FITOFARMAKA: PROBLEM DAN PENGATASANNYA PHYTOPHARMACEUTICAL : PROBLEMS AND HOW TO OVERCOME THE PROBLEMS Mae Sri Hartati Wahyuningsih Bagian Farmasi Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, YOGYAKARTA ABSTRAK Akhir-akhir ini perkembangan produk fitofarmaka semakin pesat. Seiring dengan kesuksesan produk fitofarmaka terdapat banyak masalah dan keterbatasan data ilmiah produk fitofarmaka, sehingga merugikan konsumen. Makalah ini akan mengkaji beberapa contoh masalah produk fitofarmaka dan pengatasannya untuk mendapatkan produk yang berkualitas. Kata kunci : Fitofarmaka, konsumen, masalah, pengatasannya ABSTRACT Recently, development of phytopharmaceutical products increases rapidly. Dispites of the successful of phytopharmaceutical products in the market, there are still plenty of problems and limitations scientific data of products that is consumers damage. This paper, several actual examples of discused phytopharmaceutical products and how to overcome the problems are presented in order to have qualified phytopharmaceutical products. Keywords : Phytophramaceuticals, consumer, problems, suggested solution PENDAHULUAN Saat ini tercatat sekitar 800 perusahaan multinasional yang memproduksi produk obat berbasis tanaman, keuntungan yang diperoleh sekitar US$ 4,5 Milyard tiap tahunnya (Greenwald, 1998). Angka ini menunjukkan bahwa pertumbuhan perdagangan bahan tanaman obat sangat cepat, salah satu sebab yang dilaporkan adalah karena anggapan masyarakat yang masih mengatakan bahwa produk ini merupakan produk alternatif yang aman dan tidak menimbulkan efek samping. Perkembangan produk berbasis tanaman obat ini mempunyai variasi dalam tata nama, seperti misalnya produk herba, botani, tanaman obat, fitomedisin dan fitofarmaka. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta produk jadinya telah di standarisir (Badan POM. RI., 2004 ) Dibalik sukses komersial yang diperoleh industri fitofarmaka, upaya memproduksi sediaan fitofarmaka yang berkualitas menemui berbagai masalah terutama dalam memperoleh tingkat keamanan dan efisiensi obat-obat berbasis tanaman. Sehingga sering dikatakan bahwa fitofarmaka ini baik untuk perdagangan namun sangat sulit untuk menciptakan yang terbaik (Greenwald, 1998). Salah satu tanaman obat yang sangat popular di Amerika utara adalah Hypericum perforatum (St. John’s wort). Pada tahun 1998, 7,5 Milyard orang amerika menggunakan St. John’s wort untuk mengobati gangguan neurologik dan depressi. Pengobatan ini dilakukan berdasarkan atas hasil berbagai penelitian uji klinis (Linde et al., 1996). Pada tahun 1997, National Institutes of Health, Office of Alternative Medicines menginvestasikan dana US$ 4,3 Milyard dalam jangka waktu selama 3 tahun untuk uji klinis St. John’s wort dengan placebo dan juga dengan obat anti depressan baku terhadap pasien yang mengalami depresi tingkat menengah (mild depression) (Anonim, 1997). Adapun standar untuk sediaan St. John’s wort yang akan diuji adalah keseluruhan tanaman, baik segar, kering, atau komponen senyawanya; dan sediaan ditentukan mengandung tidak kurang dari 0,04% naftodiantrone dari golongan hypericin. Hasil uji klinis terakhir menunjukkan bahwa farmakodinamik St. John’s worth tergantung pada keberadaan senyawa keduanya yaitu hyperforin (Laakman et al., 1998). Selanjutnya dilaporkan bahwa aktivitas hyperforin adalah seperti senyawa antidepresan sintetik pada umumnya yaitu menghambat kerja serotonin, dopamin, noradrenalin, GABA, and L-glutamat pada kultur sel hewan (Chattergee et al., 1998). