PAI MEMAHAMI SYARIAT ISLAM 1. Pengertian Kata syari’at ( ) ﺷـﺮﻳﻌﺔadalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari kata dasar ﺷـﺮع (syara’a) yang berarti “memperkenalkan”, “mengetengahkan”, “menetapkan”. Pada kehidupan masyarakat Arab ada sebuah kata yang berasal dari satu kata dasar dengan kata syari’at yaitu kata masyru’at ( ) ﻣﺸـﺮوﻋﺔdihubungkan dengan kata almā ( ) اﻟﻤـﺎءmenjadi masyru’at at almā yang berarti “sumber air”, dan syara’a berarti “menandai” atau “menggambar jalan yang jelas menuju sumber air” (Ensiklopedi Islam IV ; 1994 : 345) . Dalam Islam kata syariat juga disebut syara’ dan kata al-syari’at dihubungkan dengan kata al-Islamiyah () اﻻﺳـﻼﻣﻴﺔ menjadi al-syariat al-islamiyyah yang berarti peraturan Islam/hukum Islam/undang-undang Islam. Al-Syari’at al-Islamiyyah itu merupakan syari’at Allah, yaitu undang-undang Allah. Syari’at dalam arti terminologi adalah “peraturan dan hukum Allah yang mengatur segala aspek dasar kehidupan manusia yang diturunkan melalui wahyu kepada nabi dan rasul-Nya”. Cyril Glasse (1999 : 382) menyatakan bahwa syariat adalah sistem hukum, artinya syariat merupakan satu kesatuan hukum yang menunjukkan adanya kaitan erat antara satu bagian dengan bagian lainnya. Syariat Islam merupakan inti kedua setelah aqidah (tata-keimanan) dalam sistematika ajaran Islam, karena itu pelaksanaan syariat sebagai hukum Allah dalam kehidupan orang mukmin baik dalam kehidupan individual maupun kehidupan kolektif merupakan realisasi nyata dari keimanannya dan konsekuensi logis dari syahadat yang telah diikrarkannya. 2. Syariat Sebagai Hukum & Peraturan Allah Kesempurnaan dan kematangan rencana Allah tidak hanya terbatas pada penciptaan alam semesta yang di dalamnya termasuk penciptaan manusia, tetapi juga disertai dengan rencana yang utuh dan komprehensif dalam pengaturannya dengan penetapan aturan dan hukumnya. Sehubungan dengan hal itu dengan kodrat dan iradat-Nya Allah menetapkan dua macam hukum/peraturan yang berkaitan dengan hukum alam semesta dan hukum khusus bagi umat manusia. Pertama, hukum dan peraturan yang berkaitan dengan alam semesta termasuk di dalamnya umat manusia, adalah bahwa alam tidak tercipta atas faktor kebetulan atau atas kehendak alam sendiri, karena alam sebagai objek tidak memiliki daya kemampuan dan kemauan apapun, alam semesta tercipta atas rencana dan disain Allah yang sangat sempurna yang ditetapkan sejak azali (alam ide sebelum penciptaan). Allah ciptakan alam semesta dan Allah tetapkan karakter dan hukumnya sendiri-sendiri, kemudian masing-masing terikat kuat patuh mengikuti hukum yang telah ditetapkan baginya, tak ada satu pun makhluk ciptaan-Nya yang bisa keluar dari hukum-Nya dan tak ada satu bagian alam pun yang bisa lepas dari hukum ini ; matahari, bumi, bulan, bintang, seluruh planet, manusia dan semua makhluk ciptaan-Nya patuh kepada hukum ini. (alFurqan: 25 ; al-Thalaq : 3). Hukum inilah yang disebut dengan Sunnatullah atau “hukum Allah” dan dalam terminologi sekular dinyatakan sebagai “hukum alam”, “hukum pemberian alam”, atau “anugerah alam”. Sifat sunnatullah itu eksak artinya pasti berlaku dan berjalan sesuai ketetapan Allah (al-Qamar : 49), dan immutable atau tetap tidak mengalami tahwil (perubahan) sejak diciptakannya sampai kapanpun (al-Isra : 77), kecuali bila Allah yang menetapkannya menghendaki. Kedua, al-Syariat al-Islamiyyah atau syariat Islam, yaitu hukum Allah yang mengatur kehidupan manusia. Dalam syariat Islam ditetapkan berbagai aturan dan hukum yang mengatur semua aspek dasar kehidupan manusia. Tetapi hukum ini pada penerapannya lain dengan sunnatullah, pada sunnatullah manusia sebagai bagian dari alam tidak 1 PAI mampu mengelak, baik rela maupun tidak rela semua tunduk patuh