentuan hasil
akhir. Jago-jago bermain curang pada tahap penghitungan, penjumlahan dan penentuan hasil
akhir yang pernah berjaya pada era Orde Baru, dengan beralih rupa dan berganti partai
diduga kuat bermain dalam menyulap sebagian hasil Pemilu. Rumusnya sederhana, ada pihak
yang dikempeskan suaranya, dan ada pihak yang digelembungkan suaranya. Karena kasus ini
tidak diungkap dan tidak disoroti secara tajam, maka kemudian hilang dari peredarang dan
hilang dari ingatan publik.
Kemudian, kalau dicermati, ada yang berbeda dan berubah dari perilaku politik rakyat
Indonesia, antara yang terjadi pada Pemilu semasa Orde Baru (Pemilu 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, 1997) pemilu di era Reformasi (1999) dan pemilu di era tidak jelas (2004) ini.
Pemilu makin bersifat langsung, semi distrik (untuk legislatif), lebih mengandung hiburan
dan damai-damai saja. Tetapi kenapa terasa sekali kalau kultur politik yang terbentuk
kemudian justru kultur politik popular, dan yang menang adalah pragmatisme politik, di
mana politik kerakyatan yang sejati justru tenggelam nyaris tanpa sisa?
Itulah yang perlu kita kaji bersama.
Pertanyaannya adalah, apakah ini lebih merupakan masalah kultur dimana fantasi
masyarakat dipompa untuk melihat dan menikmati segala hal sebagai sebuah pesta dan
karnaval, termasuk Pemilu memilih anggota Dewan dan Pemilu memilih Presiden tahun 2004
ini?
Ataukah sesungguhnya ini merupakan masalah rekayasa struktural, dimana rakyat
memang dikecoh untuk berhura-hura, sementara pada hakekatnya sudah ada struktur-struktur
dominan dan hegemonik global yang bermain mengatur hasil Pemilu, sehingga
dikhawatirkan kita akan memasuki kembali periode Pemilu ‘jadi’jadian’ seperti pada era
Orde Baru? Lebih-lebih ketika para aktor politik sipil dan militer yang pernah mereguk
manisnya madu rezim Orde Baru dan mendulang karier pada zaman itu masih mampu
berperan dominan dan diduga mampu bermain akrobat politik bersama aktor-aktor luar luar
negeri.
Rakyat yang dikecoh untuk berhura-hura dan diberi balsem politik tidak tahu kalau
pada saat mereka menikmati money politik misalnya, sangat mungkin pada saat itu struktur
elite yang tidak terjangkau rakyat telah ada transaksi-transaksi poltik, deal-deal politik dan
ekonomi antara berbagai pihak, misalnya untuk memenangkan calon tertentu dan
mengalahkan calon tertentu, dengan imbalan-imbalan tertentu. Gejala benar tidaknya
sinyelemen ini marilah kita baca dan kita saksikan sehabis Pemilu nanti. Apa yang terjadi
pada kebijakan ekonomi, misalnya kebijakan menyangkut strategi pengolahan bahan
tambang, strategi perdagangan, strategi penumbuhan industri dan sebagainya? Mungkin pada
saat itu kita baru merasa bahwa memang ada agenda tersembunyi dan ada yang tidak beres di
balik hura-hura politik selama ini. (Bahan-bahan dan tulisan: sim)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2004
Download