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa telah ditemukan lebih dari 25 senyawa lain yang terdapat didalam tanaman St. John’s wort yang mungkin juga ikut andil dalam aktivitas sebagai antidepresan (Nahrstedt et al., 1997; Murch et al., 1997). Pada tahun 1998, Consumer Safety Symposium on Dietary Supplements and Herbs melaporkan bahwa terjadi kenaikan aktivitas sebesar 17 kali, sebagai akibat adanya interaksi sinergis dari beberapa metabolit yang terdapat dalam sediaan fitofarmaka dengan St. John’s wort. Dalam European Scientific Cooperative On Phytotherapy (ESCOP) disebutkan bahwa produk St. John’s wort mengandung senyawa naftodiantrone (0,05 – 0,3%) terutama hypericin dan pseudohypericin (Anonim, 2003). Oleh karena itu, segera dilakukan regulasi terhadap sediaan yang kompleks tersebut yaitu dikeluarkannya DIN (Drug Identification Number) untuk produk sediaan dari tanaman berdasarkan atas konsentrasi baku / marker / penanda yang ditentukan. DIN yang pertama kali dikeluarkan adalah sediaan feverfew (Tanacetum parthenium) (Awang et al., 1989). Sediaan feverfew merupakan salah satu produk fitomedisinal di Kanada yang sudah beredar di pasaran dengan DIN didasarkan atas kadar minimal parthenolide 0,20% yang digunakan sebagai profilaksi pada migrain (Anonim, 2003). Salah satu problem yang sangat merugikan dalam pengembangan produk tanaman obat adalah adanya kontaminasi pada tanaman obat dengan sejumlah senyawa yang tidak dapat diidentifikasi. Salah satu contoh adalah terdapatnya melatonin pada 3 species tanaman obat, dan salah satu tanaman yang terkontaminasi adalah feverfew, produk ‘Tanacet’ mempunyai komposisi utama feverfew, terkontaminasi oleh melatonin. Penemuan fakta adanya melatonin didalam sediaan berbasis tanaman menimbulkan persyaratan agar dilakukan juga penelitian menyeluruh kandungan kimiawi pada sediaan berbasis tanaman baik yang bermanfaat maupun yang merugikan bagi konsumen. Makalah ini mengkaji beberapa masalah untuk mendapatkan produk fitofarmaka yang berkualitas, dan cara pengatasannya. VARIASI SPECIES DAN PANEN TAHUNAN Kandungan aktif tanaman obat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah perbedaan genetik yang tidak nampak dari gambaran morfologi tiap tanaman dan populasi yang berpengaruh terhadap produksi metabolit sekunder (Foster, 1989). Populasi yang liar dari tanaman obat mempunyai variasi genetik yang besar, sehingga secara tidak langsung menggambarkan variasi semua tanaman yang ada di dunia. Oleh karena itu untuk menaikan kualitas tanaman obat, perlu dilakukan seleksi species yang superior dari populasi yang ada. Kondisi tempat tumbuh juga sangat berpengaruh terhadap kualitas tanaman obat. Sintesis kerangka karbon dari metabolit sekunder yang aktif sangat tergantung pada sinar matahari sebagai sumber energi untuk fotosintesis. Oleh karena itu lama waktu, intensitas dan spektrum sinar matahari selama pertumbuhan sangat berpengaruh terhadap kualitas tanaman obat. Cuaca panas disukai dalam proses fotosintesis dan sebaliknya cuaca hujan menghambat pembentukan alkaloid pada berbagai species (Bernard, 1986). Memang sangat sulit mengatur cuaca sesuai dengan kebutuhan, hal ini mempunyai implikasi terhadap kualitas produk fitofarmaka yang dihasilkan nantinya. Sebagai contoh adalah tanaman Atropa belladonna yang ditumbuhkan di Peninsula Crimean mengandung alkaloid aktif sebesar 1,3%, sedangkan yang ditumbuhkan di Leningrad ternyata hanya mengandung 0,3% alkaloid aktif (Waller dan Nowacki, 1978). Penanganan dan manajemen (pasca panen) tumbuhan yang dikebunkan berpengaruh dalam ketervariasian produk akhir. Tanaman yang dikebunkan biasanya dipanen sekali tiap tahun, dan proses pasca panen yang meliputi cara pengeringan, penyimpanan, lama waktu penyimpanan sangat berpengaruh pada kualitas produk akhir. KEKELIRUAN IDENTIFIKASI SPECIES Penggantian species tanaman obat dengan tanaman lain dapat berakibat fatal. Sebagai contoh adalah kontaminasi plantain (2700 kg) yang diimpor Amerika terkontaminasi dengan Digitalis lanata berakibat terjadinya keracunan digoksin pada dosis toksik dalam darah pasien yang mengkonsumsi. Contoh lain yang selama ini paling banyak diteliti adalah produk penurunan berat badan (slimming) yang di kenal dengan nama “Chinese Herb Nephropathy”. Tanaman obat fangit (Stephania tetrandra) mengandung alkaloid tetrandrin yang digunakan sebagai analgetika dan antipiretika. Para peneliti memperkirakan bahwa terjadi kekeliruan pengambilan sampel yang mestinya fangit, tetapi yang terkoleksi adalah fangchi (Aristolochia fangchi) yang mengandung aristolochic acid yang merupakan precursor sintesis prostaglandin (Betz, 1998). Sehingga produk yang mengandung arsitolochic acid (‘Tardolyt’, Jerman ; ‘Phagodyn’, Austria) ditarik dari peredaran di pasar Eropa pada tahun 1981. Hal ini memberi gambaran betapa berbahayanya produk tanaman obat yang belum dilakukan penelitian secara tuntas. Produk tanaman obat St. John’s wort juga sangat potensial terjadi kesalahan identifikasi. Karena dalam koleksi St. John’s wort, sangat sering terkoleksi species Hypericum lain sperti H. maculatum, H. barbatum, H. hirsutum, H. montanum, H. tetraperum dan H. calycinum (Rose of Sharon) (Hobbs, 1989). Oleh karena itu, untuk memperoleh produk fitofarmaka yang berkualitas dan aman maka kebenaran identitas species yang dikombinasi dengan GMP serta mengikuti peraturan yang berlaku adalah merupakan keharusan. KONTAMINASI TANAMAN OBAT DENGAN SERANGGA, JAMUR, DAN POLLUTAN Fitofarmaka dari bahan dasar tanaman yang dikebunkan biasanya ditumbuhi dengan berbagai jasad renik seperti bakteri, insek dan jamur. Patogen ini berpengaruh terhadap kandungan metabolit sekunder dalam tanaman. Sebagai contoh adalah infeksi oleh Septoria dapat mengurangi konsentrasi senyawa aktif dari Digitalis lanata. Sekitar 10% alkaloid aktif dalam Papaver sp. mengalami dekomposisi dalam kurun waktu 24 jam bila terkontaminasi oleh Dendryphion penicillatum atau Alternaria alternata (Laughlin dan Munro, 1982). Kemudian tanaman obat hasil import dari negara lain dimungkinkan juga terjadinya import pestpenyakit dari negara aslinya, yang menginfeksi tanaman di negara pengimpor. Kontaminasi dari lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap produk akhir, beberapa contoh diantaranya adalah tablet Niuhuang, Xhiaoyanwang dan Ansenpunaw. Ketiga produk ini ditarik dari peredaran oleh departemen kesehatan, pemerintah Kanada karena ketiga produk tersebut mengandung mercury (Hg) dalam jumlah yang berbahaya untuk anak-anak dan orang dewasa. Hal ini menggambarkan semua resiko dari import bahan material dimana pertumbuhan dan kontaminasi tanah tidak dapat dikontrol. PENILAIAN DI MASYARAKAT Informasi yang umum beredar di masyarakat adalah bahwa tanaman obat ini telah digunakan masyarakat dalam jangka waktu yang lama dan berdasarkan atas hasil pengalaman pribadi. Namun menurut literatur, tanaman obat mis. Germander (Teucrium chamaedrys) (Laliberte dan Villeneuve, 1996), Chinese herbal teas (Levi et al., 1998), dan sediaan Jin Bu Huan (Piciotto et al., 1998) dapat menyebabkan hepatitis kronik. Oleh karena itu untuk memperoleh informasi yang tepat, maka dibutuhkan penelitian yang intensif tentang fisiologi tanaman dan juga terhadap konsumen. Akhir-akhir ini upaya penegakan kebenaran ilmiah dilakukan terhadap tanaman obat. Metoda yang dikembangkan adalah penelitian efektivitas produk fitofarmaka dengan menggunakan kultur sel hewan, hewan utuh, dan uji klinis. Masing-masing uji sangat penting untuk dilakukan dan informasi yang diberikan saling mendukung untuk dapat diterima pasar. Kultur sel hewan menginformasikan proses biokimiawi mekanisme kerja dari serbuk atau ekstrak tanaman terhadap aktivitas farmakologinya. Kemudian respon binatang percobaan sebagai model akan menginformasikan keseluruhan aktivitas apabila digunakan pada manusia, dan uji klinis yang dibandingkan dengan plasebo sebagai kontrol (Linde et al., 1996). Keberhasilan pendekatan ini akhirnya terhambat oleh ketersediaan material dan ekstrak yang steril, konsisten dan terstandar untuk bahan uji. Cepatnya perkembangan pasar tanaman obat ini berdampak kekacauan di tingkat konsumen tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan ilmiah yang memadai dalam memproduksi tanaman obat yang berkualitas oleh produsen. Terlebih lagi dengan tuntutan masalah kontaminasi, dan pernyataan yang tidak mendasar tentang efektifitasnya. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk memilih teknologi yang tepat dan aturan-aturan yang mendukung efektifitas dan keamanan produk berbasis tanaman. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI BARU Untuk mengatasi permasalahan ini, sebaiknya dilakukan penyuluhan serta pelatihan yang intensif baik kepada konsumen maupun produsen. Memang keunikan dan kompleksnya obat berasal dari tanaman ini membuat pendekatan sangat sulit sehingga penelitian saat ini cenderung menitik beratkan hanya satu tanaman obat dalam satu sediaan obat berbasis tanaman. Mengingat kandungan senyawa dalam tanaman obat cukup banyak, maka kemungkinan terjadinya sinergis efek terapi sangat dimungkinkan. Oleh karena itu teknologi ekstraksi tanaman yang steril dalam skala besar yang termonitor, terstandar, konsisten perlu jadi perhatian. Penggunaan tanaman obat yang steril dan seragam lebih menguntungkan karena tanaman obat unggulan dapat diidentifikasi, dikopi dan dipropagasi. Dengan demikian tanaman hasil teknologi ini akan konsisten dan mempunyai karakter biokimia sama. Implementasi penanaman tanaman obat dengan cara ini, akan diyakini memberi produk yang konsisten dan produk fitofarmaka yang berkualitas. KESIMPULAN Problem yang terjadi pada perkembangan produk fitofarmaka sampai saat ini adalah bagaimana mendapatkan produk yang berkualitas dan bermutu. Berikut ini pendekatan pemecahan untuk mengatasi problem di atas: 1. Kebenaran dan variasi spesies tanaman harus ditegakkan 2. Ketepatan waktu panen tahunan harus diikuti 3. Kontaminasi tanaman dengan polutan, jamur dan serangga harus dihindari. 4. Penggunaan teknologi baru untuk ekstraksi bahan yang steril dalam skala besar yang termonitor, terstandar, dan konsisten perlu dijalankan. 5. Pengujian bahan ruwahan dan produk jadi harus dilakukan dengan mengikuti stándar yang berlaku. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1997. St. John’s wort study launched. Complementary and Alternative Medicines at tha NIH, National Institutes of Health, 4(4):5 Anonim, 2003. Hyperici herba St. John’s wort. ESCOP monographs, The Scientific Foundation for Herbal Medicinal Products, 2nd ed. Completely revised and expanded, pp. 257-81; 492-98, Thieme New York, USA Awang DVC, Dawson BA, Kindack DG., 1989. Parthenolide content of feverfew (Tanacetum parthenium) assessed by HPLC and 1H-NMR spectroscopy. J. Nat. Prod. 54:1516-21 Bernath J., 1986, Production ecology of secondary plant products. Herbs, Spices, and Medicinal Plants, 1:185-234 Betz W., 1998. Epidemic of renal failure due to herbals. Sci. Rev. Alt. Med., 2:12-13 Badan POM. RI., 2004, No.HK 00.05.41.1384. Tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, www.pom.go.id/public/hukum_perundang an/pdf/Kritcara%20.Pendaft.OT. Chattergee SS, Bhatrtcharya SK, Wonnerman M, Singer A, Muller WE., 1998, Hyperforin as a possible antidepressant component of hypericum extracts, Life Sci., 63:499-510 Foster S., 1989, Phytogeographic and botanical considerations of medicinal plants in eastern Asia and eastern North America. Herbs, Spices, and Medicinal Plants. 4:115-44 Greenwald J.,1998, Herbal healing, Time, November 23, 48-58 Hobbs C., 1989, St. John’s wort (Hypericum perforatum L.): a review. HerbalGram. 18/19:24-33 Laakman G, Schule C, Baghai T, Kieser M., 1998, St. John’s wort in mild to moderate depression: the relevan of hyperforin for the clinical efficacy. Pharmacopsychiatry, 31:54-9 Laliberte L dan Villeneuve J-P., 1996, Hepatitis after the use of Germander, a herbal remedy. Can. Med. Assoc. J., 154:1689-92 Lauglin JC, Munro D., 1982, The effect of fungal colonization on the morphine production of poppy Papaver somniferum L. capsules. Journal of Agricultural Science. 98:679-86 Levi M, Guachelaar H-J, Woerdenbag HJ, Zhu YP., 1998, Acute hepatitis in a patient using a Chinese herbal tea – a case report. Pharm. World. Sci., 20:43-4 Linde K, Ramirez G, Mulrow CD, Pauls A, Weidenhammer W, Melchart D., 1996, St. John’s wort for depression – an overview and meta analysis of randomized clinical trials, Br. Med. J., 313:253-8 Murch SJ, Simmons CB, Saxena PK., 1997, Melatonin in feverfew and other medicinal plants. Lancet, 350:1598-9 Nahrstedt A, Butterwrck L., 1997, Biologically active and other chemical constituents of the herb of Hypericum perforatum L., Pharmacopsychiatry, 30:129-34 Picciotto A, Campo N, Brizzolara R.,1998, Chronic hepatitis induced by Jin Bu Huan. J. Hepatol., 28:165-7 Waller GR dan Nowacki EW.,1978, Alkaloid Biology and Metabolism in Plants. Plenum Press, New York.