kepada-Nya, tetapi dalam menghadapi hukum kedua ini manusia diberi kebebasan untuk menerima atau menolaknya (Q.; Al-Kahfi : 29). Syariat Islam diturunkan dengan sifat dan karakter tertentu yang pada dasarnya diperuntukan bagi kepentingan dan keberuntungan manusia, yaitu : a. Tidak bertentangan dengan fitrah atau karakter dasar manusia, yaitu bahwa seluruh ketentuan syariat sesuai dengan karakter fisik dan rohani manusia, tidak ada satupun ketentuan yang bertentangan dengan fitrah dasar manusia (QS. Al-Rum : 30). Syariat Islam mengarahkan manusia ke arah kesenangan dan kebahagiaan yang mereka senangi, dan menjauhkan manusia dari kesengsaraan yang tidak mereka senangi dan mereka dibenci. Syariat Islam menghalalkan kabaikan, keindahan, dan kenikmatan dunia yang mereka senangi. Syariat Islam mengharamkan keburukan, kejahatan, dan kerusakan dunia yang mereka benci . b. Tidak memberatkan hamba-Nya (al-Baqarah: 286). Artinya bahwa Syariat Islam ditetapkan sesuai dengan kemampuan manusia, tidak ada sebuah aturanpun yang mengandung unsur-unsur yang memberatkan. Allah menghendaki keringanan bagi hamba-Nya dan sama sekali tidak berkehendak memberatkan hamba-Nya (QS. AlBaqarah: 185). Pada ibadat zakat dan haji misalnya, kewajiban hanya ditetapkan bagi mereka yang memiliki kemampuan, pada ibadat shalat bagi musafir bisa dilakukan dengan jamak/qashar, ketika tidak ada air atau berhalangan menggunakan air bisa mengganti wudhu dengan tayammum, pada ibadat shaum bagi mereka yang sakit bisa dilakukan di lain waktu, dll. c. Universal dan menyeluruh. Artinya bahwa seluruh aturan dan hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia di dunia yang berguna bukan hanya terbatas pada kehidupan umat manusia dalam kehidupan dunia saja, tetapi lebih jauh pada kehidupan akhirat. Selain itu syariat Islam bukan hanya bagi kepentingan umat manusia, tetapi juga bagi kepentingan alam semesta. 3. Ruang Lingkup Syariat Islam Syari’at Islam bukan aturan dan hukum ciptaan manusia, bukan pula ciptaan rasul Allah. Syari’at Islam adalah hukum ciptaan Sang Pencipta alam dan pencipta umat manusia. Syari’at Islam diturunkan melalui wahyu, karena itulah maka sumber utama syari’at Islam adalah wahyu, dialah al-Quran. Kemudian sumber kedua adalah sunnah Rasul sebagai model dan contoh pertama dalam melaksanakan syariat, dan bagi hukum yang secara eksplisit tidak ada ketetapannya dalam alquran dan sunnah Rasul, maka ketentuan hukum diizinkan untuk ditetapkan berdasarkan hasil ijtihad ulama (upaya penelitian dalam penetapan hukum), karena mereka adalah pewaris Nabi. Syariat Islam memiliki cakupan yang luas yang berkaitan dengan seluruh aspek dasar kehidupan manusia. Pada dasarnya syariat Islam berkaitan dengan dua alur hubungan manusia, yaitu hubungan vertikal dengan Allah (Hablun Minallah) dan hubungan horizontal, yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia (Hablun Minannas) (Q; Ali Imran : 112), dan hubungan manusia dengan alam. 1) Syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan ubudiyah, hubungan penghambaan diri kepada-Nya. Syariat Islam mengatur hubungan ini dalam aturan ibadat yang semuanya menggambarkan keagungan Allah sebagai ilāh ()اﻟــﻪ, yaitu Tuhan Yang Maha Esa yang berhak menerima penghambaan seluruh makhuk-Nya dan pengakuan hamba-nya akan kerendahan diri di hadapan-Nya. Syariat Islam mengatur penghambaan dalam bentuk mahdlah (ibadat murni) yang terdiri atas Ibadat Nafsiyah, yaitu ibadat dengan diri seperti syahadat, shalat dan shaum, mengatur Ibadat Maliyah penghambaan diri dengan harta 2 PAI seperti zakat, dan mengatur Ibadat Ijtimaiyah yaitu ibadat dengan segala yang dimiliki seperti ibadat haji. Karena itu dasar-dasar ibadat ini tersimpulkan dalam lima rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, shaum, zakat, dan haji. Selain itu, di samping ibadat mahdlah, syariat juga menetapkan bahwa segala perbuatan muslim yang bertolak dari keikhlasan di atas jalan amal salih dan bertitik tuju ridla Allah sebagai ibadat penghambaan kepada-Nya yang disebut ibadat ghair mahdlah. Ketentuan-ketentuan ibadat dalam Al-Quran dan tatalaksananya oleh Rasulullah telah disusun oleh ulama mujtahidin dalam sebuah ilmu yang dikenal dengan Ilmu Fiqih khususnya Fiqih Ibadat. Para ulama masa lampau berhasil membuat formula hukum berdasarkan ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Rasul/hadits nabi dan menyimpulkan lima hukum syara’ atau hukum taklif (hukum tuntutan) bagi setiap mukallaf (setiap orang muslim yang baligh dan berakal sehat). Kelima hukum itu berkaitan dengan perilaku mukallaf : a) Wajib, yaitu suatu hukum perilaku mukallaf berupa tuntutan keras (perintah) untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi janji pahala bagi pelakunya dan sangsi hukuman bagi pelanggarnya. b) Sunnat, yaitu suatu hukum perilaku mukallaf berupa tuntutan lunak (anjuran) untuk melakukan suatu perbuatan, dengan konsekuensi janji pahala bagi pelakunya, tanpa sangsi hukuman bagi pelanggarnya. c) Mubah atau jaiz, yaitu suatu hukum perilaku mukallaf, berupa kebebasan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, tanpa konsekuensi janji pahala atau sangsi hukuman. d) Makruh, yaitu suatu hukum perilaku mukallaf, berupa tuntutan lunak untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan lunak/anjuran untuk ditinggalkan), dengan konsekuensi janji pahala bagi yang meninggalkannya dan tanpa sangsi hukuman bagi pelakunya. e) Haram, yaitu suatu hukum perilaku mukallaf, berupa tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan keras), dengan konsekuensi janji pahala bagi yang meningalkannya, dan sangsi hukuman bagi yang melakukannya. 2) Syariat Islam yang berkaitan dengan hubungan antar-manusia disebut mu’amalat (hukum pergaulan). Ada dua bentuk muamalat, yaitu Al-Qanun al-Khash (Aturan Khusus) dan Al-Qanun al’Am (Aturan Umum). a) Al-Qanun al-Khash adalah hukum syari’at yang berkaitan dengan Hukum Perdata, termasuk di dalamnya Hukum Niaga yang meliputi hukum jual-beli, hukum riba, serikat dan perseroan, qiradh (pemberian modal), musaqah /muzara’ah/mukhabarah (paroan pertanian dan perkebunan), sewa menyewa, jaminan, utang piutang, dll. Selain itu juga hukum yang berkaitan dengan Munakahat (Pernikahan), hukum yang berkaitan dengan Waratsat (Waris), dll. b) Al-Qanun ‘Am adalah aturan atau hukum publik, seperti Jinayat (hukum pidana) yang meliputi hukum Qishah (hukuman mati bagi pembunuh), hukum mencuri, hukum berzina, hukum khamr, dll. Selain itu hukum Khilafat (tatanegara) dan hukum Jihad (Hukum Perang dan Damai). 4. Fungsi & Manfaat Syariat Islam Dilihat dari fungsi dan manfaatnya, syari’at Islam diturunkan semata-mata bagi umat manusia bukan bagi kepentingan Allah. Allah Maha Agung secara mutlak tidak tergantung pada pihak lain, tidak memerlukan pengagungan dan penghambaan 3 PAI makhluk-Nya, Allah Maha Kaya tidak perlu pemberian makhluk-Nya, Allah tidak perlu apapun dari makhluk-Nya, justru Allah pencipta, penata, dan pemilik alam semesta yang memberi segala sesuatu kepada makhluk-Nya. Allah Maha Suci dari segala kebutuhan, yang digambarkan oleh Rasulullah bahwa seandainya seluruh makhluk-Nya termasuk seluruh umat manusia menunjukkan ketaatan dan kepatuhan dengan kecintaan kepadaNya, tidak akan menambah keagungan Allah sedikitpun, dan seandainya seluruh makhluk-Nya termasuk seluruh umat manusia melakukan pembangkangan dan perlawanan dengan kebencian kepada-Nya tidak akan mengurangi keagungan dan keluhuran-Nya sedikitpun. Perilaku umat manusia tidak ada pengaruhnya sedikitpun terhadap keagungan dan keluhuran Allah swt. Syariat Islam justru diturunkan sematamata untuk kepentingan umat manusia. 1) Syari’at Islam diturunkan atas dasar rahmat kasih sayang-Nya yang Maha Luas bagi hamba-Nya, dan ketika Allah ciptakan alam semesta Allah tetapkan kasih sayangNya yang besar yang meliputi segala sesuatu (QS. al-A’raf : 156), demikian pula kasih sayang-Nya mengalahkan murka-Nya. Banyak ayat Alquran yang menyatakan janji Allah bagi hamba-Nya, bahwa Dia akan melimpahkan kasih sayang-Nya kepada mereka yang patuh melaksanakan syariatnya dan menunjukkan ketaatan kepada-Nya. Syariat merupakan alat seleksi yang akurat untuk menguji hamba-Nya dalam menentukan siapa di antara hamba-Nya yang bertakwa kepada-Nya, yang menepati janjinya dengan Allah dengan syahadat yang diucapkannya, dan mematuhi syariat-Nya, merekalah yang berhak menerima janji Allah menerima anugerah terbesar, berupa kebahagiaan abadi dan hakiki dalam kehidupan akhirat (QS. Luqman : 8-9 ; al-Ahqaf : 13-14 ; al-Taghabun : 16). Syariat juga untuk menguji dan menentukan siapa di antara hamba-Nya yang membangkang kepada-Nya, yang merendahkan, meremehkan, dan mengabaikan syariat-Nya (Q. An-Nisa : 60), dialah yang akan menerima murka dan azab-Nya, berupa kesengsaraan dan penderitaan abadi dalam kehidupan akhirat (Q. An-Nisa : 14). Syariat juga alat akurat pengukur siapa di antara hamba-Nya yang diberi kekuasaan dalam kehidupan dunia yang patuh menerapkan syariat Islam dalam kepemimpinannya, dan siapa pula yang mengabaikan dan mendepak syariat Islam dalam menjalankan kepemimpinannya. Abul A’la Maududi (1986 : 127) menegaskan bahwa syariat Islam menjadikan kehidupan manusia terikat dengan kaidah yang pasti dan bijak yang di dalamnya terkandung kemaslahatan umat manusia. 2) Syariat Islam berfungsi menjaga dan melindungi hak asasi dan menyerahkannya kepada pemiliknya. Dalam hal ini Abu A’la Maududi (Ibid : 131) menegaskan bahwa syari’at Islam berfungsi melindungi berbagai hak yang mesti berada di tangan pemiliknya. Pemilik segala hak secara mutlak hanyalah Allah, tetapi Allah berikan pula sebagian hak kepada makhluk-Nya. Karena itulah maka hak-hak asasi yang harus diberikan dan dilindungi itu pertama haqqullah yaitu hak asasi Allah sebagai pemilik hak mutlak, dan kedua haq al-adamy yaitu hak asasi manusia. A. Hak-hak Allah swt. Allah sebagai Khāliq (Tuhan Pencipta alam semesta), sebagai Rabb (Tuhan Penata dan Pengatur alam semesta), dan sebagai Ilāh (Tuhan yang berhak mendapat penghambaan alam semesta) yang memberi hidup dan berbagai fasilitasnya memiliki berbagai hak yang harus diberikan oleh setiap hamba ciptaan-Nya. Syariat menetapkan berbagai hukum dan ketentuan bagi hamba-Nya untuk memberikan hak-hak Allah sebagai pemilik nhak mutlak, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah memiliki 4 PAI hak untuk diperlakukan sesuai dengan posisi-Nya sebagai Khalik, Rabb, dan Ilah Yang Maha Suci, Maha Agung, dan Maha Tinggi. Hak-hak asasi Allah itu mesti diserahkan kepada-Nya. 1) Hak untuk diimani keberadaan-Nya, diimani keesaan-Nya dan tidak disekutukan dengan sesuatu apapun (QS. Ali Imran : 179 ; An-Nisa : 136). Allah diimani sesuai dengan informasi keimanan yang diwayukan melalui Rasul-Nya. 2) Hak untuk dimuliakan dan diagungkan setinggi-tingginya, karena kebenaran yang diturunkan-Nya dan karena petunjuk hidup yang diberikan-Nya ke arah keselamatan dan kebahagiaan yang abadi dan hakiki (Q; As-Syura : 4). 3) Hak untuk dita’ati dan dipatuhi, yaitu dilaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan dihindari segala yang dilarang dan dibenci-Nya, karena anugerah-Nya yang tiada terhingga dan tidak pernah putus dari kehidupan hamba-Nya (QS. An-Nisa : 59). 4) Hak untuk mendapat penghambaan (diibadahi). Setiap mu’min terikat untuk menjadi hamba-Nya, merendahkan diri di hadapan-Nya, menjadi hamba-Nya sesuai dengan keagungan-Nya dan sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan-Nya (Q; Al-Baqarah : 21 ; Al-Isra : 23). 5) Hak mutlak atas iradat-Nya (kehendak-Nya), termasuk berhak mengampuni atau mengazab hamba-Nya. Allah memiliki hak mutlak atas segala kehendak-Nya, tak ada yang mampu memaksa-Nya saat Allah tidak menghendaki sesuatu, dan tak ada pula yang mampu menghalanginya saat Allah berkehendah untuk sesuatu. Dalam pengadilan-Nya di Akhirat Allah berhak mengampuni kesalahan hamba-Nya atau mengazabnya sebagaimana diinformasikan dalam wahyu-Nya (Q.; Al-Baqarah : 284). B. Hak-hak Adamy (manusia) Atas kodrat dan iradat-Nya Allah menciptakan umat manusia pada kedudukan tertinggi di atas makhluk lainnya (QS. Al-Isra: 70). Selain itu Allah mengangkat umat manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini (QS. Al-Baqarah: 30), dan Allah berikan sejumlah hak kepada mereka. Karena itulah maka setiap hamba-Nya yang mu’min diwajibkan memberikan hak orang lain yang menjadi pemiliknya, sebagaimana juga orang lain memiliki kewajiban untuk memberikan hak dia. Ada dua hak adami yang mendasar yang ditetapkan oleh Allah dalam syariat Islam, yaitu hak diri sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat dan hak atas harta. 1). Hak Diri Termasuk hak diri manusia adalah (1) hak hidup, (2) hak kemerdekaan, (3) hak persamaan harkat dan derajat (4) hak perlindungan nilai kemanusiaan, (akal, keturunan, kehormatan, dan ketenteraman idup), (5) hak menyayangi dan disayangi, dan (6) hak berdaulat . a) Hak Hidup. Allah yang menghidupkan umat manusia dan Allah pula yang mematikan mereka, kemudian hanya kepada-Nya semua akan kembali. Hak menghidupkan dan mematikan mutlah berada di tangan-Nya. Syariat Islam melindungi hak hidup seseorang yang telah diberikan oleh Tuhannya. Darah manusia itu haram artinya haram ditumpahkan, kecuali bagi mereka yang melakukan pelangaran berat terhadap syariat seperti membunuh, berzina, dan murtad serta berontak thd. Penguasa yang meletakkan dasar-dasar syairat Islam. Syariat menetapkan hukum haram untuk membunuh, dan kewajiban penguasa yang mendapat amanah sebagai 5 PAI khalifah Allah (wakil Allah) untuk melaksanakan hukum qishash (hukuman mati bagi pembunuh). Semua ini adalah untuk melindungi hak hidup rakyatnya, bahwa siapa yang menghilangkan hak hidup seseorang berarti ia kehilangan hak hidupnya, berarti ia telah melanggar dua hak, yaitu hakkullah dan hak adami. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah yang menyatakan bahwa dalam hukum qishash tersimpan maksud melindungi hak hidup manusia (Q; Al-Baqarah : 178-179). Membunuh berarti menghilangkan dan merampas hak hidup seseorang, dan hal ini merupakan pelanggaran besar dan dosa besar, demikian pula bagi penguasa yang tidak melaksanakan syariat berupa hukum qishash adalah pelanggaran besar, yang diancam hukuman oleh Allah. Syariat Islam juga mencabut hak hidup bagi pezina dan pembangkang dan orang murtad. Syariat Islam juga membenarkan seseorang untuk membela dirinya saat hak hidupnya terancam (Q.; As-Syura : 41), walaupun dengan melalui perbuatan yang semula diharamkan. b) Hak Kemerdekaan Hak Kemerdekaan diberikan oleh Allah kepada umat manusia antara lain dalam tiga prinsip hak, yaitu hak sebagai manusia merdeka dan hak kemerdekaan beragama. (1) Hak sebagai Manusia Merdeka Allah melahirkan manusia ke bumi ini dalam keadaan merdeka, tak ada seorangpun di antara manusia yang lahir sebagai budak. Umar bin Khattab pernah mengucapkan kepada Amr bin Ash sebuah kalimat yang selanjutnya menjadi terkenal : “Sejak kapan kau memperbudak manusia itu, padahal mereka itu dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka” (Assiba’I , 1969 : 101). Sehubungan dengan hal ini maka Syariat Islam mengharamkan seseorang memperbudak orang lain dan suatu bangsa menjajah dan memperbudak bangsa jajahannya. Syariat Islam juga mewajibkan orang kaya untuk mengeluarkan sebagian hartanya untuk zakat antara lain untuk memerdekaan hamba sahaya (Q.; At-Taubah : 60) bila dalam masyarakatnya masih ada kaum budak. (2) Hak Kemerdekaan Beragama Allah memberi kebebasan kepada umat manusia untuk beriman (menerima) atau kufur (menolak) terhadap kebenaran tersebut (Q.; Al-Kahfi : 29), artinya berbeda dengan hukum sunnatullah, bahwa dalam syariat Islam Allah tidak memaksa manusia untuk menerima Islam sebagai agama pedoman hidupnya, dan Allah sendiri menegaskannya bahwa tidak ada paksaan dalam agama (Q.; al-Baqarah : 256). Manusia bebas untuk memeluk agama apapun yang mereka percayai, mereka bebas untuk menerima Islam sebagai agamanya atau menolak kebenaran Islam dan mengambil agama bathil di luar agama benar. Akibatnya manusia terkelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu mu’minun (orangorang beriman) dan kafirun (orang-orang kafir). Namun demikian, dengan kemerdekaan ini, manusia perlu mengetahui bahwa Allah satu-satunya penguasa alam semesta memiliki hak kebebasan mutlak untuk memperlakukan mereka yang melakukan pembangkangan dalam pengadilan-Nya di akhirat, baik Dia mengampuninya atau mengazabnya (Q.; Al-Baqarah : 284). Dalam hal ini Dia telah memberi penjelasan yang lengkap melalui para nabi dan para rasulNya kepada umat manusia yang berakal yang memiliki kemampuan berpikir mengenai konsekuensi dari sikap menerima atau menolak kebenaran Islam. 6 PAI 7 c) Hak Persamaan Harkat dan Derajat Allah menciptakan manusia dalam harkat dan derajat yang sama, satu bangsa atau suku bangsa tidak lebih tinggi dari bangsa atau suku bangsa lainnya, kulit putih tidak lebih tinggi dari kulit hitam, kaum pria tidak lebih tinggi dari kaum wanita, seorang kaya tidak lebih tinggi dari orang miskin. Tinggi rendahnya martabat manusia dalam pandangan Allah pencipta dan rabbnya hanya ditentukan oleh tingkat kepatuhan dan ketakwaan kepada-Nya (Q.; Al-Hujurat : 13) d) Hak Perlindungan Nilai Kemanusiaan (Perlindungan Akal, Perlindungan Keturunan, dan Perlindungan Kehormatan). Setiap orang dilahirkan dalam keadaan terhormat dan hal ini ditetapkan oleh Allah penciptanya dalam firman-Nya, bahwa Allah telah menempatkan Bani Adam (manusia) pada kedudukan terhormat (Q; Al-Isra : 70). Kehormatan seseorang dan niali-nilai kemanusiaannya dilindungi oleh syariat Islam. Untuk perlindungan kemanusiaan dan kehormatan umat manusia Allah menetapkan beberapa ketentuan dan hukum. Hak-hak ini antara lain hak perlindungan akal, hak perlindungan keturunan, hak perlindungan kehormatan diri, dan hak mendapat keamanan dan ketenangan hidup. (1) Hak Perlindungan Akal. Syariat melindungi kesehatan akal manusia dengan penetapan haram untuk khamr (minuman keras) dan mukhaddirat (naskoba) (Q.; Almaidah : 90-91). Meminum khamr dan menyalahgunakan narkoba akan merusak jaringan otak, membuat manusia mabuk, dan kehilangan kesadaran akan dirinya, ia tidak memahami apa yang dikatakannya, ia tidak mengerti apa yang dilakukannya. Islam memerintahkan manusia untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang mengakibatkan kerusakan diri (Q.; Al-Baqarah : 195) dan memerintahkan untuk menjaga kesehatan akal, ia mesti tetap sadar akan siapa dirinya, dan mengerti serta memahami setiap apa yang dilakukannya. Seringnya terjadi kehilangan kesadaran akan diri karena mabuk, akan mengakibatkan seseorang semakin jauh dari kebenaran, dan nilai kemanusiaannya semakin jatuh terpuruk di bawah garis insaniah. Syariat Islam menegaskan hukuman dera 40 kali bagi peminum khamr dan Allah melaknat setiap pihak yang membantu peredaran-nya. Dengan syariat hak perlindungan nilai kemanusiaan seseorang akan terjamin dan mengantarkan manusia ke martabat kemanusiaan. Dengan kesem-purnaan akal pikiran manusia memiliki hak untuk berilmu yang akan meningatkan manusia pada martabat yang lebih tinggi di sisi Allah. (2) Hak Perlindungan Keturunan. Salah satu faktor pembeda antara makhluk insani dan makhluk hewani adalah kejelasan keturunan dan hubungan darah melalui pernikahan. Hubungan hewani adalah murni hubungan biologis tanpa tanggung jawab, dan hubungan insani melalui pernikahan adalah hubungan yang penuh makna kamanusiaan dan penuh tanggungjawab. Dengan pernikahan tanggungjawab seseorang dalam suatu keluarga akan tampak jelas. Seorang laki-laki yang berfungsi sebagai suami memiliki tanggung jawab yang besar PAI terhadap istri dan anak-anaknya dalam keluarganya (Q. An-Nisa : 34). Seorang wanita yang diamanatkan oleh Allah mesti dilindungi, sebelum menikah berada di bawah lindungan dan tanggung jawab bapaknya atau walinya, dengan akad tanggung jawab beralih kepada suaminya dan hak wanita yang mesti mendapat perlindungan terpenuhi dan terlindungi. Syariat mengharamkan bersatunya seorang laki-laki dengan perempuan tanpa pernikahan, meng-haramkan perzinaan, mengharamkan hubungan sejenis, dan mengharamkan perkawinan sedarah. Pelanggaran terhadap syariat dalam hubungan ini menentukan hukuman yang harus dijatuhkan kepada para pelanggarnya. Penguasa sebagai khalifatullah wajib melaksanakan sangsi yang ditetapkan syariat bagi para pelanggar dengan menjatuhkan hukuman mati, hukum rajam (dilempari batu) atau hukuman dera 100 kali. Dengan pernikahan hekormatan manusia terpelihara, karena mereka memiliki keturunan yang jelas terlindungi hukum syara’ (Q. An-Nisa : 4 ; Ar-Rum : 30; An-Nur : 24). (3) Hak Perlindungan Kehormatan Diri. Manusia yang telah ditempatkan oleh pencipta pada posisi terhormat memiliki hak untuk dihormati oleh sesama makhluk-Nya. Hak kehormatannya mesti diberikan kepadanya, kecuali bila ia tidak lagi menghormati dirinya, karena pelanggaran-pelanggaran syariat dan kemanusiaan yang dilakukannya. Untuk perlindungan hak kehormatan manusia syariat Islam menetapkan kewajiban manusia untuk saling menghormati saling menghargai satu sama lain, dan menetapkan hukum haram melakukan penghinaan, sikap merendahkan, mencari-cari kesalahan, dan buruk sangka kepada orang lain (Q; Al-Hujurat : 11,12). Di antara hamba Allah yang diamanatkan secara khusus untuk selalu dihormati dalam keadaan apapun adalah kedua orang tua (Q; Al-Isra : 23), karena lewat mereka manusia lahir ke bumi, mereka telah mengorbankan hidup mereka, membesarkan, membimbing, mendidik dengan kasih sayang yang tidak akan terbalaskan oleh siapapun. Ancaman hukuman Allah ditetapkan bagai pelanggar hak kehormatan seseorang yang telah dimuliakan-Nya. (4) Hak Perlindungan Ketenangan Hidup (Keamanan) Syariat Islam melindungi ketenteraman hidup setiap individu. Syariat Islam mengharamkan perampokan yang meresahkan dan merugikan masyarakat. Syariat Islam menetapkan hukuman berat bagi qathi althariq (perampok) dengan hukuman berat, yaitu hukum potong tangan dan kaki bersilang dan hukuman mati (Q.; Al-Maidah : 33). Apabila penguasa sebagai khalifatullah menegakkan hukum ini secara tegas, adil, dan konsekuen terhadap pelanggar syariat, maka setiap individu dan masyarakat akan terjamin ketenangan dan keamanannya di manapun mereka berada dan kemanapun mereka berangkat. e) Hak Berdaulat & Hak Memimpin & Dipimpin Allah ciptakan manusia sebagai makhluk sosial, yang tidak mungkin hidup normal memenuhi nilai kemanusiaan tanpa hidup dalam kelompok. Manusia hidup dalam suatu lingkungan kecil unit terkecil masyarakat yaitu keluarga dan mereka pun hidup dalam lingkungan manusia yang lebih luas. Syariat Islam menetapkan 8 PAI bagaimana muamalat antar individu dan antar kelompok mestinya berjalan. Kaidah sosial Islam menegaskan bahwa dalam hidup bermasyarakat baik masyarakat sekala kecil, maupun masyarakat dalam sekala besar seperti suatu negara mesti ada seorang yang menjadi pimpinan (sebagaimana digambarkan dalam shalat jamaah lebih dari dua orang mesti ada di antara mereka yang menjadi imam atau pimpinan). Setiap muslim yang memiliki persyaratan tertentu yang dibutuhkan bagi seorang pemimpin memiliki hak untuk diangkat sebagai pimpinan sesuai dengan hasil msyawarah di antara kaum muslimin (Q.; Ali Imran : 159). Sementara orang non-muslim (kafir) dan orang yang menyetujui kekafiran tidak berhak menjadi pimpinan dalam lingkungan muslim (Q.; Ali Imran : 28 ; Al-Maidah : 51, 57 ; At-Taubah : 23). Masyarakat muslim memiliki hak untuk dipimpin oleh Amir al-Mu’minin, yaitu seorang pimpinan yang melaksanakan fungsinya sebagai khalifatullah dengan menegakkan syariat Allah dalam kepemimpinannya. f) Hak Menyayangi dan Disayangi. Allah ciptakan manusia atas kasih sayang-Nya, Allah tetapkan kasih sayang-Nya bagi umat manusia (QS. Ali Imran : 159), dan Allah janjikan kasih sayang yang luas di Hari Akhir bagi hamba-Nya yang menunjukkan sikap penghambaan diri di hadapanNya dan menanamkan kasih sayang dalam hidup-Nya (QS. Ghafir : 9). Manusia diperintahkan untuk hidup saling menyayangi (Q.; Ar-Rum : 21), seorang anak berhak menerima kasih sayang kedua orang tuanya (QS Al-Isra : 24), dan sebaliknya orang tua berhak atas kasih sayang anaknya. Sifat rahman dan rahim Allah menjadi bagian yang harus dijadikan tuntunan bagi hidup manusia dengan selalu menyebutnya setiap kali hendak melakukan suatu perbuatan baik. 2). Hak atas Harta Alam semesta adalah ciptaan Allah dan sekaligus milik-Nya, artinya segala yang di langit dan di bumi milik Allah (Q; Al-Baqarah : 284). Allah membagikan anugerah-Nya berupa rezki kepada umat manusia sebagai bekal hidup mereka, dan Allah tetapkan bagiannya masing-masing, mereka mendapat rezki dalam jumlah yang berbeda (Q; Al-Isra : 30 ; an-Nahl : 71). Hak atas harta terdiri atas (1) hak milik, (2) hak tasharrauf (hak guna pakai), dan (3) hak fakir miskin atas sebagian harta orang kaya. 1) Hak Milik atas Harta. Allah memberikan kepada manusia atas sejumlah harta yang direzkikan kepada mereka. Syariat Islam menegaskan, bahwa mencuri atau merampas harta yang menjadi milik seseorang adalah pelanggaran/dosa yang menurut syariat dalam jumlah tertentu ada konsekuensinya berupa hukuman potong tangan (Q.; Al-Maidah : 38) yang harus dilakukan oleh penguasa yang mendapatkan amanah sebagai khalifatullah. 2) Hak Tasharruf (Hak Guna Pakai) Segala makhluk di langit dan di bumi semua milik Allah (Q.; Al-Baqarah : 284), kemudian Allah berikan hak tasharruf atas harta kepada hambanya, dan hamba-Nya bisa menggunakannya atas izin-Nya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, selama bukan untuk kepentingan ma’shiat. 3) Hak Fakir Miskin dan Yatim atas Sebagian Harta Orang Kaya. 9 PAI Allah amanatkan sejumlah riski pada harta orang kaya, Allah titipkan rezki fakir miskin dalam harta mereka. Syariat menegaskan adanya kewajiban orang kaya untuk mengeluarkan sebagian harta yang berada di bawah kekuasaannya. Sebagian dari harta zakat, sidkah, infak dan bentuk lainnya merupakan hak fakir, miskin, anak yatim dan lainnya (Q.; At-Taubah : 60). Pengingkaran akan kewajiban zakat adalah kemaksiatan dan pembangkangan kepada Allah dan termasuk kemurtadan. 10